93
KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) MENGGUNAKAN DUKUNGAN PENGINDERAAN JAUH (REMOTE SENSING) DI KOTA PONTIANAK ASMADI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

  • Upload
    lamhanh

  • View
    243

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) MENGGUNAKAN

DUKUNGAN PENGINDERAAN JAUH (REMOTE SENSING) DI KOTA PONTIANAK

ASMADI

SEKOLAH PASCASARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR2010

Page 2: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DANSUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Parameter Keberadaan Vektor Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Menggunakan Dukungan Penginderaan Jauh (Remote Sensing) di Kota Pontianak adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, April 2010

Asmadi

NRP P052080071

Page 3: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

ABSTRACT

ASMADI. Study Parameters Existence Of Vectors Dengue Haemorrhagic Fever(DHF) Using Remote Sensing Support in the Pontianak Urban Areas. Under direction of AKHMAD ARIF AMIN, SRI BUDIARTI, and MACHMUD A. RAIMADOYA.

Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) transmission dynamic is naturally influenced by fluctuating environmental conditions that could be locally specific even at the level of urban areas. Remote sensing technology is increasingly recognized as a powerful tool to scan DHF endemic areas and could be used to monitor DHF vectors fluctuation and the related biogeographical environment. A study was conducted to estimate the DHFtransmission intensity in four endemic distric in Pontianak urban areas West Borneo. The estimation was based on environmental condition and the most of the data were obtained through remote sensing using the satellite IKONOS and NOAA. The study subjects were the environmental conditions of the urban areas considered as the risk factors for DHF transmission. Data werecollected either through field observations and remote sensing. Data set was analyzed with the discriminant analysis module using the SPSS 17.0. The results of the study showed that there were predictor variables of the environment risk factors should be considered in the estimation of DHF transmission intensity in certain DHF endemic distric. Those variables included: (1) air temperature, (2) mosquito vector density, (3) relative humidity and (4) building density. Linear discriminant function was obtained to predict the incidence of DHF outbreak. Applying this model, DHF transmission intensity in certain distric could be estimated with a high accuracy. The result showed that the assessment model could be built following the formula:Y = 237.490 + 113.474 x (vector) – 121.828 x (temperature) – 98.999 x (relative humidity) + 78.782 x (building) that could be as high accuracy as 90.9 %.

Keywords: Remote sensing technology, Dengue Hemorrhagic Fever (DHF), DHF transmission intensity, IKONOS, NOAA

Page 4: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

RINGKASAN

ASMADI. Kajian Parameter Keberadaan Vektor Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Menggunakan Dukungan Penginderaan Jauh (Remote Sensing) di Kota Pontianak. Dibimbing oleh AKHMAD ARIF AMIN, SRI BUDIARTI, dan MACHMUD A. RAIMADOYA.

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan masyarakat, umumnya terjadi di daerah perkotaan namun saat ini juga sudah menyebar sampai daerah pedesaan, dengan sirkulasi serotype virus beragam dan endemik khususnya di negara-negara tropis dan subtropis seperti Indonesia.Hampir semua wilayah di Indonesia mempunyai resiko untuk terjangkit penyakit DBD, sebab baik virus dengue penyebab maupun nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor penularnya sudah tersebar luas di perumahan penduduk maupun fasilitas umum diseluruh Indonesia. Penginderaan jauh (remote sensing) berupa citra satelit mampu menyajikan kenampakan permukaan bumi sesuai dengan kenampakan sebenarnya di lapangan sehingga beberapa parameter lingkungan yang berpengaruh terhadap habitat perkembangbiakan vektor nyamuk Aedes aegyptidan Aedes albopictus sebagai penular penyakit DBD seperti suhu, kelembaban relatif, curah hujan, badan air, penutupan lahan vegetasi, ketinggian tempat, pola perumahan, dan kepadatan pemukiman dapat disadap dan diinterpretasi. Melalui analisis data kondisi lingkungan yang diperoleh dengan dukungan teknologi penginderaan jauh satelit, dan mengintegrasikannya dengan data hasil survey lapangan, diharapkan akan dapat diperoleh informasi tentang intensitas penularan DBD di suatu wilayah tertentu. Peranan penginderaan jauh (remote sensing)sangat besar di dalam sistem informasi data dan pengelolaannya serta diharapkan dapat membantu memecahkan masalah-masalah kesehatan yang terkait erat dengan lingkungan, melalui tiga macam pendekatan, yakni pendekatan keruangan (spasial), kelingkungan (ekologis), dan kewilayahan (regional).

Penelitian ini dilakukan di 5 (lima) wilayah yaitu, kecamatan Pontianak Barat, Pontianak Kota, Pontianak Selatan dan kecamatan Pontianak Tenggara. Keempat Kecamatan tersebut digunakan untuk pembuatan model, sedangkan wilayah kecamatan Pontianak Utara digunakan untuk menguji model yang telah dihasilkan di 4 kecamatan tersebut. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua kelompok, kelompok pertama (prediktor) adalah data yang digunakan untuk mendeteksi faktor resiko lingkungan penyebab DBD yaitu; data tutupan lahan dari citra satelit IKONOS tahun 2003 dan 2008 dan data iklim (suhu, kelembaban, dan curah hujan) dari citra satelit NOAA tahun 2005-2009 dan data keberadaan vektor. Data kelompok kedua (prediktan) adalah data sebaran penderita positif DBD tahun 2005-2009 di Kecamatan penelitian yang diperoleh dari Dinas Kesehatan dan rumah sakit di Kota Pontianak.Keseluruhan data yang diperoleh dari data primer dan sekunder kemudian diintegrasikan dan dianlisis dengan analisis diskriminan untuk mengetahui variabel prediktor keberadaan vektor dan intensitas penularan DBD. Model analisis statistik yang diaplikasikan adalah analisis regresi linear berganda yang merupakan model analisis data dari software SPSS versi 17.0. Nilai signifikasi yang diambil adalah 95%, jika nilai F hitung mempunyai tingkat signifikan < 95%

Page 5: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

maka variabel lingkungan tersebut tidak mempengaruhi intensitas penularan DBD dan sebaliknya.

Hasil investigasi pemeriksaan vektor jentik nyamuk Aedes aegypti pada 270 rumah penduduk yang diperiksa diperoleh 46 rumah positif ditemukan jentik (17.03 %). Pada 690 container yang diperiksa 73 ditemukan positif jentik (10.58 %) di lokasi kasus positif DBD kota Pontianak. Hous Indeks (HI) tertinggi di kecamatan Pontianak Selatan (21.33 %), sedangkan Container Indeks (CI) tertinggi di kecamatan Pontianak Barat (12.50 %). Hasil pemasangan Ovitrapuntuk deteksi keberadaan telur nyamuk Aedes aegypti di lokasi kasus positif DBD di Kota Pontianak, diperoleh Indeks ovitrap (IO) di luar rumah rata-rata 11.35%.Hasil pemeriksaan telur berdasarkan proses kolonisasi di laboratorium, jumlah keseluruhan telur nyamuk 993 butir dengan rata-rata 58 butir. Jumlah stadium pupa hasil kolonisasi terbanyak 45 ekor dengan total 391 ekor atau rata-rata 23 ekor. Sedangkan persentase tertinggi 46.67% dengan rata-rata 39.37%. Hasil kolonisasi didominasi spesies Ae.aegypti sedangkan Ae.albopictus hanya 5 ekor. Secara epidemiologis dan berdasakan uji statistik kepadatan vektor > 10% ini berpengaruh signifikan terhadap insiden penularan DBD.

Berdasarkan Hasil analisis digitasi pada citra IKONOS tahun 2008 di lokasi penelitian diperoleh hasil tutupan lahan oleh vegetasi 21.22% (1 303.78 ha), namun setelah dilakukan uji statistik ternyata tutupan lahan oleh vegetasi belum berpengaruh terhadap keberadaan vektor dan intensitas penularan/KLB DBD di kota Pontianak, karena nilai F hitung signifikasinya 0.963 masih jauh di atas 0.05. Selain tutupan lahan oleh vegetasi yang diduga berpengaruh pada keberadaan vektor dan intensitas penularan DBD adalah kepadatan bangunan. Berdasarkan analisis digitasi citra satelit IKONOS tahun 2003 dan 2008 diperoleh hasil tutupan lahan oleh bangunan mencapai 61.29% (> 60%) dari luas wilayah. Hasil uji statistik diperoleh bahwa tutupan lahan oleh kepadatan bangunan berpengaruh signifikan terhadap keberadaan vektor dan intensitas penularan/KLB DBD di kota Pontianak, karena nilai F hitung signifikansinya 0.014 (di bawah 0.05).

Data iklim hasil analisis penginderaan jauh citra satelit NOAA tahun 2005-2009 kota Pontianak, suhu berkisar antara 31-350C, kelembaban berkisar antara 55-70%, dan curah hujan berkisar antara 107-485 mm/bln. Secara umum, data curah hujan dan suhu udara yang dihasilkan berdasarkan model pengukuran penginderaan jauh satelit NOAA dengan pengukuran curah hujan dan suhu udara oleh stasiun BMG Supadio Pontianak polanya memiliki kesamaan, namun kisaran nilainya yang berbeda. Data kelembaban hasilnya berbeda baik polanya maupun kisaran nilainya jika dibandingkan dengan data pengukuran BMG. Berdasarkan hasil observasi langsung di lapangan pada bulan Desember 2009 dan Januari 2010 sebagai pembanding (validasi) diperoleh pola dan kisaran nilai suhu udara dan kelembaban yang sama dengan model pengukuran penginderaan jauh satelit NOAA. Nilai suhu udara di kota Pontianak berkisar 31-340C dan kelembaban relatif berkisar antara 60-77%. Hasil penelitian ini diperoleh adanya perbedaan nilai parameter suhu udara optimal untuk perkembangbiakan vektor nyamuk DBD, dimana hasil penelitian di kota Pontianak suhu optimal diperoleh berkisar antara 31-340C, sedangkan Depkes RI (2004) menyebutkan bahwa suhu optimal adalah 25-270C.

Page 6: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

Berdasarkan data penelitian yang diperoleh secara langsung melalui survey keberadaan vektor dan data DBD di lapangan, dan secara tidak langsung melalui analisis citra penginderaan jauh satelit IKONOS dan NOAA, ada 6 parameter yang diduga berpengaruh secara epidemiologi terhadap keberadaan vektor dan intensites penularan DBD yaitu; (1) kepadatan bangunan; (2) vegetasi; (3) suhu udara; (4) kelembaban udara; (5) curah hujan; dan (6) keberadaan vektor (CI, HI, dan IO). Dari 6 variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor (CI, HI, dan IO) yang diperoleh dari survei vektor DBD di lapangan, ini membuktikan bahwa data penginderaan jauh dapat mendukung kegiatan pengamatan DBD berbasis lingkungan. Dari 6 parameter yang diduga berpengaruh terhadap intensitas penularan DBD menurut statistik hanya ada 4 variabel prediktor yang cukup bermakna mengakibatkan penularan/KLB DBD di kota Pontianak, yaitu keberadaan vektor, suhu udara, kelembaban relatif dan kepadata bangunan. Oleh karena itu variabel yang digunakan sebagai variabel prediktor adalah vektor, suhu udara, kelembaban, dan kepadatan bangunan, maka model persamaam intensitas penularan DBD dalam penelitian ini adalah : Y = 237.490 + 113.474 x (vektor) – 121.828 x (suhu) – 98.999 x (kelembaban) + 78.782 x(bangunan)

Hasil prediksi dari 60 data yang dikumpulkan menunjukkan 16 data mengindikasikan KLB DBD sedangkan 44 data mengindikasikan tidak terjadi KLB DBD, dimana 5 data salah prediksi dan 55 data benar prediksinya. Tingkat signifikansi dari model ini adalah 90.9%. Ketelitian hasil prediksi terjadinya KLB DBD di Kecamatan Pontianak Utara adalah 93.3% lebih teliti jika dibandingkan dengan model di 4 Kecamatan Kota Pontianak yaitu 90.9%. Ketelitian lebih dari 90% untuk prediksi penularan/KLB DBD dengan faktor keberadaan vektor, suhu udara, kelembaban relaif, dan kepadatan bangunan ini cukup tinggi, artinya faktor keberadaan vektor, suhu udara, kelembaban relaif, dan kepadatan bangunanberpengaruh signifikan terhadap terjadi KLB DBD.

Secara keseluruhan pada penelitian ini diketahui bahwa, parameter prediktor keberadaan vektor dan tingkat intensitas penularan/KLB DBD dapat diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh (satelit IKONOS dan NOAA) sebesar 83.34%. Keberadaan vektor, suhu udara, kelembaban relatif, dan kepadatan bangunan merupakan parameter prediktor yang signifikan pengaruhnya terhadap terjadinya peningkatan penularan/KLB DBD di kota Pontianak. Adanya perbedaan nilai parameter suhu udara untuk perkembangbiakan vektor DBD, dimana di kota Pontianak berbeda dengan pernyataan Depkes RI (suhu optimal diPontianak berkisar antara 31-34 0C, sedangkan Depkes RI menyebutkan bahwa suhu optimal adalah 25-27 0C).

Kata kunci: penginderaan jauh (remote sensing), demam berdarah dengue(DBD), intensitas penularan DBD, IKONOS, NOAA

Page 7: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan

karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya

tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

Page 8: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) MENGGUNAKAN

DUKUNGAN PENGINDERAAN JAUH (REMOTE SENSING) DI KOTA PONTIANAK

ASMADI

TesisSebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains padaProgram Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR2010

Page 9: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dra. Maryani Hartuti, M.Sc (LAPAN)

Page 10: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

Judul Tesis : Kajian Parameter Keberadaan Vektor Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Menggunakan Dukungan Penginderaan Jauh (Remote Sensing) di Kota PontianakNama : AsmadiNRP : P052080071Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. drh. Akhmad Arif AminKetua

Dr. dr. Sri Budiarti Ir. Machmud A.Raimadoya, M.Sc Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana IPBSumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Surjono H.Sutjahjo, M.S. Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

Tanggal Ujian: 29 April 2010 Tanggal Lulus:

Page 11: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

PRAKATA

Dengan mengucapkan Alhamdulillaahirobbil’alamin kehadirat Allah SWT

atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya

ilmiah ini. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan

Oktober 2009 sampai Maret 2010 ini adalah penyakit berbasis lingkungan, dengan

judul ”Kajian Parameter Keberadaan Vektor Penyakit Demam Berdarah Dengue

(DBD) Menggunakan Dukungan Penginderaan Jauh (Remote sensing) di Kota

Pontianak”.

Penulis menyadari tanpa bantuan berbagai pihak tidak mungkin penulisan

karya ilmiah ini terselesaikan, oleh karenanya pada kesempatan ini penulis

mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Dr. drh. Akmad Arif Amin selaku ketua komisi pembimbing,

2. Ibu Dr. dr. Sri Budiarti selaku anggota komisi pembimbing,

3. Bapak Ir. Machmud A. Raimadoya, M.Sc selaku anggota komisi

pembimbing,

4. Bapak Prof. Dr. Ir. Surjono H.Sutjahjo selaku ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Alam (PSL-IPB).

5. Kepala Deputi Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi

Penginderaan Jauh (Pusbangja) LAPAN Pekayon Jakarta,

6. Ibu Parwati, M.Sc yang telah banyak membantu dan membimbing

penulis selama magang di LAPAN dan Bapak Totok Suprapto, MT, ibu

Maryani, M.Sc, Bapak Wiji serta teman-teman di LAPAN Pekayon

Jakarta (Dini, Lintang, Fitria dan Litha) yang telah banyak membantu

penulis dalam proses pengolahan data citra satelit NOAA dan IKONOS,

7. Semua pihak yang telah turut membantu dalam penyelesaian karya

ilmiah ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Ungkapan terima

kasih juga disampaikan kepada ibunda dan ayahnda, serta istri dan anak-

anakku atas segala pengorbanan, doa restu dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu pengetahuan

dan bagi semua pihak yang memerlukan.

Bogor, April 2010

Asmadi

Page 12: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

RIWAYAT HIDUP

Penulis anak pertama dari enam bersaudara dilahirkan pada tanggal 24 Agustus 1969 dari ibu Rasiah dan ayah Bachtiar di Merabuan, Sekura Kabupaten Sambas Propinsi Kalimantan Barat.

Pendidikan tinggi yang pernah penulis ikuti adalah D-III Pendidikan Ahli Madya Sanitasi dan Kesehatan Lingkungan Depkes di Purwokwrto tamat pada Tahun 1997, Tugas Belajar di Fakultas Teknik Program Studi Teknik Lingkungan (S1 FT-TL) Universitas Diponegoro Semarang Tamat tahun 2003, dengan meraih gelar Sarjana Teknik Lingkungan (ST).

Tahun 1992, pertama kali diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, Pada tahun 1993 ditugaskan di Puskesmas Telaga Arum Kec.Teluk Batang Kab.Ketapang. Pada Tahun 1998–2001 ditunjuk sebagai PLH. Kepala Puskesmas Telaga Arum Kabupaten Ketapang. Tahun 2001 pindah tugas ke AkademiKesehatan Lingkungan (D-III AKL Depkes) Pontianak. Mulai tahun 2004 aktif memberikan kuliah sebagai staf pengajar di Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Depkes Pontianak dan sebagai pengajar tidak tetap di Fakultas Ilmu Kesehatan (FIK) Universitas Muhammadiyah Pontianak.

Diktat dan modul bahan kuliah yang sudah penulis tulis antara lain Prinsip Dasar Penyediaaan Air bersih dan Pengelolaan Air Bersih, Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan (ADKL), Prinsip Dasar Pengelolaan Air Limbah, Penyehatan, Pengawasan, Pengendalian dan Pemantauan Pencemaran Udara untuk kalangan sendiri di Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Depkes Pontianak. Sebuah artikel jurnal ilmiah juga telah diterbitkan dengan judul Reduksi Cromium (Cr) dari proses Penyamakan Kulit menggunakan senyawa Alkali CaOH2, NaOH dan NaCO2 yang diterbitkan pada jurnal Air Indonesia (JAI) volume 5, nomor 1, Juni 2009 oleh Pusat Teknologi Lingkungan BPPT Jakarta.

Pelatihan yang pernah penulis ikuti diantaranya; Pengawasan Kualitas Air tahun 2000, Pengembangan Metodelogi Pembelajaran 2005, Metodelogi Penelitian Bagi Dosen Muda tahun 2006 dan Pengolahan Air Limbah di BPPTtahun 2006, Pengelolaan Air Minum dan Limbah Cair di Poltekkes Jakarta tahun2007.

Aplikasi bidang ilmu yang sudah penulis lakukan adalah mendesain Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) metode Biofilter Anaerob-Aerob pada Rumah Sakit dr. Rubini Mempawah tahun 2006, Disain IPAL Laboratorium Lingkungan Kapedalda Kota Pontianak tahun 2007, Desain IPAL RSU Daerah Ngabang tahun 2007, dan Disain IPAL RSUD dr.Abd.Aziz Singkawang tahun 2008.

Pada tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan ke program Magister Sains (M.Si) di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan(PSL-IPB). Penulis menyusun tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister Sains dengan judul ”Kajian Parameter Keberadaan Vektor Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Menggunakan Dukungan Penginderaan Jauh (Remote sensing) di Kota Pontianak” dibimbing oleh Dr. drh. Akhmad Arif Amin sebagai ketua dan Dr. dr. Sri budiarti serta Ir. Machmud A.Raimadoya sebagai anggota komisi pembimbing.

