9
489 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015 KAJIAN MASA KRITIS PENYAKIT WSSV DI SALURAN PERTAMBAKAN KECAMATAN PULOKERTO, PASURUAN DAN KECAMATAN PASIR PUTIH, SITUBONDO Koko Kurniawan, Arifuddin Tompo, dan Ince Ayu Khaerana Kadriah Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail: [email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi keberadaan virus WSSV dan periode masa kritis virus WSSV (White Spot Virus Syndrome) di saluran inlet pertambakan di Kecamatan Pulokerto Kabupaten Pasuruan dan Kecamatan Pasir Putih Kabupaten Situbondo selama bulan Maret sampai Desember 2012. Sampel diambil secara berkala dan diawetkan di dalam botol yang berisi alkohol 70% untuk selanjutnya diekstrak menggunakan metode C-tab D-tab untuk mendapatkan DNA (Deoxyribonucleic Acid) total. DNA virus WSSV diamplifikasi dengan teknik first dan nested PCR (Polymerase Chain Reaction) mengggunakan kit amplifikasi spesifik WSSV (IQ 2000 TM WSSV Detecton and Preventing System). Visualisasi DNA WSSV dilakukan dengan 2% agarose dan didokumentasikan dengan gel documentation system. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa hasil analisis PCR menunjukkan semua jenis sampel dapat menunjukkan hasil positif WSSV dan prevalensi rata-rata kejadian WSSV di Kecamatan Pulokerto 30% dan di Kecamatan Pasir Putih 25%. Masa kritis WSSV untuk Kecamatan Pulokerto pada Bulan Maret-Juli, sedangkan bulan rawan Kecamatan Pasir Putih pada April–Agustus dan bulan November. KATA KUNCI: masa kritis, prevalensi, WSSV PENDAHULUAN Pemerintah masih menempatkan udang sebagai komoditas unggulan perikanan budidaya pada kurun waktu 2010-2014. Diharapkan dalam kurun waktu tersebut produksi udang nasional dapat meningkat dari 400.000 menjadi 700.000 ton. Komoditas udang yang banyak dikembangkan di Indonesia adalah jenis penaid, yaitu udang windu dan udang vaname. Udang windu merupakan salah satu udang asli Indonesia yang memiliki keunggulan dapat tumbuh cepat dengan ukuran yang cukup besar. Masa kejayaan tambak udang di Indonesia yaitu pada tahun 1980-an, namun setelah itu produksi udang terlihat menurun secara perlahan dikarenakan berbagai macam faktor. Penyakit viral menjadi faktor dominan yang bertanggung jawab terhadap penurunan produksi udang nasional. Ciri utama penyakit viral adalah dapat menyebar dengan cepat di dalam tambak pemeliharaan dan akan segera menyebar di tambak sekitarnya. Selain itu, tidak membutuhkan waktu yang lama untuk dapat menghabiskan seluruh populasi udang dalam tambak. Salah satu penyakit viral pada udang yang saat ini masih menjadi kendala utama adalah penyakit WSSV (White Spot Syndrome Virus) atau di kalangan petambak lebih dikenal dengan penyakit bintik putih disebabkan oleh SEMBV (Systemic Ectodermal and Mesodermal Baculo Virus). Virus ini merupakan virus DNA (Deoxyribonucleic Acid) berbentuk basil hingga silindrik dengan ukuran yang berbeda-beda. Ukuran rata-rata 120 x 320 ± 20 nm. Organ yang diserang SEMBV adalah kaki jalan, kaki renang,insang, lambung, otot abdomen, gonad, intestinum dan karapas. Penyakit White Spot merupakan penyakit yang dapat menyebabkan kegagalan panen dengan mortalitas 100% (Kasornchndra et al., 1995). Upaya pemerintah untuk mencapai target produksi udang nasional adalah menerapkan program industrialisasi perikanan dengan cara merevitalisasi tambak idle (menganggur) yang kurang dimanfaatkan. Salah satu daerah sasaran program tersebut adalah Provinsi Jawa Timur yang mencakup Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Situbondo. Salah satu sentra tambak udang di Kabupaten Pasuruan terletak di Kecamatan Pulokerto yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Kraton. Data dari

KAJIAN MASA KRITIS PENYAKIT WSSV DI SALURAN … · kritis WSSV untuk Kecamatan Pulokerto pada Bulan Maret-Juli, ... otot abdomen, gonad, intestinum dan ... ikan Mas (Cyprinus carpio),

Embed Size (px)

Citation preview

489 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015

KAJIAN MASA KRITIS PENYAKIT WSSV DI SALURAN PERTAMBAKANKECAMATAN PULOKERTO, PASURUAN DAN KECAMATAN PASIR PUTIH, SITUBONDO

Koko Kurniawan, Arifuddin Tompo, dan Ince Ayu Khaerana KadriahBalai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau

Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi SelatanE-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi keberadaan virus WSSV dan periode masa kritis virusWSSV (White Spot Virus Syndrome) di saluran inlet pertambakan di Kecamatan Pulokerto Kabupaten Pasuruandan Kecamatan Pasir Putih Kabupaten Situbondo selama bulan Maret sampai Desember 2012. Sampeldiambil secara berkala dan diawetkan di dalam botol yang berisi alkohol 70% untuk selanjutnya diekstrakmenggunakan metode C-tab D-tab untuk mendapatkan DNA (Deoxyribonucleic Acid) total. DNA virus WSSVdiamplifikasi dengan teknik first dan nested PCR (Polymerase Chain Reaction) mengggunakan kit amplifikasispesifik WSSV (IQ 2000TM WSSV Detecton and Preventing System). Visualisasi DNA WSSV dilakukan dengan 2%agarose dan didokumentasikan dengan gel documentation system. Berdasarkan hasil penelitian diperolehbahwa hasil analisis PCR menunjukkan semua jenis sampel dapat menunjukkan hasil positif WSSV danprevalensi rata-rata kejadian WSSV di Kecamatan Pulokerto 30% dan di Kecamatan Pasir Putih 25%. Masakritis WSSV untuk Kecamatan Pulokerto pada Bulan Maret-Juli, sedangkan bulan rawan Kecamatan PasirPutih pada April–Agustus dan bulan November.

KATA KUNCI: masa kritis, prevalensi, WSSV

PENDAHULUAN

Pemerintah masih menempatkan udang sebagai komoditas unggulan perikanan budidaya padakurun waktu 2010-2014. Diharapkan dalam kurun waktu tersebut produksi udang nasional dapatmeningkat dari 400.000 menjadi 700.000 ton. Komoditas udang yang banyak dikembangkan diIndonesia adalah jenis penaid, yaitu udang windu dan udang vaname. Udang windu merupakansalah satu udang asli Indonesia yang memiliki keunggulan dapat tumbuh cepat dengan ukuran yangcukup besar.

Masa kejayaan tambak udang di Indonesia yaitu pada tahun 1980-an, namun setelah itu produksiudang terlihat menurun secara perlahan dikarenakan berbagai macam faktor. Penyakit viral menjadifaktor dominan yang bertanggung jawab terhadap penurunan produksi udang nasional. Ciri utamapenyakit viral adalah dapat menyebar dengan cepat di dalam tambak pemeliharaan dan akan segeramenyebar di tambak sekitarnya. Selain itu, tidak membutuhkan waktu yang lama untuk dapatmenghabiskan seluruh populasi udang dalam tambak.

Salah satu penyakit viral pada udang yang saat ini masih menjadi kendala utama adalah penyakitWSSV (White Spot Syndrome Virus) atau di kalangan petambak lebih dikenal dengan penyakit bintikputih disebabkan oleh SEMBV (Systemic Ectodermal and Mesodermal Baculo Virus). Virus ini merupakanvirus DNA (Deoxyribonucleic Acid) berbentuk basil hingga silindrik dengan ukuran yang berbeda-beda.Ukuran rata-rata 120 x 320 ± 20 nm. Organ yang diserang SEMBV adalah kaki jalan, kakirenang,insang, lambung, otot abdomen, gonad, intestinum dan karapas. Penyakit White Spotmerupakan penyakit yang dapat menyebabkan kegagalan panen dengan mortalitas 100%(Kasornchndra et al., 1995).

Upaya pemerintah untuk mencapai target produksi udang nasional adalah menerapkan programindustrialisasi perikanan dengan cara merevitalisasi tambak idle (menganggur) yang kurangdimanfaatkan. Salah satu daerah sasaran program tersebut adalah Provinsi Jawa Timur yang mencakupKabupaten Pasuruan dan Kabupaten Situbondo. Salah satu sentra tambak udang di Kabupaten Pasuruanterletak di Kecamatan Pulokerto yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Kraton. Data dari

490Kajian masa kritis penyakit WSSV di saluran ..... (Koko Kurniawan)

situs resmi pemerintah Kabupaten Pasuruan (www.pasuruankab.go.id) pada tahun 2008 dilaporkanpotensi tambak yang ada di Kabupaten Pasuruan sebesar 3.966,9 Ha dan komoditas udangdikembangkan di empat kecamatan, yaitu Kecamatan Bangil, Kraton, Rejoso, dan Lekok. Rata-ratapetambak masih menggunakan sistem tradisional dan sistem tradisional plus dengan sistem budidayapolikultur bandeng-udang. Produksi udang windu di Kabupaten Pasuruan pada tahun 2009 mencapai261,77 ton sedangkan udang vanamei 17,5 ton. Sedangkan dari situs resmi Kabupaten Situbondoyang diperoleh dari survei Universitas Gadjah Mada pada tahun 2005 (www.potensiadaerah.ugm.ac.id)potensi berupa panjang bentang pantai mencapai 150 km. Luasan tambak yang ada, tambak intensif1.052,84 Ha, semi intensif 12,03 Ha dan tambak tradisional 428,87 Ha. Produksi udang di KabupatenSitubondo per tahun rata rata ± 924,5 ton.

