39
i Kajian Sosio-Teologis terhadap Makna Metafora Domba, Gembala dan Kandang dalam Natoni Penerimaan Pendeta di GMIT Siloam Oelomin Oleh, AKWILA PRISKA IBU (712015005) TUGAS AKHIR Diajukan kepada Program Studi: Teologi, Fakultas: Teologi guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains Teologi (S.Si Teol) FAKULTAS TEOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2019

Kajian Sosio-Teologis terhadap Makna Metafora Domba

  • Upload
    others

  • View
    39

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kajian Sosio-Teologis terhadap Makna Metafora Domba

i

Kajian Sosio-Teologis terhadap Makna Metafora Domba, Gembala dan

Kandang dalam Natoni Penerimaan Pendeta di GMIT Siloam Oelomin

Oleh,

AKWILA PRISKA IBU

(712015005)

TUGAS AKHIR

Diajukan kepada Program Studi: Teologi, Fakultas: Teologi

guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana

Sains Teologi (S.Si Teol)

FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2019

Page 2: Kajian Sosio-Teologis terhadap Makna Metafora Domba

ii

Page 3: Kajian Sosio-Teologis terhadap Makna Metafora Domba

iii

Page 4: Kajian Sosio-Teologis terhadap Makna Metafora Domba

iv

Page 5: Kajian Sosio-Teologis terhadap Makna Metafora Domba

v

Page 6: Kajian Sosio-Teologis terhadap Makna Metafora Domba

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas pertolonganNya

melalui hikmat dan kesehatan yang diberikan sehingga penulis dapat

menyelesaikan Tugas Akhir ini yang berjudul “Kajian Sosio-Teologis terhadap

Makna Metafora Domba, Gembala dan Kandang dalam Natoni Penerimaan

Pendeta di GMIT Siloam Oelomin”. Penulis juga mengucap syukur kepada Tuhan

karena atas kasihnya penulis dapat menyelesaikan studi di Universitas Kristen

Satya Wacana.

Tugas Akhir ini ditulis untuk memenuhi syarat dalam memperoleh gelar

Sarjana Sains dalam bidang Teologi (S.Si-Teol) pada Fakultas Teologi di

Universitas Kristen Satya Wacana. Penulis berharap agar karya tulis ini dapat

bermanfaat dan juga menambah wawasan bagi pembaca mengenai makna budaya-

budaya yang digunakan dalam ranah gereja secara khusus Makna bahasa

gambaran yang digunakan dalam Natoni penerimaan pendeta.

Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada Universitas Kristen Satya

Wacana yang telah menjadi tempat bagi penulis untuk menambah wawasan dan

mendapatkan berbagai pengalaman indah. Selain itu penulis tidak lupa untuk

mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan

dukungan kepada penulis sehingga tulisan ini dapat diselesaikan dengan baik.

Mereka diantaranya ialah:

1. Kedua orang tua, Bapa Yehezkial Ibu (Pak Yes) dan Mama Debora Mau

(Ain Deby) yang selalu memberikan dukungan dan selalu memberikan doa

dan kasih sayang kepada penulis. Kepada kedua kakak tercinta, Adonia

Ibma Ibu dan Deki Ishak Ibu yang selalu memberikan dukungan kepada

penulis. Kepada Nenek terkasih Yemima Ibu-Tuan dan Bapak Defris Ibu

beserta keluarga yang selalu memberikan motivasi bagi penulis.

2. Untuk Wali Studi, Pdt. Agus Supratikno M.Th (Daddy Agus) dan Ibu yang

sudah menjadi orang tua di Salatiga dan selalu mendukung penulis dalam

menyelesaikan studi dengan baik.

Page 7: Kajian Sosio-Teologis terhadap Makna Metafora Domba

vii

3. Kedua pembimbing, Pdt. Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo dan Pdt. Dr. Tony

Tampake yang dengan penuh kesabaran dalam membimbing dan

mengarahkan serta menyediakan waktu bagi penulis dalam

menyelelasikan Tugas Akhir ini.

4. Seluruh Dosen Fakultas Teologi UKSW, Ibu Budi selaku TU dan seluruh

staff atas dukungan dan pelayanan bagi mahasiswa.

5. Kepada GKI Salatiga yang sudah menjadi tempat bagi penulis untuk

belajar bersama melalui Praktik Pendidikan Lapangan (PPL) I-VIII secara

khusus bagi Bapak Lukas Sukan yang sudah menjadi Supervisor Lapangan

selama penulis melaksanakan PPL I-VIII di GKI Salatiga.

6. Kepada pihak Panti Asuhan Terang Anak Bangsa yang sudah menjadi

tempat bagi penulis untuk belajar bersama selama PPL IX.

7. Kepada seluruh jemaat GMIT Maranata SoE yang sudah menjadi tempat

bagi penulis untuk belajar melalui Praktik Pendidikan Lapangan X dan

kepada Ibu Pdt. Arni Kitu-Neolaka beserta keluarga yang sudah menjadi

keluarga bagi penulis selama melaksanakan PPL X di SoE.

8. Ibu Pdt. Akriana Tallo-Manafe dan seluruh Majelis dan Jemaat GMIT

Siloam Oelomin yang sudah memberikan kesempatan dan membantu

penulis dalam melaksanakan penelitian.

9. Kepada kedua Emak, Jellyan Alviani Awang S.Si-Teol dan Norma Selfi

Tanaem S.Si-Teol yang selalu ada dan menemani penulis dari awal

perkuliahan dan atas segala kebaikan serta pengertiannya bagi penulis.

Kepada Sri Yulianti Bertha Atacay S.Si-Teol yang sudah berjuang

bersama selama penulisan Tugas Akhir dan juga kepada Inger, Filda, Elan,

Inggrid dan Esty yang sudah menjadi saudara di tanah rantau.

10. Kepada saudara-saudari MANEK tercinta yang selalu mendukung dan

menjadi tempat untuk berbagi suka dan duka dan juga menjadi tempat

ternyaman yang selalu dirindukan saat berada di tanah rantau.

11. Kepada TERALIM tercinta, Yanuaria Dolvi Mau (Dolpin), Rila Fila

Delfia Yati Merukh (Rikuss), Melda Glades Tiran (Meltus), Novembry

Prilia Nona Naency Amtiran (Ma Neny), dan Mike Jendriani Leni (Mikus)

Page 8: Kajian Sosio-Teologis terhadap Makna Metafora Domba

viii

yang sudah menjadi saudara yang selalu memberikan dukungan dan

motivasi bagi penulis selama penulis menuntut ilmu.

12. Kepada orang terdekat Julio Eleazer atas segala dukungan, pengertian,

semangat dan doa sehingga penulis bisa melewati masa pendidikan ini

dengan baik dan juga kepada Geng UNOku Korina, Agya, Unyil dan Juna

yang selalu menemani mengisi waktu kosong untuk becanda bersama.

Page 9: Kajian Sosio-Teologis terhadap Makna Metafora Domba

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. ii

PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT ................................................................. iii

PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES ...................................................... iv

PERNYATAAN BEBAS ROYALTI DAN PUBLIKASI ................................. v

KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi

DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix

MOTTO ................................................................................................................ x

ABSTRAK ........................................................................................................... xi

1. Pendahuluan ............................................................................................. 1

2. Landasan Teori ......................................................................................... 8

2.1 Definisi Metafora ................................................................................ 8

2.2 Jenis-jenis Metafora ........................................................................... 9

2.3 Semiotika ........................................................................................... 10

2.4 Bahasa ............................................................................................... 11

3. Hasil Penelitian ....................................................................................... 13

3.1 Gambaran Umum Jemaat GMIT Siloam Oelomin ...................... 13

3.2 Pemaknaan Metafora dalam Natoni ............................................... 15

4. Analasis ................................................................................................... 20

5. Penutup.................................................................................................... 24

5.1 Kesimpulan ....................................................................................... 24

5.2 Saran .................................................................................................. 25

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 26

Page 10: Kajian Sosio-Teologis terhadap Makna Metafora Domba

x

MOTTO

“Do the best and pray. God

will take care of the rest”

“Diberkatilah orang yang

mengandalkan TUHAN, yang menaruh

harapannya pada TUHAN!”

Yeremia 17: 7

Page 11: Kajian Sosio-Teologis terhadap Makna Metafora Domba

xi

Abstrak

Tradisi natoni merupakan suatu ritual yang memiliki makna bagi suku Meto.

Natoni sebagai tradisi suku Meto, seringkali digunakan dalam berbagai upacara-

upacara tertentu. Bagi suku Meto, natoni merupakan suatu hal yang sakral karena

berkaitan dengan para dewa. Dalam upacara penyambutan, natoni digunakan

sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan kepada orang lain. Penelitian ini

bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisa pemahaman jemaat GMIT

Siloam Oelomin mengenai makna metafora domba, gembala dan kandang, yang

digunakan dalam natoni penerimaan pendeta. Metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan

teknik pengumpulan data yaitu wawancara mendalam. Hasil dalam penelitian ini,

ditemukan bahwa jemaat Siloam Oelomin memaknai metafora-metafora dalam

natoni penerimaan pendeta adalah berdasarkan pengalaman orang tua adat suku

Meto dengan kehidupan mereka. Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa

pemahaman jemaat Siloam Oelomin terhadap kehadiran metafora dalam natoni

penerimaan pendeta sesungguhnya digunakan berdasarkan ilustrasi dalam Alkitab

yang menceritakan tentang domba dan gembala. Berdasarkan pemahaman

tersebut, jemaat menuangkannya dalam tradisi natoni yaitu berupa syair-syair

dengan metafora. Berdasarkan pemahaman metafora domba, gembala dan

kandang, jemaat memaknainya sebagai sebuah contoh bagi mereka untuk

diterapkan di dalam kehidupan berjemaat di Siloam Oelomin.

Kata Kunci: Tradisi Suku Meto, Natoni, Makna Metafora, Penerimaan Pendeta.

