58
1 | Page BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dewasa ini kebutuhan dunia akan infrastruktur terus meningkat seiring dengan meningkatnya aktivitas ekonomi. Dalam jangka panjang, GDP dunia diperkirakan akan tumbuh kuat dan mungkin bisa mencapai dua kali lipat selama periode tahun 2030. Pertumbuhan ekonomi tertinggi diperkirakan terjadi di wilayah Asia/Pasifik, Cina dan India 1 . PDB per kapita di negara-negara berpendapatan tinggi diperkirakan akan terus meningkat, bahkan lebih tinggi dari PDB rata-rata per kapita negara berkembang. PDB per kapita Cina dan India bisa meningkat tiga sampai empat kali pada tahun 2030. Tabel 1: Proyeksi Kebutuhan Investasi untuk Infrastruktur Sumber: OECD, 2011 Sejalan dengan prediksi pertumbuhan ekonomi dunia, kebutuhan akan infrastruktur juga akan terus meningkat. The Infrastructure to 2030 (OECD, 2006-07) menyimpulkan bahwa kebutuhan investasi infrastruktur global yang mencakup transportasi darat (jalan, 1 Strategic Transport Infrastructure Needs to 2030, OECD 2011

Kajian Good Governance Proyek-Proyek Infrastruktur

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Kajian Good Governance Proyek-Proyek Infrastruktur

Citation preview

1 | P a g e

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dewasa ini kebutuhan dunia akan infrastruktur terus meningkat seiring dengan

meningkatnya aktivitas ekonomi. Dalam jangka panjang, GDP dunia diperkirakan akan

tumbuh kuat dan mungkin bisa mencapai dua kali lipat selama periode tahun 2030.

Pertumbuhan ekonomi tertinggi diperkirakan terjadi di wilayah Asia/Pasifik, Cina dan

India1. PDB per kapita di negara-negara berpendapatan tinggi diperkirakan akan terus

meningkat, bahkan lebih tinggi dari PDB rata-rata per kapita negara berkembang. PDB per

kapita Cina dan India bisa meningkat tiga sampai empat kali pada tahun 2030.

Tabel 1: Proyeksi Kebutuhan Investasi untuk Infrastruktur

Sumber: OECD, 2011

Sejalan dengan prediksi pertumbuhan ekonomi dunia, kebutuhan akan infrastruktur

juga akan terus meningkat. The Infrastructure to 2030 (OECD, 2006-07) menyimpulkan

bahwa kebutuhan investasi infrastruktur global yang mencakup transportasi darat (jalan,

1 Strategic Transport Infrastructure Needs to 2030, OECD 2011

2 | P a g e

rel), telekomunikasi, listrik dan sektor air akan mencapai sekitar USD53 triliun lebih

selama periode 2010-2030. Pertumbuhan kebutuhan investasi per tahun akan mencapai

sekitar 2,5% dari GDP dunia, dan akan meningkat menjadi 3,5% dari PDB apabila

memperhitungkan kebutuhan investasi untuk pembangkit listrik dan energi lainnya seperti

minyak, gas dan batubara.

Bagaimana dengan Indonesia? Tampaknya peningkatan infrastruktur diperkirakan

menjadi komponen kunci dalam upaya pemerintah untuk menarik investasi yang lebih

besar bagi ekspansi dan daya saing ekonomi. Pembangunan infrastruktur merupakan

tantangan utama yang harus segera diatasi.

Secara umum, perkembangan infrastruktur Indonesia, dinilai jalan di tempat dan

tidak mampu mengejar pertumbuhan ekonomi serta kemajuan di negara lain. Dalam Global

Competitiveness Report 2008-2009, Indonesia berada di urutan ke-86 dari 134 negara,

tertinggal dibandingkan Malaysia (23), Thailand (29), China (47), India (72), Sri Lanka (65)

dan Pakistan (85) (2). Kondisi infrastruktur secara umum diperkirakan belum akan banyak

berubah, kendati beberapa langkah terobosan sudah ditempuh. Diperkirakan listrik

merupakan infrastruktur yang akan lebih dulu pulih disusul dengan jalan raya, terutama

jalan tol, tetapi infrastruktur lain masih jauh tertinggal dengan negara lain. Telekomunikasi

mungkin yang paling mapan karena ditolong oleh teknologi seluler. Gambaran lebih buruk

terlihat pada infrastruktur yang terkait dengan masyarakat, seperti pengairan, sanitasi, air

bersih, dan angkutan umum massal, yang semestinya menjadi prioritas.

Gambaran di atas menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur masih

merupakan tantangan besar yang harus diatasi. Pemerintah terus berupaya menggenjot

pembangunan infrastruktur, namun banyak kendala yang dihadapi, mulai dari masalah

pendanaan hingga persoalan teknis di lapangan.

Dari sisi pendanaan, saat ini alokasi anggaran infrastruktur dalam postur APBN

masih di bawah standar yang ditetapkan. Alokasi anggaran infrastruktur dewasa ini baru

mencapai kurang lebih 2 persen terhadap PDB, sedangkan idelanya, menurut Asian

Development Bank (ADB), anggaran pembangunan infrastruktur di Indonesia minimal 5

persen dari PDB.

3 | P a g e

Meskipun kemampuan pemerintah dalam mengalokasikan anggaran untuk

pembangunan infrastruktur masih terbatas, pemerintah dapat membangun infrastruktur

melalui skema pembiayaan Kerja Sama Pemerintah-Swasta (Public Privat Partnership-PPP),

skema Viability Gap Funding (VGF) atau skema pembiayaan unsolucited. Permasalahannya,

untuk melakukan skema tersebut, diperlukan adanya tata kelola (good governance) yang

baik dalam pengelolaan proyek. Melalui pengelolaan yang baik, pemerintah tidak akan

kesulitan dalam mengakses pendanaan, karena pembiayaan akan datang dengan

sendirinya.

Berdasarkan gambaran di atas, maka perlu dilakukan kajian untuk mengetahui

sejauh mana good governance dalam pengelolaan proyek-proyek infrastruktur yang

dikerjasamakan melalui PPP, VGF maupun pembiayaan unsolucited. Dalam kajian ini juga

akan dianalisis kesuksesan dan kegagalan good governance beberapa proyek yang

dikerjasamakan melalui PPP, VGF maupun pembiayaan unsolucited di berbagai negara,

sehingga akan menghasilkan rekomendasi yang bermanfaat dalam menjalankan investasi

publik yang lebih berkelanjutan pada proyek-proyek infrastruktur.

1.2 Tujuan Kajian

Kajian ini bertujuan untuk :

1. Memetakan gambaran good governance proyek-proyek pemerintah yang

dikerjasamakan dengan swasta dan mengembangkan kerangka kerja good

governance yang dapat meningkatkan kontribusi pada pembangunan infrastruktur.

2. Menganalisis kerangka regional yang dapat menfasilitasi pembiayaan/kerjasama

jangka panjang untuk pembiayaan infrastruktur di wilayah regional.

1.3 Metodologi Kajian

Dalam studi ini digunakan tiga pendekatan. Pertama, sudi literatur yakni

pengumpulan data atau referensi lainnya sebagai pendekatan teori maupun sebagai

perbandingan. Kedua, dalam studi ini juga dilakukan pengumpulan data primer untuk

melihat permasalahan-permasalahan yang ada di lapangan terkait dengan proyek-proyek

infrastruktur, dan ketiga, pengumpulan informasi melalui focus group discussion (FGD).

4 | P a g e

Melalui FGD diharapkan ada masukan terhadap hasil temuan dalam penelitian ini dari

pihak-pihak yang kompeten dalam bidangnya.

1.4 Sistimatika Penulisan Laporan

Laporan penelitian ini dibagi menjadi empat bagian, yakni bagian pendahuluan yang

berisi latar belakang masalah, tujuan dan metodologi penelitian. Bagian kedua merupakan

kajian teoritis yang berisi tentang skema pendanaan infrastruktur, konsep Good

Governance, pengalaman keberhasilan dan kegagalan proyek infrastruktur, dan

perkembangan kerjasama regional untuk pembiayaan infrastruktur. Pada bagian ketiga

diuraikan mengenai analisis dan pembahasan yang berisi tentang gambaran good

governance, pengembangan pendanaan Asean Infrastructure Fund dan proyek-proyek

infrastruktur unggulan. Bagian terakhir berisi kesimpulan dan rekomendasi.

5 | P a g e

6 | P a g e

BAB II KAJIAN TEORITIS

2.1 Skema Pendanaan Infrastruktur

Infrastruktur merupakan prasarana publik paling mendasar guna mendukung

kegiatan ekonomi suatu negara. Ketersediaan infrastruktur sangat menentukan tingkat

efisiensi dan efektivitas kegiatan ekonomi. Mengingat vitalnya infrastruktur bagi

pembangunan ekonomi, maka pembangunan infrastruktur menjadi kewajiban pemerintah

sepenuhnya.

Data empiris menunjukkan terdapat hubungan yang kuat antara ketersediaan

infrastruktur dasar dengan perekonomian. Hasil studi yang dilakukan David Aschauer2

menyimpulkan bahwa ketersediaan pelayanan infrastruktur merupakan faktor produksi penting.

Penelitian tersebut juga menemukan fakta bahwa menurunnya produktivitas, dapat disebabkan oleh

memburuknya ketersediaan pelayanan infrastruktur.

Sementara itu, Bernt dan Hansson3 mengemukakan bahwa peningkatan pelayanan

infrastruktur dapat mengurangi biaya produksi. Morrison dan Schwatz4 meyatakan bahwa

ketersediaan pelayanan infrastruktur terbukti mampu mengurangi biaya faktor produksi. Norton5

menunjukkan bahwa infrastruktur di sektor telekomunikasi berdampak positif dan siginifikan

terhadap pertumbuhan ekonomi. Singkatnya, berbagai studi di atas memperlihatkan bahwa investasi

di bidang infrastruktur memberikan dampak positif bagi perekonomian.

Sementara itu, berbagai penelitian untuk mengukur peranan infrastruktur dalam

perekonomian antara lain dilakukan oleh World Bank6 yang menyatakan bahwa pertumbuhan

2 David A Aschauer,., “Is Publik Expenditure Productive?”, Journal of Monetary Economics p. 177-200, 1989 3 Berndt, E. R., and B. Hansson, “Measuring the Contribution of Publik Infrastructure Capital in Sweden”, National Bureau of Economic Research Working Paper Number 3842, 1991 4 Morrison, C. J., And A. E. Schwartz, “State Infrastructure and Productive Performance”, National Bureau of Economic Research Working Paper Number 3981, 1992 5 Norton, S. W., “Transaction Costs, Telecommunications, and the Microeconomics of Macroeconomic Growth”, Economic Development and Cultural Change 40: 175-196, 1992 6 World Bank, World Development Report 1994: Infrastructure for Develoment, New York: Oxford

University Press, 1994

7 | P a g e

ekonomi sebesar satu persen ternyata terkait erat dengan pertumbuhan ketersediaan pelayanan

infrastruktur sebesar satu persen pula.

Selanjutnya penelitian-penelitian mengukur elastisitas ketersediaan infrastruktur terhadap

perekonomian dilakukan Canning7, Marianne Fay8, Roller dan Waverman9 , Calderon dan Serven10 )

serta Marianne Fay dan Tito Yepes11. Berbagai studi tersebut menunjukkan bahwa investasi

infrastruktur berdampak signifikan dan positif terhadap perekonomian.

Permasalahannya peningkatan permintaan tidak diimbangi dengan kemampuan

Pemerintah dalam menyediakan pendanaan untuk pembangunan infrastruktur, bahkan

dari tahun ke tahun semakin menurun kemampuan keuangan pemerintah. Untuk

menjembatani menurunnya kemampuan pemerintah dalam mendanai infrastruktur, maka

dikembangkan berbagai skema pendanaan seperti Public-Private Parthership, business to

business dan skema SPV

2.1.1 Skema Public-Private Parthership

Kebutuhan untuk menemukan cara-cara alternatif dalam pembiayaan infrastruktur

mendorong dibuatnya skema pembiayaan kerjasama antara publik dan swasta dalam menyediakan

barang publik. Kerjasama ini berbentuk Public Private Partnership (PPP) atau sering disebut

Kemitraan Pemerintah Swasta (KPS) dilakukan, di mana prinsip-prinsip fungsi perusahaan swasta

diimplementasikan dalam administrasi publik.

William J. Parente12 mendefinisikan PPP adalah

”an agreement or contract, between a public entity and a private party, under which

: (a) private party undertakes government function for specified period of time, (b) the

7 Canning, D., “The Contribution of Infrastructure to Aggregate Output”, World Bank Working Paper Number 2246, 1999 8 Marianne Fay, “Financing The Future: Infrastructure Needs in Latin America, 2000-05”, World Bank Working Paper Number 2545, 1999 9 Lars Röller, Hendrik and Len Waverman, The Impact of Telecommunications Infrastructure on Economic Growth and Development: A first Look at the Data, in The Implications of Knowledge-Based Growth for Micro-Economic Policies, The University of Calgory Press, 1996 10 Calderon C., and L. Serven, “The Output Cost of Latin America’s Infrastructure Gap”, Central Bank of Chile Working Papers Number 186, 2002 11 Marianne Fay and Tito Yepes, “Investing in Infrastructure: What is Needed from 2000 to 2010”, World Bank Working Paper Number 3102, 2003 12 Parente, William J., ”Public Private Partnerships” dalam Workshop on “Fundamental Principles

and Techniques for Effective PublicPrivate Partnerships in Indonesia”, Jakarta, 2006

8 | P a g e

private party receives compensation for performing the function, directly or indirectly, (c)

the private party is liable for the risks arising from performing the function and, (d) the

public facilities, land or other resources may be transferred or made available to the private

party.”

Pelaksanaan PPP dilakukan diantaranya berdasarkan prinsip adil, terbuka,

transparan, dan bersaing. Dengan adanya pengadaan yang mengedepankan transparansi

dan persaingan, manfaat yang dapat diraih adalah (i) meningkatkan penerimaan publik

terhadap proyek PPP, (ii) mendorong kesanggupan lembaga keuangan untuk menyediakan

pembiayaan tanpa sovereign guarantees, (iii) mengurangi risiko kegagalan proyek, (iv)

dapat menarik bidders yang sangat berpengalaman dan berkualitas tinggi, dan (v)

mencegah aparat pemerintah dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.

Tujuan partisipasi sektor swasta dibidang infrastruktur adalah : (i) mencari modal

swasta untuk menjembatani modal pembiayaan yang besar dibutuhkan investasi

infrastruktur pelayanan umum, (ii) memperbaiki pengelolaan sumber daya alam dan

sarana pelayanan, (iii) mengimpor alih teknologi, (iv) memperluas dan mengembangkan

layanan bagi pelanggan, dan (v) meningkatkan efisiensi operasi.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kegiatan kerjasama antara Pemerintah

dan Swasta antara lain adalah : (i) penting bagi semua pihak untuk saling memahami, misi,

fungsi dan tugas, hak, kewajiban masing-masing sebagai pelaku pembangunan, (ii)

melakukan penyamaan persepsi dalam negosiasi kegiatan kemitraan, sangat diperlukan

keterbuakaan, komitmen dari para pelaku pembangunan dengan dicapainya hasil yang

saling menguntungkan, (iii) perlunya keterlibatan langsung seluruh pihak, terutama

Pemerintah Daerah, DPRD, masyarakat, karyawan dan lain-lain, (iv) keberadaan dan akses

data yang relevan, mudah, benar dan konsisten, (v) dukungan yang jelas dan benar kepada

pemberi keputusan baik tingkat Pusat, Propinsi ataupun Daerah (Kabupaten/ Kota), (vi)

kriteria persyaratan lelang/negosiasiyang jelas, transparan dan konsisten, dan (vii)

struktur dan tugas Tim Negosiasiyang jelas dan kemampuan dalam penguasaan materi

bidang Hukum, Teknis dan Keuangan.

