Upload
hoangnhi
View
239
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Kajian Kearifan Lokal Masyarakat
Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Di Daerah Aliran Anak Sungai Sebangau
Wilayah Kota Palangka Raya Untuk Menunjang Pelestarian Taman Nasional Sebangau
Abdul Hadjranul Fatah
Abdul Mun’im
Arifin
PALANGKA RAYA 2014
KATA PENGANTAR
Kearifan lokal merupakan nilai-nilai yang telah tumbuh dan
berkembang di masyarakat secara turun temurun pada masyarakat yang
mendiami suatu kawasan. Hal serupa juga terdapat pada masyarakat Dayak
yang mendiami daerah aliran sungai Sabangau. Salah satu pemukiman
penting di daerah aliran sungai Sabangau adalah kawasan Kereng Bangkirai.
Masyarakat yang mendiami kawasan ini merupakan pengguna utama dua
anak sungai Sabangau di dalam kawasan Taman Nasional Sebangau yang
masuk wilayah Kota Palangka Raya. Kedua sungai tersebut adalah sungai
Koran dan sungai Bakung.
Hingga sekarang masyarakat Kereng Bangkirai masih komitmen
menerapkan nilai-nilai kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam.
Penerapan nilai-nilai kearifan lokal telah terbukti dapat melestarikan
sumber daya alam pada kedua sungai tersebut secara turun temurun. Hal ini
dapat menjadi modal utama dalam upaya melestarikan sumber daya alam di
wilayah kedua sungai tersebut yang sekarang telah ditetapkan sebagai
kawasan konservasi dalam Taman Nasional Sebangau. Modal dasar ini
dapat bersinergi dengan konsep pengelolaan kolaborasi dalam Taman
Nasional yang merupakan terobosan baru Departemen Kehutanan.
Pengelolaan kolaboratif diharapkan dapat menunjang terselenggaranya asas
lestari dan asas manfaat dalam pola hubungan antara Taman Nasional
Sebangau dengan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan Taman
Nasional Sebangau.
Laporan hasil studi ini memuat hasil kajian yang difokuskan pada
nilai-nilai kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam di
wilayah sungai Koran dan Sungai Bakung. Hasil kajian ini diharapkan
dapat menjadi modal awal dalam merumuskan dan mengembangkan
kearifan lokal yang dapat digunakan sebagai acuan dalam pengelolaan
sumber daya alam untuk menunjang pelestarianTaman Nasional
Sebangau. Semoga kajian ini memberikan manfaat bagi berbagai pihak
yang peduli dengan pelestarian Taman Nasional Sebangau yang berbasis
asas lestari dan asas manfaat.
Tim peneliti menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada Program Manager Yayasan WWF Indonesia
Kalimantan Tengah, Ibu Rosenda Chandra Kasih, yang telah membiayai
penelitian ini. Ucapan terima kasih secara khusus juga disampaikan kepada
seluruh staf Yayasan WWF Indonesia Kalimantan Tengah, terutama Bapak
Didiek Surjanto, Dadang Riansyah, dan Suwanto yang telah meluangkan
waktu dan memberikan arahan bagi Tim Peneliti untuk suksesnya
penelitian ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Badan
Pengelola Taman Nasional Sebangau yang memfasilitasi sehingga kegiatan
penelitian ini dapat terlaksana dengan lancar.
Secara khusus tim peneliti menyampaikan terima kasih dan
penghargaan kepada seluruh responden yang telah bersedia menjadi nara
sumber dalam penelitian ini, yakni Damang Adat Kecamatan Sebangau
Bapak Basel A. Bangkan, Ketua Formas Sebangau, Bapak Sabran Usin,
S.H, para tetua sungai dan segenap responden yang tidak dapat disebutkan
satu persatu.
Palangka Raya, Februari 2014
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................................................. 1
B. Tujuan........................................................................................................................... 5
C. Output Penelitian.......................................................................................................... 6
BAB II PELAKSANAAN PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian........................................................................................ 7
B. Responden.................................................................................................................... 7
C. Teknik Pengumpulan Data........................................................................................... 8
BAB III PROFIL SUNGAI
A. SUNGAI KORAN........................................................................................................ 11
1. Sejarah Nama & Pengelolaan Sungai Koran........................................................... 11
2. Potensi Sumber Daya Alam (SDA).......................................................................... 12
a) Potensi Sumber Daya Kehutanan........................................................................ 12
b) Potensi Sumber Daya Perikanan......................................................................... 12
B. SUNGAI BAKUNG..................................................................................................... 13
1. Sejarah Nama & Pengelolaan Sungai Bakung........................................................ 13
2. Potensi Sumber Daya Alam (SDA).......................................................................... 14
a) Potensi Sumber Daya Kehutanan........................................................................ 14
b) Potensi Sumber Daya Perikanan......................................................................... 15
BAB IV KEARIFAN LOKAL
A. Kearifan lokal Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA).................................. 18
1. Kearifan Lokal.......................................................................................................... 18
a. Adat Mengelola Sungai........................................................................................ 18
b. Adat Mengelola Tatah/Danau.............................................................................. 19
c. Adat Mengelola Hutan......................................................................................... 20
d. Adat Mengelola Hasil Hutan Bukan Kayu.......................................................... 21
Mengelola Pantung......................................................................................... 21
Mengelola Gemor........................................................................................... 22
Mengelola Damar........................................................................................... 23
Mengelola Rotan............................................................................................ 23
e. Adat Mengelola Buah-buahan Hutan................................................................... 24
f. Adat Mengelola Tumbuhan Obat-obatan............................................................. 25
g. Adat Mengelola Binatang Buruan....................................................................... 26
h. Adat Mengelola Perikanan.................................................................................. 26
B. Keterlaksanaan Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan SDA........................................... 28
1. Pengelolaan Sungai.................................................................................................. 28
2. Pengelolaan Tatah dan Danau.................................................................................. 29
a. Mengelola Tatah.................................................................................................. 29
b. Mengelola Danau................................................................................................. 29
3. Adat Mengelola Hutan............................................................................................. 30
4. Adat Mengelola Hasil Hutan Bukan Kayu............................................................... 31
5. Mengelola Sumber Daya Perikanan......................................................................... 32
C. Pengetahuan, Respon Terhadap Kearifan Lokal & Kesiapan Pelaksanaannya.......... 32
1. Kearifan Lokal Terkait Pengelolaan Sungai............................................................ 32
2. Kearifan Lokal Terkait Pengelolaan Kanal, Tatah, Lubuk, dll................................ 33
3. Kearifan Lokal Terkait Pemanfaatan SDA Bukan Kayu......................................... 34
4. Kearifan Lokal Terkait Pengelolaan Sumber Daya Perikanan................................ 35
D. Faktor Pendukung dan Kendala................................................................................... 37
BABV PENUTUP
A. KESIMPULAN............................................................................................................ 38
B. REKOMENDASI......................................................................................................... 39
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan era pemanfaatannya, kawasan hutan Sebangau yang terletak
diantara dua sungai besar yakni sungai Sebangau dan sungai Katingan dengan
status sebagai hutan produksi dan hutan produksi terbatas telah mengalami 3 fase,
yakni: (1) fase pra legal logging dan illegal logging, (2) fase legal logging dan
illegal logging, dan (3) fase penetapan sebagai taman nasional. Pada fase pertama,
kearifan lokal dipegang teguh dan ditegakkan dalam kehidupan masyarakat.
Masyarakat menerapkan kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam di
dalam kawasan hutan berdasarkan azas lestari dan manfaat. Azas lestari berarti
kawasan hutan dijaga kelestariannya agar memberi manfaat secara turun temurun
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sedangkan azas manfaat menjadi motif
dan landasan utama pentingnya pelestarian kawasan hutan. Bila kawasan hutan
tidak lestari maka masyarakat tidak mendapatkan manfaat dari kawasan hutan
sehingga kehidupan mereka terancam. Atas dasar ini maka komunitas masyarakat
secara bersama-sama menjaga kelestarian hutan dengan menerapkan norma yang
disepakati bersama.
Pada fase kedua, pemerintah memberikan hak pengelolaan hutan kepada
sejumlah perusahaan untuk mengeksploitasi hutan. Kayu ditebang untuk
memenuhi kebutuhan pembangunan bahkan diekspor untuk mendapatkan
keuntungan secara ekonomi. Perilaku perusahaan mengekploitasi hutan tersebut
sepenuhnya melanggar kearifan lokal yang telah diwariskan turun temurun.
Namun masyarakat tidak kuasa menghentikan apalagi menghukum pelanggaran
tersebut karena perilaku menyimpang tersebut mendapat legalitas dari negara.
Keuntungan ekonomi yang diperoleh dari eksploitasi hutan relatif besar sehingga
masyarakat mitra perusahaan dalam mengeksploitasi hutan tampil sebagai lapisan
masyarakat kaya baru di masyarakat. Status sosial masyarakat kaya baru tersebut
menjadi sumber inspirasi untuk meningkatkan kemapanan secara ekonomi dan
mendapatkan status sosial di masyarakat. Hal ini menimbulkan dampak lanjutan,
yakni pelaku eksploitasi hutan meluas tidak hanya perusahaan yang diberikan
2
kewenangan oleh negara, tetapi juga dilakukan masyarakat tanpa adanya
kewenangan dari negara. Cara-cara eksploitasi hutan yang diterapkan oleh
pemegang kuasa pengelolaan hutan kemudian ditiru masyarakat sehingga
terjadilah kegiatan eksploitasi hutan yang dikategorikan ilegal logging. Akibat
eksploitasi hutan, masyarakat lokal yang selama ini memelihara kawasan hutan
menjadi kehilangan mata pencaharian. Akibatnya mereka tidak sabar hanya
dengan menjadi penonton sehingga akhirnya terlibat secara bersama-sama.
Akhirnya terjadilah kegiatan eksploitasi hutan secara legallogging dan
illegallogging. Eksploitasi hutan yang tidak bijaksana tersebut telah menimbulkan
kerusakan hutan dimana-mana sehingga menimbulkan kekhawatiran banyak
pihak.
Fase ketiga adalah fase penetapan sebagai taman nasional. Penetapan
ini didasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor. SK.423/Menhut-
II/2004 tertanggal 19 Oktober 2004 yang menetapkan Kawasan Taman Nasional
Sebangau sebagai Taman Nasional ke 50 di tanah air. Secara geografis Taman
Nasional Sebangau terletak pada 1°54’ – 3°08’ LS dan 113°20’ – 114°03’ BT dan
secara ekologis termasuk dalam DAS Katingan dan DAS Sebangau. Secara
administratif kawasan Taman Nasional Sebangau terletak di 3 (tiga) wilayah
Kabupaten/Kota, yaitu Kota Palangka Raya, Kabupaten Katingan, dan Kabupaten
Pulang Pisau Provinsi Kalimantan Tengah.
Penetapan tersebut merupakan bentuk kesadaran kolektif tentang
pentingnya mengembalikan fungsi hutan di dalam kawasan taman nasional.
