Upload
herdy-adriano
View
86
Download
11
Embed Size (px)
Citation preview
HUBUNGAN TOTAL JAM TERBANG TERHADAP
PENINGKATAN KADAR KREATININ DARAH PADA PENERBANG
TNI AU YANG MELAKUKAN MEDEX DI LAKESPRA TAHUN 2014
Letda Kes dr Herdy Adriano
NRP 542427
DIKUALSUSDOKBANGAN A-XIII
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini. Penulisan karya tulis ilmiah ini
dilakkukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat dalam pendidikan Dikkualisusdokbang
angkatan ke-XIII. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,
sangatlah sulit bagi saya untuk dapat menyelesaikan penelitian ini. Oleh karena itu, saya
mengucapkan terima kasih kepada :
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Semoga penelitan ini membawa manfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan..
Jakarta, Mei 2015
Letda Kes dr.Herdy Adriano
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lakespra Saryanto adalah sebagai Lembaga Kesehatan Penerbangan Militer yang pada
dasarnya merupakan pendukung berhasilnya operasi atau misi TNI-AU dalam upaya
menegakan kedaulatan negara di angkasa. Dalam setiap kegiatan operasional penerbangan,
TNI AU mempersyaratkan bahwa awak pesawat harus berada dalam kondisi fisik maupun
mental yang prima. Hal ini penting mengingat operasi penerbangan dengan teknologi yang
berkembang sedemikian pesat, dilakukan pada kondisi non fisiologis, sehingga
memungkinkan timbulnya keadaan yang dapat membahayakan keselamatan penerbangan.
Kondisi fisik prima merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh setiap awak pesawat,
karena itu setiap kelainan dalam sistem organ tubuh para awak pesawat harus diketahui sedini
mungkin. Kualitas dari personil penerbangan ini ditentukan oleh kondisi kesehatan fisik dan
mental sesuai dengan standar yang telah ditentukan.
Total jam terbang sangat berpengaruh terhadap kesehatan dari seorang pilot. Hubungan
tersebut telah lama diteliti dikarenakan semakin banyak total jam terbang yang dimiliki oleh
seorang penerbang maka semakin lama pula penerbang tersebut terpapar pada kondisi
ketinggian, yang akan meningkatkan terjadinya risiko dehidrasi relatif akibat kelembaban
udara yang rendah pada ketinggian serta keadaan hipoksia akibat penurunan tekanan parsial
udara pada ketinggian tertentu pada seorang pilot. Dehidrasi itu sendiri adalah suatu keadaan
yang menyatakan berkurangnya cairan dari tubuh, yang mana cairan adalah komponen utama
dari tubuh manusia. Hampir 2/3 dari tubuh manusia terdiri dari cairan. Cairan memiliki
fungsi penting untuk replikasi sel, transport nutrisi ke seluruh tubuh, eliminasi sisa
metabolisme dari dalam tubuh dan mengatur / regulasi suhu tubuh.1
Dehidrasi pada seorang pilot akan menurunkan tingkat kewaspadaan yang akan
berpengaruh terhadap kelancaran penerbangan. Keadaan tersebut akan menurunkan
kemampuan untuk menentukan keputusan bahkan sampai pada ketidakpampuan untuk
mengendalikan pesawat selama penerbangan. Gejala pertama yang nampak pada keadaan
dehidrasi adalah lelah, yang akan menurunkan performa baik fisik ataupun mental. Lama
penerbangan juga menentukan keadaan dehidrasi pada pilot, apalagi pada ketinggian tertentu
udara cenderung kering dan akan meningkatkan rata-rata pengeluaran air dari dalam tubuh.
Jika keadaan dehidrasi relatif tidak segera tertangani dengan baik maka kondisi lelah akan
mengalami progresifitas menjadi kelemahan, disertai pusing, mual, baal pada tangan dan kaki
serta rasa haus yang teramat sangat.2
Hipoksia merupakan suatu keadaan dimana tubuh tidak mendapatkan asupan oksigen
yang adekuat sampai ke tingkat plasma dan sel. Selain itu perubahan fungsi ginjal pada
ketinggian timbul sebagai efek langsung dari hipoksia sejalan dengan mekanisme kompensasi
adaptasi lainnya, meliputi perubahan ventilasi pernapasan, curah jantung, aktivitas saraf
simpatism dan eritropoiesis. Hipoksia yang terjadi dalam penerbangan, terutama pada
penerbangan unpressurrized cabin (kabin tanpa rekayasa tekanan udara) berbeda dari
inhabitasi di tempat-tempat tinggi, di mana hipoksia bersifat akut, sehingga proses
aklimatisasi belum sempat terjadi. 3
Ginjal adalah organ yang akan berpengaruh langsung terhadap lama kondisi terbang. Kondisi
dehidrasi dan hipoksia yang mungkin terjadi pun akan berhubungan erat dengan kerja ginjal.
Karena ginjal adalah organ yang memiliki salah satu peranan penting yaitu mengatur
keseimbangan cairan serta asam basa dari tubuh manusia.3,4 Serum marker yang biasa
dijadikan tanda dan gejala penurunan fungsi ginjal adalah proteinuria dan peningkatan kadar
creatinin darah.5,6
Penelitian-penelitian serupa yang telah dilakukan antara lain oleh Wg Cdr Prateek Kinra
dkk, Indian 2008 menjelaskan bahwa proteinuria secara tanpa sengaja sering kali ditemukan
baik pada pilot militer ataupun sipil atau bahkan pada kru pesawat. Ketidaksengajaan tersebut
biasanya ditemukan sewaktu yang bersangkutan sedang melakukan medical chek up rutin,
karena biasanya kondisi proteinuria adalah suatu keadaan yang asimptomatik.4
Oleh karena itu hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana cara mencegah
kemungkinan penurunan fungsi ginjal pada pilot khususnya penerbang militer TNI AU agar
dapat meningkatkan keselamatan penerbangan.
1.2 Permasalahan
Peningkatan Total jam terbang akan meningkatkan risiko terjadinya dehidrasi akibat
lamanya terpapar dalam kondisi dehidrasi relatif serta semakin lama terpapar pada suatu
Hipoksia , khususnya pada seorang pilot.1 Kondisi dehidrasi yang biasanya tidak disadari
oleh penerbang dan kebiasaan konsumsi makanan atau minuman sebelum dan selama
penerbangan juga akan mempengaruhi.3 Dehidrasi yang berlangsung lama dan tidak segera
terrehidrasi akan meningkatkan kerja ginjal dan akan mempengaruhi filtrasi glomerulus.
