Upload
yolentandika
View
240
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit infeksius bakterial yang disebabkan oleh
karena infeksi Mycobacterium tuberculosis (M.tb), dimana secara umum
menginfeksi paru-paru. Penyakit ini ditularkan dari penderita ke individu sehat
melalui percikan (droplets) yang berasal dari tenggorokan dan paru-paru
penderita dengan penyakit pernapasan yang aktif (WHO, 2015).
Pada individu yang sehat, infeksi Mycobacterium tuberculosis sering tidak
menimbulkan gejala (asimptomatis), karena sistem pertahanan tubuh host
mampu melawan infeksi bakteri. Gejala tuberkulosis paru aktif secara umum
yaitu batuk kronik dapat disertai sputum atau darah, sesak, nyeri dada, badan
lemah, penurunan berat badan, nafsu makan menurun, demam lama, keringat
malam, dan diare persisten (WHO, 2015; Kartasasmita dan Basir, 2012).
2.2 Epidemiologi
Sejak tahun 1993, WHO menyatakan bahwa TB merupakan kedaruratan
global bagi kemanusiaan. Walaupun strategi DOTS (Directly Observed
Treatment Short-course) telah terbukti sangat efektif untuk pengendalian TB,
tetapi beban penyakit TB di masyarakat masih sangat tinggi. Dengan berbagai
kemajuan yang dicapai sejak tahun 2003, diperkirakan masih terdapat sekitar 9,5
juta kasus baru TB, dan sekitar 0,5 juta orang meninggal akibat TB di seluruh
dunia (WHO, 2009 dalam SNPB Kemenkes, 2011).
Menurut laporan WHO SEARO (South East Asian Region), Asia
Tenggara mencakup 38% global burden Tuberkulosis dengan prevalensi kasus
sebanyak 4,5 juta kasus TB positif, dan 3,4 juta kasus baru tiap tahunnya (WHO,
2015). Menurut WHO tahun 1994, Indonesia menduduki peringkat ketiga dalam
jumlah kasus baru TB (0,4 juta kasus baru) setelah India dan Cina. S (Donald,
2004).
Diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus TB pada tahun 2012, dimana 1.1
juta orang (13%) diantaranya adalah pasien TB dengan HIV positif. Sekitar 75%
dari pasien tersebut berada di wilayah Afrika. Pada tahun 2012, diperkirakan
1
terdapat 450.000 orang yang menderita TB MDR dan 170.000 orang diantaranya
meninggal dunia. (Kemenkes RI, 2014)
.
2.3 Patofisiologi
2.3.1 Patogenesis TBParu merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. M.tb
dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5 µm)akan
terhirup dan dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, M.tb dapat
dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak
terjadi respons imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya,
tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat
menghancurkan seluruh M.tb, makrofag alveolus akan memfagosit M.tb yang
sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil M.tb yang tidak dapat
dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya
menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya, M.tb membentuk lesi di tempat
tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon (Glickman, 2001).
Pasien TB dengan BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA negatif
dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan kultur
negatif dan foto thoraks positif adalah 17%. (Kemenkes %I, 2014)
Dari fokus primer Ghon, M.tb menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran
limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus
primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat
adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di
apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara
fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary
complex) (Nastiti dan Darmawan, 2012).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya M.tb hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda
dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang
diperlukan sejak masuknya M.tb hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi
TB bervariasi selama 2−12 minggu, biasanya berlangsung selama 4−8 minggu.
Selama masa inkubasi tersebut, M.tb berkembang biak hingga mencapai jumlah
2
103 –104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respon imunitas selular
(Kumar et al., 2007).
Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah
terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB
terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin
masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi
baik, pada saat sistem imun selular berkembang, proliferasi M.tb TB terhenti.
Akan tetapi, sejumlah kecil M.tb TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila
imunitas selular telah terbentuk, M.tb TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan
segera dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik (cellular mediated immunity,
CMI) (Kemenkes RI, 2013).
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi
setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga
akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya
tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. M.tb dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan
gejala sakit TB (Kemenkes RI, 2013).
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru
atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan
menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkejuan
yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus
sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas) (Kemenkes RI, 2013).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal
pada awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut,
sehingga bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat
tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui
mekanisme ventil (ball-valve mechanism). Obstruksi total dapat menyebabkan
atelektasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkejuan dapat
merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB
endobronkial atau membentuk fistula. Masa keju dapat menimbulkan obstruksi
komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan
atelektasis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi
(Nastiti dan Darmawan, 2012).