Identifikasi keberadaan virus dapat dilakukan dengan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) yangbekerja secara spesifik dan sensitif terhadap penyebab penyakit. Agen penyebab penyakit yang belummenunjukkan gejala klinis dapat terdeteksi menggunakan teknik tersebut karena DNA/ RNA (RibonucleicAcid) penyebab penyakit dapat digandakan sehingga dapat terdeteksi keberadaanya (Sukenda et al.,2009) Sampai saat ini OIE (Office Internationale Epizooticae) masih merekomendasikan teknikpemeriksaan PCR nested dengan dua tabung ependorf sebagai metode diagnostik standar untukpemeriksaan virus WSSV (OIE, 2012) meskipun Claydon et al. (2004) telah melaporkan tingginyatingkat kontaminasi pada teknik PCR tersebut sehingga dapat terjadi hasil pemeriksaan positif palsu.

Saluran pertambakan memegang peran penting dalam kelangsungan tambak. Melalui saluranpertambakan air dialirkan masuk untuk mengisi tambak. Saluran pertambakan sistem pertambakantradisional masih menggunakan satu pintu masuk untuk saluran pemasukan air dan saluranpembuangan. Kondisi ini dapat menjadi titik kritis penyebaran sebuah penyakit, sehingga diperlukanpemetaan keberadaan penyebab penyakit dalam sebuah kurun waktu.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi keberadaan virus WSSV (White Spot VirusSyndrome) dan masa kritis di Kecamatan Pulokerto Kabupaten Pasuruan dan Kecamatan Pasir PutihKabupaten Situbondo selama bulan Maret 2012 sampai Desember 2012. Agar dapat meminimalisirpotensi masuknya virus WSSV dan kegagalan panen karena serangan penyakit. Diharapkan dari hasilpenelitian ini, stakeholder dapat memanfaatkannya untuk pertimbangan pemasukan air ke dalamtambak.

METODE PENELITIAN

Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di area pertambakan masyarakat Kecamatan Pulokerto Kabupaten Pasuruandan Kecamatan Pasir Putih Kabupaten Situbondo. Sampel diambil secara berkala pada satu titik diawal saluran pertambakan selama 10 bulan pada bulan Maret hingga Desember.

Pengumpulan Sampel

Sampel yang diambil adalah hewan air (krustase, kepiting, dan ikan-ikan liar) di saluranpertambakan yang berpotensi untuk masuk ke dalam tambak melalui saluran masuk atau lubang disekitar pematang tambak yang bocor. Sampel diambil menggunakan jala buang. Organ yang diambiluntuk sampel krustase dan kepiting meliputi kaki renang, kaki jalan, ekor sedangkan untuk sampelikan berupa sirip atau ekor. Sampel disimpan ke dalam botol pengawet berisi alkohol 70% dan dibawake Laboratorium Kesehatan Ikan dan Lingkungan BPPBAP Maros untuk diperiksa keberadaan virusWSSV. Prevalensi keberadaan virus WSSV dihitung berdasarkan nilai prevalensi serangan terhadapjumlah semua sampel. Untuk mengetahui keberadaan virus WSSV pada sampel hewan air, denganpengamatan makroskopis dan melalui pembacaan ukuran band DNA hasil elektroforesis.

Koleksi Genom DNA

Untuk memperoleh koleksi DNA total virus WSSV sampel diekstrak menggunakan kit ekstraksiWSSV (IQ 2000TM WSSV Detecton and Preventing System) metode C-tab D-tab. Sebanyak 30 mg sampeldimasukkan ke dalam mikrotube steril volume 1,5 mL ditambahkan dengan 600 µL D-tab dan inkubasi

491 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015

di dalam waterbath 75oC selama 5 menit. Untuk memisahkan DNA dan RNA ditambahkan 700 µLChloroform dan dihomogenkan selama 20 detik dilanjutkan dengan sentrifuse 12000 rpm selama 5menit. Setelah terjadi pemisahan, lapisan teratas (DNA) dicampur dengan 100µL larutan CTAB dan900 µL ddH2O dan diinkubasi dalam waterbath 75o C selama 5 menit. Sampel disentrifugasi selama10 menit dengan kecepatan 12000 rpm, lapisan bagian atas dibuang dan tambah dengan 150 µLdissolve solution. Sampel diinkubasi selama 5 menit lalu disentrifugasi dengan kecepatan 12000 rpmselama 5 menit. Sampel DNA diekstrak dengan 300 µL ethanol absolut dingin dan diendapkan denganmensentrifugasi 12000 rpm selama 5 menit. DNA seanjutnya dibilas dengan 200 mL ethanol 75%dan disentrifugasi kembali dengan kecepatan 12000 rpm selama 5 menit. Cairan yang ada dibuangdan dikering anginkan selanjutnya DNA dilarutkan dengan 200µL TE buffer untuk proses selanjutnya.

