Upload
duongtruc
View
238
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
i
Kajian Sosio-Teologis Terhadap Nilai-Nilai Luhur Yang Terkandung Dalam
Tradisi Makan Sirih-Pinang Di GKS Jemaat Waingapu
Oleh:
METVENSIUS ISHAK
712011048
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada program Studi: Teologi, Fakultas: Teologi
guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana
Sains Teologi
(S.Si-Teol)
Program Studi Teologi
FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2017
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Kajian Sosio-Teologis Terhadap Nilai-Nilai Luhur Yang Terkandung Dalam
Tradisi Makan Sirih-Pinang Di GKS Jemaat Waingapu.
oleh:
METVENSIUS ISHAK
712011048
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada program Studi: Teologi, Fakultas: Teologi
guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana
Sains Teologi
(S.Si-Teol)
Disetujui oleh,
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. David Samiyono. Pdt. Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo
Diketahui oleh, Disahkan oleh,
Ketua Program Studi Dekan
Pdt. Izak Y.M. Lattu, Ph.D Pdt. Dr. Retnowati, M.Si
Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga
2017
PerpustakaanUniversitas
iii
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA Jl. Diponegoro 52 – 60 Salatiga 50711
Jawa Tengah, Indonesia Telp. 0298 – 321212, Fax. 0298 321433
Email: [email protected] ; http://library.uksw.edu
PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Metvensius Ishak
NIM : 712011048 Email : [email protected]
Fakultas : Teologi Program Studi : Teologi
Judul tugas akhir : Kajian Sosio-Teologis Terhadap Nilai-Nilai Luhur Yang
Terkandung Dalam Tradisi Makan Sirih-Pinang Di GKS
Jemaat Waingapu.
Pembimbing : 1. Dr. David Samiyono
2. Pdt. Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Hasil karya yang saya serahkan ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk
mendapatkan gelar kesarjanaan baik di Universitas Kristen Satya Wacana maupun di
institusi pendidikan lainnya.
2. Hasil karya saya ini bukan saduran/terjemahan melainkan merupakan gagasan,
rumusan, dan hasil pelaksanaan penelitian/implementasi saya sendiri, tanpa bantuan
pihak lain, kecuali arahan pembimbing akademik dan narasumber penelitian.
3. Hasil karya saya ini merupakan hasil revisi terakhir setelah diujikan yang telah
diketahui dan disetujui oleh pembimbing.
4. Dalam karya saya ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau
dipublikasikan orang lain, kecuali yang digunakan sebagai acuan dalam naskah
dengan menyebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terbukti ada
penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini maka saya bersedia menerima
sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya saya ini,
serta sanksi lain yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Kristen Satya
Wacana.
Salatiga, 03 Febuari 2017
Metvensius Ishak
PerpustakaanUniversitas
iv
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA Jl. Diponegoro 52 – 60 Salatiga 50711
Jawa Tengah, Indonesia Telp. 0298 – 321212, Fax. 0298 321433
Email: [email protected] ; http://library.uksw.edu
PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Metvensius Ishak
NIM : 712011048 Email : [email protected]
Fakultas : Teologi Program Studi: Teologi
Judul tugas akhir : Kajian Sosio-Teologis Terhadap Nilai-Nilai Luhur Yang
Terkandung Dalam Tradisi Makan Sirih-Pinang Di GKS
Jemaat Waingapu
Dengan ini saya menyerahkan hak non-eksklusif* kepada Perpustakaan Universitas –
Universitas Kristen Satya Wacana untuk menyimpan, mengatur akses serta melakukan
pengelolaan terhadap karya saya ini dengan mengacu pada ketentuan akses tugas akhir
elektronik sebagai berikut (beri tanda pada kotak yang sesuai):
a. Saya mengijinkan karya tersebut diunggah ke dalam aplikasi Repositori
PerpustakaanUniversitas, dan/atau portal GARUDA
b. Saya tidak mengijinkan karya tersebut diunggah ke dalam aplikasi Repositori
Perpustakaan Universitas, dan/atau portal GARUDA**
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Salatiga, 03 Febuari 2017
Metvensius Ishak
Mengetahui,
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. David Samiyono PPdt. Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo
* Hak yang tidak terbatashanya bagi satu pihak saja. Pengajar, peneliti, dan mahasiswa yang
menyerahkan hak non-ekslusif kepada Repositori Perpustakaan Universitas saat mengumpulkan hasil
karya mereka masih memiliki hak copyright atas karya tersebut.
** Hanya akan menampilkan halaman judul dan abstrak. Pilihan ini harus dilampiri dengan penjelasan/ alasan
tertulis dari pembimbing TA dan diketahui oleh pimpinan fakultas (dekan/kaprodi).
i
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang bertanda
tangan di bawah ini:
Nama : Metvensius Ishak
NIM : 712011048
Program Studi : Teologi
Fakultas : Teologi
Jenis Karya : Jurnal
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada UKSW hak
bebas royalti non-eksklusif (non-exclusive royalty free right) atas karya ilmiah saya berjudul:
Kajian Sosio-Teologis Terhadap Nilai-Nilai Luhur Yang Terkandung Dalam Tradisi
Makan Sirih-Pinang Di GKS Jemaat Waingapu
beserta perangkat yang ada (jika perlu).
Dengan hak bebas royalti non-eksklusif ini, UKSW berhak menyimpan, mengalih
media/mengalih formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data, merawat, dan
mempublikasikan tugas akhir saya, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis/pencipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Salatiga
Pada tanggal: 03Febuari 2017
Yang menyatakan,
Metvensius Ishak
Mengetahui,
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. David Samiyono Pdt. Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, karena kasih dan
anugerah-Nya yang begitu melimpah dalam kehidupan penulis. Secara khusus, penulis
mengucapkan syukur karena tuntunan dan penyertaanNya yang tidak pernah berhenti bagi
penulis selama penulis menjalani masa pendidikan di Fakultas Teologi Universitas Kristen
Satya Wacana (UKSW) hingga pada akhirnya penulis mampu menyelesaikan perkuliahan
dan Tugas Akhir dengan baik.
Tugas Akhir ini ditulis untuk memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai
gelar Sarjana Sains dalam bidang Teologi (S.Si.Teol). Tugas Akhir ini disusun dengan
harapan karya tulis ini dapat membantu masyarakat Sumba Jemaat kota Waingapu, warga
Gereja dan warga jemaat GKS Waingapu secara khusus yang mana menjadi tempat penelitian
penulis, untuk lebih memahami dan memaknai nilai-nilai yang terkandung dalam tradidi
makan sirih pinang bersama dan menyuguhkan sirih pinang antara sesama, sirih pinang
mempunyai banyak nilai positif bagi masyarakat Sumba yang khususnya untuk Jemaat
Waingapu. Penulis juga berharap Tugas Akhir ini dapat berguna di kemudian hari guna
referensi atau sekedar menambah pengetahuan bagi masyarakat dalam memakan,
menyuguhkan dan memahami sirih pinang. Dalam seluruh rangkaian tulisan ini, penulis
menyadari bahwa tulisan ini jauh dari kesempurnaan sehingga diperlukan kritik dan saran
agar tulisan ini juga dapat terus dikembangkan menjadi lebih baik.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................. ii
PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT ................................................... iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES ........................................ iv
PERNYATAAN BEBAS ROYALTI DAN PUBLIKASI .................. v
KATA PENGANTAR ........................................................................... vi
DAFTAR ISI ......................................................................................... vii
UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................ ix
MOTTO ................................................................................................. xiii
ABSTRAK ............................................................................................. xiv
1. Pendahuluan ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1
2. Sirih pinang dan Simbol ................................................................. 8
2.1 Simbol Antropologi Sosial......................................................... 11
3. Hasil Penilitian....................................................................................13
3.1 Gambaran Tempat Penelitian .................................................. 13
3.2 Latar Belakang Sirih Pinang .................................................... 14
3.3 Makna Sirih Pinang Sebagai Simbol.........................................16
4. Analisa.
4.1. Sirih Pinang Sebagai Simbol..................................................... 19
5. Kesimpulan dan Saran .................................................................... 23
Daftar Pustaka ..................................................................................... 24
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
Dalam proses penulisan Tugas Akhir ini penulis banyak mendapatkan bantuan baik
dalam bentuk kritik, saran serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Tuhan Yesus Kristus yang oleh karena kasihNya selalu menolong penulis dalam
menjalani studi di Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana.
2. Dr.David Samiyono dan Pdt. Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo yang telah menjadi dosen
pembimbing penulis selama masa penulisan Tugas Akhir ini. Terima kasih atas
waktu, motivasi, saran dan kritik yang diberikan kepada penulis. Mohon maaf jika ada
perilaku yang kurang berkenan selama masa bimbingan.
3. Seluruh Dosen dan Staff Fakultas Teologi. Terima kasih sudah membagi ilmu
pengetahuan kepada penulis, mendukung dan memotivasi penulis untuk terus belajar
agar penulis dapat terus berkembang. Buat Bu Budi yang selalu setia membantu
segala keperluan mahasiswa dan tidak bosan untuk menerima kami dikantornya
terima kasih banyak Bu.
4. Jemaat GKS Waingapu. Pak Pdt. Adi, Majelis jemaat Pak Oktavianus Mbau, Pak
Obed Maku Hinggi Ranja semua responden dan teman-teman Pemuda. Terima Kasih
atas bantuannya bagi saya selama masa penelitian. Buat Om Alex yang setia
menemani selama masa penelitian, Terima Kasih bro. Tuhan memberkati kita semua
5. Untuk ke dua orang tehebat dan tersayang yang saya miliki saat ini terima kasih untuk
Cinta dan pengorbanan selama saya kuliah. Untuk Bapa dan Mama terima kasih untuk
semua-semuanya hanya Tuhan yang dapat membalas kebaikan Bapa dan mama. Lovu
u :* Terima Kasih juga saya ucapkan kepada K. Aten, K.Jimmy, K, Dian, Adik Rio,
K. Marlin, K. Obed, K. Yanti, dan Indah yang sudah mendukung saya selama kuliah
baik secara ekonomi maupun Doa. Terima kasih banyak dan Tuhan memberkati kita
Semua.
