11
Hal. 1 KAJIAN ARSITEKTUR KOLONIAL BELANDA PADA IKLIM TROPIS Studi Kasus : Museum Nasional Indonesia (Museum Gajah), di Jl. Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Purwanto dan Rahil Muhammad Hasbi Program Studi Arsitektur, Universitas Mercu Buana, Jakarta-Indonesia e-mail: [email protected] ABSTRACT Colonial architecture came to Indonesia occurred mixture of European architecture, with the adaptation process and form a Dutch architecture during the colonial era in Indonesia. This architecture has been adapted to the local climate. To make the building fit with the environment as well as convenient for life. The purpose of this research is to know how the adaption is implemented in colonial building, in this case is the Museum National Indonesian (Museum Gajah). The research is focused at elements the architecture which related to adaption proses with the climate such as: orientation of the building, sketch, walls, opening doors and windows, floors, roof, ceiling and shape of the building. The research of these related to materials that have been used, size, form and orientation. Keywords: Dutch colonial architecture in a tropical climate ABSTRAK Arsitektur kolonial datang ke Indonesia terjadi percampuran dari arsitektur Eropa, dengan proses adaptasi dan membentuk arsitektur Belanda pada masa penjajahan di Indonesia. Arsitektur ini telah beradaptasi dengan iklim setempat. Untuk membuat bangunan yang cocok dengan lingkungan serta nyaman untuk hidup. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana adaptasi yang diterapkan di bangunan kolonial, dalam hal ini adalah Museum Nasional Indonesia (Museum Gajah). Penelitian ini difokuskan pada elemen arsitektur yang berkaitan dengan Proses adaptasi dengan iklim seperti: Orientasi bangunan, Denah, Dinding, Bukaan pintu dan jendela, Lantai, Atap, Plafond dan Bentuk bangunan. Penelitian ini berkaitan dengan bahan-bahan yang telah digunakan, ukuran, bentuk dan orientasi. Kata Kunci: Arsitektur kolonial Belanda pada Iklim tropis 1 LATAR BELAKANG Pada awal abad 17 perancangan Gaya Eropa yang memiliki empat musim diterapkan di wilayah tropis, perancangan dengan naluri bertahan hidup dengan terpaksa maka menempatkan masalah keamanan lebih tinggi dibandingkan dengan kenyaman, lambat laun arsitektur menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan. Pada abad 20 Belanda bersama dengan Rusia, Perancis dan Jerman menjadi pusat perhatian pada seni arsitektur di Eropa (Handinoto,1997), kehadiran arsitek Belanda di Indonesia dimulai dengan seorang Gothic Revivalist yang bernama Peter.JH Cuypers (1827-1921). Pengikut aliran Art Nouveau H.P.

KAJIAN ARSITEKTUR KOLONIAL BELANDA PADA IKLIM … ARSITEKTUR/Seminar... · Jakarta kota. Bangunan Museum ... Teori Arsitektur Eropa, Teori Arsitektur Kolonial Belanda. ... 2.1. Landasan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KAJIAN ARSITEKTUR KOLONIAL BELANDA PADA IKLIM … ARSITEKTUR/Seminar... · Jakarta kota. Bangunan Museum ... Teori Arsitektur Eropa, Teori Arsitektur Kolonial Belanda. ... 2.1. Landasan

Hal. 1

KAJIAN ARSITEKTUR KOLONIAL BELANDA PADA IKLIM TROPIS

Studi Kasus : Museum Nasional Indonesia (Museum Gajah), di Jl. Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.

Purwanto dan Rahil Muhammad Hasbi

Program Studi Arsitektur, Universitas Mercu Buana, Jakarta-Indonesia e-mail: [email protected]

ABSTRACT

Colonial architecture came to Indonesia occurred mixture of European architecture, with the adaptation process and form a Dutch architecture during the colonial era in Indonesia. This architecture has been adapted to the local climate. To make the building fit with the environment as well as convenient for life.

The purpose of this research is to know how the adaption is implemented in colonial building, in this case is the Museum National Indonesian (Museum Gajah). The research is focused at elements the architecture which related to adaption proses with the climate such as: orientation of the building, sketch, walls, opening doors and windows, floors, roof, ceiling and shape of the building. The research of these related to materials that have been used, size, form and orientation.

