4
KAPITALISME RELIGIUS Oleh : Minsyai Mokoginta, S.HI Mungkin kita mendengar kata “kapitlis” tidak asing lagi atau masi asing dalam telingah kita, namun sejenak kita berfikir bukankah kata kapitalis itu hanya melekat pada dunia barat atau dunia ekonomi, yaitu identik dengan para penguasa pemilik modal yang menanamkan saham didalam negaranya senidiri ataupun negara lain misalnya pendirian perusahan atau pabrik yang mengeruk kekayaan alam atau dalam bidang usaha yang lain. Memang demikian definis kapitalis pada umumnya. Tetapi bagaimana dengan kapitalis religius? Apa yang harus ditanamkan, atau kuasai? Adakah kapitalis religius? Jika kapitalis identik dengan pengusa modal yang menanam saham didalam negeri atau luar negeri mana saja yang mereka minati, tanpa harus peduli dampak yang terjadi di wilayah garapan akibat perbuatan dari upaya pengurukan Sumber Daya Alam (SDA) demi mengejar keuntungan pribadi. maka hal ini juga dapat ditarik dalam kehidupan beragama sebagai komparasi kehidupan sosial religius yang tanpa kita sadari, mungkin kita, teman kita atau saudara kita adalah salah satu penganut paham atau yang mempraktekan gaya hidup kapitalis dalam konteks keberagamaan ditengah-tengah masyarakat yang multi cultur dan ras. Gaya hidup kapitalis tentu saja terkadang kita tidak sadari bahwa kita sedang mengimplementasikan nilai-nilai atau corak hidup pengusa yang lalim yang hanya menimbun harta, memperkaya diri sendiri, berilmu tapi tidak mau berbagi atau mempraktekan ilmunya dan tidak sensitif terhadap lingkungan disekitarnya. Padahal diri kita sendiri adalah seorang ulama, ustads-ustdza, alumnus sekolah agama dan mereka yang paham agama itu sendiri termasuk kita-kita yang beragama islam. Mari kita lihat, dalam kehidupan sosial betapa banyak para ulama (haji-haja, ustadz- ustadza, para cendekiawan, orang-orang Islam) yang hanya sibuk beribadah memperkya pahala untuk mengejar surga, sehingga kita tidak tahu lagi keadaan disekeiling kita, ada yang tidak paham apa itu Islam yang sebenarnya, banyak anak yatim yang terlantar, banyak anak yang putus sekolah di usia sekolah, dan ada yang kelaparan sementara kita hanya sibuk berzikir, melesat dalam ibadah serta punya kelebihan dalam menyantuni namun kita seolah-olah tidak mau tahu dan tidak punya rasa belas kasih atas realitas itu, inilah yang saya maksud “Kapitalisme Religius”.

KAPITALISME RELIGIUS

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Kritik paradigma religi dan sosial masyarakat

Citation preview

KAPITALISME RELIGIUS

Oleh : Minsyai Mokoginta, S.HI

Mungkin kita mendengar kata “kapitlis” tidak asing lagi atau masi asing dalam

telingah kita, namun sejenak kita berfikir bukankah kata kapitalis itu hanya melekat

pada dunia barat atau dunia ekonomi, yaitu identik dengan para penguasa pemilik

modal yang menanamkan saham didalam negaranya senidiri ataupun negara lain

misalnya pendirian perusahan atau pabrik yang mengeruk kekayaan alam atau

dalam bidang usaha yang lain. Memang demikian definis kapitalis pada umumnya.

Tetapi bagaimana dengan kapitalis religius? Apa yang harus ditanamkan, atau

kuasai? Adakah kapitalis religius?

Jika kapitalis identik dengan pengusa modal yang menanam saham didalam

negeri atau luar negeri mana saja yang mereka minati, tanpa harus peduli dampak

yang terjadi di wilayah garapan akibat perbuatan dari upaya pengurukan Sumber

Daya Alam (SDA) demi mengejar keuntungan pribadi. maka hal ini juga dapat ditarik

dalam kehidupan beragama sebagai komparasi kehidupan sosial religius yang tanpa

kita sadari, mungkin kita, teman kita atau saudara kita adalah salah satu penganut

paham atau yang mempraktekan gaya hidup kapitalis dalam konteks keberagamaan

ditengah-tengah masyarakat yang multi cultur dan ras.

Gaya hidup kapitalis tentu saja terkadang kita tidak sadari bahwa kita sedang

mengimplementasikan nilai-nilai atau corak hidup pengusa yang lalim yang hanya

menimbun harta, memperkaya diri sendiri, berilmu tapi tidak mau berbagi atau

mempraktekan ilmunya dan tidak sensitif terhadap lingkungan disekitarnya. Padahal

diri kita sendiri adalah seorang ulama, ustads-ustdza, alumnus sekolah agama dan

mereka yang paham agama itu sendiri termasuk kita-kita yang beragama islam. Mari

kita lihat, dalam kehidupan sosial betapa banyak para ulama (haji-haja, ustadz-

ustadza, para cendekiawan, orang-orang Islam) yang hanya sibuk beribadah

memperkya pahala untuk mengejar surga, sehingga kita tidak tahu lagi keadaan

disekeiling kita, ada yang tidak paham apa itu Islam yang sebenarnya, banyak anak

yatim yang terlantar, banyak anak yang putus sekolah di usia sekolah, dan ada yang

kelaparan sementara kita hanya sibuk berzikir, melesat dalam ibadah serta punya

kelebihan dalam menyantuni namun kita seolah-olah tidak mau tahu dan tidak punya

rasa belas kasih atas realitas itu, inilah yang saya maksud “Kapitalisme Religius”.

Padahal dalam dinul Islam itu terdapat tiga ruang lingkup yang menandai diri

seseorang masuk dalam kategory muslim yang kaffa (sempurna) , yaitu : 1.

