39
Kedudukan Niat Dalam Amal - Penjelasan Hadits Arba’in Pertama (1) Oleh: Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh Diterjemahkan dengan beberapa penyesuaian oleh Abu Umair Muhammad Al Makasari (Alumni Ma’had Ilmi) Murojaah: Ust. Aris Munandar مد، ح م ا ن ي ن ن، ن لي س ر م لء وا ا ن ي ن الأ رف# ش ى ا عل لأم س ل وا, لأة ص ل ، وا ن مي ل عا ل ا له رب مد ل ح ل م، ا ي ح ر ل ا ن م ح ر ل له ا م الس ب ن عي م ح ه ا ب ح ص له وG ى ا عل وِ ّ لُ كِ ل اَ مَ ّ نِ P اَ ، وِ , ابَ نِ ّ R لي اِ بُ الَ مْ عَ أْ ال اَ مَ ّ نِ P : اُ لْ وُ , قَ يِ له الَ ولُ سَ رُ , تْ عِ مَ س: َ الَ , قِ ابَ ّ طَ خْ ل اِ نْ بَ رَ مُ عٍ صْ فَ حْ يِ بَ اَ نْ يِ نِ مْ وُ مْ ل اِ رْ يِ مَ اْ نَ ع اَ هُ حِ كْ نَ نٍ , ةَ اَ رْ م اِ وَ ا اَ هُ بْ يِ صُ ي اَ نR نُ ّ دِ لُ هُ , تَ رْ جِ هْ , تَ ن اَ كْ نَ مَ ، وِ هِ ولْ سَ رَ وِ له ي الَ لِ P اُ هُ , تَ رْ جِ هَ فِ هِ ولُ سَ رَ وِ له ي الَ لِ P اُ هُ , تَ رْ جِ هْ , تَ ن اَ كْ نَ مَ ف ى،َ وَ ن اَ مٍ ىِ رْ م اِ هْ بَ لِ P اَ رَ ج اَ ا هَ ي مَ لِ P اُ هُ , تَ رُ جٍ هَ ف. “Dari Amirul Mukminin, Umar bin Khatthab radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barang siapa yang berhijrah karena Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya menuju keridhaan Allah dan rasul-Nya. Barang siapa yang berhijrah karena mencari dunia atau karena ingin menikahi seorang wanita, maka hijrahnya tersebut kepada apa yang dia tuju.” (HR. Bukhari no. 1, Muslim no. 155, 1907) Kedudukan Hadits Hadits ini begitu agung hingga sebagian ulama salaf mengatakan, “Hendaknya hadits ini dicantumkan di permulaan

Kedudukan Niat Dalam Amal

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kedudukan Niat Dalam Amal

Kedudukan Niat Dalam Amal - Penjelasan Hadits Arba’in Pertama (1)

Oleh: Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh

Diterjemahkan dengan beberapa penyesuaian oleh Abu Umair Muhammad Al Makasari (Alumni Ma’had Ilmi) Murojaah: Ust. Aris Munandar

األنبياء أشرف على والسالم والصالة العالمين، رب لله الحمد الرحيم، الرحمن الله بسمأجمعين وصحبه آله وعلى محمد، نبينا والمرسلين،

: : *ع+م*ال) األ+ ,م*ا -ن إ *ق)و+ل) ي الله- س)ول* ر* م-ع+ت) س* ق*ال* +خ*ط,اب- ال +ن- ب ع)م*ر* ح*ف+ص6 -ي+ ب* أ +ن* -ي +م)ؤ+م-ن ال +ر- م-ي

* أ ع*ن+الله- -ل*ى إ )ه) ت ف*ه-ج+ر* -ه- ول س) و*ر* الله- -ل*ى إ )ه) ت ه-ج+ر* *ت+ *ان ك ف*م*ن+ *و*ى، ن م*ا ام+ر-ئ6 Cل( -ك ل ,م*ا -ن و*إ ، *ات- Cي -الن ب

+ه- *ي -ل إ ه*اج*ر* م*ا -ل*ى إ )ه) ت ف*ه6ج)ر* +ك-ح)ه*ا *ن ي ة6* أ ام+ر* و-

* أ )ه*ا +ب )ص-ي ي *ا -دGني ل )ه) ت ه-ج+ر* *ت+ *ان ك و*م*ن+ -ه-، ول س+ . و*ر*

“Dari Amirul Mukminin, Umar bin Khatthab radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barang siapa yang berhijrah karena Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya menuju keridhaan Allah dan rasul-Nya. Barang siapa yang berhijrah karena mencari dunia atau karena ingin menikahi seorang wanita, maka hijrahnya tersebut kepada apa yang dia tuju.” (HR. Bukhari no. 1, Muslim no. 155, 1907)

Kedudukan Hadits

Hadits ini begitu agung hingga sebagian ulama salaf mengatakan, “Hendaknya hadits ini dicantumkan di permulaan kitab-kitab yang membahas ilmu syar’i.” Oleh karena itu Imam Al Bukhari memulai kitab Shahih-nya dengan mencantumkan hadits ini. Imam Ahmad berkata, “Poros agama Islam terletak pada 3 hadits, yaitu hadits Umar إنما

بالنيات رد hadits ‘Aisyah ,األعمال فهو ليسمنه ما هذا أمرنا في أحدث dan hadits An ,منNu’man bin Basyir بين والحرام بين Perkataan beliau ini memiliki maksud, yaitu ”.الحاللbahwasanya amalan seorang mukallaf berkisar antara melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan. Dua hal ini termasuk dalam perkara halal atau haram, selain itu terdapat jenis ketiga yaitu perkara syubhat yang belum diketahui secara jelas hukumnya, dan ketiga perkara ini terdapat dalam hadits An Nu’man bin Basyir. Dan telah diketahui bersama, seorang yang hendak mengamalkan sesuatu, baik melaksanakan suatu perintah atau meninggalkan larangan harus dilandasi dengan niat agar amalan tersebut benar. Maka nilai suatu amal bergantung kepada adanya niat yang menentukan amalan tersebut apakah benar dan diterima. Dan segala perkara yang diwajibkan atau dianjurkan Allah ‘Azza wa Jalla harus diukur dengan timbangan yang pasti sehingga amalan itu sah dan hal ini ditentukan oleh hadits ‘Aisyah di atas.

Page 2: Kedudukan Niat Dalam Amal

Sehingga hadits ini senantiasa dibutuhkan di setiap perkara, di saat melaksanakan perintah, meninggalkan larangan dan ketika berhadapan dengan perkara syubhat. Berdasarkan hal itu, kedudukan hadits ini begitu agung, karena seorang mukallaf senantiasa membutuhkan niat, baik dalam melaksanakan perintah dan meninggalkan perkara yang haram atau syubhat. Semua perbuatan tersebut itu tidak akan bernilai kecuali diniatkan untuk mencari wajah Allah Jalla wa ‘Alaa.

Tafsiran Ulama Mengenai “Sesungguhnya Seluruh Amalan Itu Bergantung Pada Niatnya”

Terdapat beberapa lafadz dalam sabda beliau بالنيات األعمال النية terkadang lafadz إنماdan العمل disebutkan dalam bentuk tunggal atau jamak walaupun demikian kedua bentuk tersebut memiliki makna yang sama, karena lafadz العمل dan النية dalam bentuk tunggal mencakup seluruh jenis amalan dan niat.

Di dalam sabda beliau [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya] terkandung pembatasan. Karena lafadz “innama” merupakan salah satu lafadz pembatas seperti yang dijelaskan oleh ahli bahasa. Pembatasan tersebut mengharuskan setiap amalan dilandasi dengan niat, Terdapat beberapa pendapat mengenai maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam بالنيات األعمال .إنما

Pendapat pertama, mengatakan sesungguhnya maksud dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam بالنيات األعمال yaitu keabsahan dan diterimanya suatu amalan adalah إنماkarena niat yang melandasinya, sehingga sabda beliau ini berkaitan dengan keabsahan suatu amalan dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selanjutnya ما امرئ لكل وإنما maksudnya adalah seseorang akan mendapatkan ganjaran dari amalan yang dia نوىkerjakan sesuai dengan niat yang melandasi amalnya.

Pendapat kedua mengatakan bahwa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam األعمال إنما menerangkan bahwa sebab terjadi suatu amalan adalah dengan niat, karena segala بالنياتamalan yang dilakukan seseorang mesti dilandasi dengan keinginan dan maksud untuk beramal, dan itulah niat. Maka faktor pendorong terwujudnya suatu amalan, baik amalan yang baik maupun yang buruk adalah keinginan hati untuk melakukan amalan tersebut. Apabila hati ingin melakukan suatu amalan dan kemampuan untuk melakukannya ada, maka amalan tersebut akan terlaksana. Sehingga maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam بالنيات األعمال adalah amalan akan terwujud dan terlaksana dengan sebab إنماadanya niat, yaitu keinginan hati untuk melakukan amalan tersebut. Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam نوى ما امرئ لكل memiliki kandungan bahwa ganjaran وإنماpahala akan diperoleh oleh seseorang apabila niatnya benar, apabila niatnya benar maka amalan tersebut merupakan amalan yang shalih.

Pendapat yang kuat adalah pendapat pertama, karena niat berfungsi mengesahkan suatu amalan dan sabda beliau [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya] adalah penjelasan terhadap perkara-perkara yang dituntut oleh syari’at bukan sebagai penjelas

Page 3: Kedudukan Niat Dalam Amal

terhadap seluruh perkara-perkara yang terjadi.

