37
CRITICAL REVIEW Studi Kasus: Kearifan Lokal (Local Wisdom) Masyarakat Suku Sunda Dalam Pengelolaan Lingkungan yang Berkelanjutan Final Assignment Paper of Social and Culture Environment Graduate School of Environment Science Magister Program of Environmental Management Written by: SYAMPADZI NURROH NIM: 13/354980/PMU/7908 Lecture: Agus Joko Pitoyo, S.Si, M.A. GRADUATE OF SCHOOL GADJAH MADA UNIVERSITY Y O G Y A K A R T A 2 0 1 4

Kearifan Lokal (Local Wisdom) Masyarakat Suku.pdf

  • Upload
    satria

  • View
    109

  • Download
    2

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kearifan Lokal (Local Wisdom) Masyarakat Suku.pdf

CRITICAL REVIEW

Studi Kasus: Kearifan Lokal (Local Wisdom) Masyarakat Suku Sunda Dalam Pengelolaan Lingkungan yang Berkelanjutan

Final Assignment Paper of Social and Culture Environment

Graduate School of Environment Science Magister Program of Environmental Management

Written by:

SYAMPADZI NURROH

NIM: 13/354980/PMU/7908

Lecture:

Agus Joko Pitoyo, S.Si, M.A.

GRADUATE OF SCHOOL

GADJAH MADA UNIVERSITY Y O G Y A K A R T A

2 0 1 4

Page 2: Kearifan Lokal (Local Wisdom) Masyarakat Suku.pdf

1

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................................................. 1

DAFTAR TABEL .......................................................................................................................... 2

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ................................................................................................ 3

1.2. Tujuan ............................................................................................................... 4

BAB II TINJAUAN LITERATUR

2.1. Kearifan Lokal (Local Wisdom).......................................................................... 5 2.2. Sistem Pengelolaan Pertanian Masyarakat Adat (Huma-Talun) ....................... 7 2.3. Sistem Pengelolaan Hutan Masyarakat Adat .................................................. 10 2.4. Sistem Pengelolaan Sumber daya Air Oleh Masyarakat Adat......................... 14 2.5. Dinamika Kearifan Lokal Masyarakat Adat ...................................................... 18

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Profil Kearifan Lokal (Local Wisdom) .............................................................. 19

3.1.1. Pengelolaan huma-talun........................................................................ 19

3.1.2. Pengelolaan huma-kebun campuran (Agroforestry) .............................. 24

3.2. Profil Dinamika Kearifan Lokal (Local Wisdom) ............................................... 28

3.2. Critical Review: Determinan perilaku ramah lingkungan ................................. 31

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan .................................................................................................... 34

4.2. Saran ............................................................................................................... 34 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 36

Page 3: Kearifan Lokal (Local Wisdom) Masyarakat Suku.pdf

2

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Peranan kearifan lokal ........................................................................................ 8

Tabel 2.2. Hubungan kearifan lokal dan implikasi pelestarian sumber daya alam ............. 17

Tabel 3.1. Data analisis vegetasi dari salah satu warga di Desa Kemang ......................... 28

Tabel 3.2. Rekapitulasi perbedaan huma-talun suku adat Baduy dan masyarakat adat Desa Kemang ........................................................................................... 23

Tabel 3.3. Jangka waktu proses huma-kebun campuran (secondary forest) ..................... 26

Tabel 3.4. Kajian Kearifan lokal Masyarakat Adat (Suku Sunda Jawa Barat) .................... 33

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Tata letak hutan berdasarkan fungsi dan tujuan pembagian hutan di masyarakat Baduy (suku Sunda). .................................................... 14

Gambar 3.1. Profil Pengelolaan lahan pada masyarakat adat (Desa Kemang). ................ 19

Gambar 3.2. Profil jenis tanaman dalam pengelolaan (huma-talun) di Desa Kemang ....... 20

Gambar 3.3. Profil Pengelolaan (huma-talun) masyarakat adat (Desa Kemang).............. 21

Gambar 3.4. Profil Pengelolaan (huma-kebun campuran) masyarakat adat Baduy........... 24

Gambar 3.5. Profil Pengelolaan huma-kebun campuran masyarakat adat Desa Kemang 26

Gambar 3.6. Profil Pengelolaan program agroforestry Perhutani ....................................... 27

Gambar 3.7. Profil dinamika kearifan lokal ......................................................................... 28

Gambar 3.8. Profil dinamika pola pengelolaan (huma-kebun campuran)

berubah menjadi pola tanam monokultur ...................................................... 29

Gambar 3.9. Konsep The theory of planned behaviour ...................................................... 31

Gambar 3.10. Profil Pengelolaan program agroforestry masyarakat sekitar hutan .............. 32

Page 4: Kearifan Lokal (Local Wisdom) Masyarakat Suku.pdf

3

BAB I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pengelolaan lingkungan terkait antara hubungan faktor abiotik, biotik dan

sosial budaya pada lokasi tertentu, hal ini berkaitan dengan kawasan bentanglahan

yang mencakup pada sistem ekologi dan ekosistem lokasi tersebut. Dalam

pengelolaan lingkungan hidup bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat

merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan

dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam perkembangannya kebijakan-kebijakan pemerintah dalam

pengelolaan lingkungan hidup tertuang dalam Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan hidup. Dinamika dalam pengelolaan lingkungan mengalami

perkembangan secara signifikan dari waktu ke waktu sehingga UU Nomor 23

Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup dilakukan pembaharuan

menjadi UU RI Nomor 32 Tahun 2009. Hal ini diperlukan untuk lebih menjamin

kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk

mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan

terhadap keseluruhan ekosistem.

Pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan tersebut dipengaruhi oleh

proses-proses interaksi komponen lingkungan yaitu abiotik, biotik dan sosial,

ekonomi serta budaya. Apabila ditinjau dari aspek sosial, ekonomi dan budaya,

Perilaku manusia dalam theory of planned behaviour (Ajzen 2005) menyatakan

bahwa untuk mencapai tujuan pengelolaan lingkungan yang lestari dipengaruhi

oleh faktor latar belakang yang terdiri dari faktor personal, faktor sosial dan faktor

informasi, ketiga faktor tersebut mempengaruhi perilaku manusia untuk hidup

berdampingan dengan alam. Hal ini berkaitan dengan perilaku manusia ramah

terhadap lingkungan, bagaimana manusia berinteraksi dengan lingkungan.

Page 5: Kearifan Lokal (Local Wisdom) Masyarakat Suku.pdf

4

Perilaku manusia menjadi output terhadap faktor-faktor latar belakang

tersebut khususnya untuk masyarakat tertentu, output tersebut dapat menjadi

sebuah pola kebiasaan yang ternormakan, hal ini berkaitan degan keyakinan

perilaku, keyakinan normatif, dan keyakinan kontrol (Ajzen 2005).

Keyakinan normatif berupa norma-norma (suatu pola aturan) yang

mempengaruhi perilaku suatu masyarakat tertentu, seperti istilah folksways yaitu

kecenderungan mengikuti perilaku khalayak umum, contohnya adalah buang

sampah, mengikuti mayoritas tindakan masyarakat. Seperti sebagian besar

masyarakat membuang sampah dilokalisasi dan dibakar, sehingga hampir semua

penduduk sekitar mengikuti tindakan mayoritas masyarakat tersebut (Nurroh

2014). Sedangkan istilah custom terdiri dari pola cocok tanam, pola budidaya

tanaman, pola tanaman semusim, dan pola interaksi sosial. Secara umum pola

cocok tanam bersifat turun menurun pada masyarakat adat tertentu.

Norma Custom berkembang menjadi sebuah kearifan lokal (local wisdom),

karena ikatan aturannya sangat kuat dalam mempengaruhi perilaku pada

masyarakat tertentu. Kecenderungan kearifan lokal memiliki nilai positif baik

terhadap hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Sehingga

Kearifan lokal menjadi penting untuk dilestarikan dan dipertahankan sebagai

perilaku positif dalam mendukung pengelolaan lingkungan yang lestari dan

berkelanjutan.

1.2. Tujuan

Berdasarkan latar belakang seperti telah diuraikan , maka penulisan Critical

Review “Studi Kasus: Kearifan Lokal (Local Wisdom) Masyarakat Suku

Sunda Dalam Pengelolaan Lingkungan yang Berkelanjutan” sebagai

pendekatan untuk mempelajari kearifan lokal (local Wisdom) Suku Sunda,

provinsi Jawa Barat sebagai bentuk perilaku masyarakat yang ramah lingkungan

terhadap pengelolaan lingkungan yang lestari dan berkelanjutan.

Page 6: Kearifan Lokal (Local Wisdom) Masyarakat Suku.pdf

5

BAB II. TINJAUAN LITERATUR

2.1. Kearifan Lokal (Local Wisdom)

Sungsri 2010 dalam Ardianto (2012) menyatakan bahwa Konsep Kearifan

lokal (local wisdom) adalah pengetahuan dan pengalaman berkaitan dengan

kehidupan sehari-sehari, occupations dan budaya yang sudah turun-temurun dari

sejumlah generasi ke sejumlah generasi lainnya.

“Knowledge and experience related to day to day living,

occupations and culture had been passed on from

generations to generations”

Istilah kearifan lokal adalah terjemahan dari “local genius,” yang pertama

kali diperkenalkan oleh Quaritch Wales pada tahun 1948-1949 dengan

pengertiannya “kemampuan kebudayaan setempat dalam menghadapi pengaruh

kebudayaan asing pada waktu kebudayaan itu berhubungan.” (Rosidi 2011).

