21
!"#$%&'&# )*&+& !"#$%&#' )*!#) +#)#, -"'.")*)##' /0,1"$ +#2# #)#, +% !#3#/#' "!/ -). 4567 89:;< %8 '< =>? -@5@6;A@:@B@CDE==> !@59F@6G@6 HI6;@J %6K<6IL9@ *,- !,./0 3@5J9 !@59F@6G@6 HI6;@J 2MK9 *NG<:@ #:9I $<FO@L "KB /MP@J@69 /GIQ@6ML #5Q<6L H@JM6 >R=R

Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan SDA Di Kawasan Eks PLG

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kml

Citation preview

  • !"#$%&'()*&+&(

    !"#$%'()*!#)(+#)#,(-"'.")*)##'(/0,1"$(+#2#(#)#,(+%(!#3#/#'("!/(-).(

    (

    (

    4 5 6 7 ( 8 9 : ; < ( % 8 ( ' < ( = > ? ( - @ 5 @ 6 ; A @ : @ B @ C D E = = > ( ! @ 5 9 F @ 6 G @ 6 ( H I 6 ; @ J (% 6 K < 6 I L 9 @ ( ( (

    *,-((!,./0(3@5J9(!@59F@6G@6(HI6;@J(

    2MK9(*NG

  • 1

    Daftar Isi

    1. Pendahuluan . Hal 2

    2. Tungakan masalah dan keslamtan warag di kawasan eks PLG . Hal 4

    a. Masalah Ekologi . Hal 5

    b. Masalah Sosial Ekonomi . Hal 6

    c. Masalah Kebijakan Hal 6

    3. Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam . Hal 8

    a. Wilayah Kelawa Hal 8

    b. Wilayah DAS Puning Hal 10

    4. Kesimpulan Hal 13

    5. Apendix Hal 17

  • 2

    01. Pendahuluan Fenomena pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim berdampak terjadinya

    perubahan sosial atau kependudukan dan budaya. Berbagai kajian sosial menemukan

    bahwa pola hubungan sosial berkaitan sangat erat dengan pola perubahan iklim. Jika

    tidak ada upaya yang sistematis dan terintegrasi untuk meningkatkan ketahanan terhadap

    perubahan iklim dan perbaikan kondisi lingkungan lokal dan global mulai dari sekarang,

    maka dampak yang ditimbulkan akibat adanya perubahan iklim ke depan akan semakin

    besar dan lebih lanjut akan berdampak pada sulitnya mencapai sistem pembangunan yang

    berkelanjutan. Penanganan masa perubahan iklim dalam konteks pembangunan

    membutuhkan manajemen perubahan iklim secara efektif, dan pada saat bersamaan

    mengantisispasi dampak perubahan iklim global jangka panjang secara komprehensif.

    Juga membutuhkan pendekatan lintas sektor baik pada tingkat nasional, regional maupun

    lokal.

    Inisiatif lokal dalam pengelolaan SDA sudah dilakukan oleh masyarakat secara

    turun temurun melalui system yang masih tradisional. kearifan ini mampu membuat

    masyarakat lokal bertahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

    Akibat dari perubahan iklim secara global ternyata juga berpengaruh pada

    masyarakat di tingkat lokal. Bahwa solusi akibat perubahan iklim ini tidak menempatkan

    masyarakat adat dalam hal pengelolaan SDA. Di sinilah letak perbedaan antara kebijakan

    yang direncanakan oleh lembaga formal dan masyarakat adat dengan kearifan lokalnya

    dalam pemanfaatan sumber daya alam. Yang menjadi pergulatan saat ini adalah

    bagaimana mengembalikan kemampuan dan otoritas masyarakat dengan kearifan lokal

    untuk merencanakan, mengatur, mengawasi serta mengelolah sumber-sumber daya

    alamnya secara demokratis sehingga mampu mensejahterakan masyarakatnya sendiri.

    Pengembangan Kapasitas Lokal dibidang perekonomian, politik, sosial maupun budaya

    mempunyai arti sangat penting dimana hal-hal tersebut diatas sangat erat berkaitan satu

    sama lain. Untuk itu kearifan lokal harus menjadi tolak ukur dalam hal pengelolaan SDA

    dan harus dipromosikan lebih luas dalam mendorong kebijakan yang berkeadilan bagi

    masyarakat lokal dan lestari bagi lingkungan sekitar.

  • 3

    Dalam konteks inilah maka Walhi Kalimantan Tengah melakukan riset aksi guna

    mendokumentasikan dan mempromosikan pengelolaan SDA yang berbasis kearifan lokal

    terutama di wilayah eks Pengembangan Lahan Gambut Sejuta Hektar di wilayah

    Kalimantan Tengah. Sejak tumbangnya rejim Soeharto wilayah eks PLG ini seolah ikut

    tenggelam dalam arus kepentingan lokal, namun sejak dikeluarkannya inpres nomor 2

    tahun 2007 tentang percepatan Rehabilitasi dan Revalitasi Kawasan Pengembangan

    Lahan Gambut Sejuta Hektar di Kalimantan Tengah maka upaya untuk mengurus

    kembali wilayah tersebut mulai marak dilakukan.

    Namun demikian pemerintah pusat maupun daerah sendiri nampaknya lagi-lagi

    tidak mengindahkan kehendak dan kondisi yang nyata dihadapi oleh masyarakat di

    wilayah eks-PLG. Paradigma pembangunan yang mengejar pertumbuhan tetap menjadi

    orientasi utama dimana lahan gambut hanya dijadikan sebagai sumberdaya untuk di

    eskpolitasi sebagai aktivitas ekonomi semata.

