34
STULOS 12/2 (September 2013) 211-244 KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN: REFLEKSI SEMINARIAN INJILI Togardo Siburian Abstrak: Tulisan ini bertujuan untuk meninjau ulang konsep keilmuan teologi dan penelitian kepustakaan (library research) yang umum dalam Skripsi dan Tesis studi teologi. Secara tertentu jenis metode ini sangat unggul untuk mengembangkan keilmuan teologi, yang bekerja dalam refleksi sistematis (logis). Keilmuan teologi secara konseptual terkategori riset berpendekatan kualitatif yang bertugas memahami, menilai, dan menafsirkan data. Hanya saja kurang melihat pentingnya proses kajian pustaka dalam hal menggali informasi dari buku-buku perpustakaan yang setara dengan penelitian kancah (lapangan) dalam meraih gelar akademis. Prosedur baku, prinsipnya standar, bukan sekedar penulisan yang menggunakan kutipan, yang cenderung jatuh dalam plagiatisme. Dengan demikian teologi dapat juga terpandang dalam pengerjaan keilmuannya, walau pada tataran konsep-konsep teoritis. Selama ini skripsi dan tesis teologi terbilang hanya pada tahap bab 2 saja dari proses ilmiah formal. Walaupun berdasar pada data dari tulisan-tulisan yang sudah ada, teori yang dihasilkan harus tetap secara kreatif dan inovatif dalam gagasan spekulatif. Tidak ada salahnya memakai riset kepustakaan Tugas Akhir (TA) teologi Injili. Namun tetap perlu pengerjaan lebih baku yang terlampir. Kata kunci: Keilmuan teologi, penelitian kualitatif, metode kepustakaan, proses-prosedural, skripsi/tesis, injili. PENDAHULUAN Studi Teologi biasanya bekerja dalam refleksi sistematis berdasarkan studi pustaka. Dalam skripsi/tesis teologis, penelitian perpustakaan sering kurang ditangani dengan baik, hanya merupakan prosedur baku dan menitikberatkan pada penulisan. Jika ditanya, maka mahasiswa injili selalu

KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN: … · teologi dalam menulis esai dan opini, bahkan makalah harus diperluas ... metode-metode keilmuan.6 Padahal ilmu itu telah digolong-golongkan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN: … · teologi dalam menulis esai dan opini, bahkan makalah harus diperluas ... metode-metode keilmuan.6 Padahal ilmu itu telah digolong-golongkan

STULOS 12/2 (September 2013) 211-244

KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN

KEPUSTAKAAN: REFLEKSI SEMINARIAN INJILI

Togardo Siburian

Abstrak: Tulisan ini bertujuan untuk meninjau ulang konsep keilmuan teologi

dan penelitian kepustakaan (library research) yang umum dalam

Skripsi dan Tesis studi teologi. Secara tertentu jenis metode ini sangat

unggul untuk mengembangkan keilmuan teologi, yang bekerja dalam

refleksi sistematis (logis). Keilmuan teologi secara konseptual terkategori

riset berpendekatan kualitatif yang bertugas memahami, menilai, dan

menafsirkan data. Hanya saja kurang melihat pentingnya proses kajian

pustaka dalam hal menggali informasi dari buku-buku perpustakaan

yang setara dengan penelitian kancah (lapangan) dalam meraih gelar

akademis. Prosedur baku, prinsipnya standar, bukan sekedar penulisan

yang menggunakan kutipan, yang cenderung jatuh dalam plagiatisme.

Dengan demikian teologi dapat juga terpandang dalam pengerjaan

keilmuannya, walau pada tataran konsep-konsep teoritis. Selama ini

skripsi dan tesis teologi terbilang hanya pada tahap bab 2 saja dari

proses ilmiah formal. Walaupun berdasar pada data dari tulisan-tulisan

yang sudah ada, teori yang dihasilkan harus tetap secara kreatif dan

inovatif dalam gagasan spekulatif. Tidak ada salahnya memakai riset

kepustakaan Tugas Akhir (TA) teologi Injili. Namun tetap perlu

pengerjaan lebih baku yang terlampir.

Kata kunci: Keilmuan teologi, penelitian kualitatif, metode kepustakaan,

proses-prosedural, skripsi/tesis, injili.

PENDAHULUAN

Studi Teologi biasanya bekerja dalam refleksi sistematis berdasarkan

studi pustaka. Dalam skripsi/tesis teologis, penelitian perpustakaan sering

kurang ditangani dengan baik, hanya merupakan prosedur baku dan

menitikberatkan pada penulisan. Jika ditanya, maka mahasiswa injili selalu

Page 2: KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN: … · teologi dalam menulis esai dan opini, bahkan makalah harus diperluas ... metode-metode keilmuan.6 Padahal ilmu itu telah digolong-golongkan

212 KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN

mengatakan “sedang menulis” dan melupakan bahwa inti TA dalam

skripsi adalah penelitian. Jadi tidak seperti menulis buku, yang tanpa

melibatkan prosedur formal akademis. Khusus lulusan S.Th./M.Th. selama

ini hanya menunjukkan hasil akhir tanpa memperlihatkan aktivitas riset

yang terlampir.

Akademisi Injili teologi harus melihat itu secara positif, dengan

meninjau kembali hal-hal dasar yang harus dipegang dalam tugas akhir,

yaitu: 1) “must always be objective” dalam arti 2) “is an act of discovery”

yang dalam riset perpustakaan termasuk 3) must be involves going to the

library, collecting information from books, jadi semua ini melibatkan

aktivitas mendalam 4) the process of research [isn’t] basically finding

facts that agree with my opinion only”, karena 5) “everythings you read

in the text books is true [facts]”, dengan mengingat juga 6) “a big

difference between facts of sciences and the facts in the humanities”.1

Singkatnya, yang utama dalam riset skripsi/tesis adalah tentang proses

dan bukanlah tentang hasil. Dengan demikian keterampilan mahasiswa

teologi dalam menulis esai dan opini, bahkan makalah harus diperluas

dalam penelitian perpustakaan formal dan lengkap dalam skripsi/tesis.

Menurut penulis, yang paling genting bagi seorang penulis skripsi/

tesis teologi, jenjang apapun, yang sekaligus terlupakan oleh dosen di

seminari adalah kegiatan “siluman” tanpa format penelitian baku. Bahkan

menulis skripsi S1 dan tesis S2, khususnya di seminari Injili, seringkali

dilakukan seperti menulis makalah (semesteran) 12-15 halaman yang

‘dipanjang-panjangkan’ menjadi 80-100 halaman. Kesannya aktivitas

penelitian tidak mementingkan ‘proses’, tetapi hanya menyerahkan

tulisan jadinya saja. Kelak skripsi dan tesis teologi tidak boleh lagi

dikerjakan seperti menulis makalah semesteran, tetapi harus ada langkah

prosedural secara formal.

Untuk itulah skripsi (dan tesis) pada penelitian perpustakaan (library

research) dalam studi teologi harus mulai menyadari keutamaan proses

1Lih juga dan bdk Bruce Ballenger, The Curious Researcher: A Guide to Writing

Papers (revsd prin, Boston, London, Etc: Allyn & Bacon. 1999), 2.

Page 3: KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN: … · teologi dalam menulis esai dan opini, bahkan makalah harus diperluas ... metode-metode keilmuan.6 Padahal ilmu itu telah digolong-golongkan

JURNAL TEOLOGI STULOS 213

baku penelitian yang terlampir secara formal, bukan hanya hasil cetak

akhir saja. Sehingga para akademisi injili tidak perlu tergopoh-gopoh

untuk langsung mengganti riset kepustakaan dengan riset kancah (baik

secara kuantitatif dan kualitatif). Namun begitu, jika ada murid yang

ingin turun ke lapangan, maka tidak boleh juga langsung ditolak dengan

anggapan terlalu berat. Faktanya riset lapangan lebih ringan energinya,

--tetapi hasilnya lebih maksimal dalam fakta-- dibandingkan berpikir

filosofis dalam riset kepustakaan.

Kondisi itu dapat kontra-produktif bagi bobot sang dosen juga,

karena mungkin akan dinilai oleh mahasiswa, “How much I get out of

school depends on the quality of my teachers.”2 Pernyataan itu tentu

terkait pada kualitas dosen akan pemahaman ragam-ragam riset akademis.

Disinilah idealisme tugas dosen untuk membimbing bukan menghakimi,

dengan mengatakan, “Anda tidak sanggup riset lapangan karena S1”;

karena itu bisa menjadi ‘senjata makan tuan’, “Kamu juga!” Disini

dibutuhkan kesadaran para dosen teologi -yang hanya biasa pada studi

kepustakaan-, untuk meningkatkan kemampuan riset lapangan.

Perguruan Tinggi Teologi harus mempelopori kebebasan akademis

bagi murid sebagai “... the breath of life of democratic society”3, sambil

tetap mengingat terus “the need is greatest in the fields of higher learning,

where the use of reason and the cultivation of the highest forms of human

expression are the basic method.”4 Itu adalah modal dasar dosen sebagai

pelopor perguruan tinggi yang dituntut komitmen akademis yang terkait

dengan riset. Sebab “without freedom to explore… and advocate

solutions to human problems, the faculty member and student cannot

perform their work…”; walau harus tetap diingat juga “but the purpose of

our liberty lie, in a democracy, in the common welfare…that the men

2Ibid. 3Louis Joghin, ed., Academic Freedom and Tenure: A Handbook of The American

Association of University Professors (Wisconsin: The University of Wisconsin Press, 1967), 47.

4Ibid., 48.

Page 4: KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN: … · teologi dalam menulis esai dan opini, bahkan makalah harus diperluas ... metode-metode keilmuan.6 Padahal ilmu itu telah digolong-golongkan

214 KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN

concerned speak their minds without fear of retribution.”5 Disini kelak,

seminari akan terpandang di dalam masyarakat (khususnya gereja), ketika

menyadari statusnya sebagai pencerah masa kini melalui riset yang

konkrit. Namun yang tetap perlu diingat bagi mahasiswa injili adalah,

kebebasan akademik bukanlah anarkhisme berpikir tanpa sistem pemikiran

teologis yang konsisten. Idealisme “pemikir bebas” bukanlah berarti

bebas dari aturan sebagai seorang calon sarjana-pelayan gerejawi.

Teologi sebagai Kegiatan Keilmuan Aplikatif

Kata “ilmiah” pada masa kini sering diperlawankan dengan kata

“alamiah” di dalam keilmuan. Hal ini dikarenakan oleh dasar paradigma

metodologi riset yang berbeda, bahkan berlawanan dan tidak bisa

disatukan penggunaannya. Artinya, yang satu dengan kajian positivistik

dan yang lain dengan kajian naturalistik. Itu antara pembuktian material

empiris, yang kedua pembuktian pengalaman natural: cara pertama

disebut “logika induktif” dan cara kedua disebut “logika deduktif.”