Page 13: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI …………………………………………………………………. i

DAFTAR TABEL ……………………………………………………………. iii

DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………........ iv

DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………. v

1. PENDAHULUAN …… ………………………………………………….. 1

1.1 Latar Belakang ……………………………………………………….. 1

1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………………. 3

1.3 Tujuan Penelitian …………………………………………………….. 4

1.4 Kerangka Pemikiran Penelitian ………………………………………. 4

1.5 Manfaat Penelitian ……………………………………………………. 5

1.6 Hipotesis …………………………………………………………........ 5

2. TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………………... 7

2.1 Demam Berdarah Dengue (DBD) ……………………………………. 7

2.2 Vektor ………………………………………………………………… 8

2.3 Mekanisme Transmisi Virus Dengue …………………………............ 13

2.4 KLB Demam Berdarah Dengue………………………………………. 16

2.5 Ovitrap (Perankap telur nyamuk) ……………………………………. 17

2.6 Penginderaan Jauh (Remote Sensing) ……………………………....... 18

2.7 IKONOS ……………………………………………………………… 23

2.8 NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) ……….. 25

3. METODE PENELITIAN ………………………………………………… 30

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ……………………………………….. 30

3.2 Rancangan Penelitian ………………………………………………… 31

3.3 Alat dan Bahan Penelitian …………………………………………… 32

3.4 Tahapan Penelitian …………………………………………………… 33

3.5 Metode Analisis Data ………………………………………………… 35

Page 14: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

4. HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………………… 37

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ……………………………........ . 37

4.2 Hasil Surveilans Keberadaan Vektor DBD …………………………... 38

4.3 Hasil Analisis Citra Satelit Penginderaan Jauh ……………………… 43

4.4 Model Prediksi Penularan DBD di Kota Pontianak …………………. 51

4.5 Penerapan Model Prediksi Penularan DBD di Kecamatan

Pontianak Utara ………………………………………………………. 61

5. KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………………… 64

5.1 Kesimpulan …………………………………………………………… 64

5.2 Saran …………………………………………………………….......... 64

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………....... 65

LAMPIRAN ………………………………………………………………….. 71

Page 15: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Resolsi spasial pada citra satelit IKONOS…………………………………. 24

2 Karakteristik satelit IKONOS ……………………………………………... 25

3 Karakteristik sensor infra merah termal NOAA-AVHRR............................ 27

4 Jumlah penduduk, luas wilayah dan kepadatan penduduk kota PontianakBerdasarkan kecamatan tahun 2009 ………………………………………. 38

5 Hasil survey investigasi keberadaan vektor jentik nyamuk Ae. aegyti Pada container di lokasi kasus positif DBD kota Pontianak, Desember

2009 – Januari 2010………………………………………………………… 40

6 Hasil pemasangan Ovitrap untuk deteksi keberadaan telur nyamukAedes aegypti di lokasi kasus positif DBD kota Pontianak, Desember2009-2010 …………………………………………………………………. 41

7 Distribusi jumlah telur Ae. aegyti hasil kolonisasi di laboratorium Mikrobiologi Jurusan Kesling Poltekkes Depkes Pontianak……………… 42

8 Hasil analisis digitasi tutupan lahan citra IKONOS tahun 2003 dan citra IKONOS tahun 2008, kota Pontianak……………………………………... 43

9 Cara penetapan kategori dan kode untuk masing-masing variable Lingkungan dan iklim …………………………………………………...... 52

10 Hasil analisis diskriminan, koefesien dan konstanta variable parameter Prediktor intensitas penularan DBD ……………………………………. 53

11 Koefisien korelasi R dan koefesien determinan (R2) KLB DBD ………. 59

12 Nilai cut off point KLB DBD menurut analisis diskriminan ……………. 60

13 Matrik co-ocurance hasil prediksi intensitas penularan DBD di 4 (empat) kecamatan kota Pontianak ……………………………………… 61

14 Matrik co-ocurance hasil prediksi intensitas penularan DBD di Kecamatan Pontianak Utara ……………………………………………. 62

Page 16: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka pemikiran penelitian……………………………………………. 6

2 Marfologi telur Aedes spp ………………………………………………… 8

3 Nyamuk dewasa Ae.aegypti pada dorsal dada ada corak putih bentuk Siku ……………………………………………………………………….. 9

4 Larva nyamuk Ae.aegypti mempunyai gigi sisir dengan duri samping ….. 10

5 Skematis perjalanan arbovirus pada nyamuk…………………………...... 14

6 Skematis waktu perjalanan perjalanan arbovirus pada nyamuk …………. 14

7 Ovitrap dengan kertas saring ……………………………………………. 18

8 Pemasangan ovitrap …………………………………………………….... 18

9 Rangkaian komponen dalam system pengideraan jauh ………………….. 19

10 Proses perolehan suhu dan kelembaban udara dari data NOAA ………. 28

11 Proses perolehan curah hujan dari data satelit lingkungan dan cuaca …. 29

12 Peta cakupan lokasi penelitian, citra ikonos kota Pontianak 2008 ………. 30

13 Alat dan bahan penelitian lapangan ….…………………………………... 32

14 Alat dan bahan penelitian laboratorium ………………………………….. 32

15 Pelaksanaan pemeriksaan jentik dan pemasangan ovitrap ……………..... 33

16 Pelaksanaan penelitian di laboratorium ………………………………….. 34

17 Peta kota Pontianak ………………………………………………………. 38

18 Penentuan lokasi titik pemasangan ovitrap ………………………………. 39

19 Peta penyebaran sampel kasus positif DBD ……………………………. 40

20 Citra IKONOS 2003 dan hasil digitasi citra IKONOS 2003 …………….. 44

21 Citra IKONOS 2008 dan hasil digitasi citra IKONOS 2008 …………….. 44

22 Gafik data iklim hasil analisis penginderaan jauh citra satelit NOAA dan Kasus DBD tahun 2005- 009, kota Pontianak ………………………… 47

23 Grafik perbandingan kelembaban hasil pengukuran penginderaan jauh Satelit NOAA dengan kelembaban pengukuran BMG ………………….. 48

24 Grafik perbandingan curah hujan hasil pengukuran penginderaan jauh Satelit NOAA dengan curah hujan pengukuran BMG ………………….. 48

25 Grafik perbandingan suhu udara hasil pengukuran penginderaan jauh Satelit NOAA dengan suhu udara pengukuran BMG …………………… 49

Page 17: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Prediksi tingkat penularan DBD di 4 (empat) Kecamatan Kota Pontianak ………………………………………………………………… 71

2 Prediksi tingkat penularan DBD di Kecamatan Pontianak Utara ……….. 73

3 Hasil uji statistik …………………………………………………………. 75

Page 18: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah suatu penyakit yang

disebabkan oleh virus dengue famili flaviviridae, dengan genusnya flavivirus.

Virus ini mempunyai empat serotype yang dikenal dengan Den-1, Den-2, Den-3

dan Den-4 yang masuk ke tubuh manusia melalui gigitan vektor nyamuk Aedes

aegypti dan Aedes albopictus. Seluruh wilayah tropis di dunia saat ini telah

menjadi hiperendemis dengan ke-empat serotype virus secara bersama-sama

diwilayah Amerika, Asia Pasifik dan Afrika. Indonesia, Myanmar, Thailand

masuk kategori A yaitu : KLB/wabah siklus terulang pada jangka waktu antara 3

sampai 5 tahun (WHO, 2001).

Penyakit DBD merupakan masalah kesehatan masyarakat, umumnya terjadi

di daerah perkotaan namun saat ini juga sudah menyebar sampai daerah pedesaan,

dengan sirkulasi serotype virus beragam dan endemik khususnya di negara-negara

tropis dan subtropis seperti Indonesia (Chakravarti dan Kumaria, 2005). Hampir

semua wilayah di Indonesia mempunyai resiko untuk terjangkit penyakit DBD,

sebab baik virus dengue penyebab maupun nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor

penularnya sudah tersebar luas di perumahan penduduk maupun fasilitas umum

diseluruh Indonesia (Handayani, 2006).

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2007) menyebutkan bahwa lebih dari

50 juta orang di dunia terinfeksi virus DBD setiap tahunnya, dan tiap 20 menit ada

satu anak meninggal karena DBD. Secara nasional morbiditas DBD di Indonesia

pada tahun 2008 tercatat 136 399 kasus, dan angka mortalitas 1 170 korban jiwa

yang kebanyakan terjadi pada anak di bawah umur 15 tahun (Ginanjar, 2008).

Kasus DBD di Kalimantan Barat tertinggi di Kota Pontianak, dimana

sampai akhir Desember 2009 jumlah kasus positif DBD tercatat 3 893 orang dan

yang meninggal 71 orang dengan case fatality rate (CFR) 1.82% masih di atas

1%. Terjadi peningkatan kasus lebih dari 13 (tiga belas) kali lipat, mengingat pada

tahun 2008 kasus DBD di kota Pontianak hanya tercatat 282 orang dan meninggal

20 orang (CFR 7%), sehingga sudah dinyatakan KLB (Kejadian Luar Biasa) oleh

Walikota Pontianak (Dinkes Kota Pontianak, 2009).

Page 19: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

Kota Pontianak merupakan salah satu kota endemis DBD di Indonesia,

terletak di garis khatulistiwa merupakan dataran rendah (1 m dpl) dengan

temperatur rata-rata 280C, curah hujan rata-rata 2 500 mm/tahunnya, jumlah

penduduk lebih dari 500 ribu jiwa. Sebagian besar masyarakat Pontianak memiliki

kebiasaan menyimpan air hujan sebagai cadangan di tempayan/tempat penyimpan

air lainnya untuk memenuhi kebutuhan air minum, serta tingkat mobilitas

penduduk tinggi karena merupakan jalur lalulintas antar negara yaitu Malaysia

dan Brunei Darussalam. Dengan karakteristik wilayah seperti di atas kota

Pontianak berpotensi sebagai habitat Aedes aegyti sebagai vektor utama DBD.

Perubahan komponen lingkungan iklim seperti curah hujan, suhu,

kelembaban, dan kemarau panjang akan mempengaruhi pertumbuhan, persebaran,

kepadatan, kebiasaan reproduksi, usia hidup dan perkembangbiakan serta

ketangguhan dari vektor Aedes aegypti dan Aedes alpopictus (Aron et al. 2001).

Terjadinya pemanasan global, dimana terjadi kenaikan suhu bumi rata-rata sekitar

1– 3.5 0C juga berdampak pada meningkatnya berbagai kasus penyakit termasuk

DBD (McMichael, 2003).

Sumunar (2008) menyatakan bahwa penginderaan jauh (remote sensing)

berupa citra satelit mampu menyajikan kenampakan permukaan bumi sesuai

dengan kenampakan sebenarnya di lapangan, sehingga beberapa parameter

lingkungan yang berpengaruh terhadap habitat perkembangbiakan vektor nyamuk

Aedes aegypti dan Aedes albopictus sebagai penular penyakit DBD, seperti badan

air, penutupan lahan vegetasi, ketinggian tempat, pola perumahan, dan kepadatan

pemukiman dapat disadap dan diinterpretasi. Melalui analisis data kondisi

lingkungan yang diperoleh dengan dukungan teknologi penginderaan jauh satelit,

dan mengintegrasikannya dengan data hasil survey vektor di lapangan, diharapkan

akan dapat diperoleh informasi tentang intensitas penularan DBD.

Perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypty dan Aedes albopictus sebagai

vektor penyakit DBD berkaitan erat dengan lingkungan, maka peranan

penginderaan jauh sangat besar di dalam sistem informasi data dan

pengelolaannya serta diharapkan dapat membantu memecahkan masalah-masalah

kesehatan yang terkait erat dengan lingkungan, melalui tiga macam pendekatan

yakni, pendekatan keruangan (spasial), kelingkungan (ekologis), dan kewilayahan

(regional) (Hagget, 1983).

Page 20: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

1.2 Rumusan Masalah

Pelaksanaan survaillance DBD di Indonesia saat ini masih belum

optimal, salah satu penyebabnya antara lain adalah karena kegiatan

pengamatan (surveillance) DBD yang dikembangkan program DBD sekarang

ini belum dapat berjalan dengan semestinya. Kendalanya karena cara

pendekatan pengamatannya masih menitikberatkan pada penemuan kasus

baru DBD dan belum memanfaatkan kondisi lingkungan secara maksimal.

Cara pendekatan seperti ini sulit untuk dilaksanakan di beberapa daerah di

Indonesia, karena terbatasnya petugas surveillance DBD di lapangan dan

luasnya wilayah endemis DBD yang perlu dipantau (Holani et al. 2003).

Agar kegiatan pengamatan DBD berjalan dengan semestinya dan

mencapai tujuannya, maka cara pendekatan pengamatannya perlu

dikembangkan, yaitu dengan menitikberatkan pengamatannya pada

perubahan-perubahan yang terjadi pada kondisi spesifik lingkungan.

Eksplorasi data didukung dengan aplikasi teknologi penginderaan jauh

satelit (remote sensing). Beberapa peneliti di luar negeri banyak

melaporkan tentang kemampuan penginderaan jauh untuk mengobservasi

dan mengidentifikasi kondisi lingkungan yang terkait dengan penularan

penyakit berbasis lingkunan. Berdasarkan data kondisi lingkungan yang

diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh tersebut, kemudian

diestimasi kondisi DBDnya (Beck et al. 1997).

Adapun pertanyaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Seberapa besar dukungan hasil kajian deteksi parameter lingkungan (suhu

udara, kelembaban, curah hujan, kepadatan bangunan, vegetasi) menggunakan

dukungan penginderaan jauh dan keberadaan vektor DBD yang diperoleh dari

survey vektor Aedes aegypti dalam menentukan tingkat intensitas penularan

DBD.

2. Parameter apasaja yang berpengaruh terhadap keberadaan vektor DBD

berdasarkan hasil kajian deteksi menggunakan dukungan penginderaan jauh

dalam menentukan tingkat intensitas penularan DBD di kota Pontianak.

3. Bagaimana model pendekatan perhitungan estimasi intensitas penularan DBD

berdasarkan kajian deteksi parameter lingkungan dan keberadaan vektor DBD

yang diperoleh dari dukungan penginderaan jauh.

Page 21: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah:

1. Mengetahui seberapa besar dukungan penginderaan jauh (remote sensing)

dalam mendeteksi parameter keberadaan vektor DBD dalam menentukan

tingkat intesitas penularan DBD.

2. Mengetahui parameter apasaja yang mempengaruhi keberadaan vektor DBD

yang diperoleh menggunakan dukungan penginderaan jauh dan investigasi

vektor Aedes aegypti, terhadap intensitas penularan DBD

3. Diperolehnya pendekatan perhitungan estimasi jumlah penderita DBD

berdasarkan kajian deteksi parameter lingkungan dan keberadaan vektor DBD

menggunakan dukungan penginderaan jauh.

1.4 Kerangka Pemikiran Penelitian

Pada tahun 1980 WHO telah memberikan model pengelolaan lingkungan

untuk tujuan pengendalian vektor virus DBD melalui modifikasi dan manipulasi

lingkungan serta mengubah kebiasaan dan perilaku manusianya untuk mengurangi

kontak vektor–inang–pathogen. Keberhasilan di dalam mengelola vektor

tergantung dari pemahaman manusia terhadap eksistensi dan esensi vektor sebagai

penular penyakit DBD yang kehidupannya sangat dipengaruhi oleh lingkungan

dan inang sehat ataupun sakit (Supartha, 2008).

Penanganan vektor dan kasus DBD tidak bisa lepas dari kegiatan

surveillance untuk mendapatkan informasi segar dalam penyusunan program

strategis selanjutnya baik berkaitan dengan penelitian, pengembangan teknologi,

advokasi, edukasi masyarakat maupun pengadaan bahan teknologi sebagai

antisipasi bila terjadi keadaan luar biasa (KLB). Berdasarkan hasil surveillance

tersebut, indikator angka bebas jentik (ABJ) yang dilakukan melalui investigasi

pemantauan jentik dan pemasangan ovitrap (perangkap telur dan larva nyamuk),

khususnya untuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus sehingga dapat diketahui

peta penyebaran, dan status Aedes hubungannya dengan kasus DBD (Supartha,

2008).

Perkembangan teknologi penginderaan jauh (remote sensing) yang saat ini

mulai berkembang di Indonesia memungkinkan pengumpulan data geografis

Page 22: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

menjadi lebih menyingkat waktu, menghemat biaya dan tenaga jika dibandingkan

dengan menggunakan metode terestrial (lapangan). Pengumpulan data dapat

dilakukan melalui bermacam-macam citra (image) seperti foto udara, citra satelit

dan citra radar. Foto udara yang memiliki resolusi spasial mampu memberikan

informasi yang rinci dan mampu menggambarkan wujud dan letak objek yang

mirip dengan wujud dan letaknya di permukaan bumi, serta meliputi daerah yang

luas dan permanen (Sutanto, 1994).

Dengan keunggulan inilah maka citra satelit dapat dijadikan sebagai wadah

yang tepat untuk memperoleh data yang berhubungan dengan penentuan lokasi

tingkat kerentanan terhadap perkembangbiakan nyamuk vektor DBD. Peranan

penginderaan jauh sangat besar di dalam sistem informasi data dan

pengelolaannya (Sutanto, 1994). Secara skematis, kerangka konsep penelitian ini

dapat dilihat pada gambar 1.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi hasil survaillance keberadaan vektor DBD

menggunakan dukungan penginderaan jauh sebagai dasar untuk langkah-

langkah preventif KLB DBD pada daerah/wilayah yang beresiko sehingga

membantu dalam menghemat waktu dan dana.

2. Dapat mengestimasi kecenderungan tingkat intensitas penularan DBD dalam

rangka mengantisipasi kejadian KLB DBD.

3. Bagi pemerintah daerah (Dinas Kesehatan), hasil penelitian ini diharapkan

menjadi data dasar untuk tindakan pencegahan dan penanggulangan DBD dan

dapat dijadikan pertimbangan dalam mengambil kebijakan khususnya tentang

pengendalian DBD, serta sebagai upaya sistem kewaspadaan dini (SKD)

mencegah terjadinya KLB DBD.

1.6 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut;

1. Dukungan penginderaan jauh (remote sensing) sangat besar dan berpengaruh

signifikan dalam mendeteksi parameter keberadaan vektor DBD.

Page 23: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

2. Parameter lingkungan (kepadatan bangunan, vegetasi) dan iklim (suhu,

kelembaban, curah hujan) yang diperoleh dari dukungan penginderaan jauh

berpengaruh signifikan terhadap keberadaan vektor dan intensitas penularan

DBD.

---------------------------------------------------------------------------------------------------

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

DATA CITRA SATELIT IKONOS

DATA CITRA SATELIT NOAA

Ekstraksi Liputan Lahan yang diperkirakan

penyebab DBD

Ekstraksi parameter lingkungan yang diperkirakan

penyebab DBD

Analisis Diskriminanlag 1 bulan

Faktor-faktor lingkungan yang diperkirakan penyebab DBD

Faktor resiko penularan DBD

Informasi Intensitas Penularan DBD

Ketelitian Estimasi KLB DBD

Estimasi KLB

Info KLB Actual

MODEL ESTIMASI

Surveillance Keberadaan Vektor DBD

Investigasi vektor Aedes aegypti

Pemantauan Jentik Pemasangan Ovitrap

Page 24: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Demam Berdarah Dengue (DBD)

Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan

oleh virus dengue (Flaviviridae: Flavivirus Group); virus ini terdiri dari 4 serotip

: Den-1, Den-2, Den-3, dan Den-4. Penyakit ini ditularkan oleh salah satu nyamuk

rumah, Aedes aegypti, sebagai vektor utama, dan nyamuk kebun Aedes albopictus

sebagai vektor kedua. Nyamuk Aedes aegypti umumnya lebih dominan

populasinya di perkotaan dan sebaliknya Aedes albopictus di pedesaan (WHO,

2001).

Gejala penyakit DBD adalah demam mendadak, berlangsung 2-7 hari,

wajah kemerahan, nyeri kepala, punggung dan ulu hati. Perkembangan klinis

dapat sangat cepat, yaitu dengan disertai perdarahan bawah kulit dan mukosa

hidung dan usus dengan komplikasi, dan bisa berakhir fatal. Tingkat kematian

untuk pasien yang berlanjut dengan Dengue Shock Syndrome (DSS) berkisar 2-

10% (Mardihusodo, 2005).

Penyakit DBD, awalnya muncul di Filipina pada tahun 1953, kemudian pada

tahun-tahun berikutnya DBD menyebar ke banyak negara di Asia Tenggara dan

Pasifik Barat. Kini, demam berdarah (DB) dan DBD menjadi semakin meningkat

arti pentingnya dalam kesehatan masyarakat di daerah tropis dan subtropis seperti

di daerah Mediteranian Barat, Afrika dan Amerika (Mardihusodo, 2005).

Demam berdarah dengue sudah ada selama empat puluh tahun lamanya di

Indonesia semenjak tahun 1968, hingga saat ini jumlah kasus dan daerah yang

terjangkit terus meningkat. Kejadian Luar Biasa (KLB) demam berdarah dengue

terjadi setiap tahun di beberapa Provinsi dan KLB “Besar” terjadi pada tahun

1998 dan 2004 (jumlah kasus 79 480, jumlah kematian 800 orang). Pada tahun

2006 tercatat ada 113 640 kasus dengan 1 184 kematian. Incidence Rate (IR) = 52,

Case fatality Rate (CFR) = 1%. Tahun 2007, dari bulan Januari sampai dengan

bulan Mei tercatat 66 365 kasus dengan 738 kematian (CFR = 1.1%). Provinsi

tertinggi adalah DKI Jakarta, diikuti Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah,

Sumatera Selatan dan Lampung (Kusriastuti, 2007).

Page 25: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

Kusriastuti (2007) menyatakan mengapa laju kejadian demam berdarah

dengue terus meningkat, karena beberapa faktor yaitu; industrialisasi dimana

memakai bungkus sekali pakai, mobilitas manusia yang cepat, urbanisasi yang tak

terkendali, jumlah kapasitas nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus

meningkat, pelayanan publik dan perilaku kebersihan kurang, serta limbah ban

dan plastik yang sulit hancur.

2.2 Vektor

Secara taksonomi Aedes sp termasuk filum Arthropoda (berkaki buku);

kelas: Hexapoda (berkaki enam); ordo: Dipteria (bersayap dua); subordo

Nematocera (antena filiform, segmen banyak); famili: Culicidae (keluarga

nyamuk); Subfamili : culicinae (termasuk tribus Anophelini dan Toxorynchitini);

tribus: Culicini (termasuk Generaculex dan Mansonia); Genus: Aedes (Stegomya);

spesies : Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Telur berwarna putih saat pertama

kali dikeluarkan, lalu menjadi coklat kehitaman. Telur berbentuk oval, panjang

kurang lebih 0.5 mm, dan diletakkan di dinding wadah (Service, 1996).

Gambar 2 Morfologi telur Aedes spp (Cutwa dan O’Meara, 2006)

Penelitian epidemiologi dan laboratoris masih ada beberapa jenis Aedes sp

yang dapat menyebarkan dengue, tetapi sampai saat ini Aedes aegypti dan Aedes

albopictus tetap merupakan vektor yang utama (Soegijanto, 2004).

Virus dengue ditularkan dari orang ke orang melalui gigitan nyamuk Aedes

(Ae.) dari subgenus Stegomyia. Aedes aegypti merupakan vektor epidemi yang

paling utama, namun spesies lain seperti Aedes albopictus, Ae. polynesiensis,

anggota dari Ae. Scutellaris complex, dan Ae. (Finlaya) niveus juga dianggap

sebagai vektor sekunder. Kecuali Ae. aegypti semuanya mempunyai daerah

distribusi geografis sendiri-sendiri yang terbatas. Meskipun mereka merupakan

Page 26: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

host yang sangat baik untuk virus dengue, biasanya mereka merupakan vektor

epidemi yang kurang efisien dibanding Aedes aegypti (WHO, 2001).

2.2.1 Nyamuk Aedes aegypti

Aedes aegypti bersifat antropofilik yaitu senang sekali pada manusia, dan

karbohidrat tumbuh-tumbuhan, karbohidrat diduga untuk sintesis energi yang

digunakan untuk kehidupan sehari-hari, sedangkan darah manusia untuk

reproduksi. Nyamuk ini mempunyai kebiasaan menggigit berulang (multiple-

biters) dan menggigit pada siang hari (day biting mosquito). Nyamuk betina

menghisap darah pada umumnya tiga hari setelah kawin dan mulai bertelur pada

hari keenam. Dengan bertambahnya darah yang dihisap, bertambah pula telur

yang diproduksi (Judson, 1968).

Dalam ruang gelap nyamuk beristirahat hinggap pada kain yang

bergantungan. Nyamuk tertarik oleh cahaya terang, pakaian dan adanya manusia.

Perangsang jarak jauh karena bau dan zat-zat dan asam amino, suhu hangat dan

lembab. Jumlah telur yang dikeluarkan sekali waktu adalah sekitar 100-400 butir

(Brown, 1983).

Gambar 3 Nyamuk dewasa Aedes aegypti pada dorsal dada ada corak putih bentuk siku (Cutwa dan O’Meara, 2006)

Aedes aegypti mempunyai skutelum trilobipalpus pada yang betina lebih

pendek daripada probosis, ujung abdomen nyamuk betina biasanya runcing, cerci

menonjol, tubuh berwarna gelap, thorax sering dengan noda-noda putih sewaktu

istirahat probosis dan badan dalam dua sumbu sisik sayap sempit panjang dengan

Page 27: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

ujung runcing, mempunyai gambaran pita putih seperti alat musik harpa (lyre

shape) (Service,1996).