3
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat
terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, M.tb
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut
menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen
langsung, yaitu M.tb masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh
tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut
sebagai penyakit sistemik (PDPI, 2006). TB kemudian akan mencapai berbagai
organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik,
paling sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu,
dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain.
Pada umumnya, M.tb di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang),
demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut
dengan fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan
terjadi TB apeks paru saat dewasa (Kumar et al., 2007).
Gambar 2.2 Patogenesis dan Lesi Tuberkulosis Primer (Ulrichs and Kaufmann, 2002).
4
Manifestasi klinis TB di berbagai organ muncul dengan pola konstan,
sehingga menurut studi Wallgren dapat disusun kalender munculnya manifestasi
TB. Proses infeksi TB berlangsung bertahap di mulai dari masuknya infeksi
Mycobacterium tuberculosis hingga terbentuk kompleks primer bervariasi antara
2-12 minggu. Selama masa inkubasi uji tuberkulin biasanya positif dalam 4-8
minggu. Awal infeksi TB dapat dijumpai demam yang tidak tinggi dan eritema
nodusum. Tuberkulosis milier biasanya berlangsung dalam 3-6 (hingga 12) bulan
pertama. Tuberkulosis pleura terjadi dalam 3-6 bulan pertama. Tuberkulosis
sistem skeletal dapat terjadi dalam 3 tahun pertama, TB ginjal biasanya terjadi
lebih lama, 5-25 tahun setelah infeksi primer. Sebagian besar manifestasi klinis
TB terjadi pada 5 tahun pertama, terutama pada 1 tahun pertama, dan 90%
kematian karena TB terjadi pada tahun pertama setelah diagnosis TB. Resiko
sakit TB dan manifestasi TB diseminata menurun seiring bertambahnya usia
(Hernandez-Pando et al., 2007).
2.4 Klasifikasi Tuberkulosis
2.4.1 Tuberkulosis Paru Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak
termasuk pleura (selaput paru) (Depkes RI, 2001).
Menurut Depkes RI tahun 2001, berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB Paru
dibagi dalam :
1) Tuberkulosis Paru BTA Positif
Sekurang-kurangnya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
positif
1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.
2) Tuberkulosis Paru BTA negatif
Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto
rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.TB paru BTA
Negatif Rontgen Positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan.Bentuk berat bila gambaran
5
foto rontgen dada memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas
(misalnya proses “far advanced” atau milier), dan/atau keadaan umum
penderita buruk.
2.4.2 Tuberkulosis Ekstra Paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya
pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu :
1) TB Ekstra Paru Ringan
Misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali
tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
2) TB Ekstra Paru Ringan
Misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa
duplex, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat
kelamin.
2.4.3 Tuberkulosis dengan Keadaan Khusus
2.4.3.1 TB Multi Drug Resisten (MDR)
Resistensi obat pada pasien TB ada 3 yaitu monoresisten, MDR, dan XDR
(extensively drug-resistant). Dikatakan monoresisten bila hasil uji kepekaan
mendapatkan resisten terhadap isoniazid atau rifampisin. Seorang pasien TB
anak dikatakan mengalami MDR apabila uji hasil kepekaan mendapatkan hasil
basil M.tuberkulosis yang resisten terhadap isoniazid dan rimfapisin, sedangkan
XDR-TB bila hasil uji kepekaan mendapatkan hasil MDR ditambah resisten
terhadap fluoroquinolon dan salah satu obat injeksi lini kedua (Darfioes and
Finny, 2012).
Terduga TB resisten obat adalah semua orang yang mempunyai gejala TB
yang memenuhi satu atau lebih kriteria terduga/suspek di bawah ini:
1. Pasien TB gagal penngobatan kategori 2
2. Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak terkonversi setelah 3 bulan
pengobatan
6
3. Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang tidak standar
serta menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua minimal selama
1 bulan.
4. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang gagal.
5. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tetap positif setelah 3 bulan
pengobatan.
6. Pasien TB kasus kambuh (relaps), kategori 1 dan kategori 2.
7. Pasien TB yang kembali setelah loss to follow-up (lalai berobat/default)
8. Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB
MDR.
9. Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons terhadap pemberian OAT.
Alur Diangnosis TB Resisten Obat (Kemenkes RI, 2014)
2.5 Manifestasi klinis
7
Manifestasi klinis TB terbagi dua, yaitu manifestasi sistemik dan
manifestasi spesifik organ/lokal.