Keduanya adalah sama-sama bidang studi keilmuan dalam cabang-

cabang yang berbeda. Sedangkan teologi lebih bersifat deduktif dalam

cara berpikir spekulatif-konseptual. Sebenarnya studi teologi memakai

cara pikir yang komplit antara metode induktif dalam penafsiran Alkitab,

dan deduktif dalam analisis data untuk rumusan doktrinal. Singkatnya,

komprehensi pengetahuan hidup sehari-hari, tanpa harus mereduksi

kebenaran supranaturalisme Kristen menjadi naturalisme saja.

Teologi melakukan refleksi sistematis dengan pertimbangan unsur iman

supranatural berdasarkan wahyu Allah, sedang filsafat ilmu sebagai “ilmu

dari ilmu-ilmu” yang mengkaji bagaimana keberadaan disiplin ilmu-ilmu

itu dari dasar mengadanya (esensinya). Selanjutnya, studi teologi sebagai

layaknya disiplin ilmu Humaniora yang melakukan kajian interpretif,

penafsiran paham. Istilah yang membuat saintis empirik tidak ‘rela’

memasukan Humaniora sebagai studi keilmuan, karena hanya dianggap

5Ibid.

Page 5: KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN: … · teologi dalam menulis esai dan opini, bahkan makalah harus diperluas ... metode-metode keilmuan.6 Padahal ilmu itu telah digolong-golongkan

JURNAL TEOLOGI STULOS 215

“seperangkat sikap dan tingkah laku antar sesama” dan tanpa melibatkan

metode-metode keilmuan.6 Padahal ilmu itu telah digolong-golongkan

oleh para ilmuwan sendiri dalam kategori: 1) ilmu murni (dasar) dan ilmu

terapan, 2) ilmu abstrak dan ilmu konkrit, 3) ilmu empiris dan ilmu rasional

(non empiris), 4) ilmu teoritis dan ilmu praktis dll.7 Disinilah teologi

sebagai ilmu pelayanan (terapan, praktis, rasional) harus melihat fungsi

perspektival, yang tugas refleksinya mencakup seluruh ciptaan. Inilah yang

dimaksudkan dengan “ilmu integral” berbeda dengan ilmu-ilmu khusus,

ditambahkan pada pengkategorian di atas.

Secara normal, teologi adalah suatu disiplin ilmu mengenai

kepercayaan Kristen berdasarkan wahyu Allah tidaklah irasional, karena

status pewahyuan yang supra-rasio, maka prinsip non-rasional harus

dimengerti sebagai “tidak selalu harus tunduk pada rasio” dalam kegiatan

ilmiahnya. Pada teologi injili, iman adalah syarat yang mendahului

pengertian teologis, dan tanpa iman tidak seorangpun berhak mengerti

teologi otentik di dalam keselamatan, tetapi hanya keagamaan saja. Artinya

dalam studi teologi, iman adalah akal yang diperluas jangkauannya

sampai pada wahyu Allah, sehingga akal harus ditundukan di bawah

kedaulatan Allah. Ini tentu tidak sama dengan “teologi natural” abad

pertengahan yang dirasionalisasikan secara teramati secara inderawi.

Karena prinsip ‘non-rasional’ dalam sistem teologi adalah tidak selalu

harus tunduk pada penghakiman rasio, namun bukan berarti irasional.

Disini dalam keilmuan teologi injili adalah teologi revelasional, bukan

label ‘teologi natural’ lebih berkegiatan filsafat saja daripada teologi.

Dalam teologi wahyu, iman adalah realitas praktis bukan metafisis.

Jadi rasionalitas dalam berteologi bukanlah hanya bukti-bukti

empirik seperti dalam keilmuan modern yang berparadigma positivistik

dan naturalistik semata. Memang benar teologi pernah direduksi ke dalam

6Lih. L. Willarjo, Ilmu dan Humaniora, “Ilmu dalam Perspektif”, Jujun S. Suriasumantri,

ed., (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), 237. 7The liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty, 1999), 156-7. Dalam

bukunya, The Liang Gie kurang berhasil secara eksplisit melihat kategori “ilmu integral dan ilmu khusus”.

Page 6: KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN: … · teologi dalam menulis esai dan opini, bahkan makalah harus diperluas ... metode-metode keilmuan.6 Padahal ilmu itu telah digolong-golongkan

216 KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN

sosiologi, bahkan psikologi saja, yang dikerjakan dalam kajian agama-

keberagamaan saja, bukan dalam ranah keselamatan. Secara aksiomatik,

studi teologi bukanlah seperti studi agama, yang menekankan kajian

tingkah laku sosial-psikis manusia, tetapi iman dan wahyu. Inilah secara

sederhana teologi injili dapat menyebut diri sebagai “imanologi”,8 yang

terkait dengan penyataan Alkitab “iman adalah dasar dari segala sesuatu

yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat”

(Ibr. 11:1), sekaligus “Tunjukkan iman dari perbuatan maka akan

menunjukan perbuatan dari iman (Yak. 1:15). Sehingga iman melampaui

tingkah-laku, sekaligus mengandung kelakuan keselamatan.

Untuk itulah asumsi awal kepercayaan di atas adalah sebagai premis

yang mengkover motif penelitian, misalnya, “segala tulisan Alkitab

pastilah benar dan penting bagi masa kini”. Jelas itu bukanlah alasan atau

pentingnya penelitian, seperti yang diduga orang yang menolak adanya

asumsi penelitian. Ternyata itu adalah asumsi penelitian yang akan

bertindak sebagai “premis mayor”. Jika masuk ke dalam skop lebih kecil

lagi dan khusus dalam konteks spesifik penelitian, misalnya “Bagaimana

pentingnya 2 Timotius pada kondisi ketidakbergerejaan mahasiswa

Kristen pada masa kini”. Maka itu akan bertindak sebagai “premis minor”

yang mengandung jawaban hipotesis juga. Biasanya fungsi premis minor

akan menjadi hipotesis formal dalam penelitian kuantitatif. Namun dalam

penelitian kualitatif tidak serta-merta harus menjadi hipotesis formal,

karena hanya ada satu fokus penelitian.

Maka penelitian perpustakaan selama ini, tidak ada variabel yang

formal, layaknya penelitian kualitatif. Namun ada dua subjek kajian

yang berfungsi sebagai fokus, yang secara dinamis berfungsi sebagai

“working hipothesis” di dalam pikiran pengkaji. Karena dalam

penelitian kualitatif tidak bisa disebut “variabel yang riil” karena tidak

ada hubungan korelasi pengujian antara variabel dipengaruhi dan yang

mempengaruhi. Namun tetap ada semacam, yang dianggap sebagai

8Lih. dalam “Iman dan Studi Teologi” Sola Fide dan Pergumulannya Masa Kini,

ed. Togardo Siburian (Bandung: Penerbit STT Bandung, 2008), 266.

Page 7: KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN: … · teologi dalam menulis esai dan opini, bahkan makalah harus diperluas ... metode-metode keilmuan.6 Padahal ilmu itu telah digolong-golongkan

JURNAL TEOLOGI STULOS 217

variabel penelitian yang disebut sebagai ‘faktor’ atau ‘subjek’ saja agar

tetap terfokus kajiannya.

Keilmuan teologi adalah suatu disiplin ilmu yang berkarakteristik

saintifik juga dalam prinsip-prinsip kegiatan ‘logia’ nya, yaitu rasional-

komprehensif. Meski tidak harus empirik, karena termasuk ilmu praktis

dalam penerapannya, karena penelitiannya diangkat dari persoalan-

persoalan faktual dan konkrit dari kehidupan iman Gereja. Kajian teologi

bersifat refleksi sistematis mengumpulkan fakta-fakta, menafsirkan,

menilai, dan memahaminya secara utuh, layaknya disiplin humaniora. Itu

dinamakan metode intepretif dari studi teologi lebih bersifat kualitatif

dalam penelitiannya. Dan itu sering berbeda dengan studi keagamaan

yang melihat tingkah laku beragama seseorang secara -sosial dan psikis-

sehingga dapat cocok memakai riset kuantitatif.

Secara teoritik dan praktik, penelitian kualitatif dan kuantitatif sangat

berbeda dalam desain sistemik dan paradigma keilmuannya. Namun secara

salah-kaprah beberapa teolog ingin menggabungkannya dalam satu

penelitian teologi.9 Ini adalah nafsu kreatifitas yang ‘kebacut’ ketika ingin

mengintegrasikan ilmu-ilmu yang berbeda konten, seperti menyatukan

Anjing dan Kucing dalam film kartun cat-dog. Faktanya, harus diingat

peneliti kuantitatif yang otentik tidak pernah berpikir keilmuan kualitatif,

sebaliknya peneliti kualitatif tidak pernah memikirkan data kuantitatif.

Bahkan, ilmuwan empiris tidak pernah memperbolehkan teologi masuk ke

dalam keilmuannya, sementara teolog ingin memasukan sains ke dalam

ilmu teologi secara sepihak. Disini prinsip integrasi ilmu dengan teologi

tidaklah sama dengan prinsip perspektivalisme pada kajian teologis.

Karakter Kualitatif dari Penelitian Kepustakaan

Era pasca-modern membawa angin segar bahwa yang dimaksudkan

dengan ilmiah bukan hanya positifvistik saja, tetapi juga pos-positivistik,

9Faktanya orang orang ini secara sepintas terpengaruh oleh buku Andreas Subagyo,

Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif: Termasuk untuk Studi Keagamaan dan Teologi (Bandung: Kalam Hidup, 2004).

Page 8: KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN: … · teologi dalam menulis esai dan opini, bahkan makalah harus diperluas ... metode-metode keilmuan.6 Padahal ilmu itu telah digolong-golongkan

218 KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN

dengan mencari realitas sesudah atau melampaui fenomena yang teramati.

Disinilah pintu masuk ilmuwan dapat mengerjakan ilmu paradigma

naturalistik berdasarkan pendekatan kualitatif. Di sini prinsip non-rasional

teologi pun tetap dipandang rasional dalam sistem logika yang lebih

komprehensif, yang dinamakan “logika saintifika”, bukan hanya logika

empiris-positivistik yang melakukan kuantifikasi.10

Thomas S. Kuhn

menilai pengetahuan berparadigma positivistik banyak anomalinya, serta

harus ditinjau secara kritis, dan yang secara historis sebagai paradigma

“normal science” yang melihat perkembangan ilmu secara akumulatif.

Kuhn melihat paradigma “revolutionary science” dalam perkembangan

yang silih mengganti.11

Hal itu dikerjakan dalam paradigma naturalistik,

yang sekarang disebut juga “paradigma konstruktif”12

yang perspektifnya

dikerjakan secara solid melibatkan kerangka konseptual, perangkat asumsi,

perangkat nilai dan perangkat gagasan yang mempengaruhi tindakan

riset.13

Pendekatan kualitatif tersebut bertolak belakang dari kuantitatif,

yang berparadigma positivistik. Keunikan karakter penelitian kualitatif

memang hasilnya dapat dirundingkan bersama dan lebih alamiah,

manusia sebagai alat, ada fokus, desain sementara, peneliti sebagai

instrumen.14

Hasil yang lebih komprehensif inilah yang membuat jenis

penelitian kualitatif ‘naik daun’ pada era yang sudah tidak percaya lagi

pada rekayasa angka statistik.