Keywords: Dutch colonial architecture in a tropical climate

ABSTRAK

Arsitektur kolonial datang ke Indonesia terjadi percampuran dari arsitektur Eropa, dengan proses adaptasi dan membentuk arsitektur Belanda pada masa penjajahan di Indonesia. Arsitektur ini telah beradaptasi dengan iklim setempat. Untuk membuat bangunan yang cocok dengan lingkungan serta nyaman untuk hidup.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana adaptasi yang diterapkan di bangunan kolonial, dalam hal ini adalah Museum Nasional Indonesia (Museum Gajah). Penelitian ini difokuskan pada elemen arsitektur yang berkaitan dengan Proses adaptasi dengan iklim seperti: Orientasi bangunan, Denah, Dinding, Bukaan pintu dan jendela, Lantai, Atap, Plafond dan Bentuk bangunan. Penelitian ini berkaitan dengan bahan-bahan yang telah digunakan, ukuran, bentuk dan orientasi.

Kata Kunci: Arsitektur kolonial Belanda pada Iklim tropis

1 LATAR BELAKANG

Pada awal abad 17 perancangan Gaya Eropa yang memiliki empat musim diterapkan di wilayah tropis, perancangan dengan naluri bertahan hidup dengan terpaksa maka menempatkan masalah keamanan lebih tinggi dibandingkan dengan kenyaman, lambat laun arsitektur menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan. Pada abad 20 Belanda bersama dengan Rusia, Perancis dan Jerman menjadi pusat perhatian pada seni arsitektur di Eropa (Handinoto,1997), kehadiran arsitek Belanda di Indonesia dimulai dengan seorang Gothic Revivalist yang bernama Peter.JH Cuypers (1827-1921). Pengikut aliran Art Nouveau H.P.

Page 2: KAJIAN ARSITEKTUR KOLONIAL BELANDA PADA IKLIM … ARSITEKTUR/Seminar... · Jakarta kota. Bangunan Museum ... Teori Arsitektur Eropa, Teori Arsitektur Kolonial Belanda. ... 2.1. Landasan

Hal. 2

Berlage (1856-1934). Kemudian disusul dengan aliran Amsterdam Scholl dengan tokohnya seperti Michel de kler.

Bangunan museum nasional Indonesia (Museum Gajah), awal berdirinya “Bataviaasch Genootschape Van Kunten” pada tanggal 24 April 1778, Seorang pendiri dan ilmuwan Belanda Jacob Conelis Matthieu Radermacher yang menyubangkan rumah tinggalnya di jalan kali besar Jakarta kota. Bangunan Museum Nasional Indoensia (Museum Gajah) di bangun di atas tanah ± 26.500 m², pada tahun 1862 dan baru di buka untuk umum tahun 1868.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengetahui bentuk adaptasi arsitektur kolonial Belanda terhadap iklim tropsi seperti : Orientasi bangunan, Denah, Dinding, Bukaan Pintu dan Jendela, Lantai, Atap, Plafond dan Bentuk bangunan.

2 METODE PENELITIAN

Metode penelitian ini yang digunakan bersifat kualitatif berdasarkan studi literature dilaksanakan secara deskriptif, penelitian kualitatif dengan analisa data secara sistematis di bantu gambar-gambar dan survey lapangan (observasi), pada bangunan yang diteliti serta dideskritifkan dengan mengurai, menerangkan atau menafsirkan, berdasarkan teori kemudian diambil kesimpulan.

Pengumpulan data literature berupa pengetahuan mengenai Teori Iklim tropis, Teori Arsitektur Tropis, Teori Arsitektur Eropa, Teori Arsitektur Kolonial Belanda. Data tersebut kemudian dibandingkan dengan data yang didapat pada saat survey lapangan (observasi). Adapun langkah-langkah penelitian ini meliputi dua tahap yaitu kepustakaan (Literatur) dan observasi (survey lapangan). Kemudian dilanjutkan dengan hasil dan pembahsan sehingga didapat kesimpulan.