Terdapat beberapa skema kerjasama melalui Public Private Partnership, diantaranya

adalah:

a. Kontrak Servis

9 | P a g e

Kontrak antara pemerintah dan pihak swasta untuk melaksanakan tugas tertentu,

misalnya jasa perbaikan, pemeliharaan atau jasa lainnya, umumnya dalam jangka

pendek (1-3 tahun), dengan pemberian kompensasi/fee. Beberapa contoh Kontrak

Servis: (i) kontrak pembersihan jalan, (ii) pengumpulan dan pembuangan sampah,

(iii) pemeliharaan jalan, (iv) pengerukan kali, dan (v) jasa mobil derek.

b. Kontrak Manajemen

Pemerintah menyerahkan seluruh pengelolaan (operation & maintenance) suatu

infrastruktur atau jasa pelayanan umum kepada pihak swasta, dalam masa yang

lebih panjang (umumnya 3-8 tahun), biasanya dengan kompensasi tetap/fixed fee.

Beberapa contoh Kontrak Manajemen (i) perbaikan dan pemeliharaan jalan, (ii)

pembuangan dan pengurugan sampah (solid waste landfill), (iii) pengoperasian

instalasi pengolahan air (water treatment plant), (iv) pengelolaan fasilitas umum

(rumah sakit, stadion, dan olahraga, tempat parkir, sekolah).

c. Kontrak Sewa (Lease)

Kontrak dimana pihak swasta membayar uang sewa (fixed fee) untuk penggunaan

sementara suatu fasilitas umum, dan mengelola, mengoperasikan, serta

memelihara, dengan menerima pembayaran dari para pengguna fasilitas (user

fees). Penyewa/pihak swasta menanggung risiko komersial. Masa kontrak

umumnya antara 5-15 tahun. Beberapa contoh Kontrak Sewa (lease): (i) taman

hiburan (entertainment center), (ii) terminal udara/bandara, dan (iii) armada bis

atau transportasi lainnya.

d. Kontrak Build-Operate-Transfer/BOT

BOT adalah kontrak antara instansi pemerintah dan badan usaha/swasta (special

purpose company), dimana badan usaha bertanggung jawab atas desain akhir,

pembiayaan, konstruksi, operasi dan pemeliharaan(O&M) sebuah proyek investasi

bidang infrastruktur selama beberapa tahun; biasanya dengan transfer aset pada

akhir masa kontrak. Umumnya, masa kontrak berlaku antara 10 sampai 30 tahun.

Beberapa variasi dengan “tema” sama BT (Build and Transfer), BLT (Build-Lease-

Transfer), BOO (Build-Own-Operate), BTO (Build-Transfer-Operate), CAO (Contract-

10 | P a g e

Add-Operate), DOT (Develop-Operate-Transfer), ROT (Rehab-Operate-Transfer), ROO

(Rehab-Operate-Own)Development.

Sedangkan beberapa contoh Kontrak BOT: (i) pembangkit Listrik (Independent

Power Producer/IPP), (ii) jalan Toll, (iii) terminal udara (Airports), (iv) bendungan

& bulk water supply, (v) instalasi Pengolahan Air (water/wastewater treatment

plant), (vI) pelabuhan laut (Seaports), dan (vii) fasilitas IT (Information

Technology).

e. Kontrak Konsesi

Struktur kontrak, dimana pemerintah menyerahkan tanggung jawab penuh kepada

pihak swasta (termasuk pembiayaan) untuk mengoperasikan, memelihara, dan

membangun suatu aset infrastruktur, dan memberikan hak untuk

mengembangkan, membangun, dan mengoperasikan fasilitas baru untuk

mengakomodasi pertumbuhan usaha. Umumnya, masa konsesi berlaku antara 20

sampai 35 tahun.

Beberapa contoh Kontrak Sewa (lease): (i) pelabuhan udara (keseluruhan atau

sebagian), (ii) jalan toll, (iii) pelabuhan laut, (iv) penyediaan dan distribusi air

bersih, (v) rumah sakit, dan (vi) fasilitas olah raga.

2.1.2 Skema Pembiayaan Internasional

Isu Krisis Infrastruktur memiliki keterkaitan kuat dengan krisis keuangan dan

perdagangan yang tengah melanda perekonomian global. Liberalisasi pasar infrastruktur

merupakan strategi utama dalam rangka memulihkan pasar keuangan yang tengah sekarat.

Sama dengan invasi dalam pasar pangan, pertanian, pasar iklim, pasar asuransi sosial, yang

kesemuanya didorong untuk menjadi penopang bagi stabilitas pasar keuangan.

Meskipun invasi infrastuktur juga dipandang penting dalam rangka memperlancar

arus investasi dan perdagangan di semua sektor, namun tujuan yang paling penting adalah

investasi infrastruktur itu sendiri dan bagaimana menciptakan pasar keuangan yang lebih

luas bagi sektor swasta dalam menyerap uang negara dan keuangan Publik dalam skala

yang lebih luas agar masuk dalam pasar infrastruktur.

11 | P a g e

Sedikitnya terdapat empat lembaga pembiayaan internasional yang dapat menjadi

sumber pendanaan infrastruktur, yaitu:

1. Multilateral Development Banks termasuk didalamnya World Bank, Asian

Development Bank (ADB), dan lembaga keuangan lain yang menjadi afiliasinya

seperti Multilateral Investment Guarantee Association (MIGA). Dalam keadaan

tertentu, badan-badan ini dapat memberikan peningkatan kredit seperti jaminan

risiko parsial (PRGs) kepada perusahaan proyek dan pemberi pinjaman.

2. Foreign & Domestic Commercial Banks yang menyediakan pembiayaan utang untuk

proyek. Dimungkinkan untuk mengamankan semua pembiayaan utang dalam negeri

untuk proyek-proyek yang lebih kecil, namun proyek yang lebih besar mungkin

membutuhkan penggabungan pembiayaan dengan pemerintahan.

3. State Infrastructure Fund, dalam kasus Indonesia secara resmi dikenal sebagai

Indonesia Infrastruktur Fund (IIF), didanai oleh Pemerintah Indonesia (melalui PT

Sarana Multi Infrastruktur), bank-bank pembangunan multilateral, International

Finance Corporation (IFC) dan Pemerintah Jerman untuk memberikan pembiayaan

dalam bentuk utang untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia..

4. ASEAN Infrastructure Fund (AIF)13. AIF merupakan lembaga pembiayaan

infrastruktur ASEAN yang dibentuk untuk memberi dukungan pembiayaan bagi

pengembangan infrastruktur di ASEAN dengan memanfaatkan kelebihan likuiditas

di kawasan.

AIF merupakan inisiatif bersama para Menteri Keuangan ASEAN dan Asian

Development Bank (ADB) sebagai upaya untuk memberikan dukungan pendanaan

bagi pembangunan infrastruktur di kawasan ASEAN. Inisiatif ini dilatarbelakangi

adanya perbedaan yang nyata pada tingkat perkembangan infrastruktur di negara-

negara ASEAN (infrastructure development gap). Di samping itu, adanya kelebihan

likuiditas domestik (domestic resources) harus dapat diserap dan dimanfaatkan bagi

pembangunan infrastruktur di ASEAN. AIF, dalam implementasinya akan

diwujudkan dalam suatu special purpose vehicle (SPV) yang akan dikelola oleh ADB.

13 AIF untuk Pengembangan Infrastruktur di Asia Tenggara, dalam Majalah Media Keuangan, Vol. VI No. 45/Mei/2011

12 | P a g e

Melalui SPV, modal yang telah terbentuk kemudian akan di-leverage. Pada tahap

selanjutnya, apabila SPV sudah mempunyai tagihan atas proyek-proyek

infrastruktur yang didanainya, tagihan ini selanjutnya dapat disekuritisasi untuk

meningkatkan likuiditas sehingga akan meningkatkan pula kapasitas pinjamannya.

Dengan demikian, SPV tersebut akan dapat melakukan mobilisasi dana dengan

tingkat yang lebih tinggi. Pada saat yang bersamaan, SPV dimaksud akan dapat

membangun track records yang baik bagi AIF.

2.1.3 Pendanaan Melalui Perbankan

Dilihat dari sudut pandang Perbankan, sampai saat ini sektor Infrastruktur

termasuk dalam kelompok sektor industri yang memiliki tingkat risiko maupun return

pada level moderat14. Dalam melakukan pembiayaan infrastruktur, perbankan

mempertimbangkan berbagai aspek secara komprehensif antara lain:

Cost of Project yang relatif sangat besar sehingga memerlukan skema sindikasi/joint

financing;

Tenor kredit secara umum berjangka panjang sehingga memiliki tingkat risiko yang

tinggi;

Kebutuhan self-financing yang besar, sehingga hanya investor tertentu yang mampu

memenuhi persyaratan tersebut;

Ketentuan tarif jasa infrastruktur termasuk penyesuaiannya harus jelas diatur

dalam perjanjian kerjasama/kontrak;

Potensi terjadinya risiko overrun cost, sehingga pada umumnya perbankan

mensyaratkan adanya jaminan dari pemilik proyek untuk menanggung risiko

tersebut;

Potensi terjadinya risiko inkonsistensi kebijakan di bidang infrastruktur (antara lain

kebijakan tarif, kebijakan penjaminan dari Pemerintah).

14 Zulkifli Zain, Pembiayaan Komersial sebagai Upaya Mempercepat Penyelenggaraan Infrastruktur Berkelanjutan, diunduh dari http://pusbinsdi.net/file/1328010528PembKomer%20Zulkifli.pdf

13 | P a g e

Sesuai karakteristik proyek tersebut di atas, maka diperlukan komitmen pemerintah

dan/atau pemegang saham dalam hal:

Pembebasan lahan, diperlukan komitmen Pemerintah untuk menyelesaikan

pembebasan lahan sesuai jadwal;

Komitmen/kepastian dari Pemerintah atas implementasi ketentuan/Undang–

undang yang ada (misalnya kepastian kenaikan tarif tol);

Adanya komitmen/jaminan dari pemegang saham untuk menyelesaikan proyek

(termasuk dalam hal terjadi cost overrun) dan pemenuhan kewajiban/

pengembalian pinjaman kepada bank (termasuk dalam hal terjadi cash deficiency).

2.2 Konsep Good Governance

Konsep good governance pertama diusulkan oleh Bank Dunia (World Bank), United

Nations Development Program (UNDP), Asian Development Bank (ADB), dan kemudian

dikembangkan oleh banyak pakar di negara-negara berkembang untuk mewujudkan

gagasan-gagasan baik menyangkut tata-pemerintahan berdasarkan kondisi lokal dengan

mengutamakan unsur-unsur kearifan lokal15.

Konsep good governance pada awalnya didasari gagasan yang sifatnya

interdependensi dan interaksi antara pemerintah, masyarakat dan sektor swasta secara

sehat dan seimbang. Oleh karena itu, agar proses implementasi kebijakan publik dapat

dilaksanakan dengan efektif dan berhasil, maka interaksi antara negara, masyarakat, dan

pihak swasta harus didasari unsur partisipasi, transparansi, akuntabilitas, efektivitas dan

efisiensi.

Konsep good governance juga menekankan pada terwujudnya demokrasi, karena itu

penyelenggaraan negara yang demokratis menjadi syarat mutlak bagi terwujudnya good

governance, yang berdasarkan pada adanya tanggung jawab, transparansi, dan partisipasi

masyarakat. Idealnya, ketiga hal itu akan ada pada diri setiap aktor institusional dimaksud

15 Agus Dwiyanto. Mewujudkan Good Geovernance Melalui Pelayanan Publik, UGM Press. Yogyakarta.

2006

14 | P a g e

dengan memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai moral yang menjiwai setiap

langkah governance.

Menurut UNDP16, prinsip-prinsip good governance adalah sebagai berikut:

Mengikutsertakan semua;

Transparan dan bertanggung jawab;

Efektif dan adil;

Menjamin adanya supremasi hukum;

Menjamin prioritas politik, sosial dan ekonomi didasarkan konsensus masyarakat;

Memperhatikan kepentingan masyarakat yang paling miskin dan lemah dalam

pengambilan keputusan menyangkut alokasi pembangunan.

Dalam upaya mewujudkan good governance dan good local governance, pemerintah

telah menetapkan agenda penciptaan tata kepemerintahan yang baik di Indonesia, agenda

tersebut setidaknya memiliki 5 (lima) sasaran, yaitu:17

Berkurangnya secara nyata praktik korupsi kolusi dan nepotisme di birokrasi, yang

dimulai dari jajaran pejabat paling atas;

Terciptanya sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan Pemerintah yang efisien,

efektif dan profesional transparan dan akuntabel;

Terhapusnya peraturan dan praktik yang bersifat diskriminatif terhadap warga;

Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik;

Terjaminnya konsistensi seluruh peraturan Pemerintah Pusat dan Pemerintah

Daerah.

2.3 Pengalaman Keberhasilan dan Kegagalan Proyek Infrastruktur

Tidak semua proyek infrastruktur yang dikerjasamakan dengan swasta sukses, ada

juga yang gagal. Laporan studi yang dibuat oleh Vickram Cuttaree18 menunjukkan bahwa

16 Bappenas. Artikel: Pemikiran Tentang Good Governance.ha1.1.www.Bappenas.go.id

17 Bappenas. Menumbuhkan Kesadaran Tata Kepemerintahan yang baik

15 | P a g e

contoh proyek yang sukses dikerjasamakan dengan swasta melalui PPP adalah program

jalan tol di Chile. Dalam periode 1993 sampai dengan 2001, pemerintah Chile memberikan

21 konsesi proyek jalan tol senilai US $ 5 miliar secara kompetitif. Dalam rangka untuk

menguji pasar dan mengurangi risiko yang dihadapi sektor swasta, pemerintah memulai

melelang proyek-proyek kecil. Lelang diikuti oleh 27 konsorsium dan lebih dari 40

perusahaan dalam negeri dan sepuluh negara asing. Proyek jalan tol yang dikerjasamakan

melalui konsep PPP ini dinilai sangat transparan dan kompetitif, meskipun pemerintah

hanya memberikan jaminan atas pendapatan minimum. Hasil survey kepuasan pengguna,

konsultasi dan para pemimpin daerah maupun pemerintah pusat dalam sebuah focus group

discussion menunjukkan bahwa tingkat kepuasan dengan menggunakan skala 1 sampai

dengan 7, para stakeholder merasa puas dengan memberikan nilai skala 6.

Sementara itu contoh proyek jalan tol yang gagal dikerjasamakan melalui PPP

terjadi di Mexico. Dalam periode 1987 sampai dengan 1995, pemerintah Mexico

menenderkan 52 proyek jalan tol (diantaranya 25 ditenderkan secara kompetitif). Pada

akhir 1995, 34 proyek telah mencapai financial close dengan nilai investasi mencapai

US$9,9 miliar. Swasta dengan penawaran masa konsesi terpendek memenangkan tender

dengan maksimum masa konsesi 15 tahun, namun hal ini menyebakan tarif tol sangat

tinggi. Pemegang konsesi juga diwajibkan membuat jalan pararel yang bebas biaya. Biaya

jalan tol rata-rata meningkat dari US$ 0.02/km menjadi US$ 0,17 setelah masa konsensi.

Biaya konstruksi berjalan rata-rata mencapai 25 persen, sedangkan pendapatan aktual

rata-rata sekitar 30 persen, jauh di bawah perkiraan. Akibatnya hanya 5 proyek yang

memenuhi atau melampaui target. Akibat kegagalan ini Pemerintah Mexico mengambil alih

23 proyek dan membayar hutang kepada Bank Mexico sekitar US$5 miliar dan perusahaan

konstruksi sekitar US$2,6 miliar.

