26
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Tuberkulosis adalah penyakit infeksius bakterial yang disebabkan oleh karena infeksi Mycobacterium tuberculosis (M.tb) , dimana secara umum menginfeksi paru-paru. Penyakit ini ditularkan dari penderita ke individu sehat melalui percikan (droplets) yang berasal dari tenggorokan dan paru-paru penderita dengan penyakit pernapasan yang aktif (WHO, 2015). Pada individu yang sehat, infeksi Mycobacterium tuberculosis sering tidak menimbulkan gejala (asimptomatis), karena sistem pertahanan tubuh host mampu melawan infeksi bakteri. Gejala tuberkulosis paru aktif secara umum yaitu batuk kronik dapat disertai sputum atau darah, sesak, nyeri dada, badan lemah, penurunan berat badan, nafsu makan menurun, demam lama, keringat malam, dan diare persisten (WHO, 2015; Kartasasmita dan Basir, 2012). 2.2 Epidemiologi Sejak tahun 1993, WHO menyatakan bahwa TB merupakan kedaruratan global bagi kemanusiaan. Walaupun strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) telah terbukti sangat efektif untuk pengendalian TB, tetapi beban penyakit TB di masyarakat masih sangat tinggi. Dengan berbagai kemajuan yang dicapai sejak tahun 2003, diperkirakan masih terdapat sekitar 9,5 juta kasus baru TB, dan sekitar 0,5 juta orang 1

KAJIAN PUSTAKA TB.doc

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KAJIAN PUSTAKA TB.doc

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Tuberkulosis adalah penyakit infeksius bakterial yang disebabkan oleh

karena infeksi Mycobacterium tuberculosis (M.tb), dimana secara umum

menginfeksi paru-paru. Penyakit ini ditularkan dari penderita ke individu sehat

melalui percikan (droplets) yang berasal dari tenggorokan dan paru-paru

penderita dengan penyakit pernapasan yang aktif (WHO, 2015).

Pada individu yang sehat, infeksi Mycobacterium tuberculosis sering tidak

menimbulkan gejala (asimptomatis), karena sistem pertahanan tubuh host

mampu melawan infeksi bakteri. Gejala tuberkulosis paru aktif secara umum

yaitu batuk kronik dapat disertai sputum atau darah, sesak, nyeri dada, badan

lemah, penurunan berat badan, nafsu makan menurun, demam lama, keringat

malam, dan diare persisten (WHO, 2015; Kartasasmita dan Basir, 2012).

2.2 Epidemiologi

Sejak tahun 1993, WHO menyatakan bahwa TB merupakan kedaruratan

global bagi kemanusiaan. Walaupun strategi DOTS (Directly Observed

Treatment Short-course) telah terbukti sangat efektif untuk pengendalian TB,

tetapi beban penyakit TB di masyarakat masih sangat tinggi. Dengan berbagai

kemajuan yang dicapai sejak tahun 2003, diperkirakan masih terdapat sekitar 9,5

juta kasus baru TB, dan sekitar 0,5 juta orang meninggal akibat TB di seluruh

dunia (WHO, 2009 dalam SNPB Kemenkes, 2011).

Menurut laporan WHO SEARO (South East Asian Region), Asia

Tenggara mencakup 38% global burden Tuberkulosis dengan prevalensi kasus

sebanyak 4,5 juta kasus TB positif, dan 3,4 juta kasus baru tiap tahunnya (WHO,

2015). Menurut WHO tahun 1994, Indonesia menduduki peringkat ketiga dalam

jumlah kasus baru TB (0,4 juta kasus baru) setelah India dan Cina. S (Donald,

2004).

Diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus TB pada tahun 2012, dimana 1.1

juta orang (13%) diantaranya adalah pasien TB dengan HIV positif. Sekitar 75%

dari pasien tersebut berada di wilayah Afrika. Pada tahun 2012, diperkirakan

1

Page 2: KAJIAN PUSTAKA TB.doc

terdapat 450.000 orang yang menderita TB MDR dan 170.000 orang diantaranya

meninggal dunia. (Kemenkes RI, 2014)

.

