1
minya terpacu. Namun, pem- bangunan DME saat ini belum bisa dikebut karena terbentur anggaran. Itu sebabnya, sampai 2010 pemerintah baru mem- bangun 16.206 unit PLTS de- ngan kapasitas daya terbangkit 718,3 kilowatt (Kw), yang terse- bar di wilayah terpencil di 21 kabupaten/kota. Jumlah tersebut sangat mi- nim jika dibandingkan dengan rasio desa-desa yang belum berlistrik. Subsidi yang terlalu lama untuk bahan bakar mi- nyak juga dianggap mengham- bat konsep DME. Penganekaragaman energi Selain ‘memanen matahari’, NTT juga menjajal potensi lis- trik dari pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH). Sayang, proyeknya kini ter- pinggirkan akibat komponen pembangkit masih harus diim- por dan data kecepatan angin yang tidak kontinu jadi hala- ngan. Padahal, 21 lokasi di NTT sangat cocok untuk pengem- bangan pembangkit jenis ini. Tahun ini, sudah 11 unit PLTMH yang beroperasi, antara lain di air terjun Oehala di Ka- bupaten Timor Tengah Selatan berkapasitas 18 Kw, air terjun Detubela di Ende 15 Kw, dan saluran irigasi Zaa di Ngada 30 Kw. Menurut Budi, pembangkit jenis ini juga menguntungkan. Contohnya, dari PLTMH Nem- berla di Pulau Rote yang berkekuatan 90 Mw, NTT mam- pu menghemat dana sebesar Rp52 juta bila daya sebesar itu menggunakan tenaga diesel. Sementara itu, Kepala Dinas Pertambangan dan Energi NTT Bria Yohanes mengatakan penganekaragaman pemakaian energi mendesak. Sebab, pem- bangunan subsektor ketenaga- listrikan dari energi terbarukan di NTT jauh tertinggal. (N-4) [email protected] S ELURUH wilayah NTT adalah lahan potensial untuk pengembangan pembangkit listrik te- naga surya (PLTS). Daerah ini disinggahi musim kemarau delapan bulan dalam setahun, rentang yang cocok bagi panen daya energi matahari untuk menopang kebutuhan listrik. “Desa-desa di NTT memang layak dikembangkan menjadi desa mandiri energi dengan menggunakan konsep energi terbarukan,” tutur Kepala Bi- dang Listrik dan Pemanfaatan Energi Dinas Pertambangan dan Energi Nusa Tenggara Timur, Budi Dharma Utama. Adapun pemanfaatan tenaga surya untuk menerangi pelosok bukan barang baru lagi di provinsi ini. Sejak pengujung 1990-an, untuk mendorong in- vestasi di sektor ini, sejumlah lembaga swadaya masyarakat bekerja sama dengan pemerin- tah kabupaten telah mengem- bangkan PLTS dengan bentuk panel solar home system (SHS). Seperti daerah terpencil lain di Indonesia, pelosok NTT se- lama ini belum terjangkau oleh layanan PLN. Dari 2.742 desa dan kelurahan di NTT, saat ini baru 1.150 desa yang sudah dialiri listrik. Sisanya, 1.592 desa masih menunggu giliran. Itu berarti peluang investasi di sektor ini sesungguhnya sangat menjanjikan. Investor bisa bermitra de- ngan pemerintah dalam mem- berikan layanan listrik bagi masyarakat di desa-desa. “Saat ini kami mendorong pemerin- tah daerah supaya bisa menda- tangkan investor,” kata Budi. Peluang yang dimunculkan berupa desa mandiri energi (DME), dengan tujuan menggenjot rasio elektrikasi yang sampai 2010 masih terlalu kecil, yakni 23,33%. Selain itu, mulai mahalnya energi listrik berbasis bahan bakar fosil terus mendorong pemerintah setem- pat mencari sumber energi al- ternatif yang mudah dan mu- rah. Budi mengatakan, pemanas- an global yang disebabkan emisi gas karbon tidak boleh dianggap enteng. Karena itu, pencarian sumber energi terba- rukan harus dilakukan secepat- nya. Di NTT, kata dia, sumber- sumber energi terbarukan amat melimpah. Selain dari ma- tahari, daerah ini potensial bagi pembangkit bertenaga angin, air, dan panas bumi. Jika seluruh sumber daya ini dimanfaatkan maksimal, desa- desa di NTT bisa lebih produk- tif dan pertumbuhan ekono- Nusa Tenggara Timur (NTT) berupaya melawan gelap gulita dengan energi matahari. Palce Amalo Desaku Berlimpah Energi PANEL SURYA: Warga meninjau panel listrik tenaga surya di Desa Oeledo, Kecamatan Pantai Baru, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, beberapa waktu lalu. NTT disinggahi musim kemarau delapan bulan dalam setahun, rentang yang cocok bagi panen daya energi matahari.” Nusantara | 9 KAMIS, 19 AGUSTUS 2010 | MEDIA INDONESIA MI/PALCE AMALO MI/BAGUS SURYO REPRO: BAGUS SURYO 1938: Kebun raya berdiri atas prakarsa DF van Slooten. Saat itu Perang Dunia II tengah berkecamuk di Eropa sehingga pembangunan kebun pun sem- pat terganggu. Adapun lahan yang dipakai ialah pekarangan rumah dan sawah milik Desa Purwodadi dan Desa Kertosari, yang dulunya masuk wilayah administrasi Lawang, Kabu- paten Malang, Jawa Timur. 1941: Johannes Viets adalah orang Belanda yang menjadi pemimpin (opzichter) pertama di Kebun Raya Purwodadi atas permintaan Direktur Kebun Raya Bogor LGM Baas Becking. Tanaman pertama yang dita- nam adalah lamtoro dan jenis tanaman penutup tanah. 1943: Masa pendudukan Jepang. Kepemimpinan kebun berpindah dari Johannes Viets ke Tanaka. Jepang mengubah kebun botani menjadi lahan pangan untuk menunjang perang dengan jenis tanaman seperti padi, jagung, ketela, dan kacang-kacangan. 1945: Setelah Jepang me- nyerah kepada sekutu, Kebun Raya Purwodadi dikelola bang- sa Indonesia. Pemimpinnya bernama Maestopo. 1963: Kebun terbuka untuk umum. Sekarang: Kebun raya ber- naung di bawah LIPI. Lembaga ini melakukan inventarisasi dan eksplorasi di kebun seluas 85 hektare, serta mengumpul- kan koleksi tumbuhan tropik dari kawasan Indonesia Timur untuk bank benih. (BN/N-4) TEMPO DULU & KINI Kebun Raya Purwodadi