Disinilah teologi sebagai suatu ilmu aplikatif, secara terbatas dapat

mengambil manfaat untuk mengembangkan keilmuannya di lapangan,

melampui riset pustaka saja, khususnya pada TA akademisnya. Dengan

demikian latar belakang permasalahan dalam riset pustaka teologis harus

tetap konkrit pada kenyataan hidup sehari-hari. Karena prinsip studi

10Lih. W. Poespoprodjo, Logika Saintifika: Pengantar Dialektika dan Ilmu Pengetahuan (Bandung: Pustaka Grafika, 1999).

11Lih. Thomas S Kuhn, Structures of Revolutionary Science. 12Agus Salim, Teori & Paradigma Penelitian Sosial (Yogyakarta: Tiara Wacana,

2006), 72. 13Ibid., 59, sumber asal dari Deddy Mulyana, Metode Penelitian Kualitatif: Paradigma

Baru IImu Komunikasi dan Ilmu Sosial (Bandung: Rosdakarya, 2003), 8-12. 14Lih lengkapnya perbedaan metodologi kualitatif dan kuantitatif dalam Lexy

Moleong, Metodologi Kualitatif, edisi revisi (Bandung: Rosda Karya, 2005), 30-37.

Page 9: KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN: … · teologi dalam menulis esai dan opini, bahkan makalah harus diperluas ... metode-metode keilmuan.6 Padahal ilmu itu telah digolong-golongkan

JURNAL TEOLOGI STULOS 219

teologi adalah “tidak dapat berteologi dalam ruang kosong”. Teologi

perenial yang disukai kalangan injili adalah mengingkari hakekat

berteologi injili itu sendiri. Disinilah teolog injili harus melepaskan diri

parenialisme dalam kegiatan berteologi. Khususnya selama ini banyak

skripsi/tesis dikerjakan dengan bangga berdasarkan ide-ide abstrak dari

pemikiran impor barat saja, tanpa menimbang keniscayaan teologi

kontekstual (pada situasi-kondisi lokal).

Ini sejalan dengan visi perguruan tinggi, termasuk Seminari di

Indonesia, yang secara eksplisit harus mengkaitkan diri dengan dimensi

pengabdian masyarakat dalam penelitian teologisnya. Jadi tidak bisa

lagi hanya konsep teologis abstrak pada kutipan ayat yang secara

penyederhanaan. Sejak teologi injili mengakui kebenaran Alkitab penting

bagi segala zaman dan waktu, maka merupakan presuposisi untuk melihat

latar permasalahan secara konkrit. Teologi dapat mengambil manfaat

lebih besar lagi pada masa kini dalam kajian reflektifnya, namun tetap

konkrit dalam prinsip yang disebut “perspektivalisme” dan

“antiabstraksionisme”.15

Karena prinsip-prinsip kualitatif dapat dipakai

secara konstruktif di dalam pendekatan naturalistik daripada positivistik.

Teologi sebagai studi iman tidak mungkin melakukan kuantifikasi

pada pokok kepercayaan rohani. Karena masalah rohani tidak begitu saja

dapat diselidiki secara penghitungan atau pengukuran numerik, di dalam

tingkah laku sosio-psikis keberagamaan. Walau beberapa teolog mencoba

menggabungkan untuk menyeimbangkan kedua metodologi -kualitatif

dan kuantitatif-, ini harus mengingat karena asumsi dasar (aksioma) tidak

bisa digabungkan, antara positivisme dan naturalisme. Jadi hanya bisa

pilih satu, apakah kuantitatif atau kualitatif dalam satu penelitian. Jika

ingin dikerjakan keduanya, maka harus melakukan dua penelitian

sekaligus dengan hasil yang beda juga, namun bisa saling melengkapi.

15John Frame, Doktrin Pengetahuan Tentang Allah, ter.j, (Malang: Literatur SAAT,

2004).

Page 10: KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN: … · teologi dalam menulis esai dan opini, bahkan makalah harus diperluas ... metode-metode keilmuan.6 Padahal ilmu itu telah digolong-golongkan

220 KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN

Menerobos “No Entry, No Research” untuk Penelitian Kepustakaan

Penelitian kepustakaan dari cara kerjanya termasuk kualitatif hanya

mengungkapkan ‘sedang menulis’ skripsi, dan bukan hakikat penelitian

dalam TA akademis, hanya mengungkapkan opini pribadi yang didukung

pendapat orang lain melalui buku, dan belum sebagai penelitian yang

sesungguhnya. Prinsip kualitatif yang terutama adalah “no entry no

research” atau “tidak ada penelitian kalau tidak masuk lapangan”. Di atas

telah ditemukan bahwa riset pustaka pada esensinya adalah studi

kualitatif juga. Maka peneliti kepustakaan harus masuk perpustakaan

sebagai lapangan penelitiannya untuk memperoleh informasi faktual. Jadi

bukan hanya opini pribadi.

Biasanya dalam penelitian lapangan itu menggunakan pertanyaan

wawancara pada ‘informan’ yang terpilih sebagai sampel bertujuan.

Dalam studi lapangan yang normal termasuk sebagai pengujian faktual.

Jadi bukannya tidak ada pengujian dalam penelitian perpustakaan, hanya

saja pengujiannya bersifat rasional di dalam argumentasi penalaran yang

runtut pada proposisi premis-premisnya. Jadi pengujian rasional tidak

selalu pembuktian empiris.

Sebagai perbandingan, riset kuantitatif dengan angket mengatasi

prinsip “no entry no research”, walaupun secara praktis, lapangannya

boleh saja dianggap dikatakan “semu” karena tidak riil turun ke lapangan.

Peneliti kuantitatif hanya mengunjungi dan menyebar angket pada

responden acak, lalu bisa pulang dan menunggu di rumah (atau di hotel).

Kemudian datang lagi untuk mengumpulkan isian untuk dianalisis secara

penghitungan statistik; menguji hipotesis berdasar fakta lapangan.

Format Riset Kepustakaan dalam Skripsi/Tesis Teologi

Dari bagan keseluruhan riset formal TA dibawah ini.16

Ini adalah bagan

16Dari Nana Sudjana, Tuntunan Menyusun Karyta Ilmiah: Makalah, Skripsi, Tesis

Disertasi (Bandung: Sinar Algensindo, 2001), 12.

Page 11: KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN: … · teologi dalam menulis esai dan opini, bahkan makalah harus diperluas ... metode-metode keilmuan.6 Padahal ilmu itu telah digolong-golongkan

JURNAL TEOLOGI STULOS 221

umum format skripsi/tesis penelitian kuantitatif dan kualitatif.

Kalau melihat pola desain penelitian lengkap untuk tugas akhir

skripsi, tesis atau disertasi, jelas studi kepustakaan dalam teologi tidak

melakukan kegiatan riset lapangan secara formal. Tetapi secara tidak

sengaja sebenarnya telah melakukan penelitian di lapangan dengan

prinsip-prinsip penelitan lapangan. Ini karena secara khasat mata, skripsi

dan tesis teologis pustaka tersebut hanya dilakukan dalam level pertama,

yaitu kajian pustaka dalam rangka pembentukan teori yang sudah ada.

Namun peneliti kepustakaan yang jeli harus mencari gagasan baru dan

kreatif bagi dirinya sendiri dalam rangka merumuskan konsep teori baru.

Ini pun suatu teori baru juga, walau belum sempat diuji di lapangan.

Page 12: KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN: … · teologi dalam menulis esai dan opini, bahkan makalah harus diperluas ... metode-metode keilmuan.6 Padahal ilmu itu telah digolong-golongkan

222 KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN

Faktanya, terlihat bahwa penelitian perpustakaan dalam tugas akhir

studi teologi selama ini ‘hanya mengerjakan bab 2’ saja dari pola kegiatan

riset ilmiah yang umum. Namun demikian tinjauan literatur (pustaka)

adalah bagian penting karya ilmiah, yang jika dihapuskan akan

menjadikan tidak ilmiah sama sekali, karena tidak ada teori-teori yang

selama ini ada dan dipakai untuk kajian di dalam lapangan. Untuk itulah

beberapa orang melanjutkan tesis S2 dan menjadikannya Disertasi S3,

dalam survei kualitatif dengan melakukan wawancara di lapangan serta

menafsirkan kembali teorinya dulu. Tinjauan teoritis yang dihasilkan dari

kajian pustaka (bab 2) tersebut biasanya akan menyoroti: 1) teori topik, 2)

teori kerangka teologisnya, dan 3) kadang ditambah dengan teori

kerangka metodologi yang akan digunakan.

Selanjutnya sudah diketahui bahwa satu skripsi riset perpustakaan

teologis hanya mengerjakan kajian pustaka tersebut. Karena dalam skripsi

perpustakaan tetap mengandung sedikitnya dua tinjauan teoritis pada

topik yang muncul (bab 2), dan teori kerangka kerja untuk menyelesaikan

permasalahan (bab 3), dan Bab 4 temuan dalam penyelesaian masalah

secara khusus berdasarkan sorotan topik yang telah dijabarkan dari

perspektif kerangka teoritis yang dirumuskan di bab tiga, seperti:

kerangka etik, kerangka apologetis, kerangka pastoral, kerangka biblika

dll. Sorotan itulah akan menghasilkan prinsip-prinsip penyelesaian

masalah secara teoritis dalam bab empat, sebagai hasil penelitian skripsi.

Jadi bab satu, bab kedua, bab ketiga, dan keempat harus saling terkait

dalam aliran sistematis dan dibundel jadi satu skripsi/tesis. Akhrinya

format penelitian dapat diringkaskan dalam kajian pustaka langkah demi

langkah berikut.

Bab 1: Pendahuluan: latar belakang permasalahan, identifikasi topik

nya serta rumuskan dalan satu kalimat pertanyaan.

Bab 2: Kajian teoritis mengenai topik yang dipermasalahkan secara

komprehensif sejalan yang dikemukan pada bab 1.

Bab 3: (catatan: pengganti bab metodologi yang diturunkan dari

elemen kerangka pemikiran bab 2 umum): Kajian teoritis

Page 13: KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN: … · teologi dalam menulis esai dan opini, bahkan makalah harus diperluas ... metode-metode keilmuan.6 Padahal ilmu itu telah digolong-golongkan

JURNAL TEOLOGI STULOS 223

kerangka teologis yang akan digunakan sebagai landasan

berpikir untuk pemecahan masalah).