    Riset aksi ini dilakukan dengan

    mengkombinasikan studi literature dengan

    studi lapangan. Studi lapangan dilakukan

    untuk menambah informasi tentang

    pengelolaan SDA yang dilakukan oleh

    masyarakat. Oleh karena itu pemilihan bentuk

    pengelolaan SDA pun didasarkan atas tipologi

    dari kondisi eks-PLG saat ini yaitu:

    a. daerah eks-PLG yang telah hancur;

    b. Daerah eks- PLG yang sempat terbuka

    dan masih mampu merocovery

    kawasanya

    c. Daerah Yang belum sempat tergarap

    Dengan demikian pertanyaan utama yang diajukan adalah:

    (1 ) bagaimana masyarakat melakukan pengelolaan SDA di daerah eks-PLG yang telah

    hancur; (2) bagaimana masyarakat melakukan pengelolaan SDA di daerah eks-PLG yang

    Gambar 1 : Peta Lokasi Penyebaran riset Walhi Kalimantan Tengah di kawasan Eks PLG

  • 4

    hancur tetapi dapat merecovery-nya; (3) bagaimana masyarakat melakukan pengelolaan

    SDA di daerah eks-PLG yang belum rusak sama sekali.

    Lokasi riset aksi dilakukan di tiga wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) di kawasan eks

    PLG yang dapat mencerminkan tiga tipologi keadaan eks-PLG tersebut diatas yaitu DAS

    Kahayan, DAS Barito dan DAS Kapuas. Dengan mengambil sample di beberapa tempat

    di sepanjang DAS tersebut.

    a. Das Kahayan, wilayah yang menjadi sample adalah kelurahan Kalawa. Wilayah

    Kalawa merupakan wilayah eks-PLG yang belum rusak sama sekali.

    b. DAS Barito, dapat dibagi menjadi berdasarkan tipologinya yaitu:

    1. Berdasarkan tipologi yang belum rusak sama sekali adalah di daerah DAS Puning

    dengan desanya yaitu Batilap

    2. Tipologi rusak tetapi mampu merecovery adalah daerah DAS Mengkatip yaitu di

    desa Sei Jaya, Desa Mahajandau, dan Desa Mengkatip.

    3. Tipologi rusak sama sekali di daerah Jenamas yaitu di desa Rantau Bahuang dan

    desa Tampulang

    c. DAS Kapuas adalah sebagai berikut:

    1. Berdasarkan tipologi yang belum rusak sama sekali adalah di daerah yang disebut

    dengan wilayah Blok E.

    2. Tipologi rusak tetapi mampu merecovery adalah desa Sei Ahas dan Desa

    Katunjung.

    3. Tipologi rusak sama sekali di daerah Jenamas yaitu di desa desa Mantangai,

    Katimpun dan Kalumpang.

    Proses penelitian dilapangan ini dipandu oleh sejumlah literatur yang telah ada,

    seperti hasil-hasil riset yang dilakukan oleh banyak pihak mengenai keadaan ekologi,

    sosial dan ekonomi dari masyarakat di eks-PLG. Meskipun riset aksi ini bertujuan untuk

    melihat pengelolaan SDA yang berbasis kearifan lokal namun aspek-aspek seperti tata

    kuasa, tata kelola, tata produksi, dan tata konsumsi turut pula disertakan. Hal ini

    dilakukan untuk mengetahui lebih dalam kondisi masyarakat di eks-PLG. Dengan

    demikian studi lapangan dilakukan dengan menggunakan metode wawancara maupun

    FGD dengan masyarakat di sejumlah wilayah riset eks-PLG.

  • 5

    02. Tunggakan Masalah Proyek Eks-PLG dan Keselamatan Warga

    Beberapa hasil temuan dilapangan didapatkan bahwa secara umum dampak yang

    ditimbulkan oleh mega proyek 1 juta hektar PLG di Kalimantan Tengah sangat terasa

    bagi sumberdaya alam gambut dan kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal. Pembukaan

    lahan melalui penebangan, pembongkaran gambut-gambut tebal, penggusuran kebun

    rotan, kolam ikan tradisional (beje), sungai-sungai, danau-danau, handil-handil

    mengakibatkan kebakaran hutan, hilangnya mata pencaharian penduduk, musnahnya

    flora dan fauna khas yang dilindungi. Penebangan kayu hutan secara illegal yang marak

    karena akses proyek terhadap tegakan hutan gambut sangat mudah dan diikuti oleh

    masyarakat, terutama karena alasan ekonomi. Beberapa studi yang telah dilakukan pun

    menyatakan hal yang sama seperti diatas. Secara khusus berdasarkan hasil temuan riset

    aksi ini, beberapa masalah yang masih menggelayuti masyarakat adalah sebagai berikut:

    a. Masalah Ekologi 1. Pembuatan saluran primer induk (SPI) sepanjang 187 kilometer yang

    menghubungkan Sungai Kahayan, Sungai Kapuas dan Sungai Barito serta

    memotong cukup banyak anak sungainya telah berakibat berubahnya pola tata air,

    dan kualitasnya.

    2. Penebangan pohon di hutan rawa gambut mengakibatkan daya serap permukaan

    tanah berkurang, kondisi ini menyebabkan sering terjadinya banjir di musim

    penghujan, sebaliknya pada musim kemarau lahan gambut lebih mudah terbakar.

    3. Beberapa spesies tumbuhan langka yang dilindungi seperti ramin (Gonystylus

    spp), jelutung (Dyeralowii), kempas (Koompassia malaccensis), ketiau (Ganua

    motleyana), dan nyatoh (Dichopsis elliptica) terancam punah, selain itu

    keberadaan ekosistem air hitam (black water ecosystem) dan ikan khas yang

    hidup di dalamnya, seperti manau tempahas (Calamus manau) menjadi terancam,

    padahal ekosistem air hitam ini merupakan kawasan khas di lahan gambut.

