46
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN 979-587-529-9 1 Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan Sistem Pembangunan Pertanian yang Inklusif untuk Memajukan Petani Lahan Sub Optimal Haryono Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementrian Pertanian Republik Indonesia Kementerian Pertanian telah menyusun Strategi Induk Pembangunan Pertanian 2013- 2045, dengan visi utama terwujudnya sistem pertanian bioindustri berkelanjutan yang menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya hayati pertanian dan kelautan tropika. Misi Pembangunan Pertanian Indonesia adalah mengembangkan dan mewujudkan: 1. Penataan ruang dan reforma agraria 2. Sistem pertanian tropika terpadu 3. Kegiatan ekonomi produksi, informasi dan teknologi 4. Pasca panen, agro-energi dan bioindustri berbasis perdesaan 5. Sistem pemasaran dan rantai nilai produk 6. Sistem pembiayaan pertanian 7. Sistem penelitian, inovasi dan sumberdaya manusia berkualitas 8. Infrastruktur pertanian dan perdesaan 9. Program legislasi, regulasi dan manajemen yang imperatif. Namun untuk mewujudkan visi dan misi pembangunan pertanian Indonesia ini tidaklah mudah, akan menghadapi tantangan cukup berat baik pada saat ini maupun di masa yang akan datang. Kebutuhan pangan dan energi yang terus meningkat sejalan dengan laju pertumbuhan (1,49%/tahun) dan peningkatan kesejahteraan penduduk. Sampai saat ini, sektor pertanian merupakan tumpuan utama penyediaan pangan bagi 247 juta penduduk Indonesia, penyedia sekitar 87% bahan baku industri kecil dan menengah, serta penyumbang 15% PDB dengan nilai devisa sekitar US $ 43 Milyar. Selain itu, Sektor Pertanian menyerap sekitar 33% tenaga kerja dan menjadi sumber utama pendapatan dari sekitar 70% rumah tangga di perdesaan. Seluruh kebutuhan tersebut ditopang oleh sekitar 45 juta ha lahan pertanian dalam berbagai kategori. Khusus untuk pangan hanya ditopang oleh 23,1 juta lahan pertanian yang terdiridari 8,1 juta ha lahan sawah dan sekitar 15 juta lahan kering, atau sekitar 935m2/kapita yang terdiri 328 m2/kapita lahan sawah 607 m2/kapita lahan kering. Luas lahan tersebut tentu sangat tidak memadai untuk memertahankan ketahanan pangan secara berkelanjutan. Sebagai negara yang besar, ketahanan pangan merupakan pilar utama stabilitas nasional, sehingga menjadi salah satu sasaran utama pembangunan pertanian yang tidak dapat ditawar tawar. Hingga saat ini, beras masih merupakan komponen utama ketahanan pangan nasional, sehingga swasembada beras tetap menjadi indikator utama ketahanan pangan. Pencapaian target ketahanan pangan dan energi dibayangi-bayangi oleh beberapa ancaman dan kendala biofisik yang harus diantisipasi dan ditanggulangi. Selain alih fungsi lahan sawah produktif, fragmentasi lahan pertanian dan meningkatnya jumlah petani gurem, perubahan iklim sebagai derivasi dari pemanasan global, bencana banjir dan kekeringan yang semakin intensif terjadi, ancaman serius lain yang dihadapi adalah degradasi sumberdaya lahan, air dan lingkungan (erosi, longsor, pencemaran), meluasnya lahan terdegradasi dan terlantar, serta terbatasnya lahan potensial untuk cadangan pengembangan pertanian. Oleh sebab itu, dibutuhkan strategi yang didukung oleh

Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan … KEYNOTE SPEAKER.pdf · menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya ... Sistem pemasaran

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan … KEYNOTE SPEAKER.pdf · menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya ... Sistem pemasaran

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN 979-587-529-9

1

Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan Sistem Pembangunan Pertanian yang

Inklusif untuk Memajukan Petani Lahan Sub Optimal

Haryono

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Kementrian Pertanian Republik Indonesia

Kementerian Pertanian telah menyusun Strategi Induk Pembangunan Pertanian 2013-

2045, dengan visi utama terwujudnya sistem pertanian bioindustri berkelanjutan yang

menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya

hayati pertanian dan kelautan tropika. Misi Pembangunan Pertanian Indonesia adalah

mengembangkan dan mewujudkan:

1. Penataan ruang dan reforma agraria

2. Sistem pertanian tropika terpadu

3. Kegiatan ekonomi produksi, informasi dan teknologi

4. Pasca panen, agro-energi dan bioindustri berbasis perdesaan

5. Sistem pemasaran dan rantai nilai produk

6. Sistem pembiayaan pertanian

7. Sistem penelitian, inovasi dan sumberdaya manusia berkualitas

8. Infrastruktur pertanian dan perdesaan

9. Program legislasi, regulasi dan manajemen yang imperatif.

Namun untuk mewujudkan visi dan misi pembangunan pertanian Indonesia ini

tidaklah mudah, akan menghadapi tantangan cukup berat baik pada saat ini maupun di

masa yang akan datang. Kebutuhan pangan dan energi yang terus meningkat sejalan

dengan laju pertumbuhan (1,49%/tahun) dan peningkatan kesejahteraan penduduk. Sampai

saat ini, sektor pertanian merupakan tumpuan utama penyediaan pangan bagi 247 juta

penduduk Indonesia, penyedia sekitar 87% bahan baku industri kecil dan menengah, serta

penyumbang 15% PDB dengan nilai devisa sekitar US $ 43 Milyar. Selain itu, Sektor

Pertanian menyerap sekitar 33% tenaga kerja dan menjadi sumber utama pendapatan dari

sekitar 70% rumah tangga di perdesaan.

Seluruh kebutuhan tersebut ditopang oleh sekitar 45 juta ha lahan pertanian dalam

berbagai kategori. Khusus untuk pangan hanya ditopang oleh 23,1 juta lahan pertanian

yang terdiridari 8,1 juta ha lahan sawah dan sekitar 15 juta lahan kering, atau sekitar

935m2/kapita yang terdiri 328 m2/kapita lahan sawah 607 m2/kapita lahan kering. Luas

lahan tersebut tentu sangat tidak memadai untuk memertahankan ketahanan pangan secara

berkelanjutan. Sebagai negara yang besar, ketahanan pangan merupakan pilar utama

stabilitas nasional, sehingga menjadi salah satu sasaran utama pembangunan pertanian

yang tidak dapat ditawar tawar. Hingga saat ini, beras masih merupakan komponen utama

ketahanan pangan nasional, sehingga swasembada beras tetap menjadi indikator utama

ketahanan pangan.

Pencapaian target ketahanan pangan dan energi dibayangi-bayangi oleh beberapa

ancaman dan kendala biofisik yang harus diantisipasi dan ditanggulangi. Selain alih fungsi

lahan sawah produktif, fragmentasi lahan pertanian dan meningkatnya jumlah petani

gurem, perubahan iklim sebagai derivasi dari pemanasan global, bencana banjir dan

kekeringan yang semakin intensif terjadi, ancaman serius lain yang dihadapi adalah

degradasi sumberdaya lahan, air dan lingkungan (erosi, longsor, pencemaran), meluasnya

lahan terdegradasi dan terlantar, serta terbatasnya lahan potensial untuk cadangan

pengembangan pertanian. Oleh sebab itu, dibutuhkan strategi yang didukung oleh

Page 2: Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan … KEYNOTE SPEAKER.pdf · menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya ... Sistem pemasaran

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN 979-587-529-9

2

kebijakan terpadu dan sinergi antar sektor-sektor pembangunan terkait, khususnya dalam

optimalisasi sumberdaya pertanian (SDLP).

Lahan sawah yang saat ini luasnya sekitar 8,1 juta hektar cenderung menciut akibat

konversi, bahkan dalam 10 tahun terakhir, terjadi juga alih fungsi lahan sawah menjadi

lahan perkebunan sawit. Sekitar 3,1 juta ha atau 42% lahan sawah juga terancam akan

beralihfungsi menjelang tahun 2030 sebagaimana tertuang dalam RTRW kabupaten/kota di

seluruh Indonesia. Padahal, karena keterbatasan anggaran, serta berbagai faktor sosial

ekonomi, aspek kepemilikan lahandan kendala lainnya di lapangan, kemampuan

pemerintah dalam pencetakan sawah hanya sekitar 30-40 ribu hektar per tahun.

Selain itu, jika memperhatikan MP3EI, baik berdasarkan by design ataupun by

accidence, sebagian dari lahan sawah subur dan intensif di Jawa mendapat tekanan yang

sangat tinggi terkait dengan alih fungsi lahan untuk penggunaan lain, terutama untuk

pengembangan perekonomian (infrastruktur, industri, perumahan, perkantoran).Sebaliknya

pengembangan lahan-lahan pertanian diarahkan ke luar Jawa, terutama di koridor

Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua yang sebagian besar masih sangat terbatas

infrastrukturnya.Sebagian besar dari lahan cadangan yang tersedia di koridor tersebut

merupakan lahan suboptimal (LSO) baik berupa lahan rawa maupun non rawa.

Berdasarkan tren kebutuhan pangan nasional terutama padi, jagung, dan kedelai,

maka hingga tahun 2025 dibutuhkan 4,7 juta lahan bukaan baru. Untuk menjamin produksi

beras hingga tahun 2025, dibutuhkan perluasan areal sawahsekitar 1,4 juta ha, sedangkan

untuk kedelai sekitar 2 juta ha dan untuk tanam jagung sekitar 1,3 juta ha. Apalagi hingga

tahun 2045, menjelang 100 tahun kemerdekaan Indonesia, diperlukan tambahan lahan

sekitar 14,8 juta ha yang terdiri dari 4,9 juta ha lahan sawah, 8,7 juta ha lahan kering, dan

1,2 juta ha lahan rawa. Padahal, lahan yang subur sudah sangat terbatas, lahan cadangan

yang tersisa sebagian besar merupakan lahan sub optimal, termasuk di dalamnya lahan

terdegradasi dan terlantar. Oleh sebab itu, opsi utama yang harus ditempuh untuk

memenuhi kebutuhan pangan dan energi serta komoditas lainnya, adalah pengembangan

dan optimalisasi lahan suboptimal dan terdegradasi, baik melalui pendekatan intensifikasi

maupun secara ekstentifikasi.

Secara kuantitas, Indonesia mempunyai sumberdaya lahan yang cukup luas dengan

berbagai keragaman dan karakteristik. Namun dari daratan seluas 189,1 juta ha sekitar

157,2 juta ha diantaranya merupakan lahan sub optimal (LSO). Sedangkan sisanya seluas

31,9 juta ha adalah lahan subur (optimal) dengan berbagai tingkat kesuburan. Hanya saja

sebagian besar lahan tersebut sudah dimanfaatkan untuk lahan pertanian dan untuk

berbagai penggunaan. Sebagai lahan cadangan sebagai andalan utama di masa depan,

lahan sub optimal yang secara alamiah mempunyai produktivitas rendah dan ringkih

(fragile) dengan berbagai kendala akibat faktor inheren (tanah, bahan induk) maupun

faktor eksternal akibat iklim yang ekstrim, termasuk lahan terdegradrasi akibat ekspoitasi

yang kurang bijak.

Secara biofisik dan dengan sentuhan inovasi teknologi pertanian, sekitar 58% dari

lahan suboptimal tersebut potensial untuk lahan pertanian. Bahkan pada saat ini

sebenarnya, sekitar 15% lahan sawah eksisting dan sekitar 60% dari lahan pertanian

lainnya juga merupakan lahan sub-optimal yang potensial dan produktif serta sudah

berkontribusi secara signifikan terhadap ketahanan pangan dan pertumbuhan ekonomi

nasional. Artinya lahan sub-optimal sudah berkontribusi sekitar 10-12% terhadap produksi

padi nasional dan sekitar 50-55% komoditas pangan lainnya.Namun demikian belum

semua lahan suboptimal dikelola secara optimal, terutama lahan sawah dan lahan kering,

dengan produktivitas yang masih rendah, tetapi dengan dukungan bernbagai teknologi

inovatif, produktivitas lahan-lahan tersebut sangat potensial ditingkatkan.

Page 3: Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan … KEYNOTE SPEAKER.pdf · menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya ... Sistem pemasaran

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN 979-587-529-9

3

Secara alamiah, seluas123,1 juta ha dari LSO adalah lahan kering dan 34,1 juta ha

lahan basah (rawa). Lahan kering terluas merupakan lahan kering masam atau lahan kering

beriklim basah yang tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, terutama di Sumatera,

Kalimantan dan Papua. Lahan kering beriklim kering seluas 13,3 juta ha, tersebar di Jatim,

Bali, NTT, NTB. LSO yang berada di lahan basah berupa lahan rawa baik yang berada di

lahan rawa pasang surut maupun lahan rawa lebak, seluas 34,1 juta ha. Dari luasan

tersebut, terdiri dari 14,9 juta ha berupa lahan gambut dan 20,2 juta ha berupa lahan

mineral.

Sesuai dengan sifatnya yang ringkih, dan selaras dengan konsep dan tuntutan

pembangunan pertanian berkelanjutan, maka pengembangan dan optimalisasi lahan

suboptimal akan diarahkan pada beberapa aspek, yaitu produktivitas, efisiensi produksi,

kelestarian sumberdaya dan lingkungan serta kesejahteraan petani. Keempat sasaran

tersebut dapat diwujudkan melalui dukungan inovasi teknologi dan kelembagaan, sehingga

diharapkan dapat terwujud sistem pembangunan pertanian yang inklusif untuk memajukan

petani di lahan suboptimal. Optimalisasi lahan suboptimal dapat ditempuh melalui

beberapa pendekatan, yaitu:

(A) Optimalisasi pemanfaatan lahan suboptimal eksisting (baik lahan sawah maupun lahan

kering), agar lebih produktif dan lestari, melalui intensifikasi dengan dukungan

inovasi. Sasaran utamanya adalah peningkatan produktivitas dan perluasan areal

tanam/indeks pertanaman (IP).

(B) Ekstensifikasi atau perluasan areal pertanian baru dengan memanfaatkan lahan sub

optimal yang potensial dengan skala prioritas tertentu. Prioritas utama perluasan areal

adalah pemanfaatan lahan sub optimal terdegradasi atau terlantar (abondance land),

baik di lahan kering maupun di lahan rawa. Hal ini terkait pula dengan misi dari Inpres

No.06/2013 tentang Jeda Pemberian Izin atau Pembukaan Hutan dan Lahan Gambut,

sehingga perluasan areal harus memanfaatkan lahan terdegradasi/terlantar.

(C) Pemanfaatan lahan perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI) dengan dukungan

model sistem usahatani terintegrasi berkelanjutan berbasis inovasi (pertanian rendah

karbon/bioindustri)

(D) Prioritas pengembangan ditujukan pada wilayah perbatasan, tertinggal, dan pulau-

pulau terpencil

(E) Keterkaitan dan sinergi program pengembangan lahan kering dengan:

Program Reforma Agraria (terutama dalam aspek kepemilikan),

Program pengembangan agroforestri

Program Transmigrasi

Lahan Pertanian Pangan Abadi,

Pengembangan wilayah perbatasan (BNPP),

Pengembangan daerah tertinggal/terpencil (Kemen PDT)

Dalam pengembangan lahan sub optimal diperlukan teknologi inovasi yang berbasis

bioscience. Selain itu, terdapat beberapa titik ungkit yang perlu diupayakan di antaranya:

1.Eksplorasi dan optimalisasi sumberdaya air serta penataan dan konservasi lahan yang

mencakup tanah, hara, air, dan iklim

2. Pengembangan teknologi inovatif pada berbagai agroekosistem, terutama perakitan dan

pengembangan varietas unggul adatif, teknologi pengelolaan lahan dan air, seperti :

(a) lahan rawa (pengelolaan air satu arah dan tabat konservasi, sistem surjan), (b) lahan

kering masam (penggunaan rock-phosphate dan pengelolaan bahan organik, varietas

tahan masam), dan (c) lahan kering iklim kering (teknologi panen air, pengelolaan

bahan organik,varietas tahan kering), (d) tekologi pemupukan, pemanfaatan limbah

(zero waste), bioproses dan bioproduk, dll.

Page 4: Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan … KEYNOTE SPEAKER.pdf · menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya ... Sistem pemasaran

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN 979-587-529-9

4

3. Modernisasi sistem usaha pertanian berbasis inovasi teknologi dan model pertanian

inovatif yang terpadu seperti sistem integrasi tanaman ternak (SITT), pertanian ramah

lingkugan (PRL), pertanian rendah karbon (ICEF), bioindustri, dll.