Kesadaran tersebut mendorong lahirnya upaya untuk melestarikan dan
merehabilitasi kawasan hutan. Sejumlah kajian telah dilakukan berbagai pihak
sejak penetapan kawasan hutan sebagai taman nasional. Ada kajian tentang
potensi keanekaragaman hayati. Kajian ini menyentak nurani dan membangkitkan
rasa ta’jub akan kekayaan keanekaragaman hayati yang tersimpan dalam kawasan
Taman Nasional Sebangau. Olehkarena itu perlu adanya kebanggaan bersama
tentang kekayaan tersebut, dan kebanggaan itu akan abadi jika kawasan Taman
Nasional Sebangau terjaga kelestariannya. Ada pula kajian dari aspek sosial
ekonomi untuk mengetahui sejauhmana upaya-upaya yang dilakukan dirasakan
3
manfaatnya oleh masyarakat sekitar dan meningkatkan taraf kesejahteraan
mereka. Diantara kesimpulan penting hasil kajian tersebut adalah kondisi hutan di
dalam kawasan taman nasional telah meningkat dan lebih baik dibandingkan pada
era eksploitasi hutan secara legal logging maupun ilegal logging. Kondisi ini
harus terus ditingkatkan agar kawasan Taman Nasional Sebangau dapat
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya umat
manusia yang mendiami bumi ini.
Meskipun kawasan hutan Sebangau telah ditetapkan sebagai taman
nasional, faktor ancaman kelestariannya bukan berarti tidak ada lagi. Tingkat
ancaman tersebut sangat dipengaruhi oleh kesadaran berbagai pihak yang secara
langsung ataupun tidak langsung berhubungan dengan kawasan Taman Nasional
Sebangau. Dalam rangka meningkatkan kesadaran tersebut, ada sejumlah faktor
utama yang harus diperhatikan. Pertama, faktor keterlibatan masyarakat sekitar
kawasan dalam pengelolaan dan pelestarian hutan. Pepatah mengatakan bahwa
tetangga adalah pagar. Kalau hubungan dengan tetangga baik maka kita akan
merasa aman dari ancaman pihak luar. Dari tetangga yang baik kita akan
mendapatkan banyak manfaat. Tetangga selalu ada dimanapun juga.
Keberadaannya tidak mungkin diabaikan apalagi ditiadakan sehingga tidak
mungkin hidup tanpa tetangga. Masyarakat sekitar kawasan adalah tetangga bagi
Taman Nasional Sebangau. Mereka telah memanfaatkan kawasan hutan secara
turun temurun. Merekapun menyadari bahwa kawasan hutan bukanlah hak milik
mereka. Mereka hanya mempunyai hak mengelola yang diakui oleh hukum adat.
Eksistensi hukum adat tersebut juga diakui dalam hukum positif yang berlaku di
negeri ini. Dalam konteks ini diperlukan rambu-rambu yang perlu disepakati
bersama dalam rangka melibatkan masyarakat dalam pengelolaan dan pelestarian
hutan di dalam kawasan taman nasional.
Faktor kedua, pelestarian kawasan Taman Nasional Sebangau dan
peningkatan kapasitasnya untuk memberi manfaat bagi masyarakat sekitar.
Kebaikan tetangga sangat ditentukan oleh manfaat apa yang mereka dapatkan
dari keberadaan kita. Masyarakat yang selama ini memanfaatkan kawasan hutan
di dalam kawasan taman nasional sebagai sumber mata pencaharian merasa
4
penetapan tersebut merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup mereka. Oleh
karena itu harus ada upaya untuk meyakinkan masyarakat dan pemerintah
kabupaten/kota bahwa penetapan Taman Nasional Sebangau akan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sekitar dan memberi kontribusi pada kegiatan
pembangunan di tingkat kabupaten/kota. Pada faktor ini, berbagai upaya dalam
rangka pelestarian hutan dan peningkatan kapasitas kawasan Taman Nasional
Sebangau perlu dirumuskan dan dituangkan dalam rencana jangka pendek, jangka
menengah dan jangka panjang. Rencana tersebut selanjutnya disosialisasikan
kepada masyarakat sekitar dan pemerintah kabupaten/kota khususnya pada lokasi
kawasan taman nasional. Sosialisasi tersebut diharapkan melahirkan kemitraan
dan kepastian hukum tentang pelaksanaan program, sumber pembiayaan program
maupun mekanisme pemantauannya.
Faktor ketiga adalah penegakan hukum jika terjadi pelanggaran. Pada
faktor ini perlu diidentifikasi sumber dan pelaku pelanggaran, jaringan yang
terkait sumber dan pelaku, lokasi dan waktu yang berpotensi terjadinya
pelanggaran, langkah pembinaan dan penindakan, pembinaan staf agar konsisten
dengan tugas dan wewenangnya, serta dukungan finansial dalam mendukung
tugas penegakan hukum.
Kajian dalam penelitian ini difokuskan pada upaya mengeksplorasi
nilai, norma, dan kaidah yang berpotensi untuk digunakan dalam rangka
mendukung faktor pertama, yakni pelibatan masyarakat sekitar dalam pengelolaan
dan pelestarian hutan di dalam kawasan Taman Nasional Sebangau. Obyek yang
dieksplorasi adalah kearifan lokal masyarakat dalam mengelola sumber daya
alam. Pada wilayah administrasi kota Palangka Raya, kajian dilakukan di
Kelurahan Kereng Bengkirai Kecamatan Sabangau selaku wilayah domisili tokoh
msyarakat yang memahami kearifan lokal dan pengguna serta pengelola sumber
daya alam Sungai Koran dan Sungai Bakung.
5
B. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan profil anak sungai Sebangau (sungai Koran dan Sungai
Bakung) yang masuk wilayah Kota Palangka Raya di dalam kawasan Taman
Nasional Sebangau,.
2. Mendeskripsikan kearifan lokal masyarakat dalam mengelola sumber daya
alam di daerah aliran anak sungai Sebangau Wilayah Kota Palangka Raya di
dalam kawasan Taman Nasional Sebangau .
3. Mendeskripsikan sejarah kearifan lokal masyarakat dalam pengelolaan sumber
daya alam di daerah aliran anak sungai Sebangau Wilayah Kota Palangka
Raya di dalam kawasan Taman Nasional Sebangau.
4. Mendeskripsikan pengetahuan masyarakat terhadap nilai-nilai kearifan lokal
yang berlaku dalam mengelola sumber daya alam di daerah aliran anak sungai
Sebangau Wilayah Kota Palangka Raya di dalam kawasan Taman Nasional
Sebangau.
5. Mendeskripsikan respon masyarakat terhadap nilai-nilai kearifan lokal yang
berlaku dalam mengelola sumber daya alam di daerah aliran anak sungai
Sebangau Wilayah Kota Palangka Raya di dalam kawasan Taman Nasional
Sebangau.
6. Mendeskripsikan perilaku masyarakat dalam mengelola sumber daya alam di
daerah aliran anak sungai Sebangau Wilayah Kota Palangka Raya di dalam
kawasan Taman Nasional Sebangau.
7. Mendeskripsikan penerapan nilai-nilai kearifan lokal dalam mengelola sumber
daya alam di daerah aliran anak sungai Sebangau Wilayah Kota Palangka
Raya di dalam kawasan Taman Nasional Sebangau.
8. Mendeskripsikan faktor pendukung dan kendala yang dihadapi dalam
penerapan nilai-nilai kearifan lokal dalam mengelola sumber daya alam di
daerah aliran anak sungai Sebangau Wilayah Kota Palangka Raya di dalam
kawasan Taman Nasional Sebangau.
6
C. Output Penelitian
Output penelitian ini adalah:
1. Deskripsi kearifan lokal masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam
yang dianut masyarakat di daerah aliran anak sungai Sebangau Wilayah Kota
Palangka Raya di dalam kawasan Taman Nasional Sebangau.
2. Deskripsi sejarah kearifan lokal masyarakat dalam pengelolaan sumber daya
alam di daerah aliran anak sungai Sebangau Wilayah Kota Palangka Raya di
dalam kawasan Taman Nasional Sebangau.
3. Deskripsi pengetahuan masyarakat terhadap nilai-nilai kearifan lokal yang
berlaku dalam mengelola sumber daya alam di daerah aliran anak sungai
Sebangau Wilayah Kota Palangka Raya di dalam kawasan Taman Nasional
Sebangau.
4. Deskripsi respon masyarakat terhadap nilai-nilai kearifan lokal yang berlaku
dalam mengelola sumber daya alam di daerah aliran anak sungai Sebangau
Wilayah Kota Palangka Raya di dalam kawasan Taman Nasional Sebangau.
5. Deskripsi kesiapan masyarakat dalam mengelola sumber daya alam di daerah
aliran anak sungai Sebangau Wilayah Kota Palangka Raya di dalam kawasan
Taman Nasional Sebangau berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal.
6. Deskripsi keterlaksanaan nilai-nilai kearifan lokal yang berlaku dalam
mengelola sumber daya alamdidaerah aliran anak sungai Sebangau Wilayah
Kota Palangka Raya di dalam kawasan Taman Nasional Sebangau.
7. Deskripsi faktor pendukung dan kendala yang dihadapi dalam penerapan
nilai-nilai kearifan lokal dalam mengelola sumber daya alam di daerah aliran
anak sungai Sebangau Wilayah Kota Palangka Raya di dalam kawasan
Taman Nasional Sebangau.
7
BAB II
PELAKSANAAN PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah dua anak sungai Sebangau yang masuk dalam
wilayah kawasan Taman Nasional Sebangau, yakni sungai Koran dan sungai
Bakung. Secara administrasi sungai Koran dan sungai Bakung masuk dalam
wilayah Kelurahan Kereng Bengkirai Kecamatan Sabangau Kota Palangka Raya.
Penelitian dilaksanakan dari bulan Oktober 2013 sampai dengan Desember 2013.
B. Responden
Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 9 orang, dibedakan atas dua
kategori. Kategori pertama sebanyak 3 (tiga) responden yang menjadi nara sumber
tentang kearifan lokal. Responden kategori ini terdiri dari tetua sungai, Damang
Adat, dan tokoh masyarakat. Adapun karakteristik responden kategori pertama
adalah:
Tabel 2.1 Karakteristik Responden Kategori Pertama
Kode Umur Status Suku Lama Domisili Pendidikan
K1R1 62 thn Damang Adat Dayak 62 tahun
SMA
K1R2 48 thn Ketua Formas Dayak 48 tahun
Sarjana
K1R3 46 thn Tetua Sungai
Bakung
Dayak 46 tahun Tamat SD
Responden kategori kedua berjumlah 6 (enam) responden yaitu
masyarakat yang memanfaatkan sumber daya alam di kawasan sungai Koran dan
Sungai Bakung. Mereka mendapatkan manfaat dari keberadaan sungai Koran dan
Sungai Bakung, baik sumber daya alam yang ada di dalam sungai, seperti ikan
dan sejenisnya maupun sumber daya alam yang ada di daratan dalam kawasan
hutan di sekitar sungai Koran dan Sungai Bakung. Responden kategori ini
berjumlah enam orang. Adapun karakteristik responden kategori kedua adalah
sebagai berikut.