2.5.1 Manifestasi Sistemik (Umum/Nonspesifik)
Pada sebagian besar kasus TB paru pada anak, tidak ada manifestasi
respiratorik yang menonjol dikarenakan fokus primer TB paru pada anak
umumnya terdapat di daerah parenkim yang tidak mempunyai reseptor batuk.
Akan tetapi, gejala batuk kronik pada TB anak dapat timbul bila limfadenitis
regional menekan bronkus sehingga merangsang reseptor batuk secara kronik.
Batuk berulang juga dapat timbul karena anak dengan TB mengalami penurunan
imunitas tubuh, sehingga mudah mengalami infeksi respiratorik akut (IRA)
berulang (Crus, 2007).
Menurut Kemenkes tahun 2013, rangkuman dan gejala umum pada TB anak
adalah sebagai berikut :
1. Demam lama (≥ 2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas
(bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain).
Demam umumnya tidak tinggi.
2. Batuk lama ≥ 3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda
atau intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah
dapat disingkirkan.
3. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas, atau berat badan tidak naik
dengan adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya
perbaikan gizi yang baik.
4. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh
(failure to thrive).
5. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
6. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan
pengobatan baku diare.
2.5.2 Manifestasi Spesifik Organ/Lokal
8
2.5.2.1 Kelenjar Limfe
Kelenjar yang sering terkena adalah limfe kolli anterior atau posterior,
tetapi juga dapat terjadi di aksila, inguinal, submandibula, dan supraklavikula
(Rahajoe, 2012). Pembesaran KGB multiple (>1 KGB), karakterisktik yang
dijumpai biasanya konsistensi kenyal, tidak nyeri tekan, tidak hangat pada
perabaan, mudah digerakkan, dan dapat saling melekat (confluence) satu sama
lain (Kemenkes RI, 2013).
2.5.2.2 Susunan Saraf Pusat (SSP)
Tuberkulosis pada SSP yang tersering adalah meningitis TB. Gejala klinis
yang terjadi berupa nyeri kepala, penurunan kesadaran, kaku kuduk, muntah
proyektil, dan kejang. Tuberkuloma otak menunjukkan gejala-gejala adanya lesi
desak ruang (Rahajoe, 2012).
2.5.2.3 Sistem Skeletal
Gejala yang umum ditemukan pada TB sistem skeletal adalah nyeri,
bengkak pada sendi yang terkena, dan gangguan atau keterbatasan gerak. Pada
bayi dan anak yang sedang dalam masa pertumbuhan, epifisis tulang merupakan
daerah dengan vaskularisasi tinggi yang disukai oleh M.tb. Tuberkulosis sistem
skeletal yang sering terjadi adalah spondilitis TB ditandai dengan penonjolan
tulang belakang (gibbus), koksitis TB dengan gejala pincang, gangguan berjalan,
atau tanda peradangan di daerah panggul, dan gonitis TB dengan gejala pincang
dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab yang jelas (Kemenkes RI, 2013).
2.5.2.4 Kulit
Mekanisme terjadinya manifestasi TB pada kulit dapat melalui dua cara,
yaitu inokulasi langsung (infeksi primer) seperti tuberculous chancre, dan akibat
limfadenitis TB yang pecah menjadi skrofuloderma (TB pascaprimer).
Skrofuloderma sering ditemukan di leher dan wajah, di tempat yang mempunyai
kelenjar getah bening (KGB), misalnya daerah parotis, submandibula,
supraklavikula, dan lateral leher. Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan
kulit antar tepi ulkus (skin bridge) (Rahajoe, 2012).
2.5.2.5 Mata
9
Tuberkulosis pada mata dapat berupa konjungtivitis fliktenularis
(conjunctivitis phlyctenularis) dan tuberkel koroid (hanya terlihat dengan
funduskopi) (Depkes RI, 2001)
2.5.2.6 Tuberkulosis Organ-organ Lain
Peritonitis TB, TB ginjal dicurigai bila ditemukan gejala gangguan pada
organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas dan disertai kecurigaan adanya
infeksi TB (Depkes RI, 2001).