4. Peningkatan koordinasi, integrasidan sinergi program.

Pengembangan dan optimalisasi lahan suboptimal harus berbasis “sciense,

innovation dan networking”. yang dapat dijabarkan pada beberapa strategi berikut :

Pertama : pengembangan lahan subpotimal harus diiringi dengan pemacuan inovasi

teknologi yang diasimilasikan dengan kearifan lokal sesuai dengan tipologi lahan. Karena

sifatnya yang ringkih (fragil) dan unik, pengembangan inovasi harus didukung basis ilmiah

dan akedemik yang kuat.

Kedua : pengembangan model usahatani berbasis lingkungan dan terintegrasi, seperti

pertanian ramah lingkungan, pengelolaan tanaman terpadu (PTT), integrasi tanaman dan

ternak (SITT), pertanian terpadu efisiensi karbon (ICEF), sistem pertanian terpadu lahan

kering beriklim kering (SPTLKIK/Food Smart Village),dll.

Ketiga : akselerasi pengembangan dan diseminasi inovasi tenologi pertanian, terutama

verietas unggul, teknologi pemupukan, alat mesin pertanian, pasca panen dan model

pertanian ramah lingkungan. Akselerasi ini dapat diwujudkan dengan sistem diseminasi

multi channel.

Keempat : pemberdayaan petani dan pengembangan sistem kelembagaan dalam berbagai

sub-sistem agribisnis pedesaan, mulai dari saprodi, alsintan hingga pemasaran hasil.

Kelima : merupakan strategi khusus perluasan areal jangka pendek dengan memanfaatkan

lahan HTI dan perkebunan untuk pengembangan tanaman pangan.

Menurut Kementerian Kehutanan ada sekitar + 9,4 juta ha, dimana 70% dalam status aktif

dan berdasarkan kajian Badan Litbang Pertanian 5,4 juta ha diantaranya potensial untuk

tanaman pangan. Dengan siklus 6-7 tahun, maka setiap tahun terdapat lahan HTI potensial

ditanami seluas 570.000 ha.

Berkaitan dengan pengembangan dan pemanfaatan lahan suboptimal beberapa

kebijakan yang dapat ditempuh adalah :

Pertama : untuk pengembangan pertanian tanaman pangan diprioritaskan pada

optimalisasi pemanfaatan lahan potensial baik di lahan rawa maupun non rawa. Sedangkan

untuk pengembangan tanaman perkebunan diprioritaskan pada lahan kering atau lahan

rawa dengan tetap mengacu pada Permentan No. 14/ 2009.

Kedua : perluasan lahan melalui pengembangan lahan suboptimal harus diprioritas pada

lahan suboptimal terdegradasi dan terlantar di kawasan budidaya (APL), diikuti dengan

pemanfaatan lahan-lahan terlantar di kawasan hutan secara selektif (hutan produksi

konversi).

Ketiga : akselarasi dan eskalasi kegiatan penelitian dan pengembangan pertanian, antara

lain membangun sistem konsorsium litbang pertanian dan skim penelitian lainnya. seperti:

(a) Konsorsium Litbang Lahan Kering Beriiklim Kering (LKIK),

(b) Konsorsium Litbang Lahan Gambut,

(c) Konsrsium Libang Rawa

(d) Program Kerjasama ICCTF Lahan Gambut,

(e) Konsorsium Litbang Lahan Sub Optimal melalui Sinas LSO,

(f) Program Kunjungan kerja tematik untuk Membangun Model Percepatan

Pembangunan Pertanian Wilayah Perbatasan dan Lahan Suboptimal.

Selain itu, aspek kelembagaan saprodi, alsintan dan pemasaran, merupakan kunci

sukses optimalisasi lahan suboptimal. Di samping itu, tidak kalah pentingnya juga adalah

sistem koordinasi, kerjasama dan sinergisme program antara Kementerian/Lembaga

terkait, seperti Kehutanan, PU, Transmigrasi dan Dalam Negeri, serta Pemerintah Daerah

dan Swasta/BUMN.

Page 5: Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan … KEYNOTE SPEAKER.pdf · menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya ... Sistem pemasaran

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN 979-587-529-9

5

Pengelolaan Lahan Suboptimal yang Inklusif dan Berkelanjutan

Untuk Mewujudkan Pertanian yang Produktif di Indonesia

Benyamin Lakitan1*)

1Ministry of Research and Technology, Jakarta

*)College of Agriculture, Sriwijaya University, Inderalaya

*)Tel.021-3169935 Faks.021-3101759

email: [email protected]

ABSTRAK

Kegiatan riset dan upaya pengembangan teknologi sudah banyak dilakukan di Indonesia,

tetapi upaya ini belum signifikan menghasilkan teknologi yang bermanfaat. Sedikit sekali

teknologi domestik yang telah digunakan dalam produksi barang maupun jasa, termasuk di

sektor pertanian. Persoalan ini berakar pada kenyataan bahwa teknologi yang

dikembangkan jarang yang relevan dengan realita kebutuhan dan/atau persoalan nyata

yang dihadapi petani. Kalaupun teknologi domestik secara substansi sudah relevan, namun

sering belum sepadan dengan kapasitas adopsi petani, tidak menjanjikan keuntungan usaha

tani yang lebih besar, dan/atau kurang kompetitif dibandingkan dengan teknologi serupa

yang sudah tersedia di pasar. Keterbatasan sumberdaya di masa sekarang dan akan datang,

menumbuhkan keharusan bahwa teknologi yang dikembangkan dapat berkontribusi nyata

terhadap upaya mewujudkan pembangunan pertanian yang inklusif, produktif, dan

berkelanjutan. Agar teknologi sesuai dengan kebutuhan dan dapat berkontribusi nyata

terhadap pembangunan pertanian, maka petani harus berperan aktif dansignifikan mulai

dari proses penetapan prioritas riset, perencanaan, dan pengembangan teknologi. Isu

aktual pada saat ini adalah peningkatan kebutuhan pangan sebagai akibat pertumbuhan

penduduk dan konversi lahan-lahan subur untuk kepentingan berbagai sektor lain.

Kecenderungan ini mengakibatkan peningkatan kegiatan pertanian di lahan-lahan

suboptimal. Upaya untuk meningkatkan produktivitas lahan suboptimal seharusnya tidak

mengorbankan keberlanjutan fungsi ekosistem dan partisipasi petani lokal. Sustainabilitas

dan inklusivitas harus dipertahankan saat dilakukan upaya peningkatan produktivitas.

Pengetahuan tradisional dan kearifan lokal harus digunakan sebagai landasan dalam

pengembangan teknologi untuk mewujudkan pertanian yang produktif di lahan suboptimal.

Kata kunci : teknologi, inovasi, pertanian, pengetahuan tradisional, kearifan lokal

Page 6: Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan … KEYNOTE SPEAKER.pdf · menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya ... Sistem pemasaran

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN 979-587-529-9

6

Page 7: Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan … KEYNOTE SPEAKER.pdf · menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya ... Sistem pemasaran

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN 979-587-529-9

7

Page 8: Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan … KEYNOTE SPEAKER.pdf · menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya ... Sistem pemasaran

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN 979-587-529-9

8

Page 9: Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan … KEYNOTE SPEAKER.pdf · menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya ... Sistem pemasaran

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN 979-587-529-9

9

Page 10: Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan … KEYNOTE SPEAKER.pdf · menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya ... Sistem pemasaran

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN 979-587-529-9

10

Page 11: Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan … KEYNOTE SPEAKER.pdf · menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya ... Sistem pemasaran

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN 979-587-529-9

11

Page 12: Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan … KEYNOTE SPEAKER.pdf · menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya ... Sistem pemasaran

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN 979-587-529-9

12

Page 13: Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan … KEYNOTE SPEAKER.pdf · menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya ... Sistem pemasaran

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN 979-587-529-9

13

X

Page 14: Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan … KEYNOTE SPEAKER.pdf · menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya ... Sistem pemasaran

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN 979-587-529-9

14

Page 15: Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan … KEYNOTE SPEAKER.pdf · menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya ... Sistem pemasaran

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN 979-587-529-9

15

Page 16: Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan … KEYNOTE SPEAKER.pdf · menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya ... Sistem pemasaran

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN 979-587-529-9

16

Page 17: Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan … KEYNOTE SPEAKER.pdf · menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya ... Sistem pemasaran

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN 979-587-529-9

17

Potensi, Kendala, dan Strategi Pemanfaatan Lahan Kering dan Kering

Masam untuk Pertanian (Padi, Jagung, Kedele), Peternakan, dan

Perkebunan dengan Menggunakan Teknologi Tepat Guna

dan Spesifik Lokasi

Kukuh Murtilaksono1*)

dan Syaiful Anwar1

1Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB

*)[email protected]; [email protected]

ABSTRACT

There is still wide chance to fullfill sustainable national food requirement (security and

soverignty) derived from annual crops (paddy, maize, soybean), estate plantation, and

husbandry though it faces potency of sub-optimal land of dry acid and dry climate that has

lower fertility than optimal land. In terms of its utilization, some inherent constraints of its

characteristic needs to be solved. In order to achieve sustainable food security and

sovereignty on sub-optimal land, the strategy that could be implemented are two groups,

namely necessary conditionand sufficient condition. The effective and local spesific

technologies include mapping of land capability and suitability, comodity zonation,

analysis of farm bussines, optimalization of land utilization, agrotechnology apllication,

integrated farming sytem, providing of farm production input, improvement of

infrastructure, training assistance empowerment, development of technology, control of

agricultural land conversion, and institution arrangement.

Keywords : acid dryland, dry climate, necessary condition, sufficient condition,

technology

ABSTRAK

Upayaberkelanjutanuntukpemenuhan kebutuhan pangan nasional (ketahanan dan

kedaulatan pangan) yang bersumber dari tanaman setahun (padi, jagung, kedele),

perkebunan, dan peternakan masihterbukaluas, walaupundihadapkanpadapotensi lahan

yang sub-optimal kering masam dan iklim kering bukan lahan

optimal.Untukpemanfaatannya, berbagaikendalayang melekat pada karakteristik lahan

tersebut perlu dipecahkan.Strategi yang dapat ditempuh untuk pencapai tujuan ketahanan

dan kedaulatan pangan berkelanjutandilahan sub-optimal di atas dikelompokkan menjadi

dua, yaitu syarat perlu (necessary condition) dan syarat cukup (sufficient condition).

Teknologi tepat guna dan spesifik lokasi meliputi pemetaan kemampuan dan

kesesuaianlahan, pewilayahan komoditas, analisis usahatani, optimalisasi pemanfaatan

lahan, aplikasi agroteknologi, pertanian terpadu, penyediaan input produksi pertanian,

perbaikan infrastruktur, pelatihan pendampingan pemberdayaan, pengembangan teknologi,

pengendalian konversi lahan pertanian, dan penataan kelembagaan.

Kata kunci : kering masam, iklim kering, syarat perlu, syarat cukup, teknologi

PENDAHULUAN

Dalam rangkaian seminar tentang lahan sub-optimal, Haryono (2013) menyatakan

bahwa sebagai tumpuan utama penyediaan pangan bagi 245 juta penduduk Indonesia,

Page 18: Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan … KEYNOTE SPEAKER.pdf · menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya ... Sistem pemasaran

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN 979-587-529-9

18

sektor pertanian merupakan penyumbang 15% PDB. Dalam rangka memenuhi ketahanan

dan kedaulatan pangan, pemerintah berupaya terus meningkatkan produksi beras nasional

5% per tahun dan pencapaian target surplus beras 10 juta ton pada tahun 2015, disamping

peningkatan produksi perkebunan dan peternakan.Selanjutnya dikemukakan bahwa

berdasarkan tren kebutuhan pangan nasional terutama padi, jagung, dan kedelai, maka

hingga tahun 2025 dibutuhkan 4,7 juta lahan bukaan baru. Untuk menjamin produksi beras

hingga tahun 2025, dibutuhkan perluasan areal sawahsekitar 1,4 juta ha, sedangkan untuk

kedelai sekitar 2 juta ha dan untuk tanaman jagung sekitar 1,3 juta ha. Apalagi hingga

tahun 2050, diperlukan tambahan lahan sekitar 14,9 juta ha yang terdiri dari 5 juta ha lahan

sawah, 8,7 juta ha lahan kering, dan 1,2 juta ha lahan rawa. Pada hal, di sisi lain, selain

hutan primer pada umumnya lahan yang tersedia adalah lahan sub-optimal termasuk lahan

yang sudah terdegradasi atau terlantar.

Berbagi ancaman dan kendala biofisik yang harus diantisipasi dan ditanggulangi

agar target ketahanan dan kedaulatan pangan tercapai. Hal tersebut meliputi alih fungsi

lahan sawah produktif (terutama di Jawa), perubahan iklim, serta degradasi sumberdaya

lahan, air dan lingkungan (erosi, longsor, pencemaran), disamping perluasan lahan

terdegradasi, terlantar, dan lahan kritis. Disamping itu, laju peningkatan produksi tanaman

pangan khususnya padi, jagung, dan kedelai mengalami leveling off, bahkan produksi

kedelai mengalami penurunan sehingga harus impor (Sopandie et al., 2009). Sementara

lahan-lahan pertanian di luar Jawa, terutama di koridor Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan

Papua sebagian besar merupakan lahan sub-optimal (LSO).Sasaran pengembangan dan

optimalisasi lahan sub-optimalmeliputi: produktivitas, efisiensi produksi, kelestarian

sumberdaya dan lingkungan serta kesejahteraan petani. Optimalisasi lahan sub-optimal

dapat ditempuh melalui dua pendekatan (Haryono, 2013), yaitu:

a. Optimalisasipemanfaatan lahan sub-optimal eksisting secara lebih produktif dan lestari,

melalui intensifikasi dengan dukungan inovasi untuk peningkatan produktivitas dan

perluasan areal tanam/indeks pertanaman (IP).

b. Perluasan areal pertanian baru (ekstensifikasi) melalui pemanfaatkan lahan sub optimal

yang potensial dengan prioritas pemanfaatan lahan sub-optimal terdegradasi atau

terlantar (abondance land).

Pengelolaan lahan-lahan sub-optimalmemerlukan teknologi yang memadai dan

sesuai karena kendala teknis/agronomis. Setiap aplikasi teknologi untuk perbaikan sifat

fisik, kimia, dan/atau biologi tanah merupakan tantangan utama karena input tersebut akan

secara langsung menambah biaya usahatani yang secara langsung akan mengurangi

keuntungan atau bahkan menyebabkan kerugian bagi petani.Upaya pengelolaan lahan sub-

optimal juga perlu secara paralel dilakukan seleksi jenis komoditas pangan, disamping

pemuliaan tanaman dan ternak yang adaptif terhadap keragaman kondisi agroekosistem

lahan sub-optimal (Lakitan dan Gofar, 2013). Dengan demikian, pengembangan dan

aplikasi teknologi optimalisasi (efektif dan efisien) lahan sub-optimal hendaknya benar-

benar disesuaikan dengan karakteristik biofisik dan lingkungan lahan tersebut, yaitu

teknologi tepat guna dan spesifik lokasi untuk pencapaian target produksi pertanian,

perkebunan, dan peternakan nasional.

POTENSI DAN KENDALA PEMANFAATAN LAHAN KERING

DAN KERING MASAM

Potensi

Data sumberdaya lahan eksplorasi yang mencakup seluruh Indonesia

(Puslitbangtanak, 2000), data tanah tinjau (BBSDLP, 2012), dan data tipe iklim Indonesia

(Balitklimat, 2003) telah dianalisis oleh Mulyani dan Sarwani (2013). Berdasarkan

Page 19: Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan … KEYNOTE SPEAKER.pdf · menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya ... Sistem pemasaran

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN 979-587-529-9

19

karakteristik dan penciri dari masing-masing lahan, maka lahan sub-optimal dapat dipilah

menjadi lahan kering dan lahan basah. Lahan keringsub-optimal dikelompokkan menjadi

lahan kering masam dan lahan kering beriklim kering (Tabel 1).Berdasarkan Tabel 1

sebagian besar lahan termasuk pada lahan kering masam sekitar 108,8 juta ha atau sekitar

60% dari total luas lahan Indonesia, yang identik dengan lahan kering beriklim basah.

Sebaran lahan kering masam ini terdapat hampir di seluruh wilayah Indonesia, terluas

terdapat di Sumatera, Kalimantan dan Papua. Sedangkan lahan kering iklim kering seluas

13,3 juta ha, penyebaran terluas terdapat di NTT, NTB, Jatim, Kaltim, Gorontalo dan

Sulsel.