8
Tabel 2.2 Karakteristik Responden kategori kedua:
No. Kode
Responden
Umur Status Suku Lama
Domisili
Pendidikan
1. K2R1 60 tahun Nelayan Banjar 27 tahun SR
2. K2R2 53 tahun Nelayan Dayak 53 tahun SMP
3. K2R3 36 tahun Nelayan Dayak 36 tahun SMP
4. K2R4 40 Thn Pengumpul
Getah Pantung
Banjar 17 tahun SMA
5. K2R5 38 Thn Nelayan Dayak 38 thaun SMP
6. K2R6 23 Thn Nelayan Dayak 23 tahun SMA
C. Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari kearifan lokal
pengelolaan sumber daya alam, pengetahuan masyarakat tentang kearifan lokal
dalam pengelolaan sumber daya alam, respon masyarakat terhadap kearifan lokal
dalam pengelolaan sumber daya alam, dan kesiapan masyarakat dalam
pengelolaan sumber daya alam. Adapun teknik pengumpulan data disajikan pada
tabel berikut ini :
Tabel 2.3 Jenis, sumber dan teknik pengumpulan data
No Jenis data Sumber data Teknik pengumpulandata
1. Nilai kearifan lokal Damang Adat
Tetua sungai
Tokoh masyarakat
Wawancara
2. Pengetahuan
kearifan lokal
Pengguna sungai Wawancara dan angket
3. Respon terhadap
kearifan lokal
Pengguna sungai Wawancara dan angket
4. Kesiapan
melaksanakan
Pengguna sungai Wawancara dan angket
9
BAB III
PROFIL SUNGAI
Salah satu sungai yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Sebangau
adalah sungai Sebangau. Secara administrasi sungai Sebangau masuk dalam
wilayah kota Palangka Raya dan kabupaten Pulang Pisau. Nama Sebangau awal
mulanya dari sebutan “sei bangau” karena pada sungai ini banyak terdapat burung
Bangau. Kemudian sebutan sei bangau berubah menjadi sabangau karena
masyarakat pendatang yang bekerja di sungai ini berasal dari suku Banjar
khususnya dari Nagara yang agak sulit mengucapkan kata “sei”. Jika orang
Nagara diminta mengucapkan kata “sei bangau” selalu yang terucap “sebangau”
atau kadang-kadang terucap “sabangau”. Dahulu ukuran burung bangau yang ada
di kawasan sungai ini bervariasi, ada yang berukuran besar dan ada pula yang
berukuran kecil. Burung Bangau yang berukuran besar dinamai Sabaru. Nama ini
selanjutnya diabadikan menjadi nama salah satu kawasan yang sekarang dikenal
sebagai wilayah kelurahan Sabaru kecamatan Sebangau kota Palangka Raya.
(Nara sumber : K1R2 dan K2R2).
Sungai Sebangau membujur dari Kota Palangka Raya, melintasi
Kabupaten Pulang Pisau, dan bermuara di Laut Jawa (Teluk Sebangau). Sungai
Sebangau terletak di wilayah administrasi Kecamatan Sebangau Kota Palangka
Raya dan Kecamatan Sebangau Kuala Kabupaten Pulang Pisau. Bila menyusuri
aliran sungai Sebangau dari Kereng Bengkirai menuju muara di laut Jawa (muara
sebangau) diperlukan waktu selama ± 12 jam perjalanan menggunakan
alkon/klotok sejenis perahu motor berukuran kecil. Sungai Sebangau memiliki
banyak anak sungai. Diantara anak sungai Sebangau adalah sungai Koran, sungai
Bakung, sungai Ules, sungai Rasau, sungai Timba, sungai Karanen, sungai Piring,
sungai Mangkok, sungai Selowati, sungai Pakuyah, sungai Uyah, sungai Bandera,
sungai Bangah, sungai Paduran Alam dan sungai Sampang. Sungai Koran dan
sungai Bakung masuk dalam wilayah administrasi kota Palangka Raya.
10
Berkaitan dengan sungai, secara umum ada beberapa istilah yang sering
digunakan masyarakat nelayan. Istilah tersebut mencerminkan bagian-bagian
sungai (nara sumber : K1R2 dan K2R2), misalnya:
Bagian Pinggir sungai disebut Saran Batang Danum yakni pinggiran kiri-
kanan sungai yang banyak ditumbuhi pepohonan, biasa juga disebut ayap-
sempadan.
Bagian Tengah sungai disebut Bentuk Batang Danum
Bagian Dasar Sungai disebut Palempang
Bagian Sungai Yang Terdalam disebut Labeho (Labehu), beberapa
nelayan mengatakan bahwa labehu adalah bagian yang penting dari sungai
karena merupakan tempat perlindungan/bertahan dan penyelamatan ikan
jenis tertentu pada saat datangnya musim kemarau.
Teluk (Luwuk) yaitu bagian sungai yang menjorok ke arah daratan
Tanjung (Bereng) yaitu bagian daratan yang menjorok ke arah sungai.
Anak Sungai Utama (Sungei), misalnya sungai koran, bakung, rasau,
bangah, paduran alam atau sungai Sampang.
Cucu Sungai Utama disebut Saka yaitu Sungai yang lebih kecil yang
terbentuk secara alami
Tatah yaitu sungai buatan atau kanal yang dibuat untuk menghubungkan
suatu tempat dengan tempat lainnya. Tatah biasanya dibuat untuk jalur
tranportasi /angkutan hasil bumi dari suatu tempat ke tempat lain
Parit adalah tatah dalam ukuran kecil.
Ruak adalah cekungan tanah yang terbentuk secara alami sehingga
membentuk kolam atau sumur kecil, pada musim kemarau menjadi tempat
ikan berkumpul.
Talaga yaitu danau di tengah hutan atau di bantaran sungai yang terbentuk
secara alami, pada musim kemarau menjadi tempat ikan berkumpul.
11
A. SUNGAI KORAN
1. Sejarah Nama & Pengelolaan Sungai Koran
Sungai Koran merupakan salah satu anak sungai Sebangau yang masuk
dalam kawasan Taman Nasional Sebangau. Ada dua versi tentang awal mula
nama sungai Koran. Versi pertama, diberi nama sungai Koran karena pak Koran
dikenal masyarakat Kereng Bangkirai sebagai orang yang bekerja di sungai
tersebut. Dahulu pak Koran memanfaatkan sumber daya alam yang terdapat di
sungai Koran dan sekitarnya baik hasil hutan berupa kayu, maupun hasil hutan
bukan kayu terutama kulit gemor, getah pantung, getah nyatu dan damar. Sampai
saat ini masyarakat menamai sungai tersebut dengan nama sungai “Koran”.
Versi kedua, menceritakan bahwa nama Koran berasal dari salah satu jenis
tumbuhan rotan. Rotan jenis ini banyak tumbuh di hutan sekitar sungai Koran.
Dalam perkembangannya pengguna sungai tersebut, dikarunia seorang putra yang
kemudian diberi nama “Koran”, sehingga pengguna sungai tersebut dipanggil
dengan sebutan “pak Koran”. Penamaan Koran sebagai nama sungai telah ada
sebelum Koran putra pengelola tersebut lahir. Versi ini menceritakan bahwa
sungai Koran telah dikelola sejak tahun 1906. Pak Koran pengguna sungai
tersebut lahir pada tahun 1947 dan meninggal dunia pada tahun 1989 (nara
sumber : K1R1).
Sungai Koran memiliki panjang ± 17 Km dan lebar antara 2,5 – 3,5 meter.
Sungai Koran tidak dikelola secara perorangan atau keluarga. Sungai ini dikelola
bersama oleh masyarakat. Masyarakat khususnya yang berdomisili di kelurahan
Kereng Bangkirai memanfaatkan sungai Koran sebagai sumber mata pencaharian
dengan mengambil kulit gemor, menyadap getah pantung (jelutung) dan mencari
ikan. Pola komunal dalam pemanfaatan sungai Koran menyebabkan
pengelolaannya dilakukan secara gotong-royong oleh masyarakat. Masyarakat
membersihkan sungai secara sukarela untuk memperlancar transportasi dalam
mengangkut sumber daya alam. Jika ada pohon tumbang di sungai maka
masyarakat akan membersihkannya secara sukarela agar perjalanannya tidak
terhambat. Menurut K1R1 dan K1R2, sungai Koran banyak menyimpan potensi
sumber daya alam baik sumber daya kehutanan maupun sumber daya perikanan.
12
Setelah penetapan sebagai kawasan taman nasional, sungai Koran jarang
dimanfaatkan masyarakat Kereng Bengkirai. Apalagi setelah dibangunnya Pos
Pengawas Taman Nasional Sebangau di muara sungai Koran. Dalam satu sisi
penetapan taman nasional dan pendirian Pos Pengawas Taman Nasional Sebangau
telah dapat mencegah kerusakan kawasan di wilayah sungai Koran. Namun di sisi
lain hal tersebut telah menyebabkan sungai Koran tidak terawat. Banyak pohon
tumbang di kawasan sungai sehingga menghalangi lalu lintas sungai. Berbagai
pohon tumbang tersebut sekaligus menghalangi masyarakat memanfaatkan
sumber daya sungai Koran sehingga pelestarian kawasan hutan di sekitar sungai
Koran dapat terjaga.
2. Potensi Sumber Daya Alam (SDA)
a) Potensi Sumber Daya Kehutanan
Potensi sumber daya kehutanan terdiri atas hasil hutan berupa kayu dan
hasil hutan bukan kayu. Hasil hutan berupa kayu yang paling banyak dicari adalah
ramin, sedangkan hasil hutan bukan kayu diantaranya, getah pantung (jelutung),
damar dan kulit gemor. Jenis-jenis kayu hasil hutan sekitar sungai Koran antara
lain Keruing, Meranti Bunga dan Meranti Batu, Ramin, Kapurnaga, kayu rasak,
Terantang, dan Martibu. Hasil hutan bukan kayu, misalnya rotan, damar, jelutung,
dan gemor, serta burung cucak ijo sebagai binatang buruan.
Dahulu sumber ekonomi masyarakat yang menjadi unggulan adalah
mencari rotan, mengumpulkan getah pantung, getah nyatu, mencari dammar dan
kulit gemor, yang biasanya dijual pada pengumpul. Umumnya pengumpul getah
pantung (jelutung) sekaligus juga pengumpul rotan, getah nyatu, dammar dan
kulit gemor.
b) Potensi Sumber Daya Perikanan
Sumber ekonomi masyarakat yang penting adalah kegiatan menangkap ikan di
sungai dan danau-danau kecil di dalam kawasan TNS yang dekat dengan tempat
tinggal masyarakat. Masyarakat Kereng Bengkirai mencari ikan disungai Koran
13
atau sungai Bakung. Etnik Dayak dan Banjar mendominasi kegiatan penangkapan
ikan untuk pemenuhan ekonomi keluarga.