Telur Aedes aegypti pada suhu kamar yaitu 7.62 hari dan 9.62 hari

(Soekiman et al.1984). Dari telur sampai menjadi nyamuk tergantung situasi

lingkungan. Secara umum telur diletakkan pada dinding tandon air. Jika tidak ada

genangan air, telur akan bertahan beberapa minggu sampai beberapa bulan. Telur

menetas menjadi larva dalam dua hari. Umur larva 7-9 hari, kemudian menjadi

pupa. Umur pupa dua hari, lalu menjadi nyamuk. Umur nyamuk betina 8-15 hari,

nyamuk jantan 3-6 hari. Di laboratorium telur tersebut dapat menetas dalam 10

hari pada temperatur 28°C dan penelitian di lapangan ternyata dapat menetas lebih

lama yaitu sekitar 20 hari.

Larva Aedes aegypti mempunyai sisir pada ruas ke-8 abdomen yang terdiri

dari gigi-gigi yang bergerigi (duri lateral) (Service,1996).

Gambar 4 Larva nyamuk Aedes aegypti mempunyai gigi sisir dengan duri samping (Cutwa dan O’Meara, 2006)

Tempat kebiasaan bertelur dari dua vektor utama dengue agak berbeda.

Aedes aegypti bertelur di bak air jernih terutama bak air di kamar kecil (WC), bak

mandi, bak atau gentong tandon air minum. Aedes albopictus lebih senang

bertelur di kaleng yang dibuang. Hal itu sesuai dengan sifat Aedes aegypti yang

mempunyai kecenderungan sebagai nyamuk rumah (Brown,1983).

2.2.2 Ekologi Nyamuk Aedes aegypti

Wilayah Indonesia mempunyai iklim yang bervariasi dua musim,

temperatur, kelembaban, dan kecepatan angin berkaitan dengan siklus kehidupan

vektor penyakit DBD. Basil Loh dan Ren Jin Song (2001) cit Sucipto (2008)

melaporkan bahwa ada hubungan berarti antara populasi tempat kehidupan larva

positif Aedes aegypti dan Aedes albopictus dengan curah hujan. Hubungan yang

Page 28: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

paling nyata terlihat pada faktor kelembaban, temperatur dengan jumlah jentik

Aedes sp.

Curah hujan; sangat penting untuk kelangsungan hidup nyamuk Aedes

aegypti, dan posisi Indonesia adalah sebagai wilayah tropis yang curah hujannya

sangat tinggi dibandingkan dengan wilayah non tropis. Iklim hujan tropis

mempengaruhi peningkatan kehidupan arthropoda. Hujan akan memepengaruhi

naiknya kelembaban nisbi udara dan menembah jumlah tempat perkembangan

nyamuk Aedes sp di luar rumah. Telur-telur yang diletakan oleh nyamuk Aedes sp

yang pernah menghisap darah penderita DBD atau seseorang yang dalam

darahnya mengandung virus dengue (virDen) disebut viraemia pada akhir musim

hujan sebelumnya berpotensi untuk terinfeksi virDen secara transovarial dari

induknya pada musim hujan berikutnya. Suhu yang panas menyebabkan daur

hidup arthropoda menjadi pendek sama dengan memendeknya periode inkubasi

patogen, termasuk juga ketersediaan air sebagai tempat hidup larva. Banyak

spesies dengan berbagai jenis termasuk vektor dan patogennya, hidup di daerah

tropis sangat baik.

Pengaruh suhu/temperatur; nyamuk adalah binatang berdarah dingin dan

karenanya proses-proses metabolisme dan siklus kehidupannya tergantung pada

suhu lingkungan. Nyamuk tidak dapat mengatur suhunya sendiri terhadap

perubahan di luar tubuhnya. Suhu rata-rata optimum untuk perkembangan

nyamuk adalah 25-270C, pertumbuhan nyamuk akan terhenti sama sekali pada

suhu kurang dari 100C atau lebih dari 400C (Depkes RI, 2004). Penularan virDen

pada umunya terjadi di daerah tropis dan sub tropis, karena temperatur yang

dingin selama musim dingin membunuh telur dan larva Aedes aegypti.

Selain itu temperatur mempengaruhi reflikasi pathogen, maturasi, dan

periode infeksitas. Masa inkubasi ekstrinsik akan semakin pendek secara linier

dengan meningkatnya temperatur. Temperatur yang meningkat dapat

memperpendek masa harapan hidup nyamuk dan menggangu perkembangan

pathogen. Telur Aedes aegypti yang menempel pada permukaan dinding tempat

penampungan air yang lembab dapat mengalami proses embrionisasi yang

sempurna pada suhu 25-300C selama 72 jam. Telur yang telah mengalami

embrionisasi ini tahan terhadap kekeringan selama lebih dari satu tahun, dan akan

menetas menjadi larva dalam beberapa menit jika tergenang air (WHO, 1997).

Page 29: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

Suhu optimum untuk propagasi virus pada nyamuk Aedes aegypti di

laboratorium adalah 280C. Mourya dan Joushi (2002) membuktikan bahwa

semakin lama telur yang berasal dari nyamuk Aedes aegypti invektif virDen pada

suhu kamar, maka indek transmisi transovarialnya semakin tinggi. Adapun Thu et

al.(1998) membuktikan bahwa suhu dan kelembaban optimum untuk propagasi

virDen pada nyamuk Aedes aegypti di laboratorium adalah suhu dan kelembaban

yang di sesuaikan dengan suhu dan kelembaban pada musim hujan di Nyangon

dan Singapura.

Pengaruh kelembaban nisbi udara; adalah banyaknya kandungan uap air

dalam udara yang biasanya dinyatakan dalam persen (%). Kebutuhan kelembaban

yang tinggi mempengaruhi nyamuk untuk mencari tempat yang lembab dan basah

sebagai tempat hinggap atau istirahat. Pada kelembaban kurang dari 60% umur

nyamuk menjadi pendek (Depkes RI, 2004), sehingga tidak cukup untuk siklus

perkembang biakan virDen dalam tubuh nyamuk

Faktor kepadatan penduduk; juga sangat tinggi di beberapa negara daerah

tropis, yang menyebabkan kontak vektor dengan manusia sangat sering sekali.

Kepadatan penduduk atas dasar luas administratif, luas perkotaan, luas

pemukiman dan luas bangunan rumah mukim, dapat disusun hasil kepadatan

penduduk yang mengacu pada keputusan Menteri Pekerjaan Umum (anonim,

1979). Kepadatan dikategorikan dalam lima kelas, yaitu; dikategorikan sangat

tinggi > 400 jiwa/Ha; dikategorikan tinggi 300-400 jiwa/Ha; dikategorikan sedang

200-300 jiwa/Ha; dikategorikan rendah 100-200 jiwa/Ha; dikategorikan sangat

rendah < 100 jiwa/Ha.

Inang; berhubungan dengan infeksi virDen ke manusia dan beberapa

spesies primata yang lebih rendah (kera), namun manusia merupakan inang

utama. Sumber penularan yang paling berbahaya adalah pengidap virus yang tidak

menunjukan gejala atau hanya memperlihatkan gejala demam ringan karena

mereka bisa pergi kemana-mana, sehingga mobilitas yang tinggi di daerah

perkotaan memainkan peranan penting dalam penularan virDen dari pada

mobilitas Aedes aegyptisendiri (WHO, 2001).

Sebagian besar (90%) kasus DBD diderita oleh anak-anak di bawah usia 15

tahun, kematian akibat DBD mencapai kira-kira 25 000 jiwa per tahun dengan

Case Fatality Rate (CFR) rata-rata 5% (WHO,2001), namun sejak tahun 1996-

Page 30: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

2004 mengalami pergeseran di Indonesia, DBD diderita juga pada golongan usia

> 15 tahun (Kusriastuti, 2005 ). Menurut Malvige et al. (2004) angka kesakitan

dan angka kematian akibat kasus DBD paling banyak diderita anak-anak dan

resiko kematian akibat DBD pada anak-anak 15 kali lipat dari pada orang dewasa,

selain itu kasus DBD sering dilaporkan pada wanita dari pada pria. Faktor

malnutrisi bukan merupakan predoposisi kejadian DBD, tapi kasus DBD sering

dilaporkan pada pasien-pasien penyakit kronis seperti diabetes mellitus dan asma

bronchial.

2.3 Mekanisme Transmisi Virus Dengue

Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada transmisi infeksi virus

dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara yaitu nyamuk Aedes aegypti

sebagai vektor utama dan Aedes albopictus sebagai covektor (Mardihusodo et al.

2007).

Mekanisme transmisi virDen berlangsung secara horisontal dan vertikal

yang ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti.

Transmisi virDen secara horisontal berlangsung dari nyamuk vektor kedalam

tubuh vertebrata (manusia dan kelompok kera tertentu) dan sebaliknya dari

vertebrata ke dalam tubuh vektor. Nyamuk mendapatkan virus pada saat

melakukan gigitan pada manusia (vertebrata) yang pada saat itu sedang

mengandung virDen di dalam darahnya (viraemia). Virus yang sampai ke dalam

lambung nyamuk akan mengalami replikasi (memecah diri atau berkembang

biak), kemudian akan migrasi yang akhirnya akan sampai di kelenjar ludah. Virus

yang berada di lokasi ini setiap saat siap untuk dimasukkan ke dalam kulit tubuh

manusia melalui gigitan nyamuk. Mekanisme transmisi vertikal dalam tubuh

nyamuk. Arbovirus tersebut dapat ditularkan oleh nyamuk betina ke pada telurnya

(transovarial), yang nantinya akan menjadi nyamuk, tingkat infeksi ini melebihi

80% (Beaty et al. 1996).

Gambaran ultra struktur menunjukkan virus pertama kali mengalami

replikasi di dalam usus tengah nyamuk vektornya. Virus sesampai di haemocoel

dan haemolymph, kemudian menyebar ke jaringan-jaringan antara lain sistem

saraf, kelenjar ludah, usus depan, usus tengah, badan lemak, sel-sel epidermis,

Page 31: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

ovarium, bagian dalam dinding sel nyamuk. Virus tidak dijumpai di muskulus,

usus belakang, dan tubuli malfigi (Malvige et al. 2004).

Gambar 5 Skematis perjalanan arbovirus pada nyamuk, Beaty et al. (1996)

A=usus depan; B= lumen usus tengah; C= membran sel epitel lambung;

D=jaringan epitel lambung/usus tengah; E= hemocoel; F= tubuli malfigi; G=

toraks; H= kelenjar saliva

Menurut Beaty et al. (1996) virus mengalami replikasi di usus tengah

selama 3 hari dari mulai masuknya virus ke nyamuk, selanjut pada hari ke-3-6

menyebar ke haemocoel, hari ke-6-9 menyebar kejaringan saraf, badan lemak,

jantung, sel perikardium dan ovarium, hari ke-9-12 virus berada pada kelenjar

ludah dan siap untuk ditularkan.

Gambar 6 Skematis waktu perjalanan arbovirus pada nyamuk (Beaty et al.1996)

Khin dan Than (1983), melakukan penelitian pertama kali tentang

transovarial di alam dengan metode direct fluorescence antibody test (DFAT)

A

B

C

D

E

F

G

H

E

Page 32: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

dengan menginjeksikan virus pada nyamuk Toxorynchites splendens virDen

serotip 2 (Den-2) yang diisolasi dari kumpulan larva Aedes aegypti di Yangoon,

Myanmar, transmisi diperkirakan juga bisa tejadi secara vertikal (transovarial).

Menurut Leake (1984) mekanime transmisi transovarial arbovirus pada

nyamuk ada tiga macam :

1. Nyamuk betina yang belum terinfeksi mengisap darah inang viremia, virus

replikasi dalam nyamuk dan telur terinfeksi menghasilkan larva yang infeksius.

2. Nyamuk betina yang belum terinfeksi kawin dengan nyamuk jantan yang

terinfeksi secara transovarial dan selama nyamuk kawin terjadi transmisi secara

seksual (venereal), sebagai akibatnya ovarium nyamuk betina terinfeksi virus.

3. Nyamuk betina mengalami infeksi virus jaringan ovariumnya dan terpelihara

sampai generasi berikutnya secara genetik.

Transmisi transovarial virDen pada awalnya dianggap tidak berperan bagi

epidemiologi dengue. Informasi terakhir menunjukkan bahwa transmisi

transovarial virus Dengue pada nyamuk Aedes albopictus terdeteksi 7-41 hari

sebelum kasus Dengue pertama kali dilaporkan, sedangkan transmisi transovarial

virDen pada nyamuk Aedes aegypti berperan dalam meningkatkan dan

mempertahankan epidemik dengue (Lee & Rohani, 2005).

Penelitian di Thailand oleh Watt et al. (1985) pada nyamuk Aedes aegypti

dan Aedes albopictus di wilayah perkotaan dan pedesaan menunjukkan hasil

negatif; virus Dengue tidak terisolasi dari 5 766 ekor larva, 39 pupa, atau 85

Aedes aegyptijantan. Tetapi virDen-2 berhasil diisolasi dari 14 ekor nyamuk

betina Aedes aegyptiyang dikoleksi dari 8 rumah (dari 35 rumah yang disurvei) di

Bangkok. Peneliti lain, Jousset (1981) pada penelitian eksperimental di

laboratorium menunjukkan bahwa virDen-2 dapat ditularkan secara transovarial

oleh 4 strain nyamuk Aedes aegypti meskipun kisarannya rendah, 0.3-1.2%.

Rosen et al. (1983) dalam studi eksperimental juga menunjukkan ada bukti bahwa

nyamuk Aedes aegypti berkemampuan menularkan virus Den-1 secara

transovarial. Belum lama ini, Joshi et al.(2002) melaporkan eksperimentasinya di

laboratorium bahwa virDen-3 secara persisten ditularkan secara transovarial yang

meningkat frekuensinya sampai F-7 kemudian tetap (persisten) infeksinya pada

generasi-generasi (F) berikutnya. Hasil penelitian ini memberikan indikasi bahwa

transmisi transovarial berpotensi sebagai pendukung pemeliharaan endemisitas

Page 33: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

DBD, dengan nyamuk Aedes aegypti berlaku sebagai reservoir virDen sepanjang

waktu.

Transmisi transovarial virDen di Indonesia di alam dibuktikan oleh

Umniyati (2004) di Kelurahan Klitren, Yogyakarta dengan metode

Imunositokimia-imunoperoksidase streptavidin biotin complex (IISBC) pada

sediaan pencet kepala (head squash), yang kemudian metode ini dibakukan oleh

Umniyati. Penelitian selanjutnya dengan metode yang sama oleh Widiarti et

al.(2006) di Kota Semarang, Kabupaten Kendal, Kabupaten Sukoharjo, dan Kota

Salatiga ditemukan adanya transmisi DBD secara transovarial dengan persentase

angka infeksi (infection rate) berkisar 0.66-8.77%, dan juga oleh Mardihusodo et

al.(2007) di beberapa kelurahan Kota Yogyakarta juga ditemukan telah terjadi

transmisi vertikal dalam tubuh nyamuk, dengan angka infeksi 38.5-70.2%.

Menurut Mardihusodo et al.(2007) transmisi juga tejadi secara vertikal

(transovarial), yaitu dari nyamuk Aedes aegyptibetina gravid yang terinfeksi

virDen sebagai induk ke ovum (telur) dalam uterus nyamuk itu, yang akhirnya

berpropagasi dalam embrio dalam telur, selanjutnya virDen menggunakan larva

sampai imagonya sebagai medium hidup untuk perbanyakannya. Manusia bisa

terinfeksi virus Dengue sewaktu pertama kali nyamuk yang muncul dari pupanya

dalam air menggigit dan mengisap darah.

2.4 KLB Demam Berdarah Dengue

Kejadian berjangkitnya demam berdarah dengue di suatu tempat dapat

menimbulkan ledakan jumlah penderitanya. Dalam ukuran tertentu, ledakan

jumlah penderita di suatu wilayah dibandingkan dengan jumlah kejadian di tempat

yang sama pada kurun waktu yang sama tahun sebelumnya, di Indonesia kejadian

itu disebut sebagai Kejadian Luar Biasa. Departemen Kesehatan mendefinisikan

Kejadian Luar Biasa sebagai berikut: “Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah suatu

kejadian kesakitan/kematian dan atau meningkatnya suatu kejadian

kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu kelompok

penduduk dalam kurun waktu tertentu” (Peraturan Menteri Kesehatan No.

949/Menkes/SK/VIII/2004).

Kriteria penetapan KLB Demam Berdarah Dengue adalah sebagai berikut:

(1) timbulnya penyakit demam berdarah dengue (DBD) yang sebelumnya tidak

Page 34: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

ada di suatu daerah Tingkat II, (2) Adanya peningkatan kejadian kesakitan DBD

dua kali atau lebih dibandingkan jumlah kesakitan yang biasa terjadi pada kurun

waktu yang sama tahun sebelumnya (Peraturan Menteri Kesehatan No.

1202/Menkes/SK/VIII/2002).

2.5 Ovitrap (perangkap telur nyamuk)

Salah satu upaya untuk memutus siklus perkembangan nyamuk itu bisa

dengan menggunakan ovitrap, atau perangkap telur dan larva nyamuk, khususnya

untuk Aedes aegypti. Ovitrap telah umum digunakan dan diproduksi secara massal

di Singapura dan Malaysia. Di sana, ovitrap dikenal dengan nama Mosquito

Larvae Trapping Device (MLTD). Ovitrap berarti perangkap telur (ovum= telur,

trap= perangkap) terbukti menekan pertumbuhan nyamuk hingga 50%. Ovitrap

memang merupakan sebuah metode yang diterapkan di Taiwan (dan sebenarnya

memang bukan metode yang baru di Indonesia) sebagai salah satu bentuk

surveillance untuk mengetahui distribusi dan kepadatan vektor nyamuk Aedes

aegypti dan Aedes albopictus (Nusa, 2005).

Perangkap telur nyamuk (Ovitrap) yang digunakan dalam penelitian ini

adalah sebuah gelas volume 250 ml dicat hitam bagian luarnya, diisi air hujan

sepertiganya, lalu dipasangi kertas pita kertas saring berukuran 5 cm x 20 cm

dipasang melingkar penuh di dalam gelas sebatas permukaan air sebagai ovistrip.

Untuk keperluan survailans ovitrap dipasang di dalam rumah sebanyak 3 buah dan

3 buah di luar rumah untuk tiap rumah. Setelah seminggu pemasangan, ovitrap

diperiksa adanya telur pada kertas saring. Ovitrap digunakan juga untuk

mendeteksi adanya Aedes aegypti dan Aedes albopictus dimana kepadatan

populasinya rendah dan survey jentik kebanyakan tidak produktif. Ovitrap dapat

digunakan untuk mengevalusi keberhasilan pengendalian vektor dan

memperkirakan kepadatan populasi nyamuk (Mardihusodo et al. 2007). Gambar 7

dan 8 adalah Ovitrap yang digunakan dalam penelitian.

Page 35: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

Gambar 7 Ovitrap dengan kertas saring Gambar 8 Pemasangan Ovitrap

2.6 Penginderaan Jauh (Remote Sensing)

Menurut Lillesand dan Kiefer (1979) Penginderaan jauh adalah ilmu dan

seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah, atau gejala dengan jalan

menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak

langsung terhadap obyek, daerah, atau gejala yang dikaji.

Penginderaan jauh bisa dikatakan sebagai Ilmu karena memiliki berbagai

karakteristik yang jelas. Karakteristik yang jelas itu antara lain terdapat pada

lingkup studinya, konsepsi dasarya, metodologi, serta filosofinya. Bila

Peninginderaan jauh digunakan oleh pakar lain untuk menopang penelitian atau

pekerjaannya, maka penginderaan jauh merupakan teknik bagi mereka. Misalnya

seorang pakar lingkungan hidup yang menggunakan bantuan citra satelit untuk

mengetahui kerusakan hutan.

2.6.1 Sistem Penginderaan Jauh dan Komponennya

Sistem penginderaan jauh ialah serangkaian komponen yang digunakan untuk

penginderaaan jauh. Rangkaian komponen itu berupa tenaga, obyek, sensor, data,

dan pengguna data (Prahasta, 2008). Gambar 9 menunjkana rangkaian komponen

dalam sistem penginderaan jauh.

Page 36: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

Gambar 9 Rangkaian komponen dalam system penginderaan jauh

a. Sumber tenaga

Dalam penginderaan jauh harus ada sumber tenaga, baik sumber tenaga

alamiah (sistem pasif) maupun sumber tenaga buatan (sistem aktif). Tenaga ini

mengenai objek di permukaan bumi yang kemudian dipantulkan ke sensor.

Jumlah tenaga matahari yang mencapai bumi dipengaruhi oleh waktu (jam,

musim), lokasi, dan kondisi cuaca. Jumlah tenaga yang diterima pada siang

hari lebih banyak bila dibandingkan dengan jumlah pada pagi atau sore hari.

Kedudukan matahari terhadap tempat di bumi berubah sesuai dengan

perubahan musim. Pada musim di saat matahari berada tegak lurus di atas

suatu tempat, jumlah tenaga yang diterima lebih besar bila dibanding dengan

pada musim lain di saat matahari kedudukannya condong terhadap tempat itu.

Di samping itu, jumlah tenaga yang diterima juga dipengaruhi oleh letak

tempat di permukaan bumi. Tempat-tempat di ekuator menerima tenaga lebih

banyak bila dibandingkan terhadap tempat-tempat di lintang tinggi.

Kondisi cuaca juga berpengaruh terhadap jumlah sinar yang mencapai bumi.

Semakin banyak penutupan oleh kabut, asap, dan awan, maka akan semkin

sedikit tenaga yang dapat mencapai bumi.

Page 37: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

b. Atmosfer

Sebelum mengenai obyek, energi yang dihasilkan sumber tenaga merambat

melewati atmosfer. Atmosfer membatasi bagian sektrum elektromagnetik yang

dapat digunakan dalam penginderaan jauh. Pengaruh atmosfer merupakan

fungsi panjang gelombang dan bersifat selektif terhadap panjang gelombang

c. Interaksi antara tenaga dan Obyek.

Tiap obyek mempunyai karakteristik tertentu dalam memantulkan atau

memancarkan tenaga ke sensor. Pengenalan obyek pada dasarnya dilakukan

dengan menyidik (tracing) karakteristik spektral objek yang tergambar pada

citra.

d. Sensor.

Tenaga yang datang dari objek di permukaan bumi diterima dan direkam oleh

sensor. Tiap sensor mempunyai kepekaan tersendiri terhadap bagian spektrum

elektromagnetik. Di samping itu juga kepekaan berbeda dalam mereka obyek

terkecil yang masih dapat dikenali dan dibedakan terhadap obyek lain atau

terhadap lingkungan sekitarnya. Kemampuan sensor untuk menyajikan

gambaran obyek terkecil ini disebut resolusi spasial. Semakin kecil obyek yang

dapat direkam oleh sensor menandakan semakin baik kualitas sensor tersebut.