Pengetahuan dan pengalaman-pengalaman masih banyak digunakan orang

sampai saat ini, karena mereka secara mendalam terkait dengan cara atau

pandangan hidup mereka. Jika kearifan lokal adalah setelah dilihat secara baik dan

dipromosikan, mereka dapat menjadi sumber-sumber pengetahuan yang sangat

baik, menjadi informasi dan pedoman bagi kualitas pengembangan kehidupan

orang-orang. Sungsri 2010 dalam Ardianto (2012) menyatakan bahwa keterkaitan

kelestarian kearifan lokal dapat dipertahankan.

“These knowledge and experiences are still useful for

people at present because they deeply relate to their way of

live. If these local wisdom are well looked after and

promoted, they can be very good sources of knowledge,

information and guidelines for quality of life development of

people”

Page 7: Kearifan Lokal (Local Wisdom) Masyarakat Suku.pdf

6

Ridwan (2007) dalam Aulia et al (2010) menyatakan bahwa bahwa

kearifan lokal dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal

budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek atau

peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian tersebut disusun secara

etimologi, dimana kearifan dipahami sebagai kemampuan seseorang dengan

menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil

penilaian terhadap sesuatu, objek atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah

istilah wisdom kemudian diartikan sebagai kearifan/kebijaksanaan.

Sirtha (2003) dalam Aulia et al (2010) menyatakan bahwa bahwa bentuk-

bentuk kearifan lokal yang ada dalam masyarakat dapat berupa: nilai, norma,

kepercayaan, dan aturan-aturan khusus. Bentuk yang bermacam-macam ini

mengakibatkan fungsi kearifan lokal menjadi bermacam-macam pula. Berikut ini

pada Tabel 2.1. mengenai peranan kearifan lokal dalam pengembangan dan

pengelolaan lingkungan.

Tabel 2.1. Peranan kearifan lokal

No Komponen Peranan

1 Sumber daya Alam/Lingkungan Kearifan lokal berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumberdaya alam atau lingkungan

2 Sumber daya Manusia Kearifan lokal berfungsi untuk mengembangkan sumber daya manusia

3 Ilmu Pengetahuan Kearifan lokal berfungsi sebagai pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan

4 Filosofi Kearifan lokal Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan

Sumber: Sirtha 2003

Iskandar (2009) dalam Permana et al (2011) menyatakan bahwa

masyarakat tradisional umumnya juga memiliki pengetahuan lokal dan kearifan

ekologi dalam memprediksi dan melakukan mitigasi bencana alam di daerahnya.

Masyarakat lokal yang bermukim di lereng Gunung Merapi, Jawa Tengah,

misalnya, telah mempunyai kemampuan untuk memprediksi kemungkinan

terjadinya letusan. Hal tersebut antara lain menggunakan indikator berbagai jenis

hewan liar yang turun lereng di luar kebiasaan dalam kondisi lingkungan normal.

Page 8: Kearifan Lokal (Local Wisdom) Masyarakat Suku.pdf

7

Berbagai contoh kearifan dalam pelestarian lingkungan hidup masyarakat

lokal dapat pula ditemukan misalnya pada masyarakat Kasepuhan (Jawa Barat),

masyarakat Siberut (Sumatera Barat), masyarakat Kajang (Sulawesi Selatan), dan

masyarakat Dani (Papua). Umumnya, masyarakat lokal beranggapan bahwa

lingkungan di sekitarnya ada yang memiliki dan menghuni selain manusia. Oleh

karena itu, manusia yang berdiam di sekitarnya harus menghormati dan menjaga

tempat-tempat mereka itu, seperti hutan, gunung, lembah, dan sumber air. Bahkan

tidak sedikit tempat-tempat tersebut dijadikan tempat yang sakral atau

dikeramatkan (Permana et al 2011)

2.2. Sistem Pengelolaan Pertanian Masyarakat Adat (Huma-Talun)

Iskandar (1992) dalam Permana et al (2011) menyatakan bahwa

Perladangan merupakan aktivitas bercocok tanam atau pertanian bersifat

tradisional. Perladangan biasanya dilakukan secara berpindah-pindah, atau sering

pula disebut dengan istilah asingnya shifting, swidden, slash and burn, atau

shifting cultivation. Kegiatan perladangan ini dikenal hampir di seluruh belahan

dunia terutama yang beriklim tropis. Istilah perladangan di Indonesia disebut

huma (Jawa Barat), juma (Sumatra), dan umai (Kalimantan).

Iskandar (1992) mengungkapkan bahwa perladangan di berbagai wilayah

di dunia telah banyak yang mengalami perubahan. Hal ini disebabkan karena

pertambahan penduduk yang pesat, perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi yang semakin maju, dan perkembangan ekonomi yang cepat. Perubahan

sistem perladangan yang terjadi di beberapa bagian masyarakat dunia itu, tidak

otomatis berlaku pula di Indonesia.

Sistem pengelolaan pertanian (huma-talun) masyarakat adat Suku Sunda

provinsi Jawa barat, salah satu kelompok masyarakat perladangan di Indonesia

yang masih memegang teguh adat tradisi perladangan ini adalah masyarakat adat

Baduy dan masyarakat Desa Kemang, Cianjur. Sebagai tinjauan literatur maka

masyarakat adat Baduy akan lebih dipaparkan dibandingkan masyarakat Desa

Kemang sebagai pembanding mengenai kearifan lokal suku Sunda.

Page 9: Kearifan Lokal (Local Wisdom) Masyarakat Suku.pdf

8

Tradisi perladangan pada masyarakat Baduy secara tradisional masih tetap

berlangsung hingga detik ini. Ladang menurut masyarakat Baduy disebut huma.

Bekas huma yang masih baru ditinggalkan disebut jami, sedangkan bekas huma

yang sudah lama ditelantarkan hingga menjadi semak disebut reuma (Iskandar,

2000 ; Permana 2010).

Permana et al (2011) menyatakan bahwa menurut tradisi masyarakat

Baduy dikenal lima macam huma, yakni: (a) huma serang, ladang adat kepunyaan

bersama yang hanya terdapat di Baduy Tangtu (awam menyebutnya Baduy

Dalam), yaitu di Cikeusik, Cikartawana, dan Cibeo, (b) huma puun, ladang dinas

selama menjabat sebagai puun yang letaknya tidak jauh di belakang rumah puun,

(c) huma tangtu, ladang untuk keperluan penduduk Baduy Tangtu, (d) huma

tuladan, ladang untuk keperluan upacara (seperti huma serang) di Baduy

Panamping (Baduy Luar), dan (e) huma panamping, ladang untuk keperluan

penduduk Baduy Panamping (Permana, 2010:52-54). Huma serang dibuka dan

ditanam terlebih dahulu, kemudian diikuti dengan huma puun, huma tangtu, lalu

huma tuladan dan huma panamping. Jenis-jenis huma tersebut merupakan strategi

ketahanan pangan masyarakat Baduy. Dalam adat Baduy, padi yang dihasilkan

terutama untuk keperluan upacara adat dan keperluan sehari-hari, serta tidak boleh

diperjualbelikan. Hasil padi dari huma serang untuk keperluan upacara adat

Baduy Tangtu dan keseluruhan Baduy, sedangkan padi dari huma panamping

untuk upacara adat di wilayah panamping. Jika terjadi gagal panen di huma

serang, maka padi upacara diambil dari huma panamping. Jika keduanya gagal

panen, maka padi diambil dari huma tangtu dan huma panamping. Strategi itu

merupakan antisipasi kegagalan panen misalnya akibat cuaca yang tidak menentu

dan serangan hama

Konsep bahwa perladangan merupakan bagian dari kehidupan masyarakat

adat adalah kegiatan perladangan utamanya adalah menanam padi. Selain sebagai

makanan pokok, padi juga merupakan tanaman yang dianggap mulia atau

dikultuskan berkenaan kepercayaan atau keyakinan perilaku yang mempengaruhi

sikap terhadap perilaku (Ajzen 2005). Hal ini telah di telusuri mengenai

mengkultuskan tanaman padi sebagai keyakinan perilaku terhadap perladangan

Page 10: Kearifan Lokal (Local Wisdom) Masyarakat Suku.pdf

9

untuk menanam padi. Kalsum (2010) dalam Permana et al (2011) menyatakan

bahwa masyarakat Sunda di wilayah Jawa Barat sangat menghormati padi karena

diyakini sebagai penjelmaan Nyi Sri atau Nyi Pohaci Sanghyang Asri atau Dewi

Padi. Penghormatan kepada padi terlihat sepanjang proses perladangan, panen,

hingga pascapanen. Konsep dan penghormatan tentang Nyi Sri atau Nyi Pohaci

tersebut terdapat pula dalam karya naskah kuno Sunda, misalnya Wawacan

Sulanjana. Dalam naskah itu dikatakan bahwa tanaman padi diyakini berasal dari

Dewi yang dimuliakan oleh tokoh-tokoh mulia lainnya, antara lain Batara Guru,

Prabu Siliwangi, dan Semar. Tradisi penghormatan kepada padi tersebut

merupakan kearifan lokal yang tetap harus dipelihara dan dijaga sebagai upaya

mempertahankannya sebagai makanan pokok.