Ketika akhirnya terjadi penurunan fungsi ginjal maka akan dapat terdeteksi secara tidak
sengaja melalui pemeriksaan medical cek up rutin yang terlihat dari peningkatan serum
kreatinin.4,5,6
Selain itu lamanya seseorang berada di ketinggian akan berpengaruh langsung terhadap
perubahan kerja fisiologis tubuh oleh karena secara alami akan berada dalam keadaan yang
hipoxia. Penelitian mengenai efek langsung lama jam terbang terhadap penurunan fungsi
ginjal memang belum ditemukan akan tetapi telah banyak diteliti mengenai kondisi seseorang
yang hidup di ketinggian dan berpengaruh secara langsung pada perubahan kerja ginjal.7
Lebih dari 140 juta orang hidup dan tinggal secara permanen di ketinggian (> 2400
meter dari sea level) dan hal tersebut berarti kurang lebih 2% dari populasi penduduk dunia.
Hidup dan tinggal dalam kondisi hipoxia yang berkepanjangan memiliki banyak efek yang
mengakibatkan khususnya perubahan pada ginjal. Yaitu misalnya kondisi polisitemia,
hiperurisemua, peningkatan tekanan darah, penurunan aliran darah ke ginjal serta
mikroalbuminuria.7
Ginjal secara normal menerima 25% dari keseluruhan curah jantung, dan biasanya
digunakan perhitungan laju fitrasi glomerulus untuk mendeteksi fungsi dari ginjal. Kondisi
hipoxia, seperti yang dikatakan sebelumnya akan meningkatan kadar hematokrit darah yang
akan berujung kepada penurunan volume plasma dan peningkatan viskositas darah. Yang
tentunya akan mengakibatkan penurunan laju filtrasi glomerulus / renal plasma flow.
Rangkaian kondisi selanjutnya yang sering terjadi adalah keadaan penurunan fungsi ginjal
yang terbukti dari adanya mikroalbuminuria dan proteinuria. Pathogenesis dari proteinuria
terjadi karena beberapa faktor yaitu hipoxia jaringan, hipertensi kapiler glomerular dan
hiperviskositas. Bukti lain yang dapat ditemukan adalah pada individu yang lama terpajan
ketinggian / hidup di daerah ketinggian adalah glomerular hipertrofi pada individu tersebut.7
Bukti lain adanya permasalahan pada kerja ginjal apabila seseorang lama berada di
ketinggian atau bahkan hidup di ketinggian adalah kondisi hiperurisemia dan peningkatan
kadar kreatinin dalam darah. Kondisi hipoxia pada ketinggian berhubungan dengan iskemia
jaringan. Mekanisme selanjutnya adalah penurunan kadar ATP dengan meningkatnya aktivasi
dari xantine oksidase. Hal tersebut akan menyebabkan peningkatan asam laktat dan
peningkatan produksi ureum dan kreatinin dalam darah, penurunan klirens ureum dan
kreatinin akibat peningkatan kerja ginjal sehingga menyebabkan hiperurisemia dan
peningkatan kadar kreatinin dalam darah.7
1.3 Tujuan penelitian
Dibuktikannya hubungan Total jam terbang terhadap peningkatan serum kreatinin darah
pada penerbang TNI AU yang melakukan medex di Lakespra tahun 2014.
1.4 Hipotesis penelitian
Terdapat hubungan antara Total jam terbang terhadap peningkatan serum kreatinin
darah pada penerbang TNI AU yang melakukan medex di Lakespra tahun 2014.
1.5 Manfaat penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi unsur-unsur terkait,
antara lain sebagai berikut :
a. Bagi pilot penerbang TNI AU
Didapatkannya informasi mengenai faktor risiko yang dapat meningkatkan kejadian
dehidrasi dan hipoksia selama penerbangan sehingga dapat mencegah dan sekiranya dapat
lebih waspada serta dapat memperbaiki gaya hidup sehari-hari dikedepannya.
b. Bagi ilmu pengetahuan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu referensi informasi tentang
kejadian peningkatan serum kreatinin darah dihubungkan dengan Total jam terbang,
sehingga diharapkan dapat dilakukan usaha-usaha pencegahan terhadap penurunan fungsi
ginjal.
c. Bagi peneliti
Peneliti akan mendapat informasi mengenai faktor-faktor dan hubungan antara
peningkatan serum kreatinin darah dengan total jam terbang sehingga mampu untuk
mengaplikasikan ilmu yang didapat dalam kedinasan sehari-hari sebagai dokter militer
TNI AU.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Ginjal
2.1.1 Makroskopis
Ginjal merupakan sepasang organ berbentuk kacang (bean shaped), terletak
retroperitoneal, di belakang kavum abdomen. Masing – masing ginjal mempunyai panjang ±
10 -12 cm (antara vertebra TH 12 – L3), penampang 5 – 6 cm, berat ± 150 gram. Ginjal
kanan 1 – 2 cm lebih rendah daripada ginjal kiri oleh karena adanya hati. Diafragma ada di
sebelah atas-belakang ujung atas ginjal (upper pole) sehingga pada saat inspirasi ginjal akan
terdorong kebawah. 8
Gambar 1. Anatomi Makro Ginjal (Tampak depan) 9
Pada umumnya ginjal kiri lebih besar dari ginjal kanan dan pada ginjal laki-laki lebih
panjang dari pada ginjal wanita. Ginjal dipertahankan dalam posisi tersebut oleh bantalan
lemak yang tebal. Kedua ginjal dibungkus oleh dua lapisan lemak (lemak perirenal dan lemak
pararenal) yang membantu meredam guncangan. 9
Gambar 2. Anatomi makro ginjal (Tampak belakang) 9
Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula fibrosa, terdapat cortex
renalis di bagian luar, yang berwarna coklat gelap, dan medulla renalis di bagian dalam yang
berwarna coklat lebih terang dibandingkan cortex. Bagian medulla berbentuk kerucut yang
disebut pyramides renalis, puncak kerucut tadi menghadap kaliks yang terdiri dari lubang-
lubang kecil disebut papilla renalis. Hilum adalah pinggir medial ginjal berbentuk konkaf
sebagai pintu masuknya pembuluh darah, pembuluh limfe, ureter dan nervus. Pelvis renalis