Tabel 1. Penyebaran Luas Lahan Suboptimal di Indonesia (hektar)

Provinsi Masam Iklim Kering Jumlah

Bali 46.688 134.616 181.304

Bangka Belitung 1.181.000 - 1.181.000

Banten 684.804 6.847 691.651

Bengkulu 1.832.982 - 1.832.982

Daerah Istimewa Yogyakarta 20.402 174.196 194.598

DKI Jakarta 43.919 - 43.919

Gorontalo 3.244 1.017.374 1.020.618

Jawa Barat 2.084.728 149.635 2.234.363

Jambi 3.447.915 - 3.447.915

Jawa Tengah 1.184.345 685.093 1.869.438

Jawa Timur 1.004.290 2.244.359 3.248.649

Kalimantan Barat 11.483.416 21.108 11.504.524

Kalimantan Selatan 2.189.535 49.071 2.238.606

Kalimantan Tengah 11.408.220 19.343 11.427.563

Kalimantan Timur 16.245.152 42.252 16.287.404

Lampung 2.787.857 - 2.787.857

Maluku 1.891.564 686.687 2.578.251

Maluku Utara 1.769.383 341.140 2.110.523

Aceh 3.754.647 49.248 3.803.895

Nusa Tenggara Barat 9.072 1.532.476 1.541.548

Nusa Tenggara Timur 164.460 2.914.239 3.078.699

Papua 17.343.250 345.924 17.689.174

Riau 4.491.246 3.238 4.494.484

Sulawesi Selatan 3.191.227 1.238.520 4.429.747

Sulawesi Tengah 3.499.409 722.238 4.221.647

Sulawesi Tenggara 1.814.255 261.599 2.075.854

Sulawesi Utara 811.987 486.464 1.298.451

Sumatera Barat 3.606.238 25.007 3.631.245

Sumatera Selatan 5.176.944 - 5.176.944

Sumatera Utara 5.603.651 120.420 5.724.071

Total 108.775.830 13.272.094 122.047.924

Sumber : Mulyani dan Syarwani (2013)

Sekitar 70,41 juta hektar (58%) dari 122,05 juta hektar lahan sub-optimal sesuai

untuk pengembangan pertanian (Tabel 2). Hasil analisis spasial menunjukkan bahwa 7,08

juta hektar sesuai untuk pertanian lahan kering tanaman semusim, dan 15,31 juta hektar

Page 20: Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan … KEYNOTE SPEAKER.pdf · menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya ... Sistem pemasaran

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN 979-587-529-9

20

lahan sesuai untuk pertanian tanaman tahunan (Tabel 3).Luas lahan yang sesuai dan

tersedia untuk perluasan areal pertanian lahan keringdapat berada pada status kawasan

hutan konversi (HK) dan hutan produksi (HP) yang secara hukum negara jika dibutuhkan

dan disepakati dapat dijadikan sebagai cadangan lahan pertanian, saat ini berupa semak

belukar dan padang alang-alang/rumput di Kalimantan, Papua dan Maluku, serta Sumatera

(Tabel 4).

Tabel 2. Luas Lahan Kering Suboptimal yang Potensial untuk Pengembangan Pertanian

(hektar)

Lahan Suboptimal Luas Lahan

Suboptimal

Potensi untuk

Pertanian

Lahan kering masam 108.775.830 62.647.199

Lahan kering iklim kering 13.272.094 7.762.543

Total 122.047.924 70.409.742

Sumber : Mulyani dan Syarwani (2013)

Tabel 3. Lahan Suboptimal yang Sesuai dan Tersedia untuk Pertanian Semusim dan

Tahunan

Pulau Luas (hektar)

Tanaman Semusim Tanaman Tahunan

Sumatera 1.312.800 3.226.800

Jawa 40.500 159.000

Bali dan Nusa Tenggara 137.700 610.200

Kalimantan 3.639.400 7.272.000

Sulawesi 215.500 601.200

Maluku+Papua 1.739.000 3.441.000

Indonesia 7.083.800 15.310.100

Sumber : Mulyani dan Syarwani (2013)

Tabel 4. Luas Lahan Suboptimal yang Tersedia untuk Pertanian di Kawasan Budidaya

Pertanian dan Kehutanan (hektar)

Pulau Kawasan Budidaya

Jumlah Pertanian Kehutanan

Sumatera 2.741.632 2.757.776 5.499.408

Jawa 129.022 84.868 213.890

Bali dan Nusa Tenggara 515.874 280.872 796.746

Kalimantan 3.907.977 8.399.413 12.307.390

Sulawesi 682.192 557.412 1.239.604

Maluku+Papua 2.331.106 8.281.545 10.612.651

Indonesia 10.307.803 20.361.886 30.669.689 Sumber : Mulyani dan Syarwani (2013)

Produktivitas tanaman pangan pertanian, perkebunan, dan peternakan di lahan sub-

optimalkering masam dan iklim kering dapat ditingkatkan apabila dikelola secara

berkelanjutan memanfaatkan teknologi tepat guna hasil-hasil penelitian, melalui rekayasa

Page 21: Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan … KEYNOTE SPEAKER.pdf · menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya ... Sistem pemasaran

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN 979-587-529-9

21

fisik, kimia, biologi serta pemanenan air sesuai karakteristik tanahnya (Lakitan dan Gofar,

2013).

Dengan teknologi yang memadai dan ketersediaan lahan sub-optimal semestinya

target ketahanan dan kedaulatan pangan Indonesia bisa dicapai jika dan hanya jika

pemerintah dan stakeholdernya bersama mempunyaitekat dan komitment dan konsisten

untuk mencapainya.

Kendala

Kendala lahan sub-optimal(kering masam dan iklim kering) antara lain ditentukan

oleh karakteristiknya masing-masing yang dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Lahan kering masam.Lahan kering masam adalah lahan kering yang mempunyai tanah

bereaksi masam dengan pH < 5, kejenuhan basa < 50% (dystrik), kadar aluminium

tinggi, tekstur klei, dan regim kelembaban tanah udik atau curah hujan > 2.000 mm per

tahun (Subagyo et al., 2000). Tanah tersebut tergolong pada tanah Podsolik Merah

Kuning atau Ultisols, Oxsisols, dan Inceptisols. Secara umum lahan kering masam ini

mempunyai tingkat kesuburan dan produktivitas lahan rendah sehingga diperlukan input

yang cukup tinggi untuk mencapai produktivitas optimal (Mulyani dan Syarwani,

2013). Tingkat kesuburan dan produktivitas lahan yang rendah secara spesifik berupa

kandungan bahan organic dan kandungan hara yang rendah selain adanya toksisitas

aluminium.

2. Lahan kering iklim kering.Lahan kering iklim kering adalah lahan kering yang

mempunyai regim kelembaban tanah ustik dan atau termasuk pada iklim kering dengan

jumlah curah hujan < 2.000 mm per tahun dan bulan kering > 7 bulan (< 100 mm per

bulan) (Balitklimat, 2003). Umumnya kejenuhan basa > 50% (eutrik), pH tanah netral

dan cenderung agak alkalis, dan secara umum mempunyai tingkat kesuburan lebih baik

daripada lahan kering masam. Tanah yang umum ditemukan adalah Grumusol,

Mediteran, Litosol atau Alfisols, Mollisols, Entisols, Vertisols. Curah hujan yang

rendah menyebabkan musim kemarau yang nyata dan keterbatasan sumberdaya air

sehingga jenis tanaman dan indeks pertanaman yang diusahakan lebih terbatas (Mulyani

dan Syarwani, 2013).

Secara umum kendala pada kedua jenis lahan sub-optimal tersebut lebih berat

terdapat pada lahan kering masam. Untuk meningkatkan produktivitas lahan kering masam

diperlukan masukan dan upaya perbaikan yang lebih banyak dibandingkan terhadap lahan

kering iklim kering. Upaya penyediaan kebutuhan air bagi tanaman sudah berimplikasi

pada peningkatan nyata bagi produktivitas pada lahan kering iklim kering, sementara hal

tersebut belum cukup untuk lahan kering masam.

Karakteristik lahan sub-optimalpada dasarnya merupakan lahan-lahan yang secara

alami mempunyai kendala sehingga butuh upaya ekstra agar dapat dijadikan lahan

budidaya yang produktif untuk tanaman pangan dan perkebunan serta peternakan. Kendala

tersebut dapat berupa: (a) kesulitan dalam menyediakan air yang cukup untuk mendukung

usaha tani yang produktif dan menguntungkan, (b) sifat kemasaman tanah yang tinggi (pH

rendah) sehingga butuh upaya untuk menetralisir kemasaman tanah tersebut,

(c)kandunganbahanorganik yang rendahdansolum yang dangkal,kandunganbahanorganik

yang rendahdansolum yang dangkal, (d) sangat miskin unsur hara sehingga membutuhkan

dosis pemupukan yang lebih tinggi; dan/atau,(e) tanah berbatu sehingga sulit diolah secara

mekanis. Kondisi sub-optimal ini dapat terbentuk secara alami, atau karena kegiatan

manusia di dan/atau sekitar lokasi yang bersangkutan, atau akibat salah kelola pada periode

sebelumnya (Lakitan dan Gofar, 2013). Selanjutnya, kendala yang dihadapi dari aspek

budidaya antara lain: (a) persiapan lahan, pemakaian benih varitas unggul, penanaman

(waktu tanam, cara tanam), pemeliharaan, pemupukan, pengendalian hama, penyakit

Page 22: Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan … KEYNOTE SPEAKER.pdf · menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya ... Sistem pemasaran

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN 979-587-529-9

22

tanaman dan gulma yang belum dilakukan dengan baik; (b) belum dilaksanakan integrasi

pertanian tanaman dengan peternakan sehingga produktivitas lahan sub-optimal masih

rendah.

Lahan sub-optimal kering masam dan iklim kering banyak juga dijumpai di daerah

tidak datar atau landai tetapi berkemiringan relatif curam sehingga mendorong degradasi

lahan oleh proses erosi tanah. Degradasi lahan di daerah tropika basah menghasilkan lahan

kritis di dalam dan luar kawasan hutan yang saat ini masih seluas sekitar 27 juta hektar.

Untuk pengembangan lahan sub-optimal di daerah berkemiringan agak curam hingga

curam, disamping memerlukan input produksi pertanian, juga diperlukan teknologi

konservasi tanah dan air yang memadai.

TANTANGAN PENGELOLAAN LAHAN SUB-OPTIMAL

Berdasarkan sebaran lahan sub-optimal di Indonesia, masih terdapat potensi dan

peluang untuk pengembangannya. Tantangan yang muncul kemudian ke depan adalah

dilema kompetisi pemanfaatan lahan baik antar sub sektor pertanian (tanaman pangan,

hortikultura dan perkebunan) maupun dengan sektor lain di luar pertanian (perindustrian,

pertambangan, infrastruktur, perumahan, perkantoran, dan lainnya). Perlu disampaikan

bahwa lahan terlantar di kawasan pertanian yang 10 juta ha sudah ada pemiliknya,

sehingga ada kesulitan dalam memanfaatkan lahan di kawasan ini.Perkembangan lahan

pertanian yang cukup pesat dalam periode 10 tahun terakhir bukan untuk tanaman pangan

atau tanaman setahun tapi lebih untuk perkebunan terutama kelapa sawityang umumnya

perusahaan besar swasta dalam bentuk HPH (merubah status kawasan hutan produksi

menjadi lahan pertanian) (Mulyani dan Syarwani, 2013), dan saat ini luas seluruh

perkebunan sawit sudah mencapai 9,1 juta hektar.

Selain keterbatasan sifat fisik lahan, tantangan lain adalah permasalahan non fisik

antara lain rendahnya minat dan kemampuan enterpreneurship petani, lemahnya sistem

kelembagaan untuk memfasilitasi dan melindungi usahatani masyarakat, dan aplikasi

teknologi yang rendah terutama karena terkendala oleh kapasitas finansial petani yang

tidak memadai (Lakitan dan Gofar, 2013). Selanjutnya dikemukan bahwa prasarana

transportasi yang belum tersedia atau dalam kondisi yang buruk juga menjadi tantangan

dalam pengelolaan lahan sub-optimal sehingga biaya angkut hasil produksi maupun sarana

produksi relatif mahal. Kurangnya infrastruktur penunjang dalam pembangunan pertanian

di lahan sub-optimal akan berdampak pada rendahnya produktivitas dan kualitas produk

serta sulitnya pemasaran. Faktor kendala lain adalah keterbatasan tenaga kerja, karena

umumnya kepadatan penduduk yang bermukim di lahan sub-optimal sangat rendah.

Akibatnya, dorongan alih fungsi lahan tanaman pangan ke penggunaan lain, diantaranya

untuk perkebunan terutama kelapa sawit semakin besar.

STRATEGI PEMANFAATAN LAHAN KERING DAN KERING MASAM

(TEKNOLOGI TEPAK GUNA DAN SPESIFIK LOKASI)

Dalam rangka pencapaian ketahanan dan kedaulatan pangan, serta pemenuhan

kebutuhan hasil perkebunan dan peternakan, produktivitas lahan sub-optimal kering

masam dan iklim kering dapat dicapai dengan strategi yang tepat serta mempertimbangkan

potensi dan kendala lahan sub-optimal tersebut. Strategi tersebut dapat dipilah menjadi

dua, yaitu strategi atau syarat perlu yang dipenuhi terlebih dahulu (necessary condition),

dan syarat kecukupan (sufficient condition). Syarat perlu adalah segala sesuatu yang harus

dipenuhi agar tujuan dapat tercapai, sedangkan syarat kecukupan melengkapi syarat perlu

agar tujuan dapat tercapai sepenuhnya.

Page 23: Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan … KEYNOTE SPEAKER.pdf · menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya ... Sistem pemasaran

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN 979-587-529-9

23

Strategi yang termasuk dalam syarat perlu dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Pemetaan kemampuan dan kesesuai lahan.

Pemanfaatan lahan khususnya lahan sub-optimal kering masam dan iklim kering

sesuai dengan kemampuan dan kesuaian lahan dapat mengurangi resiko kerusakan lahan

karena tidak melebihi kapasitasnya walaupun produksi tidak sebesar lahan

optimal.Selainitupemetaankemampuandankesesuaianlahanakanmengindentifikasikendalas

pesifikbagipemanfaatanlahantersebut.Dengan demikian peta kemampuan dan kesesuaian

lahan berskala yang memadai seluruh lahan sub-optimal kering masam dan iklim kering di

Indonesia dapat digunakan sebagai prioritas arahan pemanfatannya. Selain itu, peta

tersebut dapat juga digunakan untuk perhitungan perkiraan kebutuhan asupan (input)

produksi tanaman pangan, perkebunan, dan peternakan untuk mencapai hasil yang

diharapkan beserta perhitungan kelayakan atau untung rugi. Mulyani dan Syarwani (2013)

menyatakan Lahan sub-optimal harus dimanfaatkan sesuai dengan kesesuaian lahannya.

Wilayah yang sesuai dan diarahkan untuk tanaman pangan hendaknya tetap dimanfaatkan

untuk tanaman pangan.

2. Pewilayahan komoditas lahan sub-optimal kering dan iklim kering.

Berdasarkan peta kemampuan dan kesesuaian lahan serta neraca air setiap wilayah

lahan sub-optimal kering masam dan iklim kering, pewilayahan komoditas tanaman

pangan, perkebunan, dan peternakan dapat disusun sesuai dengan masing-masing kelas

yang terbaik. Kementerian Pertanian telah pernah menyusun peta pewilayahan komoditas

sebelumnya sehingga pewilayahan komoditas untuk lahan sub-optimal kering masam dan

iklim kering hanya perlu pemisahan dan pengembangannya sesuai dengan pertanaman

komoditas yang telah berkembang dan diusahakan saat ini. Irianto (2009) menyatakan

bahwa diperlukan pengembangan berbagai inovasi teknologi berdasarkan penelitian

merupakan strategi peningkatan produktivitas pangan dan energi. Pewilayahan komoditas

berdasarkan kelas kesesuaian lahan untuk mengurangi resiko kegagalan panen

3. Analisis usaha tani atau keuntungan terhadap biaya.

Berdasarkan peta pewilayahan komoditas tanaman pangan, perkebunan, dan

peternakan yang sudah disesuaikan, maka dapat dilakukan dan disusun analisis usahatani

setiap komoditi yang dipetakan. Selayaknya, komoditi yang dibudidayakan pada lahan

yang kelas kesesuaiannya tertinggi atau terbaik untuk komoditi tersebut, selayaknya

margin atau keuntungan positif usaha taninya masih diperoleh. Biasanya masyarakat

tempatan dengan kearifan lokalnya telah melakukan hal ini dalam lingkup yang terbatas.

Hasil penelitian (Riantini, 2013)di lahan sub-optimal kering Lampung Selatan yang

menunjukkan bahwa usahatani jagung varietas hibrida menguntungkan untuk diusahakan.

Penelitian Murtilaksono et al. (2011) menunjukkan bahwa usaha kebun kelapa sawit di

lahan kering masam Rejosari, Lampung Selatan memberikan keuntungan ekonomi

walaupun diberi tambahan teknologi teras gulud yang membutuhkan biaya tidak sedikit.