Page 12: Kajian Sosio-Teologis terhadap Makna Metafora Domba

1

Latar Belakang

Bahasa merupakan hal yang sangat penting bagi manusia, karena bahasa

adalah media bagi manusia untuk mengungkapkan pikiran-pikiran, pendapat,

bahkan emosi dan juga keyakinan batin. Manusia memerlukan bahasa untuk

berinteraksi atau berkomunikasi dengan sesama manusia.1 Dalam penggunaan

bahasa, manusia menggunakannya berdasarkan corak geografis. Dua model

bahasa yang sering digunakan dalam masyarakat yaitu: bahasa sehari-hari dan

bahasa ritual. Bahasa sehari-hari pada umumnya, menggunakan konsep yang

sederhana dan digunakan pada pergaulan umum masyarakat sedangkan bahasa

ritual menggunakan konsep yang lebih tinggi dan bersifat sakral yang biasanya

digunakan dalam upacara-upacara resmi. Hal ini bukan berarti bahwa bahasa

ritual hanya bersifat formal, tetapi dipercaya bahwa ada hubungannya dengan

pemahaman kosmis dan mistis. Sebagai hal yang sakral, bahasa dipercaya sebagai

sebuah permohonan kepada dewa langit (uis neno), para arwah orang mati atau

para leluhur dan juga kepada dewa bumi (uis pah).2 Oleh karena itu sebagai

sebuah permohonan, bahasa ritual yang diungkapkan dalam suatu upacara

tertentu, diyakini oleh masyarakat bahwa para leluhur atau nenek moyang juga

turut mendengarkan.

Masyarakat di Timor secara khusus suku Meto memiliki kedua model

bahasa tersebut. Model pertama, disebut Bahasa Meto (uab meto) yang sering

digunakan untuk keseharian masyarakat Meto dan model kedua, secara umum

dikenal sebagai natoni atau bahasa tutur adat. Namun, suku Meto tidak hanya

memiliki satu dialek saja, dikarenakan suku Meto yang tersebar di berbagai

wilayah di Pulau Timor. Sehingga mengakibatkan di masing-masing tempat atau

wilayah mempunyai penyebutan yang berbeda. Sebagai contoh, pada daerah

Timor Tengah Selatan (TTS) memiliki penyebutan yaitu natoni sedangkan di

daerah Kupang bagian Barat memiliki penyebutan yang lain yaitu Slamat3. Selain

itu, pada daerah Amarasi memiliki penyebutan yaitu Sramat/ A’asramat4.

1 Bowo Hermaji, Teori dan Metode Sosiolinguistik (Salatiga: Widya Sari Press, 2011), 21. 2 Petrus Ana Andung, “Komunikasi Ritual Natoni masyarakat Adat Boti Dalam di Nusa Tenggara

Timur”, Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 8, Nomor 1 (Januari-April 2010): 39. 3 Slamat merupakan bahasa daerah suku Meto bagian Kupang untuk Natoni. 4 Sramat/ A’asramat merupakan bahasa daerah Amarasi untuk Natoni.

Page 13: Kajian Sosio-Teologis terhadap Makna Metafora Domba

2

Berdasarkan perbedaan tersebut, penyebutan yang paling umum dikenal oleh

masyarakat suku Meto yaitu Natoni. Selain itu, perbedaan lainnya yaitu pada

dialek dan aksen bahasanya. Pada Natoni dan Slamat kurang lebih memiliki

kesamaan karena syair-syairnya menggunakan bahasa Meto (uab meto) sedangkan

untuk Sramat/ A’asramat sendiri berisi syair-syair yang juga menggunakan

bahasa Meto (uab meto) dengan versi kotos 5

.

Pada hakekatnya, natoni dipahami sebagai ungkapan pesan yang

dinyatakan dalam bentuk syair-syair kiasan adat yang dituturkan secara lisan oleh

seorang penutur (atonis). Kemudian ditemani oleh sekelompok orang sebagai

pendamping atau pengikut (na he’en) yang ditujukan baik kepada sesama manusia

maupun kepada para arwah orang mati atau dewa. Natoni biasanya dituturkan

dalam upacara adat (upacara adat perkawinan dan kematian) dan juga acara-acara

seremonial lainnya (misalnya saat penyambutan dan pelepasan tamu).6 Natoni

merupakan bahasa ritual adat yang memiliki keunikan tersendiri karena bahasa

yang digunakan adalah bahasa Meto yang terbilang halus dan pengungkapannya

juga sangat berirama, karena bahasa yang dituturkan memiliki intonasi tinggi dan

rendah secara bergantian.7 Ciri utama dari natoni yaitu menggunakan banyak

bahasa gambaran atau metafora, puitis, ritmis, dan terdapat seseorang sebagai

pembicara atau penutur dan terdapat sekelompok orang atau pendamping sebagai

penjawab. Ciri lainnya adalah natoni terjalin dari ungkapan-ungkapan tetap yang

terdiri atas pemajemukan dan penggabungan.8

Pada awal munculnya, natoni dipakai dalam upacara-upacara yang bersifat

seremonial religius yaitu berupa doa-doa kepada arwah orang mati atau para

dewa. Namun, belakangan baru digunakan untuk banyak hal seperti menyambut

tamu atau melepas tamu. Dalam natoni penyambutan dan penerimaan, tujuan

tuturan penerimaan dimaksudkan sebagai bentuk menghormati tamu yang

5 Kotos merupakan bentuk dialek khusus daerah Amarasi. 6 Andung, “Komunikasi Ritual Natoni masyarakat Adat Boti Dalam di Nusa Tenggara Timur,” 37. 7 John Darwis Fallo Dan Fathur Rokhman, “Tuturan Ritual Natoni Adat Masyarakat Etnis Timor

dalam Penyambutan Tamu di Sekolah”, Seloka: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Volume 5,

Nomor 2 (2016): 107. 8 Tarno et al., Sastra Lisan Dawan (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993), 48.

Page 14: Kajian Sosio-Teologis terhadap Makna Metafora Domba

3

berkunjung dalam suatu kelompok masyarakat untuk melaksanakan suatu tugas

tertentu.9

Menurut Mariasusai Dhavamony, tindakan agama ditampakkan dalam

upacara (ritual) atau dapat dikatakan bahwa tindakan dalam agama adalah ritual.10

Bagi masyarakat, ritual dipercaya sebagai sesuatu yang berhubungan dengan yang

ilahi. Masyarakat melaksanakan ritual karena dapat memberikan pemulihan

kembali keseimbangan ketika terjadinya perubahan sikap sosial.11

Kehidupan

masyarakat setelah melakukan ritual, dipercaya dapat sesuai dengan yang mereka

inginkan ketika melaksanakan ritual itu. Ritual natoni sendiri dipercaya oleh suku

Meto bahwa apa yang mereka ungkapkan ada kaitannya dengan para dewa yang

mereka percaya.

Natoni sebagai suatu identitas dari suku Meto, berkaitan dengan ritus-ritus

budaya dan sosial. Sebagai salah satu ritus budaya yang masih dipertahankan oleh

penganutnya, natoni yang merupakan doa kepada arwah orang mati atau para

dewa ini seringkali sulit untuk diterima oleh masyarakat yang sudah memeluk

agama Kristen. Terkadang natoni dianggap sebagai suatu hal negatif yang

bertentangan dengan kehidupan beragama. Namun, pada saat ini dengan adanya

pemahaman-pemahaman baru mengenai ritual sehingga terjadinya perkembangan

bagi jemaat di Timor yaitu para tua adat sering menggunakan natoni untuk

menyambut tamu, menerima dan melepas pendeta dalam masa tugas

pelayanannya.

Penerimaan dan pelepasan pendeta dilaksanakan berdasarkan aturan

sinode tentang periodisasi. Aturan ini terdapat dalam TATA GMIT bagian

PERATURAN POKOK JEMAAT GMIT, Pasal 58 ayat 2 yaitu: Periode

pelayanan majelis jemaat adalah empat tahun.12

Berdasarkan aturan tersebut, pada

saat tertentu jemaat akan melepaskan pendeta yang telah bersama-sama selama

satu atau beberapa periode untuk melakukan pelayanan. Pelepasan pendeta berarti

9 Maglon Ferdinand Banamtuan, “Upaya Pelestarian Natoni (Tuturan Adat) dalam Budaya Timor

Dawan (Atoni Meto)”, Paradigma Jurnal Kajian Budaya, Volume 6, Nomor 1 (2016): 76. 10 Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 167. 11 Dhavamony, Fenomenologi Agama, 176. 12 Majelis Sinode GMIT, “Tata Gereja: Gereja Masehi Injili di Timor 2010 (Perubahan Pertama)”

(Kupang: Majelis Sinode GMIT, 2016), 146.

Page 15: Kajian Sosio-Teologis terhadap Makna Metafora Domba

4

jemaat telah siap untuk menyambut dan menerima seorang pendeta yang baru

untuk melaksanakan pelayanan di jemaat itu. Dalam pelepasan dan penerimaan

itulah jemaat di Timor biasanya sering menggunkan natoni untuk menjalankan

prosesi serah terima tersebut.

Jemaat GMIT Siloam Oelomin juga menjadi salah satu jemaat yang

menggunakan natoni untuk menerima dan melepas pendeta. Dalam penuturannya

saat penerimaan pendeta, natoni mempunyai isi dengan makna yang sangat

mendalam. Biasanya para penutur menyampaikan natoni menggunakan

ungkapan-ungkapan yang bersifat menerima dan siap untuk dipimpin oleh

pendeta yang baru. Seperti contoh penggalan syair dan terjemahan di bawah ini:

Penutur (atonis) Pengikut (na he’en)

Neo tilon in nanan sonaf ne

(Berada di dalam rumah istana)

in nanan

(di dalam)

Ana sul atu knino unu in uis nam in ne

(Seorang yang datang untuk mengajar kami kitab suci dan

Tuhan Allah)

o tuan

(pencipta)

He natukun bib an kase bi tenem nanono ne

(Untuk menggembalakan dan memelihara domba-domba)

Anten

(aman)

An bi tilon bu’I nanam o’ af ne i

(Di tempat di dalam kandang)

in nanan

(yang lain)

Nok ao min am ao ne

(Dengan tubuh yang berminyak dan gemuk)

o leko

(baik)

Ai lo nok mainiknam nok ne

(Kiranya dengan dingin juga)

Oetenes

(sejuk)

Page 16: Kajian Sosio-Teologis terhadap Makna Metafora Domba

5

Penggalan syair natoni di atas adalah mengenai penantian, penerimaan dan

harapan dari jemaat. Hal tersebut merupakan ungkapan isi hati dari seluruh jemaat

yang diwakili oleh penutur natoni. Pada awalnya, menunjukan bahwa kedatangan

seorang pelayan yang baru merupakan penantian dari jemaat. Selanjutnya

dikatakan bahwa bukan kesia-siaan mereka berada di tempat itu. Terlebih lagi

diperjelas oleh sekelompok pendamping atau penjawab yang mewakili seluruh

jemaat di tempat itu. Selanjutnya, menjelaskan penerimaan mereka yang tulus

terhadap pendeta yang baru datang dan diharapkan bahwa dapat menjadi pelayan

yang baik yang melayani dengan sukacita dan melayani seluruh umat atau jemaat

di tempat itu. Ungkapan-ungkapan itu dapat berarti bahwa kehidupan berjemaat

mereka diserahkan seutuhnya agar pelayan yang membawa mereka kepada jemaat

Allah yang sesungguhnya.