2.6 Diagnosis Tuberkulosis
Penemuan pasien bertujuan untuk mendapatkan pasien TB melalui
serangkaian kegiatan mulai dari penjaringan terhadap pasien terduga pasien TB,
pemeriksaan fisik dan laboratoris, menentukan diagnosis, menentukan klasifikasi
penyakit serta tipe pasien TB, sehingga dapat dilakukan pengobatan agar
sembuh sehingga tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain. Diagnosis
Tuberkulosis paru pada orang dewasa, meliputi:
Dalam upaya pengendalian TB secara nasional, maka penegakkan
diagnosis TB pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan
pemeriksaan bakteriologis, yaitu pemeriksaan mikroskopis pengecatan
langsung, biakan dan tes cepat.
Apabila pemeriksaan secara bakteriologis hasilnya negatif, maka
penegakkan diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil
pemeriksaan klinis dan penunjang (setidaknya foto thoraks) yang sesuai dan
ditetapkan oleh dokter yang telah terlatih TB.
Pada sarana terbatas penegakkan diagnosis secara klinis dilakukan setelah
pemberian terapi antibiotika spektrum luas (Non OAT dan Non kuinolon)
yang tidak memberikan perbaikan klinis.
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan serologis.
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto
thoraks saja. Tidak selalu spesifik, dapat menyebabkan overdiagnosis atau
underdiagnosis.
Tidak dibenarkan hanya mendiagnosis TB hanya dengan pemeriksaan uji
tuberkulin.
Pemeriksaaan Dahak Miskroskopis Langsung:
10
Untuk kepentingan diagnosis dengan cara pemeriksaan dahak secara
mikroskopis langsung, terduga pasieen TB diperiksa contoh uji dahak SPS
(Sewaktu-Pagi-Sewaktu)
Ditetapkan sebagai pasien TB apabila minimal 1 (satu) dari pemerisaan
contoh uji dahak SPS hasilnya BTA positif.
Alur diagnosis TB: (Kemenkes RI, 2014)
2.7 Tatalaksana 2.7.1 Tatalaksana TB
Obat TB utama (first line) saat ini adalah Rifampisin (R), Isoniazid (H),
Pirazinamid (Z), Etambutol (E), dan Streptomisin (S). Obat TB lain (second line)
adalah Para-Amino Salicylic acid (PAS), cycloserin terizidone, ethionamide,
11
prothionamide, ofloxacin, levofloxacin, moxiflokxacin, gatifloxacin, ciprofloxacin,
kanamycin, amikacin, dan capreomycin, yang digunakan jika terjadi MDR
(Pedoman Nasional Tuberkulosis, 2008).
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dihentikan apabila dijumpai perbaikan klinis
yang nyata walaupun gambaran radiologis tidak menunjukkan perubahan berarti.
Pengobatan TB dibagi dalam 2 tahap yaitu tahap awal/intensif (2 bulan pertama
dengan menggunakan 3 macam obat) dan tahap lanjutan (4 bulan berikutnya
dengan 2 macam obat). Pemberian OAT dilakukan setiap hari pada tahap awal
dan lanjutan. OAT disediakan dalam bentuk paket untuk masing-masing
tahap.Untuk tahap awal paket obat terdiri dari Rifampisin (R), Isoniazid (H), dan
Pirazinamid (Z).Sedangkan paket OAT tahap lanjutan terdiri dari Rifampisin (R)
dan Isoniazid (H) (Darfioes and Finny, 2012).
Dosis masing-masing OAT yang diberikan adalah sebagai berikut:
INH: 5-15 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 300 mg/hari
Rifampisin: 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari
Pirazinamid: 15-30 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 2000 mg/hari
Etambutol: 15-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1250 mg/hari
Streptomisin: 15–40 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1000 mg/hari
Untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat, OAT
juga tersedia dalam bentuk FDC (Fixed Dose Combination) dimana obat ini
merupakan tablet kombinasi dari Rifampisin, Isoniazid, dan Pirazinamid (RHZ)
dan juga kombinasi dari Rifampisin dan Isoniazid (RH). Dalam dosis FDC dosis
masing –masing obat kombinasi adalah R = 75 mg, H = 50 mg, dan Z = 150 mg
(PDPI, 2006).
Menurut PDPI tahun 2006, pemberian FDC pun harus disesuaikan
dengan berat badan anak sesuai table berikut :
Tabel Dosis Pemberian FDC Pasien TB dewasa
12
Terdapat 2 lini pengobatan Tuberkulosis Paru, pada lini 1 terdapat 2
kategorii. Panduan OAT KDT Lini pertama dan peruntukannya adalah sebagai
berikut:
13
OAT KDT (Kombinasi Dosis Tetap) dapat diberikan dengan cara ditelan
secara utuh atau digerus sesaat sebelum diminum. Pada keadaan TB berat, baik
pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti TB milier, meningitis TB, TB sendi dan
tulang, dan lain-lain. Pada tahap intensif diberikan minimal 4 macam obat (INH,
14
Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol atau Streptomisin). Sedangkan, pada tahap
lanjutan diberikan INH dan Rifampisin selama 10 bulan (Kemenkes RI, 2013).