berbentuk corong yang menerima urin yang diproduksi ginjal. Terbagi menjadi dua atau tiga
kaliks renalis majores yang masing-masing akan bercabang menjadi dua atau tiga kaliks
renalis minores. Medulla terbagi menjadi bagian segitiga yang disebut piramid. Piramid-
piramid tersebut dikelilingi oleh bagian korteks dan tersusun dari segmen-segmen tubulus
dan duktus pengumpul nefron. Papila atau apeks dari tiap piramid membentuk duktus
papilaris bellini yang terbentuk dari kesatuan bagian terminal dari banyak duktus pengumpul. 10
Gambar 3. Potongan melintang ginjal 9
2.1.2 Mikroskopis
Ginjal terbentuk oleh unit yang disebut nephron yang berjumlah 1-1,2 juta buah pada
tiap ginjal. Nefron adalah unit fungsional ginjal. Pada manusia, pembentukan nefron selesai
pada janin 35 minggu. Nefron baru tidak dibentuk lagi setelah lahir. Perkembangan
selanjutnya adalah hipertrofi dan hiperplasia struktur yang sudah ada disertai maturasi
fungsional. Setiap nefron terdiri dari glomerulus dan kapsula bowman, tubulus. Tubulus
terdiri atas tiga bagian utama yaitu Tubulus Proksimalis, Loop of Henle (lengkungan Henle)
dan Tubulus Distalis. Beberapa tubulus distalis akan bergabung membentuk tubulus
kolektivus. Nefron dibedakan atas 2 jenis yaitu : Nefron Kortikalis yaitu nefron yang
glomerulinya terletak pada bagian luar dari korteks dengan lengkungan henle yang pendek
tetapi tetap berada pada korteks atau mengadakan penetrasi hanya sampai pada zona luar
medulla, Nefron Juxta medullaris yaitu nefron yang glomerulinya terletak pada bagian dalam
dari korteks dekat hubungan korteks-medulla dengan lengkungan henle yang panjang dan
turun jauh kedalam sampai zona dalam medulla sebelum berbalik dan kembali ke korteks.
Pada manusia kira-kira 85 % merupakan nefron kortikalis dan 15 % merupakan nefron Juxta
medullaris. Glomerulus bersama dengan kapsula bowman juga disebut badan maplphigi.
Meskipun ultrafiltrasi plasma terjadi di glomerulus tetapi peranan tubulus dalam
pembentukan urine tidak kalah pentingnya.10
Gambar 4. Unit Nephron 9
Glomerulus merupakan suatu jaringan kapiler yang saling beranastomosis yang berasal
dari arteriole afferent dan bersatu menuju ke arteiole efferent. Arteriole efferent kemudian
memecah diri menjadi beberapa kapiler peri tubuler yang mengelilingi tubulus. Berdasarkan
ultra struktur dari endotel, dapat dibedakan 3 jenis kapiler : kontinu, fenestrata, diskontinu.
Cairan yang difiltrasi melalui Glomerularis Filtrat Glomeruli. Membrana yang dilalui yaitu
Membrana Glomerularis. Tubulus Proximalis Terdiri dari : Pars konvulata (pada korteks
dekat glomerulus), Pars Recta (bagian yang lurus melalui korteks menuju medulla) berfungsi
mengadakan reabsorpsi bahan-bahan dari cairan tubuli dan mensekresi bahan-bahan ke dalam
tubuli.9
Lengkungan Henle (Loop of Henle) terdiri atas : Pars Desendens (bagian yang menurun
menuju medulla), Pars Asendens (Bagian yang naik kembali menuju korteks), Pars Asending
mengadakan kontak yang sangat dekat dengan glomerulus pada kutub vaskuler. JGA (Juxta
Glomerular Apparatus) Berfungsi mengadakan reabsorpsi bahan-bahan dari cairan tubuli dan
mensekresi bahan-bahan ke dalam tubuli 25% air dan Na+ direabsorpsi dan urea disekresi.
Tubulus Distalis terdiri atas: Tubulus Distalis, Tubulus Konektivus, Tubulus Kolektivus. 10
Gambar 5. Glomerulus 9
Unit nephron dimulai dari pembuluh darah halus / kapiler, bersifat sebagai saringan
disebut Glomerulus, darah melewati glomerulus/ kapiler tersebut dan disaring sehingga
terbentuk filtrat (urin yang masih encer) yang berjumlah kira-kira 170 liter per hari, kemudian
dialirkan melalui pipa/saluran yang disebut Tubulus Urin ini dialirkan keluar ke saluran
ureter, kandung kencing, kemudian ke luar melalui Uretra.9
Nefron berfungsi sebagai regulator air dan zat terlarut (terutama elektrolit) dalam tubuh
dengan cara menyaring darah, kemudian mereabsorpsi cairan dan molekul yang masih
diperlukan tubuh. Molekul dan sisa cairan lainnya akan dibuang. Reabsorpsi dan
pembuangan dilakukan menggunakan mekanisme pertukaran lawan arus dan kotranspor.
Hasil akhir yang kemudian diekskresikan disebut urin.9,10
2.2 Fisiologi Ginjal
Ginjal adalah organ yang mempunyai pembuluh darah yang sangat banyak (sangat
vaskuler) tugasnya memang pada dasarnya adalah “menyaring/ membersihkan” darah. Aliran
darah ke ginjal adalah 1,2 liter/menit atau 1.700 liter/hari, darah tersebut disaring menjadi
cairan filtrat sebanyak 120 ml/menit (170 liter/hari) ke Tubulus. Cairan filtrat ini diproses
dalam Tubulus sehingga akhirnya keluar dari ke-2 ginjal menjadi urin sebanyak 1-2 liter/hari.
Selain itu, fungsi primer ginjal adalah mempertahankan volume dan komposisi cairan
ekstrasel dalam batas-batas normal. Komposisi dan volume cairan ekstrasel ini dikontrol oleh
filtrasi glomerulus, reabsorpsi dan sekresi tubulus. 9
2.2.1 Fungsi Ginjal
Fungsi ginjal adalah : 9
1. Fungsi ekskresi
a.Mempertahankan osmolalitas plasma sekitar 285 mOsmol dengan mengubah
ekskresi air.
b. Mempertahankan pH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan kelebihan H+
dan membentuk kembali HCO3ˉ.
c.Mempertahankan kadar masing-masing elektrolit plasma dalam rentang normal.
d. Mengekskresikan produk akhir nitrogen dan metabolisme protein terutama
urea, asam urat dan kreatinin.
