Upload
anisadestya
View
127
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
kejang neonatus sah
Citation preview
STATUS PASIEN
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH KOTA TEGAL
Nama Mahasiswa : Dini Rachmi F. Dokter Pembimbing: Dr.H.R.Setyadi, Sp.A
NIM : 030.07.071 Tanda tangan :
I. IDENTITAS PASIEN
Data Pasien Ayah Ibu
Nama An. X Tn.J Ny.S
Umur 7hari 25tahun 36 tahun
Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki Perempuan
Alamat Pekauman Kulon RT 01 RW 03 Dukuh Turi
Agama Islam Islam Islam
Suku Bangsa Jawa Jawa Jawa
Pendidikan - SMA SMA
Pekerjaan - Buruh Ibu Rumah Tangga
Penghasilan - 880.000 -
Keterangan Hubungan orangtua dengan anak adalah anak kandung
Asuransi Jampersal
No. RM 660221
II. DATA DASAR
1. Anamnesis
Alloanamnesis dilakukan dengan orang tua dan nenek pasien serta perawat
ruang Perinatologi pada tanggal 27 April 2013 pukul 10.30 WIB di Ruang Dahlia
serta didukung catatan medis.
Keluhan utama :
Riwayat Penyakit Sekarang
Ibu G1P1A0 24 tahun, hamil 39 minggu dengan KPD. Selalu kontrol
kehamilannya di posyandu dan bidan secara teratur. Tanggal 20 April 2013 pukul
22.00 ibu dibawa ke rumah sakit karena terasa mules, perut terasa kencang, dan keluar
banyak air dari kemaluan. Menurut ibu, persalinan berlangsung lama dan sulit. Pada
1
tanggal 21 April 2013, lahir bayi perempuan secara spontan, bayi menangis kuat,
tidak biru, dengan AS 6, BBL 3000 gram, PB 49 cm. Air ketuban jernih. Placenta
dikeluarkan (ekspulsi) dengan kotiledon lengkap, tidak terdapat infark dan hematom.
Pasien kemudian langsung dibawa ke ruang mawar, tidak tampak sesak nafas
dan merintih. Keesokan harinya pasien dirawat gabung bersama ibunya di ruang
mawar, asi ibu keluar banyak, pasien menyusu kuat, tangisan kuat, gerak aktif, sudah
BAK maupun BAB, tidak terdapat muntah, kejang, kuning, serta demam, tidak ada
keluhan yang timbul. Pada perawatan hari kedua (22 April 2013) pasien kejang,
durasi kejang jurang lebih 1 menit, kejang kaku, setelah kejang pasien sadar, mulut
tidak berbusa, menurut ibu pasien, pasien saat itu tidak sedang demam. Kejang
sebanyak 3 kali yaitu pukul 15.15, 15.30, dan 20.00.
Selama kehamilan baik trimester 1,2,3 tidak pernah keluar darah dari jalan
lahir, ibu juga tidak mengkonsumsi obat-obatan.Tekanan darah ibu tidak tinggi. Ibu
tidak menderita kencing manis. Ibu mendapatkan suntikan TT 2x Tidak pernah
menderita penyakit selama kehamilan, riwayat trauma selama kehamilan disangkal,
riwayat minum obat tanpa resep dokter dan jamu disangkal. Ibu mengkonsumsi
vitamin penambah darah dari Puskesmas.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga lain yang menderita sakit seperti ini. Tidak ada
yang memiliki riwayat tekanan darah tinggi, sesak nafas, alergi, asma, penyakit
jantung
Riwayat Sosial Ekonomi
Ayah pasien bekerja sebagai buruh bangunan. Ibu pasien adalah sorang ibu
rumah tangga. Menurut ibu pasien penghasilan sekitar Rp 800.000,00 sebulan kurang
untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari.
Kesan : riwayat ekonomi kurang
Riwayat Lingkungan
Pasien tinggal bersama kedua orangtuanya, neneknya, dan ke empat orang
saudara ibunya di kawasan yang cukup padat penduduknya. Tempat tinggal pasien
berukuran 36 m2, beratap genteng, berdinding kayu, lantai tanah dengan 2 kamar
tidur. Cahaya matahari masuk melalui genteng kaca.Kamar mandi ada 1 dan terdapat
di luar rumah. Terdapat penerangan dengan listrik. Air berasal dari sumur. Air limbah
2
rumah tangga disalurkan melalui selokan di depan rumah. Aliran air di dalamnya
lancar.
Kesan : rumah dan sanitasi lingkungan kurang baik
III. RIWAYAT PASIEN
Pasien adalah anak tunggal.
1. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
- Kehamilan
Perawatan Antenatal : Rutin periksa ke bidan dan posyandu
Penyakit Kehamilan : Tidak ada
Penyakit yang diderita : -
- Persalinan
Tempat kelahiran : Rumah Sakit Umum Kardinah
Penolong persalinan : Bidan
Cara persalinan : Lahir Spontan
Masa gestasi : 39 minggu
HPHT : 22 juli 2012
Taksiran partus : 28 April 2013
Tanggal kelahiran : 21 April 2013
Keadaan bayi
1. Berat badan lahir : 3000 gram
2. Panjang badan lahir :49 cm
3. Lingkar kepala : -
4. Langsung menangis : +
5. Nilai APGAR : 6
6. Kelainan bawaan :-
Kesan : riwayat kehamilan dan persalinan baik
7. Riwayat Keluarga Berencana
Ibu pasien belum mengikuti program Keluarga Berencana
8. Riwayat Perkembangan dan Pertumbuhan Anak
- Pertumbuhan
3
1. Berat badan lahir :3000 gram
2. Panjang badan :49 cm
3. Lingkar kepala :-
4. Lingkar dada : -
- Perkembangan
Perkembangan anak belum dapat dinilai dan dievaluasi
9. Riwayat Makanan
Sejak lahir sampai sekarang ibu pasien mengaku anaknya sudah minum
Asi secara langsung melalui payudara Ibu. Selama di RSUD Kardinah bayi
mendapatkan ASI.
10. Riwayat Imunisasi
VAKSIN DASAR (umur) ULANGAN (umur)
BCG - - - - - -
DPT/ DT - - - - - -
POLIO - - - - - -
CAMPAK - - - - - -
HEPATITIS B 21/04/2013 - - - - -
Kesan : Imunisasi Hepatitis B pertama sudah diberikan
11. Riwayat Keluarga
1. Corak Reproduksi
No Tanggal
Lahir
Jenis
Kelamin
Hidup Lahir
Mati
Abortus Mati Keterangan
1 21 April
2013 (usia 7
hari)
♀ Hidup - - - Sakit
4
Susunan keluarga
Keterangan : : Laki-laki : Perempuan : Pasien
IV.PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 27 April 2013, pukul 11.00 WIB di ruang
perina. Bayi perempuan, usia 7 hari, berat badan sekarang 3000 gram, panjang
badan 49 cm, lingkar kepala 35 cm, lingkar dada 34 cm.
Kesan umum :
Menangis kuat, gerak aktif, tampak sesak (-), retraksi subcostal (-), ikterik (-),
sianosis (-)
Tanda vital
5
1. Tekanan darah: tidak dilakukan pemeriksaan
2. Laju jantung : 116 x/menit, reguler
3. Pernapasan : 46 x/menit
4. Suhu : 36.9°C (Axilla)
Status Generalis
1. Kepala
Mesocephal, ukuran lingkar kepala 35 cm, ubun-ubun besar masih
terbuka, teraba datar, tidak tegang, caput succadaneum (-), cephal
hematom (-), rambut hitam terdistribusi merata, tidak mudah dicabut, kulit
kepala tidak ada kelainan.
2. Mata
Mata cekung (-/-), palpebra oedem (-/-), sklera ikterik (-/-), konjungtiva
anemis (-/-), katarak kongenital (-/-), glaukoma kongenital (-/-)
3. Hidung
Nafas cuping hidung (-/-), bentuk normal, sekret (-/-), septum deviasi (-)
4. Telinga
Bentuk normal, tulang rawan sempurna, discharge (-/-)
5. Mulut
Sianosis (-), trismus (-), stomatitis (-), bercak-bercak putih pada lidah dan
mukosa (+), bibir kering (-), labioschizis (-), palatoschizis (-)
6. Leher
Pendek, pergerakan baik, tumor(-), tanda trauma (-)
7. Thorax
Paru
Inspeksi :simetris dalam keadaan statis maupun dinamis, retraksi
suprasternal (-), intercostalis (-), subcostal (-) kelenjar mammae membesar -/-
Palpasi : stem fremitus tidak dilakukan, aerola mammae teraba, papilla
mammae (+/+).
Perkusi : pemeriksaan tidak dilakukan
Auskultasi : suara nafas dasar bronkovesikuler, suara nafas tambahan (-/-),
ronkhi (-/-), wheezing (-/-).
Jantung
Inspeksi : pulsasi ictus cordis tidak tampak
6
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung sulit dinilai
Auskultasi : bunyi jantung I-II regular, bising (-), gallop (-)
8. Abdomen
Inspeksi :agak buncit
Auskultasi :bising usus (+)
Palpasi :supel, hepar tidak teraba, lien tidak teraba.
Perkusi :timpani
9. Tulang Belakang
Tidak ada spina bifida, tidak ada meningocele
10. Genitalia
Labia Mayor besar menutupi Labia Minor
11. Anorektal
Anus (+), diaper rash (-)
Anggota gerak
tangan dan kaki sempurna
Ekstremitas
Superior Inferior
Deformitas - /- - /-
Akral dingin - /- - /-
Akral sianosis - /- - /-
Ikterik - /- - /-
CRT <2 detik <2 detik
Tonus Normotoni Normotoni
Kulit
Ikterik (-), sianosis (-), anemis (-), turgor kulit baik.
