22

Click here to load reader

Keaslian Dan Keterpaduan Dalam Pengelolaan Warisan Budaya Bawah Air

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Permasalahan keaslian dan keterpaduan dalam konteks pelestarian warisan budaya, terutama dalam kerangka teori arkeologi merupakan hal yang sangat menarik untuk dikaji lebih mendalam terkait dengan kajian cultural resource management. Untuk itu pemahaman tentang konsep dasar arkeologi untuk menunjang pelestarian dan pemanfaatan benda cagar budaya menjadi hal yang tak terelakan lagi. Hal inilah yang menjadi tanggung jawab kita bersama dalam mewujudkannya. Pelestarian warisan budaya haruslah dilakukan dengan tetap mengikuti perkembangan yang terjadi di masyarakat, sehingga dapat menjadi solusi bersama yang merupakan win-win solution. Termasuk mencermati dengan arif makna yang tersirat dibalik benda cagar budaya yang menyimpan ilmu pengetahuan dan teknologi nenek moyang kita, sehingga kita tidak boleh gegabah dalam melakukan pengelolaan warisan budaya, terlebih pongah dengan sedikit ilmu yang kita miliki.

Citation preview

Page 1: Keaslian Dan Keterpaduan Dalam Pengelolaan Warisan Budaya Bawah Air

Keaslian dan Keterpaduan dalam Pengelolaan Warisan Budaya Bawah Air(Studi Kasus Situs Arkeologi Bawah Air Moko, Bau-Bau)

Oleh. Yadi Mulyadi1

ABSTRAK

Permasalahan keaslian dan keterpaduan dalam konteks pelestarian warisan budaya, terutama dalam kerangka teori arkeologi merupakan hal yang sangat menarik untuk dikaji lebih mendalam terkait dengan kajian cultural resource management. Untuk itu pemahaman tentang konsep dasar arkeologi untuk menunjang pelestarian dan pemanfaatan benda cagar budaya menjadi hal yang tak terelakan lagi. Hal inilah yang menjadi tanggung jawab kita bersama dalam mewujudkannya. Pelestarian warisan budaya haruslah dilakukan dengan tetap mengikuti perkembangan yang terjadi di masyarakat, sehingga dapat menjadi solusi bersama yang merupakan win-win solution. Termasuk mencermati dengan arif makna yang tersirat dibalik benda cagar budaya yang menyimpan ilmu pengetahuan dan teknologi nenek moyang kita, sehingga kita tidak boleh gegabah dalam melakukan pengelolaan warisan budaya, terlebih pongah dengan sedikit ilmu yang kita miliki.

Makna inilah yang secara tidak langsung menginspirasi penulis untuk membuat tulisan singkat tentang pentingnya konsep keaslian dan keterpaduan dalam konteks pelestarian warisan budaya, yang difokuskan pada warisan budaya bawah air, dengan studi kasus warisan budaya bawah air di situs gua Moko kota Baubau yang merupakan situs arkeologi bawah air berupa gua yang terendam air, dimana pada kedalaman 28 meter ditemukan tinggalan arkeologi berupa keramik kuno.

A. _______dan tidak hanya kapal karam di laut yang menjadi warisan budaya bawah air

1. Prolog

Ada satu pertanyaan yang sangat menarik berkaitan dengan pelestarian warisan

budaya yang juga merupakan sumberdaya arkeologi, yaitu “untuk apa sebuah

sumberdaya arkeologi harus dilestarikan?” Ada banyak pendapat dari para ahli

berkaitan dengan pertanyaan tersebut, salah satunya Pearson dan Sullivan (1995)

menyatakan bahwa sumberdaya arkeologi harus dilestarikan karena merupakan bukti

1 Staf Pengajar Jurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin Makassar, sementara menempuh pendidikan S2 Arkeologi di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Page 2: Keaslian Dan Keterpaduan Dalam Pengelolaan Warisan Budaya Bawah Air

yang menarik tentang nilai dan kreativitas dari manusia pendukungnya dan juga

merupakan bukti yang terdokumentasi tentang pemukiman suatu wilayah atau

bagaimana hubungan tempat tersebut dengan dunia luar. Lebih lanjut dia menjelaskan

bahwa sebuah sumberdaya arkeologi mempunyai sifat yang langka dan tidak dapat

diperbaharui (Pearson and Sullivan, 1995: 11 - 12).