Berdasarkan proses perekamannya, sensor dibedakan menjadi sensor fotografik

dan sensor elektronik. Sensor fotografik proses perekamannya berlangsung

secara kimiawi. Tenaga elektromagnetik diterima dan direkam pada lapisan

emulsi film yang bila diproses akan menghasilkan foto. Sedangkan sensor

elektronik menggunakan tenaga elektrik dalam bentuk sinyal elektrik. Sinyal

elektrik yang direkam pada pita magnetik ini kemudian dapat diproses menjadi

data visual maupun menjadi data digital yang siap dikomputerkan.

Lillesand dan Kiefer (1979) mengemukakan beberapa kelebihan sistem

fotografik dan sistem elektronik. Keuntungan sistem fotografik yakni: (1)

caranya sederhana, (2) tidak mahal, (3) resolusi spasialnya baik, dan (4)

integritas geometriknya baik. Sistem elektronik mempunyai kelebihan dalam

hal penggunaan spektrum elektromagnetik yang lebih luas, kemampuan yang

lebih besar dan lebih pasti dalam membedakan karakteristik spektral obyek,

dan proses analisis yang lebih cepat karena digunakannya komputer.

Page 38: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

2.6.2 Komponen Penginderaan Jauh

a. Perolehan data

Perolehan data dapat dilakukan dengan cara manual yakni dengan interpretasi

secara visual, dan dapat pula dilakukan dengan cara numerik atau cara digital

yaitu dengan menggunakan komputer. Foto udara umumnya diinterpretasi

secara manual, sedang data hasil penginderaan secara dapat diinterpretasi

secara manual maupun secara numerik.

b. Pengguna data.

Keberhasilan aplikasi penginderaan jauh terletak pada dapat diterima atau

tidaknya hasil penginderaan jauh itu oleh para pengguna data. Kerincian,

keandalan, dan kesesuainnya terhadap kebutuhan pengguna sangat menentukan

diterima atau tidak diterimanya data penginderaan jauh oleh para penggunanya.

Berdasarkan cara pengumpulan datanya, sistem penginderaan jauh dapat

dibedakan atas tenaga dan wahana yang digunakan dalam penginderaaan.

Berdasarkan tenaga yang digunakan, sistem tersebut dibedakan atas yang

menggunakan tenaga pantulan dan yang menggunakan tenaga pancaran.

Sedang berdasarkan wahananya maka sistem penginderaan jauh dibedakan atas

sistem penginderaaan dari dirgantara (airborne system) dan dari antariksa

(spaceborne system) (Sutanto, 1994). Berdasarkan analisis datanya maka

penginderaan jauh dibedakan atas cara interpretasinya, yaitu interpretasi secara

visual dan interpretasi secara numerik.

2.6.3 Pemanfaatan Penginderaan Jauh

Kegunaan citra penginderaan jauh antra lain sebagai berikut:

a. Sebagai alat bantu dalam menyusun teori

Teori adalah serangkaian peryataan tentang hubungan antara dua gejala atau

lebih yang dibuat dengan tingkat kepercayaan tertentu. Teori tersebut disusun

berdasarkan penelitian yang dibuat dengan tingkat kepercayaan antara teori dan

fakta.

b. Sebagai atau untuk menemukan fakta.

Citra yang menyajikan gambaran lengkap merupakan sumber data yang dapat

diinterpretasi secara cepat.

c. Sebagai alat penelitian

Page 39: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

Citra yang menyajikan gambaran sinoptik merupakan alat yang baik dalam

memberikan rekaman objek, gejala, atau daerah.

d. Sebagai dasar penjelasan

Citra yang menyajikan gambaran lengkap dengan wujud dan letak yang mirip

wujud dan letak sebenarnya merupkan alat yang baik sekali untuk memahami

letak dan susunan gejala di muka bumi.

e. Sebagai alat dalam prediksi pengendalian.

Citra merupakan alat bantu secara visual yang bermanfaat di dalam prediksi

dan pengendalian, yaitu sebagai abstraksi kondisi masa yang akan datang dan

sebagai peta kerja.

Remote sensing telah memberikan kemungkinan pemantauan berbagai

fenomena permukaan bumi dengan cepat dan akurat. Berbagai bidang ilmu yang

langsung atau tidak langsung berhubungan dengan bumi (geo, land) dapat

mengambil manfaat dari remote sensing. Alasan yang mendorong pemanfaatan ini

antara lain (Sutanto, 1994):

a. Daerah yang luas pada permukaan bumi dapat diamati dari titik pandang yang

baik (dari angkasa) dan dicitrakan dengan jelas;

b. Beberapa sensor yang dikembangkan memiliki sensitifitas untuk mengukur

gelombang elektromagnet yang tidak dapat ditangkap oleh mata manusia;

dengan demikian sifat-sifat yang “tak nampak” pada permukaan bumi pun

dapat terekam;

c. Dalam satu citra objek-objek yang tergambar dapat dipantau dalam satu

hubungan keruangan;

d. Pengambilan citra dapat dilakukan dalam waktu yang berbeda (multi-

temporal), sehingga memungkinkan untuk melihat situasi suatu daerah dimasa

lalu serta dapat melakukan penggambaran ulang (rekonstruksi) sifat-sifat

tertentu objek-objek yang diamati.

Satelit penginderaan jauh yang ada menghasilkan citra dengan berbagai

macam resolusi (resolusi spasial, spektral dan temporal). Resolusi spasial pada

citra terkait dengan objek terkecil yang dapat disajikan, dibedakan dan dikenali

pada citra. Jadi bila kita ingin mendeteksi objek yang kecil di permukaan bumi,

maka diperlukan citra satelit dengan resolusi yang tinggi. Resolusi spektral

menunjukkan sensitivitas sensor pada panjang gelombang tertentu. Ini juga

Page 40: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

berhubungan dengan kemampuan dalam pembedaan objek. Resolusi temporal

berkaitan siklus pengulangan satelit untuk merekam daerah/objek yang sama. Ada

satelit yang mampu merekam objek dua kali dalam sehari, sedangkan satelit yang

lain hanya dapat merekam 35 hari sekali.

Sistem sensor penginderaan jauh berdasarkan sumber energi yang dipakai

berupa sensor aktif dan pasif. Sensor dikatakan pasif karena tidak memancarkan

energi sendiri. Sensor pasif mempergunakan pantulan/ pancaran energi dari objek

di permukaan bumi yang berasal dari sinar matahari. Hal ini berarti sensor hanya

dapat beroperasi di siang hari. Sensor pasif biasanya berupa sensor optik/elektro-

optik. Sebaliknya terdapat pula sistem pencitra yang aktif, seperti radar, yang

memancarkan sinyal pada panjang gelombang mikro dan merekam karakteristik

pantulan sinyal setelah mengenai permukaan bumi.

Citra Penginderaan Jauh sangat banyak digunakan dalam berbagai bidang

kehidupan seperti pemetaan penutup dan penggunaan lahan, pertanian, pemetaan

tanah, kehutanan, perencanaan kota, investigasi arkeologi, observasi militer,

survey geomorfologi, kesehatan, dan masih banyak lagi (Sutanto, 1994)

2.7 IKONOS

Tahun 1992 Kongres Amerika Serikat (AS) meloloskan Undang-undang

Penginderaan jauh daratan (US Land Remote Sensing Act). Undang-undang ini

menyebutkan industri inderaja satelit komersial sangat penting bagi kesejahteraan

rakyat AS serta mengizinkan perusahaan-perusahaan swasta mengembangkan,

memiliki, mengoperasikan serta menjual data yang dihasilkan (Danoedoro, 2004).

Sejak diluncurkan pada tanggal 24 September 1999, Citra satelit bumi Space

imagings IKONOS menyediakan data citra yang akurat, dimana menjadi standar

untuk produk-produk data satelit komersial yang beresolusi tinggi. Satelit ini

mengorbit bumi sinkron dengan matahari setinggi 681 km. Waktu revolusinya

adalah 98 menit. Resolusi spasialnya adalah 3 hari. IKONOS memproduksi citra 1

meter hitam dan putih (pankromatik) dan citra 4 meter multispektral (red, blue,

green dan near-infrared) yang dapat dikombinasikan dengan berbagai cara untuk

mengakomodasikan secara luas aplikasi citra beresolusi tinggi (Space imaging,

2004).

Page 41: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

IKONOS dimiliki dan dioperasikan oleh Space imaging sebuah perusahaan

Observasi Bumi Amerika Serikat. Satelit komersial beresolusi tinggi lainnya yang

diketahui: Orbview-3 (OrbImage), Quickbird (EarthWatch) dan EROS-A1 (West

Indian Space). Disamping mempunyai kemampuan merekam citra multispetral

pada resolusi 4 meter, IKONOS dapat juga merekam obyek-obyek sekecil satu

meter pada hitam dan putih. Dengan kombinasi sifat-sifat multispektral pada citra

4 meter dengan detail-detail data pada 1 meter. Citra IKONOS diproses untuk

menghasilkan 1 meter produk-produk berwarna IKONOS adalah satelit komersial

beresolusi tinggi pertama yang ditempatkan di ruang angkasa.

Sensor OSA pada satelit didasarkan pada prinsip pushbroom dan dapat

secara simultan mengambil citra pankromatik dan multispektral. IKONOS

mengrimkan resolusi sapatial tertinggi sejauh yang dicapai oleh sebuah satelit

sipil. Bagian dari resolusi spasial yang tinggi juga mempunyai resolusi

radiometrik tinggi menggunakan 11-bit (Space Imaging, 2004).

Data IKONOS dapat digunakan untuk pemetaan topografi dari skala kecil

hingga menengah, tidak hanya menghasilkan peta baru, tetapi juga

memperbaharui peta topografi yang sudah ada. Penggunaan potensial lain

IKONOS adalah precision agriculture, hal ini digambarkan pada pengaturan band

multispektral, dimana mencakup band infra merah dekat (near-infrared).

Pembaharuan dari situasi lapangan dapat membantu petani untuk mengoptimalkan

penggunaan pupuk dan herbisida (Janssen dan Hurneeman, 2001).

Tabel 1 Resolusi spasial pada citra satelit IKONOS

Band Width Resolusi SpasialPanchromatic 0.45 – 0.90µm 1 meterBand 1 0.45 – 0.53µm (blue) 4 meterBand 2 0.52 – 0.61µm (green) 4 meterBand 3 0.64 – 0.72µm (red) 4 meterBand 4 0.77 – 0.88µm (near infra-red) 4 meter

Sumber: www. Satimagingcorp.Com

IKONOS dengan kemampuannya sebagai “high accuracy remote sensing

satellite” akan memberikan implikasi terhadap berubahnya konsepsi penyediaan

data dan informasi wilayah terutama karena meningkatnya kecepatan dan

keakuratan datanya (Space imaging, 2004).

Page 42: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

Tabel 2 Karakteristik satelit IKONOS

Sistem Karakteristik IKONOSLaunch Date 24 September 1999 at Vandenberg Air Force

Base, California, USAOperational Life Over 7 yearsOrbit 98.1 degree, sun synchronousSpeed on Orbit 7.5 kilometers per secondSpeed Over the Ground 6.8 kilometers per secondRevolutions Around the Earth 14.7, every 24 hoursAltitude 681 kilometersResolution at Nadir 0.82 meters panchromatic; 3.2 meters

multispectralResolution 26° Off-Nadir 1.0 meter panchromatic; 4.0 meters

multispectralImage Swath 11.3 kilometers at nadir; 13.8 kilometers at 26°

off-nadirEquator Crossing Time Nominally 10:30 AM solar timeRevisit Time Approximately 3 days at 40° latitudeDynamic Range 11-bits per pixelImage Bands Panchromatic, blue, green, red, near IR

Sumber: www. Satimagingcorp.Com

IKONOS juga dapat dimanfaatkan untuk pemantauan cuaca dan penataan

ruang wilayah. IKONOS akan lebih bermanfaat misalnya dalam menganalisis

lahan dan identifikasi obyek. Apabila kemudian data ini dipadukan dengan data

sekunder akan memberikan pengetahuan tentang potensi suatu daerah dengan

lebih detil dan bermanfaat khususnya dalam pengambilan kebijakan pembangunan

(Janssen dan Hurneeman, 2001).

2.8 NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration)

Satelit NOAA merupakan satelit lingkungan dan cuaca yang pertama kali

diluncurkan pada tahun 1970 oleh NASA Amerika Serikat. Satelit ini biasanya

dipakai dalam observasi meteorologi, hidrologi dan osenografi. Satelit NOAA

berorbit polar dimana orbit satelit sejajar dengan bumi dan melintasi kutub utara

dan kubub selatan. Satelit NOAA mengitari bumi dengan mengikuti salah satu

lintang dengan arah tetap pada ketinggian 833 kilometer sampai dengan 870

kilometer. Karena adanya rotasi bumi maka terdapat dua arah lintasan. Arah

lintasan yang menuju arah utara disebut ascend dan arah lintasan menuju arah

selatan yang disebut descend. Satelit ini tiap hari mengorbit sebanyak 14.2 kali

dan waktu tiap orbitnya adalah 102 menit. Pada tiap orbitnya satelit NOAA

Page 43: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

merekam daerah selebar 3000 x 3000 km. Sensor yang terdapat pada satelit

NOAA diantaranya adalah:

1. Tiros Operational Vertikal Sounder (TOVS), untuk pengamatan profil (suhu

dan kelembaban) atmosfer.

2. Space Environmental Monitor (SEM), untuk deteksi proton matahari, partikel

alpha, rapat flux electron dan energi total partikel pada ketinggian satelit.

3. Data Collecting and Location System (DCS), berfungsi sebagai pengumpul dan

transmisi data cuaca global yang diterima oleh flatform di permukaan bumi.

4. Search and Rescue Satellite Aided Tracking (SARSAT), untuk keperluan SAR.

5. Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR), untuk pengamatan

lingkungan dan cuaca.

Sensor pada misi NOAA yang relevan untuk pengamatan bumi adalah

Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR). Sensor AVHRR yang

mempunyai fungsi untuk membantu pengamatan lingkungan dan cuaca dapat

memberikan informasi tentang suhu permukaan laut untuk melihat fenomena

osenografi. Sensor ini dibuat oleh Aerospace Optical Division ITT-Fortwyne dan

memiliki lima saluran (kanal) scanning radiometer dimana masing-masing saluran

mempunyai panjang gelombang dan fungsi tertentu dalam penggunaannya

(Janssen dan Hurneeman, 2001).

Satelit NOAA-AVHRR yang mengorbit polar didesain untuk dapat

memantau permukaan bumi dalam skala luas. Satelit NOAA ditargetkan dapat

meliputi seluruh permukaan bumi dengan bergerak dari selatan ke utara pada

orbitnya di satu sisi bumi (ascending pass) dan kebalikannya dari utara ke selatan

pada sisi bumi yang lainnya (descending pass). Untuk wilayah Indonesia, dalam

satu kali liputannya satelit NOAA-AVHRR dapat mencakup luasan maksimum

2048 pixel. Sebuah pixel citra satelit NOAA-AVHRR berukuran 1.1 km x 1.1 km.

Dengan demikian hanya dalam satu kali orbit luas daerah Indonesia sebesar 2/3

dapat diliput. Dalam satu hari kurang lebih 24 jam, groun station satelit NOAA-

AVHRR milik LAPAN dapat menerima minimal 2 cita dan maksimal 4 citra

untuk daerah yang berbeda yaitu dua data dari ascending orbit dan dua citra dari

descending orbit. Untuk seri satelit NOAA-18 data ascending diterima pada sore

dan malam hari, sedangkan data descending diperoleh pada saat subuh dan pagi

hari (Zudiana, 2004).

Page 44: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

Data AVHRR terutama digunakan untuk peramalan cuaca harian dimana

memberikan data yang lebih detail daripada Meteosat. Selain itu, juga dapat

diterapkan secara luas pada banyak lahan dan perairan. Peta tutupan awan (Cloud

Cover Maps) yang berasal dari data AVHRR, digunakan untuk estimasi curah

hujan, dimana dapat menjadi input dalam model pertumbuhan tanaman. Selain itu,

hasil pengolahan lain dari data AVHRR adalah Normalized Difference Vegetation

Index Maps (NDVI). Data AVHRR sangat tepat untuk memetakan dan memonitor

penggunaan lahan regional dan memperkirakan keseimbangan energi (energy

balance) pada areal pertanian (Janssen dan Hurneeman, 2001).

Tabel 3 Karakteristik sensor infra merah termal NOAA-AVHRR

Sensor Panjang gelombang Resolusi spasial Resolusi temporal

NOAA-AVHRR

Kanal 3A: 1.57-1.64 m 3B: 3.55-3.93 m Kanal 4: 10.3-11.3 mKanal 5: 11.5-12.5 m

1.1 x 1.1 km2 2 kali sehari

Sumber: Maryani, 2008.

Sensor AVHRR yang dibawa oleh satelit NOAA adalah multi spectral

scanner dengan lima band pada panjang gelombang yang berbeda, mulai dari

sinar tampak dan infrared jauh. Saat ini terdapat 4 seri satelit NOAA yang masih

beroperasi, yaitu NOAA-15, NOAA-16, NOAA-17, dan NOAA-18 yang masing-

masing melintasi lokasi yang sama 2 kali sehari (Maryani, 2008).

Page 45: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

2.8.1 Perolehan data suhu udara dan kelembaban dari data NOAA

Gambar 10 Proses perolehan suhu dan kelembaban udara dari data NOAA (Parwati, 2010)

2.8.2 Perolehan data curah hujan melalui satelit lingkungan dan cuaca

Pemanfaatan teknologi satelit penginderaan jauh untuk memantau kondisi

curah hujan dapat dilakukan melalui satelit lingkungan dan cuaca, seperti MTSAT

(Multifunction Transport Satellite), TRMM (Tropical Rainfall Measurement

Mission), dan data QMorph yang curah hujannya diperoleh dari kombinasi

beberapa satelit geostasioner yaitu DMSP, NOAA, Aqua dan TRMM. Data

MTSAT memberikan informasi kondisi liputan awan yang dapat

merepresentasikan peluang hujan rendah hingga tinggi.

NOAA

Koreksi geometrik & Radiometrik

Masking Awan

Penurunan Brihtness

Temperature kanal 3-4-5

Penurunan Reflektans kanal

1-2

Perhitunganindeks vegetasi

NDVI

PerhitunganSuhu permukaan

bumi (LST)

PerhitunganSuhu udara

Landuse dari Landsat7Etm

Estimasi Kelembaban Udara (RH)

DEM SRTM

Page 46: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

Data MTSAT dapat diperoleh setiap jam dengan resolusi spasial 5 km. Data

TRMM memberikan informasi curah hujan setiap 3 jam dengan resolusi spasial

27 km, sedangkan data QMorph dapat memberikan informasi curah hujan setiap

30 menit dengan resolusi spasial 8 km. Informasi curah hujan dari data Qmorph

dapat dilihat di website: http://www.cpc.noaa.gov/products/janowiak/cmorp.html

Gambar 11 Proses perolehan curah hujan dari data satelit lingkungan dan cuaca (Parwati, 2010)

Perhitungan curah hujan harian (24 jam)

DownloadData QMORHP

Spatial subset untuk Penentuan Koordinat

Data satelit DMSP, NOAA, AQUA dan TRMM

Spectral subset band 1 dan 4

Croping daerah yang dipilih

Pengolahan data curah hujan selesai

Page 47: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

3 METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

3.1.1 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di 5 (lima) wilayah yaitu, kecamatan Pontianak

Barat, Pontianak Kota, Pontianak Selatan dan kecamatan Pontianak Tenggara.

Keempat Kecamatan tersebut digunakan untuk pembuatan model karena yang

paling banyak kasus DBDnya, sedangkan wilayah kecamatan Pontianak Utara

digunakan untuk menguji model yang telah dihasilkan di 4 (empat) kecamatan

tersebut di atas. Peta cakupan penelitian dapat dilihat pada Gambar 12 di bawah

ini.

Gambar 12 Peta cakupan lokasi penelitian, citra Ikonos kota Pontianak 2008

3.1.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 6 (enam) bulan dari bulan Oktober 2009

sampai dengan Maret 2010.

Page 48: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

3.2 Rancangan Penelitian

3.2.1 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dibagi

menjadi dua kelompok, kelompok pertama (prediktor) adalah data yang

digunakan untuk mendeteksi faktor resiko lingkungan penyebab demam berdarah

dengue (DBD) yaitu; data citra satelit IKONOS tahun 2003 dan 2008, data iklim

dari citra satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration)

tahun 2005-2009.

Data kelompok kedua (prediktan) adalah data sebaran penderita positif

DBD tahun 2005-2009 di Kecamatan penelitian yang diperoleh dari Dinas

Kesehatan, Puskesmas dan rumah sakit di Kota Pontianak.

3.2.2 Jenis Data dan Informasi

Jenis data dan informasi yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data

primer dan sekunder. Data primer melalui survey lapangan untuk pemantauan

vektor penyakit DBD, dengan melakukan investigasi pemantauan jentik dan

pemasangan ovitrap di luar rumah penduduk yang positif menderita DBD

sebanyak 15 rumah dengan radius tidak lebih dari 100 meter dari rumah penderita

positif DBD (Depkes RI, 2004).

Data sekunder diperoleh dari penginderaan jauh (remote sensing) citra

satelit IKONOS dan NOAA, sedangkan data penderita DBD diperoleh dari Dinas

Kesehatan dan Rumah Sakit di Kota Pontianak.

3.2.3 Parameter yang diamati

Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah parameter prediktor

(variabel bebas) dan prediktan (variabel terikat);

1. Parameter prediktor yaitu parameter keberadaan vektor DBD berupa jentik

Aedes aegypti yang diperoleh dari pemantauan jentik dan pemasangan ovitrap,

sedangkan faktor resiko lingkungan yang diperoleh dari data penginderaan

jauh satelit IKONOS, yang diperkirakan mempengaruhi keberadaan vektor dan

intensitas penularan DBD ada 2 variabel yaitu: (1) penutupan lahan oleh

bangunan dan kepadatan perumahan, (2) vegetasi. Sedangkan faktor iklim:

Page 49: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

suhu udara, kelembaban relatif dan curah hujan diturunkan dari data satelit

lingkungan dan cuaca NOAA.

2. Parameter prediktan yaitu jumlah kasus penderita DBD tahun 2005-2009 di

lokasi penelitian.