Refleks Primitif :
1. Refleks Oral :
- Refleks Hisap : ( +)
- Refleks Rooting : ( + )
2. Refleks Moro : ( + )
7
3. Refleks Palmar Grasp : ( + )
4. Refleks Plantar Grasp : ( + )
Pemeriksaan Khusus :
KURVA LUBCHENKO
BBL : 3000 gr
Usia Kehamilan : 39 minggu
Hasil : Sesuai Masa Kehamilan
VI. PERJALANAN PENYAKIT
22 April 2013
S: Sesak (-), Ikterik (-), menangis kuat, sianosis (-), BAK (+), BAB (+), demam (-)
8
O: KU: gerak aktif, menangis kuat, tampak sesak (-), retraksi subcostal (-), ikterik (-),
sianosis (-)
S : 36,80C
HR: 148 x/menit reguler
RR : 42x/ menit
Mata : Ca-/-, SI-/-
Hidung : nafas cuping hidung (-/-)
Thorak : Cor/ S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo/ SN bronkovesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wh -/-
Abdomen : agak buncit, BU (+) meningkat, supel, timpani, turgor baik
Ekstremitas superior : akral hangat +/+, oedem -/-, CRT <2detik, tonus
normotoni
Ekstremitas inferior : akral hangat +/+, oedem -/-, CRT <2detik, tonus
normotoni
A : neonatus aterm sesuai masa kehamilan
P : Asi
BLPL
22 April 2013 (12.25)
S: Kejang (+), Demam (+)
O: KU: gerak cukup aktif, menangis kurang kuat, tampak sesak (+), sianosis (-)
S : 38.10C
HR: 164 x/menit reguler
RR : 70x/ menit
SpO2 : 96%
Mata : Ca-/-, SI-/-
Hidung : nafas cuping hidung (-/-)
Thorak : Cor/ S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo/ SN bronkovesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wh -/-, hantaran -/-
Abdomen : agak buncit, BU (+) meningkat, supel, timpani, turgor baik
Ekstremitas superior : akral hangat +/+, oedem -/-, CRT <2detik, tonus
normotoni
9
Ekstremitas inferior : akral hangat +/+, oedem -/-, CRT <2detik, tonus
normotoni
A : neonatal infeksi
Observasi kejang
P : o2 sungkup
Midazolam 0,6mg im
Infuse D10%
Ca Gluconas 20cc
Inj. Ceftazidim 2x 500/3 mg
Gentamisin 2x 8 mg
Cek GDS, cek darah, cek elektrolit
23 April 2013
S: Demam (-), Kejang (+), Sesak (-), Kulit kuning (-), Kulit kebiruan (-), BAB-BAK
normal
O: KU: gerak cukup aktif, menangis cukup kuat, tampak sesak (-), sianosis (-)
Terpasang O2 sungkup dan OGT
S : 37.00C
HR: 183 x/menit reguler
RR : 60x/ menit
Mata : sukar dinilai
Hidung : nafas cuping hidung (-)
Thorak : Cor/ S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo/ SN bronkovesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wh -/-
Abdomen : datar, BU (+), supel, timpani, turgor kulit baik
Ekstremitas superior : akral hangat +/+, oedem -/-, CRT <2detik
Ekstremitas inferior : akral hangat +/+, oedem -/-, CRT <2detik
GDS jam 13.40: 292
Hematologi Hasil Rujukan
Lekosit 22.900/ul 6.0-21.0/ul
10
Eritrosit 3.7 juta/Ul 3.9-5.9/ul
Hemoglobin L 12.5 g/dL 13.0-20.0 g/dL
Hematokrit L 35,0 % 42-66 %
MCV 94,6 U 76-96 U
MCH H 33,8 Pcg 27-31 Pcg
MCHC 35,7 g/dl 33,0-37,0
Trombosit 386.000/ul 150-400/ul
GDS L 52 mg/dl 70-160 mg/dl
Natrium 136,7 mmol/L 135-148 mmol/L
Kalium 4,20 mmol/L 3,6-5,5 mmol/L
Klorida 104,4 mmol/L 95-108 mmol/L
A : neonatal infeksi
Observasi kejang
P : o2 sungkup
Midazolam 0,1 mg/kgbb/jam
Infuse D10%
Ca Gluconas 20cc
Kcl 9,9 cc
Nacl 3% 12cc
Inj. Ceftazidim 2x 500/3 mg
Gentamisin 2x 8 mg
24 April 2013
S: Demam (-), Kejang (-), Sesak (-), Ikterik (-), Sianosis (-), BAB-BAK normal
O: KU: gerak kurang aktif, menangis cukup kuat, tampak sesak (-), sianosis (-)
Terpasang OGT, O2 sungkup
S : 36.90C
HR: 146 x/menit reguler
RR : 44x/ menit
SpO2 : 100%
Mata : Ca-/-, SI-/-
Hidung : nafas cuping hidung (-)
11
Thorak : Cor/ S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo/ SN bronkovesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wh -/-
Abdomen : datar, BU (+), supel, timpani, turgor kulit baik
Ekstremitas superior : akral hangat +/+, oedem -/-, CRT <2detik
Ekstremitas inferior : akral hangat +/+, oedem -/-, CRT <2detik
A : neonatal infeksi
Observasi kejang
P : o2 sungkup
Infuse D10%
Midazolam 0,1mg/kgbb/jam
Vitamin B6
Dilantin 5 mg/kgbb/hari
Ca Gluconas 20cc
Inj. Ceftazidim 2x 500/3 mg
Gentamisin 2x 8 mg
Ctscan Kepala
25 April 2013
S: Demam (-), Kejang (-), Sesak (-), Ikterik (-), Sianosis (-), BAB-BAK normal
O: KU: gerak kurang aktif, menangis cukup kuat, tampak sesak (-), sianosis (-)
Terpasang O2 sungkup, OGT
S : 36.70C
HR: 116 x/menit reguler
RR : 50x/ menit
SpO2 : 100%
Mata : Sulit dinilai
Hidung : nafas cuping hidung (-)
Thorak : Cor/ S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo/ SN bronkovesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wh -/-
Abdomen : datar, BU (+) meningkat, supel, timpani, turgor kulit baik
Ekstremitas superior : akral hangat +/+, eodem -/-, CRT <2detik
Ekstremitas inferior : akral hangat +/+, eodem -/-, CRT <2detik
12
Head ctscan tanggal 25-04-2013:
Lesi hiperden giry dan sulcy region fronto temporo parietalis dextra dan
sinistra serta fissure intrahemisfere.
Giry samar sulcy dangkal
Sistema ventrikel sempit
Struktur mediana tidak deviasi
Kesan: menyokong sub arachnoid hematoma
A : neonatal infeksi
SAH
P : o2 Headbox
Infus D10%
Kcl 9,9 cc
13
Inj. Ceftazidim 2x 500/3 mg
Gentamisin 2x 8 mg
Vitamin B6
OGT 8x 3,5-5cc
26 April 2013
S: Demam (-), Kejang (-), Sesak (-), Ikterik (-), Sianosis (-), BAB-BAK normal
O: KU: gerak kurang aktif, menangis cukup kuat, tampak sesak (-), sianosis (-)
Terpasang O2 headbox, Terpang OGT
S : 36.70C
HR: 137 x/menit reguler
RR : 48 x/ menit
SpO2 : 87%
Mata : Ca-/-, SI-/-
Hidung : nafas cuping hidung (-)
Thorak : Cor/ S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo/ SN bronkovesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wh -/-
Retraksi Subcostal (+), Retraksi Suprasternal (+)
Abdomen : datar, BU (+) meningkat, supel, timpani, turgor kulit baik
Ekstremitas superior : akral hangat +/+, eodem -/-, CRT <2detik
Ekstremitas inferior : akral hangat +/+, eodem -/-, CRT <2detik
A : neonatal infeksi
SAH
P : o2 Headbox
Infus D10%
Kcl 9,9 cc
Inj. Ceftazidim 2x 500/3 mg
Gentamisin 2x 8 mg
Vitamin B6
OGT 8x 3,5-5cc
27 April 2013
14
S: Demam (-), Kejang (-), Sesak (-), Ikterik (-), Sianosis (-), BAB-BAK normal
O: KU: gerak kurang aktif, menangis cukup kuat, tampak sesak (+), sianosis (-)
S : 36.9 0C
HR: 146 x/menit reguler
RR : 46 x/ menit
Mata : Ca-/-, SI-/-
Hidung : nafas cuping hidung (-)
Thorak : Cor/ S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo/ SN bronkovesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wh -/-
Abdomen : datar, BU (+) meningkat, supel, timpani, turgor kulit baik
Ekstremitas superior : akral hangat +/+, oedem -/-, CRT <2detik
Ekstremitas inferior : akral hangat +/+, oedem -/-, CRT <2detik
A : neonatal infeksi
SAH
P : Infus D10%
Kcl 9,9 cc
Inj. Ceftazidim 2x 500/3 mg
Gentamisin 2x 8 mg
Vitamin B6
28 April 2013
S: Demam (-), Kejang (-), Sesak (-), Ikterik (-), Sianosis (-), BAB-BAK normal
O: KU: gerak kurang aktif, menangis cukup kuat, tampak sesak (-), sianosis (-)
S : 36.10C
HR: 138 x/menit reguler
RR : 36x/ menit
Mata : Ca-/-, SI-/-
Hidung : nafas cuping hidung (-)
Thorak : Cor/ S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo/ SN bronkovesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wh -/-
Abdomen : datar, BU (+) meningkat, supel, timpani, turgor kulit baik
Ekstremitas superior : akral hangat +/+, eodem -/-, CRT <2detik
Ekstremitas inferior : akral hangat +/+, eodem -/-, CRT <2detik
15
A : neonatal infeksi
SAH
P : Kcl 9,9 cc
Inj. Ceftazidim 2x 500/3 mg
Gentamisin 2x 8 mg
Vitamin B6
29 April 2013
S: Demam (-), Kejang (-), Sesak (-), Ikterik (-), Sianosis (-), BAB-BAK normal
O: KU: gerak cukup aktif, menangis cukup kuat, tampak sesak (-), sianosis (-)
S : 36.2 0C
HR: 126 x/menit reguler
RR : 28 x/ menit
Mata : Ca-/-, SI-/-
Hidung : nafas cuping hidung (-)
Thorak : Cor/ S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo/ SN bronkovesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wh -/-
Abdomen : datar, BU (+) meningkat, supel, timpani, turgor kulit baik
Ekstremitas superior : akral hangat +/+, oedem -/-, CRT <2detik
Ekstremitas inferior : akral hangat +/+, oedem -/-, CRT <2detik
A : neonatal infeksi
SAH
P : Dilantin %mg/kgbb/hari
Vitamin b6
San b plex 1x 0,3ml
Cefat 2x 62,5
30 April 2013
S: Demam (-), Kejang (-), Sesak (-), Ikterik (-), Sianosis (-), BAB-BAK normal
O: KU: gerak cukup aktif, menangis cukup kuat, tampak sesak (-), sianosis (-)
S : 36.60C
16
HR: 184 x/menit reguler
RR : 32x/ menit
Mata : Ca-/-, SI-/-
Hidung : nafas cuping hidung (-)
Thorak : Cor/ S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo/ SN bronkovesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wh -/-
Abdomen : datar, BU (+) meningkat, supel, timpani, turgor kulit baik
Ekstremitas superior : akral hangat +/+, oedem -/-, CRT <2detik
Ekstremitas inferior : akral hangat +/+, oedem -/-, CRT <2detik
A : neonatal infeksi
SAH
P : Dilantin %mg/kgbb/hari
Vitamin b6
San b plex 1x 0,3ml
Cefat 2x 62,5
VII. RINGKASAN DATA DASAR
1. ANAMNESIS
Pasien bayi perempuan umur 7 hari, didapatkan bahwa pasien lahir pada usia
kehamilan 39 minggu menurut HPHT. Lahir secara normal dengan presentasi kepala
pada tanggal 21 April 2013 pukul 09.05, ketuban jernih. Berat badan lahir 3000 gram,
panjang badan 49 cm. Lahir dengan apgar score 6. Suhu badan 36,2OC, nadi 126
x/menit dan kecepatan pernafasan 42 x/menit. Pada pemeriksaan fisik didapatkan bayi
tampak aktif,menangis kurang kuat.
2. PEMERIKSAAN FISIK
Kesan umum :
Menangis kuat, gerak aktif, tampak sesak (-).
Tanda vital
1. Tekanan darah: tidak dilakukan pemeriksaan
2. Laju jantung : 116x/menit, reguler
3. Pernapasan : 46x/menit
4. Suhu : 36,6°C (Axilla)
17
Status Generalis
3. Kepala
Mesocephal, ukuran lingkar kepala 35 cm, ubun-ubun besar masih
terbuka, teraba cekung, tidak tegang.
4. Mata
Mata cekung (-/-),sklera ikterik (-/-), konjungtiva anemis (-/-),
5. Hidung
Terpasang NGT, Bentuk normal, nafas cuping hidung (-/-),
6. Telinga
Bentuk normal, tulang rawan sempurna,
7. Mulut
Bercak-bercak putih pada lidah dan mukosa (+)
8. Leher
Pendek, pergerakan baik
9. Paru dan Jantung
Dalam batas normal
10. Abdomen
Dalam batas normal
11. Tulang Belakang
Tidak ada spina bifida, tidak ada meningocele
12. Genitalia
Perempuan, Labia Mayor besar menutupi Labia Minor
13. Anorektal
Anus (+), diaper rash (-)
14. Ekstremitas
Dalam batas normal
15. Kulit
sianotik (-), ikterik (-), anemis (-), turgor kulit baik.
VIII. DAFTAR PERMASALAHAN
Kejang
Demam
18
IX. DIAGNOSIS BANDING
1. Kejang
DD :
1. Hipoglikemia
2. Perdarahan Subarachnoid
3. Neonatal Infeksi
4. Asfiksia neonatorum
2. Neonatus aterm
DD:
1. SMK (Sesuai Masa Kehamilan)
2. BMK (Besar Masa Kehamilan)
3. KMK (Kecil Masa Kehamilan)
X. DIAGNOSIS KERJA
1. Neonatal Infeksi
2. Subarachnoid hematom
3. Neonatus aterm sesuai masa kehamilan
XI. TERAPI
TERAPI AWAL
Medikamentosa
1. o2 sungkup
2. Midazolam 0,6mg im
3. Infuse D10%
4. Ca Gluconas 20cc
5. Inj. Ceftazidim 2x 500/3 mg
6. Gentamisin 2x 8 mg
PROGRAM
Evaluasi keadaan umum dan tanda vital
Jaga kehangatan
Awasi tanda-tanda gangguan pernapasan
Pertahankan Status Gizi
Rawat tali pusat
19
XII. USULAN PEMERIKSAAN
1. Pemeriksaan darah rutin dan GDS ulang (atas indikasi)
XIII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
20
TINJAUAN PUSTAKA
Kejang Pada Neonatus
A. Definisi
Neonatus adalah bayi baru lahir yang berusia di bawah 28 hari. Kejang
(konvulsi) merupakan gangguan fungsi otak tanpa sengaja paroksismal yang
dapat nampak sebagai gangguan atau kehilangan kesadaran, aktivitas motorik
abnormal, kelainan perilaku, gangguan sensoris, atau disfungsi autonom.