2.3 Patofisiologi

2.3.1 Patogenesis TBParu merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. M.tb

dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5 µm)akan

terhirup dan dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, M.tb dapat

dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak

terjadi respons imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya,

tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat

menghancurkan seluruh M.tb, makrofag alveolus akan memfagosit M.tb yang

sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil M.tb yang tidak dapat

dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya

menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya, M.tb membentuk lesi di tempat

tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon (Glickman, 2001).

Pasien TB dengan BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA negatif

dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan kultur

negatif dan foto thoraks positif adalah 17%. (Kemenkes %I, 2014)

Dari fokus primer Ghon, M.tb menyebar melalui saluran limfe menuju

kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke

lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran

limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus

primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat

adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di

apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara

fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary

complex) (Nastiti dan Darmawan, 2012).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya M.tb hingga terbentuknya

kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda

dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang

diperlukan sejak masuknya M.tb hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi

TB bervariasi selama 2−12 minggu, biasanya berlangsung selama 4−8 minggu.

Selama masa inkubasi tersebut, M.tb berkembang biak hingga mencapai jumlah

2

Page 3: KAJIAN PUSTAKA TB.doc

103 –104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respon imunitas selular

(Kumar et al., 2007).

Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah

terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB

terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap

tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin

masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi

baik, pada saat sistem imun selular berkembang, proliferasi M.tb TB terhenti.

Akan tetapi, sejumlah kecil M.tb TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila

imunitas selular telah terbentuk, M.tb TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan

segera dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik (cellular mediated immunity,

CMI) (Kemenkes RI, 2013).

Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya

akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi

setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga

akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya

tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. M.tb dapat tetap hidup dan

menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan

gejala sakit TB (Kemenkes RI, 2013).

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru

atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan

menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkejuan

yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus

sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas) (Kemenkes RI, 2013).

Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal

pada awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut,

sehingga bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat

tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui

mekanisme ventil (ball-valve mechanism). Obstruksi total dapat menyebabkan

atelektasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkejuan dapat

merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB

endobronkial atau membentuk fistula. Masa keju dapat menimbulkan obstruksi

komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan

atelektasis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi

(Nastiti dan Darmawan, 2012).

3

Page 4: KAJIAN PUSTAKA TB.doc

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat

terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, M.tb

menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut

menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen

langsung, yaitu M.tb masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh

tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut

sebagai penyakit sistemik (PDPI, 2006). TB kemudian akan mencapai berbagai

organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik,

paling sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu,

dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain.

Pada umumnya, M.tb di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang),

demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut

dengan fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan

terjadi TB apeks paru saat dewasa (Kumar et al., 2007).

Gambar 2.2 Patogenesis dan Lesi Tuberkulosis Primer (Ulrichs and Kaufmann, 2002).

4

Page 5: KAJIAN PUSTAKA TB.doc

Manifestasi klinis TB di berbagai organ muncul dengan pola konstan,

sehingga menurut studi Wallgren dapat disusun kalender munculnya manifestasi

TB. Proses infeksi TB berlangsung bertahap di mulai dari masuknya infeksi

Mycobacterium tuberculosis hingga terbentuk kompleks primer bervariasi antara

2-12 minggu. Selama masa inkubasi uji tuberkulin biasanya positif dalam 4-8

minggu. Awal infeksi TB dapat dijumpai demam yang tidak tinggi dan eritema

nodusum. Tuberkulosis milier biasanya berlangsung dalam 3-6 (hingga 12) bulan

pertama. Tuberkulosis pleura terjadi dalam 3-6 bulan pertama. Tuberkulosis

sistem skeletal dapat terjadi dalam 3 tahun pertama, TB ginjal biasanya terjadi

lebih lama, 5-25 tahun setelah infeksi primer. Sebagian besar manifestasi klinis

TB terjadi pada 5 tahun pertama, terutama pada 1 tahun pertama, dan 90%

kematian karena TB terjadi pada tahun pertama setelah diagnosis TB. Resiko

sakit TB dan manifestasi TB diseminata menurun seiring bertambahnya usia

(Hernandez-Pando et al., 2007).

2.4 Klasifikasi Tuberkulosis

2.4.1 Tuberkulosis Paru Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak

termasuk pleura (selaput paru) (Depkes RI, 2001).