Bab 4: kajian teoritis untuk melihat temuan dan hasil pemecahan

masalah secara teoritis dengan cara menyoroti bab 2 (topik

yang sudah dijabarkan) berdasarkan bab 3 (kerangka kerja

yang sudah didirikan) untuk menjawab rumusan masalah

pada bab 1. Sehingga semuanya dapat dikatakan sebagai

hasil penelitian juga secara teoritis berdasarkan kajian

pustaka juga.17

(Namun pembimbing bisa juga melatih anak

bimbingannya untuk belajar penerapan dalam proyek

pelayanan, misalnya rancangan program pembinaan 6 bulan.

Bab 5: Kesimpulan (tak perlu pakai saran).

Ini dapat dibandingkan dengan skripsi S.Th. pada 20 sampai 30 tahun

lalu, yang dilakukan tanpa konteks riil dan faktual dalam permasalahannya.

Bahkan hanya konsep teologis abstrak atau prinsip teoritis semata-mata,

yang biasanya ada dua topik yang diuraikan secara deskriptif:

Bab 2: Latar belakang historis perikop dan surat (mis. Korintus

yang lepas dari konteks permasalahan yang dirumuskan

sekarang.

Bab 3: Penafsiran tertentu dalam eksegesis kata tertentu atau makna

eksposisi perikop Alkitab.

Bab 4: Aplikasi, yang kadang terlepas dari permasalahan yang telah

dirumuskan.

Bab 5: Kesimpulan dan [memberi] saran

Atau ada juga kajian pemikiran tertentu dari seorang teolog (barat)

yang tidak ada hubungan dengan pergumulan gereja di Indonesia lalu

17Bab 3: Metodologi (Bab ini tidak selalu terpakai dalam studi kepustakaan dalam

Alkitab dan teologis, namun penting untuk penelitian empiris dan historis dalam ilmu ilmu sosial (Lih Joseph Tong, “Methodology Research”, classnote. International theological seminary 1997). Pada riset lapangan bab 4 di atas dites sebagai hipotesis yang akan diuji pada bab 3 di lapangan dan mengarahkan pertanyaan-pertanyaan yang akan dimunculkan di lapangan riset nanti. Dan hasilnya di bab 4 sekaligus ada bahasan mengenai penafsiran hasil penelitian setara dengan penelitian kualitatif bab 4 tersebut.

Page 14: KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN: … · teologi dalam menulis esai dan opini, bahkan makalah harus diperluas ... metode-metode keilmuan.6 Padahal ilmu itu telah digolong-golongkan

224 KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN

mengembang penulisannya seperti ini:

Bab 2: latar biografis sang tokoh/pemikir

Bab 3: Pemikiran khususnya (satu pemikiran atau ajaran tertentu)

Bab 4: Kritik terhadap pemikirannya (sering juga implikasi ajaran)

Bab 5: Kesimpulan dan Saran

Semuanya dilakukan rata saja dan hampir tidak ada hubungan

sistemik dari problematika permasalahan pada bab 1. Hal ini karena tidak

ada perumusan masalah yang jelas. Faktanya, walau sudah ketinggalan

masih ada juga yang menyarankan hal ini sampai sekarang. Penulisan

skripsi seperti menulis bebas dalam penulisan buku selama ini. Padahal

penulisan buku tidak sama dengan penulisan skripsi/tesis. Penyederhanaan

riset akhir ini dalam kondisi homeletis harus ditinggalkan, jika ilmu

teologi mau menolong gereja dengan objektif.

Hanya saja pada akhir skripsinya, peneliti kepustakaan, tidak

selayaknya memberi saran pada pihak-pihak tertentu, karena tidak pernah

ke lapangan. Apalagi saran-saran yang salah-kaprah tersebut dilakukan

dengan memberi nasehat pribadi bahkan khotbah, seakan-akan skripsi/

tesisnya akan dibaca. Ini yang dikatakan tidak realistik, yang sebenarnya

itu bukanlah saran penelitian, tetapi hanya keinginan pribadi. Penelitian

dan pelayanan adalah dua arena yang berbeda. Saran penelitian dapat

dilakukan hanya sebatas membuka diri bagi orang lain yang ingin

melanjutkan penelitian. Karena itu, salah-kaprah pada akhir skripsi/tesis

itu perlu ditinjau-ulang oleh seminari, khususnya pembimbing.

Keutamaan Proses dalam Penelitian Kepustakaan

Selama ini mahasiswa teologi ‘enak-enakan’ menulis skripsi tanpa

melakuan riset sungguhan, tetapi langsung mengutip tanpa membaca

yang mendalam, atau membaca hanya untuk mencari kutipan dari tulisan

orang, tanpa berpikir sendiri dan menuliskan dari gagasannya sendiri.

Jadi hasilnya secara ideal bukan hasil penelitiannya sendiri, tetapi disetir

dan diarahkan oleh orang dari penulis buku lain yang ‘hebat’ dengan

Page 15: KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN: … · teologi dalam menulis esai dan opini, bahkan makalah harus diperluas ... metode-metode keilmuan.6 Padahal ilmu itu telah digolong-golongkan

JURNAL TEOLOGI STULOS 225

alasan pendukung, berdasarkan kutipan sepotong-sepotong. Apalagi

buku-buku yang dipakai sering kali hanya diambil frase atau kata secara

terpisah tanpa membuat kalimat peralihan untuk menghubungkan

propopsi dan bukti dan jaminan pengertian yang selayaknya.

Namun dalam studi teologis bukan berarti tidak ada kesamaan ciri

keilmiahannya. Sedikitnya, riset pustaka yang dipakai dalam studi akhir

teologi merumuskan problematika faktual, konkrit untuk ditindaklanjuti

dengan proses operasionalnya dalam kajian informasi yang relevan dalam

perpustakaan, yang dapat disetarakan dengan lapangan riset. Walau

lapangan yang dimaksudkan tidak teknis, sehingga sering membuat kesan

penelitiannya semu. Apalagi masalah penelitian tersebut adalah tidak ada

permasalahan jelas, karena mencoba menolak latar belakang masalah

yang konkrit dan faktual, yang memotivasi peneliti secara pribadi.

Biasanya sudah puas dengan menuliskan kata “masalahnya adalah...”

padahal kata “masalah” belum tentu teridentifikasi adanya masalah

penelitian yang konkrit. Lalu menunjukkan pentingnya penulisan, yang

sebenarnya di dalamnya ada asumsi penelitian bahkan praduga.

Perumusan masalah harus melihat latarbelakangnya secara konkrit,

di sekeliling kehidupan. Peneliti pemula dalam skripsi S1 selama ini

menyamakan antara permasalahan pribadi dengan permasalahan riset.

Kesalahan ini harus dihindari dalam permasalahan riset dengan

mengidentifikasi adanya “gap” atau “celah” antara kegiatan, konsep,

pendapat, kenyataan dan ideal, bahkan kemenduaan arti antar topik atau

kebingungan, kontroversi antar sesuatu dengan sesuatu.”18

Inilah yang

dinamakan permasalahan penelitian. Dan latar belakang penelitian ini

sangat penting karena akan dilanjutkan dalam fokus penulisan untuk bab

2 dan bab 3. Biasanya bab 1 tidak sekali jadi.

Terkait dengan permasalahan personal yang mendorong munculnya

topik atau subyek tertentu dalam penelitian, maka harus dibarengi dengan

riset awal atau mengumpukan informasi awal di lapangan dan membaca

18Moh Nazir, Metode Penelitian Ilmiah, 133 (dst.).

Page 16: KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN: … · teologi dalam menulis esai dan opini, bahkan makalah harus diperluas ... metode-metode keilmuan.6 Padahal ilmu itu telah digolong-golongkan

226 KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN

buku agar teridentifikasi celah masalah secara riil, baru menuju

kepermasalahan riset yang objektif dan formal. Di dalam bahasa lain,

Booth, Colomb, dan Williams membedakan secara fase antara “practical

problem” dan “research problem”.19

Walau sayangnya dalam siklus

pemecahan masalah diarahkan pada masalah praktis, dan bukan pada

masalah risetnya yang telah dirumuskan dengan pertanyaan riset, tetapi

masalah pribadi di lapangan pelayanan. Ini kesalahan umum dalam

skripsi/tesis teologi selama ini. Ini adalah loncatan berpikir dari persoalan

A lalu menyelesaikan C. Walau hasil riset dapat bermanfaat untuk

menyelesaikan problem pelayanan kelak, seperti terdapat dalam bab 1

‘manfaat penelitian’, tetapi itu bukanlah “tujuan penelitian”. Dengan

demikian prosesnya dapat diperbaiki seperti di bawah ini:20

Proses penelitian kepustakaan secara relatif ada juga lapangan

tempat penelitian dilakukan secara khusus. Rinciannya: Pertama,

lapangan penelitian teologi adalah perpustakaan. Untuk itu semua orang

yang riset pustaka harus masuk lapangan perpustakaan untuk mengamati

langsung dan mencari informasi dan mengumpulkan data. Jadi tidak

19Wayne C. Booth, Gregory G. Colomb, Joseph M Williams, The Craft of Research

(Chicago: University of Chicago Press, 1995), 48-54. 20Ibid., 49

Page 17: KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN: … · teologi dalam menulis esai dan opini, bahkan makalah harus diperluas ... metode-metode keilmuan.6 Padahal ilmu itu telah digolong-golongkan

JURNAL TEOLOGI STULOS 227

boleh tidak harus mengunjungi perpustakaan secara teratur dan formal.

Kedua, dalam perpustakaan sebagai lapangan penelitian harus

melakukan locating books21

secara khusus, yaitu menempatkan

buku-buku yang relevan dan menyimpannnya secara khusus dalam apa

yang disebut dengan “perpustakaan pribadi”, seperti perpustakaan dalam

perpustakaan. Jadi seharusnya diperbolehkan untuk melakukan apa yang

disebut “reserved book” sang peneliti. Fasilitas bayangan ini bersifat

sementara, lengkap dengan nama diri sang peneliti dengan menunjukan

surat izin meneliti dari akademik. Sehingga peneliti harus rajin berjalan

menelusuri lorong-lorong perpustakaan untuk melakukan skimming dan

scanning buku di rak-rak atau bisa juga di komputer.

Ketiga, kumpulan buku itu menjadi semacam ‘sampling’ jika dalam

studi lapangan. Tentunya yang dilakukan adalah sampling bertujuan

(kualitatif) dan relevan, bukan sampling acak (kuantitatif). Buku yang

dipilih memang dianggap informan untuk menggali informasi dari

dalamnya. Dalam skripsi/tesis riset pustaka, sampling ini juga tidak harus

di rak khusus saja, tetapi bisa juga kumpulkan di atas meja. Sebaiknya

harus diambil foto secara berkala agar proses aktivitas kelihatan dan

dilampirkan di dalam skripsi/tesis. Foto ini lebih hemat dibandingkan

dengan mengkopi setiap buku informasi yang dipakai, kemudian

dilampirkan juga.