Ph. Subroto (2003) menyatakan bahwa sebuah benda cagar budaya merupakan

salah satu aset budaya bangsa yang perlu dilindungi karena nilai–nilai penting yang

terkandung didalamnya (Subroto, 2003 : 1). Hari Untoro Drajat menyatakan bahwa

benda cagar budaya mempunyai nilai penting walaupun setiap benda tersebut

mempunyai nilai yang berbeda (Drajat, 1993: 1). Scovill dkk (1977) berpendapat bahwa

rekaman dari sebuah sumberdaya arkeolologis merupakan bahan studi untuk melihat

dan menggambarkan serta untuk menjelaskan dan untuk mengerti prilaku dan interaksi

manusia masa lampau sebagai bagian dari perubahan budaya dan sistem lingkungan

(Scovill dkk, 1977 : 45).

Dengan nilai-nilai yang terkandung dalam sumberdaya arkeologi tersebut yang

sarat dengan makna, maka tentu saja pelestarian sumberdaya arkeologi haruslah

dilakukan dengan metode dan cara kerja yang sistematis dan ilmiah serta berpegang

dengan ketat pada prinsip-prinsip yang berlaku. Tapi justru hal inilah yang luput dari

perhatian para arkeolog sekarang. Kegiatan pelestarian, termasuk pemanfaatan warisan

budaya selalu ditinjau dari sudut pandang kekinian, sudut pandang sistem budaya

sekarang dan melupakan konteks sistem arkeologi, konteks sistem budaya masa lalu.

Dalam konteks pengelolaan warisan budaya bawah air, fenomena seperti ini pun

terjadi. Perkembangan kajian arkeologi bawah air di Indonesia dipicu peristiwa The

Nanking Cargo di era -80an yang menyadarkan pemerintah akan besarnya potensi yang

terkandung dalam tinggalan arkeologi bawah air khususnya kapal karam. Dalam salah

satu tulisannya, Tanudirjo menyatakan bahwa kesadaran yang muncul pada saat itu

lebih pada kesadaran akan nilai penting benda cagar budaya bawah air dari segi nilai

jualnya (Tanudirjo, 2006).

Page 3: Keaslian Dan Keterpaduan Dalam Pengelolaan Warisan Budaya Bawah Air

Pendapat yang serupa diungkapkan oleh Rochmani dalam tulisannya di buletin

Cagar Budaya, bahwa nuansa nilai ekonomis tinggalan arkeologi bawah air begitu kental,

sehingga di Indonesia tinggalan tersebut lebih sering dianggap sebagai harta karun

daripada benda cagar budaya (Rochmani, 2003). Padahal jika kita merujuk pada

pemahaman yang disepakati oleh para ahli, jelas tinggalan arkeologi bawah air adalah

benda cagar budaya. Bahkan O’Keefe dan Prott (1984), seperti yang dikutip Tanudirjo

(2006) memasukan tinggalan arkeologi bawah air sebagai warisan budaya. Sedangkan

dalam Konvensi UNESCO tentang Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air, disebutkan

bahwa kapal-kapal karam dan tinggalan bawah air lainnya dianggap sebagai benda cagar

budaya, dan untuk itu maka UNESCO melarang eksploitasi komersial terhadap benda

cagar budaya bawah air (Tanudirjo, 2006).

Lebih jauh, jika kita cermati perkembangan arkeologi bawah air di Indonesia

sampai saat ini, terlihat jelas adanya dominasi kapal karam minded. Baik penelitian

maupun yang berkaitan dengan pengelolaan tinggalan arkeologi bawah air selalu

difokuskan pada kapal karam yang tenggelam di laut yang ujung-ujungnya adalah nilai

ekonomis dari muatan kapal karam tersebut. Tinggalan arkeologi bawah air, yang

ditemukan di perairan nusantara cenderung dipandang sebagai harta karun, sehingga

dikatagorikan barang muatan kapal tenggelam2 yang dapat diekploitasi untuk

kepentingan ekonomi semata.

Padahal tidak dapat kita pungkiri dalam kajian keilmuan, tinggalan arkeologi

bawah air itu bukan hanya kapal karam saja tetapi semua tinggalan budaya yang

terdapat di bawah air, baik itu di sungai, sumur, danau maupun dalam sungai bawah

tanah di sebuah gua. Ketika objek kajian arkeologi bawah air berupa kapal karam, tentu saja

kita akan berusaha untuk mendapatkan gambaran tentang aktifitas kemaritiman yang terjadi,

tapi ketika yang kita temukan adalah sisa reruntuhan istana atau bekas pemukiman maka yang

akan kita dapatkan mungkin saja tidak ada kaitannya dengan aktifitas maritim secara langsung.