4. Optimalisasi pemanfaatan lahan.

Dalam pemanfaatan lahan sub-optimal yang ada saat ini dan merupakan sentra

produksi pangan hendaknya tetap dioptimalkan sebagai kawasan penghasil pangan

(Mulyani dan Syarwani, 2013). Artinya, pemanfaatan lahan sub-optimal kering masam dan

iklim kering tetap harus memberikan keuntungan ekonomi dan lingkungan tidak

terdegradasi atau konsep pembangunan berkelanjutan tetap masih bisa dipenuhi.

Page 24: Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan … KEYNOTE SPEAKER.pdf · menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya ... Sistem pemasaran

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN 979-587-529-9

24

Sementara Haryono (2013) menyatakan optimalisasi lahan sub-optimal dapat dilakukan

dengan intensifikasi melalui peningkatan produktifitas dan meningkatan luas tanam.

5. Aplikasi agroteknologi.

a. Bahan pembenah tanah dan pemupukan yang memadai

Perbaikan sifat fisika, kimia, dan biologi tanah melalui aplikasi bahan pembenah

tanah dan pemupukan berimbang sesuai dengan kebutuhan tanaman budidaya yang

diusahakan dapat menghasilkan produksi secara efisien karena input produksi tersebut

sedikit hilang tidak dimanfaatkan.Banyak teknologi dan hasil penelitian tentang bahan

pembenah tanah dan pemupukan yang dapat diaplikasikan untuk pengembangan dan

pemanfaatan lahan sub-optimal kering masam dan iklim kering untuk peningkatan

produksi tanaman pangan dan perkebunan.

Sudah difahami bahwa adanya bahan organik sebagai “campuran” bahan mineral menjadi

kunci disebutnya material mineral ini sebagai “tanah” sehingga dapat berfungsi sebagai

penunjang pertumbuhan tanaman. Lahan kering sub-optimal selalu memiliki kandungan

bahan organik yang rendah bahkan sering juga diperparah dengan solumnya yang dangkal.

Oleh karena itu upaya pengembalian dan bahkan penambahan bahan organik, baik berupa

serasah, kompos, pupuk organik atau pupuk bioorganik sebagai pembenah tanah menjadi

kunci untuk dapat meningkatkan produktivitasnya. Minimal upaya yang harus dilakukan

adalah setiap biomassa yang dihasilkan dari sepetak lahan spesifik yang berupa limbah

organik (diluar biomasa panen) harus selalu dikembalikan, bukan dibakar. Namun

demikian, pengembalian bahan organik in situ ini masih kurang apabila kita memang ingin

meningkatkan produktivitas lahan. Harus ada penambahan bahan organik dari luar (ek situ)

ke dalam petakan spesifik tersebut, sehingga secara lambat laun akan terjadi peningkatan

kandungan bahan organik tanah tersebut, menjadi lebih tinggi dari kondisi asli sub-

optimalnya. Secara ideal jangka panjang untuk dapat menyediakan kebutuhan bahan

organik untuk ditambahkan ke tanah, setiap petakan lahan usaha pertanian harus

menyediakan “ruang” untuk peyimpanan dan penyiapan bahan organik/ kompos/ pupuk

organik bagi kebutuhan pertanaman berikutnya. Penelitian Sudaryanto et al. (2012)

menunjukkan bahwa pembenaman bahan organik di tanah dalam sistim tanaman lorong di

perkebunan kelapa sawit mengurangi kehilangan nitrogen melalui nitrifikasi. Sementara

itu, Santoso et al. (2011) mendapatkan hasil aplikasi bahan organik yang berasal dari

rumput laut sebagai pembenah tanah tidak subur (sub-optimal) dapat meningkatan

pertumbuhan dan produksi padi gogo, jagung, dan kelapa sawit hingga 50% tanpa pupuk

inorganik.Karti (2005) memberikan Azospirillum pada tanah masam dapat meningkatkan

produksi dan serapan nitrogen rumput pakan ternak Setariasplendida dan Chlorisgayana.

Kemasaman tanah yang tinggi pada lahan kering umumnya disebabkan kandungan

Al-dd yang tinggi. Upaya cepat penanggulangan masalah ini adalah dengan pemberian

bahan pengapuran, khususnya kalsit atau dolomit. Dalam jangka panjang, permasalahan ini

dapat juga diatasi dengan penambahan bahan organik. Jadi penambahan bahan organik

selain menjaci kunci pengelolaan produktivitas tanah berkelanjutan, juga dapat mengatasi

masalah kemasaman tanah yang rendah sebagai akibat kandungan Al-dd yang tinggi.

Dengan adanya “varietas unggul” yang diciptakan dengan mengkondisikan tanah

berkecukupan hara sebagaimana selama ini dilakukan, maka keunggulan varietas tersebut

tentunya baru akan muncul apabila tanah berkecukupan hara. Tanah suboptimal lahan

kering dan masam, berbahan induk batuan endapan ataupun metamorfik tidak memiliki

kondisi ini. Oleh karena itu, upaya cepat mengatasi masalah ini tidak lain adalah

pemupukan dengan unsur hara yang sesuai dengan kebutuhan tanaman, apabila memang

Page 25: Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan … KEYNOTE SPEAKER.pdf · menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya ... Sistem pemasaran

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN 979-587-529-9

25

kita menuntut produktivitas tanaman yang tinggi. Pemupukan harus seefisien mungkin,

mengingat ketidakefisienan pemupukan berpotensi pada terjadinya pencemaran hara pada

tubuh perairan, selain untuk menghematan sumberdaya. Dengan demikian pemupukan

harus dilakukan dengan cara dan bentuk agar tepat jumlah dan waktu.

b. Penataan pola tanam (tanaman pangan dan kebun)

Penerapan pola tanaman sesuai dengan sifat fisika tanah dan sebaran curah hujan

selama setahun (neraca air) dapat mengefisienkan input produksi pada lahan sub-optimal

kering masam dan iklim kering. Untuk tujuan keanekaragaman pangan dan kelestarian

lingkungan, maka intercropping merupakan alternatif yang dapat diaplikasikan secara

proporsional.

Sistem pengelolaan lahan dengan tindakan konservasi vegetatif melalui integrasi

tanaman padi gogo dan kedelai diantara tanaman kakao yang disertai strip tanaman Arachis

pintoi pada topografi miring lahan sub-optimal dapat memperbaiki kesuburan tanah

sehingga memperbaiki pertumbuhan tanaman kakao, menambah ketersediaan pangan dan

pendapatan petani (Nurmi dan Haridjaja, 2009).

Tanaman pangan dibawah tegakan tanaman perkebunan rakyat di lahah kering

masam di Lampung yang sebarannya cukup luas, perlu diberdayakan melalui pengenalan

berbagai varietas/galur unggul baru yang adaptif (Hafif, 2013). Pemanfaatan potensi lahan

terbuka pada saat peremajaan tanaman karet tua ataupenanaman baru dengan cara

menanam tanaman sela pangan diantara barisan tanamankaret sampai dengan karet

berumur tiga tahun tidak berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan tanaman utama karet

dan produksi tanamansela dapat menambah penyediaan pangan sekaligus meningkatkan

pendapatan petani (Nusyirwan et al., 2013).

c. Aplikasi konservasi tanah dan air

Pada daerah bertopografi berombak hingga berbukit dan berkemiringan lereng agak

curam hingga curam, teknologi konservasi tanah dan air mutlak perlu diaplikasikan agar

kesuburan tidak merosot tajam karena erosi tanah dan produksi tanaman dan pendapatan

petani dapat dipertahankan. Sistem pertanian konservatif di lahan miring (tidak datar)

merupakan sistem pertanian berkelanjutan. Teknik konservasi tanah dan air dapat berupa

sipil teknis, vegetatif, agronomi, maupun manajemen sesuai yang termuat dalam

Rancangan Undang-undang Konservasi Tanah dan Air yang tinggal menunggu sidang

pleno.

Penggunaan lahan perkebunan dan pepohonan buah-buahan relatif terlindung dari

erosi dibandingkan dengan areal tanaman pangan yang diolah secara intensif. Untuk itu

lahan pertanian, terutama lahan tegalan dan lahan pertanian di daerah berlereng

bergelombang sampai curam sangat memerlukan penerapan berbagai teknik konservasi

tanah dan air yang memadai (Sinukaban, 2013).

Penerapan sistim pola tanam konservasi pada ladang berpindah berpengaruh baik

terhadap perbaikan sifat tanah dan meningkatkan produktivitas serta menekan aliran

permukaan dan erosi tanah (Yustika et al., 2009).Konservasi tanah merupakan salah satu

teknologi inovasi di lahan sub-optimal terdegradasi untuk mendukung ketahanan pangan

(Erfandi, 2009).Untuk merehabilitasi dan meningkatkan produktifitas lahan alang-alang,

teknik konservasi vegetatif yaitu mengkombinasikan penanaman Mucuna sp. dan sistim

budidaya tanaman lorong (alley cropping) merupakan inovasi teknologi yang

berkelanjutan (Marwantoet al.,2009).

Page 26: Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan … KEYNOTE SPEAKER.pdf · menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya ... Sistem pemasaran

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN 979-587-529-9

26

d. Pemanenan air

Di daerah iklim arid dan semi-arid jumlah curah hujan yang turun dalam setahun

rendah, dan laju evapoprasi yang tinggi selama musim pertanaman. Hujan yang turun

biasanya lebat dan tanah tidak dapat menyerap semua air hujan yang volumenya besar

dalam waktu singkat sehingga volume air limpasan-permukaan (runoff) besar yang pada

gilirannya menyebabkan defisit air bagi budidaya tanaman pangan, perkebunan, dan

ternak. Dengan demikian pemanenan air hujan terutama di musim hujan mutlak dilakukan

di lahan sub-optimal beriklim kering dengan berbagi teknik yang telah banyak

dikembangkan.

Konservasi air merupakan salah satu usaha untuk menekan penurunan produksi

pertanian di lahan kering karena perubahan iklim, yaitu dengan memaksimumkan air hujan

masuk ke dalam tanah dan meminimalkan aliran permukaan (Haryati, 2009).Pemanenan

air hujan dapat menekan aliran permukaan dan meningkatkan produksi beberapa tanaman

pangan di DAS Kaligarang Semarang (Rejekiningrum dan Haryati, 2002).BadanLitbang

Pertanian (2010) telah menghasilkan danmengembangkan beberapa teknologi

pengelolaansumberdaya air, antara lain teknologi panen air (waterharvesting), yaitu

embung dan dam parit, disamping berbagai teknik lain yang dapat diaplikasikan seperti

metoda kendi, guludan, micro catchment, lubang resapan.

Hasil penelitian pemanenan air hujan dengan membangun teras gulud di kebun

kelapa sawit Rejosari, PT Perkebunan Nusantara VII, Lampung oleh Murtilaksono et al.

(2009) dapat menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) lebih tinggi 21,5% dari pada tanpa

perlakuan teras gulud dan layak secara ekonomi (Murtilaksono et al., 2011).

6. Pertanian terpadu (tanaman pangan, kebun, dan ternak)

Sistem pertanian terpadu yang menggabungkan budidaya pertanian tanaman

pangan, perkebunan, dan peternakan bahkan perikanan secara bersama dalam waktu dan

lokasi yang sama dapat mengefisienkan penggunaan sumberdaya alam termasuk input

produksi, terlebih pada lahan sub-optimal kering masam dan iklim kering yang mempunyai

banyak keterbatasan.

Sistem pertanian terpadu dimaksudkan untuk membuat siklus hara dikembangkan

dalam jarak dekat. Dalam hal ini “keluaran” dari subsistem satu yang berupa limbah dapat

menjadi “masukan” bagi subsistem lainnya, dalam jarak yang tidak jauh. Sebagai contoh

dalam sistem pertanian-peternakan, sebagian kebutuhan pupuk kandang untuk pertanian

tanaman dapat dipenuhi dari limbah peternakan, sementara sebagian kebutuhan pakan

ternak dapat dipenuhi dari limbah pertanian tanaman. Dalam sistem agroforestry, tanaman

tahunan akan mengekstrak hara pada solum tanah yang lebih dalam, sehingga

pengembalian limbah organik dari tanaman tahunan akan dapat meningkatkan total hara

bagi kebutuhan tanaman setahun/ semusim yang lebih banyak mengekstrak hara pada

solum tanah yang lebih dangkal.

Di lahan sub-opimal diperlukan pengembangan model pertanian (farming) berbasis

lingkungan dan terintegrasi (Pertanian Ramah Lingkungan, PRL) dengan berbagai varian

dan derivasinya (Haryono, 2013). Model usahatani terpadu tanaman jagungdan

tanamanpakan ternak dengan sapi Bali, dapat memberikan keuntunganganda bagi petani,

dan sangat cocok diterapkanpada hampir semua kondisi agroekologi lahan kering diNTB.

Penerapan model tersebut juga akan dapatmeningkatkan kapasitas petani untuk

memelihara ternaksapi dengan baik, yaitu dari 1 – 2 ekor menjadi 4 – 6 ekor perpetani

(Priyono et al., 2012). Hal yang sama telah berhasilkan dilakukan oleh bapak Sri

Tejowulan dosen Universitas Mataram dalam skema proyek SCBFWM yang didanai oleh

Page 27: Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan … KEYNOTE SPEAKER.pdf · menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya ... Sistem pemasaran

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN 979-587-529-9

27

UNDP 5 tahun terakhir. Diharapkan setelah proyek berakhir, sistem pertanian terpadu

tersebut tetap berlanjut karena sudah menjadi bagian kehidupan masyarakat yang terlibat.

Strategi yang termasuk dalam syarat cukup dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Penyediaan input produksi pertanian.

Produksi tanaman pertaninan setahun dan tahunan yang dibudidayakan tidak akan

mencapai produksi yang diinginkan jika input produksinya tidak dipenuhi terlebih di lahan

sub-optimal kering masam dan iklim kering yang banyak kendalanya. Untuk itu,

pemenuhan input produksi pertanian mutlak harus diupayakan dan dilaksanakan.

Pemerintah hendaknya memfasilitasi penyediaan input produksi pertanian agar petani lebih

mudah mendapatkannya di lapang.

2. Perbaikan infrastruktur.

Pemenuhan atau pasokan asupan produksi ke lokasi atau lahan petani dan penjualan

produk pertanian langsung ke pasar tanpa melalui banyak rantai pemasaran memerlukan

kecukupan infrastruktur agar produksi bisa maksimal dan petani sejahtera. Sobir (2013)

2013) mengemukanan bahwa lahan sub optimal belum yang banyak dimanfaatkan karena

belum tersedianya infrastruktur yang diperlukan, baik terkait dengan system

produksilangsung seperti sistem pengelolaan air, sistem irigasi, maupun penanganan pasca

panen,maupun sarata pendukung seperti jalan akses utama, jalan usaha tani, maupun

systempenyediaan sarana produksi lapang. Sementara itu, Mulyani dan Syarwani (2013)

menyatakan bahwa dukungan infrastruktur, sarana dan fasilitasi sesuai kebutuhan

masyarakat dan sesuai dengan tipologi lahannya, sehingga petani mempunyai akses yang

mudah dalam memenuhi input produksi.

3. Pelatihan, pendampingan, dan pemberdayaan.

Peningkatan kapasitas petani dalam berusahatani yang masih relatif tertinggal di lahan

sub-optimal dibanding pada lahan sawah beririgasi teknis (Mulyani dan Syarwani, 2013).

Unutk itu diperlukan pelatihan budidaya pertanian, perkebunan, dan peternakan di lahan

sub-optimal kering masam dan iklim kering. Agar para petani dapat menerapkan teknologi

yang dilatihkan secara benar dan baik serta berkelanjutan maka masih diperlukan

pendampingan oleh penyuluh atau lembaga swadaya masyarakat. Selanjutnya, pemerintah

perlu memfasilitasi pemberdayaan para petani tersebut agar peningkatan pendapatan dan

kesejahteraannya tercapai.

4. Pengembangan teknologi.

Hasil penelitian aplikasi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) di lahan sub-optimal

kering masam menunjukkan peningkatan produksi tanaman kedelai dapat dicapaidengan

baik (Jumakir dan Endrizal, 2013) juga pada komoditi-komoditi lainnya. Selanjutnya,

pengembangan lahan subpotimal harus diiringi dengan pemacuan inovasi teknologi yang

diasimilasikan dengan kearifan lokal sesuai dengan tipologi lahan disamping

pengembangannya (Irianto, 2009). Akselerasi pengembangan dan diseminasi inovasi

tenologi pertanian, terutama adalah terhadap verietas unggul, teknologi pemupukan, alat

mesin pertanian, pasca panen dan model faming ramah lingkungan (Haryono, 2013),

disamping pengembangan jenis dan varietas adaptif (Lakitan dan Gofur,

2013).Pengembanganvarietasunggulspesifiklokasibahkanspesifikpermasalahanlahan sub-

optimal sepertiterhadaptoksisitasaluminium, atauterhadapkondisihara minimal

Page 28: Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan … KEYNOTE SPEAKER.pdf · menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya ... Sistem pemasaran

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN 979-587-529-9

28

perludiupayakansebagaistrategijangkapanjang.Hal serupa perlu juga dilakukan dalam

mengantisipasi perubahan iklim global.