Keempat, layaknya pendekatan kualitatif, penelitian kepustakaan

juga harus menggunakan instrumentasi sarana secara formal. Instrumen

utama adalah peneliti sendiri sebagai pelakunya dan juga ada instrumen

pengumpulan data yang disebut “kartu pencatatan data” untuk mencatat

informasi yang diperoleh dari hasil bacaan. Ini penting karena sejak

semula diakui tidak boleh langsung disalin (kecuali ada alasan yang

mengizinkanya, misalnya trianggulasi). Ini adalah teknik pengumpulan

data yang harus terpenuhi dalam proses riset ilmiah. Sebenarnya

lembar-lembar catatan ini sudah ada contohnya, tetapi tidak pernah

21Thomas Mann, A Guide Library Research Method (New York, Oxford: Oxford

University Press, 1987), 103.

Page 18: KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN: … · teologi dalam menulis esai dan opini, bahkan makalah harus diperluas ... metode-metode keilmuan.6 Padahal ilmu itu telah digolong-golongkan

228 KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN

menjadi perhatian serius pembimbing dan peneliti dalam penelitian

kepustakaan selama ini.22

Para penulis skripsi/tesis lupa, bahwa yang

terpenting adalah penelitian, dan penelitian adalah suatu proses dan

aktivitasnya yang dinilai, bukan hanya hasil jadi.

Contoh kartu pencatat data23

Subjek:______________ Bab:______ sub-bab:__________ Pengarang: Marga, nama. JUDUL BUKU, Kota: Penerbit, Tahun) Tempat : lokasi simpan Tanggal: (kapan baca) Halaman: (berapa) ================================================= Pemikiran utama/kutipan.............................................................................. ........................................................................................................................... Evaluasi/kritik(I)........................................................................................................................................................................................................................ Refleksi/koreksi(II)..................................................................................................................................................................................................................... Ulasan lanjut(III): (periksa silang) ................................................................. ......................................................................................................................................................................................................................................................

Kartu-kartu catatan harus diisi untuk pemikiran periset buku apa

yang dibaca, dikutip, dan pikiran apa yang dievaluasi, lengkap dengan

tanggal dan tempat buku itu berada. Hanya saja, di dalam riset teologi,

informasi dicari secara subjektif yang telah ditetapkan secara khusus.

Namun secara umum tidak apa-apa, boleh juga asal ada pencatatan data

resmi pada lembar catatan yang lain. Setelah selesai dengan buku tersebut,

langsung ditutup dan dikembalikan atau diletakan di atas meja dan ganti

membaca buku lain, dengan catatan yang baru tentunya. Hal pembacaan

buku ini adalah teknik pengumpulan data setara dengan wawancara pada

22Lihat saja dalam Moh. Nazir, Metode Penelitian Ilmiah (Jakarta: Ghalia,1989)

juga bahkan untuk tingkat paper semesteran pun seharusnya dilakukan seperti yang dicontohkan oleh Anthony C. Winkler, Jo Ray McCuen, Writing Research Paper: A Handbook (third ed. Sandiego dll: HBJ Pub,1989), 35-46.

23Kertas/Kartu putih ukuran 5x10 ini secara berkala harus dilaporkan kepada pembimbing dan pada akhirnya harus terlampirnya juga dalam lampiran penelitian di dalam Skripsi/Tesis.

Page 19: KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN: … · teologi dalam menulis esai dan opini, bahkan makalah harus diperluas ... metode-metode keilmuan.6 Padahal ilmu itu telah digolong-golongkan

JURNAL TEOLOGI STULOS 229

informan sebagai sampel bertujuan pada teknik pengumpulan data di

lapangan. Atau pada riset kuantitatif biasanya dengan menyebarkan

angket (questioner) untuk mencari data melalui responden sebagai sampel

acak pada suatu tempat yang sudah dipilih.

Jadi esensi penelitian tugas akhir teologis sama saja: ada sampling,

lapangan, skedul waktu penelitian, pengumpulan data secara teknis serta

analisis data. Hanya saja dalam studi kepustakaan teologi selama ini

dilakukan secara langsung, mungkin karena tidak tahu prinsipnya atau

membuatnya secara malas, seperti menulis paper semesteran. Adapun

lapangan adalah perpustakaannya, sampling di sini dipakai dengan

mengumpulkan buku-buku dan mereserved dalam perpustakaan khusus

sendiri. Lalu membaca adalah cara memperoleh informasi relevan pada

sampel terfokus dan bertujuan.24

Kerja itu setara dengan wawancara

dan angket di kancah lapangan. Jadi, layaknya riset kualitatif adalah

peneliti itu sendiri melakukan pengumpulan data dengan cara membaca

literatur secara komprehensif untuk memperoleh informasi yang relevan.

Lalu menganalisisnya dan menyusun dalam topik-topik yang sudah

tereksposisikan, bahkan kadang sudah ada kerangkanya.

Peneliti kepustakaan memakai kartu catatan lapangan, yang biasanya

hanya dibuat secara serampangan seperti membawa notes kecil. Kelak

catatan-catatan ini dimasukan dalam lampiran skripsi untuk menegaskan

bahwa penulis melakukan proses penelitian yang formal. Sejak

pendekatan kualitatif harus mendapat tempat yang baik dalam arena

skripsi teologi, maka kartu catatan lapangan yang formal harus menjadi

keniscayaan riset kepustakaan. Jadi peneliti terhindar dari kutip-mengutip

langsung dari buku-buku, tanpa mengumpulkan data secara formal lalu

menganalisisnya. Kelak juga peneliti kepustakaan harus melakukan uji

keabsahan data melalui bacaan yang lebih khusus atau lebih dalam, yang

dicatat juga dalam kolom ulasan lain pada kartu pencatat. Namun bisa

juga didiskusikan dengan pembimbing atau para pakar lainnya.

Ringkasnya, prosedur dan teknik pengumpulan data dalam penelitian

24Lih. lagi tabel jenis sampling Agus Salim, Ilmu Paradigma, 13.

Page 20: KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN: … · teologi dalam menulis esai dan opini, bahkan makalah harus diperluas ... metode-metode keilmuan.6 Padahal ilmu itu telah digolong-golongkan

230 KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN

kepustakaan, minimal dan melakukan pemeriksaan ulang (recheck) dan

pemeriksaan silang (crosscheck), yang setara dengan trianggulasi data

pada penelitian lapangan.

Disini juga perlu adanya jadwal waktu yang tertera secara formal,

misalnya 1 bulan bab 2, satu bulan bab 3, satu bulan perbaikan draft dan

menyelesaikan pernak-pernik untuk maju sidang. Bahkan biaya penelitian

pun direncanakan. Biasanya untuk menghemat waktu, maka waktu pagi

digunakan untuk mencari data, sedangkan pada siang dan malam bisa

menuliskannya. Harus ada waktu khusus dan formal mengumpulkan

informasi dengan membaca serius namun cepat dan tepat. Lalu

menuliskannya pada lain waktu; artinya tidak boleh selalu langsung

bersamaan, seperti tulis paper saja. Menulis paper berbeda dari menulis

skripsi/tesis dalam hal proses dan tuntutan kualitas riset bukunya. Dalam

paper sering kali tidak ada permasalahan yang nyata untuk diselesaikan;

mungkin hanya masalah pribadi saja. Namun dalam skripsi atau tesis

masalah pribadi harus ditransform ke dalam masalah penelitian lengkap

dengan latar belakang (faktual), lalu identifikasi permasalahan

(konseptual) serta perumusan permasalah, lengkap dengan pertanyaan-

pertanyaan risetnya.

Instrumentasi dan Pengumpulan Data dalam Riset Kepustakaan

Di dalam Bab 2 ini, peneliti meninjau kepustakaan untuk menurunkan teori

berdasarkan pendapat dan hasil-hasil penelitian yang sudah ada dalam

berbagai genre buku akademisi secara urutan riset: mulai dari 1) karya

umum (ensiklopedia, kamus), 2) literatur berkala (termasuk koran serta

majalah, 3) buku buku monografi, 4) material tidak terbit: diktat, skripsi,

dokumen lembaga atau pemerintah, 5) artikel jurnal teologi.25

Bahkan

tidak kalah penting informasi internet. Prinsipnya bagi peneliti teologis,

Ensiklopedia dan kamus adalah sebagai informasi umum dan tidak

25Lihat dalam Cyril Barber, Introduction to Theological Research, 17 dst.

Page 21: KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN: … · teologi dalam menulis esai dan opini, bahkan makalah harus diperluas ... metode-metode keilmuan.6 Padahal ilmu itu telah digolong-golongkan

JURNAL TEOLOGI STULOS 231

otoritatif dibandingkan dengan topik-topik khusus dalam jurnal akademik,

bahkan tulisan-tulisan kesarjanaan akademik yang tidak terbit seperti

skripsi atau tesis, yang merupakan hasil penelitian terakhir. Namun

sayangnya diabaikan secara sadar oleh dosen yang kurang akademis dan

murid yang salah pengertian tentang otoritas bacaan sumber informasi

tersebut. Bahkan majalah rohani bisa juga penting, karena menyajikan

fakta dan kadang juga mengandung dokumen pemerintah atau laporan

LSM. Lebih lagi adalah catatan kesarjanaan seperti diktat kelas tidak

kurang otoritasnya, dibandingkan buku monografi, ensiklopedia Alkitab/

kamus teologi. Jadi mengidentifikasi sumber sekunder atau primer adalah

prlu, tetapi nilai otoritas juga tidak boleh diabaikan apalagi salah

mengerti. Seperti pola yang diadopsi dari piramida terbalik Ballenger.26

Jadi sebagai dosen teologi tidak boleh dalam studi kepustakaan

mengabaikan dan membimbing kurang akademis. Teologi sebagai ilmu

khusus sangat maju dalam penelitian. Kiranya para murid menyadari

kekeliruan selama ini. Jurnal akademik membuat menjadi lebih

mendalam dalam pengetahuan secara khusus dan lebih otoritatif. Karena

kepentingan teologi, saya menegakkan piramida terbalik itu dengan

alasan teologi semakin meninggi pandangan, karena berani berbeda

dalam pengakuan, bukan saja mendalam atau meluas dalam fakta-fakta,

tetapi juga kebenaran akan meninggikan dalam sajian dan sekaligus

meninggikan pandangan intelektual.

Pembacaan mendalam pada literatur dalam level tingkat ini

menghindari kesalahan dalam riset akademis yang bukan hanya sekedar

pendapat pribadi saja. Tetapi setiap klaim ada dasarnya dan ada

jaminannya, dapat di eksplanasikan dan diargumentasikan secara persuasif

dengan bukti-bukti premis lain. Riset bukan hanya opini pribadi, kalau

ada klaim harus ada alasan pendukung sebagai bukti dan terjamin dalam

fakta-fakta yang terargumentasi secara persuasif.

Pentingnya mengidentifikasi genre-genre akademik ini untuk melihat

26Bruce Ballenger The Curious Researcher: A Guide ti Writing research Paper

(second revised ed. Toronto Alyn and Bacon,1999), 10.