Kejang pada neonatus adalah perubahan paroksismal fungsi neurologis
(tingkah laku dan atau fungsi motorik) akibat aktifitas yang terus menerus
dari neuron diotak dan terjadi dalam 28 hari pertama kehidupan pada bayi
cukup bulan atau sampai usia konsepsi 44 minggu pada bayi kurang bulan.2,6
B. Etiologi
Etiologi kejang pada neonatus adalah sebagai berikut :
a. Ensefalopati iskemik hipoksik
Merupakan penyebab tersering (60-65%) kejang pada BBL, biasanya
terjadi dalam waktu 24 jam pertama, dapat terjadi pada BCB maupun BKB
terutama bayi dengan asfiksia. Bentuk kejang subtle atau multifokal klonik
serta fokal klonik. Kasus iskemik hipoksik disertai kejang, 20 % akan
mengalami infark serebral. Manifestasi klinis ensefalopati hipoksik – iskemik
dapat dibagi dalam 3 stadium,yaitu : ringan, sedang dan berat. Manifestasi
kejang terjadi pada stadium sedang dan berat.2
b.Perdarahan Intrakranial
Perdarahan matriks germinal atau intraventrikel adalah penyebab
kejang tersering pada bayi preterm. Scher menentukan 45 % bayi preterm
dengan kejang mengalami perdarahan matriks germinal atau intraventrikel
(GMH-IVH). Perdarahan intrakranial sering sulit disebut sebagai penyebab
tunggal kejang, biasanya berhubungan dengan penyebab lain, yaitu :
-Perdarahan sub arachnoid
Perdarahan yang sering dijumpai pada BBL, kemungkinan karena
robekan vena superfisial akibat partus lama. Pada mulanya bayi tampak baik,
21
tiba-tiba dapat terjadi kejang pada hari pertama atau hari kedua. Pungsi lumbal
harus dikerjakan untuk mengetahui apakah terdapat darah di dalam cairan
serebrospinal. Pemeriksaan CT-Scan sangat berguna untuk menentukan letak
dan luasnya perdarahan. Pemeriksaan perdarahan perlu dikerjakan untuk
menyingkirkan kemungkinan koagulopati. 7
-perdarahan subdural
Perdarahan ini umumnya terjadi akibat robekan tentorium di dekat
falks serebri. Keadaan ini akibat molase kepala yang berlebihan pada letak
verteks , letak muka dan partus lama. Darah terkumpul di fosa posterior dan
dapat menekan batang otak. Manifestasi klinis hamper sama dengan
ensefalopati hipoksik-iskemik ringan sampai sedang. Bila terjadi penekanan
pada batang otak terdapat pernapasan yang tidak teratur, kesadaran menurun,
tangus melengking, ubun-ubun besar menonjol dan kejang. Perdarahan pada
parenkim otak kadang-kadang dapat menyertai perdarahan subdural. Deteksi
kelainan ini dengan pemeriksaan USG atau CT-Scan. Perdarahan yang kecil
tidak membutuhkan pengobatan, tetapi pada perdarahan yang besar dan
menekan batang otak perlu dilakukan tindakan bedah untuk mengeluarkan
darah. Mortilitas tinggi, dan pada bayi yang hidup biasanya terdapat gejala
sisa neurologis. 2,7
-Perdarahan periventrikuler/ intraventrikuler
Gambaran klinis perdarahan intraventrikuler tergantung kepada
beratnya penyakit dan saat terjadinya perdarahan. Pada bayi yang mengalami
trauma atau asfiksia biasanya kelainan timbul pada hari pertama atau kedua
setelah lahir. Pada BKB dapat mengalami perdarahan hebat, gejala timbul
dalam waktu beberapa menit sampai beberapa jam berupa gangguan napas,
kejang tonik umum, pupil terfiksasi, kuadriparesis flaksid, deserebrasi dan
stupor atau koma yang dalam. Pada perdarahan sedikit, gejala timbul dalam
beberapa jam sampai beberapa hari sampai penurunan kesadaran, kurang aktif,
hipotonia, kelainan posisi dan pergerakan bola mata seperti deviasi, fiksasi
vertical dan horizontal disertai dengan gangguan respirasi. Bila keadaan
memburuk akan timbul kejang. BCB biasanya disertai riwayat intrapartum
misalnya trauma, pasca-pemberian cairan hipertonik secara cepat terutama
natrium bikarbonat dan asfiksia. Manifesasi klinis yang timbul bervariasi
mulai dari asimtomatik sampai gejala yang hebat. Gejala neurologis yang
22
paling umum dijumpai adalah kejang yang dapat bersifat fokal, multifokal
atau umum. Di samping itu terdapat manifestasi berupa apnu, sianosis, letargi,
jitteriness, muntah, ubun-ubun besar menonjol, tangis melengking dan
perubahan tonus otot.3
c. Metabolik
Penyebab paling sering kejang metabolik adalah :
- Hipoglikemia
Bayi dengan kadar glukosa darah < 45 mg/dL disebut hipoglikemia. Kadang
asimtomatis. Hipoglikemia yang berkepanjangan dan berulang dapat
mengakibatkan dampak yang menetap pada SSP. BBL yang mempunyai
resiko tinggi untuk terjadinya hipoglikemia adalah : Bayi Kecil untuk masa
kehamilan, Bayi Besar untuk masa kehamilan dan bayi dari Ibu dengan
Diabetes Mellitus. Hipoglikemi dapat menjadi penyebab dasar pada kejang
BBL dan gejala neurologis lainnya seperti apnu, letargi dan jiterness. Kejang
seperti hipoglikemia ini sering dihibungkan dengan penyebab kejang yang
lain. Hanya sekitar 3% yang benar disebabkan Karena hipoglikemia. Tidak
ada keraguan pemberian terapi dextrose intravena jika ditemukan kadar
glukosa rendah pada bayi kejang, untuk mengembalikan kadar gula darah
kembali secepatrnya.
- Hipokalsemia/ hipomagnesemia
Kejadian awal kejang akibat hipokalsemia pada hari pertama dan kedua. Lebih
sering didapatkan pada BBLR dan sering dihubungkan dengan keadaan
asfiksia serta bayi dari ibu dengan diabetes mellitus. Hipokalsemia
didefinisikan kadar kalsium < 7,5 mg/dL (<1,87 mmol/L), biasanya disertai
kadar fosfat > 3 mg/dL (> 0,95mmol/L), seperti hipoglikemia kadang
asimtomatis. Sering berhubungan dengan prematuritas atau kesulitan
persalinan dan asfiksia. Kadar magnesium yang rendah sering terjadi bersama
dengan hipokalsemi dan perlu diterapi agar memberikan respon yang baik
untuk menghentikan kejang. Mekanisme terjadinya hipokalsemia bersamaan
dengan hipomagnesemia belum jelas. Bila kejang pada bayi berat lahir rendah
yang disebabkan oleh hipokalsemia diberikan kalsium glukonat kejang masih
belum berhenti harus dipikirkan adanya hipomagnesemia. 2,7
- Hiponatremia dan hipernatremia
23
Kadar natrium serum yang sangat tinggi, sangat rendah atau yang mengalami
perubahan dengan sangat cepat, sering terjadi pada kondisi tertentu seperti
Syndrome of Inappropreiate Anti-Diuretic Hormone (SIADH), sindroma
Bartter atau dehidrasi berat dapat menyebabkan kejang. SIADH berhubungan
dengan keadaan sekunder dari meningitis atau perdarahan intracranial, terapi
diuretika, kehilangan garam yang berlebihan atau asupan cairan yang
mengandung kadar natrium yang rendah, hiponatremia dapat terjadi akibat
minum air, pemberian infus intravena yang berlebihan atau akibat pengeluaran
natrium yang berlebihan lewat kencing dan feses. Hipernatremia terjadi akibat
dehidrasi berat atau iatrogenik atau sekunder akibat asupan natrium yang
berlebihan. Dapat juga terjadi akibat pemberian natrium yang berlebihan
secara oral maupun parenteral.3,6
d. Infeksi
Infeksi terjadi sekitar 5-10% dari seluruh penyebab kejang BBL, bakteri,
nonbakteri maupun kongenital dapat menyebabkan kejang BBL, biasanya
terjadi setelah minggu pertama kehidupan.
Infeksi digolongkan menjadi
1. Infeksi akut
Infeksi bakteri atau virus pada SSP dengan atau tanpa keadaan sepsis dapat
mengakibatkan kejang, biasanya sering berhubungan dengan meningitis.
Kuman gram negative sering mengakibatkan infeksi intrakranial dan sistemik
pada BBL. Bakteri yang sering ditemukan adalah group B streptococcus,
Eschericia coli, Listeria sp, Staphylococcus dan Pseudomonas species.
2. Infeksi kronik
Infeksi intrauterin yang berlangsung lama : toxoplasmosis, rubella,
cytomegalovirus, herpes (TORCH), treponema pallidum .7
e. Kernikterus/ensefalopati bilirubin
Suatu keadaan ensefalopati akut dengan sekuele neurologis yang disertai
meningkatkan kadar serum bilirubin dalam darah. Bilirubin indirek
menyebabkan kerusakan otak pada BCB apabila melebihi 20mg/dl. Pada bayi
prematur yang sakit, kadar 10mg/dl sudah berbahaya. Kemungkinan
kerusakan otak yang terjadi tidak hanya disebabkan oleh kadar bilirubin yang
tinggi tetapi tergantung kepada lamanya hiperbilirubinemia. BKB yang sakit
24
dengan sindrom distress pernapasan, asidosis mempunyai risiko yang tinggi
untuk terjadinya kernikterus. Manifestasi klinis kernikterus terdiri dari
hipotonia, letargi dan refleks menghisap lemah. Pada hari kedua terdapat
gejala demam, regiditas dan posisi dalam opistotonus. Selanjutnya gambaran
klinis bulan pertama menunjukkan tonus otot meningkatkan progresif.
Sindrom klinis yang tampak sesudah tahun pertama meliputi : 1) disfungsi
ekstra piramidal biasanya berbentuk atetosis dan kora; 2)gangguan gerak bola
mata vertikal, ke atas lebih dari pada ke bawah, terdapat 90% kasus; 3)
kehilangan pendengaran frekuensi tinggi terdapat pada 60% kasus; 4) retardasi
mental terdapat pada 25% kasus.
f. Kejang yang berhubungan dengan obat
1.Pengaruh pemberhentian obat (Drug withdrawl)
Kecanduan metadon pada ibu hamil sering dikaitkan dengan kejang BBL
karena efek putus obat dari kecanduan heroin. Ibu yang ketagihan dengan obat
narkotik selama hamil, bayi yang dilahirkan dalam 24 jam pertama terdapat
gejala gelisah, jitteriness dan kadang-kadang terdapat kejang. Kejang akibat
putus obat (withdrawl) terjadi pertama kali pada usia 3 hari pertama dengan
onset rata-rata 10 hari. Kejang tersebut dapat menetap untuk beberapa bulan.
Tremor dialami oleh bayi yang mendapatkan infus narkotik jangka panjang
untuk mengurangi rasa sakit dan telah diperhatikan pula efek serupa dari
midazolam untuk sedasi pada BKB.
2.Intoksikasi anestesi local
Kejang akibat intoksikasi anestesi lokal/anestesi blok pada ibu yang masuk ke
dalam sirkulasi janin. Ini dapat terjadi akibat anestesi blok paraservikal,
pudendal atau epidural serta anestesi local pada episiotomi yang tidak tepat.