3.3 Alat dan Bahan Penelitian

3.3.1 Alat dan bahan penelitian lapangan

Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian lapangan untuk pemeriksaan

vektor jentik nyamuk adalah sbb; senter, ATK, form hasil pemeriksaan jentik, alat

pengukur suhu dan kelembaban, sedangkan untuk pengumpulan/koleksi telur

nyamuk Aedes aegypti sbb; ovitrap berupa gelas plastik isi 250 ml dicat hitam

pada bagian luarnya, kertas saring yang dipotong berukuran 5 x 20 cm sebagai

ovistrip, dan kertas label.

Gambar 13 Alat dan bahan penelitian lapangan

Gambar 14 Alat dan bahan penelitian laboratorium

Page 50: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

3.3.2 Alat dan bahan penelitian laboratorium untuk kolonisasi telur nyamuk

Gambar 14 adalah alat dan bahan yang digunakan untuk kolonisasi nyamuk

Aedes aegypti dan Aedes albopictus di laboratorium diantaranya : tray/nampan

plastik ukuran 20 x 12.5 x 5 cm, kertas label, gelas plastik, pipet plastik, pakan

hati ayam, larutan gula 10% (Mardihusodo, 1993).

3.4 Tahapan Penelitian

3.4.1 Penelitian lapangan

Data subjek penelitian yaitu parameter keberadaan vektor DBD dan faktor-

faktor resiko lingkungan yang berpengaruh terhadap penularan DBD diperoleh

dan dikumpulkan secara langsung (primer) melalui survey lapangan. Kegiatan

pemeriksaan jentik dilakukan terhadap container (penampungan air hujan)

penduduk pada 15 rumah di lokasi yang ditemukan kasus positif DBD. Sedangkan

untuk mendeteksi telur nyamuk Aedes aegypti menggunakan ovitrap. Ovitrap

dilabel sesuai lokasi endemis. Ovitrap dipasang di luar rumah yang diperkirakan

berpotensi menjadi tempat bertelurnya nyamuk Ae.aegypti, yaitu di tempat yang

tidak terkena langsung cahaya matahari dan air hujan (Perich et al. 2003).

Masing-masing rumah ditempatkan ovitrap sebanyak 1 buah di luar rumah.

Menurut Hasyimi et al. (1991) setelah seminggu pemasangan perangkap telur

diperiksa adanya telur pada kertas saring, kemudian ovistrip diganti dan jumlah

air ditambah jika berkurang serta dihitung ovitrap index (OI).

Gambar 15 Pelaksanaan pemeriksaan jentik dan pemasangan ovitrap

Pemasangan ovitrap dilakukan 3 kali selama penelitian di masing-masing

kelurahan lokasi penelitian. Selanjutnya ovistrip dibawa ke Laboratorium

Page 51: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

Mikrobiologi Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Depkes Pontianak untuk

proses kolonisasi. Pengumpulan data primer di lapangan peneliti di bantu oleh 3

(tiga) orang asisten peneliti, dengan perincian setiap kecamatan 1 (satu) asisten

peneliti yang bertanggungjawab untuk melakukan pemeriksaan jentik dan

pemasangan ovitrap.

3.4.2 Penelitian Laboratorium

Pelaksanaan penelitian laboratorium dilakukan di laboratorium

Mikrobiologi Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Depkes Pontianak untuk

kolonisasi nyamuk dari telur sampai ke larva guna deteksi vektor DBD.

Kolonisasi telur nyamuk Aedes aegypti dilakukan dengan cara ovistrip yang

didapat dari lapangan yang sudah kering direndam ke dalam nampan plastik yang

berisi air hujan berdasarkan lokasi pengambilan telur sebelumnya sudah diberi

label, dibiarkan selama 1-2 hari sampai menetas menjadi larva. Proses

pemeliharaan larva agar tetap bertahan hidup diberi pakan hati ayam sebanyak

0.5 gr pada hari ke-0 dan selanjutnya dari hari pertama sampai ke lima atau

sebelum menjadi pupa sempurna diberi pakan hati ayam 1 gr. Jika terdapat buih

pada permukaan air pada nampan segera dibersihkan sebelum diberi pakan, air

diganti 2-3 kali seminggu. Umur larva menjadi pupa kurang lebih 4-5 hari

(Limsuwan et al. 1979).

Gambar 16 Pelaksanaan penelitian di laboratorium

Data yang diharapkan dapat diperoleh dari hasil survey lapangan adalah data

telur nyamuk dan angka jentik vektor serta kasus positif DBD menurut

kecamatan dan data lapangan lainnya. Penelitian di laboratorium Peneliti di bantu

oleh 2 (dua) orang asisten peneliti (petugas laboratorium).

Page 52: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

3.4.3 Analisis data citra satelit NOAA dan IKONOS

Faktor resiko lingkungan kecamatan yang berpengaruh terhadap penularan

DBD diperoleh dan dikumpulkan secara langsung (primer) melalui survey

lapangan dan tidak langsung (sekunder) melalui analisis data citra penginderaan

jauh satelit IKONOS dan satelit Lingkungan dan Cuaca NOAA.

Hasil analisis data citra penginderaan jauh (remote sensing) yang

diutamakan adalah klasifikasi beberapa variabel penutup lahan lingkungan

kecamatan (kepadatan bangunan dan perumahan, serta vegetasi) dan data iklim

(suhu, kelembaban, curah hujan) yang secara epidemiologis diperkirakan

berpengaruh terhadap penularan DBD.

Analisis citra satelit NOAA dan IKONOS menggunakan software Envi 4.1,

Ermapper 7.0 dan AcrView Gis 3.3. Berdasarkan hasil analisis citra NOAA

diperoleh data suhu, kelembaban dan curah hujan, sedangkan analisis citra

IKONOS diperoleh persentasi tutupan lahan berupa kepadatan bangunan dan

perumahan serta vegetasi yang dilakukan melalui proses digitasi.

Data yang diperoleh dari dua macam sumber (primer dan sekunder) tersebut

kemudian diintegraasikan dan dianlisis dengan analisis diskriminan dan regresi

bergada linear menggunakan software SPSS 17.0.

3.5 Metode Analisis Data

1. Keseluruhan data yang diperoleh dari data primer dan sekunder kemudian

diintegrasikan dan dianlisis dengan analisis diskriminan untuk mengetahui

variabel prediktor keberadaan vektor dan penularan DBD di lokasi penelitian.

2. Dengan aplikasi analisis statistik diskriminan, selanjutnya berdasarkan hasil

perhitungan angka intensitas penularan DBDnya, kita akan mengetahui

intensitas penularan DBD menurut kecamatan sampel penelitian.

3. Model analisis statistik yang diaplikasikan adalah analisis regresi linear

berganda yang merupakan model analisis data dari software Statistical Product

and Service Solution (SPSS) versi 17.0 (Priyatno, 2009). Secara otomatis

analisis diskriminan akan mampu menghitung dan menetapkan variabel bebas

(dalam hal ini variabel parameter faktor resiko lingkungan) yang secara

statistik cukup bermakna pengaruhnya terhadap intensitas penularan DBD.

Nilai signifikansi yang diambil adalah 95%, jika nilai F hitung mempunyai

Page 53: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

tingkat signifikan < 95% maka variabel lingkungan tersebut tidak

mempengaruhi intensitas penularan DBD, sebaliknya jika nilai F hitung

mempunyai nilai signifikansi > 95% berarti variabel lingkungan dimaksud

berpengaruh terhadap intensitas penularan DBD.

Melalui aplikasi analisis diskriminan ini, secara langsung akan diperoleh:

(1) variabel prediktor untuk penetapan estimasi tingkat intensitas

penularan DBD; (2) nilai konstanta dan nilai fungsi masing-masing

variabel prediktor untuk persamaan regresi ganda linear yang merupakan

model perhitungan untuk estimasi tingkat intensitas penularan DBD

menurut kecamatan;

4. Prosedur analisis diskriminan yang digunakan adalah sebagai berikut :

a. Kompilasi data,

b. Pengelompokan nilai variabel menjadi kode 0 (tidak berpengaruh) dan 1

(berpengaruh)

c. Analisis diskriminan.

5. Persamaan kombinasi linier dari hasil analisis diskriminan untuk dua kelompok

data (prediktor dan prediktan), mempunyai bentuk umum persamaan regresi

ganda linier yang rumus umumnya menurut Hair et al. (1995) dapat ditulis

sebagai berikut : Y = C + c1X1 + c2X2 +…+ cnXn.

Dalam kaitannya dengan penelitian ini, dimana:

Y = intensitas penularan demam berdarah dengue (DBD),

C = bilangan konstanta dari persamaan diskriminan

c1, c2 dan cn = besarnya nilai fungsi dari masing-masing variable prediktor X1,

X2 dan Xn. Persamaan ini merupakan model pendekatan perhitungan estimasi

penularan demam berdarah dengue (DBD). Nilai c1, c2 dan cn diperoleh dari

hasil analisis diskriminan.

6. Nilai Batas (cut off point) demam berdarah (DBD)

Untuk menghitung nilai batas (cut off point) DBD menurut Santoso dan

Tjip tono (2001), rumus umum cut off point adalah sebagai berikut:

Zcu =( )

( )dimana:

Na = Jumlah wilayah yang mengalami KLB,

Page 54: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

Nb = jumlah wilayah yang tidak mengalami KLB,

Za = nilai fungsi untuk yang KLB,

Zb = nilai fungsi untuk yang bukan KLB; nilai Za, dan Zb dapat dilihat dari

hasil analisis diskriminan.

Nilai Zcu hasil perhitungan analisis diskriminan digunakan untuk mengetahui

dan mengestimasi KLB DBD di suatu kecamatan atau kelurahan dimana, Jika

nilai Y lebih besar dari nilai cut off point maka diestimasikan akan terjadi KLB

DBD untuk 1 bulan kedepan.

Page 55: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

4.1.1 Wilayah Admininistrasi

Kota Pontianak merupakan ibukota Propinsi Kalimantan Barat, dengan luas

107.82 km2 terdiri dari 6 kecamatan dan 28 kelurahan. Kota Pontianak dilintasi

garis khatulistiwa yaitu pada 00 02 ́ 24 ́ ́ Lintang Utara sampai dengan 00 01 ́ 37 ́ ́

Lintang Selatan dan 1090 16 ́ 25 ́ ́ Bujur Barat sampai dengan 1090 23 ́ 04 ́ ́ Bujur

Timur. Ketinggian Kota Pontianak berkisar antara 0,1-1,5 meter di atas

permukaan laut (BPS kota Pontianak, 2009).

Kota Pontianak terletak pada dataran rendah dengan temperatur berkisar

antara 25-340C, kelembaban udara relatif dengan kisaran 60-90% sedangkan

curah hujan rata-rata mencapai 2 500 mm/thn sehingga termasuk kota dengan

curah hujan tinggi (BMG Supadio Pontianak, 2009). Kondisi fisik lahan di kota

Pontianak relatif datar dengan kemiringan 0-8% dan memiliki jenis tanah gambut.

Kota Pontianak dilewati dua sungai yaitu, Kapuas dan sungai Landak yang

berpotensi sebagai sarana transportasi air dan sebagai sumber air baku PDAM

bagi masyarakat di kota Pontianak

Secara administratif kota Pontianak berbatasan dengan:

a. Sebelah Barat: Kecamatan Sui Kakap Kabupaten Kubu Raya.

b. Sebelah Timur: Kecamatan Sui Ambawang Kabupaten Kubu Raya

c. Sebelah Utara: Kecamatan Siantan Kabupaten Pontianak.

d. Sebelah Selatan: Kecamatan Sui Raya Kabupaten Kubu Raya .

Lebih jelasnya mengenai wilayah administrasi Kota Pontianak dapat dilihat

pada Gambar 17.

4.1.2 Demografi

Pertambahan penduduk di kota Pontianak disebabkan 2 (dua) faktor, yaitu

faktor alami (kelahiran-kematian) dan faktor migrasi (datang-pindah). Jumlah

penduduk kota Pontianak sampai tahun 2009 sebanyak 521 569 jiwa. Laju

pertumbuhan penduduk rata-rata di kota Pontianak sebesar 3.08% per tahun (BPS

Kota Pontianak, 2009). Lebih jelasnya mengenai rincian jumlah penduduk, tingkat

Page 56: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

kepadatan penduduk dan luas wilayah per kecamatan di kota Pontianak dapat

dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Jumlah penduduk, luas wilayah dan kepadatan penduduk kota Pontianak berdasarkan kecamatan tahun 2009

No KecamatanJumlah Penduduk (Jiwa) Luas

wilayah (Km2)

KepadatanPenduduk (jiwa/Ha)

Laki Perempuan Total

1 Pontianak Utara 56 489 51 802 100 291 37.62 2.6652 Pontianak Timur 36 963 33 578 70 541 8.78 8.0343 Pontianak Selatan 42 328 43 231 85 559 15.24 5.6144 Pontianak Barat 56 044 56 623 112 667 16.47 6.8405 Pontianak Kota 50 549 54 220 104 769 15.38 6.8126 Pontianak Tenggara 19 676 20 066 39 742 14.23 2.792

Kota Pontianak 262 049 259 520 521 569 107.82 4.837

Sumber: BPS Kota Pontianak, 2009.

Gambar 17 Peta kota Pontianak

4.2 Hasil Surveilans Keberadaan Vektor DBD

Penyelidikan epidemiologi (surveilans) merupakan langkah awal yang

dilakukan dalam penelitian ini, yaitu pencarian penderita positif DBD

(berdasarkan hasil pemeriksaan darah di laboratorium) dan pemeriksaaan jentik

serta pemasangan ovitrap di rumah penderita. Setiap lokasi kasus dipasang

masing-masing 1 buah ovitrap pada 15 rumah dengan radius kurang dari 100

Page 57: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

meter di sekitar titik utama dimana pernah ada kasus positif DBD disitu

(Mardihusodo et al. 2007).

Lokasi titik utama pemasangan ovitrap dilakukan pada 17 kelurahan

dengan kriteria penderita positif DBD, anak masih di bawah umur 10 tahun

dengan asumsi penderita berasal dari lokasi setempat (indegenous), bukan

tersangka/suspect, hal ini bertujuan untuk menghindari kasus impor, dengan

pertimbangan jika penderita sudah dewasa dikhawatirkan tidak tertular di lokasi

tersebut tetapi dari luar karena mobilitas yang tinggi.

Gambar 18 Penentuan lokasi titik pemasangan ovitrap

Surveilans vektor Aedes aegypti adalah penting dilakukan untuk

menentukan distribusi, kepadatan populasi vektor, dan larva habitat utama yang

berhubungan dengan transmisi dengue, dalam rangka pengendalian vektor Aedes

aegypti. Metodologi survei yang dilakukan adalah pemeriksaan langsung terhadap

jentik nyamuk Aedes aegypti di dalam container (penampungan air hujan) dan

pemasangan ovitrap untuk mendeteksi keberadaan, mengetahui positif telur

nyamuk, serta jentik Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Lokasi kasus positif

DBD yang dipasang ovitrap tersebut dapat dilihat pada Gambar 19.

Standar ovitrap yang digunakan adalah berukuran gelas 250 ml, bercat

hitam di bagian luar. Sebagian ovitrap (3/4) diisi dengan air hujan, dalam

penelitian ini dipasang di luar rumah yang diduga berpotensi menjadi tempat

bertelurnya nyamuk Aedes aegypti, yaitu ditempat yang tidak kontak langsung

dengan sinar matahari dan air hujan (Perich et al. 2003).

Page 58: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

Gambar 19 Peta penyebaran sampel kasus positif DBD

Setiap ovitrap diberi label sesuai lokasi penderita, masing-masing rumah

ditempatkan ovitrap 1 buah di luar rumah. Pemasangan dan pemeriksaan ovitrap

dilakukan setiap seminggu sekali selama 3 (tiga) minggu berturut-turut untuk

mengetahui keberadaan vektor nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus.

Menurut Hasyimi et al.(1991) setelah seminggu pemasangan perangkap telur

diperiksa ada tidaknya telur pada kertas saring, kemudian ovistrip diganti untuk

mencegah jangan sampai terjadi perubahan siklus dari telur menjadi jentik sampai

nyamuk dewasa, jumlah air ditambah jika berkurang serta dihitung ovitrap index

(OI). Inokulasi dan pemeriksaan telur dilakukan di laboratorium Mikrobiologi

Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Depkes Pontianak.

Berdasarkan hasil survey investigasi keberadaan vektor nyamuk Aedes

aegypti di 4 (empat) kecamatan lokasi penelitian diperoleh data seperti pada Tabel

5 dan 6.

Tabel 5 Hasil survey investigasi keberadaan vektor jentik nyamuk Aedes aegypti pada container di lokasi kasus positif DBD kota Pontianak,

Desember 2009 - Januari 2010

No KecamatanHouse Indeks Container Indeks

Diperiksa Positif HI (%)

Diperiksa Positif CI (%)

1 Pontianak Selatan 75 16 21.33 225 24 10.672 Pontianak Barat 60 10 16.67 120 15 12.503 Pontianak Kota 75 12 16.00 225 23 10.224 Pontianak Tenggara 60 8 13.33 120 11 9.16

Jumlah 270 46 17.03 690 73 10.58

Page 59: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

Menurut WHO (2007), indeks yang digunakan untuk menilai kepadatan

vektor jentik atau pupa nyamuk Aedes aegypti adalah sebagai berikut :

1. Indeks rumah (HI): adalah persentase rumah yang ditemukan jentik (larva)

dan atau pupae.

HI = 100 %

2. Container indeks (CI): persentase kontainer air yang ditemukan positif jentik

(larva) atau pupae.

CI = 100 %

Hasil investigasi pemeriksaan vektor jentik nyamuk Aedes aegypti pada 270

rumah penduduk yang diperiksa diperoleh 46 rumah positif ditemukan jentik

(HI = 17.03%). Pemeriksaan pada container diperoleh hasil dari 690 yang

diperiksa 73 ditemukan positif jentik (CI = 10.58%) di lokasi kasus positif DBD

kota Pontianak. House indeks (HI) tertinggi di kecamatan Pontianak Selatan

(21.33%), sedangkan container indeks tertinggi di kecamatan Pontianak Barat

(12.50% ).

Tabel 6 Hasil pemasangan Ovitrap untuk deteksi keberadaan telur nyamuk Aedes aegypti di lokasi kasus positif DBD di Kota Pontianak,Desember 2009 - Januari 2010

No Kecamatan

Kode kasus positif DBD

Jumlah ovitrap

Keberadaan telur Indek ovitrap

(IO)(%)

Positif Negatif

1 Pontianak Selatan AGA 15 2 13 13.332 NRN 15 1 14 6.003 NTA 15 1 14 6.004 EML 15 2 13 13.335 Pontianak Barat ADY 15 1 14 6.006 ASW 15 2 13 13.337 NDC 15 2 13 13.338 STI 15 1 14 6.009 Pontianak Kota RAH 15 2 13 13.33

10 BSR 15 4 11 26.6611 ASR 15 1 14 6.0012 NHA 15 2 13 13.3313 HNS 15 1 14 6.0014 Pontianak Tenggara VRN 15 2 13 13.3315 ARA 15 1 14 6.0016 DFI 15 0 15 0.0017 ZMH 15 1 14 6.00

Jumlah 255 26 229 11.35

Page 60: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

Indeks ovitrap (IO) di luar rumah rata-rata 11.35%, jumlah OI terbanyak

berasal dari lokasi kasus BSR di kecamatan Pontianak kota 26.66% dan tidak

ditemukan telur nyamuk di lokasi kasus DFI di kecamatan Pontianak Tenggara.

Masih tingginya IO (> 10%) di lokasi kasus disebabkan padatnya perumahan

penduduk dan kebanyakan penampungan airnya (container) tidak tertutup.

4.2.1 Kolonisasi Telur Nyamuk Aedes aegypti

Kolonisasi telur nyamuk Aedes aegypti dilakukan di Laboratorium

Mikrobiologi Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Depkes Pontianak. Telur

ditetaskan dengan cara merendam ovistrip, setelah 2 hari telur menetas menjadi

larva, setelah 7-8 hari larva berubah menjadi pupa, 3-4 hari mengalami perubahan

bentuk menjadi nyamuk dewasa. Hasil kolonisasi telur nyamuk Aedes aegypti

berasal dari lokasi penelitian seperti ditunjukan pada tabel 7.

Tabel 7 Distribusi jumlah telur Aedes aegypti hasil kolonisasi di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Kesling Poltekkes Depkes Pontianak

No Kecamatan Kode lokasi Stadium Persentasi (%)Telur Pupa/jentik

1 Pontianak Selatan AGA 78 31 39.702 NRN 56 23 41.073 NTA 42 17 40.474 EML 84 35 41.675 Pontianak Barat ADY 57 20 35.086 ASW 86 33 38.377 NDC 73 29 39.728 STI 45 12 26.679 Pontianak Kota RAH 60 28 46.67

10 BSR 105 45 42.8511 ASR 38 13 34.2112 NHA 51 20 39.2113 HNS 42 15 35.7114 Pontianak Tenggara VRN 87 38 43.6815 ARA 43 12 27.9116 DFI 0 0 0.0017 ZMH 46 14 30.43

TOTAL 993 391Rata-rata 58 23 39.37

Jumlah telur Aedes aegypti terbanyak berasal dari lokasi kasus BSR di

kecamatan Pontianak Kota sebanyak 105 butir dan tidak ditemukan telur di lokasi

kasus DFI di kecamatan Pontianak Tenggara. Jumlah keseluruhan telur nyamuk

Page 61: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

993 butir dan rata-rata 58 butir. Jumlah stadium pupa hasil kolonisasi terbanyak

45 ekor dan ada yang tidak ditemukan pupa dengan total 391 ekor atau rata-rata

23 ekor, persentase tertinggi 46.67% dengan rata-rata 39.37%. Hasil kolonisasi

didominasi spesies Aedes aegypti, sedangkan Ae.albopictus hanya 5 ekor, hal ini

disebabkan lokasi kasus merupakan pemukiman padat penduduk dengan jarak

antar rumah rapat.

4.3 Hasil Analisis Citra Satelit Penginderaan Jauh

4.3.1 Analisis citra penginderaan jauh satelit IKONOS

Data yang diperoleh dari analisis citra penginderaan jauh satelit

menggunakan IKONOS adalah tutupan lahan (bangunan, jalan, lahan

kosong, tubuh air, dan vegetasi). Tutupan lahan yang diduga berhubungan

dan berpengaruh dengan epidemiologis keberadaan vektor DBD hanya 2

(dua) yaitu, (1) kepadatan bangunan dan perumahan, (2) indeks kerapatan

vegetasi.