2.7.2 Tatalaksana TB-MDRTatalaksana MDR TB sesuai dengan prinsip sebagai berikut, yang meliputi:
a. Paduan OAT MDR untuk pasien TB RR/TB MDR adalah paduan standar yang mengandung obat lini dan lini pertama.
b. Paduan OAT MDR dapat disesuaikan bila terjadi perubahan hasil uji kepekaan M. Tuberculosis dengan paduan baru yang telah ditetapkan oleh TAK
c. Penetapan untuk mulai pengobatan pada pasien TB RR/TB MDR serta perubahan frekuensi dan pemberian obat MDR diputuskan oleh TAK dengan masukan dari tim terapeutik.
d. Semua pasien TB RR/TB MDR harus mendapatkan pengobatan dengan memepertimbangkan kondisi klinis awal.
2.8 EdukasiPengobatan memerlukan waktu yang lama (6-12 bulan), harus ditetapkan
keluarga sebagai pengawas minum obat, sehingga anak mengkonsumsi obat
15
secara teratur. Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam
setelah makan.Bila menggunakan OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak
boleh dibelah, dan tidak boleh digerus). Pada fase intensif (2 bulan pertama)
pasien TB diminta kontrol tiap minggu, untuk melihat kepatuhan, toleransi dan
kemungkinan adanya efek samping obat. Pada fase lanjutan pasien kontrol tiap
bulan. (Kemenkes RI, 2013)
Menurut PDPI tahun 2006, efek samping obat adalah sebagai berikut :
Isoniazid: mual, penurunan nafsu makan, kesemutan (lebih sering
terjadi pada orang yang kurang gizi, akibat neuritis perifer vitamin
B6 10 mg tiap 100 mg INH)
Rifampisin: urin, air lir, dan keringat berwarna merah atau oranye
(tidak berbahaya, tidak perlu dikhawatirkan)
Etambutol: dapat menyebabkan masalah penglihatan. Monitor
penglihatan pasien selama pengobatan dengan etambutol.
Pirazinamid: mual, penurunan nafsu makan
2.9 Komplikasi
Tuberkulosis primer cenderung sembuh sendiri, tetapi sebagian akan
menyebar lebih lanjut dan dapat menimbulkan komplikasi. Tuberkulosis dapat
meluas dalam jaringan paru sendiri. Selain itu basil tuberkulosis dalam aliran
darah dapat mati, tetapi dapat pula berkembang terus, hal ini tergantung
keadaan penderita dan virulensi M.tb (Price and Wilson, 2006).
Penyakit miliaria dan TB meningitis adalah komplikasi yang paling awal
dan paling mematikan dari TB primer. Sebuah indeks kecurigaan yang tinggi
diperlukan untuk diagnosis dan manajemen dari kondisi ini. Komplikasi paru
mencakup pengembangan efusi pleura dan pneumotoraks. Obstruksi lengkap
bronkus dapat terjadi dan dapat menyebabkan atelektasis paru. Bronkiektasis,
stenosis dari saluran udara, fistula bronchoesophageal, dan penyakit
endobronkial yang disebabkan oleh penetrasi melalui dinding saluran napas
yang lain dapat terjadi. Perforasi usus kecil, obstruksi, enterocutaneous fistula,
dan pengembangan malabsorpsi parah dapat memperberat TB dari usus kecil.
Efusi perikardial dapat menjadi komplikasi akut atau menyerupai perikarditis
konstriktif kronis. Komplikasi ginjal termasuk hidronefrosis dan autonephrectomy
biasanya tidak terjadi pada anak-anak.Komplikasi lainnya adalah paraplegia atau
16
Pott disease pada tulang belakang atau biasa disebut spondilitis TB (Vandana
Batra, 2015).
DAFTAR PUSTAKA
17
Bezos J. 2009. Immune Recognition and Innate Response in Bovine
Tuberculosis: Summary. VISAVET Outreach Journal. VISAVET Health
Surveillance Centre (U.C.M.), Madrid.
https://www.visavet.es/en/articles/immune-recognition-innate-response-
bovine-tuberculosis.php.
