10
Volume 7, Nomor 2, Agustus 2018 Kata Kunci Bersumber dari arkel. Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya. UDC: 34.01 Yu Un Oppusunggu Ar Penng Hukum Antartata Hukum untuk Indonesia Jurnal Rechtsvinding, Vol. 7 No. 2, Agustus 2018, hlm. 147 – 168 Hukum Antartata Hukum (HATAH) memiliki ar penng, karena hukum di Indonesia bersifat plural. Permasalahan hukum banyak disebabkan oleh kedakcermatan pembuat dan pelaksana hukum dalam memahami pluralisme hukum Indonesia. Pengabaian terhadap pluralisme hukum akan mengakibatkan kedakpasan hukum dan/atau kedakadilan, sehingga akan menghambat pembangunan ekonomi nasional. Oleh karena itu, dalam arkel ini Penulis akan membahas ar penng HATAH saat ini dengan pendekatan historis. Selain itu dibahas pula bahwa perjanjian-perjanjian internasional yang menjadi bagian dari HATAH Indonesia, sangat mempengaruhi pengembangan ekonomi nasional Indonesia dan berpotensi adanya benturan kepenngan antara kepenngan nasional dan tuntutan internasional. Dengan menggunakan pendekatan historis dalam membahas permasalahan di atas, dapat disimpulkan bahwa kunci menyelesaikan permasalahan hukum nasional ada pada pemahaman yang benar tentang pluralisme hukum dan ilmu hukum antartata hukum. Kata Kunci: hukum perdata internasional, hukum antartata hukum, pluralisme hukum, pembangunan hukum UDC: 34.01 Basuki Rekso Wibowo Pembaruan Hukum Antartata Hukum Indonesia dalam rangka Mendukung Perkembangan Ekonomi di Era Globalisasi Jurnal Rechtsvinding, Vol. 7 No. 2, Agustus 2018, hlm. 169 – 187 Keterlibatan Indonesia dalam hubungan perdagangan dengan negara negara lain telah berlangsung cukup lama. Hal yang dak lepas dan terkait dengan hubungan perdagangan adalah dokumen kontrak, terlebih lagi kontrak dagang internasional yang mana terdapat perbedaan latar belakang status dan kedudukan hukum dari masing masing pihak yang terlibat. Tulisan ini menyoro akibat hukum yang mbul dengan adanya klausula pilihan hukum dan pilihan forum dalam kontrak dagang internasional dan arah pembaruan hukum perdata internasional ke depan. Dengan menggunakan metode penelian yuridis normaf melalui pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual didapa hasil bahwa dalam seap perumusan kontrak dagang internasional diperlukan keha-haan dan kecermatan dari para pihak terhadap segala rumusan klausula dan substansi yang akan dimuat di dalamnya. Hal yang sangat penng untuk diperhakan yaitu yang menyangkut pilihan hukum dan pilihan forum. Ketepatan melakukan pilihan hukum akan menentukan keabsahan kontrak dan penerapan hukum yang berlaku terhadap kontrak. Dan terhadap penyelesaian sengketa kontrak dagang internasional lebih tepat apabila dilakukan melalui forum arbitrase internasional yang disepaka, dimana arbitrase internasional tersebut dinilai memiliki reputasi nggi serta putusannya dapat dimintakan pengakuan dan pelaksanaan di negara dari pihak yang menandatangani kontrak dagang internasional tesebut. Dan terhadap polik hukum yang menyangkut pembaruan hukum merupakan kebutuhan mendesak dalam rangka meningkatkan perekonomian sehingga perlu segera menyempurnakan RUU Hukum Perdata Internasional yang sudah ada untuk dimasukkan ke dalam prioritas Prolegnas. Kata Kunci: kontrak, pilihan hukum, pilihan forum, hukum perdata internasional

Kata Kunci Bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini

  • Upload
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kata Kunci Bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini

Volume 7, Nomor 2, Agustus 2018

Kata Kunci Bersumber dari artikel.Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya.