Kesimpulannya, pendapat terkuat dari dua tafsiran ulama di atas mengenai maksud dari sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya] adalah keabsahan amalan ditentukan oleh niat dan setiap orang mendapatkan ganjaran dan pahala sesuai dengan apa yang diniatkan.

Definisi Amal

yaitu segala sesuatu yang dilakukan seorang ,العمل adalah bentuk jamak dari األعمالmukallaf dan ucapan termasuk dalam definisi ini. Yang perlu diperhatikan maksud amal dalam hadits tersebut tidak terbatas pada ucapan, perbuatan atau keyakinan semata, namun lafadz األعمال dalam hadits di atas adalah segala sesuatu yang dilakukan mukallaf berupa perkataan, perbuatan, ucapan hati, amalan hati, perkataan lisan dan amalan anggota tubuh. Maka seluruh perkara yang berkaitan dengan iman termasuk dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya] karena iman terdiri dari ucapan (baik ucapan lisan maupun ucapan hati) dan amalan (baik amalan hati dan amalan anggota tubuh). Maka seluruh perbuatan mukallaf tercakup dalam sabda beliau di atas.

Namun keumuman lafadz األعمال dalam hadits ini tidaklah mutlak, karena yang dimaksud dalam hadits tersebut hanya sebagian amal saja, tidak mutlak walaupun lafadznya umum. Hal ini dapat diketahui bagi mereka yang telah mempelajari ilmu ushul. Karena segala amalan yang tidak dipersyaratkan niat untuk mengerjakannya tidaklah termasuk dalam sabda beliau [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya], seperti meninggalkan keharaman, mengembalikan hak-hak orang yang dizhalimi, menghilangkan najis dan yang semisalnya.

Permasalahan Niat

Jika niat adalah keinginan dan kehendak hati, maka niat tidak boleh diucapkan dengan lisan karena tempatnya adalah di hati karena seseorang berkeinginan atau berkehendak di dalam hatinya untuk melakukan sesuatu. Maka amalan yang dimaksud dalam hadits ini adalah amalan yang dilandasi dengan keinginan dan kehendak hati, atau dengan kata lain amalan yang disertai pengharapan untuk mendapatkan wajah Allah. Oleh karena itu makna niat ditunjukkan dengan lafadz yang berbeda-beda. Terkadang dengan lafadz .atau lafadz lain yang semisalnya االبتغاء dan terkadang dengan lafadz اإلرادة

Seperti firman Allah,

-ح)ون* +م)ف+ل ال ه)م) -ك* *ئ ول( و*أ ,ه- الل و*ج+ه* )ر-يد)ون* ي ,ذ-ين* -ل ل

“Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari wajah Allah; dan mereka Itulah orang-orang beruntung.” (QS. Ar Ruum: 38)

ء6 ي+ ش* م-ن+ -ه-م+ اب ح-س* م-ن+ +ك* *ي ع*ل م*ا و*ج+ه*ه) )ر-يد)ون* ي Cع*ش-ي+ و*ال +غ*د*اة- -ال ب ,ه)م+ ب ر* *د+ع)ون* ي ,ذ-ين* ال د- *ط+ر) ت و*ال

Page 4: Kedudukan Niat Dalam Amal

-م-ين* الظ,ال م-ن* )ون* *ك ف*ت د*ه)م+ *ط+ر) ف*ت ي+ء6 ش* م-ن+ +ه-م+ *ي ع*ل -ك* اب ح-س* م-ن+ و*م*ا

“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki wajah-Nya.” (QS. Al An’am: 52)

و*ج+ه*ه) )ر-يد)ون* ي Cع*ش-ي+ و*ال +غ*د*اة- -ال ب ,ه)م+ ب ر* *د+ع)ون* ي ,ذ-ين* ال م*ع* *ف+س*ك* ن -ر+ و*اص+ب

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap wajah-Nya.” (QS. Al Kahfi: 28)

Atau firman Allah yang semisal dengan itu seperti,

ف-ي *ه) ل و*م*ا +ه*ا م-ن -ه- )ؤ+ت ن *ا +ي الدGن ث* ح*ر+ )ر-يد) ي *ان* ك و*م*ن+ -ه- ث ح*ر+ ف-ي *ه) ل *ز-د+ ن ة- اآلخ-ر* ث* ح*ر+ )ر-يد) ي *ان* ك م*ن+*ص-يب6 ن م-ن+ ة- اآلخ-ر*

“Barang siapa yang menghendaki Keuntungan di akhirat akan Kami tambah Keuntungan itu baginya.” (QS. Asy Syuura: 20)

Atau dengan lafadz االبتغاء seperti firman Allah,

*ف+ع*ل+ ي و*م*ن+ ,اس- الن +ن* *ي ب -ص+الح6 إ و+* أ وف6 م*ع+ر) و+

* أ -ص*د*ق*ة6 ب م*ر** أ م*ن+ -ال إ *ج+و*اه)م+ ن م-ن+ -ير6 *ث ك ف-ي +ر* ي خ* ال

ع*ظ-يم_ا ( ا ج+ر_* أ -يه- )ؤ+ت ن و+ف* ف*س* ,ه- الل ض*اة- م*ر+ -غ*اء* +ت اب -ك* )١١٤ذ*ل

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. dan Barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, Maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS. An Nisaa’: 114)

األع+ل*ى Cه- ب ر* و*ج+ه- -غ*اء* +ت اب -ال إ

“Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha tinggi.” (QS. Al Lail: 20)

Sehingga lafadz niat dalam nash-nash Al Quran dan Sunnah terkadang ditunjukkan dengan lafadz اإلرادة, lafadz اإلبتغاء atau lafadz اإلسالم yang bermakna ketundukan hati dan wajah kepada Allah.

Makna Niat

Lafadz niat yang tercantum dalam firman Allah ‘azza wa jalla atau yang digunakan dalam syariat mengandung dua makna. Pertama, niat yang berkaitan dengan ibadah itu sendiri dan yang kedua bermakna niat yang berkaitan dengan Zat yang disembah (objek/sasaran peribadatan). Maka niat itu ada dua jenis:

Pertama, niat yang berkaitan dengan ibadah itu sendiri. Niat dengan pengertian semacam

Page 5: Kedudukan Niat Dalam Amal

ini sering digunakan ahli fikih dalam pembahasan hukum-hukum ibadah yaitu ketika mereka menyebutkan syarat-syarat suatu ibadah, semisal perkataan mereka “Syarat pertama dari ibadah ini adalah adanya niat” Niat dalam perkataan mereka tersebut adalah niat dengan makna yang pertama, yaitu niat yang berkaitan dengan zat ibadah itu sendiri sehingga dapat dibedakan dengan ibadah yang lain.

Jenis yang kedua, adalah niat yang berkaitan dengan Zat yang disembah (objek/sasaran peribadatan) atau sering dinamakan dengan اإلخالص, yaitu memurnikan hati, niat dan amal hanya kepada Allah ‘azza wa jalla.

Kedua makna niat di atas tercakup dalam hadits ini. Maka maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam بالنيات األعمال adalah sesungguhnya keabsahan suatu ibadah إنماditentukan oleh niat, yaitu niat yang membedakan ibadah tersebut dengan yang lain dan niat yang bermakna mengikhlaskan peribadatan hanya kepada Allah. Sehingga tidak tepat pendapat yang mengatakan bahwa niat yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah niat yang bermakna ikhlas saja atau pendapat yang mengatakan ikhlas tidak termasuk dalam perkataan ahli fikih ketika membahas permasalahan niat.

Kedudukan Niat dalam Beramal

 Niat merupakan barometer untuk meluruskan amal perbuatan.Apabila niat baik, maka amalan menjadi baik. Sebaliknya, bila niat rusak, amalan juga akan rusak.

Hal ini sesuai dengan hadits Rasululloh Shalallahu ‘alaihi Wassalam: “Dari Amiril MukmininAbu Hafs Umar ibn Khottob Radhiyallohu‘anhu bahwasanya dia berkata: Aku mendengarRasululloh Shalallahu ‘alaihi Wassalam bersabda: “Sesungguhnya segala amalan itutergantung kepada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan hasil sesuai denganniatnya. Maka barangsiapa yang hijrah-nya karena Alloh dan Rasul-Nya, maka hijrahnyadinilai kepada Alloh dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yanghendak didapatkannya atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnyadinilai sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (HR.Bukhari dan Muslim)[1].

An-Niyyaatu adalah bentuk jamak dari niyyatun, artinya tujuan. Dengan ungkapan yanglebih luas: Niat adalah tergeraknya hati menuju apa yang dianggapnya sesuai dengantujuan baik berupa perolehan manfaat atau pencegahan mudarat.

Niat mengandung dua makna:1. Bermakna pemisahan –-ibadah satu dengan lainnya misalnya, pemisahan antarasholat Dhuhur dan Ashar, atau pembedaan antara ibadah dan adat (‘Urf)—seperti jugapembedaan antara mandi janabat dengan mandi biasa. Niat dengan makna seperti inibanyak dijumpai dalam kitab-kitab fiqh para fuqoha. Perbedaan yang sering munculdalam masalah niat (dalam pengertian ini) adalah masalah haruskah niat itudilafalkan atau kah cukup dalam hati.