5. Pengendalian konversi lahan pertanian.

Budidaya tanaman pertanian terutama tanaman pangan atau tanaman setahun yang sudah

lama diusahakan dan memberikan keuntungan bagi petani akan sangat merugikan petani

dalam jangka panjang apabila dikonversikan ke pemanfaatan lainnya walaupun secara

ekonomi sesaat (jangka pendek) sangat memberikan nilai ekonomi yang tinggi. Lebih jauh

akan mengancan ketahanan dan kemandirian pangan nasional. Effendi dan Haridjaja

(2009).menyatakan bahwa perilaku petani terhadap konversi lahan sawah dipengaruhi oleh

pengembangan kawasan industri, desakan kebutuhan hidup, dan harga jual lahan (land

rent) yang tinggi.

6. Kelembagaan yang berdaya.

Kelembagaan merupakan bangunan dasar yang mewadahi semua kegiatan untuk

pencapaian tujuan yang telah disepakati oleh stakeholders. Dalam kelembagaan diatur tata

hubungan kerja pemangku kepentingan dan organisasinya, aturan formal dan informal

serta keterwakilan masing-masing pemangku kepentingan. Haryono (2013) menyatakan

bahwa pemberdayaan petani dan pengembangan sistem kelembagaan dalam berbagai sub-

sistem agribisnis pedesaan, mulai dari saprodi, alat mesin pertanian hingga pemasaran

menentukan keberhasilan pencapaian target ketahanan pangan.

Sobir (2013) mengemukakan bahwa rantai perjalanan hasil pertanian terutama

tanaman pangan (padi, jagung, kedele) dari lahan pertanian sub-optimal diatur dan ditata

dengan kelembagaan yang kuat dan berdaya sedemikian rupa sehingga harga di pasar atau

konsumen dapat bersaing dengan produk pertanian dari lahan optimal/subur yang lebih

sedikit memerlukan input produksi. Untuk itu diperlukan dukungan diseminasi teknologi

yang efektif, sarana input produksi, dan modal yang memadai.

KESIMPULAN

Untuk pemenuhan kebutuhan pangan nasional (ketahanan dan kedaulatan) yang

bersumber dari tanaman setahun (padi, jagung, kedele), perkebunan, dan peternakan masih

terbuka luas potensi lahan sub-optimal kering masam dan iklim kering walaupun berbagai

kendala yang melekat pada karakteristik lahan tersebut perlu dipecahkan.

Strategi yang dapat ditempuh untuk pencapai tujuan ketahanan dan kedaulatan

pangan dikelompokkan menjadi dua yaitu syarat perlu (necessary condition) dan syarat

cukup (sufficient condition). Teknologi tepat guna dan spesifik lokasi meliputi pemetaan

kemampuan dan kesesuaian, pewilayahan komoditas, analisis usahatani, optimalisasi

pemanfaatan lahan, aplikasi agroteknologi, dan pertanian terpadu sebagai syarat perlu.

Teknologi tepat guna dan spesifik lokasi untuk syarat cukup meliputi penyediaan

input produksi pertanian, perbaikan infrastruktur, pelatihan pendampingan pemberdayaan,

pengembangan teknologi, pengendalian konversi lahan pertanian, dan penataan

kelembagaan.

Page 29: Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan … KEYNOTE SPEAKER.pdf · menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya ... Sistem pemasaran

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN 979-587-529-9

29

Kendala dan Modal Sosial dalam Pengelolaan Lahan Suboptimal untuk

Meningkatkan Kesejahteraan Petani Tradisional

Contraints and Social Capital in Managing Suboptimal Land to Increase

the Welfare of Traditional Farmers

Andy Mulyana

Dosen Program Studi Agribisnis dan Ketua Program Magister Agribisnis

Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya

e-mail : [email protected]

ABSTRACTS

Suboptimal lands which categorized as acid dry land, rain-fed land, tidal swamp land and

lowland swamp have unavoidably become alternatives of our efforts to increase food

commodity productions since the production from fertile and coventional irrigated land in

Java and other islands is certainly reducing. Although biophysical and chemical

constraints of the suboptimal lands that make the majority can only be cultivated once a

year and perform low yields, new technology innovations have been developed and proven

appropriate to be implemented for increasing cropping intensity as well as raising

productivities. The efforts would be more effective when at the same time accompanied

by activating social capital of traditional farmers at the location by internally strengthening

family ties and rebuilding trust among them, awakening work ethic, activating mutual

cooperation and local wisdom in operating their farm, and others. A group of farmers has

to externally bridge relationship with other groups, and with government which can also

build up a broader network with other stakeholders in term of business and open access to

obtain economic resources for maintaining and improving the performances of the group,

other farmer groups or organizations.

Keywords : social capital, suboptimal land, traditional farmers, food commodities

ABSTRAK

Lahan suboptimal yang terdiri atas lahan kering masam, lahan sawah tadah hujan lahan

rawa pasang surut, dan lahan rawa lebak saat ini menjadi alternatif upaya kita

meningkatkan produksi komoditi pangan karena produksi dari lahan subur dan sawah

irigasi konvensionalnya di Jawa dan pulau lainnya sudah berkurang akibat banyak

dikonversi ke penggunaan lain atau tingkat produktivitasnya sudah melandai. Meskipun

kendala biofisik dan kimiawi pada lahan suboptimal yang mayoritas hanya dapat ditanami

satu kali (IP 100) dan produktivitasnya lebih rendah, secara teknis telah cukup banyak

inovasi teknologi untuk meningkatkan intensitas pertanaman dan produksi komoditi

pangan. Upaya itu akan lebih efektif apabila disertai dengan memanfaatkan modal sosial

para petani tradisional di lahan tersebut yang secara internal berarti memperkuat ikatan di

antara mereka yaitu mempererat hubungan kekeluargaan dan membangun kembali

kepercayaan anatra satu dengan yang lainnya, membangkitkan etos kerja, mengaktifkan

kebiasaan gotong royong dan kearifan lokal dalam berusahatani, dan lainnya; Secara

eksternal perlu terus dibangun kerjasama yang aktif dengan kelompok petani lain, dan

dengan pemerintah yang dapat juga mejadi jembatan sekaligus penguat kerjasama lebih

luas dengan pemangku kepentingan lainnya dalam hal bisnis maupun kemudahan akses

Page 30: Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan … KEYNOTE SPEAKER.pdf · menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya ... Sistem pemasaran

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN 979-587-529-9

30

memperoleh sumberdaya ekonomi lain untuk pemeliharaan dan perbaikan sistem dan

kinerja organisasi/kelompok organisasi tersebut.

Kata kunci : modal sosial, lahan suboptimal, petani tradisional, komoditi pangan

PENDAHULUAN

Penduduk Indonesia diproyesikan Badan Pusat Statistik akan mencapai 293,88 juta

jiwa pada tahun 2025, yang berarti akan mengalami kenaikan 56,24 juta jiwa dari

penduduk tahun 2010. Dengan laju pertumbuhan penduduk sekitar 1,43 persen per tahun

diperlukan tambahan penyediaan bahan pangan yang cukup banyak per tahun. Oleh

karena itu dari kebutuhan beras pada 2012 sekitar 26,08 juta ton akan terjadi peningkatan

menjadi 31,35 juta ton pada tahun 2025. Namun demikian yang perlu dicermati adalah saat

ini saja produktivitas padi mengalami pelandaian (levelling off) sehingga menyebabkan

turunnya penyediaan stok pangan nasional, dan akan berdampak melemahkan ketahanan

pangan nasional Indonesia.

Beberapa hal yang mempengaruhi kondisi kritis ketahanan pangan nasional

Indonesia yakni: (1) meningkatnya alih fungsi lahan pertanian, khususnya lahan sawah

menjadi lahan non pertanian, (2) menurunnya ketersediaan air sebagai dampak dari

meningkatnya kerusakan DAS (Daerah Aliran Sungai) dan perubahan iklim global, dan (3)

meningkatnya kerusakan infrastruktur irigasi (Hafif, 2013). Berlangsungnya fenomena

penyusutan luas lahan pertanian, terutama lahan persawahan di pulau Jawa dan sekitar

kota-kota besar sudah cukup memprihatinkan yang berakibat pada melambatnya laju

kenaikan produksi bahan pangan, terutama beras yang malah dapat menurun setelah

selama ini dominan dikontribusi dari Jawa.

Maraknya alih fungsi lahan di Jawa tersebut telah dicari alternatifnya dengan

memanfaatkan lahan di luar Jawa yang mayoritas terkategori suboptimal dan meliputi

lahan kering masam, lahan sawah tadah hujan, lahan rawa pasang surut dan lahan lahan

rawa lebak. Dari beberapa kajian yang dirangkum Hafif (2013) dikemukakan bahwa lahan

kering masam dikategorikan suboptimal karena tanahnya kurang subur/miskin hara,

bereaksi masam, mengandung Al, Fe, dan atau Mn dalam jumlah relatif tinggi sehingga

dapat meracuni tanaman. Lahan masam pada umumnya miskin bahan organik dan hara

makro seperti N, P, K, Ca, dan Mg. Sawah tadah hujan juga dikategorikan sebagai lahan

sub-optimal karena tanahnya yang kurang subur dan kurangnya ketersediaan air.

Produktivitas padi di sawah tadah hujan relatif rendah yakni kisaran 3 – 3,5 ton/ha dan

masih sangat berpeluang ditingkatkan. Agroekosistem lahan suboptimal lainnya adalah

lahan rawa yaitu rawa pasang surut dengan masalah utama kesulitan dalam mengatur tata

air, adanya lapisan pirit, lapisan gambut tebal, dan intrusi air laut, sementara di lahan

rawa lebak ada kesulitan untuk memprediksi dan mengatur tinggi muka air dan

kemasaman tanah.

Secara alamiah di Indonesia terdapat sekitar 123,1 juta ha lahan kering dan 34,1 juta

ha lahan basah (rawa). Lahan kering terluas merupakan lahan kering masam atau lahan

kering beriklim basah yang tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, terutama di

Sumatera, Kalimantan dan Papua. Lahan kering beriklim kering seluas 13,3 juta ha,

tersebar di Jatim, Bali, NTT, NTB. Sementara lahan subopimal basah terdiri dari 14,9 juta

ha lahan gambut, kemudian seluas 11,0 juta ha berupa lahan rawa pasang surut, dan 9,3

juta ha berupa lahan rawa lebak (Haryono, 2013). Pada dasarnya apabila mengandalkan

luas areal lahan suboptimal yang tersedia dan dengan estimasi produktivitas berdasarkan

rata-rata eksistensi kemampuannya antara 3 – 4 ton per Ha, maka jumlah produksi nasional

Page 31: Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan … KEYNOTE SPEAKER.pdf · menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya ... Sistem pemasaran

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN 979-587-529-9

31

diestimasi dapat mencapai tidak kurang dari 90 juta ton GKG atau sekitar 54 juta ton beras.

Namun persoalannya tidak sesederhana itu karena potensi lahan itu tidak dapat

dikhususkan untuk produksi padi saja dan banyak aspek lain yang perlu dipertimbangkan.

Sampai saat ini, yang relatif menjadi fokus perhatian untuk menjadi alternatif areal

produksi padi adalah lahan rawa pasang surut dan rawa lebak, dibandingkan lahan kering.,

karena ketersedaan air yang dibutuhkan sebagai salah satu kebutuhan utama untuk

pertumbuhan padi lebih mencukupi dibandingkan di lahan kering, minimal di Sumatera

Selatan. Selain itu, potensi untuk mengembangkan usahatani atau membudidayakan

komoditi lain juga cukup besar.

ILUSTRASI KERAGAAN DAN KENDALA SOSIAL EKONOMI

PENGELOLAAN LAHAN SUBOPTIMAL DI SUMATERA SELATAN

Usahatani yang dikembangkan di salah satu jenis lahan suboptimal, yaitu lahan

pasang surut adalah usahatani kelapa dalam, kopi, pisang, kelapa sawit dan karet yang

menjadi sumber penghidupan ekonomi keluarga petani selain padi. Para petani di kawasan

pasang surut ini, khususnya di Sumatera Selatan, didominasi oleh transmigran dari Pulau

Jawa kemudian diikuti oleh pendatang dari Sulawesi Selatan. Sementara, penduduk lokal

pada awalnya dan hingga saat ini lebih banyak berusaha pada kegiatan penangkapan ikan

sungai dan ikan laut. Sebagian dari penduduk yang tidak tercukupi kebutuhan hidupnya

dari kegiatan usahatani tersebut mencari kegiatan usaha non pertanian dengan menjadi

buruh tani atau buruh bangunan karena memang ketersediaan tenaga kerja di kawasan ini

relatif terbatas. Ternyata pendapatan para petani tersebut bervariasi antar empat tipologi

lahan pasang surut lokasi mereka berusaha, yaitu yang terendah sekitar Rp 29,39 juta – Rp

30,99 juta padaTipe D, hingga mencapai Rp 56,6 juta – Rp 59,1 pada tipe A , artinya untuk

ukuran anggota sebanyak 4 orang setiap KK petani di pasang surut memperoleh

pendapatan antara Rp 2,5 juta – Rp 5 juta per bulan. Kontribusi dari tanaman padi relatif

kecil hanya sekitar 20 % dengan tingkat produksi gabah maksimum 3,04 ton pada luas

lahan sekitar1,5 ha (Zuriah, 2013). Selain itu para petani yang usahatani utamanya

tanaman padi memperoleh pendapatan kurang lebih Rp 13,25 juta dari luas lahan sekitar

1,59 ha, dan total pendapatan yang diperoleh dengan tambahan usahatani komoditi lain

maupun usaha non usahatani mencapai rata-rata Rp 22,20 juta (Wahyuni, 2014).

Begitu pula untuk kehidupan keluarga petani di lahan suboptimal lainnya yaitu lahan

lebak dan tadah hujan yang mengandalkan kehidupannya pada usahatani padi ternyata

tidak dapat mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga, sehingga mesti ditambah dengan

sumber mata pencaharian lain. Hasil penelitian Mulyana et al (2014) menunjukkan bahwa

pendapatan usahatani padi per ha per musim tanam di ketiga tipologi lahan suboptimal

rata-rata 20 % lebih rendah dibandingkan pendapatan di lahan irigasi, dan sebagian besar

intensitas penanaman padinya hanya 100 (satu kali tanam per tahun) dibandingkan di

lahan irigasi yang IP-nya minimal 200.

Deskripsi tersebut mengindikasikan bahwa pada kondisi sistem usahatani dan

produksi padi lahan suboptimal pada saat ini, pendapatan dan kesejahteraan petani hanya

dapat ditingkatkan dengan mendiversifikasikan atau menambah usaha ekonom keluarga

petani. Dari ketersediaan air, pada lahan pasang surut dan lahan lebak sebenarnya terdapat

potensi untuk melakukan penanaman padi pada musim kedua, dan sebenarnya sudah

dilakukan di beberapa lokasi (Djafar, 2013; Hutapea dan Thamrin, 2013.) Hal itu

dimungkinkan karena, selain pengembangan teknolog budidayanya, juga tersedia waktu

luang pada tenaga kerja keluarga yang masih dapat dimanfaatkan untuk berkegiatan

ekonomi produktif sebagaimana diungkapkan oleh Lifianthi et al (2013). Sebenarnya

potensi peningkatan pendapatan petani dengan berbagai alternatif tersebut sudah

Page 32: Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan … KEYNOTE SPEAKER.pdf · menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya ... Sistem pemasaran

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN 979-587-529-9

32

terinventarisasi beberapa tahun lalu. Namun demikian masih terdapat kendala non teknis

yang perlu diatasi, terutama yang terkait dengan aspek ekonomi, sosial dan kelembagaan

petani. Untuk aspek ekonomi dan kelembagaan, kendala yang umum mencuat antara lain

rendahnya minat dan kemampuan enterpreneurship petani, lemahnya sistem kelembagaan

untuk memfasilitasi dan melindungi usahatani masyarakat, dan aplikasi teknologi yang

rendah terutama karena terkendala oleh kapasitas finansial petani yang tidak memadai

(Lakitan dan Gofar, 2013).

Sudah banyak diketahui kendala ekonomi yang cukup menonjol adalah lemahnya

asesibilitas petani ke sumber pinjaman modal untuk mengatasi kekurangan biaya usahatani

pada musim pertama, apalagi untuk musim kedua yang menghadapi resiko lebih rendahnya

produksi dibandingkan hasil musim pertama. Berbagai kelembagaan yang dikembangkan

baik yang bersifat peraturan, program maupun organisasi petani pada dasarnya bertujuan

membantu petani mengatasi masalah yang dihadapinya, dan sebagian telah menunjukkan

hasil sesuai dengan harapan. Namun demikian untuk sebagian petani lain yang belum

berhasil, terdapat kendala lain yang sering kurang dipertimbangkan yaitu kendala sosial

yang mestinya dapat diatasi dengan mengoptimalkan modal sosial yang mereka miliki.