Dampak pengelolaan tanah dari kegiatan huma dengan membuka ladang

yang tidak bersamaan dan pada tempat yang berbeda akan menyebabkan

penurunan kualitas tanah baik tingkat kesuburan maupun sedimen dan erosi. Serta

berimplikasi terhadap kegagalan panen. Hal ini yang menyebabkan adanya

keyakinan kontrol yang mempengaruhi kontrol perilaku yang dirasakan untuk

mencegah (mitigasi) terhadap dampak yang akan ditimbulkan dengan kata lain

perilaku ramah lingkungan untuk memperoleh pengelolaan lingkungan yang

berkelanjutan. Permana et al (2011) menyatakan bahwa kearifan lokal masyarakat

Baduy dalam tradisi perladangan yang berdampak pada mitigasi bencana terlihat

dalam tradisi pemilihan dan pembakaran lahan ladang (huma). Tradisi pemilihan

lahan ladang berkaitan dengan mitigasi bencana tanah longsor, sedangkan tradisi

pembakaran lahan ladang berkaitan dengan mitigasi kebakaran hutan.

Menurut pengetahuan yang turun-temurun dari sejumlah informan dan

narasumber diketahui bahwa pemilihan lahan huma didasarkan atas jenis tanah,

kandungan humus, dan kemiringan lereng. Dari segi jenis tanahnya dapat dilihat

berdasarkan warna, kandungan air dan udara, serta kandungan batu. Berdasarkan

warnanya dikenal taneuh hideung (tanah hitam), taneuh bodas (tanah putih), dan

taneuh beureum (tanah merah). Tanah hitam merupakan prioritas karena tanah

tersebut banyak mengandung surubuk (humus). Berdasarkan kandungan air dan

udaranya dikenal taneuh liket (tanah lengket) dan taneuh bear (tanah gembur).

Page 11: Kearifan Lokal (Local Wisdom) Masyarakat Suku.pdf

10

Untuk memperoleh lahan huma yang baik, maka sebaiknya dipilih taneuh bear

karena pada tanah ini selain terdapat air, juga longgar dan terdapat banyak udara

sehingga akar tanaman bisa bebas bergerak dan bernapas. Sementara itu,

berdasarkan kandungan batunya, lahan yang baik adalah taneuh teu aya batuan

(tanah yang tidak ada batunya) dan jangan memilih taneuh karang (tanah yang

banyak terdapat batu) (Permana et al 2011).

Berkaitan pengelolaan tanah yang berkelanjutan untuk menjaga kesuburan,

dalam jurnal berjudul “Kearifan lokal tentang mitigasi bencana pada masyarakat

Baduy” Permana et al (2011) menyatakan bahwa dari segi kandungan humusnya

dapat dilihat dari banyak tidaknya surubuk dan okang. Surubuk merupakan istilah

Baduy untuk menyebut humus sebagai kandungan dalam tanah yang dapat

menyuburkan tanaman, sedangkan okang berupa daun-daun kering yang jatuh

atau terdapat pada permukaan tanah. Kedua unsur ini sangat penting bagi

masyarakat Baduy sebagai pupuk organik. Berbeda dengan jenis tanah dan

kandungan humus, segi kemiringan lereng lebih berkaitan langsung dengan

mitigasi bencana. Menurut para informan, dari segi kemiringan lereng orang

Baduy membedakannya menjadi lahan gedeng (lahan yang miring atau curam)

dan lahan cepak (lahan di tempat datar). Pilihan terbaik untuk lahan ladang adalah

lahan cepak. Secara praktis lahan tersebut lebih mudah dalam pembukaan dan

pengelolaan lahan. Tetapi dalam kenyataan di lapangan didapati bahwa bentukan

permukaan lahan di wilayah Baduy jarang sekali ditemukan tanah yang datar

sehingga banyak ladang ditemukan pada lahan gedeng. Oleh karena itu, upaya

mitigasi longsor yang dilakukan adalah dengan tidak menebang pohon-pohon

besar yang terdapat di lahan tersebut. Selain itu, untuk menjaga agar humus tanah

tidak terbawa air hujan, maka pada lereng tersebut biasanya dibuat teras-teras

penahan yang terbuat dari potongan-potongan kayu.

2.3. Sistem Pengelolaan Hutan Masyarakat Adat

Masyarakat tradisional atau adat yang tinggal di pedesaan merupakan

masyarakat yang senantiasa menjaga kebudayaan dan kearifan lokal yang

tertanam di masyarakat tersebut. Bentanglahan di pedesaan relatif masih alami

dikarenakan introduksi informasi dan teknologi belum mempengaruhi aktivitas

Page 12: Kearifan Lokal (Local Wisdom) Masyarakat Suku.pdf

11

masyarakat tersebut. Hal ini berkaitan dengan bentanglahan seperti ekosistem

hutan dimana penyebaran penduduk desa berada disekitarnya. Salah satu contoh

suku Sunda Jawa Barat yaitu masyarakat adat Baduy. Permana et al (2011)

menyatakan bahwa pengelolaan ekosistem hutan dan air dalam kaitannya dengan

mitigasi bencana banjir dan longor tercermin dalam fungsi dan letak hutan dan air.

Berdasarkan pemaparan dari Jaro Daenah (58 tahun) yang juga Kepala Desa

Kanekes (Jaro Pamarentah), fungsi hutan terbagi menjadi tiga jenis, yaitu hutan

larangan, hutan dungusan atau dudungusan, dan hutan garapan. Hutan larangan

adalah hutan lindung yang tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang yang di

dalamnya, bahkan orang Baduy atau pimpinan adat sekalipun.

Berdasarkan hasil penelitian di masyarakat adat Baduy, Permana et al

(2011) menyatakan bahwa pembagian tiga jenis hutan berdasarkan fungsi dan

tujuan. Salah satunya adalah Hutan dudungusan yang merupakan jenis hutan yang

dilestarikan karena berada di hulu sungai, atau di dalamnya dianggap terdapat

keramat atau diyakini sebagai tempat leluhur Baduy. Sementara itu, hutan garapan

adalah hutan yang dapat digarap untuk dijadikan ladang (huma) oleh masyarakat

Baduy secara umum. Hutan larangan terdapat di wilayah hutan lindung di selatan

Baduy tangtu. Di dalam hutan larangan terdapat tempat suci masyarakat Baduy

bernama Sasaka Domas atau Sasaka Pusaka Buana tempat bersemayam Yang

Maha Kuasa yang disebut Nu Kawasa atau disebut juga dengan Batara Tunggal

Obyek. Menurut keyakinan masyarakat Baduy, lanjut Jaro Daenah, di sinilah

tempat berkumpulnya para karuhun (nenek moyang), bahkan tempat asal-asul

mereka. Di tempat ini pula diyakini sebagai awal penciptaan bumi ini sehingga

disebut juga sebagai inti jagad atau pusat dunia.

Hutan dungusan atau dudungusan berfungsi untuk melindungi hulu

sungai. Hutan dudungusan ini terdapat di hulu-hulu sungai antara lain

dudungusan Cihalang (terletak antara kampung Gajeboh dan Cicatang),

dudungusan Cikondang (antara kampung Gajeboh dan Cicakal), dudungusan

Cimambiru (dekat kampung Balimbing), dudungusan Cigaru (dekat ampun

Gajeboh), dudungusan Jambu (dekat kampung Cicakal), dudungusan Cikuya

(dekat kampung Marengo), dan dudungusan Kalagian (dekat kampung Cibeo).

Page 13: Kearifan Lokal (Local Wisdom) Masyarakat Suku.pdf

12

Para informan mengungkapkan bahwa hutan dudungusan itu dilindungi untuk

menjaga keberlanjutan air dan sungai untuk kebutuhan vital masyarakat sehari-

hari. Hutan di sekitar atau sepanjang daerah aliran sungai (DAS) juga berfungsi

untuk menahan erosi atau kikisan tepi sungai yang dapat menyebabkan banjir atau

air sungai menjadi keruh atau kotor.

Hutan garapan merupakan lahan tempat orang Baduy dapat membuka dan

mengerjakan ladangnya. Kegiatan berladang pada hakikatnya adalah

menjodohkan dan mengawinkan (ngararemokeun) Nyi Pohaci Sanghyang Asri

dengan bumi. Padi harus ditanam menurut ketentuan karuhun (nenek moyang).

Semua doa dan perbuatan baik dilakukan selama proses berladang tersebut.

Karena kegiatan berladang hanya berlaku perbuatan baik, maka lahan dan

lingkungan hutan garapan pun selalu terjaga dengan baik.

Berdasarkan keletakannya, menurut keterangan yang dihimpun dari para

narasumber dan informan, hutan Baduy terbagi atas tiga bagian, yakni hutan tua

(leuweung kolot), hutan ladang (leuweung reuma), dan hutan kampung (leuweung

lembur). Hutan tua disebut juga hutan titipan (leuweung titipan) terdapat pada

puncak-puncak bukit atau gunung. Pohon-pohon yang terdapat di hutan tua ini

tidak boleh dibuka untuk ladang (huma) dan tidak boleh ditebang, kecuali diambil

kayunya secara terbatas untuk kayu bakar. Kearifan dari konsepsi budaya ini

bahwa pohon-pohon besar di puncak bukit akan menjadi “payung” yang

menaungi bukit itu agar tidak terjadi erosi atau tanah longsor ketika hujan turun.

Pohon-pohon di atas bukit juga berguna untuk menyimpan air sehingga

ketersediaan air tanah tidak kekurangan dan kesuburan tanah tetap terjaga

(Permana et al 2011).

Hutan kampung yang terdapat di dekat atau sekitar perkampungan juga

tidak boleh dirusak. Apalagi biasanya hutan-hutan dekat kampung itu juga berada

di sekitar sumber-sumber air. Hutan ini perlu dijaga kelestariannya sebagai upaya

menjamin ketersediaan sumber air. Hutan kampung juga merupakan sumber daya

alam yang kaya untuk memenuhi keperluan sehari-hari, seperti sumber makanan,

air, kayu bakar, dan bahan untuk memperbaiki rumah.