2.1. Landasan Teori

1. Iklim Tropis & Pengertian tropis

Indonesia terletak pada daerah katulistiwa yaitu cenderung menerima lintasan matahari di atasnya, maka suhu udara rata-rata sangat tinggi tidak sebanding dengan permukaan bumi, Daerah yang suhu udaranya tinggi dinamakan daerah panas (daerah tropic) atau iklim panas lembab (Georg.Lippsmeier, 1980, Marcus Gartiwa, 2011).

Tropis merupakan kata yang berasal dari Bahasa yunani, yaitu “tropikos” Garis balik yang meliputi sekitar 40% dari luas seluruh permukaan bumi yaitu garis lintang 23°-27°, Utara – Selatan. Dengan kata lain, Arsitektur tropis merupakan arsitektur yang berada di daerah tropis dan telah beradaptasi dengan iklim tropis (Georg. Lippsmeier, 1994, Marcus Gartiwa, 2011).

2. Arsitektur Tropis

Arsitektur tropis yaitu salah satu ilmu arsitektur yang mempelajari tentang arsitektur yang berorientasi pada kondisi iklim dan cuaca, serta dampak ataupun pengaruh terhadap lingkungan sekitar. Bangunan dengan karakter tropis, memiliki beberapa persyaratan sebagai berikut : harus memiliki view dan orientasi bangunan yang sesuai dengan standard tropis, mengunakan bahan atau bagian pendukung kenyamanan pada kondisi tropis, seperti : sunshading, sunprotection, sunlouver serta memperhatikan standard bukaan terhadap lingkungan sekitar (window radiation), serta memiliki karakter atau ciri khas yang mengekspos bangunan sebagai bangunan tropis, dengan mengunakan material atau pun warna-warna yang berbeda (Syarif Hidayat).

3. Arsitektur Eropa

Pada zaman modern awal (1600-1800 M) dengan kedatangan pedagang Eropa seperti orang Portugis, Belanda, Spanyol dan orang Inggris kebumi Nusantara. Peningkatan hegomoni (politik) kolonial dan dominasi orang Eropa, diimbangi dengan pertumbuhan peran orang Cina sebagai perantara di sektor-sektor perdagangan jasa dan manufaktur. Pada awal abad ke 17 perancangan ala Eropa yang memiliki empat musim diterapkan langsung kekawasan tropis.

Page 3: KAJIAN ARSITEKTUR KOLONIAL BELANDA PADA IKLIM … ARSITEKTUR/Seminar... · Jakarta kota. Bangunan Museum ... Teori Arsitektur Eropa, Teori Arsitektur Kolonial Belanda. ... 2.1. Landasan

Hal. 3

Bangunan yang memiliki tipologi ini antara lain seperti : pos-pos perdagangan, benteng militer dan kota yang dilindungi. Alasan di balik perencanaan dan perancangan dengan unsur arsitektur seperti ini adalah naluri bertahan hidup yang terpaksa menempatkan masalah keamanan lebih tinggi dibandingkan dengan kenyamanan (Peter J.M.Nas dan Martien de Vietter, 2007).

Ciri-ciri bangunan seperti ini terdapat pada bagian depan yang rata tanpa beranda, jendela-jendela besar, dinding bata tebal, lebihan atap pendek dan bukaan atap yang sedikit untuk ventilasi tidak mampu memberikan keteduhan yang memadai, ventilasi silang, dan perlindungan terhadap hujan tropis, cahaya matahari yang terik langsung masuk kedalam ruangan melalui jendela-jendela kaca yang lebar, namun kelembaban yang tinggi tidak dapat dikurangi karena ventilasi silang yang kurang, dan kepengapan didalam bangunan dan sangat tidak memenuhi syarat kenyamanan bagi manusia.