PCR

DNA virus WSSV diamplifikasi mengggunakan kit amplifikasi spesifik WSSV (IQ 2000TM WSSVDetecton and Preventing System) dengan teknik first dan nested PCR (Polymerase Chain Reaction). Amplifikasidilakukan dengan cara mencampur 7,5µL first PCR premix, 0,5 µL IQ zyme dan 2 µL sampel dalammikrotube 200 µL. Campuran diinkubasi dalam alat Geneamp PCR system 2700 dengan suhu amlpifikasi940C selama 30 detik; 620C selama 30 detik; 720C selama 30 detik sebanyak 5 siklus, kemudian 940Cselama 15 detik, 620C selama 15 detik; 720C selama 20 detik sebanyak 15 siklus selanjutnya 720Cselama 30 detik; 200C selama 30 detik. Sedangkan pada tahap nested, setiap reaksi ditambah dengan14 µL nested PCR dan 1 µL IQ zyme. Sampel diinkubasi dengan suhu 940C selama 20 detik; 620Cselama 20 detik; 720C selama 30 detik sebanyak 25 siklus dan siklus terakhir 720C selama 30 detik;200C selama 30 detik (Anonim, 2002)

Visulisai DNA WSSV

Analisis hasil amplifikasi dilakukan dengan metode elektroforesis. Sampel yang telah diamplifikasisebanyak 5µL yang dicampur dengan 3µL loading dye bersama DNA marker, kontrol positif, kontrolnegatif (IQ 2000TM WSSV Detecton and Preventing System) pada 2% agarose yang dicampur 0,5-1 µL gelred (biotum®) untuk pewarnaan. Agarose direndam dengan TBE 1X yang dialiri arus listrik 100 Vselama 30 menit dan didokumentasikan menggunakan gel documentation system. Sampel terinfeksiringan akan menunjukkan 2 band pada angka 296 pasang basa (pb) dan di atas 848 pb. Sampel yangterinfeksi parah akan menunjukkan 3 band pada angka 296 pb, 550 pb dan di atas 848 pb. Sampelnegatif tidak muncul band atau hanya muncul band di atas 848 pb (Anonim, 2002)

HASIL DAN BAHASAN

Kecamatan Pulokerto, Kabupaten Pasuruan termasuk daerah minapolitan yang perlu dipantaukondisi pertambakannya, karena di area tersebut terdapat tambak yang luas. Dengan demikianpemantauan penyakit WSSV mempunyai dampak penting terhadap pola serangan virus WSSV diareal pertambakan daerah tersebut.

Hasil pemantauan selama 10 bulan di Kecamatan Pulokerto diperoleh jumlah sampel 60 ekoryang terdiri dari 15 jenis spesies yang berbeda, yaitu ikan Mujair (Oreochromis mosambicus), ikanBelanak (Mugil sp.), ikan Keting (Mystus wolffii), ikan Belosok (Oxyleotris mamorata), ikan Betik (Anabastestudines), ikan Sepat (Tricogaster pectorales), Ikan Bandeng (Chanos chanos sp.), ikan Kerung (Therapontherap), ikan Nila (Oreochromis niloticus), udang Vanamei (Litopenaeus vannamei), udang werus(Metapenaeus spp.), udang Putih (Penaeus margulensis), udang Windu (P. monodon), udang Kadoro (P.monoceros) dan kepiting Bakau (Scylla serrata). Jumlah total sampel yang menunjukkan hasil positifkeberadaan sebesar 18 ekor.

Di Kecamatan Pasir Putih diperoleh sampel 52 ekor yang terdiri atas 15 jenis spesies yang berbeda,yaitu ikan ikan Betok (A. testudines), ikan Sepat (T. pectorales), ikan Sapu sapu (Pterygoplichthys sp.),ikan Mujair (Tilapia mozambica), ikan Mas (Cyprinus carpio), ikan Belanak (Mugil sp), ikan Gabus (Channastriata), ikan Keting (M. wolffii), ikan Nila (O. niloticus), ikan Wader (Rasbora argyrotaenia), ikan Besengbeseng (Marosatherina ladigesi), ikan Patin (Pangasius pangasius) Kepiting bakau (S. serrata), udangwindu (P. monodon), udang Vanamei (L. vannamei). Jumlah total sampel yang menunjukkan hasil positif

492Kajian masa kritis penyakit WSSV di saluran ..... (Koko Kurniawan)

keberadaan WSSV sebanyak 13 ekor. Jumlah total sampel dan prevalensi keberadaan virus WSSVdisaluran pertambakan kedua Kecamatan dapat dilihat pada Tabel 1.