Page 22: KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN: … · teologi dalam menulis esai dan opini, bahkan makalah harus diperluas ... metode-metode keilmuan.6 Padahal ilmu itu telah digolong-golongkan

232 KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN

relevansi dan otoritas dari tulisan skripsi. Disinilah Cyryl Barber sebagai

seorang pustakawan, mengetahui pentingnya tugas pustakawan untuk

menolong periset pustaka. Seorang yang ahli dalam bidang keilmuan

bukan hanya tahu cara mengatur rak, tetapi tahu juga tugas bagi

kemajuan ilmu pengetahuan, mencintai pengetahuan dan ahli dalam

menolong peneliti, seperti nyata dalam beberapa pertanyaan yang

diungkapnya.27

Jadi bukan sekedar job yang tidak ada panggilan keilmuan.

Hal yang mendasar sangat penting untuk mengantisipasi bobot riset

pustaka.

Pentingnya Ketrampilan Membaca dalam Penelitian Pustaka

Penelitian teologis sejak awal (asalinya) telah menggunakan riset

kepustakaan, yang sebenarnya adalah keunggulan studi teologi daripada

ilmu empirik lain, seperti sosiologi, antropologi, dan psikologi dalam

penelitiannya. Ilmuwan empirik kurang kuat dalam kajian teoritis pada

tinjauan literatur. Cenderung tidak argumentatif dan eksplanatif, hanya

deskriptif tulisan yang rata semata. Padahal survei lapangan atau

eksperimen laboratorium paling penting dari kegiatan penelitian yang

harus dilaporkan secara lengkap dari wawancara atau kuesioner. Dari

observasi sepintas lalu pada disertasi doktoral tersebut, kajian teoritis dalam

ilmu-ilmu non teologi sangat lemah dan jelek. Walaupun kelak akan

menelurkan teori baru dari temuan lapangan, namun pemikiran

teoritisnya kurang tajam, dalam dan jelas. Hal ini diakui oleh peneliti

sosial lapangan, “...tetapi karena kepustakaan tidak dapat mengganti apa

yang terjadi di lapangan dan kejadian aktual yang [teramati], maka

banyak peneliti cenderung [mengacuhkannya]”.28

Namun banyak mahasiswa dalam TA mengalami rasa takut, salah

berpikir, dan keraguan dalam menuangkan pemikiran, dan akhirnya

27Ibid. 13. 28James A Black., Dean J. Champion, Metode dan Masalah Penelitian Sosial, terj.,

(Bandung: Penerbit Refika Aditama, 1999), 286.

Page 23: KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN: … · teologi dalam menulis esai dan opini, bahkan makalah harus diperluas ... metode-metode keilmuan.6 Padahal ilmu itu telah digolong-golongkan

JURNAL TEOLOGI STULOS 233

mandeg dalam menulis. Kaum injili mengalami hal takut kesesatan ajaran29

lalu membaca buku untuk mencari “dukungan”, dan kemudian tidak

berhasil menulis satu katapun sebelum mengambil langsung dari buku.

Kendala ini sebenarnya dapat diatasi dengan prinsip skripsi adalah

tentang meneliti bukan tentang menulis. Dalam penelitian adalah proses

pentingnya mengumpulkan informasi dari membaca untuk mendalami

topiknya, bukan untuk mencari kutipan. Dengan demikian penelitian

harus rajin ke perpustakaan untuk mencari informasi yang relevan dan

mengumpulkan data dalam catatan-catatan terpisah, bukan langsung

mengetik isi buku pada laptopnya.

Kebingungan selama ini jangan membuat mundur, tetapi disadari

bahwa sedang meriset, karena kalau bingung itu berarti sedang berpikir

dan lalu mencari informasi. Inilah prinsip penelitian kepustakaan yang

selama ini tidak disadari, “aku bermasalah maka aku meriset”. Bingung

adalah tanda berpikir dan meriset harus diasah terus menerus dalam

diskusi kelas dan pembacaan lanjutan. Keunikan studi teologi adalah

perdebatan, ibarat “makan sayur tanpa garam”. Disitulah mahasiswa

akhir dilatih untuk berpikir dengan leluasa untuk menjawab kebingungan

awal di dalam skripsi/tesis. Ketakutan untuk salah tidak mengurungkan

niat untuk menuliskan pemikirannya, sebab salah mungkin tanda original.

Jadi kutipan pada kajian pustaka dalam skripsi harus melalui

pembacaan kritis dalam apa yang disebut book review bahkan book

critique, baru akan menghasilkan suatu kutipan yang berpikir secara

eksplanatif dan persuasi berdasarkan mentalitas mengkaji buku dalam

“membaca sambil berpikir dan berpikir sambil membaca.” Kalau tidak

melalui cara resensi buku, maka kutipan menjadi tidak bermutu bahkan

tidak layak menjadi bahan referensi studi tingkat akhir. Seperti

pembacaan buta huruf intelektual masa kini, yang membaca tanpa proses

mengerti apa yang dibaca. Inilah kemungkinan besar para mahasiswa

teologis itu jatuh ke dalam “memberhalakan buku tanpa minat literatur”

29Lih tulisan saya khususnya melihat “Kemelekan Teologi dan Kepenulisan Injili”

dalam Jurnal Teologi dan Misi STTIAA Vol 1/No 1 (Agustus 2011): 133 dst

Page 24: KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN: … · teologi dalam menulis esai dan opini, bahkan makalah harus diperluas ... metode-metode keilmuan.6 Padahal ilmu itu telah digolong-golongkan

234 KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN

dan hanya pajangan buku untuk memamerkan nama-nama pengarang

atau judul-judul buku, yang mereka idolakan. Ini sama dengan buta-huruf

intelektual masa kini, bisa membaca kata saja tanpa bisa mengerti

maksud bacaan, dalam penilaian mendalam sampai mendapat pengertian

yang baik. Kondisi itu lebih parah daripada biblioholicism, -penyakit

kecanduan buku-, yang menurut saya sangat positif dan sikap intelektual.30

Jadi kutipan referensi akan bervariasi dalam debat, diskusi, menilai, bisa

dikritik, diperpanjang, diperpendek, bukan sekedar sebagai pendukung

melulu. Karena itu dalam tingkat pembacaan mendalam, suatu kutipan

tidak harus berupa dukungan, tapi bisa juga penilaian kritik dan pendapat

evaluatif tentang pendapat bahkan informatif data saja.

Sejauh ini kurang diperhatikan ada buku yang membimbing proses

riset pustaka secara operasional dan teknis prosesnya, yang ada sekarang

hanya menginformasikan sebatas survey apa-apa saja yang ada di dalam

perpustakaan, dan bagaimana mengidentifikasi buku-buku dalam indeks

buku, paling jauh hanyalah informasi untuk penggunaan buku secara umum

dan eksternalnya.31

Apalagi ada banyak pustakawan yang tidak berlatar

belakang teologi, hanya tahu urutan-urutan buku saja di raknya. Jadi tidak

banyak membantu seorang yang sedang melakukan riset. Memang harus

dipikirkan bagi banyak STT untuk menyekolahkan muridnya satu sampai

dua tahun mengambil S2 bidang perpustakaan dan informasi, lalu melayani

di perpustakaan seminarinya. Daripada menyewa orang yang tidak mengerti

buku teologi sama sekali, selain hanya bisa mengatur buku dan tidak

mencintai teologi, bahkan hanya sebatas job karena proyek akreditasi.

Pustakawan ‘sewaan’ akan melemahkan kualitas penelitian kepustakaan

di seminari. Khusus seminari injili harus belajar untuk mempunyai

30Lih. juga Toom Raade, Biblioholicsm: The Literary Addiction (Golden, CO:

Fulcrum Pub., 1991). 31Lih sedikit dalam Thomas Mann, A Guide Library Research Method (New York

Oxford: Oxford University Press, 1987) . juga Cyril Barber, Introduction To Theological Research (Chicago: Moody Press,1982). Yang paling baru juga menunjukkan bahwa penelitian teologis dalam skripsi didominasi oleh studi pustaka seperti dalam Nancy Jean Vyhmeister, Quality Research Paper: For Students of Religion and Theology (Grand Rapids: Zondervan Pub, 2008).

Page 25: KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN: … · teologi dalam menulis esai dan opini, bahkan makalah harus diperluas ... metode-metode keilmuan.6 Padahal ilmu itu telah digolong-golongkan

JURNAL TEOLOGI STULOS 235

pustakawan yang diasuh oleh seorang dosen dibidangnya dan punya minat.

Sebenarya peneliti kepustakaan masih dapat ditolong dalam proses

membaca yang baik dan maksimal dalam kajiannya. Walau sama saja

caranya sejak dulu, hanya pengertiannya perlu ditingkatkan sampai level

intelegen. Untuk menyasar target tersebut, ada satu buku How to Read A

Book yang menolong pengertian proses membaca yang efektif dan

efesien dalam ruang akademis. Pada dasarnya “reading” adalah suatu

aktivitas dan seni; untuk itu perlu membaca secara “active reading”32

yang peruntukannya ada dua fungsi: “reading for information and reading

for understanding.”33

Dari fungsi pertama hanya pembacaan pasif untuk

mencari informasi saja tanpa pengertian yang mendalam dan kritis. Tetapi

yang kedua “reading for understanding” harus dimengerti sebagai reading

as learning,” yaitu suatu proses pembelajaran ini harus seiring pada

peneliti akademis yang menekankan “learning by discovery” (bukan

“learning from instruction”)34

Di sini pembelajaran dari pengajaran yang

sudah ada di dalam kelas akan menjadi titik tolak untuk melanjutkan

pembelajaraan melalui penemuan sendiri di dalam pembacaan buku.

Selanjutnya penelitian pustaka harus memahami dan meningkatkan

proses yang selama ini dari level elementary reading menuju inspectional

reading yang disebutnya sebagai “the true level of reading”, khususnya

dalam level akademis dengan menggunakan teknik skimming. Pembacaan

awal (pre-reading) adalah “superficial reading” bersifat provocatif35

dan

yang ketiga adalah “analitical reading”,36

di mana tahap seorang akademis

harus mengarahkan seluruh kemampuan untuk menganalisis konten

bacaan dan menentukan pesan penulis secara tepat, lewat pembacaan

evaluatif dan kritis. Yang terakhir adalah level keempat yang dikatakan

“syntopical reading” yaitu suatu pembacaan yang luas dengan melihat

32Mortimer J Adler & Charles van Doren, How to Read the Book: A Classic Guide

to intellegent Reading (New York: Touchstone Book, 1972 [1940]), 4. 33Ibid., 7. 34Ibid 11. 35Ibid.31 dst. 36Ibd. 59 dst.

Page 26: KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN: … · teologi dalam menulis esai dan opini, bahkan makalah harus diperluas ... metode-metode keilmuan.6 Padahal ilmu itu telah digolong-golongkan

236 KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN

semua topik yang mungkin terkait relevan37

dalam pembacaan lintas

tema. Seorang penulis skripsi/tesis teologi diharapkan sudah dapat sampai

pada pencapaian tahap ini.