Gambar 1: Ruko Merah, Batavia di jl. Kali besar barat, No.107, Jakarta Barat

Sumber : Peter J.M. Nas, 2007

Pada awal abad ke 19, Gaya arsitektur neo-kelasik di Indonesia mendapatkan sebutan “Gaya Imperium” dengan bentuk bangunan bergaya Yunani yang dicampur dengan pengunaan tiang-tiang bergaya Romawi serta Reinansance. Arsitektur ini muncul karena para arsitek dari Eropa masih terpengaruh pada kejayaan arsitektur klasik. Arsitektur Imperum juga banyak dipergunakan untuk menunjukkan kekuasaan, kemegahan, kemakmuran dan kekayaan. Arsitektur ini digunakan untuk menunjukkan status social dari pemilik bangunan dan dipergunakan pada bangunan pemerintahan dan militer. Gaya Imperium akhirnya tersingkir pada akhir abad 19, sejalan dengan diperkenalkannya politik etis di Eropa (Rahil M. Hasbi, 2007).

Gambar 2: Istana Bogor, Van Imhoof

Sumber : http://www.skyscrapercity.com

Page 4: KAJIAN ARSITEKTUR KOLONIAL BELANDA PADA IKLIM … ARSITEKTUR/Seminar... · Jakarta kota. Bangunan Museum ... Teori Arsitektur Eropa, Teori Arsitektur Kolonial Belanda. ... 2.1. Landasan

Hal. 4

Sejak awal abad 19, arsitektur mulai survivalist, abad ke 18 berangsur-angsur mulai digantikan dengan arsitektur yang menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan. Kondisi hidup yang tidak nyaman menjadi alasan utama perubahan ini, demi kenyamanan fisik di lingkungan yang baru, arsitek mulai menggunakan bahan bangunan setempat (Peter J.M.Nas dan Martien de Vietter, 2007).

Adaptasi arsitektur yang muncul dalam rancangan atap dan bagian depan rumah, sebagaimana tampak dalam arsitektur, Atap piramida yang jauh lebih besar memungkinkan penyerapan panas yang jauh lebih banyak sekaligus mencegah transmisinya kedalam ruangan. Ventilasi yang lebih baik dimungkinkan oleh celah-celah diantara tiap genting dan bukaan yang memisahkan atap dari bagian dinding. Atap yang lebih curam memungkinkan air hujan tropis mengalir lebih deras ketanah. Lebihan atap dibuat lebih lebar, membentuk beranda-beranda besar yang melindungi penghuni dari terik matahari dan tetesan air hujan yang terbawa oleh angina. Langit-langit tinggi yang berasal dari Eropa masih dipertahankan dengan alasan interior lebih besar pasti lebih sejuk dibandingkan interior dirumah dengan lagit-langit rendah. Bukaan-bukaan pintu dan jendela dibuat lebih besar dan baik daun pintu dan jendela dilengkapi dengan kisi-kisi menyudut (louvre), demi menjamin ventilasi silang yang efektif. Adaptasi ini memungkinkan kondisi hidup didalam bangunan jauh lebih dinikmati dan nyaman untuk iklim setempat (Peter J.M.Nas dan Martien de Vietter, 2007).

3. Arsitektur Belanda

Negara Belanda ke Indonesia pada awalnya untuk berdagangan, dengan membentuk persatuan VOC (Vereeningde Oost Indische Compagnie) tahun 1602, kehadiran orang belanda di Indonesia mulai berkembang secara nyata, kurang lebih satu abad bereka sibuk untuk berdagang. Perlu kita sadari Indonesia merupakan kepulauan yang sangat kaya dan indah, memiliki flora dan fauna berwarna-warni, persedian tambang, pertanian perkebunan dan hasil rempah-rempah, lambat laun Belanda menguasai Indonesia sebagai Negara Jajahan (Rahil M. Hasbi, 2007).

Salah satu contoh bangunan di Belanda yaitu : Prins Alexander Sticting merupakan karya kedua, Maclaine Pont, tahun 1922 di Belanda; Yulianto Sumalyo, tahun 1988).

Gambar 3: Prins Alexander Stichting, Bangunan kedua Machlaine, tahun 1922 di Belanda

Sumber : Jessyp 1975, Yulianto, 1988

Ciri – ciri bangunan di Belanda bangunannya memanjang, terdiri dari dua lantai, halamannya cukup luas, dindingnya dibuat dari bata merah ekspos, tampak depan yang terdiri dari lima trave, simetris dengan pintu masuk, jendela – jendela berirama monoton, atap berkemiringan tajam serta penekanan pada pintu masuk utama (Yulianto Sumalyo, 1998).