Page 6: Kedudukan Niat Dalam Amal

Para ulama telah banyak menjelaskan mengenai masalah ini, seperti Syaikh Muhammad binShalih Al-‘Utsaimin,beliau berkata:”Dalam semua amalan, niat tempatnya dihati, bukandilidah. Oleh karena itu, barangsiapa yang mengucapkan niat dengan lisan ketikahendak sholat, puasa, haji, wudhu, atau amalan yang lain, maka dia telah melakukankebid’ahan,mengamalkan sesuatu yang tidak ada asalnya dalam agama Alloh. Hal itukarena Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam ketika berwudhu, shalat, bersedekah,berpuasa, dan berhaji tidak pernah mengucapkan niat dengan lisan, karena niat memangtempatnya di hati.”[2] Memang niat merupakan amalan hati[3] yang tidak perlu untukdiucapkan, apabila kita ber-wudhu atau akan sholat maka inilah niat (amalan hati,terwujud dalam per-buatan), tidak mungkin bagi orang yang berakal dan tidak dipaksamelakukan sesuatu (entah itu amal yang baik maupun buruk) kecuali sudah dia niatkan.Oleh karena itu sebagian ahli ilmu mengatakan:” Kalaulah Alloh membebankan kamusuatu pekerjaan tanpa niat, pastilah pembebanan itu sesuatu yang tidak dapatdikuasainya”.2. Niat bermakna pembedaan maksud seseorang dalam beramal. Apakah semata-matakarena Alloh, atau karena yang lainnya, atau karena bersamaan dengan lainnya.Maksudnya ada manusia yang beramal ikhlas karena Alloh, ada yang ingin dilihat dandipuji orang lain, ada juga yang beramal supaya dipuji orang sekaligus memperolehridho dari Alloh. Bagi orang yang beramal hanya karena mengharapkan ridho Allohsemata dengan diiringi rasa raja’ (berharap) dan khauf (takut –akan siksaannya,pen)itulah orang-orang yang ikhlas [4].

Keikhlasan inilah point penting dalam setiap amalaliah perbuatan kita sekecil apapunitu. Ikhlas merupakan hakikat agama Islam, inti peribadatan seorang hamba, syaratditerimanya amal dan merupakan dakwahnya para Rosulullah. Tanpa keikhlas-an amalkita tidak ada artinya apa-apa. Dan untuk itulah, Alloh memerintahkan kita untukmenjalankan agama yang lurus dan memurnikan ketaatan hanya kepada-Nya semata.Sebagaimana dalam firman-Nya:

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikanketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya merekamendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.(QS.Al-Bayyinah : 5)Ayat ini mengisyaratkan kita dalam beramal hendaknyamemperhatikan keikh-lasan niat kita dan sesuai denganpetunjuk agama-Nya yang lurus (sesuai dengan syari’at).

Bagi orang-orang yang beramal kepada selain Alloh adabeberapa macam:o Amalan riya’ semata-mata. Yaitu tidak dilakukan melainkan hanya supayadilihat oleh makhluq karena tujuan duniawi. Maka amalan ini jelas tidak akanmemberikan arti apa-apa dihadapan Alloh. Bahkan riya’ merupakan syirik ashghar(syirik kecil). Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam bersabda: ”Sesungguhnya yangpaling aku khawatirkan kepada kalian adalah syirik kecil, para sahabat bertanya, apayang dimaksud dengan syirik kecil? Rasulullah menjawab,dia adalah riya”.[5]

Page 7: Kedudukan Niat Dalam Amal

o Amalan yang ditujukan bagi Alloh dan disertai riya’ dari asalnya, makaamalan seperti ini salah (bathil) dan terhapus (tidak mendapatkan pahala apapundisisi Alloh, bahkan berdosa). Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah, bahwasanyaRasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam ber- sabda: “Alloh Tabaraka Wata’aalaberfirman:”Aku paling tidak butuh kesyirikan. Maka barangsiapa yang melakukan amalanyang mempersekutukan antara Aku dan selain-Ku, maka Aku tinggalkan dia dankesyirikannya.”[6]

o Amalan yang ditujukan bagi Alloh dan disertai niat lain selain riya’.Contohnya : jihad fisabilillah hanya karena Alloh dan karena menghendaki hartarampasan perang, maka amalan seperti ini berkurang pahalanya, dan tidak sampai bataldan terhapus. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam bersabda: “Tidak ada seorangpunyang berjihad di jalan Alloh kemudian mendapatkan ghanimah melainkan telahmenyegerakan dua pertiga pahala mereka diakhirat dan tinggal bagi merekasepertiganya, dan jika tidak mendapatkan ghanimah maka mereka mendapatkan pahalayang sempurna.”[7]

o Amalan yang asalnya ditujukan bagi Alloh kemudian terbesit riya’ditengah-tengahnya, maka amalan ini terbagi menjadi dua:o Jika riya’ tersebut terbesit sebentar dan segera dihalau maka riya’tersebut tidak berpengaruh apa-apa.o Jika riya’ tersebut selalu menyertai amalannya maka yang rojih daripendapat ulama adalah amalannya tidak batal dan dinilai niat awalnya sebagaimanadinukil pendapat ini dari Imam Hasan Al-Bashri.

Adapun jika seseorang beramal ikhlas karena Alloh kemudian mendapat pujiansehingga dia merasa senang dengan pujian tersebut, maka hal ini tidakberpengaruh apa-apa terhadap amalannya sebagaimana dalam hadits Abu DzarRadhiyallohu‘anhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam ditanyaseseorang yang beramal karena Alloh kemudian dipuji oleh manusia, makabeliau menjawab:”Itu adalah khabar gembira yang disegerakan bagi seorangmu’min.”[8]

Imam Hasan Al-Banna berkata, “Ikhlas adalah seorang akh Muslim yang bermaksud dengankata-katanya, amalnya dan jihadnya, seluruhnya hanya kepada Alloh, untuk mencariridho Alloh dan balasan yang baik dari Alloh dengan tanpa melihat kepada keuntungan,bentuk, kedudukan, gelar, kemajuan atau kemunduran. Dengan demikian ia menjaditentara aqidah dan fikrah dan bukan tentara keinginan atau manfaat.”[9]

Cara-cara untuk menumbuhkan niat yang ikhlas:1. Mengetahui arti keikhlasan dan urgensinya dalam beramal2. Menambah pengetahuan tentang Allah swt dan hari kiamat. Dengan mengetahuiilmu tentang-Nya, maka seseoang mengenal Allah swt dengan sebenar-benarnya tentulahtidak akan berani berbuat syirik (menyekutukan Allah dengan selain-Nya di dalam

Page 8: Kedudukan Niat Dalam Amal

niatnya). Ia juga akan mempertimbangkan amal-amalnya dan balasannya nanti diakhirat.3.Memperbanyak membaca/berinteraksi dengan al-Qur’an, karena al-Quran adalahpenyembuh dari segala penyakit dalam dada (QS.10:57) termasuk penyakit riya, ujub,dan sum’ah.4. Memperbanyak amal-amal rahasia, sehingga kita terbiasa untuk beramal karenaAllah semata tanpa diketahui orang lain.5. Menghindari / mengurangi saling memuji, karena dengan pujian terkadangorang jadi lalai hatinya dan menjadi sombong.6.Berdoa, dengan tujuan agar selalu diberi keikhlasan dan dijauhi darisyirik. Doa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw : “Allahumma innii a’udzubikaannusyrikabika syaian a’lamuhu wa astaghfiruka lima laa a’lamuhu.” (Ya Allah akuberlindung kepada-Mu dari syirik kepada-Mu dalam perbuatan yang aku lakukan dan akumemohon ampun ke-pada-Mu terhadap apa yang tidak aku ketahui.)[10]

Akhi fillah, setelah kita memahami esensi dari sebuah kelurusan niat dalam setiapamal kita, mari kita bersama senantiasa menjaga kelurusan niat-niat kita. Amalsekecil apapun itu dan siapapun kita, maka Alloh melihat hati kita dan amalperbuatan kita bukan yang lain. Tanda-tanda keikhlasan bagi seorang da’I nampak daridirinya yang tidak menginginkan sesuatu dari dakwah ini kecuali karena Alloh semata.Ia tidak ingin mendapatkan status sosial yang tinggi. Ia tidak banyak memikirkanapakah posisinya tinggi atau tidak dikenal di antara manusia. Dia tidak merasapeduli dengan manusia dan sanjungan dari mereka. Ia tidak berusaha untuk mendapatkanrasa takjub dari mereka. Ia tidak mengharap pujian dan penghormatan dari mereka. Halini tidak berarti bahwa dia berharap untuk mendapat celaan dari manusia atauprasangka buruk dari mereka.

 Tidak begitu. Tetapi seyogyanya ia menapaki jalandakwah pada jalan yang lurus dan tidak mengharapkan kecuali pahala dari Allohsemata. Dia tidak berusaha untuk mendapatkan keuntungan berupa harta yang banyakdari dakwah ini. Sebab alangkah jeleknya orang yang mengira bahwa dirinya hanyamenghendaki Alloh dan keridhaan-Nya, padahal sebenarnya mereka hanya mengharapkankepada dinar dan dirham. Keikhlasan seorang da’I menjelma dalam sikapnya yang merasagembira apabila tercapai keberhasilan dari tangan orang lain sebagaimana dia merasagembira kalau keberhasilan itu dicapai dengan tangannya sendiri. Dia tetap akanmelakukan amalnya walaupun harus ditinggalkan sendirian oleh saudaranya, karena diyakin Alloh bersamanya. Jika ini terjadi dalam diri kita, maka karakter kader dakwahyang muntij (produktif), insya Alloh akan muncul dalam diri kita. Teruslah beramaldengan ilmu dan kelu-rusan niat.