Jenis ikan yang banyak ditangkap di sungai Koran adalah kakapar,
tatabun, patung, bapuyuk, haruan (gabus), mihau, karandang, tahuman, ikan
tapah, la’is, dan baung. Kebanyakan ikan yang ditangkap tersebut dikonsumsi
langsung oleh keluarga, atau sebagaian dijual dalam bentuk segar atau diasinkan.
Alat tangkap ikan yang dipergunakan oleh nelayan sungai Koran
Sebangau merupakan alat tangkap tradisional dan digerakan dengan tenaga
manusia. Diantara alat tangkap yang dimaksud adalah: rengge, buwu (bubu),
tampirai, rawai, dan kalang. Rengge biasa dipasang di pinggir sungai. Jenis ikan
yang tertangkap dengan menggunakan alat tangkap rengge adalah tempahas,
kerandang, tabakang, patung, tatawon, kuhing, dan mihau. Buwu atau bubu
biasanya dipasang pada alur air masuk ke daratan, di antara tetumbuhan rawa
yang terdapat di kiri-kanan sungai, parit atau saka, saat air perlahan-lahan naik.
Ikan yang biasa diperoleh dengan menggunakan alat tangkap buwu adalah kapar,
pentet, mihau, pantik, dan patung.
B. SUNGAI BAKUNG
1. Sejarah Nama & Pengelolaan Sungai Bakung
Sungai Bakung merupakan salah satu anak sungai Sebangau. Sungai
Bakung, diberi nama demikian karena dahulu banyak tumbuh pohon Bakung
disepanjang aliran sungai. Sungai dengan panjang ± 36 Km dan lebar ± 4 - 5
meter ini dikelola secara turun temurun oleh keluarga pak Jumadi dari pemilik
sebelumnya Aman Usup bin Usup Tiung. Pemilik atau pengelola sungai atau tatah
berhak mengatur serta mengawasi semua orang yang melakukan kegiatannya di
sungai atau tatah yang dikelolanya. Apabila ada kegiatan komersil yang dilakukan
di hulu atau sekitar sungai atau tatah misalnya mencari gemor, jelutung atau
panting. Kegiatan masuk dan keluarnya alat angkutan/barang melintasi sungai
atau tatah (saka) yang dikelola keluarga/perorangan, maka pemilik sungai atau
tatah berhak memungut semacam uang pungutan atau fee sungai/tatah.
14
2. Potensi Sumber Daya Alam (SDA)
a) Potensi Sumber Daya Kehutanan
Potensi Sumber Daya Alam (SDA) kehutanan terdiri atas hasil hutan
berupa kayu dan hasil hutan bukan kayu. Jenis-jenis kayu hasil hutan antara lain
Ramin, Meranti Bunga dan Meranti Batu, Kapurnaga, Jangkau/Maringkau,
Terantang, Martibu dan Jinjit. (kayu jinjit adalah kelompok kayu yang dikupas
kulitnya atau kayu campuran). Hasil hutan bukan kayu, misalnya rotan, damar,
jelutung, dan gemor,
Tumbuhan obat yang biasa digunakan adalah karamunting dan kantung
semar (Gambar 3.1a dan 3.1b). Buah-buahan hutan yang sering dimanfaatkan
adalah rambutan hutan. Sedang binatang buruan yang dijadikan sasaran berburu
adalah binatang-binatang pengganggu (hama) yakni babi hutan dan berang-
berang.
Gambar 3.1 a. Tumbuhan Karamunting Gambar 3.1b. Kantong Semar
Getah pantung (jelutung) merupakan sumber pendapatan penting bagi
masyarakat. Getah pantung (jelutung) biasanya dijual kepada pedagang lokal,
yang kemudian di jual lagi ke pedagang (pengumpul) di kota Palangkaraya.
Biasanya pedagang getah pantung (jelutung) juga menjadi pedagang rotan dan
kulit kayu gemor. Hasil hutan non kayu seperti getah pantung (jelutung) ini dijual
ke Jepang dan pasar Europa. Harga getah jelutung di tingkat petani (penyadap)
berkisar antara Rp 380.000 – Rp. 450.000,- per kwintal (100 kg). Jika harga getah
pantung (jelutung) stabil seperti pada akhir bulan Desember 2013 saat penelitian
ini dilaksanakan, maka masa depan pohon jelutung dapat diandalkan sebagai
penyangga ekonomi rakyat di sekitar hutan rawa TNS. Secara alami jelutung
dapat tumbuh baik di rawa-rawa, dengan regenerasi pohon agak mudah tumbuh
15
secara alamiah. Hal ini ditemukan dalam jalur jelutung di sekitar parit pada sungai
Bakung dalam kawasan TNS.
b) Potensi Sumber Daya Perikanan
Jenis ikan yang banyak ditangkap di sungai Bangah adalah ikan tapah,
karandang, tahuman, lais, kakapar, patung, bapuyuk, haruan (gabus), mihau,
baung dan saluang. Alat tangkap ikan yang dipergunakan oleh nelayan sungai
Bakung merupakan alat tangkap tradisional dan digerakkan dengan tenaga
manusia. Berdasarkan sifat pengoperasiaanya, alat tangkap dibedakan menjadi
pasif dan aktif. Alat tangkap aktif adalah alat tangkap ikan yang harus aktif
digerakkan pada saat dioperasikan. Sedangkan alat tangkap pasif yaitu tidak
digerakkan dalam pengoperasiannya, misalnya: rengge, buwu (bubu), tampirai,
rawai, kalang, dll (Tabel 3.1). Alat tangkap yang paling banyak digunakan
nelayan sungai Bakung adalah jenis alat tangkap pasif.
Tabel 3.1 Daftar beberapa Alat Tangkap Ikan & tempat pemasangannya
No. Nama Alat
Tangkap
Jenis Ikan Tempat Pemasangan
1. Rengge Tempahas, Kerandang,
Tabakang, Patung,
Tatawon, Kuhing, Mihau
Pinggir Sungai
2. Buwu
(Bubu)
Kapar, Pentet, Mihau,
Pantik, Patung
Pada alur-alur air masuk ke
daratan, di antara tetumbuhan
rawa yang terdapat di kiri-
kanan sungai/Parit atau Saka,
saat air perlahan-lahan naik
3. Tampirai Patung, Kerandang,
Kapar, Pentet, Tebakang,
Mihau, Puhing, Pantik,
Tatawon.
Pinggir Sungai, Hutan, Rawa
(Air Dalam)
4. Rawai Tempahas, Toman,
Kerandang
Pinggir Sungai, Saat air
dalam.
5. Pangilar Toman, Tapah,
Karandang,
Biawan
Pada alur-alur air masuk ke
daratan, di antara tetumbuhan
rawa yang terdapat di kiri-
kanan sungai
16
Meskipun hingga saat ini, para nelayan belum memiliki aturan yang
mengatur tentang ikan mana saja yang boleh dan tidak boleh ditangkap, baik dari
segi jenis maupun ukurannya. Namun ada hal yang menarik dicermati bahwa alat
tangkap yang mereka gunakan adalah alat tangkap “buatan sendiri”. Teknik
pembuatan alat tangkap dan teknik penangkapan ikan, mereka kembangkan
berdasarkan pengetahuan yang diwariskan dari orang tua/leluhur atau diperoleh
dari sesama nelayan berdasarkan pengalaman pribadi. Teknik penangkapan yang
dikembangkan nelayan umumnya memperhatikan beberapa hal berikut:
Fluktuasi atau ritme turun-naiknya permukaan air,
Arah gerak arus air, dimana arah ikan berenang biasanya mengikuti arah
gerak arus air.
Kondisi alam yang berparit dan berawa-rawa, serta tinggi rendahnya
permukaan tanah.
Suhu air pada saat menjelang kemarau, suhu di daerah ayap akan naik
yang menyebabkan ikan bermigrasi ke sungai yang relative airnya banyak
dan suhunya agak dingin.
Pola migrasi ikan secara periodik dari sungai ke rawa (saat banjir) atau
sebaliknya.
Hasil tangkapan nelayan sungai Bakung mengkategorikan ikan tangkapan
mereka menjadi 2 (dua) kategori yaitu lauk malisen dan lauk basisik.
a) Lauk Malisen yakni “ikan licin” atau ikan tanpa sisik. Jenis ikan yang masuk
kategori ini adalah: Tampahas dan Pentet
b) Lauk Basisik, atau “ikan bersisik”. Jenis ikan yang masuk kategori ini adalah:
Behau, Karandang, Tahuman, Mihau, Bapuyu, Sasapat, Kakapar, Patung,
Tabakang, Saluang
Disamping itu, nelayan juga mengkategorikan ikan berdasarkan nilai
keekonomiannya yakni lauk barega dan lauk dia barega:.
17
1) Lauk barega adalah ikan yang nilai ekonominya cukup tinggi yakni ikan yang
cepat terjual baik dalam bentuk ikan segar maupun ikan asin. Jenis ikan yang
masuk kategori ini adalah: Tampahas, Tahuman, Behau, Patung, Tabakang,
Karandang, Mihau, Kakapar, Puhing, Pentet
2) Lauk dia barega. adalah ikan yang nilai ekonomisnya rendah (dia barega)
sehingga tidak dapat dijual. Hal tersebut dikarenakan ikan tersebut tidak biasa
dikonsumsi misalnya ikan Jajili atau ikan yang ukurannya terlalu kecil saat
ditangkap. Ikan jenis ini biasanya dijadikan pakan ikan Tahuman yang berada
di dalam keramba atau makanan bebek. Ikan tersebut dicincang kemudian
dimasukkan ke dalam keramba. Juga dapat dijadikan umpan untuk alat
tangkap rawai. Jenis ikan yang masuk dalam kategori ini adalah: Jajili, Pantik
(anak Baung), Pentet (anak Pentet), Patung (anak Patung), Puhing, dan
Saluang.
18
BAB IV
KEARIFAN LOKAL
A. Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA)
Berdasarkan wawancara dengan nara sumber diketahui bahwa kearifan
lokal dalam pengelolaan sumber daya alam telah diterapkan masyarakat secara
turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Mereka tidak tahu pasti
waktu pertama kali kearifan lokal tersebut dicetuskan. Meraka juga tidak
mengetahui tokoh pencetus kearifan lokal tersebut.
1. Kearifan Lokal
Kearifan lokal yang dideskripsikan pada tulisan ini merupakan karifan
lokal yang informasinya diperoleh dari responden kategori-1 yakni K1R1, K1R2
dan K1R3 yang dahulu diterapkan pada sungai dan sumber daya alam lainnya
misalnya pengelolaan sungai, tatah; pengelolaan hutan; pengeloaan hasil hutan
bukan kayu yakni pantung (jelutung), gemor, dammar, rotan, buah-buahan hutan,
tumbuhan obat; pengelolaan bidang perikanan; dan pengelolaan binatang/hewan
untuk berburu.
a. Adat Mengelola Sungai
Untuk mengelola sungai ada beberapa aturan:
(1) Masyarakat berhak menggunakan sungai/anak sungai untuk berbagai
keperluan dan memungut sumber daya alam yang ada di sepanjang aliran
sungai dan sekitarnya.