Namun demikian penelitian harus menyadari dari kejatuhan selama

ini, periset jatuh kedalam ‘compilation of quotation’38

yang tidak terkait

secara analisis konten dalam kaitannya dengan pembacaan pendalaman

pengertian. Padahal sebenarnya riset bukanlah sekedar kompilasi kutipan,

disinilah kelemahan mahasiswa teologi dalam menulis yang dikarenakan

tidak berani atau kurang berani mengungkapkan pendapat dan pemikiranya

dalam tulisan, meski sangat baik dalam berbicara. Itu suatu yang salah

dalam intetelektualitas teolog muda tersebut, nantinya. Seperti yang

disarankan olah James Sire dalam bukunya The Habit of Mind, tidak ada

kerangka pikir obyektif dan luas seperti intelektualitas versi fundamentalis,

yang sempit dan mengabaikan membaca sambil berpikir dan berpikir

sambil membaca. Pada bab 8, Sire mengungkap pentingnya “berpikir

dengan membaca” dengan dua prinsip dasar: “pembacaan mengarahkan

pikiran” dan “pemikiran mengarahkan pembacaan”39

Jadi yang harus

diperhatikan bukan hanya mencari dan menjejerkan kutipan, seperti pada

kesalahan “maniak kutipan” yang hanya senang dengan pencanggihan

nama orang untuk pamer dan cari dukungan saja. Hal ini dalam penelitian

tugas akhir menjadi tidak komprehensif, akhirnya keahliannya pada topik

tersebut bernilai kurang kreatif dan otoritatif juga.

Kesulitan penelitian pustaka di Indonesia adalah buku-buku yang

kualitas dalam pemikiran yang mendalam dan meninggi, yang biasanya

ada dalam textbook berbahasa Inggris. Kelak kalau sudah banyak buku

yang pemikirannya mendalam dalam bahasa sendiri, peneliti pustaka

tidak bergantung lagi pada yang berbahasa asing juga, seperti halnya

teologi Jerman, Prancis, Belanda dll. Namun kelemahan buku terjemahan

bagi penulis Indonesia karena indeks selalu dihilangkan. Ini kekeliruan

37Ibid. 337 dst. 38Vyhmeister, Quality Research Paper, 6. 39James Sire, The Habits of Mind, terj. (Surabaya: Momentum, 2007),

Page 27: KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN: … · teologi dalam menulis esai dan opini, bahkan makalah harus diperluas ... metode-metode keilmuan.6 Padahal ilmu itu telah digolong-golongkan

JURNAL TEOLOGI STULOS 237

besar dari penerbit dan penterjemah yang tidak mengindahkan kedalaman

riset pustaka. Faktanya peneliti memerlukan efesiensi dan efektifitas

dalam mencari informasi namun kurang sadar fungsi indeks: nama orang,

topik, atau teks Alkitab, yang ada bagian belakang buku, yang langsung

dapat menuntun pada informasi secara intensif pada halaman tertentu.

Jebakan Plagiarisme dalam Penelitian Kepustakaan

Di sinilah baru bahaya dikatakan paligiatisme muncul. Ini memang

‘jebakan’ serius yang harus dihindari bukan justru disombongkan oleh

periset pustaka teologis. Karena secara sadar dan bermaksud mengutip

langsung dari mata (melihat kiri) ke tangan (mengetik kanan), tanpa

menyebut sumber referensiyang memadai dan tetap. Ini baru namanya

plagiatisme. Karena secara sengaja bermaksud langsung mengutipnya

dari penulis asli, baik tertutup (gagasannya) dan terbuka (kata-katanya).

Inilah yang membuat para dosen dan penulis takut menulis karena

takut dituduh plagiat. Apalagi bulan ini, Dirjen Dikti Kemendiknas

menginfomasikan 80 % penelitian para dosen disinyalir plagiatisme.40

Tentu yang dimaksudkan belum tentu penelitian kepustakaan, bahkan

banyak yang langsung mengambil hasil penelitian orang lain untuk

mengumpulkan kredit untuk kenaikan pangkat akademik atau jabatan

fungsional pendidikan.41

Walau ada yang hanya mengkaitkan pada hal

“tindakan pengutipan referensi pada tulisan”42

namun ada juga yang

melihat lebih besar termasuk: 1) menggunakan naskah yang sudah pernah

dikumpulkan sebelumnya atau teks yang mirip untuk memenuhi tugas

kuliah yang lain, 2) mengambil karya sesama mahasiswa dan

menjadikannya karya sendiri, 3) membeli atau membayar orang lain

untuk membuatnya dan ditulis atas nama dirinya”.43

Tentu itu semua

40Pikiran Rakyat 3 Oktober 2013. 41Lih Henry Soelistyo, Plagiarisme: Pelanggaran Hak Cipta (Yogyakarta: Kanisius,

2011), 112. Disini berdasarkan Permendiknasno 17 tahun 2010. 42Ibid., 112. 43Seperti yang dkutip Sulityo dari tulisan Agus Wayudi tentang “Plagiarisme dan

Cara Menghindarinya” (internet) dalam ibid., 111.

Page 28: KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN: … · teologi dalam menulis esai dan opini, bahkan makalah harus diperluas ... metode-metode keilmuan.6 Padahal ilmu itu telah digolong-golongkan

238 KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN

menjadi plagiarisme, kalau bermaksud khusus dan langsung pakai.

Apakah yang dimaksudkan plagiarisme sudah ada dalam dasar

hukum bahkan dengan ancaman sangsi dalam Permen Diknas 17, 2010

tersebut, tanpa mengerti bagaimana proses teknis dalam menulis artikel

ilmiah. Mungkin karena tidak pernah menulis satukalipun, tetapi hanya

menggunakan program deteksi secara komputerisasi. Tentu cara dan

motif evaluasi yang salah ini juga dalam menggunakan instrumen yang

tidak berperasaan itu, karena belum tentu kalau keluar tanda merah,

berarti menjiplak. Semua dosen membaca buku lalu menginternalisasi

bacaan dalam pikiran bahkan hatinya. Kemudian keluar hasil pemikiran

lewat mulut dan tangan. Pembacaan mungkin sudah lama dan sudah lupa

membaca dari mana lagi, mungkin juga membaca dari tempat sampah

(belum tentu tidak berarti). Namun ketika penulis mengetik naskahnya

tanpa membuka buku lagi, dan langsung menuangkan pikirannya

sendiri yang mungkin terhubung dengan bacaan tersebut, namun tidak

ingat lagi siapa dan buku apa yang dibaca, lalu menuduh “plagiat” tanpa

pemeriksaan lanjutan. Itu akan menjadi fitnah akademis yang memandulkan

karya ilmiah, serta melanggar kebebasan akademis.

Memang secara sederhana dalam paper pustaka akademis teologi,

biasanya seperti usaha “becoming an authority by using Authorities”

dengan cara “using the ideas of others to shape ideas of their own.”44

Namun tidak selalu demikian. Sejak penulis skripsi adalah personal maka

tujuan utama serta gagasan asali skripsi lah yang dominan. Disini kita

menolak asal mengutip untuk cari dukungan dan menjejerkannya menjadi

suatu kompilasi tulisan sehingga lupa gagasan awal.

Dalam riset pustaka, dituduh plagiarisme kalau secara intens

mengambil kata atau ide secara langsung dan seketika ketika membaca

dan mengunakannya. Selanjutnya kalau tergunakan tanpa teringat atau

tanpa membuka lagi, mungkin karena lupa bahkan bukunya pun lupa,

maka bukanlah plagiatisme riil. Disini harus jujur dan adil. Saya sendiri

tidak takut dituduh plagiatis meskipun cara mengukur plagiatisme dengan

44Ibid. xxiii.

Page 29: KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN: … · teologi dalam menulis esai dan opini, bahkan makalah harus diperluas ... metode-metode keilmuan.6 Padahal ilmu itu telah digolong-golongkan

JURNAL TEOLOGI STULOS 239

sistem komputer. Riilnya tidak mau mencontek, apalagi kalau dikatakan

dosen itu terbiasa berpikir, namun tidak terbiasa menulis. Tetapi kalau

sudah menikmati kebiasaan menulis maka akan merasa nyaman. Yang

perlu diingat oleh periset pustaka adalah, “A reasercher must quote only

what he has him-self read (or heard)” beside the author rights in literary

property ‘make’ credit necessary”45

Prinsip ini harus dimengerti oleh

penulis skripsi teologi sekarang adalah, “quotations are illustrasions, not a

proofs” “two rules ...from the principles just state: “Quatation must be

kept short and (2) the must as far as possible be merged into the text”

sebagai maksud penulis tersebut bukan sekedar memberi contoh.46

Apakah mungkin justru orang yang mengkomplain bisa menelusuri

lewat penanggalan. Tetapi tidak fair juga kalau mendasarkan publikasi,

kalau memang dalam ruang-ruang kelasnya sudah pernah diucapkan dan

memang jelas tidak kenal bahkan lain arah dari dirinya. Terus-terang

contohnya sekarang ini penulis [saya] hampir menulis 2700 kata (sampai

titik ini) tanpa sedikitpun membaca buku langsung dan menyalinnya.

Memang ada beberapa nama ada di kepala yang masih teringat yang

harus diberi kredit, tetapi tulisan ini saya kerjakan sendiri tanpa mencari

kutipan secara aktif atau sengaja dan tanpa kesulitan sedikit pun dalam

menuliskan pemikiran. Pemikiran itu diesai dan refleksi serta diopinikan

tanpa pembacaan langsung, tetapi dengan mengingat banyak hal yang ada

dalam pikiran dan teringat secara otomatis lalu tergelontorkan lewat

jari-jari tangan secara langsung, dan hanya dalam setengah jam [paling

lama 45 menti saja]. Namun demikian mengapa bisa dituduh plagiat dan

ditakut-takuti para pejabat yang tidak menulis. Menurut pengalaman,

menulis itu adalah mudah, yang sulit justru mengedit dan mengurangi

jumlah halaman.

Plagiatisme yang diserangkan pada penulis akademis dan penelitian

tidak produktif, dan merupakan kekerdilan intelektual bahkan ketidakadilan

45Acques Barzum, Henry F. Graff, The Modern Research: The Classic Work and

Writing Completely Revised and Brought Up to Date (5th ed forthworth etc: Harcourt Brace Jovanovich College Pub. 1992).

46Ibid., 279.

Page 30: KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN: … · teologi dalam menulis esai dan opini, bahkan makalah harus diperluas ... metode-metode keilmuan.6 Padahal ilmu itu telah digolong-golongkan

240 KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN

akademis. Disinilah politik dan ekonomi masuk ke dalam dunia intelektual,

sehingga banyak intelektual akademisi menjual dirinya karena interes yang

tidak ada idealisme kesarjanaan, “pengaruh kedudukan” demi “bisnis

menjual pengetahuan”dan “cari uang di market place.”47

Jadi harus

hati-hati dengan penerapan plagiarisme tersebut. Memang di Indonesia,

banyak dosen yang tidak menulis, karena tidak baca dan tidak berpikir,

sehingga tidak ada yang dapat ditulis. Namun dalam teologi Dosen harus

menjadi figur berteologi di dalam penulisan.