  • 6

    4. Kebakaran merupakan penyebab yang paling parah dari degradasi pada kawasan

    Eks-PLG. Berkurangnya kandungan air lahan gambut dan hilangnya perlindungan

    hutan telah menciptakan kondisi yang memungkinkan untuk terjadinya kebakaran

    besar, dan tidak hanya mengakibatkan masalah kabut asap di sepanjang kawasan

    tersebut (terkait dengan masalah kesehatan dan kerugian secara ekonomi) tetapi

    juga berkontribusi pada perubahan iklim global.

    b. Masalah Sosial Ekonomi 1. Menurunnya produksi di sektor perikanan, kondisi ini dapat dilihat dari hilangnya

    beje dan tatah serta hancurnya sungai-sungai dan danau sebagai tempat

    berkembangbiaknya ikan rawa gambut.

    2. Hilangnya sumber pendapatan dari hasil hutan seperti karet, rotan dan berbagai

    jenis tanaman obat, satwa buruan, serta purun yaitu jenis tanaman yang

    digunakan untuk membuat tikar, serta berkurangnya lahan perikanan dan

    menurunnya hasil tangkapan ikan, kondisi ini mengakibatkan menurunnya

    pendapatan masyarakat lokal di sekitar proyek PLG secara drastis.

    c. Masalah Kebijakan Tumpang tindihnya kebijakan dalam penguasaan dan pengelolaan Lahan eks PLG,

    terutama untuk kepentingan Investasi dan Konservasi. Sejumlah kebijakan baik itu untuk

    investasi maupun konservasi nyatanya tetap menyingkirkan masyarakat dari keterlibatan

    untuk menguasai dan mengelola wilayah lahan gambut yang telah sekian lama

    menghidupi mereka. Lebih lengkapnya adalah sebagai berikut:

    1. Investasi: Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun

    2007 bahwa kurang lebih 1,1 juta hektare dari

    kawasan pengembangan lahan gambut harus

    dikonservasikan dan dikembalikan pada keadaan

    semula. Sisanya atau 0,3 juta hektare bisa

    dimanfaatkan untuk pengembangan pertanian,

    khususnya persawahan padi. Disebutkan juga Gambar 4 : Pembangunan kebun sawit di lokasi transmigrasi di kawasan eks PLG

  • 7

    bahwa alokasi lahan untuk pengembangan dan perluasan perkebunan kelapa sawit

    dibatasi hanya 10.000 hektare . Namun saat ini sudah terdapat 23 ijin perkebuan sawit

    dengan jumlah ijin yang dikeluarkan seluas 935.57 Ha. Dimana sekitar 12 perusahan

    perkebunan beroperasi diwilayah Kabupaten Kapuas dengan luas wilayah konsesi yaitu

    516.962 Ha. Menariknya lagi, sebagian besar perusahaan yang beroperasi tersebut berada

    di blok A dan B yang sesungguhnya diperuntukkan untuk wilayah transmigrasi dan

    pertanian. Akibatnya adalah munculnya konflik-koflik penguasaan atas tanah diwilayah

    tersebut.

    2. Konservasi Konflik dengan masyarakat nyatanya juga terjadi di wilayah Blok E yang digunakan

    untuk wilayah konservasi. Di wilayah ini, telah masuk sejumlah organisasi internasional

    seperti BOS Mawas, Care dan Wetland. Program-program yang dilakukan oleh

    organisasi internasional tersebut sesungguhnya seringkali menutup akses masyarakat

    terhadap areal mereka sendiri. Terutama untuk organisasi BOS MAWAS yang diberi

    keleluasaan untuk mengelola wilayah konservasi, namun sejak ditetapkan sebagai

    wilayah konservasi, akses masyarakat ke wilayah tersebut justru menjadi terbatas.

    Padahal wilayah yang ditentukan sebagai wilayah konservasi adalah milik masyarakat

    sejak dahulu. Tak jarang apabila masyarakat melakukan aktifitas di lokasi konservasi

    mereka seringkali masyarakat harus berurusan dengan aparat kepolisian.

    Beberapa masalah diatas nyatanya memiliki dampak serius bagi keselamatan

    warga di wilayah eks-PLG. Kerusakan ekologi yang kemudian berpengaruh pada

    menurunnya kemampuan ekonomi masyarakat, sejatinya tidak diselesaikan oleh

    pemerintah pusat maupun daerah dengan cara yang bijak. Ditambah lagi dengan upaya

    mendorong perekonomian di wilayah eks-PLG dengan masuknya investasi, terutama

    perkebunan sawit dan pertambangan, pada akhirnya menciptakan masalah baru yakni

    konflik penguasaan tanah. Konflik penguasaan dan pengelolaan tanah ini pula yang turut

    mewarnai proses peralihan kawasan eks-PLG untuk wilayah konservasi. Dengan kata

    lain, upaya yang dilakukan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah sejatinya semakin

    memperkuat proses penyingkiran masyarakat dari wilayah eks-PLG.

  • 8

    03. Pengelolaan SDA Berbasis Kearifan Lokal Di beberapa tempat di wilayah eks-PLG masih memiliki kemampuan untuk beradaptasi

    dengan mengembangkan kearifan yang mereka punyai. Kemampuan menguasai dan

    mengelola SDA berdasarkan kerarifan lokal tampak nyata di derah Kalawa dan DAS

    Puning. Menariknya lagi, kedua wilayah tersebut menggunakan dua metode yang berbeda

    yakni dengan kearifan adat di wilayah kalawa dan keterlibatan organisasi masyakat sipil

    di DAS Puning. Lebih lengkapnya adalah sebagai berikut:

    a. Wilayah Kalawa Secara administratif Kelurahan Kalawa merupakan bagian dari Kecamatan Kahayan Hilir

    Kabupaten Pulang Pisau. Kampung ini pada tahun 2006 berubah menjadi sebuah

    kelurahan, yaitu kelurahan Kalawa. Dikarenakan wilayahnya terpisah dari ibukota Pulang

    Pisau, yaitu berada di seberang sungai Kahayan dengan jarak tempuh 1 Km dari

    ibukota Pulang Pisau, maka Kalawa sering disebut dengan Lewu atau kampung Kalawa.