Page 14: Kearifan Lokal (Local Wisdom) Masyarakat Suku.pdf

13

Hutan ladang atau hutan sekunder (reuma) terdapat di antara hutan tua dan

hutan kampung. Hutan ladang ini terbentuk dari pohon-pohon yang sengaja atau

tidak sengaja tumbuh ketika lahan huma diberakan pada jangka waktu tertentu.

Walaupun hutan di daerah ini boleh ditebang, tetapi tetap dilakukan secara

terkendali. Artinya, masyarakat tidak menebang sembarangan, terutama pohon-

pohon besar, pohon yang dapat berfungsi penahan erosi, atau sebagai peneduh.

Oleh karenanya walaupun sedang dibuka untuk ladang (huma) pohon-pohon

tertentu akan tetap tumbuh dengan baik. Pohon-pohon tersebut selain berfungsi

sebagai peneduh, juga dapat berguna memperkuat lereng tanah agar tidak terjadi

erosi atau tanah longsor. Sekarang ini hutan yang sedang diberakan banyak

ditanam dengan pohon jeungjeung (albasiah; Paraserianthes falcatarina (L.)

Nielsen).

Pohon tersebut selain cepat dan mudah tumbuh serta berfungsi sebagai

penghijauan. Ketika selesai masa bera, kayunya dapat digunakan sendiri untuk

kayu bakar atau dijual untuk bahan membangun rumah. Tanaman ini juga disukai

oleh masyarakat Baduy karena cepat tumbuh dan menghasilkan zat nitrogen untuk

mempercepat kesuburan tanah (Iskandar dan Ellen (2000) dalam (Permana et al

2011)

Secara skematis, keletakan ketiga hutan tersebut pada sebuah bukit atau

gunung menurut konsepsi budaya Baduy dapat dilihat pada skema pembagian

hutan Baduy berdasarkan keletakannya (Gambar 2.1.). Bagian atas merupakan

hutan tua (leuweung kolot), bagian tengah merupakan hutan ladang (leuweung

reuma), dan bagian bawah merupakan hutan kampung (leuweung lembur). Berikut

ini disajikan pada Gambar 2.1. mengenai tata letak hutan berdasarkan fungsi dan

tujuan pembagian hutan di masyarakat baduy (suku Sunda).

Page 15: Kearifan Lokal (Local Wisdom) Masyarakat Suku.pdf

14

Gambar 2.1. Tata letak hutan berdasarkan fungsi dan tujuan pembagian hutan di

masyarakat Baduy (suku Sunda). Sumber: (Permana et al 2010)

2.4. Sistem Pengelolaan Sumber daya Air Oleh Masyarakat Adat

Salah satu masyarakat adat dalam mengelola sumber daya air sebagai

kearifan lokal, diteliti oleh Aulia et al (2010) adalah masyarakat Kampung Kuta,

Suku Sunda Jawa Barat. Sumber daya air yang terdapat di Kampung Kuta

digunakan dalam dua fungsi yaitu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan

untuk ritual adat. Air diperlukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti

untuk minum, masak, MCK (mandi, cuci, kakus), mengairi sawah, kolam ikan,

dan memenuhi kebutuhan hewan ternak diambil dari sumber air bersih yang

berasal dari empat mata air, yaitu Cibungur, Ciasihan, Cinangka dan

Cipanyipuhan.

Masyarakat hanya memanfaatkan sumber mata air ini untuk semua

kebutuhan hidup sehari-hari dan dilarang untuk menggali sumur sendiri.

Pelarangan penggalian sumur ini untuk menjaga kondisi air bawah tanah agar

Page 16: Kearifan Lokal (Local Wisdom) Masyarakat Suku.pdf

15

selalu baik, bersih dan untuk menjaga tanah yang kondisinya sangat labil.

Pelanggaran pembuatan sumur ini merupakan salah satu budaya pamali yang

sangat ditekankan di Kampung Kuta.

Untuk mengalirkan air dari mata air ke tempat pemandian umum,

menggunakan selang plastik/paralon dan bambu ke tempat penampungan atau

pemandian umum. Pemandian umum dan jamban terletak di atas kolam ikan

sehingga rantai kehidupan berjalan baik. Pemasangan selang/paralon harus

dilakukan dari hulu ke hilir sehingga air dapat mengalir dengan baik. Berdasarkan

pernyataan Bapak Karmin diatas, tahap pemasangan selang/paralon yaitu:

1. Melakukan penggalian tanah sekitar lima puluh sentimeter.

2. Memasukkan selang/paralon pada galian tersebut.

3. Menimbun selang/paralon tersebut menggunakan batu atau ijuk. Batu atau

ijuk digunakan agar selang tertahan dan tidak keluar dari galian tersebut.

4. Untuk mengalirkan air, selang/paralon yang digunakan sekitar lima

sampai sepuluh lente (satu lente sama dengan empat meter).

Fenomena mengenai introduksi penggunaan teknologi di masyarakat

Kampung Kuta terdapat empat orang yang sudah menggunakan jet pump (Sanyo)

untuk menarik air. Mata air yang ditarik menggunakan Sanyo adalah mata air

Cibungur, salah satunya dimanfaatkan oleh Bapak Karmin (Ketua Adat) untuk

menarik air ke samping rumahnya dan pemandian umum untuk tamu di dekat

Pasanggrahan. Mayoritas masyarakat Kampung Kuta lebih memilih untuk

memanfaatkan air yang ada di pemandian umum. Hal ini dikarenakan masyarakat

sekitar sudah terbiasa untuk pergi ke pemandian umum meskipun letaknya jauh

dari rumah.

Sumber daya air yang dimanfaatkan untuk kebutuhan ritual nyipuh adalah

sumber air yang berada di dalam Hutan Keramat. Seseorang yang melakukan

nyipuh akan membasuh diri (berwudhu) di kawah/telaga dan Ciasihan yang

terdapat di dalam Hutan Keramat. Selain digunakan untuk membasuh diri, air dari

kawah dan Ciasihan boleh dibawa pulang dengan dimasukkan ke dalam botol.

Botol yang dibawa diisi air setengah dari kawah dan setengahnya lagi untuk

Page 17: Kearifan Lokal (Local Wisdom) Masyarakat Suku.pdf

16

dipenuhi dengan air Ciasihan yang terlewati ketika pulang. Apabila ada air yang

tertelan, tidak boleh diludahkan. Harus terus diminum. Sumberdaya air yang

terdapat di dalam Hutan Keramat hanya digunakan untuk keperluan ritual nyipuh

yang ditemani oleh kuncen. Pengelolaan Hutan Keramat merupakan bagian dari

budaya pamali yang memiliki norma-norma dan merupakan suatu bentuk

konservasi hutan yang dilakukan hingga saat ini oleh masyarakat Kampung Kuta.

Pengelolaan hutan erat kaitannya dengan pengelolaan sumber daya air yang ada di

dalamnya. Sumber daya air yang ada di dalam Hutan Keramat tidak dimanfaatkan

untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sehari-hari. Hal ini disebabkan adanya

pelarangan dalam memanfaatkan sumber daya yang ada di dalam Hutan Keramat

demi kelestarian Hutan Keramat. Adanya Budaya pamali dalam pengelolaan

Hutan Keramat yang terbukti menjaga kelestarian ekosistem di dalamnya maka,

sumber daya air yang ada di dalamnya pun terjaga dengan baik

Kearifan lokal yang berupa budaya pamali berhasil menjaga kelestarian

hutan dan sumber daya air di Kampung Kuta. Kearifan lokal ini merupakan suatu

bentuk aplikasi konservasi hutan dan air. Masyarakat secara sadar melakukan

pengelolaan hutan dan air dengan berlandaskan budaya pamali yang telah

dilakukan secara turun-temurun. Keberhasilan Kampung Kuta dalam Melestarikan

Budaya Pamali , antara lain melestarikan rumah adat dusun Kuta, melestarikan

hutan lindung (Hutan Keramat) dan satwa yang ada di dalamnya, melestarikan

sumber-sumber mata air melalui penanaman/pemeliharaan tanaman tahunan

sekitar mata air, melestarikan kesenian setempat seperti Ronggeng Tayub,

Terbang, dan Gondang Buhun dan melestarikan upacara adat setempat yaitu

Nyuguh, Hajat Bumi, dan Babarit.

Kearifan lokal yang masih dipertahankan oleh masyarakat Kampung Kuta

memberikan hasil dampak untuk kehidupan mereka. Keberhasilan tersebut telah

membawa masyarakat Kampung Kuta memperoleh penghargaan Kalpataru

Tingkat Nasional tahun 2002 yang penyerahannya dilaksanakan oleh Presiden

Republik Indonesia tanggal 5 Juni 2002 di Bali. Manfaat yang dapat dirasakan

dari keberhasilan masyarakat Kampung Kuta dalam melestarikan lingkungan dan

budaya adat yang diturunkan dari leluhurnya yaitu:

Page 18: Kearifan Lokal (Local Wisdom) Masyarakat Suku.pdf

17

1. Biaya pembuatan/perbaikan rumah lebih murah.

2. Menumbuhkan pola hidup sederhana.

3. Kerusakan lingkungan dapat ditekan/dikendalikan.

4. Lestarinya sumber-sumber mata air, meskipun musim kemarau airnya

tetap tersedia.

