107
UNIVERSITAS INDONESIA KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN IBU, KARAKTERISTIK BALITA, SUMBER PENCEMAR DALAM RUANG DAN LINGKUNGAN FISIK RUMAH DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS DTP CIBEBER KABUPATEN LEBAK PROPINSI BANTEN TAHUN 2011 SKRIPSI YUYU SRI RAHAYU 0906618122 FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT DEPOK JUNI 2011 Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

UNIVERSITAS INDONESIA

KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN IBU, KARAKTERISTIK BALITA, SUMBER

PENCEMAR DALAM RUANG DAN LINGKUNGAN FISIK RUMAH DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS DTP CIBEBER

KABUPATEN LEBAK PROPINSI BANTEN TAHUN 2011

SKRIPSI

YUYU SRI RAHAYU0906618122

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKATPROGRAM SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT

DEPOKJUNI 2011

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 2: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

UNIVERSITAS INDONESIA

KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN IBU, KARAKTERISTIK BALITA, SUMBER

PENCEMAR DALAM RUANG DAN LINGKUNGAN FISIK RUMAH DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS DTP CIBEBER

KABUPATEN LEBAK PROPINSI BANTEN TAHUN 2011

SKRIPSIDiajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kesehatan Masyarakat

YUYU SRI RAHAYU0906618122

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKATPROGRAM SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT

PEMINATAN KEBIDANAN KOMUNITASDEPOK

JUNI 2011

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 3: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar

Nama : YUYU SRI RAHAYU

NPM : 0906618122

Tanda Tangan :

Tanggal : 24 Juni 2011

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 4: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 5: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 6: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

i

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Yuyu Sri Rahayu

Tempat tanggal lahir : Lebak, 03 Mei 1979

Alamat : Kamp. Cikotok RT 02/ 03 Desa Cikotok Kecamatan

Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Banten 43294

Riwayat Pendidikan

1984 – 1986 : TK Pelita ANTAM Unit Pertambangan Emas Cikotok

1986 – 1992 : SD ANTAM Unit Pertambangan Emas Cikotok

1992 – 1995 : SMP Negeri 1 Cibeber

1995 – 1998 : Sekolah Menengah Umum Kornita IPB Bogor

1998 – 2001 : D III Kebidanan Depkes RI Rangkasbitung

2007– 2008 : D IV Kebidanan STIKIM Lenteng Agung Jakarta

2009 – Sekarang : S1 Peminatan Kebidanan Komunitas FKM-UI Depok

Riwayat Pekerjaan

2001–2002 : Rumah Sakit Islam Bogor

2002–2009 : Bidan Pelaksana Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi

Banten.

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 7: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Kejadian ISPA pada Balita Ditinjau Dari Pengetahuan Ibu, Karakteristik Balita, Sumber Pencemar Dalam Ruang Di Wilayah Kerja Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Banten Tahun 2011” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kesehatan masyarakat.

Proses penulisan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak yang tak ternilai harganya. Untuk itulah dengan ketulusan hati penulis banyak mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu drg. Sri Tjahyani Budi Utami, M.Kes selaku pembimbing akademik yang telah meluangkan waktu dan memberikan bimbingan dengan penuh kesabaran dalam penyelesaian skripsi ini.

2. Ibu Laila Fitria, SKM, MKM dan Ibu Rina F. Bahar, SKM. M.Kes, selaku penguji pada sidang skripsi yang telah memberi banyak masukan dan saran dalam proses skripsi ini.

3. Bapak dr. Erwan Susanto selaku Kepala Puskesmas DTP Cibeber yang telah memberikan izin kepada saya untuk melaksanakan penelitian di wilayah kerjanya.

4. Mama dan keluargaku tercinta yang telah memberi dukungan baik moril maupun materil untuk menyelesaikan pendidikan ini.

5. Teman-teman kelas D Peminatan Kebidanan Komunitas FKM UI angkatan II yang telah membantu dan memberikan dorongan dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu penyelesaian skripsi ini.

Semoga segala bantuan dan amal ibadah mereka mendapatkan pahala dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu segala kritik dan saran yang sifatnya membangun penulis terima dengan senang hati. Akhirnya semoga skripsi ini dapat diterima dan bermanfaat bagi kita semua.

Depok, Juni 2011

Penulis

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 8: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

iii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : YUYU SRI RAHAYUNPM : 0906618122Program Studi : S1 EkstensiPeminatan : Kebidanan KomunitasFakultas : Kesehatan MasyarakatJenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusif Royalti-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

“Kejadian ISPA Pada Balita Ditinjau Dari Pengetahuan Ibu, Karakteristik Balita, Sumber Pencemar Dalam Ruang Dan Lingkungan Fisik Rumah Di Wilayah Kerja

Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten Lebak Provinsi Banten Tahun 2011”

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : DepokPada tanggal : 24 Juni 2011

Yang Menyatakan

Yuyu Sri Rahayu

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 9: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

iv

ABSTRAK

Nama : YUYU SRI RAHAYUProgram Studi : Kesehatan MasyarakatJudul : Kejadian ISPA Pada Balita Ditinjau Dari Pengetahuan Ibu,

Karakteristik Balita, Sumber Pencemar Dalam Ruang Dan Lingkungan Fisik Rumah Di Wilayah Kerja Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Banten Tahun 2011

Di Indonesia, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) selalu menempati urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita. Diperkirakan, sebanyak 150.000 bayi / balita meninggal tiap tahun. Di wilayah Puskesmas DTP Cibeber dari tahun 2008 sampai 2010 yaitu 778 (24,3%), 231 (7,21%) dan 873 (27,3%) kasus ISPA pada balita.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengetahuan ibu, karakteristik balita, sumber pencemar udara dalam ruang, dan lingkungan fisik rumah dengan desain cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu yang memiliki balita yang ada di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Banten dengan jumlah sampel 106 responden. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara langsung terhadap responden dengan menggunakan kuesioner. Variabel penelitian ini adalah pengetahuan ibu, BBL balita, status ASI, status imunisasi, ventilasi, kepadatan hunian, adanya perokokdan bahan bakar memasak.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi balita yang menderita sakit ISPA 80,2%. Ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan ibu {OR= 4,333(95% CI : 1,596-11,768)}, BBL, status ASI, ventilasi {OR= 9,726, (95 CI : 2,132- 44,373)}, kepadatan hunian dan adanya perokok dalam rumah{ OR= 40,500 (95% CI: 10,466- 156,715)} terhadap kejadian ISPA pada balita.Berdasarkan hasil penelitian disarankan agar diupayakan peningkatan pengetahuan ibu mengenai penyakit ISPA, pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan, pemeriksaan rutin kehamilan untuk mencegah bayi lahir rendah, bagi anggota keluarga perokok untuk tidak merokok dalam rumah atau dekat dengan balita, dan mengupayakan ventilasi dan penghuni rumah yang memenuhi syarat kesehatan.

Kata Kunci : ISPA, Balita, Pengetahuan Ibu, sumber pencemar dalam ruang, dan lingkungan fisik rumah.

Daftar Bacaan : 53 (1997 – 2010)

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 10: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

v

ABSTRACT

Name : YUYU SRI RAHAYUStudy Programe : Public HealthTittle : Incident Of ARI Considered From Mother Knowledge, Child

Under Five Characteristic, Air Pollution Source Of Inside Room And Home Physical Environment In Working Area OfCibeber Community Health Centers To Care at Regency Of Lebak Banten Province 2011

In Indonesia, Acute Respiratory Infections (ISPA) always place first rank cause of infant and child death. It is estimated as much as 150,000 infants/children under five (Balita) die for each year. Number of cases of ISPA to balita in working area of Cibeber Community Health Centers to Care from 2008 up to 2010 is 778 (24.3%), 231 (7.21%), and 873 (27.3%).

This study aims to find out mother knowledge, balita characteristic, air pollution source of inside room, and home physical environment using cross sectional design. Study population are all of mothers who have child under five in there of samples are 106 respondents. Data were collected by direct interview to respondents using questionnaire. Variables in this study are mother knowledge, BBL of balita, ASI and immunization status, ventilation, population density, presence of smoker, and cooking fuel.

Study result shows that proportion of balita suffered from ISPA is 80.2%. There are meaning relationship between mother knowledge {OR= 4,333(95% CI : 1,596-11,768)}, Birth weigth, born, brestfeeding status, ventilation {OR= 9,726, (95% CI : 2,132- 44,373)} , population density, and presence of smoker inside house { OR= 40,500, 95% CI: 10,466- 156,715)} to incident of ISPA to child under five. Based on study result, it is suggested to do an efforts to increase mother knowledge regarding to ISPA disease, giving an exclusive ASI for 6 months, routine checking up of gestation to prevent low birth weight for infant, not smoke near balita or inside house for family member who is smoker, make a good ventilation and occupants which meet health requirements.

Key Words: ISPA, Balita, Mother Knowledge, Air Pollution Source, and Home Physical Environment

References : 53 (1997-2010)

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 11: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

vi

DAFTAR ISI

Halaman

PERNYATAAN ORISINALITASPERNYATAAN BEBAS PLAGIATLEMBAR PENGESAHANDAFTAR RIWAYAT HIDUP ------------------------------------------------------ iKATA PENGANTAR ---------------------------------------------------------------- iiPERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ------------------------------- - iiiABSTRAK ------------------------------------------------------------------------- --- ivABSTRACT --------------------------------------------------------------------------- vDAFTAR ISI --------------------------------------------------------------------------- viDAFTAR TABEL -------------------------------------------------------------------- viiiDAFTAR GAMBAR ----------------------------------------------------------------- ix

BAB I PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang------------------------------------------------------------ 11.2 Rumusan Masalah ------------------------------------------------------- 31.3 Pertanyaan Penelitian --------------------------------------------------- 31.4 Tujuan Penelitian -------------------------------------------------------- 41.5 Manfaat Penelitian ------------------------------------------------------- 51.6 Ruang Lingkup Penelitian ---------------------------------------------- 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA2.1 Infeksi Saluran Pernapasan Akut -------------------------------------- 7 2.1.1 Pengertian ----------------------------------------------------------- 7 2.1.2 Etiologi ISPA ------------------------------------------------------ 8 2.1.3 Patofisiologi ISPA ------------------------------------------------- 8 2.1.4 Tanda dan Gejala Penyakit ISPA -------------------------------- 10 2.1.5 Klasifikasi ISPA---------------------------------------------------- 11 2.1.6 Faktor Risiko ISPA ------------------------------------------------ 13 2.1.7 Penularan ISPA ---------------------------------------------------- 14 2.1.8 Pencegahan Penyakit ISPA -------------------------------------- 15 2.1.9 Cara Mengatasi Bahaya ISPA ----------------------------------- 16 2.1.10 Program Penanggulangan ISPA -------------------------------- 16 2.1.11 Permasalahan ISPA di Indonesia ----------------------------- 17 2.1.12 Penatalaksanaan ISPA ------------------------------------------- 18 2.1.13 Konsep Determinan Kelangsungan Hidup Anak ------------ 202.2 Rumah Sehat ------------------------------------------------------------- 222.3 Partikel -------------------------------------------------------------------- 242.4 Hubungan Kondisi Lingkungan Rumah dengan Gangguan Saluran Pernapasan ---------------------------------------------------------------- 252.5 Faktor-faktor risiko yang Mempengaruhi Kejadian ISPA pada Balita 25 2.5.1 Pengetahuan Ibu --------------------------------------------------- 27 2.5.2 Berat Bayi Lahir --------------------------------------------------- 30

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 12: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

vii

2.5.3 Status ASI ----------------------------------------------------------- 31 2.5.4 Status Imunisasi -------------------------------------------------- - 32 2.5.5 Ventilasi ----------------------------------------------------------- -- 33 2.5.6 Kepadatan Hunian ----------------------------------------------- - 34 2.5.7 Adanya Perokok dalam Rumah ---------------------------------- 35 2.5.8 Bahan Bakar Memasak -------------------------------------------- 37

BAB III KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Teori ----------------------------------------------------------- 383.2 Kerangka Konsep -------------------------------------------------------- 393.3 Hipotesis ------------------------------------------------------------------ 403.4 Definisi Operasional ---------------------------------------------------- 41

BAB IV METODE PENELITIAN4.1 Desain Penelitian -------------------------------------------------------- 434.2 Tempat dan Waktu Penelitian ------------------------------------------ 434.3 Populasi dan Sampel ---------------------------------------------------- 434.4 Cara Pengambilan Sampel --------------------------------------------- 444.5 Pengumpulan Data ------------------------------------------------------ 454.6 Pengolahan dan Tehnik Analisa Data --------------------------------- 45

BAB V HASIL PENELITIAN5.1 Gambaran Umum Wilayah Kerja Puskesmas DTP Cibeber ------ 435.2 Distribusi Frekuensi Variabel Independen dan Variabel Dependen 465.3 Hubungan Variabel Independen dengan Variabel Dependen ------ 49

BAB VI PEMBAHASAN6.1 Keterbatasan Penelitian ------------------------------------------------- 556.2 Hubungan Pengetahuan Ibu dan Pencemar Udara Ruang dengan Kejadian ISPA pada Balita ---------------------------------------------- 56 6.2.1 Kejadian ISPA pada Balita --------------------------------------- 56 6.2.2 Pengetahuan Ibu dengan Kejadian ISPA ----------------------- 56 6.2.3 Berat Badan Lahir dengan Kejadian ISPA --------------------- 57 6.2.4 Status ASI dengan Kejadian ISPA ------------------------------ 58 6.2.5 Status Imunisasi dengan Kejadian ISPA ----------------------- 58 6.2.6 Ventilasi dengan Kejadian Balita ------------------------------- 59 6.2.7 Kepadatan Hunian dengan Kejadian Balita -------------------- 60 6.2.8 Adanya perokok dalam rumah dengan Kejadian ISPA ------ 60 6.2.9 Bahan Bakar Memasak dengan Kejadian ISPA ---------------- 61

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN7.1 Kesimpulan ------------------------------------------------------------------------ 627.2 Saran -------------------------------------------------------------------------------- 62

DAFTAR PUSTAKALampiran

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 13: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 5.1.4 Distribusi Kepegawaian Puskesmas DTP Cibeber ----------------- 45

Tabel 5.1.5 Pola 10 Besar Penyakit Di Wilayah Kerja Puskesmas DTP Cibeber Tahun 2010 ---------------------------------------------------- 46

Tabel 5.2.1 Distribusi Frekuensi Kejadian ISPA --------------------------------- 46

Tabel 5.2.2 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Ibu ------------------------------- 46

Tabel 5.2.3 Distribusi Frekuensi Karakteristik Balita ----------------------- ---- 47

Tabel 5.2.4 Distribusi Frekuensi Lingkungan Fisik Rumah --------------------- 48

Tabel 5.2.5 Distribusi Frekuensi Sumber Pencemar Udara Dalam Ruang ---- 49

Tabel 5.3.1 Distribusi Responden Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian ISPA-- 50

Tabel 5.3.2 Distribusi Responden Karakteristik Balita Dengan Kejadian ISPA 52

Tabel 5.3.3 Distribusi Responden Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian ISPA----------------------------------------------------------- 53

Tabel 5.3.4 Distribusi Responden Sumber Pencemar Dalam Ruang Dengan Kejadian ISPA----------------------------------------------------------- 54

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 14: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Kerangka Teori ------------------------------------------------------- 36

Gambar 3.2 Kerangka konsep ----------------------------------------------------- 37

Gambar 5.1.2 Jumlah Penduduk ---------------------------------------------------- 44

Gambar 5.1.3 Pendidikan Terakhir Penduduk ------------------------------------ 44

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 15: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

1 Universitas Indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dikenal sebagai salah satu

penyebab kematian utama pada bayi dan balita, diperkirakan 13 juta anak balita di

dunia meninggal setiap tahun. Sebagian besar penelitian di Negara berkembang

menunjukkan bahwa diberbagai negara setiap tahunnya 20-30% kematian bayi

dan balita disebabkan karena menderita infeksi saluran nafas akut (ISPA).

Diperkirakan 2-5 juta bayi dan balita diberbagai negara setiap tahunnya.

Duapertiga dari kematian ini terjadi pada kelompok bayi, terutama bayi usia 2

bulan pertama sejak kelahiran. Kejadian infeksi pernapasan akut terutama bagian

atas, di Negara berkembang dilaporkan antara 4-7 kali per anak per tahun, ini

hampir sama terjadi di Amerika, Afrika dan Asia (WHO, 2008).

Di Indonesia, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) selalu menempati

urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita. Kematian

akibat ISPA terutama pneumonia di Indonesia pada akhir tahun 2000 sekitar

450.000 balita. Diperkirakan, sebanyak 150.000 bayi / balita meninggal tiap tahun

atau 12.500 korban per bulan atau 416 kasus sehari atau 17 anak per jam atau

seorang bayi / balita tiap lima menit (www.profilmedis.com, 2004).

Survei mortalitas yang dilakukan oleh Subdit ISPA tahun 2005

menempatkan ISPA/Pneumonia sebagai penyebab kematian bayi terbesar di

Indonesia dengan persentase 22,30% dari seluruh kematian balita.

Menurut hasil Riskesdas 2007 kejadian ISPA pada satu bulan terakhir

adalah 25,5% dengan prevalensi tertinggi terjadi pada usia balita yaitu 35%. Dan

menurut SDKI 2007 prevalensi ISPA tertinggi pada anak umur 24-35 bulan yaitu

sebanyak 14%.

Berdasar hasil survey, di Propinsi Banten terdapat 28,4% kasus ISPA balita,

dan untuk kabupaten Lebak terdapat sebanyak 35,0% kasus dengan gejala ISPA

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 16: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

2

Universitas Indonesia

pada balita (Riskesdas Banten, 2007). Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)

berada diurutan pertama dalam daftar 10 penyakit terbanyak di Wilayah Dinas

Kesehatan Kabupaten Lebak, dengan jumlah kasus ISPA balita pada tahun 2009

yaitu terdapat 31.280 (24,40%) kasus dan pada tahun 2010 sebanyak 57.051

(44,52%) kasus (Profil P2M Lebak, 2010).

Untuk dapat menanggulangi penyebaran ISPA tentu diperlukan pengetahuan

mengenai faktor-faktor risiko ISPA. Beberapa penelitian sudah banyak dilakukan

untuk mengetahui faktor pemicu maupun pencegah ISPA.

Di Negara berkembang, sekitar 24% infeksi saluran nafas kebanyakan

disebabkan oleh faktor-faktor yang berhubungan dengan lingkungan seperti polusi

udara dalam ruang maupun di luar ruangan, asap rokok (Etzel, 1997). Faktor-

faktor yang berhubungan dengan ISPA antara lain umur, jenis kelamin, status gizi,

berat badan lahir, status ASI, status imunisasi, kepadatan hunian, penggunaan anti

nyamuk bakar, bahan bakar untuk memasak dan keberadaan perokok. Selain itu

juga konsumsi vitamin A memiliki pengaruh terhadap timbulnya ISPA pada balita

( Anandari, 2007).

Sedangkan hasil dari analisis data Riskesdas 2007 diperoleh faktor-faktor

yang berhubungan signifikan dengan kejadian ISPA pada balita yaitu umur, status

gizi, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, bahan bakar masak, perokok dalam rumah,

jenis lantai dan outdoor pollution.

Puskesmas DTP Cibeber adalah salah satu puskesmas yang berada di

bagian tenggara wilayah kabupaten Lebak Propinsi Banten. Jarak dari puskesmas

kecamatan ke kabupaten dan dinas kesehatan kabupaten sejauh ± 165 km dengan

akses yang kurang baik. Menurut data puskesmas, ISPA merupakan urutan

pertama dalam daftar 10 besar penyakit. Dan jumlah kesakitan balita dengan

kasus ISPA dari tahun 2008 terdapat 778 (24,3%) kasus, kemudian pada tahun

2009 mengalami penurunan drastis yaitu 231 (7,21%) kasus, pada tahun 2010

melonjak naik menjadi 873 (27,3%) kasus dan pada tahun 2011 sampai dengan

bulan Mei terdapat 482 (20%) kasus ISPA balita (laporan Puskesmas, 2011).

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 17: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

3

Universitas Indonesia

Berdasarkan data di atas, masih tingginya kasus ISPA pada balita, penulis

merasa tertarik memilih Puskesmas DTP Cibeber kabupaten Lebak untuk

mengetahui pengetahuan ibu, karakteristik balita, sumber pencemar udara dalam

ruang dan lingkungan fisik rumah dengan kejadian ISPA pada balita.

I.2 Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang maka rumusan masalah pada penelitian ini

adalah adakah hubungannya antara pengetahuan ibu, karakteristik balita, sumber

pencemar udara dalam ruang dan lingkungan fisik rumah dengan kejadian ISPA

pada balita di wilayah kerja Puskesmas DTP CibeberKabupaten Lebak Propinsi

Banten.

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas

DTP Cibeber kabupaten Lebak Propinsi Banten?

2. Bagaimana gambaran pengetahuan ibu tentang ISPA di wilayah kerja

Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Banten?