    Berdasarkan data dari kantor Kelurahan Kalawa tahun 2009,wilayah ini memiliki luas

    129.500 hektare.

    Disamping memiliki

    wilayah yang cukup luas,

    Kelurahan Kalawa juga

    memiliki tingkat pertumbuhan

    penduduk yang cukup padat

    dibandingkan Kampung lain

    disekitarnya. Berdasarkan data

    tahun 2009 kelurahan kalawa

    memiliki jumlah penduku

    1.581 orang/jiwa yang terdiri

    dari laki-laki sebanyak 792 jiwa

    - perempuan 789 jiwa, dan

    jumlah kepala keluarga sebanyak 424 KK. Sebagian masyarakat bermata pencaharian

    Gambar 2: Pertanian masyarakat dengan konsep handil di desa kalawa

  • 9

    sebagai petani, yaitu berkebun karet dan berladang pada kawasan rawa gambut. Sisanya

    adalah pedagang, nelayan dan pegawai negeri.

    Kalawa sendiri masuk dalam wilayah kerja PLG yaitu:

    1. Daerah Kerja B seluas 161.460 Ha yang dibatasi oleh Sungai Kahayan, Sungai

    Kapuas, Anjir Basarang dan SPU

    2. Daerah Kerja C seluas 568.635 Ha yang dibatasi oleh Sungai Kahayan, Sungai

    Sabangau, SPU dan Laut Jawa

    Dimana di daerah kerja tersebut masih terdapat kawasan hutan, dimana pada

    tanggal 5 juni tahun 2005 dan bertepatan dengan hari lingkungan hidup sedunia, atas

    inisiatif warga yang di dukung oleh Damang atau pimpinan adat di wilayah kecamatan di

    sahkan menjadi hutan adat kalawa atau HAK melalui surat keputusan Damang Kepala

    Adat Kahayan Hilir No.04/SK/DKA-KH/VI/2005 tentang Penetapan Kawasan Hutan

    Adat Kalawa. Hutan ini berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan oleh masyarakat

    seluas 10.875. Dari luas 10.875 hektar rencananya masyarakat akan membagi menjadi

    dua kawasan hutan, yaitu; 1) Hutan Inti, merupakan kawasan pukung pahewa seluas

    8.250 hektar dan 2) Hutan Penyangga seluas 2.625 hektar

    Selain itu, di daerah kampong kalawa ini pula masih terdapat pola pengelolaan

    wilayah gambut yang khas, yaitu Handil. Handil berasal dari kata anndeel, yaitu kata

    dalam bahasa Belanda yang artinya gotong royong atau bekerja sama.

    Handil adalah sebuah sungai (parit) untuk sistem pengairan pada daerah pasang

    surut pada kawasan rawa gambut berbentuk yang digunakan untuk pengelolaan pertanian

    dan perkebunan yang dilakukan kebanyakan masyarakat Kalimantan Tengah. Handil

    merupakan konsep pengelolaan kawasan yang unik dimana pada awalnya adalah sebuah

    sungai kecil (saka) yang dijadikan parit memanjang untuk mengatur arus sungai. Handil

    dibuat menjorok masuk dari pinggir sungai sejauh 2-3 km dengan kedalaman 0,5-1,0 m

    dan lebar 2-3 m. Pada sisi kiri dan kanan handil dijadikan masyarakat tempat untuk

    dijadikan lokasi ladang, kebun karet, dan kebun buah. Di Kalawa sendiri sejak dari dulu

    sudah terdapat beberapa handil yang saat ini masih di kelola oleh warga. Handil yang dari

    dulu digunakan oleh warga adalah Handil Mahikei dan Handil Buluh. Dulunya kedua

    handil ini adalah sebuah sungai kecil yang digunakan warag untuk jalur transportasi ke

  • 10

    lokasi ladang, kebung karet, kebun panting dan menuju arah hutan untuk memungut hasil

    hutan.

    Setiap handil biasanya dipimpin oleh seorang kepala dengan sebutan kepala

    handil. Peran penting dari kepala handil adalah mengkoordinir setiap kegiatan

    pengaturan, pemeliharaan sungai dan handil. Selain itu juga adalah mengatur pembagian

    lahan di kiri kanan handil. Oleh karena itu kepala handil sangat berperan dalam

    pembagian lahan untuk masyarakat di kampong. Kepala handil dipilih oleh anggota

    handil dengan sistem musyawarah bersama anggota handil.

    Hal lain yang menjadi ciri khas dari pola handil ini adalah pola kepemilikan yang

    sangat bersandar pada pemahaman adat dan pengetahuan bersama anggota handil. Oleh

    karena itu pola kepemilikan lahan diatur berdasarkan pembagian lahan saat menjadi

    anggota handil. Yang di tandai dengan adanya jenis tanaman seperti jenis karet,cempedak

    atau durian. Begitu juga halnya kepemilikan kawasan yang terdapat pohon jelutung,

    cukup ditandai dengan membersihkan sekitar pohon tersebut dan menyadap pohon

    jelutung yang sudah diturunkan dari generasi sebelumnya.

    b. Wilayah DAS Puning Kawasan daerah aliran sungai (DAS) Puning, Kabupaten Barito Selatan (Kalteng),

    seringkali disebut sebagai kawasan Ekosistem Air Hitam (EAH). Adapun kawasan

    Ekosistem Air Hitam ini terletak di antara 145' LS dan 11455' yang meliputi pula

    wilayah aliran sungai Barito., beriklim tropis dengan 2 (dua) musim, yaitu Barat banyu

    (penghujan) dan kemarau, memiliki topografi relatif datar dengan ketinggian 10 25 m

    dari permukaan laut (dpl),

  • 11

    Pola Pemanfaatan sumber daya alam khusunya rawa gambut dilakukan dengan mengunakan alat-alat tradisioanal oleh masyarakat di DAS Puning.