Menurut Depkes RI tahun 2001, berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB Paru

dibagi dalam :

1) Tuberkulosis Paru BTA Positif

Sekurang-kurangnya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA

positif

1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada

menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.

2) Tuberkulosis Paru BTA negatif

Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto

rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.TB paru BTA

Negatif Rontgen Positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan

penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan.Bentuk berat bila gambaran

5

Page 6: KAJIAN PUSTAKA TB.doc

foto rontgen dada memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas

(misalnya proses “far advanced” atau milier), dan/atau keadaan umum

penderita buruk.

2.4.2 Tuberkulosis Ekstra Paru

Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya

pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang,

persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu :

1) TB Ekstra Paru Ringan

Misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali

tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.

2) TB Ekstra Paru Ringan

Misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa

duplex, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat

kelamin.

2.4.3 Tuberkulosis dengan Keadaan Khusus

2.4.3.1 TB Multi Drug Resisten (MDR)

Resistensi obat pada pasien TB ada 3 yaitu monoresisten, MDR, dan XDR

(extensively drug-resistant). Dikatakan monoresisten bila hasil uji kepekaan

mendapatkan resisten terhadap isoniazid atau rifampisin. Seorang pasien TB

anak dikatakan mengalami MDR apabila uji hasil kepekaan mendapatkan hasil

basil M.tuberkulosis yang resisten terhadap isoniazid dan rimfapisin, sedangkan

XDR-TB bila hasil uji kepekaan mendapatkan hasil MDR ditambah resisten

terhadap fluoroquinolon dan salah satu obat injeksi lini kedua (Darfioes and

Finny, 2012).

Terduga TB resisten obat adalah semua orang yang mempunyai gejala TB

yang memenuhi satu atau lebih kriteria terduga/suspek di bawah ini:

1. Pasien TB gagal penngobatan kategori 2

2. Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak terkonversi setelah 3 bulan

pengobatan

6

Page 7: KAJIAN PUSTAKA TB.doc

3. Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang tidak standar

serta menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua minimal selama

1 bulan.

4. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang gagal.

5. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tetap positif setelah 3 bulan

pengobatan.

6. Pasien TB kasus kambuh (relaps), kategori 1 dan kategori 2.

7. Pasien TB yang kembali setelah loss to follow-up (lalai berobat/default)

8. Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB

MDR.

9. Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons terhadap pemberian OAT.

Alur Diangnosis TB Resisten Obat (Kemenkes RI, 2014)

2.5 Manifestasi klinis

7

Page 8: KAJIAN PUSTAKA TB.doc

Manifestasi klinis TB terbagi dua, yaitu manifestasi sistemik dan

manifestasi spesifik organ/lokal.

2.5.1 Manifestasi Sistemik (Umum/Nonspesifik)

Pada sebagian besar kasus TB paru pada anak, tidak ada manifestasi

respiratorik yang menonjol dikarenakan fokus primer TB paru pada anak

umumnya terdapat di daerah parenkim yang tidak mempunyai reseptor batuk.

Akan tetapi, gejala batuk kronik pada TB anak dapat timbul bila limfadenitis

regional menekan bronkus sehingga merangsang reseptor batuk secara kronik.

Batuk berulang juga dapat timbul karena anak dengan TB mengalami penurunan

imunitas tubuh, sehingga mudah mengalami infeksi respiratorik akut (IRA)

berulang (Crus, 2007).

Menurut Kemenkes tahun 2013, rangkuman dan gejala umum pada TB anak

adalah sebagai berikut :

1. Demam lama (≥ 2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas

(bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain).

Demam umumnya tidak tinggi.

2. Batuk lama ≥ 3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda

atau intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah

dapat disingkirkan.

3. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas, atau berat badan tidak naik

dengan adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya

perbaikan gizi yang baik.

4. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh

(failure to thrive).

5. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.

6. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan

pengobatan baku diare.

2.5.2 Manifestasi Spesifik Organ/Lokal

8

Page 9: KAJIAN PUSTAKA TB.doc

2.5.2.1 Kelenjar Limfe

Kelenjar yang sering terkena adalah limfe kolli anterior atau posterior,

tetapi juga dapat terjadi di aksila, inguinal, submandibula, dan supraklavikula

(Rahajoe, 2012). Pembesaran KGB multiple (>1 KGB), karakterisktik yang

dijumpai biasanya konsistensi kenyal, tidak nyeri tekan, tidak hangat pada

perabaan, mudah digerakkan, dan dapat saling melekat (confluence) satu sama

lain (Kemenkes RI, 2013).