Pelajaran yang dapat dimabil dari kasus di Chile dan Mexico adalah keberhasilan

proyek yang dikerjasamakan melalui PPP di Chile dikarenakan beberapa faktor, yakni (i)

18 Vickram Cuttaree, Successes and Failures of PPP Projects, The World Bank Europe & Central Asia

Region, 2008

16 | P a g e

proses pengadaan yang transparan, (ii) fokus pada menciptakan kesadaran masyarakat

(tolling culture), dan (iii) pengalaman pemerintah dalam mengembangkan program dan

selalu melakukan penyesuaian.

Sedangkan kegagalan proyek pemerintah di Mexico disebabkan antara lain (i)

kombinasi jangka waktu konsesi dengan rendahnya lalu lintas penggunaan tol

menyebabkan biaya tol menjadi mahal, (ii) keberadaan jalan pararel yang bebas biaya

memberikan kontribusi terhadap kesulitan keuangan pemegang konsesi, (iii) situasi

diperburuk oleh krisis Tequila, dan (iv) program mengakibatkan pemerintah harus

membail-out secara besar-besaran.

Beberapa pengalaman internasional lainnya yang dapat membantu mengidentifikasi

penyebab kegagalan proyek pemerintah yang dikerjasamakan dengan swasta adalah (i)

miskinnya kerangka hukum dan lemahnya penegakan hukum, (ii) lemahnya kapasitas

kelembagaan dan strategi PPP, (iii) estimasi biaya dan pendapatan yang tidak realistis, (iv)

kurangnya analisis keuangan dan ekonomi secara menyeluruh, (v) pembagian risiko antara

pemerintah dan swasta yang kurang tepat, (vi) pelelangan proyek yang kurang kompetitif,

dan (vi) adanya resistensi dari publik (kemampuan untuk membayar tidak pernah

dianalisis).

Beberapa contoh proyek pemerintah yang mengalami kegagalan akibat tidak

adanya good governance antara lain adalah: Pertama, proyek jalan tol di Hungary sebagai

akibat tidak dianalisisnya kemampuan masyarakat. Jalan tol untuk pertama kali

ditenderkan dan diimplementasikan Pemerintah Hungary di Eropa Tengah dan Timur.

Pembangunan jalan tol selesai pada tahun 1995 sesuai jadwal dan sesuai dengan anggaran.

Namun proyek ini gagal, karena volume lalu lintas 40 persen lebih rendah daripada yang

diestimasikan. Tarif tol yang sangat tinggi diduga sebagai penyebabnya. Akibatnya,

pemegang konsesi tidak mampu membayar hutang dan akhirnya pemerintah harus

mengambil alih konsesi dengan biaya tinggi.

Kedua, kasus sistem Air di Cochabamba, Bolivia juga merupakan contoh kegagalan

proyek pemerintah. Pada bulan Oktober 1998, terjadi protes dari masyarakat yang

berujung dengan kekerasan. Sembilan tentara Bolivia tewas, ratusan orang terluka dan

beberapa pemimpin lokal ditangkap. Akhirnya, Aguas del Tunari mengumumkan bahwa

17 | P a g e

konsorsium menarik diri dari proyek. Struktur harga air minum diubah dan

mengakibatkan adanya kenaikan hingga mencapai US$20 dalam setiap tagihan air untuk

setiap pelanggan kelompok rumah tangga. Bahkan banyak dari rumah tangga yang harus

membayar sampai US$100/bulan. Kegagalan ini mengakibatkan pemerintah Bolivia

memprivatisasi sistem air di Cochabamba pada tahun 1999 dengan memberikan konsesi

40 tahun untuk sebuah konsorsium internasional yang disebut Aguas del Tunari.

Ketiga, kasus jalan tol di Thailand. Pada tahun 1989, Don Muang Tollway tender

untuk membangun jalan layang dengan masa konsesi 25-tahun dari Dinas Bina Marga

Thailand dengan nilai proyek mencapai US$407.000.000. Don Muang Tollway menghadapi

beberapa masalah karena tidak terpenuhinya pra-konstruksi. Salah satu penyebabnya

adalah kalah bersaing dengan jalan bukan tol, sehingga volume lalu lintas dan pendapatan

jauh dari perkiraan. Pada Oktober 1996 perusahaan tollway tidak bisa lagi membayar

hutangnya dan pemerintah tidak memiliki pilihan kecuali mengambil alih beberapa

pinjaman Don Muang Tollway.

Keempat, tertundanya proyek pemerintah akibat tidak adanya kerangka hukum

yang kuat untuk PPP untuk menentukan aturan main sektor swasta dan mengurangi risiko

proyek. Kasus ini terjadi pada proyek Poland A1 Toll Motorway. Perjanjian konsesi proyek

ini tidak dapat ditandatangani karena bagian terpenting dari perundang-undangan yang

mengatur PPP hilang. Akibatnya dilakukan beberapa kali renegosiasi dan penyesuaian.

Perjanjian pengusahaan baru ditandatangani pada Agustus 2004, 7 tahun setelah

dimulainya negosiasi. Spesifikasi proyek secara signifikan berubah dan konstruksi dibagi

menjadi dua proyek, tidak seperti rencana semula satu proyek. Pada Agustus 1997,

Perusahaan Angkutan Gdansk memperoleh konsesi untuk membiayai, membangun dan

mengoperasikan bagian dari sesi A1 Autostrada dari Gdansk sampai ke Torun.

Kelima, kegagalan proyek pemerintah akibat kurangnya penataan kelembagaan,

dukungan teknis dan diterapkannya checks and balances yang tepat. Hal ini terjadi pada

proyek pemerintahan Portugal pada pertengahan 1990. Sebagai akibat kurangnya

pengalaman dengan proyek-proyek PPP, proyek pemerintah Portugal mengalami

penundaan dan kewajiban pemerintah terkait dengan proyek yang dikerjasamakan dengan

swasta melalui skema PPP mencapai 10 persen dari PDB. Lemahnya kapasitas sektor

18 | P a g e

publik dalam mentransfer risiko untuk sektor swasta dan keterlambatan dalam

memberikan persetujuan pemerintah atas tanah penting dan aspek lingkungan.

Keenam, pengadaan yang tidak kompetitif memberikan posisi yang kuat untuk

negosiasi dan dapat menyebabkan penundaan yang panjang dan biaya pemerintah yang

berlebihan. Hal ini terjadi pada proyek Bulgaria Trakia Motorway. Pemerintah Bulgaria

memberikan konsesi tanpa penawaran yang kompetitif untuk pembiayaan, merehabilitasi,

membangun, dan mengoperasikan Bulgaria Trakia Motorway, bagian dari sebuah jalan

raya A1 pada tahun 2004. Partai-partai oposisi menyerang proyek tersebut atas dasar

kurangnya transparansi, tingginya kontribusi pemerintah dan harga konstruksi. Pemenang

konsesi diminta untuk meningkatkan biaya konstruksi, namun kendala hukum dan tidak

adanya jaminan tanggungan dari pemerintah atas risiko apabila volume lalu lintas lebih

rendah menyebabkan penundaan proyek. Akibatnya, pembicaraan dengan pemegang

konsesi gagal pada bulan November 2006 dan kesepakatan masalah keuangan belum

disepakati.

Ketujuh, guncangan terhadap kondisi makro ekonomi dapat menciptakan situasi

yang tak terduga bagi pemerintah yang berakibat tidak dapat terpenuhinya kewajiban yang

diatur dalam kontrak di PPP. Pengalaman ini terjadi pada proyek Argentina Water System.

Setelah krisis ekonomi 2001, banyak konsesi proyek yang dinegosiasi ulang. Beberapa

bahkan dihentikan dan tanggung jawab untuk penyediaan layanan dikembalikan

pemerintah, seperti yang terjadi di Buenos Aires. Ketika mencabut konsesi pada Maret

2006, pemerintah berpendapat bahwa Aguas Argentinas tidak mematuhi kewajiban untuk

melakukan ekspansi dan meningkatkan kualitas. Sementara itu Aguas Argentinas

berargumen bahwa pembekuan tarif pada saat Peso didepresiasi 2001 secara substansial

mengakibatkan nilai riil dari pendapatan menurun. Akibatnya perusahaan sulit untuk

mencapai target.

2.4 Perkembangan Kerjasama Regional untuk Pembiayaan Infrastruktur

Menurunnya kemampuan keuangan pemerintah menyebabkan semakin

memburuknya kualitas pelayanan infrastruktur dan tertundanya pembangunan

19 | P a g e

infrastruktur baru. Kondisi jaringan infrastruktur seperti ini pada akhirnya akan

meningkatkan biaya pengguna (user costs) yang sangat besar, menghambat mobilitas

ekonomi, meningkatkan harga barang serta mempersulit upaya peningkatan kesejahteraan

masyarakat.

Menghadapi kondisi di atas, maka salah satu langkah yang ditempuh pemerintah

adalah dengan mendorong partisipasi swasta dan masyarakat dalam pembangunan dan

pengelolaan infrastruktur. Namun upaya pemerintah ini menghadapi beberapa kendala,

diantaranya adalah: Pertama, investasi swasta asing masih belum meningkat, padahal

sebagian besar proyek kemitraan mengandalkan pinjaman asing. Kedua, sumber dana

pembangunan infrastruktur dari perbankan sangat terbatas karena ketidakcocokan antara

jangka waktu penyelesaian dan pengembalian proyek dengan jangka waktu pinjaman yang

diberikan. Pada umumnya proyek infrastruktur memerlukan waktu antara 15-30 tahun

untuk melunasi investasinya, sedangkan perbankan umumnya tidak tertarik mendanai

proyek-proyek berjangka panjang.

Kondisi sebagaimana diuraikan di atas tidak hanya dialami oleh Indonesia, akan

tetapi hampir semua negara dewasa ini tengah menghadapi tantangan dalam mencari

pendanaan di tengah krisis global. Upaya untuk mengakses sumber-sumber pendanaan

untuk membiayai kebutuhan infrastruktur akan lebih efisien dan memiliki nilai tambah

apabila ada kerjasama regional yang intensif.

Setidaknya terdapat tiga keuntungan dari adanya dari kerjasama regional, yakni19:

(i) dana yang terkumpul akan lebih besar, (ii) proyek tertentu yang melintasi batas-batas

nasional memerlukan kerjasama dan koordinasi antar satu atau lebih negara; (iii)

kegagalan dalam mengatasi kemacetan infrastruktur lintas batas yang akan menghambat

pengembangan dan intensifikasi jaringan pasokan regional dapat memicu perdagangan

dan pertumbuhan pendapatan di wilayah.

Menyadari beberapa keuntungan dari adanya kerjasama regional untuk pembiayaan

infrastruktur di atas, negara-negara di kawasan Afrika pada tahun 2001 membentuk The

19 United Nation-ESCAP, Enhancing Regional Cooperation Including That Related To Disaster Management, , United Nations publication Sales No. E.06.II.F.13 New York, 2006

20 | P a g e

Emerging Africa Infrastructure Fund (EAIF)20, sebuah kemitraan public-private partnership

yang menyediakan pembiayaan jangka panjang untuk pembangunan dan pengembangan

infrastruktur swasta di 47 negara sub-Sahara Afrika (kecuali Mauritius). EAIF

menyediakan US$10 juta sampai dengan US$ 36,5 juta untuk proyek-proyek di berbagai

sektor termasuk telekomunikasi, transportasi, air dan listrik.

EAIF didirikan untuk mengatasi kurangnya pembiayaan jangka panjang untuk

proyek-proyek infrastruktur di sub-Sahara Afrika. EAIF menawarkan pinjaman dalam USD

dan EUR kepada perusahaan swasta. Pinjaman ini adalah untuk proyek-proyek greenfield

atau untuk upgrade atau ekspansi. Dana bersumber dari negara-negara donor dan oleh

EAIF diteruspinjamkan dengan persyaratan komersial. Pinjaman ini dimaksudkan untuk

mendukung proyek-proyek yang (i) meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi

kemiskinan, (ii) membawa manfaat yang berbasis luas kelompok penduduk, (iii)

membahas isu-isu kesetaraan dan (iv) berpartisipasi dalam mempromosikan hak-hak

sosial, ekonomi dan budaya.

Di wilayah Timur Tengah juga telah didirikan The Middle East and North Africa

(MENA) Infrastructure Fund21. MENA yang didirikan di Dubai International Finance Centre

(DIFC) ini merupakan investor regional, dengan target berinvestasi di sektor infrastruktur

dan energi di seluruh Timur Tengah dan Afrika Utara.

Pendanaan MENA disponsori oleh tiga investor terkemuka di kawasan Timur

Tengah dan Afrika Utara , yakni Fajr Capital, HSBC Bank Middle East dan Waha Capital.

Sebuah tim investasi yang didedikasikan memanfaatkan dukungan dari para sponsor yang

berpengalaman untuk memberikan peluang investasi kepada investor, bersama dengan

modal dan keahlian keuangan kepada perusahaan di mana ia berinvestasi. MENA telah

menjadi salah satu dana infrastruktur terbesar dan paling sukses di Timur Tengah dan

Afrika Utara.

Di kawasan ASEAN telah dibentuk Asean Infrastruktur Fund (AIF) yang diharapkan

dapat memberikan dukungan pendanaan bagi pembangunan infrastruktur dengan

20 http://www.dfid.gov.uk/work-with-us/funding-opportunities/countries-and-regions/eaif/ diakses 27 Februari 2013 21 http://www.menaif.com/ diakses 27 Februari 2013

21 | P a g e

memanfaatkan kelebihan likuiditas di kawasan ASEAN. AIF dalam implementasinya

diwujudkan dalam suatu special purpose vehicle (SPV) yang dikelola oleh ADB. Melalui SPV,

modal yang telah terbentuk akan di-leverage. Dalam tahap selanjutnya, apabila SPV sudah

mempunyai tagihan atas proyek-proyek infrastruktur yang didanainya, tagihan ini

selanjutnya dapat disekuritisasi untuk meningkatkan likuiditas sehingga akan

meningkatkan pula kapasitas pinjamannya. Dengan demikian, SPV tersebut akan dapat

melakukan mobilisasi dana dengan tingkat yang lebih tinggi.

22 | P a g e

Bab III

Analisis dan Pembahasan

3.1 Gambaran Good Governance

3.1.1 Good Governance Pemerintah Indonesia

Mengacu pada laporan World Bank yang ditulis oleh Daniel Kaufman, Aart Kraay,

dan Pablo Zoido-Lobatón22, terdapat hubungan langsung antara good governance, stable

government, dan sosial-ekonomi yang lebih baik. Kesimpulan ini didasarkan pada hasil

riset pada lebih dari 150 negara dengan menggunakan enam indikator: (i) voice &

accountability, (ii) political instability & violence, (iii) government effectiveness, (iv)

regulatory burden, (v) rule of law dan (vi) graft. Dari berbagai indikator di atas, pada

akhirnya diperoleh ukuran yang disebut Worldwide Governance Indicators (WGI). WGI

setidaknya memberikan gambaran bagaimana perbandingan berbagai negara dalam

mengelola negara masing-masing.

Gambar 1: Percentile Ranking of Indonesia

Sumber: Worldwide Governance Indicators23

22 Daniel Kaufman, Aart Kraay, & Pablo Zoido-Lobatón, Agregating Governance Indicators, the World Bank, 1818 H Street N.W. Washington, DC 20433, 2009. 23 Angka 0 menunjukkan kondisi paling buruk dan 100 paling baik.

23 | P a g e

Grafik di atas menggambarkan perkembangan good governance Indonesia dilihat

dari enam indikator yakni control of corruption, regulatory quality, rule of law, political

stability & absence of violence, voice accountability, dan government effectiveness. Dalam

periode 1998 sampai dengan 2010, dari enam indikator, tampak bahwa sejak tahun 2004

terdapat tiga indikator dengan performance buruk, yaitu rule of law, control of corruption,

dan political stability. Tiga indikator ini lebih buruk dibanding dengan tiga indikator lain:

voice accountability (yang berubah menjadi lebih terbuka setelah reformasi), government

effectiveness (mengalami perbaikan dalam satu dekade), dan regulatory quality (cenderung

stagnan)24.