2. Fungsi non ekskresi
a.Menghasilkan renin yang penting untuk mengatur tekanan darah.
b. Menghasilkan eritropoietin yaitu suatu faktor yang penting dalam stimulasi
produk sel darah merah oleh sumsum tulang.
c.Memetabolisme vitamin D menjadi bentuk aktifnya.
d. Degradasi insulin.
e.Menghasilkan prostaglandin.
2.2.2 Fungsi Homeostasis Ginjal
Ginjal adalah organ yang memiliki kemampuan yang luar biasa, diantaranya sebagai
penyaring zat-zat yang telah tidak terpakai (zat buangan atau sampah) yang merupakan sisa
metabolisme tubuh. Setiap harinya ginjal akan memproses sekitar 200 liter darah untuk
menyaring atau menghasilkan sekitar 2 liter ‘sampah’ dan ekstra (kelebihan) air. Sampah dan
esktra air ini akan menjadi urin, yang mengalir ke kandung kemih melalui saluran yang
dikenal sebagai ureter. Urin akan disimpan di dalam kandung kemih ini sebelum dikeluarkan
pada saat Anda berkemih. 9
Zat-zat yang sudah tidak terpakai lagi atau sampah tersebut diperoleh dari proses
normal pemecahan otot dan dari makanan yang dikonsumsi. Tubuh akan memakai makanan
tersebut sebagai energi dan untuk perbaikan jaringan. Setelah tubuh mengambil secukupnya
dari makanan, sisanya akan dikirim ke dalam darah untuk kemudian disaring di ginjal. Jika
fungsi ginjal terganggu maka kemampuan menyaring zat sisa ini dapat terganggu pula dan
terjadi penumpukan dalam darah sehingga dapat menimbulkan berbagai manifestasi
gangguan terhadap tubuh.9
Protein sangat dibutuhkan untuk membangun semua bagian tubuh, seperti otot, tulang,
rambut dan kuku. Protein-protein yang ada dalam darah dapat keluar ke urin (bocor) bila unit
penyaring ginjal – glomerulus – sudah mengalami kerusakan. Protein yang terkandung di
dalam urin, disebut dengan albumin. Ginjal memiliki struktur yang cukup unik, yaitu
pembuluh darah dan unit penyaring.9
Proses penyaringan terjadi pada bagian kecil dalam ginjal, yang disebut dengan nefron.
Setiap ginjal memiliki sekitar satu miliar nefron. Pada nefron ini terdapat pembuluh darah
kecil-kecil – kapiler – yang saling jalin menjalin dengan saluran-saluran yang kecil, yaitu
tubulus.9
Tubulus-tubulus ini pertama kali menerima gabungan antara zat-zat buangan dan
berbagai kimia hasil metabolisme yang masih bisa digunakan tubuh. Ginjal akan ‘memilih’
zat-zat kimia yang masih berguna bagi tubuh (natrium, fosfor, dan kalium) dan
mengembalikannya ke peredaran darah dan mengeluarkan lagi kembali ke dalam tubuh.
Dengan cara demikian, ginjal turut mengatur kadar zat-zat kimia tersebut dalam tubuh.9
Selain membuang sampah-sampah yang sudah tidak terpakai lagi, ginjal juga berfungsi
menjadi ‘pabrik’ penghasil tiga hormon penting, yaitu : 9
a.Eritropoietin (EPO), yang merangsang sumsum tulang membuat sel-sel darah merah
(eritrosit).
b. Renin, membantu mengatur tekanan darah
c.Bentuk aktif vitamin D (kalsitriol), yang membantu penyerapan kalsium dan menjaga
keseimbangan kimia dalam tubuh
d. Ginjal mengatur pH, konsentrasi ion mineral, dan komposisi air dalam darah.
e.Ginjal mempertahankan pH plasma darah pada kisaran 7,4 melalui pertukaran ion
hidronium dan hidroksil. Akibatnya, urine yang dihasilkan dapat bersifat asam pada
pH 5 atau alkalis pada pH 8.
f. Kadar ion natrium dikendalikan melalui sebuah proses homeostasis yang melibatkan
aldosteron untuk meningkatkan penyerapan ion natrium pada tubulus konvulasi.
Kenaikan atau penurunan tekanan osmotik darah karena kelebihan atau kekurangan air
akan segera dideteksi oleh hipotalamus yang akan memberi sinyal pada kelenjar pituitari
dengan umpan balik negatif. Kelenjar pituitari mensekresi hormon antidiuretik (vasopresin,
untuk menekan sekresi air) sehingga terjadi perubahan tingkat absorpsi air pada tubulus
ginjal. Akibatnya konsentrasi cairan jaringan akan kembali menjadi 98%.11
2.3 Kadar Kreatinin Darah Sebagai Serum Marker Penurunan Fungsi Ginjal
2.3.1 Kreatinin
Kreatinin merupakan produk penguraian keratin. Kreatin disintesis di hati dan terdapat
dalam hampir semua otot rangka yang berikatan dengan dalam bentuk kreatin fosfat (creatin
phosphate, CP), suatu senyawa penyimpan energi. Dalam sintesis ATP (adenosine
triphosphate) dari ADP (adenosine diphosphate), kreatin fosfat diubah menjadi kreatin
dengan katalisasi enzim kreatin kinase (creatin kinase, CK). Seiring dengan pemakaian
energi, sejumlah kecil diubah secara ireversibel menjadi kreatinin, yang selanjutnya difiltrasi
oleh glomerulus dan diekskresikan dalam urin. 12
Banyaknya kreatinin yang dikeluarkan seseorang setiap hari lebih bergantung pada
massa otot total daripada aktivitas otot atau tingkat metabolisme protein, walaupun keduanya
juga menimbulkan efek. Kadar kreatinin normal dalam tubuh seorang wanita sedikit lebih
rendah daripada pria oleh karena massa otot yang lebih rendah.Pembentukan kreatinin harian
umumnya tetap, kecuali jika terjadi cedera fisik yang berat atau penyakit degeneratif yang
menyebabkan kerusakan masif pada otot. Ginjal mempertahankan kreatinin darah
dalam kisaran normal. Kreatinin telah ditemukan untuk menjadi indikator yang baik untuk
menguji fungsi ginjal. 12,13
Pada orang yang mengalami kerusakan ginjal, tingkat kreatinin dalam darah akan naik
karena clearance/ pembersihan kratinin oleh ginjal rendah. Tingginya kreatinin
memperingatkan kemungkinan malfungsi atau kegagalan ginjal. Ini adalah alasan memeriksa
standar tes darah secara rutin untuk melihat jumlah kreatinin dalam darah. Hal ini penting
untuk mengenali apakah proses menuju ke disfungsi ginjal (gagal ginjal, azotemia) akut atau
kronik. Sebuah ukuran yang lebih tepat dari fungsi ginjal dapat diestimasi dengan
menghitung berapa banyak kreatinin dibersihkan dari tubuh oleh ginjal, dan ini disebut
kreatinin clearance. 12
Klirens kreatinin adalah laju bersihan kreatinin menggambarkan volume plasma darah
yang dibersihkan dari kreatinin melalui filtrasi ginjal per menit. Bersihan kreatinin biasanya
dinyatakan dalam mililiter per menit. Karena kreatinin dieliminasi dari tubuh terutama
melalui filtrasi ginjal, maka menurunnya kinerja ginjal akan menyebabkan peningkatan
kreatinin serum akibat berkurangnya laju bersihan kreatinin. 12,13
2.3.2 Uji Kreatinin
Jenis sampel untuk uji kreatinin darah adalah serum atau plasma heparin.