(2) Pengelola sungai berkewajiban menjaga kebersihan sungai, saka dan
berhak mengatur serta mengawasi semua orang yang melakukan
kegiatannya di sungai, saka tersebut
(3) Anak sungai atau saka yang dikelola oleh seseorang atau sekelompok
masyarakat adat, hak pengelolaannya diakui dan dilindungi oleh hukum
adat Dayak,
19
b. Adat Mengelola Tatah/Danau
Mengelola tatah atau danau hamper sama dengan mengelola sungai yakni:
(1) Tatah merupakan sungai kecil atau berupa kanal yang dibuat untuk
menghubungkan suatu tempat (biasanya dibuat untuk jalur tranportasi
angkutan hasil bumi).
(2) Pembuatan tatah atau kanal harus mendapat persetujuan dari warga
masyarakat adat melalui musyawarah dan diketahui oleh Tetua Kampung.
(3) Pemilik tatah berhak memungut jasa pengelolaan dari setiap orang yang
memanfaatkan tatah sebagai sarana transportasi atau tempat berusaha.
(4) Pengelola sungai tempat bermuara tatah berhak atas bagian jasa hak
pengelolaan tatah.
(5) Hak pengelolaan tatah tidak boleh dipindahtangankan atau
diperjualbelikan kepada warga pendatang yang tidak mempunyai
hubungan kekerabatan dengan masyarakat adat setempat.
(6) Tatah yang bermuara pada sungai besar, jika ditinggalkan oleh pemiliknya
selama tiga tahun berturut-turut, maka hak pengelolaan atau
pemanfaatannya menjadi hak bersama masyarakat adat setempat.
(7) Tatah yang bermuara pada sungai atau anak sungai jika ditinggalkan oleh
pemiliknya selama satu tahun berturut-turut, maka hak pengelolaan atas
tatah tersebut sepenuhnya jatuh kepada pengelola sungai induknya.
(8) Hak pengelolaan tatah (kanal) hanya terbatas mengelola dan
memanfaatkan tatah (kanal) saja selama yang pemiliknya melakukan
kegiatan usaha di tatah tersebut, sedangkan tanah atau hutan disekitarnya
bukan haknya.
(9) Seseorang yang membuat tatah/kanal tanpa pemberitahuan/izin pada tetua
kampung dikenakan sanksi:
(i) Membayar denda adat kepada lembaga adat untuk pemeriksaan
lapangan tatah (kanal).
20
(ii) Menanggung biaya menutup tatah (kanal) tersebut, jika tatah (kanal)
tersebut mengancam kelestarian lingkungan.
(iii)Menyampaikan permohonan maaf dan menyatakan tidak mengulangi
perbuatannya.
(iv) Denda adat ditetapkan melalui rapat mantri adat sesuai dengan tingkat
ancaman terhadap kelestarian lingkungan.
c. Adat Mengelola Hutan
Dalam hal mengelolaan hutan, ada beberapa aturan diantaranya:
(1) Hutan harus dipelihara dan dijaga kelestariannya karena merupakan tempat
bagi masyarakat menggantungkan hidupnya seperti sumber mata
pencaharian, sumber sayuran, buah dan obat-obatan, dan tempat
tersedianya berbagai jenis hewan, termasuk bintang buruan.
(2) Kawasan hutan tempat tumbuhnya pohon yang bernilai ekonomi tidak
boleh dibuka untuk berladang
(3) Larangan membuka kawasan hutan yang masuk kategori tajahan, kaleka,
pahawen
(4) Pohon yang akan digunakan untuk keperluan tertentu (misalnya untuk
membuat perahu) terlebih dahulu diberi tanda dan membersihkan pohon
tersebut. Pohon ini tidak boleh diganggu/ditebang tanpa seijin pemberi
tanda.
(5) Setiap laki-laki dewasa atau sudah berumah tangga berhak menebang
pohon untuk mendirikan sebuah rumah sekali dalam seumur hidup, dan
membuka lahan untuk berladang, bercocok tanam atau berkebun serta
untuk membuat perahu. Pembukaan lahan harus mendapat persetujuan dari
Tetua Kampung. Sebelum membuka lahan, lebih dahulu dilakukan
pemacangan patok pada tiap sudut lahan. Kawasan yang telah dibuka
tersebut tidak boleh digarap oleh orang lain dalam kurun waktu satu kali
musim berladang (satu tahun), kecuali ada persetujuan dari orang yang
memasang tanda/patok.
21
d. Adat Mengelola Hasil Hutan Bukan Kayu
Mengelola Pantung (jelutung)
Masyarakat yang telah dewasa berhak memanfaatkan/mengambil berbagai
sumber daya alam yang ada, termasuk memungut getah pantung (jelutung)
di kawasan hutan yang dimanfaatkan bersama,
Masyarakat (penemu lokasi) berhak membuat rintisan jalur jalan pantung
antara delapan sampai dengan sepuluh jalur pantug yang diketahui orang
banyak dan mendapat persetujuan dari Pemangku Adat setempat atau
Tetua Kampung, dimana masing-masing jalur berisi/ terdapat 60 sampai
120 pohon pantung (Jelutung)
Masyarakat atau pengelola jalur pantung hanya berhak
mengambil/memungut getah pantung (jelutung) saja, tapi bukan pemilik
kawasan hutan dan tanahnya.
Jalur jalan Pantung yang telah ditinggalkan oleh pemiliknya selama tiga
bulan berturut-turut, maka anggota masyarakat lainnya dapat memungut
getah pantung/jelutung pada jalur tersebut dengan waktu paling lama tiga
bulan setelah mendapat persetujuan dari pemilik jalur, dimana pemilik
jalur berhak mendapatkan jasa dari pengguna jalur. Setelah tiga bulan,
jalur pantung yang diambil alih tersebut harus dikembalikan kepada
pemiliknya.
Jalur jalan pantung yang telah ditinggalkan oleh pemiliknya selama enam
bulan berturut-turut, maka anggota masyarakat lainnya dapat/berhak
mengambil getah pantung pada jalur tersebut untuk waktu enam bulan,
dan tidak wajib memberikan fee/jasa kepada pemilik jalur, dan setelah
mencapai waktu enam bulan. Jalur jalan pantung tersebut harus
dikembalikan kepada pemiliknya.
Jalur jalan pantung yang telah ditinggalkan oleh pemiliknya selama dua
belas bulan (satu tahun) berturut-turut, maka ia tidak berhak lagi terhadap
jalur jalan pantung tersebut.
22
Jalur jalan pantung tidak boleh dipindah tangankan atau diperjualbelikan
kepada warga pendatang yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan
dengan masyarakat adat setempat.
Bila ada pengrusakan jalur pantung sehingga para pekerja/penyadap getah
pantung tidak bisa lagi mengambil getah ataupun potensi sumber daya
alam lain yang ada di kawasan jalur pantung yang rusak, maka pelaku
kerusakan jalur tersebut dikenakan sanksi berupa:
(i) Membayar denda untuk mengganti kerugian kepada pemilik jalur
jalan pantung sesuai jumlah jalur yang dirusak
(ii) Membayar denda untuk mengganti kerugian kepada pemilik jalan
pantung, sesuai jumlah pohon pantung yang dirusak.
(iii)Membayar denda untuk memulihkan/memperbaiki (merehabilitasi)
kawasan yang mengalami kerusakan.
(iv) Menanggung biaya pesta adat untuk memulihkan keseimbangan dan
harmonisasi antar sesama warga masyarakat setempat dalam rangka
rekonsiliasi.
(v) Besarnya denda adat ditetapkan oleh mantri adat berdasarkan sisa
usia produktif pohon pantung dan tingkat kerusakan hutan di
kawasan tersebut.
Mengelola Gemor
Beberapa aturan memungut gemor
Gemor merupakan tumbuhan liar yang terdapat pada suatu kawasan,
merupakan hak bersama warga masyarakat adat setempat
Masyarakat bebas mencari gemor di kawasan hutan
Jika seseorang telah menemukan gemor maka ia wajib memberi tanda
lalu melaporkannya pada tetua kampung.
Gemor yang telah diberi tanda oleh seseorang maka orang lain tidak
boleh mengambilnya.
23
Masyarakat hanya memiliki hak memungut saja, bukan memiliki tanah
(kawasannya).
Cara mengambil gemor adalah dengan cara ditebang, pohon sisa (hasil
tebangan) tetap diberi tanda sebagai hak pengelolaan
(dirawat/dibersihkan sekelilingnya) untuk dipanen lagi pada 3-4 tahun
berikutnya.
Mengelola Damar
Beberapa aturan memungut damar
Damar (hasil hutan buka kayu) yang terdapat pada suatu kawasan
hutan, merupakan hak bersama warga masyarakat adat setempat.
Masyarakat hanya memiliki hak memungut saja, bukan pemilik
tanah (kawasannya).
Umumnya masyarakat mencari dammar secara berkelompok (2-6
orang) hasilnya dibagi rata pada setiap anggota
Tatkala seseorang/kelompok orang sedang memungut dammar, ada
orang/kelompok lain yang datang belakangan maka
orang/kelompok yang baru datang tersebut mempunyai hak yang
sama memungut dengan lebih dahulu meminta izin kepada penemu
sebelumnya.
Mengelola Rotan
Rotan yang tumbuh secara alami di kawasan hutan dalam wilayah
komunitas masyarakat adat biasanya digunakan untuk berbagai
keperluan hidup masyarakat setempat, misalnya untuk keperluan
membangun rumah/pondok, membuat alat perlengkapan berladang,
alat penangkap ikan alat penangkap biantang liar (berburu) dan
sebagainya.
24
Kawasan tumbuhnya rotan alam merupakan hak bersama masyarakat,
dimana pemanfaatannya untuk segenap warga masyarakat adat karena
mereka mempunyai hak yang sama.
Hak pengelolaan kawasan tumbuhan rotan alam hanya sebatas
mengambil/memungut rotannya saja bukan kawasan hutan dan
tanahnya,
Jika ada pihak lain yang akan membuka lahan pada hutan tempat
tumbuhnya rotan alam, maka yang bersangkutan harus memberi
kompensasi (ganti rugi) kepada warga masyarakat setempat yang
kehilangan tempat usahanya.
Bila ada pihak/seseorang yang melakukan pengrusakan rotan alami
sehingga masyarakat tidak dapat lagi mengambil/memungut rotan di
area tersebut, maka pihak yang melakukan pengrusakan dikenakan
sanksi berupa:
(i) Membayar denda melalui lembaga adat untuk menanam kembali
rotan yang dirusak.
(ii) Menanggung biaya pesta adat untuk rekonsiliasi masyarakat
setempat
(iii)Denda adat ditentukan melalui rapat Mantri Adat sesuai dengan
tingkat kerusakan area tersebut.
e. Adat Mengelola Buah-buahan Hutan
(1) Buah-buahan yang tumbuh di hutan merupakan hak bersama warga
masyarakat adat setempat
(2) Masyarakat memiliki kewajiban yang sama dalam memelihara dan
memanfaatkan buah-buahan yang tumbuh di hutan.