Chandra HMS, Setiawati L. 2012. Imunologi Infeksi Mycobacterium tuberculosis
dalam Buku Ajar: Respirologi Anak. Jakarta: IDAI; hlm: 178-92
Condos R, Rum WN. Cytokine response in tuberculosis. Dalam: Rom W, Garay SM, penyunting, Tuberculosis. Edisi ke-2. USA: Lippincott Williams & Wilkins; h. 285-99
Crus AT, Stark JR. Clinical Manifestation of Tuberculosis in Children. Pediatric
Respiratory Review 2007;8:107-117
Darfioes B, Finny F. 2012. Tuberkulosis dengan Keadaan Khusus dalam Buku
Ajar: Respirologi Anak. Jakarta: IDAI; hlm: 228-44
Depkes RI. 2001. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Hal 19-20.
Cetakan ke-6 : Jakarta
Depkes RI. Pedoman nasional penanggulangan tuberculosis. Cetakan ke-8: Depkes RI; 2002
Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Gizi Masyarakat.
2007. Petunjuk Teknis Tatalaksana Anak Gizi Buruk. Jilid II. Jakarta :
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Gizi Masyarakat .
Petunjuk Teknis Tatalaksana Anak Gizi Buruk. Jilid II. Jakarta :
Departemen Kesehatan Republik Indonesia;2011.
Donald, PR. 2004.Childhood tuberculosis: the Hidden Epidemic. Int J Tuberc Lung Dis 2004;8:827-9.
Glickman MS, Jacobs WR. 2001. Microbacterial Pathogenesis of Mycobacterium tuberculosis Dawn of a Dicipline. Cell Press, h: 104: 477-485.
Hernandez-Pando R, Chacon-Salinas R, Serafin-Lopez J, Estrada I. 2007.
Immunology, Pathogenesis, Virulence. In Tuberculois; From Basic
18
Science to Patient Care, 1StEd., Edited by Palomino JC, Leao SC, Ritacco
V, Bourcillier Kamps, Germany, p. 157 - 206.
IDAI. 2012. Buku Ajar: Respirologi Anak Edisi Pertama. IDAI: Jakarta. Hlm: 162-267
Kartasasmita C, Basir D. 2012. Epidemiologi Tuberkulosis dalam Buku Ajar:
Respirologi Anak. Jakarta: IDAI; hlm: 162-6.
Kemenkes, RI. 2011. Strategi Nasional Penanggulangan TB. Hlm: 1.
Kemenkes, RI. 2013. Petunjuk Klinis dan Tatalaksana Koinfeksi TB HIV. Hlm: 35-48
Kemenkes, RI. 2013. Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak. Hlm: 15-35
Kemenkes, RI. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Hlm. 24-25; 54-55
Kemenkes, RI. 2015. InfoDATIN: Temukan Obati Sampai Sembuh. PusaDATIN.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.Kriteria Anak Gizi Buruk dan Alur
Pemeriksaan. Dalam: Pedoman Pelayanan Anak Gizi Buruk. Bakti
Husada. 2011:5-8.
Kumar V, Cotran R, Robbins S. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins,Ed.7, Vol.1.,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta,hal. 1-34.
Menzies D, Pai M, Comstock G. Meta-analysis: new test for the diagnosis of
latent tuberculosis infection: areas of uncertainity and recommendations
for research. Ann Intern Med 2007;146:340-54.
Mogues T, Good Rich ME, Ryan L, LaCourse R, North RJ. 2001. The relative
importance of T cell subsets in immunity and immunopathology of
airborne Mycobacterium tuberculosis infection in mice. JEM. 2001;
193(3): 271-80.
Nastiti NR, Darmawan BS. 2012. Patogenesis dan Perjalanan Alamiah dalam
Buku Ajar: Respirologi Anak. Jakarta: IDAI; hlm: 169-76.
PDPI. 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, Indah Offset Citra Grafika, Jakarta, hal. 5-58.
Rahajoe, Nastiti N. 2012.Diagnosis Tuberkulosis pada anak. Hal 194-211 dalam
Buku Ajar: Respirologi Anak Edisi Pertama. IDAI: Jakarta
19
Ulrichs T, Kaufmann SHE. Mycobacterial Persistance and Immunity. Frontiers in Bioscience, 2002; 7: 458-69.
World Health Organisation. 2015. Health Topics Tuberculosis (TB).Diakses pada tanggal 7 September 2015.http://who.int.
World Health Organisation.2012. Global Tuberculosis Report, 2012:1-306.
20