57
KAJIAN KEBIJAKAN PERENCANAAN TENAGA KESEHATAN DIREKTORAT KESEHATAN DAN GIZI MASYARAKAT DEPUTI BIDANG SUMBER DAYA MANUSIA DAN KEBUDAYAAN BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL 2005 L APORAN

KAJIAN KEBIJAKAN PERENCANAAN TENAGA · PDF file5 ABSTRAK Kajian ini dilakukan untuk mengetahui jumlah, mutu dan penyebaran tenaga kesehatan terutama di Puskesmas dan jaringannya, kebijakan

  • Upload
    vutram

  • View
    218

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

KAJIAN KEBIJAKAN PERENCANAAN TENAGA KESEHATAN

DIREKTORAT KESEHATAN DAN GIZI MASYARAKAT DEPUTI BIDANG SUMBER DAYA MANUSIA DAN KEBUDAYAAN

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

2005

L A P O R A N

2

Tim Peneliti dan Penyusun Rekomendasi: Dedi M. Masykur Riyadi, Arum Atmawikarta; Dadang Rizki Ratman, Taufik Hanafi, Yosi Diani Tresna, Sularsono, Destri Handayani, Pungkas Bahjuri Ali, Khabib Mualim, Penulis Buku: Pungkas Bahjuri Ali, Dadang Rizki Ratman, Sularsono Tim Pendukung: Nurlaily Aprilianti; Erna Rosita Dikeluarkan oleh: Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas); Tahun 2005

3

PENGANTAR

Dokumen ini merupakan laporan kajian tentang Kebijakan Perencanaan Tenaga Kesehatan, yang dilakukan pada tahun 2005 di 7 propinsi dan meliputi 32 kabupaten/kota. Kajian ini dilakukan oleh Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat Bappenas.

Kajian ini dilakukan karena Bappenas memerlukan masukan tentang kebijakan tenaga kesehatan. Dengan mengetahui proses perencaaan kebutuhan, pendidikan dan pelatihan serta pendayagunaan tenaga kesehatan, diharapkan dapat memberikan masukan bagi Bappenas dan atau instansi pemerintah lainnya dalam mempertajam penyusunan kebijakan pembangunan kesehatan khususnya di bidang ketenagaan kesehatan di masa mendatang.

Kami mengucapkan terimakasih kepada para nara sumber yaitu Bapak Abdurachman (Kepala Pusbangkes Depkes), Dedi Ruswendi (Kepala Biro Kepegawaian Depkes), Setiawan Soeparan (Kepala Pusdikanakes Depkes), dan Bapak Untung Suseno (Kepala Purat Perencanaan Tenaga Kesehatan Depkes) beserta staf, serta seluruh pihak yang telah membantu pengumpulan data. Ucapan terimakasih juga kami sampaikan kepada responden dan pihak-pihak yang membantu kami dalam memperoleh data, yaitu Depkes Pusat, Dinas Kesehatan di 7 propinsi, Dinas Kesehatan di 32 kabupaten/kota, Bappeda, Kepala Puskesmas dan seluruh tenaga kesehatan di Puskesmas dan jaringannya.

Laporan kajian ini masih jauh dari sempurna. Namun dari analisis yang dilakukan, sudah dirumuskan beberapa kesimpulan dan rekomendasi yang dapat digunakan untuk perbaikan kebijakan perencanaan tenaga kesehatan di masa yang akan datang. Kritik dan saran sangat diharapkan untuk lebih menyempurnakan laporan kajian ini.

Terima kasih.

Jakarta, Desember 2005

Tim Peneliti

4

PENGANTAR

Kualitas pelayanan publik sangat ditentukan oleh sistem dan tenaga pelayanan. Ketenagaan pelayanan seringkali menghadapi kendala dalam hal jumlah, sebaran, mutu dan kualifikasi, sistem pengembangan karir, dan kesejahteraan tenaga pelaksana pelayanan. Permasalahan yang muncul dalam tataran mikro operasional memunculkan persepsi rendahnya kualitas pelayanan, yang berawal dari kesenjangan antara aturan dan standar yang ada dengan pelaksanaan pelayanan yang tidak dapat menerapkannya. Pemahaman terhadap kedaaan nyata yang dihadapi di lapangan sangat penting untuk menelaah kembali landasan kebijakan, aturan, dan standar untuk meningkatkjan kualitas pelayanan.

Laporan ini menyampaikan hasil kajian mirko ketenagaan dalam pelayanan kesehatan publik di tingkat kabupaten/kota, kecamatan dan di unit pelayanan kesehatan masyarakat terdepan, puskesmas. Hasil kajian ini dipandang penting sebagai sumber informasi bagi pengambil keputusan untuk memahami permasalahan, mengatasinya dan sebagai sumber pembelajaran bagi pengambil keuputusan lainnya. Kajian menunjukkan antara lain terdapatnya kesenjangan (gap) antara kebijakan ketenagaan pemerintah pusat dengan implementasinya di daerah dan telaahan terhadap ragam upaya pemerintah kabupaten/kota mengatasi persoalan ketenagaan pelayanan publik yang mereka hadapi.

Dalam konteks pembangunan sumber daya manusia, sudah pada tempatnya bila melihat ketenagaan pelayanan dalam kerangka keterkaitan sistem kesehatan nasional, sistem pendidikan nasional dan sistem lainnya. Pengelolaan ketenagaan kesehatan harus dilakukan dengan mempertimbangkan kaitannya dengan sistem pendidikan dan ketenagakerjaan secara menyeluruh. Sangat mungkin bahwa ketenagaan kesehatan yang dilaporkan pada buku ini merupakan gambaran persoalan serupa dalam ketenagaan di bidang lain sehingga jawaban pemecahan persoalan harus diupayakan secara menyeluruh terutama melalui telaahan di bidang ketenagakerjaan dan pendidikan.

Semoga diagnosis yang dilakukan melalui kajian ini tepat dan dapat ditindaklanjuti dengan resep dan rekomendasi yang tepat pula. Diharapkan laporan kajian ini dapat menjadi masukan dan bahan berguna untuk pengembangan kebijakan implementatif dalam penagagan ketenagaan untuk meningkatkan pelayanan publik.

Masukan dan saran perbaikan perbaikan kami nantikan. Terimakasih.

Jakarta, Desember 2005

Deputi Men PPN Bidang Sumber Daya Manusia

dan Kebudayaan

Dedi M. Masykur Riyadi

5

ABSTRAK

Kajian ini dilakukan untuk mengetahui jumlah, mutu dan penyebaran tenaga kesehatan terutama di Puskesmas dan jaringannya, kebijakan perencanaan, pengadaan, penempatan dan pelatihan tenaga kesehatan beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Kajian menggunakan desain cross sectional dan dilakukan di 7 propinsi, mencakup 32 kabupaten/kota dengan responden dinas kesehatan, kepala puskesmas dan tenaga kesehatan puskesmas. Pengumpulan data dilakukan melalui studi literatur, diskusi, FGD dan survei. Analisa univariate dilakukan untuk mengetahui kecenderungan sebaran dan statistik deskriptif.

Secara umum perencanaan dilakukan untuk hampir semua jenis tenaga, walaupun lebih dari separuh kab/kota tidak menerapkan pedoman perencanaan yang ditetapkan, dengan alasan utama kurangnya sosialisasi. Kekurangan tenaga terjadi pada semua jenis tenaga kesehatan, dengan persentase tertinggi pada epidemiolog, teknis medis, rontgen, penyuluh kesehatan masyarakat dan dokter spesialis. Masalah utama ketenagaan adalah terbatasnya formasi dan kemampuan pendanaan, serta proses pengadaan dan penempatan yang kurang memuaskan.

Ketenagaan di daerah tertinggal dan terpencil ditandai dengan rasio tenaga kesehatan per puskesmas yang lebih kecil, jangkauan desa terpencil yang lebih luas, dan proporsi pegawai PNS yang lebih sedikit, dukungan pustu dan polindes yang lebih sedikit, harapan terhadap insentif yang sangat tinggi, serta rencana kepindahan yang lebih tinggi. Jenis insentif yang paling diharapkan oleh petugas Puskesmas adalah gaji/tunjangan yang lebih baik, peningkatan karir, dan penyediaan fasilitas.

Dalam hal perencanaan, kajian merekomendasikan sosialisasi yang lebih intensif tentang metode perencanaan. Dalam hal pengadaan, kebijakan nasional pengadaan dokter di Puskesmas yang masih banyak yang kosong perlu mendapat prioritas. Untuk meningkatkan tenaga kesehatan di kecamatan terpencil, perlu diperhatikan masalah insentif, fasilitas serta kemudahan karir. Peran serta pemda dalam ketenagaan kesehatan di Puskesmas lebih ditingkatkan lagi terutama pemberian insentif yang lebih baik, sehingga tenaga kesehatan di Puskesmas dapat bekerja lebih baik dan merasa betah bekerja di daerah.

6

DAFTAR ISI

PENGANTAR ......................................................................................................................................................3

ABSTRAK ............................................................................................................................................................5

DAFTAR ISI.........................................................................................................................................................6

DAFTAR TABEL ................................................................................................................................................7

DAFTAR SINGKATAN .....................................................................................................................................9

BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................................................................10 A. Latar Belakang ....................................................................................................................................10 B. Tujuan dan Output ............................................................................................................................11 C. Kerangka Konsep ................................................................................................................................11 D. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Kajian ..................................................................................13

BAB II. RUANG LINGKUP DAN METODOLOGI...................................................................................15 A. Tempat dan Waktu Kajian ................................................................................................................15 B. Desain Kajian.......................................................................................................................................15 C. Ruang Lingkup Kegiatan ...................................................................................................................15 D. Sampel dan Variabel Kajian..............................................................................................................15 E. Pengumpulan dan Analisa Data ........................................................................................................16

BAB III. KEBIJAKAN UMUM KETENAGAAN KESEHATAN DI INONESIA...................................18 A . Definisi Tenaga Kesehatan.................................................................................................................18 B. Perencanaan Kebutuhan Tenaga Kesehatan ...................................................................................18 C. Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan ................................................................................19 D. PendayagunaanTenaga Kesehatan ...................................................................................................20

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................................................................23 A. Kondisi Umum Tenaga Kesehatan Di Tingkat Nasional................................................................23 B. Kebijakan Tenaga Kesehatan ............................................................................................................30 C. Distribusi Tenaga Kesehatan Di Puskesmas Di Wilayah Tertinggal ............................................40 D. Distribusi Tenaga Kesehatan di Puskesmas di Kapasitas Fiskal Daerah ....................................45 E. Pembinaan Karir Tenaga Kesehatan................................................................................................47 F. Tanggapan Masyarakat......................................................................................................................49 G. Peran Puskesmas Bagi Penduduk Miskin. .......................................................................................50

BAB V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI .........................................................................................52 A. Kesimpulan ..........................................................................................................................................52 B. Rekomendasi ........................................................................................................................................53

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................................................55

7

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Daftar Lokasi (Sampel) Kajian Kebijakan Perencanaan .................................16 Tenaga Kesehatan

Tabel 3.1 Institusi Pendidikan Tenaga Kesehatan Berdasarkan Kelompok ...................19 Jenis Tenaga Kesehatan di Indonesia Tahun 2005

Tabel 4.1 Jenis tenaga kesehatan dan rasio terhadap penduduk ......................................23 dibandingkan dengan sasaran Indonesia Sehat 2010

Tabel 4.2 Rasio Tenaga Kesehatan Di Berbagai Negara.................................................24

Tabel 4.3 Jenis, Jumlah dan Rasio Ketenagaan Puskesmas Tahun 2004 (Nasional........28

Tabel 4.4 Jumlah Staf Puskesmas Menurut Beban Kerja................................................31

Tabel 4.5 Persentase Kabupaten Kota yang merasakan Kesenjangan ............................34 Antara usulan dengan ketersediaan Tenaga Kesehatan

Tabel 4.6 Kebutuhan dan Ketersediaan Tenaga Kesehatan di Kabupaten ......................34 Lokasi kajian

Tabel 4.7 Masalah Utama Dalam Pengadaan Nakes di Kabupaten Tertinggal ..............35 dan Tak Tertinggal

Tabel 4.8 Kriteria Penempatan tenaga kesehatan di lokasi kajian...................................36

Tabel 4.9 Jenis kemampuan dan kompetensi profesi tenaga kesehatan ..........................39

Tabel 4.10 Perbandingan rasio tenaga kesehatan per puskesmas menurut kategori .........41 kab/kota tertinggal dan tidak tertinggal

Tabel 4.11 Perbandingan rasio tenaga kesehatan puskesmas menurut kategori ...............42 kecamatan terpencil dan tidak terpencil

Tabel 4.12 Perbandingan rata-rata distribusi tenaga dan fasilitas kesehatan ....................43 di Kecamatan Terpencil dan Tidak terpencil

Tabel 4.13 Persentase tenaga kesehatan Puskesmas yang mempunyai rencana................45 pindah dan alasan kepindahannya

Tabel 4.14 Ketersediaan tenaga Puskesmas di daerah menurut kapasitas.........................46

Tabel 4.15 Insentif yang diterima tenaga kesehatan dari Pemda menurut kapasitas.........46 fiskal daerah

Tabel 4.16 Persentase tenaga kesehatan yang mengharapkan insentif .............................46 dan jenis insentif yang diharapkan

Tabel 4.17 Alasan Rencana Kepindahan Tenaga Kesehatan di Puskesmas ......................47

Tabel 4.18 Frekwensi Pelatihan Yang Pernah Diikuti Responden....................................47

Tabel 4.19 Persepsi Responden Tentang Latar Belakang Pendidikan ..............................48 Jabatan Kepala Puskesmas

Tabel 4.20 Alasan Pindah Tenaga Kesehatan Puskesmas .................................................41

Tabel 4.21 Insentif Yang Paling Banyak Diharapkan oleh Responden dari Pemda..........48

8

DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Kerangka Sistem Kesehatan Nasional ...........................................................12

Gambar 1.2 Kerangka konsep kajian.................................................................................12

Gambar 4.1 Penyebaran Dokter Spesialis per propinsi Tahun 2003-2004. ......................24

Gambar 4.2 Penyebaran Dokter Umum per propinsi Tahun 2003-2004...........................25

Gambar 4.3 Penyebaran Perawat per propinsi Tahun 2003-2004. ....................................25

Gambar 4.4 Penyebaran Bidan per propinsi Tahun 2003-2004 ........................................26

Gambar 4.5 Rasio Dokter Umum Puskesmas dan RS per 100.000 penduduk..................26

Gambar 4.6 Rasio Dokter Umum terhadap Puskesmas menurut propinsi .......................29

Gambar 4.7 Alasan tidak dilaksanakannya SK Menkes No. 81 Tahun 2004 pada ..........32 daerah kajian

Gambar 4.8 Hambatan Utama Dalam Perencanaan Kebutuhan .......................................33 Tenaga Kesehatan di Daerah Penelitian yang telah menggunakan pedoman

Gambar 4.9 Persepsi Responden tentang ketersediaan tenaga kesehatan di Puskesmas ..36

Gambar 4.10.Persentase tenaga kesehatan yang mengharapkan peningkatan insentif ......44 dan jenis insentif yang diharapkan menurut keterpencilan kecamatan

9

DAFTAR SINGKATAN AKABA = Angka Kematian Balita AKB = Angka Kematian Bayi AKI = Angka Kematian Ibu ASKES = Asuransi Kesehatan BKD = Badan Kepegawaian Daerah BPS = Badan Pusat Statistik CPNS = Calon Pegawai Negeri Sipil DRG = Dokter Gigi DSP = Daftar Susunan Pegawai GAKY = Gangguan Akibat Kurang Yodium INPRES = Instruksi Presiden IDI = Ikatan Dokter Indonesia IBI = Ikatan Bidan Indonesia ISFI = Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia JPSBK = Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan KESLING = Kesehatan Lingkungan KIA = Kesehatan Ibu dan Anak KS = Kartu Sehat MDGs = Millenium Development Goals PDGI = Persatuan Dokter Gigi Indonesia PERSAGI = Persatuan Ahli Gizi Indonesia PERMENKES = Peraturan Menteri Kesehatan PKPS-BBM = Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar

Minyak PNS = Pegawai Negeri Sipil PPNI = Persatuan Perawat Nasional Indonesia POLTEKES = Politeknik Kesehatan POLINDES = Pondok Bersalin Desa POSYANDU = Pos Pelayanan Terpadu PTT = Pegawai Tidak Tetap PUSKESMAS = Pusat Kesehatan Msyarakat PUSTU = Puskesmas Pembantu RPJM = Rencana Pembangunan Jangka Menengah RS = Rumah Sakit SDKI = Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia SKM = Sarjana Kesehatan Masyarakat SKN = Sistem Kesehatan Nasional SKRT = Survei Kesehatan Rumah Tangga SMAK = Sekolah Menengah Analis Kimia SMF = Sekolah Menengah Farmasi SPK = Sekolah Perawat Kesehatan SPRG = Sekolah Pengatur Rawat Gigi SPSS = Statistic Programme for the Social Science SUSENAS = Survai Sosial Ekonomi Nasional WHO = World Health Organization WISN = Work Load Indicator Staff Need

10

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tujuan pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan, dan

kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal yang ditandai oleh penduduknya berperilaku sehat dan dalam lingkungan sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang optimal di seluruh wilayah Republik Indonesia (Indonesia Sehat 2010).

Derajat kesehatan masyarakat Indonesia dari waktu ke waktu menunjukkan perbaikan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai indikator kesehatan masyarakat antara lain meningkatnya umur harapan hidup, menurunnya angka kematian bayi dan anak balita, menurunnya angka kematian ibu melahirkan, dan menurunnya prevalesi gizi kurang pada anak balita.

Usia harapan hidup meningkat dari 45 (1967b) menjadi 66,2 tahun (2001); angka kematian bayi (AKB) menurun dari 128 per 1.000 kelahiran hidup (1960) menjadi 35 per 1.000 kelahiran hidup (2002-2003), angka kematian balita (AKABA) menurun dari 216 per 1.000 kelahiran hidup (1960) menjadi 46 per 1.000 kelahiran hidup (2002-2003), dan angka kematian ibu (AKI) melahirkan menurun dari 450 per 100.000 kelahiran hidup (1986) menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup (2002-2003).

Prevalensi gizi kurang (underweight) pada balita, telah menurun dari 37,5 persen tahun 1989 menjadi 25,8 persen tahun 2002. Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan anak balita yang pendek (stunting) sekitar 34,3 persen dan balita yang kurus (wasting) sebesar 16,6 persen. Prevalensi anemia gizi besi pada ibu hamil masih tinggi yaitu sekitar 45 persen (2003), dan prevalensi GAKY pada anak sekolah sebesar 11,1 persen (2003).