MENGAPA PERLU MEMPERHATIKAN MODAL SOSIAL ?

Para petani kita, baik yang dikategorikan tradisional maupun yang relatif maju dan

sangat maju pada kehidupan dan lingkungannya masing-masing minimal memiliki empat

modal untuk meningkatkan kejahteraan kehidupannya, yaitu dari alam (natural capital),

modal SDM-nya (human resources capital), modal ekonomi moderen (modern economic

capital) dimana teknologi termasuk di dalamnya, dan yang sering diabaikan adalah modal

sosial (social capital) seperti kearifan lokal, norma dan kebiasaan setempat, serta

kelembagaan yang berlaku dan berfungsi pada masyarakat lokal. Mawardi (2007)

menyatakan bahwa modal sosial adalah sumberdaya yang dapat dipandang sebagai

investasi untuk mendapatkan sumber daya baru. Dimensi modal sosial luas,kompleks dan

lebih dari sekedar modal manusia (human capital yang terfokus pada dimensi daya,

keahlian dan manajerial yang dimiliki oleh setiap individu. Modal sosial lebih

menekankan pada potensi kelompok dan antar kelompok dengan cakupan meliputi jaringan

sosial, nilai/norma, dan kepercayaan antar mereka yang tumbuh dari para anggotanya

sendiri dan kemudian menjadi norma kelompok tersebut. Oleh Bank Dunia (2001) secara

mendasar disebutkan bahwa modal sosial dari suatu masyarakat mencakup kelembagaan,

hubungan/pertalian, dan sikap/pendirian dan nilai-nilai di antara manusia dan memberikan

kontribusi terhadap pembangunan ekonomi dan sosial. Pemikiran tentang hubungan,

jaringan, norma dan nilai-nilai sosial tersebut dalam kefungsian dan pembangunan

masyarakat telah lama hadir dalam literature ilmu ekonomi, sosiologi, antropologi dan

ilmu politik. Namun demikian baru sejak era 1990-an muncul ide modal sosial

mengemuka sebagai konsep yang eksistensi menyatu dalam pandangan multidisiplin

tersebut. Modal sosial memiliki spektrum yang lebih luas, yaitu sebagai perekat yang

mejaga kesatuan anggota kelompok secara bersama-sama. Kearifan lokal relevan juga

untuk diakategorikan sebagaisalah satu unsur modal sosial.

Ada tiga fungsi berbeda tapi saling melengkapi yang dapat dicapai ketika modal

sosial berkembang, yaitu (1) menyediakan kontrol sosial dan pemberlakuan kerangka

normatif yang disepakati (prosedur, peraturan dan penilaian asktivitas), (2) sumber

dukungan dari anggota lain dalam lingkup kelompok yang sudah terikat, dan (3) sumber

manfaat melalui jaringan organisasi/kelompok yang lebih luas (Portes, 1998). Selanjutnya

Hoogesteger (2013), mengutip Putnam (2000), mengemukakan istilah bonding (ikatan)

yang diterapkan secara internal dalam organisasi/kelompok, dan bridging (menjembatani)

Page 33: Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan … KEYNOTE SPEAKER.pdf · menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya ... Sistem pemasaran

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN 979-587-529-9

33

yang dimaksudkan untuk membentuk jaringan kerjasama eksternal dengan pemangku

kepentingan lain, dan kemudian diperkuat dengan konsep bracing (penguatan) terhadap

kerjasama tersebut, termasuk memperoleh kemudahan akses sumberdaya dari luar untuk

pemeliharaan dan perbaikan sistem dan kinerja organisasi/kelompok tersebut.

Selain itu dikemukakan pula oleh Grootaert dan van Bastelaer (2001) bahwa modal

sosial dipakai untuk menjelaskan perolehan manfaat yang dapat diturunkan dari perkalian

aset masyarakat yang eksis, seperti kepercayaan, hubungan timbal balik dan kerjasama,

nilai-nilaii dan norma yang disepakati bersama, sikap proaktif dan kepemimpinan, dan

komitmen kemasyarakatan yang kuat. Semuanya itu dapat diturunkan dari interaksi dan

partisipasi dalam suatu jaringan sosial yang kuat dalam suatu komunitas masyarakat.

Modal sosial yang bernilai tinggi biasanya diindikasikan oleh anggota-anggota masyarakat

yang menunjukkan rasa memiliki yang kuat, keinginan untuk berpartisipasi dalam kegiatan

masyarakat, dan komitmen untuk secara aktif bekerja dalam rangka meningkatkan

kesejahteraan masyarakat tersebut. Pada masyarakat seperti itu, tumbuh kuat rasa saling

mempercayai (trust), keterikatan secara kultural dan sosial (bonds) di antara masyarakat

setempat, dan daya tawat dalam interkasi (bridges/links) dengan komunitas lain.

World Bank (2014) menyebutkan bahwa ada beberapa sumber tumbuh dan

berkembangnya modal sosial, yaitu

a. Keluarga : Sebagai sumber utama kesejahteraan ekonomi dan sosial bagi

anggotanya, keluarga adalah adalah blok bangunan pertama dalam melahirkan

modal sosial untuk masyarakat yang lebih luas.

b. Komunitas : Interaksi sosial di antara tetangga, teman dan kelompok melahirkan

modal sosial dan kemampuan untuk bekerjasama mengelola barang umum. Hal ini

penting khususnya bagi keluarga miskin sebagai modal sosial dapat dipakai sebagai

pengganti modal manusia dan fisik.

c. Perusahaan : Membangun dan mempertahankan organisasi yang efisien seperti

perusahaan membutuhkan kepercayaan, rencana dan tujuan yang rasional yaitu

modal sosial, dimana perusahaan memperoleh manfaat dengan mengurangi biaya

transaksi, tetapi dapat pula berpengaruh negatif terhadap perusahaan dan

masyarakat.

d. Masyarakat Sipil : Modal sosial sangat penting bagi suksesnya setiap organisasi

non- pemerintah karena ia menyediakan peluang bagi partisipasi dn memberi suara

kepada mereka yang mungkin tidak dapat menembus institusi yang lebih formal

untuk mempengaruhi perubahan.

e. Sektor Publik : Negara dan lembaga-lembaganya berperan sentral untuk

berfungsinya dan sejahteranya semua masyarakat.

f. Etnis : Hubungan etnis sering muncul dalam diskusi modal sosial. Apakah itu

imigrasi, pengembangan perusahaan kecil, nepotisme kesukuan atau konflik rasial,

ikatan etnis adalah contoh yang jelas bagaimana para pelaku yang berbagi nilai dan

biaya bersama dapat tampil bersama untuk memperoleh manfaat yang saling

menguntungkan.

g. Gender : Jaringan sosial di kalangan perempuan dengan hak gendernya berperan

penting bagi para perempuan untu memperoleh pendapatan dan kebutuhan lainnya.

PENGERTIAN DAN CIRI PETANI TRADISIONAL

Agar terdapat persepsi yang sama dalam memahami yang dimaksud dengan petani

tradisional, maka dalam konteks ini perlu dikemukakan pengertiannya. Setelah

mempelajari literatur yang membahasnya pada negara-negara yang berbasis pertanian,

diperoleh padanan kata petani tradisional yaitu peasant, yang ciri-cirinya dibedakan

Page 34: Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan … KEYNOTE SPEAKER.pdf · menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya ... Sistem pemasaran

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN 979-587-529-9

34

dengan farmer atau tegasnya commercial farmers (petani komersial). Campesina seperti

yang dikutip Edelman (2013) mennyatakan bahwa seorang peasant adalah seorang lak-laki

atau perempuan pemilik lahan, yang memliki hubungan langsung dan khusus dengan

lahannya itu dan alam sekitarnya melalui produksi pangan dan/atau produk pertanian

lainnya. Para petani tersebut mengelola lahannya sendiri dan mengandalkan tenaga kerja

keluarga untuk membantunya bekerja, dan sebagian kecil dibantu tenaga kerja luar

keluarga di sekitarnya. Petani itu juga secara tradisional menjadi bagian dari masyarakat

lokal, dan mereka bersama memelihara alam dan sistem agroekologi di wilayah mereka.

Istilah peasant atau petani tradisional ini berlaku bagi setiap orang yang terlibat dalam

kegiatan pertanian, pemeliharaan dan pengembalaan hewan ternak, kerajinan yang terkait

dengan pertanian atau pekerjaan lain di suatu desa. Hasil yang diperoleh sebagian besar

untukdikonsumsi sendiri, kalau berlebih baru dijual ke pasar untuk memperoleh

pendapatan tunai.

Dikemukakan juga istilah peasant oleh FAO yaitu (1) rumah tangga tenaga kerja

pertanian yang tidak atau hanya memiliki lahan yang sempit, (2) rumah tangga non

pertanian di pedesaan dengan sedikit atau tidak memiliki lahan, yang anggota keluarganya

terlibat beragam kegiatan seperti memancing/mencari ikan, membuat kerajinan tangan

untuk dijual di pasar lokal, atau menawarkan jasa pekerjaan tertentu, dan (3) rumah tangga

desa lainnya yang menjadi pengembala ternak, yang melakukan ladang berpindah, berburu

dan pengumpul hasil hutan, dan masyarakat yang mirip kehidupanya.

Dengan lebih praktis untuk kasus di Indonesia, petani tradisional dapat di

deskripsikan sebagai petani yang dominan menggunakan tenaga kerja keluarga, namun

sewaktu-waktu atau secara musiman dapat menggunakan tenaga kerja luar keluarga

melalui sistem gotong royong atau tenaga upahan yang dibayar berupa bagi hasil produksi

menurut kebiasaan atau budaya yang berlaku. Petani tradisional hanya menjual sebagian

hasil produksi pertaniannya, karena sebagian lainnya mereka konsumsi. Berbeda dengan

itu petani komersial lebih cenderung mengelola usahataninya sebagai agribisnis dengan

orientasi mencapai keuntungan keuntungan maksimum dari penjualan komoditinya.

Meskipun ada pertani komersial yang masih mengunakan tenaga kerja keluarga, mayoritas

mereka lebih banyak menggunakan tenaga kerja upahan.

Dengan demikian berarti petani di lahan suboptimal yang memiliki ciri-ciri yang

sama dengan peasant itulah yang dimaksud dengan petani tradisional dalam makalah ini.

Ciri yang melekat pada petani tradisional adalah usahataninya kecil, mayoritas

menggunakan tenaga kerja dalam keluarga, sikap gotong royong atau kerjasama satu sama

lain, memiliki hubungan kepercayaan dan kolektivitas yang kuat di antara mereka sendiri

dan memiliki hubungan panutan dan pengikut (patron-client) dengan tokoh atau pelaku

ekonomi mapan di desanya. Selain itu kehidupan ekonomi mereka berada sedikit di atas

atau pada garis batas subsistensi, lebih dominan berorientasi melindungi kehidupan

ekonomi keluarga dan enggan mengambil resiko, tidak mudah diyakinkan untuk

mengadopsi tekonologi baru.

MENGGIATKAN MODAL SOSIAL UNTUK PENINGKATAN

KESEJAHTERAAN PETANI TRADISIONAL

Berdasarkan pengertian modal sosial dan ciri petani tradisional, serta dikombinasikan

dengan kendala yang dihadapi pada lahan suboptimal, maka masalahnya adalah bagaimana

mengelola lahan suboptimal untuk meningkatkan kesejahteraan petani tradisional ? Tentu

tidak mudah, namun tentu ada cara untuk melakukannya yaitu antara lain dengan

memanfaatkan modal sosial yang hidup dan berkembang di kalangan masyarakat

tradisional.

Page 35: Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan … KEYNOTE SPEAKER.pdf · menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya ... Sistem pemasaran

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN 979-587-529-9

35

Setiap individu petani maupun masyarakat tidak bisa lepas dari lingkungan sosial,

yaitu lingkungan masyarakat yang didalamnya terdapat interaksi antar individu tersebut

sebagai anggota maupun tidak atau sekedar sebagai rujukan. Santosa (2004) dalam

penelitiannya menyimpulkan bahwa lingkungan sosial memiliki pengaruh besar terhadap

perilaku adaptif petani. Foster seperti yang dikutip Yunita (2011) menyatakan bahwa

kegiatan manusia dalam kelompok sosial dipengaruhi oleh sistem sosial, budaya dan

psikologi kelompok atau masyarakat tempat orang tersebut berada. Perubahan masyarakat

dapat terjadi karena beberapa unsur saling berinteraksi satu dengan lainnya. Hasil interaksi

itulah yang dikenal sebagai suatu sistem sosial.

Selanjutnya, mengutip Mardikanto (1993), dikemukakan pula bahwa petani sebagai

pelaksana usahatani adalah manusia yang di setiap pengambilan keputusan untuk usahatani

tidak selalu dapat dengan bebas melakukannya sendiri, tetapi sangat ditentukan oleh

kekuatan-kekuatan di sekelilingnya. Dengan demikian, jika ia ingin melakukan

perubahan-perubahan untuk usahataninya, ia juga harus memperhatikan pertimbangan-

pertimbangan yang diberikan oleh lingkungan sosialnya. Sumarti (2003) menyebutkan

bahwa interaksi sosial adalah titik awal berlangsungnya suatu peristiwa sosial yang

dinamis menyangkut hubungan antara orang perorangan, antara kelompok-kelompok

manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia.

Deskripsi di atas ketika dihubungkan dengan kondisi dan dinamika kehidupan petani

tradisional di lahan suboptimal, minimal di lahan pasang surut dan rawa lebak,

menunjukkan bahwa memang dalam mengelola lahan pertaniannya dengan berbagai

kendala yang dihadapi, selain pengembangan dan aplikasi teknologi, penting untuk

menggiatkan modal sosial baik yang bersumber dari internal keluarga, antar tetangga,

maupun dari kerjasama yang dibangun dengan pihak luar yang kompeten. Hal ini relevan

karena petani tradisional akan kuat ketika melakukan kerjasama berbasis kepercayaan di

antara mereka dengan ikatan kekeluargaan yang kuat dan kegiatannya akan menjadi lebih

efisien dibandingkan secara individual.

Upaya menggugah eksistensi dan mengiatkan modal sosial selama ini umumnya

dilakukan melalui pendekatan kelompok dan banyak memberikan hasil yangs efektif

sekaligus afeisien ketika semua anggota kelompok petani merespon aktif gagasan

menerapkan teknologi, cara atau produk dalam rangka memperbaiki produktivitas dan

pendapatan mereka. Diseminasi dan adopsinya dapat berlangsung lancar dan

menampakkan hasil memuaskan sesuai harapan, meskipun pada beberapa kasus relatif

lambat kemajuannya. Semua sumber dan eleman modal sosial untuk kondisi ini tentu lebih

mudah untuk digerakkan (atau bahkan dapat bergerak sendiri) dalam mengelola usahatani

tanaman pangan dan usaha pertanian lainnya, usaha peternakan, usaha perikanan maupun

usaha non pertanian. Peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani dan warga desa

akan tercapai dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Pada kondisi dimana relatif sulit mendapatkan respon aktif yang seragam dari

seluruh anggota kelompok atau anggota masyarakat, maka penggiatan modal sosial dapat

ditempuh dengan cara lain, terutama ketika sumber introduksinya dari pihak luar. Dari

beberapa informasi lapangan diperoleh indikasi bahwa para petani tradisional yang

berusahatani di lahan suboptimal baru akan tertarik mengadopsi suatu paket teknologi baru

maupun hal baru lainnya setelah melihat contoh yang diterapkan sebelumnya oleh petani

pelopor atau petani contoh yang mau bersukarela menerapkannya. Untuk kategori petani

yang pertama basis hubungan mereka adalah panutan dan pengikut, sedangkan yang kedua

adalah karena adanya hubungan kekerabatan atau hubungan sosial yang akrab antar

tetangga, antar kelompok petani atau antar kelompok masyarakat. Berarti diseminasi paket

teknologi harus dimulai dengan petani pelopor dan/atau petani contoh ini dengan

pendampingan, yang kemudian ketika berhasil diharapkan dapat menyebarluaskannya atau

Page 36: Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan … KEYNOTE SPEAKER.pdf · menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya ... Sistem pemasaran

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN 979-587-529-9

36

menimbulkan ketertarikan pada tetangga, anggota kelompok, kelompok lain dan

masyarakay desa lainnya untuk mengadopsi paket tersebut. Selanjutnya diharapkan

penerapan teknologi akan menyebar luas di kalangan petani,

Pendekatan yang kedua tersebut juga dilakukan dengan pertimbangan bahwa pada

kenyataannya manajemen usahatani antar petani sangat bervariasi mulai dari yang lemah

sampai yang kuat sehingga memberikan alokasi faktor produksi yang sangat berbeda dan

pada akhirnya memberikan tingkat penggunaan biaya dan produktivitas yang juga berbeda.