Jadi pada hakekatnya inti dari ruang lingkup kajian arkeologi bawah air bukan hanya aktifitas

2 Barang Muatan Kapal Tenggelam (BMKT) merupakan kriteria baru yang dibuat pemerintah, sebagai bukti keengganan pemerintah untuk mengakui tinggalan arkeologi bawah air sebagai benda cagar budaya yang perlu dilestarikan. Pada awalnya BMKT dikelola oleh Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan BMKT yang ditetapkan dengan Kepres No. 43 tahun 1989 Kini dengan dikeluarkannya Kepres No. 107 tahun 2000 pengelolaan BMKT tersebut dilimpahkan kepada Departemen Kelautan dan Perikanan (Tanudirjo, 2006:1).

Page 4: Keaslian Dan Keterpaduan Dalam Pengelolaan Warisan Budaya Bawah Air

kemaritiman semata, tetapi keseluruhan aktifitas manusia yang terdepositkan dalam benda sisa

aktifitas manusia yang ‘kebetulan’ berada di bawah air. Karena keberadaanya yang tidak di

daratan, kajian arkeologi bawah air pun meliputi hal-hal yang berkaitan dengan dunia

penyelaman untuk memudahkan kita dalam melaksanakan penelitian arkeologi bawah air.

Kapal karam minded ini pun terlihat jelas pada buku Pedoman Pengelolaan Peninggalan

Bawah Air yang disusun oleh Direktorat Peninggalan Bawah Air, dimana yang menjadi fokus

kajian adalah objek arkeologi bawah air berupa kapal karam dan objek lainnya yang berada di

dasar laut. Demikian pula panduan teknis untuk penelitian arkeologi bawah airnya, misalnya

untuk metode survey bawah air baru sebatas metode survey yang hanya dapat diterapkan di

laut saja, sedangkan metode survey bawah air untuk tinggalan lain yang terdapat di sebuah

sumur atau sungai di dalam sebuah gua tidak ada penjelasannya. Hal ini tentu saja cukup

menyulitkan saat tinggalan arkeologi bawah air yang ditemukan bukan di dasar laut.

Hal ini pula yang penulis alami saat melakukan penelitian arkeologi bawah air di situs

Moko kota Bau-Bau yang merupakan sebuah gua, dimana di dalam gua tersebut terdapat sungai

bawah tanah dan pada kedalaman vertikal 28 meter di dasar sungai tersebut terdapat tinggalan

arkeologi berupa keramik-keramik kuno. Praktis, metode survey yang ada pada buku pedoman

tersebut tidak dapat diterapkan. Pada akhirnya, pemahaman kita tentang tinggalan arkeologi

bawah air harus lebih luas, tidak hanya fokus pada kapal karam semata, dan tidak hanya di laut

saja karena fakta di lapangan jelas memperlihatkan pada kita akan keragaman bentuk tinggalan

maupun lokasi dari tinggalan arkeologi bawah air yang semuanya merupakan warisan budaya

yang berpotensi untuk dimanfaatkan dalam kerangka pelestarian.

2. Situs Bawah Air Moko, suatu warisan budaya bawah air

Keberadaan situs bawah air Moko mulai muncul di ranah publik saat pemerintah

kota Bau-Bau melakukan penyelaman di situs Moko pada pertengahan April 2008.

Penyelaman tersebut dilakukan menindaklanjuti informasi dari penyelam Australia dan

Inggris yang secara kebetulan menemukan tumpukan keramik kuno saat mereka

menyelami sungai bawah tanah yang terdapat di gua Moko (www.baubaudive.com,

www.baubau.go.id)

Page 5: Keaslian Dan Keterpaduan Dalam Pengelolaan Warisan Budaya Bawah Air

Dalam penyelaman tersebut,

pemerintah kota Bau-Bau

mengangkat temuan keramik kuno

tersebut sebanyak 35 buah, dimana 6

buah diantaranya merupakan keramik

utuh sedangkan yang lainnya berupa

pecahan. Hanya saja yang

disayangkan dalam penyelaman ini

adalah tidak dilibatkannya instansi

arkeologi terkait maupun arkeolog,

sehingga mengakibatkan pengangkatan keramik kuno tersebut tidak dilakukan secara

arkeologis. Berdasarkan informasi dari penyelam yang ikut serta dalam pengangkatan

temuan keramik kuno di situs Moko, bahwa masih banyak keramik kuno di situs Moko,

sehingga tindakan pengamanan dilakukan oleh pihak pemerintah kota Bau-Bau dalam

bentuk penempatan aparat keamanan dan pemasangan garis pembatas guna

menghindari pencurian keramik kuno di situs Moko.