Sampel hewan air yang diperoleh per bulan dari saluran pertambakan kedua kecamatan selaluberbeda antara jumlah dan spesiesnya, tergantung keberadaan hewan air di saluran pertambakansaat pengambilan sampel. Jumlah sampel setiap bulan dan jumlah sampel positif WSSV di KecamatanPulokerto dapat dilihat pada Gambar 1. Sedangkan jumlah sampel setiap bulan dan jumlah sampelpositif WSSV di Kecamatan Pasir putih dapat dilihat pada Gambar 2.

Asal sampel (Kabupaten)

Total sampel (ekor)

Sampel positif (ekor)

Jenis sampel yang positif selama penelitian

Mujair (Oreochromis mosambicus )Belanak (Mugil sp.)Keting (Mystus wolffii )Belosok (Oxyleotris mamorata )Betik (Anabas testudines )Sepat (Tricogaster pectorales )Udang putih (Penaeus margulensis )Udang kadoro (Penaeus monoceros )Kepiting bakau (Scylla serrata )Gabus (Channa striata )Wader (Rasbora argyrotaenia )Belanak (Mugil sp.)Patin (Pangasius pangasius )Beseng beseng (Marosatherina ladigesi)Sepat siam (Tricogaster pectorales )Keting (Mystus wolffii )Kepiting bakau (Scylla serrata )

Kecamatan Pasir Putih (Situbondo)

52 13

Kecamatan Pulokerto (Pasuruan)

60 18

Tabel. 1. Total sampel di Kecamatan Pulokerto dan Kecamatan Pasir Putih

Gambar 1. Jumlah sampel hewan liar dan sampel positif di saluran pertambakansetiap bulan (Maret-Desember) di Kecamatan Pulokerto

0

2

4

6

8

10

12

Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sep Okt Nov Des

Jumlah sampel di Kecamatan Pulokerto Jumlah sampel positif

493 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015

Dari pengamatan makroskopis, sampel udang liar yang ditangkap selama penelitian menunjukkangejala spesifik terhadap penyakit WSSV yaitu berupa bintik putih di karapas dan gerakan yang lemah.Gejala ini sama dengan yang dilaporkan Sudha et al. (1998) bahwa udang yang terinfeksi WSSVmempunyai gejala menurunnya aktivitas renang dan tidak terarah. Pada fase akut akan muncul bercakputih pada karapas dengan diameter 0,5-3,0 mm. Bercak putih ini pertama kali muncul padacephalothorax segmen ke 5-6 dari abdominal dan akhirnya akan menyebar ke seluruh tubuh. Namundemikian, sampel lain yang tidak menunjukkan gejala menciri penyakit WSSV dapat menunjukkanhasil positif terhadap pemeriksaan PCR. Kondisi ini juga terlihat pada sampel berupa kepiting. Kepitingyang tidak menunjukkan gejala kelemahan dapat menunjukkan hasil positif pada pemeriksaan denganPCR. Hal ini senada dengan hasil peneitian Hameed et al. (2003) yang melaporkan bahwa kepitingyang tidak menunjukkan gejala klinis penyakit WSSV dapat menunjukkan hasil positif saat pemeriksaanklinis menggunakan teknik PCR.

Hasil analisa diskriptif dari pemeriksaan PCR Kecamatan Pulokerto menunjukkan prevalensi yanglebih tinggi dari Kecamatan Pasir Putih. Prevalensi keberadaan virus WSSV di Kecamatan PulokertoKabupaten Pasuruan mencapai 30% dengan tingkat prevalensi tertinggi keberadaan virus WSSV padaikan-ikan liar yang mencapai 21,67%. Prevalensi pada udang yang mencapai 5% sedangkan padakepiting WSSV 3%. Spesies ikan yang menunjukkan positif WSSV adalah Mujair (O, mosambicus), Belanak(Mugil sp.), Keting(M. wolffii), Belosok (Oxyleotris mamorata), Betik (A. testudines), Sepat (T. pectorales).Lightner et al. (1998) menyatakan bahwa WSSV mempunyai host range yang luas meliputi 40 jeniskepiting, copepoda dan arthropoda. Desrina et al. (2012) menyebutkan WSSV terdeteksi positif pada 7dari 8 denronereis spp. Namun tidak disebutkan WSSV dapat menimbulkan gejala klinis pada denronereisspp.

Hasil pemeriksaan PCR terhadap sampel ikan dari Kecamatan Pulokerto pada bulan Desembermenunjukkan bahwa sampel tidak terinfeksi WSSV. Visualisasi contoh hasil pemeriksaan PCR dapatdilihat pada Gambar 3.