KAMIS, 19 AGUSTUS 2010 | MEDIA INDONESIA ... - … · Padahal, 21 lokasi di NTT sangat cocok untuk pengem-bangan pembangkit jenis ini. Tahun ini, sudah 11 unit PLTMH yang beroperasi,

  • Upload
    dodat

  • View
    215

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KAMIS, 19 AGUSTUS 2010 | MEDIA INDONESIA ... - … · Padahal, 21 lokasi di NTT sangat cocok untuk pengem-bangan pembangkit jenis ini. Tahun ini, sudah 11 unit PLTMH yang beroperasi,

minya terpacu. Namun, pem-bangunan DME saat ini belum bisa dikebut karena terbentur anggaran. Itu sebabnya, sampai 2010 pemerintah baru mem-bangun 16.206 unit PLTS de-ngan kapasitas daya terbangkit 718,3 kilowatt (Kw), yang terse-bar di wilayah terpencil di 21 kabupaten/kota.

Jumlah tersebut sangat mi-nim jika dibandingkan dengan rasio desa-desa yang belum berlistrik. Subsidi yang terlalu

lama untuk bahan bakar mi-nyak juga dianggap mengham-bat konsep DME.

Penganekaragaman energiSelain ‘memanen matahari’,

NTT juga menjajal potensi lis-trik dari pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH). Sayang, proyeknya kini ter-pinggirkan akibat komponen pembangkit masih harus diim-por dan data kecepatan angin yang tidak kontinu jadi hala-

ngan. Padahal, 21 lokasi di NTT sangat cocok untuk pengem-bangan pembangkit jenis ini.

Tahun ini, sudah 11 unit PLTMH yang beroperasi, antara lain di air terjun Oehala di Ka-bupaten Timor Tengah Selatan berkapasitas 18 Kw, air terjun Detubela di Ende 15 Kw, dan saluran irigasi Zaa di Ngada 30 Kw. Menurut Budi, pembangkit jenis ini juga menguntungkan. Contohnya, dari PLTMH Nem-berla di Pulau Rote yang

berkekuatan 90 Mw, NTT mam-pu menghemat dana sebesar Rp52 juta bila daya sebesar itu menggunakan tenaga diesel.

Sementara itu, Kepala Dinas Pertambangan dan Energi NTT Bria Yohanes mengatakan peng anekaragaman pemakaian energi mendesak. Sebab, pem-bangunan subsektor ketenaga-listrikan dari energi terbarukan di NTT jauh tertinggal. (N-4)

[email protected]

SELURUH wilayah NTT adalah lahan potensial untuk pengembangan pembangkit listrik te-

naga surya (PLTS). Daerah ini disinggahi musim kemarau delapan bulan dalam setahun, rentang yang cocok bagi panen daya energi matahari untuk menopang kebutuhan listrik.