    Di daerah aliran Sungai Puning (anak S. Barito) terdapat 2 desa dan 2 dusun, yaitu

    Dusun Muara Puning, Desa Batilap, Desa Batampang dan Dusun Simpang Telo.

    Sebagian besar mata pencaharian utama dari peduduk didaerah ini adalah sebagai nelayan

    ikan darat dan penebang kayu. Selain itu mereka juga memiliki mata pencaharian lain

    yakni sebagai pemuar (pemanen madu lebah alam), serta menjual hasil hutan bukan kayu

    lainnya, seperti getah kayu gembor garu ramin dan beberapa jenis rotan alas (hutan).

    Desa Batilap sendiri memiliki penduduk sebanyak 819 jiwa atau kurang lebih

    sekitar 238 KK. Dimana 90% dari jumlah penduduk tersebut merupakan pemanfaat

    sumberdaya alam baik perikanan maupun sumberdaya alam dari hutan berupa kayu, rotan

    dandan, gembor dan madu hutan. Untuk dapat mengelola wilayahnya, masyarakat desa

    Batilap kemudian membentuk sebuah organisasi yaitu Organisasi Inggawi Sasamaan

    (OIS). OIS Desa Batilap ini didirikan atas inisiatif masyarakat pada tanggal 27 pebruari

    2001 yang bertujuan untuk meningkatkan ekonomi keluarga melalui usaha bersama

    pengelolaan, pemanfaatan Sumberdaya Alam yang berkelanjutan dan mengutamakan

    perlindungan Sumber Daya Alam. Salah satu upaya pertama yang mereka lakukan adalah

    dengan melakukan pemetaan wilayah kelola desa, bekerja sama dengan Yayasan

    Keanekaragaman Hayati (Kehati). Hasil dari pemetaan ini kemudian mereka tuangkan

  • 12

    dalam peta desa yang membagi tata ruang kawasan desa. Adapun pembagian tata ruang

    kawasan desa Batilap ini mempunyai tujuan sebagai berikut:

    1. Masyarakat memiliki akses langsung dalam pengelolaan dan pemanfaatan

    Sumberdaya Alam

    2. Membantu pemerintah desa dalam perencanaan pembangunan di desa

    3. Membantu penyusunan Tata Ruang Kabupaten secara detail

    Adapun luas kawasan berdasarkan kesepakatan dan ditetapkan dalam sebuah peraturan

    desa batilap tentang Tata Ruang desa di desa Batilap yakni:

    Hutan kelola bersama 218,39 Ha

    Hutan kelola cadangan 12,604,46 Ha

    Hutan kelola terbatas 3,976,12 Ha

    Hutan sumber pakan lebah (Nektar) 303,17 Ha

    Rencana perkebunan karet 371,28 Ha

    Hutan bekas terbakar 62,966 Ha

    Kawasan beje 1,748,98 Ha

    Pemukiman penduduk 8,42 Ha

    Melalui organisasi OIS dan masih bekerja sama dengan Kehati, masyarakat desa

    Batilap mengadakan sebuah program bersama yakni Program Rehabilitasi Ekosistem

    dilahan bekas terbakar dan pengembangan Ekonomi Masyarakat Berbasis Potensi Alam.

    Program ini merupakan alternatif untuk menciptakan usaha baru bagi masyarakat desa

    Batilap yang terdiri dari berbagai kegiatan sebagai berikut:

    1. Penanaman bibit karet lokal dikawasan hutan bekas terbakar sebanyak 30.000 pohon

    yang tersebar di lokasi lahan bekas terbakar di Dusun Muara Puning dan Desa Batilap

    oleh masing-masing anggota kelompok tani karet dengan luasan yang mencapai sekitar

    97 ha.

    2. Komoditi buah dan tanaman

    3. pembuatan balai benih bibit trapung (damplot)

    4. Pembuatan Beje (sumur ikan) yang merupakan tabungan disaat pada musim

    kemarau. Sumur ikan ini tersebar di dua lokasi yakni Desa Batilap dan Dusun Muara

    Puning sebanyak 97 buah.

  • 13

    Apa yang terjadi di Kalawa maupun DAS Puning, terutama desa Batilap, merupakan

    suatu potret keberhasilan dalam pengelolaan hutan, ekosistem, ekologi sekaligus

    mengatasi masalah sosial yang mereka hadapi. Kalawa mengedepankan pengelolaan

    Handil sebagai pengelolaan sumberdaya alam secara bersama. Handil sebagai

    pengelolaan air pasang surut yang digunakan dalam pengelolaan pertanian dan

    perkebunan. Kemudian disisi kiri dan kanan handil oleh masyarakat dijadikan sebagai

    satu tempat untuk lokasi ladang, kebun karet dan kebun buah. Artinya yang menjadi

    promosi sistem pengelolaan alam berdasarkan kearifan lokal masyarakat Kalawa secara

    khusus suatu model yang sepatutnya dipromosikan dan dikembangkan di kawasan lain.