3. Bagaimana gambaran karakteristik balita (berat bayi lahir, status imunisasi,

dan status ASI) di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber kabupaten Lebak

Propinsi Banten?

4. Bagaimana gambaran lingkungan fisik rumah (ventilasi dan kepadatan

penghuni) di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber kabupaten Lebak

Propinsi Banten?

5. Bagaimana gambaran pencemar udara dalam ruang ( adanya perokok dan

bahan bakar memasak) di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber kabupaten

Lebak Propinsi Banten?

6. Adakah hubungan antara pengetahuan ibu, karakteristik balita, lingkungan

fisik rumah dan pencemar udara dalam ruang dengan kejadian ISPA pada

balita di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi

Banten?

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 18: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

4

Universitas Indonesia

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan umum

Ingin mengetahui kejadian ISPA pada balita dengan faktor pengetahuan ibu,

karakteristik balita, sumber pencemar udara dalam ruang dan lingkungan fisik

rumah di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber kabupaten Lebak Propinsi

Banten tahun 2011.

1.4.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini antara lain:

1. Diketahuinya gambaran kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas

DTP Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Banten .

2. Diketahuinya pengetahuan ibu balita tentang ISPA di wilayah kerja

Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Banten.

3. Diketahuinya karakteristik balita (berat bayi lahir, status imunisasi, status

ASI) di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber kabupaten Lebak Propinsi

Banten.

4. Diketahuinya pencemaran udara dalam ruang ( bahan bakar memasak dan

keberadan perokok) di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber kabupaten

Lebak Propinsi Banten.

5. Diketahuinya lingkungan fisik rumah (ventilasi dan kepadatan penghuni) di

wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber kabupaten Lebak Propinsi Banten.

6. Diketahuinya hubungan antara pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA pada

balita di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi

Banten.

7. Diketahuinya hubungan antara karakteristik balita (umur, berat bayi lahir,

status imunisasi, dan status ASI) dengan kejadian ISPA di wilayah kerja

Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Banten

8. Diketahuinya hubungan antara sumber pencemar udara dalam ruang dengan

kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber

Kabupaten Lebak Propinsi Banten.

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 19: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

5

Universitas Indonesia

9. Diketahuinya hubungan antara lingkungan fisik rumah dengan kejadian ISPA

pada balita di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber kabupaten Lebak

Propinsi Banten.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat bagi peneliti lain

Penelitian ini dapat dijadikan bahan acuan awal bagi penelitian selanjutnya,

terutama untuk penelitian sejenis yang terkait dengan kejadian ISPA.

1.5.2 Manfaat bagi puskesmas

Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi petugas kesehatan khususnya

pengelola program KIA, program P2 ISPA dan bagian promosi kesehatan

dalam memberikan informasi guna merencanakan program pencegahan dan

penanganan terhadap kejadian ISPA.

1.5.3 Manfaat bagi masyarakat

Hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk masyarakat sebagai informasi

dalam mengurangi kejadian ISPA pada balita di wilayahnya.

1.5.4 Manfaat bagi peneliti

Penelitian ini dapat memberi informasi dan menambah wawasan mengenai

faktor pengetahuan ibu dan pencemaran udara dalam rumah yang

mempengaruhi kejadian ISPA pada balita di wilayah Puskesmas DTP

Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Banten.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengukur keadaan kondisi fisik rumah,

sumber pencemar dalam ruang, pengetahuan ibu dan karakteristik balita dengan

kejadian ISPA pada balita. Penelitian ini dilakukan di wilayah Puskesmas DTP

Cibeber Kabupaten Lebak pada bulan Mei- Juni 2011.

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 20: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

6

Universitas Indonesia

Desain studi yang digunakan adalah Cross Sectional yaitu rancangan studi

penelitian yang bertujuan untuk mempelajari dinamika hubungan antara

pengetahuan ibu terhadap pencemaran udara dalam rumah dengan kejadian ISPA

pada balita dengan cara melakukan pengumpulan data secara bersamaan (point

time approach), menggunakan teknik wawancara dan pengamatan dengan

menggunakan kuesioner, Populasi dari penelitian ini adalah seluruh ibu balita

yang berada di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber, dan sebagai sampelnya

sebanyak 106 ibu yang memiliki balita yang telah memiliki kriteria inklusi.

Adapun cara pengumpulan data diperoleh dari data sekunder, dan data

primer didapat dari hasil wawancara dan pengamatan di lapangan saat melakukan

penelitian baik terhadap KMS balita dan kondisi fisik rumah dan sumber

pencemar udara dalam ruang. Yang kemudian diolah menggunakan sistem

komputerisasi dan disajikan dalam bentuk narasi dan tabel, selanjutnya

menganalisis ada tidaknya hubungan antara pengetahuan ibu, karakteristik balita,

sumber pencemar udara dalam ruang dan lingkungan fisik rumah terhadap

kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten

Lebak Banten.

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 21: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

7 Universitas Indonesia

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Saluran Pernapasan Akut

2.1.1 Pengertian

ISPA merupakan singkatan dari infeksi saluran pernapasan akut dan mulai

diperkenalkan pada tahun 1984, dengan istilah Acute Respiratory infectious

(ARI). Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) mengandung tiga unsur, yaitu

infeksi, saluran pernapasan dan akut. Yang dimaksud dengan infeksi adalah

masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak

sehingga menimbulkan gejala penyakit. Saluran pernapasan adalah organ yang

dimulai dari hidung sampai alveoli beserta organ adneksanya, seperti sinus-sinus,

rongga telinga tengah dan pleura. Sedangkan infeksi akut adalah infeksi yang

berlangsung sampai dengan 14 hari (Depkes, 2006)

ISPA adalah penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian dan

atau lebih dari saluran napas mulai dari hidung, hingga alveoli termasuk jaringan

adneksanya. Infeksi saluran pernapasan meliputi infeksi saluran pernapasan

bagian atas, seperti nasopharyngitis, pharyngo, dan epiglotitis, dan infeksi saluran

pernapasan bagian bawah, seperti laryngitis, tracheobronchitis dan bronchitis

pneumonia (Depkes, 2006).

Infeksi saluran napas bagian atas adalah infeksi yang disebabkan

mikroorganisme di struktur saluran napas yang tidak berfungsi saat pertukaran

gas, termasuk rongga hidung, faring, dan laring yang dikenal dengan ISPA antara

lain pilek, faringitis atau radang tenggorok, laryngitis, dan influenza tanpa

komplikasi.

Saluran pernapasan bagian atas terdiri dari hidung, faring, laring, dan

epiglotis, yang berfungsi menyaring, menghangatkan, dan melembabkan udara

yang dihirup.

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 22: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

8

Universitas Indonesia

2.1.2 Etiologi ISPA

Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan ricketsia.

Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus streptokokus, stapilokokus,

pneumokokus, hemofilus, bordetela dan korinebakterium. Virus penyebab ISPA

antara lain adalah golongan mikrovirus, adenovirus, koronavirus, pikornavirus,

mikoplasma, herpesvirus, dan lain-lain (Depkes, 2006).

Menurut Catsel, et.al. (1991), virus yang terdapat dalam saluran pernapasan

dibagi atas beberapa macam yaitu:

1. Virus respiratory syncytial, menyebabkan bronchiolitis

2. Virus parainfluenza, khususnya tipe 1 menyebabkan sebagian kasus croup,

bisa menimbulkan infeksi saluran pernapasan atas dan bronchitis.

3. Virus influenza A dan B menyebabkan infeksi saluran pernapasan atas selama

epidemic.

4. Adenovirus, menyebabkan penyakit saluran pernapasan simptomatik ringan

atau konjungtivitis, bisa menyebabkan pneumonia fatal.

5. Rhinovirus, menyebabkan infeksi koriza, infeksi virus Coxsackie terbatas pada

saluran pernapasan atas. Tipe A menyebabkan herpangina dan

tonsilopharingitis. Virus Coe (A21) menyebabkan infeksi saluran pernapasan.

2.1.3 Patofisiologi ISPA

Sebagian besar ISPA disebabkan oleh virus, meskipun bakteri juga dapat

terlibat sejak awal atau yang bersifat sekunder terhadap infeksi virus. Semua yang

infeksi mengakibatkan respon imun dan inflamasi sehingga terjadi pembengkakan

dan edema jaringan yang terinfeksi. Reaksi inflamasi menyebabkan peningkatan

produksi mukus yang berperan menimbulkan ISPA, yaitu kongesti atau hidung

tersumbat, sputum berlebih, dan rabas hidung (pilek). Sakit kepala, demam ringan

juga dapat terjadi akibat reaksi inflamasi.

Meskipun saluran napas atas secara langsung terpajan dengan lingkungan,

infeksi relative jarang meluas menjadi infeksi saluran napas bawah yang

mengenai bronchus atau alveolus. Terdapat banyak mekanismae perlindungan di

sepanjang saluran napas untuk mencegah infeksi.

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 23: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

9

Universitas Indonesia

Range dari mikroba pathogen yang menginfeksi bervariasi sangat luas

seperti bakteri, mycobacterium, myoplasma, chlamidia, jamur dan virus. Padahal

karakteristik biologis, gambaran perilaku dan lingkungan dari organisme-

organisme ini berbeda satu sama lainnya dalam menimbulkan penyakit

pernapasan (Gwaltney, et.al., 2001 dalam Ariyanto, 2008).

Agen infeksius memasuki saluran pernapasan dapat dengan cara:

penyebaran secara homogen, atau dengan inhalasi, ataupun dengan aspirasi ke

dalam saluran tracheobronchial. Diperkirakan hanya 10-15% anak-anak dengan

pneumonia yang penyebarluasan penyakit pneumonia balita adalah melalui

mekanisme nonhematogen.

Saluran pernapasan memiliki kemampuan untuk menyaring dan menangkap

kuman pathogen yang masuk dengan cara Refleks batuk, yaitu dengan

mengeluarkan benda asing dan mikroorganisme, serta mengeluarkan mukus yang

terakumulasi dan mukosyliaris. Lapisan mukosiliaris yaitu lapisan yang terdiri

dari sel-sel yang beralokasi dari bronkus ke atas dan mempunyai produksi mukus,

serta sel-sel silia yang melapisi sel-sel penghasil mukus. Sel penghasil mukus

menangkap partikel benda asing, dan silia bergerak secara ritmik untuk

mendorong mukus dan semua partikel yang terperangkap, ke atas cabang

pernapasan ke nasofaring tempat mukus tersebut dapat dikeluarkan sebagai

sputum, dikeluarkan melalui hidung atau ditelan. Proses kompleks ini kadang

disebut sebagai system escalator mukosiliaris. Silia adalah struktur lembut yang

mudah rusak atau cedera oleh berbagai stimulus berbahaya, termasuk asap rokok.

Apabila mikroorganisme dapat lolos dari mekanisme pertahanan tersebut

dan membuat koloni di saluran pernapasan atas, bagian penting pertahanan ketiga

system imun, akan bekerja untuk mencegah mikroorganisme tersebut sampai ke

saluran napas bawah. Respon ini diperantarai oleh limfosit, tetapi melibatkan sel

darah putih lainnya (Corwin, 2009).

Seperti Kanra, et.al (1997) dalam Ariyanto (2008) mengatakan, makrophag

alveolar akan mengeliminasi organisme yang mencapai alveoli. Eliminasi

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 24: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

10

Universitas Indonesia

organisme infeksius diperkuat oleh imununoglobulin G dan A serta faktor lainnya,

sebagai pelengkap seperti antiprotease, lysoszyme, dan fibronectin.

Kondisi yang mendukung keadaan yang menyebabkan menurunnya daya

tahan tubuh, antara lain: infeksi virus yang menyebabkan menurunnya daya tahan

pada saluran pernapasan, dilakukannya tindakan endotracheal dan traechostomy,

obat-obat yang berdampak pada reflek batuk, menghambat pergerakan

mucosiliaris (Kanra, et.al., 1997 dalam Ariyanto, 2008).

2.1.4 Tanda dan Gejala Penyakit ISPA

Penyakit infeksi saluran pernapasan meliputi infeksi pada telinga,

tenggorokan (pharynx) trachea, bronchioli, dan paru. Tanda dan gejala penyakit

infeksi saluran pernapasan: batuk, sakit tenggorokan, pilek, demam, kesulitan

bernapas dan sakit telinga. Berdasarkan tingkat keparahannya, infeksi saluran

pernapasan akut di bagi menjadi tiga kelompok yaitu:

1. ISPA ringan

Gejalanya antara lain adalah:

a. Batuk

b. Serak yaitu anak bersuara bersuara parau ketika mengeluarkan suara

(misalnya pada saat berbicara atau menangis)

c. Pilek yakni anak mengeluarkan lender/ingus dari hidung

d. Panas atau demam, suhu badan lebih dari 370C atau jika dahi anak diraba

dengan punggung tangan terasa panas.

2. ISPA sedang

Anak dinyatakan menderita ISPA sedang, bila dijumpai gejal-gejala ISPA

ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala berikut:

a. Pernapasan lebih dari 50 kali permenit pada anak berumur kurang dari satu

tahun atau lebih dari 40 kali permanit pada anak yang berumur satu tahun

atau lebih.

b. Suhu lebih dari 390C

c. Tenggorokan berwarna merah

d. Timbul bercak-bercak pada kulit menyerupai bercak campak

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 25: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

11

Universitas Indonesia

e. Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga

f. Pernapasan berbunyi seperti mendengkur

g. Pernapasan berbunyi menciut-ciut

3. ISPA berat

Anak dinyatakan ISPA berat, jika dijumpai gejala-gejala ISPA ringan dan

sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala berikut:

a. Bibir atau kulit membiru

b. Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada saat bernapas

c. Anak tidak sadar atau kesadarannya menurun

d. Pernapasan berbunyi seperti mengorok, menciut dan anak tampak gelisah

e. Sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernapas

f. Nadi cepat lebih dari 60 kali permanit atau tak teraba

g. Tenggorokan berwarna merah

Pada tahun 1998 World Health Organization telah mempublikasikan pola

baru tatalaksana penderita ISPA. Kriteria untuk menggunakan pola tatalaksana

penderita ISPA adalah: balita, dengan gejala batuk dan atau kesukaran bernapas.

Pola tatalaksana penderita ini terdiri dari 4 bagian yaitu:

a) Pemeriksaan

b) Penentuan ada tidaknya tanda bahaya

c) Penentuan klasifikasi penyakit

d) Pengobatan dan tindakan

2.1.5 Klasifikasi ISPA

Dalam penentuan klasifikasi penyakit dibedakan atas dua golongan umur

yaitu gologan umur 2 bulan sampai dengan < 5 tahun dan golongan umur < 2

bulan (Depkes, 2006).

1. Golongan umur 2 bulan sampai dengan < 5 tahun klasifikasi dibagi atas:

a. Pneumonia berat

Bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan di dinding dada bagian bawah

ke dalam pada waktu anak menarik napas ( pada saat diperiksa anak harus

dalam keadaa tenang, tidak menangis atau meronta).

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 26: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

12

Universitas Indonesia

b. Pneumonia

Bila disertai napas cepat. Batas napas cepat adalah:

1) Untuk usia 2 bulan -12 bulan = 50 kali per menit atau lebih

2) Untuk usia 1-4 tahun = 40 kali per menit atau lebih

c. Bukan pneumonia

Bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada napas

cepat.

“Tanda Bahaya” untuk golongan umur 2 bulan – 5 tahun yaitu:

1) Tidak bisa minum

2) Kejang

3) Kesadaran menurun

4) Stidor

5) Gizi buruk (Depkes, 1996)

2. Untuk kelompok umur < 2 bulan klasifikasi dibagi atas:

a. Pneumonia berat

Bila disertai salah satu tanda tarikan kuat di dinding pada bagian bawah atau

napas cepat. Batas napas cepat untuk golongan umur kurang dari 2 bulan yaitu

60 kali per menit atau lebih.

b. Bukan pneumonia

Bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding dada bagian bawah atau napas

cepat.

“Tanda Bahaya” untuk golongan umur kurang dari 2 bulan, yaitu:

1) Kurang bisa minum ( kemampuan minumnya menurun sampai kurang dari

½ volume yang biasa diminum).

2) Kejang

3) Kesadaran menurun

4) Stridor

5) Wheezing

6) Demam/dingin

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 27: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

13

Universitas Indonesia

2.1.6 Faktor Risiko ISPA

Berdasarkan hasil penelitian dari berbagai Negara termasuk Indonesia dan

berbagai publikasi ilmiah, dilaporkan berbagai faktor risiko baik yang

meningkatkan insiden (morbiditas) maupun kematian (mortalitas) akibat ISPA

terutama pneumonia:

1. Faktor risiko yang meningkatkan insiden ISPA (Depkes, 2006)

a. Umur < 2 bulan

b. Laki-laki

c. Gizi kurang

d. Berat badan lahir rendah

e. Tidak mendapat ASI memadai

f. Polusi udara

g. Kepadatan tempat tinggal

h. Imunisasi yang tidak memadai

i. Membedong anak

j. Defisiensi vitamin A

k. Pemberian makanan tambahan terlalu dini

2. Faktor risiko yang meningkatkan angka kematian ISPA (Depkes, 2006)

a. Umur < 2 bulan

b. Tingkat sosial ekonomi rendah

c. Kurang gizi

d. Berat badan lahir

e. Tingkat pendidikan ibu yang rendah

f. Tingkat jangkauan pelayanan kesehatan yang rendah

g. Kepadatan tempat tinggal

h. Imunisasi yang tidak memadai

i. Menderita penyakit kronis

j. Aspek kepercayaan setempat dalam praktek pencarian pengobatan yang

salah.

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 28: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

14

Universitas Indonesia

Faktor risiko yang berhubungan dengan individu dan lingkungan pada

kejadian pneumonia di klinik anak pada Negara berkembang (Buletin WHO,

2008) :

1. Faktor risiko terbatas

a. Kekurangan gizi (berat menurut umur z score < –2 )

b. Berat lahir rendah (< 2500 g)

c. Tidak ASI eksklusif (selama 4 bulan pertama)

d. Tidak imunisasi campak (selama usia 12 bulan pertama)

e. Pencemaran udara dalam rumah

f. Kepadatan hunian

2. Faktor risiko mungkin

a. Keluarga yang merokok

b. Kekurangan seng

c. Pengalaman ibu dalam pemberian pengobatan

d. Penyakit penyerta (misalnya. diare, penyakit jantung, asma)

3. Faktor risiko kemungkinan

a. Pendidikan ibu

b. Pengasuh anak

c. Curah hujan (kelembaban)

d. Dataran tinggi (udara dingin)

e. Defisiensi Vitamin A

f. Jumlah paritas

g. Pencemaran udara luar

2.1.7 Penularan ISPA

Adanya ketertarikan bahwa ada penularan lewat udara yang dapat

menimbulkan penyakit pernapasan terjadi pada abad ke-19 menurut Williams

Wells. Konsep ini memperkenalkan adanya droplet nuclei, suatu partikel infeksius

yang amat kecil berukuran < 10μ, yang terdapat di udara. Modus transmisi ini

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 29: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

15

Universitas Indonesia

menjadi hal yang penting dalam epidemiologis perkembangan riwayat pada

penyakit pernapasan. Karena beberapa hal menunjukkan bahwa tidak semua

respiratory pathogen bertransmisi dengan cara yang sama (Gwaltney, et.al., 2001).

Kuman penyakit ISPA ditularkan dari penderita ke orang lain melalui udara

pernapasan atau percikan ludah penderita. Pada prinsipnya kuman ISPA yang ada

di udara terhisap oleh pejamu baru dan masuk ke seluruh saluran pernapasan. Dari

saluran pernapasan kuman menyebar ke seluruh tubuh apabila orang yang

terinfeksi ini rentan, maka ia akan terkena ISPA (Depkes RI, 1999).

Menurut Amin (1989) dalam Mudehir (2002) proses penyebaran Infeksi

Saluran Pernafasan akut dikenal dengan 3 cara, yaitu:

1. Melalui Aerosol lembut, seperti batuk

2. Melalui Aerosol keras, seperti batuk dan bersih

3. Melalui aerosol lebih keras, seperti batuk dan bersin melalui kontak langsung/

tidak langsung dengan benda-benda yang telah terkontaminasi (hand to hand

transmission).

2.1.8 Pencegahan Penyakit ISPA

Pencegahan dilakukan agar anak bisa bebas dari serangan ISPA atau

terjadinya ISPA pada anak balita dapat berkurang.

Sesuai dengan cara terjadinya ISPA, maka cara pencegahan menurut dr. Runizar

Roesin dan dr. Indriyono (1985) dalam Ariyanto perlu dilakukan terhadap :

1. Menghindarkan anak dari kuman

a. Menghindarkan anak berdekatan dengan penderita ISPA, karena kuman

penyebab ISPA sangat mudah menular dari satu orang ke orang lain.

b. Jika seorang ibu menderita ISPA sedangkan ia butuh mengasuh anak atau

menyusui bayinya, ibu tersebut harus menutup hidung dan mulutnya

dengan sapu tangan.