Prevalensi keberadaan virus WSSV di Kecamatan Pasir Putih 25% dengan tingkat prevalesi tertinggipada ikan-ikan liar 21,15%. Prevalensi keberadaan virus WSSV pada kepiting di saluran yang mencapai3,84% dan tidak terdeteksi keberadaan virus WSSV pada udang liar. Selama penelitian, ikan yangmenunjukkan hasil positif WSSV adalah Gabus (Channa striata), Wader (Rasbora argyrotaenia), Belanak(Mugil sp.), Patin (P. pangasius), Beseng beseng (Marosatherina ladigesi), Sepat siam (T. pectorales), Keting(M. wolffii), Udang vanamei (P. vannamei), dan udang windu (P. monodon) tidak menunjukkan positifserangan virus WSSV. Tingkat keberadaan virus WSSV lebih rendah dari yang dilaporkn Muliani (2004),

Gambar 2. Jumlah sampel hewan liar dan positif WSSV di saluran pertambakansetiap bulan (Maret-Desember) di Kecamatan Pasir Putih

0

1

2

3

4

5

6

7

8

Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sep Okt Nov Des

Jumlah sampel di Kecamatan Pulokerto Jumlah sampel positif

494Kajian masa kritis penyakit WSSV di saluran ..... (Koko Kurniawan)

bahwa 27,2 persen dari 136 sampel dari tambak yang diperiksa menggunakan metode PCRmenunjukkan hasil positif WSSV. Prevalensi tertinggi serangan virus WSSV terjadi pada artemia (100%),kemudian disusul oleh ikan-ikan liar yang hidup di tambak (80%) dan udang yang dipelihara ditambak (47,6%).

Ikan-ikan liar berpeluang besar untuk menularkan virus WSSV ke udang udang yang berada didalam tambak. Ikan ikan liar yang ada disaluran pertambakan akan menginfeksi plankton di saluranair. Zooplanton (Yan et al.,2004) dan Fitoplanton (Zhang et al., 2007) dilaporkan dapat menjadi ruteserangan virus WSSV pada udang. Plankton yang mengandung virus WSSV akan masuk ke dalamareal pertambakan bersamaan saat pemasukan air ke dalam tambak. Selain itu, ikan ikan liar yangdapat masuk ke dalam tambak melalui saluran pemasukan yang jeruji penyaringannya kurang baikatau terlalu longgar. ikan liar yang mengandung virus WSSV akan menginfeksi plankton yang ada didalam tambak. Udang akan terinfeksi jika memakan planton yang telah terinfeksi virus WSSV danakan bereplikasi semakin banyak didalam tubuh udang.

Hasil pemeriksaan PCR terhadap sampel ikan dari Kecamatan Pasir Putih pada bulan Junimenunjukkan keberadaan virus WSSV dari mulai kelompok sedang hingga kelompok parah. Visualisasihasil pemeriksan PCR dapat dilhat pada Gambar 4.

Prevalensi tertinggi keberadaan virus WSSV di Kecamatan Pulokerto terjadi pada bulan Maretyang mencapai 100% dan menurun pada bulan Mei menjadi 87,5%. Pada bulan Juni dan Juli meskipuntidak setinggi bulan sebelumnya namun mengindikasikan bahwa di saluran pertambakan terdapatvirus WSSV. Jika dihubungkan dengan kondisi cuaca di daerah tersebut, keberadaan virus WSSVterjadi pada musim penghujan (bulan Maret dan Mei), musim pancaroba (bulan Juni) dan awal musimkemarau (bulan Juli). Untuk Kecamatan Pasir Putih, prevalensi WSSV yang tinggi terjadi pada bulanJuni yang mencapai 100% dan bulan Juli yang mencapai 40%, namun keberadaan virus WSSV telahterdeteksi sejak bulan April hingga Agustus dan bulan November. Menurut kalender musim, BulanApril merupakan akhir musim penghujan, bulan Mei merupakan musim pancaroba peralihan ke musimkemarau dan bulan Juni–Agustus merupakan musim kemarau, namun kondisi cuaca di KabupatenSitubondo pada umumnya sama dengan kondisi cuaca di Kabupaten Pasuruan, dimana pada bulanMei masih terjadi turun hujan dan baru pada bulan Juni terjadi pergantian musim. Jika dikaitkanantara keberadaan virus WSSV di saluran pertambakan dengan musim, nampak bahwa keberadaanvirus WS dapat terjadi pada semua musim.

Keterangan :Lane 1 : Marker WSSV (333 pb, 640 pb, 848 pb)Lane 2 : sampel negatif WSSV sedang (sampel ikan Mujair)Lane 3 : sampel negatif WSSV sedang (sampel ikan Belanak)Lane 4 : sampel negatif WSSV sedang (sampel ikan Keting)Lane 5 : sampel negatif WSSV sedang (sampel ikan Betok)Lane 6 : Kontrol negatif WSSVLane 7 : Kontrol positif WSSV (296 pb, 550 pb dan diatas 848 pb).