UDC: 34.01

Yu Un Oppusunggu

Arti Penting Hukum Antartata Hukum untuk Indonesia

Jurnal Rechtsvinding, Vol. 7 No. 2, Agustus 2018, hlm. 147 – 168

Hukum Antartata Hukum (HATAH) memiliki arti penting, karena hukum di Indonesia bersifat plural. Permasalahan hukum banyak disebabkan oleh ketidakcermatan pembuat dan pelaksana hukum dalam memahami pluralisme hukum Indonesia. Pengabaian terhadap pluralisme hukum akan mengakibatkan ketidakpastian hukum dan/atau ketidakadilan, sehingga akan menghambat pembangunan ekonomi nasional. Oleh karena itu, dalam artikel ini Penulis akan membahas arti penting HATAH saat ini dengan pendekatan historis. Selain itu dibahas pula bahwa perjanjian-perjanjian internasional yang menjadi bagian dari HATAH Indonesia, sangat mempengaruhi pengembangan ekonomi nasional Indonesia dan berpotensi adanya benturan kepentingan antara kepentingan nasional dan tuntutan internasional. Dengan menggunakan pendekatan historis dalam membahas permasalahan di atas, dapat disimpulkan bahwa kunci menyelesaikan permasalahan hukum nasional ada pada pemahaman yang benar tentang pluralisme hukum dan ilmu hukum antartata hukum.Kata Kunci: hukum perdata internasional, hukum antartata hukum, pluralisme hukum, pembangunan hukum

UDC: 34.01

Basuki Rekso Wibowo

Pembaruan Hukum Antartata Hukum Indonesia dalam rangka Mendukung Perkembangan Ekonomi di Era Globalisasi

Jurnal Rechtsvinding, Vol. 7 No. 2, Agustus 2018, hlm. 169 – 187

Keterlibatan Indonesia dalam hubungan perdagangan dengan negara negara lain telah berlangsung cukup lama. Hal yang tidak lepas dan terkait dengan hubungan perdagangan adalah dokumen kontrak, terlebih lagi kontrak dagang internasional yang mana terdapat perbedaan latar belakang status dan kedudukan hukum dari masing masing pihak yang terlibat. Tulisan ini menyoroti akibat hukum yang timbul dengan adanya klausula pilihan hukum dan pilihan forum dalam kontrak dagang internasional dan arah pembaruan hukum perdata internasional ke depan. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif melalui pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual didapati hasil bahwa dalam setiap perumusan kontrak dagang internasional diperlukan kehati-hatian dan kecermatan dari para pihak terhadap segala rumusan klausula dan substansi yang akan dimuat di dalamnya. Hal yang sangat penting untuk diperhatikan yaitu yang menyangkut pilihan hukum dan pilihan forum. Ketepatan melakukan pilihan hukum akan menentukan keabsahan kontrak dan penerapan hukum yang berlaku terhadap kontrak. Dan terhadap penyelesaian sengketa kontrak dagang internasional lebih tepat apabila dilakukan melalui forum arbitrase internasional yang disepakati, dimana arbitrase internasional tersebut dinilai memiliki reputasi tinggi serta putusannya dapat dimintakan pengakuan dan pelaksanaan di negara dari pihak yang menandatangani kontrak dagang internasional tesebut. Dan terhadap politik hukum yang menyangkut pembaruan hukum merupakan kebutuhan mendesak dalam rangka meningkatkan perekonomian sehingga perlu segera menyempurnakan RUU Hukum Perdata Internasional yang sudah ada untuk dimasukkan ke dalam prioritas Prolegnas. Kata Kunci: kontrak, pilihan hukum, pilihan forum, hukum perdata internasional

Page 2: Kata Kunci Bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini

Volume 7, Nomor 2, Agustus 2018

Kata Kunci Bersumber dari artikel.Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya.