6. Untuk teman-teman angkatan Teol-11 terima kasih, keluarga Poltas semua Chantri,
om umbu, Nijer, Bapa flow, mama Flow, Rian, Edwin, Ogant, Mario, Mardy, Risky,
Masen, Elga, Rian, Beril, dan Ama tana Jek. Terima kasih untuk kebersamaan kita
semua.Tuhan Yesusmemberkati.
7. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada semua orang yang tidak bisa saya
sebutkan satu demi satu. Terima kasih sudah hadir dan memberi warna dalam
v
kehidupan saya. Terimakasih untuk semua orang yang membantu penulis dalam
proses penulisan Tugas akhir ini. Tuhan memberkati Kalian semua
vi
MOTTo
Jika Tuhan sudah menuntun mu sampai sejauh ini maka mintalah
agar Tuhan selalu menuntun mu ketika kamu di tempatkan
dimana kamu berada dengan segala pekerjaan mu. Tuhan selalu
ada dan tidak pernah tetidur bagi orang yang selalu bekerja
keras dan mengandalkan Tuhan.
Roma 8:28
Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala
sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang
mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan
rencana Allah.
Nyanyian : Bagaikan Bejana siap di bentuk demikian
hiupku di tangan Mu.
vii
Kajian Sosio – Teologis Terhadap Nilai – Nilai Luhur yang Terkandung Dalam Tradisi
Makan Sirih - Pinang di GKS Jemaat Waingapu.
Metvensius Ishak1, Dr. David Samiyono
2, Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
3
Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana
Jln. Diponegoro 53-60 Salatiga 1)
Abstrak
Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan pandangan jemaat GKS Waingapu
mengenai nilai-nilai luhur yang terkandung dalam makan sirih pinang bersama dan saling
menyuguhkan sirih pinang yang terjadi dan dialami oleh jemaat GKS Waingapu
terkhususnya bagi generasi selanjutnya yang akan meneruskan nilai-nilai luhur dalam makan
sirih pinang untuk kehidupan sehari-hari dan menggunakan sirih pinang sebagai alat
pemersatu dan tanda penghormatan dengan kemajemukan jemaat Waingapu yang ada. Untuk
itu tujuan tersebut dimaksudkan untuk menjawab rumusan masalah yaitu apa pandangan
Jemaat GKS Waingapu tentang nilai-nilai luhur dalam menyuguhkan sirih pinang, serta
pandangan jemaat Waingapu yang tidak membedakan status sosial ketika saling
menyuguhkan dan memakan sirih pinang besama. Penelitian ini memberi suatu pemahaman
baru bagi jemaat GKS Waingapu yang mana di dalam sirih pinang memiliki suatu tanda kasih
terhadap sesama baik itu dalam jemaat Waingapu dan juga diluar konteks gereja. Dalam
penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif, sehingga dapat memperoleh informasi
secara mendalam lewat wawancara yang dilakukan kepada jemaat GKS Waingapu
khususnya bagi mereka yang secara langsung mengalami makan sirih pinang bersama dan
menyuguhkan sirih pinang bagi sesama. Dengan demikian, penulis dapat mencapai tujuan
yang dimaksudkan di atas.
Kata Kunci: Sirih pinang, simbol dalam Budaya, Nilai-nilai dan GKS Jemaat Waingapu.
1Mahasiswa Fakultas Teologi
2Dosen Fakultas Teologi
3Dosen Fakultas Teologi
1
1. Pendahuluan
1.1.Latar belakang masalah.
Kata “Sirih” dalam kamus bahasa Indonesia ialah sejenis tumbuhan yang memanjat
dengan akarnya; buah atau daunnya dimakan (dikunyah) bersama-sama dengan gambir,
pinang, kapur bagi orang pemakan sirih pinang.4 Kata “Pinang”, dalam kamus bahasa
Indonesia adalah sejenis tumbuhan bangsa palm berbatang lurus dan berakar serabut, tinggi
nya sampai 30 meter, buahnya kecil sedikit dari telur ayam berkulit sabut dan dagingnya
dimakan dengan kawan sirih.5
Menurut pengamatan saya kebiasaan tradisi makan sirih pinang di Indonesia telah
merasuk di berbagai wilaya seperti, Jawa, Kalimantan hingga Papua dan Nusa Tenggara
Timur. Manfaat sirih pinang bagi masyarakat Indonesia sangat baik untuk kesehatan karena
bisa digunakan sebagai obat herbal dalam menyembuhkan penyakit dalam dan penyakit kulit.
Sirih pinang tidak hanya dipakai untuk kesehatan dalam menyembuhkan berbagai penyakit
akan tetapi sirih pinang juga mempunyai manfaat lain untuk masyarakat Nusa tenggara Timur
dan khususnya dimasyarakat Sumba Timur. Sirih pinang di sini secara umum dimakan hanya
untuk menjadi kebiasaan atau menghargai orang yang memberi dan dipakai untuk kesehatan,
akan tetapi secara khusus sirih pinang sering dipakai dalam berbagai upacara adat dan
sebagai simbol-simbol kedamaian karena di dalam memakan sirih pinang sebenarnya ada
nilai-nilai yang tertanam dalam masyarakat Nusa Tenggara Timur yang lebih khususnya di
Sumba Timur. Nusa Tenggara Timur banyak memiliki suku, bahasa, dan adat istiadat yang
berbeda-beda.6
Sirih Pinang dalam masyarakat Nusa Tenggara Timur banyak digunakan dalam berbagai
hal, baik itu upacara adat, sebagai salah satu prasyarat mas kawin, sebagai suguhan untuk
tamu, upacara kelahiran, ritual adat, dst.
Contohnya dalam masyarakat Sabu yang menggunakan sirih pinang sebagai salah satumas
kawin. Pada waktu kunjungan pihak lelaki membawa sirih pinang atau rukenana sebagai
4J. S. Badudu, Sultan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2001), hal 1334 5J. S. Badudu, Sultan Mohammad Zain,.. Kamus Umum Bahasa Indonesia hal 1603
6DepertemenPendidikan Dan Kebudayaan Pusat Penilitian Sejarah Dan Budaya Proyek
PenilitianSejarah Dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Adat istiadat Daerah Nusa Tenggara Timur , (Jakarta:
1981), hal 5.
2
lambang peminangan.7Tidak hanya dimasyarakat Sabu yang menggunakan sirih pinang,
masyarakat Timor menggunakan sirih pinang untuk upacara adat dalam pertanian disawah
waktu padi akan panen. Dukun mnane akan memeriksa sekeliling sawah kemudian memilih
bulir-bulir padi yang dianggap mengandug smanaf jiwa. Pada upacara ini disajikan sirih
pinang, kemudian setiap orang berjalan keliling dengan memercikan air sirih pinang pada
padi yag akan dipanen, maksud pemercikan air supaya dewa padi tidak lari.8
Selain masyarakat Sabu dan Timor, sirih pinang juga digunakan oleh masyarakat Rote
dalam upacara penguburan. Di dekat mayat diberi saji-sajian seperti sirih pinang dan
makanan yang mana menurut kepercayaan masyarakat, rohpun masih perlu makan dan
minum.9 Sirih pinang sangatlah penting dalam kehidupan masyarakat Nusa Tenggara Timur,
dan hal ini terlihat dari sejak proses kehamilan, calon bayipun sudah diperkenalkan dengan
sirih pinang.10
Pulau Sumba termasuk salah satu pulau dalam gugusan pulau-pulau yang dalam
pembagian dulu disebut Sunda kecil11
. Pulau Sumba dibagi menjadi empat kabupaten dan
saya lebih fokus pada Sumba Timur. Wilayah Sumba Timur yang berada di bagian timur,
tempat matahari terbit sehingga disebut “Pahunga Lodu.”12
Masyarakat Sumba Timur dalam
kehidupan sehari-hari sering membawa sirih pinang baik untuk pria dan juga wanita, sebutan
untuk pria dalam masyarakat Sumba biasa disebut dengan Umbu dan sebutan untuk wanita
adalah Rambu.
Masyarakat Sumba adalah orang yang selalu hidup bergotong royong, hidup bersama,
tolong menolong.13
Masyarakat Sumba percaya dengan tolong menolong dapat membangun
rasa persaudaraan dan lebih membantu dalam status ekonomi ketika adanya upacara adat baik
itu kematian atau perkawinan dll. Salah satu kebudayaan Sumba yang paling menarik dari
berbagai macam ciri khas yang ada di Pulau Sumba ialah sirih pinang sebagai suguhan.
7Nico L. Kana, Dunia Orang Sawu,(Jakarta :Sinar Harapan, 1983), hal 52
8DepertemenPendidikan Dan Kebudayaan Pusat Penilitian Sejarah Dan Budaya Proyek
PenilitianSejarah Dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Adat istiadat Daerah Nusa Tenggara Timur , (Jakarta :
1981) hal 40 9DepertemenPendidikan Dan Kebudayaan Pusat Penilitian Sejarah Dan Budaya Proyek
PenilitianSejarah Dan Pencatatan Kebudayaan Daerah,... hal 103. 10
DepertemenPendidikan Dan Kebudayaan Pusat Penilitian Sejarah Dan Budaya Proyek
PenilitianSejarah Dan Pencatatan Kebudayaan Daerah,... hal 89. 11
Oe.H.Kapita, Sumba di dalam jangkuan Jaman, (Jakarta :BPK Gunung Mulai,1976),hal 12 12
Umbu Pura Wora, Sejarah, Musyawarah dan Adat Istiadat Sumba Timur, (Kupang: Pemerintah
Daerah Kabupaten Sumba Timur, 2007), hal 18. 13
Umbu Pura Wora, Sejarah, Musyawarah dan Adat Istiadat Sumba Timur,.. hal 269.
3
Jika bertamu dan tidak disuguhi tempat sirih pinang maka dianggap tidak sopan atau
barangkali sedang marah.14
Sirih pinang merupakan salah satu sajian khusus untuk
masyarakat Sumba baik dalam upacara adat, kematian, perkawinan, dan lain sebagainya.