(3) Pohon buah hutan yang telah diberi tanda oleh warga lainnya tatkala buah
itu belum masak, orang lain tidak boleh mengambil buah tersebut ketika
matang,
25
(4) Pemanfaatan buah-buahan hutan yang telah diberi tanda harus seizin atau
bersama-sama dengan pemberi tanda dalam memanfaatkannya.
(5) Kepemilikan terhadap buah-buahan yang tumbuh secara alami di hutan
hanyalah hak memungut buah, bukan tanahnya.
(6) Jika seseorang merusak/menghilangkan tanda larangan mengambil buah,
maka perusak tersebut dikenakan sanksi berupa:
(i) Membayar denda adat pengrusakan tanda larangan kepada
pemilik/pemberi tanda.
(ii) Membayar denda memetik buah yang diberi tanda larangan kepada
pemilik/pemberi tanda larangan
(iii) Menyampaikan permohonan maaf dan menyatakan tidak mengulangi
perbuatannya kepada pemilik/pemberi tanda larangan.
(iv) Denda adat ditetapkan melalui rapat Mantri Adat sesuai dengan jumlah
pohon buah dan nilai jual buah yang dipetik tersebut.
f. Adat Mengelola Tumbuhan Obat-obatan
(1) Berbagai jenis tumbuh-tumbuhan alami di kawasan hutan yang dapat
diramu menjadi obat-obatan tradisonal merupakan hak bersama
masyarakat
(2) Pengelolaan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan alami di kawasan hutan
untuk obat-obatan tradisonal menjadi hak dan kewajiban bersama
masyarakat.
(3) Hak atas tumbuhan alami yang dapat diramu menjadi obat-obatan
tradisional hanya sebatas memanfaatkan, bukan tanahnya.
(4) Bila seseorang merusak hutan yang banyak terdapat tumbuhan yang dapat
diramu menjadi obat-obatan sehingga fungsinya terganggu dikenakan
sanksi berupa:
26
(i) Membayar denda adat kepada masyarakat melalui lembaga adat untuk
merehabilitasi/ menanam kembali tumbuhan obat-obatan di area hutan
tersebut.
(ii) Denda adat ditentukan melalui rapat mantri adat sesuai dengan tingkat
kerusakan area hutan tersebut.
g. Adat Mengelola Binatang Buruan
Beberapa aturan berburu binatang:
(1) Berburu merupakan hak bersama warga masyarakat,
(2) Kawasan hutan merupakan lokasi tempat berburu, mengintai, memasang
jerat atau perangkap binatang
(3) Kawasan hutan tempat berburu dipelihara/dijaga secara bersama oleh
masyarakat, tidak boleh dirusak apalagi dialihfungsikan,
(4) Berburu binatang seperti babi hutan, rusa atau kijang dapat dilakukan
dengan bantuan anjing pelacak dan senjata tombak atau sumpit
(5) lBerburu terbatas hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging,
tidak boleh berlebihan,
(6) Setiap pemburu hanya boleh membunuh satu ekor saja agar dapat memberi
kesempatan kepada warga lainnya untuk memperoleh hak yang sama dan
mempertahankan populasi hewan buruan agar tidak punah.
(7) Kawasan hutan tempat berburu merupakan hutan yang dikelola dan
dipelihara bersama oleh masyarakat hanya sebatas hak adat berburu bukan
pemilik kawasannya.
h. Adat Mengelola Perikanan
Beberapa aturan mengelola/mencari ikan:
(1) Alat yang digunakan dalam menangkap ikan adalah peralatan tradisional
seperti bubu (buwu), rengge, tampirai, rawai dan lain-lain alat tangkap
ikan tradisional
27
(2) Setiap penangkapan ikan pada sebuah sungai/saha/tatah harus seizin
pengelola sunga/tatah
(3) Penangkapan ikan dengan cara menyetrum, menggunakan tuba ataupun
bahan beracun lainnya dilarang karena dapat menyebabkan kematian
ikan secara masal
(4) Seseorang memasuki sungai tanpa izin pengelola sungai/anak sungai untuk
tujuan menangkap ikan atau mencari hasil hutan di sekitar sungai
dikenakan sanksi berupa:
(i) Membayar denda kepada pengelola sungai atau tatah (parit)
(ii) Membayar denda jasa pengelolaan sungai, saka kepada pemegang hak
kelola sungai/saka.
(iii)Menyampaikan permohonan maaf dan menyatakan tidak mengulangi
perbuatannya.
(iv) Denda adat ditetapkan melalui rapat mantri adat sesuai nilai hasil
usaha yang diperoleh .
(5) Seseorang yang menuba/menyetrum sungai/anak sungai/danau sehingga
menyebabkan kematian ikan secara masal dikenakan sanksi. Demikian
pula halnya bagi seseorang yang melakukan suatu aktivitas yang
mengancam keselamatan manusia. Kepada pelaku dikenakan sanksi
berupa:
(i) Membayar denda adat kepada pengelola sungai, anak sungai, saka,
baruh, danau, untuk melaksanakan upacara ritual, sebesar 15 – 30 kati
garantung.
(ii) Membayar denda adat ganti rugi kepada pengelola sungai, saka, baruh,
danau karena hilangnya mata pencaharian pada kuru waktu tertentu
dari sungai, saka, baruh, danau tersebut.
(iii)Menyampaikan permohonan maaf dan menyatakan tidak mengulangi
perbuatannya.
28
(iv) Pelanggar tidak boleh melakukan kegiatan atau berusaha di sungai,
saka, baruh, danau tersebut selama satu musim atau satu tahun.
(v) Denda adat ditetapkan melalui rapat mantri adat sesuai dengan tingkat
kerusakan yang terjadi.
(6) Seseorang yang melakukan pengrusakan terhadap alat tangkap ikan milik
orang lain sehingga alat tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya
dikenakan sanksi berupa:
(i) Membayar denda kepada pemilik alat tangkap ikan
(ii) Memperbaiki/Mengganti alat tangkap ikan kepada pemiliknya sesuai
dengan jenis dan jumlah alat yang rusak atau dibuang.
(iii) Menyampaikan permohonan maaf dan menyatakan tidak mengulangi
perbuatannya.
(iv) Denda adat ditetapkan melalui rapat mantri adat sesuai jenis dan
jumlah alat tangkap yang dirusak
B. Keterlaksanaan Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan SDA
Dari dua sungai yang dikaji dalam wilayah administrasi kota Palangka
Raya hanya di wilayah sungai Bakung yang masih komitmen melaksanakan
kearifan lokal. Di wilayah sungai Koran tidak terlaksananya kearifan lokal
disebabkan oleh tidak adanya pemanfaatan sungai oleh masyarakat akibat
keengganan masyarakat memasuki wilayah sungai yang pada muaranya terdapat
Pos Penjagaan Polisis Hutan. Hal ini menyebabkan sungai Koran tidak terawat.
Aspek-aspek kearifan lokal yang masih terlaksana di wilayah sungai Bakung
dipaparkan berikut ini.
1. Pengelolaan Sungai
Pengelolaan Sungai Bakung secara turun temurun yang masih dipegang
teguh oleh keluarga Pak Jumadi yang merupakan turunan keempat Pak Surung
(pengelola pertama sungai Bakung). Keluarga Pak Jumadi yang mengelola sungai
29
Bakung sudah menunjukkan tanggung jawabnya dalam pemeliharaan terhadap
sungai seperti pembersihan sungai, menjaga dari orang yang akan menyetrum
ikan dan meracun dan kegiatan-kegiatan lain yang membahayakan kelestarian
sungai Bakung. Komitmen dalam mengelola tersebut menyebabkan tidak ada
masyarakat yang menangkap ikan dengan cara menyetrum, meracun, ataupun
melakukan pelanggaran lainnya seperti mengangkat alat tangkap ikan milik orang
lain.
Kebiasaan masyarakat yang mencari ikan di sungai Bakung yang selalu
minta izin keluarga pak Jumadi sebelum memasuki wilayah sungai Bakung,
cerminan saling menghormati dan saling menghargai yang sudah dicontohkan
leluhur. Masyarakat yang mencari ikan di wilayah sungai Bakung untuk
kebutuhan keluarga (bukan skala ekonomi) tidak dikenakan fee sungai oleh
keluarga Pak Jumadi. Masyarakat yang melakukan rekreasi, seperti memancing
ataupun menikmati panorama sungai Bakung tidak perlu meminta izin kepada
pengelola sungai. Walaupun demikian masyarakat yang masuk tersebut harus
memegang teguh kearifan lokal yang berlaku di wilayah sungai Bakung.
2. Pengelolaan Tatah dan Danau
a. Mengelola Tatah
Ada tiga tatah yang masih terkelola secara baik di wilayah sungai Bakung.
Pak Usay (nama aslinya Ahmad Busairi) yang menggunakan tatah tersebut
untuk mengelola jalur pantung miliknya selalu rutin membayar fee kepada
pemilik tata yang digunakannya. Hanya saja beliau setengah dari ketentuan
kearifan lokal (Rp 10.000/pikul getah pantung) karena 50% sisanya
digunakan untuk memelihara tatah.
b. Mengelola Danau
Pembersihan danau secara periodik tiga tahun sekali dengan cara dibakar
pada 10 danau di sekitar sungai Bakung masih dilaksanakan. Hal ini
didasarkan atas pengalaman secara turun temurun bahwa setelah danau
30
dibakar segera tumbuh banyak rumput. Pucuk-pucuk rumput tersebut
mengandung banyak lendir, ketika musim hujan datang dan air
menggenang, maka lendir-lendir di pucuk rumput tadi menjadi makanan
berbagai jenis ikan. Ketika makanan melimpah ikan-ikan bertelur di danau,
saat menjelang musim kemarau, maka indukan ikan kembali ke sungai
besar, dan pada saat itulah kami memasang alat tangkap ikan. Saat musim
air banjir, telur-telur ikan yang tertimbun lumpur danau akan memijah.
Kebiasaan membakar danau, dilakukan dengan sangat berhati-hati,
memperhatikan jalur-jalur pohon di pinggir sungai, karena ada jalur–jalur
pohon tertentu menurut pengalaman kami menjadi sekat bakar alam, artinya
ketika membakar rumput di danau, maka pada jalur tumbuhan pohon
tersebut api akan mati dengan sendirinya.
Pembersihan danau dengan dibakar tersebut sekaligus mencegah
kemungkinan meluasnya api jika terjadi kebakaran. Danau yang tidak
dibersihkan menyebabkan rumput dan semak menebal dan banyak daun-
daun yang mati dan kering sehingga berpotensi memicu terjadinya
kebakaran. Manfaat lain membakar semak dan rumput di sekitar danau tadi
mempermudah akses untuk mencari ikan dan memasang alat tangkap ikan.
3. Adat mengelola Hutan
Hutan yang terdapat disekitar sungai Bakung terpelihara kelestariannya.