Berdasarkan contoh penggalan syair tersebut, natoni bukan hanya sebuah

ungkapan yang berirama tetapi juga berisi ungkapan-ungkapan metafora dan

simbolis yang diambil dari alam. Dalam contoh penggalan natoni di atas, Gereja

dan Persekutuan Orang Kudus digambarkan sebagai satu kandang, rumah/ istana.

Selain itu, menjelaskan Persekutuan yang dipenuhi dengan sukacita dan damai

sejahtera digambarkan sebagai tubuh yang berminyak dan gemuk. Natoni sebagai

ungkapan yang berisi metafora, tentunya memiliki makna yang terkandung.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, metafora adalah pemakaian kata atau

kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan

yang berdasarkan persamaan atau perbandingan.13

Menurut Gorys Keraf, metafora

adalah berupa sebuah analogi yang membandingkan antara dua hal secara

langsung dengan bentuk yang singkat.14

Bagi Lakoff dan Johnson (2003) metafora

dapat digunakan untuk mencerminkan sesuatu hal yang digagas, dialami, dan

dirasakan seseorang dalam kehidupan sehari-hari.15

Dengan demikian, dapat

dikatakan bahwa metafora sebagai ungkapan-ungkapan yang mewakili sesuatu

yang dipikirkan oleh manusia atau berdasarkan pengalaman. Oleh karena itu,

13 Prasuri Kuswarini et al., “Penerjemahan Metafora dalam Saman ke dalam Bahasa Prancis”,

Jurnal Ilmu Budya, Volume 6, Nomor 1 (Juni 2018): 177. 14 Gorys Keraf, “Diksi dan Gaya Bahasa” (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), 139. 15 Sukarno, “Makna dan Fungsi Ungkapan Metaforis dalam Wacana Hukum pada Surat Kabar

Harian Jawa Pos”, Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, Volume 17, Nomor 1 (April 2017):16.

Page 17: Kajian Sosio-Teologis terhadap Makna Metafora Domba

6

dalam natoni jemaat mengungkapkan perasaan atau kehidupan mereka melalui

ungkapan-ungkapan metafora yang digunakan.

Natoni penerimaan pendeta dengan berbagai metafora yang ada, secara

khusus yang diungkapkan dalam contoh syair, menggunakan penggambaran

terhadap jemaat. Penggambaran akan kehidupan jemaat tersebut, para penutur

menggunakan contoh kehidupan ternak secara khusus domba untuk digunakan

dalamnya. Dalam penggunaan itu, mereka meyakini bahwa kehidupan domba-

domba tidak terlepas dari gembala dan juga kandang. Penggunaan tersebut tentu

menyimpan makna bagi jemaat yang ada.

Menurut Jujun Suriasumantri, bahasa merupakan serangkaian bunyi dan

lambang yang membentuk makna.16

Definisi bahasa oleh Alo Liliweri menurut

Social Self Definition, bahasa adalah sistem komunikasi manusia dengan

menggunakan simbol-simbol. Social Self berarti kesadaran yang luar biasa tentang

diri sosial.17

Sehingga dapat berarti bahwa bahasa memiliki makna yang khusus di

mana dapat menjadi kekuatan masa depan, terutama dalam kaitannya dengan

situasi sosial tertentu.18

Natoni dengan gaya bahasa yang unik, tentu mempunyai

makna bagi kehidupan jemaat yang menggunakannya. Oleh karena itu, untuk

melihat makna dari bahasa tentu ada kaitannya dengan simbol-simbol. Menurut

W. J. S. Poerwadarminta, simbol atau lambang ialah sesuatu seperti tanda,

lukisan, perkataan, lencana dan sebagainya, yang menyatakan sesuatu hal atau

mengandung maksud tertentu.19

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, permasalahan yang

akan dibahas dalam penelitian ini adalah: apa makna metafora domba, gembala

dan kandang yang digunakan dalam natoni penerimaan pendeta di GMIT Siloam

Oelomin? Dari permasalahan tersebut, makan tujuan dari penelitian ini adalah

untuk mendeskripsikan makna metafora domba, gembala dan kandang yang

digunakan dalam natoni penerimaan pendeta di GMIT Siloam Oelomin.

16 Muhammad Khoyin, Filsafat Bahasa: Philosophy of Language (Bandung: Pustaka Setia, 2013),

27. 17 Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya (Yogyakarta: LKiS, 2002), 136. 18 Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, 137. 19 Budiono Herususatoto, Simbolisme Jawa (Yogyakarta: Ombak, 2008), 17.

Page 18: Kajian Sosio-Teologis terhadap Makna Metafora Domba

7

Penelitian ini secara khusus memberikan manfaat bagi penulis dan juga

pembaca. Pertama, yaitu manfaat teoritis dalam penelitian ini diharapkan dapat

memberikan kontribusi ilmiah mengenai kebudayaan suku Meto dalam

penerimaan pendeta, sehingga dapat menambah pemahaman baru kepada

pembaca dalam mempelajari budaya-budaya lain. Kedua, manfaat praktis yaitu

memberikan kontribusi bagi jemaat agar dalam penggunaan natoni pada acara

gerejawi, tidak hanya dimaknai sebagai sebuah formalitas. Tetapi jemaat dapat

dengan sungguh-sungguh memahami makna metafora yang digunakan dalam

natoni.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian

kualitatif. Penelitian kualitatif adalah pengumpulan data pada suatu latar alamiah

dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi. Dalam penelitian ini, peneliti

berperan sebagai instrumen kunci.20

Penelitian kualitatif merupakan penelitian

yang bersifat deskriptif karena peneliti harus mendeskripsikan suatu obyek,

fenomena, atau setting sosial yang dituangkan dalam tulisan yang bersifat

naratif.21

Dalam hal ini, akan menjelaskan tentang ungkapan-ungkapan metafora

yang dipakai dalam natoni penerimaan pendeta. Teknik pengumpulan dibutuhkan

untuk menjawab rumusan masalah penelitian.22

Dalam penelitian ini, teknik yang

digunakan untuk mengumpulkan data adalah wawancara (interview). Wawancara

merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan

berhadapan secara langsung dengan informan. Teknik wawancara yang digunakan

dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (in-depth interview) dengan

informan. Wawancara mendalam adalah proses tanya jawab yang dilakukan

sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan.23

Analisis data

merupakan hal yang penting setelah pengumpulan data, karena analisis data

digunakan untuk memecahkan masalah dalam penelitian. Penelitian ini

menggunakan metode analisis data kualitatif yang dilakukan bersamaan dengan

20 Albi Anggito dan Johan Setiawan, Metodologi Penelitian Kualitatif (Sukabumi: CV Jejak, 2018),

8. 21 Anggito, Metodologi Penelitian Kualitatif, 11. 22 Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi & Karya Ilmiah (Jakarta:

Prenadamedia Group), 2010, 138. 23 Noor, Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi & Karya Ilmiah, 139.

Page 19: Kajian Sosio-Teologis terhadap Makna Metafora Domba

8

proses pengumpulan data.24

Teknik analisis data ini menggunakan cara menafsir

atau hermeneutik. Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang

tersedia dari berbagai sumber. Berbagai macam data yang didapatkan dibaca,

dipelajari, ditelaah dan direduksi dengan membuat rangkuman inti. Kemudian

melakukan penafsiran sebagai hasil temuan sementara.25

Metafora dan Semiotika

Definisi Metafora

Metafora dalam Kamus Bahasa Indonesia, merupakan pemakaian kata atau

kelompok kata untuk menyatakan maksud yang lain bukan dengan arti yang

sebenarnya, melainkan sebagai lukisan berdasarkan persamaan atau

perbandingan.26

Aristoteles merupakan filsuf besar Yunani yang menemukan

istilah metafora sebagai pengungkap terhadap konsep abstrak.27

Menurut Gorys

Keraf, metafora adalah sebuah analogi yang membandingkan dua hal secara

langsung dalam bentuk yang singkat. Lakoff & Johnson mendefinisikan metafora

bukan hanya sebagai sebuah bahasa saja tetapi dalam pemikiran dan tindakan, oleh karena itu

metafora ada di dalam kehidupan sehari-hari manusia. Bagi mereka, setiap hal yang dipikirkan dan

dialami pada dasarnya bersifat metaforis.28

Dillistone menjelaskan tentang hubungan metafora dengan kepercayaan terhadap Allah.

Baginya, terdapat hubungan antara metafora dan perumpamaan karena perumpamaan merupakan

suatu peninjauan akan sesuatu yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Pusat perhatian dari

perumpamaan terdapat dalam proses-proses alami yang mengkhususkan pembicaraannya pada

hubungan-hubungan manusiawi. Kegiatan-kegiatan pokok dalam dunia alami merupakan sebuah

gambaran tentang kegiatan Allah yang besar. Dengan demikian menurut Dillistone, metafora

sebagai sesuatu yang diilhami oleh iman kepercayaan akan Allah yang didapatkan dari

pengalaman manusia sehari-hari.29

Jadi, manusia menggunakan metafora untuk menjelaskan

sesuatu yang abstrak. Gambaran akan Allah didapatkan manusia melalui pengalaman mereka

terhadap segala hal yang terjadi di dunia secara alami.

24 Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), 208. 25 Basrowi, Memahami Penelitian Kualitatif, 193. 26 Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008),

950. 27 Marcel Danesi, Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar mengenal Semiotika dan Teori

Komunikasi (Yogyakarta: Jalasutra, 2012), 134. 28 George Lakoff and Mark Johnson, Metaphors We Live By (London: The university of Chicago

Press, 2003), 4. 29 F. W. Dillistone, Daya Kekuatan Simbol: The Power of Symbols (Yogyakarta: Kanisius, 2002),

93-96.