Nampak sekali peranan sirih pinang dalam kehidupan masyarakat Sumba yang selalu
menggunakan sirih pinang dalam segala hal. Untuk itu perlu di pisahkan khusus anggaran
sirih pinang dalam kehidupan orang Sumba .15
Sirih pinang sangat penting peranannya dalam kehidupan orang Sumba, bahkan
secara relatif dapat menggeser peranan bahan makanan.16
Masyarakat Sumba sering
memakan sirih pinang dan membawa karena dengan sirih pinang juga dapat membangun
komunikasi antara satu dengan yang lain dan ada nilai-nilai positif yang dibangun melalui
sirih pinang, seperti dalam masyarakat sumba yang sering membedakan Raja dan Hamba,
melalui sirih pinang ini tidak lagi dibedakan kasta karena mereka memakan sirih pinang dari
tempat yang sama yaitu mbola (tempat menaruh sirih pinang). Sirih pinang juga tanpa
disadari oleh masyarakat Sumba telah mempersatukan kaum bangsawan dan kaum rendahan,
di sini nampak nilai solidaritas ada dan berkuasa ditengah-tengah masyarakat.17
Nilai
solidaritas ini muncul ketika masyarakat Sumba bekerja sama dalam suatu pekerjaan adat,
tidak terlihat lagi status tinggi rendahnya seseorang atau dengan kata lain status sosial. Ketika
adanya perkelahian antara orang sumba dengan orang Sumba atau dengan suku lain dan
ingin melakukan perdamaian antara kedua belah pihak, yang disuguhkan terlebih dahulu ialah
sirih pinang, begitu juga dalam ritual adat sumba. ketika ingin melihat hasil panen baik atau
tidak selalu memotong ayam dan menggunakan sirih pinang untuk di beri kepada
kepercayaan masyarakat Sumba Marapu, kepercayaan kepada arwah para leluhur.18
Seperti yang sudah saya katakan bahwa sirih pinang adalah salah satu hal yang
penting, sebab masyarakat Sumba mengangagap bahwa sirih pinang lebih penting dari pada
makanan sehari-hari.
14
Umbu Pura Wora, Sejarah, Musyawarah dan Adat Istiadat Sumba Timur,.., hal 316. 15
Umbu Pura Wora, Sejarah, Musyawarah dan Adat Istiadat Sumba Timur,.. hal 315 16
Umbu Pura Wora, Sejarah, Musyawarah dan Adat Istiadat Sumba Timur,.., hal hal 316. 17
Takdir Alisjahbana, Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia di Lihat dari Jurusan Nilai-Nilai,
(Jakarta: 1977), hal 14. 18
Wellem, F.D, Injil dan Marapu, (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), hal 45.
4
Menurut masyarakat Sumba memakan sirih pinang juga dianggap sebagai menghargai orang
yang memberi karena sirih pinang memberi ketenangan atau kesejukan dan rasa damai antara
sesama. Berdasarkan hal tersebut sirih-pinang berperan sebagai alat pergaulan sehari-hari.19
Kepecayaan asli suku Sumba disebut marapu, kepercayaan terhadap Dewa atau Ilah
yang tertinggi, awah nenek moyang, makluk-makluk halus (roh-roh) dan kekuatan sakti. Kata
marapu bagi masyarakat Sumba berarti suci, mulia, sakti sehingga harus dihormati dan tidak
diperlakukan dengan sembarang.20
Orang Sumba tidak menganut agama resmi yang ada di
Indonesia, akan tetapi dengan seiring berjalanannya waktu masyarakat Sumba mengalami
perubahan oleh para Zending dalam mengenal Injil. Pada tanggal 19 Nopember tahun 1907
bisa dikatakan pada hari itulah pos pekabaran Injil para Zending diirikan pertama kali untuk
masyarakat Sumba.21
Injil yang awalnya diperkenalkan oleh para Zending mendapat penolakan oleh raja-
raja yang ada di Sumba karena mereka berpikir para Zending akan menguasai pulau Sumba.22
Para Zending dalam memperkenalkan Injil juga membangun rumah sakit dan sekolah agar
masyarakat Sumba lebih maju. Melihat hal ini raja-raja Sumba yang awalnya menolak pada
akhirnya menerima para Zending dan bahkan membantu para Zending dalam bidang
kesehatan, pendidikan, dan khususnya dalam pekabaran Injil di Sumba.
Melalui kedekatan dalam bidang kesehatan dan pendidikan, para Zending sudah
mengenal budaya Sumba dan memanfaatkan hal ini untuk pekabaran injil. Pada umumnya,
orang Sumba akan mengundang seseorang yang lewat di dekat rumah mereka untuk singgah
makan sirih pinang sebentar. Penolakan terhadap ajakan makan sirih pinang adalah suatu
sikap penghinaan terhadap orang Sumba karena melanggar tata krama. Guru Injil tidak ingin
melukai hati sesamanya yang dapat mengakibatkan kehilangan komunikasi dan tertutupnya
jalan bagi pemberitaan Injil.23
Oleh karena itu kesempatan ini dimanfaatkan untuk becakap-
cakap tentang Injil Kistus.
19
Umbu Pura Wora, Sejarah, Musyawarah dan Adat Istiadat Sumba Timur, (Kupang: Pemerintah
Daerah Kabupaten Sumba Timur, 2007), hal 316. 20
Yanuaius L. Wara. Tri Widiarto. Wahyu Purwiyastuti, Tradisi Belis Dalam Upacara Perkawinan
Dan Perubahan Sosial, Budaya, Ekonomi, Masyarakat Sumba Barat Daya, (Salatiga : Widya Sari Press
Salatiga, 2015), hal 30. 21
Oe.H.Kapita, Sumba di dalam jangkuan Jaman, (Jakarta :BPK Gunung Mulai,1976),hal 47. 22
Wellem, F.D, Injil dan Marapu, (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), hal 166. 23
Wellem, F.D, Injil dan Marapu, hal 226.
5
Seperti yang telah saya jelaskan tentang masuknya Injil di Sumba, dengan melihat
bahwa sirih pinang juga digunakan untuk pekabaran injil awal dalam masyarakat Sumba
ternyata hal ini juga dilakukan hingga sekarang di GKS Jemaat Waingapu.
Berdasarkan latar belakang diatas yang telah saya jelaskan, saya terdorong untuk mengambil
judul tentang : Kajian Sosio – Teologis Terhadap Nilai – Nilai Luhur yang Terkandung
Dalam Tradisi Makan Sirih - Pinang di GKS Jemaat Waingapu.
Rumusan Masalah
Berdasakan latar belakang yang telah dijelaskan diatas, maka peneliti merumuskan
pertanyaan permasalahan yaitu, apa saja nilai-nilai luhur dalam saling menyuguhkan sirih
pinang bagi suku Sumba khususnya di GKS Jemaat Waingapu.
1.3.Tujuan Penilitian
Berdasarkan rumusan masalah yang ingin diteliti maka tujuan yang ingin dicapai
dalam penelitian ini adalah, Mendeskripsikan secara Sosio-Teologis terhadap nilai-nilai luhur
yang terkandung dalam makan sirih pinang di GKS Jemaat Waingapu.
1.4.Manfaat Penlitian
Penilitian ini memberi suatu pemahaman baru tentang nilai kasih yang terkandung
dalam budaya makan sirih pinang bagi masyarakat Sumba khususnya di GKS jemaat
Waingapu yang selama ini menggunakan sirih pinang sebagai suguhan awal untuk para tamu
maupun kerabat yang datang agar lebih menjunjung nilai kekristenandengan melihat sirih
pinang sebagai simbol pemersatu, seperti yang diajarkan oleh Yesus Kristus.
1.5.Metode Penelitian.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian Tugas Akhiryaitu penelitian
deskriptif, bertujuan mendeskripsikan atau menjelaskan suatu hal secara sistematis, faktual
serta akurat mengenai fakta-fakta tertentu yang ada dilapangan. Dalam menentukan metode
penelitian, maka peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan
deskriptif.24
24
Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogjakarta: Gajah Mada University Press, 2004), 63.
6
Pendekatan deskriptif adalah pendekatan yang bertujuan untuk menggambarkan
secara tepat sifat-sifat suatu individu, gejala, ataupun kelompok tertentu untuk menentukan
penyebab suatu frekuensi adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dengan gejala lainnya
dalam masyarakat. 25
Metode yang dipakai untuk mengumpulkan data yakni pengumpulan data
primermerupakan pengumpulan data dari lapangan tempat dimana peneliti melakukan
peniltian.26
Metode ini dilakukan dengan wawancara yang bertujuan untuk mendapatkan
keterangan masalah yang diteliti dengan percakapan tatap muka, guna mendapatkan
informasi yang lebih akurat dan terperinci untuk memperkuat data tentang obyek yang diteliti
bagi penulis.
Penulis juga melakukan Observasi dalam rangka mendapatkan gambaran tentang
sirih pinang di GKS jemaat Waingapu dengan cara identifikasikan tentang situasi dan kondisi
wilayah penelitian. Gambaran secara umum tersebut meliputi berbagai informasi tentang sirih
pinang, untuk itu perlu dilakukan pengambilan data, rekaman, informen, jurnal, wawancara,
bergaul dengan GKS jemaat Waingapu dan mengikuti kegiatan yang ada.
1.6. Lokasi Penilitian
Berdasarkan hasil yang telah dipaparkan diatas maka lokasi penilitian yang akan diteliti oleh
Peniliti adalah Kabupaten Sumba Timur khususnya di GKS jemaat Waingapu.
1.7.SistematikaPenulisan
Agar penelitian ini terarah sesuai dengan tujuan yang ditetapkan, maka disusunlah
sistematika penulisan yang menjadi rangkaian penulisan dari bagian pertama sampai kelima
yang mempunyai pokok masing-masing, tetapi menjadi satu bagian besar yang saling
melengkapi.
Penulis akan membagi tulisan ini ke dalam lima bagian, yakni sebagai berikut:
Bagian 1 : Pendahuluan (latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode
penelitian, dan sistematika penulisan).