2. Meningkatkan daya tahan tubuh anak

Meningkatkan daya tahan dapat dilakukan dengan jalan berikut ini :

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 30: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

16

Universitas Indonesia

a. Menjaga gizi anak tetap baik dengan memberikan makanan yang cukup

bergizi (cukup protein, kalori, lemak, vitamin dan mineral). Bayi-bayi

sedapat mungkin mendapat air susu ibu sampai usia 2 tahun.

b. Kebersihan anak harus dijaga agar tidak mudah terserang penyakit

menular.

c. Memberikan kekebalan kepada anak dengan memberikan imunisasi.

3. Memperbaiki lingkungan

Untuk mencegah ISPA, lingkungan harus diperbaiki khususnya lingkungan

perumahan.

a. Rumah harus berjendela agar aliran dan pertukaran udara cukup baik.

b. Asap dapur dan asap rokok tidak boleh berkumpul dalam rumah. Orang

dewasa tidak boleh merokok dekat anak atau bayi.

c. Rumah harus kering tidak boleh lembab.

4. Sinar matahari pagi harus diusahakan agar dapat masuk ke rumah.

5. Rumah tidak boleh terlalu padat dengan penghuni.

6. Kebersihan di dalam dan di luar rumah harus dijaga, rumah harus mempunyai

jamban yang sehat, dan sumber air bersih.

7. Air buangan dan pembuangan sampah harus diatur dengan baik, agar nyamuk,

lalat dan tikus tidak berkeliaran di dalam dan di sekitar rumah.

2.1.9 Cara Mengatasi Bahaya ISPA

Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah bahaya ISPA pada balita

antara lain:

1. Segera membawa balita ke tempat pelayanan kesehatan terdekat ( Puskesmas

atau Rumah Sakit) atau menghubungi kader kesehatan terdekat bila

ditemukan disertai adanya kesulitan bernafas.

2. Semua bayi umur di bawah 2 bulan yang menderita batuk pilek segera di bawa

ke tempat pelayanan kesehatan terdekat.

2.1.10 Program Penanggulngan ISPA

Pemberantasan penyakit ISPA di Indonesia dimulai pada tahun1984,

bersamaan dengan dilancarkannya Pemberantasan penyakit ISPA ditingkat global

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 31: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

17

Universitas Indonesia

oleh WHO. Dalam tatalaksana ISPA tahun1984, dengan klsifikasi penyakit ISPA:

ISPA ringan, sedang dan berat. Pada tahun 1988, WHO mempublikasikan cara

diagnosis yang sederhana, praktis, dan tepat guna, dipisahkan antara tatalaksana

klasifikasi penyakit pneumonia dan penyakit infeksi akut telinga dan tenggorokan.

Pada lokakarya Nasional ke-3 tahun1990 disepakati pola tatalaksana yang

diadaptasisesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Sejak tahun 1990 ini

pemberantasan ISPA dititikberatkan dan difokuskan pada pengendalian

pneumonia balita (Depkes, 2006).

Kebijakan pemerintah yang mendukung program ISPA antara lain

Keputusan Presiden No.36 tahun 1990 tentang KonvensiHak-Hak Anak dan

UNdang-Undang No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembanguna Nasional

2000-2004. Salah satu sasaran yang akan dicapai adalah menurunkan angka

kesakitan balita akibat pneumonia pada balita menjadi 3 per 1000 kelahiran hidup.

Target dalam menurunkan angka kesakitan balita akibat pneumonia adalah dari

10-20% pada tahun 2000 menjadi 8- 16% pada tahun 2005 (Depkes, 2005).

2.1.11 Permasalahan ISPA di Indonesia

Sumber daya manusia (SDM) yang terlibat dalam program pengendalian

penyakit (P2) ISPA meliputi kader, petugas kesehatan yang memberikan

tatalaksana ISPA disarana pelayanan kesehatan (polindes, pustu, puskesmas,

Rumah Sakit, poliklinik), pengelola program ISPA di puskesmas, kabupaten/kota,

provinsi dan pusat. Upaya peningkatan kualitas SDM P2 ISPA dilaksanakan

diberbagai jenjang melalui kegiatan diantaranya; pelatihan ISPA bagi kader,

pelatihan tatalaksana penderita (diintegrasikan dalam pelatihan MTBS), pelatihan

autopsy verbal, pelatihan audit kasus, pelatihan audit manajemen, pelatihan

promosi P2 ISPA dan pelatihan tatalaksana kasus ISPA balita di sarana pelayanan

kesehatan. Pelaksanaan kegiatan ini dilakukan baik di tingkat pusat, provinsi, dan

kab/kota. Meskipun demikian hingga saat ini kuantitas dan kualitas SDM petugas

P2 ISPA dirasakan masih kurang (Depkes, 2006).

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 32: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

18

Universitas Indonesia

2.12 Penatalaksanaan ISPA

Di Indonesia, ISPA khususnya pneumonia merupakan penyebab kematian

utama. Dari sekitar 450.000 kematian balita yang terjadi setiap tahun diperkirakan

ada 150.000kematian balita yang disebabkan oleh ISPA. Ini berarti ada 410

kematian balita oleh penyakit ISPA(pneumonia) (Depkes, 2006).

1. Program Pengendalian ISPA

Program pengendalian ISPA yang dilakukan oleh pemerintah mempunyai

tujuan utama yaitu :

a. Menekankan/ mengurangi kematian oleh pneumonia pada balita.

b. Mengurangi penggunaan antibiotika dan obat yang kurang tepat pada

pengobatan penyakit ISPA.

c. Menurunkan kesakitan pneumonia pada kelompok balita.

Strategi utama untuk menurunkan kematian akibat pneumonia adalah dengan

cara penemuan dini dan pengobatan secara tepat. Prinsip pengobatan bagi

penderita ISPA (Depkes, 2006).

a. Penderita batuk pilek biasa (batuk yang tidak disertai napas cepat/ sesak

napas) tidak perlu diberi antibiotic. Mereka memerlukan paracetamol bila

demam dan obat untuk meringankan batuk.

b. Penderita batuk yang disertai napas cepat (pneumonia) harus mendapatka

antibiotic selama 5 hari. Antibiotik jenis kotrimoksazol, amoksicillin,

ampicillin atau penicillin.

c. Penderita batuk yang disertai napas sesak (pneumonia berat) perlu dirujuk

ke Rumah Sakit atau puskesmas dengan fasilitas rawat inap.

Strategi WHO dalam penanggulangan ISPA antara lain:

a. Meningkatkan cakupan imunisasi

b. Case manajemen ISPA

c. Imbauan agar para ibu mencari pengobatan pada petugas kesehatan yang

terlatih sedini mungkin.

Kurangnya informasi yang berkaitan dengan pengetahuan dalam

menghadapi ISPA, cara pengobatan di rumah, dan pencarian pengobatan di luar

rumah. Program penanggulangan ISPA yang dilaksanakan secara nasional akan

lebih efisien bila banyak dilakukan pada peningkatan cara ibu mengenali ISPA

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 33: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

19

Universitas Indonesia

dan cara pencarian pengobatan yang efektif dan efisien, supaya mortalitas dan

morbiditas bayi dan balita menurun secara bermakna, jika dibandingkan dengan

hanya mengandalkan petugas kesehatan saja. Maka dengan bertumpu pada

keberhasilan peningkatan pengetahuan ibu akan menurunkan angka kematian dan

kesakitan bayi dan balita khususnya dalam program penanggulangan ISPA di

Indonesia.

2. Penanggulangan ISPA

Menurut (Biddulp et.al, 1999 dalam Ariyanto,2008) cara penanggulangan

penyakit ISPA dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu :

a. Pendidikan Kesehatan

Pendidikan kesehatan terutama diarahkan kepada pencegahan penyakit

ISPA yaitu:

a) Primordial Prevention : yang bertujuan menghindari faktor risiko bila

faktor tersebut belum ditemukan dalam masyarakat, misalnya

penderita batuk, asap rokok, yang menyebabkan risiko tinggi terhadap

terjadinya ISPA perlu dihindari dengan cepat.

b) Primary Prevention yang bertujuan untuk mengurangi atau merubah

faktor risiko yang telah ada baik pada individu maupun masyarakat,

misalnya bagaimana mengurangi kepadatan penghuni, memperbaiki

ventilasi rumah,membuat system dapur sedemikian rupa sehingga

dapat membatasi penghisapan asap dari kompor. Pencegahan penyakit

ISPA khususnya pada anak-anak, maka pendidikan kesehatan

diarahkan terutama pada ibu-ibu.

b. Pengendalian Infeksi ISPA

Pengendalian ISPA yang dimaksud adalah pengobatan ISPA, baik ISPA

bagian atas maupun ISPA bagian bawah. Pengendalian diupayakan

supaya, ISPA bagian atas tidak menimbulkan komplikasi dan bagaimana

supaya ISPA bagian bawah tidak terlalu parah.

c. Imunisasi

Program imunisasi yang bertujuan untuk mencegah penyakit tertentu

seperti difteri, campak dan pertusis dapat mengurangi terjadinya

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 34: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

20

Universitas Indonesia

pneumonia karena penyakit-penyakit tersebut dapat berkomplikasi dengan

ISPA bagian bawah.

2.13 Konsep Determinan Kelangsungan Hidup Anak

Variabel-variabel yang diidentifikasi berhubungan atau berpengaruh, baik

secara langsung maupun tidak langsung terhadap risiko kesakitan dan kematian

anak, dalam ilmu kesehatan masyarakat dan kedokteran biasanya hanya mencakup

faktor-faktor yang berkaitan dengan kesakitan (morbiditas) anak dan kematian

(mortalitas) anak. Sedangkan dalam ilmu sosial termasuk dalam ilmu demografi,

mencakup variabel-variabel secara tidak langsung. Faktor penyebab langsung

(proximate determinants) yaitu faktor ibu, faktor nutrisi, faktor lingkungan dan

faktor prilaku. Determinan tidak langsung adalah sosial ekonomi budaya, yang

mempengaruhi risiko kesakitan dan kematian anak melalui faktor-faktor langsung.

(Monsley, et.al, 1984 dalam Ariyanto, 2008).

1. Faktor Determinan Langsung

a. Faktor Lingkungan

Pencemaran lingkungan dapat terjadi di udara, air, makanan, tempat cuci, kulit

dan vector. Pencemaran tersebut dapat dideteksi dengan pemeriksaan di

laboratorium. Di dalam studi kesehatan masyarakat da indikator tertentu yang

dijadikan standar pemeriksaan, misalnya indikator fisik yang diperkirakan

munculnya penyakit infeksi seperti kepadatan anggota rumah, luas rumah, luas

lantai, jenis atap, dinding dan sebagainya.

b. Faktor Nutrisi

Nutrisi berperan penting terhadap risiko kematian bayi, dari pola makanan

dapat menggambarkan masukan bahan bergizi ke dalam tubuh balita dan

akibat dari kekurangan gizi mengakibatkan munculnya penyakit-penyakit

infeksi pada tubuh.

c. Faktor perilaku

Faktor perilaku dapat dilihat dari anak atau pengasuhnya (ibu) dalam upaya

pencegahan penyakit (imunisasi, prophylaxis atau pemeriksaan prenatal bagi

ibu). Dari segi kuratif misalnyapencarian pengibatan waktu sakit, termasuk

pengobatan tradisional. Kebiasaan hiduop anak sangat penting diperhatikan

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 35: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

21

Universitas Indonesia

(kebiasaan mandi memakai sabun, frekuensi ganti makanan, kebiasaan

memakai alas kaki).

2. Faktor Determinan Sosial Ekonomi

Faktor ini dapat dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu :

a. Faktor- faktor pada tingkat individu

a) Produktivitas individu, dipengaruhi oleh keterampilan (tingkat

pendidikan), kesehatan dan waktu.

b) Faktor bapak/ ibu, sangat ditentukan dengan tingkat pendidikan yang

berkaitan dengan macam pekerjaan dan kekayaan. Tingkat pendidikan

bapak/ ibu mempengaruhi sikap dalam kehidupan keluarga terhadap

tindakan/ perilaku yang dapat memperkecil risiko terhadap kematian

anak.

c) Faktor ibu, hubungan biologis yang erat antara ibu dan anak selama

hamil dan menyusui, maka kesehatan ibu dan status gizi ibu serta pola

reproduksi ibu sangat mempengaruhi kesehatan dan ketahanan anak

untuk tetap hidup. Tingkat pendidikan ibu sangat menentukan tindakan

atau pilihan-pilihan untuk menyelamatkan anak dan peningkatan

ketahanan anak.

b. Faktor- faktor pada tingkat keluarga

Faktor ini berhubungan dengan bentuk benda, jasa dan kekayaan dalam

rumah tangga yang mempengaruhi ketahanan anak untuk hidup.

a) Keteraturan mendapatkan makanan untuk memenuhi kebutuhan dari

bahan bergizi, kebersihan makanan sangat penting dalam mencegah

penyakit.

b) Kuantitas dan kualitas air untuk memenuhi kebutuhan minimal bagi

rumah tangga dan kehidupan rumah tangga.

c) Pakaian dengan jumlah yang cukup dan bersih bagi anak dan ibu sangat

berpengaruh terhadap risiko terkena penyakit infeksi pada balita.

d) Luas dan kualitas rumah tinggal sangat penting, terutama lubang-lubang

ventilasi dan lubang-lubang untuk sinar matahari berpengaruh terhadap

risiko terkena penyakit. Pembagian ruang dalam rumah, khususnya

untuk tidur dll.

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 36: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

22

Universitas Indonesia

e) Informasi tentang hidup sehat dan tempat-tempat mendapatkan

perawatan preventif atau kuratif. Informasi dan penerangan gizi sangat

penting terhadap ketahanan bayi/ balita.

c. Faktor- faktor pada tingkat masyarakat

a) Keadaan ekologi, sangat berpengaruh terhadap risiko kesakitan dan

kematian balita, misalnya suhu, musim, curah hujan, kelembaban udara

dan sebagainya.

b) Lembaga-lembaga masyarakat

Lembaga ini menentukan sekali dalam menghadapi permasalahan

kesehatan misalnya ada dana sehat, kelompok sukarelawan dalam

pengendalian dan penanggulangan penyakit, dana sosial dan sebagainya.

c) Sistem kesehatan

Sistem ini meliputi tindakan-tindakan pemerintah untuk pencegahan

seperti imunisasi, pengendalian penyakit menular, sistem rujukan,

sistem pelayanan masyarakat serta infrastruktur kesehatan.

2.2 Rumah Sehat

Seperti tertera dalam keputusan Menteri Kesehatan RI No. 829/Menkes/

SK/ VII/ 1999, tertanggal 20 juli 1999 bahwa rumah merupakan salah satu

kebutuhan dasar manusia yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian yang

digunakan untuk berlindung dari gangguan iklim dan makhluk hidup lainnya,

serta tempat pengembangan kehidupan keluarga. Sedangakn kesehatan rumah itu

sendiri berarti adalah kondisi fisik, kimia dan biologis di dalam rumah,

lingkungan rumah dan perumahan, sehingga memungkinkan penghuni atau

masyarakat memperoleh derajat kesehatan yang optimal.

2.2.1 Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah

1. Bahan Bangunan

Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepaskan zat-zat yang dapat

membahayakan kesehatan antara lain:

a. Debu total tidak lebih dari 150 μg/m3

b. Asbes bebas tidak melebihi 0,5 fiber/m3/4 jam.

c. Timah hitam tidak melebihi 300 mg/kg.

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 37: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

23

Universitas Indonesia

d. Tidak terbuat bahan yang menjadi tumbuh dan berkembang biaknya

mikroorganisme pathogen.

2. Komponen dan penataan Ruang Rumah

Komponen rumah harus memenuhi persyaratan fisik dan biologis sebagai

berikut:

a. Lantai kedap air dan mudah dibersihkan.

b. Dinding :

a) Di ruang tidur, ruang keluarga dilengkapi dengan sarana ventilasi

untuk pengaturan sirkulasi udara.

b) Di kamar mandi dan kamar cuci harus kedap air dan mudah

dibersihkan.

c. Langit-langit harus mudah dibersihkan dan tidak rawan kecelakaan.

d. Bumbungan rumah memiliki tinggi 10 meter atau lebih harus dilengkapi

dengan penangkal petir.

e. Ruang di dalam rumah harus ditata agar berfungsi sebagai ruang tamu,

ruang keluarga, ruang makan, ruang tidur, ruang dapur, ruang mandi,

ruang bermain anak.

f. Ruang dapur harus dilengkapi dengan sarana pembuangan asap.

3. Pencahayaan

Pencahayaan alam dan atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat

menerangi seluruh ruangan minimal intensitasnya 60 lux dan tidak

menyilaukan.

4. Kualitas Udara

Kualitas udara di dalam rumah tidak melebihi ketentuan sebagai berikut:

a. Suhu udara nyaman berkisar sampai 180 sampai 300 celcius.

b. Kelembaban udara berkisar antara 40% sampai 70%.

c. Konsentrasi gas SO2 tidak melebihi 0,10 ppm/24 jam.

d. Pertukaran udara (air exchange rate) = 5 kaki kubik per menit per

penghuni.

e. Konsentrasi gas CO tidak melebihi 100 ppm/8 jam.

f. Konsentrasi gas CO tidak melebihi 100 ppm/8 jam.

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 38: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

24

Universitas Indonesia

5. Ventilasi

Luas penghawaan atau ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% dari

luas lantai.

6. Kepadatan hunian

Luas ruang tidur minimal 8 meter, atau tidak dianjurkan digunakan lebih dari

2 orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak dibawah 5 tahun.

2.3 Partikel

Parameter yang diukur dalam menentukan kualitas udara salah satunya

adalah partikulat, baik di dalam maupun di luar ruangan. Partikel dapat berupa

debu padat atau titik-titik cair. Dalam pengendalian polusi udara, maka pajanan

partikulat terhadap gangguan saluran pernapasan terutama dari dalam rumah

(indoor particles). Indoor particles ini berasal dari hasil pembakaran

mikroorganisme yang bersal dari tubuh manusia, hewan, atau tanaman dan

allergen dari debu rumah, binatang atau serangga (Sunu, 2001).

Partikulat total yang terdiri dari partikel-partikel berukuran > 10μm disebut

sebagai respiable particulate. Fraksi proporsi respirable particulat juga dapat

terdiri dari berbagai campuran komposisi partikulat, tetapi memiliki probabilitas

yang lebih tinggi untuk dapat masuk ke dalam saluran napas bagian bawah karena

diameter partikel yang lebih kecil (< 10μm ) secara potensial dapat melewati

mekanisme pertahanan saluran napas atas ( Koren, 2002).

Partikel yang berdiameter lebih dari 5 mikron akan terhenti dan berkumpul

terutama pada hidung dan tenggorokan. Meskipun partikel tersebut sebagian dapat

masuk paru-paru tetapi tidak pernah lebih jauh dari kantung-kantung udara atau

bronchi, bahkan segera dapat dikeluarkan oleh gerakan silia. Partikel dengan

diameter 0,5-5,0 mikron dapat berkumpul di paru-paru sampai bronchioli, dan

hanya sebagian kecil sampai alveoli. Partikel yang berdiameter kurang dari 0,5

mikron dapat mencapai dan tinggal dalam alveoli ( Fardiaz, 1992).

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 39: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

25

Universitas Indonesia

2.4 Hubungan Kondisi Lingkungan Rumah Dengan Gangguan Saluran

Pernapasan

Salah satu gangguan yang mungkin disebabkan oleh pencemaran udara

dalam ruangan (indoor) adalah infeksi saluran pernapasan akut. ISPA dapat

meliputi bagian atas saja dan atau bahkan bagian bawah seperti laryngitis,

tracheobronchitis, bronchitis dan pnemonia (Depkes RI, 1993). Secara garis

besarnya, kualitas udara dalam ruangan dipengaruhi oleh asap dalam ruangan

yang bersumber dari perokok, penggunaan bahan bakar kayu / arang /minyak

tanah dan penggunaan obat nyamuk bakar. Disamping itu ditentukan oleh

ventilasi, tata ruangan dan kepadatan penghuninya.

Manusia sebagai makhluk hidup sangat bergantung pada udara untuk

kelangsungan hidupnya. Kualitas udara yang buruk akan meningkatkan terjadinya

penyakit saluran pernapasan diantaranya ; (Kusnoputranto, 2000)

1. ISPA karena ventilasi tidak adekuat dan kepadatan hunian sehingga infeksi

silang meningkat

2. Asma dan penyakit alergi lainnya terutama pada balita yang disebabkan oleh

asap rokok

3. Bronchitis kronis

4. Meningkatnya risiko kanker paru yang disebabkan asap rokok, dan polutan

dari luar rumah

5. Penyakit TBC.

2.5 Faktor- Faktor Risiko Yang Mempengaruhi Kejadian ISPA Pada Balita

Kejadian ISPA terkait erat dengan pengetahuan tentang ISPA yang dimiliki

oleh masyarakat khususnya ibu, karena ibu sebagai penanggung jawab utama

dalam pemeliharaan kesejahteraan keluarga. Mereka mengurus rumah tangga,

menyiapkan keperluan rumah tangga, merawat keluarga yang sakit, dan lain

sebagainya. Pada masa balita dimana balita masih sangat tergantung kepada

ibunya, sangatlah jelas peranan ibu dalam menentukan kualitas kesejahteraan

anaknya” (Nadesul, 2002).

