Upload
minmokoginta
View
61
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Kritik paradigma religi dan sosial masyarakat
Citation preview
KAPITALISME RELIGIUS
Oleh : Minsyai Mokoginta, S.HI
Mungkin kita mendengar kata “kapitlis” tidak asing lagi atau masi asing dalam
telingah kita, namun sejenak kita berfikir bukankah kata kapitalis itu hanya melekat
pada dunia barat atau dunia ekonomi, yaitu identik dengan para penguasa pemilik
modal yang menanamkan saham didalam negaranya senidiri ataupun negara lain
misalnya pendirian perusahan atau pabrik yang mengeruk kekayaan alam atau
dalam bidang usaha yang lain. Memang demikian definis kapitalis pada umumnya.
Tetapi bagaimana dengan kapitalis religius? Apa yang harus ditanamkan, atau
kuasai? Adakah kapitalis religius?
Jika kapitalis identik dengan pengusa modal yang menanam saham didalam
negeri atau luar negeri mana saja yang mereka minati, tanpa harus peduli dampak
yang terjadi di wilayah garapan akibat perbuatan dari upaya pengurukan Sumber
Daya Alam (SDA) demi mengejar keuntungan pribadi. maka hal ini juga dapat ditarik
dalam kehidupan beragama sebagai komparasi kehidupan sosial religius yang tanpa
kita sadari, mungkin kita, teman kita atau saudara kita adalah salah satu penganut
paham atau yang mempraktekan gaya hidup kapitalis dalam konteks keberagamaan
ditengah-tengah masyarakat yang multi cultur dan ras.
Gaya hidup kapitalis tentu saja terkadang kita tidak sadari bahwa kita sedang
mengimplementasikan nilai-nilai atau corak hidup pengusa yang lalim yang hanya
menimbun harta, memperkaya diri sendiri, berilmu tapi tidak mau berbagi atau
mempraktekan ilmunya dan tidak sensitif terhadap lingkungan disekitarnya. Padahal
diri kita sendiri adalah seorang ulama, ustads-ustdza, alumnus sekolah agama dan
mereka yang paham agama itu sendiri termasuk kita-kita yang beragama islam. Mari
kita lihat, dalam kehidupan sosial betapa banyak para ulama (haji-haja, ustadz-
ustadza, para cendekiawan, orang-orang Islam) yang hanya sibuk beribadah
memperkya pahala untuk mengejar surga, sehingga kita tidak tahu lagi keadaan
disekeiling kita, ada yang tidak paham apa itu Islam yang sebenarnya, banyak anak
yatim yang terlantar, banyak anak yang putus sekolah di usia sekolah, dan ada yang
kelaparan sementara kita hanya sibuk berzikir, melesat dalam ibadah serta punya
kelebihan dalam menyantuni namun kita seolah-olah tidak mau tahu dan tidak punya
rasa belas kasih atas realitas itu, inilah yang saya maksud “Kapitalisme Religius”.
Padahal dalam dinul Islam itu terdapat tiga ruang lingkup yang menandai diri
seseorang masuk dalam kategory muslim yang kaffa (sempurna) , yaitu : 1.
Hubungan Dengan Allah SWT (Habluminallah), 2. Hubungan Dengan Sesama
manusia (Habluminannas), 3. Hubungan dengan Allam sekitar kita. Ini adalah baro
meter kehidupan seorang Muslim dalam tatanan sosial, yang kemudian di
Implementasikan dalam kehidupan bermasyarakat tanpa harus memandang siapa
dia dan bagaimana dia. Bukankah Islam adalah “Rahmatan lil alamin” yaitu rahmat
bagi seluruh alam, bukan saja alamnya manusia jangkauanya namun alamnya
mahluk Ghaib, Jin dan Malaikat bahkan Islam sampai pada alam, contohnya Islam
melarang mengadakan kerusakan dimuka bumi. Tidakkah kita belajar dari alam
betapa beraneka ragamnya tumbuhan yang diciptakan Oleh Sang Pencipta,
Kehidupan Tumbuhan yang saling menopang antara satu dengan yang lain. Pohon
yang besar menaungi tumbuhan kecil-kecil dibwahnya sehingga mereka yang kecil-
kecil merasa aman dan tumbuh subur atau para malaikat yang kita tidak melihat
mereka tetapi mereka selalu datang menasehati hati kita dalam bisikan kebenaran,
tapi mengapa justru manusia yang dilengkapi dengan akal bahkan dengan Ilmu dan
amal agama tidak pernah datang menghampiri saudara-saudara yang membutuhkan
santunan atau nasehat spritual dari sosok kita yang berilmu atau mengaku ulama,
cerdas, cendekia dan dibekali reski yang berlebihan.