Sementara itu, apabila dibandingkan dengan Brazil, Russia, India, dan China

(BRIC)25

, indikator political stability & absence of violence Indonesia masih di bawah Brazil dan

China, namun lebih baik dibandingkan dengan Russia dan India. Brazil merupakan negara yang

relatif stabil, sedangkan India, sebagai negara demokrasi terbesar, seringkali mengalami gejolak

politik. Sementara itu, China adalah negara yang paling stabil karena kontrol pemerintah pusat

terhadap politik sedemikian besar.

Gambar 2 : Governance Indicator: Political Stability & Absence of Violence

24 Indikator yang perlu mendapatkan perhatian utama adalah rule of law, karena cenderung stagnan dalam satu decade. Indikator control of corruption mengalami peningkatan, namun turun dalam dua tahun terakhir. Indikator political stability & absence of violence cenderung naik, namun turun dalam setahun terakhir. Pada saat rule of law turun, control of corruption cenderung turun. Dua indikator ini punya konvergensi menarik. Political stability & absense of violence terlihat masih buruk. Stabilitas politik memang lebih baik dibanding satu dekade lalu. Namun yang perlu digarisbawahi, negara yang jelas-jelas punya kekuasaan belum mampu melindungi warga negara dari kekerasan. Faktor ini mungkin menjadipenyebab indikator ini selalu berada diranking yang paling bawah.

25 Brazil, Rusia, India dan china adalah negara-negara yang memiliki kemiripan dengan Indonesia, baik dari sisi jumlah penduduk maupun tingkat Pendapatan Domestik Bruto

24 | P a g e

Sumber: Worldwide Governance Indicators

Gambar 3: Governance Indicator: Rule of Law

Sumber: Worldwide Governance Indicators

Dari sisi indikator rule of law, India, Brazil, dan China relatif lebih baik dibandingkan

dengan Indonesia dan Russia. Brazil dan India memiliki rule of law yang paling baik

dibanding tiga negara lainnya. China berada pada posisi medium, sedangkan yang paling

buruk adalah Indonesia dan Russia.

Gambar 4: Governance Indicator: Control of Corruption

25 | P a g e

Sumber: Worldwide Governance Indicators

Indikator control of corruption Brazil berada pada posisi terbaik. Sedangkan India, China

dan Indonesia cenderung berada pada posisi medium dan Russia adalah yang terburuk dalam

pemberantasan korupsi. Sebagai perbandingan, berdasarkan data corruption perception index

dari Transparency International26

, tahun 2011 Russia berada pada ranking ke-143 dengan skor

2,4, Indonesia berada pada ranking ke-100 dengan skor 3,0, India pada ranking ke-95 dengan

skor 3,1, China pada ranking ke-75 dengan skor 3,6, dan Brazil berada pada ranking ke-73

dengan skor 3,8.

Gambar 5: Governance Indicator: Voice & Accountability

Sumber: Worldwide Governance Indicators

Brazil dan India memiliki kebebasan berpendapat yang cukup baik. Hal ini tercermin pada

indikator voice & accountability. Di samping itu, partisipasi publik di kedua negara ini juga lebih

baik, dan kebebasan media yang lebih terjamin. Sedangkan Indonesia berada di bawah Brazil

dan India. Rusia merupakan negara terburuk dalam indikator voice & accountability yang jauh

berada di bawah Indonesia dan China.

Gambar 6: Governance Indicator: Government Effectiveness

26

Transparency International (2012). "Corruption Perceptions Index 2012: In detail". Transparency

International. Transparency International. Retrieved 24 August 2011.

26 | P a g e

Sumber: Worldwide Governance Indicators

China, Brazil, dan India memiliki Government effectiveness jauh lebih baik dibandingkan

Indonesia dan Russia. Kontrol pemerintah pusat yang kuat dan sistem politik yang stabil

menyebabkan China memiliki tingkat efektivitas yang cukup bagus . Sementara itu, Indonesia

yang merupakan negara kepulauan dan Russia dengan daratan terluas di dunia, memiliki tingkat

efektifitas pemerintahan yang rendah. Ada dugaan kondisi alam berdampak pada efektivitas

institusi pemerintahan.

Gambar 7: Governance Indicator: Regulatory Quality

Sumber: Worldwide Governance Indicators

Selanjutnya, indikator regulatory quality Brazil berada pada ranking terbaik dibanding

empat negara lainnya, sedangkan China berada di bawah posisi Brazil. Sementara itu, Indonesia,

India, dan Russia, berada pada ranking bawah.

3.1.2 Good Governance Proyek Infrastruktur

Pemerintah telah memiliki perencanaan pembangunan proyek-proyek infrastruktur

strategis, baik berupa jalan tol, rel kereta api, armada kapal dan pelabuhan laut bertaraf

27 | P a g e

internasional, serta pembangkit listrik. Namun dalam perjalanannya, perencanaan tersebut

seperti “jalan ditempat”. Pemerintah berargumen bahwa permasalahan utama dalam

pembangunan infrastruktur adalah masalah pendanaan. Sebagai salah satu jalan keluar,

maka ditempuhlah kerja sama dengan swasta melalui public private partnership.

Dalam rangka memperlancar proyek-proyek public private partnership, pemerintah

telah menyediakan berbagai fasilitas fiskal, seperti (i) Dana Tanah (the Land Funds), (ii)

Pembiayaan Infrastruktur (the Infrastructure Fund), dan (iii) Dana Penjaminan (the

Guarantee Fund). Pemerintah juga menyediakan dukungan dan jaminan untuk proyek

public private partnership sebagaimana dituangkan dalam Perpres 13/2010. Disamping itu,

melalui Perpres 56/2011, Menteri Keuangan dapat menyetujui pemberian dukungan

pemerintah dalam bentuk insentif perpajakan dan/atau kontribusi fiskal dalam bentuk

finansial berdasarkan usulan Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah. Pemerintah juga

berkomitmen menyediakan jaminan pemerintah terkait proyek-proyek public private

partnership.

Meskipun berbagai fasilitas dan dukungan telah diberikan pemerintah, proyek-

proyek infrastruktur yang dikerjasamakan dengan swasta masih banyak yang menghadapi

permasalahan. Bahkan menurut hasil survei yang dilakukan Global Competitiveness Report27

,

kinerja infrastruktur Indonesia belum mampu mendukung daya saing yang lebih baik. Pada tahun

2011-2012 daya saing infrastruktur Indonesia menduduki peringkat ke-76 dari 142 negara yang

disurvey. Diantara negara-negara anggota ASEAN, peringkat Indonesia jauh di bawah Singapura

(peringkat ke-3), Malaysia (peringkat ke-46) dan Thailand (peringkat ke-42), tetapi masih di atas

Philippine (diperingkat ke 105).

Rendahnya daya saing infrastruktur di Indonesia tidak terlepas dari masalah good

governance proyek-proyek infrastruktur. Berdasarkan hasil survey, setidaknya terdapat empat

permasalahan utama yang dihadapi dalam public private partnership yaitu: (1) kurang

matangnya persiapan proyek sehingga penawaran tidak dapat direspon dengan baik oleh pasar,

(2) faktor pembebasan tanah yang berlarut-larut, (3) ketidakmampuan investor untuk

27

Klaus Schwab, The Global Competitiveness Report 2011-2012, World Economic Forum, Geneva,

Switzerland 2011

28 | P a g e

menggalang pendanaan sehingga tidak tercapai financial closure, dan (4) risiko proyek yang

dianggap terlalu tinggi untuk dipikul oleh swasta. Sementara itu, menurut Infrastructure

Summit tahun 2005, secara umum isu good governance di Indonesia mencakup

inkonsistensi implementasi peraturan, ketidaktransparanan, dan korupsi.

Pandangan yang mengemuka dalam Infrastructure Summit tahun 2005 di atas

sejalan dengan hasil penelitian Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur khususnya yang menggunakan

skema public private partnership mengalami banyak hambatan (bottleneck), yang pada

umumnya terjadi pada tahap penyiapan proyek, disebabkan antara lain oleh penyusunan

Feasibility Study (FS) yang terburu-buru, kurangnya konsultasi publik, lemahnya

koordinasi antar instansi, adanya kepentingan politik pimpinan daerah, lambatnya

penerbitan ijin prinsip dan adanya hambatan regulasi (Daftar Negatif Investasi, prioritisasi

penggunaan sumber daya air, Kawasan Pemangkuan Hutan, ijin penetapan lokasi bandara,

dan Ijin Prinsip Persetujuan Pembangunan Jalan Tol).28

Tabel 2: Beberapa Contoh Proyek Infrastruktur dan

Permasalahan yang Dihadapi

No Proyek Permasalahan 1 Jalan Tol Jakarta outer

ring road west 2 (JORR W-2)

Warga mengancam tidak memberikan lahannya untuk proyek pemerintah, karena proses penetapan harga dilakukan secara sepihak oleh panitia pengadaan tanah (P2T) Jakarta Selatan.

2 Tol Bogor-Ciawi-Sukabumi

Hambatan pembebasan lahan

3 Water Treatment Plant and Distribution of Cimahi Municipal Water Supply29

Pembuatan feasibility study terburu-buru, sehingga proyek dinyatakan gagal dan tidak layak, karena debit air terlalu kecil

4 Proyek Maros Regency Water

Tidak diterbitkannya Surat Ijin Pemanfaatan Air. Fasilitas intake dan pipa transmisi yang sudah dibangun dengan nilai sebesar +

28

Praptono Djunedi, dkk. “Kajian Hukum atas Komitmen Pemerintah dalam Pembangunan Infrastruktur dengan Skema Kerjasama Pemerintah Swasta” 2012. 29

Proyek Water Treatment Plant and Distribution of Cimahi Municipal Water Supply tercantum dalam PPP Book Tahun 2010-2014 sebagai potential project. Pada tahun 2011 telah dilakukan Pre-Feasibility Study oleh Bappenas, akan tetapi proyek tersebut tidak layak karena debit air yang terlalu kecil. Akibatnya, sejak 2010 proyek ini tidak mengalami kemajuan apapun, sehingga sesuai Peraturan Menteri PPN No.3/2009, proyek ini dikeluarkan dari PPP Book mulai tahun 2012.

29 | P a g e

Supply (Sulawesi Selatan)30

Rp12 miliar menjadi tidak dapat dimanfaatkan

5 Proyek Terminal Terpadu Karya Jaya Palembang31

Proyek masuk dalam Daftar Negatif Investasi

6 Fast Track Program (FTP) Tahap I32

Adanya keterlambatan status pendanaan, baik dari PHLN, APBN maupun APLN sindikasi perbankan sehingga pembukaan Letter of Credit dan proses pembayaran terkendala.

Kendala pembebasan lahan baik untuk pembangkit maupun transmisi sebagai akibat kepemilikan ganda atas tanah, sehingga lokasi pembangkit terpaksa digeser dan harus dilakukan penyesuaian disain kembali.

Panjangnya jalur proses perizinan yang tidak mempunyai standard waktu yang baku

7 Tol menuju Bandara Internasional Kualanamu

Proyek dianggap tidak feasible, sehingga pada waktu ditender sepi peminat.

Kendala pembebabasan lahan baik disebabkan adanya kepemilikan ganda atas tanah maupun harga tanah yang diminta masyarakat jauh di atas Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP)

8 Bandara Internasional Kualanamu

Operasional Bandara Internasional Kualanamu terhambat oleh rumitnya pemberian izin IMB City Check-in Kereta Api.

Adanya tarik ulur Tirtanadi dan Tirtauli berkenaan dengan kewenangan dalam menyuplai air.

Kendala pembebasan lahan jalan utama (non-tol/arteri) menuju bandara.

9 Tol Trans Sumatera Tahun 2005 ditenderkan, namun tidak ada yang berminat karena tidak feasible.

Tahun 2008 pemerintah menunjuk PT Hutama Karya untuk menggarap Tol Trans Sumatera

Pemerintah akan memberikan dukungan agar IRR proyek meningkat.

10 Tol Semarang-Solo Proyek ini dikerjakan oleh PT Trans Marga Jawa Tengah. Proyek dibagi menjadi 2 tahap yakni tahap pertama Semarang

Bawen (sudah beroperasi) dan tahap kedua Bawen-Solo (baru dalam tahap pembebasan lahan.

30

Proyek Maros Regency Water Supply tidak bisa dilanjutkan pembangunannya karena tidak diterbitkannya Surat Ijin Pemanfaatan Air (SIPA), sehingga fasilitas intake dan pipa transmisi yang sudah dibangun dengan nilai sebesar + Rp12 miliar menjadi tidak dapat dimanfaatkan 31

Proyek Terminal Terpadu Karya Jaya Palembang, yang masuk dalam PPP Book sebagai potential project, ternyata masuk dalam Daftar Negatif Investasi 32

Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara 10.000 MW Tahap I seharusnya selesai seluruhnya pada tahun 2013. Namun menurut PLN diperkirakan secara keseluruhan selesai pada 2014. Saat ini proyek 10.000 MW Tahap I yang sudah beroperasi sampai akhir 2012 mencapai 4.510 MW, Tahun 2013 baru akan masuk sebanyak 2.428 MW karena sampai saat ini masih dalam tahap commissioning atau uji coba, dan tahap konstruksi tahun ini sebanyak 2.919 MW.

30 | P a g e

Permasalahan yang dihadapi antara lain: - Tuntutan sebagian masyarakat atas harga tanah terlalu

tinggi. - Pemerintah daerah yang dilalui jalan tol meminta agar

dibuatkan jalan penghubung kota dengan tol dan wilayah-wilayah yang berpotensi menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dengan tol.

Sumber: Hasil penelitian, diolah.

Hasil penelitian yang dilakukan OECD33 juga mendukung temuan di atas. Menurut

OECD sejak era Reformasi pada tahun 1999, Indonesia telah meraih kemajuan pesat dalam

menerapkan unsur-unsur pokok demokrasi modern, mulai dari pemilihan umum terbuka

hingga kebebasan media. Proses desentralisasi yang dicirikan sebagai “big bang” telah

mentransformasi pemerintah Indonesia menjadi salah satu pemerintah paling

terdesentralisasi di seluruh dunia. Indonesia juga telah berhasil menjalankan pemulihan

ekonomi yang kuat setelah anjloknya produksi yang terburuk dalam sejarah pasca-

kemerdekaannya pada tahun 1998- 1999. Transisi sistemik tersebut juga diiringi dengan

penurunan kekerasan sosial dan gangguan separatis.

Namun demikian, kemunculan demokrasi dan desentralisasi “big bang” belum

cukup untuk mewujudkan pasar yang kompetitif dan rezim regulasi yang menunjang

perdagangan. Transformasi kelembagaan yang luas dalam administrasi negara Indonesia

selama satu dekade terakhir juga mengakibatkan proses penyusunan peraturan

perundang-undangan yang rumit, jika bukan tidak teratur. Demikian pula proses

desentralisasi yang pesat menimbulkan banyak peraturan yang tumpang-tindih dan tidak

konsisten di antara kementerian/lembaga pemerintah pusat, di antara pemerintah pusat

dan daerah serta di antara pemerintah daerah. Yang mengkhawatirkan lagi adalah

desentralisasi kemungkinan dapat menciptakan lebih banyak peluang korupsi dengan

meningkatkan jumlah pembuat keputusan di seluruh Indonesia yang memiliki kekuasaan

mengeksploitasi proses penyusunan kebijakan untuk keuntungan pribadi.