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 40: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

26

Universitas Indonesia

Kondisi udara dalam rumah yang tercemar (mengalami polusi) ini perlu

dicegah dalam rangka menurunkan kejadian ISPA pada balita. Hal ini diperkuat

hasil kajian yang dilakukan oleh UNICEF dan WHO yang menyatakan bahwa

salah satu cara mencegah kejadian ISPA pada balita adalah mengurangi

pencemaran udara dalam rumah (reducing indoor air pollution).

Salah satu faktor yang mempengaruhi ISPA adalah merokok. Satu batang

rokok dibakar maka akan mengeluarkan sekitar 4000 bahan kimia seperti nikotin,

gas karbon monoksida, nitrogen oksida, hidrogen cianida, amonia, acrolein,

acetilen, benzoldehide, urethane, methanol, conmarin, 4-ethyl cathecol, ortcresor

peryline dan lainnya.

Berdasarkan hasil penelitian Surjadi, ISPA yang terjadi pada ibu dan anak

berhubungan dengan penggunaan bahan bakar untuk memasak dan kepadatan

hunian rumah, demikian pula terdapat pengaruh pencemaran di dalam rumah

terhadap ISPA pada anak dan orang dewasa. Pembakaran pada kegiatan rumah

tangga dapat menghasilkan bahan pencemar antara lain asap, debu, grid (pasir

halus) dan gas (CO dan NO). Demikian pula pembakaran obat nyamuk,

membakar kayu di dapur mempunyai efek terhadap kesehatan manusia terutama

Balita baik yang bersifat akut maupun kronis. Gangguan akut misalnya iritasi

saluran pernafasan dan iritasi mata.

Faktor lingkungan rumah seperti ventilasi juga berperan dalam penularan

ISPA, dimana ventilasi dapat memelihara kondisi atmosphere yang

menyenangkan dan menyehatkan bagi manusia. Suatu studi melaporkan bahwa

upaya penurunan angka kesakitan ISPA berat dan sedang dapat dilakukan di

antaranya dengan membuat ventilasi yang cukup untuk mengurangi polusi asap

dapur dan mengurangi polusi udara lainnya termasuk asap rokok. Anak yang

tinggal di rumah yang padat (<10m2/orang) akan mendapatkan risiko ISPA

sebesar 1,75 kali dibandingkan dengan anak yang tinggal di rumah yang tidak

padat (Achmadi, 1993).

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 41: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

27

Universitas Indonesia

2.5.1 Pengetahuan Ibu

Menurut Notoatmodjo (2010) pengetahuan adalah merupakan suatu hasil

dari tahu, sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui indera

penglihatan dan indera pendengaran. Apabila suatu tindakan didasari oleh

pengetahuan maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng, sebaliknya apabila

tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama.

Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan

seseorang. Pengetahuan mempunyai 6 tingkatan, yaitu:

1. Tahu (know)

Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah, yang diartikan

sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya dengan cara

menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.

2. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara

benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan dengan benar

pula.

3. Aplikasi (aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang

telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya.

4. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu

objek ke dalam komponen-komponen tetapi masih dalam struktur organisasi dan

masih ada kaitannya satu sama lain.

5. Sintesis (synthesis)

Sistesis menunjukkan suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru

(menyusun formulasi baru dari formulasi yang sudah ada).

6. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau

penilaian terhadap suatu materi atau objek berdasarkan kriteria sendiri atau

menggunakan kriteria yang sudah ada.

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 42: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

28

Universitas Indonesia

Menurut pendeketan konstruktivitas, pengetahuan bukanlah fakta dari suatu

kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai konstruksi kognitif

seseorang terhadap obyek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan

bukanlah sesuatu yang sudah ada dan tersedia dan terus menerus oleh seseorang

yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya pemahaman-pemahaman

baru.

Beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang, yaitu :

1. Pendidikan

Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan

kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup.

Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seseorang

makin mudah orang tersebut menerima informasi. Dengan pendidikan tinggi maka

seseorang akan cenderung untuk mendapatkan informasi, baik dari orang lain

maupun dari media massa. Semakin banyak informasi yang masuk semakin

banyak pula pengetahuan yang didapat tentang kesehatan.

Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan dimana diharapkan

seseorang dengan pendidikan tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula

pengetahuannya. Namun perlu ditekankan bahwa seseorang yang berpendidikan

rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah pula. Peningkatan

pengetahuan tidak mutlak diperoleh di pendidikan formal, akan tetapi juga dapat

diperoleh pada pendidikan non formal. Pengetahuan seseorang tentang sesuatu

objek juga mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan negatif. Kedua aspek

inilah yang akhirnya akan menentukan sikap seseorang terhadap objek tertentu.

Semakin banyak aspek positif dari objek yang diketahui, akan menumbuhkan

sikap makin positif terhadap objek tersebut.

2. Mass media/ informasi

Informasi yang diperolah baik dari pendidikan formal maupun non formal

dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate impact) sehingga

menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan. Majunya teknologi akan

tersedia bermacam-macam media massa yang dapat mempengaruhi pengetahuan

masyarakat tentang inovasi baru. Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk

media massa seperti, televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain-lain mempunyai

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 43: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

29

Universitas Indonesia

pengaruh besar terhadap pembentukkan opini dan kepercayaan orang. Dalam

penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media massa membawa pula

pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya

informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi

terbentuknya pengetahuan terhadap hal tersebut.

3. Sosial budaya dan ekonomi

Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa melalui penalaran

apakah yang dilakukan baik atau buruk. Dengan demikian seseorang akan

bertambah pengetahuannya walaupun tidak melakukan. Status ekonomi seseorang

juga akan menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan

tertentu, sehingga status sosial ekonomi ini akan mempengaruhi pengetahuan

seseorang.

4. Lingkungan

Lingkungan merupakan segala sesuatu yang berada di sekitar individu, baik

lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap

proses masuknya pengetahuan ke dalam individu yang berada dalam lingkungan

tersebut. Hal ini terjadi karena adanya interaksi timbal balik maupun tidak yang

akan direspon sebagai pengetahuan oleh setiap individu.

5. Pengalaman

Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk

memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali

pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi masa

lalu. Pengalaman belajar dalam bekerja yang dikembangkan memberikan

pengetahuan dan keterampilan professional serta pengalaman belajar selama

bekerja akan dapat mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang

merupakan manifestasi dari keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik yang

bertolak dari masalah nyata dalam bidang kerjanya.

6. Usia

Usia mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin

bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya,

sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik. Pada usia madya,

individu akan berperan aktif dalam masyarakat dan kehidupan sosial serta lebih

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 44: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

30

Universitas Indonesia

banyak melakukan persiapan demi suksesnya upaya menyesuaikan diri menuju

usia tua, selain itu orang usia madya akan lebih banyak menggunakan waktu

untuk membaca. Kemampuan intelektual, pemecahan masalah, dan kemampuan

verbal dilaporkan hampir tidak ada penurunan pada usia ini. Dua sikap tradisional

mengenai jalannya perkembangan selama hidup :

1. Semakin tua semakin bijaksana, semakin banyak informasi yang dijumpai dan

semakin banyak hal yang dikerjakan sehingga menambah pengetahuannya.

2. Tidak dapat mengajarkan kepandaian baru kepada orang yang sudah tua

karena mengalami kemunduran baik fisik maupun mental. Beberapa teori

berpendapat bahwa IQ sesorang akan menurun cepat sejalan dengan

bertambahnya usia.

Suatu studi intervensi berdasarkan pendekatan budaya lokal menunjukkan

adanya peningkatan skor rerata pengetahuan tentang pneumonia pada ibu balita

yang mendapatkan pendidikan kesehatan dari kader terlatih lebih tinggi bermakna

4 kali jika di bandingkan dengan peningkatan skor rerata pengetahuan tentang

pneumonia pada ibu balita yang tidak mendapat pendidikan kesehatan (Kresno

dalam Ariyanto, 2006).

Hasil penelitian Ariyanto (2006), menunjukkan bahwa ibu balita yang

pengetahuannya kurang tentang ISPA mempunyai risiko terhadap balitanya untuk

menderita ISPA 3,67 kali lebih besar dibandingkan dengan pengetahuan ibu yang

baik tentang ISPA.

2.5.2 Berat Bayi Lahir

Berat badan lahir ditetapkan dengan berat lahir kurang dari 2500 gram. Bayi

dengan Berat Lahir Rendah (BBLR) akan meningkatkan resiko kesakitan dan

kematian karena bayi rentan terhadap kondisi-kondisi infeksi saluran pernapasan

bagian bawah.

Ibu yang sedang hamil harus mendapatkan asupan makanan yang cukup

dengan gizi seimbang, kekurangan asupan gizi pada saat hamil dapat

menyebabkan bayi yang dilahirkan berat badannya rendah. Penyakit anemia

defisiensi zat besi pada ibu yang tengah hamil juga dapat menyebabkan bayi lahir

dengan berat badan rendah atau bayi lahir prematur. Jika ibu hamil menderita

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 45: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

31

Universitas Indonesia

anemia berat, risiko morbiditas maupun mortalitas bagi ibu dan bayinya meninggi,

kemungkinan melahirkan bayi BBLR dan premature lebih besar (Pudjiadi, 2000).

Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan

mental pada masa balita. Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dapat

menimbulkan berbagai masalah kesehatan seperti gangguan gizi dan

kecenderungan untuk mudah menderita penyakit menular seperti ISPA, diare, dsb.

Dari hasil penelitian, didapatkan adanya hubungan bermakna antara berat lahir

rendah dengan kejadian ISPA pada balita (Ariyanto, 2006).

2.5.3 Status ASI

ASI merupakan makanan paling baik untuk bayi. Komponen ASI sudah

cukup menjaga pertumbuhan dari lahirnya bayi sampai umur 6 bulan. Bayi harus

diberikan ASI secara penuh sampai mereka berumur 4-6 bulan (Depkes, 2002).

Lebih dari 6 bulan pemberian ASI maka kebutuhan bayi harus diteruskan atau

ditambahkan dengan pemberian makanan pendamping selain ASI (proses

menyapih).

Air Susu Ibu (ASI) Ekslusif berarti hanya memberikan ASI saja, tanpa

tambahan makanan atau minuman apapun (seperti susu formula, jeruk, madu, air

teh, air putih), dan tanpa makanan tambahan (seperti pisang, pepaya, bubur susu,

biskuit, bubur nasi dan tim). Anak sampai usia enam bulan pertama hanya

membutuhkan ASI saja. ASI menyediakan segala-galanya yang dibutuhkan anak

usia ini (BKKBN, 2001).Sedangkan menurut Rusli (2004) ASI Ekslusif adalah

pemberian ASI saja kepada bayi sampai umur 6 bulan tanpa memberikan

makanan/cairan lain.

ASI mempunyai khasiat preventif secara imunologik dengan adanya

antibody dan zat-zat lain yang dikandungnya. ASI turut memberikan perlindungan

terhadap berbagai penyakit khususnya penyakit infeksi (Depkes, 2002).

ASI kaya akan faktor antibodi untuk melawan infeksi-infeksi bakteri dan

virus. Terutama selama minggu pertama (4 sampai 6 hari) payudara akan

menghasilkan kolostrum, yaitu ASI awal yang mengandung zat kekebalan

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 46: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

32

Universitas Indonesia

(imunoglobin, komplemen, lisozim, laktoferin, dan sel-sel leukosit) yang sangat

penting untuk melindungi bayi dari infeksi. Bayi yang mendapat ASI Ekslusif

lebih tahan terhadap ISPA (lebih jarang terserang ISPA), karena dalam air susu

ibu terdapat zat anti terhadap kuman penyebab ISPA (Anonim, 2004).

Sementara itu, sel limfosit B di lamina propria payudara memproduksi IgA1

yang disekresi, berupa sIgA1. SIgA ASI mengandung antibodi terhadap virus

polio, rotavirus, influenza, Haemophilus influenzae, virus respiratory sinsisial

(RSV), streptococcus pneumoniae, shigela, salmonella dan E.coli. Oleh kaena itu,

ASI mampu mengurangi morbiditas Infeksi saluran pencernaan dan pernapasan

bagian atas. SIgA ASI meningkat pada mukosa traktus respiratorius di empat hari

pertama kehidupan, sehingga dapat mengurangi penyakit otitis media dan

pneumonia. Fakta tersebut lebih nyata pada enam bulan pertama, namun bisa

tampak hingga tahun kedua.

Svanborg dan timnya telah melakukan penyelidikan yang luas dalam

kemampuan ASI untuk melindungi lapisan usus dari bakteri pneumokokus invasif

seperti yang menyebabkan peningkatan tingkat infeksi saluran pernapasan atas

dan otitis media pada anak-anak tidak disusui . Studi meyakinkan juga

menunjukkan perlindungan yang signifikan terhadap diare, infeksi saluran

pernapasan, otitis media (infeksi telinga), atau infeksi saluran kemih, tim

Silfverdal juga menyarankan bahwa peningkatan sistem kekebalan tubuh bisa

bertahan selama tahunan, di luar periode menyusui itu sendiri (The Pediatric

Infectious Disease Journal, 2002).

Penelitian Gani (2004), menunjukkan bahwa anak balita yang menderita

ISPA 5,3 kali tidak mendapatkan ASI eksklusif dibandingkan dengan anak balita

yang tidak menderita ISPA.

2.5.4 Status Imunisasi

Imunisasi adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan yang dapat di terima

semua kalangan dan sangat efektif dalam upaya menurunkan kematian bayi dan

balita. Tujuan pemberian imunisasi adalah memberika kekebalan pada anak balita

terhadap penyakit tertentu. Imunisasi dasar bagi balita meliputi imunisasi BCG,

DPT, Polio, dan campak sebelum balita berumur 1 tahun. Balita yang tidak

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 47: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

33

Universitas Indonesia

mendapatkan imunisasi dasar lengkap, maka akan mudah terserang penyakit.

Imunisasi dasar yang tidak lengkap, maksimum hanya dapat memberikan

perlindungan 25%-40%, sedangkan anak yang sama sekali tidak diimunisasi,

tentu tingkat kekebalannya lebih rendah lagi (Ibrahim dalam Arianto, 2006).

Infeksi Saluran Pernapasan Akut adalah salah satu jenis penyakit yang dapat

dicegah dengan imunisasi, penyakit yang tergolong ISPA yang dapat dicegah

dengan imunisasi adalah difteri, batuk rejan dan campak.

Disisi lain penyakit ISPA pada saat ini tidak dapat dicegah secara langsung

melalui imunisasi, karena belum tersedianya vaksin yang khusus untuk mencegah

penyakit ISPA (Arthag, 1992).

Penelitian di Indramayu (Sutrisna, 1993) mengidentifikasi adanya hubungan

antara status imunisasi campak dan timbulnya kematian akibat ISPA, anak-anak

yang belum pernah menderita campak dan belum mendapatkan imunisasi campak

mempunyai resiko meninggal lebih besar.

2.5.5 Ventilasi

Ventilasi mempunyai fungsi sebagai sarana sirkulasi udara segar masuk ke

dalam rumah dan udara kotor keluar rumah. Rumah yang tidak dilengkapi sarana

ventilasi akan menyebabkan suplai udara segar dalam rumah menjadi sangat

minimal. Kecukupan udara segar dalam rumah ini sangat dibutuhkan untuk

kehidupan bagi penghuninya, karena ketidakcukupan suplai udara akan

berpengaruh pada fungsi fisiologis alat pernafasan bagi penghuninya, terutama

bagi bayi dan balita. Rumah yang tidak memiliki ventilasi yang memadai akan

menyebabkan gangguan kesehatan, karena :

- Kadar O2 menurun

- Kadar CO2 naik

- Kelembaban naik

- Ruangan jadi berbau

- Mikroorganisme berkembang biak

Luas lubang ventilasi yang permanen minimal 5% dari luas lantai, apabila

ditambah dengan lubang ventilasi incidental seperti jendela dan pintu sebesar 5%

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 48: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

34

Universitas Indonesia

maka luas ventilasi minimal adalah 10% dari luas lantai. Kelembaban

ruang/kamar tidur akan terasa nyaman, apabila ventilasinya memenuhi syarat,

sehingga dapat menghasilkan udara yang nyaman dengan suhu 20-250C, dengan

kelembaban udara berkisar 60% (Gunawan dalam Irianto, 2006).

Udara yang masuk ke dalam ruangan sebaiknya udara bersih yang tidak

mengandung debu atau berbau, agar terjadi sirkulasi udara segar sehingga

penghuni tidak menghirup udara berdebu dan berbau. Sedangkan ventilasi yang

kurang dari 10% dari luas lantai akan menyebabkan terjadinya kepengapan,

menyebabkan bronchitis, asma kambuh, serta terjadinya penularan penyakit ISPA.

Beberapa hasil penelitian menyatakan diantaranya oleh Wattimena (2004)

menyatakan bahwa ada hubungan bermakna antara ventilasi kamar dengan

kejadian ISPA pada balita. Irianto (2006), bahwa balita yang tinggal di rumah

dengan ventilasi ruang keluarga yang tidak memenuhi syarat memiliki resiko

2,298 kali untuk menderita penyakit ISPA dibandingkan dengan balita yang

tinggal pada rumah dengan ventilasi ruang keluarga memenuhi syarat.

2.5.6 Kepadatan Hunian

Kepadatan hunian yang dimaksud adalah kepadatan hunian dalam rumah

yaitu jumlah penghuni yang tinggal bersama dengan balita. Menurut keputusan

menteri kesehatan nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan rumah,

satu orang minimal menempati luas rumah 8m2. Dengan kriteria tersebut

diharapkan dapat mencegah penularan penyakit dan melancarkan aktivitas

(Depkes, 2001).

Untuk kamar tidur diperlukan luas lantai minimum 3m2/ orang dan untuk

mencegah penularan penyakit pernapasan jarak antara tepi tempat tidur yang satu

dengan yang lain minimum 90 cm. Sebaiknya jangan digunakan tempat tidur

bertingkat, karena tempat tidur semacam ini juga mempermudah penularan

penyakit pernapasan (droplet infection).

Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni lebih dari 2 orang, kecuali untuk suami

istri dan anak di bawah 2 tahun yang biasanya masih sangat memerlukan

kehadiran orang tua.

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 49: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

35

Universitas Indonesia

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang sangat

bermakna antara kepadatan hunian dengan terjadinya penyakit ISPA seperti

penelitian Wattimena (2004) dan Irianto (2006) menunjukkan bahwa kepadatan

hunian berpengaruh pada besarnya kejadian ISPA, yaitu besarnya anak terkena

ISPA adalah 2,45 kali lipat dan 2,27 kalinya dari rumah yang padat penghuninya

dibandingkan dengan rumah yang tidak padat penghuninya.

Hasil penelitian Tupasi (1995), juga mengemukakan bahwa kepadatan

hunian yang banyak berperan pada kejadian ISPA ialah kepadatan hunian kamar

tidur (sleeping density) yang umumnya sangat rawan di Negara yang sedang

berkembang. Jika kepadatan hunian di kamar tidur melebihi 3 orang dalam satu

kamar maka besarnya risiko anak terkena ISPA 1,2 kalinya.

2.5.7 Adanya Perokok Dalam Rumah

Merokok diketahui mengganggu efektivitas sebagian mekanisme pertahan

respirasi. Produk asap rokok diketahui merangsang produksi mukus dan

menurunkan pergerakan silia. Sehingga terjadi stimulasi stimulasi mukus yang

kental dan terperangkapnya partikel atau mikroorganisme di jalan napas, yang

dapat menurunkan pergerakan udara dan meningkatkan risiko pertumbuhan

mikroorganisme.

Bayi dan balita yang terpajan asap rokok sebelum dan sesudah kelahiran

memperlihatkan peningkatan angka ISPA, dibandingkan dengan bayi dan balita

dari orang tua yang bukan perokok. Haluaran urin yang mengandung metabolit

nikotin meningkat drastis pada anak-anak dari orang tua perokok dibandingkan

dengan anak-anak dari orang tua yang bukan perokok. Beberapa metabolit nikotin

bersifat karsinogen dan mengiritasi paru.

Kesehatan yang kian mengkhawatirkan di Indonesia adalah semakin

banyaknya jumlah perokok yang berarti semakin banyak penderita gangguan

kesehatan akibat merokok ataupun menghirup asap rokok (bagi perokok pasif)

yang umumnya adalah perempuan dan anak-anak. Perokok pasif akan mengalami

risiko lebih besar daripada perokok sesungguhnya (Dachroni, 2003).