    Dalam riset ini kita ingin melihat satu contoh sukses bagaimana masyarakat mengelola

    kawasan hutan adatnya, dimana kawsan hutan adat itu selain ada fungsi-fungsi ekologi

    dan ekosistem tetapi juga secara arif dan kosisten bisa memenuhi tata kosumsi

    masyarakat. Sekiranya kalau model yang ada di Kalawa ini bisa dikembangkan menjadi

    satu model di Kabupaten Pulang Pisau atau setidaknya di kawasan eks-PLG secara lebih

    luas itu akan lebih bijak dan lebih arif dalam mengakomodasi kepentingan masyarakat.

    Sedangkan di DAS Puning, pengelolaan sumberdaya alam dilakukan dan ditentukan

    bersama melalui organisasi masyarakat. Melalui organisasi, masyarakat mencoba menata

    dan merencanakan penguasaan dan pengelolaan sumberdaya berdasarkan apa yang

    mampu mereka lakukan dan cocok dengan wilayah mereka. Lebih jauh, melalui

    organisasi yang ada dan keterlibatan organisasi masyarakat sipil sebagai organisasi

    penyokong menjadikan upaya pengelolaan sumberdaya lebih terencana dan terarah.

    Catatan penting dari dua model diatas adalah, pengorganisasian rakyat yang baik

    merupakan salah satu cara untuk mempertahankan penguasaan dan pengelolaan wilayah

    mereka.

    04. Kesimpulan Dengan luasan yang cukup besar atas wilayah PLG maka perlu dilakukan penataan

    kembali wilayah eks-PLG yang lebih komprehensif. Hal ini perlu dilakukan untuk tidak

    mengulangi lagi kesalahan yang sama sebagaimana yang dilakukan di masa lampau.

    Perubahan orientasi pemerintah merupakan salah satu kunci yang penting dalam

    perbaikan kehidupan masyarakat di wilayah eks-PLG. Sehingga beberapa prinsip

  • 14

    dibawah ini diperlukan untuk menjamin keselamatan dan kesejahteraan warga. Prinsip-

    prinsip tersebut adalah:

    1. Seluruh upaya mengatasi perubahan iklim termasuk pengelolaan kawasan hutan rawa

    gambut harus menjamin keselamatan manusia untuk hidup secara layak tanpa

    menafikan hak asasi manusia yang melekat dalam individu dan dijamin dalam

    deklarasi universal hak asasi manusia. Hak sebagai individu maupun komunitas yang

    utuh dan bermartabat, bebas dari kekerasan, paksaan, penyingkiran, penyiksaan, dan

    kematian harus dijamin dijadikan prinsip utama yang wajib ditegakkan dalam setiap

    kebijakan dan upaya pengelolaan sumberdaya alam termasuk kawasan gambut.

    2. Hak warga atas pembangunan, kehidupan yang layak, lingkungan yang sehat tidak

    bisa dinafikan atas nama penyelamatan lingkungan global. Komunitas global dan

    negara wajib menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak ini tanpa kecuali

    meskipun dalam kondisi krisis, harus ada konsep FPIC (Free, Prior, Inform Consent)

    yang diterapkan dalam kebijakan pengelolaannya.

    3. Penghormatan terhadap hak-hak warga lokal, minoritas, untuk menentukan nasib

    sendiri. Pelibatan warga lokal secara penuh lewat proses yang tidak dibatasi waktu

    yang ditetapkan ketentuan-ketentuan global adalah prinsip utama dalam partisipasi.

    Proses perbaikan lingkungan yang menghormati, melindungi, dan memenuhi hak

    asasi warga adalah prinsip yang patut dipenuhi.

    Sehubungan dengan itu berdasarkan hasil riset ini, kiranya Walhi Kalteng dapat

    mempromosikan dan merekomendasikan beberapa hal dibawah ini:

    I. Dalam Hal Kebijakan.

    Sebelum mengeluarkan kebijakan baru untuk penguasaan dan pengelolaan di wilayah

    seharusnya pemerintah daerah menata ulang penguasaan dan pengelolaan wilayah eks-

    PLG. Proses penataan ulang wilayah ini dapat dilakukan berdasarkan hasil pemetaan

    yang dilakukan oleh masyarakat, sebagaimana yang telah dilakukan oleh masyarakat desa

    Batilap. Dengan terlebih dahulu mengetahui wilayah kuasa dan kelola masyarakat maka

    akan mudah bagi pemerintah untuk menentukan wilayah mana yang cocok dalam

    peruntukannya. Pemetaan yang dilakukan oleh masyarakat ini kemudian disahkan oleh

  • 15

    pemerintah sebagai bagian dari peta wilayah dan tata ruang di wilayah eks-PLG. Hal

    yang tak kalah penting dari hasil pemetaan ini adalah memberi kepastian hukum dan

    politik bagi masyarakat atas wilayah kuasa dan kelola mereka. Dengan adanya kepastian

    hukum dan politik ini maka dengan sendirinya akan menghindarkan terjadinya konflik

    kepentingan. Sebagai catatan tambahan, dalam laporan final Masterplan eks-PLG

    dinyatakan bahwa konflik kepentingan tersebut, yang lebih jelasnya ditampilkan dalam

    peta overlay masterplan, perlu diselesaikan apabila revitalisasi dan rehabilitasi wilayah

    eks-PLG hendak dilakukan. Oleh karena itu dengan sendirinya, perlu dihentikan

    dikeluarkannya ijin lokasi baik untuk perkebunan sawit maupun pertambangan. Hal ini

    diperlukan untuk menghindari munculnya konflik baru, manakala upaya penataan

    kembali penguasaan dan pengelolaan wilayah eks-PLG belum selesai.