Dari pendapat Akihary (1990), Handinoto & Soehargo (1996), dan Nix (1994) dapat di simpulkan bahwa arsitektur kolonial Belanda di bagi menjadi 2 priode yaitu, (Marcus Gartiwa, 2011) :

1. Voor 1900 Rumah tinggal Kolonial bergaya Voor 1900 paling banyak ditemukan pada kasus rumah tinggal Kolonial di Ngamarto, yaitu 6 kasus, rumah tersebut di bangun tahun 1850-1880. Gaya Voor

Page 5: KAJIAN ARSITEKTUR KOLONIAL BELANDA PADA IKLIM … ARSITEKTUR/Seminar... · Jakarta kota. Bangunan Museum ... Teori Arsitektur Eropa, Teori Arsitektur Kolonial Belanda. ... 2.1. Landasan

Hal. 5

1900 bukan haya digunakan pada rumah Kolonial Belanda, tetapi juga pada rumah Kolonial milik Cina dan pribumi. Rumah kolonial Cina lebih rumit dibandingkan dengan rumah Kolonial Belanda. Hal tersebut untuk menaikan status sosial dengan menggunakan hiasan yang lebih rumit sebagai bukti kemampuan ekonomi dan selera seni yang tinggi. Bentuk - bentuk sederhana yang disesuaikan dengan kemampuan pribumi. Penggunaan bahan-bahan yang tanggap terhadap iklim, adanya material besi menjadi salah satu ciri yang menonjol pada bangunan bergaya Voor 1900.

2. NA 1900 Gaya tersebut berkembang pada tahun 1881-1910, rumah bergaya NA 1900 digunakan pada rumah kolonial milik Cina dan pribumi sedangkan rumah kolonial Belanda menggunakan gaya bangunan Romantiek pada kurun waktu yang sama. Badan bangunan sangat sedikit ditemukan pada bouvenlicht, lubang angin, hiasan pada kaca pintu dan jendela. Penggunaan bahan dari material besi jarang digunakan dan bahan dari kaca motif dan warna yang paling banyak digunakan. Motif baru yang lebih sering dinilai dengan motif “modern” karena tidak ada suatu tolak ukur yang jelas. pagar serambi, penonjolan pondasi dan hiasan kaki bangunan hilang sama sekali dan bagian kaki yang dihias hanya pada kaki bangunan bagian dalam, yaitu lantai. Tidak seperti halnya bangunan bergaya Voor 1900 yang setiap ruang menggunakan motif yang berbeda, motif lantai yang digunakan hanya menggunakan satu jenis motif pada semua ruang dalam.

Helen Jessup Perkembangan Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia dibagi 4 periode yaitu :

1. Abad 16 sampai tahun 1800-an

Indonesia masih disebut sebagai Nederland Indische (Hindia Belanda) dibawah kekuasaan perusahaan dagang Belanda, VOC. Arsitektur Kolonial Belanda selama periode ini cenderung kehilangan orientasinya pada bangunan tradisional di Belanda. dimana bentuknya cenderung panjang dan sempit, atap curam dan dinding depan bertingkat bergaya Belanda di ujung teras, Bangunan tidak mempunyai orientasi bentuk yang jelas, tidak beradaptasi dengan iklim dan lingkungan setempat. Contohnya kediaman Reine de Klerk (Sebelumnya Gubernur Jendral Belanda) di Batavia (Marcus Gartiwa, 2011).