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 50: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

36

Universitas Indonesia

Asap rokok yang diisap oleh perokok adalah asap mainstream sedangkan

asap dari ujung rokok yang terbakar dinamakan asap sidestream. Polusi udara

yang diakibatkan oleh asap sidestream dan asap mainstream yang sudah

terekstrasi dinamakan asap tangan kedua atau asap tembakau lingkungan. Mereka

yang menghisap asap inilah yang dinamakan perokok pasif atau perokok terpaksa

(Adningsih, 2003).

Setyo Budiantoro dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia

(IAKMI) mengatakan, sebanyak 25 persen zat berbahaya yang terkandung dalam

rokok masuk ke tubuh perokok, sedangkan 75 persennya beredar di udara bebas

yang berisiko masuk ke tubuh orang di sekelilingnya (Noorastuti, 2010).

Terdapat seorang perokok atau lebih dalam rumah akan memperbesar risiko

anggota keluarga menderita sakit, seperti gangguan pernapasan, memperburuk

asma dan memperberat penyakit angina pectoris serta dapat meningkatkan resiko

untuk mendapat serangan ISPA khususnya pada balita. Anak-anak yang orang

tuanya perokok lebih mudah terkena penyakit saluran pernapasan seperti flu, asma

pneumonia dan penyakit saluran pernapasan lainnya (Dachroni, 2002).

Hasil studi di Italy, menyimpulkan bahwa 21% infeksi saluran pernafasan

akut pada usia 2 bulan pertama kehidupan dipengaruhi oleh adanya orang tua

perokok dalam rumah (Forastiere et al., 2002)

Menurut Kusnoputranto dalam Ariyanto (2006), bahwa asap rokok dari

orang tua maupaun dari orang lain yang tinggal dalam rumah, tidak saja

merupakan bahan pencemaran dalam ruang yang serius tapi juga akan menambah

risiko kesakitan dari bahan toksik yang lain, bahwa anak-anak terpapar asap rokok

dapat menimbulkan gangguan pernapasan terutama memperberat timbulnya

Infeksi Saluran Pernapasan Akut dan gangguan paru-paru pada waktu dewasa

nanti.

Asap rokok dan asap dapur dapat merusak mekanisme pertahanan paru

sehingga mudah menderita ISPA (Sutrisna, 1993).

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 51: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

37

Universitas Indonesia

Hasil penelitian Ariyanto (2006) menyatakan balita yang tinggal di rumh

dengan adanya perokok mempunyai kemungkinan mendapatkan gangguan

pernapasan sebanyak 1,986 kali di banding dengan balita yang tinggal serumah

dengan tidak adanya perokok dalam rumah.

2.5.8 Bahan Bakar Memasak

Bahan bakar yang biasa dipakai masyarakat untuk kegiatan memasak sehari-

hari adalah minyak tanah, kayu, gas dan listrik. Pada daerah pedesaan masih

sering dijumpai rumah tangga yang menggunakan kayu bakar karena lebih aman

dan mudah didapat. Namun demikian sumber energi kayu bakar dan minyak tanah

sangat mencemari udara dan mengganggu kesehatan manusia, karena hasil

pembakarannya mengandung particulate (PM10, PM2,5), sulfur oksida, nitrogen

oksida, karbonmonoksida, fluoride, aldehida dan senyawa hydrocarbon

(Kusnoputranto, dalam Irianto (2006).

Apabila sarana ventilasi pada rumah tidak baik dan dapurnya tidak

dilengkapi dengan cerobong asap, maka asap dari dapur akan memenuhi ruangan

dan menyebabkan sirkulasi udara dalam ruang kurang baik, sehingga kandungan

partikulat dan kandungan bahan kimia dari asap tersebut tidak dapat keluar, hal ini

maka akan mempermudah balita terserang penyakit pernapasan. Rumah dengan

bahan bakar minyak tanah memberikan kesempatan 3,8 kali lebih besar untuk

mendapatkan ISPA pada balita dibandingakan dengan bahan bakar gas (Soesanto,

dkk, 2000).

Hasil penelitian Kendall dan Leeder (1985) dalam Soesanto, dkk (2000),

menyatakan bahwa pencemaran udara akibat penggunaan bahan bakar di dapur

mungkin berperan walaupun tidak begitu nyata apabila keadaan sosial ekonomi

penghuninya baik. Begitupula dengan hasil penelitian Handayani (1997), bahwa

terdapat hubungan yang paling kuat antara jenis bahan bakar yang digunakan

dalam rumah dengan kejadian ISPA pada balita. Rumah dengan bahan bakar

minyak tanah memberikan kesempatan 3,8 kali lebih besar untuk mendapatkan

ISPA pada anak balita dibandingkan dengan bahan bakar gas.

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 52: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

38 Universitas Indonesia

BAB III

KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI

OPERASIONAL

3.1 Kerangka Teori

Hendrick L.Blum mengemukakan konsep tentang faktor-faktor apa yang

mempengaruhi derajat kesehatan. Terdapat empat faktor yang mempengaruhi

derajat kesehatan masyarakat yaitu genetika (keturunan), pelayanan kesehatan,

perilaku masyarakat, lingkungan. Keempat faktor tersebut saling berinteraksi yang

mempengaruhi kesehatan perorangan dan derajat kesehatan masyarakat.

Berdasarkan studi kepustakaan, maka dapat disusun kerangka teori terjadinya

ISPA pada balita sebagaimana terlihat pada gambar berikut:

Gambar 3.1Kerangka teori terjadinya ISPA pada balita

Sumber : modifikasi dari : Purawidjaja (2000), Mudehir (2002), Depkes RI (2004) dalam Irianto (2006).

Mikroorganisma

Virus, bakteri, ricketsiaISPA balita

Karakteristik ibu

Pendidikan Pekerjaan Pengetahuan Status ekonomi

Karakteritik balita

Umur Jenis Kelamin Berat badan lahir Status ASI Status imunisasi Pemberian Vit A Status gizi Pemberian MP-ASI

Lingkungan fisik rumah

Ventilasi Jenis lantai Jenis dinding Pencahayaan Suhu Kelembaban Kepadatan hunian

Sumber pencemar udara dalam ruang

Bahan bakar masak

Adanya perokok

Pemakaian Obat nyamuk bakar

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 53: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

39

Universitas Indonesia

3.2 Kerangka Konsep

Berdasarkan pertimbangan studi kepustakaan yang seperti termasuk dalam

konsep teori pada gambar di atas, maka disusun kerangka konseptual yang

menjadi dasar pengukuran variabel, baik variabel dependen maupun variabel

independen.

Gambar 3.2

Kerangka konseptual ISPA pada balita

Variabel Independen Variabel Dependen

Pengetahuan ibu

Karakteristik balita :

BBL

Status ASI

Status imunisasi

Sumber pencemar udara ruang :

Ada perokok dalam rumah

Bahan bakar memasak

Lingkungan fisik rumah :

Ventilasi

Kepadatan hunian

ISPA pada balita

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 54: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

40

Universitas Indonesia

3.3 Hipotesis

1. Ada hubungan antara pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA pada balita di

wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Banten.

2. Ada hubungan antara karakteristik balita ( BBL, status ASI, status imunisasi )

dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber

Kabupaten Lebak Propinsi Banten.

3. Ada hubungan antara pencemaran udara dalam ruang (adanya perokok, bahan

bakar memasak ) dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja

Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Banten.

4. Ada hubungan antara lingkungan fisik rumah (ventilasi, kepadatan penghuni)

dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber

Kabupaten Lebak Propinsi Banten.

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 55: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

41

Universitas Indonesia

3.3 Definisi OperasionalTabel 3.3

Definisi Opersional Variabel Dependen Dan Variabel Independen

NO Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala

1 Kejadian ISPA pada balita

Suatu penyakit Infeksi yang menyerang saluran pernafasan mulai dari hidung sampai paru- paru dan bersifat akut dengan tanda-tanda batuk pilek, dalam kurun waktu 4 minggu terakhir, pada usia 2- 51 bulan.

Wawancara Kuesioner 0. Sakit 1. Tidak sakit

Ordinal

2. Pengetahuan ibu Pengetahuan ibu tentang penyakit ISPA ( gejala, penyebab, bahaya). Dengan nilai skor 1-2 dari setiap pertanyaan, jumlah skor terbesar 20, dan nilai mean = 32,41.

Wawancara Kuesioner 0. Kurang (< mean)1. Baik ( ≥ mean)

Ordinal

4. Berat Bayi Lahir Riwayat berat badan balita saat dilahirkan. Wawancara Kuesioner KMS

0. BBLR (< 2500 gr)1. Normal (≥ 2500 gr)

Ordinal

5. Status ASI Riwayat balita mendapatkan ASI eksklusif (0-6 bulan).

Wawancara Kuesioner 0. Tidak eksklusif1. ASI eksklusif

Ordinal

6. Status Imunisasi Keadaan kelengkapan imunisasi balitasesuai umur saat dilakukan wawancara.

Wawancara KuesionerKMS

0. Tidak lengkap1. Lengkap

Ordinal

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 56: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

42

Universitas Indonesia

No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala

7. Ventilasi kamar Sarana sirkulasi udara alamiah dari/ke dalam kamar balita berupa jendela yang dapat dibuka tutup Tidak memenuhi syarat bila luasnya < 10% dari luas lantai dan memenuhi syarat bila luasnya >= 10% dari luas lantai.

WawancaraPengamatan

Kuesionermeteran

0. Tidak memenuhi syarat1.Memenuhi syarat

Ordinal

8. Kepadatan penghuni

Jumlah orang yang tinggal dengan balita dalam satu rumah maupun saat tidur. Tidak memenuhi syarat bila 1 orang mendapat ruang , 8 m2 dan memenuhi syarat bila 1 orang mendapat ruang >= 8 m2.

WawancaraPengamatan

Kuesioner 0. Tidak memenuhi syarat1.Memenuhi syarat

Ordinal

9. Keberadaan perokok di rumah

Adanya salah satu penghuni rumah yang mempunyai kebiasaan merokok di dalam rumah

Wawancara Kuesioner 0. Ada1. Tidak ada

Ordinal

10. Bahan bakar memasak

Jenis bahan bakar yang biasa di pakai saat memasak dalam rumah.

Wawancara Kuesioner 0. Kayu bakar, minyak tanah

1. Gas, listrik

Ordinal

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 57: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

38 Universitas Indonesia

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 58: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

43 Universitas Indonesia

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian kuantitatif dengan

menggunakan rancangan penelitian potong lintang (cross sectional). Penelitian

dengan desain cross sectional merupakan sebuah penelitian yang dilakukan

dengan cara mengamati status paparan dan penyakit secara serentak dan pada saat

atau periode yang sama. Dimana dalam penelitian ini data dikumpulkan secara

bersamaan antara paparan/ faktor pengetahuan ibu, karakteristik balita ( BBL,

status ASI, status Imunisasi), lingkungan fisik rumah (ventilasi , kepadatan

hunian), dan sumber pencemar udara dalam ruang ( adanya perokok, bahan bakar

masak), serta penyakit yaitu ada tidaknya kasus kejadian penyakit ISPA pada

balita.

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber

Kabupaten Lebak Provinsi Banten yang terdiri dari 6 desa yang telah terpilih yaitu

Cibeber, Cikotok, Neglasari, Warungbanten, Cihambali, Citorek Kidul.

Sedangkan waktu penelitiannya dilaksanakan pada bulan Mei 2011.

4.3 Populasi dan Sampel

4.3.1 Populasi

Populasi dari penelitian ini adalah seluruh ibu yang memiliki balita yang

berada di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber.

4.3.2 Sampel

Sampel dari penelitian ini merupakan bagian dari populasi yang memenuhi

kriteria inklusi. Adapun kriteria inklusi yang dimaksud dalam penelitian ini

adalah:

1. Bayi/ balita laki-laki dan perempuan yang berusia 0 sampai 59 bulan.

2. Ibu bayi bersedia menjadi sampel dalam penelitian ini.

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 59: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

44

Universitas Indonesia

Adapun kriteria eksklusi yaitu kriteria yang menghilangkan kemungkinan

populasi untuk menjadi sampel penelitian meliputi:

1. Bayi/ balita laki-laki dan perempuan yang berusia 0 sampai 59 bulan namun

tidak berdomosili di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber.

2. Ibu bayi tidak bersedia menjadi sampel dalam penelitian ini.

4.3.3 Besar Sampel

Sampel yang diambil dalam penelitian ini dari populasi menggunakan

rumus penghitungan besar sampel sebagai berikut (Lemeshow, Hosmer, dan Klar,

1997):

n = Z21-α/2.p(1-p)

d2

diketahui:

Z21-α/2 : 1,96 (CI= 95%, α = 0,05)

P : Proporsi kejadian ISPA pada balita di Kecamatan Cibeber

Kabupaten Lebak = 0.5

q : 1-0.5 = 0.5

d : presisi 10% = 0.1

sesuai rumus diatas, maka jumlah sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini

adalah:

n = (1,96)2 x 0,5 x 0,5 = 96

(0,1)2

Untuk memperhitungkan adanya kesalahan dan sebagainya, maka pengambilan

sampel diperbesar sebanyak 10%, sehingga diperoleh sampel yang dibutuhkan

adalah sebanyak 96 + 10 = 106 sampel.

4.4 Cara Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan secara acak bertahap (Multistage Random

Sampling). Setiap unsur di dalam populasi memiliki kesempatan (peluang) yang

sama untuk dipilih, dengan mengambil serangkaian sampel acak sederhana secara

bertahap. Dalam sebuah sampel acak multistage, area besar, dibagi dulu menjadi

daerah yang lebih kecil, dan sampel acak dari daerah ini dikumpulkan. Cara ini

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 60: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

45

Universitas Indonesia

digunakan karena, populasinya cukup homogen, jumlah populasi besar, populasi

menempati wilayah yang luas, dan biaya penelitian kecil.

Dari 12 desa yang ada di wilayah kerja Puskesmas Cibeber terpilih 6 desa

yang dianggap mewakili dengan cara pengundian. Kemudian dari keenam desa

tersebut diundi lagi berdasarkan posyandu yang berada di desa terpilih yang

memiliki sejumlah balita yang diacak kembali sehingga didapatkan jumlah sampel

yang diharapkan (empat desa terpilih (Cikotok, Cibeber, Warungbanten,

Neglasari) mempunyai jatah sampel 18 responden dan dua desa lainnya

(Cihambali, Citorek Kidul) 17 responden).

4.5 Pengumpulan Data

4.5.1 Cara dan Alat Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini dilakukan pengumpulan data baik data primer maupun

data sekunder. Data sekunder didapatkan dari dinas kesehatan kabupaten, berupa

laporan tahunan, dan profil kesehatan dari Puskesmas. Sedangkan data primer

dikumpulkan dengan cara wawancara terhadap responden yaitu ibu balita dengan

menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner).

4.5.2 Petugas Pengumpul Data

Pada penelitian ini, peneliti dibantu oleh 4 orang petugas kesehatan

Puskesmas DTP Cibeber dan kader, dimana dari keempat enumerator tersebut

telah mendapatkan penjelasan terlebih dahulu tentang metode dan teknik

pengumpulan data yang sesuai dengan tujuan penelitian agar mereka memiliki

persepsi yang sama.

4.6 Pengolahan dan Teknik Analisa Data

4.6.1 Pengolahan Data

Pengolahan data adalah suatu proses untuk memperoleh data dan atau

ringkasan berdasarkan suatu kelompok data mentah untuk menghasilkan

informasi yang diperlukan (Setiadi, 2007). Ada beberapa kegiatan yang dilakukan

oleh peneliti dalam penolahan data diantaranya:

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 61: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

46

Universitas Indonesia

1. Pemeriksaan data (Editing)

Editing data adalah memeriksa daftar pertanyaan yang telah diisi sesuai

dengan jawaban responden. Pemeriksaan daftar pertanyaan yang telah selesai diisi

ini diantaranya:

a. Kelengkapan jawaban, apakah tiap pertanyaan sudah ada jawabannya,

meskipun jawaban hanya berupa tidak tahu atau tidak mau menjawab.

b. Keterbacaan tulisan, tulisan yang tidak terbaca akan mempersulit pengolahan

data sehingga dapat mengakibatkan bias terhadap jawaban responden.

c. Relevansi jawaban, bila ada jawaban yang kurang atau tidak relevan maka

editor harus menolaknya.

2. Pengkodean (Coding)

Coding adalah mengklasifikasikan jawaban-jawaban dari responden ke

dalam kategori yang telah ditetapkan. Biasanya klasifikasi dilakukan dengan cara

memberikan tanda/kode berbentuk angka pada masing-masing jawaban.

Tanda/kode ini dapat disesuaikan dengan pengertian yang lebih menguntungkan

peneliti, jadi tanda-tanda tersebut dapat dibuat sendiri oleh peneliti. Tujuan dari

coding ini adalah untuk mempermudah pada saat entry data dan analisa data.

3. Scoring

Skoring dilakukan terhadap jawaban responden tentang pengetahuan.

Jawaban yang benar atas pertanyaan tentang pengetahuan mendapatkan skor 1

setiap pernyataan benar, dan untuk jawaban yang menggunakan alasan

mendapatkan skor 2 jika jawaban dan alasannya tepat.

4. Memasukkan data ke program komputer (Entry data)

Jawaban-jawaban yang sudah diberikan kode kategori kemudian

dimasukkan ke dalam tabel untuk menghitung frekuensi data. Entry data dapat

dilakukan dengan bantuan komputer, serta menggunakan program statistik

tertentu.

5. Membersihkan data (Cleaning data)

Cleaning data/pembersihan data merupakan kegiatan memeriksa kembali

apakan ada data yang sudah dimasukkan tersebut ada yang tidak sesuai dengan

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 62: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

47

Universitas Indonesia

ketentuan. Kesalahan dapat terjadi pada saat entry data maupun pada saat coding.

Cleaning data dapat dilakukan dengan cara melihat distribusi frekuensi dari

variabel-variabel dan menilai kelogisannya.

4.6.2 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data merupakan langkah selanjutnya dari data mentah

untuk memperoleh makna yang bermanfaat bagi pemecahan masalah penelitian.

Dalam tahap ini data diolah dan dianalisis dengan teknik-teknik tertentu. Dalam

pengolahan ini mencakup tabulasi data dan perhitungan-perhitungan statistik, bila

diperlukan uji statistik. Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Analisis univariat

Analisis yang dilakukan terhadap setiap variabel dari hasil penelitian. Pada

umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi dan persentase dari

tiap variabel. Analisis univariat dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui

distribusi frekuensi dari pengetahuan ibu, karakteristik balita, sumber pencemar

dalam ruang dan lingkungan fisik rumah di wilayah kerja Puskesmas DTP

Cibeber Kabupaten Lebak.

2. Analisis Bivariat

Untuk mengetahui hubungan dari masing-masing variabel, maka dilakukan

analisis bivariat. Analisis bivariat yang dilakukan dalam penelitian ini adalah uji

Chi Square (X²). Uji Chi Square (X²) dilakukan untuk mengetahui besarnya

hubungan antara pengetahuan ibu, karakteristik balita, sumber pencemar dalam

ruang dan lingkungan fisik rumah terhadap kejadian ISPA pada balita. Untuk

mengetahui hasil kemaknaan perhitungan statistik, dalam penelitian ini digunakan

tingkat kepercayaan 95% sehingga α=5%.

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 63: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

48 Universitas Indonesia

BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1. Gambaran Umum Wilayah Kerja Puskesmas DTP Cibeber

5.1.1. Keadaan Geografis

Puskesmas DTP Cibeber berada di wilayah Kecamatan Cibeber. Secara

Geografis Kecamatan Cibeber terletak di Sebelah Tenggara ibu kota Kabupaten

Lebak yaitu Rangkasbitung dengan jarak tempuh sekitar 165 km. Adapun batas-

batas wilayah Kecamatan Cibeber sebagai berikut :

1. Sebelah Utara : berbatasan dengan Kecamatan Muncang

2. Sebelah Timur : berbatasan dengan Wilayah Puskesmas Cisungsang

3. Sebelah Barat : berbatasan dengan Kecamatan Panggarangan

4. Sebelah Selatan: berbatasan dengan Kecamatan Cilograng dan Kecamatan

Bayah

Kondisi alam Kecamatan Cibeber secara umum adalah berbukit-bukit dan

pemukiman penduduknya menyebar. Keadaan geografis yang demikian

menyebabkan sebagian wilayah yang merupakan wilayah binaan Puskesmas

Cibeber sulit dijangkau dalam keadaan darurat terutama pada saat musim

penghujan.

Luas wilayah kecamatan Cibeber adalah 36.967,24 Ha. Wilayah kerja

Puskesmas Cibeber meliputi 12 desa yaitu Cibeber, Cikotok, Ciherang,

Warungbanten, Neglasari, Hegarmanah, Cihambali, Sukamulya, Citorek Timur,

Citorek Barat, Citorek Tengah, Citorek Kidul.