Page 9: Kedudukan Niat Dalam Amal

Kedudukan Niat Dalam Beramal

Niat merupakan amal hati secara murni. Suatu amal tidak akan sempurna amalnya jika tidak disertai niat yang ikhlas. Niat yang ikhlas berarti membersihkan maksud dan tujuan kepada Allah dari maksud lainnya, hanya mengkhususkan Allah sebagai tujuan utama kita. Hal ini dijelaskan dalam hadist diriwayatkan oleh Amir l’Mu’minin Abi Hafsh Umar ibn Al Khaththaab Radhiyallahu ‘Anhu, yang berbunyi :“Sesungguhnay amal perbuatan itu disertai niat dan setiap orang mendapat balasan amal sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang berhijrah hanya karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya itu menuju Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa hijrahnya karena dunia yang ia harapkan atau karena wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya itu menuju yang ia inginkan.” (HR. Bukhari-Muslim)Hakekat niat dalam beramal:1. Niat merupakan bagian dari Iman.Niat merupakan amalan hati. Sedangkan iman adalah diyakini di dalam hati, diucapkan dalam amal dan diuktikan dengan anggota badan dan perbuatan. Allah mencatat niat-niat baik kita dengan pahala yang sempurna meskipun amalan tersebut belum kita wujudkan. Seperti sabda Nabi saw. sebagai berikut :

“Maka barangsiapa yang bercita-cita hendak mengerjakan kebaikkan tetapi belum mengamalkannya, Allah mencatat bagi orang tersebut di sisi-Nya dengan kebaikkan yang sempurna.” (Muttafqun alaih)2. Wajib mengetahui hukum dari sebuah amalan sebelum mengerjakannya.Setiap muslim wajib mengetahui ilmu sebelum mengamalkannya, apakah amalan tersenut disyari’atkan atau tidak.3. Disyaratkannya niat pada amalan-amalan keta’atan.Suatu kebaikkan tidak dikatakan ibadah jika tidak disertai niat untuk beribadah. Niat membedakan amalan ibadah dengan kebiasaan atau yang bukan bersifat ibadah. Niat membedakan antara ibadah yang satu dengan yang lain, misalnya puasa di bulan syawal. Bisa jadi dia puasa syawal bisa juga dia puasa membayar hutang puasa. Itu semua tergantung dari niat didalam hatinya. Niat juga menentukan tujuan dari sebuah amalan. Apakah perbuatan itu diniatkan untuk mendapatkan keridhaan Allah atau mengaharapkan selain dari itu tentukan oleh niatnya.4. Pentingnya ikhlas di dalam beramal.Sebuah amal bergantung kepada keikhlasan pelakunya. Mengikhlaskan amalan semata-mata hanya karena Allah merupakan wujud mentauhidkan Allah. Ikhlas bukan hanya berarti tidak menuntut apa-apa dari Allah tapi merupakan sebuah tuntutan dan konsekuensi dari diciptakannya kita oleh Allah. Hendaknya kita senantiasa memperhatikan gerak hati kita, karena keikhlasan kita senantiasa diuji. Pertama: sebelum beramal perhatikan niatnya, kepada siapa dank arena apa kita niatkan amal kita. Kedua: ketika sedang beramal, bisa jadiamalan yang semula ikhlas terganggu disebabkan ada kejadian-kejadian khusus dan tak terduga. Ketiga: ketika setelah beramal. Tanpa sadar setelah mungkin bertahun-tahun kita semunyikan, tiba-tiba dalam sebuah obrolan kita ceritakan jasa kita dulu.

Page 10: Kedudukan Niat Dalam Amal

5. Baik buruknya amal bergantung kepada niat pelakunya.Sebuah amal kebaikkan akan menjadi ibadah yang diterima manakala diniatkan dengan niat yang baik, berupa keikhlasan, Dan akan menjadi buruk manakala diniatkan dengan niat buruk, berupa ksyirikan -baik kecil apalagi besar-. Akan tetapi seseorang tidak boleh menghalalkan yang haram semata-mata dengan alasan baiknya niat.Beberapa urgensi niat yang ikhlas :1. Merupakan ruhnya amalAllah hanya menginginkan hakekat amal bukan rupa dan bentuknya.2. Salah satu syarat diterimanya amal3. penentuan nilai/kualitas suatu amal. Suatu amal dapat dibedakan pahalanya berdasakan perbedaan niatnya.4. Dapat merubah amal-amal yang mubah dan tradisi menjadi ibadah. Pekerjaan mencari rezki bisa menjadi ibadah dan jihad fi sabilillah selagi pekerjaan itu dimaksudkan untuk menjaga dirinya dari hal-hal yang haram dan mencari yang halal.5. Mendatangkan berkah dan pahala dari Allah, bahkan sebelum ia melaksanakan amalnya.Cara-cara untuk menumbuhkan niat yang ikhlas :1. Senantiasa meluruskan niat sebelum mulai beramal.2. Menyerahkan segala cintanya hanya kepada Allah, Rasul dan akhirat3. Ilmu ikhlas yang mantap4. Berteman dengan orang-orang yang ikhlas5. Membaca sirah orang-orang yang Mushlih6. Mujahadah terhadap nafsu, maksudnya mengarahkan kehendak untuk memerangi nafsu yang menjurus kepada keburukan.7. Berdo’a dan memohon kepada AllahBukti penguat ikhlas :1. Takut ketenaran, ketenaran tidak tercela tapi yang tercela itu adalah mencari ketenaran.2. Menuduh diri sendiri, orang yang mukhlis senantiasa menuduh diri sendiri sebagai orang yang berlebih-lebihan di sisi Allah dan kurang dalam melaksanakan berbagai kewajiban.3. Beramal secara diam-diam jauh dari sorotan4. Tidak menuntun pujian dan tidak terkecoh oleh pujian.5. Tidak kikir pujian terhadap orang yang memang harus dipuji.6. Berbuat selaknya dalam memimpin, dia tidak ambisi dan menuntut kedudukan untuk kepentingan dirinya sendiri.7. Mencari keridhaan Allah, bukan keridhaan manusia.8. Menjadikan keridhaan dan kemarahan karena Allah, bukan karena pertimbangan pribadi.9. Sabar sepanjang jalan10. Rakus terhadap amal yang bermanfaat11. Menghindari ujub, merasa puas terhadap apa yang dilakukan.

Referensi:Dr. Yusuf Qardhawi : Niat dan Ikhlas

Page 11: Kedudukan Niat Dalam Amal

KEDUDUKAN NIAT DALAM BERAMAL

"Diterangkan dari Amirul Mukminin Abu Hafsn Umar bin Khattab ra, ia berkata : "Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda:"sesungguhnya sahnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya bagi setiap orang hanyalah apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang tujuan hijrahnya kepada Allah dan utusan-Nya maka hijrahnya itu kepada Allah dan utusan-Nya. Dan barangsiapa yang tujuan hijrahnya kepada harta dan wanita, maka yang didapat adalah harta dan wanita itu."

Hadist diatas menegaskan bahwa niat adalah faktor yang amat menentukan diterima atau tidaknya amal perbuatan seseorang di sisi Allah.

Artinya, kebenaran suatu amal ditentukan oleh niat. Bila niatnya baik maka baik pula nilai amalnya, dan kalau niatnya jelek maka nilai amalnya pun menjadi jelek. Apabila dikaitkan dengan niat maka amal kebaikan itu akan masuk salah satu dari tiga kemungkinan, yakni :

Pertama :Motif dalam beramal adalah karena takut terhadap siksa Allah. Maka amalnya itu adalah sebagaimana pengabdian seorang hamba. Dalam melakukan pekerjaan dikarenakan merasa takut kepada tuannya

Kedua :Motif dalam beramal adalah karena mengharap balasan surga serta pahala. Maka amalnya itu adalah sebagaimana kerja seorang pedagang, dalam melakukan pekerjaan adalah karena mengharapkan laba dan keuntungan

Ketiga :Motif dalam beramal adalah karena merasa malu kepada Allah, melaksanakan pengabdian dan kesyukuran. Ia melihat bahwa amal kebaikan yang dilakukan amat sedikit, ia merasa khawatir karena tidak mengetahui apakah amal yang dikerjakan itu diterima oleh Allah atau ditolak. Inilah amalan orang merdeka. Dia beramal dengan dilandasi oleh niat yang tulus ikhlas.

Ibadah kategori terakhir inilah yang menjadi motifasi Rasulullah SAW dalam melaksanakan pengabdian kepada Allah SWT, sebagaimana beliau pernah ditegur oleh sang istri tercinta, A’isyah ra, saat bangun tengah malam lalu beribadah hingga kedua telapak kaki beliau membengkak. A’isyah ra berkata :"wahai utusan Allah, kenapa engkau beribadah sedemikian tekunnya padahal Allah telah mengampuni (segala) dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?" Jawab beliau : "Tak bolehkah aku menjadi hamba yang gemar bersyukur?"

Muncullah pertanyaan : Mana yang lebih utama, ibadah karena rasa takut atau ibadah dengan pengharapan?

Page 12: Kedudukan Niat Dalam Amal

Dalam hal ini Imam Al-Ghazali berkata :“Ibadah yang disertai pengharapan adalah utama, karena ibadah yang disertai pengharapan akan menumbuhkan perasaan cinta sedangkan ibadah yang disertai perasaan takut akan menumbuhkan perasaan bosan.”

Tetapi rasa bosan ini hanya bisa muncul pada orang-orang yang tidak ikhlas dalam beribadah. Oleh karenanya bagi orang-orang yang ikhlas, maka ketiga kategori amal ibadah ini semuanya benar. Sehingga seyogyanya motivasi amal ibadah kita adalah ketiga-tiganya, yakni karena takut, mengharap pahala serta hendak bersyukur dan menunaikan hak Allah.