2.5.2.2 Susunan Saraf Pusat (SSP)

Tuberkulosis pada SSP yang tersering adalah meningitis TB. Gejala klinis

yang terjadi berupa nyeri kepala, penurunan kesadaran, kaku kuduk, muntah

proyektil, dan kejang. Tuberkuloma otak menunjukkan gejala-gejala adanya lesi

desak ruang (Rahajoe, 2012).

2.5.2.3 Sistem Skeletal

Gejala yang umum ditemukan pada TB sistem skeletal adalah nyeri,

bengkak pada sendi yang terkena, dan gangguan atau keterbatasan gerak. Pada

bayi dan anak yang sedang dalam masa pertumbuhan, epifisis tulang merupakan

daerah dengan vaskularisasi tinggi yang disukai oleh M.tb. Tuberkulosis sistem

skeletal yang sering terjadi adalah spondilitis TB ditandai dengan penonjolan

tulang belakang (gibbus), koksitis TB dengan gejala pincang, gangguan berjalan,

atau tanda peradangan di daerah panggul, dan gonitis TB dengan gejala pincang

dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab yang jelas (Kemenkes RI, 2013).

2.5.2.4 Kulit

Mekanisme terjadinya manifestasi TB pada kulit dapat melalui dua cara,

yaitu inokulasi langsung (infeksi primer) seperti tuberculous chancre, dan akibat

limfadenitis TB yang pecah menjadi skrofuloderma (TB pascaprimer).

Skrofuloderma sering ditemukan di leher dan wajah, di tempat yang mempunyai

kelenjar getah bening (KGB), misalnya daerah parotis, submandibula,

supraklavikula, dan lateral leher. Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan

kulit antar tepi ulkus (skin bridge) (Rahajoe, 2012).

2.5.2.5 Mata

9

Page 10: KAJIAN PUSTAKA TB.doc

Tuberkulosis pada mata dapat berupa konjungtivitis fliktenularis

(conjunctivitis phlyctenularis) dan tuberkel koroid (hanya terlihat dengan

funduskopi) (Depkes RI, 2001)

2.5.2.6 Tuberkulosis Organ-organ Lain

Peritonitis TB, TB ginjal dicurigai bila ditemukan gejala gangguan pada

organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas dan disertai kecurigaan adanya

infeksi TB (Depkes RI, 2001).

2.6 Diagnosis Tuberkulosis

Penemuan pasien bertujuan untuk mendapatkan pasien TB melalui

serangkaian kegiatan mulai dari penjaringan terhadap pasien terduga pasien TB,

pemeriksaan fisik dan laboratoris, menentukan diagnosis, menentukan klasifikasi

penyakit serta tipe pasien TB, sehingga dapat dilakukan pengobatan agar

sembuh sehingga tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain. Diagnosis

Tuberkulosis paru pada orang dewasa, meliputi:

Dalam upaya pengendalian TB secara nasional, maka penegakkan

diagnosis TB pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan

pemeriksaan bakteriologis, yaitu pemeriksaan mikroskopis pengecatan

langsung, biakan dan tes cepat.

Apabila pemeriksaan secara bakteriologis hasilnya negatif, maka

penegakkan diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil

pemeriksaan klinis dan penunjang (setidaknya foto thoraks) yang sesuai dan

ditetapkan oleh dokter yang telah terlatih TB.

Pada sarana terbatas penegakkan diagnosis secara klinis dilakukan setelah

pemberian terapi antibiotika spektrum luas (Non OAT dan Non kuinolon)

yang tidak memberikan perbaikan klinis.

Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan serologis.

Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto

thoraks saja. Tidak selalu spesifik, dapat menyebabkan overdiagnosis atau

underdiagnosis.

Tidak dibenarkan hanya mendiagnosis TB hanya dengan pemeriksaan uji

tuberkulin.