Hubungan Dengan Allah SWT (Habluminallah), 2. Hubungan Dengan Sesama

manusia (Habluminannas), 3. Hubungan dengan Allam sekitar kita. Ini adalah baro

meter kehidupan seorang Muslim dalam tatanan sosial, yang kemudian di

Implementasikan dalam kehidupan bermasyarakat tanpa harus memandang siapa

dia dan bagaimana dia. Bukankah Islam adalah “Rahmatan lil alamin” yaitu rahmat

bagi seluruh alam, bukan saja alamnya manusia jangkauanya namun alamnya

mahluk Ghaib, Jin dan Malaikat bahkan Islam sampai pada alam, contohnya Islam

melarang mengadakan kerusakan dimuka bumi. Tidakkah kita belajar dari alam

betapa beraneka ragamnya tumbuhan yang diciptakan Oleh Sang Pencipta,

Kehidupan Tumbuhan yang saling menopang antara satu dengan yang lain. Pohon

yang besar menaungi tumbuhan kecil-kecil dibwahnya sehingga mereka yang kecil-

kecil merasa aman dan tumbuh subur atau para malaikat yang kita tidak melihat

mereka tetapi mereka selalu datang menasehati hati kita dalam bisikan kebenaran,

tapi mengapa justru manusia yang dilengkapi dengan akal bahkan dengan Ilmu dan

amal agama tidak pernah datang menghampiri saudara-saudara yang membutuhkan

santunan atau nasehat spritual dari sosok kita yang berilmu atau mengaku ulama,

cerdas, cendekia dan dibekali reski yang berlebihan.

Jika hal mementingakan diri dalam beribadah tanpa peduli realitas diseitar

kita, maka tak ubahnya kita bagaikan pohon yang tidak berbuah, bukankah surga itu

adalah milik berjama’ah tapi kenapa kita mau masuk surga sendirian saja. Kenapa

tidak secara berjamaah dengan orang-orang disekitar kita bukankah betapa

indahnya kebersamaan, semasa hidup dibumi kita saling tolong monong dan

mengerjakan kebaikan sehingga terciptanya tatanan masyarakat yang sejahtera.

Memang tidak ada salahnya ketika kita taat beibadah dan berilmu tinggi,

justru dalam islam sangat dianjurkan untuk beribadah apa terlebih semua aktifitas

kita diniatkan semata-mata karena Allah semata demi mengharapkan keridhoan-

NYA, begitu juga halnya dengan keilmuan dalam islam menempati kedudukan yang

lebih tinggi diantara orang-orang beriman. Sebagai mana sebuah dalih : Suatu hari

Nafi` bin Abdul Harits mendatangi Amirul Mukminin (Umar bin Khattab) di daerah

`Usfan (saat itu Umar tengah mempercayakan kepemimpinan Mekah kepada Nafi`);

Umar bertanya, "Siapa yang engkau jadikan penggantimu -sementara waktu- bagi

penduduk Mekah?", Nafi` menjawab "Ibnu Abza", Umar bertanya, "Siapa Ibnu

Abza?", Nafi` menjawab, "Seorang budak", Umar, "Engkau telah memberikan

kepercayaan kepada seorang budak?!", Nafi`, "Sesungguhnya ia hafizh Al-Qur`an

dan berilmu tentang faraidh (yakni hukum-hukum islam)". Kemudian Umar berkata,

"Sungguh Nabi kalian telah berkata: "Sesungguhnya Allah mengangkat derajat

sebagian manusia dengan Al-Qur`an dan merendahkan sebagian yang lain

karenanya." Ibrahim Al-Harbi berkata "Seseorang bernama `Atha bin Abi Rabah

adalah budak berkulit hitam milik seorang wanita penduduk Mekah. Hidung `Atha

pesek seperti kacang (sangat kecil). Suatu hari Sulaiman bin Abdul Malik sang

Amirul Mukminin bersama kedua anaknya mendatangi `Atha yang sedang shalat,

setelah selesai dari shalatnya ia menyambut mereka. Masih saja mereka asyik

bertanya kepada `Atha tentang manasik haji kemudian Sulaiman berkata kepada

kedua anaknya "wahai anak-anakku, jangan kalian lalai dari menuntut ilmu, sungguh

aku tidak akan lupa telah berada di hadapan seorang budak hitam (yang berilmu

ini)". Dalam kisah yang lain Ibrahim Al-Harbi berkata "Muhammad bin Abdurrahman

Al-Auqash adalah seorang yang lehernya sangat pendek sampai masuk ke

badannya sehingga kedua bahunya menonjol keluar. Dengan penuh perhatian dan

kasih sayang ibunya berpesan "wahai anakku, sungguh kelak setiap kali engkau

berada di sebuah majelis engkau akan selalu ditertawakan dan direndahkan, maka

hendaklah engkau menuntut ilmu karena ilmu akan mengangkat derajatmu".

Keslahan persepsi dalam memaknai dan mempraktekan Islam hanya akan

melahirkan generasi tanpa pijakan yang jelas dan hanya membuat Islam itu kaku

dan menjadi simbolis tanpa ada arti yang subtantif dan sumbangsif dalam nilai-nilai

kemanusiaan. Bukankah manusia adalah bukti nyata adanya Tuhan Yang Maha

Kuasa, dan bukankah kita menafikan nilai-nilai kemanusian sama halnya menfikan

Ketiadaan-NYA. Jangan sampai kita hanya beribadah tapi kita tidak mendapat

keridhoan-NYA karena kita telah meniadakan Tuhan yang telah menciptakan diri kita

dengan sempurna, akan tetapi kita tidak menyadarinya. Na’udzu billah min

dzalik.................!!!! semoga...