Di hadapan keikhlasan amal itu selalu siaga beragam penyakit yang hendak menghancurkannya, antara lain adalah :1. Ujub, yakni perasaan kagum terhadap diri sendiri atau amal perbuatan yang bisa dilakukan.Orang yang melakukan amal kebaikan tetapi terserang penyakit yang pertama ini maka amalnya akan gugur, sia-sia, tak mendapat imbalan dari Allah SWT.

2. Takabur, yakni menyombongkan diri atau amal perbuatan yang telah dilakukan.

Orang yang beramal tetapi terserang penyakit yang kedua ini nasibnya sama dengan yang pertama, yakni amalnya sia-sia.

3. Orang yang beramal untuk mencari dunia dan akhirat sekaligus.Sementara ulama berpendapat bahwa amal perbuatan yang diniatkan untuk dunia dan akhirat tidak diterima di sisi Allah SWT. Mereka bersandar terhadap sabda Rasulullah SAW dalam hadist qudsi berikut :“Allah berfirman:”aku tidak memerlukan sekutu-sekutu. Barangsiapa yang melakukan amal perbuatan dengan menyekutukan selain Aku da

Terhadap masalah ini, dalam kitab ar-Ri’ayah al-Harist al-Muhasibi berkata:“Ikhlas adalah engkau beramal dengan niat semata-mata melakukan ketaatan kepada Allah, dan tidak ada maksud-maksud yang lain selain ketaatan itu”.

Sedangkan riya’ itu ada dua macam:

Pertama, seseorang beramal tetapi sama sekali tidak bermaksud melakukan ketaatan, dan ia hanya ingin dilihat oleh manusia.

Kedua, ia beramal karena mengharap penilaian manusia dan mengharap penilaian Tuhan manusia. Keduanya sama-sama batal, tidak diterima oleh Allah SWT

Pandangan tersebut diambil oleh al-Hafizh Abu Nu’aim dari pandangan sebagian salafus saleh. Sebagian diantara mereka ada yang mengambil dalil dari firman Allah:

Page 13: Kedudukan Niat Dalam Amal

Maha Perkasa dan Maha Besar, Maha Suci Allah dari apa yang mereka sekutukan.” (QS. Al-Hasyr:23).

Misalnya orang yang membanggakan istri, anak, sahabat. Maka di sini Allah membanggakan Dzat-Nya, tak menerima amalan yang dikerjakan sembari menyekutukan dengan amalan selain-Nya.

Imam Abu Laits as-Samarqadi melihat permasalahan ini secara lebih substansial. Beliau berkata :“Apa yang dilakukan karena Allah maka diterima dan apa yang dilakukan karena manusia maka itulah yang tertolak.”

Misalnya, orang yang mengerjakan shalat zhuhur. Ia mengerjakan itu dengan niat melaksanakan kewajiban yang telah difardhukan oleh Allah. Tetapi dalam memanjangkan rukun-rukun dan bacaannya serta dalam memperbagus gerak-geriknya adalah agar dipuji orang yang shalat bersamanya. Dalam kasus ini maka shalat orang tersebut tetap sah (diterima oleh Allah) sedangkan panjangnya rukun-rukun yang dikerjakan serta bacaanya maupun bagusnya gerak-geriknya ini tidak diterima oleh Allah, sebab niatnya untuk manusia.

Syaikh Izzudin Abdus Salam ditanya tentang orang yang memanjangkan shalatnya karena manusia. Beliau menjawab:“Saya berharap hal itu tidak merusak amalannya yang dasar (ashlul ‘amal) yaitu shalat fardhu. Sedangkan yang rusak adalah sifat shalatnya, yakni dalam memanjangkan shalat tersebut, karena itu dilakukan karena manusia.”

Sebagaimana dalam mengerjakan amal perbuatan, riya’ pun bisa terjadi pula dalam meninggalkan amal perbuatan yang motivasinya adalah manusia, maka ini pun termasuk riya’.

Al-Fadhil bin ‘Iyadh berkata:“Meninggalkan amal perbuatan karena manusia adalah riya’, sedangkan mengerjakan amal perbuatan karena manusia adalah syirik. Adapun ikhlas adalah apabila motifnya semata-mata karena Allah, baik dalam mengerjakan suatu amal maupun dalam meninggalkannya.”

Maksud dari ucapan beliau ini adalah, barangsiapa yang bermaksud mengerjakan amal ibadah tetapi tidak jadi mengerjakannya amal ibadah tetapi dia tidak jadi mengerjakannya karena takut dilihat manusia maka ini termasuk riya’. Sebab dia meninggalkan amal perbuatan karena manusia. Tetapi kalau dalam meninggalkan itu karena dia ingin berkhalwat, maka ini justru disunatkan.Lain halnya kalau yang dikerjakan itu adalah ibadah (shalat) fardhu, atau zakat wajib.Demikian pula tokoh agama yang mengerjakan amal-amal kebaikan secara terang-terangan agar diteladani oleh pihak lain, maka apa yang dilakukannya itu lebih utama

Sebagaimana riya’ yang merusak nilai amal ibadah, maka demikian pula dengan tasmi’

Page 14: Kedudukan Niat Dalam Amal

(sum’ah). Yakni mengerjakan amal ibadah di tempat yang sepi dari manusia, tetapi kemudian apa yang dilakukan itu diceritakannya kepada orang lain.Rasulullah SAW bersabda :

Barangsiapa yang memperdengarkan (amalannya) maka Allah akan memperdengarkan dengannya, dan siapa yang memamerkan/memperlihatkan (amalnya) Allah akan memamerkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Para ulama berpendapat bahwa kalau seseorang alim menceritakan amal perbuatan yang telah dilakukan kepada orang lain dengan tujuan agar mereka mengikutinya, maka tasmi’ semacam ini diperbolehkan dan tidak merusak nilai amalnya di sisi Allah SWT.

Imam al-Marzabaniy berkata :”orang yang mengerjakan shalat yang menghendaki agar shalatnya diangkat di sisi Allah, maka dia memerlukan empat hal berikut :- Hudhurul Qalb (hadirnya hati)- Syuhudul Aql (sadarnya akal)- Hudhu’ul Arkan (mendatangi rukun-rukun shalat)Husyu’ul jawarih (khusuknya anggota tubuh)

Oleh karenanya maka :- Barangsiapa yang mengerjakan shalat tanpa disertai hadirnya hati, maka ia shalat dengan lalai.- Barangsiapa yang mengerjakan shalat tanpa disertai kesadaran akal, maka ia shalat dengan lupa.

- Barangsiapa yang mengerjakan shalat tanpa disertai kepatuhan pada rukun-rukunnya, maka ia shalat dengan mencuri rukun-rukunnya.- Barangsiapa yang mengerjakan shalat tanpa disertai kepatuhan anggota tubuh, maka ia shalat dengan keliru.- Barangsiapa yang mengerjakan shalat dengan memenuhi keempat perkara di atas maka ia shalat dengan sempurna.

Sabda Nabi SAW:“Sesungguhnya sahnya amal itu tergantung pada niatnya.”Yang dimaksudnya dengan amal dalam hadist ini adalah amal-amal ketaatan, bukan yang mubah.

Al-Haritsi al-Muhasibi berkata:“Keikhlasan itu tidak mencakup pada hal-hal yang mubah. Karena ia tidak bisa menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT, misalnya membangun rumah yang besar serta megah. Adapun bila untuk kemaslahatan umum seperti membangun masjid, jembatan dan sebagainya maka yang demikian itu amat dianjurkan, bahkan menjadi amalan sunat yang dicintai oleh Allah SWT.”

Beliau menegaskan:“Tidak ada ikhlas dalam perbuatan yang haram atau perbuatan yang makruh.”

Page 15: Kedudukan Niat Dalam Amal

Kata Al-Harits:

“Maka pemberian sifat yang obyektif kaitannya dengan keikhlasan adalah dengan mempertimbangkan aspek yang samar (sirr) berikut yang jelas (‘alaniyah), yang lahir berikut yang batin.”

Sabda Nabi SAW :“Sesungguhnya setiap amal……..”

Ini terkandung maksud: sesungguhnya sahnya amal, atau yang menjadikan sah setiap amal, atau diterimanya setiap amal, atau sempurnanya setiap amal.

Terhadap hadist ini Imam Abu Hanifah membuat pengecualian mengenai hal-hal tertentu, seperti menghilangkan najis, mengembalikan barang yang dighashab (dipergunakan tanpa seijin pemiliknya, dan tidak dimaksudkan mencuri), menyampaikan hadiah, dan semacamnya. Karena keabsahan perbuatan-perbuatan tersebut tidak terikat pada niat. Hanya saja, dia tetap memperoleh pahala kalau di dalam mengerjakannya itu disertai niat untuk bertaqarrub kepada Allah.

Demikian halnya memberi makan pada binatang ternak, misalnya. Apabila dalam memberi makan ini dimaksudkan untuk mngikuti perintah Allah maka ia memperoleh pahala. Akan tetapi apabila dalam mengerjakannya dia hanya bermaksud mengamankan harta maka dia tidak memperoleh pahala.

Secara bahasa, arti niat adalah kehendak (qashd). Sedangkan arti niat secara syara’ adalah berkehendak kepada suatu beriringan dengan mengerjakannya. Sebab bila kehendak itu masih jauh dari perbuatan, maka ia dinamakan ‘azm (maksud).