Pemeriksaaan Dahak Miskroskopis Langsung:

10

Page 11: KAJIAN PUSTAKA TB.doc

Untuk kepentingan diagnosis dengan cara pemeriksaan dahak secara

mikroskopis langsung, terduga pasieen TB diperiksa contoh uji dahak SPS

(Sewaktu-Pagi-Sewaktu)

Ditetapkan sebagai pasien TB apabila minimal 1 (satu) dari pemerisaan

contoh uji dahak SPS hasilnya BTA positif.

Alur diagnosis TB: (Kemenkes RI, 2014)

2.7 Tatalaksana 2.7.1 Tatalaksana TB

Obat TB utama (first line) saat ini adalah Rifampisin (R), Isoniazid (H),

Pirazinamid (Z), Etambutol (E), dan Streptomisin (S). Obat TB lain (second line)

adalah Para-Amino Salicylic acid (PAS), cycloserin terizidone, ethionamide,

11

Page 12: KAJIAN PUSTAKA TB.doc

prothionamide, ofloxacin, levofloxacin, moxiflokxacin, gatifloxacin, ciprofloxacin,

kanamycin, amikacin, dan capreomycin, yang digunakan jika terjadi MDR

(Pedoman Nasional Tuberkulosis, 2008).

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dihentikan apabila dijumpai perbaikan klinis

yang nyata walaupun gambaran radiologis tidak menunjukkan perubahan berarti.

Pengobatan TB dibagi dalam 2 tahap yaitu tahap awal/intensif (2 bulan pertama

dengan menggunakan 3 macam obat) dan tahap lanjutan (4 bulan berikutnya

dengan 2 macam obat). Pemberian OAT dilakukan setiap hari pada tahap awal

dan lanjutan. OAT disediakan dalam bentuk paket untuk masing-masing

tahap.Untuk tahap awal paket obat terdiri dari Rifampisin (R), Isoniazid (H), dan

Pirazinamid (Z).Sedangkan paket OAT tahap lanjutan terdiri dari Rifampisin (R)

dan Isoniazid (H) (Darfioes and Finny, 2012).

Dosis masing-masing OAT yang diberikan adalah sebagai berikut:

INH: 5-15 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 300 mg/hari

Rifampisin: 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari

Pirazinamid: 15-30 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 2000 mg/hari

Etambutol: 15-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1250 mg/hari

Streptomisin: 15–40 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1000 mg/hari

Untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat, OAT

juga tersedia dalam bentuk FDC (Fixed Dose Combination) dimana obat ini

merupakan tablet kombinasi dari Rifampisin, Isoniazid, dan Pirazinamid (RHZ)

dan juga kombinasi dari Rifampisin dan Isoniazid (RH). Dalam dosis FDC dosis

masing –masing obat kombinasi adalah R = 75 mg, H = 50 mg, dan Z = 150 mg

(PDPI, 2006).

Menurut PDPI tahun 2006, pemberian FDC pun harus disesuaikan

dengan berat badan anak sesuai table berikut :

Tabel Dosis Pemberian FDC Pasien TB dewasa

12

Page 13: KAJIAN PUSTAKA TB.doc

Terdapat 2 lini pengobatan Tuberkulosis Paru, pada lini 1 terdapat 2

kategorii. Panduan OAT KDT Lini pertama dan peruntukannya adalah sebagai

berikut:

13

Page 14: KAJIAN PUSTAKA TB.doc

OAT KDT (Kombinasi Dosis Tetap) dapat diberikan dengan cara ditelan

secara utuh atau digerus sesaat sebelum diminum. Pada keadaan TB berat, baik

pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti TB milier, meningitis TB, TB sendi dan

tulang, dan lain-lain. Pada tahap intensif diberikan minimal 4 macam obat (INH,

14

Page 15: KAJIAN PUSTAKA TB.doc

Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol atau Streptomisin). Sedangkan, pada tahap

lanjutan diberikan INH dan Rifampisin selama 10 bulan (Kemenkes RI, 2013).