Walaupun telah menunjukan berbagai perbaikan, jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, status kesehatan dan gizi masyarakat Indonesia masih tertinggal. Selain itu, terjadi disparitas yang cukup mencolok antar wilayah, kota-desa, dan tingkat sosial ekonomi. Indikator kesehatan dan gizi yang telah dicapai selama ini masih jauh dari sasaran yang telah ditargetkan dalam Millennium Development Goals (MDGs). MDG merupakan suatu kesepakatan global, sebagai “benchmarks” untuk mengukur perkembangan dalam pencapaian Deklarasi Millenium 2000. Beberapa target MDG yang ingin dicapai pada akhir tahun 2015, yang mempunyai pengaruh langsung pada derajat kesehatan di Indonesia antara lain adalah: (1) mengurangi prevalensi gizi kurang dan meningkatkan konsumsi kalori, (2) mengurangi dua per tiga angka kematian bayi dan angka kematian balita, (3) mengurangi tiga per empat angka kematian ibu, (4) menghentikan penyebaran penyakit HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya, (5) mengurangi separuh proporsi penduduk yang tidak memiliki akses terhadap air bersih yang aman dan sanitasi dasar, dan (6) meningkatkan akses terhadap obat esensial (Bappenas, 2002).

Berbagai faktor atau determinan yang mempengaruhi derajat kesehatan antara lain adalah lingkungan (fisik, biologik, dan sosial), perilaku dan gaya hidup, faktor genetis, dan pelayanan kesehatan. Dalam system kesehatan itu sendiri, menurut Sistem Kesehatan Nasional (Depkes, 2004), paling tidak terdapat enam subsistem yang turut menentukan

11

kinerja sistem kesehatan nasional yaitu subsistem upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumber daya manusia (SDM) kesehatan, obat dan perbekalan kesehatan, pemberdayaan masyarakat, dan manajemen kesehatan.

Dalam subsistem SDM kesehatan, tenaga kesehatan merupakan unsure utama yang mendukung subsistem kesehatan lainnya. Yang dimaksud dengan tenaga kesehatan adalah semua orang yang bekerja secara aktif dan profesional di bidang kesehatan, yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan dalam melakukan upaya kesehatan. Subsistem SDM kesehatan bertujuan pada tersedianya tenaga kesehatan yang bermutu secara mencukupi, terdistribusi secara adil, serta termanfaatkan secara berhasil-guna dan berdaya-guna, untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya (Depkes, 2004).

B. Tujuan dan Output

Tujuan utama kajian ini adalah untuk mengetahui jumlah, mutu dan penyebaran tenaga kesehatan terutama di Puskesmas dan jaringannya serta faktor-faktor yang mempengaruhinya dalam pelayanan kesehatan bagi masyarakat termasuk penduduk miskin.

Keluaran (output) kajian kebijakan perencanaan bidang kesehatan antara lain meliputi: (1) Tersedianya profil tenaga kesehatan terutama di Puskesmas berdasarkan wilayah geografis dan sosial ekonomi; dan (2) Tersusunnya rekomendasi kebijakan jumlah, mutu dan penyebaran ketenagaan kesehatan di Puskemas dan jaringannya sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan.

C. Kerangka Konsep

Untuk memberi gambaran secara ringkas tentang peran subsistem tenaga kesehatan

dalam sistem kesehatan nasional (SKN), dibawah ini digambarkan kerangka keterkaitan berbagai subsitem dalam SKN. Derajat kesehatan masyarakat ditentukan sistem kesehatan yang dilaksanakan. Sistem kesehatan dipengaruhi oleh berbagai sistem lain di luar sistem kesehatan seperti sistem pendidikan, sistem ekonomi, sistem lingkungan dan sebagainya. Sistem kesehatan terdiri dari 6 subsistem yang satu sama lain saling berkaitan yaitu subsistem upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumberdaya manusia (SDM) kesehatan, obat dan perbekalan kesehatan, pemberdayaan masyarakat, dan manajemen kesehatan.

12

Dalam kajian fokus pembahasan akan diarahkan terhadap subsistem SDM

kesehatan.Terdapat tiga unsur pokok dalam subsistem SDM kesehatan yaitu perencanaan, pendidikan dan pelatihan, serta pendayagunaan kesehatan. Karena luasnya ruang lingkup ketenagaan, bahasan akan lebih diarahkan pada ketenagaan di Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan dasar pada strata pertama. Pada Gambar 1.2 dibawah ini dijelaskan kerangka konsep kajian.

Gambar 1.2 Kerangka Konsep Kajian

Kondisi saat ini - Jumlah belum memadai - Distribusi tidak merata - Kompetensi kurang - Pengembangan profesi

belum baik

Kebijakan Kab/Kota: - Proses Perencanaan - Pelatihan - Rekrutmen &

Penempatan - Sistem Insentif

Kondisi yang diharapkan - Jumlah & Jenis tenaga

terpenuhi - Distribusi merata - Berkualitas/Kompeten - Pengembangan profesi berjalan dengan baik

Kebijakan Depkes: - Perencanaan - Diklat - Pendayagunaan

Faktor Lingkungan Strategis

- Desentralisasi - Geografis - Kemampuan Fiskal

Pelayanan Kesehatan Lebih Baik

Status Kesehatan Meningkat

Output

• Status Kesehatan • Responsiveness

Tingkat Kesehatan

Responsiveness

Distribusi Biaya

Upaya Kesehatan

Pembiayaan Kesehatan

SDM Kesehatan

Pemberdayaan Masyarakat

Sumberdaya Obat dan Perbekalan Kesehatan

Manajemen Kesehatan

Outcome

Subsistem Subsistem

Adaptasi dari SKN 2004

Gambar 1.1 Kerangka Sistem Kesehatan Nasional

13

Ketenagaan kesehatan nasional saat ini menghadapi berbagai masalah kecukupan, distibusi, mutu dan pengembangan profesi. Jumlah tenaga kesehatan belum mencapai jumlah yang diinginkan, distribusinya kurang merata, kompetensi tenaga yang kurang memadai dan pengembangan profesi yang masih belum sesuai harapan. Keadaan ini perlu diperbaiki antara lain melalui perumusan kebijakan ketenagaan kesehatan yang meliputi perencanaan kebutuhan tenaga, pendidikan dan pelatihan serta pendayagunaan tenaga. Dalam implementasinya kebijakan tersebut dipengaruhi baik secara positif maupun negatif oleh lingkungan strategis antara lain pelaksanaan desentralisasi, kemampuan fiskal daerah dan keaadaan geografis suatu wialayh cakupan. Jika kebijakan dan implementasi berjalan dengan baik maka diharapkan berbagai permasalah kesehatan, teutama berkaitan dengan jumlah dan jenisnya yan mencukupi, distribusi semakin baik, dan kualitasnya meningkat serta pengembangan profesi yang tertata. Dampak dari kebijakan yang diharapkan adalah pelayanan kesehatan yang lebih baik, yang pada akhirnya akan memperbaiki status kesehatan masyarakat.

D. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Kajian

Jumlah tenaga kesehatan di Indonesia masih belum mencukupi. Berdasarkan Health

System Performance Assessment 2004, rata-rata jumlah dokter per 100.000 penduduk di Indonesia adalah 15,5 dan sekitar 60-70% dokter tersebut bertugas di Pulau Jawa. Sekitar dua per tiga dari jumlah provinsi mempunyai rasio dokter dibawah rata-rata nasional, terendah di Maluku (7,0), sedangkan tertinggi di DKI (70,8). Rata-rata bidan per 100.000 penduduk di Indonesia sebesar 32,3, terendah di Provinsi Maluku (17,5). Sedangkan rasio perawat dengan penduduk adalah 108 per 100.000 penduduk. Sebagian besar tenaga dokter (69%) bekerja disektor pemerintah. (Depkes, 2005)

Kebijakan penempatan tenaga kesehatan dengan sistem pegawai tidak tetap (PTT) yang dilaksanakan pada tahun 90-an belum mampu menempatkan tenaga kesehatan (dokter umum, dokter gizi, dan bidan) secara merata terutama di daerah terpencil. Pada tahun 2003 sekitar 10,6 % Puskesmas tidak memiliki tenaga dokter. Begitu pula halnya dengan tenaga perawat dan bidan.

Kompetensi tenaga kesehatan belum sesuai dengan kompetensi yang diharapakan apalagi jika dibandingkan dengan standar internasional. Susenas 2001, misalnya, menemukan sekitar 23,2% masyarakat yang bertempat tinggal di Pulau Jawa dan Bali menyatakan tidak/kurang puas terhadap pelayanan rawat jalan yang diselenggarakan oleh rumah sakit pemerintah. Sistem penghargaan dan sanksi, peningkatan karier, pendidikan dan pelatihan, sistem sertifikasi, registrasi dan lisensi belum berjalan dengan baik. Pengembangan organisasi profesi di bidang kesehatan sebagai mitra pemerintah dalam meningkatkan profesionalisme tenaga kesehatan belum berjalan dengan baik.

Dalam sistem pelayanan kesehatan di Indonesia, puskesmas merupakan ujung tombak penyelenggara pelayanan kesehatan strata pertama. Puskesmas bertanggung jawab atas masalah kesehatan di wilayah kerjanya. Terdapat tiga fungsi utama puskesmas yaitu sebagai: (1) pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, (2) pusat pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan, dan (3) pusat pelayanan tingkat dasar.

Susenas 2004, menunjukkan fasilitas kesehatan yang relatif banyak dimanfaatkan penduduk untuk berobat jalan adalah Puskesmas/Pustu (37,26 %), praktek dokter (24,39%) dan praktek petugas kesehatan(18,51%). Penduduk perdesaan lebih banyak memanfaatkan

14

Puskesmas/Pustu (42,40%), dan praktek petugas kesehatan (23,42%) (BPS, 2004). Pada umumnya, sebagian besar pengguna Puskesmas adalah penduduk miskin, sedangkan pengguna Rumah Sakit adalah penduduk mampu. Puskesmas yang berada di daerah tertinggal sering mengalami kekurangan berbagai jenis tenaga. Sebagai implikasinya, selain kemampuan masyarakat yang kurang karena kemiskinan, pelayanan yang diperoleh juga krang optimal karena banyaknya Puskesmas yang kekurangan tenaga kesehatan.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2004-2009 (RI, 2004) kebijakan pembangunan kesehatan diarahkan untuk mendukung peningkatan kesejahteraan rakyat melalui peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas. Paling tidak terdapat tiga kebijakan RPJM yang fokusnya berkaitan dengan peningkatan pelayanan di Puskesmas dan ketenagaan kesehatan upaya yaitu: 1) peningkatan jumlah jaringan dan kualitas Puskesmas; 2) peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga medis; dan 3) pengembangan jaminan kesehatan bagi penduduk miskin.

Dengan melihat berbagai permasalahan ketenagaan kesehatan tersebut, maka perlu dikaji, bagamiana kebijakan perencanaan tenaga kesehatan dalam upaya untuk menjawab pemasalahan di atas. Khusunya, kajian diharapkan dapat menjawab beberapa pertanyaan berikut:

1. Bagaimana kebijakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam hal ketenagaan kesehatan di Puskesmas?

2. Bagaimana ketersediaan tenaga kesehatan di Puskesmas dan jaringannya? 3. Bagaimana mutu tenaga kesehatan yang tersedia? 4. Bagaimana distribusi tenaga kesehatan di Puskesmas di wilayah tertinggal dan

terpencil? 5. Bagaimana pembinaan karir tenaga kesehatan yang bekerja di Puskesmas? 6. Bagaimana tanggapan masyarakat terhadap pelayanan oleh tenaga kesehatan di

Puskesmas? 7. Bagaimana peran Puskesmas dalam pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin? 8. Faktor-faktor apa yang menjadi penghambat dan pendukung dalam pelaksanaan tugas

tenaga kesehatan di Puskesmas?

15

BAB II. RUANG LINGKUP DAN METODOLOGI

A. Tempat dan Waktu Kajian

Kajian dilaksanakan di 7 provinsi, mencakup 32 kabupaten/kota, dan 88 puskesmas. Kajian dilaksanakan selama 8 bulan pada tahun 2005, dengan persiapan salama 2 bulan, pelaksanaan pengumpulan dan analisis data 5 bulan, dan penyusunan laporan 1 bulan.

B. Desain Kajian Disain kajian adalah cross sectional, yaitu dengan memotret keadaan ketenagaan

kesehatan dari segi perencanaan kebutuhan, pendidikan dan pelatihan dan pendayagunaan tenaga kesehatan dengan sampel kajian di beberapa provinsi, kabupaten, puskesmas, dan tenaga kesehatan. C. Ruang Lingkup Kegiatan

Kajian ini difokuskan untuk ketenagaan kesehatan di Puskesmas dan jaringannya.

Kajian dilakukan di 7 propinsi terpilih yang ditentukan berdasarkan katagorisasi rasio tenaga kesehatan dan penduduk di Puskesmas serta mewakili karakteristik wilayah Indonesia bagian Barat, dan Wilayah Timur. Pada setiap propinsi di ambil beberapa Kabupaten/Kota berdasarkan tingkat kemajuannya. Selanjutnya di setiap Kabupaten/Kota terpilih secara proporsional dipilih sejumlah Puskesmas yang menggambarkan daerah perkotaan dan daerah perdesaan

Untuk melakukan kajian ini dilaksanakan beberapa kegiatan sebagai berikut:

1. Diskusi dan seminar tentang kebijakan ketenagaan kesehatan; 2. Focus Group Discussion (FGD); 3. Pengumpulan data ketenagaan kesehatan di Puskesmas meliputi jumlah, distribusi

dan kualitas; 4. Pengumpulan data tentang faktor-faktor yang mempengaruhi ketenagaan kesehatan

di Puskesmas; 5. Pengumpulan data tentang peran Puskesmas dalam pelayanan kesehatan bagi

penduduk miskin; 6. Pengumpulan data tentang persepsi masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang

diberikan oleh tenaga kesehatan di Puskesmas; 7. Mempelajari pembinaan karir bagi tenaga kesehatan di Puskesmas yang

dilaksanakan saat ini; 8. Melakukan analisis data dan menyusun laporan penelitian; dan 9. Diseminasi hasil penelitian melalui seminar dan workshop.

D. Sampel dan Variabel Kajian

Pemilihan sampel provinsi kajian dipilih secara purposif dengan memperhatikan

karakterisik wilayah yaitu yang sering dibagi ke dalam wilayah barat dan wilayah timur. Kawasan barat diwakili oleh Provinsi Jawa Barat, Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta, sedangkan kawasan timur diwakili oleh Provinsi Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Papua.

16

Pemilihan Kabupaten/Kota juga dilaksanakan secara purposif dengan memperhatikan kapasitas fiskal dan dan ketertinggalan wilayah. Didasarkan atas kemampuan fiskal, yaitu kapasitas fiskal tinggi 2 Kab/kota, kapasitas fiskal sedang 9 kab/kota dan kapasitas fiskal rendah 21 kab/kota. Menurut katagori daerah, yaitu 8 kabupaten tertinggal dan 24 kab/kota tidak tertinggal.

Sedangkan yang menjadi responden terdiri dari staf Dinas Kesehatan Popinsi dan Kabupaten/Kota sebanyak 42 orang, Kepala Puskesmas sebanyak 84 orang, dan tenaga kesehatan di puskesmas sebanyak 193 orang. Keseluruhan jumlah responden kajian ini adalah sebanyak 319 responden.

Tabel 2.1 Daftar Lokasi (Sampel) Kajian Kebijakan Perencanaan Tenaga Kesehatan

Kriteria Wilayah Kapasitas Fiskal Jumlah Responden

No. Propinsi Jml. Kab/Kota tertinggal Tak

tertinggal tinggi sedang rendah Dinkes Kapala Puskesmas

Tenaga Kesehatan

a. Kawasan Barat

1. Sumatera Barat 3 1 2 0 1 2 1 11 40

2. Jawa Barat 12 2 10 0 4 8 10 13 43 3. Jawa Tengah 5 1 4 1 0 4 8 17 67 4. DIY 3 2 1 0 0 3 2 10 22

b. Kawasan Timur

1. Sulawesi Selatan 3 0 3 0 1 2 8 15 10

2. NTB 3 2 1 0 1 2 10 13 6 3. Papua 3 0 3 1 2 0 3 5 5

JUMLAH 32 8 24 2 9 21 42 84 193

Dalam kajian ini dikumpulkan dan dianalisis berbagai variabel penting dari ketiga

unsur pokok subsistem SDM kesehatan yaitu perencanaan kebutuhan, pendidikan dan pelatihan, dan pendayagunaan tenaga kesehatan, antara lain: unit kerja penyusun rencana, jenis tenaga, periode penyusunan rencana, dasar penyusunan rencana, metoda penyusunan rencana, hambatan yang ditemui, koordinasi penyusunan rencana, sistem informasi untuk penyususan rencana.

Selain itu dikumpulkan pula kebutuhan dan ketersediaan tenaga, proses pengajuan kebutuhan, rekrutmen tenaga di daerah, masalah yang dihadapi dalam pengadaan tenaga, kriteria penentuan lokasi penempatan tenaga, kewenangan penempatan tenaga, pelatihan tenaga, jenis pelatihan yang dilaksanakan, sumber pembiayaan untuk pelatihan tenaga, dan sistem insentif yang digunakan serta minat untuk bertugas di daerah.

E. Pengumpulan dan Analisa Data

Data yang dikumpulkan meliputi data sekunder dan data primer. Data sekunder

berupa data dan informasi dari berbagai lietartur yang berasal dari Buku Profil Kesehatan (Indonesia, Provinsi, Kabupaten), BPS (Kabupaten Dalam Angka, Susenas), serta buku-buku lain yang relevan. Selain itu dilakukan nara sumber yang kompeten dalam kebijakan SDM Kesehatan antara lain Kepala Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan, Kepala Biro

17

Kepegawaian, Kepala Pusat Pengembangan Kebijakan Kesehatan, dan Kepala Pusat Perencanaan Tenaga Kesehatan.

Data primer dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dan diskusi dengan responden Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Kepala Puskesmas, dan tenaga kesehatan yang bertugas di puskesmas. Data primer yang dikumpulkan meliputi data dan infomasi yang berkaitan dengan perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan, pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan dan pendayagunaan tenaga kesehatan.

Pengelolaan data dilakukan di Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Bappenas. Data yang masuk dari lapangan diverifikasi kelengkapan dan konsistensinya. Selanjutnya data di entri kedalam komputer dengan menggunakan program SPSS. Analisis univariate dilakukan terhadap setiap variabel yang dikumpulkan untuk mengetahui kecenderungan sebarannya dan untuk memperoleh statistik deskriptif. Analisis hubungan antar variabel digunakan analisis deskriptif yaitu dengan membandingkan kebijakan yang ada dengan kenyataan yang terjadi pada saat kebijakan tersebut diimplementasikan. Hasil analisis data selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel dan gambar.

18

BAB III. KEBIJAKAN UMUM KETENAGAAN KESEHATAN DI INONESIA

A . Definisi Tenaga Kesehatan

Tenaga kesehatan adalah semua orang yang bekerja secara aktif dan profesional di bidang kesehatan, baik yang memiliki pendidikan formal kesehatan maupun tidak, yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan dalam melakukan upaya kesehatan. Dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN), tenaga kesehatan merupakan pokok dari subsistem SDM kesehatan, yaitu tatanan yang menghimpun berbagai upaya perencanaan, pendidikan dan pelatihan, serta pendayagunaan kesehatan secara terpadu dan saling mendukung, guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Unsur utama dari subsistem ini adalah perencanaan, pendidikan dan pelatihan, dan pendayagunaan tenaga kesehatan.