Curiga intoksikasi bila didapatkan pupil tetap dilatasi pada pemeriksaan reflek
pupil dan gerakan mata terfiksasi pada reflek okulosefalik (refle doll’s eye
menghilang). Bayi lahir menunjukkan Apgar skor yang rendah, hipotonia dan
hipoventilasi. Kejang terjadi dalam waktu 6 jam pertama
25
kelahiran.Prognosisnya baik, bila diberikan pengobatan suportif yang
memadai akan membaik setelah 24-48 jam.6,8
Penyebab kejang lainnya yang jarang terjadi
g. Gangguan Perkembangan Otak
Kelainan disebabkan karena terganggunya perkebangan otak. Beberapa
kelainan susunan saraf pusat dapat menimbulkan kejang pada hari pertama
kehidupan. Penyebab yang sering ditemukan adalah disgenesis korteks serebri,
dapat disertai keadaan : dismorfi, hidrosefalus, mikrosefalus. Kelainan migrasi
sel saraf seperti lisensefali atau schizensefali dapat terjadi pada kejang BBL.
h. Kelainan yang diturunkan
1. Gangguan metabolisme asam amino
Kejang biasanya terjadi antara 5-14 hari setelah bayi lahir. Termasuk
kelainan ini adalah: maple syrup urine disease, isovaleric academia, glycine
encephalopathy, arginosuccsinic aciduria dan phenyketonuria
2. Ketergantungan dan kekurangan piridoksin
Kasus pertama kejang tak terkontrol yang berespon pada piridoksin
dilaporkan oleh Hunt dkk pada tahun 1954. Ketergantungan piridoksin terjadi
akibat gangguan metabolisme piridoksin. Dasar dari kelainan ini kemungkinan
karena kekurangan dalam pengikatan koenzim piridoksal fosfat pada glutamik
dekarboksilase, yaitu enzim yang terlibat dalam pembentukan gama-
aminobutyric acid (GABA). Kekurangan atau menghilangnya GABA, yaitu
suatu zat transmitter inhibisi yang dapat menimbulkan kejang . Kejang sering
terjadi pada jam pertama kehidupan, bahkan sejak dalam kandungan. Kejang
ini bersifat resisten terhadap antikonvulsan. Pada BBL dengan kejang yang
diduga karena gangguan metabolik, tidak membaik dengan pemberian
glucose, kalsium, antikonvulsan dan sebagainya dapat diberikan piridoksin
intravena sebaiknya dengan monitoring EEG. Sebelum pengobatan EEG
menjadi normal. Bila gambaran EEG normal dan serangan kejang berhenti,
diagnosis ketergantungan piridoksin dapat ditegakkan.
i. Idiopatik
26
Kejang pada BBL yang tidak diketahui penyebabnya, secara relatif
sering menunjukkan hasil yang baik. Tetapi pada kejang beulang yang lama,
resisten terhadap pengobatan atau kejang terulang sesudah pengobatan
dihentikan menunjukkan kemungkinan adanya kerusakan di otak. Pada
golongan idiopatik terdapat 2 hal yang perlu mendapat perhatian yaitu, kejang
BBL familial jinak dan kejang hari kelima
1.Kejang BBL familial jinak (Benign familial Neonatal seizures)
Kejang ini diturunkan secara autosomal dominan, pertama diketahui tahun
1964. Penanda genetik menunjukkan adanya mutasi pada kromosom 29q13.3
dan 8q.24. Kejang terjadi antara hari kedua dan hari kelima belas sesudah
lahir, dan kebanyakan (80%) dimulai pada hari kedua dan ketiga setelah lahir.
Jenis kejang biasanya klonik, sering berulang sampai beberapa puluh kali per
hari tetapi berhenti secara spontan setelah beberapa lama, biasanya serangan
kejang berhenti pada usia 6 bulan. Pada keadaan antara kejang bayi tampak
normal. Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat keluarga ada yang pernah
mengalami kejang. Kelainan elektrografis yang spesifik berupa gelombang
datar diikuti gelombang bilateral spike dan slow. Kejang dapat dihentikan
dengan obat-obatan biasa dan prognosis untuk perkembangan anak baik.
2. Kejang hari kelima (The Fifth day fits)
Kejang ini adalah kejang berulang antara hari ketiga dan ketujuh
kehidupan, paling sering terjadi pada hari ke 4 dan 5 (80-90%) berlangsung
hingga 2 minggu pada BCB dengan riwayat kelahiran normal dan tidak
terdapat kelainan neurologis pada beberapa hari pertama kehidupan. Serangan
kejang yang terjadi dapat berbentuk klonik fokal atau multifokal dan serangan
apneu. Penyebabnya masih merupakan misteri, meskipun kadar zinc pada
cairan serebrospinal yang rendah ditemukan pada beberapa kasus.
3. Bangkitan klonus pada BBL tidur (Benign Neonatal Sleep Mioklonus)
Kejang mioklonik hanya terjadi saat BBL tidur, dan EEG nya normal.
Mioklonus terjadi pada semua fase tidur meskipun frekuensinya tergantung
27
fase tidurnya dan paling sering saat BBL tidur tenang. Kejang menghilang saat
usia 6 bulan. Tidak diperlukan terapi, dan orang tua harus diyakinkan jika
kejang ini pada akhirnya akan berhenti sendiri.
Awitan Kejang
Kebanyakan dimulai antara 12 hingga 48 jam setelah lahir. Penelitian
pada binatang menunjukkan bahwa kejang muncul 3-13 jam setelah terjadi
keadaan hipoksik iskemik dan sesuai dengan yang kita ketahui tentang
pelepasan dan penghancuran glutamate selama fase reperfusi sekunder.
Keadaan yang sama dapat terjadi pada bayi. Kejang onset lanjut member
kesan meningitis, kejang familial benigna atau hipokalsemia. Awitan kejang
pada setiap etiologi dapat berbeda, perbedaan tersebut dapat digunakan untuk
memperkirakan penyebab kejang.
Etiologi Onset (hari)
0-3 >3 Kurang bulan Cukup bulan
Ensefalopati
Iskemik
hipoksik
+ +++ +++
Perdarahan
intracranial
+ + ++ +
J.Infeksi + + ++ ++
Gangguan
perkembangan
otak
+ + ++ ++
Hipoglikemia + + +
Hipokalsemi + + + +
Sindrom
epileptic
+ + +
Keterangan : +++ sering terjadi; ++jarang terjadi; + sangat jarang terjadi
Tabel 1. Awitan kejang berdasarkan etiologi11
28
C. Epidemiologi
Angka kejadian kejang pada neonatus umumnya berkisar antara 1,5-14 per
100 kelahiran hidup. Kejadiannya lebih tinggi pada bayi kurang bulan (3,9%)
yaitu pada bayi dengan usia kehamilan < 30 minggu. Di Amerika Serikat,
angka kejadian kejang pada neonatus belum jelas terdeteksi, diperkirakan
sekitar 80-120 per 100.000 neonatus per tahun. Perbandingannya antara 1-
5:1000 angka kelahiran. Menurut menurut SDKI 2002-2003 angka kematian
pada neonatus di Indonesia menduduki angka 57% dari angka kematian bayi
(AKB) sedangkan kematian neonatus yang diakibatkan oleh kejang sekitar
10%. 3,7
Di India angka insiden 5 per 1000 kelahiran hidup antara 1959 dan 1962.
Nasional Neonatal Perinatal Database (NNPD) dari India yang dikumpulkan
informasi dari 18 pusat dari di seluruh negeri pada tahun 2002-03 telah
melaporkan insiden 1.0%. 9
D. Klasifikasi
Klasifikasi kejang pada neonatal dibagi menjadi 2 yaitu clinical seizure
dan electroenchepalographic seizure. 9
-Clinical seizure : -subtle
-tonik
-klonik
-myoklonik
-Electroenchephalographic seizure : -Epileptic
-Non Epileptic 9
E. Patogenesis
Kejang pada neonatus berbeda dengan kejang pada bayi atau anak
yang lebih besar. Karena perkembangan otak neonatus yang belum sempurna.
Korteks pada neonatus belum matur dibandingkan batang otaknya.
Myelinisasi dan sinaps aksodendrit (sinaptogenesis) yang belum sempurna
pada daerah korteka menyebabkan penyebaran rangsang ke seluruh korteks
(sinkronisasi bilateral suatu rangsang) tidak terjadi. Rangsang dapat menyebar
perlahan-lahan ke hemisfer kontralateral dan tidak berlangsung sekaligus
29
bersama-sama. Inilah yang menyebabkan kejang pada neonatus tidak pernah
bersifat kejang tonik klonik umum. 11
Mekanisme dasar terjadinya kejang akibat loncatan muatan listrik yang
berlebihan dan sinkron pada otak atau depolarisasi otak yang mengakibatkan
gerakan yang berulang. Terjadinya depolarisasi pada syaraf akibat masuknya
Natrium dan repolarisasi terjadi karena keluarnya Kalium melalui membrane
sel. Untuk mempertahankan potensial membrane memerlukan energi yang
berasal dari ATP dan tergantung pada mekanisme pompa yaitu keluarnya
Natrium dan masuknya Kalium.
Depolarisasi yang berlebihan dapat terjadi paling tidak akibat beberapa hal :
1. Gangguan produksi energi dapat mengakibatkan gangguan mekanisme
pompa Natrium dan Klaium. Hipoksemia dan Hipoglikemia dapt
mengakibatkan penurunan yang tajam produksi energi
2. Peningkatan eksitasi dibanding inhibisi neurotransmiter dapat
mengakibatkan kecepatan depolarisasi yang berlebihan
3. Penurunan relatif inhibisi dibanding eksitasi neurotransmitter dapat
mengakibatkan kecepatan depolarisasi yang berlebihan.
Perubahan fisiologis selama kejang berupa penurunan yang tajam
kadar glukosa otak dibanding kadar glukosa darah yang tetap normal atau
meningkat disertai peningkatan laktat. Keadaan ini menunjukkan mekanisme
transportasi pada otak tidak dapat mengimbangi peningkatan kebutuhan yang
ada. Kebutuhan oksigen dan aliran darah otak juga meningkat untuk
mencukupi kebutuhan oksigen dan glukosa. Laktat terakumulasi selama terjadi
kejang, dan pH arteri sangat menurun. Tekanan darah sistemik meningkat dan
aliran darah otak naik. Efek dramatis jangka pendek ini diikuti oleh perubahan
struktur sel dan hubungan sinaptik. 4
Fenomena kejang pada BBL dijelaskan oleh Volpe karena keadaan
anatomi dan fisiologi pada masa perinatal yang sebagai berikut 12:
Keadaan Anatomi susunan syaraf pusat perinatal :
- Susunan dendrit dan remifikasi axonal yang masih dalam proses pertumbuhan
- Sinaptogenesis belum
- Mielinisasi pada system efferent di cortical belum lengkap
Keadaan fisiologis perinatal
30
- Sinaps exsitatori berkembang mendahului inhibisi
- Neuron kortikal dan hipocampal masih imatur
- Inhibisi kejang oleh system substansia nigra belum berkembang
Mekanisme penyebab kejang pada BBL
Kemungkinan penyebab Kelainan
Kegagalan mekanisme pompa
Natrium dan Kalium akibat
penurunan ATP
Hipoksemi-iskemik, Hipoglikemia
Eksitasi neurotransmitter yang
berlebihan
Hipoksemi-iskemik, Hipoglikemia
Penurunan inhibisi neurotransmitter Ketergantungan piridoksin
Kelainan membrane sel yang
mengakibatkan kenaikan
permiabilitas Natrium
Hipokalsemia dan hipomagnesemia
Tabel 2. Mekanisme Penyebab kejang pada BBL 10
F. Gejala klinis
Gejala dan tanda kejang yang sering ditemui pada neonatus adalah:
• Kejang Tonik (Kejang tonik dapat berbentuk umum atau fokal) 2,9
-Kejang tonik umum: Terutama bermanifestasi pada neonatus kurang bulan (<
2500 gram). Fleksi atau ekstensi tonik pada ekstremitas bagian atas, leher atau
batang tubuh dan berkaitan dengan ekstensi tonus pada ekstremitas bagian
bawah. Pada 85% kasus kejang tonik tidak berkaitan dengan perubahan
otonomis apapun seperti meningkatnya detak jantung atau tekanan darah, atau
kulit memerah.
-Kejang tonik fokal: Terlihat dari postur asimetris dari salah satu ekstremitas
atau batang tubuh atau deviasi tonik kepala atau mata kepala atau mata.
Sebagian besar kejang tonik terjadi bersamaan dengan penyakit sistem syaraf
pusat yang difus dan perdarahan intraventrikular.
31
• Kejang Klonik
Terdiri dari gerakan kejut pada ekstremitas yang perlahan & berirama (1-3
/menit), penyebabnya mungkin fokal/multi-fokal. 2 Setiap gerakan terdiri dari
satu fase gerakan yang cepat dan diikuti oleh fase yang lambat diikuti oleh
fase yang lambat. Perubahan posisi atau memegang ekstremitas yang bergerak
tidak akan menghambat gerakan tersebut. Biasanya terjadi pada neonatus
cukup bulan. Tidak terjadi hilang kesadaran. Berkaitan dengan trauma
fokal,infarks atau gangguan metabolik.