2.7.2 Tatalaksana TB-MDRTatalaksana MDR TB sesuai dengan prinsip sebagai berikut, yang meliputi:

a. Paduan OAT MDR untuk pasien TB RR/TB MDR adalah paduan standar yang mengandung obat lini dan lini pertama.

b. Paduan OAT MDR dapat disesuaikan bila terjadi perubahan hasil uji kepekaan M. Tuberculosis dengan paduan baru yang telah ditetapkan oleh TAK

c. Penetapan untuk mulai pengobatan pada pasien TB RR/TB MDR serta perubahan frekuensi dan pemberian obat MDR diputuskan oleh TAK dengan masukan dari tim terapeutik.

d. Semua pasien TB RR/TB MDR harus mendapatkan pengobatan dengan memepertimbangkan kondisi klinis awal.

2.8 EdukasiPengobatan memerlukan waktu yang lama (6-12 bulan), harus ditetapkan

keluarga sebagai pengawas minum obat, sehingga anak mengkonsumsi obat

15

Page 16: KAJIAN PUSTAKA TB.doc

secara teratur. Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam

setelah makan.Bila menggunakan OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak

boleh dibelah, dan tidak boleh digerus). Pada fase intensif (2 bulan pertama)

pasien TB diminta kontrol tiap minggu, untuk melihat kepatuhan, toleransi dan

kemungkinan adanya efek samping obat. Pada fase lanjutan pasien kontrol tiap

bulan. (Kemenkes RI, 2013)

Menurut PDPI tahun 2006, efek samping obat adalah sebagai berikut :

Isoniazid: mual, penurunan nafsu makan, kesemutan (lebih sering

terjadi pada orang yang kurang gizi, akibat neuritis perifer vitamin

B6 10 mg tiap 100 mg INH)

Rifampisin: urin, air lir, dan keringat berwarna merah atau oranye

(tidak berbahaya, tidak perlu dikhawatirkan)

Etambutol: dapat menyebabkan masalah penglihatan. Monitor

penglihatan pasien selama pengobatan dengan etambutol.

Pirazinamid: mual, penurunan nafsu makan

2.9 Komplikasi

Tuberkulosis primer cenderung sembuh sendiri, tetapi sebagian akan

menyebar lebih lanjut dan dapat menimbulkan komplikasi. Tuberkulosis dapat

meluas dalam jaringan paru sendiri. Selain itu basil tuberkulosis dalam aliran

darah dapat mati, tetapi dapat pula berkembang terus, hal ini tergantung

keadaan penderita dan virulensi M.tb (Price and Wilson, 2006).

Penyakit miliaria dan TB meningitis adalah komplikasi yang paling awal

dan paling mematikan dari TB primer. Sebuah indeks kecurigaan yang tinggi

diperlukan untuk diagnosis dan manajemen dari kondisi ini. Komplikasi paru

mencakup pengembangan efusi pleura dan pneumotoraks. Obstruksi lengkap

bronkus dapat terjadi dan dapat menyebabkan atelektasis paru. Bronkiektasis,

stenosis dari saluran udara, fistula bronchoesophageal, dan penyakit

endobronkial yang disebabkan oleh penetrasi melalui dinding saluran napas

yang lain dapat terjadi. Perforasi usus kecil, obstruksi, enterocutaneous fistula,

dan pengembangan malabsorpsi parah dapat memperberat TB dari usus kecil.

Efusi perikardial dapat menjadi komplikasi akut atau menyerupai perikarditis

konstriktif kronis. Komplikasi ginjal termasuk hidronefrosis dan autonephrectomy

biasanya tidak terjadi pada anak-anak.Komplikasi lainnya adalah paraplegia atau

16

Page 17: KAJIAN PUSTAKA TB.doc

Pott disease pada tulang belakang atau biasa disebut spondilitis TB (Vandana

Batra, 2015).

DAFTAR PUSTAKA

17

Page 18: KAJIAN PUSTAKA TB.doc

Bezos J. 2009. Immune Recognition and Innate Response in Bovine

Tuberculosis: Summary. VISAVET Outreach Journal. VISAVET Health

Surveillance Centre (U.C.M.), Madrid.

https://www.visavet.es/en/articles/immune-recognition-innate-response-

bovine-tuberculosis.php.