B. Perencanaan Kebutuhan Tenaga Kesehatan

Yang dimaksud dengan perencanaan tenaga kesehatan adalah upaya penetapan jenis, jumlah, dan kualifikasi tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan pembangunan kesehatan.(Depkes, 2004).

Perencanaan tenaga kesehatan diatur melalui PP No.32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan. Dalam Peraturan Pemerintah ini dinyatakan antar lain bahwa pengadaan dan penempatan tenaga kesehatan dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan yang merata bagi masyarakat. Perencanaan nasional tenaga kesehatan disusun dengan memperhatikan jenis pelayanan yang dibutuhkan, sarana kesehatan, serta jenis dan jumlah yang sesuai. Perencanaan nasional tenaga kesehatan ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.

Sebagai turunan dari PP tersebut, telah diterbitkan beberapa Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes). Kepmenkes No.850/Menkes/SK/XII/2000 Tahun 2000 (Depkes, 2004) antara lain mengatur tentang kebijakan perencanaan tenaga kesehatan untuk meningkatkan kemampuan para perencanan pemerintah, masyarakat dan semua profesi disemua tingkatan. Kepmenkes No. 81/Menkes/SK/I/2004 Tahun 2004 (Depkes, 2004) antara lain mengatur tentang pedoman penyusunan perencanaan sumberdaya kesehatan di tingkat provinsi, kabupaten/kota, serta rumah sakit. Pada Kepmenkes tersebut disediakan pula menu tentang metode perencanaan tenaga kesehatan untuk dipilih sesuai dengan kemauan dan kemampuan.

Dalam hal perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan terdapat empat metoda penyusunan yang dapat digunakan yaitu;

1. Health Need Method, yaitu perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan yang didasarkan atas epidemiologi penyakit utama yang ada pada masyarakat.

2. Health Service Demand, yaitu perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan yang didasarkan atas permintaan akibat beban pelayanan kesehatan.

3. Health Service Target Method yaitu perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan yang didasarkan atas sarana pelayanan kesehatan yang ditetapkan, misalnya Puskesmas, dan Rumah Sakit.

4. Ratios Method, yaitu perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan yang didasarkan pada standar/rasio terhadap nilai tertentu.

19

Dalam prakteknya di Departemen Kesehatan lebih banyak menggunakan Ratios Method dengan proses perhitungan sebagai berikut:

1. Menentukan/memperkirakan rasio terhadap suatu nilai, misalnya rasio tenaga kesehatan dengan penduduk, dengan jumlah tempat tidur RS, dengan Puskesmas,

2. Membuat proyeksi nilai tersebut kedalam sasaran/ target tertentu, 3. Menghitung perkiraan, yaitu dengan cara membagi nilai proyeksi dengan rasio.

Contoh, ratio tenaga kesehatan: tempat tidur di RS, di Indonesia, misalnya 1:5000, di India 1: 2000, di Amerika 1:500 (Suseno, 2005)

Dari analisis perencanaan kebutuhan tenaga, secara umum dapat dikatakan tenaga kesehatan di Indonesia baik dari segi jumlah, jenis, kualifikasi, dan mutu dan penyebarannya masih belum memadai. Beberapa jenis tenaga kesehatan yang baru masih diperlukan pengaturannya. Beberapa jenis tenaga kesehatan masih tergolong langka, dalam arti kebutuhannya besar tetapi jumlah tenaganya kurang karena jumlah institusi pendidikannya terbatas dan kurang diminati. C. Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan

Pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan adalah upaya pengadaan tenaga kesehatan sesuai jenis, jumlah dan kualifikasi yang telah direncanakan serta peningkatan kemampuan sesuai dengan kebutuhan pembangunan kesehatan (Depkes, 2004). Berdasarkan PP No.32 Tahun 1996 dan Kepmenkes No.1192 Tahun 2004 (Depkes, 2004) terdapat enam kelompok pendidikan tenaga kesehatan yaitu:

1. Keperawatan yang meliputi Sekolah Perawat Kesehatan, Sekolah Pengatur Rawat Gigi, Keperawatan, Kebidanan, dan Kesehatan Gigi

2. Kefarmasiaan, meliputi Sekolah Menengah Farmasi, Analis Farmasi 3. Kesehatan Masyarakat (Kesehatan Lingkungan) 4. Gizi 5. Keterapian Fisik meliputi Fisioterapi, Okupasi Terapi, Terapi Wicara, Akupuntur 6. Keteknisan Medis meliputi SMAK, Analis Kesehatan, Teknik Gigi, Ortotik

Prostetik, Teknik Elektro Medik, Teknik Radiologi, Pendidikan Teknologi Transfusi Darah, Perekam dan Informatika Kesehatan, dan Kardiovaksuler.

Jumlah Institusi pendidikan tenaga kesehatan seluruhnya 846 terdiri atas 199 Politeknik Kesehatan (Poltekes) dan 647 non Poltekes. Distribusi institusi pendidikan tenaga kesehatan berdasarkan kelompok jenis tenaga kesehatan dapat dilihat pada Tabel 3.1 dibawah ini.

Tabel 3.1 Institusi Pendidikan Tenaga Kesehatan Berdasarkan Kelompok Jenis Tenaga Kesehatan di Indonesia Tahun 2005

Poltekes Non Poltekes Kelompok Jumlah % Jumlah % Keperawatan Kefarmasian Kesehatan Masyarakat Gizi Keterapian Fisik Keteknisan Medis

128 7 20 23 3 18

64,3 3,5 10,1 11,6 1,5 9,0

457 73 19 11 17 70

70,6 11,3 2,9 1,7 2,6 10,8

Jumlah 199 100 647 100 Sumber: Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan, Depkes, 2005

20

Menurut kepemilikannya, 32 institusi milik pemerintah pusat, 102 milik pemerintah daerah, 34 milik TNI, dan bagian terbesar (511) adalah milik swasta. Pada tahun 2005 jumlah peserta didik seluruhnya sebanyak 146.220 orang terdiri dari 36.387 peserta didik poltekes, dan 109.833 non Poltekes.

Tujuan yang ingin dicapai oleh institusi pendidikan tenaga kesehatan adalah menghasilkan tenaga kesehatan yang profesional dengan karakteristik sebagai berikut:

1. Memiliki bekal kemampuan dalam berhubungan dengan orang lain 2. Bekerja dengan benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik 3. Sanggup menggunakan wewenang secara arif dan bijaksana, dan 4. Mampu berperan aktif sebagai perencana, pelaksana dan penggerak pembangunan.

Untuk mencapai tujuan tersebut maka dirumuskan empat strategi dasar yaitu:

1. Meningkatkan mutu lulusan pendidikan tenaga kesehatan 2. Meningkatkan mutu institusi pendidikan tenaga kesehatan 3. Meningkatkan kemitraan dan kemandirian institusi pendidikan tenaga kesehatan.

Dalam hal peningkatan mutu lulusan tenaga kesehatan acuannya adalah PP No. 32 Tahun 1996 yang menetapkan bahwa tenaga kesehatan wajib memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang kesehatan yang dinyatakan dengan ijazah dari lembaga pendidikan. Setiap tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya juga berkewajiban untuk mematuhi standar profesi tenaga kesehatan.

Peningkatan mutu institusi pendidikan tenaga kesehatan diatur pada PP yang sama. Dalam PP ini dinyatakan bahwa tenaga kesehatan dihasilkan melalui pendidikan di bidang kesehatan. Lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan di bidang kesehatan bisa pemerintah atau masyarakat. Penyelenggaraan pendidikan di bidang kesehatan harus dilaksanakan berdasarkan izin sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Izin penyelenggaraan pendidikan profesional dikeluarkan bersama oleh Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan Nasional. Selanjutnya, izin penyelenggaraan pendidikan akademik dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional.

Beberapa isu yang perlu mendapat perhatian dalam pendidikan tenaga kesehatan antara lain:

1. Perencanan kebutuhan tenaga kesehatan dengan produksi lulusan yang dihasilkan belum serasi

2. Kemampuan produksi belum sejalan dengan daya serap tenaga lulusan 3. Produksi lulusan belum sesuai dengan mutu yang diinginkan oleh pengguna 4. Kebijakan dan pengelolaan antara Poltekes dan Non Poltekses belum sinkron 5. Penyelenggaraan pendidikan tenaga kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah

belum sepadan dengan penyelenggaraan oleh swasta 6. Perundangan antara yang dikeluarkan oleh Depkes dan Depdiknas belum selaras.

Penetapan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, telah berdampak terhadap penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan oleh berbagai instansi diluar Depdiknas termasuk Departemen Kesehatan. (Soeparan, 2005)

D. PendayagunaanTenaga Kesehatan

Pendayagunaan tenaga kesehatan adalah upaya pemerataan, pembinaan, dan pengawasan tenaga kesehatan. Beberapa permasalahan klasik dalam pendayagunaan tenaga kesehatan antara lain:

21

1. Kurang serasinya antara kemampuan produksi dengan pendayagunaan 2. Penyebaran tenaga kesehatan yang kurang merata 3. Kompetensi tenaga kesehatan kurang sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan 4. Pengembangan karir kurang berjalan dengan baik 5. Standar profesi tenaga kesehatan belum terumuskan dengan lengkap 6. Sistem penghargaan dan sanksi tidak berjalan dengan semestinya.

Dalam hal pendayagunaan dan penempatan tenaga dokter tercatat paling tidak tiga periode perkenmbangan kebijakan. Pada periode tahun 1974-1992, tenaga medis harus melaksanakan kewajiban sebagai tenaga Inpres, diangkat sebagai PNS dengan golongan kepangkatan III A atau dapat ditugaskan sebagai tenaga medis di ABRI. Masa bakti untuk PNS Inpres selama 5 tahun di Jawa, dan 3 tahun di luar Jawa. Pada periode ini berhasil diangkat sekitar 8.300 tenaga dokter dan dokter gigi dengan menggunakan formasi Inpres dan hampir semua Puskesmas terisi oleh tenaga dokter.

Periode 1992-2002 ditetapkan kebijakan zero growth personel. Dengan demikian hampir tidak ada pengangkatan tenaga dokter baru. Sebagai gantinya pengangkatan tenaga medis dilakukan melalui program pegawai tidak tetap (PTT) yang didasarkan atas Permenkes No. 1170.A/Menkes/Per/SK/VIII/1999. Masa bakti dokter PTT selama 2 sampai 3 tahun. Dalam periode ini telah diangkat sebanyak 30.653 dokter dan 7.866 dokter gigi yang tersebar di seluruh tanah air. Pada tahun 2002 terjadi beberapa permasalahan dalam penempatan dokter PTT yaitu:

1. Daftar tunggu PTT untuk provinsi favorit terlalu lama 2. Usia menjadi penghambat untuk melanjutkan pendidikan ke dokter spesialis 3. Terjadi kelambatan pembayaran gaji 4. Besarnya gaji tidak signifikan jika dibandingkan dengan dokter PNS 5. Adanya persyaratan jabatan sebagai Kepala Puskesmas 6. Ada anggapan melanggar hak azasi masusia (HAM) karena dianggap sebagai kerja

paksa.

Pada perode mulai tahun 2005 pengangkatan dokter dan dokter gigi PTT mempunyai ciri sebagai berikut:

1. Bukan merupakan suatu kewajiban, tetapi bersifat sukarela 2. Tidak lagi memberlakukan kebijakan antrian/daftar tunggu 3. Semua provinsi terbuka untuk pelaksanaan PTT sesuai kebutuhan 4. Rekrutmen, seleksi administratif berdasarkan IPK (Indeks Prestasi Kumulatif),

domisili, tahun kelulusan dan lamanya menunggu dalam antrian 5. Diprioritaskan bagi dokter dan dokter gigi yang belum melaksanakan masa bakti 6. Dokter pasca PTT dapat diangkat kembali untuk provinsi yang kebutuhannya belum

terpenuhi 7. Pengurangan lama masa bakti bagi daerah yang kurang diminati seperti daerah

terpencil dan daerah pemekaran.

Kebijakan ini berpotensi menimbulkan permasalahan kompensasi gaji yang tidak cukup menarik dan peminatan cenderung ke provinsi yang besar dan kaya (misalnya Jabar, Jateng, Kepulauan Riau, DI Yogyakarta, dan Kaltim). Provinsi-provinsi di kawasan timur Indonesia pada umumnya kurang peminat karena adanya alternatif pilihan di provinsi lain.

Dalah hal penempatan dokter spesialis, sampai dengan Desember 2004 jumlah dokter spesialis (PNS) di seluruh wilayah Indonesia sebanyak 11.057 orang. Jumlah RS vertikal dan Daerah sebanyak 420 RS. Jumlah dokter spesialis yang bertugas di RS milik

22

Pemerintah sebanyak 7.461 orang, terdapat kekurangan sebanyak 3.868 orang. Rata-rata produksi dan penempatan tenaga dokter spesialis per tahun sebanyak 509 orang.

Sejak diterapkannya otonomi daerah, penempatan dokter spesialis harus terlebih dulu ditawarkan melalui pejabat pembina kepegawaian (PP No.9 Tahun 2003). Pada akhir tahun 1999 diberlakukan kebijakan penundaan masa bakti bagi dokter spesialis yang langsung diterima pendidikan spesialis. Dengan adanya pengurangan masa bakti bagi dokter spesialis bagi daerah tertentu, misalnya di provinsi NAD cukup menarik minat untuk bertugas di daerah.

Tenaga kesehatan lainnya yang cukup penting adalah bidan, sebagai tenaga yang diharapkan berperan dalam penurunan angka kematian bayi dan kematian ibu melahirkan. Seperti halnya dengan dokter, pengangkatan tenaga bidan menggunakan sistem PTT dengan karakteristik kebijakan sebagai berikut:

1. Penugasan selama 3 tahun di daerah biasa dan 2 tahun di daerah terpencil 2. Penugasan dapat diperpanjang dua kali di desa yang sama dan dimungkinkan untuk

diangkat kembali sebagai bidan PTT sesuai kebutuhan.

Sampai dengan bulan April 2005 keberadaan Bidan PTT di seluruh tanah air sebanyak 32.470 orang, berarti kurang dari 50 % dari jumlah desa. Beberapa permasalahan yang berkaitan dengan Bidan PTT antara lain pada umumnya mereka berharap dapat diangkat sebagai PNS (peningkatan status), kompensasi gaji relatif tidak memadai, dan besaran gaji antara daerah terpencil dengan sangat terpencil relatif kecil sehingga tidak menarik. (Ruswendi, 2005)

Pembinaan dan pengawasan praktik profesi tenaga kesehatan belum terlaksana dengan baik. Pada masa mendatang, pembinaan dan pengawasan tersebut dilakukan melalui sertifikasi, registrasi, uji kompetensi, dan pemberian lisensi. Sertifikasi dilakukan oleh institusi pendidikan, registrasi dilakukan oleh komite registrasi tenaga kesehatn, uji kompetensi dilakukan oleh setiap organisasi profesi, sedangkan pemberian lisensi dilakukan oleh pemerintah. Pengaturan ini memerlukan dukungan peraturan perundangan yang kuat. Sampai saat ini baru profesi kedokteran yang sudah memiliki UU Praktik Kedokteran.

23

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Tenaga Kesehatan Di Tingkat Nasional

Secara umum sampai dengan tahun 2004, tenaga kesehatan (SDM Kesehatan) dapat

diidentifikasikan belum mencukupi, baik ditinjau dari segi jumlah, jenis, kualifikasi, mutu maupun penyebarannya.

1. Jumlah dan Kualitas

Sampai dengan tahun 2004 terdapat sekitar 274.383 tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit dan Puskesmas di seluruh Indonesia, untuk memberikan pelayanan kepada sekitar 218 juta penduduk. Jumlah ini masih belum mencukupi untuk dapat memberikan pelayanan yang lebih optimal. Rasio tenaga kesehatan terhadap penduduk yang relatif masih kecil. Untuk itu dalam Indonesia Sehat 2010, jumlah tenaga kesehatan akan ditingkatkan menjadi 1.108.913 pada tahun 2010, dengan harapan lebih banyak tenaga kesehatan per penduduk. Tabel 4.1 menunjukkan rasio jenis tenaga kesehatan di Puskesmas dan Rumah Sakit pada tahun 2004 dengan kondisi yang ingin dicapai pada tahun 2010 untuk beberapa jenis tenaga kesehatan

Tabel 4.1 Jenis tenaga kesehatan dan rasio terhadap penduduk di bandingkan dengan

sasaran Indonesia Sehat 2010 Tabel 4.1 Jenis tenaga kesehatan dan rasio terhadap penduduk di

bandingkan dengan sasaran Indonesia Sehat 2010

Jenis Tenaga Rasio per 100.000 penduduk

tahun 2004

Sasaran rasio per 100.000 penduduk

tahun 2010

Jumlah tenaga yang dibutuhkan tahun 2010

Dokter Spesialis 5,1 6 14.156 Dokter Umum 7,2 40 94.376 Dokter Gigi 2,5 11 25.953 Perawat 59.6 117 276.049 Bidan 27,3 100 235.939 Apoteker 0,56 10 23.594 Asisten Apoteker 3,72 30 70.785 SKM 0,69 49 115.611 Sanitarian 3.54 40 94.376 Ahli Gizi 3,97 22 51.907

Sumber: Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan, Depkes, 2005

Dibandingkan dengan negara-negara lain, rasio tenaga kesehatan terutama tenaga dokter, dokter gigi, perawat dan bidan terhadap jumlah penduduk di Indonesia masih rendah terlihat dari tabel berikut.

24

Tabel 4.2 Rasio Tenaga Kesehatan Di Berbagai Negara

Rata-rata per 100.000 populasi/tahun Dokter Dokter gigi Perawat Bidan Negara

Jml Thn Jml Thn Jml Thn Jml Thn

Australia Austria Kanada Finlandia Indonesia Jepang Malaysia Belanda Filipina Inggris & Irlandia Utara Amerika

240,0 302,0 229,1 229,0 16,0

193,2 65,8

251,0 123,0 164,0 164,0

1998 1998 1995 1998 1994 1996 1997 1990 1996 1993 1995

40,0 47,2 58,6 93,7 2,07 68,6

8,6 47,1 52,0 39,8 59,8

1998 1998 1997 1998 2001 1996 1997 1996 1996 1992 1996

830,0 532,0 897,1

2.162,0 50,0

744,9 113,3 902,0 418,0 497,0 972,0

1998 1998 1996 1998 1994 1996 1997 1991 1996 1989 1996

40,0 18,6

- 78,0 26,0 18,9 27,1

9,1 163,0 43,3

-

1998 1997

- 1998 1994 1996 1997 1997 1996 1989

- Sumber: Pusat Pendayagunaan Tenaga Kesehatan

Kualitas tenaga kesehatan juga masih perlu ditingkatkan. Saat ini, misalnya, dapat dilihat dari masih banyaknya puskesmas yang tidak mempunyai dokter umum. Akibatnya banyak puskesmas, terutama di daerah terpencil yang hanya dilayani oleh perawat atau tenaga kesehatan lainnya. Berbagai kajian (Bappenas, 2004; BPS dan OCR Macro, 2003) juga menunjukkan bahwa sebagian masyarakat mempunyai persepsi bahwa tenaga kesehatan belum sepenuhnya memberikan kepuasan bagi pasien, misalnya dokter yang dianggap kurang ramah, terbatasnya informasi kesehatan yang diberikan kepada pasien, atau lamanya waktu tunggu. Bahkan akhir-akhir ini sering muncul keluhan dan pengaduan masyarakat atas dugaan terjadinya malpraktek dokter.