Kalau informasi tersebut hanya digabungkan secara koheren dan

hanya melaporkan saja tanpa pendapat personal dari penulis, maka

disebut “Report”, tetapi kalau penulis menyajikan idenya pada bacaan

tersebut dan membuat penilaian serta posisi personalnya pada pokok isu

maka menjadi argumentasi, yang disebut theses. Yang terakhir inilah

“ type of paper that scholars published in journals, because it is type that

communicates advances in knowledge, new ideas and a new points of

view.”48

Sedangkan yang pertama adalah kompilasi seperti pada skripsi

teologi di Indonesia, yang dalam proses penelitiannya setara sebutan theses.

Untuk menghindari rasa bersalah karena plagiarisme, Manasche

mengingatkan, sbb: 1) use your own word and sentences structure, even

writing about the ideas of others 2) when paraphrasing (putting an idea

in your own word) avoiding using any words from the original.49 Dalam

bukunya ada 3 contoh, dimana sebagai “full paraphrase” dan “with

original word and structure of sentences changed; ini dapat diterima

karena berasal dari prinsip “an idea of common knowledge in the field of

education”.50

Karena hal itu sudah menjadi pengetahuan internal saya,

yang sama juga mungkin dengan orang lain, yang disebut “public

domain”. Oleh karena itu teolog harus terus membaca apa saja dari sudut

47Membaca buku, Pengkhianatan Kaum Cendikiawan, terj. (Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama 1997), 29. 48 Lionel Menasche, Writing A Research Paper (Ann Arbor, Michigan: The

University of Michigan Press, 1996), 1. 49Ibid., 38. 50Ibid., 40 contoh no. 4 tentang bukan plagiarisme.

Page 31: KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN: … · teologi dalam menulis esai dan opini, bahkan makalah harus diperluas ... metode-metode keilmuan.6 Padahal ilmu itu telah digolong-golongkan

JURNAL TEOLOGI STULOS 241

pandang teologis, setelah itu berpikir hingga terinternalisasi di dalam

pikiran bahkan hati. Sehingga dapat dikeluarkan lain waktu tanpa melihat,

bahkan bukunya sudah lupa. Namun jika seseorang membaca buku

tertentu secara sengaja untuk mencari kutipan, maka pasti langsung

memakai kata dan ide dari bacaan, tentunya harus memakai tanda petik

(“ “) agar tidak dianggap plagiat.

Pengalaman memang diakui bahwa awalnya, banyak orang yang

tidak dapat menulis satu kata pun dari pikirannya, kecuali dengan

membaca dan mengutip buku orang dulu, termasuk dosen. Tetapi teologi

adalah ilmu integral dan mengutamakan pemahaman bacaan dan senang

berpendapat lalu menuliskannya. Sedangkan banyak ilmu lain yang

jarang menulis. Disinilah keunggulan studi kepustakaan dalam teologi

dibanding ilmu-ilmu lain. Pengalaman ini menunjukan fakta pada

mahasiswa seminari tingkat M.Div kesulitan dalam menuliskan makalah.

Mereka ‘takut’ menuliskan pendapatnya karena takut pendapatnya sesat,

sehingga banyak copy-paste atau menyalin langsung dari buku. Padahal

yang dinilai bukan hanya hasil jadi tulisan yang langsung, tetapi proses

penelitian. Sejak riset secara sederhana dimengerti sebagai ‘usaha

mencari dan mengumpulkan informasi dan menata menjadi pengetahuan.’51

Banyak yang membuat TA seperti menulis paper saja, baik cara dan

kualitas dan motifnya, dan tidak melakukan penelitian sendiri. Jadi

peneliti pustaka harus melakukan aksi riset, menetapkan sampling dalam

penelitian lapangan perpustakaan, khusus melokalisir buku-buku yang

relevan, lalu ditanyakan dalam wawancara atau kuesioner di lapangan.

Namun dalam riset pustaka dilakukan dengan cara membaca secara

mendalam dalam level 1-4 untuk memperoleh informasi yang akurat.

Selain itu, menulis yang konsisten dan koheren secara internal sangat

penting nilainya dalam riset pustaka. Tulisan itu berasal dari olahan

bacaan dengan tiga dimensi kerja dalam skripsi teologi: eksposisi:

menggambarkan prinsip-prinsip konseptual dengan hubungan-

hubungannya; eksplanasi: menjelaskan alasan dan secara, argumentasi;

51Ibid.

Page 32: KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN: … · teologi dalam menulis esai dan opini, bahkan makalah harus diperluas ... metode-metode keilmuan.6 Padahal ilmu itu telah digolong-golongkan

242 KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN

membuktikan secara lebih meyakinkan.52

Penulisan ini dengan menimbang

prinsip argumentasi ilmiah dengan tiga faktor yang berhubungan tiga arah

seperti yang digambarkan segitiga kajian pustaka dalam claim, evidence

dan warrant.53

Jadi dalam klaim selalu dihadirkan lewat kalimat proposisonal di

didukung oleh alasan-alasan yang menjelaskan dan bukan hanya kutipan-

kutipan dari buku lain. Lalu alasan-alasan itu diekplanasikan dengan cara

menurunkan kata-kata yang penting dalam proposisi di atas untuk

mendukung kejelasan proposisi di atas, sehingga jelas diterima

maksudnya. Lalu dipersuasikan secara bukti-bukti dalam argumentasi,

yang mungkin juga memakai fakta-fakta dan informasi lebih luas. Disana

ada tiga aspek mengolah informasi: cek, ricek dan kroscek bacaan yang

relevan dan lebih khusus, bukan sekedar cari kutipan tanpa pengertian

mendalam dalam analisis isi bacaan. Penulis harus berpikir sendiri dalam

aksi risetnya tidak sebagai corong orang lain. Disinilah tugas

pembimbing dan mentor sangat penting dalam penulisan skripsi, sehingga

termodifikasi dalam segitiga argumentasi ilmiah, seperti dibawah.

Misalnya seorang menulis, “seorang yang percaya Yesus pasti sehat,

sembuh dan selamat” dan frase ini dikutip harus dipikirkan mendalam

dan dianalisis kontennya, apa yang dimaksudkan dengan sembuh atau

sehat dan selamat? “Apakah hubungan sembuh dan percaya Yesus apakah

hubungan selamat karena Yesus dan sembuh karena Yesus”, dlsb.

52Bandingkan dengan bidang ilmu non teologi dari Emi Emilia, Menulis Tesis dan

Disertasi. (Bandung: UPI dan Alfabeta, 2009). 53Booth, Collomb, Wiliams, The Craft of Research, 21.

Persuasi/jaminan

Eksplanasi/alasan Proposisi/klaim

Page 33: KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN: … · teologi dalam menulis esai dan opini, bahkan makalah harus diperluas ... metode-metode keilmuan.6 Padahal ilmu itu telah digolong-golongkan

JURNAL TEOLOGI STULOS 243

Pertanyaan semuanya “diturunkan” (inferensi) dalam tulisan pada

alinea tersebut, bahkan mungkin boleh dilebarkan alinea lain jika ada

hubungan dengan fakta lain. Jadi dalam berteori penulis dan peneliti

membentuk teori tentang topik secara kritis dan avaluatif seturut

tujuan risetnya seperti yang telah terumuskan dalam problematika.

Penulis harus menjelaskan alasannya, memberikan bukti yang

persuasif dan mengeksposisikan dalam prinsip-prinsip saling terkait.

Disinilah pemikiran dinamis berjalan dalam ‘hipotesis kerja’, yang

adalah pertanyaan-pertanyaan yang terus-menerus dalam kepala peneliti.

PENUTUP

Keilmuan teologi adalah kajian praktis, aplikatif, bersifat integral

dalam skop kajian, dan bekerja secara refleksi sistematis berdasarkan

analisis data secara kualitatif pada kepercayaan iman yang didasarkan

pada wahyu Allah yang supranatural. Keilmuan teologi harus konkrit dan

bermanfaat bagi masyarakat terutama gereja. Dengan prinsip-prinsip

penelitian kualitatif yang dianggap paling cocok dengan kebenaran

teologis dalam penelitian kancah yang naturalistik.

Skripsi/tesis teologi bukan soal menulis tetapi meriset. Dalam riset

yang penting proses metodologinya dijalankan, dalam riset kepustakaan.

Selain itu penelitian teologis awal biasanya mengunakan metode

pembacaan literatur untuk mengumpulkan data. Artinya penelitiannya ada

lapangannya juga, yaitu perpustakaan. Maka mahasiswa yang menulis

skripsi/tesis harus masuk ke perpustakaan secara konsisten, bukan hanya

mencantum studi pustaka tanpa ada pencarian data secara formal dalam

pencatatan informasi. Akhirnya harus dilampirkan dalam skripsi sebagai

suatu yang menyatakan proses penalitian.

Page 34: KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN: … · teologi dalam menulis esai dan opini, bahkan makalah harus diperluas ... metode-metode keilmuan.6 Padahal ilmu itu telah digolong-golongkan

244 KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN

DAFTAR PUSTAKA

Adler, Mortimer J & Charles van Doren, How to Read the Book: A

Classic Guide to Intellegent Reading. New York: Touchstone

Book, 1972 [1940].

Ballenger, Bruce. The Curious Researcher: A Guide to Writing Papers.

revsd prin, Boston, London etc: Allyn & Bacon. 1999.

Barber, Cyril. Introduction To Theological Research. Chicago: Moody

Press, 1982

Booth,Wayne C. Gregory G. Colomb, Joseph M Williams, The Craft of

Research. Chicago: The University of Chicago Press, 1995.

Mann, Thomas A Guide Library Research Method. New York Oxford:

Oxford University Press, 1987.

Menasche, Lionel. Writing a Research Paper. Ann Arbor: The University

of Michigan Press, 1996

Moleong, Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi revisi. Banding

Rosda Karya, 2005.

Nazir, Moh Metode Penelitian Ilmiah. Jakarta: Ghalia, 1989

Salim, Agus. Teori & Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara

Wacana, 2006.

Soelisty, Henry, Plagiarisme: Pelanggaran Hak Cipta. Yogyakarta:

Kanisius, 2011.

Sudjana, Nana Tuntunan Menyusun Karyta Ilmiah: Makalah, Skripsi,

Tesis Disertasi. Bandung: Sinar Algensindo, 2001.

Suriasumantri, Jujun S. Ed. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia, 2009.

Vyhmeister, Nancy Jean. Quality Research Paper: For Students of

Religion and Theology. Grand rapids: Zondervan Pub, 2008.

Winkler, Anthony C. Jo Ray McCuen. Eds. Writing Research Paper: A

Handbook . Sandiego: HBJ Pub, 1989.