3.1.3 Pembentukan Public-Private Partnership Unit

33Kajian OECD mengenai Reformasi Regulasi Indonesia Memperkuat Koordinasi dan Menghubungkan Pasar, September 2012

31 | P a g e

Sebagai konsekuensi atas tingginya risiko yang dihadapi oleh swasta, pemerintah

menyediakan jaminan untuk proyek-proyek infrastruktur yang dikerjasamakan melalui

skema public private partnership. Namun perlu disadari bahwa pemberian jaminan ini

menimbulkan adanya kewajiban kontinjensi terhadap APBN34. Sementara itu, potensi

kegagalan proyek-proyek infrastruktur sebagai akibat kurangnya good governance juga

akan berdampak pada keuangan negara35. Beberapa contoh kelemahan proyek-proyek

infrastruktur sebagaimana dipaparkan dalam Tabel di atas berpotensi akan membebani

keuangan negara dalam jangka panjang.

Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa masalah utama penyebab

terhambatnya proyek-proyek infrastruktur bukanlah masalah pendanaan, namun lebih ke

masalah good governance. Menurut hasil penelitian Syahrir Ika36, investor tidak berminat

karena proyek tidak feasible secara ekonomi, atau investor sudah bersedia berpartisipasi,

namun terkendala masalah regulasi, kurangnya konsultasi publik ataupun kurangnya

koordinasi antar instansi menyebabkan proyek yang feasible terkendala pelaksanaannya.

Sementara itu, kunci keberhasilan dalam penerapan good governance adalah adanya

pembagian tugas dan pertanggung jawaban yang jelas antara semua pihak yang terlibat

dalam kemitraan37. Untuk itu, salah satu kerangka untuk memperbaiki permasalahan

transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab dan independensi, pemerintah perlu

memetakan prinsip-prinsip: (i) responsible, yaitu dengan menetapkan siapa yang

34 Dalam kerangka program pembangunan infrastruktur melalui mekanisme Public Private Partnership, Pemerintah menyiapkan tiga fasilitas keuangan berupa Dana Tanah (The Land Funds), Dana Infrastruktur (The Infrastructure Funds), dan Dana Penjaminan (The Guarantee Fund). Dana tanah yang terdiri atas Dana Land Revolving, Land Capping, dan Land Acquisition dikelola oleh Kementerian Pekerjaan Umum. Sementara Dana Infrastruktur dikelola oleh PT Sarana Multi Infrastruktur dan PT Indonesia Infrastructure Finance. Kedua perusahaan di atas didirikan dengan tujuan membantu investor memperoleh pembiayaan domestik baik dalam bentuk pinjaman maupun penyertaan modal. Sebagai tindak lanjut pembiayaan pada proyek KPS, Pemerintah juga mendirikan Guarantee Fund dengan nama PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PT PII). 35 Pemerintah sebaiknya belajar dari pengalaman keberhasilan dan kegagalan berbagai proyek yang dikerjasamakan dengan swasta melalui skema public private partnership di berbagai negara seperti si Chili, Mexico, Hungary, Bolivia, Thailand, Portugal, Bulgaria dan Argentina. 36

Syahrir Ika, dkk, Prospek dan Tantangan Infrastruktur 2013, dalam bulletin IFT Edisi kuartal IV 2012. 37 Richardus Eko Indrajit, Ragam Model Bisnis Kemitraan Pemerintah-Swasta Sebuah Kunci Sukses Pengembangan E-Government Di Indonesia, Prosiding Konferensi Nasional Teknologi Informasi & Komunikasi untuk Indonesia 3-4 Mei 2006, Aula Barat & Timur Institut Teknologi Bandung.

32 | P a g e

bertanggung jawab secara langsung terhadap eksekusi program atau proyek yang ada;

(ii) accountable dengan menetapkan lembaga pelaksana yang akuntabel dalam membuat

keputusan dan mengawasi kinerja proyek; (iii) consulted, yaitu penetapan lembaga tempat

berkonsultasi dalam setiap penyelenggaraan sebuah inisiatif agar tidak bertentangan

dengan regulasi yang berlaku, yang dalam hal ini bisa beraneka ragam jenisnya, seperti

pemerintah pusat, pemerintah daerah, legislatif, kementrian terkait, dan lain sebagainya;

dan (iv) informed, yaitu pihak yang harus diberikan informasi terkait dengan perencanaan

dan pengembangan sejumlah inisiatif tertentu, misalnya: publik, media, dan lain

sebagainya.

Good governance di atas dimaksudkan agar proyek lebih bankable, bukan saja untuk

mendapatkan pendanaan dari perbankan, namun juga dalam konteks lembaga keuangan

non bank. Sebagai implementasinya, pemerintah bahkan pernah menyampaikan kepada

APEC38 perlunya memperbaiki kondisi public private partnership dalam rangka persiapan

akan kebutuhan kelembagaan keuangan di luar perbankan. Persiapan kelembagaan

berkisar dari lingkungan yang lebih luas peraturan dan hukum untuk masalah persiapan

proyek tertentu. Indonesia mengusulkan pengembangan kerangka kerja untuk menilai

apakah anggota ekonomi APEC memiliki lembaga-lembaga dan praktik di negaranya untuk

memberikan proyek-proyek infrastruktur yang bankable.

Isu lain terkait dengan public private partnership adalah regulatory environment,

coordination dan project selection. Dalam konteks regulatory environment, investor melihat

perlunya peraturan yang jelas terkait dengan masa proyek. Hal ini tidak hanya dalam

lingkup peraturan terkait investasi, namun juga sektor, khususnya yang berkaitan dengan

hak atas tanah dan kepemilikan.

Dalam konteks coordination, adanya desentralisasi dalam pengambilan keputusan

dan kurangnya kapasitas dari pemerintah daerah menciptakan hambatan lain pada

investasi infrastruktur. Untuk itu perlu adanya pembagian kewenangan yang jelas atas

berbagai jenis investasi infrastruktur. Selain itu, ada kebutuhan terkait kesiapan fisik lokal,

38APEC Infrastructure Initiative for Supporting Global Growth, submitted by Indonesia, Hplolulu

November 2011

33 | P a g e

termasuk bank tanah dan peraturan yang jelas dalam mengakuisisi lahan. Di kementerian

dan lembaga tingkat nasional, pembagian tanggung jawab dan koordinasi juga penting.

Misalnya, ada kebutuhan unit public private partnership yang memiliki kewenangan untuk

mengkoordinasikan proyek-proyek di seluruh kementerian.

Project selection atau pemilihan proyek tergantung pada prioritas pemerintah dan

pada tingkat apa dapat mendukung pasar. Untuk itu pemerintah dan swasta juga perlu

menyadari isu sektor yang spesifik. Sektor yang berbeda (air, energi, transportasi)

mungkin memiliki dinamika yang berbeda dan oleh karena itu, struktur proyek mungkin

berbeda. Pertanyaan yang penting adalah apakah kebutuhan sektor yang spesifik tersebut

cukup menarik bagi kalangan investor swasta untuk berinvestasi?

Terakhir, terkait dengan project preparation, salah satu perhatian adalah lamanya

waktu yang dibutuhkan untuk melakukan transaksi. Seharusnya sebelum ditenderkan,

proyek harus dilengkapi dengan dukungan fasilitas yang terdiri dari berbagai layanan

infrastruktur seperti: pengacara, pemodal dan lain sebagainya yang diperlukan dalam

memperlancar transaksi. Apabila berbagai fasilitas yang diperlukan dalam transaksi telah

dikembangkan sebelum investor masuk, maka periode proyek dapat diperpendek.

Tusk Advisory (2011)39, sebuah lembaga konsultan, mengembangkan PPP

Pentagram. Fungsi dari PPP Pentagram adalah untuk membantu Pemerintah menciptakan

daya tarik dalam penyediaan infrastruktur melalui penyusunan pendekatan yang disiplin

dan menyeluruh (holistik) dalam penyediaan program dan proyek infrastruktur. Metode

ini membantu untuk menilai perkembangan PPP di Indonesia sekaligus melihat

kekurangannya. 5 komponen PPP Pentagram adalah political courage & legislative

leadership, funding commitment & pipeline creation, regulations & governance of delivery,

correct PPP model & optimal risk sharing, industry capacity &community support.

Dengan menggunakan metode analisis PPP Pentagram, dapat dijabarkan beberapa

perkembangan dan permasalahan dalam pelaksanaan PPP di Indonesia. Pertama, yang jadi

permasalahan dalam sisi political courage & legislative leadership saat ini adalah belum

beraninya legislatif mengambil langkah tidak populis, seperti mengesahkan RUU

39 Tusk-Advisory, 2011. Gaining traction in infrastructure delivery: Introducing the PPP PENTAGRAM. Proceedings of the PPPs in Emerging Markets Conference, (PEMC’ 11).

34 | P a g e

Pembebasan Lahan untuk Kepentingan Umum. Adanya RUU Pembebasan Lahan untuk

Kepentingan Umum sangat penting dalam perkembangan PPP ke depannya. Keberanian

legislatif lah yang menjadi penentu saat ini. Menurut Jeffrey Delmon (2009)40, menciptakan

lingkungan yang kondusif dan dukungan politik kepada PPP menjadi penentu dalam

berjalannya skema PPP di suatu negara.

Komponen kedua adalah funding commitment & pipeline creation. Dalam hal

pendanaan (funding commitment), Indonesia sudah jauh membaik. Indonesia telah

mengalokasikan lebih dari US$ 670 juta untuk dana pembebasan lahan bergulir dan land

capping. Selain itu, Indonesia telah menginvestasikan US$ 500 juta untuk pendirian dua

lembaga pembiayaan baru guna menyediakan dana jangka panjang di sektor infrastruktur

(PT SMI & PT IIF). Tetapi, dalam hal pipeline creation (penyusunan daftar proyek)

komitmen pemerintah masih dipertanyakan. Contohnya, dalam PPP Book 2011 yang

diterbitkan oleh Bappenas, proyek pembangunan Monorail Jakarta dicantumkan sebagai

proyek yang “already tendered”. Tapi, seperti yang kita tahu, Gubernur DKI Jakarta justru

membatalkan proyek tersebut. Hal ini tentunya harus dievaluasi pemerintah, agar

penetapan proyek PPP dilakukan dengan lebih baik. Pemerintah Indonesia bisa mencontoh

bagaimana pemerintah Filipina memilih proyek PPP yang akan dijalankan. Pemerintah

Filipina memutuskan sebuah proyek infrastruktur akan memakai skema PPP (atau tidak)

dan dukungan fiskal yang akan diberikan setelah melalui rapat intesif tingkat Menteri dan

stakeholders terkait, sehingga proyek yang dipilih memang tepat sasaran dan feasible.

Komponen ketiga adalah regulations & governance of delivery. Governance delivery

menjadi salah satu permasalahan mendasar PPP. Indonesia tidak memiliki lead agency

yang jelas dalam pelaksanaan PPP (Wibisono, Delmon & Hahm, 2011)41. Saat ini,

koordinasi PPP dilakukan oleh KKPPI (Komite Kerja Percepatan Pembangunan

40 Jeffrey Delmon, Understanding Options for Public-Private Partnerships in Infrastructure—Sorting

Out the Forest from the Trees: BOT, DBFO, DCMF, Concession, Lease...(Washington, DC: The

World Bank, 2010); Edward Fishman, 2009.

41 Wibisono, Andri., Jeff Delmon and Hongjoo Hahm. 2011. Unlocking the Public-Private Partnerships Deadlock in Indonesia, The World Bank Office Jakarta, May 2011.

35 | P a g e

Infrastruktur), yang diketuai oleh Menko Perekonomian. Sedangkan unit kerja PPP justru

berada dibawah Bappenas. Hal ini dipersulit oleh kenyataan bahwa Bappenas tidak

memiliki kekuatan fiskal untuk memberikan penawaran bankable dari pemerintah (Tusk,

2011)42.

Komponen keempat, correct PPP model & optimal risk sharing. Pada awalnya,

Indonesia terlalu terpaku pada skema Build-Operate-Transfer(BOT), dengan harapan

dukungan pemerintah pada setiap proyeknya dapat diminimalisir. Akan tetapi, hal ini

justru menyebabkan penawaran proyek PPP mengalami kegagalan, karena swasta tidak

cukup yakin untuk mengikuti proyek infrastruktur tanpa dukungan pemerintah. Indonesia

bisa belajar dari kegagalan proyek monorail Jakarta. Kegagalan proyek tersebut

disebabkan oleh (saat itu) belum adanya skema penjaminan dan dukungan fiskal yang

memadai bagi proyek PPP. Sehingga, perusahaan pemenang tender kesulitan untuk

mendapatkan pembiayaan. Skema PPP tidak berarti pemerintah dapat melepas

dukungannya begitu saja. Dukungan pemerintah tetap dibutuhkan dalam pengembangan

skema PPP.

Menghadapi lemahnya good governance proyek-proyek infrastruktur, maka dalam

rangka meningkatkan efektivitas dalam mengelola proyek-proyek infrastruktur yang

dikerjasamakan melalui public private partnership, perlu dibentuk public private

partnership unit. Hal serupa telah banyak dilakukan oleh berbagai negara seperti Jamaica,

Philippine, Australia, Afrika Selatan, Korea, Portugal, Banglades, Inggris, dan lain-lainnya43.

Public private partnership Unit harus didesain sesuai dengan permasalahan yang ada,

sehingga dapat mengatasi berbagai kelemahan yang ada dalam proyek-proyek yang

dikerjasamakan melalui public private partnership.

Dengan mengacu pada laporan World Bank, secara umum struktur PPP Unit adalah

sebagai berikut:

Gambar 8: Government Function, Failures, and Roles of public private partnership Unit

42 Tusk-Advisory, 2011. Gaining traction in infrastructure delivery: Introducing the PPP PENTAGRAM. Proceedings of the PPPs in Emerging Markets Conference, (PEMC’ 11) 43

Lihat lampiran

36 | P a g e

Public Private Partnership Unit dapat berkontribusi bagi keberhasilan proyek-

proyek infrastruktur apabila unit ini dirancang secara spesifik untuk memperbaiki

kegagalan pemerintahan dalam menjalankan public private partnership. Unit ini nantinya

akan menyediakan layanan yang dibutuhkan oleh pemerintah, melakukan analisis

keuangan proyek public private partnership, dan harus memenuhi standar umum maupun

kebijakan khusus pemerintahan seperti transparan, pengadaan yang kompetitif, kebijakan

fiskal yang prudent, serta complying terhadap hukum dan peraturan yang berlaku.

Indonesia dapat banyak belajar dari Afrika Selatan dan Belanda dalam mendirikan public

private partnership unit, karena permasalahan yang dihadapi kedua negara ini hampir

sama. Menurut Wibisono, Delmon & Hahm (2011)44, public private partnership lead agency

di Afrika Selatan dan Belanda berada di bawah Kementerian Keuangan yang memiliki

kekuatan fiskal sehingga skema PPP dapat berjalan dengan baik.

44 Wibisono, Andri., Jeff Delmon and Hongjoo Hahm. 2011. Unlocking the Public-Private Partnerships Deadlock in Indonesia, The World Bank Office Jakarta, May 2011.

37 | P a g e

Public private partnership unit nantinya lebih difokuskan pada memberikan advice

kepada kementerian keuangan terkait public private partnership, membantu pemerintah

dalam memperkuat kualitas public private partnership di masa yang akan datang dan

mereview proposal proyek-proyek infrastruktur bersama dengan kementerian/lembaga

terkait. Dengan demikian fungsi public private partnership unit difokuskan pada technical

assistance, quality control, dan policy formulation.

3.2 Pengembangan Pendanaan ASEAN Infrastructure Fund

ASEAN Infrastructure Fund (AIF) adalah perusahaan pembiayaan swasta yang

dimiliki oleh negara-negara ASEAN dan Asian Development Bank (ADB) yang berdomisili

di Malaysia. AIF didirikan dengan tujuan untuk menyediakan fasilitas pembiayaan

infrastruktur di kawasan ASEAN dalam rangka meningkatkan konektivitas ASEAN.

Modal awal AIF ditetapkan sebesar USD485,20 juta yang merupakan iuran dari

negara-negara anggota dan ADB sebagai share holder dan Administratur AIF. Penyertaan

modal dibayar dalam tiga tahap (tranches) yang dimulai dari tahun 2012 hingga 2014.