2. Tahun 1800-an (awal abad ke 19) sampai dengan tahun 1902

Pemerintahan Belanda mengambil alih Hindia Belanda dari VOC. Perkembangan Arsitektur Modern di Belanda tidak sampai gemanya ke Indonesia. Pada saat itu di Hindia Belanda terbentuk gaya arsitektur sendiri yang dipelopori oleh Gubernur Jendral HW yang dikenal dengan the empire style, atau Ducth Colonial Villa : Gaya Arsitektur Neo-Klasik yang melanda Eropa (terutama Perancis) yang diterjemahkan secara bebas. Hasilnya berbentuk gaya Hindia Belanda yang bercitra Kolonial yang disesuaikan dengan lingkungan lokal, Iklim dan material yang tersedia pada masa itu (Marcus Gartiwa, 2011).

perkembangan selanjutnya yaitu perkembangan Indische Architectur atau dikenal dengan nama Landhuise yang merupakan tipe rumah tinggal diseluruh Hindia Belanda pada masa itu dan memiliki karakter arsitektur seperti :

1. Denah simetris dengan satu lantai, terbuka, pilar diserambi tengah yang menuju keruang tidur dan kamar-kamar lainnya.

2. Pilar menjulang keatas (Gaya Yunani) dan terdapat gevel atau mahkota di atas serambi depan dan belakang.

3. Mengunakan atap prisai.

3. Tahun 1902 - 1920-an

Kaum Liberal Belanda pada masa itu antara 1902 mendesak politik etis diterapkan di tanah jajahan. Sejak itu pemukiman orang belanda di Indonesia tumbuh dengan cepat. Indishe Architectur menjadi terdesak dan sebagai gantinya muncul standard Arsitektur Modern yang berorientasi ke Belanda (Marcus Gartiwa, 2011).

Ciri dan karakter Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia pada tahun 1900-1920-an yaitu :

Page 6: KAJIAN ARSITEKTUR KOLONIAL BELANDA PADA IKLIM … ARSITEKTUR/Seminar... · Jakarta kota. Bangunan Museum ... Teori Arsitektur Eropa, Teori Arsitektur Kolonial Belanda. ... 2.1. Landasan

Hal. 6

1. Mengunakan Gevel (gable) pada tampak depan bangunan. Bentuk gable sangat bervariasi seperti curvilinear gable, stepped gable, pediment (dengan entablure).

2. Penggunaan tower pada bangunan, mulanya digunakan pada bangunan gereja, namun kemudian diterapkan pada bangunan umum dan menjadi model pada Arsitektur Kolonial Belanda pada abad ke 20. Bentuknya bermacam-macam : Bulat, Segi empat ramping, serta bentuk-bentuk yang dikombinasikan dengan gevel depan.

3. Penggunaan Dormer pada bangunan 4. Penyesuaian bangunan terhadap iklim tropis : Ventilasi yang lebar dan tinggi, serta serambi

sepanjang bangunan sebagai antisipasi dari hujan dan sinar matahari.

4. Tahun 1920-an sampai tahun 1940-an

Ketika gerakan modernisme arsitektur bergerak di Eropa awal abad 20-an, Indonesia menjadi bahan laboratorium, untuk bereksperimen munculnya arsitektur baru (neues Bauen). pada tahun 1920-1940-an para arsitek Belanda yang bekerja di Indonesia mencoba melakukan inovasi dalam seni bangunan yang berbeda dari apa yang lazimnya dilakukan di negeri asal mereka yang beriklim subtropis.

2.2. Kajian Analisa

1. Kajian Objek penelitian : Museum Nasional Indonesia (Museum Gajah).

Bangunan Museum Nasional Indonesia (Museum Gajah) awal berdirinya “Bataviaasch Genootschape Van Kunten” pada tanggal 24 April 1778, Seorang pendiri dan ilmuwan Belanda Jacob Conelis Matthieu Radermacher, yang menyumbangkan rumah tinggalnya di jalan kali besar, Jakarta kota. Bangunan museum nasional Indoensia (Museum Gajah) di bangun di atas tanah ± 26.500 m², pada tahun 1862 dan baru di buka untuk umum tahun 1868. Bangunan Museum Nasional Indonesia (Museum Gajah) memiliki dua unit bangunan yaitu : Bangunan unit – A (bangunan lama) dan Bangunan unit – B (bangunan baru).