5. Tumbuhnya sikap kebersamaan dan gotong royong.

6. Pekarangan rumah dan jalan selalu bersih.

7. Memiliki potensi hiburan tradisional khas Kampung Kuta.

Keempat hal utama dalam budaya pamali kearifan lokal yaitu pelestarian

rumah adat, pengaturan mengenai Hutan Keramat, pelarangan pembuatan sumur,

dan pelarangan menguburkan mayat memiliki implikasi terhadap pelestarian

sumber daya alam. Berikut ini disajikan pada Tabel 2.2. mengenai Hubungan

kearifan lokal dan implikasi pelestarian sumber daya alam

Tabel 2.2. Hubungan kearifan lokal dan implikasi pelestarian sumber daya alam

No Komponen Peranan

1 Pelestarian rumah adat Menjaga keadaan tanah karena kondisi tanah di kampung Kuta bersifat labil sehingga jika menggunakan rumah dari tembok dan beratap genting akan menambah bobot tekanan terhadap tanah, hal ini dikhawatirkan rumah akan melesat dan mabuk, dan memungkinkan akan membahayakan keselamatan penghuninya.

2 Peraturan mengenai hutan keramat

Menjaga kelestarian hutan keramat sebagai penyangga kampung Kuta sehingga tetap lestari. Keanekaragaman tumbuhan, satwa, dan ekosistem di dalamnya akan terjaga dengan baik

3 Pelarangan pembuatan sumur Menjaga keadaan tanah karena kondisi tanah di kampung Kuta bersifat labil sehingga jika membuat sumur dalam akan membahayakan masyarakat itu sendiri (longsor)

4 Pelarangan menguburkan mayat

Menjaga keadaan tanah Kuta yang meruapakan endapan rawa yang sifatnya labil sehingga jika digali terlalu dalam akan mengakibatkan longsor, selain itu dalam persepsi masyarakat terdapat kepercayaan bahwa tanah Kuta harus selalu suci sedangkan mayat sifatnya kotor karena banyak dosa. Maka untuk tetap memelihara kesucian tanah setiap orang yang meninggal, terutama orang dewasa dilarang untuk dimakamkan di Kampung Kuta

Sumber: (Aulia dan Dharmawan 2010)

Page 19: Kearifan Lokal (Local Wisdom) Masyarakat Suku.pdf

18

2.5. Dinamika Kearifan Lokal Masyarakat Adat

Masyarakat adat dengan segala kearifan lokal yang dimilikinya tentu saja

akan mengalami perubahan layaknya pada kebudayaan. Hal ini mengingat bahwa

kearifan lokal merupakan salah satu wujud dari kebudayaan masyarakat.

Perubahan ini tentu saja dipengaruhi oleh berbagai faktor. Sartini (2004) dalam

Aulia et al (2010) menyatakan bahwa kebudayaan akan berubah dengan

dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk, perpindahan atau masuknya penduduk

lain pada suatu komunitas tertentu, masuknya peralatan baru sebagai produk

modernisasi, dan kemudahan akses masuk ke dalam atau ke luar suatu komunitas.

Bahkan hubungan antar individu atau kelompok juga dapat mempengaruhi

kebudayaan.

Soekanto (2002) dalam Aulia et al (2010) menyatakan bahwa membagi

faktor-faktor perubahan pada kebudayaan dan perubahan sosial masyarakat

menjadi dua kategori, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal ini

berasal dari dalam masyarakat itu sendiri seperti:

1. Bertambah/berkurangnya penduduk,

2. Penemuan-penemuan baru,

3. Pertentangan/konflik masyarakat, dan

4. Terjadinya pemberontakan atau revolusi.

Sedangkan faktor ekternal adalah faktor yang berasal dari luar masyarakat

diantaranya adalah:

1. Sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik yang ada di sekitar

manusia,

2. Peperangan, dan

3. Pengaruh kebudayaan masyarakat lain.

Page 20: Kearifan Lokal (Local Wisdom) Masyarakat Suku.pdf

19

BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Profil Kearifan Lokal (Local Wisdom)

3.1.1. Pengelolaan huma-talun

Sistem pengelolaan pertanian (huma-talun) masyarakat adat Suku Sunda

provinsi Jawa barat, salah satu kelompok masyarakat perladangan di Indonesia

yang masih memegang teguh adat tradisi perladangan ini adalah masyarakat adat

Baduy dan masyarakat Desa Kemang. Kearifan lokal masyarakat Baduy

mengklasifikasi 5 jenis huma yaitu huma serang, huma puun, huma tangtu, huma

panamping. Sedangkan di masyarakat Desa Kemang hanya satu jenis huma.

Berikut ini Gambar 3.1. mengenai Pengelolaan (huma-talun) masyarakat adat

(Desa Kemang).

Gambar 3.1. Profil Pengelolaan lahan pada masyarakat adat (Desa Kemang). Sumber: (Mugniesyah dan Nurroh 2009)

Huma-Talun merupakan istilah dalam pengelolaan lingkungan mengenai

perladangan atau pertanian. Rangkaian pengelolaan lahan ini bertujuan untuk

memenuhi kebutuhan pokok. Kosuke et al (2013) menyatakan bahwa tahapan

(stage) dimulai pada pengelolaan Talun-Rarahan-Huma-Jami-Reuma ngora-

Page 21: Kearifan Lokal (Local Wisdom) Masyarakat Suku.pdf

20

Reuma Kolot-Kebun Campuran (agroforestry). Pada masyarakat Baduy

pemaknaan huma lebih mendalam daripada masyarakat Desa Kemang. Berikut ini

Gambar 3.2. mengenai jenis tanaman pada tahapan pengelolaan (huma-talun)

masyarakat adat (Desa Kemang)

Gambar 3.2. Profil jenis tanaman dalam pengelolaan (huma-talun) di Desa Kemang.

Sumber: Kosuke et al (2013)

Berdasarkan data tersebut bahwa informasi dan pengetahuan

mempengaruhi perubahan perilaku sosial (Ajzen 2005). Berikut ini Tabel 3.1.

mengenai data analisis vegetasi dari salah satu warga di Desa Kemang.

No. Nama Jenis Nama Ilmiah Jumlah

1 Padi Oryza sativa 14 Huma

2 Jagung Zea mays 4 Huma

3 Singkong Manihot utilisima 1 Huma

4 Hajeli 2 Tumbuhan bawah

5 Albasia (Sengon) Paraserienthes falcataria 1 Semai (penghasil kayu)

6 Cengek (Cabai rawit) Capsicum frutescens 7 Huma

7 Surawung (Kemangi) Ocimum Basilium 1 Huma

8 Pisang Musa sp. 1 Tunas (penghasil buah)

9 Waluh Cucurbita mosichata 1 Penghasil buah

10 Babadotan 16 Tumbuhan bawah

11 Lamsani 16 Tumbuhan bawah

12 Balakacida 3 Tumbuhan bawah

13 Leunca Solanum nigrum L. 2 Huma

Keterangan

Sumber: (Mugniesyah dan Nurroh 2009)

Page 22: Kearifan Lokal (Local Wisdom) Masyarakat Suku.pdf

21

Jenis tanaman yang dikelola adalah padi lahan kering (huma rice Seeds),

selain padi masyarakat diselingi dengan tanaman cabe rawit (Capsicum

frutescens) dan beberapa dari hortikultura seperti jagung (Zea mays), ketimun

(cucumbers), kacang panjang (Vigna sinensis), terong (solanum sp), suraung

(kemangi) (Ocimum basilum) dan marica (Piper nigrum). Berikut ini Gambar

3.3. mengenai pengelolaan (huma-talun) masyarakat adat (Desa Kemang).

Gambar 3.3. Profil Pengelolaan (huma-talun) masyarakat adat (Desa Kemang)

Sumber: (Mugniesyah dan Nurroh 2009).

Jumlah jenis lebih bervariatif dibandingkan masyarakat Baduy, hal ini

disebabkan oleh faktor eksternal antara lain informasi dan pengetahuan. Pada

dasarnya pengelolaan huma-talun merupakan perilaku sosial dalam pertahanan

pangan masyarakat di desa yang memiliki potensi sumber daya alam dalam

bidang pertanian. Perilaku-perilaku sosial yang mencerminkan bagaimana

hubungan masyarakat dengan alam serta lingkungan bisa berjalan seiringan

dengan pemenuhan kebutuhan hidup.

Page 23: Kearifan Lokal (Local Wisdom) Masyarakat Suku.pdf

22

Pengelolaan huma-talun di masyarakat adat Baduy, berdasarkan penelitian

Permana (2010) dalam Permana et al (2011) menyatakan bahwa Huma serang

dibuka dan ditanam terlebih dahulu, kemudian diikuti dengan huma puun, huma

tangtu, lalu huma tuladan dan huma panamping. Jenis-jenis huma tersebut

merupakan strategi ketahanan pangan (padi) yang dihasilkan terutama untuk

keperluan upacara adat dan keperluan sehari-hari, serta tidak boleh

diperjualbelikan. Hasil padi dari huma serang untuk keperluan upacara adat,

sedangkan padi dari huma panamping untuk upacara adat di wilayah panamping.

Jika terjadi gagal panen di huma serang, maka padi upacara diambil dari huma

panamping. Jika keduanya gagal panen, maka pada diambil dari huma tangtu dan

huma panamping. Strategi itu merupakan antisipasi kegagalan panen misalnya

akibat cuaca yang tidak menentu dan serangan hama. Dengan membuka ladang

yang tidak bersamaan dan pada tempat yang berbeda, maka kegagalan panen

dapat dihindari, hal ini berkaitan dengan jenis huma yang dikelola.