5.1.2 Keadaan Demografi

Jumlah penduduk yang termasuk wilayah Puskesmas DTP Cibeber pada

tahun 2010 seluruhnya berjumlah 34.556 jiwa dengan jumlah penduduk

perempuan sebanyak 16.892 jiwa dan penduduk laki-laki sebanyak 17.664 jiwa.

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 64: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

49

Universitas Indonesia

Gambar 5.1.2Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber

kabupaten Lebak tahun 2010

Sumber : Profil Kecamatan Cibeber, 2010

5.1.3 Data Penduduk berdasarkan Pendidikan Terakhir

Sebagian besar penduduk di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber

berpendidikan tamat SD (6. 703 orang), ada 3.632 orang lulusan SMP, dan yang

menamatkan pendidikan di tingkat menengah atas sebanyak 2.298 orang

sedangkan yang lulusan dari diploma/ sarjana dan pascasarjana hanya ada 495

orang.

Gambar 5.1.3Data Penduduk berdasarkan Pendidikan Terakhir di wilayah kerja

Puskesmas DTP Cibeber tahun 2010

Sumber : Profil Kecamatan Cibeber, 2010

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 65: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

50

Universitas Indonesia

5.1.4 Data Kepegawaian

Hingga saat ini jumlah pegawai yang ada di Puskesmas Cibeber sebanyak

47 orang dengan berbagai latar belakang pendidikan diantaranya dokter,

keperawatan, kesehatan masyarakat, kesehatan lingkungan, kesehatan gigi, bidan,

SMA, SMEA, dan SMP. Adapun distribusi pegawai dapat dilihat pada tabel

berikut :

Tabel 5.1.4

Distribusi Kepegawaian Puskesmas DTP Cibeber tahun 2010

No Jenis ketenagaan Jumlah (orang)

1. Kesehatan Masyarakat 1

2. Dokter/ Dokter Gigi 3

3. Perawat 25

4 Sanitasi 1

5. Bidan 13

6. Administrasi 2

7. Perawat Gigi 1

8 Penatalaksana RT 1

Jumlah 47

Sumber : profil Puskesmas DTP Cibeber, 2010

5.1.5 Data 10 Penyakit Terbanyak

Berdasarkan laporan 10 besar penyakit dari bulan Januari sampai dengan

bulan Desember 2010 , ISPA menempati peringkat teratas yaitu sebanyak 4.546

kasus kemudian Dermatitis sebanyak 3.751 kasus , dan terendah yaitu Faringitis

sebanyak 123 Secara lengkap dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 66: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

51

Universitas Indonesia

Tabel. 5.1.5Pola 10 Besar Penyakit di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber

Tahun 2010

No Jenis Penyakit Jumlah1 ISPA 45462 Dermatitis 37513 Arthritis 29234 Gastritis 17775 Hypertensi 11676 Diare 9787 Konjungtivitis 7568 Diabetes Melitus 1819 OMSK 172

10 Faringitis/Tonsilitis 12311 Lain-lain 1236

Jumlah 17610 Sumber: profil puskesmas Cibeber 2011

5.2 Distribusi Responden Variabel Independen Dan Variabel Dependen

Kejadian ISPA Pada Balita Ditinjau dari Pengetahuan Ibu,

Karakteristik Balita, Sumber Pencemar Dalam Ruang Dan

Lingkungan Fisik Rumah .

5.2.1. Gambaran kejadian ISPA

Distribusi kasus ISPA pada balita dapat dilihat pada tabel 5.2. Hasil

penelitian bahwa balita yang terkena ISPA pada 2- 4 minggu terakhir sebanyak 85

(80,2%) dan 21 balita (19,8%) tidak ISPA. Hal ini berarti kasus ISPA pada balita

di wilayah kerja puskesmas Cibeber Kabupaten Lebak masih tinggi.

Tabel 5.2.1Disribusi Responden berdasarkan Kejadian ISPA Balita

di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber

Variabel Frekuensi Persentase

Kejadian ISPA

Sakit

Tidak sakit

85

21

80,2

19,8

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 67: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

52

Universitas Indonesia

5.2.2 Gambaran Pengetahuan Ibu

Dari hasil penelitian pada semua responden (106 ibu balita), pada tabel 5.3

menunjukkan bahwa ibu yang memiliki pengetahuan kurang tentang ISPA

sebanyak 74 (69,8%), sedangkan 32 (30,2%) ibu lainnya berpengetahuan baik

tentang penyakit ISPA. Artinya ibu-ibu balita di wilayah kerja Puskesmas Cibeber

masih kurang terpapar dengan informasi mengenai penyakit ISPA.

Tabel 5.2.2

Distribusi Responden berdasarkan Pengetahuan Ibu

di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber

Variabel Frekuensi Persentase

Pengetahuan Ibu Kurang Baik

7432

69,830,2

5.2.3 Gambaran Karakteristik Balita

Hasil penelitian dari 106 responden ibu, terdapat 29 balita (27,4%) yang

lahir dengan berat badan lahir rendah, dan 77 balita (72,6%) lainnya lahir dengan

berat badan normal. Ada 31 balita (29,2%) yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif

sedangkan 75 balita (70,8%) mendapat ASI eksklusif. Dan proporsi balita yang

tidak mendapat imunisasi lengkap sebanyak 25 (23,6%) sedangkan balita yang

telah imunisasi lengkap adalah 81 (76,4%).

Tabel 5.2.3Distribusi Responden berdasarkan Karakteristik Balita

di wilayah kerja Puskesmas DTP CibeberVariabel Frekuensi Persentase

1. BBL BBLR (< 2500 gr) Normal (>=2500 gr)

2977

27,472,6

2. Status ASI Tidak Eksklusif ASI eksklusif

3175

29,270,8

3. Status Imunisasi Tidak lengkap Lengkap

2581

23,676,4

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 68: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

53

Universitas Indonesia

5.2.4 Gambaran Lingkungan Fisik Rumah

Dari 106 responden ibu yang diteliti, pada tabel 5.5 menunjukkan bahwa

45 (42,5%) diantaranya memiliki rumah dengan ventilasi yang tidak memenuhi

syarat kesehatan, sedangkan 61 (57,5%) ibu lainnya memiliki rumah dengan

ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan.

Dari hasil penelitian dan pengamatan diketahui bahwa 45 balita (42,5%)

tinggal dengan kepadatan penghuni yang tidak memenuhi syarat kesehatan,

sedangkan 61 (57,5%) balita lainnya tinggal dengan kepadatan penghuni yang

telah memenuhi syarat kesehatan.

Tabel 5.2.4

Distribusi Responden berdasarkan Lingkungan Fisik Rumah

di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber

Variabel Frekuensi Persentase

1.Ventilasi Tidak memenuhi

syarat Memenuhi syarat

4561

42,557,5

2. Kepadatan Hunian Tidak memenuhi

syarat Memenuhi syarat

4561

42,557,5

5.2.5 Gambaran Sumber Pencemar dalam Ruang

Hasil penelitian diketahui terdapat 88 balita (83%) yang tinggal serumah

dengan perokok, dan hanya 18 (17%) balita lainnya tinggal di rumah tidak

terdapat perokok.

Hasil penelitian dan pengamatan tentang jenis bahan bakar yang

digunakan saat memasak didapatkan ibu balita yang menggunakan bahan bakar

kayu/ minyak tanah sebanyak 57 (53,8%) sedangkan 49 (46,2%) ibu balita yang

lain menggunakan gas/ listrik sebagai bahan bakar untuk memasak.

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 69: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

54

Universitas Indonesia

Tabel 5.2.5

Distribusi Responden berdasarkan Sumber Pencemar Udara dalam Ruang

di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber

Variabel Frekuensi Persentase

1. Adanya perokok Ya Tidak

8818

83,017,0

2. Bahan bakar memasak Kayu bakar/ minyak

tanah Gas/ listrik

5749

53,846,2

5.3 Hubungan Variabel Independen Dengan Variabel Dependen

Kejadian ISPA Pada Balita Ditinjau dari Pengetahuan Ibu,

Karakteristik Balita, Sumber Pencemar Dalam Ruang Dan

Lingkungan Fisik Rumah

Uji statistik menggunakan uji beda proporsi chi square, untuk menjelaska

hubungan antara variabel dependen dan independen dengan batas kemaknaan p-

value 0,005, yang artinya bila p-value ≥ 0,05 maka hubungan antara variabel

dependen dan independen tidak bermakna, tetapi jika p-value < 0,05 bermakna.

Selain menguji tingkat kemaknaan dapat dilihat pula nilai OR (odds ratio), jika

OR < 1 berarti sifatnya protektif OR=1 berarti tidak mempunyai resiko sedangkan

OR> 1 berarti mempunyai resiko.

.

5.3.1 Hubungan Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian ISPA Pada Balita

Hasil penelitian tentang variabel pengetahuan didapatkan bahwa dari 21 ibu

yang balitanya tidak sakit ISPA, terdapat 9 (42,9%) ibu yang memiliki

pengetahuan tentang ISPA kurang, dan 12 (57,1%) ibu balita lainnya

berpengetahuan baik. Sedangkan dari 85 ibu yang balitanya sakit ISPA, ada 65

ibu balita (76,5%) mempunyai pengetahuan yang kurang tentang ISPA. Dari hasil

tersebut secara persentase anak balita yang sakit ISPA dan pengetahuan ibunya

kurang lebih banyak dibandingkan dengan anak balita yang sakit ISPA yang

ibunya memiliki pengetahuan baik tentang ISPA.

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 70: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

55

Universitas Indonesia

Hasil uji statistik didapat p= 0,006 berarti (< 0,05) dapat disimpulkan bahwa

ada hubungan yang bermakna antara ibu balita yang mempunyai pengetahuan

kurang dengan kejadian ISPA. Dengan nilai OR= 4.333 (95% CI : 1,596-11,768)

ini berarti pada ibu yang berpengetahuan kurang, anak balitanya mempunyai

risiko 4,33 kali lebih besar untuk terkena ISPA daripada ibu yang mempunyai

pengetahuan yang baik.

Tabel 5.3.1

Distribusi Responden berdasarkan Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian ISPA

Pada Balita di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber

Variabel ISPA TidakISPA

Total p-value OR(95%CI)

Pengetahuan ibu

Kurang

Baik

65(76,5%)

20(23,5%)

9(42,9%)

12 (57,15)

74

32

0,006*4,333

(1,596-11,768)

5.3.2 Hubungan Berat Badan Lahir dengan kejadian ISPA

Hasil penelitian variabel berat badan lahir pada tabel 5.3.2, menunjukkan

bahwa dari 21 ibu yang balitanya tidak terkena ISPA, keseluruhannya lahir

dengan berat badan yang normal (≥ 2500 gram). Sedangkan 29 (34,1%) balita

yang ISPA lahir dengan berat badan rendah (< 2500 gr)

Pada hasil uji statistik didapatkan p-value sebesar 0,004 (< 0,05), sehingga

dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara berat badan

lahir dengan kejadian ISPA pada balita.

5.3.3 Hubungan Status ASI dengan kejadian ISPA

Hasil penelitian mengenai variabel status ASI, diperoleh data bahwa dari 21

ibu yang balitanya tidak terkena ISPA, keseluruhannya mendapat ASI eksklusif,

sedangakan 31 (36,5%) balita yang sakit ISPA tidak mendapatkan ASI secara

eksklusif selama 6 bulan pertama setelah lahir.

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 71: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

56

Universitas Indonesia

Hasil uji statistik chi square didapatkan p-value sebesar 0,003 (<0,05) yang

artinya secara statistik terdapat hubungan yang bermakna antara status ASI

dengan kejadian ISPA pada balita.

5.3.4 Hubungan status imunisasi dengan kejadian ISPA

Hasil penelitian mengenai variabel status imunisasi, diperoleh data dari 85

ibu yang balitanya terkena ISPA, sebanyak 22 balita (25,9%) tidak mendapat

imunisasi secara lengkap, sedangkan 21 ibu yang balitanya tidak sakit ISPA, 18

(85,7%) balita mendapat imunisasi lengkap.

Hasil uji statistik chi square didapatkan p-value sebesar 0,391 (>0,05) dan

OR= 2,095 (95% CI : 0,562-7,805), yang artinya secara statistik tidak ada

hubungan yang bermakna antara kelengkapan imunisasi dengan sakit ISPA.

Tabel 5.3.2

Distribusi Responden berdasarkan Karakteristik Balita Dengan Kejadian ISPA

di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber

Variabel ISPA TidakISPA

Total p-value OR(95%CI)

1. BBL

BBLR 29(34,1%)

0(0%)

290,004* -

Normal 56(65,9%)

21(100%)

71

2. Status ASI

Tidak Eksklusif

31(36,5%)

0(0 %)

310,003* -

Eksklusif 54(63,5%)

21(100%)

75

3. Status Imunisasi

Tidak Lengkap

22(25,9%)

3(14,3 %)

250,391

2,095(0,562-7,805)

Lengkap 63(74,1%)

18(85,7%)

81

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 72: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

57

Universitas Indonesia

5.3.5 Hubungan ventilasi kamar balita dengan kejadian ISPA balita

Hasil penelitian mengenai variabel ventilasi kamar balita, diperoleh data

bahwa pada kelompok ibu yang balitanya tidak terkena ISPA, 19 (90,5%)

diantaranya telah memiliki ventilasi kamar yang memenuhi syarat kesehatan, dan

kelompok ibu yang balitanya sakit ISPA terdapat 43 (50,6%) yang tidak memiliki

ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan (< 10 % luas lantai).

Dan hasil uji statistik menunjukkan p-value sebesar 0,002 (<0,05) dan OR=

9,726 ( 95% CI : 2,132- 44,373) , yang artinya terdapat hubungan yang bermakna

antara ventilasi kamar balita dengan kejadian ISPA pada balita, dan pada

kelompok ibu balita yang tidak memiliki ventilasi kamar yang memenuhi syarat

kesehatan mempunyai risiko balitanya terkena ISPA 9-10 kali daripada kelompok

ibu yang memiliki ventilasi kamar balita yang memenuhi syarat kesehatan.

5.3.6 Hubungan kepadatan penghuni dengan kejadian ISPA

Hasil penelitian mengenai variabel kepadatan hunian rumah balita,

diperoleh data bahwa dari kelompok ibu yang balitanya tidak terkena ISPA,

kesemuanya tinggal dalam rumah dengan kepadatan hunian yang memenuhi

syarat (8m2/ per orang), sedangkan pada kelompok ibu yang balitanya sakit

terdapat 45 (52,9%)balita yang sakit ISPA.

Berdasar hasil uji statistik chi square p-value sebesar 0,001 (<0,05) dapat

disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian

dengan kejadian ISPA pada balita.

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 73: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

58

Universitas Indonesia

Tabel 5.3.3

Distribusi Responden berdasarkan Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian

ISPA di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber

Variabel ISPA TidakISPA

Total p-value OR(95%CI)

1. Ventilasi

Tidak memenuhi syarat

43(50,6%)

2(14,3 %)

45 0,002*9,726

(2,132-44,373)

Memenuhi syarat

42(49,4%)

19(90,5%)

61

2. Kepadatan penghuni

Tidak memenuhi syarat

45(52,9%)

0(0%)

45 0.000*-

Memenuhi syarat

40(47,1%)

21(100%) 61

5.3.7 Hubungan adanya perokok dalam rumah dengan kejadian ISPA

Hasil penelitian mengenai variabel ada perokok dalam rumah balita,

diperoleh data bahwa pada kelompok balita yang terkena ISPA, sebanyak 81

(3,5%) balita tinggal dengan perokok, dan pada kelompok balita yang sehat 14

(44,7%) balita tidak tinggal dengan perokok.

Hasil uji statistik didapatkan p-value= 0,000 (<0,05) dan OR= 40, 500 (95%

CI : 10,466-156,715), sehingga dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna

antara keberadaan perokok dalam rumah dengan kejadian ISPA pada balita, dan

balita yang tinggal dengan perokok mempunyai risiko 40-41 kali untuk menderita

penyakit ISPA dibandingkan balita yang tinggal tanpa perokok dalam rumah.

5.3.8 Hubungan Bahan bakar masak dengan kejadian ISPA pada balita

Hasil penelitian mengenai variabel bahan bakar memasak, diperoleh data

bahwa pada kelompok balita yang terkena ISPA sebanyak 50 (58,8%) ibu balita

memasak dengan kayu bakar/ minyak tanah, dan pada balita yang tidak sakit

terdapat 14 (66,7%) ibu balita yang memasak dengan menggunakan bahan bakar

gas/ listrik.

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 74: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

59

Universitas Indonesia

Pada uji statistik chi square didapatkan p-value= 0,064 (>0,05) dan OR=

2,857 (95% CI : 1,046-7,804), artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara

bahan bakar masak dengan sakit ISPA pada balita.

Tabel 5.3.4

Distribusi Responden berdasarkan sumber Pencemar Udara Dalam Ruang Dengan

Kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber

Variabel ISPA TidakISPA

Total p-value OR(95%CI)

1. Adanya perokok

Ada 81(95,3%)

7(33,3 %)

880,000*

40,5(10,466-156,715)

Tidak 4(4,7%)

14(66,7%)

18

2. Bahan bakar memasak

Kayu bakar/minyak tanah

50(58,8%)

7(33,3%)

570,064

2,857(1,046-7,804)

Gas/listrik 35(41,2%)

14(66,7%)

49

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 75: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

60 Universitas Indonesia

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini bersifat cross sectional

(potong lintang), dimana rancangan ini mempunyai kelemahan yaitu kesulitan

dalam membedakan variabel yang menjadi penyebab dan variabel yang menjadi

akibat, karena kedua variabel ini diukur pada saat yang bersamaan. Hubungan

yang bisa digambarkan melalui rancangan ini hanya menunjukkan keterkaitan

saja, bukan menunjukkan hubungan kausalitas atau hubungan sebab akibat.

Kelemahan dalam pemilihan sampel penelitian (responden) terjadi manakala

responden yang sudah ditetapkan tidak ditemukan di lapangan karena sedang

bepergian, sehingga diambil responden pengganti yang alamatnya masih sama

dengan responden terpilih. Ini dilakukan karena waktu penelitian yang terbatas

dan keadaan geografis lapangan (tempat responden cukup jauh dari tempat satu

dan lainnya) serta musim penghujan yang tidak memungkinkan untuk datang dua

kali pada satu tempat yang sama.

Instrument yang dipakai dalam penelitian ini berupa kuesioner dan alat ukur

meteran. Kelemahan kuesioner, karena sudah disediakan alternatif jawabannya

(bersifat tertutup), sehingga jawaban yang didapat dari responden terpaku pada

jawaban yang sudah ada dan tidak bisa mengembangkan jawaban yang lebih luas,

lengkap dan mendalam. Pertanyaan dalam kuesioner juga masih kurang dapat

menggali jawaban responden. Sehingga jawaban yang diberikan responden yang

sangat terbatas ini dirasa masih kurang menggambarkan keadaan responden yang

sebenarnya.

Pengukuran ventilasi yang menggunakan alat ukur meteran masih banyak

mengandung kelemahan, diantaranya ketelitian dalam pembacaan sangat

mempengaruhi hasil ukur apalagi saat dibandingkan dengan luas lantai rumah

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 76: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

61

Universitas Indonesia

dimana kami tidak melakukan pengukuran langsung namun hanya berdasar

keterangan dari responden saja.

Bias informasi yang terjadi saat pengukuran adalah berupa recall bias,

dimana responden tidak dapat menjawab dengan tepat pertanyaan-pertanyaan

yang terjadi di masa yang lampau. Bias dari responden juga terjadi pada saat

wawancara dimana responden tidak memberikan jawaban sebenarnya, atau

responden kurang memahami pertanyaan yang disampaikan pewawancara.

6.2 Hubungan Pengetahuan Ibu, Karakteristik Balita, Sumber Pencemar

Udara Dalam Ruang Dan Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian

ISPA Pada Balita

6.2.1 Kejadian ISPA pada Balita

Kejadian penyakit ISPA pada balita dalam penelitian ini berdasarkan gejala

penyakit balita yang diderita 2 – 4 minggu terakhir, apabila ada gejala batuk dan

pilek disertai atau tidak dengan gejala lain maka dikategorikan sakit ISPA,

sedangkan tidak sakit ISPA apabila tidak ada gejala batuk atau pilek dan disertai

atau tidak dengan gejala lainnya.

Tingginya balita yang terserang ISPA di wilayah kerja Puskesmas Cibeber

yaitu sebesar 80,2%, angka kesakitan ISPA ini berkaitan dengan kurangnya,

pengetahuan ibu tentang faktor- faktor risiko pada ISPA, sanitasi perumahan

penduduk ditandai dengan masih banyaknya keadaan perumahan penduduk yang

fasilitas sanitasinya tidak memenuhi syarat, hal ini berkaitan dengan tingkat

pendidikan penduduk yang sebagian besar hanya tamat SD. Salah satu cara untuk

menanggulanginya dengan memberikan banyak informasi khususnya mengenai

kesehatan sehingga pengetahuan masyarakat meningkat.