Malaysia dan ADB adalah sebagai shareholder terbesar yakni masing-masing sebesar 30,92

persen, sedangkan Indonesia menduduki peringkat kedua dengan share sebesar 24,73

persen.

Tabel 3: Modal AIF Berdasarkan Negara Anggota(USD Million)

No Negara Jumlah Persentase

1 Brunai 10 2,06

2 Cambodia 0,1 0,02

3 Indonesia 120 24,73

4 Laos 0,1 0,02

5 Malaysia 150 30,92

6 Phillipines 15 3,09

7 Thailand 15 3,09

8 Singapore 15 3,09

9 Viet Nam 10 2,06

38 | P a g e

10 ADB 150 30,92

Total 485,20 100,00

Sumber: AIF

Modal dasar AIF masih jauh dari kebutuhan pendanaan infrastruktur negara-negara

anggota. Berdasarkan estimasi Goh Ching Yin45 (2008) dan Nangia46, (2008), kebutuhan

pendanaan infrastruktur negara-negara ASEAN antara 2006 sampai dengan 2015 untuk

new capacity mencapai USD 395,6 juta dan untuk maintenance mencapai USD 200,5 juta

atau total kebutuhan pendanaan infrastruktur mencapai 596,1 juta. Dari total kebutuhan

pendanaan, diperkirakan sampai saat ini baru terpenuhi sebesar 20 persen.47

Tabel 4: Projected Infrastructure Requirements in ASEAN 2006–2015 (US$ billion)

Pendanaan AIF dapat ditingkatkan melalui berbagai alternatif seperti perluasan

pendanaan melalui ASEAN Plus Three, penerbitan obligasi, dukungan pembiayaan dari luar

ASEAN dan pembiayaan dari swasta (private).

3.2.1 Penerbitan Obligasi

45 Goh Ching. Yin, ASEAN Infrastructure Financing Mechanism: concepts and progress, Paper presented at the ASEAN Infrastructure Financing Mechanism Conference, Kuala Lumpur, Malaysia. 10 November . 2008. 46 R Nangia, Overview of Infrastructure Financing in ASEAN. ADB Internal Repo Manila: ADB, 2008. 47 Hikmawan Seafullah, Melirik Partisipasi China, Jepang, dan Korea Selatan (+3) dalam ASEAN Infrastructure Fund, disampaikan dalam focus group discussion Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Republik Indonesia: “Kajian Cost-Benefit turut sertanya negara Jepang, Korea, dan China dalam ASEAN Infrastructure Fund” | Holiday Inn, Bandung, 1 April 2013

39 | P a g e

Salah satu alternatif peningkatkan likuiditas dan kapasitas pinjaman AIF yang

dipertimbangkan untuk ditempuh adalah melalui penerbitan obligasi48. Penerbitan

obligasi dapat ditempuh melalui: pertama, obligasi yang dijamin dengan seluruh aset AIF.

Jenis obligasi ini, sekarang tengah diwacanakan oleh AIF. Kedua, penerbitan obligasi

melalui project bond guna untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur.

Menurut Beder49, penghimpunan dana dalam persaingan pasar (market

competition) pada sektor apapun diharapkan dapat meningkatkan kualitas layanan,

membuat harga lebih murah, dan kebebasan memilih tingkat keuntungan bagi konsumen.

Dalam menerbitkan project bond, konsorsium proyek biasanya harus menyediakan

modal setidaknya 10 persen sampai dengan 20 persen dari nilai proyek tersebut. Project

bond untuk public private partnership pada umumnya memiliki tenor 30 - sampai 40 tahun

dan rating kredit AA dan serendah-rendahnya BBB. Risiko kredit terkonsentrasi pada masa

konstruksi, di mana risiko ditanggung oleh konsorsium. Setelah masa konstruksi, yang

biasanya berlangsung 4-5 tahun, bunga dan pembayaran pokok kontrak dijamin oleh

pemerintah. Untuk risiko yang terkait dengan biaya operasional selama periode pasca-

konstruksi tergantung pada kompetensi konsorsium dalam mengevaluasi biaya operasi

dalam jangka panjang 50.

Risiko utama dari project bond untuk public private partnership adalah risiko kredit.

Kompleksitas struktur keuangan, kontrak dan jaminan memerlukan keahlian khusus dalam

analisis proyek infrastruktur untuk mengurangi risiko ini. Risiko lain yang penting untuk

dipertimbangkan adalah risiko likuiditas, karena obligasi infrastruktur jarang diperjual-

48 Pengalaman dari negara-negara lain dalam membiayai infrastruktur melalui penerbitan obligasi antara lain dilakukan oleh European Commission yang menerbitkan “Europe 2020 Project Bond Initiative” sebagai upaya mencari alternatif sumber pendanaan melalui project bond di tengah dampak krisis global. Europe 2020 Project Bond Initiative digunakan sebagai katalis dalam mendorong pasar modal sebagai alternatif pendanaan proyek-proyek di negara-negara kawasan Eropa. Amerika Serikat juga telah memanfaatkan pasar modal jauh sebelum krisis keaungan global terjadi. Bahkan beberapa proyek seperti LNG, pipeline, dan petrochemical sukses mendapat rating investment grade dalam menerbitkan project bond. Di Malaysiapun juga sudah banyak proyek yang dibiayai melalui penerbitan sukuk sebagai project bond. 49 S. Beder, Electricity: The Global Impact of Power Reforms. Available, 2006 at http://www.tni.org/books/yearb05energy.pdf 50 Infrastructure Bonds: Why Consider Them?, diakses melalui http://www.normandin-beaudry.ca/publications/communiques/archives/2012/vol15-n3.en.html pada 10 April 2013.

40 | P a g e

belikan di pasar sekunder. Likuiditas akan sangat dipengaruhi oleh jumlah investor dan

standarisasi struktur obligasi.

Isu lain terkait dengan project bond adalah masalah peraturan di bidang

infrastruktur. Hasil penelitian Larrain (2011)51 menunjukkan bahwa isu tersebut antara

lain terkait dengan: pertama, allocation of projects yang berkenaan dengan masalah lelang.

Penawar menawarkan biaya yang paling murah, akan tetapi pemenang tender akan

menawar setelah memenangkan proyek. Kedua, fiscal guarantees. Project’s financial

outcomes sangat tergantung pada kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, fiscal guarantees

biasanya akan ditawarkan oleh pemenang tender (misalnya minimum traffic). Ketiga,

extension of concession. Apabila kondisi dari sisi financial kurang menguntungkan, maka

concession yang merupakan bagian dari guarantee pemerintah dapat di-extend. Keempat,

natural monopoly, di manaproyek-proyek berskala besar secara alami akan menjadi

monopoli. Untuk itu, hal ini perlu mendapatkan perhatian karena konsumen mungkin

menderita kerugian apabila terjadi penyalahgunaan.

Meperhatikan persyaratan dan risiko dalam menerbitkan project bond untuk public

private partnership, maka terdapat beberapa langkah yang harus dipersiapkan apabila AIF

akan menggunakan sumber-sumber pendanaan dari negara-negara anggota ASEAN:

pertama, mendorong penyatuan (convergence) kebijakan pasar keuangan dan pasar modal

sertamempercepat perbaikan infrastruktur di pasar keuangan. Pertumbuhan pembiayaan

infrastruktur terkait erat dengan perkembangan pasar modal regional. Hal ini disebabkan

karena pemain regional, termasuk perusahaan konstruksi, perbankan, dan operator

infrastruktur dapat memainkan peran utama dalam proyek-proyek masa depan. Selain itu,

perusahaan regional akan lebih berperan karena mereka lebih tahu struktur penawaran.

Kedua, adanya mismatching risk antara profil investasi dalam infrastruktur yang

bersifat jangka panjang dengan pinjaman yang bersifat jangka pendek akan menghambat

51 Guillermo Larrain, Financing Infrastructure through Bond Markets: Lessons from Latin America.,

Presentation prepared for the “Africa Bond Markets Conference” IFC -World Bank – SIDA Nairobi,

November 7 and 8, 2011.

41 | P a g e

investasi di bidang infrastruktur. Untuk itu instrumen seperti dana pensiun dan obligasi

dapat meminimalkan risiko ketidakcocokan ini.

Ketiga, dari sisi financial pemerintah harus (i)memperbaiki kerangka peraturan

terkait dengan tax framework yang merupakan peran pemerintah, (ii) memperluas opsi

penerbitan yang merupakan peranan regulator di bidang keuangan, (iii) merampingkan

proses penawaran yang merupakan peranan regulator di bidang keuangan, (iv)

memperbaiki kerangka efficient benchmark yield curve, dan (v) memperluas basis investor

baik dari kalangan negara-negara anggota AIF maupun di luar AIF52.

Disamping itu, yang tidak kalah pentingnya adalah isu berkenaan dengan jangka

waktu project bond. Hasil penelitian yang dilakukan Ngugi (2011)53 menunjukkan bahwa

periode kepemilikan project bond akan mempengaruhi penyerapannya. Investor yang rasional

skeptis akan menunda konsumsi uang untuk jangka waktu yang lama dan lebih senang

berinvestasi dalam instrument yang berjangka pendek.

3.2.2 Perluasan Pendanaan AIF Melalui ASEAN Plus Three

Salah satu langkah alternatif lain yang dapat ditempuh adalah dengan mengundang-

negara-negara mitra ASEAN,54 khususnya melalui ASEAN Plus Three untuk bergabung

dengan AIF. Terdapat beberapa faktor yang menjadi pertimbangan perlunya perluasan

pendanaan AIF dengan Jepang, China dan Republik Korea, diantaranya adalah:

52 Disamping memanfaatkan pasar modal kawasan ASEAN, AIF juga dapat mengakses ke pasar modal di kawasan Asia. Menurut hasil kajian United Nation-ESCAP, pada tahun 2000-2003 surplus tabungan di negara-negara Asia diperkirakan rata-rata mencapai US$200 miliar per tahun. Sementara itu menurut Market Pulse FX penerbitan Foreign currency bond di wilayah Asia pada akhir 2012 diperkirakan mencapai US$130 milyar. Secara historis, kurangnya instrumen keuangan yang cukup likuid menyebabkan surplus tersebut banyak keluar dari kawasan Asia. Project bond dari AIF diharapkan akan menjadi instrument keuangan yang likuid , sehingga potensi surplus tabungan di kawasan Asia dapat dimanfaatkan secara optimal. 53 Daniel Mugo Ngugi, The effect of regulation on infrastructure bonds uptake in Kenya, School of Business, University of Nairobi, 2011. 54 Setidaknya terdapat empat mitra ASEAN, yakni: Pertama mitra wicara penuh yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia, China, India, Jepang, Kanada, Republik Korea, Rusia, Selandia Baru, Uni Eropa dan PBB. Kedua, East Asia Summit yang terdiri dari sepuluh angggota ASEAN, Australia, India, Jepang, Republik Korea dan Selandia Baru. Mulai 2011, Amerika Serikat dan Rusia resmi bergabung. Ketiga, mitra wicara sektoral, yakni Pakistan, dan keempat ASEAN mempunyai kerangka kerjasama dengan Jepang, China dan Republik Korea melalui ASEAN Plus Three.

42 | P a g e

Pertama, Jepang merupakan salah satu negara dengan tingkat ekonomi yang sangat

baik di kawasan Asia55. Untuk itu, peranan Jepang dalam kerjasama di bidang ekonomi

dengan ASEAN sangat diharapkan lebih besar. Bahkan bagi Jepang, kawasan ASEAN

merupakan pasar yang sangat potensial bagi produk-produknya. Menurut Suwandana

(2012)56, kerja sama Jepang dan negara-negara ASEAN dilandaskan pada dimensi tatanan

ekonomi di mana negara-negara berkembang hanya berperan sebagai penyedia tenaga

kerja murah bagi industri manufaktur sertabahan dasar untuk industri dan komoditi.

Berdasarkan hal ini maka dapat dikatakan bahwa Jepang berupaya menciptakan pasar

eksklusif.

Kedua, China sangat berkentingan dengan negara-negara ASEAN, terutama pada

pembangunan ekonomi. Menurut John Wong dan Sarah Chan (2003)57, hubungan ekonomi

ASEAN-China dibagi menjadi dua tahap. Yang pertama, dari tahun 1991, ketika Menteri

Luar Negeri China Qian Qichen diundang untuk menghadiri Pertemuan Menteri Luar

Negeri ASEAN ke-24. Pada tahun 2001 ketika Presiden China Zhu Rongji mengusulkan

kawasan perdagangan bebas ASEAN-China, ia melihat potensi kedua belah pihak untuk

memperluas dan memperdalam hubungan perdagangan bilateral. Tahap kedua dimulai

pada bulan November 2002, dengan penandatanganan Agreement on Comprehensive

Economic Cooperation China-ASEAN menuju integrasi ekonomi regional. Selama bertahun-

tahun, China dan ASEAN telah melembagakan 48 mekanisme reguler untuk memfasilitasi

kerjasama ekonomi yang lebih erat. Yang paling terkemuka antara mereka adalah

mekanisme politik ASEAN+1, yang diluncurkan pada tahun 1997. Selain itu, ada lima

kelompok kerja antara ASEAN dan China: Pertemuan Pejabat Senior China-ASEAN, Komite

Kerjasama Bersama China-ASEAN, Komite Kerjasama Bersama Ekonomi dan Perdagangan

ASEAN-China, Komite Bersama Sains dan Teknologi ASEAN-China (Juli 1994), dan Komite

55 Jepang memilii cadangan devisa sebesar USD1.258.809 juta bulan Februari 2013. Cadangan Devisa Jepang secara historis dari tahun 1957 sampai tahun 2013, rata-rata naik sebesar USD231.803,10 juta per tahun. 56 Ingga Suwandana, Kepentingan Jepang Mengembangkan Kerjasama dengan Negara Asia Tenggara Dalam Asean +3, Universitas Gadjah Mada, 2012 57 John Wong and Sarah Chan, “China-ASEAN Free Trade Agreement: Shaping Future Economic Relations,” Asian Survey, Vol. 43, No. 3, May/June 2003, hal. 507-526; Thitapha attanapruttipaisan,

43 | P a g e

Beijing-ASEAN. Kedua belah pihak juga telah mengidentifikasi lima bidang utama

kerjasama: pertanian, teknologi informasi dan komunikasi, pengembangan sumber daya

manusia, pembangunan sungai Mekong, dan investasi bersama.

Dalam KTT ASEAN ke-8 di Phnom Penh, Kamboja, pada bulan November 2002,

China dan ASEAN menandatangani the Framework Agreement on Comprehensive Economic

Cooperation. Apabila hal ini diimplementasikan, akan merupakan pasar umum bagi 1,7

miliar orang, dengan produk domestik bruto gabungan (PDB) sebesar US $ 1,5-2 milyar.

Kedua belah pihak berusaha membangun kawasan perdagangan bebas (FTA) dalam waktu

10 tahun, pertama dengan ASEAN asli-6 pada tahun 2010, diikuti oleh seluruh ASEAN-10

pada tahun 201558.

Ketiga, kemitraan ASEAN dengan Republik Korea berjalan dengan lancar seperti

yang dikatakan oleh Presiden Republik Korea, Lee Myung Bak pada tahun 2009 bahwa

perdagangan ASEAN-Republik Korea telah tumbuh 11 kali lipat dalam dua dekade terakhir

menjadi senilai US$ 90,2 miliar tahun lalu. Angka tersebut bahkan diperkirakan akan

meningkat menjadi US$ 150 miliar pada 2015.