Dan niat itu disyariatkan karena dialah yang membedakan antara adat kebiasaan dengan ibadah, serta membedakan antara bagian ibadah satu dengan yang lainnya.

Contoh pertama:Duduk di dalam masjid. Duduk itu sendiri menurut kebiasaan, duduk dimaksudkan untuk beristirahat. Tetapi kalau diniati I’tikaf maka ia merupakan ibadah. Di sini yang membedakan antara adat kebiasaan dengan ibadah adalah niat.

Demikian pula mandi. Sebagai adat kebiasaan, mandi dimaksudkan untuk membersihkan badan, dan secara khusus ia pun bisa dimaksudkan sebagai ibadah, yang membedakan antara keduanya adalah niat pula.

Inilah yang dikehendaki oleh isyarat dalam sabda Rasulullah SAW, saat beliau ditanya tentang lelaki yang berperang karena riya’, mempertahankan status serta keberaniannya:“Yang manakah dari itu yang berperang di jalan Allah?” Maka beliau menjawab: “Barangsiapa yang berperang agar kalimah Allah menjadi tinggi, maka dia di jalan Allah!” (HR. Bukhari dan Muslim)

Page 16: Kedudukan Niat Dalam Amal

Contoh Kedua:Yang membedakan dalam tertib ibadah. Seperti orang yang mengerjakan shalat empat rakaat. Ini bisa dimaksudkan mengerjakan shalat Zhuhur dan bisa pula dimaksudkan mengerjakan shalat sunnah. Yang membedakan antara keduanya adalah niat

Juga memerdekakan budak. Ia bisa dimaksudkan sebagai kafarat dan bisa pula yang lain, misalnya dimaksudkan untuk melaksanakan nadzar dan seterusnya. Yang membedakannya adalah niat.

“Dan sesungguhnya bagi setiap orang adalah apa yang ia niatkan.”

Kedudukan Niat dalam   Amal

Oleh : Syaikh Sholih bin Abdul Aziz Alu Syaikh

الرحيم الرحمن الله بسم

وعلى محمد، نبينا والمرسلين، األنبياء أشرف على والسالم والصالة العالمين، رب لله الحمدأجمعين وصحبه آله

: : *ع+م*ال) األ+ ,م*ا -ن إ *ق)و+ل) ي الله- س)ول* ر* م-ع+ت) س* ق*ال* +خ*ط,اب- ال +ن- ب ع)م*ر* ح*ف+ص6 -ي+ ب* أ +ن* -ي +م)ؤ+م-ن ال +ر- م-ي

* أ ع*ن+الله- -ل*ى إ )ه) ت ف*ه-ج+ر* -ه- ول س) و*ر* الله- -ل*ى إ )ه) ت ه-ج+ر* *ت+ *ان ك ف*م*ن+ *و*ى، ن م*ا ام+ر-ئ6 Cل( -ك ل ,م*ا -ن و*إ ، *ات- Cي -الن ب

+ه- *ي -ل إ ه*اج*ر* م*ا -ل*ى إ )ه) ت ف*ه6ج)ر* +ك-ح)ه*ا *ن ي ة6* أ ام+ر* و-

* أ )ه*ا +ب )ص-ي ي *ا -دGني ل )ه) ت ه-ج+ر* *ت+ *ان ك و*م*ن+ -ه-، ول س+ . و*ر*

“Dari Amirul Mukminin, Umar bin Khatthab radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barang siapa yang berhijrah karena Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya menuju keridhaan Allah dan rasul-Nya. Barang siapa yang berhijrah karena mencari dunia atau karena ingin menikahi seorang wanita, maka hijrahnya tersebut kepada apa yang dia tuju.” (HR. Bukhari no. 1, Muslim no. 155, 1907).

Kedudukan Hadits

Hadits ini begitu agung hingga sebagian ulama salaf mengatakan, “Hendaknya hadits ini dicantumkan di permulaan kitab-kitab yang membahas ilmu syar’i.” Oleh karena itu Imam Al Bukhari memulai kitab Shahih-nya dengan mencantumkan hadits ini. Imam Ahmad berkata, “Poros agama Islam terletak pada 3 hadits, yaitu hadits Umar إنما

بالنيات رد hadits ‘Aisyah ,األعمال فهو ليسمنه ما هذا أمرنا في أحدث dan hadits An ,منNu’man bin Basyir بين والحرام بين Perkataan beliau ini memiliki maksud, yaitu ”.الحاللbahwasanya amalan seorang mukallaf berkisar antara melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan. Dua hal ini termasuk dalam perkara halal atau haram, selain itu terdapat jenis ketiga yaitu perkara syubhat yang belum diketahui secara jelas hukumnya, dan ketiga perkara ini terdapat dalam hadits An Nu’man bin Basyir. Dan telah diketahui

Page 17: Kedudukan Niat Dalam Amal

bersama, seorang yang hendak mengamalkan sesuatu, baik melaksanakan suatu perintah atau meninggalkan larangan harus dilandasi dengan niat agar amalan tersebut benar. Maka nilai suatu amal bergantung kepada adanya niat yang menentukan amalan tersebut apakah termasuk amalan shalih dan diterima. Kemudian segala perkara yang diwajibkan atau dianjurkan Allah ‘azza wa jalla, secara lahiriah harus diukur dengan timbangan (standar) sehingga amalan itu sah dan yang menjadi standar dalam hal ini adalah hadits ‘Aisyah.

Oleh karena itu, hadits ini senantiasa dibutuhkan di setiap perkara, di saat melaksanakan perintah, meninggalkan larangan dan ketika berhadapan dengan perkara syubhat. Berdasarkan hal itu, kedudukan hadits ini begitu agung, karena seorang mukallaf senantiasa membutuhkan niat, baik dalam melaksanakan perintah dan meninggalkan perkara yang haram atau syubhat. Semua perbuatan tersebut itu tidak akan bernilai kecuali diniatkan untuk mencari wajah Allah jalla wa ‘alaa.

Tafsiran Ulama Mengenai “Sesungguhnya Seluruh Amalan Itu Bergantung Pada Niatnya”

Terdapat beberapa lafadz dalam sabda beliau بالنيات األعمال النية terkadang lafadz إنماdan العمل disebutkan dalam bentuk tunggal atau jamak walaupun demikian kedua bentuk tersebut memiliki makna yang sama, karena lafadz العمل dan النية dalam bentuk tunggal mencakup seluruh jenis amalan dan niat.

Di dalam sabda beliau [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya] terkandung pembatasan. Karena lafadz “innama” merupakan salah satu lafadz pembatas seperti yang dijelaskan oleh ahli bahasa. Pembatasan tersebut mengharuskan setiap amalan dilandasi dengan niat,

Terdapat beberapa pendapat mengenai maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam بالنيات األعمال .إنما

Pendapat pertama, mengatakan sesungguhnya maksud dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam بالنيات األعمال yaitu keabsahan dan diterimanya suatu amalan adalah إنماkarena niat yang melandasinya, sehingga sabda beliau ini berkaitan dengan keabsahan suatu amalan dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selanjutnya ما امرئ لكل وإنما maksudnya adalah seseorang akan mendapatkan ganjaran dari amalan yang dia نوىkerjakan sesuai dengan niat yang melandasi amalnya.

Pendapat kedua mengatakan bahwa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam األعمال إنما menerangkan bahwa sebab terjadi suatu amalan adalah dengan niat, karena segala بالنياتamalan yang dilakukan seseorang mesti dilandasi dengan keinginan dan maksud untuk beramal, dan itulah niat. Maka faktor pendorong terwujudnya suatu amalan, baik amalan yang baik maupun yang buruk adalah keinginan hati untuk melakukan amalan tersebut. Apabila hati ingin melakukan suatu amalan dan kemampuan untuk melakukannya ada, maka amalan tersebut akan terlaksana. Sehingga maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi

Page 18: Kedudukan Niat Dalam Amal

wa sallam بالنيات األعمال adalah amalan akan terwujud dan terlaksana dengan sebab إنماadanya niat, yaitu keinginan hati untuk melakukan amalan tersebut. Sedangkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam نوى ما امرئ لكل memiliki kandungan bahwa وإنماganjaran pahala akan diperoleh oleh seseorang apabila niatnya benar, apabila niatnya benar maka amalan tersebut merupakan amalan yang shalih.

Pendapat yang kuat adalah pendapat pertama, karena niat berfungsi mengesahkan suatu amalan dan sabda beliau [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya] merupakan penjelas terhadap perkara-perkara yang dituntut oleh syari’at bukan sebagai penjelas terhadap seluruh perkara yang terjadi.

Kesimpulannya, pendapat terkuat dari dua tafsiran ulama di atas mengenai maksud dari sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya] adalah keabsahan amalan ditentukan oleh niat dan setiap orang mendapatkan ganjaran dan pahala sesuai dengan apa yang diniatkan.

Definisi Amal

yaitu segala sesuatu yang dilakukan seorang ,العمل adalah bentuk jamak dari األعمالmukallaf dan ucapan termasuk dalam definisi ini. Yang perlu diperhatikan maksud amal dalam hadits tersebut tidak terbatas pada ucapan, perbuatan atau keyakinan semata, namun lafadz األعمال dalam hadits di atas adalah segala sesuatu yang dilakukan mukallaf berupa perkataan, perbuatan, ucapan hati, amalan hati, perkataan lisan dan amalan anggota tubuh. Maka seluruh perkara yang berkaitan dengan iman termasuk dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya] karena iman terdiri dari ucapan (baik ucapan lisan maupun ucapan hati) dan amalan (baik amalan hati dan amalan anggota tubuh). Maka seluruh perbuatan mukallaf tercakup dalam sabda beliau di atas.