2. Distribusi

Keterbatasan jumalh tenaga kesehatan semakini diperburuk oleh distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata. Misalnya, lebih dari dua per tiga dokter spesialis berada di Jawa dan Bali, provinsi lain yang memiliki banyak dokter spesialis dibanding daerah lainnya adalah di provinsi Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Secara lengkap penyebaran tenaga dokter spesialis di Indonesia pada tahun 2003-2004 dapat di lihat pada gambar berikut :

Gambar 4.1 Penyebaran Dokter Spesialis per propinsi Tahun 2003-2004.

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

3500

4000

NAD

Sum

ut

Sum

bar

Riau

Jam

bi

Sum

sel

Beng

kulu

Lam

pung

Babe

l

DKI

Jkt

Jaba

r

Jate

ng

DI

Yogy

a

Jatim

Bant

en Bali

NTB

NTT

Kalb

ar

Kalte

ng

Kals

el

Kalti

m

Sulu

t

Sulte

ng

Suls

el

Sultr

a

Gor

onta

lo

Mal

uku

Mal

ut

Papu

a

Irja

Bar

at

25

Gambar 4.2 Penyebaran Dokter Umum per propinsi Tahun 2003-2004

0

500

1000

1500

2000

2500

NA

D

Sum

ut

Sum

bar

Ria

u

Jam

bi

Sum

sel

Ben

gkul

u

Lam

pung

Bab

el

DK

I Jkt

Jaba

r

Jate

ng

DI Y

ogya

Jatim

Ban

ten

Bal

i

NTB NTT

Kal

bar

Kal

teng

Kal

sel

Kal

tim

Sul

ut

Sul

teng

Sul

sel

Sul

tra

Gor

onta

lo

Mal

uku

Mal

ut

Pap

ua

Irja

Bar

at

Pola penyebaran yang sama terjadi pada dokter umum. Pusat-pusat distribusi tenaga kesehatan tersebut adalah di Pulau Jawa dan Bali serta di Provinsi Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Provinsi di Pulau Jawa yang relatif sedikit jumlahnya adalah Banten (provinsi baru) dan DI Yogyakarta.

Gambar 4.3 Penyebaran Perawat per propinsi Tahun 2003-2004

0

2000

4000

6000

8000

10000

12000

14000

16000

18000

NA

D

Sum

ut

Sum

bar

Ria

u

Jam

bi

Sum

sel

Ben

gkul

u

Lam

pung

Bab

el

DK

I Jkt

Jaba

r

Jate

ng

DI Y

ogya

Jatim

Ban

ten

Bal

i

NTB NTT

Kal

bar

Kal

teng

Kal

sel

Kal

tim

Sul

ut

Sul

teng

Sul

sel

Sul

tra

Gor

onta

lo

Mal

uku

Mal

ut

Pap

ua

Irja

Bar

at

Begitu pula halnya dengan pola penyebaran tenaga perawat. Sebagian besar tenaga perawat tersebut bertugas terutama di empat provinsi yaitu di Pulau Jawa yaitu di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Sedangkan di luar Jawa terutama berpusat di Provinsi Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan.

26

Gambar 4.4 Penyebaran Bidan per propinsi Tahun 2003-2004

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

7000

8000

9000

NA

D

Sum

ut

Sum

bar

Ria

u

Jam

bi

Sum

sel

Ben

gkul

u

Lam

pung

Bab

el

DK

I Jkt

Jaba

r

Jate

ng

DI Y

ogya

Jatim

Ban

ten

Bal

i

NTB NTT

Kal

bar

Kal

teng

Kal

sel

Kal

tim

Sul

ut

Sul

teng

Sul

sel

Sul

tra

Gor

onta

lo

Mal

uku

Mal

ut

Pap

ua

Irja

Bar

at

Pada Gambar 4.4 tampak pola penyebaran tenaga bidan sedikit berbeda dengan tenaga perawat. Beberapa provinsi yang memiliki tenaga bidan lebih banyak antara lain Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Utara, NAD, Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan.

Apabila

menggunakan standar rasio antara tenaga kesehatan dengan jumlah penduduk, maka distribusi tenaga lebih menyebar. Sebagai contoh rasio tenaga dokter umum per 100.000 penduduk (Gambar 4.5) yang tertinggi adalah di Propinsi Kalimantan Timur dengan 18,23 dokter umum per 100.000 penduduk dan terendah ada di Jawa Barat dengan 4,3 dokter umum per 100.000 penduduk. Rasio di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Banten juga cukup rendah di bawah rata-rata nasional. Dengan demikian walaupun secara nominal jumlah dokter umum

sebagain besar di Jawa dan Bali, namun bila dibandingkan dengan penduduk yang harus di layani, maka tenaga dokter di Jawa masih lebih rendah di banding daerah-daerah lain.

Gambar 4.5. Rasio dokter umum Puskesmas dan Rumah Sakit per 100.000 penduduk

18.2316.00

15.1813.20

12.9212.56

11.9211.1511.09

10.6910.39

9.659.599.499.44

8.908.598.518.468.39

8.097.58

7.206.82

6.406.366.316.236.12

5.714.404.30

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

KaltimKalteng

BaliBengkulu

SulutGorontalIrja Barat

JambiSulteng

DI YogyaRiau

MalutSumutKalselSulsel

NADSumbarDKI Jkt

SultraBabel

PapuaMaluku

IndonesiaLampung

SumselKalbarJateng

JatimNTTNTB

BantenJabar

27

Tingginya rasio dokter umum terhadap jumlah penduduk di daerah luar Jawa masih

belum menjamin bahwa tenaga kesehatan tersebut dapat melayani lebih banyak penduduk dibandingkan di Jawa, karena kendala akses penduduk terhadap fasilitas kesehatan. Sebagai contoh walaupun rasio dokter di Irian Jaya Barat lebih tinggi lebih tinggi dibandingkan dengan Jawa Timur, tetapi karena penyebaran penduduk yang tidak merata, jarak, kendala geografis, dan sarana transportasi, masih banyak penduduk yang tidak terjangkau oleh dokter umum dengan mudah.

3. Jenis Tenaga

Untuk jenis tenaga kesehatan tertentu seperti perawat jumlahnya sudah relatif cukup, bahkan produksinya terus meningkat. Namun sebaliknya terdapat jenis tenaga lain yang dapat dikatakan sebagai tenaga “langka” karena berbagai faktor, yaitu:

1. Jumlah tenaga kurang, kebutuhannya besar; 2. Lulusannya sedikit, bidangnya tidak diminati; 3. Jumlah institusi pendidikannya kurang; 4. Kualifikasi pendidikannya terbatas (D3 atau kurang); 5. Jumlah, jenis dan kualifikasi tenaga yang ditempatkan di wilayah tertentu

kurang/tidak tersedia akibat maldistribusi (misalnya dokter spesialis di daerah terpencil).

Contoh beberapa tenaga “langka” adalah analis kesehatan, terapis wicara,

refraksionis optisien, fisioterapis, radiographer, epidemiolog, ahli human resource management, dan lainnya. Beberapa penyebab kelangkaan tenaga ini adalah insentif yang tidak menarik, jenjang karir tidak jelas, pasar tidak siap, non competence based, dan sistem informasi yang terfragmentasi.

Disamping tenaga langka tersebut, terdapat beberapa jenis tenaga baru yang belum ditentukan kategorinya pada PP 32/1996, antara lain kesehatan dan keselamatan kerja, hukum kesehatan, pengobat traditional, sarjana farmasi traditional, administrasi medik, dan audiologis.

A. Ketersediaan Tenaga Kesehatan Di Puskesmas

Jumlah Puskesmas di Indonesia pada tahun 2004 sebanyak 7.550 buah, terdiri dari 2.010 Puskesmas Perawatan dan 5.540 Puskesmas Non Perawatan. Sedangkan jumlah seluruh tenaga kesehatan yang bekerja di Puskesmas pada tahun yang sama sebanyak 141.566 orang, (Lihat tabel 4.3), dengan demikian rata-rata setiap puskesmas dilayani oleh 18,75 tenaga kesehatan.

28

Tabel 4.3 Jenis, Jumlah dan Rasio Ketenagaan Puskesmas Tahun 2004 (Nasional)

No. Jenis Jumlah Rasio per Puskesmas

1 Dokter Umum Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pegawai Tidak Tetap (PTT)

4.878 4.056

1,18

2 Dokter Gigi PNS PTT

2.332 1.446

0,50

3 SKM 647 0,09 4 Apoteker 68 0.01 5 D-3 Kesehatan Lingkungan 2.127 0.28 6 D-3 Gizi 1.599 0.21 7 D-3 Keperawatan 6.717 0,89 8 D-3 Bidan 3.147 0.42 9 Bidan Puskesmas 15.056 1,99 10 Bidan di Desa 30.049 3,98 11 Perawat Umum 33.353 4,42 12 Perawat Gigi 4.531 0,6 13 Sanitarian 4.468 0,59 14 Pelaksana Gizi 2.966 0,39 15 Asisten Apoteker 2.815 0,37 16 Laboran

Analis Non Analis

2.134

753

0,28 0,10

17 Lain-lain 18.424 2,44 JUMLAH 141.566 18,75

Sumber: Data Dasar Puskesmas Tahun 2004, Departemen Kesehatan

Dalam SKN 2004 dinyatakan sekurang-kurangnya Puskesmas melaksanakan enam jenis pelayanan kesehatan tingkat dasar, yaitu promosi kesehatan, kesehatan ibu dan anak serta keluarga berencana, perbaikan gizi, kesehatan lingkungan, pemberantasan penyakit menular, dan pengobatan dasar. Jika dilihat dari tugas pelayanan kesehatan yang harus dilaksanakan maka tenaga kesehatan yang minimal dimiliki oleh setiap Puskesmas adalah dokter umum, bidan, perawat, ahli gizi, sanitarian, dan asisten apoteker.

Dengan menggunakan salah satu metode perencanaan kebutuhan tenaga seperti tercantum dalam SK Menkes No.81/Menkes/SK/I/2004, yaitu metode Daftar Susunan Pegawai (DSP), khususnya Model DSP Puskesmas Perdesaan, maka diperoleh gambaran bahwa untuk setiap puskesmas disarankan setidaknya terdapat 2 dokter umum, 1 dokter gigi 1, 6 perawat umum, dan 3 bidan di puskesmas. Jika dibandingkan data tahun 2004 (Tabel 4.3) dengan rasio tenaga dokter umum (1,18), dokter gigi (0,2), perawat umum (4,42), dan bidan (1,19), maka ketersediaan jumlah tenaga kesehatan di puskesmas masih belum memadai. Untuk mencapai rasio ideal, maka jumlah dokter umum dan dokter gigi di Puskesmas perlu ditingkatkan 2 kali lipat. Sedangkan perawat umum dan bidan di Puskesmas perlu ditambahkan separuh dari jumlah yang telah ada.

Data distribusi tenaga kesehatan di Puskesmas per propinsi juga menunjukkan adanya kesenjangan (disparitas) antar wilayah. Permasalahan akan terlihat bila melihat ketersediaan dokter umum di Puskesmas. Rasio dokter umum per Puskesmas penting untuk menjadi acuan, untuk melihat sejauh mana fasilitas kesehatan yang menjadi ujung tombak pembangunan kesehatan masyarakat dapat berfungsi dengan baik.

29

Dengan kriteria ini dapat terlihat bahwa rasio dokter umum yang bertugas di Puskesmas terhadap jumlah Puskesmas berkisar antara 0,35 di Papua dan 2,30 di Kepulauan Riau, dengan rata-rata nasional sebesar 1,18 (Gambar 4.8). Secara umum dapat digambarkan bahwa daerah dengan rasio lebih rendah dari 1 menunjukkan jumlah dokter lebih kecil dari jumlah Puskemas, artinya banyak Puskesmas yang tidak memiliki tenaga dokter umum. Di Papua misalnya, rata-rata hanya satu dari 3 puskesmas yang memiliki dokter.

Gambar 4.6. Rasio dokter umum terhadap Puskesmas menurut propinsi

Yang perlu menjadi perhatian adalah pada daerah-daerah dengan rasio dokter per puskesmas yang kecil dan akses yang sulit, seperti di Papua dan Maluku. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat mengalami kesulitan untuk mengakses fasilitas kesehatan. Kalaupun pada akhirnya dapat mengaksesnya, pelayanan yang diterima belum memuaskan karena ketiadaan dokter umum. Meningkatkan fasilitas dan dokter umum di daerah seperti ini mungkin menjadi mahal dan tidak memberikan daya ungkit yang tinggi terhadap derajat kesehatan secara nasional. Akan tetapi sebagai upya untuk memenuhi amanat undang-undang dasar, pemenuhan hak dasar rakyat akan kesehatan, dan azas keadilan, upaya untuk daerah terpencil seperti ini perlu dilakukan dengan serius.

Tenaga kesehatan yang mempunyai peran penting dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak, terutama pelayanan kesehatan di daerah perdesaan adalah tenaga bidan. Secara keseluruhan jumlah bidan tercatat sebanyak 48.252 orang, terdiri dari 3.147 bidan D3, 15.056 bidan di puskesmas, dan 30.049 bidan di desa. Rata-rata rasio bidan per puskesmas tidak termasuk bidan di desa) adalah 2,4. Jika dilihat per propinsi, maka propinsi yang rasionya paling tinggi adalah Sumatera Utara (6,4) dan Papua (5,4), sedangkan paling rendah adalah DKI Jakarta (0,0) dan Gorontalo (0,6). Rasio tenaga bidan di desa per desa adalah 0,4. Data ini antara lain menunjukkan bahwa kebijakan penempatan seorang bidan untuk setiap desa secara nasional tidak atau belum terpenuhi. Jika dilihat per propinsi,

2,30 1,88 1,791,721,72

1,631,57

1,511,49

1,471,42

1,391,36

1,261,18

1,151,131,13

1,061,061,05

0,990,980,98

0,860,840,840,830,82

0,560,470,450,45

0,35

Kepulauan Riau Sumatera Utara DI Yogyakarta Kalimantan Timur Bali Jawa Tengah Gorontalo Lampung Kalimantan Tengah Jawa Timur Bengkulu Jambi Maluku Utara Banten INDONESIA Nusa Tenggara Barat Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Kalimantan Selatan Sulawesi Barat R I a u Sumatera Selatan Bangka Belitung Sulawesi Utara Sulawesi Tenggara NAD Kalimantan Barat Sumatera Barat Jawa Barat Nusa Tenggara Timur Irian Jaya Barat DKI Jakarta Maluku Papua

30

hanya satu propinsi, yaitu DKI Jakarta, yang rasio desa dengan bidan di desa tercatat di atas 1 (1,5), sedangkan propinsi lainnya berkisar antara 0,2 – 0,8.

Tenaga kesehatan lainnya yang mempunyai tugas dan tanggungjawab yang penting dalam pelaksanaan program di puskesmas antara lain adalah ahli gizi, sanitarian dan assisten apoteker. Jumlah ahli gizi yang bekerja di puskesmas pada tahun 2004 tercatat sebanyak 4.565 orang (1.599 Gizi/D3 dan 2.966 Pelaksana Gizi), rasio ahli gizi per puksesmas dengan ahli gizi adalah 0,6. Sementara itu, jumlah tenaga sanitarian tercatat sebanyak 4.468 orang, rasio sanitarian per puskesmas adalah 0,6. Jumlah tenaga assisten apoteker tercatat sebanyak 2.815 orang, dengan rasio 0,4 per puskesmas.

B. Kebijakan Tenaga Kesehatan 1. Perencanaan

Kebijakan perencanaan tenaga kesehatan secara nasional antara lain diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan. Dalam PP tersebut antara lain dinyatakan:

Perencanaan nasional tenaga kesehatan disusun dengan memperhatikan jenis pelayanan yang dibutuhkan, sarana kesehatan, jenis dan jumlah yang sesuai (pasal 6 ayat 3);

Perencanaan nasional tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud ditetapkan oleh Menteri Kesehatan (pasal 6 ayat 4).

Kebijakan Pemerintah tentang perencanaan SDM kesehatan ditetapkan melalui Kepmenkes No.81/Menkes/SK/I/2004 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan Sumberdaya Manusia Kesehatan di Tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota serta Rumah Sakit. Tujuan pedoman ini adalah untuk membantu daerah dalam mewujudkan rencana penyediaan dan kebutuhan SDM Kesehatan dengan prosedur penyusunan rencana kebutuhan SDM kesehatan pada tingkat institusi (misalnya Poliklinik, Puskesmas, Rumah Sakit); tingkat wilayah (misalnya Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota); dan dalam kondisi bencana (pada saat prabencana, terjadi bencana, dan pasca bencana).

Adapun prinsip dasar perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan adalah:

1. Disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan kesehatan, baik lokal, nasional, maupun global;

2. Pendayagunaan SDM-Kesehatan diselenggarakan secara merata, serasi, seimbang, dan selaras oleh Pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha;

3. Penyusunan Perencanaan didasarkan pada sasaran upaya kesehatan nasional dan Rencana Pembangunan Kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010;

4. Pemilihan metode perhitungan kebutuhan SDM Kesehatan didasarkan pada kesesuaian metode dengan kemampuan dan keadaan daerah masing-masing.

Selain 4 Metode dasar yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu Health Need Method,

Health Service Demand, Health Service Target Method, dan Ratios Metho; metode lain yang merupakan pengembangan dari ke-4 model tersebut, adalah Authorized Staffing List (Daftar Susunan Pegawai atau DSP); WISN (Work Load Indicator Staff Need) atau Indikator Kebutuhan tenaga berdasarkan Beban Kerja; Skenario/Proyeksi dari WHO; dan penyusunan kebutuhan tenaga untuk bencana. Perencanan kebutuhan SDM kesehatan di tingkat institusi bisa di hitung dengan menggunakan metode Authorized Staffing List (Daftar Susunan Pegawai – DSP). Metode

31

ini bisa digunakan di berbagai unit kerja seperti rumah sakit, puskesmas dan lain-lain. Prosedur perhitungan daftar Susunan Pegawai-DSP (Authorized Staffing List) adalah sebagai berikut.

1. Menghitung produktivitas Puskesmas secara kolektif dengan mengunakan rumus:

S = O/ 300 x N;

dimana : S = Dayaguna Staf /hari (serendah-rendahnya 5); N = Jumlah Staf; dan O = Output Puskesmas

Jika nilai S kurang dari 5 maka ada dua alternatif yang dapat ditempuh yaitu memindahkan tenaga Puskesmas yang berlebihan ke Puskesmas yang membutuhkan atau meningkatkan output Puskesmas.