Setelah lebih banyak petani yang mengadopsi, pada tahap berikutnya mereka disarankan

untuk merubah pola pengelolaan usahatani dari bersifat individu menjadi bersifat saling

tukar menukar teknologi dan kebersamaan dalam mengelola usahatani. Bekerjasama di

antara petani memberikan keuntungan tambahan dan penghematan yang relatif besar

dibandingkan jika usahatani dikelola secara individual. Hasil kajian Yusdja et al (2004)

mengungkapkan bahwa jika para petani bersedia melakukan manajemen bersama, mereka

dapat saling menutupi kekurangan atau kelebihan masing-masing, sehingga mempunyai

peluang memperoleh keuntungan tambahan lebih dari 50 persen dibandingkan yang biasa

mereka peroleh tanpa tambahan modal, bahkan lebih hemat sebesar 30 persen karena

adanya pengurangan penggunaan pupuk lebih dari 50 persen.

Elemen modal sosial lain yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung upaya

peningkatan kehidupan ekonomi masyarakat petani tradisional adalah kearifan lokal (local

wisdom), yang oleh Noor dan Jumberi (2008) disebutnya dengan istilah pengetahuan asli

(indigenous) dan pengetahuan lokal. Dikemukakannya pula bahwa praktek-praktek

pertanian berdasarkan pengetahuan lokal dan indigenous telah berhasil mewariskan sumber

daya lingkungannya (hutan, lahan, tanah dan keanekaragaman hayatinya) secara utuh

dari generasi ke generasi, sehingga dipandang perlu dilakukan inventarisasi dan

pendalaman sumber-sumber pengetahuan indigenous atau kearifan budaya lokal sebagai

sebuah akumulasi pengalaman kolektif dari generasi ke generasi. Tahap selanjutnya

kearifan lokal tersebut perlu dikembangkan untuk memperkaya dan melengkapi rakitan

inovasi teknologi pertanian masa depan yang berkelanjutan, termasuk untuk pengelolaan

dan pengembangan budidaya pertanian di lahan rawa. Hal ini juga sekaligus dianggap

sebagai upaya mengatasi kerusakan lingkungan dan degradasi sumberdaya alam yang lebih

mudah dan bersifat partisipatif.

PENUTUP

Modal sosial memegang peranan penting dalam mencapai keberhasilan pengelolaan

usahatani di lahan suboptimal, selain modal-modal yang konvensional untuk meningkatkan

kesejahteraan petani tradisional. Bahkan aktif dan kuatnya modal sosial, termasuk kearifan

lokal, akan lebih memudahkan upaya untuk mengadopsi teknologi dan manajemen

usahatani baru oleh para petani tersebut, baik mereka yang secara kelompok relatif

responsif maupun yang menghindari resiko dan baru akan menerapkan setelah melihat

keberhasilan petani pelopor atau petani contoh sukarela. Para petani pengikut, tetangga

dan kelompok lain dalam satu desa atau di desa lain berdasarkan ikatan kekeluargaan,

hubungan sosial yang baik antar kelompok dan bekerjasama dengan pihak luar akan dapat

bersinergis mengatasi kendala yang dihadapi untuk meningkatkan hasil usahatani, dan

meningkatkan pendapatan maupun kesejahteraan mereka. Pada waktu yang sama dengan

penerapan dan pengembangan kearifan lokal diharapkan kegiatan usaha yang dilakukan

dapat menurunkan, bahkan meminimumkan kerusakan lingkungan hidup.

Page 37: Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan … KEYNOTE SPEAKER.pdf · menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya ... Sistem pemasaran

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN 979-587-529-9

37

DAFTAR PUSTAKA

Djafar, Z.R. 2013. Pengembangan Teknologi Budidaya untuk Meningkatkan Produksi

Padi di Lahan Lebak. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal “Intensifikasi

Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan

Nasional”, Palembang 20-21 September 2013

Edelman, M. What is a peasant? What are peasantries? A briefing paper on issues of

definition. Paper prepared for the first session of the Intergovernmental Working

Group on a United Nations Declaration on the Rights of Peasants and Other People

Working in Rural Areas, Geneva, 15-19 July 2013.

Hafif, B. 2013. Keragaan Lahan Sub-Optimal dan Perbaikan Produktivitas Melalui

Kebijakan Daerah di Lampung. Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian,

2013

Haryono. 2013. Strategi Kebijakan Kementrian Pertanian dalam Optimalisasi Lahan

Suboptimal Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Prosiding Seminar Nasional

Lahan Suboptimal “Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka

Mendukung Kemandirian Pangan Nasional”, Palembang 20-21 September 2013.

Hildayanti, S.K. 2014. Perfoma Usahatani Padi Sawah Pasang Surut dan Irigasi yang

Menggunakan Pupuk Organik di Sumatera Selatan. Disertasi Doktor (tidak

dipublikasi). Program Doktor Ilmu-Ilmu Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas

Sriwijaya.

Hoogesteger, J. 2013. Social Capital in Water User Organizations of the Equadorian

Highlands. Human Organization, Winter 2013 : 347 – 457.

Hutapea, Y. dan T. Thamrin. 2013. Spektur Diseminasi Multi Channel Mendukung

Indeks Pertanaman 200 di Lahan Pasang Surut Kabupaten Banyuasin, Sumatera

Selatan. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal “Intensifikasi Pengelolaan

Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional”,

Palembang 20-21 September 2013

Grootaert, Ch., dan Th. van Bastelaer. 2001. Understanding and Measuring Social Capital:

A Synthesis of Findings and Recommendations from the Social Capital Initiative.

Social Development Department Publications. The World Bank. USA.

Mawardi, M, 2007. Peranan Sosial Capital Dalam Pemberdayaan Masyarakat.

Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam. Vol. 3, No. 2, Juni 2007 : 5 –

14.

Mulyana, A., Yunita, Riswani, dan M.M. Hakim. 2013. The Comparative Analysis of

Production and Consumption Behaviors of Rice Farmer Households Based on Land

Typology and Capital Resources. Proceeding of 2013 International Seminar on

Climate Change and Food Security (ISCCFS 2013). Palembang, South Sumatra-

Indonesia, 24-25 October, 2013.

Noor, M. dan A. Jumberi. 2008. Kearifan Budaya Lokal Dalam Perspektif Pengembangan

Pertanian di Lahan Rawa. Artikel pada Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa,

Departemen Pertanian. http://balittra.litbang.deptan.go.id/lokal/Kearipan-1%20M-Noor.pdf

(diakses 6 September, 2014).

Portes, A. 1998. Social Capital: Its Origins and Applications in Modern Sociology.

Annual Review of Sociology 24: 1-24.

Santosa I. 2004. Pemberdayaan Petani Tepian Hutan Melalui Pembaharuan Perilaku

Adaptif. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Page 38: Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan … KEYNOTE SPEAKER.pdf · menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya ... Sistem pemasaran

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN 979-587-529-9

38

Sumarti, T. 2003. Interaksi dan Struktur Sosial dalam Sosiologi Umum. Editor : Lala M.

Kolopaking, Fredian Toni, MT. Falix Sitorus, Titik Sumarti, Arya H. Dharmawan,

dan Imam K. Nawireja. Jurusan Sosek Faperta IPB. Bogor.

Wahyuni, R. 2014. Analisis Sistem Agribisnis dan Kondisi Ekonomi Rumahtangga Petani

Padi Lahan Pasang Surut di KTM Telang Kecamatan Tanjung Lago Kabupaten

Banyuasin. Tesis Magister (tidak dipublikasi). Program Studi Magister Agribisnis,

Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya.

World Bank. 2014. Sources of Social Capital. http://web.worlbank.org/wbsite/external/

topics/extsocialdevelopment/exttsocialcapital. (diakses 6 September 2014).

Yusdja, Y., E. Basuno, M. Ariani dan T.B. Purwantini. 2004. Analisis Peluang

Peningkatan Kesempatan Kerja dan Pendapatan Petani Melalui Pengelolaan

Usahatani Bersama. Jurnal Agro Ekonomi, Volume 22 No.1, Mei 2004 : 1 - 25

Zuriah WP, Y. 2013. Pola Pengembangan Usahatani KelapaDalam (Cocos Nucifera L.)

pada Perkebunan Rakyat di Lahan Pasang Surut Provinsi Sumatera Selatan.

Disertasi Doktor (tidak dipublikasi). Program Doktor Ilmu-Ilmu Pertanian, Fakultas

Pertanian, Universitas Sriwijaya.

Page 39: Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan … KEYNOTE SPEAKER.pdf · menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya ... Sistem pemasaran

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN 979-587-529-9

39

Potensi, Kendala dan Solusi dalam Pengembangan Lahan Suboptimal

untuk Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional

Potential, Constraint and Solution in Suboptimal Land Development in

Supporting National Food Souverignty

Hasbi

Head of Research Center for Suboptimal Land (PUR-PLSO) Sriwijaya University

Lecturer at Agricultural Technology Department, Faculty of Agriculture,

Sriwijaya University

Authot correspondency : Tel./Fax +62711580664, Email: [email protected]

ABSTRACT

The fact showed that food is one of basic need for individual and the existing of problem

compexility related to food supply. Therefore, each state and nation have right to decide

their own food policies to guarantee the right of food for community according to local

resource potential. The conversion from food agricultural land into non-agricultural land is

continuing, especially at fertile land in Java Island. In order to bring into reality the food

souverignty, Indonesia government has no choice except to seriously start to manage

suboptimal land especially outside Java Island. Indonesia had high potential of land

resources having different diversity and characteristics. About 123.1 millions ha of

suboptimal land was dry land and 33.4 millions ha was lowland (swamp) which were

distributed almost in all Indoensia regions, especially in Sumatra, Kalimantan and Papua

Islands. Suboptimal land is basically has several constraints so that it requires extra effort

to be converted into productive cultivation land for crops, livestocks or fishes. There are

two basic solutions that complementary in nature for suboptimal land management in order

to produce productive agricultutal land, i.e (1). Improvement of physical, chemical and

biological characteristics of soil as well as optimum water management and (2). Increasing

adaptation capability of crops, livestocks and fishes toward suboptimal condition of land

characteristics and agroclimate.

Keywords : food, suboptimal land, potential, constraints

ABSTRAK

Berdasarkan kenyataan bahwa pangan merupakan salah satu kebutuhan asasi setiap

individu dan kompleksitas permasalahan yang dihadapi dalam penyediaan pangan. Oleh

karena itu merupakan hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan

pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat (masyarakat) guna menentukan

pangan yang sesuai dengan potensi dumber daya lokal. Konversi lahan pertanian pangan

menjadi lahan untuk kepentingan non-pertanian terus saja terjadi, terutama pada lahan

yang subur di Pulau Jawa. Guna mewujudkan kedaulatan pangan, maka Indonesia tidak

punya pilihan lain kecuali harus mulai dengan sungguh-sungguh untuk mengelola lahan-

lahan suboptimal yang dimiliki, terutama di luar Pulau Jawa. Indonesia mempunyai

potensi sumberdaya lahan yang cukup luas dengan berbagai keragaman dan karakteristik.

Page 40: Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan … KEYNOTE SPEAKER.pdf · menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya ... Sistem pemasaran

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN 979-587-529-9

40

Secara alamiah, seluas123,1 juta ha dari lahan suboptimal adalah lahan kering dan 33,4

juta ha lahan basah (rawa), yang tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, terutama di

Sumatera, Kalimantan dan Papua. Lahan suboptimal pada dasarnya merupakan lahan-

lahan yang secara alami mempunyai satu atau lebih kendala sehingga butuh upaya ekstra

agar dapat dijadikan lahan budidaya yang produktif untuk tanaman, ternak, atau ikan. Ada

ada dua alur pokok solusi yang saling komplementer dalam pengelolaan lahan suboptimal

agar bisa dijadikan lahan pertanian yang produktif, yakni: [1] perbaikan sifat fisika, kimia,

dan biologi tanah serta tata air agar lebih optimal; dan [2] peningkatan daya adaptasi

tanaman, ternak, atau ikan terhadap karakteristik lahan dan kondisi agroklimat yang tidak

optimal.

Kata kunci : pangan, lahan suboptimal, potensi, kendala

PENDAHULUAN

Ketahanan pangan merupakan pilar utama stabilitas nasional. Strategi agar

ketersediaan pangan tetap terjamin telah banyak dilakukan, antara lain diversifikasi

pangan, menjamin lahan pertanian pangan berkelanjutan dari konversi, dan meningkatkan

produktivitas dan produksi beras nasional.

Dalam UU Pangan No. 18/2012, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya

pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan

yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan

terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat,

untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Kedaulatan Pangan

adalah merupakan hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan

pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi

masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya

lokal.

Lahan yang subur semakin menyempit karena dikonversi menjadi lahan untuk

kepentingan non-pertanian. Usaha pertanian tanaman pangan selalu kalah kompetitif

dibandingkan dengan usaha properti, industri, dan perdagangan, atau harus mengalah

ketika akan dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur.

Untuk mewujudkan ketahanan pangan secara berkelanjutan (ekologis) dan berbiaya

terjangkau petani (ekonomis), maka Indonesia tidak punya pilihan lain kecuali harus mulai

dengan sungguh-sungguh untuk mengelola lahan-lahan suboptimal yang dimiliki, terutama

di luar Pulau Jawa.

POTENSI

Indonesia mempunyai potensi sumberdaya lahan yang cukup luas dengan berbagai

keragaman dan karakteristik. Secara alamiah, seluas123,1 juta ha dari LSO adalah lahan

kering dan 33,4 juta ha lahan basah (rawa). Lahan kering terluas merupakan lahan kering

masam atau lahan kering beriklim basah yang tersebar hampir di seluruh wilayah

Indonesia, terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua. Lahan kering beriklim kering

seluas 13,3 juta ha, tersebar di Jatim, Bali, NTT, NTB. LSO basah terdiri dari 14,9 juta ha

Page 41: Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan … KEYNOTE SPEAKER.pdf · menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya ... Sistem pemasaran

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN 979-587-529-9

41

lahan gambut, seluas 11,0 juta ha berupa lahan rawa pasang surut, dan 9,3 juta ha berupa

lahan rawa lebak (Haryono, 2013).

Luas lahan rawa di Indonesia diperkirakan sebesar 33,4 juta hektar (24,2% luas

lahan total di Indonesia), terdiri dari rawa pasang surut seluas 20 juta hektar dan rawa

lebak seluas 13,4 juta hektar (Bappenas, 2007). Ekosistem lahan rawa memiliki sifat

khusus yang berbeda dari ekosistem lainnya terutama disebabkan oleh rejim airnya. Lahan

rawa dibedakan menjadi lahan rawa pasang surut (lahan yang rejim airnya dipengaruhi

oleh pasang surutnya air laut atau sungai) dan rawa lebak (lahan yang rejim airnya

dipengaruhi oleh air hujan), yang tersebar di pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua.

Jelas bahwa peningkatan produksi pangan masih sangat potensial melalui

pemanfaatan lahan-lahan sub-optimal yang masih banyak tersedia, terutama di luar Jawa.

Realisasinya akan terpenuhi melalui langkah yang sangat strategis dan mendesak berupa

pengembangan teknologi pertanian yang berbasis potensi sumberdaya lokal dan kapasitas

adopsi masyarakat setempat. Selanjutnya, untuk mencapai keberhasilan yang

berkelanjutan, perlu didukung dengan penyediaan infrastruktur fisik yang memadai serta

regulasi dan kebijakan publik yang tepat.

KENDALA

Lahan suboptimal pada dasarnya merupakan lahan-lahan yang secara alami

mempunyai satu atau lebih kendala sehingga butuh upaya ekstra agar dapat dijadikan lahan

budidaya yang produktif untuk tanaman, ternak, atau ikan. Kendalah tersebut dapat berupa:

[1] kesulitan dalam menyediakan air yang cukup untuk mendukung usaha tani yang

produktif dan menguntungkan; [2] sifat kemasaman tanah yang tinggi (pH rendah)

sehingga butuh upaya untuk menetralisir kemasaman tanah tersebut; [3] dinamika pasang

surut gagal panen; [4] lahan terpengaruh oleh intrusi air laut; [5] terdapat lapisan pirit

dangkal yang menjadi ancaman karena dapat meracuni sistem perakaran tanaman; [6]

sangat miskin unsur hara sehingga membutuhkan dosis pemupukan yang lebih tinggi;

dan/atau [7] tanah berbatu sehingga sulit diolah secara mekanis. Kondisi suboptimal ini

dapat terjadi secara alami, akibat terkena dampak dari kegiatan manusia di dan/atau sekitar

lokasi yang bersangkutan, atau akibat salah kelola pada periode sebelumnya.