Chandra HMS, Setiawati L. 2012. Imunologi Infeksi Mycobacterium tuberculosis

dalam Buku Ajar: Respirologi Anak. Jakarta: IDAI; hlm: 178-92

Condos R, Rum WN. Cytokine response in tuberculosis. Dalam: Rom W, Garay SM, penyunting, Tuberculosis. Edisi ke-2. USA: Lippincott Williams & Wilkins; h. 285-99

Crus AT, Stark JR. Clinical Manifestation of Tuberculosis in Children. Pediatric

Respiratory Review 2007;8:107-117

Darfioes B, Finny F. 2012. Tuberkulosis dengan Keadaan Khusus dalam Buku

Ajar: Respirologi Anak. Jakarta: IDAI; hlm: 228-44

Depkes RI. 2001. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Hal 19-20.

Cetakan ke-6 : Jakarta

Depkes RI. Pedoman nasional penanggulangan tuberculosis. Cetakan ke-8: Depkes RI; 2002

Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Gizi Masyarakat.

2007. Petunjuk Teknis Tatalaksana Anak Gizi Buruk. Jilid II. Jakarta :

Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Gizi Masyarakat .

Petunjuk Teknis Tatalaksana Anak Gizi Buruk. Jilid II. Jakarta :

Departemen Kesehatan Republik Indonesia;2011.

Donald, PR. 2004.Childhood tuberculosis: the Hidden Epidemic. Int J Tuberc Lung Dis 2004;8:827-9.

Glickman MS, Jacobs WR. 2001. Microbacterial Pathogenesis of Mycobacterium tuberculosis Dawn of a Dicipline. Cell Press, h: 104: 477-485.

Hernandez-Pando R, Chacon-Salinas R, Serafin-Lopez J, Estrada I. 2007.

Immunology, Pathogenesis, Virulence. In Tuberculois; From Basic

18

Page 19: KAJIAN PUSTAKA TB.doc

Science to Patient Care, 1StEd., Edited by Palomino JC, Leao SC, Ritacco

V, Bourcillier Kamps, Germany, p. 157 - 206.

IDAI. 2012. Buku Ajar: Respirologi Anak Edisi Pertama. IDAI: Jakarta. Hlm: 162-267

Kartasasmita C, Basir D. 2012. Epidemiologi Tuberkulosis dalam Buku Ajar:

Respirologi Anak. Jakarta: IDAI; hlm: 162-6.

Kemenkes, RI. 2011. Strategi Nasional Penanggulangan TB. Hlm: 1.

Kemenkes, RI. 2013. Petunjuk Klinis dan Tatalaksana Koinfeksi TB HIV. Hlm: 35-48

Kemenkes, RI. 2013. Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak. Hlm: 15-35

Kemenkes, RI. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Hlm. 24-25; 54-55

Kemenkes, RI. 2015. InfoDATIN: Temukan Obati Sampai Sembuh. PusaDATIN.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.Kriteria Anak Gizi Buruk dan Alur

Pemeriksaan. Dalam: Pedoman Pelayanan Anak Gizi Buruk. Bakti

Husada. 2011:5-8.

Kumar V, Cotran R, Robbins S. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins,Ed.7, Vol.1.,

Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta,hal. 1-34.

Menzies D, Pai M, Comstock G. Meta-analysis: new test for the diagnosis of

latent tuberculosis infection: areas of uncertainity and recommendations

for research. Ann Intern Med 2007;146:340-54.

Mogues T, Good Rich ME, Ryan L, LaCourse R, North RJ. 2001. The relative

importance of T cell subsets in immunity and immunopathology of

airborne Mycobacterium tuberculosis infection in mice. JEM. 2001;

193(3): 271-80.

Nastiti NR, Darmawan BS. 2012. Patogenesis dan Perjalanan Alamiah dalam

Buku Ajar: Respirologi Anak. Jakarta: IDAI; hlm: 169-76.

PDPI. 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, Indah Offset Citra Grafika, Jakarta, hal. 5-58.

Rahajoe, Nastiti N. 2012.Diagnosis Tuberkulosis pada anak. Hal 194-211 dalam

Buku Ajar: Respirologi Anak Edisi Pertama. IDAI: Jakarta

19

Page 20: KAJIAN PUSTAKA TB.doc

Ulrichs T, Kaufmann SHE. Mycobacterial Persistance and Immunity. Frontiers in Bioscience, 2002; 7: 458-69.

World Health Organisation. 2015. Health Topics Tuberculosis (TB).Diakses pada tanggal 7 September 2015.http://who.int.

World Health Organisation.2012. Global Tuberculosis Report, 2012:1-306.

20