UDC: 340.14

Ahmad Haris Junaedi

Urgensi dan Tantangan Indonesia dalam Aksesi Konvensi Apostille

Jurnal Rechtsvinding, Vol. 7 No. 2, Agustus 2018, hlm. 189 – 206

Kemudahan berusaha sebagai sebuah tema besar dalam pembangunan perekonomian membutuhkan dorongan dari berbagai aspek prosedur administrasi, salah satunya adalah penghapusan syarat legalisasi dokumen publik asing. Praktik legalisasi dokumen publik asing atau dokumen publik yang akan digunakan di luar negeri, meskipun telah menggunakan aplikasi tetapi masih membutuhkan banyak waktu dan biaya. Selain itu, kendala lainnya dalam penggunaan dokumen publik adalah bahwa dokumen publik yang telah dilegalisir oleh lembaga atau kementerian di Indonesia tidak serta merta dapat diterima, melainkan harus melalui proses legislasi kembali sesuai dengan prosedur formal dari negara yang dituju. Konvensi Apostille dibentuk untuk mengatasi permasalahan ini. Dengan adanya konvensi ini maka prosedur formal legalisasi akan disederhanakan, selain itu dokumen publik yang telah dilengkapi apostille akan diterima oleh negara-negara anggota perjanjian. Melihat manfaat ini, bahwa proses legalisasi di Indonesia akan lebih cepat dan mudah, maka Indonesia seharusnya segera mengaksesi perjanjian apostille. Kata Kunci: kemudahan berusaha, legalisasi, apostille, aksesi

UDC: 34.023

M. Alvi Syahrin

Penentuan Forum yang Berwenang dan Model Penyelesaian Sengketa Transaksi Bisnis Internasional Menggunakan E-Commerce: Studi Kepastian Hukum dalam Pembangunan Ekonomi Nasional

Jurnal Rechtsvinding, Vol. 7 No. 2, Agustus 2018, hlm. 207 – 228

Keberadaan e-commerce telah mengubah tatanan transaksi bisnis di Indonesia. E-commerce lahir atas tuntutan masyarakat terhadap pelayanan yang serba cepat, mudah dan praktis melalui internet. Namun dalam praktiknya, sengketa e-commerce kerap kali muncul dikarenakan perbedaan kepentingan di antara para pihak. Sengketa ini melibatkan lintas negara yang menimbulkan permasalahan forum mana yang berwenang mengadili sengketa tersebut. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif hasil penelitian menunjukan bahwa forum yang berwenang dalam penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional yang menggunakan e-commerce adalah forum yang dipilih atas dasar kesepakatan para pihak (choice of forum) dalam kontrak elektronik internasional yang mereka buat. Namun, bila para pihak tidak menentukan pilihan forum dalam kontrak elektronik internasional yang dibuatnya, maka mengacu pada forum dari negara penjual atas dasar ketentuan yang termaktub dalam asas-asas Hukum Perdata Internasional. Hal ini dikarenakan, penjual merupakan pihak yang memiliki prestasi paling karakteristik dibanding pihak lainnya. Penentuan tersebut didasarkan atas Substansial Connection Theory sebagaimana yang dikemukakan dalam Principle 2.1 bagian (2) dari PTCP (tentang Jurisdiction over Parties). Adapun terkait dengan model penyelesaian sengketa tersebut dimungkinkan untuk digunakannya dua mekanisme, yaitu jalur litigasi dan non litigasi. Mekanisme litigasi berupa jalur penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Sedangkan non litigasi dapat dilakukan dengan jalur penyelesaian sengketa melalui arbtirase, negosiasi, mediasi, dan konsiliasi.Kata Kunci: forum berwenang, penyelesaian sengketa, e-commerce

Page 3: Kata Kunci Bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini

Volume 7, Nomor 2, Agustus 2018

Kata Kunci Bersumber dari artikel.Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya.