Jika hal mementingakan diri dalam beribadah tanpa peduli realitas diseitar
kita, maka tak ubahnya kita bagaikan pohon yang tidak berbuah, bukankah surga itu
adalah milik berjama’ah tapi kenapa kita mau masuk surga sendirian saja. Kenapa
tidak secara berjamaah dengan orang-orang disekitar kita bukankah betapa
indahnya kebersamaan, semasa hidup dibumi kita saling tolong monong dan
mengerjakan kebaikan sehingga terciptanya tatanan masyarakat yang sejahtera.
Memang tidak ada salahnya ketika kita taat beibadah dan berilmu tinggi,
justru dalam islam sangat dianjurkan untuk beribadah apa terlebih semua aktifitas
kita diniatkan semata-mata karena Allah semata demi mengharapkan keridhoan-
NYA, begitu juga halnya dengan keilmuan dalam islam menempati kedudukan yang
lebih tinggi diantara orang-orang beriman. Sebagai mana sebuah dalih : Suatu hari
Nafi` bin Abdul Harits mendatangi Amirul Mukminin (Umar bin Khattab) di daerah
`Usfan (saat itu Umar tengah mempercayakan kepemimpinan Mekah kepada Nafi`);
Umar bertanya, "Siapa yang engkau jadikan penggantimu -sementara waktu- bagi
penduduk Mekah?", Nafi` menjawab "Ibnu Abza", Umar bertanya, "Siapa Ibnu
Abza?", Nafi` menjawab, "Seorang budak", Umar, "Engkau telah memberikan
kepercayaan kepada seorang budak?!", Nafi`, "Sesungguhnya ia hafizh Al-Qur`an
dan berilmu tentang faraidh (yakni hukum-hukum islam)". Kemudian Umar berkata,
"Sungguh Nabi kalian telah berkata: "Sesungguhnya Allah mengangkat derajat
sebagian manusia dengan Al-Qur`an dan merendahkan sebagian yang lain
karenanya." Ibrahim Al-Harbi berkata "Seseorang bernama `Atha bin Abi Rabah
adalah budak berkulit hitam milik seorang wanita penduduk Mekah. Hidung `Atha
pesek seperti kacang (sangat kecil). Suatu hari Sulaiman bin Abdul Malik sang
Amirul Mukminin bersama kedua anaknya mendatangi `Atha yang sedang shalat,
setelah selesai dari shalatnya ia menyambut mereka. Masih saja mereka asyik
bertanya kepada `Atha tentang manasik haji kemudian Sulaiman berkata kepada
kedua anaknya "wahai anak-anakku, jangan kalian lalai dari menuntut ilmu, sungguh
aku tidak akan lupa telah berada di hadapan seorang budak hitam (yang berilmu
ini)". Dalam kisah yang lain Ibrahim Al-Harbi berkata "Muhammad bin Abdurrahman
Al-Auqash adalah seorang yang lehernya sangat pendek sampai masuk ke
badannya sehingga kedua bahunya menonjol keluar. Dengan penuh perhatian dan
kasih sayang ibunya berpesan "wahai anakku, sungguh kelak setiap kali engkau
berada di sebuah majelis engkau akan selalu ditertawakan dan direndahkan, maka
hendaklah engkau menuntut ilmu karena ilmu akan mengangkat derajatmu".
Keslahan persepsi dalam memaknai dan mempraktekan Islam hanya akan
melahirkan generasi tanpa pijakan yang jelas dan hanya membuat Islam itu kaku
dan menjadi simbolis tanpa ada arti yang subtantif dan sumbangsif dalam nilai-nilai
kemanusiaan. Bukankah manusia adalah bukti nyata adanya Tuhan Yang Maha
Kuasa, dan bukankah kita menafikan nilai-nilai kemanusian sama halnya menfikan
Ketiadaan-NYA. Jangan sampai kita hanya beribadah tapi kita tidak mendapat
keridhoan-NYA karena kita telah meniadakan Tuhan yang telah menciptakan diri kita
dengan sempurna, akan tetapi kita tidak menyadarinya. Na’udzu billah min
dzalik.................!!!! semoga...