Page 20: Kajian Sosio-Teologis terhadap Makna Metafora Domba

9

Metafora dalam suatu bahasa muncul sebagai faktor-faktor konseptual di

dalam ritual dan simbolisme. Dalam kebudayaan, metafora sering dijadikan

sebagai penunjuk masa lalu sebuah budaya tertentu. Dalam budaya, manusia dapat

menerapkan bahasa metaforis dalam suatu situasi.30

Menurut Danesi, metafora

pada umumnya digunakan sebagai sebuah alat stilistik bahasa. Dalam hal ini,

digunakan oleh para penyair dan penulis untuk membuat pesan-pesan yang ingin

disampaikan menjadi lebih efektif dan berbunga-bunga. Selain itu, metafora

menjadi penting karena metafora merupakan suatu inti dan alasan dari cara

berkembangnya pemikiran-pemikiran abstrak.31

Dengan demikian, metafora hadir

dan digunakan oleh penyair dan penulis untuk memberikan warna dalam tulisan-

tulisan mereka. Selain itu, metafora memberikan jalan bagi hal-hal abstrak agar

dapat menemukan makna dalam setiap hal tersebut.

Jenis-jenis Metafora

Metafora-metafora yang ada di dalam kehidupan manusia, diklasifikasikan

menjadi beberapa jenis. Lakoff & Johnson mengkategorikan metafora dalam 3

jenis yaitu: Metafora Struktural; Metafora Orientasional dan Metafora

Ontologis.32

Pertama, metafora struktural merupakan suatu hal yang dibentuk dalam satu

konsep terstruktur secara metaforis dengan menggunakan hal yang lain.33

Metafora

struktural didasarkan pada korelasi sistematis pengalaman sehari-hari manusia.

Metafora ini memungkinkan untuk mengonseptualisasikan argumen rasional dalam suatu

konsep yang lebih mudah untuk pahami yaitu, konflik fisik. Dalam contoh metafora

struktural oleh Lakoff & Johnson, menjelaskan metafora yang muncul dalam

budaya, namun hal ini tidak didasarkan hanya pada pengalaman fisik dan budaya

karena metafora juga mempengaruhi pengalaman dan tindakan manusia. Jenis

metafora ini memungkinkan manusia untuk bertindak lebih dari sekedar

mengorientasikan konsep mengenai merujuk dan mengukur.34

30 Danesi, Pesan, Tanda, dan Makna, 156, 158. 31 Danesi, Pesan, Tanda, dan Makna, 133. 32 Gunawan Wiradharma dan Afdol Tharik WS, “Metafora dalam Lirik Lagu Dangdut: Kajian

Semantik Kognitif”, Arkhais, Volume 07, Nomor 1 (Januari—Juni 2016): 8. 33 Lakoff and Johnson, Metaphors We Live By, 15. 34 Lakoff and Johnson, Metaphors We Live By, 69.

Page 21: Kajian Sosio-Teologis terhadap Makna Metafora Domba

10

Kedua, berbeda dengan metafora struktural, konsep metafora orientasional

tidak menyusun satu hal dengan hal yang lainnya melainkan mengatur seluruh

sistem konsep yang berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Dalam metafora

orientasional, konsep metaforis yang terjadi tidak muncul dengan sendirinya melainkan

muncul didasarkan pada pengalaman fisik dan budaya manusia. Namun, metafora

orientasional dalam setiap budaya tidak semuanya memiliki kesamaan, dalam hal ini

terdapat variasi antara satu budaya ke budaya yang lainnya.35

Ketiga, metafora ontologis disebut juga metafora entitas dan substansi, yang sama

dengan lainnya bahwa pengalaman manusia menyebabkan munculnya metafora.

Berdasarkan pengalaman itu, manusia dapat mengidentifikasi sebagai entitas atau

substansi. Dengan demikian, dapat merujuknya, mengelompokkannya, dan

mengukurnya sesuai dengan konsepnya. Dalam hal ini, pengalaman manusia dengan

objek fisik (berkaitan dengan tubuh manusia) memberikan dasar bagi metafora ontologis.

Jenis metafora ini, menunjukkan bahwa peristiwa, aktivitas, emosi dan ide dilihat sebagai

entitas dan substansi.36

Berdasarkan setiap jenis metafora yang dikemukakan oleh Lakoff & Johnson, dijelaskan

sama seperti pada maknanya bahwa metafora-metafora sangat berkaitan erat dengan pengalaman

manusia sehari-hari. Dalam setiap pengalaman manusia, dapat menghasilkan konsep metafora.

Metafora-metafora yang dikenal, ada di dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, dalam

kehidupan manusia dapat dikatakan sebagai perjalanan metaforis.37

Semiotika

Kata semiotik berasal dari kata Yunani yaitu semeion yang berarti tanda. Berdasarkan

pengertian tersebut, maka semiotika merupakan ilmu tanda. Semiotika adalah suatu cabang ilmu

yang berurusan dengan pengkajian tanda dan semua hal yang berhubungan dengan tanda seperti

sistem tanda dan proses yang berlaku.38

Menurut Hoed, dalam buku Semiotika: Teori, Metode,

dan Penerapannya dalam Penelitian Sastra, bahwa semiotik adalah ilmu yang mengkaji setiap

tanda yang ada dalam kehidupan manusia. Hal ini memberikan arti bahwa semua yang hadir di

dalam kehidupan manusia dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus diberikan makna.39

Menurut Berger, kata-kata merupakan hal yang terpenting dari semua jenis tanda. Kata-kata

digunakan sebagai tanda dari suatu konsep atau ide, dalam hal ini mengungkapkan bahwa tujuan

35 Lakoff and Johnson, Metaphors We Live By, 15. 36 Lakoff and Johnson, Metaphors We Live By, 26. 37 Danesi, Pesan, Tanda, dan Makna, 158. 38 Jafar Lanowa, Nila Mega Marahayu dan Muh. Khairussibyan, Semiotika: Teori, Metode, dan

Penerapannya dalam Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Deepublish, 2017), 1. 39 Lanowa, Nila Mega Marahayu dan Muh. Khairussibyan, Semiotika, 3.

Page 22: Kajian Sosio-Teologis terhadap Makna Metafora Domba

11

komunikasi sebagai tanda yang bermakna sesuatu.40

Komaruddin Hidayat, menjelaskan bahwa

bidang kajian semiotik atau semiologi yaitu mempelajari fungsi tanda dalam teks, yaitu bagaimana

dapat memahami sistem tanda dalam sebuah teks yang berperan dalam membimbing pembaca

sehingga dapat menangkap pesan yang terkandung di dalamnya.41

Dalam bidang semiologi, beberapa tokoh mengemukakan bahwa terdapat

dua hal penting dibidang ini yaitu makna denotasi dan makna konotasi.42

Menurut

Pierce, makna denotasi, yaitu mencatat semua tanda visual yang ada. Misalnya,

ada gambar manusia, binatang, pohon, rumah. Warnanya juga dicatat, seperti

merah, kuning, biru, putih, dan sebagainya. Pada tahapan ini hanya informasi data

yang disampaikan.43

Sedangkan makna konotasi menurut Pierce, bahwa makna

konotasi meliputi semua signifikansi sugestif dari simbol yang lebih daripada arti

referensialnya. Dalam makna konotasi, manusia membaca yang tersirat. Seperti

contoh, gambar wajah orang tersenyum, dapat diartikan sebagai suatu keramahan,

kebahagiaan.44

Saussure mengemukakan bahwa, makna tidak terdapat pada unsur itu

sendiri, melainkan ditemukan dalam unsur yang lainnya. Dalam kebudayaan,

semua makna budaya diciptakan dengan simbol-sombol. Semua hal mengenai

simbol melibatkan tiga unsur: Pertama, tentang simbol itu sendiri. Kedua,

mengenai satu rujukan atau lebih. Ketiga, mengenai hubungan antar simbol

dengan rujukan. Semua hal tersebut merupakan sebuah dasar bagi keseluruhan

makna simbolik. Sementara itu, simbol sendiri meliputi apapun yang dapat

dirasakan atau dialami.45

Bahasa

Bahasa adalah alat interaksi manusia antara individu dengan individu dan

kelompok dengan kelompok. Oleh karena itu, bahasa memiliki peran penting

dalam kehidupan manusia. Fungsi bahasa bagi manusia yaitu sebagai

40 Arthur Asa Berger, Pengantar Semiotika: Tanda-Tanda dalam Kebudayaan Kontemporer,

(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2010), 1. 41 Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik,

dan Analisis Framing, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), 106. 42 Berger, Pengantar Semiotika, 65. 43 Sumbo Tinarbuko, “Semiotika Analisis Tanda pada Karya Desain Komunikasi Visual”, Jurnal

Desain Komunikasi Visual, Volume 5, Nomor 1 (Januari 2003): 37. 44 Tinarbuko, “Semiotika Analisis Tanda pada Karya Desain Komunikasi Visual”, 37. 45 Tinarbuko, “Semiotika Analisis Tanda pada Karya Desain Komunikasi Visual”, 36.