Tabel dibawah ini menjelaskan kaitan antara output Puskesmas dengan jumlah staf yang diperlukan.

Tabel 4.4. Jumlah Staf Puskesmas Menurut Beban Kerja

No Output Puskesmas (O: Orang /Tahun)

Jumlah Staf (N: Orang)

Dayaguna Staf/Hari (S)

1 2 3 4 5

<30.000 300.000-50.000 50.000-70.000 70.000-10.000

>100.000

16 21 30 40

>40

6.25 5,2-8,8 5,5-7,7 5,8-8,3

6,6

Bagi Puskesmas yang jumlah kunjungannya tinggi, tetapi jumlah tenaganya sedikit, jika tidak dapat disediakan melalui pengangkatan PNS Daerah, dapat diatasi kekurangan tenaganya dengan sistem kontrak yang dananya berasal dari daerah.

2. Menentukan jenis tenaga. Untuk hal tersebut diperlukan struktur organisasi Puskesmas yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah masing-masing dengan mengacu kepada SK Mendagri No. 23 Tahun 1994.

Dalam Kepmenkes tersebut telah diberikan beberapa contoh DSP Puskesmas dengan bermacam macam contoh model perhitungan:

a) Puskesmas di daerah terpencil, jumlah tenaga yang perlukan sekitar 17 orang. b) Puskesmas di daerah perdesaan dengan penduduk sekitar 20.000 orang, diperlukan

25 tenaga. c) Puskesmas perkotaan dengan penduduk padat, diperlukan sekitar 40 tenaga. d) Puskesmas Perawatan di daerah terpencil, diperlukan 27 tenaga. e) Puskesmas perawatan di daerah kepulauan, diperlukan 38 tenaga. f) Puskesmas perawatan di daerah strategis, diperlukan 41 tenaga.

Pada Kepmenkes tersebut, selain mengatur tentang jumlah tenaga yang dibutuhkan, diatur pula tentang jenis berbagai tenaga kesehatan untuk setiap model DSP Puskesmas tersebut.

Hasil survei di lokasi kajian menunjukkan bahwa pada dasarnya responden Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten/Kota melaksanakan kegiatan penyusunan rencana

32

kebutuhan tenaga kesehatan di Puskesmas. Dalam periode satu tahun, Dinas Kesehatan melakukan paling sedikit satu kali kegiatan penyusunan rencana kebutuhan tenaga kesehatan dan sebagian besar pelaksananya adalah Unit Kerja Eselon III (47,1%).

Secara umum perencanaan kebutuhan sudah cukup lengkap karena meliputi hampir semua jenis tenaga kesehatan yang diperlukan di daerah. Jenis tenaga yang direncanakan oleh hampir semua Dinas Kesehatan adalah tenaga dokter, dokter gigi, perawat, bidan, ahli gizi, sanitarian, apoteker, asisten apoteker, Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM). Selain tenaga-tenaga tersebut, ada pula Dinas Kesehatan yang merencanakan kebutuhan tenaga dokter spesialis, terapi fisik, dan terapi medis untuk ditempatkan di puskesmas perawatan.

Dalam menyusun rencana kebutuhan tenaga, dari seluruh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota di lokasi penelitian, lebih dari separuhnya (52,6%) tidak menerapkan Pedoman Penyusunan Perencanaan Kebutuhan SDM Kesehatan seperti tercantum dalam Surat Keputusan Menkes No.81 Tahun 2004 dan hanya 47,4% yang melaksanakan pedoman. Alasan utama tidak digunakannya pedoman tersebut berturut-turut adalah belum adanya sosialisasi, keterbatasan tenaga, menyerahkan ke Badan Kepegawaian daerah, belum tahu dan belum membaca surat keputusan (SK).

Gambar 4.7 Alasan tidak dilaksanakannya SK Menkes No. 81 Tahun 2004 pada daerah kajian

Sedangkan pada pada kabupaten/kota yang menggunakan pedoman penyusunan

perencanaan kebutuhan SDM (47,4%), metode yang paling sering digunakan berturut-turut adalah:

1. Ratio Method (35,3%) 2. Health Services Demand Method (29,4%) 3. Health Services Target Method (14,7%) 4. Health Need Method (2,9%) 5. Berdasarkan beban kerja dan berdasarkan sarana kesehatan (8,8%)

Walaupun telah digunakan di 47,4% kabupaten/kotalokasi penelitian, penerapan

pedoman SK Menkes tersebut masih menghadapi kendala, yaitu belum ada sosialisasi tentang pedoman (47% kab/kota); kemudian berturut-turut diikuti oleh terbatasnya data dan

Terpusat ke BKD5%

Belum Membaca SK5%

Belum tahu26%

Keterbatasan Tenaga

11%

Baru saja disosialisasi

5%

Belum ada sosialisasi

48%

33

informasi (39% kab/kota); terbatasnya kapasitas tenaga perencana (37% kab/kota); terbatasnya dana (32%; dan masalah lainnya seperti pembagian antar unit yang tidak jelas, keterbatasan tenaga dan lain-lain.

Gambar 4.8. Hambatan Utama Dalam Perencanaan Kebutuhan Tenaga Kesehatan di

Daerah Penelitian yang telah menggunakan pedoman

3%

3%

5%

13%

13%

32%

37%

39%

47%

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

SK Menpan No. B/401/3/2005

Belum Dilaksanakan

Keterbatasan tenaga

pembagian tugas antar unit yang tidakjelas

Ya

terbatasnya dana

terbatasnya kapasitas tenagaperencana

terbatasnya data dan informasi

belum ada sosialisasi tentangpedoman

Dengan demikian, sosialisasi tentang pedoman masih menjadi alasan utama tidak

diterapkannya pedoman penyusunan rencana kebutuhan tenaga SDM kesehatan. Pada daerah yang telah menerapkan pedoman sekalipun, tidak adanya sosialisasi ini masih menjadi hambatan/kendala utama. Oleh karena itu, jika Kepmenkes No. 81/2004 dapat dianggap sebagai standar perencanaan tenaga kesehatan, maka sosialisasi pedoman ini menjadi sangat diperlukan ke seluruh daerah, baik yang sudah ataupun yang belum menggunakannya.

Sosialisasi ini dapat pula menjadi sarana untuk meningkatkan kapasitas tenaga perencana di daerah yang masih menjadi kendala besar bagi perencanaan. Dalam hal ini pemerintah pusat dan propinsi dapat mengambil peranannya. Sementara itu kendala pendanaan serta data dan informasi menjadi tugas penting yang perlu diselesaikan oleh daerah. Dengan pendekatan dan pembagian peran antara pusat dan daerah ini, diharapkan perencanaan tenaga kesehatan dapat menjadi lebih baik.

Dalam proses selanjutnya, rencana kebutuhan tenaga diusulkan kepada pihak yang berwenang di masing-masing daerah. Berdasarkan hasil survey, pihak yang berwenang menentukan usulan ini ternyata berbeda untuk masing-masing daerah, yaitu: (1) Dinas Kesehatan Kabupaten bersama-sama dengan Badan Kepegawaian Daerah (52,6%); (2) Dinas Kesehatan (44,7%); dan (3) BKD (2,6%). Dalam hal ini, sebagian besar usulan ditentukan bersama-sama oleh Dinas Kesehatan dan BKD. Demikian pula dalam hal formasi tenaga kesehatan, pada sebagian besar Kab/Kota (52,6%) wewenang formasi ada pada Dinas Kesehatan dan BKD. Hal ini bisa diartikan bahwa pada sebagian besar Kab/Kota, formasi ini ditentukan setelah melakukan koordinasi antara Dinas Kesehatan dan BKD. Akan tetapi pada sepertiga Kab/Kota (31,6%), wewenang formasi ada pada

34

BKD, dengan demikian BKD mempunyai wewenang penuh terhadap formasi yang diusulkan oleh Dinas Kesehatan.

Perbedaan kewenangan dalam pengusulan dan penetapan formasi tenaga kesehatan manjadi salah satu faktor yang menyebabkan adanya kesenjangan antara usulan yang disampaikan dan formasi yang akhirnya ditetapkan dalam hal jumlah, jenis, distribusi dan kualifikasi.

Tabel 4.5. Persentase kabupaten/kota yang merasakan kesenjangan antara usulan dengan ketersediaan tenaga kesehatan

Persentase Kab/Kota menurut tingkat kesenjangan Jenis Kesenjangan

Sangat Kecil Kecil Besar Sangat Besar Jumlah 5% 50% 34% 11% Jenis tenaga 13% 53% 24% 11% Distribusi 13% 53% 32% 3% Kualifikasi 8% 71% 18% 3%

Dari tabel tersebut, dapat terlihat bahwa ketidaksesuaian antara jumlah dan jenis tenaga yang diusulkan dengan formasi yang tersedia masih cukup dirasakan oleh sebagian besar kab/kota. Kesenjangan besar dan sangat besar dalam dal jumlah dirasakan oleh 45% Kab/Kota, dan kesenjangan jenis (35%) dan distribusi tenaga dirasakan 35% Kab/Kota. Kesenjangan dalam hal kualifikasi, walaupun terasa, tapi dianggap cukup kecil oleh sebagian besar kab/kota.

2. Pengadaan

Berdasarkan hasil survei lapangan, diperoleh gambaran bahwa secara umum ketersediaan tenaga kesehatan di puskesmas masih dianggap tidak atau kurang mencukupi untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

Kekurangan ini dirasakan oleh Dinas Kesehatan dan petugas di Puskesmas. Pada Tabel 4.6 dapat dilihat bahwa dari seluruh 13.793 tenaga kesehatan (17 jenis tenaga) yang dibutuhkan pada tingkat Kabupaten/kota di lokasi penelitian, hanya 9.216 tenaga atau 66,1 % yang tersedia. Dari tenaga keseahatan tersebut yang paling banyak dibutuhkan adalah bidan (4.565) dan perawat (4.492) dan yang mengalami persentase kekurangan paling besar diantaranya adalah SKM, perawat, sanitarian dan laboran.

Tabel 4.6 . Kebutuhan dan ketersediaan tenaga kesehatan di kabupaten lokasi Kajian

Jenis Tenaga Kebutuhan Ketersediaan Kesenjangan (%)

Dokter 987 593 39,9 Dokter Spesialis 64 30 53,1 Dokter Gigi 497 294 40,8 Bidan 4565 2951 35,4 Perawat 4492 3295 26,6 Apoteker 89 47 47,2 Asistem Apoteker 606 319 47,4 Ahli Gizi 652 404 38,0 Sarjana Kes. Masy 415 312 24,8

35

Sanitarian 737 530 28,1 Terapi Fisik 108 72 33,2 Teknis Medis 203 68 66,5 Rontgen 4 1 75,0 Perawat Gigi 62 36 41,9 Penyuluh Kes. Masy. 182 82 54,9 Epidemiolog 21 0 100,0 Laboran 109 79 27,5

Total 13.793 9.216 33,2

Masalah utama yang dihadapi oleh kabupaten/kota dalam pengangkatan pegawai baru adalah keterbatasan formasi yang terjadi di 63,6 % kabupaten tertinggal dan 46,2 % di daerah tidak tertinggal pada daerah penelitian. Sedangkan masalah berikutnya adalah keterbatasan dana (18,2 % kabupaten tertinggal dan 34,6% kabupaten tak tertinggal), kemudian di susul berturut-turut oleh masalah regulasi, peminat yang terbatas, lulusan yang terbatas dan lain-lain. Ketiga masalah terakhir relatif hanya terjadi pada 15% kab/kota atau kurang (lihat Tabel 4.7).

Tabel 4.7. Masalah Utama Dalam Pengadaan Nakes di Kabupaten Tertinggal

dan Tak Tertinggal

Kab. Tertinggal Kab. Tak Tertinggal Masalah Utama % % Masalah Regulasi 9.1 9.6 Masalah Peminat Terbatas 0.0 5.8 Masalah Terbatasnya Lulusan 9.1 1.9 Masalah Dana Terbatas 18.2 34.6 Masalah Terbatasnya Formasi 63.6 46.2 Masalah Lainnya 0.0 1.9

Dari tabel tersebut terlihat bahwa masalah utama pengadaan tenaga kesehatan baik

yang di kabupaten tertinggal maupun tak tertinggal adalah terbatasnya formasi. Sebagai ilustrasi, pada tahun 2004, dari 12 jenis tenaga kesehatan di puskesmas, seluruh kabupaten/kota lokasi penelitian mengajukan usulan pengangkatan tenaga kesehatan yang terdiri dari 1.701 PNS dan 1.439 PTT. Namun dengan keterbatasan formasi yang ada, yang berhasil direalisasikan hanya 1.085 PNS dan 1.196 PTT atau masing-masing sebesar 63,8% dan 83,1% dari yang diusulkan. Sementara itu pada tahun yang sama 11 PNS dan 95 PTT memasuki masa pensiun atau menyelesaikan masa baktinya. Hal semakin memperburuk keadaaan tenaga kesehatan di daerah, apabila tidak diimbangi dengan realisasi pengangkatan tenaga kesehatan yang lebih besar.

Berbagai upaya dilakukan oleh daerah untuk memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan. Karena sebagian besar kabupaten/kota dihadapkan pada jumlah formasi yang terbatas, pemerintah daerah kemudian mengajukan tambahan formasi berupa tenaga PTT ke Pemerintah Pusat. Sebanyak 63% kab/kota mengusulkan kebutuhan tenaga kesehatan PTT (dokter umum, dokter gigi dan bidan) ke pusat. Pengajuan PTT ke pemerintah pusat merupakan salah satu strategi dari pemerintah daerah untuk meningkatkan jumlah tenaga kesehatan di daerahnya. Karenanya upaya ini dilanjutkan dengan perekrutan tenaga PTT Pusat tersebut menjadi PNS daerah.

36

Masalah pengadaan ini tidak hanya dirasakan oleh Dinas Kesehatan, tetapi juga di Puskesmas. Dari hasil penelitian pada Puskesmas di 38 kabupaten, 58,2 % Puskesmas di antaranya merasa bahwa ketersediaan tenaga kesehatan kurang, 35,4 % yang menyatakan cukup dan hanya 3,8 % yang menyatakan berlebih (gambar 4.9). Kekurangan ini terutama sekali dirasakan untuk tenaga Sarjana Kesehatan Masyarakat (75,2%), Perawat (73,4%) dan Perawat (71,9%) seperti terlihat pada tabel sebelumnya.

Gambar 4.9 Persepsi Responden tentang ketersediaan tenaga kesehatan di Puskesmas

3. Penempatan

Dalam rangka pengadaan dan penempatan tenaga kesehatan, Dinas kesehatan menetapkan beberapa kriteria yang digunakan. Berikut ini adalah kriteria yang sering digunakan untuk menentukan penempatan tenaga dokter di puskesmas dan persentase kab/kota yang menggunakan kriteria tersebut.

Tabel 4.8 Kriteria penempatan tenaga kesehatan di lokasi kajian Dokter PTT Bidan PTT

Kriteria % Kab/kota yang

menggunakan kriteria

Kriteria % Kab/kota yang

menggunakan kriteria

Puskesmas yang tidak ada dokter 84,2% Desa tidak ada bidan 84,2% Rasio puskesmas terhadap Penduduk 57,9% Desa terpencil 50,0% Cakupan pelayanan Puskesmas 44,7% Angka kesakitan 28,9% Puskesmas Daerah Terpencil 31,6% Lainnya 7,9% Angka Kesakitan 10,5% Lainnya 2,6%

Dari tabel di atas terlihat bahwa kriteria utama (84,2%) bagi lokasi penempatan

dokter dan bidan PTT adalah puskesmas yang tidak memiliki dokter atau bidan. Penggunaan kriteria seperti ini menunjukkan bahwa masih banyak puskesmas yang tidak mempunyai dokter atau desa yang tidak mempunyai bidan.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, lebih dari separuh Dinas Kesehatan tidak menggunakan Pedoman Kepmenkes No 81/2004 untuk melakukan perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan. Sementara itu bagi daerah yang telah mengikuti pedoman, metode yang paling banyak digunakan adalah Ratio Method. Bila dihubungkan dengan kriteria penempatan dokter, justru sebagian besar kab/kota secara sederhana mengidentifikasi puskesmas yang tidak mempunyai dokter. Hal ini menunjukkan bahwa

2.5%

3.8%

35.4%58.2%

0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0

Sangat kurang

Berlebih

Cukup

Kurang

37

perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan dilakukan dengan lebih sederhana, yaitu dengan melihat jumlah puskemas yang tidak mempunyai tenaga dokter. Kalaupun perencanaan dilakukan menggunakan metode sesuai Kepmenkes 81/2004, pada saat prakteknya pengusulan tenaga dan penempatan menggunakan kriteria yang lebih sederhana yaitu kekurangan tenaga per individu puskesmas.

Dengan melihat masih banyaknya daerah yang mempunyai rasio dokter per puskesmas kurang dari 1, yang menunjukkan masih banyaknya puskesmas tanpa tenaga dokter, (lihat gambar 4.8 di atas, rasio dokter per puskesmas), maka bisa diduga bahwa penggunaan kriteria puskesmas tanpa dokter dan desa tanpa bidan masing-masing untuk penempatan dokter dan bidan, masih akan terus berlangsung hingga beberapa tahun mendatang.

Permasalahan bisa muncul, jika penempatan tenaga kesehatan terutama dokter tidak sesuai dengan kondisi lapangan, artinya tidak pada lokasi yang telah diusulkan oleh Dinas Kesehatan. Hal ini mungkin terjadi seandainya tidak ada koordinasi yang baik antara BKD dan Dinas Kesehatan. Survei menunjukkan bahwa sebagain besar repsonden (47,4%) menyatakan bahwa kewenangan penempatan ada pada Dinas Kesehatan atau DInas Kesehatan dan BKD, 42,1 kab/kota menyatakan bahwa kewenangan ini berada pada Dinas Kesehatan, 7,9% kab/kota menyatakan bahwa kewenangan ini berada pada BKD dan 2,6% kab/kota menyatakan kewenangan pada badan lain seperti Bupati.

Proses pengadaan dan penempatan pegawai baru saat ini, menurut kepala Puskesmas dan tenaga kesehatan masih kurang memuaskan. Rata-rata sekitar separuh reponden menyatakan ketidakpuasan terhadap ketersediaan informasi pendaftaran pegawai baru, proses administrasi, seleksi penerimaan, penempatan, pengadaan penerimaan pegawai baru dan proses mutasi.

4. Mutu Tenaga Kesehatan

Secara umum kebijakan tentang tenaga kesehatan, khususnya yang berkaitan dengan kualitas atau mutu, antara lain dapat dilihat pada Peraturan Pemerintah (PP) No.32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan. Dalam PP ini antara lain dinyatakan:

1) Tenaga kesehatan wajib memiliki pengetahuan dan ketrampilan di bidang kesehatan yang dinyatakan dengan ijazah dari lembaga pendidikan (Pasal 3); dan

2) Setiap tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi tenaga kesehatan (Pasal 21)

Dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) Tahun 2004, khususnya dalam Sub

Sistem Sumberdaya Manusia Kesehatan, antara lain dinyatakan bahwa: “pembinaan dan pengawasan praktek profesi dilakukan melalui sertifikasi, registrasi, uji kompetensi, dan pemberian lisensi”. Institusi atau lembaga yang melaksanakan kegiatan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Sertifikasi dilakukan oleh Institusi Pendidikan; 2) Registrasi dilakukan oleh komite registrasi tenaga kesehatan; 3) Uji kompetensi dilakukan oleh masing-masing organisasi profesi; dan 4) Pemberian lisensi dilakukan oleh pemerintah.