Dikenal 2 bentuk :
a. Fokal : terdiri dari gerakan bergetar dari satu atau dua ekstremitas pada sisi
unilateral dengan atau tanpa adanya gerakan wajah. Gerakan ini pelan dan
ritmik dengan atau tanpa gerakan wajah. Gerakan ini pelan dan ritmik dengan
frekuensi 1-4 kali perdetik.
b. Multifokal : Kejang klonik pada BBL dapat mempunyai lebih dari satu
focus atau migrasi terdiri dari gerakan dari satu ekstremitas yang kemudian
secara acak pindah ke ekstremitas lainnya. Bentuk kejang merupakan gerakan
klonik salah satu atau lebih anggota gerak yang berpindah-pindah atau terpisah
secara teratur, misalnya kejang klonik lengan kiri diikuti dengan kejang klonik
tungkai bawah kanan. Kadang-kadang karena kejang yang satu dengan kejang
yang lain sering bersinambungan, seolah-olah member kesan sebagai kejang
umum. Bentuk kejang ini biasanya terdapat pada gangguan metabolik. Kejang
ini lebih sering dijumpai pada BCB dengan berat lebih 2500 gram. 2,9
• Kejang Mioklonik
Terdiri dari : Kejang mioklonik fokal, multi-fokal atau umum.
-Kejang mioklonik fokal biasanya melibatkan otot fleksor pada ekstremitas.
Kejang mioklonik multi-fokal terlihat sebagai gerakan.
-Kejang mioklonik multi-fokal terlihat sebagai gerakan kejutan yg tidak
sinkron pd beberapa bagian tubuh.
-Kejang mioklonik umum terlihat sangat jelas berupa fleksi masif pada kepala
dan batang tubuh dengan ekstensi atau fleksi pada ekstremitas. Kejang ini
berkaitan dengan patologi SSP yang difus 1
• Kejang “subtle”
32
Bentuk kejang ini lebih sering terjadi disbanding tipe kejang yang lain,
hampir 50% dari kejang BBL baik pada BKB maupun cukup bulan.
Manifestasi klinis berupa orofasial, termasuk deviasi mata, kedipan mata,
gerakan alis (lebih sering pada BKB) yang bergetar berulang-ulang, mata yang
tiba-tiba terbuka dengan bola mata terfiksasi ke satu arah (lebih sering pada
BKB) gerakan seperti menghisap, mengunyah, mengeluarkan air liur,
menjulurkan lidah, mendayung, bertinju, atau bersepeda. Episode apneu dapat
disebabkan oleh kejang, diagnosis ini dipertimbangkan jika terdapat respon
yang lambat terhadap ventilasi dengan balon dan sungkup khususnya pada
neonates preterm dengan lesi intrakranial. 2
Gerakan yang menyerupai kejang pada BBL
1. Apneu
Pada BBLR biasanya pernapasan tidak teratur, diselingi dengan
berhentinya pernapasan 3-6 detik dan sering diikuti hiperpnea selam 10-50
detik. Bentuk pernapasan ini disebabkan belum sempurnanya pernapasan di
batang otak dan berhubungan denagn derajat prematuritas.
Serangan apneu yang termasuk gejala kejang apabila disertai dengan bentuk
serangan kejang yang lain dan tidak disertai bradikardia. Serangan apne tiba-
tiba disertai kesadaran menurun pada bayi berat lahir rendah perlu dicurigai
adanya perdarahan intrakranial dengan penekanan pada batang otak. Pada
keadaan ini USG perlu segera dikerjakan.2
2. Jitterness
Jitterness adalah fenomena yang sering terjadi pada BBL normal dan
harus dibedakan dengan kejang. Jitterness lebih sering pada bayi yang lahir
dari ibu yang menggunakan mariyuana, dapat menjadi tanda dari sindroma
abstinensia BBL. Bentuk gerakan adalah tremor simetris dengan frekuensi
yang cepat 5-6 kali per detik. Jitterness tidak termasuk wajah (tidak seperti
kejang subtle) merupakan akibat dari sensitifitas terhadap stimulus dan akan
mereda jika anggota gerak ditahan.
Manifestasi klinis Jitterness Kejang
a. Gerakan abnormal
mata
- +
33
b. Peka terhadap
rangsang
+ -
c. Bentuk gerakan
dominan
Tremor Klonik
d. Gerakan dapat
dihentikan dengan fleksi
pasif
+ _
e. Perubahan fungsi
autonom
- +
f. Perubahan pada tanda
vital dan penurunan
saturasi oksigen
+ _
Tabel 3. Perbedaan jitterness dan kejang2
3.Hiperekpleksia
Merupakan kelainan yang ditandai dengan hioertoni. Respon kejut ini
dapat terlihat seperti kejang mioklonik dan keluarnya suara dengan nada
tinggi. Hiperekpleksia kemungkinan sama dengan kondisi yang sebelumnya
disebut dengan sindroma stiff – baby herediter. Meslkipun gambaran EEG
normal, spasme tonik dapat berbahaya dan terapi sangat diperlukan 7
4. Spasme
Spasme pada tetanus neonatorum hampir mirip dengan kejang, tetapi
kedua hal tersebut harus dibedakan karena manajemen keduanya yang
berbeda.
G. Diagnosis
Diagnosis kejang pada BBL didasarkan pada anamnesis yang lengkap, riwayat
yang berhubungan dengan penyebab penyakitnya, manifestasi klinis kejang,
pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Faktor resiko :
- Riwayat kejang dalam keluarga
34
Riwayat yang menyatakan adanya kejang pada masa BBL pada anak
terdahulu atau bayi meninggal pada masa BBL tanpa diketahui penyebabnya.
- Riwayat kehamilan/ prenatal
Infeksi TORCH atau infeksi lain saat ibu hamil
Preeklamsia, gawat janin
Pemakaian obat golongan narkotika, metadon
Imunisasi anti tetanus, Rubela
- Riwayat persalinan
Asfiksia, episode hipoksik
Trauma persalinan
KPD (Ketuban Pecah Dini)
Anestesi lokal/ blok
- Riwayat pascanatal
Infeksi BBL, keadaan bayi yang tiba-tiba memburuk
Bayi dengan pewarnaan kuning dan timbulnya dini
Perawatan tali pusat tidak bersih dan kering, infeksi tali pusat
Kejang oleh suara bising atau karena prosedur perawatan
Waktu atau awitan kejang mungkin berhubungan dengan etiologi
Bentuk gerakan abnormal yang terjadi 1,2,13
2. Pemeriksaan fisik
Inspeksi dan palpasi kepala : depresi, fraktur, moulase yang terlalu hebat
Transluminasi membantu diagnosis penimbunan cairan di subdural
setempat, atau adanya kelainan kongenital seperti porensefali atau
hidransefali. Bila ubun-ubun menonjol tanpa tanda-tanda infeksi selaput
otak dilakukan tap subdural secara hati-hati.11
Funduskopi sangat penting : perdarahan retina menunjukan kemungkinan
perdarahn intrakranial, koriorenitis dapat terjadi pada toxoplasmosis,
infeksi cytomegalo virus atau rubella. Adanya stasis vaskuler dengan
pelebaran vena dengan bentuk berkelok-kelok ditemukan pada sindrom
hiperviskositas. 9
Pemeriksaan jantung dan paru
Pemeriksaan kulit : petekie, sianosis, ikterus, dsb
35
Pemeriksaan abdomen : hepatosplenomegali
Pemeriksaan neurologis : bentuk kejang, hemysnydrome, hilangnya reflex
moro, dsb
3. Pemeriksaan Laborat: Glukosa darah, Kalsium dan magnesium darah,
Pemeriksaan darah lengkap, diferensiasi leukosit dan trombosit, Elektrolit,
Analisis Gas Darah, Analisis dan kultur cairan serebrospinalis, Kultur darah.
4. Pemeriksaan lainnya
Titer TORCH
kadar amonia
USG kepala dan asam amino dalam urine.
EEG: Normal pada sekitar 1/3 kasus
USG kepala: Untuk perdarahan dan luka parut
CT Scan: Untuk mendiagnosis malformasi dan perdarahan otak 11
H. Diagnosis Banding
- Hipoglikemia
- Tetanus neonatorum
- Meningitis
- Asfiksia neonatorum
- Perdarahan intraventrikuler 2
I. Komplikasi
- Malformasi otak (15-20%)
- Retardasi mental
- Serebral palsy
J. Penatalaksanaan
Langkah pertama dalam manajemen kejang adalah Pertahankan homeostasis
sistemik (pertahankan jalan nafas, usaha nafas dan sirkulasi). O2 harus mulai,
IV akses harus diamankan, dan darah harus dikumpulkan untuk gula dan
penyelidikan lain. Sejarah relevan harus diperoleh dan cepat klinis
36
pemeriksaan harus dilakukan. Semua ini seharusnya tidak membutuhkan
lebih dari 2-5 menit.
Terapi etiologi spesifik :
- Dekstrose 10% 2 ml/kg BB intravena bolus pelan dalam 5 menit
- Kalsium glukonas 10 % 200 mg/kg BB intravena (2 ml/kg BB) diencerkan
akuades sama banyak diberikan secara intra vena dalam 5 menit (bila
diduga hipokalsemia)
- Antibiotika bila dicurigai sepsis atau meningitis
- Piridoksin 50 mg IV sebagai terapeutik trial pada defisiensi piridoksin,
kejang akan berhenti dalam beberapa menit 10,12
Terapi anti kejang :
- Fenobarbital : Loading dose 10-20 mg/kg BB intramuskuler dalam 5
menit, jika tidak berhenti dapat diulang dengan dosis 10 mg/kgBB
sebanyak 2 kali dengan selang waktu 30 menit.
- Bila kejang berlanjut diberikan fenitoin: loading dose 15-20 mg/kg BB
intra vena dalam 30 menit.
- Rumatan fenobarbital dosis 3-5 mg/kgBB/hari dapat diberikan secara
intramuskuler atau peroral dalam dosis terbagi tiap 12 jam, dimulai 12 jam
setelah loading dose.
- Rumatan fenitoin dosis 4-8 mg/kgBB/hari intravena atau peroral dalam
dosis terbagi tiap 12 jam. Penghentian obat anti kejang dapat dilakukan 2
minggu setelah bebas kejang dan penghentian obat anti kejang sebaiknya
dilakukan sebelum pulang kecuali didapatkan lesi otak bermakna pada
USG atau CT Scan kepala atau adanya tanda neurologi abnormal saat akan
pulang. 1,3,5
Obat lain :
Golongan Benzodiazepin
- Kelompok ini obat mungkin diperlukan dalam 15% dari neonatal kejang.
Benzodiazepines umum digunakan adalah diazepam, lorazepam,
midazolam, dan clonazepam. Diazepam umumnya dihindari karena untuk
durasi pendek tindakan, indeks terapeutik yang sempit, dan karena
kehadiran natrium benzoate sebagai pengawet. Lorazepam pilihan di atas
diazepam karena memiliki durasi yang lebih lama dari tindakan dan hasil
37
dalam kurang efek (sedation dan efek kardiovaskular). Midazolam adalah
bertindak lebih cepat daripada lorazepam dan dapat dikelola sebagai
sebuah infusi. Hal ini membutuhkan ketat pemantauan untuk depresi
pernapasan, apnea dan bradycardia. Dosis obat ini diberikan di bawah ini:
- Diazepam: bolus 0,25 mg/kg IV (0.5 mg/kg dubur); mungkin diulang 1 - 2
kali.
- Lorazepam: 0,05 mg/kg IV bolus lebih dari 2-5 menit; mungkin diulang
- Midazolam: 0,15 mg/kg IV bolus diikuti oleh infus 0.1 s.d. 0,4 mg/kg/jam.
- Clonazepam: 0.1%u20130.2 mg/kg IV bolus diikuti oleh infusi 10-30
mg/kg/hr. 2,13
K. Prognosis
Ini terutama tergantung pada penyebab primer gangguan ini atau
beratnya serangan. Pada kasus bayi hipoglikemia dari ibu diabetes atau
hipokalsemia akubat makan fosfat berlebihan, prognosisnya sangat baik.