Kumpulkan 3-5 ml sampel darah vena dalam tabung bertutup merah (plain tube) atau tabung
bertutup hijau (heparin). Lakukan sentrifugasi dan pisahkan serum/plasma-nya. Catat jenis
obat yang dikonsumsi oleh penderita yang dapt meningkatkan kadar kreatinin serum. Tidak
ada pembatasan asupan makanan atau minuman, namun sebaiknya pada malam sebelum uji
dilakukan, penderita dianjurkan untuk tidak mengkonsumsi daging merah. Kadar kreatinin
diukur dengan metode kolorimetri menggunakan spektrofotometer, fotometer atau analyzer
kimiawi. 13
Pengujian kreatinin dilakukan untuk mengevaluasi fungsi ginjal. Kreatinin dikeluarkan
dari tubuh sepenuhnya oleh ginjal. Jika fungsi ginjal tidak normal, kadar kreatinin akan
meningkat dalam darah (karena kreatinin kurang dilepaskan melalui urin Anda). Tingkat
kreatinin juga bervariasi berdasarkan ukuran seseorang dan massa otot. Bersihan kreatinin
penting diketahui karena banyak obat yang dieliminasi oleh ginjal. Jika fungsi ginjal pasien
menurun, laju eliminasi obat untuk disekresikan di urin juga akan menurun, disertai dengan
peningkatan konsentrasi plasma. Peningkatan konsentrasi obat dalam plasma yang signifikan
dapat menyebabkan obat mencapai kadar toksiknya; oleh karena itu, dosis mungkin perlu
disesuaikan dengan berkurangnya eliminasi obat. 12,13
Kadar normal kreatinin pada orang dewasa adalah : 13
Laki-laki : 0,7-1,1 mg/dl.
Perempuan : 0,6-0,9 mg/dl
2.4 Dehidrasi Relatif Dalam Penerbangan
Hilangnya cairan dari tubuh manusia dapat menimbulkan terjadinya dehidrasi, ditandai
dengan kelelahan, gangguan mental dan penurunan performa fisik yang dapat mengakibatkan
konsekuensi yang serius bagi penerbang. Dehidrasi dapat muncul akibat tidak adekuatnya
asupan cairan atau hilangnya cairan tersebut dapat diakibatkan karena demam, cuaca yang
panas, muntah dan diare, atau akibat substansi diuretik, serta penyakit seperti DM.3
Kelembaban yang rendah didalam kabin bertekanan juga merupakan faktor yang
berkontribusi menimbulkan dehidrasi, ditambah konsumsi alkohol dan caffeine sebelum
terbang. Didalam penerbangan sangatlah diperhatikan konsumsi cairan, diusahakan sesedikit
mungkin karena efek yang akan timbul apabila intake cairan terlalu banyak adalah perasaan
penuh pada kandung kemih serta keinginan untuk ke toilet sehingga dapat mengganggu
konsentrasi saat penerbangan. 1,14
Selama dalam penerbangan, seorang penerbang akan terpapar dengan suhu udara yang
memiliki kelembaban yang rendah, yaitu sekitar 5-15% dari suhu normal ini disebabkan oleh
air yang mengalir di kabin berasal dari udara luar pada altitude tinggi yang memiliki
kelembaban yang sangat rendah, sehingga udara yang mengalir di dalam kabin sangatlah
kering, respon tubuh terhadap kondisi tersebut adalah dengan melakukan evaporasi dari tubuh
untuk mempertahankan kelembaban tubuh, sehingga sedikit-banyak ada cairan yang hilang
selama penerbangan. Kondisi tersebut disebut dengan dehidrasi relatif.1,2,4
Pada ketinggian diatas 5000 kaki, tubuh akan kehilangan banyak cairan pada area
permukaan lapang paru dibandingkan saat di sealevel, ini diakibatkan menurunnya vaporasi
air (kelembaban udara) penurunan volume udara akibat ketinggian. Tetapi hilangnya cairan
ini tidak disertai dengan hilangnya garam dari tubuh kita (yang timbul saat berkeringat),
sehingga tidak muncul sensasi rasa haus, akibatnya penerbang tersebut mengalami status
dehidrasi relatif.1,2,4
2.5 Hipoksia Dan Hubungannya Dalam Penerbangan
Manusia telah mengenal kehidupan di tempat tinggi sejak ribuan tahun lalu. Secara
alami telah terjadi proses adaptasi fisiologis sebagai mekanisme kompensasi terhadap
hipoksia karena berkurangnya jumlah molekul oksigen di udara. Proses adaptasi tersebut
diantaranya peningkatan sel darah merah, peningkatan konsentrasi hemoglobin di darah vena,
serta peningkatan saturasi oksigen di darah arteri. Kemudian, setelah terciptanya pesawat
terbang, manusia mulai mengenal kehidupan di ketinggian yang direkayasa (engineered).