UDC: 34.023

Helitha Novianty Muchtar, Muhammad Amirulloh, dan Tasya Safira Nita

Penerapan Prinsip Yurisdiksi In Rem (Forum Rei Sitae) dalam Gugatan Orang Terkenal Terhadap Cybersquatter di Indonesia

Jurnal Rechtsvinding, Vol. 7 No. 2, Agustus 2018, hlm. 229 – 242

Maraknya tindakan cybersquatting yang dilakukan oleh cybersquatter atas penggunaan nama domain terhadap suatu nama orang terkenal di dunia maya membuat gugatan pelanggaran nama domain semakin meningkat. Dalam beberapa kasus, penggunaan nama domain oleh cybersquatter merupakan kasus yang melintasi batas Negara yang di dalamnya terdapat unsur asing. Perwujudan dari yurisdiksi in rem melalui Forum Rei Sitae yakni penguasaan negara atas benda yang situsnya berada di wilayah teritorialnya. Dalam praktik peradilan di Indonesia, gugatan atas dasar kebendaan dalam hal ini nama domain yang terkait merek diajukan ke pengadilan dimana benda tersebut berada atau didaftarkan. Dalam penelitian ini hendak menjawab apakah penggunaan yurisdiksi in rem (forum rei sitae) ini dapat diterapkan pula pada kasus-kasus nama orang terkenal yang digunakan sebagai nama domain yang tempat dilakukannya pelanggaran/ sengketa berada di negara yang berbeda dan prinsip yurisdiksi manakah yang lebih efektif dalam penyelesaian sengketa nama orang terkenal yang digunakan sebagai nama domain di internet, metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Hasil penelitian menyatakan bahwa penggunaan yurisdiksi in rem dapat digunakan dalam sengketa nama orang terkenal yang digunakan sebagai nama domain di internet, yurisdiksi in rem (forum rei sitae) juga dinilai lebih efektif dari sisi ekonomi dan penghentian pelanggaran penggunaan nama domain.Kata Kunci: yurisdiksi in rem, nama domain, merek

UDC: 34.05

Pujiyono

Kewenangan Absolut Lembaga Arbitrase

Jurnal Rechtsvinding, Vol. 7 No. 2, Agustus 2018, hlm. 243 – 260

Arbitrase sebagai model resolusi sengketa bisnis diakui berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase). Putusan yang dibuat oleh lembaga arbitrase bersifat final dan binding, yang bersifat mengikat dan tidak ada upaya hukum lain. Namun demikian, tidak jarang pihak yang tidak puas atas putusan arbitrase mengajukan gugatan pembatalan maupun gugatan atas pokok perkara ke pengadilan, dengan dalih pengadilan tidak boleh menolak perkara yang diajukan oleh warga negara. Hal tersebut ditegaskan di dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman). Akibatnya penyelesaian sengketa menjadi berlarut-larut dan tidak kunjung selesai. Penelitian ini menggunakan metode normatif dengan pendekatan perspektif. Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui studi kepustakaan dengan menggunakan content analysis dengan logika deduktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, kedudukan UU Arbitrase dan UU Kekuasaan Kehakiman adalah sederajat, oleh karena itu apabila ada benturan seharusnya digunakanasas lex spesialis derogat legi generale, peraturan yang khusus mengalahkan yang umum, sehingga UU Arbitrase harus didahulukan. Terhadap haltersebut berlaku courtlimitation sebagaimana diatur di dalam Pasal 3 dan Pasal 11 UU Arbitrase, bahwa pengadilan tidak berwenang memeriksa kasus yang ada klausulnya arbitrase, bahkan hakim pengadilan negeri wajib menolak.Kata Kunci: sengketa bisnis, putusan arbitrase, gugatan, pengadilan

Page 4: Kata Kunci Bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini

Volume 7, Nomor 2, Agustus 2018

Kata Kunci Bersumber dari artikel.Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya.