25
D. Engel, Metodologi Penelitian Sosial dan Teologi Kristen, (Salatiga: Widya Sari, 2005), 20-21. 26
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010),
hal 21-22
7
Bagian 2 : Landasan Teori (Sirih pinang sebagai simbol. Simbol rasa persaudaraan,
perdamaian, solidaritas, penerimaan, penghormatan dan kekerabatan.
Bagian 3 : Hasil Penelitian (data hasil penelitian yang ditemukan selama penelitian di
lapangan).
Bagian 4 : Analisa (analisa terhadap hasil penelitian dengan menggunakan teori yang
ada dalam bagian 2).
Bagian 5 : Penutup (kesimpulan akhir dari pengolahan data hasil penelitian)
Kesimpulan
Saran
8
II. LandasanTeori
Simbol berdasarkan dengan asal katanya yaitu, kata simbol berasal dari bahasa
Yunani symbolon dari kata symballo yang berarti menarik kesimpulan, memiliki arti dan atau
memberi kesan.27
Menurut pemahaan dari Herusatoto, Simbol atau lambang merupakan
sesuatu hal atau keadaan yang merupakan pengantar pemahaman tehadap objek.28
Menurut
Landmann, bahwa setiap karya manusia dilaksanakan dengan sesuatu tujuan, yaitu bahwa
setiap benda alam disekitarnya yang disentuh dan dikerjakan oleh manusia mengandung
dalam dirinya suatu nilai.29
Oleh karena itu, setiap sesuatu (termasuk sirih-pinang)
menandakan nilai tertentu didalamnya. Simbol yang berupa benda, keadaan, atau hal sendiri
sebenarnya bebas terlepas dari tindakan manusia, tetapi sebaliknya tindakan manusia harus
selalu mempergunakan simbol-simbol sebagai media penghantar dalam komunikasi antar
sesamanya.30
Berdasarkan etimoligi simbol maka penulis akan membagi dalam beberapa
bentuk teori simbol yaitu, simbol dalam perspektif Filsaat-Teologi, simbol dalam perspektif
Antropologi Sosial.
Simbol Filsafat-Teologi
Pembahasan simbol dalam filsafat-teologi dibagi menurut empat para ahli yang
mengemukan pemikirannya, simbol menurut Tillich merupakan kategori sentral dari
ajarannya tentang Allah. Ada ciri-ciri mendasar dari sebuah simbol yang ditunjukkan oleh
Tillich dalam tulisan-tulisannya. Pertama, Tillich dengan jelas membedakan antara simbol
dan tanda. Baginya, masing-masing baik simbol dan tanda menunjuk kepada sesuatu yang
lain diluar dirinya sendiri. Namun sebuah tanda bersifat bermakna tunggal dan dapat diganti
karena tidak mempunyai hubungan intrinsik dengan apa yang ditunjuknya, sedangkan simbol
sungguh-sungguh mengambil bagian dalam realitas yang ditunjuknya dan yang sampai
ditingkat tertentu diwakilinya. Simbol berfungsi tidak secara mandiri tetapi karena kekuatan
dari apa yang ditunjuknya.31
Pandangan mengenai hubungan Allah dengan tatanan alami dan
tentang masuknya Roh Suci kedalam roh manusia dilihat oleh Tillich sebagai sesuatu yang
sangat menentukan penafsiran atas fungsi simbol dalam menjadi perantara kehadiran
spiritual.
27
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT Gramedia, 2000), 1007 28
Budiono Herusatoto, Simbolisme Jawa, (Yogyakarta: Ombak, 2008),hal 18. 29
Budiono Herusatoto, Simbolisme Jawa, hal 14. 30
Budiono Herusatoto, Simbolisme Jawa, (Yogyakarta: Ombak, 2008), hal 32.
31
Paul Tillich, Systematic Theology 3, (Universitas of Chicago Press: SCM Press, 1978), 130 dalam F.
W. Dillistone, The Power of Symbols, 124.
9
Kedua, membukakan kepada manusia adanya tingkat-tingkat realitas yang tidak dapat
dimengerti dengan cara lain. Hal ini secara khusus berlaku untuk simbol-simbol seni. Simbol-
simbol seni dipandang dapat membukakan roh manusia kepada dimensi pengalaman estetis
dan membukakan realitas kepada dimensi makna intrinsiknya. Sedangkan, simbol-simbol
keagamaan menjadi medium realitas tertinggi melalui barang-barang, orang-orang, peristiwa-
peristiwa yang sebagai medium menerima sifat “kudus”. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa simbol-simbol berfungsi juga untuk “membukakan” roh manusia kepada pandangan-
pandangan yang lebih tentang “Yang Kudus” dalam dimensi transendennya.32
Ketiga,
membuka dimensi-dimensi roh batiniah manusia sehingga terwujudlah suatu korespondensi
atau korelasi dengan segi-segi realitas tertinggi. Dalam fungsi ini, simbol memperluas
penglihatan tentang realitas transenden dan juga simbol memperluas roh manusia untuk
memampukannya ditangkap oleh penglihatan itu dan dengan demikian berkembanglah
pengertian rohani. Keempat, simbol muncul dari kegelapan dan hidup oleh karena
hubungannya dengan suatu kebudayaan khusus. Menurut Tillich, jika simbol tidak lagi
membangkitkan respons maka simbol itu dianggap mati. Tillich juga yakin bahwa beberapa
simbol yang mati tidak dapat dihidupkan kembali.33
Jadi dari pemahaman Tillich, kita dapat melihat bahwa yang menjadi pembeda suatu
simbol keagamaan, yaitu bahwa simbol keagamaan merupakan representasi dari sesuatu yang
sama sekali ada di luar konseptual. Simbol keagamaan menunjuk kepada realitas tertinggi
yang tersirat dalam tindak keagamaan, dari apa yang menyangkut kita pada akhirnya. Dengan
demikian, definisi simbol keagamaan tergantung pada definisi agama itu sendiri. Selanjutnya
menurut Lonergen, simbol adalah ungkapan tertinggi atau perekam perasaan sehingga tugas
penafsiran tidak pernah selesai.34
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keberadaan
sebuah simbol mewakili sesuatu yang kemungkinan tidak bisa dimengerti dengan logika. Ini
juga berkaitan dengan pemahaman manusia tentang yang transenden yang mana dalam
praktek kehidupan masyarakat menggunakan simbol-simbol agar dapat memahami yang
transenden tersebut.
32
F. W. Dillistone, The Power Of Symbols (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 125. 33
F. W. Dillistone, The Power Of Symbols, 125. 34
Bernard Lonergen, Method In Theology, 64.
10
Mircea Eliade yang mana mengarahkan pandangannya kepada sejumlah besar barang
dan peristiwa khusus dalam menghubungkan manusia dengan yang Ilahi dan secara khusus
menekankan arti hierofani, yaitu manifestasi dari yang kudus dalam konteks dunia sekuler.
Manifestasi-manifestasi itu selalu diwujudkan dan di kemudian hari dikenang melalui
simbol-simbol. Bagi Eliade, manusia menanggapi hierofani-hierofani melalui bentuk-bentuk
simbolis, tidak sekedar dengan berusaha menghasilkan suatu refleksi atau cerminan dari apa
yang sudah dilihat atau didengar tetapi dengan menghubungkan dirinya pada apa yang
menciptakan manifestasi itu melalui tanggapan timbal balik.35
Dengan kata lain, kegiatan
simbolis ini tidak bersifat univok, melainkan bersifat multivalen (banyak sisi),
mengungkapkan segi-segi barang suci yang bervariasi, bahkan tampaknya bertentangan.
Eliade dalam bukunya, Patterns In Comparative Religion, sebagaimana dikutip oleh
Dillistone, mengatakan bahwa fungsi sejati sebuah simbol tetap tidak berubah, yakni
mengubah suatu barang atau tindakan menjadi sesuatu yang lain daripada yang kelihatan dari
barang atau tindakan itu di mata pengalaman profan.36
Uraian terakhir mengenai simbolisme dalam perspektif filsafat dan teologi adalah
pandangan dari Ernest Gombrich yang dikonsentrasikan pada tempat simbol dalam sejarah
kesenian Eropa. Dalam menafsirkan karya-karya seni, Gombrich menggunakan tiga kata
kunci yang dapat mewakilinya, yaitu representasi, simbolisasi, dan ekspresi. Sebuah gambar
menurut Gombrich, tentu saja dapat dimaksudkan untuk merepresentasikan
(menggambarkan) suatu pemandangan alam, seorang manusia, suatu keadaaan sosial, atau
semacam konfigurasi abstrak. Gambar itu juga dimaksudkan untuk menyimbolkan suatu
realitas jauh di balik dirinya sendiri. Selanjutnya, sepanjang gambaran itu adalah ciptaan
seorang seniman khusus, tidak boleh tidak gambar itu sampai tingkat tertentu
mengungkapkan perasaan, sikap, keyakinan subjektifnya sendiri.37
kemudian bagi agama
Kristen Protestan yang banyak menggunakan simbol seperti ikan dalam bahasa Yunani
ichthus.
35
Mircea Eliade, The Secret and The Profane: The Nature Religions, terjemahan Nuwanto, (Yogyakarta:
Fajar Pustaka Baru, 2002), 191. 36
Mircea Eliade, The Secret and The Profane: The Nature Religions, 191. 37
F. W. Dillistone, The Power Of Symbols, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 148.
11
Simbol ini digunakan oleh orang-orang percaya pada masa penganiayaan sebagai suatu tanda
rahasia dari iman mereka, ikan adalah simbol kuno orang Kristen yang dikenal dari
katakombe-katakombe di Roma pada abad pertama.38
Simbol-simbol dalam agama kristen tidak hanya satu tetapi banyak dan memiliki
makna dan nilai-nilai tersendiri. Lembu adalah sebuah simbol kekuatan, pelayanan, dan
kesabaran. Lonceng adalah simbol simbol panggilan untuk beribadah dan proklamasi Injil
kepada dunia.39
Simbol Antropologi Sosial
Pada bagian ini penulis akan menguraikan beberapa teori simbolisme dalam
perspektif antropologi sosial. Teori-teori yang dikemukakan berdasarkan pada pandangan ahli
antropologi sosial tentang simbolisme, antara lain: Raymond Firth, Mary Douglas, Viktor
Turner, dan Clifford Geertz.