Kearifan lokal masyarakat suku Sunda baik masyarakat adat Baduy

maupun masyarakat Desa Kemang mengenai huma-talun memiliki perbedaan dan

persamaan yang signifikan. Berdasarkan hasil penelitian Permana et al (2011) dan

Kosuke et al (2013) mengenai perbedaan kearifan lokal (local wisdom) dalam

pengelolaan lahan pertanian (huma-talun) terkait pemenuhan kebutuhan hidup.

Pemenuhan tersebut diperoleh dari pengelolaan sumberdaya alam setempat yang

dimiliki oleh masing-masing masyarakat adat tersebut.

Kearifan lokal yang dimaksud dalam pengelolaan lahan pertanian seperti

huma-talun yang dipraktek oleh masing-masing masyarakat adat adalah

determinasi dari perilaku ramah lingkungan yang bertujuan untuk keberlajutan

dan kelestarian lingkungan (sustanibilty Environment), hal ini terkait sumberdaya

alam yaitu lahan. Sungsri 2010 dalam Ardianto (2012) menyatakan bahwa

Konsep Kearifan lokal (local wisdom) adalah pengetahuan dan pengalaman

berkaitan dengan kehidupan sehari-sehari, occupations dan budaya yang sudah

turun-temurun dari sejumlah generasi ke sejumlah generasi lainnya. Berikut ini

Tabel 3.2. mengenai rekapitulasi perbedaan huma-talun suku adat Baduy dan

masyarakat adat Desa Kemang.

Page 24: Kearifan Lokal (Local Wisdom) Masyarakat Suku.pdf

23

Tabel 3.2. Rekapitulasi perbedaan huma-talun masyarakat Adat Baduy dan

masyarakat Adat Desa Kemang

No Huma Masyarakat Baduy Masyarakat Desa Kemang

1 Sistem Tradisi perladangan pada masyarakat Baduy secara tradisional masih tetap berlangsung hingga detik ini. Ladang menurut masyarakat Baduy disebut huma. Bekas huma yang masih baru ditinggalkan disebut jami, sedangkan bekas huma yang sudah lama ditelantarkan hingga menjadi semak disebut reuma (Permana, 2010)

Tradisi Pengelolaan lahan dengan cara huma merupakan periode penting dalam produksi beras pada lahan kering. Kosuke et al (2013) menyatakan bahwa tahapan (stage) dimulai pada pengelolaan Talun----Huma---Jami---Reuma ngora---Reuma Kolot-----Kebun Campuran

2 Tujuan Pemenuhan kebutuhan makanan pokok dan tidak diperjualbelikan

Pemenuhan kebutuhan makanan pokok dan dapat dijualbelikan (perekonomian masyarakat setempat)

3 Jenis Menurut tradisi masyarakat Baduy dikenal lima macam huma, yakni: 1. huma serang, ladang adat

kepunyaan bersama 2. huma puun, ladang dinas selama

menjabat sebagai puun yang letaknya tidak jauh di belakang rumah puun,

3. huma tangtu, ladang untuk keperluan penduduk Baduy Tangtu

4. huma tuladan, ladang untuk keperluan upacara

5. huma panamping, ladang untuk keperluan penduduk Baduy Panamping (Permana 2010)

Menurut masyarakat adat Desa kembang, pengelolaan huma tergantung dari warga itu sendiri karena lahan yang dimiliki merupakan lahan milik.

4 Konsep Penghormatan tentang Nyi Sri atau Nyi Pohaci tersebut terdapat pula dalam karya naskah kuno Sunda, misalnya Wawacan Sulanjana. Dalam naskah itu dikatakan bahwa tanaman padi diyakini berasal dari Dewi yang dimuliakan oleh tokoh-tokoh mulia lainnya, antara lain Batara Guru, Prabu Siliwangi, dan Semar.Tradisi penghormatan kepada padi tersebut merupakan kearifan lokal yang tetap harus dipelihara dan dijaga sebagai upaya mempertahankannya sebagai makanan pokok (Kalsum 2010)

Menghormati padi karena diyakini sebagai penjelmaan Nyi Sri atau Nyi Pohaci Sanghyang Asri atau Dewi Padi.

Sumber: hasil telaah literatur

Page 25: Kearifan Lokal (Local Wisdom) Masyarakat Suku.pdf

24

3.1.2. Pengelolaan huma-kebun campuran (Agroforestry)

Topografi merupakan salah komponen yang mempengaruhi pengelolaan

huma-kebun campuran, sehingga kecenderungan pengelolaan ini berada di

topografi yang datar (0-7%) hingga datar miring (7-15%) kemiringan

topografinya. Hal ini berimplikasi terhadap keberlanjutan terhadap ekosistem

hutan pada daerah tertentu. Aspek topografi mendasari bagaimana kearifan lokal

masyarakat adat yang tinggal di sekitar hutan dalam pengelolaannya. Berikut ini

Gambar 3.4. mengenai konsep topografi yang digunakan oleh masyarakat adat

Baduy dalam pengelolaan hutan.

Gambar 3.4. Profil Pengelolaan (huma-kebun campuran) masyarakat adat Baduy.

Berdasarkan keletakannya (topografi), menurut penjelasan dari dari para

narasumber dan informan (Permana et al 2011), hutan Baduy terbagi atas tiga

bagian:

1. Hutan tua (leuweung kolot), Hutan tua disebut juga hutan titipan

(leuweung titipan) terdapat pada puncak-puncak bukit atau gunung.

Pohon-pohon yang terdapat di hutan tua ini tidak boleh dibuka untuk

ladang (huma) dan tidak boleh ditebang, kecuali diambil kayunya

secara terbatas untuk kayu bakar. Kearifan dari konsepsi budaya ini

bahwa pohon-pohon besar di puncak bukit akan menjadi “payung”

yang menaungi bukit itu agar tidak terjadi erosi atau tanah longsor

ketika hujan turun. Pohon-pohon di atas bukit juga berguna untuk

Hutan tua (leuwueng kolot)

Hutan ladang (leuwueng reuma)

Hutan kampung (leuwueng Leumbur)

Page 26: Kearifan Lokal (Local Wisdom) Masyarakat Suku.pdf

25

menyimpan air sehingga ketersediaan air tanah tidak kekurangan dan

kesuburan tanah tetap terjaga (Permana et al 2011)

2. Hutan ladang (leuweung reuma)

3. Hutan kampung (leuweung lembur).

Pembagian hutan tersebut ditinjau dari kearifan lokal merupakan bentuk

pengetahuan yang turun temurun agar sumberdaya hutan agar lestari dan

berkelanjutan. Sehingga pembagian hutan tersebut berdasarkan fungsi dari

ekologi, ekonomi dan sosial dari masyarakat adat Baduy tersebut, jika ditinjau

secara ilmiah bahwasanya pengelolaan lingkungan secara lestari (sustanibility

environment) telah diterapkan dalam kearifan lokal itu sendiri.

Sedangkan Masyarakat adat Desa Kemang, pembagian kawasan hutan

telah diatur oleh pemerintah (Kementrian Kehutanan-Perhutani II (Jawa Barat),

hal ini mendasari kepemilikan lahan dari hutan negara dan hutan masyarakat.

Pengelolaan hutan di masyarakat Desa Kemang dalam pembagiannya jika ditinjau

dari strata hutan yaitu hutan lindung (agroforestry) yang dikelola oleh pemerintah

dan bekerja sama dengan masyarakat, istilah dalam pengelolaan ini adalah Kebun

campuran yang dilakukan oleh masyarakat adat Desa Kemang dan Perhutani.

Kesuke et al (2013) menyatakan bahwa Kebun campuran dilakukan dan

ditemukan di masyarakat adat Baduy. Kebun campuran merupakan tahapan akhir

dimana awal pengelolaan dari huma, reuma ngora, reuma kolot dan terakhir

Kebun campuran. Iskandar (1992) menyatakan bahwa usually The duration of

reuma is four years, and in some cases, old secondary forest is found. Jangka

waktu dari pengelolaan huma menjadi Kebun campuran (secondary forest)

memerlukan waktu yang relatif panjang.

Berikut dibawah ini Tabel 3.3. mengenai jangka waktu proses yang

awalnya hutan dan dikelola oleh masyarakat adat Desa Kemang menjadi huma-

kebun campuran (secondary forest). Berdasarkan tabel tersebut, maka penjelasan

mengenai rata-rata jangka waktu yang diperlukan hingga mencapai kebun

campuran selama 11,8 tahun dan disajikan pada Gambar 3.5. mengenai contoh

plot kebun campuran masyakarat adat Desa Kemang.

Page 27: Kearifan Lokal (Local Wisdom) Masyarakat Suku.pdf

26

Tabel 3.3. Jangka waktu proses huma-kebun campuran (secondary forest)

Sumber: Kosuke et al (2013)

Gambar 3.5. Profil Pengelolaan huma-kebun campuran masyarakat adat Desa Kemang.

Sumber: (Mugniesyah dan Nurroh 2009)

Page 28: Kearifan Lokal (Local Wisdom) Masyarakat Suku.pdf

27

Hutan milik negara (Perhutani II Jawa barat) bekerja sama dengan

masyarakat sekitar hutan (Masyarakat adat Desa Kemang) dengan menanam

tanaman semusim di bawah naungan pohon-pohon di hutan tersebut. Beberapa

contoh tanaman yang diusahakan antara lain singkong (Manihot utilisima), umbi-

umbian, Nanas (Ananas comosus) dan waluh (Cucuribita mosichata) Berikut ini

Gambar 3.6. mengenai plot contoh agroforestry yang dilakukan oleh masyarakat

Desa Kemang dengan Perhutani II.