UDC: 34.03

Gratianus Prikasetya Putra

Intergentiele Grondregel dalam Hukum Antartata Hukum Terkait Kepemilikan Hak Atas Tanah Bagi WNI Keturunan Tionghoa di DIY

Jurnal Rechtsvinding, Vol. 7 No. 2, Agustus 2018, hlm. 261 – 282

Tanah memainkan perananan penting dalam pembagunan nasional baik secara yuridis, sosiologis, dan juga finansial di tengah masyarakat. Disamping pengaturan dan praktik unifikasi hukum pertanahan di Indonesia, fenomena pluralisme hukum pertanahan masih terjadi di Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sebagai sebuah daerah yang memiliki potensi pariwisata yang tinggi, DIY wajib menjamin terlaksananya kepastian hukum dan penegakan hukum khususnya pertanahan. Pluralisme hukum pertanahan di Wilayah ini dapat dilihat dengan masih berlakunya Instruksi Kepala Daerah DIY No K. 898/I/A/1975 disamping UU No 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria. Keberlakuan Instruksi tersebut menyebabkan Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa tidak dapat mempunyai hak milik atas tanah di Wilayah DIY. Terkait fenomena tersebut, bidang Hukum Antar Tata Hukum (HATAH) Intern memiliki sebuah asas yang dikenal sebagai Intergentiele Grondenregel. Asas tersebut memungkinkan tanah seolah-olah memiliki golongan masyarakatnya tersendiri dan membawa dampak secara yuridis. Pendekatan berdasarkan asas dalam HATAH Intern ini akan menjadi jembatan guna memfasilitasi pendekatan berdasarkan hukum pertanahan serta perundang-undangan dalam membahas fenomena pertanahan yang terjadi di Wilayah DIY tersebut. Kata Kunci: hukum pertanahan, hak milik, intergentiele grondenregel, hukum antar tata hukum, kepastian hukum

UDC: 34.03

Markus Simarmata

Hukum Nasional yang Responsif terhadap Pengakuan dan Penggunaan Tanah Ulayat

Jurnal Rechtsvinding, Vol. 7 No. 2, Agustus 2018, hlm. 283 – 300

Mekanisme pengakuan dan penggunaan tanah ulayat di Indonesia masih menyimpan banyak tantangan utamanya di era globalisasi. Keragaman hukum adat di berbagai daerah, tumpang tindih pengaturan, ketimpangan kepemilikan lahan, serta perangkat peraturan perundang-undangan yang lebih mengutamakan kepentingan perusahaan merupakan beberapa tantangan tersebut. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis tantangan-tantangan tersebut dan bagaimana pemerintah dapat menjawabnya dengan merumuskan hukum nasional yang responsif. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif sementara analisis data dilakukan secara kualitatif. Pembentukan hukum nasional yang responsif dapat dilakukan dengan meningkatkan dialog yang terbuka antara investor dan masyarakat hukum adat tentang pemilikan dan/atau pemanfaatan tanah ulayat. Pemerintah juga perlu secara serius melakukan reformasi agraria, menyelaraskan berbagai undang-undang sektoral tentang agraria, dan mendorong penyelesaian sengketa di luar pengadilan apabila terjadi sengketa agraria. Kata Kunci: hak ulayat, hukum agrarian, hukum responsif

Page 5: Kata Kunci Bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini

Volume 7, Nomor 2, Agustus 2018

Kata Kunci Bersumber dari artikel.Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya.

UDC: 34.037

Enrico Simanjuntak

Prospek Prinsip Fiktif Positif dalam Menunjang Kemudahan Berusaha di Indonesia

Jurnal Rechtsvinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 301 – 320

Prinsip fiktif positif merupakan suatu sarana hukum yang dapat mendukung upaya peningkatan kemudahan berusaha. Tulisan ini akan mendiskusikan lebih lanjut apa sebenarnya prinsip fiktif positif ditinjau dari sudut hukum administrasi, bagaimana peluang dan tantangannya dalam mendukung kemudahan berusaha di Indonesia disamping dalam kerangka perwujudan good governance di Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan hukum normatif yang bertumpu kepada penelusuran bahan pustaka atau data sekunder. Dari pengalaman negara-negara lain, penerapan prinsip fiktif positif mampu meminimalisir maladministrasi pelayanan administrasi pemerintahan dan meringkas prosedur hukum yang harus ditempuh dalam pengurusan perizinan untuk memulai dan menjalankan usaha. Dalam konteks Indonesia, konsolidasi hukum dibutuhkan untuk menyesuaikan prinsip fiktif positif dengan berbagai struktur hukum perizinan yang ada, pemaknaan terhadap prinsip fiktif positif harus mampu lebih memperjelas ruang lingkup dan defenisi operasional-normatifnya untuk menghindari bias pemahaman dengan berbagai tindakan hukum administrasi lain yang dapat merugikan warga masyarakat.Kata Kunci: perizinan, kemudahan berusaha, prinsip fiktif positif