Ternyata tindakan pengamanan yang dilakukan tidak efektif dalam menghindari

pencurian keramik kuno di situs Moko. Hal ini terbukti saat penulis melakukan

penyelaman di situs Moko dalam rangka survey arkeologi bawah air yang dipandu oleh

Ramadhan penyelam dari Bau-Bau Dive Club yang ikut dalam penyelaman oleh

pemerintah kota Bau-Bau, penulis tidak menemukan tumpukan keramik kuno di lokasi

tersebut yang tersisa hanya tinggal 5 keping pecahan keramik, serta benda yang diduga

merupakan fragmen tengkorak dan tulang manusia serta tumpukan batuan yang tidak

beraturan. Jika data ini dikaitkan dengan informasi awal bahwa masih banyak keramik

kuno yang tersisa dari penyelaman sebelumnya, berarti telah ada tindakan pencurian

keramik kuno yang merupakan warisan budaya bawah air situs Moko.

Foto 1. Temuan Keramik Kuno Situs Moko

Page 6: Keaslian Dan Keterpaduan Dalam Pengelolaan Warisan Budaya Bawah Air

Hal tersebut tentu saja cukup menyulitkan kita dalam melakukan penelitian

arkeologi yang lebih mendalam, terutama dalam kajian keilmuan atau pure archaeology

karena kondisi situs yang telah “rusak”. Selain itu, kondisi situs Moko yang merupakan

situs bawah air berupa gua yang terendam air memerlukan metodologi tersendiri dan

tingkat kesulitan yang cukup tinggi dalam pelaksanaan penyelaman arkeologinya.

Adapun dalam kerangka cultural resource management situs Moko, tentu saja

membutuhkan model pengelolaan khusus yang berbeda dengan pengelolaan warisan

budaya bawah air selama ini. Terlepas dari tinggalan arkeologinya yang sudah tidak in

situ, tidak dapat dipungkiri keramik-keramik kuno dari situs Moko tetap merupakan

warisan budaya yang bernilai penting. Situs Moko, sebagai sebuah gua dengan sungai

bawah tanah di dalamnya tempat ditemukannya keramik kuno tentu saja berpotensi

untuk dikembangkan dalam rangka pengelolaan warisan budaya yang berwawasan

Foto 2. Temuan hasil survey di kedalaman 18 – 20 meter searah jarum jam; pecahan keramik, fragmen tulang, tumpukan batu dan bekas bungkus sabun cuci yang menjadi bukti ktidakinsitu-an dan pecahan keramik,

Page 7: Keaslian Dan Keterpaduan Dalam Pengelolaan Warisan Budaya Bawah Air

pelestarian. Lokasi situs Moko yang termasuk dalam kawasan wisata pantai Nirwana,

menjadi nilai tambah tersendiri. Selain tinggalan arkeologisnya, nilai penting lainnya

yang berkaitan dengan nilai-nilai ilmu pengetahuan baik biologi, geologi dan lainnya

turut menjadi nilai tambah yang jika dikemas dengan baik dapat menjadi daya tarik

tersendiri. Pemerintah kota Bau-Bau sendiri memang memiliki rencana untuk

menjadikan situs Moko sebagai objek wisata yang terintegrasi dengan pantai Nirwana.

Dalam model pengelolaan situs Moko inilah, maka keaslian dan keterpaduan

akan menjadi permasalahan tersendiri. Bagaimana konsep keaslian dan keterpaduan

diterapkan dalam pengelolaan situs Moko sebagai warisan budaya bawah air, dimana

kondisi situsnya sendiri telah mengalami kerusakan tetapi tetap memiliki potensi yang

besar untuk dikembangkan.

3. Cultural Resource Management

Scovill menyatakan bahwa secara umum sumberdaya arkeologi didominasi oleh

tinggalan yang berupa fisik ataupun reruntuhan “budaya” yang terbentang pada

landscape masyarakat masa lampau (Scovill dkk, 1977; 45). Begitupun nilai-nilai yang

terkandung dalam setiap sumberdaya arkeologis sangat variatif. Sebuah benda yang

sangat bernilai pada masyarakat atau tempat tertentu, bisa jadi tidak punya nilai apa-

apa pada masyarakat lain di tempat lain (Pearson & Sullivan, 1995; 127).

Seiring perkembangan jaman, keterancaman terhadap sumberdaya arkeologi

semakin besar. Beberapa tinggalan arkeologis mulai hilang atau bahkan hancur oleh

pembangunan. Fenomena ini kemudian melahirkan sebuah kajian baru dalam arkeologi

yakni Cultural resource Management (CRM). Jika tolak ukurnya adalah perangkat

hukum yang mengatur pengelolaan sumberdaya arkeologi, maka penerapan CRM

pertama kali di Swedia pada tahun 1666 kemudian diikuti oleh beberapa negara Eropa

(Tanudirjo, 1998; Cleere, 1990). Amerika serikat secara formal melaksanakan CRM pada

tahun 1906 dengan adanya antiquity act yang merupakan respon atas keterancaman

sumberdaya arkeologi (Schiffer & Gumerman, 1977).