6.2.2 Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Kejadian ISPA pada Balita

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar ibu balita

berpengetahuan kurang dan hanya sebagian kecil ibu balita yang memiliki

pengetahuan baik tentang ISPA. Hal ini disebabkan karena masih banyak ibu-ibu

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 77: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

62

Universitas Indonesia

balita yang pendidikannya rendah dan kurangnya mendapatkan informasi

mengenai ISPA.

Hasil analisis bivariat dengan menggunakan Chi Square menunjukkan

adanya hubungan yang bermakna antara pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA

pada balita. Untuk ibu yang berpengetahuan kurang, balitanya mempunyai risiko

terhadap penyakit ISPA 4,33 kali dibandingkan dengan yang mempunyai

pengetahuan baik. Hasil ini membuktikan hipotesis bahwa ada hubungan antara

pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA pada balita.

Menurut Sutrisna, B (1993), ditemukan adanya hubungan antara

pengetahuan ibu tentang mengatasi dalam kejadian balita sakit ISPA. Tingkat

pengetahuan sangat penting dimiliki oleh seseorang, Karena tingkat pengetahuan

merupakan suatu wawasan yang akan menyebabkan perubahan seseorang dalam

bersikap dan bertindak dalam mengatasi permasalahan yang timbul dalam

kehidupan.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ariyanto, Y (2008) bahwa

dampak pengetahuan terhadap kejadian ISPA pada balita cukup besar, yang

berarti jika pengetahuan ibu tentang faktor risiko ISPA ditingkatkan maka

kejadian ISPA pada balita akan berkurang. Begitupula dengan hasil penelitian

Nurjazuli, dkk,(2009), menyimpulkan adanya hubungan antara pengetahuan ibu

dengan kejadian ISPA-pneumonia pada balita.

6.2.3 Hubungan Berat Badan Lahir Balita dengan Kejadian ISPA

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 27,4% balita yang sakit ISPA

memiliki riwayat berat badan lahir rendah (< 2500 gr). Kemungkinan besar itu

terjadi karena saat hamil, ibu balita tersebut menderita anemia, kurang gizi, atau

sedang menderita suatu penyakit.

Berdasarkan hasil analisis bivariat, menunjukkan adanya hubungan yang

bermakna antara berat badan saat lahir dengan kejadian ISPA, khususnya bagi

balita dengan riwayat BBLR memiliki peluang lebih besar untuk terkena ISPA.

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 78: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

63

Universitas Indonesia

Hasil ini sejalan dengan penelitian Abdullah (2003), bahwa bayi umur 0-4

bulan yang dilahirkan dengan BBLR memiliki risiko terserang ISPA. Begitu juga

dengan penelitian Kumar di India yang dipublikasikan oleh WHO (1996), yang

menemukan adanya hubungan antara berat lahir dengan ISPA. Hal ini didukung

pula dengan penelitian Ariyanto (2008) yang membuktikan adanya hubungan

berat lahir dengan kejadian ISPA pada balita.

6.2.4 Hubungan Status ASI Balita dengan Kejadian ISPA

Pada hasil penelitian didapatkan, dari keseluruhan balita yang tidak sakit

ISPA mendapatkan ASI eksklusif pada masa 6 bulan awal kehidupannya. Dan

36% balita yang sakit ISPA telah diberikan MP-ASI sebelum usia 6 bulan setelah

lahir. Hal ini terjadi karena kandungan gizi yang terdapat dalam ASI mengandung

antibodi yang dapat memperkecil risiko terkena penyakit infeksi.

Dari hasil uji analisis bivariat dengan menggunakan chi square,

menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara status ASI dengan kejadian

ISPA pada balita, dan balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif mempunyai

risiko lebih besar terserang ISPA daripada balita dengan ASI eksklusif.

Hasil ini sejalan dengan penelitian Abdullah (2003) yang menyatakan ada

pengaruh pemberian ASI terhadap kasus ISPA. Demikian juga dengan penelitian

Naim (2001), juga membuktikan adanya hubungan bermakna antara pemberian

ASI dengan kejadian ISPA-pneumonia.

6.2.5 Hubungan Status Imunisasi Balita dengan Kejadian ISPA

Status imunisasi balita diukur berdasarkan jenis imunisasi yang telah

didapatkan oleh balita sesuai umurnya. Termasuk status imunisasi tidak lengkap

apabila balita tidak mendapat imunisasi lengkap sesuai umurnya, dan termasuk

imunisasi lengkap apabila balita telah mendapatkan imunisasi lengkap sesuai

umurnya. Bayi yang mendapatkan imunisasi lengkap seharusnya mempunyai

kekebalan terhadap beberapa penyakit sesuai dengan jenis imunisasi yang

diberikan. Semakin lengkap imunisasi, semakin tinggi daya tahan tubuhnya

terhadap penyakit.

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 79: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

64

Universitas Indonesia

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar balita yang

tidak sakit ISPA telah mendapatkan imunisasi lengkap, namun balita yang ISPA

dengan mendapatkan imunisasi lengkap masih cukup tinggi.

Menurut hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa tidak ada hubungan

yang bermakna antara status Imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita. Semua

mempunyai peluang yang sama untuk terkena ISPA. Balita yang status imunisasi

lengkap maupun tidak sama-sama mempunyai kemungkinan terkena ISPA.

Kemungkinan hal ini terjadi karena rantai dingin vaksin kurang baik saat dibawa

ke posyandu yang jaraknya cukup jauh dari puskesmas, yang mengakibatkan

keefektifan vaksin menurun.

Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Dewi, dkk., di

kabupaten Klaten (1993), yang menyatakan bahwa ada hubungan antara

kelengkapan status Imunisasi dengan kejadian ISPA-pneumonia pada balita.

6.2.6 Hubungan Ventilasi Kamar Balita dengan Kejadian ISPA

Hasil penelitian didapatkan, balita yang tidak sakit ISPA yaitu sebagian

besar tinggal di rumah yang memiliki ventilasi yang memenuhi syarat, dan hanya

sebagian balita yang terkena ISPA tinggal di rumah yang ventilasinya tidak

memenuhi syarat.

Berdasarkan hasil analisis bivariat, bahwa ada hubungan yang bermakna

antara kepemilikan ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita, dan balita yang

tinggal di rumah dengan ventilasi yang tidak memenuhi syarat mempunyai

peluang yang lebih besar untuk terjadi ISPA. Ventilasi merupakan tempat keluar

masuknya udara dari dan keluar ruangan/ rumah, sehingga kualitas udara dalam

rumah tetap stabil.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Muhedir (2002), yang

menyatakan ada hubungan yang bermakna antara ventilasi dengan kejadian ISPA

pada balita. Begitu juga penelitian Nurjazuli dan Widyaningtyas (2009),

menyatakan balita yang tinggal di rumah dengan ventilasi yang tidak memenuhi

syarat mempunyai risiko menderita ISPA-pneumonia 23,889 kali lebih besar

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 80: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

65

Universitas Indonesia

dibanding dengan balita yang tinggal di rumah dengan luas ventilasi yang

memenuhi syarat.

6.2.7 Hubungan Kepadatan Penghuni Balita dengan Kejadian ISPA

Pada hasil penelitian, didapatkan bahwa proporsi balita tidak sakit

keseluruhannya tinggal di rumah yang tidak padat penghuni atau memenuhi syarat

tinggal, sedangkan balita lainnya yang menderita ISPA tinggal di rumah yang

kepadatan huniannya tidak memenuhi syarat.

Dan pada uji analisis bivariat didapatkan hasil adanya hubungan yang

bermakna antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada balita. Artinya

balita yang tinggal di tempat dimana kepadatan huniannya tidak memenuhi syarat

mempunyai risiko lebih besar terkena ISPA dibandingkan balita yang tinggal di

rumah dengan kepadatan hunian yang memenuhi syarat. Pada hunian rumah yang

padat akan memudahkan penularan penyakit khususnya penyakit saluran napas.

Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Irianto, B (2006), ada

hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian rumah balita dengan kejadian

penyakit ISPA pada balita.. Kemudian didukung penelitian oleh Nurjazuli dkk

(2009), yang menyatakan balita yang tinggal dengan kepadatan hunian yang

kurang baik mempunyai risiko menderita ISPA-pneumonia 45,156 kali lebih besar

disbanding dengan balita yang tinggal di rumah dengan kepadatan hunian yang

baik.

6.2.8 Hubungan Adanya Perokok dengan Kejadian ISPA pada Balita

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan proporsi balita yang tidak ISPA

dan tidak serumah dengan perokok sebanyak 66,7%, sedangkan pada balita yang

ISPA yaitu hampir seluruhnya tinggal serumah dengan perokok.

Hasil penelitian yang dilakukan berdasar analisis bivariat dengan chi

square menunjukkan bahwa adanya hubungan yang bermakna antara keberadaan

perokok dalam rumah dengan kejadian ISPA pada balita. Dan balita yang tinggal

serumah dengan perokok mempunyai peluang lebih besar terkena ISPA daripada

tinggal di rumah yang tidak ada anggota keluarga yang perokok.

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 81: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

66

Universitas Indonesia

Ribuan bahan kimia yang terdapat dalam asap rokok, dapat merusak

jaringan mukosa dalam hidung, sehingga mikroorganisme akan mudah masuk dan

berkembangbiak.

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Mudehir (2002) dan

Irianto, B (2006) yang sama-sama menyatakan ada hubungan yang bermakna

antara asap rokok di dalam rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada balita.

6.2.9 Hubungan Bahar Bakar Memasak dengan Kejadian ISPA pada Balita

Hasil penelitian menggambarkan bahwa proporsi ibu yang memasak

dengan menggunakan bahan bakar gas/ listrik 66,7% balitanya tidak sakit ISPA,

sedangkan ibu yang memasak menggunakan bahan bakar kayu/ minyak tanah,

58,8% menderita sakit ISPA.

Pada hasil uji analisis bivariat didapatkan bahwa tidak ada hubungan yang

bermakna antara bahan bakar yang digunakan ibu saat memasak dengan kejadian

ISPA pada balita. Hal ini terjadi karena hampir semua rumah penduduk memiliki

dapur yang terpisah dari ruang keluarga.

Asap sisa pembakaran memasak dengan kayu bakar/ minyak tanah yang

berupa partikulat dapat mencemari udara dalam rumah hal ini akan mempermudah

terserang penyakit saluran pernapasan, akan tetapi jika letak dapur dikondisikan/

terpisah dari ruangan rumah maka akan mengurangi risiko terkena penyakit

saluran pernapasan.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mudehir

(2002) dan Irianto, B (2006), yang sama-sama menyatakan tidak ada hubungan

yang bermakna antara bahan bakar memasak dengan kejadian ISPA pada balita.

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 82: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

67 Universitas Indonesia

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab

sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

1. Masih tingginya angka kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja

puskesmas Cibeber Kabupaten Lebak.

2. Pengetahuan ibu tentang penyakit ISPA masih rendah. Masih banyak ibu

balita yang tidak mengetahui faktor-faktor risiko dan bahaya dari penyakit

ISPA, kebanyakan ibu menyatakan ISPA merupakan suatu penyakit biasa

yang bisa sembuh dengan sendirinya.

3. Balita yang mendapatkan ASI eksklusif memiliki risiko lebih kecil untuk

terserang ISPA, sedangkan pada balita dengan riwayat berat lahir rendah

mempunyai risiko yang lebih besar untuk terserang ISPA. Meskipun

cakupan imunisasi sudah cukup baik namun angka kejadian ISPA pada

balita yang mendapat imunisasi lengkap masih tinggi.

4. Keberadaan perokok dalam rumah terbukti sangat mempengaruhi

kesehatan balita, terutama untuk terserang penyakit ISPA (OR= 40,5),

begitupula dengan kepemilikan ventilasi dalam rumah dan kepadatan

hunian yang tidak memenuhi syarat mempunyai andil terhadap balita

untuk terkena ISPA.

7.2 Saran

7.2.1 Saran bagi Masyarakat

1. Kepada anggota keluarga yang merokok khususnya para bapak, untuk

tidak merokok dalam rumah, atau sedapat mungkin berhenti

mengkonsumsi rokok yang terbukti bahwa asap rokok dapat menyebabkan

penyakit pada saluran pernapasan terutama ISPA.

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 83: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

68

Universitas Indonesia

2. Perlu diupayakan peningkatan pengetahuan bagi Kepala Keluarga atau

bapak tentang pentingnya menciptakan lingkungan sehat dalam keluarga.

Seperti dengan menjadi anggota KBPPKS (Kelompok Bapak Pemerhati

Dan Peduli Keluarga Sehat) baik di tingkat kecamatan maupun desa.

3. Bagi ibu hamil dianjurkan menjaga kesehatannya dengan memeriksakan

kehamilannya secara rutin ke petugas kesehatan agar dapat melahirkan

bayi yang sehat dengan berat badan normal.

4. Kepada masyarakat agar selalu mendukung ibu menyusui untuk

memberikan ASI eksklusif kepada bayinya sampai dengan usia 6 bulan

pertama.

5. Masyarakat diharapkan selalu memperhatikan dan berusaha agar

lingkungan rumahnya memenuhi syarat kesehatan salah satunya

kepemilikan ventilasi kamar (>10% luas lantai), kepadatan hunian (8m2/

per orang), jendela harus dibuka setiap hari (terutama pagi hari).

7.2.2 Saran bagi Petugas Kesehatan

1. Memprioritaskan upaya preventif seperti membentuk wadah untuk sarana

penyuluhan khususnya untuk para bapak. Seperti KBPPKS (Kelompok

Bapak Pemerhati Dan Peduli Keluarga Sehat), dimana pada saat

pertemuannya petugas dapat memberikan penyuluhan kepada bapak-bapak

mengenai kesehatan lingkungan rumah, keluarga maupun untuk dirinya

sendiri. Dengan harapan apa yang disampaikan dalam pertemuan dapat

diterapkan di lingkungannya masing-masing, berdasar pertimbangan

bahwa bapak adalah pemegang keputusan dalam rumah tangga.

2. Perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat

khususnya ibu tentang gejala dan tanda bahaya, penyebab, penularan, cara

mencegah dan mengatasi balita yang sakit ISPA.

3. Menjalin kerjasama dengan sektor lain dan para tokoh di masyarakat

khususnya pendekatan mengenai diadakannya KBPPKS.

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 84: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

69

Universitas Indonesia

7.2.3 Saran Penelitian Lanjut

Hasil penelitian ini masih banyak kelemahannya, walaupun demikian

harapannya hasil yang didapatkan bisa dipakai sebagai bahan bagi peneliti lain

untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang penyakit ISPA dengan desain

berbeda dan variabel-variabel lain yang tidak diteliti.

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 85: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

Universitas Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Umar, F. (2010). Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

Badan Pusat Statistik, BKKBN, Depkes RI. (2008). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007, Calverton, Maryland, USA : BPS dan Macro International.

Bruce, Nigel et.al. (2007). Bulletin of the WHO: Respiratory Infection in Guatemala. The International Journal Of Public Health, WHO.

Burroughs, H.E, CIAQP (et.al). (2008). Managing Indoor Air Quality, Fourth Edition. The Fairmont Press, inc.USA.

Chandra, Budiman, Dr. (2006). Pengantar Kesehatan Lingkungan. EGC, Jakarta.

Chin, James, MD, MPH. (2006). Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Infomedika, Jakarta.

Corwin, Elizabeth, J. (2009). Buku saku patofisiologi, edisi revisi 3. EGC, Jakarta.

CR, Simpson et.al. (2000). Health Bulletin vol 58 no.6 issued by Chief Medical Officer. Scottish Executive.

Depkes RI. (2004). Kajian riset operasional intensifikasi pemberantasan penyakit menular. Dirjen P2M Balitbangkes, Jakarta.

Depkes RI. (2009). Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Vol. XIX. Depkes RI Balitbangkes, Jakarta.

Depkes RI. (2009). Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Riskesdas Provinsi Banten Tahun 2007, Depkes RI, Jakarta.

Depkes RI. (2009). Pedoman Pengendalian Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut. Depkes RI Dirjen P2PL, Jakarta.

Depkes RI. (2010). Riset Kesehatan Dasar 2010. Balitbangkes Kementrian Kesehatan RI Tahun 2010, Jakarta.

Djaja, Sarimawar. (1999). Buletin, Penelitian Kesehatan. Depkes RI Balitbangkes, Jakarta.

Djojodibroto, Darmanto, R, Dr, Sp.P, FCCP. (2009). Respiratologi (Respiratory Medicine). EGC, Jakarta.

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 86: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

Universitas Indonesia

Erfandi. (2009). Pengetahuan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi. http://forbetterhealth.wordpress.com/2009/04/19/pengetahuan-dan-faktor-faktor-yang-mempengaruhi/ . Pro-Health. Kamis 2 juni 2011.

Evenhouse, Eirik dan Reilly Siobhan. (2005). Peningkatan Perkiraan Manfaat Menyusui Menggunakan Perbandingan saudara untuk Mengurangi Bias Seleksi. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1361236/26062011/10.30 wib

Hastono, Sutanto Priyo. (2007). Analisis Data Kesehatan. FKM UI, Depok.

Hendarwan, Harimat. (2005). Artikel, Media Litbang Kesehatan Vol XV No 3. Puslitbangkes, Jakarta.

Hidayat, Alimul Aziz, A. (2008). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan Kebidanan. Salemba Medika, Jakarta.

http://www.askep-askeb.cz.cc/2010/05/pengetahuan-tentang-ispa-pada-ibu-yang.html/ 25-2-2011.

http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/statistika_probilitas/bab1-teknik_penarikan_sampel.pdf/ kamis,9/6/2011/9.52 wib.

Irianto, Bambang. (2006). Hubungan Faktor Lingkungan Rumah Dan Karakteristik Balita Dengan Kejadian Penyakit ISPA Pada Balita Di Wilayah Kecamatan Lemahwungkuk Kota Cirebon. Program Pascasarjana IKM UI.

Johanes. (2006). Particulate Matter (PM10) Dalam Rumah Sebagai Faktor Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Balita Di Kecamatan Payakumbuh Kabupaten Lima Puluh Kota. Program Pascasarjana IKM UI.

Kasjono, Heru Subaris dan Yasril. (2009). Teknik Sampling untuk Penelitian Kesehatan. Graha Ilmu, Yogyakarta.

Klein, Susan et.al. (2004). A book for Midwives, care for pregnancy, birth, and women’s health. The Hesperian Foundation Berkeley, California, USA.

Kresno, Sudarti. (2000). Makara Jurnal Penelitian Universitas Indonesia, No. 4, Seri A. Jakarta.

Lindawaty. (2010). Particulat (Pm10) Udara Rumah Tinggal Yang Mempengaruhi Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Balita (Penelitian Di Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan Tahun 2009-2010). Program Pacsasarjana IKM UI.

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 87: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

Universitas Indonesia

Lemesyow, S et al. ( 1997). Besar Sampel Dalam Penelitian Kesehatan. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Mudehir, Muridi. (2002). Hubungan Faktor-faktor Lingkungan Rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada anak balita di kecamatan Jambi Selatan. Program Pasca Sarjana IKM UI.

Maryunani, Anik. (2010). Ilmu Kesehatan Anak dalam Kebidanan. Trans Info Media, Jakarta.

Murphy, Elaine M. (2004). Health Bulletin: Promoting Healthy Behavior. Population Reference Bureau.

Muttaqin, Arif. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan system Pernapasan. Salemba Medika, Jakarta.

Ngastiyah. (2005). Perawatan Anak Sakit, edisi 2. EGC, Jakarta.

Notoatmodjo, Soekidjo, Prof. Dr. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta, Jakarta

Nurmiati dan Besral. (2008). Makara : Seri Kesehatan, Vol. 12, No. 2.Universitas Indonesia, Depok.

Nursalam, DR, M.Nurs (Hons) et.al. (2005). Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak (untuk Perawat dan Bidan). Salemba Medika, Jakarta.

Nurjazuli dan Retno Widyaningtyas. (2009). Jurnal Respirologi Indonesia, Majalah resmi perhimpunan dokter paru Indonesia, Vol. 29, No. 2.

Pratiknya, Ahmad Watik, Dr. (2007). Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Rajawali Pers, Jakarta.

Price, Sylvia, A (et.al). (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. EGC, Jakarta.

Profil Kecamatan Cibeber. (2010). Cibeber, Banten.

Profil Puskesmas DTP Cibeber. (2010). Cibeber, Banten.

Purawidjaja, Sudirman. (2000). Hubungan Praktek Penanganan ISPA Oleh Ibu Ditingkat Keluarga Dengan Kejadian Pneumonia Balita Di Puskesmas Kabupaten Bandung.Program Pasca Sarjana, IKM UI

Putro, Gurendro dan Priyo Santoso. (2006). Artikel, Medika Jurnal Kedokteran Indonesia, vol XXXII, No. 9. Jakarta.