Namun keumuman lafadz األعمال dalam hadits ini tidaklah mutlak, karena yang dimaksud dalam hadits tersebut hanya sebagian amal saja, tidak mutlak walaupun lafadznya umum. Hal ini dapat diketahui bagi mereka yang telah mempelajari ilmu ushul. Karena segala amalan yang tidak dipersyaratkan niat dalam pelaksanaannya tidaklah termasuk dalam sabda beliau بالنيات األعمال contohnya seperti meninggalkan إنماkeharaman, mengembalikan hak-hak orang yang dizhalimi, menghilangkan najis dan yang semisalnya.

Permasalahan Niat

Jika niat adalah keinginan dan kehendak hati, maka niat tidak boleh diucapkan dengan lisan karena tempatnya adalah di hati karena seseorang berkeinginan atau berkehendak di dalam hatinya untuk melakukan sesuatu. Maka amalan yang dimaksud dalam hadits ini adalah amalan yang dilandasi dengan keinginan dan kehendak hati, atau dengan kata lain amalan yang disertai pengharapan untuk mendapatkan wajah Allah. Oleh karena itu

Page 19: Kedudukan Niat Dalam Amal

makna niat ditunjukkan dengan lafadz yang berbeda-beda. Terkadang dengan lafadz .atau lafadz lain yang semisalnya االبتغاء dan terkadang dengan lafadz اإلرادة

Seperti firman Allah,

-ح)ون* +م)ف+ل ال ه)م) -ك* *ئ ول( و*أ ,ه- الل و*ج+ه* )ر-يد)ون* ي ,ذ-ين* -ل ل

“Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang (berniat) mencari wajah Allah; dan mereka itulah orang-orang beruntung.” (QS. Ar Ruum: 38)

ء6 ي+ ش* م-ن+ -ه-م+ اب ح-س* م-ن+ +ك* *ي ع*ل م*ا و*ج+ه*ه) )ر-يد)ون* ي Cع*ش-ي+ و*ال +غ*د*اة- -ال ب ,ه)م+ ب ر* *د+ع)ون* ي ,ذ-ين* ال د- *ط+ر) ت و*ال-م-ين* الظ,ال م-ن* )ون* *ك ف*ت د*ه)م+ *ط+ر) ف*ت ي+ء6 ش* م-ن+ +ه-م+ *ي ع*ل -ك* اب ح-س* م-ن+ و*م*ا

“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki (berniat mendapatkan) wajah-Nya.” (QS. Al An’am: 52)

و*ج+ه*ه) )ر-يد)ون* ي Cع*ش-ي+ و*ال +غ*د*اة- -ال ب ,ه)م+ ب ر* *د+ع)ون* ي ,ذ-ين* ال م*ع* *ف+س*ك* ن -ر+ و*اص+ب

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap (berniat mendapatkan) wajah-Nya.” (QS. Al Kahfi: 28)

Atau firman Allah yang semisal dengan itu seperti,

ف-ي *ه) ل و*م*ا +ه*ا م-ن -ه- )ؤ+ت ن *ا +ي الدGن ث* ح*ر+ )ر-يد) ي *ان* ك و*م*ن+ -ه- ث ح*ر+ ف-ي *ه) ل *ز-د+ ن ة- اآلخ-ر* ث* ح*ر+ )ر-يد) ي *ان* ك م*ن+*ص-يب6 ن م-ن+ ة- اآلخ-ر*

“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah Keuntungan itu baginya.” (QS. Asy Syuura: 20)

Atau dengan lafadz االبتغاء seperti firman Allah,

األع+ل*ى Cه- ب ر* و*ج+ه- -غ*اء* +ت اب -ال إ

“Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha tinggi.” (QS. Al Lail: 20)

*ف+ع*ل+ ي و*م*ن+ ,اس- الن +ن* *ي ب -ص+الح6 إ و+* أ وف6 م*ع+ر) و+

* أ -ص*د*ق*ة6 ب م*ر** أ م*ن+ -ال إ *ج+و*اه)م+ ن م-ن+ -ير6 *ث ك ف-ي +ر* ي خ* ال

ع*ظ-يم_ا ( ا ج+ر_* أ -يه- )ؤ+ت ن و+ف* ف*س* ,ه- الل ض*اة- م*ر+ -غ*اء* +ت اب -ك* )١١٤ذ*ل

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. dan Barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, Maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS. An Nisaa’: 114)

Page 20: Kedudukan Niat Dalam Amal

Sehingga lafadz niat dalam nash-nash Al Quran dan Sunnah terkadang ditunjukkan dengan lafadz اإلرادة, lafadz اإلبتغاء atau lafadz اإلسالم yang bermakna ketundukan hati dan wajah kepada Allah.

Makna Niat

Lafadz niat yang tercantum dalam firman Allah ‘azza wa jalla atau yang digunakan dalam syariat mengandung dua makna.

Pertama, niat yang berkaitan dengan ibadah itu sendiri dan yang kedua bermakna niat yang berkaitan dengan Zat yang disembah (objek/sasaran peribadatan). Maka niat itu ada dua jenis:

Jenis Pertama, niat yang berkaitan dengan ibadah itu sendiri. Niat dengan pengertian semacam ini sering digunakan ahli fikih dalam pembahasan hukum-hukum ibadah yaitu ketika mereka menyebutkan syarat-syarat suatu ibadah, semisal perkataan mereka “Syarat pertama dari ibadah ini adalah adanya niat” Niat dalam perkataan mereka tersebut adalah niat dengan makna yang pertama, yaitu niat yang berkaitan dengan zat ibadah itu sendiri sehingga mampu dibedakan dengan ibadah yang lain.

Jenis yang kedua, adalah niat yang berkaitan dengan Zat yang disembah (objek/sasaran peribadatan) atau sering dinamakan dengan اإلخالص yaitu memurnikan hati, niat dan amal hanya kepada Allah ‘azza wa jalla.

Jadi kedua makna niat di atas tercakup dalam hadits ini. Sehingga makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam بالنيات األعمال adalah sesungguhnya keabsahan suatu إنماibadah ditentukan oleh niat, yaitu niat yang berfungsi untuk membedakan ibadah yang satu dengan ibadah yang lain dan niat yang bermakna mengikhlaskan peribadatan hanya kepada Allah. Sehingga tidak tepat pendapat yang mengatakan bahwa niat yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah niat yang bermakna ikhlas saja atau pendapat yang mengatakan ikhlas tidak termasuk dalam perkataan ahli fikih ketika membahas permasalahan niat.

Sabda Nabi shallallahu ‘Alaihi wa sallam (( نوى ما امرئ لكل ((وإنما

Di dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam نوى ما امرئ لكل setiap orang] وإنماakan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya] terkandung pembatasan, yakni setiap orang hanya akan mendapatkan ganjaran dan pahala sesuai dengan niat yang melandasi amalannya.

Jika niatnya ditujukan untuk Allah dan meraih kampung akhirat maka amalannya adalah amalan yang shalih, dan sebaliknya apabila niatnya hanyalah untuk meraih dunia maka amalan yang dia lakukan adalah amalan yang jelek lagi rusak. Hal ini ditunjukkan dalam firman Allah,

*ف*اء* ن ح) الدCين* *ه) ل ل-ص-ين* م)خ+ ,ه* الل )د)وا *ع+ب -ي ل -ال إ وا م-ر)( أ و*م*ا

Page 21: Kedudukan Niat Dalam Amal

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah: 5).

Maksudnya adalah agama yang dilandasi niat ikhlas dan bebas dari syirik sebagaimana firman-Nya,

ال-ص) +خ* ال الدCين) ,ه- -ل ل ال* أ

“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).” (QS. Az Zumar: 3)

Pembahasan ikhlas pun dijelaskan dalam hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti sabda beliau dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahih-nya,

وشركه تركته غيري معي فيه أشرك عمال_ عمل من الشرك، عن الشركاء أغنى أنا

“Aku tidak butuh kepada sekutu. Barang siapa yang melakukan suatu amalan dan menyekutukan-Ku dalam amalan tersebut, aku tinggalkan dia bersama sekutunya.” (HR. Muslim nomor 5300).

Dalil ini menunjukkan wajibnya memurnikan amalan ibadah bagi Allah semata, sehingga amalan tersebut dapat diterima dan diberi pahala. Maka konsekuensi logisnya adalah seseorang yang mengerjakan suatu amalan dan tercampur niatan selain Allah dalam amal tersebut maka amalannya batal dan rusak.

Namun hal ini masih menyisakan pertanyaan. Bagaimana hukumnya jika niatan untuk selain Allah itu terletak di awal ibadah, pertengahan, di akhir ibadah atau terjadi di suatu rukun namun tidak terjadi di rukun yang lain? Permasalahan ini memiliki 3 kondisi sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama’.