Gambar 3. Contoh hasil visualisasi pemeriksaan PCR sampel ikan bulanDesember di Kecamatan Pulokerto

1 2 3 4 5 6 7

848pb

640pb

333pb

>848pb550pb296pb

495 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015

Kondisi cuaca musim hujan dapat menjadi pemicu melemahnya pertahanan tubuh hewan air.Dengan curah hujan yang tinggi dapat menyebabkan kondisi kualitas air di saluran pertambakancenderung tidak stabil dan berfluktuasi. Pada kondisi ekstrim akan terjadi penurunan kualitas perairansecara drastis. Pada kondisi hujan yang tinggi dapat menurunkan kadar salinitas air, dan kadar DO(Disolved Oxygen) dalam air. Penurunan kadar DO menimbulkan kondisi dalam air menjadi anaerobik,dan dapat menyebabkan perubahan senyawa nitrat menjadi amonia yang beracun dan meningkatkankadar pH di dalam lingkungan air. Gunalan et al. (2010) melaporkan bahwa rendahnya kadar DOdapat menjadi faktor stresor alami yang dapat memberikan efek cepat dan signifikan terhadap fisiologisdan pertahanan udang.

Musim pancaroba merupakan perpindahan dua musim, dan mempunyai kondisi cuaca yang ekstrimantara siang dan malam hari terutama saat fajar. Cuaca ekstrim dapat menyebabkan fluktuasi suhuyang besar antara siang dan malam di saluran pertambakan, keadaan ini telah banyak dilaporkansebagai penyebab kasus kematian pada udang (Du et al., 2008). Perbedaan suhu yang ekstrim seringberlanjut ke musim kemarau, pada saat siang hari terasa panas menyengat namun pada saat malamhari terasa sangat dingin. Kondisi ini akan menekan pertahanan tubuh hewan air di saluranpertambakan. Panasnya sinar matahari pada saat siang hari dapat meningkatkan kadar salinitas dansuhu air di saluran sedangkan pada malam hari, suhu yang dingin dapat menjadi stresor yangsignifikan. Menurut Tendencia et al. (2010) fluktuasi suhu yang ekstrim dan suhu air yang rendahmerupakan penyebab terjadi infeksi WSSV. Hal ini disebabkan karena pada suhu rendah, WSSV akanmenggandakan diri lebih cepat. Sedangkan salinitas merupakan salah satu faktor lingkungan pentinguntuk udang penaid dan kadar salinitas yang tinggi telah biasa digunakan sebagai faktor stresorterhadap post larva udang yang akan ditebar di tambak (Bray et al., 1992). Prevalensi bulanan duakecamatan yang diperoleh selama penelitian selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.

Pemasukan air ke dalam tambak merupakan fase persiapan pemeliharaan udang yang sangatrawan. Jika tidak diperhatikan waktu yang tepat, tambak yang telah disterilkan akan terkontaminasibakteri, virus patogen atau carier pembawa kedua bibit penyakit tersebut. Dari data Tabel 2 dapatdiketahui bahwa masa kritis untuk pemeliharaan udang di Kecamatan Pulokerto berada pada BulanMaret-Juli. Waktu yang tepat untuk memasukkan air ke dalam tambak disarankan pada saat prevalensikeberadaan virus WSSV 0%, yaitu pada bulan Agustus–bulan Desember. Masa kritis pemeliharaan

Keterangan:Lane 1 : Marker WSSV (333 pb, 640 pb, 848 pb)Lane 2 : Sampel positif WSSV sedang (sampel kepiting bakau)Lane 3 : Sampel positif WSSV sedang (sampel ikan Gabus)Lane 4 : Sampel positif WSSV sedang (sampel ikan Keting)Lane 5 : Sampel positif WSSV sedang (sampel ikan Betok)Lane 6 : Sampel positif WSSV sedang (sampel ikan Belanak)Lane 7 : Sampel positif WSSV parah (sampel ikan Nila)Lane 8 : Kontrol negatif WSSVLane 9 : Kontrol Positif WSSV (296 pb, 550 pb dan diatas 848 pb)

1 2 3 4 5 6 7 8

>848pb

550pb296pb

848pb

640pb

333pb

Gambar 4. Contoh hasil visualisasi pemeriksaan PCR sampel kepiting danikan pada bulan Juni di Kecamatan Pasir Putih

496Kajian masa kritis penyakit WSSV di saluran ..... (Koko Kurniawan)

Tabel 2. Prevalensi WSSV per bulan di Kecamatan Pulokerto dan Kecamatan Pasir Putih

Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sep Okt Nov DesPulokerto - 100 0 87,5 18,2 25 0 0 0 0 0Pasir putih - 0 25 20 100 40 33,3 0 0 20 0

Prevalensi WSSV setiap bulan (%)Asal sampel (Kecamatan)

udang untuk Kecamatan Pasir Putih pada bulan April–Agustus dan pada bulan November dan saatyang tepat untuk memasukkan air ke dalam tambak pada bulan Maret, September, Oktober danDesember.