Pada umumnya peserta didik dari hasil pendidikan tenaga kesehatan dan pelatihan kesehatan masih terbatas. Seringkali kemandirian, akuntabilitas dan daya saing tenaga tersebut masih lemah. Oleh sebab itu, peningkatan kualitas institusi pendidikan dan pelatihan merupakan salah satu tantangan yang penting untuk dapat menjamin tersedianya tenaga kesehatan bermutu yang diperlukan. Hal tersebut diatur melalui Departemen

38

Kesehatan melalui Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 850/Menkes/SK/V/2000 Tentang Kebijakan Pengembangan Tenaga Kesehatan Tahun 2000-2010

Salah satu upaya yang ditempuh Departemen Kesehatan dalam rangka meningkatkan kualitas institusi pendidikan dan pelatihan, serta kualitas tenaga kesehatan yang dihasilkannya adalah menerapkan standar dan melaksanakan akreditasi terhadap institusi pendidikan dan pelatihan. Secara kumulatif sampai dengan September 2005, dari 642 institusi pendidikan tenaga yang tersebar di seluruh Indonesia, sebanyak 464 institusi (72,3%) telah diakreditasi (Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan, 2005). Data hasil akreditasi ini antara lan menunjukkan bahwa masih diperlukan banyak upaya dan kegiatan untuk lebih meningkatkan kualitas institusi pendidikan tenaga kesehatan.

Hasil survei lapangan juga menunjukkan bahwa sekitar 70,6% responden menyatakan kesesuaian antara latar belakang pendidikan dengan tugas di puskesmas. Hal ini berarti tidak semua lulusan pendidikan tenaga kesehatan secara otomatis langsung dapat menjalankan tugas dan fungsinya di Puskesmas, tetapi masih memerlukan orientasi/adapatsi ataupun pelatihan di puskesmas. Dalam rangka menunjang kelancaran pelaksanaan tugas di puskesmas sekitar 78,4% responden menyatakan pernah mengikuti pelatihan. Adapun jenis pelatihan yang diikuti adalah sebagian besar merupakan pelatihan teknis fungsional (85,7%). Penyelenggara pelatihan tenaga kesehatan di Puskesmas pada umumnya adalah Dinas Kesehatan Propinsi (36%), Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (25,5%), dan Departemen Kesehatan (5,1%).

Dengan mempertimbangkan pentingnya arti pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan, maka sebagian besar Dinas Kesehatan (76,5%) memiliki rencana tahunan untuk jenis pelatihan yang dibutuhkan. Jenis pelatihan tersebut antara lain meliputi Pelatihan Fungsional dan Manajerial (50%), Fungsional (14,7%), dan Manajerial (5,9%). Untuk menunjang pelaksanaan pelatihan, sumber pembiayaan untuk kegiatan pelatihan adalah APBD Kab/Kota (44,1%), APBD Propinsi (38,2%), APBN (38,2%) dan sumber lainnya (11,8%).

Registrasi merupakan proses pendaftaran, pendokumentasian dan pengakuan terhadap tenaga kesehatan setelah dinyatakan memenuhi minimal kompetensi inti atau standar penampilan minimal yang ditetapkan, sehingga secara fisik dan mental mampu melaksanakan praktek profesinya. Sebagai bagian dari tahapan registrasi dan pengakuan kompetensi diberlakukan “uji kompetensi” yang yang dilaksanakan oleh organisasi profesi itu sendiri dan difasilitasi oleh Dinas Kesehatan. Dalam masa transisi, “uji kompetensi” ini dapat diberlakukan dengan menggunakan metode yang disepakati bersama antara Dinas Kesehatan dan organisasi profesi.

Departemen Kesehatan menetapkan bahwa bagi tenaga kesehatan yang lulus dari institusi pendidikan tenaga kesehatan dibawah pembinaan Departemen Kesehatan dapat langsung diregistrasi.

Dalam tabel berikut digambarkan kondisi beberapa jenis kemampuan dan kompetensi profesi tenaga kesehatan.

39

Tabel 4.9 Jenis kemampuan dan kompetensi profesi tenaga kesehatan

No Org. Profesi Std. Profesi

Etika Profesi Registrasi Sertifikasi Lisensi Kepmen

Reg. Std.

Komp. RUU

1 I D I √ √ √ √ √ √ √ √ 2 P P N I √ √ √ √ √ √ √ 3 I B I √ √ √ √ √ √ √ √ 4 P D G I √ √ √ √ √ √ √ √ 5 I S F I √ √ √ √ √ √ √ 6 PERSAGI √ √ DRAFT √ √ 7 HAKLI √ √ √ √ DRAFT √ √ 8 IKATEMI √ √ √ 9 IROPIN/R.O √ √ √ √ √

10 Ik.Tehniker Gigi 11 Ik. Physioterapy √ √ √ √ √ √ √ 12 P A R I √ √ 13 P A F I 14 P P G I 15 Otorik Prostetik 16 Tehnisi Transfusi

*) Sumber : Pusat Profesi Tenaga Kesehatan, Mei 2004

Dari tabel tersebut terlihat bahwa masih diperlukan berbagai upaya dan langkah-langkah untuk lebih meningkatkan pembinaan dan pengawasan praktek profesi yang dilakukan melalui sertifikasi, registrasi, uji kompetensi, dan pemberian lisensi.

Pada era desentralisasi, upaya pembinaan dan pengawasan praktek profesi tersebut menjadi salah satu upaya yang penting untuk dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Sebagai contoh, di Propinsi Jawa Tengah, dalam rangka memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan, telah dibentuk Majelis Tenaga Kesehatan Propinsi Jawa Tengah (MTKP Jawa Tengah) melalui Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 24 Tahun 2004, Tanggal 24 Maret 2004.

Tugas MTKP Jawa Tengah adalah: a. Melaksanakan registrasi tenaga kesehatan b. Melakukan sertifikasi tenaga kesehatan c. Menetapkan standar pendidikan kesehatan berkelanjutan d. Menapis dan merumuskan arah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

pelayanan kesehatan yang digunakan dalam praktik sesuai keputusan organisasi profesi

e. Melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan pelayanan praktik kesehatan f. Menetapkan peraturan pelaksanaan guna kelancaran pelaksanaan tugas g. Menyampaikan hasil pelaksanaan tugas tersebut huruf a sampai dengan huruf f

kepada Gubernur.

MTKP Jawa Tengah ini dibentuk sebagai upaya Pemerintah Propinsi Jawa Tengah untuk secara langsung maupun tak langsung, meningkatkan kualitas atau mutu pelayanan kesehatan bagi individu maupun masyarakat yang membutuhkan dan mempersempit kesenjangan yang ada antara harapan masyarakat dengan pelayanan yang diterimanya sampai saat ini. MTKP juga berfungsi untuk memberikan perlindungan dan kepastian

40

hukum bagi masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan, maupun bagi para petugas yang memberikan pelayanan profesi kesehatan.

Dalam rangka menjalankan tugasnya, MTKP Jawa Tengah mempunyai kewenangan dalam hal:

a. Meneliti kelengkapan dan keabsahan terhadap persyaratan registrasi tenaga kesehatan

b. Menyetujui dan menolak permohonan registrasi tenaga kesehatan c. Menerbitkan dan mencabut sertifikasi registrasi tenaga kesehatan d. Mengesahkan standar kompetensi tenaga kesehatan yang sudah ditetapkan oleh

masing-masing organisasi profesi e. Memantau dan memberikan sanksi administrasi terhadap pelanggaran pelaksanaan

praktik kesehatan.

Bersama lima Organisasi Profesi Jawa Tengah (Ikatan Dokter Indonesia, Persatuan Dokter Gigi Indonesia, Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Ikatan Bidan Indonesia, dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia) dan Lembaga Penelitian Universitas Diponegoro, Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah telah berhasil menyusun Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Kesehatan Berkelanjutan dan Perangkat Uji Kompetensi dengan menggunakan Sistim OSCA (Objectve Structure Competencies Assessment), yaitu kajian kompetensi terstruktur dan obyektif bagi lima Organisasi Profesi tersebut. Sistim OSCA tersebut juga telah digunakan oleh 5 (lima) Institusi Tenaga Kesehatan Keperawatan dan selanjutnya akan digunakan secara menyeluruh untuk semua Institusi Pendidikan Tenaga Kesehatan di Jawa Tengah.

Upaya terobosan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Popinsi Jawa Tengah tersebut perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak, terutama Departemen Kesehatan yang selama ini menyusun dan menerbitkan berbagai pedoman pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan tenaga kesehatan bagi daerah.

C. Distribusi Tenaga Kesehatan Di Puskesmas Di Wilayah Tertinggal

Definisi kabupaten tertinggal pada kajian ini mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 khususnya Bab 26. Dengan mengacu pada ketentuan ini, dalam kajian dari 32 kab/kota yang menjadi lokasi kajian ini, 8 diantaranya masuk kabupaten tertinggal dan 25 kab/kota masuk kategori tidak tertinggal.

Pada tabel 4.10 dibawah ini ditampilkan perbandingan distribusi tenaga kesehatan di Puskesmas pada kabupaten tertinggal dan tidak tertinggal lokasi kajian. Data ini merupakan hasil kuesioner yang diisi oleh 29 puskesmas yang pada kabupaten tertinggal dan 37 puskesmas pada kabupaten tidak tertinggal

41

Tabel 4.10. Perbandingan rasio beberapa tenaga kesehatan per puskesmas menurut kategori kab/kota tertinggal dan tidak tertinggal

Rasio tenaga kesehatan per Puskesmas Kab. Tertinggal Kab/Kota Tidak tertinggal Menurut Jenis Tenaga Dokter 1,79 2,03 Dokter Gigi 0,79 1,30 Bidan 5,72 9,35 Perawat 10,34 11,27 Apoteker 0,00 0,08 Ass Apoteker 0,66 0,70 Ahli Gizi 1,28 1,81 SKM 0,55 1,11 Sanitarian 1,28 1,49 Terapi Fisik 0,00 0,05 Teknis Medis 0,31 0,27 Laboran 0,48 0,51 Perawat Gigi 0,55 0,16 Total Tenaga 27,14 33,03 Menurut status kepegawaian Pegawai Negeri Sipil (PNS) 19,21 27,59 Pegawai Tidak tetap (PTT) 3,59 2,95 Honor Daerah 0,25 0,14 Wiyata 0,03 0,03

Dari tabel di atas terlihat bahwa untuk seluruh tenaga kesehatan, rata-rata sebuah

puskesmas di daerah tertinggal mempunyai tenaga kesehatan yang lebih sedikit yaitu 27,14 tenaga, dibandingkan dengan kabupaten tidak tertinggal yaitu 33,03 tenaga. Hampir seluruh jenis tenaga kesehatan pada kabupaten tertinggal mempunyai rasio tenaga per puskesmas yang lebih kecil daripada kabupaten tidak tertinggal, kecuali rasio tenaga teknis medis dan rasio perawat gigi. Dari seluruh tenaga tersebut yang perbedaan yang relatif besar adalah pada tenaga bidan dan SKM. Namun pada kedua kategori terlihat bahwa rasio dokter umum lebih besar dari 1, artinya secara rata-rata setiap puskesmas dilayani lebih dari 1 dokter. Pada kabupaten tertinggal, rasio ini (1,79) sudah mendekati rasio yang diharapkan menurut perhitungan dengan metode DSP, yaitu 2,0.

Jika dipilah menurut status kepegawaian, pada kabupaten tertinggal rasio tenaga kesehatan per puskesmas yang berstatus PNS adalah 19,21, lebih rendah dibandingkan 27,59 pada daerah tidak tertingggal. Namun rasio PTT dan honor daerah per puskesmas lebih tinggi pada daerah tertinggal. Hal ini mengindikasikan upaya untuk memenuhi kekurangan tenaga PNS dengan tenaga PTT dan honor daerah. .

Selain pengelompokan kabupaten dalam kategori tertinggal dan tidak tertinggal, pada kajian ini digunakan pula kategorisasi kecamatan terpencil dan tidak terpencil. Kecamatan terpencil maupun tidak terpencil dapat saja dapat terletak dalam wilayah administratif kab/kota tertinggal maupun tidak tertinggal, walaupun pada kenyataannya, kecamatan terpencil lebih banyak terletak di kabupaten tertinggal. Dalam kajian, kategorisasi terpencil dilakukan sendiri oleh responden, atau dengan kata lain menggunakan persepsi responden. Dalam hal ini tenaga kesehatan dan kepala Puskesmas diminta menggolongkan kecamatan asal mereka sebagai daerah terpencil atau tidak terpencil.

42

Dalam tabel 4.11 di bawah ini, dapat dilihat perbandingan beberapa parameter tenaga kesehatan dan fasilitas tenaga kesehatan antara kecamatan terpencil dan tidak terpencil. Dari hasil kajian, ditemukan terdapat 12 Puskesmas yang digolongkan ke dalam kecamatan terpencil dan 80 pusksemas di kecamatan tidak terpencil.

Tabel 4.11 Perbandingan rasio tenaga kesehatan puskesmas menurut kategori kecamatan terpencildan tidak terpencil

J U M L A H

PUSKESMAS Kec Des/Kel Desa

Terpencil

Desa Ada

Bidan

Pddk Dilayani

Pddk Miskin Pustu Posyandu Polindes

A. Kecamatan Terpencil 14,5 100 58 75 305.427 64.284 28 402 29 Ciracap, Sukabumi 1 6 6 5 8.000 4.101 2 50 2 Buniwangi, Sukabumi 1 5 5 4 2.000 3.000 1 33 Surade, Sukabumi 1 6 2 6 6.626 13.517 46 Tretep, Temanggung 1 13 5 8 3.738 4 58 5 Gemawang, Temanggung 1 10 6 6 29.519 5.365 2 55 3 Tangaya, Pangkep 1 9 9 4 15.907 2.520 4 30 7 Baloci, Pangkep 1 5 1 5 15.981 4.871 4 18 Taraweang, Pangkep 0,5* 5 5 14.696 2.850 2 16 3 Layang, Makasar 1 7 3 4 45.902 6.846 2 30 Sentani, Jayapura 2 14 2 33.973 13.714 3 30 2 Dosri, Jayapura 2 11 11 7 9.085 7.500 1 17 2 Hom-Hom, Wamena 2 9 10 19 n.a n.a 3 19 5

B. Kecamatan Tidak

Terpencil** 48,5 477 36 356 1.791.56

2 434.736 139 2.836 165

Ket *) Dalam satu kecamatan dilayani oleh dua Puskesmas, sehingga satu Puskesmas yang menjadi Responden hanya mencakup separuh dari wialyah kecamatan

**) Untuk kepraktisan penyajian, data puskesmas di kecamatan hanya disajikan jumlah totalnya dari 82 Kecamatan tidak terpencil.

Dari tabel di atas dapat terlihat jumlah kecamatan yang dilayani oleh puskesmas di

kecamatan terpencil bervariasi dari 0,5 kecamatan (artinya satu kecamatan terdapat 2 puskesmas) di Puskesmas Taraweang, Pangkep hingga satu puskesmas yang melayani 2 kecamatan (Makasar, Jayapura, Wamena), dengan jumlah desa yang dilayani bervariasi dari 5 desa hingga 14 desa. Fasilitas Puskesmas pada daerah terpencil ini pada umunya juga didukung oleh keberadaan puskesmas pembantu (kecuali di Surade, Sukabumi), polindes dan Posyandu.

Tabel 4.12 berikut ini merupakan rangkuman dan kompilasi dari tabel sebelumnya dalam penyajian yang lebih memudahkan untuk membandingkan kondisi tenaga kesehatan di kecamatan terpencil dan tidak terpencil.

Secara umum, dapat dilihat bahwa jumlah kecamatan yang dilayani oleh setiap Puskesmas lebih banyak pada Puskesmas di kecamatan terpencil (1,21 kec/puskesmas). Hal dapat diartikan bahwa pada daerah terpencil cenderung lebih banyak kecamatan yang belum mempunyai puskesmas, sehingga satu puskesmas harus menjangkau dua kecamatan, walaupun begitu jumlah desa yang dijangkau oleh puskesmas di kecamatan terpencil rata-rata lebih kecil dibandingkan dengan kecamatan tidak terpencil.

43

Tabel 4.12 Perbandingan rata-rata distribusi tenaga dan fasilitas kesehatan di Kecamatan Terpencil dan Tidak terpencil

Kecamatan Terpencil

Kecamatan Tidak terpencil

Jumlah Kec yang dilayani per Puskesmas 1,21 0,90 Jumlah Desa yang dilayani per puskesmas 8,33 8,83 Jumlah Penduduk per Puskesmas 25.452 33.177 Ratio Puskesmas per 100.000 penduduk 3,93 3,01

Jumlah Penduduk per Pustu 10.908 12.889 Jumlah Penduduk Miskin per Puskesmas 5.357 8.051 Jumlah Desa yang mempunyai Bidan 0,75 0,75 Rasio Pustu per Puskesmas 2,33 2,57 Rasio Polindes per Puskesmas 2,42 3,06 Desa terpencil per Puskesmas 4,83 0,67

Demikian juga dengan jumlah penduduk yang harus dilayani di kecamatan terpencil

lebih kecil daripada kecamatan tidak terpencil. Hal ini menunjukkan bahwa beban puskesmas di daerah terpencil apabila dilihat dari jumlah penduduk yang dilayani tidak lebih besar dari puskesmas di kecamatan tidak terpencil. Tigaperempat desa di daerah terpencil mempunyai bidan, sama dengan daerah tidak terpencil. Rasio puskesmas per 100.00 penduduk di kecamatan terpencil yang lebih tinggi (3,93) di banding kecamatan tidak terpencil (3,01). Dibandingkan denga rata-rata nasional 3,46 angka ini menunjukkan bahwa rasio di kecamatan terpencil masih lebih baik

Namun demikian, kita harus lebih berhati-hati dalam menyikapi hal ini. Walaupun jumlah penduduk yang dilayani lebih sedikit dan rasio puskesmas terhadap jumlah penduduk lebih kecil, bukan berarti akses penduduk terhadap puskesmas di daerah terpencil lebih baik. Daerah yang digolongkan pada daerah terpencil pada umumnya adalah daerah yang sulit di capai dengan sarana tranportasi yang ada, baik karena topografi maupun keterbatasan sarana dan prasana tarnsportasi dan komunikasi. Wilayah administratif daerah terpencil pada umumnya lebih luas daripada daerah tidak terpencil. Hal ini mengakibatkan persebaran penduduk yang tidak merata serta sulit dijangkau oleh fasilitas pelayanan kesehatan. Sebagai ilustrasi, dari distrik Yaur ke Puskesmas Yeretuar di Nabire harus ditempuh selama 6 jam dengan transportasi laut/air; dari Yeretuar harus menempuh 2 jam perjalanan hingga ke Pustu Napan Yaur, dan dari Napar Yaur ke desa 2 jam (Pemda Nabire, 2004). Selain itu masih banyak daerah-daerah yang hanya dapat tempuh dengan transportasi air/ laut atau berjalan kaki berjam-jam lamanya hingga mencapai fasilitas pustu atau puskesmas. Dengan demikian akses penduduk pada daerah-daerah seperti ini sangat terbatas.