Perolehan data tutupan lahan tersebut dilakukan melalui proses

digitasi menggunakan software ArcView Gis 3.3, yaitu dengan cara

membandingkan hasil analisis digitasi citra IKONOS tahun 2003 dan citra

IKONOS tahun 2008. Hasil analisis digitasi tutupan lahan citra IKONOS

kota Pontianak selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Hasil analisis digitasi tutupan lahan citra IKONOS tahun 2003 dan citra IKONOS tahun 2008, kota Pontianak

NO KlasifikasiCitra IKONOS

2003Luas (hektar)

(%)Citra IKONOS

2008Luas (hektar)

(%)

1 Bangunan 2 326.20 37.87 3 764.81 61.292 Jalan 291.17 4.74 300.85 4.903 Lahan kosong 1 233.62 20.08 455.04 7.414 Tubuh air 318.23 5.18 318.19 5.185 Vegetasi 1 973.45 32.13 1 303.78 21.22

J u m l a h 6 142.67 100 6 142.67 100

Gambar 20 dan 21 menunjukkan bahwa sudah terjadi perubahan

tutupan lahan yang diakibatkan oleh pesatnya pembangunan perumahan 5

(lima) tahun terakhir (2003-2008) seiring dengan pertumbuhan penduduk

Page 62: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

kota Pontianak, yang ditandai dengan bertambahnya luas bangunan 1 438

hektar.

Gambar 20 Citra IKONOS 2003 dan Hasil digitasi citra IKONOS 2003

Gambar 21 Citra IKONOS 2008 dan Hasil digitasi citra IKONOS 2008

Menurut Martono (2008) persentasi vegetasi merupakan perbandingan

luas vegetasi pada suatu kawasan perumahan dengan total kawasan

perumahan. Vegetasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah (pohon

pelindung, kebun, tanaman, semak belukar, tegalan, pekarangan, dll). Pada

tahun 2003 citra satelit IKONOS lokasi penelitian memperlihatkan dengan

jelas masih besarnya tingkat indeks warna kehijauan vegetasi 1 973.45 hektar

(32.13 %), berbeda dengan citra IKONOS tahun 2008 yang sudah berkurang

tingkat indeks vegetasinya menjadi 1 303.78 (21.22 %). Sudah terjadi

penurunan tingkat kepadatan vegetasi seluas 669.67 hektar selama 5 tahun

terakhir.

Page 63: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

Tutupan lahan oleh vegetasi secara epidemiologi diduga berpengaruh

pada keberadaan vektor dan intensitas penularan DBD. Berdasarkan UU No.

26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, bahwa suatu wilayah kota diwajibkan

memiliki ruang terbuka hijau minimal 30% dari luas kota dan minimal 20%

adalah ruang terbuka hijau publik, semakin luas vegetasi dan terdistribusi

dengan merata maka semakin baik kualitas lingkungan fisik perumahan.

Seiring terjadinya urbanisasi dan pertumbuhan jumlah penduduk di kota

Pontianak menyebabkan semakin tingginya perubahan penggunaan lahan, pada

akhirnya mengakibatkan berkurangnya jumlah tutupan lahan oleh vegetasi,

keadaan ini menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan di daerah perkotaan.

Hubungan tutupan lahan oleh vegetasi dengan vektor DBD adalah,

mengakibatkan ekosistem atau breeding places khususnya vektor nyamuk

Aedes albopictus yang habitatnya terutama tinggal di daerah ruang terbuka,

perkebunan, hutan, pohon, potongan bambu, tanaman dan semak belukar

menjadi terganggu, dan biasanya jarang terpantau di lapangan. Akibatnya

vektor nyamuk ini akan berpindah habitatnya ke pemukiman penduduk dan

menggigit untuk menghisap darah manusia, mengingat jarak terbang

nyamuk Ae.albopictus sampai 500 meter (Judarwanto, 2007).

Aedes albopictus yang dikenal sebagai vektor kedua (covektor) virus DBD

diasumsikan sebagai pemakan yang lebih generalis dibandingkan dengan Aedes

aegypti. Anggapan tersebut diperkuat oleh penemuan Watt et al. (1985) bahwa

inang nyamuk tersebut selain manusia adalah kelinci, tikus, anjing, rusa, lembu,

bajing tanah, penyu, tupai, sapi jantan, kucing, dan burung. Walaupun demikian

ada juga fakta yang menunjukkan bahwa di daerah tertentu nyamuk Aedes

albopictus hanya menjadikan manusia sebagai inang tunggalnya seperti yang

dilaporkan oleh Watt et al. (1985) dari hasil penelitiannya di sebelah selatan

Thailand pada tahun 2003 dan 2004.

Berdasarkan analisis digitasi menggunakan software ArcView Gis 3.3

pada citra IKONOS tahun 2008 di lokasi penelitian diperoleh hasil tutupan

lahan oleh vegetasi 21.22 % (1 303.78 hektar) hal ini menunjukkan kurang dari

30% dari luas wilayah, sehingga diduga berpengaruh secara epidemiologis

terhadap keberadaan vektor dan intensitas penularan DBD.

Page 64: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

Hasil uji statistik diperoleh ternyata tutupan lahan oleh vegetasi belum

berpengaruh terhadap keberadaan vektor dan intensitas penularan DBD di kota

Pontianak, karena nilai F hitung signifikansinya 0.963 masih jauh di atas 0.05.

Selain tutupan lahan oleh vegetasi, secara epidemiologi yang diduga

berpengaruh pada keberadaan vektor dan intensitas penularan DBD adalah

kepadatan bangunan dan perumahan. Menurut Martono (2008) kepadatan

bangunan perumahan atau pemukiman adalah rasio antara luas bangunan

dalam suatu wilayah atau kawasan dengan luas total kawasan dihitung

berdasarkan persentasinya.

Kepadatan perumahan dikatakan padat apabila > 60% dari luas

wilayah. Kepadatan bangunan perumahan dan pemukiman yang tinggi

menunjukkan semakin sempitnya jarak antar bangunan, sehingga dapat

mengakibatkan sirkulasi udara tidak berlangsung dengan baik dan

mengakibatkan pemukiman menjadi lembab, sehingga merupakan media

yang baik untuk perkembangbiakan vektor nyamuk Aedes aegypti. Selain

itu jarak rumah yang padat akan memperpendek jarak terbang vektor

nyamuk Aedes aegypti.

Berdasarkan analisis digitasi pada citra IKONOS tahun 2003 dan 2008

di lokasi penelitian diperoleh hasil tutupan lahan oleh bangunan sudah

mencapai 61.29% (> 60%) dari luas wilayah, sehingga secara epidemiologi

diduga akan berpengaruh secara optimal terhadap keberadaan vektor dan

intensitas penularan DBD. Hasil uji statistik diperoleh bahwa tutupan lahan

oleh kepadatan bangunan berpengaruh signifikan terhadap keberadaan vektor dan

intensitas penularan/KLB DBD di kota Pontianak, karena nilai F hitung

signifikansinya 0.014 (di bawah 0.05).

4.3.2 Analisis citra penginderaan jauh satelit NOAA

Data dan informasi yang diperoleh dari analisis citra penginderaan

jauh satelit NOAA adalah parameter lingkungan (iklim) yang diduga

berhubungan dengan epidemiologi vektor DBD yaitu, keberadaan vektor,

suhu udara, kelembaban relatif, dan curah hujan. Data hasil analisis citra

satelit NOAA menggunakan software Envi 4.1, Ermapper 7.0, dan AcrView

Gis 3.3.

Page 65: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

0,0015,0030,0045,0060,0075,0090,00

105,00120,00135,00150,00165,00180,00195,00210,00225,00240,00255,00270,00285,00300,00315,00330,00345,00360,00375,00390,00405,00420,00435,00450,00465,00480,00495,00510,00525,00540,00555,00570,00585,00600,00

jan

feb

mar ap

rm

ay jun jul

aug

sep

oct

nov

dec

jan

feb

mar ap

rm

ay jun jul

aug

sep

oct

nov

dec

jan

feb

mar ap

rm

ay jun jul

aug

sep

oct

nov

dec

jan

feb

mar ap

rm

ay jun jul

aug

sep

oct

nov

dec

jan

feb

mar ap

rm

ay jun jul

aug

sep

oct

nov

dec

2005 2006 2007 2008 2009

Gambar 22 Data iklim hasil analisis penginderaan jauh citra satelit NOAAdan Kasus DBD tahun 2005 - 2009, kota Pontianak

CURAH HUJAN KELEMBABAN SUHU KASUS DBD

Page 66: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

Gambar 23, 24, dan 25 di bawah ini memperlihatkan grafik

perbandingan hasil model pengukuran dari penginderaan jauh citra satelit

NOAA dengan data pengukuran di stasiun BMG Supadio Pontianak.

Gambar 23 Grafik perbandingan kelembaban hasil pengukuran penginderaan jauh satelit NOAA dengan kelembaban pengukuran BMG

Gambar 24 Grafik perbandingan curah hujan hasil pengukuran penginderaan jauh satelit NOAA dengan curah hujan pengukuran BMG

45,0050,0055,0060,0065,0070,0075,0080,0085,0090,0095,00

100,00

jan

feb

mar ap

rm

ay jun jul

aug

sep

oct

nov

dec

jan

feb

mar ap

rm

ay jun jul

aug

sep

oct

nov

dec

jan

feb

mar ap

rm

ay jun jul

aug

sep

oct

nov

dec

jan

feb

mar ap

rm

ay jun jul

aug

sep

oct

nov

dec

jan

feb

mar ap

rm

ay jun jul

aug

sep

oct

nov

dec

2005 2006 2007 2008 2009

DATA NOAA DATA BMG

10,0030,0050,0070,0090,00

110,00130,00150,00170,00190,00210,00230,00250,00270,00290,00310,00330,00350,00370,00390,00410,00430,00450,00470,00490,00510,00530,00550,00570,00590,00

jan

feb

mar ap

rm

ay jun jul

aug

sep

oct

nov

dec

jan

feb

mar ap

rm

ay jun jul

aug

sep

oct

nov

dec

jan

feb

mar ap

rm

ay jun jul

aug

sep

oct

nov

dec

jan

feb

mar ap

rm

ay jun jul

aug

sep

oct

nov

dec

jan

feb

mar ap

rm

ay jun jul

aug

sep

oct

nov

dec

2005 2006 2007 2008 2009

DATA BMG DATA NOAA

KELEMBABAN

HUJAN

(mm)

(%)

Page 67: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

Gambar 25 Grafik perbandingan suhu udara hasil pengukuran penginderaan jauh satelit NOAA dengan suhu udara pengukuran BMG

Secara umum, data curah hujan dan suhu udara yang dihasilkan

berdasarkan model pengukuran penginderaan jauh satelit NOAA dengan

pengukuran curah hujan dan suhu udara oleh BMG Supadio Pontianak

polanya memiliki kesamaan, namun kisaran nilainya yang berbeda,

sedangkan data kelembaban dari model pengukuran penginderaan jauh

satelit NOAA hasilnya berbeda baik polanya maupun kisaran nilainya jika

dibandingkan dengan data pengukuran di stasiun BMG.

Berdasarkan hasil pengukuran langsung di lapangan (observasi) yang

penulis lakukan menggunakan alat pengukur suhu udara dan kelembaban

sebagai pembanding (validasi) diperoleh pola dan kisaran nilai yang sama

dengan model pengukuran penginderaan jauh satelit NOAA pada bulan

Desember 2009 dan Januari 2010, nilai suhu udara di kota Pontianak

berkisar antara 31-340C dan kelembaban udara relatif berkisar antara 60-

77%, hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Khomarudin et al.(2005) yang menyatakan bahwa suhu udara yang

dihasilkan model penginderaan jauh MODIS masih dalam kisaran nilai suhu

pengukuran, hanya saja polanya yang tidak mengikuti data observasi. Data

iklim hasil model pengukuran penginderaan jauh satelit NOAA yang

digunakan dalam penelitian ini dianggap layak digunakan untuk

memprediksi parameter keberadaan vektor dan intensitas penularan DBD.

0,005,00

10,0015,0020,0025,0030,0035,0040,00

jan

feb

mar ap

rm

ay jun jul

aug

sep

oct

nov

dec

jan

feb

mar ap

rm

ay jun jul

aug

sep

oct

nov

dec

jan

feb

mar ap

rm

ay jun jul

aug

sep

oct

nov

dec

jan

feb

mar ap

rm

ay jun jul

aug

sep

oct

nov

dec

jan

feb

mar ap

rm

ay jun jul

aug

sep

oct

nov

dec

2005 2006 2007 2008 2009

DATA NOAA DATA BMG

SUHU

(0C)

Page 68: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

4.4 Model Prediksi Penularan DBD di Kota Pontianak

Studi epidemiologi retrospektif sebelumnya telah peneliti lakukan

yaitu, mengumpulkan data kasus positif DBD selama 5 tahun (2005-2009)

dan studi entomologi melalui survey langsung di lapangan dengan cara

pemeriksaan vektor jentik nyamuk dan pemasangan ovitrap di kelurahan

endemis DBD. Tujuan kedua macam kegiatan studi pendahuluan tersebut

adalah sebagai petunjuk atau informasi awal tentang macam faktor risiko

lingkungan kecamatan di wilayah penelitian.

Data bahan penelitian diperoleh secara langsung melalui survei

keberadaan vektor dan data DBD di lapangan dan secara tidak langsung

melalui analisis citra penginderaan jauh satelit IKONOS dan NOAA. Kedua

macam cara pengumpulan data tersebut diperoleh 6 (enam) parameter faktor

risiko lingkungan yang diduga secara epidemiologis langsung maupun tidak

langsung berpengaruh terhadap intensitas penularan DBD menurut

kecamatan di wilayah endemis DBD Kota Pontianak.

Ke-6 parameter faktor risiko lingkungan kecamatan yang diduga

berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung secara epidemiologi

terhadap keberadaan vektor dan intensites penularan DBD tersebut yaitu:

(1) kepadatan bangunan; (2) vegetasi; (3) suhu udara; (4) kelembaban; (5)

curah hujan; dan (6) keberadaan vektor (CI, HI dan IO). Dari 6 macam

variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83,34%) diperoleh dengan

dukungan penginderaan jauh yaitu; (1) kepadatan bangunan; (2) vegetasi;

(3) suhu udara; (4) kelembaban udara; dan (5) curah hujan. Hanya data

keberadaan vektor (CI, HI dan IO) diperoleh dari survei vektor DBD di

lapangan, ini membuktikan bahwa data penginderaan jauh dapat

mendukung kegiatan pengamatan DBD berbasis lingkungan.

Ke-6 macam data faktor risiko lingkungan kecamatan tersebut

kemudian dianalisis dengan analisis diskriminan guna mengetahui faktor

risiko lingkungan apa saja yang secara simultan bermakna pengaruhnya

secara statistik terhadap terjadinya intensitas penularan DBD.

Page 69: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

4.4.1 Penetapan variabel prediktor intensitas penularan DBD berbasis

parameter lingkungan dan iklim

Prediksi tingkat intensitas penularan DBD disuatu Kecamatan pada

penelitian ini didasarkan atas kondisi faktor-faktor resiko lingkungan dan iklim

kecamatan. Faktor resiko lingkungan dan iklim sebagian besar datanya diperoleh

dari data penginderaan jauh satelit lingkungan dan cuaca. Parameter lingkungan

yang diduga mempengaruhi intensitas penularan DBD ada 2 (dua) variabel yaitu,

(1) kepadatan bangunan perumahan dan (2) penutupan lahan oleh vegetasi yang

diturunkan dari data citra satelit IKONOS, sedangkan parameter iklim suhu udara,

curah hujan dan kelembaban relatif diturunkan dari data satelit lingkungan dan

cuaca NOAA.

Keseluruhan faktor resiko lingkungan dan iklim di atas dikorelasikan

dengan kejadian luar biasa (KLB) DBD untuk 1 bulan kedepan. Model analisis

statistik yang diaplikasikan adalah analisis diskriminan yang merupakan model

analisis data dari SPSS versi 17.0. Secara otomatis analisis diskriminan akan

mampu menghitung dan menetapkan variabel bebas yang secara statistik cukup

bermakna pengaruhnya terhadap intensitas penularan DBD.

Prosedur analisis diskriminan yang digunakan adalah sebagai berikut :

a. Kompilasi data.

b. Pengelompokan nilai varibel menjadi kode 1 (berpengaruh) dan 0 (tidak

berpengaruh), cara pengelompokan nilai varibel dapat dilihat pada Tabel 9.

c. Analisis diskriminan.

Tabel 9 Cara penetapan kategori dan kode untuk masing-masing variabel parameter lingkungan dan iklim

No Variabel Kategori Kode Kategori Kode1 Kepadatan bangunan > 60 % Berpengaruh (1) ≤ 60 % Tidak (0)2 Indeks vegetasi < 30 % Berpengaruh (1) ≥ 30 % Tidak (0)3 Suhu udara 31 – 34 0C Berpengaruh (1) Selainnya Tidak (0)4 Kelembaban udara 60 – 80 % Berpengaruh (1) Selainnya Tidak (0)5 Curah hujan > 300 mm Berpengaruh (1) ≤ 300 mm Tidak (0)6 Keberadaan Vektor > 10 % Berpengaruh (1) ≤ 10 % Tidak (0)7 KLB DBD Ya Berpengaruh (1) Tidak Tidak (0)

Selanjutnya agar data dapat dianalisis dengan analisis diskriminan, maka

rekapan data tersebut harus diubah terlebih dahulu ke dalam Tabel kerja SPSS.

Page 70: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

Untuk nilai variabel lingkungan dan iklim yang berperan optimal terhadap

terjadinya penularan DBD diberi nilai 1, sedangkan untuk nilai variabel

lingkungan dan iklim kecamatan yang tidak berperan optimal terhadap terjadinya

penularan DBD diberi nilai 0. Dengan dasar penetapan tersebut seperti dalam

Tabel 8, maka bentuk tabel kerja SPSS dimaksud dapat dilihat pada Lampiran 3.

Variabel prediktor (faktor risiko) penyebab KLB DBD di kecamatan

endemis DBD kota Pontianak dapat dilihat langsung hasilnya pada hasil analisis

diskriminan pada bagian variabel entered /removed. Pada bagian variabel entered

/removed itu diketahui bahwa dari 6 varibel yang semula kita anggap berpengaruh

terhadap intensitas penularan DBD, menurut statistik hanya ada 4 variabel

prediktor yang cukup bermakna mengakibatkan intensitas penularan DBD yaitu;

keberadaan vektor, suhu udara, kelembaban relatif, dan kepadatan bangunan.

Tabel 10 Hasil analisis diskriminan, koefisien dan konstanta variabel parameter prediktor intensitas penularan DBD

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig.B Std. Error Beta

1 (Constant) 237.490 36.478 6.510 .000

Vektor 113.474 21.891 .386 5.184 .000

Suhu -121.828 44.000 -.245 -2.769 .008Kelembaban -98.999 32.336 -.271 -3.062 .003

Hujan 2.381 15.595 .010 .153 .879

Vegetasi -1.101 23.856 -.004 -.046 .963

Bangunan 78.782 30.826 .226 2.556 .014a. Dependent variable: Jumlah kasus DBD

4.4.2 Persamaan Umum Intensitas Penularan DBD

Persamaan kombinasi linier dari hasil analisis diskriminan untuk dua

kelompok data (dependent dan independent), mempunyai bentuk umum

persamaan yang rumusnya sebagai berikut : Y = C + c1X1 + c2X2 +…+ cnXn.

Hasil analisis regresi ganda linier menggunakan software SPSS versi 17.0

seperti disajikan pada Tabel 10, menunjukkan bahwa ada 2 parameter yang tidak

signifikan menjadi variabel prediktor karena nilai signifikansinya jauh di atas

0.05 yaitu hujan (0.879) dan vegetasi (0.963). Jadi, variabel yang digunakan

Page 71: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

sebagai variabel prediktor dalam penelitian ini adalah keberadaan vektor, suhu

udara, kelembaban relatif, dan kepadatan bangunan.

Pertanyaan yang menarik untuk diajukan dan dikaji disini adalah mengapa

parameter iklim dalam hal ini curah hujan tidak berkorelasi secara signifikan

terhadap intensitas penularan DBD di kota Pontianak ?

Sejauh ini, informasi dari beberapa penelitian di luar dan dalam negeri

menyatakan bahwa, iklim selain suhu dan kelembaban adalah curah hujan

berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya kasus DBD. Beberapa studi

menunjukkan bahwa di daerah tertentu dimana virus dengue hadir, kelimpahan

vektor, dan insiden penyakit DBD meningkat mencolok dengan intensitas suhu

udara dan curah hujan. Larva indeks dan distribusi vektor Aedes aegypti di India

menunjukkan tertinggi selama musim penghujan dan sesudah periode muson,

demikian juga di Banglades dan studi retrospektif di Myanmar disimpulkan

bahwa saat musim hujan dan pasca musim hujan (munson) adalah masa yang

paling berpengaruh terjadinya transmisi DBD (Chakravarti dan Kumaria, 2005).

Penelitian di Venezuela juga menunjukkan korelasi yang signifikan antara

intensitas DBD dengan jumlah curah hujan (Barrera, 2006). Irpis (1972)

menyatakan faktor curah hujan mempunyai pengaruh nyata terhadap flukstuasi

populasi Aedes aegypti.

Faktor curah hujan di Indonesia juga mempunyai hubungan erat dengan laju

intensitas populasi vektor DBD di lapang. Pada musim kemarau banyak barang

bekas seperti kaleng, gelas plastik, ban bekas, dan sejenisnya yang dibuang atau

ditaruh tidak teratur di sebarang tempat. Populasi nyamuk Aedes aegypti akan

semakin meningkat pada waktu musim penghujan, karena tempat

perkembangbiakan nyamuk pada musim kemarau semula tidak terisi air, mulai

terisi air. Bila telur yang diletakkan itu tidak mendapat sentuhan air atau kering

masih mampu bertahan hidup antara 3 bulan sampai 1 tahun. Masa hibernasi

telur-telur nyamuk itu akan berakhir atau menetas bila sudah mendapatkan

lingkungan yang cocok pada musim hujan untuk menetas, terlur nyamuk akan

menetas antara 3-4 jam setelah mendapat genangan air menjadi larva. Oleh karena

itu pada musim penghujan populasi nyamuk Aedes aegypti meningkat

(Judarwanto, 2007).