Sebaliknya, anak dengan kejang yang bandel karena ensefalopati hipoksik-
iskemik atau kelainan sitoarkitektural otak biasanya tidak akan berespon
dengan anti konvulsan dan rentan terhadap status epileptikus dan kematian
awal. Tantangan pada dokter adalah untuk mengenali penderita yang akan
sembuh dengan pengpbatan segera dan mengjindari penundaan diagnosis yang
dapat menyebabkan cidera neurologis berat irreversibel. 8
a. Prognosisnya tergantung penyebab primer dan beratnya serangan.
b. Akhir-akhir ini prognosis bayi kejang lebih baik.
c. Prognosisnya buruk bila :
1. Nilai apgar menit ke 5 dibawah 6
2. Resusitasi yang tidak berhasil baik
3. Kejang yang berkepanjangan (prolonged seizures)
4. Kejang yang timbul <12 jam setelah lahir
5. Bayi berat badan lahir rendah
6. Adanya kelainan neurologik sampai bayi berumur 10 hari
7. Adanya problematika minum yang terus berlanjut
d. Best prognosis : hipocalcemia, defisiensi piridoksin, dan perdarahan
subarachnoid
38
e. Worse prognosis : hipoglikemia, anoxia, brain malformation. 8,11
I. KESIMPULAN
1. Kejang merupakan gangguan neurologis yang lazim pada kelompok umur
pediatri dan terjadi dengan frekuensi 4-6 kasus/1000 anak.
2. Kejang ini merupakan penyebab yang paling lazim untuk rujukan pada praktek
neurologi anak.
39
3. Neonatus menghadapi risiko khusus terserang kejang karena penyakit
metabolik, toksik, struktural, dan infeksi lebih mungkin menjadi nampak selama
waktu selama waktu ini daripada pada periode kehidupan lain kapanpun.
4. Kejang neonatus tidak sama dengan kejang pada anak atau orang dewasa
karena konvulsi tonik klonik cenderung tidak terjadi selama umur bulan pertama.
Proses pertumbuhan akson dan tonjolan dendrit juga mielinisasi tidak sempurna
pada otak neonatus. Discharge kejang karenanya tidak dapat dengan mudah
dijalarkan ke seluruh otak neonatus untuk menimbulkan kejang menyeluruh.
Dengan perawatan yang baik dan benar diharapkan akan memperkecil angka
kejadian kejang pada neonatus.
Neonatal Infeksi
2.1 Definisi
Sepsis neonatal adalah merupakan sindroma klinis dari penyakit sistemik
akibat infeksi selama satu bulan pertama kehidupan. Bakteri, virus, jamur, dan
protozoa dapat menyebabkan sepsis bayi baru lahir. Sepsis neonatal awitan dini
adalah kejadian sepsis pada neonates yang terjadi pada 72 jam setelah persalinan atau
5 – 7 hari pertama kehidupan. Infeksi dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan
40
jarang karena protozoa. Sepsis awitan dini lebih sering didapatkan pada bayi kurang
bulan. Sepsis berat ialah sepsis yang disertai disfungsi organ kardiovaskuler atau
disertai gangguan napas akut atau adanya gangguan dua organ lain (seperti gangguan
neurologis, hematologi, urogenital, dan hepatologi )
2.2 Klasifikasi
a. Sindrom Awitan Dini (Early Onset)
Sindrom awitan dini biasanya disebabkan oleh streptokokus B dan
L.monocytogenes. Sindrom awitan dini biasanya terjadi dalam 96 jam
kelahiran, biasanya dalam beberapa jam pertama kehidupan. Bayi premature
merupakan sekitar 30-50% jumlah pasien yang dilaporkan. Awitan biasanya
mendadak dan diikuti oleh perjalanan fulminan, dengan focus primer
peradangan pada paru, walaupun kadang-kadang ada meningitis. Apnea,
hipotensi, dan koagulasi intravascular diseminata menyebabkan perburukan
cepat dan sering menimbulkan kematian dalam 24 jam.
Pada pasien dengan gawat nafas, 60% menunjukkan roentgen dada dengan
pola retikuloglandular, dengan bronkogram udara yang tidak dapat dibedakan
dengan penyakit membrane hialin.
b. Sindrom Awitan Lanjut (Late Onset)
Biasanya terjadi dalan 2-4 minggu setelah kelahiran. Awitan berlangsung
tersembunyi. Kesulitan minum dan demam merupakan gejala yang paling
sering. Bayi dengan meningitis streptokokus B awitan lanjut jarang muncul
dengan hidrosefalus tanpa danya bukti akibat infeksi bakteri lain. Di antara
beonatus yang bertahan hidup melewati meningitis streptokokus grup B, 50%
akan menderita sejumlah kelainan neurologi, seperti keterbelakangan mental
yang berat, buta kortikalis, gangguan kejang, hidrosefalus, mikrosefalus, dan
kuadriparesis. Dapat pula timbul gejala sisa yang ringan, seperti tuli
sensorineural, hidrosefalus yang terhenti, kelambatan bahasa, dan
monoparesis.
c. Sindrom Lain
Kebanyakan infeksi neonatus tidak dapat dikategorikan dalam awitan lanjut
atau dini, tetapi meluas menjadi spectrum klinis yang lebar dan melibatkan
sejumlah organ. Berbagai manifestasi berikut telah dijumpai: selulitis, adenitis,
abses kulit kepala, impetigo, abses payudara, konjungtivitis, dan sebagainya.
Pada bakteremia transien asimtomatik, bayi secara klinis terlihat sehat, tetapi
41
biakan darah biasanya dilakukan karena ada riwayat komplikasi obstetrik pada
ibu. Biakan ulang sebelum terapi antimikroba diberikan biasanya steril.
2.3 Epidemiologi
Angka kejadian/insiden sepsis di negara yang sedang berkembang masih
cukup tinggi (18 pasien/1000 kelahiran) dibanding dengan negara maju (1-5 paien
/1000 kelahiran). Kejadian sepsis juga meningkat pada bayi kurang bulan (BKB) dan
berat badan lahir rendah (BBLR). Pada bayi berat lahir amat rendah (<1000 g)
kejadian sepsis terjadi pada 26 perseribu kelahiran dan keadaan ini berbeda bermakna
dengan bayi berat lahir antara 1000 – 2000 g yang angka kejadiannya antara 8-9
perseribu kelahiran. Demikian pula resiko kematian BBLR penderita sepsis lebih
tinggi bila dibandingkan dengan bayi cukup bulan.3 Secara Nasional kejadian/insiden
sepsis neonatorum belum ada.
Walaupun infeksi bakterial berperan penting dalam sepsis neonatal, tetapi
infeksi virus perlu dipertimbangkan. Dari pengumpulan data selama 5 tahun terakhir,
Shattuck (1992) melaporkan bahwa selain infeksi bakteri, infeksi virus khususnya
enterovirus berperan pula sebagai penyebab sepsis/meningitis neonatal. Dari tahun ke
tahun insiden sepsis tidak banyak mengalami perbaikan, sebaliknya angka kematian
memperlihatkan perbaikan yang bermakna. Di Inggris, angka kematian sepsis
neonatal pada tahun 1985 – 1987 (25 – 30%) menunjukkan penurunan yang bermakna
dibandingkan dengan tahun 1996 – 1997 (menjadi 10%).
2.4 Etiologi
Bakteri penyebab SNAD (sepsis neonatorum awitan dini) umumnya berasal
dari traktus genitalia maternal yang tidak menyebabkan penyakit pada ibu. Sementara
SNAL (sepsis neonatroum awitan lambat) umumnya disebabkan oleh infeksi
nosokomial seperti Staphylococcus coagulase-negatif, Enterococcus, dan
Staphylococcus aureus. Perjalanan penyakit SNAD biasanya lebih berat dan
cenderung menjadi fulminan, yang dapat berakhir dengan kematian.
Meningoensefalitis dan sepsis neonatorum diketahu dapat juga disebabkan
oleh infeksi dari adenovirus, enterovirus, atau coxsakievirus. Sebagai tambahan,
penyakit menular seksual (seperti gonorrhea, sifilis, virus herpes, sitomegalovirus,
hepatitis, HIV, rubella, toxoplasmosis, Trichomonas vaginalis, dan spesies Candida)
ditemukan juga dapat mengakibatkan sepsis neonatorum.
2.5 Patofisiologi
42
Mikroorganisme atau kuman penyebab infeksi dapat mencapai neonatus
melalui beberapa cara yaitu:
a. Pada masa antenatal atau sebelum lahir
Pada masa antenatal kuman dari ibu setelah melewati plasenta dan umbilikus
masuk ke dalam tubuh bayi melalui sirkulasi darah janin. Penyebab infeksi
adalah virus yang dapat menembus plasenta antara lain:virus rubella, herpes,
sitomegalo, koksaki, influenza, parotitis. Bakteri yang melalui jalur ini antara
lain: malaria, sipilis, dan toksoplasma.
b. Pada masa intranatal atau saat persalinan Infeksi saat persalinan terjadi karena
kuman yang ada pada vagina dan serviks naik mencapai korion dan amnion.
Akibatnya terjadi amnionitis dan korionitis, selanjutnya kuman melalui
umbilikus masuk ketubuh bayi. Cara lain yaitu pada saat persalinan, kemudian
menyebabkan infeksi pada janin dapat terjadi melalui kulit bayi atau port de
entre, saat bayi melewati jalan lahir yang terkontaminasi oleh kuman
( misalnya: herpes genetalia, candida albicans, gonorrhea).
c. Infeksi pascanatal atau sesudah melahirkan Infeksi yang terjadi sesudah
kelahiran umumnya terjadi sesudah kelahiran, terjadi akibat infeksi
nasokomial dari lingkungan di luar rahim (misalnya melalui alat-alat
penghisap lendir, selang endotrakea, infus, selang nasogastrik, botol minuman
atau dot). Perawat atau profesi lain yang ikut menangani bayi, dapat
menyebabkan terjadinya infeksi nasokomial. Infeksi juga dapat melalui luka
umbilikus.
Sepsis biasanya akan dimulai dengan adanya respon sistemik tubuh dengan
gambaran proses inflamasi, koagulopati, gangguan fibrinolisis yang selanjutnya
menimbulkan gangguan sirkulasi dan perfusi yang berakhir dengan gangguan fungsi
organ.
Berlainan dengan pasien dewasa, pada bayi baru lahir terdapat berbagai
tingkat defisiensi sistem pertahanan tubuh, sehingga respons sistemik pada janin dan
bayi baru lahir akan berlainan dengan pasien dewasa. Sebagai contoh, pada infeksi
awitan dini respon sistemik pada bayi baru lahir mungkin terjadi saat bayi masih
dalam kandungan. Keadaan ini dikenal dengan fetal inflammatory response syndrome
(FIRS), yaitu infeksi janin atau bayi baru lahir terjadi karena perjalanan infeksi kuman
vagina (ascanding infaction) atau infeksi yang menjalar secara hematogen dari ibu
yang menderita infeksi.
43
Dengan demikian konsep infeksi pada bayi baru lahir, khususnya pada infeksi
awitan dini, perjalanan penyakit bermula dengan FIRS kemudian sepsis, sepsis berat,
syok septik/renjatan septik, disfungsi multi organ dan akhirnya kematian.
Pada infeksi awitan lambat perjalanan penyakit infeksi tidak berbeda dengan
definisi pada anak. Dengan demikian, definisi sepsis neonatal ditegakkan apabila
terdapat keadaan SIRS/FIRS yang dipicu infeksi baik berbentuk tersangka (suspected)
infeksi ataupun terbukti (proven) infeksi. Selanjutnya dikemukakan, sepsis bayi baru
lahir ditegakkan bila ditemukan satu atau lebih kriteria FIRS/SIRS yang disertai
gambaran klinis sepsis.
Gambaran klinis sepsis bayi baru lahir tersebut bervariasi, karena itu kriteria
diagnostik harus pula mencakup pemeriksaan penunjuang baik pemeriksaan
laboratorium ataupun pemeriksaan khusus lainnya. Kriteria tersebut terkait dengan
perubahan yang terjadi dalam perjalanan penyakit infeksi. Perubahan tersebut dapat
dikelompokkan dalam berbagai variabel, antara lain variabel klinik, variabel
hemodinamik, variabel perfusi jaringan, dan variable inflamasi. Berbagai variable
inflamasi tersebut di atas merupakan respons sistemik yang ditemukan pada keadaan
FIRS/SIRS.