Page 6: Kata Kunci Bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini

Volume 7, Nomor 2, Agustus 2018

The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge.

UDC: 34.01

Yu Un Oppusunggu

The Importance of Interlegal Law for Indonesia

Rechtsvinding Journal, Vol. 7 No. 2, August 2018, page 147 – 168

Proficiency in interlegal law is inevitable given the fact that law in Indonesia is pluralistic. Many legal problems caused by the negligence of lawmaker and law enforcement toward legal pluralism in Indonesia. This negligence will cause legal uncertainty and/or injustice that may retard the national economy development. This article discusses the importance of interlegal law for Indonesia using historical approach. The author also elaborates some international conventions which have become part of interlegal law in Indonesia that impact the national economy development and may cause conflict between national interest and international demand. Using historical exposition through literature and legislation research, the author points out that the key to solve national legal problem lies on understanding of legal pluralism and the science of interlegal law.Keywords: private international law, interlegal law, legal pluralism, legal development

UDC: 34.01

Basuki Rekso Wibowo

The Renewal of Indonesia Interlegal Law to Support Economy Development in Globalization

Rechtsvinding Journal, Vol. 7 No. 2, August 2018, page 169 – 187

Indonesia’s role in establishing trade relations with other countries has been conducted for a long time. Contract is one of the most important things in trade relation, moreover international contract where every related party has different background status and legal position. This writing focus to discuss about legal effect on choice of law and choice of forum clause in international trade contract and the prospect of private international law development in the future. Using juridical normative method, legislation and conceptual approach, it is found that every parties need to be careful in forming clause and substance of an international trade contract. The most important aspect to be considered is choice of law and choice of forum because it will determine the legitimacy of the contract and what law should be applied. If there’s international trade contract dispute, it’s better to settle it through an international arbitration forum as has been stipulated in the contract. This forum is considered to have good reputation and their decision can be acknowledged and executed in countries where the parties that have signed the contract come from. In terms of legal policy to support national economy development, there’s an urgent need to finalize Private International Law Bill which is already in prioritized in National Legislation Program. Keywords: contract, choice of law, choice of forum, private international law

Page 7: Kata Kunci Bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini

Volume 7, Nomor 2, Agustus 2018

The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge.

UDC: 340.14

Ahmad Haris Junaedi

Urgency and Challenges of Indonesia in Accession to the Apostille Convention

Rechtsvinding Journal, Vol. 7 No. 2, August 2018, page 189 – 206

Ease of doing business as a major theme in economic development requires support from various aspects of administrative procedures, one of this is Abolishing the Requirement of Legalisation for Foreign Public Documents. The practice of legalizing foreign public documents or public documents to be used abroad, despite having used IT based applications but still takes a lot of time and money. In addition, another obstacle/problem on using of public documents abroad is that public documents that have been legalized by Indonesian institutions or ministries are not necessarily acceptable, but must be re-legislated in accordance with formal procedures of the receiving country. The Apostille Convention was established to address this issue. With the existence of this Convention, the formal procedure of legalization shall be simplified, in addition to the apostille’s public documents shall be accepted by the treaty member countries. Seeing this benefit, that the legalization process in Indonesia will be faster and easier, then Indonesia should immediately accede to apostille convention.Keywords: ease of business, legalization, apostille, accession

UDC: 34.023

M. Alvi Syahrin

The Determination of Authorized Forum and Dispute Resolution Models of International Business Transaction that Using E-Commerce: Legal Certainty Studies in National Economic Development