Page 8: Keaslian Dan Keterpaduan Dalam Pengelolaan Warisan Budaya Bawah Air

Sebelum membahas tentang Cultural Resource management, maka ada

beberapa elemen yang perlu dipahami. Pertama bahwa membicarakan tentang cultural

resource akan terkait dengan natural resource. Natural resource adalah elemen dari

lingkungan alam dimana masyarakat menggunakan, memodifikasi, dikelola baik untuk

dilestarikan maupun untuk dieksploitsi. Cultural resource sendiri adalah hasil interaksi

dan atau intervensi manusia terhadap lingkungan alam (natural resouce). Term cultural

resource mencakup semua manifestasi dari manusia baik yang berupa bangunan,

landscape, artefak, literatur, seni, maupun lembaga budaya. Kedua adalah pengertian

tentang managemen kaitannya dengan arkeologi. Managemen dalam konteks ini

diartikan sebagai cara atau respon terhadap pemilihan lahan dimana yang akan

digunakan, dieksploitasi atau yang akan dikonservasi (Pearson & Sullivan, 1995).

Pendapat laian yang dikemukakan oled Daud Aris Tanudirjo (1998) yakni Cultural

Resource Mangement itu adalah bagaimana mengelola sebuah situs atau kawasan

sumberdaya arkeologi untuk mengakomodir beberapa kepentingan dalam artian bahwa

kajian Cultural Resource Management harus dilihat sebagai managemen konflik

(Tanudirjo, 1998).

Secara garis besar, cultural resource management menekankan pada lima aspek.

Pertama adalah sifat dari sumberdaya arkeologi yang tidak dapat diperbaharui, terbatas,

tidak bisa diganti dan kontekstual. Kedua ada kesadaran bahwa tidak semua

sumberdaya arkeologis dapat diselamatkan dari ancaman kerusakan ataupun musnah

baik karena proses alam maupun faktor yang disebabkan oleh manusia. Sekali

sumberdaya arkeologi tersebut hilang maka tidak mungkin akan dimunculkan kembali.

Begitupun dengan konteksnya, jika sebuah benda arkeologis kehilangan konteks maka

tidak dapat memberikan informasi apa-apa. Ketiga adanya berbagai kepentingan di luar

dari kepentingan arkeologi itu sendiri. Kepentingan di luar arkeologi yaitu masyarakat

luas (publik), antara lain : ekonomi, pariwisata, masyarakat, generasi mendatang

(Tanudirjo, 2005).

Aspek keempat yang menjadi penekanan cultural resource management adalah

pembangunan atau pengembangan yang berkelanjutan. Pengelolaan terhadap

Page 9: Keaslian Dan Keterpaduan Dalam Pengelolaan Warisan Budaya Bawah Air

sumberdaya arkeologi dilakukan bukan untuk kepentingan sesaat, tetapi lebih pada

bagaimana pengelolaan tersebut dapat berjalan secara terus menerus. Kelima adalah

aspek hukum dan politis. Bahwa antara akademisi dan pemerintah harus ada

keterkaitan dari aspek hukum dan politis. Bagaimana pola keterkaitan tersebut,

sebagaimana yang digambarkan dalam skema berikut ini :

(Sumber: Dr. Daud A. Tanudirjo. Materi kuliah Teori Arkeologi pada program studi Arkeologi, Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada).

Cultural resource management, dalam penerapannya mencakup lima langkah

utama yakni : 1) Lokasi, identifikasi dan dokumentasi sumberdaya baik sumberdaya

budaya maupun kawasannya, 2) Assessment value (penilaian nilai penting) terhadap

kawasan, 3) Perencanaan dan pembuatan keputusan berdasarkan dari nilai penting,

peluang dan desakan yang sesuai dengan prinsip-prinsip conservasi, 4) implementasi

dari perencanaan dan kebijakan, dan 5) evaluasi (Pearson and Sullivan, 1995). Langkah

kerja dari Cultural Resource Management sebagaimana yang digambarkan dalam skema

berikut ini :

pemerintah

Akademia

Masyarakat

SDA(sifatnya

Penelitian(keilmuan)

ArkeologiTeoritik

Kepentingan

Masyarakat

ProgramMasyarakat

UUCRM

Page 10: Keaslian Dan Keterpaduan Dalam Pengelolaan Warisan Budaya Bawah Air

(Sumber : Pearson and Sullivan.Looking After Heritage Places : The Basics of Hertage Planning for Managers, Landowners and Administrators. Melbourne University Press. 1995).