Hipoksia yang terjadi dalam penerbangan, terutama pada penerbangan unpressurrized cabin
(kabin tanpa rekayasa tekanan udara) berbeda dari inhabitasi di tempat-tempat tinggi, di mana
hipoksia bersifat akut, sehingga proses aklimatisasi belum sempat terjadi.15
Hipoksia merupakan keadaan di mana terjadi defisiensi oksigen, yang mengakibatkan
kerusakan sel akibat penurunan respirasi oksidatif aerob sel. Hipoksia merupakan penyebab
penting dan umum dari cedera dan kematian sel. Tergantung pada beratnya hipoksia, sel
dapat mengalami adaptasi, cedera, atau kematian.15,16
Pada tempat-tempat tinggi, juga terjadi penurunan tekanan atmosfer (hipobarik) yang
berakibat turunnya tekanan oksigen. Hipoksia hipobarik, suatu kondisi yang secara praktik
jarang dijumpai. Namun, kondisi ini sering ditemukan pada komunitas tertentu. Salah satu
contoh proses hipoksia hipobarik ialah prosedur tertentu di dunia penerbangan dan
penerjunan, khususnya militer udara. 16
Pada tingkat sel, hipoksia mengakibatkan cedera sel melalui berbagai mekanisme,
seperti deplesi enegi yang berguna bagi metabolisme sel akibat penurunan fosforilasi
oksidatif, gangguan fungsi enzim-enzim, kerusakan mitokondria dan stress oksidatif yang
menyebabkan gangguan fungsi pada tingkat organ. Stres oksidatif terjadi akibat
ketidakseimbangan produksi dan eliminasi spesies oksigen reaktif (ROS).17
Pembentukan oxygen-derived free radicals meningkat pada keadaan hipoksia.17
Berbagai radikal bebas seperti anion superoksida (O2-), radikal hidroksil dan hidrogen
peroksida (H2O2) dapat bereaksi dengan jaringan sel dan berhubungan dengan kerusakan
(injury) jaringan dengan berbagai sebab. Studi pada sistem saraf pusat, gastrointestinal, ginjal
dan kardiovaskular menunjukan bahwa radikal bebas dan ROS berperan pada patofisiologi
kerusakan jaringan.18 Pada keadaan hipobarik, seperti saat terjadi pajanan lama pada
ketinggian tertentu (high altitude) terjadi pula peningkatan stress oksidatif pada tubuh. Stress
oksidatif adalah salah satu penyebab terpenting kerusakan bahkan kematian sel. 19
2.6 Ketinggian dan Hubungannya Terhadap Perubahan Fisiologis Ginjal 20
Ginjal menerima aliran darah per unit masa, lebih tinggi dibandingakan organ tubuh
yang lain. Fraksi oksigen yang diekstraksi oleh seluruh organ tubuh relatif lebih rendah
dibandingkan ginjal, namun ginjal sangat sensitif dengan keadaan hipoksia. Hal ini
berhubungan dengan tingginya kadar konsumsi oksigen lokal oleh sel epitel tubulus dan
vaskuler ginjal. Kombinasi antara terbatasnya asupan oksigen jaringan dan tingginya
kebutuhan oksigen merupakan faktor utama ginjal lebih mudah mengalami jejas iskemi akut.
Perubahan fungsi ginjal pada ketinggian timbul sebagai efek langsung dari hipoksia
sejalan dengan mekanisme kompensasi adaptasi lainnya, meliputi perubahan ventilasi
pernapasan, curah jantung, aktivitas saraf simpatism dan eritropoiesis. Pengeluaran urin dan
ekskresi sodium berhubungan dengan tekanan parsial oksigen (PO2). Diuresis dan natriuresis
disertai ekskresi bikarbonat dan kalium muncul sejalan dengan penurunan inspirasi oksigen
yang akut dan dimediasi oleh kemoreseptor perifer sensitif oksigen.
Ketika respon ventilasi hipoksia dimediasi oleh kemoreseptor perifer, respon diuresis
dan natriuresis hipoksia akut mucul selama 24-48 jam pertama bervariasi pada setiap
individu. Pada hipoksia berat (fraksi oksigen <0,1), antidiuresis dan retensi sodium muncul
sebagai hasil dari aktivasi saraf simpatik dan upregulasi angiotensin, aldosteron, dan
vasopresin yang meningkat. Setelah terjadi aklimatisasi, individu akan mengalami kembali
diuresis dan natriuresis di ketinggian yang lebih tinggi.
Hipoksia akut menyebabkan dua sampai tiga kali peningkatan ekskresi protein urin.
Mekanisme pastinya belum jelas namun kemungkinan melibatkan perubahan permeabilitas
kapiler, filtrasi glomerulus, atau reabsorbsi protein tubular. Dalam hal merespon PO2 arteri
yang rendah, sel kortikal interstisial meningkatkan produksi eritropoietin dengan
menstimulasi Hypoxia Inducible Factor-2 (HIF-2). Peningkatan hematokrit yang terjadi juga
membantu oksigenasi ke jaringan. Eritropoietin dilepaskan sejak 1-2 jam setelah paparan
hipoksia, dengan puncak pada 24-48 jam, dan menurun ke garis dasar setelah beberapa
minggu sejalan dengan peningkatan hematokrit dan terjadi penekanan feedback. Ketika
terpapar ketinggian yang lebih tinggi, maka terjadi produksi eritropietin yang baru.
2.7 Penelitian Serupa
Berikut adalah beberapa penelitian serupa yang penulis temukan untuk menunjang
karya tulis ilmiah ini.
Penelitian serupa dilakukan oleh Abdias Hurtado Arestegui, MD, PHD dkk,
Departemen Nefrologi Rumah Sakit Arzobispo Loayza pada tahun 2011 yang dituangkan
dalam bentuk special article dengan judul High Altitude Renal Syndrome (HARS). Penelitian
tersebut menjabarkan mengenai kondisi seseorang yang hidup di ketinggian dan berpengaruh
secara langsung pada perubahan kerja ginjal. Dimana lebih dari 140 juta orang hidup dan
tinggal secara permanen di ketinggian (> 2400 m dari sea level). Hidup dan tinggal dalam
kondisi hipoxia yang berkepanjangan memiliki banyak efek yang mengakibatkan khususnya
perubahan pada ginjal. Hasil dari penelitian tersebut adalah banyaknya sampel yang
mengalami hipertensi sistemik dan miroalbuminuria serta polisitemia dan peningkatan kadar
kreatinin darah yang mengedepankan adanya suatu sindrom klinis baru yang dinamakan High
Altitude Renal Syndrome (HARS). 7
Penelitian lainnya dilakukan oleh R. Ayu pada tahun 2009 dengan judul Aktivitas
Spesifik Katalase Jaringan Ginjal Tikus yang Diinduksi Hipoksia Hipobarik Akut Berulang.