Rechtsvinding Journal, Vol. 7 No. 2, August 2018, page 207 – 228

The existence of e-commerce has changed the order of business transactions in Indonesia. E-commerce was born on the demands of society to the fast-paced, easy and practical service via the internet. But in practice, e-commerce disputes often arise because of differences in interests between the parties. These disputes involve cross-border countries raising the issue of which authorized forums are to adjudicate the dispute. The authorized forums to deal with the settlement of fraudulent international business transactions using e-commerce are provided for in Article 18 paragraph (4) and (5) of Law of the Republic Indonesia Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions. Based on the results of the research: (i) Authorized forums to resolve disputes of international business transactions using e-commerce are selected forums on the basis of the choice of forums in the international electronic contracts they make. However, if the parties do not specify the choice of forum in the international electronic contract, it makes is to refer to the forum of the seller state on the basis of the provisions set forth in the Principles of the International Civil Code. This is because, the seller is the party that has the most characteristic achievement than the other party. The determination is based on Substantial Connection Theory as set forth in Principle 2.1 part (2) of PTCP (regarding Jurisdiction over Parties). (ii) As for the dispute resolution model it is possible to use two mechanisms, namely litigation and non litigation lanes. The litigation mechanism is a dispute settlement through the courts. While non litigation can be done with the path of dispute settlement through arbtirase, negotiation, mediation, and consiliation.Keywords: authorized forum, dispute resolution, e-commerce

Page 8: Kata Kunci Bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini

Volume 7, Nomor 2, Agustus 2018

The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge.

UDC: 34.023

Helitha Novianty Muchtar, Muhammad Amirulloh, and Tasya Safira Nita

The Application of The Principle of Jurisdiction in Rem (The Forum Rei Sitae) Famous People in a Lawsuit Against a Cybersquatter in Indonesia

Rechtsvinding Journal, Vol. 7 No. 2, August 2018, page 229 – 242

The rise of Cybersquatting action is done by the use of the cybersquatter domain name against a name famous people in cyberspace make the domain name infringement lawsuit increases, in some cases, the use of a domain name by cybersquatter is a case that crosses the boundaries of the country in which there is a foreign element. The embodiment of jurisdiction in the Forum Rei Sitae through brake is State mastery over the things that his site is in the territory. In judicial practice in Indonesia, the lawsuit by the material in this brand-related domain names submitted to the Court where the object is located or registered. In this research was about to answer whether the use of jurisdiction in rem (the forum rei sitae) this can be applied also in cases of famous person’s name used as a domain name which is the place it does breach/dispute in which different and the principle of jurisdiction which is more effective in resolving disputes of famous person’s name used as a domain name on the internet, the method of the approach used in this study is the juridical normative, with specifications descriptive research analytical. Results of the study stated that the use of jurisdiction in rem could be used in a dispute over the name of a famous person is used as a domain name on the internet, jurisdiction in rem (the forum rei sitae) also rated more effective economically and termination violations of the use of the domain name.Keywords: jurisdiction in rem, domain names, trademark

UDC: 34.05

Pujiyono

Absolute Authority of Arbitration Institutions

Rechtsvinding Journal, Vol. 7 No. 2, August 2018, page 243 – 260

Arbitration as a business dispute resolution model is recognized under Law Number 30 Year 1999 on Arbitration and Alternative Dispute Settlement. Arbitration’s Decision is final and binding. Nevertheless, it is not uncommon for dissatisfied parties to the arbitration’s decision, make an other legal efforts, like arbitration’s decision cancellation or a lawsuit on the object of the case to the court, under the pretext of a court should not to reject a case filed by a citizen. This is confirmed in Law Number 48 Year 2009 on Judicial Authority. As a result the settlement of the dispute becomes protracted and does not go away. This research uses normative method with perspective approach. The technique of collecting legal materials is done through literature study using content analysis with deductive logic. The results show that the status of the Arbitration Law and the Law of Judicial Authority are the equivalent, therefore if there is a collision it should be used by lex specialist derogat legi generale principle, so the Arbitration Act should take precedence. The court limitation as stipulated in Article 3 and 11 of the Arbitration Law states that the court not authorized to check the cases in which the arbitration clause is in the contract, even the judges shall refuse.Keywords: business dispute, arbitration’s decision, lawsuit, court

Page 9: Kata Kunci Bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini

Volume 7, Nomor 2, Agustus 2018

The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge.