Pandangan pertama adalah pandangan dari Raymond Firth. Menurut Firth, sebuah
simbol dapat menjadi sarana untuk menegakkan tatanan sosial atau penggugah kepatuhan-
kepatuhan sosial, selain itu sebuah simbol kadang-kadang dapat memenuhi suatu fungsi yang
lebih bersifat privat dan individual, meskipun tidak mudah mengakui adanya nilai dalam
sebuah simbol yang tidak mempunyai suatu acuan kepada pengalaman sosial yang lebih
luas.40
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa simbol memiliki peran ganda dalam
kehidupan masyarakat. Hal ini juga berkaitan dengan pandangan dari Mary Douglas yang
mana ia sangat yakin bahwa simbol-simbol tidak hanya memiliki fungsi untuk menata
masyarakat tetapi juga mengungkapkan kosmologinya. Dalam bukunya Natural Symbol:
Explorations in Cosmology, Mary Douglas melihat bahwa tubuh jasmani dapat mempunyai
makna universal hanya sebagai sistem yang menjawab sistem sosial dengan
mengungkapkannya sebagai sebuah sistem. Artinya, apa yang disimbolkannya secara alami
adalah hubungan bagian-bagian sebuah organisme (individu) dengan keseluruhan
(masyarakat).
38
Widdwissoeli M. Saleh, Hari Raya Dan Simbol Gerejawi, (Yogyakata: Taman Pustaka Kristen 2008), hal 77. 39
Widdwissoeli M. Saleh, Hari Raya Dan Simbol Gerejawi, hal 80. 40
Raymond, Firth, Symbols: Public and Private, 428.
12
Individu dan masyarakat dipahami sebagai dua tubuh yang kadang-kadang begitu dekat
sehingga hampir menjadi satu, namun biasanya terpisah jauh. Ketegangan antara kedua itulah
yang dipandang oleh Douglas memungkinkan adanya pengembangan makna-makna.41
Pandangan ketiga adalah Victor Turner yang dalam bukunya yang berjudul “The
Forest of Symbols and The Ritual Process”, membicarakan fungsi simbol dalam mengatur
kehidupan sosial. Pemahaman dari Turner tentang simbolisme adalah bahwa simbol-simbol
yang dominan menduduki tempat yang signifikan dalam sistem sosial manapun. Sebab,
makna simbol pada umumnya tidak berubah dari zaman ke zaman dan merupakan kristalisasi
pola aliran tata cara yang dipimpinnya. Walaupun demikian, simbol-simbol itu
mempengaruhi sistem-sistem sosial dan maknanya harus diturunkan dari konteks khusus
berlangsungnya simbol-simbol itu. Dualitas dalam mengatur kelompok-kelompok sosial yang
ia temukan disimbolkan dengan cara yang berarti oleh praktek-praktek ritual suku-suku yang
membawa makna rangkap. Di satu pihak, ada penggambaran tatanan tetap secara simbolis:
tempat yang keramat atau kuil, penataan terus menerus atas upacara yang berkaitan dengan
kelahiran, masa puber dan kematian atau dengan siklus penanggalan, perayaan gerakan-
gerakan benda-benda langit. Di lain pihak, ada tata cara simbolis yang harus dilaksanakan
ketika suatu peristiwa krisis hampir terjadi: suatu perjalanan ekspedisi berburu, perjumpaan
dengan suku lain.42
Pandangan ahli yang terakhir adalah Clifford Geertz. Geertz mengajukan definisi
simbol demikian: “setiap objek, tindakan, peristiwa, sifat atau hubungan yang dapat berperan
sebagai wahana suatu konsepsi, dan konsepsi ini adalah „makna‟ simbol. Jadi, penafsiran
kebudayaan pada dasarnya adalah penafsiran simbol-simbol, sebab simbol-simbol bersifat
teraba, tercerap, umum dan konkret. Simbol- simbol keagamaan adalah simbol-simbol yang
mensistensiskan dan mengintegrasikan “dunia sebagaimana dihayati dan dunia sebagaimana
dibayangkan dan simbol-simbol ini berguna untuk menghasilkan dan memperkuat keyakinan
keagamaan”.43
Setelah membaca pandangan-pandangan ahli dari beberapa sumber-sumber yang ada
tentang simbol sampailah penulis pada pemahaman tentang simbol bahwa kedekatan manusia
dengan simbol sangatlah dekat sekali karena bisa dilihat dan dirasakan oleh benda-benda
41
Mary Douglas, Natural Symbols: Explorations in Cosmology (London: Penguin Books, 1973), 112-
113. 42
F. W. Dillistone, The Power Of Symbols (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 111-112. 43
Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama , 51.
13
yang ada disekitar manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dengan ini penulis berpendapat
bahwa manusia sendirilah yang menciptakan simbol itu sendiri dan menjadikan simbol
sebagai sesuatu yang khas untuk setiap masing-masing kelompok guna mengkomunikasikan
suatu hal baik itu antara sesama dan juga untuk alam, telebih khususnya kepada sang
pencipta.
III. Hasil penilitian
3.1. Gambaaran tempat penilitian.
Pulau Sumba terletak pada jalur antara sebagai penghubung jalur dalam vulkanis yaitu
palau Flores dan Alor Pantar dan jalur luar yang non vulkanis yakni pulau Timor. Pulau
Sumba topogafinya terdiri dari empat unit yakni terputus-putus, dengan dataran tinggi dan
daerah pegunungan.44
Pulau Sumba juga temasuk salah satu pulau dalam gugusan pulau-
pulau yang ada didalam pembagian dulu disebut Sunda Kecil : Bali, Lombok, Sumbawa,
Sumba, Flores, dan Timor; dalam pembagian sekarang termasuk salah satu pulau dalam
gugusan pulau-pulau : NUSA TENGGARA, suatu nama yang baru untuk menggantikan
nama Sunda kecil, sesuai dengan usul Prof. Mr. Mohammad Yamin dalam tahun1954 sebagai
Menteri P.P. dan K.45
Dulu kala pulau Sumba tekenal pula dengan nama: Pulau Cendana atau
dengan bahasa Inggeris : Sandelwood Island dan dengan bahasa asing Belanda : Sandelhout
Eiland. Nama itu sudah terkenal sejak lama, karena dalam peta Pigafetta dalam tahun 1522
telah tecantum nama pulau Chendan, yang tentu tak lain dari pada pulau Cendana itu. Nama
pulau ini menurut suku-bangsa Sumba sendiri disebut “Tana Humba” tanah asli.46
Gereja Kristen Sumba Jemaat Waingapu pada awalnya berdiri masih merupakan
bangunan darurat yang berada di belakang gereja pada saat itu. Gedung lama dibongkar pada
tahun 1973 sedangkan gereja baru diresmikan pada tahun 1974. Bangunan gereja Waingapu
dirancang oleh sesorang kebangsaan Belanda yang bernama Winiya sehinggga gedung
berbentuk W. Tiang diluarnya yang berjumlah 6 menggambarkan bahwa 6 hari lamanya
manusia bekerja memenuhi kebutuhan dan dalam gedung hanya ada satu tiang yang
menandakan hari sabat dan manusia diingatkan untuk beribadah dan menguduskan Tuhan.47
44
DepertemenPendidikan Dan Kebudayaan Pusat Penilitian Sejarah Dan Budaya Proyek
PenilitianSejarah Dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Adat istiadat Daerah Nusa Tenggara Timur , (Jakarta:
1981), hal 9 45
Oe.H.Kapita, Sumba di dalam jangkuan Jaman, (Jakarta :BPK Gunung Mulai,1976),hal 11. 46
Oe.H.Kapita, Sumba di dalam jangkuan Jaman, hal 12. 47
Wawancara dengan Pdt. Johny Umbu Lado, MTh ( 17 Desember 2016) , di GKS Waingapu.
14
GKS Jemaat Waingapu memiliki 2 Cabang dan 1 pos pelayanan yang terletak dekat
dengan gereja besar, jumlah KK dalam jemaat Waingapu kurang lebih lima ribu dan terbagi
atas banyak suku baik itu suku Sumba, Sabu, Alor, Timor, Rote, Flores, Batak, Jawa, dan lain
sebagainya.
GKS Jemaat Waingapu juga sangat strategis letaknya karena berada di tengah-tengah
Kota Waingapu sendiri dan memiliki jemaat yang berprofesi sebagian besar peagawai Negeri
75% , Swasta 5% , Pengusaha 5% , Pedagang 10% , dan 5 % Buruh. GKS jemaat Waingapu
juga sebagai salah satu pendukung UKSW, UNKRIS, STT Lewa, dan masih ada beberapa
perguruan tinggi yang didukung oleh GKS dan Khususnya GKS jemaat Waingapu. GKS
jemaat Waingapu memiliki lima orang pendeta yang terbagi dari tiga orang pria dan dua
orang wanita diantaranya Pdt. Johny Umbu Lado, Pdt. Yulias Djara, Pdt. Herlina Ratu
Kenya, Pdt. Helena Ina Mila Ate, dan Pdt. Umbu Reku. 48
GKS jemaat Waingapu selalu menjalankan program-program yang sudah ada secara
bersama-sama baik itu ibadah pemahaman Alkitab di setiap rumah tangga, menjadi tuan
rumah dalam olahraga volly antara umat beragama dan masih banyak lagi yang dilakukan
untuk bakti sosial yang sering dilakukan dalam sebulan sekali. Kegiatan-kegiatan seperti ini
dilakukan untuk mempererat hubungan antara sesama demi kemuliaan nama Tuhan.49
3.2. Latar belakang sejarah sirih pinang.
Masyarakat Sumba percaya bahwa sirih pinang sudah ada sejak dahulu kala atau sejak
nenek moyang orang Sumba sudah makan sirih pinang dan sudah saling menyuguhkan sirih
pinang. Bagi masyarakat Sumba sirih pinang adalah budaya milik mereka, orang Sumba yang
ada harus mempetahankan budaya ini dan tetap melakukan hal makan sirih pinang agar anak
dan cucu bisa meneruskan kegenerasi-generasi yang selanjutnya. Awalnya masyarakat
Sumba memakan sirih pinang hanya sebagai penghilang rasa ngantuk atau untuk membuat
seseorang tetap semangat dalam bekerja, hal ini karena mulut selalu mengunyah atau selalu
bergerak.50
Sirih pinang bagi masyarakat Sumba sangat membantu bagi orang yang suka
bekerja, akan tetapi hal ini bisa membuat orang ketagihan atau ketergantungan terhadap sirih
pinang seperti yang di katakan oleh Umbu Pura Woha dalam buku sejarah, musyawarah dan
adat istiadat Sumba Timur yang mengatakan bahwa sirih pinang mengandung alkohlik.