Gambar 3.6. Profil Pengelolaan program agroforestry Perhutani dengan masyarakat adat Desa Kemang. Sumber: (Mugniesyah dan Nurroh 2009).

Program agroforestry ini bertujuan untuk menjaga kelestarian ekosistem

hutan dengan mempertimbangkan ekonomi masyarakat sekitar hutan untuk tetap

bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selain itu, contoh kasus di Desa Kuta

Jawa Barat, mengenai kearifan lokal adanya Peraturan mengenai hutan keramat

Menjaga kelestarian hutan keramat sebagai penyangga kampung Kuta sehingga

tetap lestari dan berkelanjutan (Aulia et al 2011).

Page 29: Kearifan Lokal (Local Wisdom) Masyarakat Suku.pdf

28

3.2. Profil Dinamika Kearifan Lokal (Local Wisdom)

Dinamika mengenai kearifan lokal dipengaruhi oleh beberapa faktor,

Soekanto (2002) dalam Aulia et al (2010) menyatakan bahwa membagi faktor-

faktor perubahan pada kebudayaan dan perubahan sosial masyarakat menjadi dua

kategori, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal ini berasal dari

dalam masyarakat itu sendiri seperti Bertambah/berkurangnya penduduk dan

Penemuan-penemuan baru (informasi dan pengetahuan).

Masyarakat adat Baduy kecenderungan terkait dinamika kearifan lokal

relatif tidak mengalami perubahan secara signifikan, masyarakat adat baduy

termasuk masyarakat adat yang terisolasi yang menjaga tradisi nenek moyang dari

pengaruh luar (Permana et al 2010). Hal ini yang menyebabkan tidak terjadinya

dinamika kearifan lokal secara signifikan. Akan tetapi berbeda dengan masyarakat

Desa Kemang yang membuka diri terhadap informasi dan pengetahuan baru. Hal

ini yang menyebabkan dinamika kearifan lokal secara signifikan berubah. Berikut

ini Gambar 3.7. mengenai dinamika kearifan lokal masyarakat Desa Kemang

dalam pengelolaan huma-Kebun campuran.

Gambar 3.7. Profil dinamika kearifan lokal dalam Pengelolaan (huma-kebun campuran)

masyarakat adat Desa Kemang. Sumber: Kosuke et al (2013)

Page 30: Kearifan Lokal (Local Wisdom) Masyarakat Suku.pdf

29

Kosuke et al (2013) menyatakan dalam penelitiannya bahwa trendline

mengenai kearifan lokal dalam pengelolaan lahan (Talun--Huma--Jami--Reuma

ngora--Reuma Kolot--Kebun Campuran) berubah secara signifikan akibat

introducing products pertanian yaitu banana leave/pisang daun (cau manggala)

(Musa sp) di daerah tersebut. Selama waktu 10 tahun terakhir masyarakat Desa

Kemang mempertahankan pola pengelolaan dari huma-kebun campuran untuk

memenuhi kebutuhan hidup sehari-sehari berubah menjadi pola tanam monokultur

dengan menanaman pisang daun. Jika ditinjau dari aspek ekonomi, masyarakat

akan cenderung menanam pisang daun daripada mempertahankan pola

pengelolaan lahan yang sudah menjadi turun temurun (kearifan lokal) karena lebih

menguntungkan.

Pola tanam monokultur berdampak pada keberlanjutan ekologi, sosial, dan

ekonomi. Aspek ekologi akan berdampak kelestarian lahan, berubahnya kebun

campuran akan meningkatkan koefisien laju erosi akibat tutupan lahan vegetasi

berubah dari pohon ke tanaman pisang serta pola tanam monokultur rentan

terhadap hama dan penyakit tanaman.

Bertambahnya kebutuhan masyarakat akan lahan akan menyebabkan

perambahan lahan hutan sehingga tidak mempertimbangkan aspek topografi atau

kelerengan. Salah satu aspek penentuan hutan lindung adalah kelerengan, semakin

curam (>40%) maka kawasan tersebut termasuk kawasan lindung (hutan lindung)

(KEPPRES No.32 Tahun 1990). Saat ini masyarakat Desa Kemang mengelola

lahan berada pada kelerengan 8%-25% (landai-agak curam) sehingga apabila

kebutuhan lahan semakin meningkat kelerengan > 25%-45% (curam-sangat

curam) tidak akan lagi menjadi lahan pertimbangan untuk mengelola lahan

(Gambar 3.8.).

Aspek sosial mempengaruhi pola pikir warga masyarakat sekitarnya untuk

melakukan hal sama dengan pertimbangan nilai ekonomi yang diperoleh.

Stimulus nilai ekonomi akan meyakinkan warga masyarakat lainnya untuk ikut

melakukan hal sama.

Berikut ini Gambar 3.8. mengenai dinamika kearifan lokal masyakat adat

Desa Kemang terkait perubahan pola tanam mengenai kearifan lokal dalam

pengelolaan lahan (Talun--Huma--Jami--Reuma ngora--Reuma Kolot--Kebun

Page 31: Kearifan Lokal (Local Wisdom) Masyarakat Suku.pdf

30

Campuran) berubah secara signifikan akibat introducing products pertanian yaitu

banana leave/pisang daun (cau manggala) (Musa sp) di daerah tersebut.

Gambar 3.8. Profil dinamika pola pengelolaan (huma-kebun campuran) berubah menjadi pola tanam monokultur. Sumber: (Mugniesyah dan Nurroh 2009).

Berdasarkan gambar diatas dapat menjelaskan bahwa pola tanam

monokultur telah merubah perilaku masyarakat Desa Kemang dalam hal perilaku

ramah lingkungan dalam pengelolaan lahan, contoh plot analisis vegetasi pada

gambar di atas membuktikan topografi yang memiliki kelerengan yang curam

dikelola untuk penanaman tanaman banana leaves. Kecenderungan pengelolaan

lahan seperti ini akan terus meningkat (Kosuke et al 2013).

Dinamika penurunan perilaku ramah lingkungan ini perlu menjadi

perhatian pemerintah untuk mengendalikan pola tanam monokultur, khususnya

pengelolaan lahan di kawasan yang memiliki topografi yang curam untuk

mencegah terjadinya proses degradasi lahan berupa erosi, sedimentasi Ana

bencana longsor di daerah tersebut.

Page 32: Kearifan Lokal (Local Wisdom) Masyarakat Suku.pdf

31

3.3. Critical Review: Determinan perilaku ramah lingkungan dalam

Kearifan Lokal (Local Wisdom).

Dalam pembahasan Sub-bab 3.1. dan Sub-bab 3.2. sebelumnya mengenai

kearifan lokal dalam pengelolaan huma-talun dan pengelolaan huma-kebun

campuran serta dinamika kearifan lokalnya. Berdasarkan hal tersebut mengenai

kearifan lokal yang telah menjadi tradisi secara turun temurun sebagai bentuk

perilaku dan pengetahuan di dalam masyarakat tersebut. Hal ini dipengaruhi oleh

aspek keyakinan perilaku, keyakinan normatif, dan keyakinan kontrol yang

dirasakan (Ajzen 1991). Berikut ini Gambar 3.9. mengenai konsep tersebut

dalam Theory of planned behaviour.

Gambar 3.9. Konsep The theory of planned behaviour. Sumber: (Ajzen 1991)

Berdasarkan teori tersebut dapat menjelaskan bahwa kearifan lokal

merupakan bentuk dari keyakinan perilaku, keyakinan normatif dan keyakinan

kontrol yang dirasakan. Faktor ketiga keyakinan tersebut menjadi dasar kearifan

lokal masyarakat adat Baduy dalam pengelolaan huma-talun dan huma-kebun

campuran sampai sekarang masih bertahan. Keyakinan tersebut berdasarkan

penelitian Kalsum (2010) dalam Permana et al (2011) menyatakan bahwa

Page 33: Kearifan Lokal (Local Wisdom) Masyarakat Suku.pdf

32

masyarakat Sunda di wilayah Jawa Barat sangat menghormati padi karena

diyakini sebagai penjelmaan Nyi Sri atau Nyi Pohaci Sanghyang sri atau Dewi

Padi. Penghormatan kepada padi terlihat sepanjang proses perladangan, panen,

hingga pascapanen. Konsep dan penghormatan tentang Nyi Sri atau Nyi Pohaci

tersebut terdapat pula dalam karya naskah kuno Sunda.

Menjaga hutan agar tidak dirambah oleh masyarakat sekitar hutan,

Pemerintah mempengaruhi perilaku sikap masyarakat dengan program

agroforestry. Dimana fungsi hutan sebagai resapan air tetap terjaga. Berikut ini

Gambar. 3.10. mengenai keberhasilan program agroforestry mempertahankan

hutan dengan menambah nilai ekonomi kepada masyarakat disekitar hutan.

Gambar 3.10. Profil Pengelolaan program agroforestry masyarakat sekitar hutan.

Sumber: (Mugniesyah dan Nurroh 2009)

Berdasarkan gambar diatas menjelaskan bahwa pohon-pohon sebagai

komponen biotik dalam ekosistem hutan masih terjaga dengan baik.

Page 34: Kearifan Lokal (Local Wisdom) Masyarakat Suku.pdf

33

Berikut ini disajikan pada Tabel 3.4. mengenai konsep The theory of

planned behaviour dalam mengkaji kearifan lokal masyarakat adat Baduy dan

masyarakat adat Desa Kemang.