Penelitian ini membahas aktivitas spesifik katalase dalam mencegah stres oksidatif pada
jaringan yang disebabkan oleh kondisi hipoksia hipobarik. Hipoksia hipobarik akut berulang
sering dialami oleh para penerbang. Salah satu yang rentan terhadap stress oksidatif akibat
hipoksia adalah jaringan ginjal. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
perubahan aktivitas spesifik katalase jaringan ginjal tikus percobaan yang diinduksi hipoksia
hipobarik akut yang berulang. Desain penelitian yang digunakan adalah eksperimental.
Dengan sampel 25 ekor tikus jantan yang dikelompokkan menjadi 4 kelompok perlakuan
dengan perbedaan frekuensi terhadap perlakuan prosedur Hypobaric chamber dan satu
kelompok kontrol. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan bermakna aktivitas
spesifik katalase semua kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol (p<
0.05). Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat perubahan berupa peningkatan yang
signifikan aktivitas spesifik katalase di jaringan ginjal tikus percobaan yang diinduksi
hipoksia hipobarik akut berulang dibandingkan dengan kelompok kontrol. 21
2.7 Kerangka Konsep
2.8 Kerangka Teori
JUMLAH JAM TERBANG
HUBUNGAN DENGAN
KETINGGIAN
RESIKO DEHIDRASI RELATIF & HIPOKSIA HIPOBARIK DALAM PENERBANGAN
PENINGKATAN KADAR KREATININ DARAH
BAB III
TOTAL
JAM TERBANG
PERUBAHAN KETINGGIAN
DEHIDRASI RELATIF
PENURUNAN LAJU FILTRASI
GLOMEROLUS
PENURUNAN FUNGSI GINJAL
PENINGKATAN KADAR KREATININ
DALAM DARAH
PENURUNAN KELEMBABAN
UDARA
HIPOKSIA HIPOBARIK
METODE PENELITIAN
3.1 Disain penelitian
Disain penelitian ini menggunakan disain potong lintang. Data penelitian didapatkan
secara sekunder.
3.2 Populasi dan sampel
3.2.1 Populasi
Populasi penelitian adalah pilot penerbang TNI AU yang melakukan medex di Lakespra
Saryanto selama tahun 2014.
3.2.2 Sampel
Sampel penelitian adalah pilot penerbang TNI AU yang melakukan medex di Lakespra
Saryanto selama tahun 2014 dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Cara penenntuan
jumlah sampel yang peneliti gunakan adalah menggunakan sampel jenuh / dengan tabel
krejie.
3.3 Kriteria inklusi dan eksklusi
3.3.1 Kriteria inklusi
a. Laki-laki
b. Pilot Penerbang TNI AU
c. Usia 30-55 tahun
d. Melaksanakan Medex di Lakespra tahun 2014
3.3.2 Kriteria eksklusi
a. Riwayat DM dan Hipertensi.
b. Riwayat Batu saluran kemih dan riwayat gangguan fungsi ginjal sebelumnya.
3.4 Lokasi dan waktu penelitian
Penelitian dilakukan di Lakespra Saryanto sejak tanggal 24 Maret 2015 sampai
dengan 24 April 2015 dan pengumpulan data dilakukan setelah mendapat persetujuan dari
kepala Lakespra Saryanto.
3.5 Pengumpulan data
Pilot penerbang TNI AU yang memenuhi kriteria inklusi akan diambil datanya sebagai
sampel penelitian. Pengumpulan data didapat dari data sekunder yaitu hasil medex di
Lakespra Saryanto selama tahun 2014. Data yang dikumpulkan terdiri dari variabel terikat
(dependent) dan variabel bebas (independent).
a. variabel terikat : kadar kreatinin darah
b. variabel bebas : lama jam terbang
3.6 Instrumen yang digunakan
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah data hasil medex selama tahun
2014 di Lakespra Saryanto.
3.7 Pengolahan dan Analisa Data
Data yang terkumpul akan dicatat dan dimasukan ke dalam komputer (data entry).
Selanjutnya akan dilakukan analisis data menggunakan spss dan akan dilakukan analisis uji
statistik chi square.
3.8 Definisi Operasional
3.8.1 Jumlah Jam terbang
Jumlah jam terbang adalah lamanya penerbangan dibagi dalam jangka waktu pendek
dan panjang (data nominal). Dikelompokkan menjadi:
1. <1000 = Pendek
2. 1000> = Panjang
2.8.2 Peningkatan Kadar Kretinin darah
Dikelompokan menjadi 2 bagian (data nominal)
1. <1,1 = Normal
2. 1,1> = Tinggi
3.9 Penyajian Data
Data hasil penelitian akan disajikan dalam bentuk penulisan ilmiah secara narasi dan
tabular.
3.10 Alur Penelitian
MEDICAL EXAMINATIONDATA HASIL MEDEX PENERBANG TNI AU
DILAKESPRA SARYANTO TAHUN 2014JUMLAH JAM TERBANG KADAR KREATININ DARAHANALISIS DATAPENYAJIAN DATAPUBLIKASIPENGUMPULAN DATA
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskrpsi Data Hasil Penelitian
Subyek penelitian berjumlah 66 orang Pilot Penerbang TNI AU yang melaksanakan
Medical Examination di Lakespra pada tahun 2014. Pengujian persyaratan pengolahan data
dilakukan dengan uji normalitas pada aplikasi dengan hasil berikut ini :
Tests of Normality
jumlah jam
terbang
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Stati
stic df Sig.
Stati
stic df Sig.
Kadar
Kreatinin
jam terbang panjang .464 55 .000 .543 55 .000
jam terbang pendek .448 11 .000 .572 11 .000
a. Lilliefors Significance Correction
Jadi didapatkan hasil bahwa sebaran data untuk Nilai kadar Kreatinin dan Total jam
terbang tidak terdistribusi normal sehingga uji statistik yang akan digunakan adalah uji Spearman.