48
Wawancara dengan Pdt. Umbu Reku ( 19 Desember 2016), dikantor GKS Waingapu. 49
Wawancara dengan Majelis Jemaat Agus Mage ( 19 Desember 2016), dirumah Narasumber. 50
Wawancara dengan Jemaat, Bapak Umbu Rihi Landuniki ( 20 Desember 2016), di rumah
Narasumber.
15
Sirih pinang biasanya dikonsumsi oleh kaum dewasa baik itu pria maupun wanita, akan tetapi
hal ini tidak membatasi untuk pemuda dan juga remaja, bahkan ada anak kecil yang masih
berumur 12 tahun atau 13 tahun sudah memakan sirih pinang, hal ini biasanya terjadi di
kampung atau pedalaman.
Sirih pinang tidak hanya dimakan pada saat di rumah akan tetapi bisa dimakan juga
pada tempat umum serta dalam acara adat dan bahkan sirih pinang dijual di mana-mana yang
artinya tidak sulit untuk menemukan sirih pinang ketika masyarakat Sumba ingin makan sirih
pinang. Sirih pinang banyak dijual khususnya di pasar, akan tetapi karena kebutuhan
masyarakat Sumba yang terlalu banyak maka sirih pinang tidak hanya dijual pada pasar saja
akan tetapi sirih pinang juga dijual dalam kios-kios kecil dan terjual juga di pinggiran jalan.
Masyarakat Sumba percaya dengan makan sirih pinang dan menyadurkan sirih pinang
kepada sesama itu artinya mau berbagi dengan sesama karena belum tentu ada suku lain yang
menggunakan sirih pinang sebagai sajian awal pembuka untuk sesama, di sini masyarakat
Sumba tetap mempertahankan ciri khas atau budaya yang sudah ada sejak dulu kala dan
menjadi turun temurun untuk ke generasi selanjutnya.51
Sekalipun ada suku lain yang sama
dalam sajian pembuka menyodorkan sirih pinang belum tentu maksud dan tujuan nya sama
dari pada suku sumba sendiri, sebab suku Sumba sendiri dalam memberi atau menyodorkan
sirih pinang bagi tamu yang datang ke rumah dengan tempat sirih pinang atau mbola, entah
ada dan tidak adanya sirih pinang dalam tempat sirih pinang itu tetap akan disodorkan karena
itu sudah menjadi suatu penghargaan atau penghormatan masyarakat Sumba bagi tamu yang
datang berkunjung kerumah.52
Oleh karena itu mengapa sirih pinang selalu dipakai masyarakat Sumba dan di bawa
kemana-mana agar bisa saling memberi dengan tidak melihat perbedaan kepada siapa harus
dibagikan, ini yang menjadi ciri khas masyarakat Sumba dan menjadi simbol sebagai
pemersatu karena tidak hanya suku Sumba yang melakukan hal demikian.
51
Wawancara dengan Jemaat dan tua adat. Ibu Yuli Mehang dan Ibu Rambu katerina ( 16 Desember
2016), di rumah masing-masing Narasumber. 52
Wawancara dengan majelis jemaat, Bapak Obed Maku Hinggiranja ( 21 Desember), di rumah
narasumber.
16
Suku lain yang ada di Sumba pun telah terkontaminasi dan melakukan hal yang sama seperti
yang dilakukan oleh masyarakat Sumba dengan cara menyodorkan sirih pinang sebagai
suguhan awal kepada tamu yang datang. 53
Masyarakat yang melakukan demikian ada memang yang menghargai budaya Sumba
dan ada juga suku lain yang melakukan hal demikian karena suka memakan sirih pinang, dan
ada juga yang memang sudah melakukan hal demikian dari suku asalnya dan sangat tepat
ketika berada di Sumba. 54
3.3. Makna Sirih pinang sebagai Simbol di GKS Jemaat Waingapu.
Masyarakat Sumba Khususnya di jemaat waingapu mengartikan sirih pinang sebagai
lambang atau simbol pemersatu, sebab tidak hanya suku Sumba yang ada di dalam jemaat
Waingapu akan tetapi jemaatnya terdiri dari banyak suku yang ada di Indonesia. Jemaat
Waingapu sendiri selalu menyediakan sirih pinang dalam ibadah rumah tangga, acara
syukuran sidi, acara pentahbisan majelis jemaat, dan masih banyak lagi. Akan tetapi yang
menarik di sini di mana acara tersebut berlangsung baik itu suku Sumba asli atau bukan suku
Sumba tetap sirih pinang selalu disedikan, ini pertanda bahwa sirih pinang selalu dipakai
untuk mempersatukan jemaat Waingapu baik itu orang Sumba maupun orang yang bukan
suku Sumba.55
Ada banyak simbol yang sering digunakan oleh jemaat Waingapu baik itu di gereja
dan juga di dalam rumah jemaat, simbol-simbol yang sering dipakai dalam gereja jemaat
Waingapu antara lain; salib, gambar Tuhan Yesus, kain sesuai dengan hari atau bulan dalam
kelender gerejawi, lilin, dan lain sebagainya. Hal ini juga membuat jemaat Waingapu selalu
mengingat akan Tuhan dan memperingati hari-hari besar umat Kristen. Sirih pinang sebagai
simbol pemersatu masyarakat Sumba khusunya di jemaat Waingapu, akan tetapi sirih pinang
tidak termasuk di dalam agama hanya digunakan sebagai alat untuk pendekatan antara
majelis dengan jemaat dan pendeta dengan majelis atau dengan jemaat, hal-hal seperti ini
yang baik karena dapat menggunakan sirih pinang suatu alat untuk melakukan pendekatan
53
Wawancara dengan Jemaat, Bapak. Umbu Windi dan Kepala Desa Watupuda, Bapak Umbu Tay
Rawambaku ( 24 Desember ), dirumah masing-masing narasumber. 54
Wawancara dengan jemaat, Bapak David Bano (22 Desember 2016), dirumah narasumber 55
Wawancara dengan Bapak majelis Oktavianus Mbau dan Ibu Yuliana Mage ( 18 Desember 2016),
dirumah narasumber.
17
antara sesama sehingga sirih pinang dianggap sebagai simbol pemersatu masyarakat Sumba
khususnya di jemaat Waingapu.56
Sirih pinang sangat banyak memiliki arti dan nilai tersendiri bagi jemaat Waingapu
karena makna sirih pinang sendiri sangat luas dan dapat digunakan pada acara apa saja, sirih
pinang juga dapat digunakan pada saat santai dengan keluarga atau saaat sendiri. Sirih pinang
bagi jemaat Waingapu mampu memberi sesuatu nilai positif selain sebagai pemersatu,
contohnya; Sirih pinang sebagai tanda kasih kepada sesama karena dengan memberi kepada
sesama itu artinya kita mau berbagi dengan apa yang kita punya dan nilai kasih sendiri
diajarkan dalam agama Kristen. Sirih pinang sering disuguhkan terlebih dahulu karena
melambangkan tanda penghormatan kepada sesama, baik itu sesama orang Sumba dalam
jemaat Waingapu dan juga suku lain yang ada didalam jemaat Waingapu itu sendiri.57
Jemaat GKS Waingapu menganggap sirih pinang sebagai lambang atau simbol
kedamaian di antara sesama karena dengan saling menyuguhkan sririh pinang dan memakan
siihp pinang bersama ada suatu keharmonisan yang terjadi dan mempererat hubungan
persaudaraan antara satudengan yang lain karena sudah saling berbagi dan mau mengambil
sirih pinang dari tempat yang sama. Jemaat Waingapu juga menghargai dan menghormati
sesama dengan memberi sirih pinang dan orang yang menerima sirih pinang tesebut juga
merasa dihargai dan dihormati karena diberi sirih pinang sehingga jemaat Waingapu sendiri
juga menganggap sirih pinang sebagai lambang solidaritas yang mampu memberi suatu
kenyamanan diantara jemaat yang sangat beragam suku. Sekalipun ada banyak jemaat yang
tidak memakan sirih pinang tetap akan disodorkan oleh jemaat yang lain, terserah jemaat
tersebut menolak atau mengambil sirih pinang yang diberikan, akan tetapi biasanya sirih
diambil sekalipun tidak dimakan ketika disodorkan, karena seperti diatas yang telah saya
jelaskan bahwa sirih pinang sebagai tanda penghormatan.58
Sirih pinang sering digunakan dalam upacara formal maupun nonformal yang artinya
sirih pinang memiliki banyak fungsi bagi masyarakat Sumba khususnya di jemaat Waingapu
yang melihat sirih pinang sebagai suatu alat kominikasi baik itu pejabat tinggi dengan staf
biasa atau seorang raja dengan hambanya, ketika mengambil dan memakan sirih pinang yang
sama dari suatau tempat maka dari situlah dapat dilihat dan rasakan bahwa tidak perbedaan
56
Wawancara dengan Pdt. Umbu Reku dan majelis Jemaat Bapak Obed Maku Hinggiranja ( 29
Desember 2016), di Kantor GKS Waingapu. 57
Wawancara dengan jemaat Ibu Yuliana Mage ( 16 Desember 2016), dirumah narasumber. 58
Wawancara dengan pemuda Umbu Maku ( 27 Desember 2016), dirumah narasumber.