Page 72: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

Selain itu pada musim hujan imago bertina memperoleh habitat air jernih

yang sangat luas untuk meletakkan telurnya. Setiap benda berlekuk atau lekukan

pohon atau bekas potongan pakal pohon bambu juga potensial sebagai penampung

air jernih yang dapat dijadikan tempat peletakkan telur bagi vektor terutama Aedes

albopictus yang biasa hidup di luar rumah. Terlebih lagi cuaca dalam keadaan

mendung dapat merangsang naluri bertelurnya nyamuk. Populasi nyamuk

meningkat drastis pada awal musim hujan yang diikuti oleh meningkatnya kasus

DBD di daerah tersebut (Judarwanto, 2007)

Parameter lingkungan yang menarik untuk dikaji disini adalah prediktor

curah hujan, dimana hubungannya dengan keberadaan vektor dan insiden DBD

yang ternyata tidak berpengaruh secara signifikan terhadap penularan DBD di

kota Pontianak. Kenyataan ini dapat terjadi dikarenakan sebagian besar

masyarakat kota Pontianak memiliki kebiasaan menampung air hujan disaat

musim penghujan dan menyimpan air hujan sebagai cadangan untuk menghadapi

musim kemarau di tempayan/tempat penyimpan air lainnya untuk memenuhi

kebutuhan air minum dan memasak. Tempat penampunan air hujan ini apabila

tidak tertutup merupakan tempat yang paling disenangi oleh vektor nyamuk Aedes

aegypti sebagai breeding places untuk bertelur. Jadi tidak mengherankan jika

bukan musim penghujanpun intensitas penularan DBD dapat terjadi di kota

Pontianak.

Selain curah hujan parameter iklim lainnya yang juga menarik untuk dikaji

berdasarkan hasil penelitian ini adalah prediktor suhu udara. Menurut Depkes R.I

(2004) suhu udara yang dianggap optimal untuk perkembangbiakan vektor DBD

adalah 25-270C. Padahal, suhu udara di kota Pontianak berdasarkan hasil

pungukuran langsung di lapangan (observasi) dan hasil analisis penginderaan jauh

satelit NOAA diperoleh nilai suhu udara berkisar antara 31-340C, dan diduga akan

meningkat seiring dengan pengaruh global warming (pemanasan global).

Kota Pontianak adalah wilayah yang berada tepat pada garis khatulistiwa,

sehingga dalam setahun matahari melintasi ekuator sebanyak dua kali. Matahari

tepat berada di ekuator setiap tanggal 23 Maret dan 22 September. Sekitar April-

September, matahari berada di utara ekuator dan pada Oktober-Maret matahari

berada di selatan. Pergeseran posisi matahari setiap tahunnya menyebabkan

sebagian besar wilayah Indonesia mempunyai dua musim, yaitu musim hujan dan

Page 73: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

musim kemarau. Kondisi iklim tropis yang bersifat panas membuat kota

Pontianak umumnya lebih panas dibandingkan dengan kota lainnya di Indonesia

dan mengundang banyak curah hujan.

Iklim di kota Pontianak dipengaruhi oleh banyak faktor alam seperti,

topografi (0.5-1.5 m dpl), badan air, guna lahan (berkurangnya vegetasi), jumlah

penduduk, aktivitas industri dan transportasi. Faktor-faktor alam tersebut pada

akhirnya dapat mengubah iklim lokal kota Pontianak yang terus berkembang dan

mengakibatkan polusi udara. Polusi udara dapat menyebabkan perubahan

visibilitas dan daya serap atmosfer terhadap radiasi matahari akibatnya suhu

permukaan bumi menjadi panas, mengingat radiasi matahari merupakan salah satu

faktor utama yang menentukan karakteristik iklim di suatu daerah.

Penggunaan teknologi bahan yang kedap air untuk meningkatkan daya tahan

bangunan dengan kapasitas panas yang tinggi merupakan faktor lain yang

memberikan kontribusi besar terhadap pemanasan di perkotaan, apalagi saat ini

pembangunan perumahan di kota Pontianak banyak menggunakan bahan beton

yang kedap air, mengingat sulit dan mahalnya bahan kayu untuk bangunan.

IPCC (2007) menemukan bahwa, selama 100 tahun terakhir (1906-2005)

temperatur permukaan bumi rata-rata telah naik sekitar 0.740C, dengan pemanasan

yang lebih besar pada daratan dibandingkan lautan. Penelitian yang telah

dilakukan para ahli selama beberapa dekade terakhir ini menunjukkan bahwa

ternyata makin panasnya planet bumi terkait langsung dengan efek rumah kaca

yang merupakan hasil dari penyerapan energi oleh gas-gas tertentu yang terdapat

di atmosfer (disebut gas rumah kaca karena gas-gas ini secara efektif ‘menangkap’

panas yang terdapat di atmosfer bagian bawah) dan meradiasikan kembali

sebagian dari panas tersebut ke bumi.

Menurut McMichael (2003), terjadinya pemanasan global dimana terjadi

kenaikan suhu bumi rata-rata sekitar 1-3.50C memicu meningkatnya kasus

penyakit tropis seperti malaria dan demam berdarah serta berubahnya pola

distribusi penyakit-penyakit yang ditularkan melalui berbagai serangga dan hewan

(vektor). Pemanasan global mempengaruhi transmisi vektor DBD, karena dapat

membuat air menjadi panas dan meningkatkan suhu udara, hal ini berpengaruh

pada kecepatan perkembangbiakan nyamuk dewasa dan mempersingkat waktu

yang diperlukan untuk virus dengue dalam berkembang dan menjadi infektif.

Page 74: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

Selain itu, nyamuk betina sebagai penular virus dengue lebih sering menggigit

pada suhu panas dan hangat. Musim dan suhu panas juga memungkinkan untuk

bertahan hidup nyamuk di daerah-daerah yang sebelumnya dingin, mengingat

nyamuk berkembang biak pada suhu lembab dan panas, dengan bertambahnya

vektor nyamuk maka kontak dengan manusia juga bertambah. Suhu yang tinggi

juga dapat membuat nyamuk Aedes aegypti untuk meningkatkan populasinya dan

membawa virus ke daerah baru (Hoop MJ, dan JA Foley, 2003).

Suhu juga berpegaruh terhadap aktifitas makan (Wu & Chang 1993), dan

laju perkembangan telur menjadi larva, larva menjadi pupa, dan pupa menjadi

imago, juga akan mempengaruhi kemampuan metabolisme vektor serangga dan

membuat serangga lebih agresif dalam memproduksi telurnya (Rueda et al. 1990).

Faktor suhu dan curah hujan berhubungan dengan evaporasi dan suhu mikro di

dalam kontainer (Barrera et al. 2006).

Berdasarkan hasil penelitian dan fakta di lapangan serta didukung dengan

beberapa laporan studi tersebut di atas maka, dapat dibuat suatu pernyataan dalam

laporan penelitian ini bahwa suhu udara yang optimal untuk perkembangbiakan

dan keberadaan vektor nyamuk Aedes aegypti sebagai penular penyakit DBD di

kota Pontianak adalah berkisar antara 31-340C, hal ini dapat dibuktikan dengan

terjadinya kasus KLB DBD pada tahun 2006 dan 2009 dengan suhu udara rata-

rata di kota Pontianak waktu itu adalah 31-320C. Jadi, suhu optimal untuk

perkembangbiakan dan keberadaan vektor nyamuk Aedes aegypti yang dinyatakan

berkisar antara 25-270C oleh Depkes R.I (2004) tidak berlaku untuk daerah

dengan geografi seperti kota Pontianak. Demikian juga halnya dengan curah hujan

yang relatif tinggi di kota Pontianak (rata-rata > 2 500 mm/tahun) ternyata tidak

berpengaruh signifikan secara statistik dengan terjadinya intensitas penularan

DBD.

Pernyataan penelitian ini didukung oleh hasil penelitian epidemiologi WHO

tahun 1998 di Nicaragua yang menyimpulkan bahwa transmisi DBD dapat

berbeda tergantung pada daerah geografi dan serotype virusnya. Laporan

penelitian lain juga di Nicaragua berdasarkan sistem surveillance DBD pada

musim penghujan (Juli s/d Desember) menyimpulkan bahwa serotype Den-3

paling dominan dan serotype Den-2 paling sedikit, sedangkan hasil penelitian di

Salta Argentina tahun 1997 disimpulkan bahwa serotype Den-2 merupakan

Page 75: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

penyebab utama terjadinya transmisi dan wabah DBD (Barrera et al. 2006). Jadi

dapat disimpulkan bahwa transmisi DBD dapat berbeda tergantung pada daerah

geografi dan serotype virusnya.

Berdasarkan data hasil analisis diskriminant tersebut di atas veriabel

prediktor yang berpengaruh terhadap intensitas penularan DBD di kota Pontianak

adalah keberadaan vektor, suhu udara, kelembaban relatif dan kepadatan

bangunan, maka persamaam intensitas penularan DBD dalam penelitian ini

adalah: Y = 237.490 + 113.474 x (vektor) – 121.828 x (suhu) – 98.999 x

(kelembaban) + 78.782 x (bangunan)

Dimana ;

Y : Nilai prediksi intensitas penularan DBD

Kode : bernilai 0 (nol) jika tidak berperan dalam penularan/KLB DBD, dan

bernilai 1 (satu) jika berperan dalam penularan/KLB DBD.

Arti angka-angka dalam persamaan di atas adalah sebagai berikut;

a. Nilai konstanta (C) adalah; 237.490 artinya, jika keberadaan vektor, suhu

udara, kelembaban relatif dan kepadatan bangunan bernilai 0 (nol), maka

intensitas kasus DBD bernilai 237.490.

b. Nilai koefisien regresi variabel keberadaan vektor (c1) bernilai positif, yaitu

113.474; artinya, setiap intensitas keberadaan vektor sebesar 1 satuan, maka

akan meningkatkan intensitas kasus DBD sebanyak 113.474 dengan asumsi

variabel lain bernilai tetap.

c. Nilai koefisien regresi variabel suhu ( c2) bernilai negative (-121.828) artinya

setiap intensitas suhu sebesar 1 satuan, maka akan meningkatkan intensitas

kasus DBD bernilai (-121.828) dengan asumsi variabel lain bernilai tetap.

d. Nilai koefisien regresi variabel kelembaban ( c3) bernilai negatif (-98.999)

artinya setiap intensitas kelembaban sebesar 1 satuan, maka akan

meningkatkan intensitas kasus DBD bernilai (-98.999) dengan asumsi variabel

lain bernilai tetap.

e. Nilai koefisien regresi variabel kepadatan bangunan (c4) bernilai positif, yaitu

78.782; artinya, setiap intensitas keberadaan vektor sebesar 1 satuan, maka

akan meningkatkan intensitas kasus DBD sebanyak 78.782 dengan asumsi

variabel lain bernilai tetap.

Page 76: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

Dengan memasukkan nilai kategori masing masing variabel prediktor

(apakah 0 atau 1) pada suatu saat tertentu, kita akan dapat menghitung nilai Y

(besarnya nilai intensitas penularan DBDnya). Nilai keberadaan vektor, suhu

udara, kelembaban relatif dan kepadatan bangunan bisa menjadi 1 atau 0,

tergantung dari kondisinya masing-masing saat itu apakah optimal atau tidak. Bila

kondisinya optimal kita beri nilai 1 sedangkan bila tidak optimal diberi nilai 0.

Menurut Gunawan (2003) cit Martono (2005), kriteria besarnya atau

kuatnya pengaruh beberapa variable prediktor adalah sebagai berikut :

a. Jika, R (koefisien korelasi) < 0.5 pengaruh variabel parameter keberadaan

vektor, suhu udara, kelembaban relatif dan kepadatan bangunan terhadap

intensitas penularan DBD dikatakan lemah.

b. Jika, 0.5 < R = < 0.75 pengaruh variabel parameter keberadaan vektor, suhu

udara, kelembaban relatif dan kepadatan bangunan terhadap intensitas

penularan DBD dikatakan cukup kuat.

c. Jika, 0.75 < R = < 0.90 pengaruh variabel parameter keberadaan vektor, suhu

udara, kelembaban relatif dan kepadatan bangunan terhadap intensitas

penularan DBD dikatakan kuat.

d. Jika, 0.90 < R = < 1 pengaruh variabel parameter keberadaan vektor, suhu

udara, kelembaban relatif dan kepadatan bangunan terhadap intensitas

penularan DBD dikatakan sangat kuat.

Tabel 11 Koefisien korelasi ( R) dan Koefisien determinan ( R²) intensitas penularan DBD

Model R R SquareAdjusted R

SquareStd. Error of the

EstimateDurbin Watson

1 0.905a 0.819 0.798 56.227 1.612

a. Predictors: (Constant), Hujan, vektor, kelembaban, kepadatan bangunan

b. Dependent Variable: Jumlah Kasus DBD

Berdasarkan Tabel 11, koefisien korelasi (R) dari persamaan regresi ganda

linier adalah 0.905 (mendekati nilai 1) artinya variabel prediktor yaitu keberadaan

vektor, suhu udara, kelembaban relatif dan kepadatan bangunan mempunyai

pengaruh yang sangat kuat terhadap keberadaan vektor dan intensitas penularan

DBD. Sedangkan koefisien determinasi (R square) = 0.819 yang artinya sekitar

Page 77: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

81.90 % intensitas penularan DBD dapat dijelaskan oleh variabel keberadaan

vektor, suhu udara, kelembaban relatif dan kepadatan bangunan dan sisanya

18.10 % dijelaskan oleh sebab lainnya, diantaranya; distribusi dan kepadatan

penduduk, sanitasi lingkungan, kondisi tanah, angin, sosial ekonomi penduduk

dan lain-lain.

Hasil analisis data (melalui aplikasi analisis diskriminan) diperoleh 4

variabel prediktor yang perlu diperhitungkan kontribusinya untuk prediksi

intensitas penularan DBD di kota Pontianak, yaitu; (1) keberadaan vektor,

(2) suhu udara, (3) kelembaban relatif dan (4) kepadatan bangunan. Sedangkan

curah hujan dan vegetasi sebagai parameter faktor risiko penularan DBD

tidak diperhitungkan konstribusinya dalam hubunganya dengan

keberadaan vektor dan angka intensitas penularan DBD, karena tidak

mempunyai hubungan yang signifikan secara statistik (nilai signifikansi > 0.05),

hal ini sejalan dengan penelitian Gemiwati (2001) yang menyatakan

bahwa sebagian variabel iklim merupakan faktor risiko ABJ (angka bebas jentik)

tetapi tidak terbukti bahwa ABJ merupakan faktor risiko DBD.

4.4.3 Nilai Batas (cutoff point) DBD

Menghitung nilai batas (cutoff point) merupakan langkah berikut yang harus

dilakukan untuk menetapkan prediksi suatu kecamatan akan terjadi KLB

DBD atau tidak (berdasarkan persamaan di atas), kita perlu menghitung

nilai cut off point KLB DBDnya. Menurut Santoso dan Tjip tono (2001),

rumus umum untuk menghitung nilai batas (cutoff point) KLB DBD digunakan

rumus Zcu=

Tabel 12 Nilai cut off point KLB DBD menurut analisis diskriminan

KLBFungsi

(I)0.00 2.3811.00 -1.101

Hasil perhitungan dengan menggunakan rumus Zcu = ( 18 x -1.101 +

42 x 2.381) / (18 + 42) = 1.666. Jika nilai intensitas penularan DBD < 1.666

Page 78: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

artinya tidak terjadi KLB, dan sebaliknya jika nilainya > 1.666 maka akan terjadi

KLB DBD.

Dengan memasukkan nilai kode kategori masing-masing variabel

prediktor ke dalam persamaan tersebut, maka nilai Y yang merupakan

basis bagi prediksi tingkat intensitas penularan/KLB DBD dapat

ditetapkan. Bila nilai Y suatu kecamatan/kelurahan lebih besar dari 1.666

maka diprediksikan satu bulan kemudian kecamatan/kelurahan tersebut

akan mengalami KLB DBD. Sebaliknya bila nilai Y suatu kecamatan

lebih kecil dari 1.666 kecamatan tersebut akan aman dari KLB DBD.

4.4.4 Tingkat Signifikansi Model Prediksi Intensitas Penularan DBD

Setelah diperoleh persamaan estimasi dan nilai cutoff point maka dapat

diprediksi terjadinya KLB atau tidak terjadi KLB. Dari 60 data yang dikumpulkan

hasil prediksi menunjukkan 16 data mengindikasikan KLB sedangkan 44 data

mengindikasikan tidak terjadi KLB. Hasil perhitungan prediksi penularan DBD

pada 4 kecamatan di kota Pontianak dapat dilihat pada lampiran 1.

Matrik co-ocurance seperti dalam Tabel 13 terlihat bahwa 5 data salah

prediksi dan 55 data benar prediksinya. Tingkat signifikansi dari model ini adalah

90,9 %.

Tabel 13 Matrik co-ocurance hasil prediksi intensitas penularan DBD di 4 (empat) Kecamatan Kota Pontianak

PrediksiKLB NON

AktualKLB 11 7NON 5 37

4.5 Penerapan Model Prediksi Penularan DBD di Kecamatan Pontianak

Utara

Penerapan model hasil prediksi di 4 Kecamatan Kota Pontianak untuk

model di Kecamatan Pontianak Utara adalah sebagai berikut :

1. Hanya paramter keberadaan vektor, suhu, kelembaban relatif, dan kepadatan

bangunan yang digunakan sebagai prediktor untuk prediksi intensitas penularan

KLB DBD.

Page 79: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

2. Kelembaban 60-80%, suhu 31-340C, keberadaan vektor > 10%, dan kepadatan

bangunan > 60% berpengaruh terhadap penularan/KLB DBD sehingga

dikodekan menjadi 1 (berpengaruh). Hasil pengkodean untuk keberadaan

vektor, suhu, kelembaban relatif, dan kepadatan bangunan dimasukkan dalam

rumus prediksi intensitas KLB DBD sbb: Y = 237.490 + 113.474 x (vektor) –

121.828 x (suhu) – 98.999 x (kelembaban) + 78.782 x (bangunan)

3. Jika nilai Y < 1.666 tidak terjadi KLB, dan sebaliknya terjadi KLB DBD.

Hasil prediksi intensitas penularan DBD di Kecamatan Pontianak Utara

dapat dilihat pada Lampiran 2. Sedangkan matrik co-ocuransinya dapat dilihat

pada Tabel 14.

Tabel 14 Matrik co-ocurance hasil prediksi intensitas penularan DBD di Kecamatan Pontianak Utara

PrediksiKLB NON

Aktual KLB 12 2NON 4 42

Ketelitian hasil prediksi terjadinya KLB DBD di Kecamatan Pontianak

Utara adalah 93.3% lebih teliti jika dibandingkan dengan model di 4 Kecamatan

Kota Pontianak yaitu 90.9%. Ketelitian lebih dari 90% untuk prediksi

penularan/KLB DBD dengan faktor keberadaan vektor, suhu udara, kelembaban

relaif, dan kepadatan bangunan ini cukup tinggi, artinya faktor keberadaan

vektor, suhu udara, kelembaban relaif, dan kepadatan bangunan berpengaruh

signifikan terhadap terjadi intensitas penularan/KLB DBD.

Ketepatan estimasi model dapat mencapai lebih dari 90% ini menunjukkan

bahwa sistim pengamatan DBD berbasis lingkungan menggunakan dukungan

penginderaan jauh layak untuk diaplikasikan. Mungkin untuk penelitian lain

angka probabilitas ketepatan ini tidak akan sama, mengingat datanya sangat

dipengaruhi oleh kondisi lingkungan setempat. Selain nilai probabilitas ketepatan

estimasinya yang tinggi, secara teknis operasional, aplikasi sistim pengamatan

DBD berbasis lingkungan ini mempunyai beberapa kelebihan dan keuntungan,

yaitu: (a) biaya operasionalnya relatif lebih murah, karena tidak memerlukan

banyak alat dan tenaga. Data citra satelit bisa diperoleh dengan mudah, murah dan

cepat di Pusat Pelayanan Data Penginderaan Jauh LAPAN Pekayon Jakarta;

Page 80: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

(b) proses penyelenggaraannya relatif mudah dan cepat. Untuk memperoleh

informasi tingkat intensitas penularan DBD di suatu wilayah endemis DBD

tertentu dilengkapi dengan kunjungan lapangan untuk checking,(c) karena

estimasi kejadian KLB DBD dapat dilakukan dengan prosedur ini, maka

pengelola program akan mempunyai waktu yang cukup untuk melakukan upaya-

upaya pencegahan yang dianggap perlu, (d) kita dapat melaksakan sistim

kewaspadaan dini (SKD DBD) berdasarkan data lingkungan spesifik terkait

penularan DBD yang datanya diperoleh melalui dukungan teknologi penginderan

jauh.

Page 81: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Parameter prediktor keberadaan vektor dan tingkat intensitas penularan DBD

dapat diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh (IKONOS dan NOAA)

sebesar 83.34%.

2. Keberadaan vektor, suhu udara, kelembaban relatif, dan kepadatan bangunan

merupakan parameter prediktor yang signifikan pengaruhnya terhadap

intensitas penularan DBD di kota Pontianak.

3. Ketepatan estimasi model dapat mencapai 90.9% di 4 kecamatan kota

Pontianak tempat model dibuat, dan 93.3% di kecamatan Pontianak Utara

tempat model diterapkan.

4. Adanya perbedaan nilai parameter suhu udara optimal perkembangbiakan

vektor DBD, dimana di kota Pontianak suhu optimal diperoleh berkisar antara

31-340C, sedangkan Depkes RI menyebutkan bahwa suhu optimal adalah

25-270C.

5.2 Saran

1. Kebijakan pengamatan (surveillance) DBD berbasis lingkungan menggunakan

dukungan penginderaan jauh perlu dipertimbangkan untuk diaplikasikan, guna

mencegah terjadinya intensitas penularan DBD yang saat ini masih sering

terjadi.

2. Penelitian sejenis kiranya perlu dilakukan di daerah lain yang kondisi

lingkungannya berbeda dengan kota Pontianak dan menekankan pada aspek

yang bukan daerah perkotaan, mengingat penyebaran DBD saat ini juga sudah

menyebar di daerah pedesaan.

Page 82: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

DAFTAR PUSTAKA

Aron JL, & Patz JA. 2001. Ecosistem Change and Public Health: A Global Persfective, Baltimore, The John Hopkins University Press.

Barrera R, M Amador & GG Clark. 2006. Ecological Factors Influencing Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) Productivity in Artificial Containers in Salinas, Puerto Rico. J. Med.Entomol. 43(3): 484-492.

Beaty BJ, Jennifer LW, and Stephen Higgs. 1996. Natural Cycles of Vector-Borne Pathogens. In B.J. Beaty and W.C. Marquardt (eds) : The Biology of Disease Vectors. University Press of Colorado.pp.51-70.