Tujuan dari cultural resource management secara garis besar dapat disimpulkan

sebagai berikut :

Menjelaskan atau menguraikan semua nilai (value) yang ada pada kawasan sumber

daya arkeologi.

Mendesain strategi perlindungan dalam jangka panjang minimal mencakup aspek

hukum, perlindungan fisik dan konservasi.

Implementasi cultural resource management dapat mencegah dan mengurangi

terjadinya kerusakan yang lebih parah, baik secara fisik maupun nilai yang dikandung

Identification of the heritage place or object

Assessment of management constrains and opportunities

Assessment of cultural significance

Design of management policy for the place, based on cultural significance and

management constraints

Design of management strategies for the heritage place, which are appropriate to and

achieve the conservation policy

Setting up a management monitoring system, which allows reassessment of any elements of the process, and consequent

revision of the plan

Page 11: Keaslian Dan Keterpaduan Dalam Pengelolaan Warisan Budaya Bawah Air

oleh sumberdaya arkeologi tersebut. Disamping itu, pengelolaan terhadap kawasan

sumberdaya arkeologi juga dapat mengoptimalkan peluang penanganan efek-efek

perusakan baik yang menyangkut obyek arkeologi itu sendiri maupun komponen-

komponen yang lain.

Untuk perluasan yang sesuai, presentasi nilai kawasan untuk membuka akses

masyarakat (public) untuk memaknai sumberdaya arkeologi.

Adapun penerapan cultural resource management dalam pengelolaan warisan

budaya bawah air, tetap mengacu pada konsep yang dipaparkan di atas. Adapun secara

khusus Jeremy Green memaparkan bahwa dalam pengelolaan warisan budaya bawah

air menyatakan bahwa untuk mengelola sumberdaya arkeologi bawah air ada beberapa

langkah yang harus dilakukan yaitu :

1. Identification of the issues, dalam hal ini kita harus mengidentifikasi isu-

isu atau permasalahan yang berkaitan dengan tinggalan arkeologi bawah air,

termasuk dampak yang akan muncul saat penerapan dari CRM.

2. Identification of the resource, dalam hal ini sumberdaya budaya dari

tinggalan arkeologi bawah air, termasuk pelestarian dan pemanfaatan situsnya.

3. Identification of the interest groups, dalam hal ini identifikasi stakeholder

yang memiliki kepentingan dengan sumberdaya arkeologi bawah air baik itu

pemerintah, masyarakat, maupun arkeolog dan ilmuan (lihat Green, 2004 : 374-

375).

Kerangka konsep tersebut, selama ini baru diterapkan pada situs bawah air berupa kapal

karam, misalnya situs kapal karam Liberty di Tulamben Bali. Sebagai panduan mendasar,

konsep ini tetap bisa diterapkan di situs bawah air lainnya termasuk di situs Moko. Hal

yang menarik adalah, konsep keaslian dan keterpaduan dalam penerapan CRM di situs

Moko. Konsep keaslian dan keterpaduan yang bagaimana yang tepat untuk pengelolaan

situs Moko yang berdasarkan hasil survey telah mengalami kerusakan.

B. Keaslian yang “dipalsukan” atau kepalsuan yang “asli”

Page 12: Keaslian Dan Keterpaduan Dalam Pengelolaan Warisan Budaya Bawah Air

Kondisi situs Moko yang telah mengalami kerusakan berupa, hilangnya data

arkeologi sehingga situs pun kehilangan konteks menjadi permasalahan tersendiri dalam

menentukan keaslian dan keterpaduan situs Moko. Apakah keaslian dalam konteks ini

sebatas pada faktor keinsituan artefak dan situs, atau konsep keaslian dan keterpaduan

yang dimodifikasi dan diberikan pemaknaan baru yang sesuai dengan perkembangan

jaman. Apabila kajian yang dilakukan dalam rangka pencapaian tujuan dan paradigma

arkeologi, besar kemungkinan kondisi situs Moko mengakibatkan permasalahan

metodologis yang rumit karena hilangnya konteks. Seperti kita ketahui bersama kontek

dalam penelitian arkeologi sangat penting, dalam kerangka ini konteks dapat dipandang

sebagai keaslian. Ketika keasliannya terganggu maka hasil penelitian pun akan menjadi

bias bahkan bisa mengarah pada kebohongan publik. Walaupun dalam ranah arkeologi

interpretatif kesimpulan yang sifatnya psedo archaeology dianggap syah-syah saja.

Dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya arekologi, seringkali kita

susah untuk membedakan antara arkeologi (tinggalan arkeologi) yang asli, yang dibuat

ulang dan yang fantastis. Hal tersebut bermanfaat jika bertanya pada seseorang, apakah

dia dapat mengenalinya dengan hanya melihat dari dekat. Namun, bahkan mampu

untuk mengidentifikasi satu artefak yang bukan asli (palsu), tidak berarti anda

mengetahui proses yang begitu rumit yang dengan itu menjadi nyata. Hanya melabel

sesuatu yang palsu serupa dengan satu artefak yang asli yang anda tidak ketahui

konteksnya baik dari manufaktur, penggunaan, barang buangan atau penemuan.

Kondisi seperti itulah, yang diterapkan di situs pemukiman tebing Manitou

Springs di Colorado. Situs ini merupakan objek wisata terkenal yang mencerminkan

budaya Indian Anasazi di masa lalu. Hal yang membedakan dengan situs-situs Indian

lainnya adalah, karena situs ini menampilkan kepalsuan. Manitou Springs terletak jauh

di luar lingkaran yang termasuk pemukiman Anasazi, yang terpusat di sekitar lembah

sungai San Juan di empat sudut daerah Colorado3. Pemukiman tebing itu sendiri

dibangun kira-kira ratusan tahun lalu antara 1896-1906 AD. pemukiman tebing Manitou

ini dibangun kira-kira ratusan tahun lalu antara 1896-1906 AD. Sebagian besar arkeolog

mengidentifikasikan proses pembangunan pemukiman tebing ini merupakan transisi 3 Untuk lebih jelas mengenai situs ini lihat uraian Linda Cordel dalam Fake of Anasazi in Manitou Springs

Page 13: Keaslian Dan Keterpaduan Dalam Pengelolaan Warisan Budaya Bawah Air

dari masa Anasazi ke orang Puebloan modern. Para tukang bangunan batu digunakan

untuk membangun pemukiman seperti aslinya. Hampir semua bagian situs dibuat dari

batuan yang diambil dari reruntuhan puing Anasazi di sebelah barat daya bagian sudut

Colorado. Sehingga batuannya boleh dikatakan otentik atau masih asli. Masih,

sebelumnya memasuki akhir abad, pemukiman tebing belum pernah ada di tebing

hantu. Sehingga hal itu mungkin tidak pernah tepat menamakan keistimewaan geografis

itu dipersamakan sebagai situs. Bukan hanya pemukiman tebing saja yang merupakan

atraksi budaya palsu di daerah ini, tetapi juga the Christmas-Theme Santa’s Workshop

yang sebagian orang dewasa yang berkunjung ke tempat ini percaya pada Santa Claus.

Pemukiman tebing Manitou memperlihatkan kepada kita bagaimana sebuah penelitian

profesional, presentasi akademik dan pemahaman publik tentang masa lalu saling

mempengaruhi (Lovata, 2007).

Berkaitan dengan keinginan pemerintah kota Bau-Bau untuk menjadikan situs

Moko sebagai objek wisata harus melalui perencanaan yang matang. Sebagai situs

bawah air, maka dalam rencana pengelolaannya dapat kita lakukan melalui tahapan-

tahapan sebagaimana yang diuraikan oleh Jeremy Green. Khusus untuk situs Moko,

tahapan yang dilakukan sebagai berikut :

1. Identifikasi isu-isu atau permasalahan yang berkaitan dengan tinggalan

arkeologi bawah air, termasuk dampak yang akan muncul saat penerapan

dari CRM. Dalam hal ini, isu mengenai status kepemilikan lahan perlu

diperjelas, terlebih lokasi situs Moko berada pada lahan milik pribadi,

sehingga apabila pemerintah berniat untuk mengelola situs Moko tentu saja

pemilik lahan harus mendapatkan ganti rugi yang memadai.

2. Identifikasi sumberdaya budaya dari tinggalan arkeologi bawah air, termasuk

pelestarian dan pemanfaatan situsnya. Dalam hal ini keterlibatan para ahli

sangat diperlukan untuk penentuan nilai penting yang dapat menambah daya

tarik tersendiri dari situs Moko.

3. Identifikasi stakeholder yang memiliki kepentingan dengan sumberdaya

arkeologi bawah air baik itu pemerintah, masyarakat, maupun arkeolog dan

Page 14: Keaslian Dan Keterpaduan Dalam Pengelolaan Warisan Budaya Bawah Air

ilmuan. Hal ini dilakukan untuk membuat bentuk pengelolaan yang sifatnya

berkelanjutan sehingga situs Moko sebagai warisan budaya bawah air tetap

dapat lestari.