Sistem Imun Janin dan Bayi Baru Lahir Imunitas seluler (sel T) berawal di
dalam rahim. Respons imun primer (IgM) terhadap berbagai mikroorganisme dapat
dirangsang di dalam janin pada trimester ketiga kehamilan. Respons-respons imun
lain terhadap suatu antigen (IgG dan IgA), fagositosis neutrofil dan makrofag, dan
pembentukan zat-zat antara peradangan belum terdapat secara signifikan sampai 6-8
bulan setelah lahir. Hal ini membuat janin dan bayi baru lahir rentan terhadap infeksi
dan penyakit. Dalam uterus, antibody IgG ibu secara aktif dipindahkan melintasi sel-
sel plasenta dan dapat dideteksi di dalam tubuh bayi selama paling sedikit 6 bulan
setelah lahir. Antibodi-antibodi ini menghasilkan imunitas pasif terhadap berbagai
mikroorganisme bagi janin dan bayi. IgA dan immunoglobulin lain dapat sampai ke
bayi melalui air susu.
Dalam sistem imun, salah satu respon sistemik yang penting pada pasien
FIRS/SIRS adalah pembentukan sitokin. Sitokin yang terbentuk dalam proses infeksi
berfungsi sebagai regulator reaksi tubuh terhadap infeksi, inflamasi atau trauma.
Jumlah sitokin yang terkait dengan SIRS terus bertambah dan mencakup faktor
nekrosis tumor (TNF), interleukin (IL)-1,-6, dan -8, factor pengaktif trombosit
(platelet activating factor [PAF]) dan interferon. Sebagian sitokin (pro-inflammatory
44
cytokine seperti IL-1, IL-2 dan TNF-α) dapat memperburuk keadaan penyakit tetapi
sebagian lainnya (anti-inflammatory cytokine seperti IL-4 dan IL-10) bertindak
meredam infeksi dan mempertahankan homeostasis organ vital tubuh.
Baik sendirian ataupun kombinasi, produk-produk bakteri dan sitokin
proradang memicu respons fisiologis untuk menghentikan penyerbu (invader)
mikroba. Respons ini adalah:
(1) Aktivasi sistem komplemen
(2) Aktivasi faktor Hagenam (faktor XII), yang kemudian mencetuskan tingkatan-
tingkatan koagulasi
(3) Pelepasan hormon adrenokortikotropin dan beta-endorfin
(4) Rangsangan neutrofil polimorfonuklear
(5) Rangsangan sistem kalikrein kinin.TNF dan mediator radang lain meningkatkan
permeabilitas vascular, menimbulkan kebocoran kapiler difus, mengurangi
tonus vaskuler, dan terjadi ketidakseimbangan antara perfusi dan kenaikan
kebutuhan metabolik jaringan.
Pembentukan Tissue Factor (TF) yang bersamaan dengan faktor VII darah
akan berperan pada proses koagulasi. Kedua faktor tersebut menimbulkan aktivasi
faktor IX dan X sehingga terjadi proses hiperkoagulasi yang menyebabkan
pembentukan trombin yang berlebihan dan selanjutnya meningkatkan produksi fibrin
dari fibrinogen. Pada pasien sepsis, respon fibrinolisis yang biasa terlihat pada bayi
normal juga terganggu. Supresi fibrinolisis terjadi karena pembentukan plasminogen-
activator inhibitor-1 (PAI-1) yang dirangsang oleh mediator proinflamasi (TNF-α).2
Demikian pula pembentukan trombin yang berlebihan berperan dalam aktivasi
thrombin-activatable fibrinolysis inhibitor (TAFI) yaitu faktor yang menimbulkan
sepresi fibrinolisis.
Kedua faktor yang berperan dalam supresi ini mengakibatkan akumulasi fibrin
darah yang dapat menimbulkan mikrotrombin pada pembuluh darah kecil sehingga
terjadi gangguan sirkulasi. Gangguan tersebut mangakibatkan hipoksemia jaringan
dan hipo tensi sehingga terjadi disfungsi berbagai organ tubuh. Manifestasi disfungsi
multiorgan ini secara klinis dapat memperlihatkan gejala-gejala sindrom distres
pernapasan, hipotensi, gagal ginjal dan bila tidak teratasi akan diakhiri dengan
kematian pasien.
45
2.6 Faktor Resiko
Factor resiko terjadinya sepsis neonatorum dibagi atas faktor ibu, neonates dan
faktor lain-lain.
a. Faktor maternal terdiri dari:
1. Ruptur selaput ketuban yang lama
2. Persalinan prematur
3. Amnionitis klinis
4. Demam maternal
5. Manipulasi berlebihan selama proses persalinan
6. Persalinan yang lama
b. Pengaruh lingkungan yang dapat menjadi predisposisi bayi yang terkena sepsis,
tetapi tidak terbatas pada buruknya praktek cuci tangan dan teknik perawatan,
kateter umbilikus arteri dan vena, selang sentral, berbagai pemasangan kateter
selang trakeaeknologi invasive, dan pemberian susu formula.
c. Faktor penjamu meliputi jenis kelamin laki-laki, bayi prematur, berat badan lahir
rendah, dan kerusakan mekanisme pertahanan dari penjamu.
d. Faktor Predisposisi
Terdapat berbagai faktor predisposisi terjadinya sepsis, baik dari ibu maupun bayi
sehingga dapat dilakukan tindakan antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya
sepsis. Faktor predisposisi itu adalah: Penyakit yang di derita ibu selama
kehamilan, perawatan antenatal yang tidak memadai; Ibu menderita eklamsia,
diabetes mellitus; Pertolongan persalinan yang tidak higiene, partus lama, partus
dengan tindakan; Kelahiran kurang bulan, BBLR, cacat bawaan. Adanya trauma
lahir, asfiksia neonatus, tindakan invasif pada neonatus; Tidak menerapkan rawat
gabung. Sarana perawatan yang tidak baik, bangsal yang penuh sesak. Ketuban
pecah dini, amnion kental dan berbau; Pemberian minum melalui botol, dan
pemberian minum buatan.
1. Faktor resiko mayor
a. Ketuban pecah > 2 jam
b. Ibu demam saat intrapartum, suhu > 380C
c. Korioamnionitis
d. Denyut jantung janin menetap > 160 x/menit
e. Ketuban berbau
2. Faktor resiko minor
46
a. Ketuban pecah > 12 jam
b. Ibu demam saat intrapartum, suhu > 37,50C
c. Nilai Apgar rendah (menit ke-1 < 5 , menit ke-5 < 7).
d. Bayi berat lahir sangat rendah < 1.500 gram.
e. Usia gestasi < 37 minggu.
f. Kehamilan ganda
g. Keputihan yang tidak diobati
h. Infeksi saluran kemih (ISK)/ tersangka ISK yang tidak diobati
Umumnya, metode persalinan dilakukan dengan persalinan normal dan bedah
caesar. Metode yang dipilih akan terkait dengan angka kematian dan kesakitan, baik
bagi ibu maupun bayinya. Persalinan lewat bedah caesar terkait dengan kematian ibu
3 kali lebih besar dibandingkan persalinan normal. Angka kematian langsung akibat
persalinan caesar adalah sekitar 5.8 per 100.000 persalinan.
Di Amerika Serikat angka kelahiran caesar meningkat lebih dari 40 %, di
Eropa 30 %, Amerika Latin dan sebagian negara Asia mencapai 50% sejak 1996.
Penelitian juga menunjukkan, bayi yang dilahirkan dengan metoda caesar,
membutuhkan waktu kira-kira enam bulan untuk mencapai mikrobiota usus yang
serupa dengan bayi lahir normal, sehingga bayi Caesar memiliki resiko lebih tinggi
terhadap berbagai jenis penyakit. Saluran cerna penting artinya bagi kesehatan tubuh
manusia. Fungsi utama saluran cerna adalah mencerna dan menyerap zat gizi agar
kebutuhan tubuh dapat terpenuhi. Pada saluran cerna yang sehat mukosa usus mampu
menyerap mikronutrien penting dan menolak toksin serta patogen, dan dua pertiga
sistem kekebalan tubuh berada dalam saluran cerna.
Saluran cerna memiliki populasi mikroba yang beragam dan kompleks.
Mikrobiota saluran cerna ini mempengaruhi kesehatan dengan cara melindungi tubuh
dari serangan mikroorganisma patogen, merangsang sistem daya tahan tubuh,
membantu kinerja saluran cerna serta memproduksi vitamin-vitamin esensial.
Mikrobiota tersebut diperoleh sejak lahir dari mikrobiota ibu dan lingkungan.
Pada persalinan normal, bakteri dari ibu dan lingkungan sekitar membentuk
kolonisasi pada saluran cerna. Saat itu, bayi berpindah dari rahim ke lingkungan luar
melalui proses yang melibatkan kontraksi berjam-jam. Efeknya, bayi kontak secara
alami dengan mikrobiota ibu dan berkoloni diususnya. Mikrobiota, seperti
Bifidobacteria dan Lactobacilli, memegang peran utama mengaktifkan sistem
kekebalan.
47
Namun, bayi yang lahir secara caesar kurang terpapar mikroba pada saat
dilahirkan. Apalagi bayi yang dilahirkan caesar juga sering kali terpapar antibiotika di
masa awal kehidupannya. Akibatnya kolonisasi bakteri menguntungkan (probiotik) di
saluran cerna terhambat. Padahal inisiasi koloni bakteri yang diperoleh bayi saat
persalinan normal berpengaruh kuat pada perkembangan dan pematangan sistem
kekebalannya, yang pada akhirnya mempengaruhi kesehatan bayi.
Pada saat lahir, sistem daya tahan tubuh masih belum dapat berfungsi dengan
baik atau belum sempurna. Mikrobiota memiliki peranan yang penting dalam
pematangan sistem daya tahan tubuh, khususnya dalam membentuk toleransi oral
(mulut) dan mengurangi resiko alergi.
Terdapat dua cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan dominasi bakteri
baik di saluran cerna bayi. Pertama, memberikan suplemen bakteri baik secara
langsung. Kedua dengan mendukung pertumbuhan bakteri baik yang sudah ada diusus
dengan pemberian makanan yang tepat.
Diketahui, air susu ibu (ASI) mengandung gizi terbaik untuk bayi. ASI
mengandung bakteri-bakteri yang menguntungkan (probiotik), disamping karbohidrat
tertentu yang mendukung pertumbuhan Bifidobacteria. Bayi yang lahir mengonsumsi
probiotik akan memiliki mikrobiota menguntungkan dalam jumlah banyak disaluran
cernanya. Banyak bukti yang tersedia untuk mendukung penggunaan probiotik bagi
bayi dengan tujuan untuk membentuk kolonisasi mikrobiota saluran cerna yang sehat
dan menyeimbangkan sistem daya tahan tubuh, yang pada akhirnya akan
meningkatkan kesehatan dan mengurangi resiko alergi.
2.7 Diagnosis
Diagnosis sepsis neonatal sulit karena gambaran klinis pasien tidak spesifik.
Gejala sepsis klasik yang ditemukan pada anak lebih besar jarang ditemukan pada
bayi baru lahir. Tanda dan gejala sepsis neonatal tidak berbeda dengan gejala penyakit
non infeksi berat lain pada bayi baru lahir. Diagnosa
Gejala klinik neonates sehat adalah tampak bugar, menangis keras, minum
kuat, napas spontan dan teratur, aktif dan gerakan simetris, dengan umur kehamilan
37 – 42 minggu, berat lahir 2500 – 4000 gram dan tidak terdapat kelainan bawaan/
mayor.
Menegakkan diagnosa sepsis pada neonates tidak mudah karena gejala
kelainannya tidak spesifik, dapat menyerupai keadaan lain yang disebabkan oleh non
infeksi. Diagnosis sepsis pada neonates ditegakkan berdasarkan gejala klinik,
48
pemeriksaan laboratorium darah, pemeriksaan penunjang dan kultur darah sebagai
gold standard.
Manifestasi klinis sepsis neonatorum
Susunan syaraf pusat Letargi atau lunglai, mengantuk,
aktivitas berkurang Iritabel atau rewel
Kardiovaskuler Pucat, sianosis, dingin, chummy skin
Respiratorik Takipnu, apneu, merintih, retraksi
Saluran Pencernaan Muntah, diare, distensi abdomen
Hematologik Perdarahan, jaundice
Kulit Ruam, purpura, pustula
Gupte (2003) membuat skor neonatal sepsis berdasarkan factor resiko.
Skor ini menilai apakah bayi memerlukan skrining sepsis atau pemberuian
terapi medikamentosa. Aplikasi : bila skor 3 – 5 lakukan skrining sepsis; skor > 5
pertimbangkan terapi.