UDC: 34.03

Gratianus Prikasetya

Intergentiele Grondenregel in Internal Interlegal Law Regarding Indonesian-Chinese Citizens’s Right of Land Ownership in DIY Area

Rechtsvinding Journal, Vol. 7 No. 2, August 2018, page 261 – 282

Judicially, sociologically, and financially, land plays an important role for national development. Beside the unification regulation and practice in Indonesia Agrarian Law, the phenomenon of legal pluralism is still prevailed in the area of Yogyakarta Special Municipal Region (DIY). DIY as an area that potentially develop in tourism sector has to guarantee the implementation of legal certainty and law enforcement, especially for the agrarian law. The phenomenon of legal pluralism can be felt by the implementation of Governor Instruction No K. 898/I/A/1975 beside Law No 5 Year 1960 Concerning The Principle of Agrarian Law. The Implementation of the Instruction affects that the Indonesian-Chinese Citizen do not have the right to get the land ownership in Yogyakarta Area. According to the phenomenon, The Intern Conflict of Law field offers a principle which known as Intergentiele Grondenregel. That principle gives an authority to a land to have its own nationality and brings judicial consequences. This Intern Conflict of Law approach will be a key to facilitate Agrarian Law Approach and Policies Approach to explain the phenomenon that occurred in DIY. Keywords: agrarian law, land ownership right, intergentiele grondenregel, conflict of law, legal certainty

UDC: 34.03

Markus Simarmata

Responsive National Law on Recognition and Use of Customary Land

Rechtsvinding Journal, Vol. 7 No. 2, August 2018, page 283 – 300

The customary land recognizing and using mechanism in Indonesia still has many challenges, especially in the era of globalization. The diversity of customary law in various regions, overlapping of regulation, inequality of land ownership, and the set of laws and regulations that prioritize corporate interests are some of these challenges. This paper aims to analyze these challenges and how the government can answer them by formulating responsive national law. The method used is normative juridical while the data analysis is carried out qualitatively. The establishment of a responsive national law can be done by increasing open dialogue between investors and customary law society about the ownership and / or utilization of customary land. The government also needs to seriously carry out agrarian reform, harmonize various sectoral laws on agrarian, and encourage the settlement of disputes outside the court in the event of an agrarian disputeKeywords: customary rights, agrarian law, responsive law

Page 10: Kata Kunci Bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini

Volume 7, Nomor 2, Agustus 2018

The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge.

UDC: 34.037

Enrico Simanjuntak

Prospect of Fictious Approval Principle in Supporting the Ease of Doing Business in Indonesia

Rechtsvinding Journal, Vol. 7 No. 2, August 2018, page 301 – 320

The positive fictitious principle is a legal tool that can support efforts to increase ease of doing business. This paper will discuss further what is actually a positive fictitious principle in terms of administrative law, how are the opportunities and challenges in supporting the ease of doing business in Indonesia in addition to the framework of the realization of good governance in Indonesia. This study uses a normative legal approach that relies on searching library material or secondary data. From the experience of other countries, the adoption of a positive fictitious principle is able to minimize maladministration of government administration services and summarize the legal procedures that must be taken in managing licenses to start and run a business. In the Indonesian context, legal consolidation is needed to adjust the positive fictitious principle with various existing legal licensing structures, meaning the positive fictitious principle must be able to clarify its operational-normative scope and definition to avoid understanding bias with various other administrative legal actions that could harm the society.Keywords: licensing, ease of doing business, positive fictitious principle