Tabel 3.4. Kajian Kearifan lokal Masyarakat Adat (Suku Sunda Jawa Barat)

No Aspek Input Faktor latar belakang

1 Keyakinan perilaku (attitude Toward The behaviour)

Sikap terhadap Perilaku masyarakat dalam menjaga kearifan lokal

1. Personal (nilai-nilai luhur tradisi nenek moyang, kecerdasan emosi masyarakat adat, ciri kepribadian masyarakat adat, sikap)

2. Sosial (pendidikan, pendapatan, ras, usia, gender, agama)

3. Informasi (media ekspose, pengalaman dan pengetahuan)

2 Keyakinan normatif (subjective norm)

Norma-norma subjektif yang mempengaruhi kearifan lokal.

3 Keyakinan kontrol (Percevied Behavioral Control)

Kontrol perilaku yang dirasakan dalam manfaat kearifan lokal dalam masyarakat itu sendiri.

Critical review: 1. Masyarakat adat Baduy dan Masyarakat Desa Kemang, keyakinan perilaku (faktor nilai-

nilai luhur tradisi nenek moyang) menjadi dasar kearifan lokal masyarakat adat dalam pengelolaan huma-talun dan huma-kebun campuran sampai sekarang masih bertahan. Keyakinan tersebut berdasarkan masyarakat Sunda di wilayah Jawa Barat sangat menghormati padi karena diyakini sebagai penjelmaan Nyi Sri atau Nyi Pohaci Sanghyang sri atau Dewi Padi.

2. Masyarakat adat Baduy dan Masyarakat Desa Kemang, keyakinan normatif (faktor nilai-nilai luhur tradisi nenek moyang) masyarakat Sunda di wilayah Jawa Barat (faktor sosial berupa Ras/suku) sangat menghormati padi karena diyakini sebagai penjelmaan Nyi Sri atau Nyi Pohaci Sanghyang sri atau Dewi Padi. Penghormatan kepada padi terlihat sepanjang proses perladangan, panen, hingga pascapanen.

3. Masyarakat adat Baduy dan Masyarakat Desa Kemang, dalam Pengolahan lahan Talun--Huma--Jami--Reuma ngora--Reuma Kolot--Kebun Campuran. Merupakan bentuk pembagian ekosistem hutan dimana lokasi yang dapat dikelola dan tidak, hal ini terjadi secara signifikan pembagian hutan di masyarakat adat Baduy.

4. Personal (faktor ciri kepribadian masyarakat) Masyarakat adat Baduy dan Masyarakat Desa Kemang, masyarakat Sunda di wilayah Jawa Barat yang sama-sama memiliki pola pengolahan lahan yang sama. Akan ciri kepribadian masyarakat berbeda sehingga masyarakat adat baduy lebih terisolasi tidak membuka diri terhadap informasi dan pengetahuan yang baru dan terbalik dengan masyarakat Desa Kemang yang lebih terbuka (Open accses) terhadap informasi dan pengetahuan baru.

5. Aspek Informasi: (faktor pengalaman) merupakan keyakinan kontrol yang dirasakan manfaat dari kearifan lokal dalam bentuk pengalaman dari leluhur dalam pengolahan lahan Talun--Huma--Jami--Reuma ngora--Reuma Kolot--Kebun Campuran. Pengolahan ini berubah dari folksway (mengikuti pola umum masyarakat) menjadi Custom (adat). Hal ini terkaitan dengan kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya alam.

6. Aspek Informasi: (faktor pengetahuan) ketika pengetahuan baru muncul di masyarakat adat Desa kembang, pola pengelolaan Talun--Huma--Jami--Reuma ngora--Reuma Kolot--Kebun Campuran terputus menjadi Pola tanam monokultur, hal ini berdampak pada keberlanjutan ekologi, sosial, dan ekonomi. Aspek ekologi akan berdampak kelestarian lahan, berubahnya kebun campuran akan meningkatkan koefisien laju erosi akibat tutupan lahan vegetasi berubah dari pohon ke tanaman pisang serta pola tanam monokultur rentan terhadap hama dan penyakit tanaman

Page 35: Kearifan Lokal (Local Wisdom) Masyarakat Suku.pdf

34

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil telaah pustaka dan critical review mengenai kajian

“Kearifan Lokal (Local Wisdom) Masyarakat Suku Sunda Dalam

Pengelolaan Lingkungan yang Berkelanjutan”, maka dapat disimpulkan

bahwa:

(1) Masyarakat adat Baduy dan Masyarakat Desa Kemang, dalam Pengolahan

lahan Huma--Kebun Campuran merupakan kearifan lokal berupa

keyakinan perilaku (nilai-nilai luhur nenek moyang) berdasarkan

penghormatan terhadap tanaman padi karena diyakini sebagai penjelmaan

Nyi Sri atau Nyi Pohaci Sanghyang sri atau Dewi Padi.

(2) Dinamika kearifan lokal dipengaruhi oleh aspek Informasi (faktor

pengetahuan). Dengan pengetahuan baru yang muncul di masyarakat adat

(Desa kembang), pola pengelolaan Talun--Huma--Jami--Reuma ngora--

Reuma Kolot--Kebun Campuran terputus menjadi Pola tanam

monokultur, hal ini berdampak pada keberlanjutan ekologi (sustanibility

environment), sosial, dan ekonomi di daerah tersebut.

4.1. Saran

Berdasarkan hasil telaah pustaka dan critical review kajian kearifan lokal,

maka saran dari penulis ialah;

(1) Dinamika kearifan lokal semakin berubah secara signifikan sehingga perlu

kebijakan pemerintah untuk memberikan solusi terkait faktor ekonomi

yang menjadi faktor utama perubahan kearifan lokal tersebut.

(2) Persepsi masyarakat menjadi pola pikir (folksway) yang cepat berubah

seperti pola tanam monokultur sehingga perlu program pemerintah untuk

mengantisipasi pola tanam tersebut sebelum dampak pola tanam menyebar

terhadap masyarakat sekitar hutan.

Page 36: Kearifan Lokal (Local Wisdom) Masyarakat Suku.pdf

35

DAFTAR PUSTAKA

Ajzen, I. 2005. Attitudes, personalitas, and behaviour (2nd edition). Milton-

Keynes, England: Open University Press/McGraw-Hill. http://home.comcast.net/~icek.aizen/book/1.pdf [11 Mei 2015]

Ajzen, I. 1991. The The theory of planned behavior. Organizational behavior and human decision processes: Vol 50 pp (179-211). http://home.comcast.net/~icek.aizen/book/.pdf [11 Mei 2015]

Ardianto, A. 2012. Filsafat kearifan lokal etnik sunda dan ilmu pengetahuan barat http://komunikasi.unsoed.ac.id/sites/default/files/20.elvinaro-unpad.pdf [6 Mei 2014]

Aulia, TOS., Dharmawan, AH. 2010. Kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya air di Kampung Kuta. Jurnal Transdisiplin Soisologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia: Volume 4. Nomor 3 Tahun 2011 Halaman 345-355. http://journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/viewFile/5839/4504 [20 April 2014]

Fishbein, M., & Ajzen, I. 1975. Belief, Attitude, Intention, and Behavior: An Introduction to Theory and Research. Reading, MA: Addison-Wesley. http://home.comcast.net/~icek.aizen/book/ch11.pdf [11 Mei 2015]

Permana, RCE. 2010. Kearifan Lokal Masyarakat Baduy dalam Mitigasi Bencana. Jakarta: Wedatama Widya Sastra

Permana, RCE., Nasution, IP,. Gunawijaya, J. 2011. Kearifan lokal tentang mitigsi bencana pada masyarakat Baduy. Jurnal Makara, Sosial Humaniora: Volume 15 Nomor 1 Halaman (67-76). http://journal.ui.ac.id/index.php/humanities/article/viewFile/954/ [6 Mei 2014]

Hardjasoemantri, K. 1999. Hukum Tata Lingkungan, Edisi Ketujuh. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Kalsum. 2010. Kearifan lokal dalam Wawacan Sulanjana: Tradisi menghormati padi pada masyarakat Sunda di Jawa Barat, Indonesia. Jurnal Sosiohumanika: Volume 3 Nomor 1 Halaman (79-94).

Kosuke, M., Mugniesyah, SS., Herianto, AS., Hiroshi, T. 2013. Talun-Huma, swidden Agriculture, and rural economy in West Java, Indonesia. Journal Southeast Asian Studies: Volume 2 Nomor 2 pp (351-381). https://englishkyoto-seas.org/2014/02/vol-2-no2-mizuno-et-al [8 Mei 2014]

Iskandar, J., Ellen, R.F. 2000. The contribution of Paraserianthes (Albizia) falcataria to sustainable swidden management practices among the Baduy of West Java. Jurnal Human Ecology: Volume 28 Halaman (1-17).

Sartini. 2004. Menggali kearifan lokal nusantara sebuah kajian filsafat. Jurnal Filsafat: Volume 37 Nomor 2 Tahun 2004 Halaman (111-120).

Page 37: Kearifan Lokal (Local Wisdom) Masyarakat Suku.pdf

36

Nurroh, S. 2014. Analisis Kelembagaan “Studi Kasus: Program Adiwiyata Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor”. https://www.academia.edu/523177 [7 Mei 2014]

Nurroh, S. 2014. Vegetation analysis in Agroforestry. https://bogoragriculturaluniversity.www.academia.edu/SyampadziNurroh/Analytic [7 Mei 2014]