Correlations
jumlah jam
terbang
Kadar
Kreatinin
Spearman's rho Total jam terbang Correlation Coefficient 1.000 -.015
Sig. (2-tailed) . .902
N 66 66
Kadar Kreatinin Correlation Coefficient -.015 1.000
Sig. (2-tailed) .902 .
N 66 66
Ternyata setelah diuji dengan uji Spearman nilai p > 0.05 sehingga tidak bermakna
secara statistik. Sehingga hipotesis H0 yang dapat dibuktikan bahwa tidak ada hubungan
yang bermakna antara Total jam terbang dengan peningkatan kadar Kreatinin darah
pada Penerbang TNI AU yang melaksanakan Medex di Lakespra tahun 2014. Ditinjau
dari Correlation Coefficient didapatkan hasil yang negatif sehingga korelasi yang ada
berbanding terbalik antar variabel.
4.2 Pembahasan
Dari data statistik diatas, didapatkan hasil bahwa terdapat korelasi yang tidak bermakna
antara Total jam terbang dengan peningkatan kadar Kreatinin darah. Hal ini bertentangan
dengan Hi peneliti yang berdasarkan penelitian terdahulu bahwa terdapat perubahan fungsi
ginjal yang signifikan pada orang hidup dan tinggal secara permanen di ketinggian (> 2400
meter dari sea level) yang hidup dan tinggal dalam kondisi hipoxia yang berkepanjangan
memiliki banyak efek yang mengakibatkan khususnya perubahan pada ginjal. Yaitu misalnya
kondisi polisitemia, hiperurisemua, peningkatan tekanan darah, penurunan aliran darah ke
ginjal serta mikroalbuminuria. Penelitian lain yang dilakukan oleh R. Ayu pada tahun 2009
dengan judul Aktivitas Spesifik Katalase Jaringan Ginjal Tikus yang Diinduksi Hipoksia
Hipobarik Akut Berulang. Penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan bermakna
aktivitas spesifik katalase semua kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok
kontrol (p< 0.05). Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat perubahan berupa
peningkatan yang signifikan aktivitas spesifik katalase di jaringan ginjal tikus percobaan
yang diinduksi hipoksia hipobarik akut berulang dibandingkan dengan kelompok kontrol.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 66 pilot penerbang TNI AU yang
melaksanakan Medex di Lakespra pada tahun 2014 diperoleh kesimpulan bahwa tidak
terdapat hubungan yang bermakna antara Total jam terbang dengan peningkatan Kadar
Kreatinin darah.
5.2 SARAN
Diharapkan adanya penelitian lebih lanjut tentang apa saja efek negatif yang didapat
selama kita berada di ketinggian dan terpapar oleh suatu kondisi dehidrasi akibat kelembaban
yang rendah serta kondisi Hipoksia dimana terdapat penurunan tekanan parsial udara
khususnya terhadap fungsi ginjal, sehingga dapat dideteksi lebih awal apabila timbul
kerusakan atau penurunan fungsi ginjal sehingga dapat diketahui bahayanya serta dapat
dicegah agar tidak dialami oleh Penerbang TNI Au di masa depan serta juga bagi para awak
pesawat TNI AU yang ada saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dehydration Presents Unique Risks For Pilots. Flight Safety Foundation Human
Factors & Aviation Medicine. Vol.48 no.4. 2001
2. Aviation instructor’s handbook. FAA-H-8083-9A
3. Weinberg AD, Minaker KL. Dehydration: Evaluation and management in older adults.
JAMA: The Journal of the American Medical Association. 1995;274 (19): 1552-1556
4. Kinra Prateek, et all. Proteiunuria in Indian Aviators. Ind J Aerospace Med 52 (2) :
2008
5. D Ronald, et all. Serum Creatinine as an Index of Renal Function: New Insights into
Old Concepts. Clinical Chemistry, Vol 38, No.10, 1992.
6. Field Michael. Assesing Renal Function. Common Sense Pathology. 2004
7. Arestgui Abdias, et all. High Altitude Renal Syndrome. J Am Soc Nephrol 22: 2011.
8. Tjokroprawiro, Askandar et al. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya :
Airlangga Univesity Press.
9. Guyton, A.C. & Hall, J.E., 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran 11th ed. Jakarta:
EGC.
10. Price S., Wilson L. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, edisi 6.
Jakarta: EGC.
11. O’callaghan, Chris et al. 2009. At a Glance Sistem Ginjal 2nd ed. Jakarta : Erlangga.
12. Sacher, R. A., dan R. A, McPherson. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan
Laboratorium. Edisi 11. Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta.
13. Mangarengi F, Rusli B, Hardjoeno. Gagal Ginjal Kronik Dalam Interpretasi Hasil Tes
Laboratorium Diagnostik, Lephas, Makassar, 2003; 147-150
14. Shaw, Rogers V.III “ Dehydration and the Pilot”. The Federal Air Surgeon’s Medical
Bulletin (Spring 2000) : 10.
15. Martin D, Windsor J. From mountain bedside: Understanding the clinical relevance of
human acclimatization to high altitude hypoxia. Postgrad Med Journal vol.84, 2008.
16. Anonymous. Dasar-dasar ilmu kesehatan penerbangan. Volume 2. Jakarta: Direktorat
Kesehatan TNI AU, 1991.
17. Singh SN, et all .Effect of high altitude (7620m) exposure on gluthathione and related
metabolism in rats. European Journal of Applied Physiology. Vol 84(3),2001.
18. Jolly Sr, Kane WJ, Bailie MB, Abrams GD, Lucchesi BR. Canine Myocardial
Reperfusion Injury: Its Reduction by the Combined Administration of Superoxide
Dismutase and Catalase. American Heart Association: Circulation research. 1994. p
277-285.
19. Nakanishi K, et all. Effects of hypobaric hypoxia on antioxidant enzymes in rats. J
Physiol, 480(Pt3): 869-76,1995.
20. Andrew M, Richard J, Erik R. Chronic kidney disease at high altitude. J Am Soc
Nephrol 19: 2262-2271, 2008.
21. Ayu R. 2009. Aktivitas Spesifik Katalase Jaringan Ginjal Tikus yang Diinduksi
Hipoksia Hipobarik Akut Berulang. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.