Beck LR, Rodriguez MH, Dister SW, Robert DR, Washino RK, and Spanner MA. 1997. Assessment of Remote Sensing: Based model for Predicting Malaria Transmission Risk in Villages of Chiapas. Mexico, American Journal of Tropical Medicine and Hygiene: pp 99-/06.

BMG Supadio Pontianak. 2009. Data Iklim Kota Pontianak.

BPS Kota Pontianak. 2009. Kota Pontianak Dalam Angka.

Brown HW. 1983. Dasar Parasitologi Klinis. PT Gramedia. Jakarta.

Chakravarti A, dan Kumaria R. 2005. Eco-Epidemiologi Analisis Dengue Infectious. Departement Microbiology. Maulana Azad Medical College New Delhi. India.

Chu M, GB Jenning, C Na’roef, H Wulur and TK Samsi,1992. A study of Human Peripheral Blood Leucocyte from Dengue Immune Person; Relation Ship betwen Fc Receptor Expression and Virus Growth. Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus.No.81.72.

CRISP. 2004. Images acquired and processed by CRISP. National University of Singapore IKONOS image.

Cutwa M, O’Mcora GF. 2006. Photografic Guide to Common Mosquites of Florida. FloridaMedical Entomology Laboratory. University of Florida.Florida.

Danoedoro P. 2004. Satelit Mata-mata untuk Lingkungan. Kompas online: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/13/inspirasi/307922.htm (20-11-2009)

Depkes RI. 1995. Daur Hidup Nyamuk Ae. aegypti. Ditjen PPM dan PLP. Jakarta.pp.35-37

Page 83: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

Depkes RI. 200I. Rekapitulasi laporan tahunan Direktorat P2B2, Ditjen PPM-PLP Depkes Rl. Jakarta.

Depkes RI. 2004. Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue.Jakarta.

Dinkes Kota Pontianak. 2009. Data Sureveilans DBD Tahun 2008.

Gemiwati W. 2002. Hubungan Faktor-Faktor Iklim, Angka Bebas Jentik dan Angka Insiden Demam Berdarah Dengue di Kota Pekanbaru Tahun 1995 Sampai dengan 2001, Universitas Indonesia. Jakarta.

Ginanjar. 2008. Ketika Nyamuk Menyambut Hujan. dalam; Majalah Ilmiah Farmacia; Ethical Update, Wahana Komunikasi Lintas Spesialis, Volume .7, No. 7. Februari 2008. Hal 37. Jakarta.

Haget, Petter. 1983. Geography: A Modern Synthesis (3rd ed). New York: Prentice Hall.

Hair JF, Anderson ER, Tatham RL and Black WE. 1995. Multivariate Data Analysis, Fourth Edition. Prentice Hal, Hinglewood. New Jersey.

Handayani N. 2006. Analisa Kecenderungan Penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) Tabun 2001-2005 untuk Peramalan Tahun 2006-2010 Di RSU Dr. Pirngadi Medan.

Hasyimi M, Eny W, Lestari, Supratman S. 1992. Kesenangan Bertelur Aedes sp, Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI, Jakarta, dibawakan pada Kongres Entomologi IV, di Yogyakarta.

Holani A, Mardihusodo SJ, Sutanto, Hartono, dan Kusnanto H. 2003.Estimasi Tingkat Intensitas Penularan Malaria DenganDukungan Penginderaan Jauh (Studi Kasus Di Daerah Endemis Malaria Pegunungan Menoreh Wilayah Perbatasan Provinsi Jawa Tengah Dan Daerah Istimewa Yogyakarta). Jurnal Ekologi Kesehatan Vol 2 No. I April 2003: 157 – 164.

Hopp MJ, and JA Foley. 2003. “Worldwide fluctuation in dengue fever cases related to climate variability,”in Clim Res 25:85-94; National Research Council (NRC) Division on Earth and Life Studies Board on Atmospheric Sciences and Climate Committee on Climate, Ecosystems, Infectious Disease and Human Health. Washington. DC.

(IPCC) Intergovermental Panel on Climate Change. 2007. Climate Change and Water. USA: Cambridge University Press.

Page 84: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

Irpis M. 1972. Seasonal changes in the larval populations of Aedes aegypti in two biotopes in Dar es Salaam, Tanzania. Bull. World Health Organ. 47: 245-255.

Keputusan Menteri Kesehatan R.I. Nomor 1091/Menkes/SK/X/2004.TentangPetunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota. Jakarta.

Janssen LFL, and Hurneman CG. 2001. Principles of Remote Sensing. ITC Educational Texbooks Series. ITC, Enshede, Netherlands.

Joshi V, Mourya DT, Sharma RC. 2002. Persistence of Dengue-3 Virus Through Transovarial Transmission Passage In Successive Generations of Aedes aegypti Mosquitoes. Am.J.Trop.Med.Hyg.,67 :158 –161.

Jousset FX. 1981. Geographic Aedes aegypti Strains and Dengue-2 virus: Susceptiblity. Ability To Transmit To Vertebrates And Transovarial Transmission. Ann Virol (Inst Paseur).132E: 357-70.

Judarwanto W. 2007. Profil Nyamuk Aedes dan Pembasmiannya.http://www.indonesiaindonesia.com/f/13744-profil-nyamuk-aedes-pembasmiannya.

Kusriastuti R. 2005. Epidemiologi penyakit Demam Berdarah Dengue & Kebijaksanaan Penanggulangannya di Indonesia. Dalam Seminar. Dengue Control Up-date, Pusat Kedokteran Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. pp :1-12

Kusriastuti R. 2007. Kebijaksanaan Penanggulangan Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Dalam Simposium Nasional Demam Berdarah Dengue, Aspek biologi Molekuler,Pathogenesis, Manajemen, Dan Pencegahan Kejadian Luar Biasa. Pusat Studi Bioteknologi. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. 16 Mei 2007.

Khin MM, Than KA. 1983. Transovarial trasmision of Dengue-2 Virus by Aedes aegypti in nature. Am. J.Trop Med Hyg; 32: 590 – 4.

Khomarudin MR, Roswintiarti O, dan Tjahjaningsih A. Estimasi Unsur-Unsur Cuaca untuk Mendukung Peringkat Bahaya Kebakaran Hutan/Lahan dengan Data Modis. LAPAN. Jakarta.

Leake CJ. 1984. Transovarial Transmission of Arbovirus by Mosquitoes. In MA. Mayo and KA Harrap (eds) Vector in Virus Biology. 197 (33): 159-74.

Lee HL, & Rohani A. 2005. Transovarial Transmission Of Dengue Virus In Aedes aegypti And Aedes albopictus In Relation to Dengue Outbreak In An Urban Area In Malaysia. Dengue Bulletin. 29 : 106-111.

Page 85: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

Lillesand TM, & Kiefer RW. 1997. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra (Terjemahan Dulbahri, dkk), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Limsuwan S, Rongsriyam Y, Kerdpibule V, Apiwathnasorn C, Chiang GL, & Cheong, WH. 1997. Rearing Techniques for Musquito MRC-Tropmed Thailand. pp.53-54.

Malvige GN, Fernando S, & Seneviratne SL. 2004. Dengue Viral In Infection. Postgraduate Medical Journal. 80 : 588-601.

Mardihusodo SJ. 1993. Laporan Penelitian Deteksi Dini Resistensi Aedes aegypti terhadap Malathion dan Temephos. Lembaga Penelitian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Mardihusodo SJ. 2005. Manajemen Pengendalian Vektor Demam Dengue. Dalam Simposium Dengue Control Update. Pusat Kedokteran Tropis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Mardihusodo SJ, Satoto, TBT, Mulyaningsih B, Umniyati SR, dan Ernaningsih. 2007. Bukti Adanya Penularan Virus Dengue Secara Transovarial Pada Nyamuk Aedes aegypti Di Kota Yogyakarta. Simposium Nasional Aspek Biologi Molekuler, Patogenesis, Manajemen dan Pencegahan KLB, Pusat Studi Bioteknologi UGM, Yogyakarta, 16 Mei 2007.

Martono DN. 2008. Model Kualitas Lingkungan Fisik Kawasan Perumahan Terencana dan Swadaya Berbasis Spasial. Pusdata. LAPAN. Jakarta.

Maryani. 2008. Penentuan Suhu Permukaan Laut dari Data NOAA-AVHRR. Bidang Pemantauan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, PUSBANGJA LAPAN. Jakarta

McMichael AJ, Campbell-Le Ndrum, DH Corvalan, CF Ebi, KL Githeko, AKScheraga, JD, Woodward A. 2003. “Climate Change And Human HealthRisk and Response”, WHO, Geneva.

Merrit RW, & KW Cummins (Eds). 1978. An Inroduction to The Aquatic Insects of North America. Kendall/Hunt Publishing Company. 441p.

Nusa R. 2005. Perangkap Telur dan Larva nyamuk “Ovitrap”. Litbang Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang (P2B2). Depkes R.I. Ciamis.

Parwati. 2010. Manual dan Prosedur Pengolahan Data Citra Satelit NOAA. LAPAN. Jakarta.

Perich MJ, Kardec A, Braga IA, Portal LF, Burge R, Zeichner BC, Brogdon WA, Wirtz RA. 2003. Field Evaluation of a Lethal Ovitrap Against DenguenVector in Brazil, Medical Veterinary Entomology, Brazil, 205-209, www.blackwell-synergy.com, Download 05 Maret 2009.

Page 86: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

Prahasta E. 2008. Remote Sensing, Praktis Penginderaan Jauh dan Pengolahan Citra Digital dengan Perangkat Lunak ER Mapper. Informatika. Bandung.

Priyatno D. 2009. 5 Jam Belajar Olah Data Dengan SPSS 17. Andi. Yogyakarta.

Rosen L, Shroyer DA, Tesh RM, Frier JE, Lien JC. 1983. Transovarial transmission of dengue viruses by mosquitoes Aedes albopictus and Aedes aegypti. Am J Trop Med. Hyg. 32: 1108-19.

Rueda LM, KJ Patel, RC Axtell, & RR Stinner. 1990. Temperature-dependentdevelopment and survival rates of Culex quinquefasciatus and Aedes aegypti (Diptera: Culicidae). J. Med. Entomol. 27: 892-898.

Santoso S, dan Tjiptono P. 2001. Riset Pemasaran Konsep dan Aplikasi dengan SPSS. Elex Media Komputindo. Jakarta.

Schlesselman JI. 1982. Case Control Studies. Oxford University Press. Oxford.

Service MW. 1996. Medical Entomology for Students, First edition, Chapman &Hall, London.

Soegijanto S. 2004. Demam Berdarah Dengue ( Tinjauan dan Temuan Baru di Era 2003). pp : 11-13, 99-110. Airlangga University Press. Surabaya.

Soekiman S, Machfudz, Subagyo, Soewigjo Adipoetro, Hiroshi Yamanishi and Takeo Matsumura, 1984. Comparative Studies On the Buology of Aedes aegypti and Aedes albopictus in a room condition ICMR Annals 4:143-151.

Space Imaging. 2004. http://www.spaceimaging.com/products/ikonos/index.htm,Download 22 Oktober 2009.

Sucipto CD. 2008. Indeks Transmisi Transovarial (ITT) virus Dengue pada nyamuk Ae.aegypti serta hubungannya dengan angka kasus DBD di Kota Pontianak Kalimantan Barat.

Sumunar DRS. 2008. Penentuan Tingkat Kerentanan Wilayah Terhadap Perkembangbiakan Nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus Dengan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis, Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi, Universitas Lampung.

Supartha IW. 2008. Pengendalian Terpadu Vektor Virus Demam Berdarah Dengue, Aedes aegypti (Linn.) dan Aedes albopictus (Skuse) (Diptera: Culicidae). Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Denpasar.

Sutanto. 1994. Penginderaan Jauh Jilid I. Yogyakarta; Gadjah Mada Universiti Press.

Sutaryo. 2004. Dengue. Penerbit Medika. Fakultas Kedokteran UGM. Yogyakarta. pp : 17-76.

Page 87: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

Umniyati SR. 2004. Prelimenary investigation on the transovarial transmission of Dengue Virus in the population of Aedes aegypti in the well. Dalam Seminar Hari Nyamuk IV, 21 Agustus 2004 di Surabaya.

UU No. 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.

Watt DM, Harisson BA, Pantuwatana S, Klein TA, Burke DS, 1985. Failure to Detect Natural infection by Dengue viruses of Aedes aegypti and Aedes albopictus (Diptera: Culicidae). J Med Entomol 1985; 22: 261-265.

WHO. 1997. Dengue haemorhagic fever, diagnosis, treatment, prevention and control, 2nd Ed. WHO,Geneva.

WHO. 2001. Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever, Comprehensif Guideline, diterjemahkan oleh Palupi W, Penerbit EGC, Jakarta.

WHO. 2007. Case Fatality Rate dari DF dan DHF di wilayah Asia Tenggara.

Widiarti, Boewono DT, Widyastuti U, Mujiono dan Lasmiati, 2006. Deteksi virus Dengue pada induk dan progeny vektor demam berdarah Aedes aegypti di beberapa daerah endemis di Jawa Tengah. Dalam Seminar sehari strategi pengendalian vektor dan reservoir penyakit pada kedaruratan bencana alam di era desentralisasi, Salatiga 20 September 2006.

Wu HH, and NT Chang. 1993. Influence of temperature, water quality andpHvalue on ingestion and development of Aedes aegypti and Aedes albopictus (Diptera: Culicidae) larvae. Chin. J. Entomol. 13: 33-44.

www. Satimagingcorp. Com/svc/ikonos, download 25-01-2010.

www.cpc.noaa.gov/products/janowiak/cmorph_description.html, download 15-02-2010.

Zudiana. 2004. Aplikasi Teknologi Remote Sensing (NOAA) Dalam Penentuan Fishing Ground. IPB Bogor.

Page 88: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

Lampiran 1 Prediksi tingkat penularan DBD di 4 (empat) Kecamatan Kota Pontianak

Tahun Bln Vektor Suhu Kelembaban BangunanKLB Lag 1

ActualKLB

Prediksi

2005 Jan 0 1 1 0 0 TidakFeb 0 1 1 0 0 TidakMar 0 1 1 0 0 TidakApr 0 1 1 0 0 TidakMay 0 1 1 0 0 TidakJun 0 1 1 0 0 TidakJul 0 1 1 0 0 TidakAug 0 1 1 0 0 TidakSep 0 1 1 0 0 TidakOct 0 1 1 0 0 TidakNov 1 1 1 0 0 YaDec 1 1 1 0 0 Ya

2006 Jan 0 1 1 0 0 TidakFeb 0 1 1 0 0 TidakMar 0 1 1 0 0 TidakApr 0 1 1 0 0 TidakMay 0 1 1 0 0 TidakJun 1 1 1 0 1 YaJul 0 1 1 1 0 TidakAug 1 1 1 0 1 YaSep 0 1 1 0 1 TidakOct 1 1 1 0 1 YaNov 1 1 1 0 1 YaDec 1 1 1 0 0 Ya

2007 Jan 0 1 1 0 0 TidakFeb 0 1 1 0 0 TidakMar 0 1 1 0 0 TidakApr 0 1 1 0 0 TidakMay 0 1 1 0 0 TidakJun 0 1 1 0 0 TidakJul 0 1 1 0 0 TidakAug 0 1 1 0 0 TidakSep 0 1 1 0 0 TidakOct 0 1 1 0 0 TidakNov 0 1 1 0 0 TidakDec 0 1 1 0 0 Tidak

2008 Jan 0 1 1 0 0 TidakFeb 0 1 1 0 0 TidakMar 0 1 1 0 0 TidakApr 0 1 1 0 0 TidakMay 0 1 1 0 0 TidakJun 0 1 1 0 0 TidakJul 0 1 1 0 1 TidakAug 0 1 1 0 1 TidakSep 0 1 1 0 1 TidakOct 0 1 1 0 1 TidakNov 0 1 1 0 1 TidakDec 0 1 1 1 1 Tidak

Page 89: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

Lanjutan

2009 Jan 0 1 1 0 0 TidakFeb 0 1 1 0 0 TidakMar 0 1 0 0 0 YaApr 0 1 0 0 0 YaMay 1 1 0 1 1 YaJun 1 0 0 1 1 YaJul 1 0 0 1 1 YaAug 1 0 0 0 1 YaSep 1 0 0 1 1 YaOct 1 1 0 1 1 YaNov 1 1 1 1 1 YaDec 0 1 1 1 0 Tidak

Page 90: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

Lampiran 2 Prediksi tingkat penularan DBD di Kecamatan Pontianak Utara

Tahun Bln Vektor Suhu Kelembaban Bangunan Penderita KLB Aktual KLB prediksi

2005 Jan 0 1 1 0 1 0 TidakFeb 0 1 1 0 1 0 TidakMar 0 1 1 0 0 0 TidakApr 0 1 1 0 1 0 TidakMay 0 1 1 0 3 0 TidakJun 0 1 1 0 1 0 TidakJul 0 1 1 0 3 0 Tidak

Aug 0 1 1 0 4 0 TidakSep 0 1 1 0 7 0 TidakOct 0 1 1 0 8 0 TidakNov 1 1 1 0 6 0 YaDec 1 1 1 0 17 1 Ya

2006 Jan 0 1 1 0 1 0 TidakFeb 0 1 1 0 7 0 TidakMar 0 1 1 0 9 0 TidakApr 0 1 1 0 7 0 TidakMay 0 1 1 0 13 1 TidakJun 1 1 1 0 12 1 YaJul 0 1 1 1 9 0 Tidak

Aug 1 1 1 0 11 1 YaSep 0 1 1 0 8 0 TidakOct 1 1 1 0 25 1 YaNov 1 1 1 0 22 1 YaDec 1 1 1 0 13 0 Ya

2007 Jan 0 1 1 0 7 1 TidakFeb 0 1 1 0 2 0 TidakMar 0 1 1 0 0 0 TidakApr 0 1 1 0 0 0 TidakMay 0 1 1 0 0 0 TidakJun 0 1 1 0 0 0 TidakJul 0 1 1 0 2 0 Tidak

Aug 0 1 1 0 1 0 TidakSep 0 1 1 0 0 0 TidakOct 0 1 1 0 1 0 TidakNov 0 1 1 0 0 0 TidakDec 0 1 1 0 0 0 Tidak

2008 Jan 0 1 1 0 0 0 TidakFeb 0 1 1 0 0 0 TidakMar 0 1 1 0 1 0 TidakApr 0 1 1 0 0 0 TidakMay 0 1 1 0 0 0 TidakJun 0 1 1 0 0 0 TidakJul 0 1 1 0 0 0 Tidak

Aug 0 1 1 0 1 0 TidakSep 0 1 1 0 1 0 TidakOct 0 1 1 0 2 0 TidakNov 0 1 1 0 5 0 TidakDec 0 1 1 1 7 1 Tidak

Page 91: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

Lanjutan

2009 Jan 0 1 1 0 5 0 TidakFeb 0 1 1 0 2 0 TidakMar 0 1 0 0 7 0 YaApr 0 1 0 0 4 0 YaMay 1 1 0 1 15 1 YaJun 1 0 0 1 55 1 YaJul 1 0 0 1 80 1 Ya

Aug 1 0 0 0 84 1 YaSep 1 0 0 1 73 1 YaOct 1 1 0 1 121 1 YaNov 1 1 1 1 47 1 YaDec 0 1 1 1 9 0 Tidak

Page 92: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

Lampiran 3 Hasil uji statistik

Descriptive Statistics

Mean Std. Deviation N

Kasus DBD 77.2500 125.25535 60

Vektor .2333 .42652 60

Suhu .9333 .25155 60

Kelembaban .8667 .34280 60

Hujan .5000 .50422 60

Vegetasi .2000 .40338 60

Bangunan .1500 .36008 60

Correlations

Kasus DBD Vektor Suhu Kelembaban Hujan Vegetasi Bangunan

Pearson Correlation

Kasus DBD 1.000 .755 -.715 -.739 -.133 .418 .685

Vektor .755 1.000 -.484 -.479 -.158 .315 .541

Suhu -.715 -.484 1.000 .681 .267 -.200 -.449

Kelembaban -.739 -.479 .681 1.000 .098 -.417 -.522

Hujan -.133 -.158 .267 .098 1.000 .000 .047

Vegetasi .418 .315 -.200 -.417 .000 1.000 .607

Bangunan .685 .541 -.449 -.522 .047 .607 1.000

Sig. (1-tailed) Kasus DBD . .000 .000 .000 .156 .000 .000

Vektor .000 . .000 .000 .115 .007 .000

Suhu .000 .000 . .000 .019 .062 .000

Kelembaban .000 .000 .000 . .228 .000 .000

Hujan .156 .115 .019 .228 . .500 .362

Vegetasi .000 .007 .062 .000 .500 . .000

Bangunan .000 .000 .000 .000 .362 .000 .

N Kasus DBD 60 60 60 60 60 60 60

Vektor 60 60 60 60 60 60 60

Suhu 60 60 60 60 60 60 60

Kelembaban 60 60 60 60 60 60 60

Hujan 60 60 60 60 60 60 60

Vegetasi 60 60 60 60 60 60 60

Bangunan 60 60 60 60 60 60 60

Variables Entered/Removed

ModelVariables Entered

Variables Removed Method

1 Bangunan, Hujan, Suhu, Vektor, Vegetasi, Kelembabana

. Enter

a. All requested variables entered.

Page 93: KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT … · variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor

Lanjutan

Model Summaryb

Model R R SquareAdjusted R

SquareStd. Error of the

Estimate Durbin-Watson

1 .905a .819 .798 56.22733 1.612

a. Predictors: (Constant), Bangunan, Hujan, Suhu, Vektor, Vegetasi, Kelembaban

b. Dependent Variable: Kasus DBD

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 758085.098 6 126347.516 39.964 .000a

Residual 167560.152 53 3161.512

Total 925645.250 59

a. Predictors: (Constant), Bangunan, Hujan, Suhu, Vektor, Vegetasi, Kelembaban

b. Dependent Variable: Kasus DBD

Coefficientsa

Model

Unstandardized CoefficientsStandardized Coefficients

t Sig.B Std. Error Beta

1 (Constant) 237.490 36.478 6.510 .000

Vektor 113.474 21.891 .386 5.184 .000

Suhu -121.828 44.000 -.245 -2.769 .008

Kelembaban -98.999 32.336 -.271 -3.062 .003

Hujan 2.381 15.595 .010 .153 .879

Vegetasi -1.101 23.856 -.004 -.046 .963

Bangunan 78.782 30.826 .226 2.556 .014

a. Dependent Variable: Kasus DBD