Sebagian lahan sub-optimal baik di lahan basah maupun lahan kering memang sudah

lama diusahakan masyarakat untuk budidaya pertanian, peternakan dan perikanan. Untuk

menambah produksi pangan dalam rangka memenuhi kebutuhan domestik, diperlukan

upaya peningkatan produktivitas melalui kegiatan intensifikasi proses produksi dan

perluasan lahan melalui kegiatan pencetakan sawah atau lahan pertanian baru.

Tentu banyak kendala dan tantangan yang dihadapi untuk meningkatkan produksi

tanaman pangan dan produk pertanian dalam arti luas lainnya pada lahan sub-optimal.

Solusi yang paling rasional atas tantangan untuk meningkatkan produksi pertanian nasional

dalam rangka meningkatkan kemandirian bangsa dan kesejahteraan rakyat adalah

membangun sistem inovasi yang efektif dan produktif dalam pengelolaan lahan-lahan sub-

optimal, berbasis pada kemampuan pengembangan teknologi nasional dan upaya

komprehensif untuk mewujudkan ekosistem inovasi yang kondusif, terutama melalui

regulasi dan kebijakan publik yang berkesesuaian.

Lahan suboptimal secara alamiah mempunyai produktivitas rendah (karena faktor

internal seperti sifat fisik, kimia dan biologi tanah, dan/atau faktor eksternal seperti iklim,

lingkungan) sehingga pendekatan yang sudah biasa dilakukan pada lahan optimal tidak

bisa diterapkan pada lahan suboptimal.

Kendala/tantangan yang dihadapi pada lahan kering suboptimal adalah kualitas lahan

(fisik dan kimia) yang tidak baik, kemiringan lahan yang relatif curam, curah hujan yang

Page 42: Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan … KEYNOTE SPEAKER.pdf · menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya ... Sistem pemasaran

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN 979-587-529-9

42

tinggi, tingkat erosi yang tinggi, pilihan komoditi yang relatif tidak luas, dan kemampuan

petani dalam menerapkan teknologi konservasi tanah dan air masih rendah (Sinukaban,

2013).

Permasalahan non fisik antara lain rendahnya sikap enterpreneurship petani,

lemahnya sistem kelembagaan, aplikasi teknologi yang rendah dan inovasi teknologi baru

sangat jarang dilakukan. Dalam pengelolaan, seringkali terjadi benturan kepentingan dalam

menentukan tujuan pengelolaan air di tingkat lapangan, apakah untuk transportasi,

pertanian, atau kegiatan lainnya.

Selain kendala agronomis, kendala lain pengelolaan lahan sub-optimal adalah

aksesibilitas yang rendah akibat prasarana transportasi yang belum tersedia atau dalam

kondisi yang buruk, sehingga biaya angkut hasil produksi maupun sarana produksi relatif

mahal. Selain itu kurangnya infrastruktur penunjang dalam pembangunan pertanian di

lahan sub-optimal tersebut akan berdampak pada rendahnya produktivitas dan kualitas

produk, serta sulitnya pemasaran.

Faktor kendala lain adalah keterbatasan tenaga kerja, karena umumnya kepadatan

penduduk yang bermukim di lahan sub-optimal sangat rendah. Berbagai kendala tersebut

secara langsung berdampak pada mahalnya biaya produksi dan penanganan pasca panen

sehingga pendapatan penduduk dari pengusahaan komoditi pangan rendah, dan pada

beberapa daerah hal tersebut dapat mendorong terjadinya alih fungsi lahan tanaman pangan

ke penggunaan lain, diantaranya untuk perkebunan.

SOLUSI

Haryono (2013) mengemukakan bahwa opsi utama yang harus ditempuh untuk

memenuhi kebutuhan pangan, adalah pengembangan dan optimalisasi lahan suboptimal

dan terdegradasi, baik melalui pendekatan intensifikasi maupun secara ekstentifikasi.

Sesuai dengan sifatnya yang ringkih, dan selaras dengan konsep dan tuntutan

pembangunan pertanian berkelanjutan, maka pengembangan dan optimalisasi lahan

suboptimal akan disasarkan pada beberapa aspek, yaitu: produktivitas, efisiensi produksi,

kelestarian sumberdaya dan lingkungan serta kesejahteraan petani. Keempat sasaran

tersebut dapat diwujudkan melalui dukungan inovasi teknologi dan kelembagaan

(Haryono, 2013).

Optimalisasi lahan suboptimal dapat ditempuh melalui dua pendekatan, yaitu:

a) Optimalisasi pemanfaatan lahan suboptimal eksisting (baik lahan sawah maupun

lahan kering), agar lebih produktif dan lestari, melalui intensifikasi dengan dukungan

inovasi. Sasaran utamanya adalah peningkatan produktivitas dan perluasan areal

tanam/indeks pertanaman (IP).

b) Ekstensifikasi atau perluasan areal pertanian baru dengan memanfaatkan lahan

suboptimal yang potensial dengan skala prioritas tertentu. Prioritas utama perluasan

areal adalah memanfaatkan lahan suboptimal terdegradasi atau terlantar (abondance

land).

Selanjutnya Haryono (2013) menambahkan bahwa pengembangan dan optimalisasi

lahan suboptimal harus berbasis “science, innovation dan network”. yang dapat

dijabarkan pada beberapa strategi berikut :

Pertama: pengembangan lahan subpotimal harus diiringi dengan pemacuan inovasi

teknologi yang diasimilasikan dengan kearifan lokal sesuai dengan tipologi lahan. Karena

sifatnya yang fragil dan unik, pengembangan inovasi harus didukung basis ilmiah dan

akedemik yang kuat.

Kedua: pengembangan model farming berbasis lingkungan dan terintegrasi (Pertanian

Page 43: Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan … KEYNOTE SPEAKER.pdf · menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya ... Sistem pemasaran

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN 979-587-529-9

43

Ramah Lingkungan, PRL) dengan berbagai varian dan derivasinya, seperti pendekatan

pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu (PTT), integrasi tanaman dan ternak (SITT)

Ketiga: akselerasi pengembangan dan diseminasi inovasi tenologi pertanian, terutama

verietas unggul, teknologi pemupukan, alat mesin pertanian, pasca panen dan model

farming ramah lingkungan.

Keempat: pemberdayaan petani dan pengembangan sistem kelembagaan

Lakitan dan Gofar (2013) mengemukakan bahwa ada dua alur pokok yang saling

komplementer dalam pengelolaan lahan suboptimal agar bisa dijadikan lahan pertanian

yang produktif, yakni: [1] perbaikan sifat fisika, kimia, dan biologi tanah serta tata air agar

lebih optimal; dan [2] peningkatan daya adaptasi tanaman, ternak, atau ikan terhadap

karakteristik lahan dan kondisi agroklimat yang tidak optimal.

Upaya perbaikan sifat fisik, kimia, dan biologi tanah serta tata air untuk mengelola

lahan suboptimal menjadi optimal membutuhkan teknik pengelolaan yang tepat sesuai

dengan karakteristiknya. Melalui penerapan iptek yang benar, maka lahan suboptimal

dengan tingkat kesuburan alami yang rendah dapat dijadikan areal pertanian produktif.

Pengaturan tata air merupakan satu hal yang sangat penting dalam pengelolaan lahan

pertanian pada ekosistem rawa. Pengaturan tata air ini bukan hanya untuk mengurangi atau

menambah ketersediaan air permukaan, melainkan juga untuk mengurangi kemasaman

tanah, mencegah pemasaman tanah akibat teroksidasinya lapisan pirit, mencegah bahaya

salinitas, bahaya banjir, dan mencuci zat beracun yang terakumulasi di zona perakaran

tanaman (Suryadi et al., 2010).

Strategi pengendalian muka air ditujukan kepada aspek upaya penahanan muka air

tanah agar selalu di atas lapisan pirit dan pencucian lahan melalui sistem drainase

terkendali. Kondisi muka air yang diinginkan sangat tergantung kepada jenis tanaman,

jenis tanah, dan kondisi hidrologis wilayah setempat (Imanudin dan Susanto, 2008).

Pengembangan tata kelola sumberdaya air yang lebih efisien, sesuai dengan kebutuhan

tanaman, ternak, dan/atau ikan yang dibudidayakan.

Jenis teknologi yang dibutuhkan untuk masing-masing karakteristik lahan suboptimal

akan berbeda. Untuk lahan kering (upland), butuh teknologi yang efektif dan efisien dalam

mengelola sumberdaya air yang tersedia; sebaliknya, untuk lahan basah (wetland), lebih

membutuhkan teknologi tata kelola air yang pas untuk berbagai jenis komoditas pangan

yang akan dibudidayakan. Untuk lahan basah, diperlukan upaya untuk menjaga

keseimbangan dinamis antara upaya untuk memperbaiki aerasi tanah agar oksigen tersedia

bagi sistem perakaran tanaman; menjaga ketersediaan air yang sesuai kebutuhan tanaman,

ternak, atau ikan yang dibudidayakan; serta mengendalikan agar unsur-unsur yang dapat

meracuni tanaman tidak menjadi lebih tersedia dan diserap sistem perakaran tanaman.

Menurut Sinukaban (2013), penerapan pembangunan pertanian pada lahan

suboptimal kering adalah dengan sistim pertanian konservasi adalah salah satu alternatif

yang perlu diprogramkan untuk membangun pertanian yang berkelanjutan

Selain melalui upaya perbaikan sifat-sifat tanah dan pengembangan sistem tata kelola

sumberdaya air, upaya pengelolaan lahan suboptimal juga perlu secara paralel dilakukan

melalui seleksi jenis komoditas pangan yang sesuai untuk masing-masing karakteristik

lahan suboptimal. Setelah itu, dapat dilanjutkan dengan program pemuliaan tanaman,

ternak, dan ikan untuk mendapatkan varietas atau jenis yang sesuai dengan kondisi lahan

suboptimal (Lakitan dan Gofar 2013).

Pendekatan paling efisien dalam pemanfaatan lahan suboptimal adalah penggunaan

varietas yang toleran terhadap cekaman abiotik dan biotik. Cekaman abiotik yang menjadi

tantangan antara lain cekaman air, baik kelebihan maupun kekurangan (hampir pada semua

lahan suboptimal), keracunan mineral seperti Al pada lahan masam, NaCl pada lahan dekat

dengan pantai, dan suhu tinggi. Cekaman biotik berupa tingginya serangan hama, penyakit

Page 44: Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan … KEYNOTE SPEAKER.pdf · menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya ... Sistem pemasaran

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN 979-587-529-9

44

dan kecepatan tumbuhnya gulma di sekitar tanaman produksi. Tantangan lainnya adalah

selera pasar, sehingga toleransi terhadap berbagai cekaman menjadi tidak cukup, karena

pasar meminta standar produk tertentu yang meyebabkan pengembangan varietas di lahan

sub optimal menjadi lebih kompleks.

Sobir (2013) mengemukakan ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk

optimalisasi lahan suboptimal adalah perbaikan kapasitas genetik tanaman, baik secara

konvensional maupun bioteknologi, pengembangan sistem produksi di lahan sub optimal,

pengembangan infrastruktur pertanian pendukung, serta peningkatan kapasitas teknik dan

kelembagaan petani sebagai pelaku produksi utama.

Pengembangan varietas yang adaptif untuk lahan sub-optimal dengan rekayasa

bioteknologi sehingga mendapatkan varietas yang tahan terhadap cekaman abiotik,

adaptasi terhadap penyakit, kekeringan, banjir, naungan. Pengembangan varietas yang

adaftif pada lingkungan spesifik saja tidak akan efektif tanpa adanya rekayasa lingkungan

tumbuh maupun penambahan hara yang memadai. Pada lahan pasang surut dan gambut

perlu mekanisme pengendalian air sehingga optimum bagi pertumbuahan tanaman, serta

kurangnya hara mineral pada lahan gambut mengharuskan adanya terobosan dalam system

penyediaan hara secara efektif. Pada lahan kering perlu rekayasa pemanenan air hujan

sebagai sumber air bagi tanaman, dengan dukungan sistem irigasi yang mampu

mendistribusikan air tersebut secara efisien bagi tanaman budidaya. Penanaman komoditas

yang sesuai sangat membantu seperti nenas pada lahan gambut, atau teknik budidaya

khusus untuk produksi melon dan semangka pada lahan gambut, atau penanaman sayuran

di lahan kering dengan system irigasi yang tepat akan menghasilkan produk dengan

kualitas yang tinggi. (Sobir, 2013)

Disamping faktor-faktor tersebut, pengembangan lahan suboptimal perlu didukung

oleh ketersediaan infrastruktur yang baik dan kelembagaan yang kuat. Faktor

infrastruktur yang diperlukan terkait dengan sistem produksi langsung seperti pengelolaan

tata air, sistem irigasi, maupun penanganan pasca panen, maupun sarana pendukung

seperti jalan akses utama dan jalan usaha tani, maupun sarana produksi. Pengembangan

kelembagaan tani yang kuat sangat membantu petani dalam akses pemasaran produk dan

akses ke permodalan.

KESIMPULAN

Dalam rangka memenuhi kedaulatan pangan nasional, maka pengembangan lahan

suboptimal merupakan pilihan yang semakin penting. Pengembangan lahan suboptimal

dalam rangka mendukung kedaulatan pangan sangat ditentukan oleh sistem koordinasi,

kerjasama dan sinergi program antara lembaga yang terkait. Untuk mencapai kedaulatan

pangan dimasa yang akan datang, perluasan lahan pertanian sangat diperlukan. Lahan

yang dapat dimafaatkan adalah lahan sub optimal khususnya lahan rawa yang juga

diperuntukkan untuk pemberdayaan masyarakat.

Strategi pengelolaan lahan basah/rawa terpadu dan berkelanjutan harus dilakukan

secara multidisplin, lintas sektor dan bertahap. Pengelolaan kawasan dan penataan ruang

dengan aturan yang jelas sangat diperlukan untuk konservasi ataupun pengembangan lahan

basah. Pengelolaan muka air tanah merupakan faktor kunci dalam keberhasilan

pengelolaan lahan basah/ rawa untuk pertanian berkelanjutan.

Page 45: Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan … KEYNOTE SPEAKER.pdf · menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya ... Sistem pemasaran

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN 979-587-529-9

45

DAFTAR PUSTAKA

Haryono. 2013. Strategi Kebijakan Kementrian Pertanian dalam Optimalisasi Lahan

Suboptimal Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Prosiding Seminar Nasional

Lahan Suboptimal “Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka

Mendukung Kemandirian Pangan Nasional”, Palembang 20-21 September 2013.

ISBN 979-587-501-9

Imanudin, MS. and R.H. Susanto. 2008. Perbaikan sarana infrastruktur aringan tata air

pada berbagai tipologi Lahan rawa pasang surut Sumatera Selatan. Prosiding

Seminar Nasional Rawa (Banjarmasin, 4 Agustus 2008) Tema : Teknik

Pengembangan Sumber Daya Rawa. ISBN : 979985718-7.

Lakitan, B. & N Gofar. 2013. Kebijakan Inovasi Teknologi untuk Pengelolaan Lahan

Suboptimal Berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal

“Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung

Kemandirian Pangan Nasional”, Palembang 20-21 September 2013. ISBN 979-587-

501-9.

Sinukaban, N. 2013. Potensi dan Strategi Pemanfaatan Lahan Kering dan Kering Masam

untuk Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional Lahan

Suboptimal “Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung

Kemandirian Pangan Nasional”, Palembang 20-21 September 2013. ISBN 979-587-

501-9.

Sobir. 2013. Optimalisasi Lahan Sub Optimal bagi Penguatan Ketahanan Pangan

Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal “Intensifikasi Pengelolaan

Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional”,

Palembang 20-21 September 2013. ISBN 979-587-501-9.

Supriyanto, H, G. I. Sumarjo, R.H. Susanto, FX. Suryadi, B. Schultz. 2006. Potentials and

constraints of water management measures for tidal lowlands in South Sumatra,

Case study in a pilot area in Telang I. 9th Inter-Regional Conference on

Environment-Water, Delft, the Netherlands.

Suryadi, FX., PHJ. Hollanders, and RH. Susanto. 2010. Mathematical modeling on the

operation of water control structures in a secondary block case study: Delta Saleh,

South Sumatra. Hosted by the Canadian Society for Bioengineering

(CSBE/SCGAB).Québec City, Canada June 13-17, 2010.

Susanto, R. H. 2013. Potensi dan Strategi Pemanfaatan Lahan Basa untuk Pertanian,

Peternakan dan Perikanan. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal

“Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung

Kemandirian Pangan Nasional”, Palembang 20-21 September 2013. ISBN 979-587-

501-9.

Page 46: Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan … KEYNOTE SPEAKER.pdf · menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya ... Sistem pemasaran

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN 979-587-529-9

46