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 88: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

Universitas Indonesia

Robertson, Susan E. (2004). Bulletin of the WHO, The International Journal of Public Health. WHO, USA.

Sugiyono, Prof, Dr. (2009). Metode Penelitian Kuntitatif Kualitatif dan R&D. Alfabeta, Bandung.

Soesanto, Sri Soewasti dkk. (2000). Artikel, Media Litbang Kesehatan Vol X No 2. Balitbangkes, Jakarta.

The World Health Report. (2002). Reducing Risks, Promoting Healthy Life. WHO.

Ustun, A. Pruss and C. Corvalan. (2006). Preventing Disease Through Healthy Environments : Toward an estimate of the environmental burden of disease. WHO.

Utomo, Budi. (2007). Tantangan Pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) Bidang Kesehatan di Indonesia. Lokakarya pembangunan Bangsa dan Negara Indonesia, Depok .

Weber, W. Martin, et.al.(1998). Respiratory syncytial virus infection in tropical and developing countries. Tropical Medicine and International Health, vol. 3 no. 4 PP 268-280.WHO. Geneva, Switzerland.

Widagdo dkk. (2007). Univers a Medicina, Vol. 26, No.4. Jakarta.

Widyaastuti, Harwina, Ns, S.Kep. (2010). Asuhan Keperawatan Anak Dengan Gangguan System Pernapasan. Trans Info Media, Jakarta.

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 89: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 90: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 91: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 92: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

PANDUAN KUESIONER PENELITIAN

PENGETAHUAN IBU DAN PENCEMAR UDARA DALAM RUANG DENGAN

KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI PUSKESMAS CIBEBER

KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN TAHUN 2011

Hari/tanggal :

Nama Pewawancara :

No responden :

I. Karakteristik Ibu Balita

1. Nama ibu :………………………

2. Alamat :………………………

3. Umur :………………………

(Lingkari jawaban yang disebutkan responden)

4. Pendidikan :

1. Tidak sekolah 4. Tamat SLTP

2. Tidak tamat 5. Tamat SMU/ Diploma

3. Tamat SD 6. Tamat D3/ PT

5. Pekerjaan ibu (yang menghasilkan uang) :

1. Ibu Rumah Tangga 4. Karyawan/ buruh

2. PNS/ ABRI 5. Wiraswasta

3. Pegawai swasta 6. Pedagang

II. Karakteristik balita

1. Nama Anak : …………

2. Umur : ………..bulan

3. Jenis Kelamin : 1. Laki-laki 2. Perempuan

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 93: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

4. Berat badan saat lahir :

1. < 2500 gr

2. ≥ 2500 gr

5. Apakah balita Ibu mempunyai KMS/ Buku KIA?

1. Ya 2. Tidak

6. Apakah berat badan balita ibu pernah berada di bawah garis merah?

1. Ya 2. Tidak

7. Berapakah berat badan balita ibu saat ini?...........Kg

8. Apakah balita ibu pernah diimunisasi DPT?

1. Ya 2. Tidak

9. Bila ya, berapa kali?............

10. Apakah balita ibu pernah diimunisasi campak?

1. Ya 2. Tidak

11. Kapan diberikan tanggal/ bulan/ tahun : ……./……/……

12. Apakah sejak lahir balita ibu diberi ASI?

1. Ya 2. Tidak

13. Pada usia berapa ibu memberikan MP-ASI?

1. < 6 bulan 2. ≥ 6 bulan

14. Apakah ibu membawa balita datang ke puskesmas untuk berobat?

1. Ya 2. Tidak

15. Kapan terakhir balita ibu menderita penyakit panas, batuk, pilek?

1. Sebulan yang lalu

2. 2 minggu yang lalu

3. Saat ini

4. Lainnya, sebutkan……………..

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 94: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

III. Pengetahuan Ibu tentang ISPA

16. Apakah ibu pernah mendengar penyakit ISPA (batuk, pilek, napas sesak/ cepat)?

1. Pernah 2. Tidak

17. Menurut ibu, apa saja tanda-tanda (gejala) penyakit ISPA?

(jawaban bisa lebih dari satu)

1. Batuk

2. Sesak napas

3. Napas cepat

4. Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam

5. Lain-lain, sebutkan :…….

6. Tidak tahu

18. Menurut ibu penyakit ini disebabkan oleh apa?

(jawaban bisa lebih dari satu)

1. Bakteri

2. Virus

3. Kuman

4. Cuaca buruk

5. Debu

6. Takdir

7. Tidak tahu

8. Lain-lain, sebutkan……

19. Menurut ibu, apakah penyakit ISPA termasuk penyakit yang berbahaya?

1. Ya 2. Tidak

20. Bila ya, sebutkan alasannya…………

Bila tidak, sebutkan alasannya………

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 95: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

21. Apa saja yang menyebabkan balita mudah terkena ISPA?

(jawaban bisa lebih dari satu)

1. Tertular oleh penderita batuk

2. Imunisasi yang tidak lengkap

3. Kurang gizi serta pemberian ASI yang tidak memadai

4. Menghirup asap atau debu secara berulang-ulang

5. Tinggal di lingkungan yang tidak sehat

22. Bagaimana cara ibu untuk mencegah agar balita tidak terkena penyakit ISPA?

(jawaban bisa lebih dari satu)

1. Menjauhkan balita dari penderita batuk

2. Imunisasi lengkap

3. Memberikan ASI pada bayi/balita dari usia 0-2 tahun

4. Lingkungan dan ruangan yang bebas dari pencemaran udara

5. Menjauhkan bayi dari asap ( rokok, kendaraan, dll) dan debu

23. Apa yang ibu lakukan, apabila anak balita mengalami batuk dan sesak?

1. Diobati sendiri lebih dulu

2. Di bawah ke dokter/ perawat/ bidan/ Rumah Sakit

3. Dibiarkan

4. Lain-lain, sebutkan : ……..

IV. Kondisi Lingkungan Rumah

24. Berapa jumlah yang tinggal dalam rumah?...............orang

25. Berapa luas bangunan rumah?........x……cm

26. Berapa luas kamar tidur balita?.......x…….cm

27. Berapa jumlah kamar tidur di rumah ibu? (lingkari satu jawaban)

1. 1 buah 3. 3 buah

2. 2 buah 4. 4 buah

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 96: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

28. Berapa banyak jumlah orang yang tidur satu kamar dengan balita?

(lingkari satu jawaban)

1. 1 orang

2. 2 orang

3. 3 orang

4. 4 orang

29. Apakah kamar balita ibu memiliki jendela?

1. Ya 2. Tidak

30. Apakah jendela di rumah ibu selalu dibuka tiap hari?

1. Ya 2. Tidak

31. Apakah ibu memiliki dapur?

1. Ya 2. Tidak

32. Apa jenis bahan bakar yang paling sering digunakan untuk memasak di rumah :

1. Gas

2. Listrik

3. Minyak tanah

4. Kayu bakar

33. Apakah dalam keluarga Ibu ada yang merokok di dalam rumah :

1. Ya 2. Tidak

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 97: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

LAMPIRAN

Skor Pengetahuan Ibu

Statistics

peng_ibu106

0

32.4151

32.0000

32.00

4.07751

16.626

20.00

43.00

Valid

Missing

N

Mean

Median

Mode

Std. Deviation

Variance

Minimum

Maximum

peng_ibu

1 .9 .9 .9

2 1.9 1.9 2.8

7 6.6 6.6 9.4

2 1.9 1.9 11.3

7 6.6 6.6 17.9

9 8.5 8.5 26.4

15 14.2 14.2 40.6

31 29.2 29.2 69.8

5 4.7 4.7 74.5

6 5.7 5.7 80.2

3 2.8 2.8 83.0

1 .9 .9 84.0

5 4.7 4.7 88.7

1 .9 .9 89.6

2 1.9 1.9 91.5

4 3.8 3.8 95.3

3 2.8 2.8 98.1

2 1.9 1.9 100.0

106 100.0 100.0

20.00

26.00

27.00

28.00

29.00

30.00

31.00

32.00

33.00

34.00

35.00

36.00

37.00

38.00

40.00

41.00

42.00

43.00

Total

ValidFrequency Percent Valid Percent

CumulativePercent

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 98: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

Output Analisis Univariat

ISPA

85 80,2 80,2 80,2

21 19,8 19,8 100,0

106 100,0 100,0

sakit

tidak sakit

Total

ValidFrequency Percent Valid Percent

CumulativePercent

PENGETAHUAN_IBU

74 69.8 69.8 69.8

32 30.2 30.2 100.0

106 100.0 100.0

Kurang

Baik

Total

ValidFrequency Percent Valid Percent

CumulativePercent

Beratbadan_Lahir

29 27.4 27.4 27.4

77 72.6 72.6 100.0

106 100.0 100.0

BBLR

Normal

Total

ValidFrequency Percent Valid Percent

CumulativePercent

Status_ASI

31 29.2 29.2 29.2

75 70.8 70.8 100.0

106 100.0 100.0

tidak eksklusif

eksklusif

Total

ValidFrequency Percent Valid Percent

CumulativePercent

ST_imun

25 23,6 23,6 23,6

81 76,4 76,4 100,0

106 100,0 100,0

tidak lengkap

lengkap

Total

ValidFrequency Percent Valid Percent

CumulativePercent

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 99: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

ventilasi

45 42,5 42,5 42,5

61 57,5 57,5 100,0

106 100,0 100,0

tidak memenuhi syarat

memenuhi syarat

Total

ValidFrequency Percent Valid Percent

CumulativePercent

kepadtn_penghuni

45 42.5 42.5 42.5

61 57.5 57.5 100.0

106 100.0 100.0

tdk memenuhi syarat

memenuhi syarat

Total

ValidFrequency Percent Valid Percent

CumulativePercent

perokok

88 83,0 83,0 83,0

18 17,0 17,0 100,0

106 100,0 100,0

ya

tidak ada

Total

ValidFrequency Percent Valid Percent

CumulativePercent

bahanbakar_masak

57 53.8 53.8 53.8

49 46.2 46.2 100.0

106 100.0 100.0

kayubakar/minyak tanah

gas/listrik

Total

ValidFrequency Percent Valid Percent

CumulativePercent

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 100: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

Output Analisis Bivariat

1. Pengetahuan → signifikan

PENGETAHUAN_IBU * ISPA Crosstabulation

65 9 74

87.8% 12.2% 100.0%

76.5% 42.9% 69.8%

20 12 32

62.5% 37.5% 100.0%

23.5% 57.1% 30.2%

85 21 106

80.2% 19.8% 100.0%

100.0% 100.0% 100.0%

Count

% withinPENGETAHUAN_IBU

% within ISPA

Count

% withinPENGETAHUAN_IBU

% within ISPA

Count

% withinPENGETAHUAN_IBU

% within ISPA

Kurang

Baik

PENGETAHUAN_IBU

Total

sakit tidak sakit

ISPA

Total

Chi-Square Tests

9.028b 1 .003

7.503 1 .006

8.407 1 .004

.006 .004

8.943 1 .003

106

Pearson Chi-Square

Continuity Correctiona

Likelihood Ratio

Fisher's Exact Test

Linear-by-LinearAssociation

N of Valid Cases

Value dfAsymp. Sig.

(2-sided)Exact Sig.(2-sided)

Exact Sig.(1-sided)

Computed only for a 2x2 tablea.

0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.34.

b.

Risk Estimate

4.333 1.596 11.768

1.405 1.061 1.862

.324 .152 .692

106

Odds Ratio forPENGETAHUAN_IBU(.00 / 1.00)

For cohort ISPA = sakit

For cohort ISPA = tidaksakit

N of Valid Cases

Value Lower Upper

95% ConfidenceInterval

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 101: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

2. BBL → signifikan

Beratbadan_Lahir * ISPA Crosstabulation

29 0 29

100.0% .0% 100.0%

34.1% .0% 27.4%

56 21 77

72.7% 27.3% 100.0%

65.9% 100.0% 72.6%

85 21 106

80.2% 19.8% 100.0%

100.0% 100.0% 100.0%

Count

% withinBeratbadan_Lahir

% within ISPA

Count

% withinBeratbadan_Lahir

% within ISPA

Count

% withinBeratbadan_Lahir

% within ISPA

BBLR

Normal

Beratbadan_Lahir

Total

sakit tidak sakit

ISPA

Total

Chi-Square Tests

9.863b 1 .002

8.221 1 .004

15.292 1 .000

.001 .001

9.770 1 .002

106

Pearson Chi-Square

Continuity Correctiona

Likelihood Ratio

Fisher's Exact Test

Linear-by-LinearAssociation

N of Valid Cases

Value dfAsymp. Sig.

(2-sided)Exact Sig.(2-sided)

Exact Sig.(1-sided)

Computed only for a 2x2 tablea.

0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.75.

b.

Risk Estimate

1.375 1.199 1.577

106

For cohort ISPA = sakit

N of Valid Cases

Value Lower Upper

95% ConfidenceInterval

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 102: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

3. Status ASI → signifikan

Status_ASI * ISPA Crosstabulation

31 0 31

100.0% .0% 100.0%

36.5% .0% 29.2%

54 21 75

72.0% 28.0% 100.0%

63.5% 100.0% 70.8%

85 21 106

80.2% 19.8% 100.0%

100.0% 100.0% 100.0%

Count

% within Status_ASI

% within ISPA

Count

% within Status_ASI

% within ISPA

Count

% within Status_ASI

% within ISPA

tidak eksklusif

eksklusif

Status_ASI

Total

sakit tidak sakit

ISPA

Total

Chi-Square Tests

10,824b 1 ,001

9,134 1 ,003

16,585 1 ,000

,000 ,000

10,722 1 ,001

106

Pearson Chi-Square

Continuity Correctiona

Likelihood Ratio

Fisher's Exact Test

Linear-by-LinearAssociation

N of Valid Cases

Value dfAsymp. Sig.

(2-sided)Exact Sig.(2-sided)

Exact Sig.(1-sided)

Computed only for a 2x2 tablea.

0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is6,14.

b.

Risk Estimate

1,389 1,206 1,599

106

For cohort ISPA = sakit

N of Valid Cases

Value Lower Upper

95% ConfidenceInterval

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 103: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

4. Status Imunisasi

ST_imun * ISPA Crosstabulation

22 3 25

88,0% 12,0% 100,0%

25,9% 14,3% 23,6%

63 18 81

77,8% 22,2% 100,0%

74,1% 85,7% 76,4%

85 21 106

80,2% 19,8% 100,0%

100,0% 100,0% 100,0%

Count

% within ST_imun

% within ISPA

Count

% within ST_imun

% within ISPA

Count

% within ST_imun

% within ISPA

tidak lengkap

lengkap

ST_imun

Total

sakit tidak sakit

ISPA

Total

Chi-Square Tests

1,257b 1 ,262

,695 1 ,404

1,370 1 ,242

,391 ,205

1,245 1 ,265

106

Pearson Chi-Square

Continuity Correction a

Likelihood Ratio

Fisher's Exact Test

Linear-by-LinearAssociation

N of Valid Cases

Value dfAsymp. Sig.

(2-sided)Exact Sig.(2-sided)

Exact Sig.(1-sided)

Computed only for a 2x2 tablea.

1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is4,95.

b.

Risk Estimate

2,095 ,562 7,805

1,131 ,940 1,362

,540 ,173 1,683

106

Odds Ratio for ST_imun(tidak lengkap / lengkap)

For cohort ISPA = sakit

For cohort ISPA = tidaksakit

N of Valid Cases

Value Lower Upper

95% ConfidenceInterval

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 104: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

5. Ventilasi → signifikan

ventilasi * ISPA Crosstabulation

43 2 45

95,6% 4,4% 100,0%

50,6% 9,5% 42,5%

42 19 61

68,9% 31,1% 100,0%

49,4% 90,5% 57,5%

85 21 106

80,2% 19,8% 100,0%

100,0% 100,0% 100,0%

Count

% within ventilasi

% within ISPA

Count

% within ventilasi

% within ISPA

Count

% within ventilasi

% within ISPA

tidak memenuhi syarat

memenuhi syarat

ventilasi

Total

sakit tidak sakit

ISPA

Total

Chi-Square Tests

11,623b 1 ,001

10,003 1 ,002

13,491 1 ,000

,000 ,000

11,514 1 ,001

106

Pearson Chi-Square

Continuity Correction a

Likelihood Ratio

Fisher's Exact Test

Linear-by-LinearAssociation

N of Valid Cases

Value dfAsymp. Sig.

(2-sided)Exact Sig.(2-sided)

Exact Sig.(1-sided)

Computed only for a 2x2 tablea.

0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is8,92.

b.

Risk Estimate

9,726 2,132 44,373

1,388 1,159 1,662

,143 ,035 ,582

106

Odds Ratio for ventilasi(tidak memenuhi syarat/ memenuhi syarat)

For cohort ISPA = sakit

For cohort ISPA = tidaksakit

N of Valid Cases

Value Lower Upper

95% ConfidenceInterval

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 105: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

6. kepadatan hunian→ signifikan

kepadtn_penghuni * ISPA Crosstabulation

45 0 45

100.0% .0% 100.0%

52.9% .0% 42.5%

40 21 61

65.6% 34.4% 100.0%

47.1% 100.0% 57.5%

85 21 106

80.2% 19.8% 100.0%

100.0% 100.0% 100.0%

Count

% within kepadtn_penghuni

% within ISPA

Count

% within kepadtn_penghuni

% within ISPA

Count

% within kepadtn_penghuni

% within ISPA

tdk memenuhi syarat

memenuhi syarat

kepadtn_penghuni

Total

sakit tidak sakit

ISPA

Total

Chi-Square Tests

19.319b 1 .000

17.213 1 .000

26.982 1 .000

.000 .000

19.137 1 .000

106

Pearson Chi-Square

Continuity Correctiona

Likelihood Ratio

Fisher's Exact Test

Linear-by-LinearAssociation

N of Valid Cases

Value dfAsymp. Sig.

(2-sided)Exact Sig.(2-sided)

Exact Sig.(1-sided)

Computed only for a 2x2 tablea.

0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8.92.

b.

Risk Estimate

1.525 1.271 1.829

106

For cohort ISPA = sakit

N of Valid Cases

Value Lower Upper

95% ConfidenceInterval

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 106: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

7. Perokok → signifikan

perokok * ISPA Crosstabulation

81 7 88

92,0% 8,0% 100,0%

95,3% 33,3% 83,0%

4 14 18

22,2% 77,8% 100,0%

4,7% 66,7% 17,0%

85 21 106

80,2% 19,8% 100,0%

100,0% 100,0% 100,0%

Count

% within perokok

% within ISPA

Count

% within perokok

% within ISPA

Count

% within perokok

% within ISPA

ya

tidak ada

perokok

Total

sakit tidak sakit

ISPA

Total

Chi-Square Tests

45,859b 1 ,000

41,569 1 ,000

37,591 1 ,000

,000 ,000

45,426 1 ,000

106

Pearson Chi-Square

Continuity Correction a

Likelihood Ratio

Fisher's Exact Test

Linear-by-LinearAssociation

N of Valid Cases

Value dfAsymp. Sig.

(2-sided)Exact Sig.(2-sided)

Exact Sig.(1-sided)

Computed only for a 2x2 tablea.

1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is3,57.

b.

Risk Estimate

40,500 10,466 156,715

4,142 1,742 9,852

,102 ,048 ,217

106

Odds Ratio for perokok(ya / tidak ada)

For cohort ISPA = sakit

For cohort ISPA = tidaksakit

N of Valid Cases

Value Lower Upper

95% ConfidenceInterval

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011

Page 107: KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN

8. bahan bakar masak

bahanbakar_masak * ISPA Crosstabulation

50 7 57

87.7% 12.3% 100.0%

58.8% 33.3% 53.8%

35 14 49

71.4% 28.6% 100.0%

41.2% 66.7% 46.2%

85 21 106

80.2% 19.8% 100.0%

100.0% 100.0% 100.0%

Count

% withinbahanbakar_masak

% within ISPA

Count

% withinbahanbakar_masak

% within ISPA

Count

% withinbahanbakar_masak

% within ISPA

kayubakar/minyak tanah

gas/listrik

bahanbakar_masak

Total

sakit tidak sakit

ISPA

Total

Chi-Square Tests

4.402b 1 .036

3.436 1 .064

4.435 1 .035

.050 .032

4.360 1 .037

106

Pearson Chi-Square

Continuity Correction a

Likelihood Ratio

Fisher's Exact Test

Linear-by-LinearAssociation

N of Valid Cases

Value dfAsymp. Sig.

(2-sided)Exact Sig.(2-sided)

Exact Sig.(1-sided)

Computed only for a 2x2 tablea.

0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.71.

b.

Risk Estimate

2.857 1.046 7.804

1.228 1.003 1.503

.430 .189 .979

106

Odds Ratio forbahanbakar_masak(kayubakar/minyaktanah / gas/listrik)

For cohort ISPA = sakit

For cohort ISPA = tidaksakit

N of Valid Cases

Value Lower Upper

95% ConfidenceInterval

Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011