KESIMPULAN

Berdasarkan kajian masa kritis terhadap penyakit WSSV, prevalensi keberadaan virus WSSV disaluran pertambakan Kecamatan Pulokerto Kabupaten Pasuruan sebesar 30%. Sementara prevalensikeberadaan virus WSSV di Kecamatan Pasir Putih Kabupaten Situbondo sebesar 25%. Ikan dan kepitingmenunjukkan hasil positif pemeriksaan virus WSSV dengan metode PCR. Masa kritis pemelihahaanudang di Kecamatan Pulokerto pada bulan Maret-Juli. Sementara masa kritis pemeliharaan udang diKecamatan Pasir Putih pada bulan April-Agustus dan bulan November.

DAFTAR ACUAN

Anonymous. (2002). Instruction Manual. Detection and Prevention System for White Spot SyndromeVirus (WSSV). Taiwan, 18 pp.

Bray, W.A., & Lawrence, A.L. (1992). Reproduction of Penaeus Species in Captivity. In: fast, A.W., Lester,J.L (Eds.), Marine Shrimp Culture: Principle and Practise. Elseiver, Amsterdam, p. 93-170.

Claydon, K., Cullen, B., & Owens, L. (2004). OIE White Spot Syndrome Virus PCR Gives False-PositifResult in Cherax quadricarinatus. Disease of Aquatic Organism, 62, 265-268.

Desrina., Sarjito., Haditomo, A.H.C., & Chilmawati, D. (2012). The White Spot SyndromeVirus(WSSV)Load in Dendroneresis spp. Journal of Coastal Development, 15(3), 270-275.

Dongchun, Y., Shuanlin, D., & Jie, H. (2004). White Spote Syndrome (WSSV) detected by PCR in rotiferand rotifer resting eggs from shrimp pond sediements. Disease of AquaticOrganisms, 59, 69-73.

Du, H. et al. (2008). Effect of Low Water Temperatur on Viral Replication of White Spot Syndrome Virusin Procambarus clarkii. Aquaculture, 277, 149-151.

Gunalan, B., Soundarapandilan, P., & Dinakara, G.K. (2010). The Effect of Temperature and pH onWSSV Infection in Culture Marine Shrimp Penaeus Monodon (Fabricius). Centre of Advanced Study inMarine Biology Annamalai University. Parangiettai-608 502 Tamil Nadu. India.

Hameed, S.A.S., Balasubramanian, G., Syed Musthaq, S. & Yoganandhan, K. (2003). Exerimental Infec-tion of Twenty Species of Indian Marine Crabs with White Spot Syndrome Virus. Disease of aquaticorganism, 57, 157-161.

Jiasong, Z., lin, D.S., Xiangli, T., Yunwei, D., Xiangyi, L., & Dongchun, Y. (2007). Virus-phytoplantonadhesion a new WSSV transmision to zooplanton. Acta Oceanolog ica Sinica, 26(6), 109-115.

Kasornchndra. J., Boonyaratpalin., S., Khongpradit, R., & Ekpanithanpong, U. (1995). Mass Mortalityby Sistemic Bacilliform Virus in Cultured Penaid Shrimp. Penaeus monodon .in Thailand. Asian ShrimpNews, p. 2-3.

Ligtner. D.V., Hasson., K.W., White, B.L., & Redman, R.M. (1998). Exeriental Infection Of White SpotSyndrome of Western Hemisphere Penaeid Shrimp with Asian White Spot Syndrome Virus and AsianYellow Head virus. J Aquat Anim Helth, 10, 271-281.

Muliani., Parenrengi, A., Sulaeman, & Atmomarsono, M. (2004). Prevalensi, Intensitas, dan TransmisiWhite Spot Syndrome Virus (WSSV) pada Budi Daya Udang Windu (Penaeus monodon). Jurnal PenelitianPerikanan Indonesia. 10(5), 103-110.

497 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015

OIE (Office Internationale Epizooticae). (2012). http://www.oie.int/international-standar-setting/aquatic-manual/acces-online/.

Sudha, P.M., Mohan, C.V., Shankar, K.M., & Hedge, A. (1998). Relationship Between White Spote Syn-drome Virus Infection and Clinical Manifestation in Indian Cultured Penaid Shrimp. Aquaculture,167, 95-101.

Sukenda., S., Dwinti, H., & Yuhana, M. (2009). Keberadaan WSSV, TSV dan IHHNV di Tambak IntensifUdang Vanamei (Litopenaeus vannamei) di Bakauheni,Lampung Selatan. Jurnal Akuakultur Indonesia,8(2), 1-8

Tendencia, E.A., Bosma, R.H., & Verreth, J.A.J. (2010). WSSV Risk Factors Related to Water Physico-Chemical Properties and Microflora in Semi Intensive Penaeus monodon Culture Ponds in thePhilippines. Aquaculture, 302, 164-168.

Udang Vanamei dan Udang Windu, (2011) (www.pasuruanKabupaten.go.id/potensi-46budidayaairpayau.html, diakses 27 Agustus 2013).