Faktor Skor
Prematuritas
Cairan amnion yang berbau busuk
Ibu demam
Asfiksia (nilai apgar menit 1 < 6)
Partus lama
Pemeriksaan vagina yang tidak bersih
Ketuban pecah dini
3
2
2
2
1
2
1
Sumber : Suraj Gupte, Neonatal Septicemia, 2003
Laboratorium
Pemeriksaan penunjang yang dianjurkan (Septic Marker)
1. Hitung leukosit (N 5.000/ul-30.000/ul)
2. Hitung trombosit (N> 15.000/ul)
3. IT tasio (rasio neutrofil imatur dengan neutrofil total): (N < 0,2) Usia 1 hari 3
hari 7 hari 14 hari 1 bulan IT rasio 0,16 0,12 0,12 0,12 0,12 4. CRP (N 1,0
mg/dl atau 10 mg/l) Beberapa uji laboratorium dapat membuktikan secara tidak
49
langsung adanya infeksi bakteri. Selain itu dapat pula dipertimbangkan
pemeriksaan kultur darah, cairan spinal, dan pemeriksaan urin. Jika terdapat
focus infeksi yang lain, dapat juga diperiksa pada lokasi tersebut.
4. Rontgen dada harus dilakukan sebagai bagian dari evaluasi diagnostik bayi yang
diduga sepsis. Pemeriksaan radiologi lain dapat diindikasikan bergantung dari
kondisi klinis tertentu. Ultrasonografi (USG), CT-Scan, dan MRI merupakan
teknik pencitraan paling berguna bila keadaan pasien mengizinkan.
FIRS/SIRS (Fetal inflammatory response syndrome) ditegakkan bila ditemukan dua
atau lebih keadaan : laju napas > 60 x/menit atau < 30 x/menit atau apnea dengan atau
tanpa retraksi dan desaturasi oksigen, suhu tubuh tidak stabil (< 360C atau > 37,50C),
waktu pengisian kapiler > 3 detik, hitung leukosit < 4.000 x 109/L atau > 34.000 x
109/L.
Dalam kurun waktu kurang lebih 2 dasawarsa terakhir beberapa pakar telah
menyusun kriteria diagnosis infeksi dan sepsis pada neonates berdasarkan sistim
scoring.
Sales Santos M, Bunye MO (1995) mengemukakan system scoring
hematologis untuk predoksi sepsis neonatorum, sebagai berikut :
Kriteria Skor
Peningkatan I/T rasio 1
Penurunan / peningkatan jumlah PMN total 1
I: M ≥ 0,3 1
Peningkatan jumlah PMN imatur 1
Peningkatan/penurunan jumlah lekosit total
sesuai umur
Bayi baru lahir ≥ 25.000/ mm3 atau ≤ 5000 /
mm3
1
50
Umur 12-24 jam ≥ 30.000/ mm3
Umur > 2 hr ≥ 21.000/ mm3
Perubahan PMN
≥ 3 vakuolisasi, toksik granular, Dohle bodies
1
Trombosit < 150.000/mm3 1
Sumber : the complete blood count and hematologic finding as screending criteria for
neonatal sepsis, 1995
Bila jumlah skor lebih atau sama dengan 3 maka kemungkinan besar sepsis.
Penggunaan skor ini harus disesuaikan dengan klinis.
2.8 Pencegahan
a. Pada masa antenatal
Perawatan antenatal meliputi pemeriksaan kesehatan ibu secara berkala,
imunisasi, pengobatan terhadap penyakit infeksi yang di derita ibu, asupan gizi
yang memadai, penanganan segera terhadap keadaan yang dapat menurunkan
kesehatan ibu dan janin, rujukan segera ketempat pelayanan yang memadai
bila diperlukan.
b. Pada saat persalinan
Perawatan ibu selama persalinan dilakukan secara aseptik, yang artinya dalam
melakukan pertolongan persalinan harus dilakukan tindakan aseptik. Tindakan
intervensi pada ibu dan bayi seminimal mungkin dilakukan (bila benar-benar
diperlukan). Mengawasi keadaan ibu dan janin yang baik selama proses
persalinan, melakukan rujukan secepatnya bila diperlukan dan menghindari
perlukaan kulit dan selaput lendir.
c. Sesudah persalinan
Perawatan sesudah lahir meliputi menerapkan rawat gabung bila bayi normal,
pemberian ASI secepatnya, mengupayakan lingkungan dan peralatan tetap
bersih, setiap bayi menggunakan peralatan tersendiri, perawatan luka
umbilikus secara steril. Tindakan invasif harus dilakukan dengan
memperhatikan prinsip-prinsip aseptik. Menghindari perlukaan selaput lendir
dan kulit, mencuci tangan dengan menggunakan larutan desinfektan sebelum
dan sesudah memegang setiap bayi. Pemantauan bayi secara teliti disertai
pendokumentasian data-data yang benar dan baik. Semua personel yang
51
menangani atau bertugas di kamar bayi harus sehat. Bayi yang berpenyakit
menular di isolasi, pemberian antibiotik secara rasional, sedapat mungkin
melalui pemantauan mikrobiologi dan tes resistensi.
2.9 Penatalaksanaan
Prinsip pengobatan sepsis neonatorum adalah mempertahankan metabolisme
tubuh dan memperbaiki keadaan umum dengan pemberian cairan intravena termasuk
kebutuhan nutrisi. Menurut Yu Victor Y.H dan Hans E. Monintja pemberian
antibiotik hendaknya memenuhi kriteria efektif berdasarkan hasil pemantauan
mikrobiologi, murah, dan mudah diperoleh, tidak toksik, dapat menembus sawar
darah otak atau dinding kapiler dalam otak yang memisahkan darah dari jaringan otak
dan dapat diberi secara parenteral. Pilihan obat yang diberikan ialah ampisilin dan
gentamisin atau ampisilin dan kloramfenikol, eritromisin atau sefalasporin atau obat
lain sesuai hasil tes resistensi.
Pemilihan antibiotik untuk terapi inisial mengacu pada jenis kuman penyebab
tersering dan pola resistensi kuman di masing-masing pusat kesehatan. Segera stelah
didapatkan hasil kultur darah, pemberian antibiotik disesuaikan dengan kuman
penyebab dan pola resistensinya.
Walaupun pemberian antibiotik masih merupakan tatalaksana utama
pengobatan sepsis neonatal, berbagai upaya pengobatan tambahan (adjunctive,
adjuvant therapy) bayak dilaporkan dalam upaya memperbaiki mortilitas
bayi.pengobatan tambahan atau terapi inkonvensional semacam ini selain mengatasi
berbagai defisiensi dan belum matangnya fungsi pertumbuhan tubuh bayi baru
lahir,juga dalam rangka mengatasi perubahan yang terjadi dalam perjalanan penyakit
dan cascade inflamasi pasien sepsis neonatal.
Pemilihan Antibiotik
Antibiotik Dosis Interval Keterangan
52
Amoxicillin 15 mg/kg 8 jam -
Azithromycin 5–10 mg/kg 24 jam Terapi dan
profilaksis pada
Pertussis
Clindamycin 5 mg/kg 6-8 jam -
Erythromycin 10 mg/kg 6-12 jam Infeksi Klamidial
pada neonates usia
lebih dari 1 bulan
Fluconazole 3-6 mg/kg 24-72 jam Infeksi candida
Flucytosine 12,5-37,5 mg/kg 8 jam -
Neomycin sulfate 33 mg/kg 8 jam Etiologi
gastroenteritis
Rifampisin 10 mg/kg
5 mg/kg
24 jam
12 jam
Untuk TB
Untuk profilaksis meningokokus
Terapi Tambahan
1. Pemberian immunoglobulin
Pemberian immunoglobulin secara intravena (Intravenous Immunoglobulin
IVIG). Pemberian immunoglobulin dilakukan dengan harapan
dapatmeningkatkan antibodi tubuh serta memperbaiki fagositosis dan
kemotaksis sel darah putih.
2. Pemberian Fresh Frozen Plasma (FFP)/ Tindakan transfusi tukar
Pemberian FFP diharapkan dapat mengatasi gangguan koagulasi yang diderita
pasien. Tindakan ini bertujuan untuk:
Mengeluarkan/mengurangi toksin atau produk bakteri serta mediator-
mediator penyebab sepsis
Memperbaiki perfusi perifer dan pulmonal dengan meningkatkan
kapasitas oksigen dalam darah
Memperbaiki sistem imun dengan adanya tambahan neutrofil dan
berbagai antibodi yang mungkin terkandung dalam darah donor.
53
3. Pemberian transfusi granulosit dikemukakan dapat memperbaiki pengobatan
pada penderita sepsis neonatorum. Hal ini terlihat dengan membaiknya sistem
imun yang menurun pada keadaan sepsis neonatal. Demikian pula pemberian
transfusi packed red blood cells bertujuan mengatasi keadaan anemia dan
menjamin oksigenisasi jaringan yang optimal pada pasien sepsis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Haslam R. Kejang Neonatus. Editor: Waldo E. Dalam: Buku Ilmu Kesehatan
Anak. Jakarta : EGC. 2000; (vol: 3 ed: 15) 2064-2066
2. Irawan G. Kejang dan spasme. Editor: Kosim M. Dalam: Buku Ajar
Neonatologi. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2008; (edisi 1) 226-249
3. Adre J. Neonatal seizures. Dalam : Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of
neonatal care; edisi ke-5. Boston : Lippincott Williams & Wilkins, 2004; 507-
23.
4. Depkes RI. Buku bagan MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda Sakit).
Metode tepat guna untuk paramedis, bidan dan dokter. Depkes RI, 2001.
5. Sankar J, Agarwal R. Seizures in the newborn. Department of Pediatrics. All
India Institute of Medical Sciences. Dimuat pada tahun 2010. Diunduh dari
http://www.newbornwhocc.org diakses tanggal 14 januari 2012
6. Khosim S, Indarso F, Irawan G, Hendrarto TW. Buku acuan pelatihan
pelayanan obstetri Neonatal Emergensi Dasar. Jakarta : Depkes RI, 2006; 84-
92
7. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Neonatology,
management, procedures, on call problems disease and drugs; edisi ke-5. New
York : Lange Books/Mc Graw-Hill, 2004; 310-3.
54
8. Mizrahi EM, Kellaway P. Characterization and classification. In Diagnosis
and
management of neonatal seizures. Lippincott-Raven, 1998; 15-35
9. Young TE, Mangum B. Neofax, edisi ke-7, 2004 : 154-155
10. Etika R. Kejang pada Neonatus. Dimuat pada tahun 2010. Diunduh dari
http://www.pediatrik.com/ Diakses tanggal 8 januari 2012.
11. Barbara J. Stoll. Infections of the Neonatal Infant. In Nelson Textbook of
Pediatrics 17th ed. USA: WB Saunders. 2004. p: 623-639..
12. L. S. Prod'hom, J.-M. Choffat, N. Frenck, M. Mazoumi, J.-P. Relier and A.
Torrado. Care of the Seriously Ill Neonate With Hyaline Membrane Disease
and With Sepsis (Sclerema Neonatorum). Pediatrics 1974;53;170-181.
13. Ann L Anderson-Berry, Ted Rosenkrantz. Neonatal Sepsis. 2011. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/964312 accessed at Oktober 10th,
2011.
14. Agus Harianto. Sepsis Neonatorum. 2010. Tersedia di:
http://www.pediatrik.com/isi03 Diakses tgl 10 Oktober 2011.
15. Ian R Friedland and George H McCracken. Sepsis dan Meningitis pada
Neonatus. Dalam: Buku Ajar Pediatri Rudolph. Vol. 1. Edisi 20. Jakart:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006. Hlm 601-610.
16. M. William, Louis, M. Bell, Peter M. Bingham. (2003). The 5-Minute
Pediatric Consult. Lippincott Williams and Witkins.
17. Merck Online Manual. Introduction to Neonatal Infection. Available at
http://www.merckmanuals.com/professional/sec19 Accessed at Oktober 10th,
2011.
18. Aminullah A. Masalah Terkini sepsis neonatorum. Dalam : Update in neonatal
infection. Pendidikan berkelanjutan IKA XL VIII. Jakarta 2005 : 1-13
19. Gerdes JS. Diagnosis and Management of Bacterial Infection in the Neonate.
Pediat Clin N Am 2004 : 939-59
20. Depkes RI. 2007. Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum. Jakarta : Depkes
21. World Health Organization. 2005. Report Perinatal Mortality.
22. Sepsis Neonatorum. Dalam Standard Pelayanan Medik RSUP DR.
SARDJITO. Edisi 2. Jogjakarta: Medika FK UGM; 2000; h. 35-6
55