Terdapat potensi besar bahwa Jepang, Republik Korea dan China akan sangat

tertarik untuk berpartisipasi dalam investasi di AIF, karena secara finansial, ketiganya

mampu memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur di ASEAN. Setidaknya hal ini

dapat dilihat dari besaran cadangan devisa dan rata-rata outstanding cadangan perbankan

di bank sentral (lihat Tabel 5). Disamping itu, juga telah terjalin hubungan baik antara

ASEAN dengan ketiga negara tersebut. Namun demikian, dalam konteks perluasan

pendanaan AIF ke ketiga negara tersebut perlu dilakukan pemetaan dampak positif dan

negatifnya.

Tabel 5: Average Oustanding Reserves Requirement pada Bank Sentral dan Cadangan Devisa Jepang, China dan Republik Korea

58 John Wong and Sarah Chan, “China-ASEAN Free Trade Agreement: Shaping Future Economic Relations,” Asian Survey, Vol. 43, No. 3, May/June 2003, hal. 507-526; Thitapha Wattanapruttipaisan, “ASEAN-China Free Trade Area: Advantages, Challenges, and Implications for the Newer ASEAN Member Countries,” ASEAN Economic Bulletin, Vol. 20, No. 1, April 2003, hal. 31-38; James Laurenceson, “Economic Integration between China and the ASEAN-5,” ASEAN Economic Bulletin, Vol. 20, No. 2, August 2003, hal. 103-111.

44 | P a g e

Negara Average Oustanding Reserves Cadangan Devisa

Jepang 62,95 Triliun JPY (May 2013) USD 1,238.713 million (Juni 2013)

China 1,5 Trliun Yuan (Juni 2013) USD 3.341.000 milliom (Des 2012

Republik Korea - USD 328.095 Million (May 2013)

Sumber: berbagai sumber, diolah

Sisi positif dari perluasan pendanaan ini adalah sumber pendanaan AIF akan

menjadi semakin besar, sehingga funding cost diharapkan akan semakin murah dan adanya

diversifikasi risiko. Disamping itu diharapkan pula akan terjadi transfer of knowledge and

technology dari ketiga negara tersebut.

Sisi negatif masuknya Jepang, Republik Korea dan China dalam pendanaan AIF

adalah kemungkinan terdapat “tied” financing. “Tied” aid financing tentunya akan

membatasi kemungkinan procurement yang lebih efektif dan efisien. “Tied” aid financing

juga berpotensi terjadi dengan cara memasukkan konsultan/expert, khususnya Jepang

(Kimura & Todo, 2010)59. Sementara itu Republik Korea tidak terlalu seperti Jepang dalam

“tying the financing”. Masuknya Jepang, Republik Korea dan China juga berpotensi akan

berdampak pada manajemen pendanaan infrastruktur di ASEAN dari yang telah

direncanakan.

3.2.3 Partisipasi dari Swasta

Sumber pendanaan infrastruktur secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua,

yakni swasta dan pemerintah60. Swasta pada umumnya mendanai proyek-proyek melalui

korporasi, public private partnership project dan non public private partnership project.

Sedangkan pemerintah pada umumnya terkonsentrasi pada proyek infrastruktur tertentu

(by project) dan traditional procurement.

59 Kimura, Hidemi and Todo, Yasuyuki, 2010. Is Foreign Aid a Vanguard of Foreign Direct Investment? A Gravity-Equation Approach. World Development 38(4) , 482-497. 60 Rien Wagenvoor, Carlo de Nicola and Andreas Kappele., Infrastructure finance in Europe: Composition, evolution and crisis impact, EIB Paper, Volume 15 No1 2010.

45 | P a g e

Menurut Lynn Tho (2013)61 dalam pembangunan infrastruktur, sektor swasta dapat

berkontribusi melalui (i) memfasilitasi peningkatan konstruksi dan efisiensi operasional,

(ii) menyediakan akses ke sumber modal yang lebih luas, (iii) pelayanan infrastruktur

dengan akuntabilitas yang lebih baik, (iv) fokus pada asset delivery and service performance

over asset life , dan (v) alokasi risiko dan imbalan yang lebih baik.

Lembaga keuangan internasional yang mendanai proyek swasta sudah ada, antara

lain adalah International Finance Corporation (IFC) dan Multilateral Investment Guarantee

Agency (MIGA). IFC dan MIGA adalah bagian Kelompok World Bank yang berurusan

dengan sektor swasta/kalangan bisnis, dengan memberikan pinjaman, ekuitas, jasa

investasi, bantuan teknis, dan asuransi. IFC yang dibentuk pada tahun 1956, telah

bekerjasama dengan hampir 2000 perusahaan di 129 negara62.

Praktik lembaga keuangan internasional yang pendanaannya berasal swasta

(misalkan melalui penjualan saham) sudah mulai dikembangkan oleh Australia’s Macquarie

Group Limited (‘Macquarie’)63. Terdapat lima publicly traded infrastructure funds yang

dikelola melalui model Macquarie pada Australian Securities Exchange ('ASX'), yaitu

Macquarie Airports, Macquarie Capital Alliance Group, Macquarie Communications

Infrastructure Group, Macquarie Media Group and the original and largest fund: Macquarie

Infrastructure Group.

61 Lynn Tho, Impediments to Private Investment in Infrastructure APEC Workshop, Makassar, Indonesia 22-23 April 2013 62 IFC juga menyediakan aneka jasa kepada investor, seperti memberi saran tentang seluk-beluk undang-undang dan pasar di negara berkembang, bantuan teknis, dan konsultasi mengenai proyek tertentu. Untuk jasa semacam itu, IFC menerapkan biaya sesuai harga pasar. Kadang-kadang, IFC juga memberikan jaminan untuk proyek-proyek. Selain jasa resminya, IFC dipandang sebagai "sahabat investor" di negara berkembang karena afiliasinya dengan World Bank, dan hubungan yang erat dan pengaruhnya terhadap pemerintahan negara peminjam. Kelompok World Bank juga mendukung sektor swasta melalui badan anggota lainnya yaitu, MIGA. MIGA memberikan asuransi investasi terhadap risiko-risiko nonkomersial di negara-negara berkembang. Keterlibatan MIGA dalam sebuah proyek dipandang sebagai cara untuk memperkuat keyakinan dikalangan investor swasta dan publik yang terlibat dalam proyek di negara berkembang yang memiliki risiko-risiko politik. 63 Martin Lawrence and Geofrey P. Stapledon, 2008., Infrastructure Funds: Creative Use of Corporate Structure and Law – But in Whose Interests?, Geof Stapledon Law School University of Melbourne Vic 3010 Australia

46 | P a g e

Penggalangan sumber pendanaan tidak hanya terbatas di Australia, Macquarie juga

melakukan listing di New York Stock Exchange (Macquarie Infrastructure Company), the

Korea Exchange (Macquarie Korea Infrastructure Fund, join dengan the London Stock

Exchange), the Singapore Stock Exchange (Macquarie International Infrastructure Fund

Limited), and the Toronto Stock Exchange (Macquarie Power & Infrastructure Income

Fund).

Sebagai lembaga keuangan regional, AIF dimungkinkan untuk menggalang sumber

pendanaan dari para investor non pemerintah. Artinya AIF dapat menjual sebagian

sahamnya ke pihak swasta. Dengan demikian, di samping dapat berpartisipasi melalui

pembelian project bond, pihak swasta dimungkinkan pula membeli saham AIF.

Keikutsertaan swasta dalam permodalan AIF diharapkan akan menambah likuiditas AIF

yang pada akhirnya diharapkan akan meningkatkan kemampuan AIF dalam memberikan

pinjaman kepada negara-negara anggotanya.

Hingga saat ini sumber-sumber dana jangka panjang seperti dana pensiun, asuransi,

dan reksadana masih diinvestasikan pada instrumen pasar modal yang tidak terkait

langsung dengan pembiayaan infrastruktur. Menurut World Development Indicators64,

global saving pada tahun 2013 diperkirakan mencapai USD17 triliun. Sementara itu

kebutuhan pendanaan infrastruktur dunia diperkirakan hanya mencapai 10 persen saja.

Kehadiran AIF yang khusus menangani pembiayaan infrastruktur, diharapkan akan

memobilisasi sumber dana jangka panjang untuk mendorong investasi dalam proyek-

proyek infrastruktur di kawasan ASEAN. Peran AIF sangat krusial karena akan menjadi

katalis yang menjembatani sumber dana jangka panjang dengan investasi dalam proyek-

proyek infrastruktur di ASEAN.

Permasalahannya, terdapat cara pandang yang berbeda antara pemerintah dan

swasta terhadap proyek infrastruktur. Bagi pemerintah, proyek-proyek infrastruktur yang

direncanakan dan dibiayai oleh lembaga pemerintah pada umumnya secara ekonomis

feasible, namun secara komersial tidak feasible. Proyek infrastruktur pada umumnya

dirancang untuk memberikan manfaat yang berkelanjutan pembangunan ekonomi.

64

World Development Indicators, online version, accessed 1/14/2013

47 | P a g e

Sementara itu, keputusan investasi yang dibuat oleh investor lebih mencerminkan

pertimbangan operasional yang diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidup dalam

jangka panjang. Untuk itu investor mendorong adanya alokasi risiko yang lebih baik,

manajemen proyek, pengawasan dan akuntabilitas proyek secara keseluruhan.

Menurut Cobb (2010)65 dalam mengamankan komitment pembiayaan proyek, baik

dalam bentuk utang atau ekuitas, swasta akan menyertakan beberapa kriteria sebagai

berikut: (i) kredibilitas keuangan yang menyangkut antara lain kondisi politik yang akan

berdampak pada kelangsungan proyek yang disponsorinya, (ii) profesionalisme dan

kemampuan kinerja masa lalu, (iii) gambaran risiko proyek yang diusulkan, termasuk

risiko politik, risiko regulasi, risiko komersial, risiko mata uang, risiko lingkungan dan

faktor risiko lainnya, (iv) prakiraan dan derajat keyakinan berkaitan dengan proyek,

ketersediaan bahan baku atau persyaratan input, dan persyaratan penjualan produk, (v)

kelayakan, teknis desain dan operasi proyek, termasuk teknologi dan kebutuhan sumber

daya manusia, dan terakhir, dan (vi) memahami dan menerapkan kriteria ini adalah

langkah penting dalam menentukan potensi pembiayaan proyek untuk investasi

infrastruktur besar.

Pada intinya, sektor swasta akan menginvestasikan modalnya melalui kepemilikan

saham, apabila ada jaminan bahwa return yang akan diterima cukup menarik dan risiko

usaha sedapat mungkin diminimalisir. Untuk itu perlu adanya garansi dari AIF kepada para

calon investornya. Sebagai konsekuensinya, AIF juga mensyaratkan bahwa pemberian

pinjaman harus diikuti dengan garansi dari negara-negara anggota AIF66.

Menurut Lynn Tho (2013)67, untuk mendorong swasta berinvestasi di AIF, maka

persyaratan yang harus dipenuhi oleh negara-negara anggota adalah: (i) proses pengadaan

65 Dr. J. Michaeil Cobb, Developing Public Private Infrastructur in Emerging Market, International Development Consultans, LLC, Princeton, New Jersey, USA 2003-2010, diunduh dari http://www.idcworld.com/finance.htm 11 April 2013. 66 AIF dapat belajar dari MENA, sebuah lembaga keuangan yang mendanai infrastruktur di Timur Tengah dan Arika Utara. Mena disponsori oleh Fajr Capital, HSBC, dan Waha Capital. Masing-masing sponsor berkomitmen menanam modal masing-masing USD50 juta atau lebih. Kini modal MENA telah mencapai USD300 juta Pada dasarnya metode investasi yang dilakukan MENA adalah melalui permodalan, memegang saham, pinjaman subordinasi, dan instrument ekuitas lainnya. 67 Lynn Tho, Impediments to Private Investment in Infrastructure APEC Workshop, Makassar, Indonesia 22-23 April 2013

48 | P a g e

proyek harus transparan, (ii) pengadaan harus tepat waktu dengan pendekatan

pembiayaan, (iii) adanya standarisasi alokasi risiko dan kontrak, (iv) sumber daya yang

memadai untuk persiapan dan pengadaan proyek, (v) dibentuk tim pemerintah untuk

melakukan pengadaan, (v) sesuai dengan tingkat dukungan pemerintah dan proses

persetujuan, dan (vii) political will dari pemerintah68.

3.2.4 Penerbitan Hybrid Capital

Menurut Bank for International Settlement69, hybrid capital merupakan instrumen

permodalan yang menggabungkan karakteristik dari ekuitas dan karakteristik tertentu

dari utang. Masing-masing memiliki fitur tertentu yang dapat dipertimbangkan untuk

mempengaruhi kualitasnya sebagai modal. Instrumen ini memiliki kesamaan dengan

ekuitas, sehingga dapat dimasukkan sebagai modal pelengkap. Hybrid capital70 juga

didefinisikan bentuk utang yang dapat dikonversi menjadi ekuitas. Hybrid capital

mencakup berbagai instrumen, seperti saham preferen, yang bukan modal murni tetapi

secara tradisional telah diperhitungkan satu rasio modal inti bank.

Berdasarkan komponennya, terdapat tiga jenis hybrid capital, yakni: pertama terdiri

dalam bentuk modal saham disetor yang bersifat permanen (ditempatkan dan disetor

penuh saham biasa/saham biasa dan saham preferen perpetual non-kumulatif) dan

disclosed reserve (alokasi saldo laba atau lainnya surplus, seperti misalnya premi, laba

ditahan, cadangan umum dan cadangan hukum). Kedua, hybrid capital dalam bentuk

undisclosed reserve, asset revaluation reserves, general provisions/general loan-loss reserves,

hybrid (debt/equity) capital instruments, dan subordinated debt. Ketiga, hybrid capital

dalam bentuk short-term subordinated debt.

68 Diskusi lebih lanjut berkenaan dengan model infrastructure fund dari perspektif investor dapat dilihat pada Martin Lawrence dan Geofrey P. Stapledon, 2008, Infrastructure Funds: Creative Use of Corporate Structure and Law – But in Whose Interests? Geof Stapledon Law School University of Melbourne Vic 3010 Australia 69 Basel Committee on Banking Supervision: International Convergence of Capital Measurement and Capital Standards, Bank for International Settlements Press & Communications CH-4002 Basel, Switzerland June 2006. 70 Patrick Jenkins, Banking Editor, Financial Times

49 | P a g e

Penerbitan permodalan melalui hybrid capital pada mulanya merupakan regulasi

perbankan adalah untuk memastikan bahwa perusahaan yang beroperasi dalam industri

yang dikelola secara hati-hati. Tujuannya adalah untuk melindungi perusahaan sendiri,

pelanggan dan ekonomi, dengan menetapkan aturan untuk memastikan bahwa lembaga-

lembaga ini terus cukup modal sehingga dapat dipastikan kelanjutan dari pasar yang aman

dan efisien serta mampu menahan masalah mendatang.

Upaya internasional utama untuk menetapkan aturan terhadap kebutuhan modal

perbankan adalah melalui Basel Accords, yang diterbitkan oleh Basel Committee on Banking

Supervision. Bassel Accords merupakan aturan yang menetapkan kerangka kerja tentang

bagaimana bank dan lembaga penyimpanan harus menghitung modal mereka. Pada 1988,

Komite memperkenalkan suatu sistem pengukuran modal sering disebut sebagai Basel I.

Kerangka kerja ini telah digantikan oleh kerangka kecukupan modal yang dikenal sebagai

Basel II, dan setelah 2012 akan digantikan oleh Basel III71.

Dalam dekade terakhir, penerbitan surat utang seperti surat berharga subordinasi

mengalami peningkatan, diantaranya disebabkan karena spread yang rendah pada

instrumen pendapatan tetap. Kombinasi perubahan peraturan, pertumbuhan aset bank

yang kuat dan lingkungan pasar yang menguntungkan memberikan kontribusi terhadap

evolusi pasar hybrid capital terutama perbankan di Eropa.

Gambar 9 menggambarkan penerbitan hybrid capital di Australia. Sejak tahun 2000

sampai dengan 2007 penerbitan hybrid capital terus mengalami peningkatan. Sejak krisis

2008 penerbitan hybrid capital mengalami penurunan, namun mulai 2012 kembali

meningkat.