Page 23: Kajian Sosio-Teologis terhadap Makna Metafora Domba

12

penyampaian pikiran, ide, maupun gagasan kepada orang lain.46

Meskipun

penuturan bahasa yang bermacam-macam namun bentuknya tetap satu bahasa

yang sama, seperti idiolek, dialek, sosiolek, register atau style.47

Menurut

Halliday seperti yang ditulis dalam buku Analisis Teks Media, fungsi bahasa

antara lain; fungsi ideasional, untuk membentuk, mempertahankan dan

memperjelas hubugan di dalam anggota masyarakat; fungsi interpersonal, sebagai

penyampaian informasi diantara anggota masyarakat dan fungsi tekstual yaitu,

untuk menyediakan kerangka, pengorganisasian diskursus yang sangat relevan

dengan situasi.Halliday menyatakan, bahwa manusia menggunakan bahasa

sebagai penggambaran akan pengalamannya tentang proses, orang-orang, objek,

abstraksi, kualitas keadaan dan hubungan antara dunia sekitar manusia dan dunia

dalam manusia.48

Manusia menggunakan bahasa sesuai dengan situasi atau keadaan yang

ada. Dalam hal ini jenis-jenis gaya bahasa yang digunakan yaitu bahasa resmi/

formal, bahasa tidak resmi/ informal dan bahasa percakapan/ pergaulan sehari-

hari. Bahasa resmi biasanya dipergunakan dengan baik dalam kesempatan resmi

seperti amanat kepresidenan, berita Negara, khotbah mimbar, upacara keagamaan

dan pidato-pidato.49

Berbeda dengan bahasa resmi, bahasa tidak resmi merupakan

gaya bahasa yang standar yang digunakan dalam kesempatan tidak formal seperti

dalam karya-karya tulis.50

Sedangkan untuk bahasa percakapan/ bahasa pergaulan

biasanya digunakan dalam pergaulan sehari-hari yaitu dengan kata-kata

polpuler.51

Penggunaan metafora dalam sebuah bahasa adalah sebagai alat untuk

membuat pesan yang disampaikan menjadi lebih efektif ketika disampaikan.52

Dalam arti metaforis, istilah bahasa merujuk pada bagaimana cara berkomunikasi

atau berkontak. Dalam hal ini, yang merujuk pada simbol-simbol yaitu melalui

46 John Darwis Fallo Dan Fathur Rokhman, “Tuturan Ritual Natoni Adat Masyarakat Etnis Timor

dalam Penyambutan Tamu di Sekolah”, Seloka: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Volume 5,

Nomor 2 (2016): 47 A. Chaedar Alwasilah, Sosiologi Bahasa”, (Bandung: Angkasa, 1989), 65. 48 Sobur, Analisis Teks Media, 17. 49 Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, 117. 50 Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, 118. 51 Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, 120. 52 Danesi, Pesan, Tanda, dan Makna, 133.

Page 24: Kajian Sosio-Teologis terhadap Makna Metafora Domba

13

gerak-gerik seseorang atau pada gambar/ visual.53

Dengan demikiaan, bahasa juga

dapat disebut sebagai suatu sistem simbol. Bahasa sebagai sistem simbol sangat

penting dalam sebuah komunikasi. Dalam hal ini, bahasa akan dapat berfungsi

ketika semua konsep diungkapkan lewat kesatuan dan hubungan yang bervariasi

dari sistem simbol itu dimiliki secara bersama oleh penutur dan penanggap tutur.54

Gambaran Umum Jemaat GMIT Siloam Oelomin

GMIT Siloam Oelomin merupakan jemaat yang terletak di daratan Timor,

Kota Kupang bagian Barat di Desa Oelomin. Dengan demikian, GMIT Siloam

Oelomin terdaftar dalam jemaat Klasis Kupang Barat. Jemaat ini didirikan pada

tanggal 8 November 1964. Pada awal berdirinya, GMIT Siloam Oelomin belum

mempunyai pendeta menetap. Oleh karena itu, disebutkan bahwa pendeta pertama

yang melayani di jemaat ini adalah Bpk. Pdt. Yonatan Obaja Selan yang melayani

selama 2 tahun. Namun, pada awalnya masih terdiri dari 6 Mata Jemaat55

yang

dibentuk menjadi satu wilayah dengan sebutan Wilayah Oelomin. Pada wilayah

ini, Jemaat Siloam Oelomin menjadi pusat atau induk. Terhitung sejak

terbentuknya, GMIT Siloam Oelomin bergabung dengan Wilayah Oelomin

selama 27 tahun. 56

Selama terbentuknya, GMIT Siloam Oelomin hingga saat ini sudah

dilayani oleh 6 pendeta menetap. Pada awalnya, sejak tahun 1964 jemaat ini

masih dilayani oleh Penatua jemaat. Namun, pada saat ibadah tertentu seperti

Sakramen Perjamuan Kudus, Baptisan Kudus dan Pernikahan Kudus, jemaat ini

dilayani oleh pendeta yang diutus dari Wilayah Klasis Kota Kupang. Dengan

demikian, terhitung tahun 1976 hingga saat ini, selama 43 tahun pelayanan

dijalankan oleh beberapa pelayan diantaranya:

1. Bpk. Pdt. Yonatan Obaja Selan, yang melayani dari tahun 1976-1977.

2. Bpk. Pdt. Agustinus B. Holbala, yang melayani dari tahun 1977-2002.

3. Bpk. Pdt. Nikodemus Tullu, yang melayani dari tahun 2002-2003.

53 Sobur, Analisis Teks Media, 43. 54 Alwasilah, Sosiologi Bahasa, 81. 55 Mata Jemaat merupakan penyebutan bagi Jemaat yang belum mandiri atau belum memiliki

Pendeta menetap, sehingga harus bergabung dengan jemaat lainnya. 56 Bapak Hanis, (Majelis Jemaat Siloam Oelomin), wawancara; 20 Agustus 2019.

Page 25: Kajian Sosio-Teologis terhadap Makna Metafora Domba

14

4. Ibu Pdt. Marselina H. E. Saetbana, yang melayani dari tahun 2003-2012.

5. Ibu Pdt. Yuliana F. Tallo-Kameo, yang melayani dari tahun 2012-2019.

6. Ibu Pdt. Akriana J. Kalle Tallo-Manafe melayani pada tahun 2019.

Jemaat Siloam Oelomin menjalankan beberapa ibadah yaitu Ibadah

Minggu, Ibadah Rayon dan Ibadah Kategorial. Ibadah Minggu dilaksanakan 1 kali

ibadah pada pukul 07.00 WITA, sedangkan Ibadah Rayon yaitu ibadah rutin yang

dilaksanakan pada hari Senin dan Kamis. Selain itu, Ibadah Kategorial yang

dilaksanakan sesuai dengan kategori yang ada yaitu Kaum Bapak, Kaum ibu

(Wanita GMIT), Pemuda dan PAR (Pelayanan Anak dan Remaja).57

Menurut warga jemaat, pergantian pendeta seringkali menimbulkan

dinamika karena dalamnya terdapat beberapa jemaat yang setuju dan tidak setuju.

Dinamika itu muncul biasanya karena jemaat sudah merasa senang dengan

pendeta yang lama, baik dalam pelayanannya, kepribadian atau dalam hal lainnya

dari pendeta tersebut. Hal ini membuat jemaat merasa sedih untuk melepaskan

pendeta yang sudah melayani selama 1 periode atau lebih. Perasaan itu muncul

dari kekhawatiran jemaat terhadap pendeta baru yang akan melayani. Mereka

khawatir ketika pendeta yang datang, tidak sesuai dengan apa yang didapatkan

dari pelayan sebelumnya.58

Dalam situasi keharuan, jemaat menggunakan ritual-ritual tradisional

berupa upacara-upacara penyambutan dan pelepasan sebagai penenang

kegelisahan yang dialami jemaat. Dalam upacara-upacara yang dilakukan,

biasanya terdapat ritus adat yaitu natoni. Dalam natoni isinya mengenai pelepasan

dan juga penyambutan/ penerimaan terhadap pendeta dengan menggunakan

berbagai bahasa gambaran di dalamnya. Selain natoni dalam keharuan saat

pergantian pendeta, jemaat Siloam Oelomin juga sering menggunakan natoni

dalam kegiatan lainnya seperti dalam perayaan paskah dan juga hari raya natal.59

57 Bapak Hanis, (Majelis Jemaat Siloam Oelomin), wawancara; 20 Agustus 2019. 58 Bapak Thomas, (Majelis Jemaat Siloam Oelomin), wawancara; 13 Agustus 2019. 59 Bapak Yusak, (Tokoh Jemaat), wawancara; 12 Agustus 2019.

Page 26: Kajian Sosio-Teologis terhadap Makna Metafora Domba

15

Pemaknaan Metafora dalam Natoni penerimaan Pendeta di GMIT Siloam

Oelomin

Di Pulau Timor, masyarakat suku Meto pada umumnya menggunakan 2

bahasa dalam kehidupan bermasyarakat yaitu; bahasa Meto (uab Meto) dan

bahasa resmi/ bahasa adat. Bahasa Meto merupakan bahasa yang digunakan dalam

percakapan dan pergaulan sehari-hari di masyarakat suku Meto. Sedangkan

bahasa resmi yaitu bahasa adat yang digunakan dalam kesempatan resmi seperti

pada upacara-upacara adat, contohnya natoni yang termasuk dalam bahasa resmi

bagi suku Meto yang digunakan pada acara-acara khusus.60

Dalam pelaksanaan

natoni, penutur (atonis) berdiri di depan sebagai pemimpin dan sekelompok

orang sebagai pendamping atau pengikut (na he’en) berbaris di bagian belakang

penutur. Busana yang digunakan dalam prosesi natoni, para penutur dan

pendamping menggunakan pakaian tradisional suku Meto yaitu selimut adat (beti)

dan destar61

(pilu).62

Natoni sebagai salah satu budaya yang menjadi kebiasaan bagi suku Meto,

merupakan sapaan adat yang sejak dahulu sudah digunakan oleh para leluhur.63

Bagi suku Meto, natoni merupakan suatu penghormatan yang sangat mendalam.64

Berdasarkan kebiasaan yang ada, natoni dipahami sebagai suatu penyambutan

yang tulus dari hati atau sebagai sebuah ekspresi diri bagi suku Meto tentang cara

menyambut dan menerima orang lain dengan sopan santun.65

Dalam kebiasaan

ini, natoni digunakan dalam acara masuk minta sebuah perkawinan, kematian, dan

penyambutan.66

Secara khusus, natoni merupakan suatu cerita tentang sejarah

hidup. Natoni perkawinan dan kematian bercerita hal mengenai sejarah awal

sampai terjadinya perkawinan dan kematian. Sedangkan, natoni penerimaan

pendeta menceritakan keadaan yang singkat karena langsung bercerita tentang

keadaan jemaat dengan pendeta yang sudah melaksanakan tugas pelayanan dan

60 Bapak Sias, (Penutur natoni) dan Bapak Tuce, (Tokoh Masyarakat), wawancara; 11 & 19

Agustus 2019 61 Destar merupakan pengikat kepala dari kain batik. 62 Bapak Yusak, (Tokoh Jemaat), wawancara; 12 Agustus 2019. 63 Bapak Yusak, (Tokoh Jemaat), wawancara; 12 Agustus 2019. 64 Bapak Lazarus, (Tokoh Masyarakat), wawancara; 12 Agustus 2019. 65 Ibu Akriana, (Pendeta Jemaat Siloam Oelomin), wawancara; 22 Agustus 2019. 66 Bapak Sias (Penutur natoni), Bapak Yusak (Tokoh Jemaat) dan Bapak Lazarus (Tokoh

Masyarakat), wawancara; 11-12 Agustus 2019.