18
diantara sesama. Sirih pinang ketika dimakan besama antaa satu dengan yang lain maka ada
suatu hubungan komunikasi yang terjadi karena kebiasaan jemaat Waingapu ketika makan
sirih pinang bersama selalu bercerita dan bercengkrama.59
Penulis di sini dapat memastikan bahwa sirih pinang sangat banyak nilai-nilai luhur
yang terkandung didalamnya karena dapat memberi nilai positif bagi jemaat waingapu dan
khusunya bagi suku lain yang ada didalam jemaat Waingapu, dapat di simpulkan bahwa nilai-
nilai luhur yang terkandung dalam makan sirih pinang perlu diteruskan untuk generasi
berikutnya karena dengan memakan sirih pinang bersama, banyak manfaat yang didapatkan,
tidak ada lagi yang namanya membedakan status sosial, sebab dengan memakan sirih pinang
bersama itu artinya semua sama dan penulis melihat di sini bahwa dengan makan sirih pinang
bersama sebenarnya lebih kepada penerimaan dan menghargai antara sesama makhluk
ciptaan Tuhan.
IV. Analisa
Pada bagian ini penulis akan menjelaskan tentang sirih pinang dalam kehidupan
masyarakat Sumba khusus nya bagi jemaat Waingapu. Sirih pinang mempunyai peranan
penting bagi masyarakat sumba, sirih pinang merupakan sebagai tanda kekerabatan,
kekeluargaan, kedamaian, kehormatan, komunikasi dan penerimaan bagi masyarakat Sumba.
Setiap orang yang datang berkunjung terlebih dahulu harus disodorkan tempat sirih pinang
mbola pahapa.60
Untuk makan sirih, perlu ada tiga unsur yang disiapkan yaitu siri, pinang,
dan kapur. Sebutan untuk sirih pinang bagi masyarakat Sumba ialah pahapa dan tempat
untuk menaruh sirih pinang adalah mbola.61
Tempat sirih pinang mbola selalu ada disetiap
rumah masyarakat Sumba karena untuk keperluan bagi tamu yang datang, dan tentunya di
dalam mbola tersebut sudah terisi dengan sirih pinang yang mana untuk di suguhkan bagi
tamu.
Sirih pinang juga digunakan sebagai undangan oleh masyarakat Sumba Khususnya di
Waingapu yang mana ketika sesorang ingin mengundang orang lain maka yang pertama akan
dilakukan dalam pembiciraan ialah makan sirih pinang bersama, tidak hanya sampai disitu
akan tetapi sirih pinang juga menjadi bagian penting dalam adat sebagai salah satu mas
59
Wawancaa dengan Pdt. Umbu Reku (29 Desember 2016), di Kantor GKS Waingapu. 60
Umbu Pura Wora, Sejarah, Musyawarah dan Adat Istiadat Sumba Timur, (Kupang: Pemerintah
Daerah Kabupaten Sumba Timur, 2007), hal 315. 61
Umbu Pura Wora, Sejarah, Musyawarah dan Adat Istiadat Sumba Timur, 315.
19
kawin, hal ini yang membuat sirih pinang mendapat tempat bagi masyarakat Sumba
khususnya bagi jemaat Waingapu.
Pada dasarnya sirih pinang sudah memiliki nilai-nilai luhur bagi masyarakat jemaat
Waingapu yang mana bisa dilihat pada acara perkawinan, syukuran dan acara lainnya sirih
pinang hadir sebagai simbol pemersatu bagi keluarga yang hadir dan juga bagi para undangan
yang hadir.
Sirih pinang sebagai Simbol
Sirih pinang dalam konteks jemaat GKS Waingapu sangat memiliki makna dan peran
yang banyak karena tidak hanya sebagai satu akan tetapi lebih dari pada satu, sirih pinang
menjadi simbol yang sangat luas bagi GKS jemaat Waingapu karena dilihat dari berbagai
pandangan. Adapun pandangan mengenai simbol menurut Erwin Goodenough yang dikutip
oleh F.W Dillistone dalam bukunya yang mengatakan bahwa simbol mempunyai maknanya
sendiri atau nilainya sendiri dan simbol pun memiliki kekuatannya sendiri untuk
menggerakkan kita. Simbol mampu mewakili, menggambarkan, mengisyaratkan,
menandakan, menyelubungi, menyampaikan, menggugah, mengungkapkan dan
mengingatkan pada suatu objek.62
Dengan demikian sirih pinang ada dan hadir dibalik
kehidupan GKS Jemaat Waingapu yang selalu menggunakan sirih pinang sebagai simbol
dalam kehidupan sehari-hari.
Sirih pinang memiliki acuan budaya sehingga masyarakat Sumba terkhususnya jemaat
Waingapu selalu menggunakan sirih pinang dalam kehidupan sehari-hari yang mana simbol
itu sendiri selalu dapat dilihat, dirasakan, selalu mengalami suatu perubahan seperti yang
dikatakan oleh, Budiono Herusatoto semua simbol dan tanda yang dijumpai dalam satu
generasi ke generasi yang lain tidak hanya berdiri tegak tanpa perubahan melainkan harus
selalu ditafsirkan kembali menjadi kaidah-kaidah yang baru. 63
Teori Budiono ini bertolak
belakang dengan Eliade yang mana pada teori Eliade mengatakan bahwa simbol tidak akan
ada mengalami peubahan, akan tetapi teori dari para ahli yang lain seperti Marry Douglas,
Bernard Lonergan, Raymond Firth, bahwa perubahan pada simbol mengalami pergeseran dari
ke generasi. Sirih pinang sudah ada sejak dahulu dan sudah digunakan oleh jemaat
62
F.W. Dillistone, The Power of Symbols, SCM Press Ltd.,London 1986, ter. A. Widyamarta
(Yogyakarta: Kanisius, 2002), hal 18 63
Budiono Herusatoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa (Yogyakarta: PT Hanindita, 1984), 13.
20
Waingapu.64
Sirih pinang yang penulis lihat di sini juga ketika melakukan penilitian
mengalami pergeseran makna dari yang kebiasaan hanya memakan sirih pinang sebagai
penyemangat berubah menjadi suatu simbol pemersatu dan penerimaan.
Penulis melihat perbedaan menjadi sesuatu yang menarik karena tergantung dilihat
dari sudut pandang yang mana akan untuk digunakan. Penulis di sini melihat bahwa sirih
pinang sendiri mengalami perubahan-perubahan yang tidak terpaku dengan satu arti atau satu
makna saja melainkan sirih pinang menjadi simbol yang artinya banyak dalam kehidupan
jemaat Waingapu dan menjadi peran ganda seperti yang dikatakan oleh Paul Tillich. Nilai-
nilai positif dari sirih pinang inilah yang selalu di pertahankan oleh jemaat Waingapu karena
sebuah lambang dan simbol makna dari sebuah citra.65
Berdasarkan hasil studi teoritis, dan hasil lapangan yang dilakukan dalam penelitian
ini penulis menemukan beberapa fakta yang menarik dari hasil wawancara tentang nilai-nilai
yang terkandung dalam sirih pinang dan beberapa teori yang penulis gunakan. Adapun
bebeapa hal yang penulis temukan yaitu Pertama menurut F.D. Welem penolakan terhadap
ajakan makan sirih pinang adalah suatu sikap penghinaan terhadap orang Sumba karena
melanggar tata krama.66
Masyarakat Sumba pada umumnya membangun kekerabatan dan
saling menghargai melalui sirih pinang karena tanpa disadari atau tidak disadari melalui sirih
pinang ada suatu komunikasi yang terjadi dan melalui sirih pinang ada rasa kekeluargaan
yang terjalin baik sesama orang Sumba atau dengan suku lain yang ada di Sumba khusunya
di jemaat Waingapu.
Kedua Sirih pinang sebagai simbol lambang cinta kasih yang terjadi secara spontan
dan jemaat GKS Waingapu sendiri lupa akan hal ini hanya lebih berfokus pada komunikasi
saja dan sebagai penghormatan. Di sini penulis melihat bahwa ketika sesorang menyodorkan
sirih pinang kepada sesama artinya disitu terjadi cinta kasih kepada sesama dan mau untuk
berbagi, karena jika tidak ada nilai-nilai luhur pada sirih pinang maka tidak akan ada yang
namanya saling memberi dan saling menyuguhkan sirih pinang antara satu dengan yang lain.
Jemaat waingapu sendiri juga menggunakan sirih pinang sebagai simbol solidaritas, akan
tetapi jemaat GKS Waingapu belum melihat nilai-nilai makan sirih bersama lebih mendalam.
64
Wawancara dengan Jemaat Ibu Yuli Mehang,(16 Desember), dirumah narasumber. 65
Perhimpunan Sekolah-Sekolah Theologia Di Indonesia, hal 13.
66
Wellem, F.D, Injil dan Marapu, (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), hal 226.
21
Ketiga Setelah penulis mengamati selama dilapangan dan melihat beberpa
pandangan-pandangan dari para teolog juga sumber yang ada maka penulis dapat memastikan
sirih pinang sebagai suatu simbol penerimaan bagi masyarakat Sumba khususnya jemaat
Waingapu yang telah menggunakan sirih pinang sebagai alat untuk membangun suatu
hubungan baik diantara sesama.
Nilai-nilai yang ada didalam sirih pinang sangat membantu jemaat GKS Waingapu
untuk berbagi dengan membangun komunikasi dan tali silahturami yang baik, entah itu
jemaat Waingapu itu sendiri juga dengan orang lain yang berbeda agama. Karena dengan
sirih pinang yang ada dan sering digunakan oleh jemaat Waingapu dalam kehidupan sehari-
hari ada relasi yang terjadi dan itu menjadi suatu nilai yang kadang tidak disadari oleh jemaat
GKS Waingapu. Nilai-nilai yang ada didalam sirih pinang sangat banyak dan perlu di gali
lebih luas atau lebih dalam lagi sehingga nilai-nilai tersebut bisa bertahan untuk generasi
berikutnya, seperti suatu simbol yang selalu berubah-ubah makna karena sesuai dengan
perubahan waktu dan kesepakatan bersama yang ditandai dalam suatu simbol tersebut maka
sirih pinangpun juga harus demikian dan tidak hanya ada pada suatu makna karena makna dai
pada sirih pinang itu sendiri sangat luas dan kaya akan makna.