Gambar 9: Penerbitan Hybric Capital di Australia

71 Basel III: A global regulatory framework for more resilient banks and banking systems, Bank for

International Settlements Communications CH-4002 Basel, Switzerland, June 2011

50 | P a g e

Hybrid capital sepertinya juga menjadi salah satu pilihan pendanaan bagi industri

non keuangan. Sebagai contoh adalah penerbitan hybrid capital yang dilakukan oleh Dong,

sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang energy. Pada tahun 2013 Dong Energy

menerbitkan hybrid capital sebesar EUR500 juta dengan tenor 5 tahun dan upon 4,875%.

Gambar 10: Penerbitan hybrid capital oleh Dong Energy

Sebagai produk perbankan, dalam perspektif jangka panjang hybrid capital dapat

pula dipertimbangkan menjadi salah satu alternatif pengembangan permodalan bagi AIF.

Kelebihan dari instrument ini adalah tidak akan mendelusi kepemilikan saham negara

anggota AIF, karena penambahan permodalan berasal dari disclosed reserve, undisclosed

51 | P a g e

reserve maupun short-term subordinated debt tidak akan mempengaruhi komposisi

kepemilikan saham. Dengan demikian penerbitan hybrid capital tidak akan mengurangi

voting power Indonesia di AIF.

AIF telah merencanakan untuk menerbitkan hybrid capital sebesar USD162 juta

pada tahun 201572. Namun sebelum AIF memutuskan menambah permodalan melalui

hybrid capital, terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Pertama, penambahan

permodalan dalam bentuk utang tentunya akan berdampak pada meningkatnya cost of

fund menjadi lebih mahal, sehingga suku bunga pinjaman dari AIF juga akan menjadi lebih

mahal. Hybrid capital adalah surat pengakuan utang yang memiliki karakteristik tertentu

seperti kemungkinan penangguhan pembayaran bunga, jangka waktu jatuh tempo yang

lebih panjang. Dari sudut pandang investor, modal perbankan dari hybrid capital memiliki

tingkat risiko yang lebih tinggi, sehingga investor berharap adanya return yang lebih tinggi

pula.

Kedua, pengalaman menunjukkan bahwa sejak krisis subprime mortgage di Amerika

Serikat pada tahun 2007 telah memaksa lembaga keuangan global mengalami kerugian

akibat adanya penghapusan pinjaman. Bloomberg memperkirakan pada akhir tahun 2008,

lembaga keuangan global menghapuskan (write-off) piutang-piutangnya lebih dari

USD1,200 miliar. Kegagalan Lehman Brothers pada September 2008 berdampak pada

anjloknya harga surat utang. Para investor yang pada saat itu memegang surat berharga

perbankan (hybrid capital) menghadapi ketidakpastian terhadap nilai investasi mereka di masa

depan73

.

Ketiga, apabila para pemegang hybrid capital mengalami kerugian besar,

pemerintah dapat melalukan bailout. Otoritas moneter juga dapat membantu untuk

mencegah kebangkrutan sistemik “too big to fail”. Oleh karenaitu apabila AIF ingin

menerbitkan hybrid capital dan ternyata mengalami kegagalan, maka perlu dipikirkan

bagaimana mekanisme bailoutnya.

72 http://www.adb.org/sites/default/files/linked-docs/45097-001-reg-fa.pdf

73 Peiyi Yu and Bac Van Luu, Lessons from the Collapse in Hybrid Bank Capital Securities, http://www.econ-pol.unisi.it/fineng/The_collapse_of_structured_bank_capital.pdf, diakses 29 Agustus 2013

52 | P a g e

Beberapa literatur yang dapat dijadikan referensi dalam menerbitkan hybrid capital

adalah study yang dilakukan oleh Benston, Irvine, Rosenfeld, dan Sinkey (2003)74 yang

menganalisis 105 isu hybrid capital oleh perbankan di Amerika Serikat dalam periode

1995-1997 dan mempelajari karakteristik emiten vs non-emiten. Mereka menemukan

bahwa emiten cenderung lebih besar, memiliki tarif pajak yang lebih tinggi, dana yang

tidak diasuransikan dan rasio ekuitas yang lebih rendah.

Terdapat korelasi antara penerbitan hybrid capital oleh lembaga keuangan dan

kebutuhan bailout pemerintah. Hasil penelitian DeYoung, et al (2001)75 menunjukkan

bahwa berdasarkan data tahun 1990, penerbitan hybrid capital di Amerika Serikat,

terutama dilakukan oleh perbankan dengan aset yang besar namun memiliki rasio

kecukupan modal yang rendah, dapat menekan harga saham. Kasus serupa juga terjadi

pada lembaga keuangan di Eropa pada era 2000.

3.3 Analisis Pilihan Sumber Pendanaan

Berdasarkan financial analysis yang dibuat oleh AIF dan ADB 76, total pinjaman yang

disetujui (baik yang dijamin maupun tidak dijamin) pada tahun 2012 mencapai USD300

juta dan pada tahun 2016 diharapkan menjadi USD439 juta. Sementara itu penarikan

kredit pada tahun 2012 diperkirakan mencapai USD 9 juta dan tahun 2026 meningkat

menjadi USD424 juta.

Gambar 11: Perkiraan Pendanaan dan Modal AIF 2012-2016

74 Benston, G. J., P. Irvine, J. Rosenfeld, and J. F. Sinkey, 2003, “Bank Capital Structure, Regulatory Capital, and Securities Innovations”, Journal of Money, Credit and Banking. 75 DeYoung, Robert; Mark J. Flannery, William W. Lang, Sorin M. Sorescu (2001): “The Information Content of Bank Exam Ratings and Subordinated Debt Prices”, Journal of Money, Credit and Banking, Vol. 33, No. 4 (Nov., 2001). 76 http://www.adb.org/sites/default/files/linked-docs/45097-001-reg-fa.pdf

53 | P a g e

Sumber: ADB dan AIF, diolah

Dari sisi permodalan, AIF memperkirakan modal inti yang terdiri dari kontribusi

negara anggota, hybrid capital, dan cadangan (reserve) pada tahun 2012 akan mencapai

USD162 juta dan pada tahun 2026 mencapai USD1.614 juta.

Untuk memenuhi komitmen dalam menyalurkan dana, AIF akan melakukan

pinjaman. Diperkirakan outstanding utang AIF tahun 2016 sebesar USD120 juta dan tahun

2026 meningkat menjadi USD2.618 juta. Outstanding debt ini telah memperhitungkan

redemption setiap tahunnya.

Gambar 12: Perkiraan Outstanding Debt AIF 2012-2026

Sumber: ADB dan AIF, diolah

Mencermati perkiraan kredit, utang dan permodalan AIF di atas, maka langkah

selanjutnya setelah komitmen pendanaan dari negara-negara anggota terpenuhi adalah

penerbitan hybrid capital. Dana yang didapat dari hybrid capital sebaiknya tidak digunakan

54 | P a g e

untuk mendanai kredit, namun sebagai penguat permodalan sehingga AIF dapat

melakukan leverage untuk penerbitan utang baru sebagaimana direncanakan mencapai 1,5

kali dari modal.

Untuk menghindari dampak negatif dari penerbitan hybrid capital, sebaiknya

sumber pendanaan tidak diambil dari cadangan devisa. Hal ini disebabkan pendanaan

melalui cadangan devisa akan berdampak negatif terhadap stabilitas mata uang, terutama

Indonesia. Dengan cadangan devisa yang terus menipis akibat defisit balance of payment,

maka rupiah akan terus melemah.

Sementara itu pendanaan hybrid capital melalui mekanisme APBN juga akan

terkendala dengan pembahasan di Legislatif (DPR). Sebagaimana diketahui bahwa untuk

penambahan pendanaan AIF dari negara anggota, perlu mendapatkan persetujuan dari

DPR dan membutuhkan waktu yang cukup panjang. Alternatif terbaik, hybrid capital

sebaiknya dijual ke pasar atau ditawarkan ke pemerintah Jepang, Korea atau China. Namun

harus diakui penjualan hybrid capital ke negara lain akan berdampak pada hak suara

Indonesia di AIF.

Tahap berikutnya, dengan bertambahnya permodalan melalui hybrid capital, maka

AIF dapat melakukan penambahan pendanaan dengan tujuan meningkatkan kemampuan

dalam memberikan kredit kepada negara anggota. Sumber-pendanaan seperti melibatkan

Jepang, Korea, China atau negara-negara lainnya dan menjual bond ke lembaga keuangan

dapat menjadi alternatif sumber pendanaan. Namun prinsip yang terpenting adalah dicari

sumber pendanaan dengan cost of fund termurah, tersedia dalam jumlah yang memadai

dan dapat digunakan dalam jangka panjang, mengingat dana tersebut akan digunakan

untuk mendanai infrastruktur yang pada umumnya membutuhkan pendanaan dalam

jangka panjang (7-15 tahun).

55 | P a g e

BAB IV

Kesimpulan dan Rekomendasi

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan beberapa hal, yakni:

1. Dalam periode 1998 sampai dengan 2010, good governance Indonesia dilihat dari

enam indikator, yakni control of corruption, political stability & absence of violence,

voice accountability, regulatory quality, rule of law, dan government effectiveness, sejak

2004 terdapat tiga indikator dengan performance buruk, yaitu rule of law, control of

corruption, dan political stability. Tiga indikator ini lebih buruk dibanding dengan tiga

indikator lain: voice accountability (yang berubah menjadi lebih terbuka setelah

reformasi), government effectiveness (mengalami perbaikan dalam satu dekade), dan

regulatory quality (cenderung stagnan).

2. Terdapat empat permasalahan utama yang dihadapi dalam public private partnership

yaitu kurang matangnya persiapan proyek sehingga penawaran tidak dapat direspons

dengan baik oleh pasar, faktor pembebasan tanah yang berlarut-larut,

ketidakmampuan investor untuk menggalang pendanaan sehingga tidak tercapai

financial closure, dan risiko proyek yang dianggap terlalu tinggi untuk dipikul oleh

swasta.

3. AIF sebagai perusahaan pembiayaan swasta yang dimiliki oleh negara-negara ASEAN

dan ADB dihadapkan pada masalah keterbatasan permodalan. Modal awal AIF

ditetapkan sebesar USD485,20 juta, sedangkan kebutuhan pendanaan infrastruktur

negara-negara anggota diperkirakan antara 2006 sampai dengan 2015 mencapai

USD596,1 juta.

4. Dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan dana AIF, pada tahun 2013 pemerintah

tengah mengajukan beberapa proyek untuk didanai oleh AIF, yakni proyek 500 kV Java

Bali Transmission Crossing, proyek Neighborhood Upgrading and Shelter Project II

dan proyek Metropolitan Sanitation and Health Project II. Sedangkan untuk tahun

56 | P a g e

2014 meliputi proyek Flood Management in Selected River Basins, proyek Integrated

Citarum Water Resources Management 2 dan Regional Road Development Project II.

4.2 Rekomendasi

Berdasarkan hasil penelitian, maka direkomendasikan beberapa hal sebagai

berikut:

1. Dalam rangka meningkatkan efektivitas dalam mengelola proyek-proyek infrastruktur

yang dikerjasamakan melalui public private partnership, maka perlu dibentuk PPP Unit.

Unit ini harus didesain sesuai dengan permasalahan yang ada, sehingga dapat

mengatasi berbagai kelemahan yang ada dalam proyek-proyek yang dikerjasamakan

melalui PPP. Unit ini nantinya akan menyediakan layanan yang dibutuhkan oleh

pemerintah, melakukan analisis keuangan proyek public private partnership, dan harus

memenuhi standar umum maupun kebijakan khusus dari pemerintahan seperti:

transparan dan pengadaan yang kompetitif, menjadikan bijaksana fiskal yang prudent,

dan complying terhadap hukum dan peraturan yang berlaku.

2. Dalam rangka meningkatkan pendanaan AIF, maka dapat ditempuh melalui berbagai

alternative, yakni:

a. Penerbitan Obligasi

Penerbitan obligasi dapat ditempuh melalui obligasi yang dijamin dengan seluruh

asset AIF dan penerbitan obligasi melalui project bond guna untuk mendanai

proyek-proyek infrastruktur. Apabila sumber -sumber pendanaan dari negara-

negara anggota ASEAN, maka diperlukan (i) adanya penyatuan kebijakan pasar

keuangan dan pasar modal dan mempercepat perbaikan infrastruktur di pasar

keuangan. (ii) dari sisi financial pemerintah harus memperbaiki kerangka

peraturan terkait dengan tax framework yang merupakan peran pemerintah,

memperluas opsi penerbitan yang merupakan peranan regulator di bidang

keuangan, merampingkan proses penawaran merupakan peranan regulator di

bidang keuangan, efficient benchmark yield curve, dan memperluas basis investor

baik dari kalangan negara-negara anggota AIF maupun di luar AIF.

57 | P a g e

b. Perluasan pendanaan AIF melalui ASEAN plus three

Terdapat potensi besar bahwa Jepang, Republik Korea dan China akan sangat

tertarik untuk berpartisipasi dalam investasi di AIF, karena secara finansial,

ketiganya mampu memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur di ASEAN.

Setidaknya hal ini dapat dilihat dari besaran cadangan devisa dan rata-rata

outstanding cadangan perbankan di bank sentral.

Melalui perluasan pendanaan ini diharapkan sumber pendanaan AIF akan menjadi

semakin besar, sehingga funding cost diharapkan akan semakin murah dan adanya

diversifikasi risiko. Disamping itu diharapkan pula akan terjadi transfer of

knowledge and technology dari ketiga negara tersebut.

c. Partisipasi dari swasta

Sebagai lembaga keuangan regional, AIF dimungkinkan untuk menggalang sumber

pendanaan dari para investor non pemerintah. AIF dapat menjual sebagian

sahamnya ke pihak swasta. Dengan demikian disamping dapat berpartisipasi

melalui pembelian project bond, pihak swasta dimungkinkan pula membeli saham

AIF. Keikutsertaan swasta dalam permodalan AIF diharapkan akan menambah

likuiditas AIF yang pada akhirnya diharapkan akan meningkatkan kemampuan AIF

dalam memberikan pinjaman kepada negara-negara anggotanya.

Untuk mendorong swasta berinvestasi di AIF, maka persyaratan yang harus

dipenuhi oleh negara-negara anggota adalah (i) proses pengadaan proyek harus

transparan, (ii) pengadaan harus tepat waktu dengan pendekatan pembiayaan,

(iii) adanya standarisasi alokasi risiko dan kontrak, (iv) sumber daya yang

memadai untuk persiapan dan pengadaan proyek, (v) adanya tim pemerintah

untuk melakukan pengadaan, (v) sesuai dengan tingkat dukungan pemerintah dan

proses persetujuan, dan (vii) political will dari pemerintah.

d. Penerbitan hybrid capital

Sebagai langkah kedua setelah terpenuhinya iuran dari negara-negara anggota AIF,

maka AIF dapat menerbitkan hybrid capital. Melalui hybrid capital diharapkan

permodalan AIF menjadi semakin besar, sehingga kemampuannya dalam mencari

58 | P a g e

sumber-sumber utang semakin besar.

3. Dalam menentukan alternatif sumber pendanaan, AIF sebaiknya lebih menekankan pada

sumber pendanaan dengan cost of fund termurah, tersedia dalam jumlah besar dan berjangka

waktu panjang, sehingga sesuai dengan karakter pendanaan infrastruktur.

4. Mengingat keterbatasan pendanaan infrastruktur di Indonesia, sebaiknya disulkan agar

proyek-proyek yang didanai oleh AIF tidak terbatas pada proyek-proyek yang bersifat

connectivity antar negara anggota AIF, namun juga proyek-proyek infrastruktur lainnya,

sesuai dengan prioritas masing-masing negara anggota AIF.