“Desa-desa di NTT memang layak dikembangkan menjadi desa mandiri energi dengan menggunakan konsep energi terbarukan,” tutur Kepala Bi-dang Listrik dan Pemanfaatan Energi Dinas Pertambangan dan Energi Nusa Tenggara Timur, Budi Dharma Utama.

Adapun pemanfaatan tenaga surya untuk menerangi pelosok bukan barang baru lagi di provinsi ini. Sejak pengujung 1990-an, untuk mendorong in-vestasi di sektor ini, sejumlah lembaga swadaya masyarakat bekerja sama dengan pemerin-tah kabupaten telah mengem-bangkan PLTS dengan bentuk panel solar home system (SHS).

Seperti daerah terpencil lain di Indonesia, pelosok NTT se-lama ini belum terjangkau oleh layanan PLN. Dari 2.742 desa dan kelurahan di NTT, saat ini baru 1.150 desa yang sudah dialiri listrik. Sisanya, 1.592

desa masih menunggu giliran. Itu berarti peluang investasi di sektor ini sesungguhnya sangat menjanjikan.

Investor bisa bermitra de-ngan pemerintah dalam mem-berikan layanan listrik bagi masyarakat di desa-desa. “Saat ini kami mendorong pemerin-tah daerah supaya bisa menda-tangkan investor,” kata Budi.

Peluang yang dimunculkan berupa desa mandiri energi ( D M E ) , d e n g a n t u j u a n menggenjot rasio elektrifi kasi yang sampai 2010 masih terlalu kecil, yakni 23,33%. Selain itu, mulai mahalnya energi listrik berbasis bahan bakar fosil terus mendorong pemerintah setem-pat mencari sumber energi al-ternatif yang mudah dan mu-rah.

Budi mengatakan, pemanas-an global yang disebabkan emisi gas karbon tidak boleh dianggap enteng. Karena itu, pencarian sumber energi terba-rukan harus dilakukan secepat-nya.

Di NTT, kata dia, sumber-sumber energi terbarukan amat melimpah. Selain dari ma-tahari, daerah ini potensial bagi pembangkit bertenaga angin, air, dan panas bumi.

Jika seluruh sumber daya ini dimanfaatkan maksimal, desa-desa di NTT bisa lebih produk-tif dan pertumbuhan ekono-

Nusa Tenggara Timur (NTT) berupaya melawan gelap gulita dengan energi matahari.

Palce Amalo

Desaku Berlimpah Energi

PANEL SURYA: Warga meninjau panel listrik tenaga surya di Desa Oeledo, Kecamatan Pantai Baru, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, beberapa waktu lalu.

NTT disinggahi musim kemarau delapan bulan dalam setahun, rentang yang cocok bagi panen daya energi matahari.”

Nusantara | 9KAMIS, 19 AGUSTUS 2010 | MEDIA INDONESIA

MI/PALCE AMALO

MI/BAGUS SURYOREPRO: BAGUS SURYO

1938: Kebun raya berdiri atas prakarsa DF van Slooten. Saat itu Perang Dunia II tengah berkecamuk di Eropa sehingga pembangunan kebun pun sem-pat terganggu. Adapun lahan yang dipakai ialah pekarangan rumah dan sawah milik Desa Purwodadi dan Desa Kertosari, yang dulunya masuk wilayah administrasi Lawang, Kabu-paten Malang, Jawa Timur. 1941: Johannes Viets adalah

orang Belanda yang menjadi pemimpin (opzichter) pertama

di Kebun Raya Purwodadi atas permintaan Direktur Kebun Raya Bogor LGM Baas Becking. Tanaman pertama yang dita-nam adalah lamtoro dan jenis tanaman penutup tanah.1943: Masa pendudukan

Jepang. Kepemimpinan kebun berpindah dari Johannes Viets ke Tanaka. Jepang mengubah kebun botani menjadi lahan pangan untuk menunjang perang dengan jenis tanaman seperti padi, jagung, ketela, dan kacang-kacangan.

1945: Setelah Jepang me-nyerah kepada sekutu, Kebun Raya Purwodadi dikelola bang-sa Indonesia. Pemimpinnya bernama Maestopo. 1963: Kebun terbuka untuk

umum. Sekarang: Kebun raya ber-

naung di bawah LIPI. Lembaga ini melakukan inventarisasi dan eksplorasi di kebun seluas 85 hektare, serta mengumpul-kan koleksi tumbuhan tropik dari kawasan Indonesia Timur untuk bank benih. (BN/N-4)

TEMPO DULU & KINI

Kebun Raya Purwodadi