Demikian pula halnya dengan kayu dan sumber daya alam lainnya. Hal ini
menunjukkan bahwa pengelola sungai Bakung melaksanakan kearifan lokal
yang berkaitan dengan kewenangannya sebagai pengelola sungai. Masyarakat
pengguna sungai juga komitmen dengan kearifan lokal yang telah dianut
secara turun temurun, termasuk menghargai kearifan lokal yang diterapkan
oleh pengelola kepada setiap pengguna yang memasuki sungai karena jalur
sungai terawasi/terpantau dengan baik oleh pengelola sungai.
31
4. Adat Mengelola Hasil Hutan Bukan Kayu
Hasil hutan bukan kayu yang hingga saat ini digunakan masyarakat sebagai
sumber mata pencaharian di wilayah sungai Bakung adalah pantung dan gemor.
Sumber daya alam lainnya, seperti rotan dan damar sudah tidak dimanfaatkan
masyarakat selama lima tahun terakhir. Adapun praktek kearifan lokal masih
terlaksana adalah berkaitan dengan pengelolaan pantung dan gemor.
Pemanfaatan pantung sebagai sumber mata pencaharian masih berlangsung
di sungai Bakung. Masyarakat yang bekerja menyadap getah pantung memasuki
wilayah sungai Bakung setelah mendapat izin dari pengelola sungai Bakung. Izin
tersebut diberikan setelah ada surat perjanjian kerja sama yang berisi waktu,
potensi yang dimanfaatkan, jumlah orang yang mengerjakan, wilayah jalur
pantung yang disadap dan pihak-pihak yang bersepakat. Contoh surat perjanjian
kerja dilampirkan dalam laporan ini.
Dalam kawasan sungai Bakung terdapat tiga area kawasan pantungyang
terkelola. Setiap area memiliki 4 sampai 12 blok pantung. Setiap blok pantung
terdiri atas 9 sampai 10 jalur pantung. Satu jalur pantung memiliki 60 hingga 130
pohon. Satu jalur pantung ini dikerjakan satu hari oleh seorang penyadap. Pohon
pantung disadap dua hari sekali selama 4-5 tahun. Pada tahun kelima jalur
tersebut diistirahatkan agar pohon pantung dapat menyembuhkan luka. Masa
istirahat tersebut berlangsung hingga ± 5 tahun. Pantung disadap kembali setelah
kulit pohon pantung betul-betul kembali normal.
Masyarakat yang bekerja menyadap pohon pantung bukan dari pihak
keluarga pengelola, selalu membayar fee sungai sebesar Rp 20.000,- / kwintal
sesuai kesepakatan. Sampai dengan kegiatan penelitian ini belum pernah ada yang
melanggar perjanjian sehingga surat perjanjian kerja sama tersebut diperpanjang
lagi untuk masa waktu yang disepakati bersama oleh masyarakat pengguna dan
pengelola sungai.
Sebagaimana masyarakat penyadap getah pantung, masyarakat pencari kulit
gemor di wilayah sungai Bakung juga meminta izin kepada pengelola sungai
32
sebelum memasuki kawasan. Mereka membayar biaya retribusi untuk
pengelolaan sungai sebesar Rp 50.000 tiap pekerja atau sesuai kesepakatan.
5. Mengelola Sumber Daya Perikanan
Sampai sekarang masyarakat penerima manfaat di wilayah sungai Bakung
memegang teguh kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya perikanan. Para
penerima manfaat sungai Bakung senantiasa meminta izin pengelola sebelum
memasuki wilayah sungai Bakung. Mereka juga menggunakan alat tangkap
sederhana yang lazim digunakan. Mereka juga tidak mengambil hasil tangkapan
pengguna lainnya ataupun memasang alat tangkap di dekat alat tangkap orang
lain. Mereka merasa puas dengan hasil yang diperoleh dari alat tangkap
tradisional sehingga tidak tergoda untuk menangkap ikan dengan racun ataupun
menyetrum listrik.
Di dalam wilayah sungai termasuk dalam sungai Bakung ada sejumlah
tatah atau kanal. Kewenangan terhadap pemanfaatan sumber daya perikanan di
dalam tatah tersebut bukan di bawah kendali pengelola sungai tetapi kewenangan
ada pada pemilik tatah. Pengelola sungai dan keluarganya ataupun masyarakat
meminta izin kepada pemilik tatah jika hendak memasang alat tangkap dan
menangkap ikan di tatah tersebut. Kewenangan pengelola sungai terbatas pada
areal sunai bakung sebagai sungai utama dan rawa yang terhubung langsung
dengan sungai Bakung.
C. Pengetahuan, Respon Terhadap Kearifan Lokal Dan Kesiapan
Pelaksanaannya
1. Kearifan Lokal Terkait Pengelolaan Sungai
Masyarakat pengguna sungai Koran dan sungai Bakung berdomisili di
kelurahan Kereng Bangkirai Kecamatan Sabangau Kota Palangka Raya. Tidak
dapat dibedakan antara masyarakat pengguna sungai Koran dan sungai Bakung
karena diantara mereka tidak ada ketentuan tentang wilayah sungai yang
dimanfaatkan. Pengetahuan, respon dan kesiapan masyarakat pengguna sungai
33
Koran dan sungai Bakung terhadap kearifan lokal pengelolaan sungai disajikan
pada tabel berikut.
Tabel 4.1 Pengetahuan, respon dan kesiapan masyarakat menerapkan kearifan
lokal pengelolaan sungai
Kode Responden Pengetahuan Respon Kesiapan
K2R1 Tahu Setuju Siap melaksanakan
K2R2 Tahu Sangat Setuju Siap melaksanakan
K2R3 Tahu Sangat Setuju Siap melaksanakan
K2R4 Tahu Sangat Setuju Siap melaksanakan
K2R5 Tahu Sangat Setuju Siap melaksanakan
K2R6 Tahu Sangat Setuju Siap melaksanakan
Tampak dari tabel di atas bahwa keenam responden mengetahui kearifan
lokal pengelolaan sungai. Dari wawancara yang ditelusuri aspek kearifan lokal
yang mereka ketahui. Pengetahuan tersebut mencakup keberadaan pengelolaan
sungai, izin kepada pengelola jika hendak memasuki sungai dan kewajiban
memelihara sungai dari kerusakan dan ancaman pihak luar. Mereka juga setuju
dengan adanya adat yang berkaitan dengan pengelolaan sungai. Misalnya adat
tentang keberadaan pengelola sungai. Mereka setuju karena adanya pengelola
sungai menyebabkan sungai terpelihara dan terlindung dari kerusakan. Sungai
yang terpelihara akan memudahkan mereka mengakses kawasan yang akan
dimanfaatkan. Bahkan atas jasa pemeliharaan tersebut mereka bersedia membayar
fee sebagai bentuk penghargaan atas jasa pengelola sungai dalam merawat dan
memelihara. Atas berbagai manfaat tersebut mereka siap melaksanakan kearifan
lokal pengelolaan sungai agar manfaat yang diperoleh dapat lestari dalam
menggunakan transportasi sungai.
2. Kearifan Lokal Terkait Pengelolaan Kanal, Tatah, Lubuk, dll
Pengetahuan, respon dan kesiapan masyarakat pengguna sungai Koran
dan sungai Bakung terhadap kearifan lokal pengelolaan kanal, tatah, lubuk
disajikan pada tabel berikut.
34
Tabel 4.2 Pengetahuan, respon dan kesiapan masyarakat menerapkan kearifan
lokal pengelolaan kanal, tatah, lubuk
Kode Responden Pengetahuan Respon Kesiapan
K2R1 Tahu Setuju Siap melaksanakan
K2R2 Tahu Sangat Setuju Siap melaksanakan
K2R3 Tahu Sangat Setuju Siap melaksanakan
K2R4 Tahu Sangat Setuju Siap melaksanakan
K2R5 Tahu Sangat Setuju Siap melaksanakan
K2R6 Tahu Sangat Setuju Siap melaksanakan
Tampak dari tabel di atas bahwa keenam responden mengetahui kearifan
lokal pengelolaan kanal, lubuk, dan tatah. Dari wawancara yang ditelusuri aspek
kearifan lokal yang mereka ketahui. Pengetahuan tersebut mencakup keberadaan
pemilik kanal, lubuk, dan tatah. Mereka juga mengetahui memasuki kanal, lubuk,
dan tatah harus mendapat persetujuan pemilik lebih dahulu dan membayar fee atas
penggunaan kanal, lubuk, dan tatah ketika mengangkut hasil hutan untuk
kepentingan komersial. Mereka setuju dengan adanya pemilik kanal, lubuk, dan
tatah karena pemilik tersebut merupakan orang pertama yang membuat kanal,
lubuk, dan tatah. Atas jasa tersebut sudah sepatutnya hak kepemilikan diberikan
pada mereka. Apalagi pemilik kanal, lubuk, dan tatah senantiasa membersihkan
sehingga mempermudah akses menuju wilayah pemanfaatan sumber daya alam
yang hendak diambil. Atas berbagai manfaat tersebut mereka siap melaksanakan
kearifan lokal pengelolaan kanal, lubuk, dan tatah agar manfaat yang diperoleh
setelah transportasi sungai dapat lestari.
3. Kearifan Lokal Terkait Pemanfaatan SDA Bukan Kayu (Pantung,
Jelutung, Kulit Kayu (Gemor), Obat-Obatan)
Data tentang pengetahuan, responden dan kesiapan melaksanakan kearifan
lokal diperoleh melalui wawancara dan angket. Hasil wawancara dengan
responden untuk menggali pengetahuan, respon dan kesiapan masyarakat
pengguna sungai Koran dan sungai Bakung terhadap kearifan lokal terkait
pemanfaatan SDA bukan kayu (pantung, kulit kayu (gemor), obat-obatan)
disajikan pada tabel 4.3, yakni:.
35
Tabel 4.3 Pengetahuan, respon dan kesiapan masyarakat menerapkan kearifan
lokal terkait pemanfaatan SDA bukan kayu (pantung, jelutung, kulit
kayu (gemor), obat-obatan)
Responden Pengetahuan Respon Kesiapan
K2R1 Tahu Setuju Siap melaksanakan
K2R2 Tahu Setuju Siap melaksanakan
K2R3 Tahu Sangat Setuju Siap melaksanakan
K2R4 Tahu Sangat Setuju Siap melaksanakan
K2R5 Tahu Setuju Siap melaksanakan
K2R6 Tahu Setuju Siap melaksanakan
4. Kearifan Lokal Terkait Pengelolaan Sumber Daya Perikanan
Pengetahuan, respon dan kesiapan masyarakat pengguna sungai Koran
dan sungai Bakung terhadap kearifan lokal pengelolaan sumber daya
perikanan disajikan pada tabel berikut.