Yang relatif masih kurang di kecamatan terpencil adalah jumlah Pustu dan Polindes. Di kecamatan yang tidak terpencil rata-rata satu puskesmas didukung oleh 2,57 pustu dan 3,06 polindes; sementara di daerah terpencil masing-masing 2,33 pustu dan 2,43 polindes. Padahal, puskesmas kecamatan terpencil harus melayani 4,83 desa terpencil, sementara puskesmas di kecamatan tidak tepencil hanya melayani 0,67 desa terpecil. Dengan demikian beban kerja puskesmas di kecamatan terpencil sebenarnya lebih besar

44

dan memerlukan biaya operasional yang lebih tinggi di banding daerah tidak terpencil. Oleh karena itu, untuk mendekatkan akses masyarakat di daerah terpencil kepada fasilitas kesehatan, perlu dipertimbangkan upaya untuk meningkatkan jumlah pustu atau polindes di daerah seperti ini, tentunya dengan mempertimbangkan ketersediaan tenaga kesehatan yang tersedia.

Sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan atau mempertahankan jumlah tenaga kesehatan khususnya di kecamatan terpencil, perlu diperhatikan masalah insentif yang seharusnya lebih baik daripada petugas di kecamatan yang tidak terpencil. Hasil kajian ini justru menunjukkan bahwa insentif dari pemda lebih banyak diterima oleh tenaga di kecamatan tidak terpencil (93% tenaga kesehatan di kecamatan tidak terpencil menerima insentif dibandingkan dengan 64% pada tenaga kesehatan di daerah terpencil). Artinya sebanyak 36% tenaga kesehatan didaerah terpencil merasa tidak menerima insentif dari pemerintah.

Adapun bentuk insentif yang paling banyak diterima adalah insentif finansial, kemudian diikuti fasilitas (rumah, kendaraan, alat informasi, dan fasilitas lainnya), peningkatan status (karir, pangkat, pengangkatan PNS) dan percepatan masa bakti. Akan tetapi besar insentif yang diterima masih belum sesuai dengan harapan tenaga kesehatan, baik yang bekerja di kecamatan terpencil maupun tidak terpencil (77,9% responden dari kecamatan tidak terpencil dan 76% dari kecamatan terpencil menyatakan insentif yang diberikan tidak sesuai dengan harapan mereka).

Gambar 4.10. Persentase tenaga kesehatan yang mengharapkan peningkatan insentif dan jenis insentif yang diharapkan menurut keterpencilan kecamatan

92.6

62.3

66.2

20.3

15.2

6.1

8.7

0.4

4.8

92.3

69.2

59

15.4

20.5

10.3

5.1

0

12.8

0 20 40 60 80 100

Gaji/Tunjangan

Fasilitas (rumah, kendaraan, alat info, dll)

Peningkatan karir

Kemudahan ijin praktek

Kedekatan dengan keluarga

Akses ke fasilitas umum

Peluang bekerja di fasilitas kes. lain

Lingkungan sosial budaya

Lainnya

Persen Responden

Kec. TerpencilKec. Tidak Terpencil

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa 3 jenis insentif yang paling diharapkan oleh tenaga kesehatan, baik yang bertugas di kecamatan terpencil dan tidak terpencil, adalah gaji/tunjangan, fasilitas, dan peningkatan karir. Hampir semua tenaga kesehatan mengharapkan insentif gaji/tunjangan yang lebih baik. Sekitar 20,5% tenaga kesehatan di daerah terpencil juga mengharapkan adanya kedekatan dengan keluarga, namun hanya 15% saja yang mengharapkan kemudahan ijin praktek dan hanya 5,1% yang mengharapkan peluang bekerja di fasilitas kesehatan lainnya. Persentase ini lebih kecil dibandingkan dengan persentase tenaga kesehatan di daerah tidak terpencil, mengingat peluang untuk membuka praktek di luar atau bekerja di fasilitas kesehatan lain yang lebih kecil pada daerah terpencil.

Sebanyak 4 dari 10 tenaga kesehatan di kecamatan terpencil menyatakan mempunyai rencana untuk pindah ke wilayah lain. Sedangkan pada kecamatan yang tidak terpencil,

45

hanya 2 dari 10 yang mempunyai rencana untuk pindah ke wilayah lain. Alasan rencana kepindahan tenaga kesehatan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.13. Persentase tenaga kesehatan Puskesmas yang mempunyai rencana pindah dan alasan kepindahannya

Persentase Responden Alasan Kepindahan Kec. Tidak Terpencil Kec. Terpencil Insentif Yang Lebih Menarik 10,9 5,9 Pengembangan Karir 41,8 35,3 Dekat Dengan Keluarga 41,8 47,1 Keamanan 1,8 11,8 Peningkatan Pendidikan 0,4 2,6 Sekolah 0,4 2,6

Dua alasan utama rencana kepindahan adalah kedekatan dengan keluarga dan pengembangan karir, baik bagi tenaga di kecamatan terpencil maupun tidak terpencil. Sedangkan insentif yang lebih menarik hanya menjadi alasan bagi 10,9% bagi tenaga di kecamatan tidak terpencil dan 5,9% di kecamatan tidak terpencil. Yang menarik diperhatikan adalah kenyataan walaupun hampir semua tenaga kesehatan mengharapkan peningkatakan insentif finansial, namun insentif bukan menjadi alasan utama rencana kepindahan. Hal terjadi kemungkinan karena pindah ke daerah baru tidak menjamin adanya peningkatan insentif yang lebih baik. Akan tetapi justru kedekatan keluarga dan pengembangan karir menjadi lebih penting bagi tenaga kesehatan baik di daerah terpencil maupun tidak terpencil. Di kecamatan terpencil, masalah keamanan masih menjadi kendala yang cukup besar dan menjadi alasan tenaga kesehatan Puskesmas untuk pindah ke lokasi lain.

Sebagai rangkuman, secara umum dapat dikatakan bahwa situasi ketenagaan di kabupaten tertinggal dan kecamatan terpencil ditandai dengan rasio tenaga kesehatan per puskesmas yang lebih kecil, jangkauan desa terpencil yang dilayani lebih luas, proporsi PNS yang lebih sedikit dan honor daerah dan PTT yang lebih tinggi, dukungan pustu dan polindes yang lebih sedikit, harapan terhadap insentif finansial, fasilitas dan peningkatan karir yang sangat tinggi, serta rencana kepindahan yang lebih tinggi.

D. Distribusi Tenaga Kesehatan di Puskesmas di Kapasitas Fiskal Daerah Pada kajian ini, menurut pembagian kemampuan fiskal oleh KMK Menteri

Keuangan No. 538 tahun 2002 (Depkeu, 2002), kab/kota lokasi penelitian dengan kapasitas fiskal tinggi terdapat 2 Kab/kota, kapasitas fiskal sedang 9 kab/kota dan kapasitas fiskal rendah 21 kab/kota.

Pada Tabel 4.14 di bawah ini ditampilkan perbandingan ketersediaan tenaga puskesmas di daerah dengan fiskal kapasitas rendah, sedang dan tinggi pada lokasi kajian.

Dari tabel tersebut terlihat bahwa ketersediaan tenaga di Puskesmas menurut persepsi responden di daerah dengan fiskal kapasitas rendah, sedang dan tinggi relatif sama yaitu masih mengalami kekurangan, dengan persentase tertinggi pada daerah dengan fiskal kapasitas rendah (65%).

46

Tabel 4.14. Ketersediaan tenaga Puskesmas di daerah menurut kapasitas fiskal Responden di daerah fiskal kapasitas (%) Ketersediaan Tenaga di

Puskesmas Rendah Sedang Tinggi Kurang 65.5 33.3 52.6 Cukup 31.0 33.3 42.1 Berlebih 3.4 33.3 5.3

Sedangkan insentif yang diberikan oleh Pemda terhadap tenaga puskemas terutama

diberikan pada tenaga kesehatan puskesmas yang terletak pada daerah dengan fiskal kapasitas rendah. Hal ini terbukti dari hasil analisis bahwa insentif dari Pemda yang diterima tenaga kesehatan Puskesmas pada daerah fiskal kapasitas rendah lebih tinggi yaitu 62,6%, sedangkan pada daerah fiskal kapasitas sedang dan tinggi, masing-masing 57,8% dan 59% tenaga yang menerima insentif.

Adapun jenis insentif yang paling banyak diterima adalah insentif dalam bentuk finansial, fasilitas (rumah, kendaraam,dll), dan peningkatan status (karir, pangkat, dll) pada semua responden di daerah dengan fiskal kapasitas rendah, sedang, maupun tinggi. Secara rinci besarnya persentase masing-masing jenis insentif ditampilkan pada tabel 4.15.

Tabel 4.15 Insentif yang diterima tenaga kesehatan dari Pemda menurut kapasitas fiskal daerah

Responden di daerah fiskal kapasitas (%) Insentif yang Diterima dari Pemda rendah sedang tinggi

Finansial 82.0 88.5 100.0 Fasilitas (rumah, kendaraan, alat infomasi, dll) 30.9 26.9 33.3 Peningkatan Status (karir, pangkat, pengangkatan PNS) 7.9 15.4 33.3

Percepatan masa Bakti 0.0 7.7 0 Lainnya 1.4 0 0

Insentif yang diterima oleh tenaga kesehatan di puskesmas ternyata masih belum memenuhi harapan baik yang bermukim di daerah dengan fiskal kapasitas tinggi, sedang, maupun rendah yaitu masing-masing 33,3%, 17,8%, dan 19,9%. Sedangkan jenis insentif yang paling diharapkan oleh tenaga kesehatan adalah gaji/tunjangan, pengingkatan karir dan fasilitas (rumah, kendaraan, dan lain-lain). Secara rinci jenis insentif yang diharapkan oleh tenaga kesehatan di puskesmas ditampilkan pada tabel 4.16.

Tabel 4.16 Persentase tenaga kesehatan yang mengharapkan insentif dan jenis insentif yang diharapkan

Responden di daerah fiskal kapasitas (%) Janis Insentif yang Diharapkan rendah sedang tinggi

Gaji/Tunjangan 93.6 86.7 100.0 Peningkatan Karir 68.0 53.3 50.0 Fasilitas (rumah, kendaraan, alat info, dll) 64.4 60.0 50.0 Kemudahan Ijin Praktek 20.1 17.8 16.7 Kedekatan Dengan Keluarga 17.8 8.9 0.0 Akses Ke Fasilitas Umum 7.8 2.2 0.0 Peluang Bekerja Di Fasilitas Kes. Lain 5.0 20.0 33.3 Lingkungan Sosial Budaya 0.5 0.0 0.0 Lainnya 5.0 11.1 66.7

47

Rencana untuk pindah tenaga kesehatan di puskesmas, tenyata banyak disampaikan oleh responden tenaga kesehatan yang tinggal pada daerah wilayah dengan fiskal kapasitas sedang sebanyak 66,7%, disusul daerah dengan fiskal kapasitas rendah 26,7% dan terakhir daerah dengan fiskal kapasitas tinggi 25,6%.

Alasan kepindahan tenaga kesehatan sebagian besar untuk yang tinggal di daerah dengan fiskal kapasitas sedang dan tinggi yaitu pengembangan karir (50 % dan 41,7%) sedangkan di daerah dengan fiskal kapasitas rendah adalah dekat dengan keluarga (50%). Secara rinci alasan kepindahan tenaga kesehatan di puskesmas ditampilkan pada tabel 4.17.

Tabel 4.17. Alasan Rencana Kepindahan Tenaga Kesehatan di Puskesmas

Responden di daerah fiskal kapasitas (%) Alasan Pindah Rendah sedang tinggi Pengembangan Karir 37.50 50.0 41.7 Dekat Dengan Keluarga 50.00 11.1 25.0 Insentif Yang Lebih Menarik 8.93 11.1 16.7 Keamanan 1.79 11.1 0.0 Lainnya 1.79 16.7 16.7

E. Pembinaan Karir Tenaga Kesehatan

Pembinaan karir tenaga kesehatan antara lain dapat berupa peningkatan kemampuan teknis dan kemampuan manajerial, adannya peluang untuk menduduki jabatan tertentu, adanya peluang untuk tour of duty dan tour of area, serta pemberian insentif yang tepat.

Peningkatan kemampuan teknis selain dapat diperoleh melalui pendidikan formal, dan berbagai pelatihan baik pelatihan teknis fungsional maupun pelatihan manajemen. Berdasarkan data survei, frekuensi pelatihan pertahun yang paling banyak diikuti oleh petugas Puskesmas adalah 1-3 kali (51,9%), dan 6-10 kali ( 25,1%).

Tabel 4.18. Frekwensi Pelatihan Yang Pernah Diikuti Responden

No. Frekwensi Pelatihan Jumlah % 1 1-3 kali 95 51.9 2 4-5 kali 34 18.6 3 6-10 kali 46 25.1 4 Lebih dari 10 kali 8 4.4

Jumlah 100.0

Selanjutnya, jika dirinci menurut jenis pelatihan yang diikuti, sebagian besar (66,40%) mengikuti pelatihan teknis fungsional, sedangkan sisanya adalah pelatihan manajemen.

Jenis pelatihan teknis fungsional yang diikuti antara lain mengenai pelatihan keperawatan, imunisasi, penyakit menular, kesehatan reproduksi, KIA, sanitasi, dan gizi. Sedangkan pelatihan manjemen antara lain meliputi pelatihan manajemen puskesmas, Puskesmas Pembantu (Pustu), pengadaan barang dan jasa, dan manajemen mutu. Dilihat dari frekwensi pelatihan dapat diasumsikan bahwa kegiatan pembinaan karir melalui

48

pelatihan relatif memadai. Begitu pula halnya dengan jenis pelatihan yang dilakukan sudah menunjang tugas pelayanan kesehatan yang menjadi tugas pokok Puskesmas.

Pembinaan karir juga dapat dilihat dari peluang untuk memperoleh jabatan di Puskesmas. Sebagian besar responden (61,5%) menyatakan bahwa untuk menduduki jabatan Kepala Puskesmas latar belakang pendidikan yang diperlukan adalah dokter, dan sekitar 36,7 % menyatakan Sarjana Kesehatan Masyarakat, sisanya sarjana lain. Pendapat ini sudah menunjukkan kecenderungan yang berbeda dengan beberapa waktu yang lalu bahwa Puskesmas harus dipimpin oleh seorang dokter. Saat ini di beberapa daerah, Puskesmas telah dipimpin oleh Sarjana Kesehatan Masyarakat.

Tabel 4.19. Persepsi Responden Tentang Latar Belakang Pendidikan Jabatan Kepala Puskesmas

No. Latar Belakang Pendidikan Jumlah % 1 Dokter 166 61.5 2 Sarjana Kesehatan Masyarakat 99 36.7 3 Lainnya 5 1.9

Jumlah 270 100

Tour of duty (pindah tugas) dan tour of area (pindah tempat) merupakan salah satu instrumen untuk pembinaan pegawai. Data survei menunjukkan bahwa dari keseluruhan responden, sebagian besar (73%) menyatakan tidak merencanakan untuk pindah, sedangkan sisanya (27%) merencanakan akan pindah. Dari responden yang menyatakan akan pindah, sebagian besar (69%) menyatakan akan pindah setelah dua tahun. Pertimbangan untuk pindah tempat kerja yang disampaikan oleh responden sebagian besar adalah alasan dekat dengan keluarga (43,1%) dan pengembangan karir (40,3%).

Tabel 4.20. Alasan Pindah Tenaga Kesehatan Puskesmas

No. Alasan Pindah Jumlah % 1 Insentif Yang Lebih Menarik 7 9.7 2 Pengembangan Karir 29 40.3 3 Dekat Dengan Keluarga 31 43.1 4 Keamanan 1 1.4 5 Lainnya 4 5.6

Jumlah 100.0

Dari data tersebut nampak bahwa perpindahan tenaga antarpuskesmas tidaklah mudah, mungkin hal ini karena hambatan administrasi.

Pemberian insentif yang tepat sesuai kebutuhan merupakan salah satu instrumen pembinaan pegawai. Data survei menunjukkan terdapat tiga jenis insentif yang paling diharapkan oleh petugas Puskesmas di seluruh lokasi kajian diperoleh dari Pemerintah Daerah yaitu berupa pemberian gaji/tunjangan yang lebih baik, peningkatan karir, dan penyediaan fasilitas (antara lain perumahan, kendaraan, aperalatan komunikasi). Insentif lainnya yang diharapkan dapat diperoleh adalah kemudahan mendapatkan izin praktek dan kedekatan dengan keluarga.

49

Tabel 4.21. Insentif Yang Paling Banyak Diharapkan oleh Responden dari Pemda

No. Harapan Insentif Jumlah % 1 Gaji/Tunjangan 250 92.6 2 Peningkatan Karir 176 65.2 3 Fasilitas (rumah, kendaraan, alat info, dll) 171 63.3 4 Kemudahan Ijin Praktek 53 19.6 5 Kedekatan Dengan Keluarga 43 15.9 6 Peluang Bekerja Di Fasilitas Kes. Lain 22 8.1 7 Akses Ke Fasilitas Umum 18 6.7 8 Lainnya 16 5.9 9 Lingkungan Sosial Budaya 1 0.4

Sedangkan bagi tenaga kesehatan yang ditempatkan di daerah terpencil, jenis insentif khusus yang paling banyak diharapakan adalah insentif finansial, fasilitas (antara lain perumahan, kendaraan), dan peningkatatan status kepegawaian (misalnya kenaikan pangkat, pengangkatan sebagai CPNS) serta adanya percepatan masa bakti.

F. Tanggapan Masyarakat

Data dan informasi tentang tanggapan masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan oleh Puskesmas diperoleh dari data sekunder yang berasal dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2004 substansi kesehatan dan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2004.

Dalam Susenas 2004 dikumpulkan informasi tentang pemanfaatan fasilitas kesehatan dan penilaian nasyarakat tentang ketanggapan (responsiveness) pelayanan rawat jalan dan rawat inap. Ketanggapan terhadap rawat jalan meliputi tiga domain yaitu:

1. Lama waktu menunggu untuk mendapatkan pelayanan (setelah pendaftaran sampai mendapat pelayanan)

2. Kepuasan pelayanan kesehatan yang meliputi kepuasan terhadap sikap tenaga kesehatan dalam mengobati/ memeriksa, ketersediaan/ kelengkapan peralatan kesehatan dan obat-obatan yang diberikan

3. Penjelasan petugas tentang semua hal yang berkaitan dengan penyakit termasuk memberi kesempatan kepada responden untuk bertanya pada petugas jika informasi yang diberikan tidak jelas.