Empat, sirih pinang sebagai alat pemersatu dalam kehidupan masyaakat Sumba
khususnya jemaat Waingapu. Sirih pinang dalam kehidupan jemaat Waingapu selalu
digunakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai alat pergaulan, namun sirih pinang juga
mempunyai nilai yang mempersatukan jemaat Waingapu karena seperti yang penulis katakan
bahwa jemaat Waingapu bukan terdiri dari masyarakat Sumba saja akan tetapi terdiri dari
begitu banyak suku, untuk itulah sirih pinang digunakan sebagai alat atau simbol yang
mempersatukan jemaat Waingapu yang sangat beraneka ragam. Penyajian sirih pinang yang
akan di suguhkan kepada tamu ialah kelima cupu berisi : siih,pinang, gambir, kapur, dan
tembakau.67
Lima, sirih pinang sebagai simbol perdamaian yang mana dalam masyarakat Sumba
selalu menggunakan sirih pinang dalam adat upacara apa saja, hal ini juga yang digunakan
oleh jemaat GKS Waingapu. Secara ritual adat Sumba Timur sirih pinang selalu di gunakan
oleh para rato tua adat untuk berdamai dengan alam, berdamai dengan roh leluhur, dan
masyarakat Sumba juga menggunakan sirih untuk berdamai dengan sesama ketika melakukan
67
Proyek Penilitian Dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan,
Adat Istiadat Daerah Bengkulu, 1977/198, hal 167.
22
suatu masalah. Hal ini yang menarik karena sirih pinang digunakan oleh jemaat Waingapu
untuk berdamai dengan sesama ketika membuat suatu kesalahan baik itu lewat perkataan dan
secara fisik atau perkelahian. Sirih pinang di gunakan sebagai alat perdamaian karena
masyarakat Sumba percaya bahwa ketika memakan dan menyuguhkan sirih pinang bersama
ada kedamaian dan ketentraman juga kesejukan yang membuat suatu suasana yang panas
akan berubah menjadi dingin, atau dengan kata lain ketika sesorang yang sedang marah bisa
tersenyum ketika disodorkan sirih pinang karena ketika menyodorkan sirih pinang ada tanda
penghormatan dan menghargai sesama. Sirih pinang juga dapat menganganti makanan pokok
seperti kebiasaan masyarakat Sumba khusunya jemaaat di GKS Waingapu selalu mengatakan
lebih baik tidak makan nasi dari pada tidak makan sirih pinang.68
Enam sirih pinang sebagai simbol identitas suautu daerah yang mana menunjukan ciri
khas suatu budaya itu sendiri. Menurut adat istiadat daerah Nusa Tenggara Timur pada
umumnya jalannya upacara pada upacara adat di Nusa Tenggara Timur, sirih pinang dengan
tembakau digunakan sebagai persembahan/sajian.69
Sirih pinang bagi masyarakaat Nusa
Tenggara Timur dipakai untuk keperluan adat sebagai simbol untuk mempersatukan orang-
orang yang ada pada upacara adat baik itu di kematian dan perkawinan, sirih pinang juga
sering dipakai oleh tua-tua adat untuk melihat baik dan tidak nya segala sesuatu yang terjadi
kedepan entah itu kelahiran, waktu acara panen padi di sawah dan lain-lain. Bagi masyarakat
Sumba khusunya jemaat Waingapu menggunakan sirih pinang dalam acara adat agar tidak
membeda-bedakan status dari pada orang mampu dan orang yang tidak mampu, dengan kata
lain tidak membedakan miskin dan kaya semua sama.
Tujuh sirih pinang sebagai tanda kedewasaan seseorang dalam cara berpikir untuk
menghargai sesama, karena ketika seseorang memakan dan menyodorkan sirih pinang kepada
sesama itu artinya sesorang sudah bisa menghargai, menghormati, menerima, dan mengasihi
orang lain dengan apa yang ia miliki, jelas disini bahwa sirih pinang tidak hanya untuk
sekedar makan dan menyodorkan kepada sesama, akan tetapi sirih pinang juga memiliki
banyak nilai-nilai positif bagi masyarakat Sumba khususnya jemaat GKS Waingapu. Sirih
pinang juga digunakan sebagai oleh-oleh atau cinderamata bagi orang yang ada diluar pulau
Sumba.
68
Umbu Pura Wora, Sejarah, Musyawarah dan Adat Istiadat Sumba Timur, (Kupang: Pemerintah
Daerah Kabupaten Sumba Timur, 2007), hal 314. 69
DepertemenPendidikan Dan Kebudayaan Pusat Penilitian Sejarah Dan Budaya Proyek
PenilitianSejarah Dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Adat istiadat Daerah Nusa Tenggara Timur , (Jakarta :
1981) hal 68.
23
Pada akhirnya penulis melihat bahwa sirih pinang sebuah sajian tradisional bagi
masyarakat Sumba khususnya jemaat Waingapu yang mana sirih pinang dipakai sebagai alat
dalam kehidupan sehari-hari karena memiliki nilai-nilai luhur yang dapat mempersatukan
sesama diantara keberagaman yang ada di konteks jemaat waingapu dan sebagai simbol
pemersatu, penerimaan, penghormatan, tanda kasih, komunikasi, tidak membedakan lagi
status sosial yang ada, dan sebagai simbol cinta kasih yang dibangun lewat sirih pinang.
V. Kesimpulan dan Saran.
Berdasarkan hasil analisa data teoritis dan penelitian di lapangan, penulis dapat
memberikan kesimpulan sebagai berikut.
Kehidupan jemaat GKS Waingapu sangat kuat dipengaruhi oleh budaya karena
memiliki nilai-nilai luhur yang sangat tinggi, begitu juga dengan relasi sosial antara sesama
dan pola pikir tradisional juga sudah terbawa dalam pertemuan antara sesama dengan
kehidupan modern saat ini. Hal ini terbukti dengan adanya sirih pinang sebagai makanan khas
dari budaya tradisional yang masih ada dan sangat kuat nilai-nilai yang ada dalam makan
sirih pinang bersama sehingga dipertahankan sampai saat ini.
Penghayatan akan iman Kristen dan sikap terhadap sirih pinang sebagai simbol yang
mempersatukan dan tanda penghormatan menunjukkan bahwa iman Kristen itu berinteraksi
dengan relasi sosial dan budaya sehingga kita tidak dapat menolak budaya yang ada di
tengah-tengah kehidupan kekristenan, karena kekristenan adalah bagian dari budaya itu
sendiri. Hal ini diperjelas dengan sebuah kebiasaan, ketika sebelum ibadah rumah tangga
dimulai atau acaran syukuran dimulai pasti sirih pinang selalu disuguhkan terlebih dahulu
karena di sisi lain bisa saja sirih pinang disuguhkan untuk para tamu sebagai tanda awal
pembicaraan penghargaan, penerimaan, penghormatan dan sebagai tanda bahwa tuan rumah
menerima tamu yang datang dengan kasih kepada sesama seperti yang diajarkan dalam
agama Kristen.
Penulis di sini berpendapat dan memberikan saran kepada jemaat GKS Waingapu
untuk lebih mempertahankan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam makan sirih pinang
bersama. Sirih pinang sendiri sangat kaya akan makna untuk kehidupan jemaat GKS
Waingapu.
24
Lebih lanjut lagi bahwa gereja mempunyai tugas untuk terus memberikan
pemahaman agar tradisi atau budaya-budaya lokal yang telah ada dan berbaur dengan budaya
modern tidak menyimpang dari ajaran gereja, akan tetapi gereja dapat terus memberikan
perhatian, pendampingan, dan pelayanan terhadap simbol-simbol yang ada dalam masyarakat
sehingga bisa ditransformasi untuk tugas dan panggilan gereja selama ada ditengah-tengah
bumi ini.
25
Daftar Pustaka
Alisjahbana, T.Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia di Lihat dari Jurusan Nilai-
Nilai,Jakarta: 1977.
Arikunto, S. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik,Rineka Cipta, Jakarta 2010.
Badudu, J.S dan Zain S.M. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
2001
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: PT. Gramedia, 2000.
DepertemenPendidikan Dan Kebudayaan Pusat Penilitian Sejarah Dan Budaya Proyek
PenilitianSejarah Dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.Adat istiadat Daerah Nusa
Tenggara Timur , Jakarta. 1981
Dillistone. F. W. The Power Of Symbols. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
D, F, Wellem. Injil dan Marapu, Gunung Mulia, Jakarta. 2004
Eliade, Mircea. The Secret and The Profane: The Nature Religions. Terjemahan Nuwanto,
Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002.
Engel, J, D. Metodologi Penelitian Sosial dan Teologi Kristen,Widya Sari, Salatiga. 2005
Firth, Raymond. Symbols: Public and Private. Allen and Unwin, 1973.
Herusatoto, Budiono. Simbolisme Jawa. Yogyakarta: Ombak, 2008.
Kana, L, Nico.Dunia Orang Sawu,Sinar Harapan, Jakarta. 1983.
Kapita, Oe, H. Sumba di dalam jangkuan Jaman, BPK Gunung Mulai, Jakarta. 1976
Lonergen, Bernard. Method In Theology. Darton: Longman and Todd, 1972.
Nawawi. Metode Penelitian Bidang Sosial, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. 2004
26
Perhimpunan Sekolah-Sekolah Theologia Di Indonesia, Bertheologia dengan lambang-
lambang dan citra-citra rakyat, Salatiga, Juni 1992.
Proyek Penilitian Dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan Dan
Kebudayaan, Adat Isiadat Daerah Bengkulu. 1977.
Saleh, Widdwissoeli M. Hari Raya Dan Simbol Gerejawi. Yogyakarta:Taman Pustaka
Kristen. 2008
Wara, L, Yanuarius. Widiarto, T. Purwiyastuti, W. Tradisi Belis Dalam Upacara Perkawinan
Dan Perubahan Sosial, Budaya, Ekonomi, Masyarakat Sumba Barat Daya, Widya Sari Press,
Salatiga. 2005
Wora, U, Pura. Sejarah, Musyawarah dan Adat Istiadat Sumba Timur, Pemerintah Daerah
Kabupaten Sumba Timur, Kupang. 2007.