Pertama, seseorang yang memulai amalannya dengan niat riya’ atau sum’ah kepada makhluk. Maka amalannya batal dan dia adalah seorang musyrik kafir sebagaimana disebutkan dalam hadits,

أشرك فقد يرائي تصدق ومن أشرك، فقد يرائي صام ومن أشرك، فقد يرائي صلى من

“Barang siapa yang shalat, berpuasa dan bersedekah dengan tujuan riya’ maka dia telah berbuat syirik.” (HR. Ahmad nomor 16517)

Yang patut diperhatikan adalah riya’ dalam seluruh amalan seorang muslim tidak mungkin terjadi, namun riya’ hanyalah terjadi di sebagian amalan seorang muslim, terkadang di permulaan ibadah atau di pertengahan ibadah, tidak seluruhnya! Riya’ model itu hanyalah dilakukan oleh kaum kafir dan munafik sebagaimana firman Allah ketika menyifati orang-orang munafik,

-يال ق*ل -ال إ ,ه* الل ون* )ر) *ذ+ك ي و*ال ,اس* الن اء)ون* )ر* ي

Page 22: Kedudukan Niat Dalam Amal

“Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An NIsaa’: 142)

Dan firman-Nya ketika menyifati orang-orang kafir,

)ؤ+م-ن) ي و*ال ,اس- الن *اء* ر-ئ *ه) م*ال +ف-ق) )ن ي ,ذ-ي *ال ك و*األذ*ى Cم*ن+ -ال ب )م+ -ك ص*د*ق*ات +ط-ل)وا )ب ت ال )وا آم*ن ,ذ-ين* ال Gه*ا ي* أ *ا ي

اآلخ-ر- - *و+م +ي و*ال ,ه- -الل ب

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (QS. Al Baqarah: 264)

Oleh karenanya apabila niat awal seseorang ketika melakukan shalat, berpuasa atau bersedekah adalah kepada selain Allah (seperti riya’ atau sum’ah) maka seluruh amalan tersebut rusak dan batal.

Kedua, niatan kepada selain Allah itu terjadi ketika sedang melaksanakan ibadah. Terdapat dua kondisi untuk permasalahan ini:

Kondisi pertama, orang tersebut membatalkan niatnya yang semula ikhlas dan digantikan dengan niatan kepada selain Allah, maka hukumnya seperti permasalahan pertama di atas, karena dia telah membatalkan niatnya yang semula ikhlas kemudian memperuntukkan ibadah tersebut kepada makhluk selain Allah.

Kondisi kedua, seseorang memulai ibadahnya dengan ikhlas kemudian memperindah ibadahnya seperti memperpanjang shalatnya karena orang lain melihatnya, atau memperpanjang rukuknya di luar kebiasaannya karena seseorang melihatnya. Maka hal ini tidak merusak pokok amalannya yang terletak di permulaan ibadah karena dia melakukannya dengan ikhlas, namun yang rusak adalah amalan yang tercampur dengan riya’ dan dia adalah seorang musyrik yang melakukan syirik ashghar (syirik kecil)-wal ‘iyadzu billah.

Ketiga, seseorang yang merasa senang dengan pujian orang lain setelah dia melakukan ibadah kepada Allah Ta’ala dengan ikhlas seperti seseorang yang shalat, menghafal Al Quran, berpuasa ikhlas kepada Allah ta’ala kemudian orang lain memujinya dan dia merasa senang dengan hal tersebut. Dalam kondisi ini, hal tersebut tidaklah membatalkan pokok amalannya karena dia melakukan amalan tersebut dengan niat ikhlas kepada Allah dan niatnya tidak berubah ketika sedang melaksanakannya namun rasa senang tersebut muncul setelah dia selesai mengerjakan amalan tersebut. Hal ini adalah kabar gembira baginya sebagaimana disebutkan dalam hadits,

المؤمن بشرى عاجل تلك

“Hal tersebut merupakan kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin, yaitu dia mendengar pujian manusia kepadanya karena ibadah yang dilakukannya padahal dia

Page 23: Kedudukan Niat Dalam Amal

tidak menginginkannya.” (HR. Muslim nomor 4780; HR. Ahmad nomor 20416, 20432, 20503; HR. Baihaqi dalam Syu’abul Iman nomor 6745, 6746, 6747)

Pembagian Amal

Amalan juga terbagi dua, apabila ditinjau dari sisi niat yang mengiringinya. Pertama, amalan yang hanya boleh diniatkan untuk memperoleh wajah Allah dan tidak boleh diiringi dengan niat untuk memperoleh ganjaran di dunia. Jenis ini terdapat di sebagian besar perkara ibadah.

Kedua, perkara ibadah yang didorong oleh Allah untuk dilakukan dengan menyebutkan ganjarannya di dunia, seperti menyambung kekerabatan sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ح-م*ه) ر* *ص-ل+ +ي ف*ل *ر-ه- ث* أ ف-ي *ه) ل

* أ +س* )ن ي ن+* و*أ ق-ه- ر-ز+ ف-ي *ه) ل +س*ط* )ب ي ن+

* أ ه) ر, س* م*ن+

“Barang siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya dia menyambung kekerabatan.” (HR. Bukhari nomor 1925, 5526)

Atau seperti sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,

سلبه فله قتيال قتل من

“Barang siapa yang membunuh musuh dalam peperangan, maka harta orang tersebut menjadi miliknya.” (HR. Malik 3/339; Tirmidzi 6/66; Ath Thabrani 6/392-394; Ad Darimi 7/436; Ibnu Hibban 14/119, 20/199)

Maka di dalam hadits ini terdapat dorongan untuk berjihad disertai penyebutan ganjaran di dunia. Maka dalam amalan model ini, boleh bagi seseorang mengharapkan ganjaran di dunia (di samping mengharapkan niat mencari wajah Allah -pent), karena tidak mungkin hal tersebut disebutkan kecuali Dia mengizinkan hal tersebut. Oleh karenanya, boleh bagi seseorang menyambung kekerabatan dengan niat ikhlas kepada Allah, namun di samping itu dirinya berharap mendapatkan ganjaran di dunia seperti kelapangan rezeki dan umur yang panjang. Atau seseorang berjihad untuk mendapatkan ghanimah (rampasan perang) dan niatnya ikhlas kepada Allah, maka hal ini diperbolehkan dan niatnya tersebut tidak termasuk sebagai syirik dalam niat karena Allah telah mengizinkan hal tersebut dengan menyebutkan ganjarannya di dunia apabila dilakukan.

Sehingga amalan itu terbagi menjadi dua, yakni ibadah yang disebutkan ganjarannya di dunia oleh Allah ‘azza wa jalla dan ibadah yang tidak disebutkan ganjarannya di dunia oleh Allah ‘azza wa jalla. Hal ini disebutkan dalam firman Allah ‘azza wa jalla,

ون* +خ*س) )ب ي ال ف-يه*ا و*ه)م+ ف-يه*ا *ه)م+ ع+م*ال* أ +ه-م+ *ي -ل إ Cو*ف( ن *ه*ا *ت و*ز-ين *ا +ي الدGن *اة* ي +ح* ال )ر-يد) ي *ان* ك م*ن+

Page 24: Kedudukan Niat Dalam Amal

“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka Balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.” (QS. Huud: 15)

Namun yang perlu diperhatikan bahwa derajat seseorang yang menyambung kekerabatan dengan niat ikhlas kepada Allah lebih tinggi dan lebih besar pahalanya daripada seseorang yang menyambung kekerabatan untuk mendapatkan dunia di samping niat ikhlas kepada Allah. Oleh karena itu, para ulama salaf di antaranya adalah Imam Ahmad ketika ditanya mengenai hal ini, maka beliau menjawab, “Pahalanya sesuai dengan kadar niatnya.”

Niat untuk mendapatkan dunia ini tidaklah membatalkan pokok amalnya akan tetapi pahalanya berkurang sesuai kadar niatnya terhadap dunia. Sehingga semakin ikhlas kepada Allah dalam amalan model ini, maka semakin besar pula pahalanya dan begitu pula sebaliknya.

Sekelumit Tentang Hijrah

Huruf fa’ (الفاء)dalam sabda beliau هجرته كانت berfungsi untuk merinci jenis فمنamalan yang terkadang ditujukan kepada Allah atau ditujukan kepada selain Allah dan dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan permisalan dengan hijrah.

Hijrah (الهجرة) bermakna (الترك) meninggalkan. Pada dasarnya, tujuan berhijrah adalah berhijrah kepada Allah ‘azza wa jalla dengan ikhlas dan mengharapkan pahala yang ada di sisi-Nya dan juga berhijrah kepada rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu dengan mengikuti dan tunduk kepada ajaran yang beliau bawa.

Terdapat dua golongan dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يصيبها لدنيا هجرته كانت ومن ورسوله، الله إلى فهجرته ورسوله الله إلى هجرته كانت فمنإليه هاجر ما إلى فهجرته ينكحها امرأة أو

Pertama, golongan yang berhijrah kepada Allah dan rasul-Nya dengan niat ikhlas sehingga mendapatkan ganjaran dan pahala dari hijrah yang dilakukakannya. Salah satu contoh dalam masalah ini adalah seseorang yang berhijrah dari negeri syirik dan kufur menuju negeri Islam atau seseorang yang berhijrah dari daerah yang penuh kebid’ahan dan kemungkaran menuju daerah yang menegakkan sunnah dan minim kemungkaran. Adapun hukumnya dibahas dalam kitab-kitab fiqih secara terperinci.

Kedua, golongan yang berhijrah dikarenakan motivasi duniawi sebagaimana dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إليه هاجر ما إلى فهجرته ينكحها امرأة أو يصيبها لدنيا هجرته كانت ومن

Page 25: Kedudukan Niat Dalam Amal

Golongan ini seperti seorang pedagang yang berhijrah untuk mendapatkan harta atau seorang yang berhijrah untuk menikahi wanita yang dipujanya, maka hijrah yang dilakukannya tidaklah mendatangkan pahala dan terkadang dirinya memperoleh dosa.

أجمعين صحبه و آله على و محمد نبينا على الله صلى و

Selesai diterjemahkan oleh Muh Nur Ikhwan Muslim di Pogung Baru 8 Shafar 1428 H