Page 27: Kajian Sosio-Teologis terhadap Makna Metafora Domba

16

persiapan jemaat untuk menerima pendeta yang akan ditugaskan di jemaat

tersebut.67

Natoni penerimaan pendeta, sudah menjadi tradisi bagi jemaat Siloam

Oelomin. Menurut salah satu majelis di jemaat ini, natoni penerimaan pendeta

sudah digunakan oleh jemaat sejak masuknya pendeta kedua di Siloam Oelomin.

Pada tahun 1977, saat itulah pertama kalinya jemaat ini memakai natoni dalam

prosesi penerimaan pendeta. Jemaat Siloam Oelomin dalam penggunaan natoni

untuk penerimaan pendeta, biasanya dilakukan berdasarkan rapat bersama majelis

untuk mencapai kesepakatan bersama. Bagi mereka ketika menyambut dan

menerima pendeta dengan natoni ternyata memberikan sukacita yang besar,

karena mendapatkan pelayan jemaat yang baru. Selain itu, natoni mempunyai

makna yang sangat mendalam karena bagian isinya terdapat harapan jemaat dan

mereka percaya bahwa dengan adanya pendeta yang baru, pelayanan akan

dibaharui dan berharap bisa membangun iman jemaat.68

Secara umum, natoni yang sudah digunakan oleh para leluhur ini, menjadi

pembelajaran sekaligus pegangan untuk dapat digunakan pada saat ini.69

Dalam

penuturannya, natoni merupakan bahasa yang tidak dapat dituturkan oleh semua

kalangan, karena natoni harus disampaikan oleh orang yang memahami tentang

natoni dan juga bahasa adat.70

Oleh karena itu, para penutur natoni pada saat ini

merupakan orang-orang yang mempelajari dan memaknai natoni dengan tekun

dari para leluhur. Hal tersebut dikarenakan natoni merupakan bahasa adat yang

dipikirkan dan langsung diutarakan secara lisan.71

Natoni penerimaan pendeta, merupakan bahasa yang sakral karena ketika

berbicara mengenai gereja tentu ada kaitannya dengan Tuhan.72

Hal tersebut

memberikan pemahaman bahwa syair-syair dengan metafora yang ada,

menjelaskan antara hubungan manusia dengan Tuhan yang dipercaya bahwa apa

67 Bapak Sias, (Penutur natoni), wawancara; 11 Agustus 2019. 68 Bapak Hanis, (Majelis Jemaat Siloam Oelomin), wawancara; 20 Agustus 2019. 69 Bapak Yusak, (Tokoh Jemaat), wawancara; 12 Agustus 2019. 70 Bapak Filipus, (Tua Adat), wawancara; 14 Agustus 2019. 71 Bapak Sias, (Penutur natoni), wawancara; 11 Agustus 2019. 72 Bapak Filipus, (Tua Adat), wawancara; 14 Agustus 2019.

Page 28: Kajian Sosio-Teologis terhadap Makna Metafora Domba

17

yang disampaikan akan secara langsung tersampaikan kepada Tuhan.73

Jemaat

Siloam Oelomin saat penerimaan pendeta dengan natoni, selalu menggunakan

syair-syair dengan metafora.74

Dalam metafora-metafora yang digunakan seperti

pada contoh:

Penutur (atonis) Pengikut (na he’en)

He natukun bib an kase bi tenem nanono ne

(Untuk menggembalakan dan memelihara domba-domba)

Anten

(aman)

An bi tilon bu’I nanam o’ af ne i

(Di tempat di dalam kandang)

in nanan

(yang lain)

Nok ao min am ao ne

(Dengan tubuh yang berminyak dan gemuk)

o leko

(baik)

Ai lo nok mainiknam nok ne

(Kiranya dengan dingin juga)

Oetenes

(Sejuk)

Metafora-metafora yang digunakan dalam natoni penyambutan pendeta,

menurut pemahaman para penutur bahwa hal tersebut baru muncul belakangan

saat gereja sudah ada. Digunakannya natoni dalam penerimaan pendeta, karena

jemaat sudah merasa senang dengan kehadiran pendeta di tengah mereka dan

bahkan sudah menjadi satu dengan jemaat. Dalam natoni penerimaan pendeta,

jemaat disimbolkan sebagai domba75

dan pendeta disimbolkan sebagai gembala.76

Alasannya, orang tua adat suku Meto menggunakan simbol itu berdasarkan

pengalaman hidup mereka dengan ternak, secara khusus berdasarkan pengamatan

mereka terhadap kambing. Oleh karena itu, mereka mengambil cerita tentang

73 Bapak Sias, (Penutur natoni), wawancara; 11 Agustus 2019. 74 Bapak Filipus, (Tua Adat), wawancara; 14 Agustus 2019. 75 Narasumber menggunakan kata domba juga berdasarkan pemahaman yang didapat dari Alkitab,

karena sebenarnya bagi suku Meto sendiri dahulunya hanya mengenal kambing yang dipercaya sejenis

dengan domba. Pada umumnya digunakan kata domba hanya untuk menyamakan dengan Alkitab. Karena

berdasarkan pemahaman itu, orang tua adat mengganggap domba dan kambing mempunyai kesamaan.

Sedangkan pada penggunaan kata dalam bahasa natoni digunakan kata Bibi an kase di mana kata Bibi

merujuk pada kambing. 76 Bapak Sias, (Penutur natoni), wawancara; 11 Agustus 2019.

Page 29: Kajian Sosio-Teologis terhadap Makna Metafora Domba

18

seluruh kehidupan dari kambing.77

Selain itu, simbol yang digunakan dipercaya

sebagai salah satu cerita yang dipakai berdasarkan cerita Alkitab mengenai domba

dan gembala.78

Dalam penggunaan itu, terdapat sebuah pemaknaan dibaliknya

bahwa domba merupakan salah satu hewan yang tulus dan penurut.79

Oleh karena

itu penggunaan metafora itu merupakan penggambaran tentang keadaan jemaat.

Menurut salah satu jemaat, domba itu dipahami sebagai salah satu hewan yang

sama seperti manusia karena dia menghormati induknya dan juga takut kepada

gembalanya.80

Simbol gembala dan domba menurut salah satu jemaat adalah untuk

memberikan pemahaman bagi jemaat dahulunya. Hal tersebut dikarenakan

kehidupan orang tua adat yang masih kurang mengerti antara kehidupan jemaat

dan pendeta. Sehingga ketika memberikan contoh dari cerita domba dan gembala

ini sebenarnya akan memberikan jemaat pemahaman tentang bagaimana mereka

dapat menjalani hubungan yang sebenarnya antara pendeta dan mereka sebagai

jemaat.81

Dengan demikian, jemaat lebih dapat memaknai tentang kehidupan

mereka dalam berjemaat. Dalam syair “An bi tilon bu’I nanam o’ af ne i... (in

nanan)” (di tempat di dalam kandang…. (yang lain)), hal tersebut menjelaskan

tentang kehidupan dari domba yang tidak terlepas dari kandang. Metafora

kandang dalam natoni, menyimbolkan tempat ibadah atau gereja. Terdapat 2 kata

kandang dalam natoni yang yang menjelaskan 2 arti yang berbeda. Kata “o’ af”

menandakan kandang kecil yang dikhususkan bagi domba-domba. Sedangkan

kata “tilon” menandakan kandang luas dengan banyak pohon rimbun sehingga

menjadi tempat berkumpul dan beristirahat bagi semua jenis ternak.82

Hal tersebut

menjelaskan bahwa dalam pertumbuhan domba dibutuhkan gembala untuk

menggembalakan (He natukun) dan memelihara (nanono ne). Terhadap

pemeliharaan dari gembala, domba-domba seutuhnya akan hidup dengan tubuh

yang berminyak (Nok ao mina) dan tubuh yang gemuk (ao ne).

77 Bapak Sias, (Penutur natoni) dan Bapak Lazarus, (Tokoh Masyarakat), wawancara; 11-12

Agustus 2019. 78 Bapak Yusak, (Tokoh Jemaat), wawancara; 12 Agustus 2019. 79 Bapak Sias, (Penutur natoni) dan Bapak Yusak, (Tokoh Jemaat), wawancara; 11-12 Agustus

2019. 80 Bapak Sias, (Penutur natoni), wawancara; 11 Agustus 2019. 81 Bapak Tuce, (Tokoh Masyarakat), wawancara; 19 Agustus 2019. 82 Bapak Filipus, (Tua Adat), wawancara; 14 Agustus 2019.

Page 30: Kajian Sosio-Teologis terhadap Makna Metafora Domba

19

Berdasarkan syair itu, beberapa orang percaya bahwa hal itu

menggambarkan mengenai keadaan jemaat, di mana kehadiran seorang gembala

atau pendeta sesungguhnya akan menghadirkan sukacita ditengah-tengah

mereka.83

Dalam syair natoni, kandang kecil (o’ af) bagi domba secara khusus

mempunyai makna tersendiri bagi domba-domba sebab, ketika mereka berkumpul

besama-sama dengan ternak lain di kandang yang luas dan rimbun (tilon), untuk

mencari kebahagiaan bersama tetapi sesungguhnya gembala akan menuntun

mereka kembali kepada kandang mereka. Hal tersebut merupakan suatu

pemahaman bahwa jemaat memang mempunyai waktu untuk berada di suatu

lingkungan yang luas bersama-sama dengan yang lainnya, namun pada saatnya

untuk mereka kembali berkumpul di tempat ibadah (o’af) dengan kehadiran

seorang gembala atau pendeta.84

Berdasarkan pemahaman-pemahaman tentang metafora dalam natoni,

terdapat gambaran akan sesuatu hal yang khusus bagi pendeta yang diterima di

jemaat ini. Hal tersebut jelas bahwa penerimaan itu terjadi dengan sukacita,

sebagai bukti bahwa pendeta diterima menjadi bagian dari jemaat dan diajak

untuk saling bekerjasama dalam kehidupan bersama.85

Salah satu tokoh jemaat

menjelaskan bahwa pendeta yang disambut dan diterima merupakan utusan yang

datang atas kebenaran sehingga sangat pantas untuk diberikan penghormatan dan

penghargaan.86

Oleh karena itu, ketika digunakan metafora gembala dan domba

dalam natoni berarti hal tersebut merupakan sebuah kepercayaan besar yang

diberikan untuk dapat menjadi seorang gembala yang dapat menuntun,

membimbing jemaatnya agar dapat bertumbuh di dalam iman. Sehingga

berdasarkan kepercayaan yang diberikan, artinya bahwa seorang gembala dapat

menjaga kepercayaan itu dan melakukan sesuai dengan kemampuan yang dapat

memberikan sukacita dan damai sejahtera kepada jemaat.87

83 Bapak Sias (Penutur natoni), Bapak Lazarus (Tokoh Masyarakat) dan Bapak Hanis (Majelis

Jemaat Siloam Oelomin), wawancara 11-12 & 20 Agustus 2019. 84 Bapak Sias, (Penutur natoni), wawancara; 11 Agustus 2019. 85 Ibu Akriana, (Pendeta Jemaat GMIT Siloam Oelomin), wawancara; 22 Agustus 2019. 86 Bapak Filipus, (Tua Adat), wawancara; 14 Agustus 2019. 87 Ibu Akriana, (Pendeta GMIT Siloam Oelomin), wawancara; 22 Agustus 2019.