Dalam rencana pengembangan model pengelolaan situs Moko, setelah melalui

tahapan-tahapan tersebut perlu disepakati model pengelolaan yang berwawasan

pelestarian. Adapun kondisi tinggalan arkeologisnya yang tersisa, tetap dapat dikelola

sebagai bagian tak terpisahkan dari situs Moko. Keramik-keramik kuno yang telah

diangkat oleh pihak pemerintah kota Bau-Bau, setelah dianalisi kandungan nilai

pentingnya dapat dijadikan benda yang bercerita tentang situs Moko dan sejarah

kerajaan Buton. Pemanfaatannya dapat saja dijadikan sebagai koleksi museum maupun

ditampilkan di situs Moko itu sendiri, apakah dikembalikan di bawah air dimana keramik

tersebut ditemukan atau dijadikan koleksi di bangunan permanen yang dibangun di

sekitar situs Moko. Tentu saja hal tersebut dilakukan dengan tetap memberikan

informasi yang benar mengenai status tinggalan arkeologinya.

Hal ini berkaitan kembali dengan keaslian dan keterpaduan dalam konsep

pelestarian warisan budaya. Dalam hal ini keramik-keramik kuno tentu saja tetap

merupakan artefak asli dari situs Moko, dan keaslian bentuknya tetap kita pertahankan

baik keramik yang utuh maupun yang berupa pecahan tetap dipertahankan bentuk

aslinya. Adapun apabila ada pecahan keramik yang untuk tujuan penyampain informasi

kemudian direkontruksi menjadi bentu yang utuh, tetap dapat dilakukan dengan catatan

bahwa itu adalah hasil rekonstruksi. Termasuk dalam hal ini adalah rekonstruksi setting

bentang alam situs Moko, bisa dilakukan untuk memberikan daya tarik yang fantantis

sehingga menarik wisatawan datang. Sehingga bentuk pengelolaan situs Moko

menampilkan hasil rekonstruksi sejarah masa lalu yang berpijak pada argumentasi dan

penelitian yang dilakukan secara ilmiah sehingga nilai keaslian dan keterpaduan tetap

dapat terlihat dengan jelas.

______Bacaan penunjang

Page 15: Keaslian Dan Keterpaduan Dalam Pengelolaan Warisan Budaya Bawah Air

Drajat, Hari Untoro dan Ismijono. 1993. Tinjauan Penanganan Situs Ratu Boko dalam Pertemuan Teknis Dalam Rangka Evaluasi Program Pemugaran Situs Ratu Boko, Yogyakarta

Drajat, Hari Untoro. Tanpa tahun. Benda Cagar Budaya Peringkat Lokal, Regional, Nasional dan Global.

Green, Jeremy. 2004. Maritime Archaeology a Technical Handbook 2nd edition. San Diego : Elsevier Academic Press.

Lovata, Troy. 2007. In Authentic Archaeology “Public uses and abuse of the past” Left Coast Press.

Pearson, Michael and Sharon Sullivan. 1995. Looking After Heritage Places : The Basic of Heritage Planning, for managers, Landowners and Administrators. Melbourne University Press. Melbourne.

Rochmani, Koos Siti. 2003. “Perlindungan Benda Cagar Budaya Bawah Air di Indonesia”. Dalam Buletin Cagar Budaya, No. 3 Januari 2003. hal 14-15

Scovill, Douglas H, Garland J. Gordon and Keith M. Anderson. 1977. “ Guidelines for the Preparation of Statements of Enviromental Impact on Archaeological Resources “ dalam Schiffer, Michael B and George J. Gumerman. 1977 (ed). Conservation Archaeology : A Guide for Cultural Resource Management Studies. Academic Press. New York.

Subroto, Ph. 2003. “Pemanfaatan Benda Cagar Budaya Bangunan Bata Pasca Pugar untuk Kepentingan Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan. Makalah pada Rapat Penyusunan Kebijakan pemanfaatan BCB di Cisarua, Mei 2003. Bogor.

Tanudirjo, Daud Aris. 1998. “ Cultural Resource Management sebagai Manajemen Konflik “ dalam Majalah Artefak No. 19/Februari 1998. Jogjakarta.

__________________. 2000. “Reposisi Arkeologi dalam Era Global”, dalam Buletin Cagar Budaya, No 2 Juli 2000.

_________________. 2003. “Benda Cagar Budaya, Milik Siapa ?”, dalam Kata Pengantar Buku Balung Buto: Warisan Budaya Dunia dalam Perspektif Masyarakat Sangiran Karangan Bambang Sulistyanto. Yogyakarta: Kunci Ilmu.

_________________. 2006. “Pemanfaatan Benda Cagar Budaya Bawah Air untuk Kepentingan Masyarakat”, Makalah dalam Rapat Penyusunan Silabus Pengelolaan Peninggalan Arkeologi Bawah Air Yogyakarta, 30-31 Agustus 2006