Tabel 4.4 Pengetahuan, respon dan kesiapan masyarakat menerapkan kearifan
lokal pengelolaan sumber daya perikanan
Kode Responden Pengetahuan Respon Kesiapan
K2R1 Tahu Setuju Siap melaksanakan
K2R2 Tahu Setuju Siap melaksanakan
K2R3 Tahu Sangat Setuju Siap melaksanakan
K2R4 Tahu Sangat Setuju Siap melaksanakan
K2R5 Tahu Setuju Siap melaksanakan
K2R6 Tahu Setuju Siap melaksanakan
Tampak dari tabel di atas bahwa keenam responden mengetahui kearifan
lokal pengelolaan sumber daya perikanan. Dari wawancara yang ditelusuri aspek
kearifan lokal yang mereka ketahui. Pengetahuan tersebut mencakup jenis dan
lokasi penempatan alat tangkap, tidak boleh mengambil hasil tangkapan orang
lain, bagian pengelola sungai dari hasil tangkapan.
Persentase pengetahaun, respon terhadap nilai-nilai kearifan lokal dan
kesiapan masyarakat melaksanakan nilai-nilai kearifan lokal untuk menunjang
kelestarian taman nasional sebangau disajikan pada table 4.5.
36
Tabel 4.5 Rekap persentase pengetahuan, respon & kesiapan masyarakat
melaksanakan nilai-nilai kearifan lokal
No. Aspek pengelolaan Pengetahuan Sikap Perilaku
Tahu % Setuju % Siap %
1. Sungai/ tatah/ danau 6 100.0 6 100.0 6 100.0
2. Hasil Hutan bukan Kayu 4 66.7 5 83.3 6 100.0
3. Sumber Daya Perikanan 6 100.0 6 100.0 6 100.0
4. Hutan 4 66.7 5 83.3 4 66.7
5. Kebakaran hutan 3 50.0 4 66.7 4 66.7
Jumlah 76.7 86.7 86.7
Tabel 4.5 memperlihatkan persentase pengetahuan masyarakat terhadap
kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam di daerah aliran anak sungai
sebangau wilayah Kota Palangka Raya di dalam kawasan Taman National
Sebangau bervariasi. Presentase tertinggi terjadi pada pengetahuan tentang
pengelolaan sungai, tatah dan lubuk serta pengetahuan tentang pengelolaan
sumber daya perikanan. Presentase terendah terjadi pada pengetahuan tentang
pengelolaan kebakaran hutan.
Tabel 4.5 juga memperlihatkan respon masyarakat terhadap nilai-nilai
kearifan lokal yang berlaku dalam mengelola sumber daya alam. Persentase
respon tertinggi terjadi pada pengelolaan sungai, tatah dan lubuk serta
pengetahuan tentang pengelolaan sumber daya perikanan. Sedangkan presentase
terendah terjadi pada pengetahuan tentang pengelolaan kebakaran hutan.
Demikian pula persentase tertinggi terjadi pada kesiapan menerapkan aturan/nilai-
nilai kearifan lokal pengelolaaan sungai (tatah dan lubuk), penghelolaan sumber
daya hasil hutan bukan kayu serta pengelolaan sumber daya perikanan. Persentase
rata-rata pengetahuan masyarakat terhadap nilai-nilai kearifan lokal tentang
pengelolaan sungai, tatah, lubuk, hasil hutan/bukan kayu, sumber daya perikanan
dan kebakaran hutan tergolong tinggi yakni 76,7%. Demikian juga persentase
rata-rata respon masyarakat terhadap pengelolaan sumber daya alam berbasis
kearifan lokal serta kesiapan masyarakat menerapkan nilai-nilai kearifan lokal
dalam kehidupan sehari-hari tergolong tinggi yakni 86,7%.
37
D. Faktor Pendukung & Kendala
Respon positif dan kesiapan masyarakat menerapkan kearifan local dalam
kehidupan sehari-hari merupakan modal dasar dalam melaksanakan kearifan lokal
untuk mendukung pelestarian taman nasional sebangau. Dukungan lain juga datan
dari forum perwakilan masyarakat dan lembaga adat. Mereka juga siap
berpartisipasi aktif dalam penerapan nilai-nilai kearifan lokal untuk mendukung
kelestarian taman nasional sebangau.
Adapun kendala yang dihadapi masyarakat dalam penerapan nilai-nilai
kearifan lokal untuk mendukung pelestarian taman nasional sebangau adalah
belum jelasnya kawasan yang boleh dimanfaatkan oleh masyarakat dalam
mengelola sumber daya alam dalam kawasan taman nasional sebagau. Kebutuhan
ekonomi yang semakin tinggi dan rendahnya kemampuan melakukan diversifikasi
mata pencaharian berpotensi sebagai penyebab adanya pelanggaran yang
dilakukan masyarakat. Akibat faktor ini adalah tingginya tuntutan masyarakat
terhadap pengelola taman nasional sebangau untuk melakukan program
pemberdayaan masyarakat.
38
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Adapun kesimpulan dalam penelitian ini adalah:
1. Masyarakat di daerah aliran anak sungai Sebangau di wilayah administrasi
kota Palangka Raya telah memiliki kearifan lokal dalam pengelolaan sumber
daya alam yang berkaitan dengan pengelolaan sungai dan perikanan,
pengelolaan hutan, dan pengelolaan hasil hutan bukan kayu, seperti gemor,
pantung, rotan, damar.
2. Pengetahuan masyarakat Sebangau di wilayah administrasi kota Palangka
Raya tentang nilai-nilai kearifan daerah aliran anak sungai lokal dalam
mengelola sumber daya alam dalam kawasan Taman Nasional Sebangau
tergolong tinggi
3. Respon masyarakat sekitar anak sungai Sebangau di wilayah administrasi
kota Palangka Raya terhadap nilai-nilai kearifan lokal yang berlaku dalam
mengelola sumber daya alam dalam kawasan Taman Nasional Sebangau
tergolong tinggi
4. Kesiapan masyarakat di daerah aliran anak sungai Sebangau di wilayah
administrasi kota Palangka Raya dalam mengelola sumber daya alam dalam
kawasan Taman Nasional Sebangau berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal
tergolong tinggi
5. Faktor pendukung dalam penerapan nilai-nilai kearifan lokal pengelolaan
sumber daya alam di daerah aliran anak sungai Sebangau dalam kawasan
Taman Nasional Sebangau wilayah administrasi kota Palangka Raya adalah
respon positif dan kesiapan masyarakat yang tinggi serta adanya dukungan
forum masyarakat dan lembaga adat.
39
B. REKOMENDASI
Nilai-nilai kearifan lokal pengelolaan sumber daya alam di daerah aliran
anak sungai Sebangau wilayah kota Palangka Raya, yakni sungai Koran dan
sungai Bakung perlu dikaji lebih mendalam dan dikembangkan agar dapat
menjadi acuan dalam penerapan di lapangan untuk mendukung pelaksanaan
kearifan lokal dalam wilayah hutan adat dan memperkuat hukum positif. Kajian
dan pengembangan tersebut melibatkan Lembaga Kedamangan Kecamatan
Sabangau, tokoh masyarakat dan forum perwakilan masyarakat Kecamatan
Sabangau agar terbangun komitmen dalam menerapkan nilai-nilai kearifan lokal
untuk menunjang kelestarian kawasan Taman Nasional Sebangau. Produk kajian
dan pengembangan selanjutnya dikukuhkan sebagai salah satu acuan pengelolaan
sumber daya alam di dalam kawasan TNS wilayah administrasi kota Palangka
Raya melalui pola kolaboratif. Penerapan kearifan lokal pengelolaan sumber daya
alam di dahului dengan penetapan zona kawasan yang menjadi rambu-rambu
dalam pengelolaan pola kolaboratif sehingga keterlibatan masyarakat senantiasa
berorientasi pada azas lestari dan azas manfaat secara timbal balik.
Pengelola TNS perlu bekerja sama dengan Lembaga Kedamangan
Kecamatan Sabangau, tokoh dan forum perwakilan masyarakat serta lembaga
terkait lainnya dalam melakukan sosialisasi tentang nilai-nilai kearifan lokal
pengelolaan sumber daya alam untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat di
daerah aliran anak sungai Sebangau dalam kawasan Taman Nasional Sebangau
Dalam rangka meningkatkan dan memelihara respon masyarakat terhadap
nilai-nilai kearifan lokal pengelolaan sumber daya alam dalam kawasan Taman
Nasional Sebangau perlu adanya inventarisasi tentang anggota masyarakat yang
melakukan praktek baik (best practice) dalam mengelola hasil hutan bukan kayu.
Diantara indikator yang dapat digunakan dalam inventarisasi tersebut adalah
kepedulian pada lingkungan, komitmen dalam menerapkan kearifan lokal, dan
jumlah masyarakat binaan, serta penghasilan masyarakat binaan.
Perlu adanya dokumentasi, publikasi dan apresiasi tentang praktek baik
penerapan nilai-nilai kearifan lokal pengelolaan sumber daya alam yang
40
dilakukan masyarakat di daerah aliran anak sungai Sebangau dalam kawasan
Taman Nasional Sebangau.
Dalam rangka mengantisipasi kendala yang dihadapi dalam penerapan
nilai-nilai kearifan lokal pengelolaan sumber daya alam di daerah aliran anak
sungai Sebangau dalam kawasan Taman Nasional Sebangau wilayah administrasi
kota Palangka Raya perlu dilakukan langka antisipatif. Kendala yang datang dari
luar antara lain dapat diantisipasi dengan identifikasi mendalam sumber kendala,
penguatan kemitraan dengan masyarakat lokal, serta pembinaan dan penegakan
hukum. Kendala yang datang dari dalam dapat diantisipasi dengan peningkatan
kapasitas masyarakat lokal dalam melakukan diversifikasi mata pencaharian,
peningkatan kapasitas kawasan TNS sebagai penyangga sumber mata pencaharian
dari sumber daya alam bukan kayu, menanamkan rasa bangga sebagai masyarakat
yang hidup di sekitar kawasan TNS dengan memberikan penghargaan atas jasa
mereka dalam menyangga berlangsungnya kehidupan di muka bumi.
41
LAMPIRAN
Tabel 2.1 Karakteristik Responden Kategori Pertama
Nama/
Kode
Umur Status Suku Lama Domisili Pendidikan
Basel A.
Bangkan
(K1R1)
62 thn Damang Adat Dayak 62 thn
(09 -01-1952)
SMA
Sabran
(K1R2)
48 thn Ketua Formas Dayak 48 tahun
(04-03-1966)
Sarjana
Jumadi
(K1R3)
46 thn Tetua Sungai
Bakung
Dayak 46 tahun Tamat SD
Tabel 2.2 Karakteristik Responden kategori kedua:
No. Nama/Kode Umur Status Suku Lama
Domisili
Pendidikan
1. Ilus Jaya
(K2R1)
60 tahun Nelayan Banjar 27 tahun SR
2. Yusran
(K2R2)
53 tahun Nelayan Dayak 53 tahun SMP
3. Ahmad
(K2R3)
36 tahun Nelayan Dayak 36 tahun SMP
4. Usay
(K2R4)
40 Thn Pengumpul
Getah Pantung
Banjar 17 tahun SMA
5. Jejen
(K2R5)
38 Thn Nelayan Dayak 38 thaun SMP
6. Ahmadi
(K2R6)
23 Thn Nelayan Dayak 23 tahun SMA