Page 31: Kajian Sosio-Teologis terhadap Makna Metafora Domba

20

Analisis Makna Metafora dalam Natoni penerimaan Pendeta di GMIT

Siloam Oelomin

Natoni penerimaan pendeta merupakan sebuah tanda penghormatan dan

penghargaan kepada pendeta. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Hoed dalam

buku Semiotika bahwa segala sesuatu yang hadir di dalam kehidupan manusia dilihat

sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus diberikan makna.88

Pemahaman tersebut

memberikan arti bahwa natoni penerimaan pendeta sebagai sebuah tanda penghormatan

dan penghargaan mempunyai sebuah makna yang terkandung di dalamnya. Sebagai tanda

penghormatan, dapat berarti bahwa orang yang datang dihargai sebagai seseorang yang

dipercaya mampu menjadi teladan bagi mereka. Selain itu, penghargaan dan

penghormatan itu berdasarkan pemahaman bahwa pendeta merupakan seorang utusan

yang datang dan akan membimbing mereka dengan Firman Tuhan. Penghargaan dan

penghormatan kepada pendeta yang diekspresikan jemaat melalui upacara natoni,

merupakan salah satu identitas suku Meto. Sebagai identitas tentunya digunakan dalam

upacara-upacara tertentu sebagai bentuk sopan santun yang ditunjukan mereka melalui

penerimaan terhadap orang lain.

Berdasarkan hasil penelitian, sesuai dengan apa yang terdapat pada

landasan teori tentang metafora oleh Lakoff & Johnson bahwa metafora bukan

hanya sekedar bahasa saja melainkan terdapat dalam pemikiran dan tindakan. Hal itu jelas

bahwa metafora terdapat dalam kehidupan sehari-hari manusia karena bagi mereka, setiap

hal yang dipikirkan dan dialami pada dasarnya bersifat metaforis.89

Dalam hal ini,

metafora yang digunakan dalam natoni sesuai dengan pemahaman narasumber bahwa

metafora gembala dan domba dipakai berdasarkan kehidupan mereka sehari-hari dengan

lingkungan/ alam. Hal lain yang menjadi alasannya bahwa berkaitan dengan latar

belakang kehidupan orang tua adat.

Sejak dahulunya, kebanyakan orang tua adat berprofesi sebagai peternak yang

hidup menggembalakan ternak. Dari hal tersebut mereka jadikan sebagai suatu cerita

sehingga terbentuknya gambaran yang dipakai dalam bahasa adat yaitu dalam natoni. Hal

tersebut juga dapat dipahami sesuai dengan penjelasan tambahan mengenai metafora

menurut Lakoff & Johnson bahwa metafora berkaitan dengan pengalaman sehari-

88 Lanowa, Nila Mega Marahayu dan Muh. Khairussibyan, Semiotika, 3. 89 Lakoff and Johnson, Metaphors We Live By, 4.

Page 32: Kajian Sosio-Teologis terhadap Makna Metafora Domba

21

hari manusia. Artinya, metafora yang dipakai ternyata berdasarkan pengalaman

para leluhur atau orang tua adat.

Perjalanan metafora yang digunakan pada saat ini dalam natoni adalah

berdasarkan pengalaman yang mereka dapatkan dari cerita para leluhur atau orang

tua adat. Dari hal tersebut cerita itu menjadi hal penting karena dimaknai sebagai

pegangan yang ada sampai saat ini dari para leluhur. Dengan adanya cerita

tersebut, akan terus berkembang pada generasi penerus suku Meto untuk terus

dipakai sesuai dengan apa yang didapatkan dari para leluhur.

Pendeta dan jemaat yang disimbolkan sebagai gembala dan domba adalah

berdasarkan apa yang mereka temukan dalam Alkitab. Dalam hal tersebut mereka

dapatkan mengenai seorang gembala dapat juga dapat mempunyai sifat yang sama seperti

Allah. Dalam Alkitab gembala dipakai untuk menggambarkan tentang Yesus. Oleh

karena itu dalam kehidupan jemaat untuk menggambarkan sifat Allah tersebut, mereka

menggunakan gembala sebagai sebuah penggambaran akan pendeta. Pendeta merupakan

seorang utusan yang hadir di tengah-tengah jemaat dengan demikian mereka percaya

bahwa sesungguhnya pendeta dapat menuntun mereka kepada jemaat Allah yang

sesungguhnya. Ketika menggambarkan tentang domba, dipercaya bahwa domba

merupakan seekor hewan yang terkadang berlari-lari sehingga tersesat ke kandang yang

lain. Dari hal ini, dapat dilihat bahwa sesungguhnya domba memerlukan penuntun.

Sehingga ketika domba tersesat, gembala dapat memuntun mereka kembali ke

kandangnya. Dengan adanya kepercayaan itu, diharapkan bahwa gembala dapat menjadi

penuntun dan pemelihara bagi jemaatnya.

Natoni penerimaan pendeta memberikan pengaruh yang besar bagi

kehidupan berjemaat di Siloam Oelomin. Secara khusus, isi natoni dengan

berbagai metafora dalamnya. Penggambaran akan pendeta dan jemaat sebagai

gembala dan domba, sangat berpengaruh untuk kehidupan berjemaat.

Penggambaran itu jemaat terima dan percaya bahwa simbol gembala dan domba

bisa membawa mereka kepada sebuah pemahaman yang baik. Hal tersebut

memberikan manfaat bagi jemaat karena mereka dapat menempatkan diri dalam

kehidupan berjemaat. Layaknya seperti domba yang bergantung kepada gembala

dan selalu mendengarkan suara sang gembala, jemaat menggunakan ilustrasi itu

dalam kehidupan mereka. Selain itu gembala yang pada umumnya dapat

Page 33: Kajian Sosio-Teologis terhadap Makna Metafora Domba

22

menggembalakan, memelihara dan mengarahkan domba-dombanya. Dengan

demikian pendeta yang melayani di jemaat ini, menerima penggambaran tersebut

sebagai sebuah kepercayaan besar yang sangat penting untuk dilakukan dalam

membangun iman jemaat. Penggambaran itu membuat kehidupan berjemaat di

Siloam Oelomin dapat saling menghargai diantara jemaat dan juga dengan

pendeta.

Peran pendeta ketika menjadi seorang gembala sangat penting di tengah-

tengah kehidupan berjemaat dan lingkungan sekitarnya. Kata tilon dalam natoni,

menjelaskan mengenai kandang yang luas dan rimbun. Tempat ini menjadi sebuah

tantangan bagi jemaat, untuk bisa hidup bersosialosasi dengan orang lain

dilingkungan sekitar atau hanya berfokus kepada kelompok mereka di dalam

jemaat. Oleh karena itu, kehadiran pendeta di jemaat ini bisa membawa jemaat

untuk dapat menjalin hubungan yang baik dengan orang lain. Bukan hanya

memperkuat hubungan dalam kandang yang kecil (o’ af), tetapi membawa jemaat

untuk berelasi dengan orang lain di luar dari kehidupan berjemaat di Siloam

Oelomin.

Pemahaman mengenai metafora dalam natoni, sesungguhnya menjelaskan

mengenai hubungan antara Allah dengan manusia. Dillistone dalam buku Daya

Kekuatan Simbol, menjelaskan bagaimana hubungan metafora dengan kepercayaan

terhadap Allah.90

Metafora yang digunakan sebenarnya sudah menjelaskan secara

langsung bagaimana jemaat menggunakannya terus menerus karena mereka percaya

bahwa sesungguhnya Allah menunjukan kuasanya melalui apa yang dialami sehari-hari.

Pengalaman yang dialami dalam kehidupan manusia, sesungguhnya memberikan mereka

sebuah pemahaman khusus bahwa Allah memberikan cerita tentang domba dan gembala

adalah untuk menjelaskan secara nyata mengenai karya Allah bagi jemaat-Nya. Hal

tersebut memberikan pemahaman bahwa Allah menghadirkan dirinya bagi jemaat melalui

sesuatu dalam kehidupan manusia yang alami. Dengan adanya hal tersebut, jemaat

memegang hal itu dan percaya bahwa apa yang mereka gunakan sebagai metafora yaitu

berdasarkan kehadiran Allah dalam kehidupan mereka.

Pemahaman jemaat mengenai metafora gembala dan domba, sesungguhnya tidak

sepenuhnya sesuai dengan keadaan di Timor. Dikatakan demikian karena kehidupan suku

90 Dillistone, Daya Kekuatan Simbol, 93-96

Page 34: Kajian Sosio-Teologis terhadap Makna Metafora Domba

23

Meto di Timor, tidak terdapat ternak jenis domba. Sebab domba tidak pernah

dilihat secara langsung oleh orang tua adat suku Meto. Dalam kehidupan sehari-

haripun mereka hanya menggembalakan dan memberi makan beberapa jenis

ternak seperti sapi, kambing, babi, ayam dan anjing. Oleh karena itu, pemahaman

jemaat mengenai domba, digambarkan dengan salah satu ternak yang sejenis yaitu

kambing. Penggunaan kata Bibi di dalam natoni sebenarnya merujuk pada arti

yang sebenarnya yaitu kambing. Namun, mereka tetap mempertahankan

pemikiran mereka untuk disejajarkan dengan pemahaman di dalam Alkitab. Jadi

dalam kehidupan mereka sebagai gembala, posisi domba digantikan oleh kambing

yang ada di Timor.

Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa pemahaman jemaat

mengenai penggunaan metafora gembala dan domba sesungguhnya didapatkan

berdasarkan pengalaman mereka dengan Alkitab. Secara khusus, memberikan

pemahaman bahwa metafora gembala dan domba didapatkan berdasarkan

ilustrasi-ilustrasi yang mereka temukan dalam Alkitab. Dalam hal ini, meskipun

penggunaan metafora gembala dan domba itu berdasarkan 2 cerita yang

melatarbelakangi, yaitu pengalaman kehidupan sehari-hari dan pengalaman

dengan ilustrasi dalam Alkitab. Tetapi di sini dapat dilihat bahwa cerita Alkitab

mempunyai posisi yang paling kuat dalam mempengaruhi pemahaman jemaat

untuk menggunakan metafora dalam natoni itu. Oleh karena itu, dalam kehidupan

orang tua adat suku Meto, Alkitab mempunyai peranan yang penting dalam

kehidupan mereka. Walaupun kehidupan mereka awalnya belum banyak

memahami akan kisah-kisah dalam Alkitab, namun mereka menerima Alkitab

sebagai sebuah teladan yang utama dalam hidup mereka.

Hal ini menjadi penting untuk dibahas bahwa dalam ritual kebudayaan

yang dipakai sebagai tradisi bagi suku Meto sesungguhnya tidak terlepas dari

pemahaman teologis. Dapat dikatakan demikian, karena berdasarkan pemahaman

awal bahwa jemaat mempertahankan dan mengutamakan kebudayaan di dalam

kehidupan bergereja. Namun hal tersebut sesungguhnya berjalan seimbang

dengan pemahaman Teologis mereka yang mereka dapatkan dari Alkitab.

Sehingga menjadi penting untuk dikatakan bahwa pengaruh kebudayaan tidak

Page 35: Kajian Sosio-Teologis terhadap Makna Metafora Domba

24

membuat jemaat untuk meninggalkan hal-hal dalam kehidupan gereja. Bahkan

sesungguhnya yang menjadi peran penting dalamnya adalah pemahaman jemaat

yang sesungguhnya dipengaruhi oleh kisah atau cerita di dalam Alkitab.

Kesimpulan

Pada umumnya, ritus-ritus yang ada dalam suatu budaya tidak bisa

terlepas dari kehidupan masyarakatnya. Ritual natoni sebagai bagian dari

kebudayaan suku Meto sangat menjadi bagian yang penting dalam kehidupan

mereka. Metafora-metafora yang digunakan oleh para penutur, sebenarnya

menggambarkan bahwa sekalipun mereka sudah menjadi bagian dalam

kekristenan dengan adanya gereja, namun warisan itu masih tetap digunakan

turun-temurun.

Metafora yang digunakan dalam natoni penerimaan pendeta, umumnya

menggambarkan keadaan, harapan, dan isi hati dari jemaat bagi pendeta.

Pemahaman jemaat mengenai penggunaan metafora dalam natoni sesungguhnya,

menjelaskan beberapa hal yang menarik. Ketika jemaat memahami metafora

mengenai gembala dan domba adalah hal yang tidak terlepas dari kehidupan

gereja. Hal tersebut menjelaskan bahwa metafora sebagai pengalaman kehidupan

manusia yang didapatkan dari kehidupan para leluhur. Namun menjadi penting di

sini, bahwa kehidupan masyarakat budaya, tidak terlepas dari kehidupan teologis.

Berdasarkan hasil bahwa sekalipun jemaat menggunakan metafora-metafora

dalam natoni berdasarkan pengalaman, namun hal tersebut tidak terlepas dari

pemahaman mereka akan cerita Alkitab. Dikatakan demikian, karena Alkitab

mempunyai peran penting dalam mempengaruhi pemahaman jemaat yang

disesuaikan dengan kehidupan budaya mereka.

Dari hal tersebut penulis melihat makna yang terkandung dalam natoni

penerimaan pendeta yaitu makna Teologis dan makna Sosiologis. Makna Teologis

dalam natoni penerimaan pendeta dapat dilihat dari pemahamn bahwa ritual ini

sebagai suatu hal yang sakral. Kata skaral dalam natoni merujuk pada pemahaman

mereka bahwa natoni sebagai sebuah doa yang dipanjatkan kepada Tuhan. Isi

natoni juga berdasarkan metafora-metafora yang diambil kisahnya berdasarkan

Page 36: Kajian Sosio-Teologis terhadap Makna Metafora Domba

25

cerita dalam Alkitab. Makna Sosiologis dalam natoni ini, merujuk pada makna

penggunaan natoni itu. Dalam hal ini dapat dilihat berdasarkan bahwa natoni

dalam penerimaan pendeta sangat berkaitan dengan relasi. Relasi antar jemaat dan

pendeta dituangkan dalam natoni, yang diinginkan oleh jemaat pada umunya

pendeta dapat melaksanakan tugas dan dapat bekerjasama dengan baik. Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa natoni merupakan ritual yang menjujung nilai

persaudaraan.

Saran

Sesuai dengan hasil penelitian yang ada, penulis melihat adanya hal-hal

yang diperlukan sebagai saran bagi jemaat yaitu pentingnya pengembangan tradisi

adat suku Meto bagi penerusnya yaitu generasi muda. Dalam pengembangan itu

sangat penting ketika generasi penerus dapat memahami setiap ungkapan-

ungkapan metaforis yang digunakan sehingga perlunya kesesuaian antara keadaan

sekitar. Diakatakan demikian, karena setiap ungkapan perlu untuk dipahami latar

belakangnya. Penting untuk dilihat bahwa natoni merupakan suatu tradisi yang

mempunyai kedudukan dalam suku Meto karena dalam penggunaannya dapat

memberikan makna yang tersirat sehingga perlu untuk dipertahankan sebagai

tradisi yang dapat membangun pemahaman jemaat.

Page 37: Kajian Sosio-Teologis terhadap Makna Metafora Domba

26

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Alwasilah, A. Chaedar. Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa, 1989.

Aminuddin. Semantik: Pengantar Studi Tentang Makna. Malang: Sinar Baru

Algensindo, 2001.

Anggito, Albi dan Johan Setiawan. Metodologi Penelitian Kualitatif.Sukabumi:

CV Jejak, 2018.

Basrowi dan Suwandi.Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta,

2008.

Berger, Arthur Asa. Pengantar Semiotika: Tanda-Tanda dalam Kebudayaan

Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2010.

Danesi, Marcel. Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar mengenal Semiotika

dan Teori Komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra, 2012.

Dhavamony, Mariasusai. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1995.

Dillistone, F. W. Daya Kekuatan Simbol: The Power of Symbols. Yogyakarta:

Kanisius, 2002.

Hermaji, Bowo. Teori dan Metode Sosiolinguistik. Salatiga: Widya Sari Press,

2011.

Herususatoto, Budiono. Simbolisme Jawa. Yogyakarta: Ombak, 2008.

Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007.

Khoyin, Muhammad. Filsafat Bahasa: Philosophy of Language. Bandung:

Pustaka Setia, 2013.

Lakoff, George., and Mark Johnson. Metaphors We Live By.London: The

University of Chicago Press, 2003.

Lanowa, Jafar., Nila Mega Marahayu dan Muh. Khairussibyan. Semiotika: Teori,

Metode, dan Penerapannya dalam Penelitian Sastra. Yogyakarta:

Deepublish, 2017.

Liliweri, Alo. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta:

LKiS, 2002.

Majelis Sinode GMIT. Tata Gereja: Gereja Masehi Injili di Timor 2010

(Perubahan Pertama. Kupang: Majelis Sinode GMIT, 2016.

Page 38: Kajian Sosio-Teologis terhadap Makna Metafora Domba

27

Noor, Juliansyah. Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi & Karya

Ilmiah. Jakarta: Prenadamedia Group, 2010.

Sobur, Alex. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana,

Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya,

2001.

Tarno., I Nyoman Reteg, Fransiskus Sanda, Samuel Nitbani, Gomer Lifeto.Sastra

Lisan Dawan.Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993.

Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat

Bahasa, 2008.

Jurnal:

Andung, Petrus Ana. “Komunikasi Ritual Natoni masyarakat Adat Boti Dalam di

Nusa Tenggara Timur.”Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 8, Nomor 1.

(Januari-April 2010): 36-44.

Banamtuan, Maglon Ferdinand. “Upaya Pelestarian Natoni (Tuturan Adat) dalam

Budaya Timor Dawan (Atoni Meto).”Paradigma Jurnal Kajian Budaya,

Volume 6, Nomor 1. (2016): 74-90.

Fallo, John Darwis dan Fathur Rokhman.“Tuturan Ritual Natoni Adat Masyarakat

Etnis Timor dalam Penyambutan Tamu di Sekolah.”Seloka: Jurnal

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Volume 5, Nomor 2. (2016):

105-114.

Kuswarini, Prasuri., Masdiana, Zulvyati Hantik. “Penerjemahan Metafora dalam

Saman ke dalam Bahasa Prancis.”Jurnal Ilmu Budya, Volume 6, Nomor 1

(Juni 2018): 176-185.

Sukarno. “Makna dan Fungsi Ungkapan Metaforis dalam Wacana Hukum pada

Surat Kabar Harian Jawa Pos.”Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra,

Volume 17, Nomor 1. (April 2017): 15-28.

Tinarbuko, Sumbo. “Semiotika Analisis Tanda pada Karya Desain Komunikasi

Visual.” Jurnal Desain Komunikasi Visual, Volume 5, Nomor 1 (Januari

2003): 31-47.

Page 39: Kajian Sosio-Teologis terhadap Makna Metafora Domba

28

Wiradharma, Gunawan dan Afdol Tharik WS. “Metafora dalam Lirik Lagu

Dangdut: Kajian Semantik Kognitif.” Arkhais, Volume 07, Nomor 1.

(Januari—Juni 2016): 5-14.