    Hal lain yang layak diperhatikan adalah dengan memperkuat kembali peran serta

    masyarakat lokal seperti Damang, Mantir, kepala Handil, kepala Padang dalam

    pengelolaan kawasan secara tradisional. Upaya ini perlu dilakukan guna mempertegas

    kembali pengelolaan kawasan masyarakat lokal dengan mensinergiskan peran serta

    pemerintah atau pihak lain guna memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dalam

    menghadapi keberlanjutan ketahanan pangan masyarakat dimasa yang akan datang.

    Tumpang tindih peruntukan hanya dapat menimbulkan masalah baru bagi masyarakat

    karena masyarakat bersentuhan langsung dengan semua usulan proyek atau kegiatan

    II. Dalam hal Konservasi.

    Lahan Gambut yang terbuka oleh Proyek Lahan Gambut 1 juta Ha, dapat di hutankan

    kembali. Dan hasilnya menjadi sebuah sentra produksi kayu yang dikelola oleh desa. Hal

    ini dapat menjadi pilihan mengingat masih adanya inisiatif dari masyarakat untuk

    menanami kembali lahan yang telah terbakar baik dengan bibit karet, sengon, gemur,

    pantung dan lainnya. Penanaman tanaman keras tersebut diselingi dengan tanaman pisang

    dan nanas sebagai pelindung kebakaran. Hasil kayu nantinya dikelola masyarakat sendiri

    dalam bentuk koperasi produksi dalam bidang perkayuan. Selain itu, penghutanan

    kembali dapat menjadi salah satu cara menghadapi banjir dengan kandungan air yang

    dapat di resapkan di hutan.

    Pilihan pengelolaan konservasi yang dilakukan oleh lembaga internasional masih menjadi

    ancaman yang serius dimasyarakat yang dapat memungkinkan timbulnya konflik

  • 16

    horizontal dikemudian hari. Oleh karena itu pilihan konservasi berdasarkan pengetahuan

    masyarakat setidaknya lebih dikedepankan untuk menghindari hal tersebut.

    III. Dalam hal pengembangan ekonomi masyarakat. Berikut ini adalah beberapa pola

    pengembangan ekonomi yang masih dapat dilakukan oleh masyarakat, yang pada akhirnya

    dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pola pengembangan tersebut adalah sebagai

    berikut:

    a. Perikanan, Beje dapat menjadi salah satu potensi dengan beberapa pra kondisi.

    Pemilihan lokasi yang relatif aman dari banjir dan pemasangan jaring tinggi di

    sekeliling Beje.

    b. Karet juga dapat menjadi salah satu pilihan dimana pengelolaan dilakukan oleh

    masyarakat sendiri. Fasilitasi dalam hal pembibitan, penanaman dan jaringan

    pemasaran dapat dilakukan oleh lembaga yang dipilih oleh masyarakat maupun oleh

    pemerintah sendiri.

    c. Penanaman Pisang dan Nanas selain upaya pencegahan kebakaran nyatanya

    memberikan hasil produksi yang besar. Pola-pola jenis tanaman tersebut dapat

    digunakan sebagai salah satu alternatif untuk mengurangi kebakaran lahan di Eks-

    PLG. Hal ini terbukti dapat dilakukan diwilayah Kapuas. Selain itu jenis tanaman

    tersebut dapat pula menjadi pilihan lain bagi masyakat untuk memperoleh

    penghasilan lain. Namun demikian nampaknya keterlibatan pemerintah perlu

    dipertimbakan terutama untuk membantu dalam hal jaringan pemasaran.

  • 17

    Appendix 1. Pola Pemanfaatan Lahan Daerah Kalawa

    a. Sungai (Sungai)

    Sungai merupakan urat nadi kehidupan bagi masyarakat yang hidup dan tinggal sungai

    kahayan. Sungai juga merupakan jalur transportasi antar desa yang memang kebanyakan

    berada di pinggir sungai. Selain sebagai salah satu pemenuhan kebutuhan hidup rumah

    tangga seperti mandi, cuci dan kakus (MCK), sungai kahayan juga dimanfaatkan untuk

    menambah penghasilan ekonomi seperti menangkap berbagai jenis ikan dengan

    menggunakan alat tradisional seperti rengge,lunta,satawan,buwu dan pancing (pisi).

    Untuk keperluan air minum dan memasak [air bersih] biasanya masyarakat mengambil

    dari air sumur yang dicampur tawas untuk membersihkan air sumur tersebut. Sebagian

    warga lainnya dengan menggunakan air sedot dari dalam tanah.

    b. Lewu atau Kampong (Desa)

    Lewu atau desa atau kampong adalah sebuah wilayah atau tempat berkumpul komunitas

    masyarakat untuk dapat lebih memudahkan interaksi antar keluarga dan kerabat. Di lewu

    inilah sistem pemerintahan berjalan dengan membawahi beberapa Rukun Tetangga (RT).

    Untuk kampong kalawa system pemerintahan dipimpin oleh seorang Kepala Lurah dan

    desa pilang dipimpin oleh pambakal atau kepala desa yang di bantu oleh perangkatnya

    (Sekdes dan BPD). Lewu atau kampong juga mempunyai batasan wilayah yang di atur

    oleh kebijakan pemerintah.

    c. Himba (hutan)

    Hutan di sini merupakan sebuah kawasan yang mana mereka gunakan untuk berbagai

    aktivitas diantaranya adalah untuk berburu,memungut hasil hutan seperti misalnya

    beberapa jenis rotan dan getah,tumbuhan obat-obatan dan menggunakan beberapa jenis

    kayu untuk keperluan rumah.

    d. Kalehkak (Bekas Kampung)

    Kalehkak adalah bekas pemukiman yang sudah lama di tinggalkan dan masih di kelola

    secara baik. Biasanya kalehkak di gunakan masyarakat untuk mengambil berbagai jenis

    rotan, tengkawang, karet dan buah-buahan lainnya seperti durian, cempedak. Kalehkak

    bagi masyarakat terbagi dalam dua bagian, yaitu kalehkak lewu dan kalehkak dukuh.