Pada survei tersebut ditemukan, penduduk yang mengeluh sakit sebulan terakhir sebanyak 27%. Diantara penduduk yang mengeluh sakit, sebesar 39 % melakukan rawat jalan. Dari mereka yang rawat jalan, fasilitas pelayanan kesehatan yang paling banyak dimanfaatkan adalah Puskesmas (40%), praktek dokter (28%) dan praktek perawat dan bidan (25%), sedangkan ke RS Pemerintah (5%). Puskesmas dan Pustu lebih banyak dimanfaatkan oleh penduduk yang bemukim di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Persentase tertinggi untuk lama waktu tunggu kurang dari 30 menit adalah praktek petugas kesehatan (85%), Poliklinik (69%). Terdapat 5-13% yang memerlukan waktu tungggu lebih dari 60 menit yaitu di Puskesmas/Pustu, Rumah Sakit dan praktek dokter. Persentase responden yang menyatakan sangat puas/puas terhadap pelayanan rawat jalan berkisar antara 54-79%. Proporsi terbesar yang menyatakan sangat puas/puas adalah mereka yang

50

memanfaatkan pelayanan rawat jalan di RS Swasta (79%), praktek dokter (76%), Poliklinik (70%) dan RS Pemerintah (68%), sedangkan di Puskesmas/Pustu (55,5%). Pemberian penjelasan petugas kesehatan tentang penyakit menurut fasilitas kesehatan dinilai sangat jelas/jelas berkisar antara 40-72%. Proporsi terbesar responden yang menyatakan pemberian penjelasan sangat jelas/jelas adalah RS Swasta (72%), diikuti praktek dokter (70%), RS Pemerintah (67%), Poliklinik (67%) dan Puskesmas/Pustu (52%).

Dapat disimpulkan, menurut survei ini ketanggapan Puskesmas/Pustu yang diukur melalui tiga domain yaitu lama waktu tunggu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, kepuasan pelayanan kesehatan, dan penjelasan petugas kesehatan yang berkaitan dengan penyakit, masih rendah jika dibandingkan dengan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.

Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2004, menunjukkan sebagian besar penduduk (94%) usia 15 tahun atau lebih mendapatkan pelayanan rawat jalan. Fasilitas yang diminati pada saat membutuhkan pelayanan rawat jalan adalah Puskesmas (36%), praktek tenaga kesehatan lain (24%) dan praktek dokter (23%). Kepuasan dalam pelayanan kesehatan pada rawat jalan dan rawat inap dinilai dari 8 aspek pengalaman reponden yaitu: (1) Lama waktu menunggu, (2) Keramahan petugas dalam menyapa dan berbicara, (3) Kejelasan petugas menerangkan segala sesuatu, (4) Keikutsertaan responden dalam pengambilan keputusan, (5) Dapat berbicara pribadi dengan petugas kesehatan, (6) Kebebasan memilih fasilitas dan petugas kesehatan, (7) Kebersihan ruang termasuk kamar mandi, dan (8) Kemudahan dikunjungi keluarga, teman pada saat dirawat.

Pada rawat jalan persentase tertinggi untuk pengalaman/ketanggapan kurang baik adalah tidak dapat ikut mengambil keputusan tentang perawatan kesehatan dan pengobatan (33%), tidak puas berbicara secara pribadi dan tidak ada kebebasan memilih fasilitas serta tenaga kesehatan (27%) dan lama waktu menunggu (26%).

Dari kedua survei tersebut dapat disimpulkan bahwa ketanggapan Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan, khusunya kegiatan rawat jalan memberikan gambaran yang kurang memuaskan bagi masyarakat yang dilayaninya.

G. Peran Puskesmas Bagi Penduduk Miskin.

Kajian tentang peran Puskesmas dalam pelayananan kesehatan bagi penduduk miskin telah banyak dilakukan, dua diantaranya dilakukan oleh Sudiro (1999) dan Bappenas (2004).

Penelitian Sudiro (1999) dilakukan untuk melihat pelayanan pelayanan kesehatan di Puskesmas untuk keluarga miskin. Pada saat itu pemerintah sedang melaksanakan Program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPSBK) sebagai respons terhadap krisis ekonomi. Dalam penelitiannya di 69 Puskesmas di Jawa Timur, menunjukkan sebesar 80% keluarga miskin telah mendapatkan Kartu Sehat (KS), kunjungan ke Puskesmas meningkat setiap bulannya yang disebabkan berkurangnya hambatan biaya untuk berobat. Dari sekitar 14% keluarga miskin yang sakit dalam satu bulan terakhir, 86% diantaranya mencari pengobatan ke Puskesmas. Hampir seluruh keluarga miskin yang berobat merasa puas terhadap pelayanan yang diberikan. Dari segi tenaga dapat disimpulkan, rata-rata jumlah tenaga Puskesmas masih belum bekerja lebih berat dengan dilaksanakannya program JPSBK.

51

Penelitian Bappenas (2004), antara lain menilai kinerja program pelayanan kesehatan untuk keluarga miskin terutama yang dilaksanakan melalui Program JPSBK/PKPS-BBM. Salah satu indikator kinerja yang digunakan adalah jumlah kunjungan per keluarga miskin (gakin) per tahun ke fasilitas pelayanan kesehatan. Kunjungan gakin ini merupakan salah satu sasaran utama dalam program pelayanan penduduk miskin dengan tujuan untuk mempertahankan atau bahkan bila mungkin meningkatkan akses masyarakat miskin kepada pelayanan kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa contact rate penduduk miskin adalah sekitar 0,5 kunjungan per orang per tahun. Angka ini kurang lebih sama dengan contact rate penduduk secara umum yang dihitung atas dasar analisis data Susenas. Dengan demikian secara umum dapat dikatakan bahwa program JPSBK/PKPS-BBM dapat mempertahankan akses penduduk miskin kepada pelayanan kesehatan, sama dengan akses penduduk secara umum.

Dari kedua studi tersebut dapat disimpulkan bahwa peranan Puskesmas dalam memelihara akses penduduk miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dasar melalui pelaksanaan prgram JPSBK/PKPS-BBM cukup efektif.

Pada tahun 2005, kebijakan pelayanan kesehatan bagi gakin yang dilaksanakan melalui Puskesmas pada prinsipnya melanjutkan kebijakan tahun-tahun sebelumnya. Yang berbeda adalah pelayanan kesehatan di RS yang dalam pelaksanaannya bekerjasama dengan PT. Askes. Perubahan kebijakan dan efektivitasnya perlu dikaji lebih lanjut.

52

BAB V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

1. Secara nasional dilihat dari rasio terhadap jumlah penduduk, tenaga kesehatan di Indonesia masih belum mencukupi. Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, rasio ini juga masih jauh tertinggal. Sebagian besar tenaga kesehatan berlokasi di Jawa dan Bali, namun jika dilihat dari rasio per penduduk, khususnya untuk tenaga dokter umum Rumah Sakit dan Puskesmas, distribusinya lebih menyebar. Tiga provinsi dengan rasio tertinggi adalah Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Bali. Sedangkan tiga provinsi dengan rasio terendah adalah Jawa Barat, Banten, dan NTB.

2. Kebijakan nasional tentang tenaga kesehatan telah disusun dalam bentuk peraturan perundang-undangan, meliputi aspek perencanaan kebutuhan, pengadaan, serta penempatan. Daerah juga telah melakukan perencanaan untuk hampir semua jenis tenaga. Namun lebih dari separuh (52,6%) Kabupaten/Kota lokasi kajian tidak menerapkan Kepmenkes No.61/2004 mengenai pedoman perencanaan, dengan alasan utama kurangnya sosialisasi, terbatasnya data dan informasi, dan terbatasnya kapasitas perencana. Pada kabupaten yang menggunakan pedoman dua metoda yang paling banyak digunakan adalah Ratio Method dan Health Services Demand Method.

3. Dari 35 kab/kota lokasi kajian, terdapat kekurangan 66,1% tenaga kesehatan di puskesmas, pada semua jenis tenaga kesehatan, dengan persentase tertinggi pada Sarjana Kesehatan Masyarakat, Laboran dan Sanitarian. Masalah yang dihadapi terutama adalah keterbatasan formasi dan keterbatasan dana. Menghadapi kekurangan ini sebagian besar kab/kota mengusulkan kebutuhan tenaga ke Pemerintah Pusat. Kekurangan tenaga juga dirasakan oleh 58,2 % puskesmas di lokasi penelitian.

4. Terdapat kesenjangan antara jumlah (di 46% kab/kota) dan jenis (36% kab/kota) tenaga yang diusulkan dengan formasi yang tersedia. Formasi yang tersedia, sebagian besar (52,6% kab/kota) ditentukan bersama oleh Dinas Kesehatan dan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) dan sepertiga (31,6% kab/kota) merupakan wenangan BKD

5. Kriteria utama penempatan dokter umum dan bidan adalah puskesmas yang tidak mempunyai dokter dan desa yang tidak mempunyai bidan. Permasalahan dapat timbul jika penempatan tidak sesuai dengan usulan, karena kurangnya koordinasi antara Dinas Kesehatan dengan BKD. Proses pengadaan dan penempatan yang kurang memuaskan juga dirasakan separuh dari responden.

6. Sebagian besar responden tenaga kesehatan di puskesmas (70,6%) menyatakan kesesuaian antara latar belakang pendidikan dengan tugas di puskesmas. Hal ini berarti tidak semua lulusan pendidikan tenaga kesehatan secara otomatis langsung dapat menjalankan tugas dan fungsinya di puskesmas, tetapi masih memerlukan orientasi/adaptasi ataupun pelatihan di puskesmas.

7. Secara umum situasi ketenagaan di daerah tertinggal dan terpencil ditandai dengan rasio tenaga kesehatan per puskesmas yang lebih kecil, jangkauan desa terpencil yang dilayani lebih luas, proporsi pegawai PNS yang lebih sedikit dan pegawai honor daerah dan PTT yang lebih tinggi, dukungan pustu dan polindes yang lebih sedikit, harapan terhadap insentif finansial, fasilitas dan peningkatan karir yang sangat tinggi, serta rencana kepindahan yang lebih tinggi.

53

8. Sebagian besar responden (61,5%) menyatakan bahwa untuk menduduki jabatan Kepala Puskesmas latar belakang pendidikan yang diperlukan adalah dokter, dan sekitar 36,7% menyatakan Sarjana Kesehatan Masyarakat, sisanya sarjana lain. Pendapat ini sudah menunjukkan kecenderungan yang berbeda dengan beberapa waktu yang lalu bahwa Puskesmas harus dipimpin oleh seorang dokter. Saat ini di beberapa daerah, Puskesmas telah dipimpin oleh Sarjana Kesehatan Masyarakat.

9. Ketanggapan Puskesmas/Pustu yang diukur melalui tiga domain yaitu lama waktu tunggu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, kepuasan pelayanan kesehatan, dan penjelasan petugas kesehatan yang berkaitan dengan penyakit, masih rendah jika dibandingkan dengan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.. Ketanggapan Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan, khususnya kegiatan rawat jalan memberikan gambaran yang kurang memuaskan bagi masyarakat yang dilayaninya.

10. Peranan Puskesmas dalam memelihara akses penduduk miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dasar melalui pelaksanaan program JPSBK/PKPS-BBM cukup efektif. Perubahan kebijakan dalam pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin dan efektivitasnya perlu dikaji lebih lanjut.

11. Terdapat tiga jenis insentif yang paling diharapkan oleh petugas Puskesmas diperoleh dari Pemerintah Daerah yaitu berupa pemberian gaji/tunjangan yang lebih baik, peningkatan karir, dan penyediaan fasilitas (antara lain perumahan, kendaraan, peralatan komunikasi). Insentif lainnya yang diharapkan dapat diperoleh adalah kemudahan mendapatkan izin praktek dan kedekatan dengan keluarga.

B. Rekomendasi

1. Untuk mengatasi berbagai kendala dalam perencanaan ketenagaan di daerah, pemerintah pusat dan propinsi dapat membantu dalam sosialisasi metode perencanaan, peningkatan kapasitas perencana dan pengumpulan data dan informasi. Pemerintah daerah perlu melakukan pembagian tugas yang jelas, dan menyediakan pendanaan.

2. Perlu dimantapkan keterkaitan perencanaan, pengadaan dan penempatan tenaga agar tercapai keserasian antara kebutuhan, pendayagunaan tenaga dan penyediaan tenaga, misalnya dengan menajwab dua persamalah utama pengadaan tenaga kesehatan yaitu terbatasnya formasi dan terbatasnya dana.

3. Untuk peningkatan akses masyarakat kepada tenaga dan fasilitas kesehatan di daerah terpencil, perlu dipetimbangkan kemungkinan untuk memperbanyak pustu dan polindes.

4. Hingga saat ini masih banyak puskesmas yang belum mempunyai dokter, sehingga kriteria penempatan yang digunakan daerah biasanya berdasarkan pada kekosongan tenaga dokter di Puskemas. Oleh karena itu secara nasional kebijakan untuk pengadaan dokter Puskesmas ini dapat dijadikan suatu prioritas.

5. Untuk meningkatkan atau mempertahankan tenaga kesehatan di kecamatan terpencil, perlu diperhatikan masalah insentif yang seharusnya lebih baik daripada petugas di kecamatan yang tidak terpencil, termasuk fasilitas (rumah, alat) serta kemudahan karir.

6. Perlu dikembangkan sistem informasi tenaga kesehatan secara terpadu dan menyeluruh dalam rangka memanfaatkan data ketenagaan untuk perencanaan kebutuhan dan penyediaan tenaga kesehatan.

54

7. Dalam rangka menjamin mutu tenaga kesehatan perlu dikembangkan upaya peningkatan mutu institusi pendidikan dan peran serta organisasi profesi serta masyarakat lainnya, terutama dalam sertifikasi, registrasi dan lisensi tenaga kesehatan

8. Ketanggapan pelayanan Puskesmas terhadap masyarakat perlu ditingkatkan melalui pemberian informasi yang baik, pelibatan pasien untuk pengambilan keputusan, kebebasan memilih fasilitas kesehatan dan mempercepat waktu tunggu.

55

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan RI. 2004. Sistem Kesehatan Nasional

2. Departemen Kesehatan RI. 1999. Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010

3. Departemen Kesehatan RI. 2005. Analisis Situasi dan Kecenderungan Pembangunan Kesehatan 2000-2005 (Rancangan 12 Desember 2005)

4. Departemen Kesehatan RI. 2005. Rencana Strategis Departemen Kesehatan 2005-2009

5. Departemen Kesehatan RI. 2004. Keputusan Menteri Kesehatan RI No.81/ Menkes/SK/I/2004 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan Sumberdaya Manusia Kesehatan Di Tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota Serta Rumah Sakit

6. Departemen Kesehatan RI. 2005. Profil Kesehatan Indonesia 2003.

7. Departemen Kesehatan RI. 2005. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2004-Subtansi Kesehatan. Jakarta: Badan Litbangkes, 2005

8. Departemen Kesehatan RI.2005. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2004. Jakarta: Badan Litbangkes, 2005.

9. Abdurachman. 2005. Permasalahan Pendayagunaan Tenaga Kesehatan (Makalah disampaikan pada Pertemuan Kebijakan Perencanaan Tenaga Bidang Kesehatan di Hotel Jayakarta, Jakarta, 4 Agustus 2005)

10. Ruswendi, D. 2005. Kebijakan Penempatan Tenaga Kesehatan di Institusi Pelayanan Kesehatan. (Makalah disampaikan pada Pertemuan Kebijakan Perencanaan Tenaga Bidang Kesehatan di Hotel Jayakarta, Jakarta, 4 Agustus 2005)

11. Soeparan, S. 2005. Kebijakan Pengadaan Tenaga Kesehatan Melalui Pendidikan Tenaga Kesehatan. (Makalah disampaikan pada Pertemuan Kebijakan Perencanaan Tenaga Bidang Kesehatan di Hotel Jayakarta, Jakarta, 4 Agustus 2005

12. Suseno, Untung. 2005. Kebijakan Perencanaan Kebutuhan Tenaga Kesehatan. (Makalah disampaikan pada Pertemuan Kebijakan Perencanaan Tenaga Bidang Kesehatan di Hotel Jayakarta, Jakarta, 4 Agustus 20050

13. Badan Pusat Statistik (BPS). 2004. Statistis Kesejahteraan Rakyat 2004.

14. BPS dan ORC Macro. 2003. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2002-2003.

15. Republik Indonesia. 2005. Peraturan Presiden RI No.7 Tahun 2005 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009

16. Bappenas. 2004. Laporan Kajian Kebijakan Perencanaan dan Pembiayaan: Pelayanan Kesehatan Bagi penduduk Miskin.

17. Sudiro. 1999. Pelayanan Kesehatan Puskesmas Dalam Program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPSBK). Jurnal Kedokteran dan Farmasi Medika, Ed. Khusus, September 1999.

18. Departemen Kesehatan RI. 2004. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1199/Menkes/Per/X/2004 Tentang Pedoman Pengadaan Tenaga Kesehatan Dengan Perjanjian Kerja di Sarana Kesehatan Milik Pemerintah.

56

19. Departemen Kesehatan RI. 2004. Keputusan Menteri Kesehatan RI No.850/Menkes/SK/V/2000 tentang Kebijakan Pengembangan Tenaga Kesehatan Tahun 2000-2010

20. Direktorat Kesehatan Komunitas, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan RI. 2004. Data Dasar Puskesmas Tahun 2004.

21. Departemen Keuangan. 2002. Keputusan Menteri Keuangan No. 538 tahun 2002 tentang Kapasitas Fiskal

22. Pemerintah Indonesia. Laporan Pertama Tujuan Pembangunan Millenium. 2004

23. Pusat Kajian Pembangunan Kesehatan, Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan. 2004. Kajian Kebijakan Pendayagunaan Tenaga Kesehatan

24. Republik Indonesia. 1996. Peraturan Pemerintah RI Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan

25. Pemda Kabupaten Nabire. 2004. Laporan Pelaksanaan Tugas Dinas Kesehatan Tahun 2004.

57

Halaman belakang

Tenaga kesehatan merupakan salah satu pilar atau sub sistem kesehatan nasional, yang sangat penting artinya dalam upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Saat Indonesia masih mengalami kekurangan tenaga kesehatan baik dalam hal jenis maupun jumlahnya. Hal ini semakin diperburuk dengan distribusi tenaga kesehatan yang masih belum merata.

Apa yang dipaparkan dalam buku ini, merupakan hasil kajian tentang kebijakan perencanaan tenaga kesehatan di berbagai propinsi dan kabupaten pada tahun 2005. Kajian mencoba menengok kebijakan tenaga kesehatan di tingkat kabupaten/kota, distribusi tenaga di wilayah tertinggal dan terpencil, mutu, kendala-kendala yang dihadapi, dan upaya-upaya yang telah dilakukan.

Banyak hal menarik yang muncul dari kajian ini baik yang menguatkan maupun yang bertolak belakang dengan berbagai asumsi dan data yang ada, khususnya di tingkat nasional. Hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi Bappenas dan atau instansi pemerintah lainnya dalam mempertajam penyusunan kebijakan pembangunan kesehatan khususnya di bidang ketenagaan kesehatan di masa mendatang.