  • 18

    a. Kalehkak lewu adalah bekas pemukiman (kampong atau desa) yang

    dimanfaatkan dan dimiliki secara komunal oleh keturunan dari komunitas

    kampongn tersebut.

    b. Sedangkan kalehkak dukuh adalah bekas bermukim sementara dimana masih

    dimanfaatkan dan dikelola kawasannya.

    e. Pukung Pahewan

    Pahewan adalah sebuah kawasan hutan dimana kawasan ini merupakan kawasan tempat

    roh-roh gaib tinggal. Menurut masyarakat setempat kawasan ini merupakan daerah yang

    tidak boleh di ganggu atau di rusak keberadaannya. Di lokasi pahewan ini biasanya

    terdapat patung dan rumah-rumahan tempat untuk memberikan sajian kepada roh-roh

    yang tinggal di Tojahan tersebut. Biasanya sebagian masyarakat apabila menghajatkan

    sesuatu dan hajat tersebut terkabul maka mereka akan membayar hajat ke lokasi pahewan

    tersebut. Pahewan merupakan sebuah kawasan hutan yang dimiliki secara komunal oleh

    masyarakat dayak yang keberadaannya dilindungi dan dimanfaatkan dengan berdasarkan

    aturan hukum adat yang berlaku di kampong. Penyebutan hutan menjadi pahewan,

    tajahan atau himba Keramat biasanya dipengaruhi oleh dua hal yaitu, pertama, mimpi

    yang dialami oleh masyarakat banyak, yang bersifat peringatan/pemberitahuan dan

    dialami oleh orang banyak; kedua, karena kejadian-kejadian aneh yang dialami oleh

    masyarakat pada wilayah tersebut. Kawasan hutan lainnya pun dapat menjadi himba

    keramat apabila terdapat pertanda pada kawasan tersebut seperti disebutkan diatas.

    Dalam masa-masa mendatang kemungkinan besar himba keramat dapat bertambah luas

    jika terdapat tanda-tanda tersebut.

    f. Napu (Rawa)

    Napu adalah sebuah wilayah yang mempunyai dataran tanah agak rendah dan berair

    (rawa). Pada lokasi ini biasanya mempunyai tingkat keasaman yang lebih dan bagi

    masyarakat biasanya di gunakan untuk lokasi persawahan padi. Selain itu biasanya

    masyarakat memanfaatkan lahan pada daerah rawa ini adalah dengan membuat beje atau

    kolam tradisional. Dan jenis tanaman yang banyak terdapat pada daerah rawa ini adalah

    tanaman purun yang digunakan masyarakat untuk membuat tikar (tikar purun).

    g. Huma atau Tana (Ladang)

  • 19

    Ladang adalah sebuah lokasi tempat masyarakat menanam berbagai jenis padi. Jenis padi

    yang di tanam yaitu padi gunung yang biasanya hanya satu kali musim/satu musim

    tanam. Dalam berladang juga adalah merupakan sebuah tahap awal masyarakat dalam

    membuka kebun (kabun) apabila di lokasi ladang tersebut subur. Untuk menunggu hasil

    panen tiba,biasanya masyarakat menanam berbagai jenis sayur untuk kebutuhan sehari-

    hari. Dan setelah selesai panen biasanya di tanamami lagi dengan karet atau berbagai

    jenis buah-buahan seperti durian, cempedak. Akhir dari proses berladang dan kemudian

    menjadi tana adalah melakukan usaha kebun dari bekas areal ladang yang sudah ditanami

    padi. Biasanya pada kebun ini terbagi menjadi dua sebutan. Pertama adalah Kabun Bua

    yaitu kebun yang ditanami jenis tanaman buah-buahan (nangka, rambutan, pinang,

    durian). Sedangkan yang kedua adalah Kabun gita atau kabun uwei (kebun karet atau

    rotan) yang mempunyai jenis tanaman khusus yaitu pohon karet atau rotan. Proses

    berladang apabila di tanami dengan berbagai pohon yang produktif adalah sebagai tanda

    kepemilikan dari orang yang membuka ladang tersebut. Proses ini harus menjadikan

    lahan tersebut sebagai kebun dikemudian hari.

    h. Kabun Kalakah (Kebun)

    Kebun adalah sebuah areal dimana terdapat kumpulan berbagai jenis pohon yang

    digunakan warga sebagai mata pencaharian atau tambahan kebutuhan pangan. Biasanya

    pada kebun ini terbagi menjadi dua sebutan yaitu,pertama adalah Kabun Bua yaitu kebun

    campuran yang ditanami berbagai jenis tanaman buah-buahan seperti nangka, rambutan,

    pinang, durian,dll. Dan yang kedua adalah Kabun gita atau kabun uwei yang mempunyai

    jenis tanaman khusus yaitu pohon karet atau rotan.

    i. Bahu Taya (Semak)

    Adalah semak belukar yang diperkirakan sudah berumur di atas dari 15 tahun. Atau

    semak belukar yang akan menjadi hutan. Semak belukar ini bisa juga bekas lahan

    berladng masyarakat yang sudah ditumbuhi oleh pohon-pohon perdu seperti karamunting,

    alang-alang dan rumput-rumput liar. Lahan ini masih bisa dijadikan ladang, walaupun

    tidak sesubur pada ladang yang baru dengan membuka hutan (gilir balik). Hal ini karena

    tingkat kesuburannya rendah dari unsur hara yang terserap oleh tanaman padi selama

    proses peladangan sebelumnya.

  • 20

    Appendix 2. Peta Pemanfaatan Lahan Desa Batilap