Museum Nasional Indonesia (Museum Gajah) bagi bangsa Indonesia sangat penting maka pada tanggal 17 September 1962, lembaga kebudayaan Indonesia secara resmi menyerahkan pengelolaan museum kepada pemerintah Indonesia, kemudian menjadi “Museum Pusat” berdasarkan surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, No.092/O/1979 pada tanggal 28 Mei 1979, Museum Pusat dirubah menjadi Museum Nasional Indonesia (Museum Gajah). Museum Nasional Indonesia (Museum Gajah) sebagai lembaga resmi pemerintah dibawah Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala. Depertemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Page 7: KAJIAN ARSITEKTUR KOLONIAL BELANDA PADA IKLIM … ARSITEKTUR/Seminar... · Jakarta kota. Bangunan Museum ... Teori Arsitektur Eropa, Teori Arsitektur Kolonial Belanda. ... 2.1. Landasan

Hal. 7

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan pada bangunan unit – A, terdapat temuan bentuk adaptasi bangunan kolonial Belanda terhadap iklim tropis pada bangunan Museum Nasional Indonesia (Museum Gajah) di Jl. Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.

No Elemen Arsitektur Tropis Arsitektur Kolonial Belanda Perubahan Ket : Respon yang dapat

dilihat

1 Orientasi Bangunan

Orientasi bangunan pada arsitektur tropis yang paling optimum memanjang dari arah Timur – Barat (Marcus Gartiwa, 2011).

Orientasi bangunan pada kolonial Belanda terdapat bangunan utama / Induk menghadap ke halaman yang luas, dengan dikelilingi banguan penunjang menghadap kearah bangunan utama (Samsudi,2000).

Berdasarkan survey dilapangan bangunan museum nasional Indonesia (Museum Gajah) menghadap arah Timur – Barat.

Sesuai dengan iklim tropis

2 Denah

Denah pada arsitektur tropis berbentuk persegi panjang, orientasinya terhadap matahari lebih menguntungkan dibandingkan dengan bujur sangkar (Georg. Lippsmeier,1980).

Denah pada bangunan kolonial Belanda menurut Palladio dan Scamozzi, bentuk ruang berdasarkan fungsi yang dibentuk dengan ruang simetris. Menurut Sidharta dalam “The Dutch Architectural Heritage In Indonesia” denah yang simetris terdiri banyak ruang terdapat serambi yang lebar, dan bangunan penunjang berjajar memanjang (Linier), (Samsudi, 2000).

Berdasarkan survey dilapangan Denah museum nasional Indonesia (Museum Gajah) terdiri dari 2 unit, bangunan unit – A (Bangunan Lama) dan bangunan unit – B (Bangunan Baru), yang jadi fokus utama penulis hanya pada bangunan unit – A (Bangunan Lama) saja. Denah bangunan unit – A terdiri dari banyak ruang dan berbentuk persegi panjang (kebelakang).

Sesuai dengan iklim tropis

3 Dinding

Dinding pada arsitektur tropis di daerah lembab berbeda sama sekali, di sini hanya berfungsi untuk mencegah hujan dan angin ketebalan dinding 10 – 20 cm (Georg. Lippsmeier,1980).

Dinding pada bangunan kolonial Belanda tebal (dua batu), dinding di pelester dan di cat warna putih (Peter J.M.Nas dan Martien de Vietter, 2007).

Berdasrkan survey di lapangan Dinding pada bangunan museum nasional Indonesia memiliki ketebalan 40 cm (dua batu), dinding di pelester dan di cat warna putih.

Tidak sesuai dengan iklim tropis

Page 8: KAJIAN ARSITEKTUR KOLONIAL BELANDA PADA IKLIM … ARSITEKTUR/Seminar... · Jakarta kota. Bangunan Museum ... Teori Arsitektur Eropa, Teori Arsitektur Kolonial Belanda. ... 2.1. Landasan

Hal. 8

4 Bukaan (Pintu & Jendela) Serta Ventilasi.

Bukaan pintu dan jendela di daerah tropis memiliki fungsi yang lebih luas dibandingkan di daerah beriklim sedang karena sangat menunjang pengendalian iklim –mikro di dalam bangunan. Untuk daerah tropika –kering lubang-lubang sebaiknya dibuat sekecil mungkin. Di daerah tropika-basah lubang pada dinding pada sisi sebelah atas dan bawah, angin sebisa mungkin berukuran besar (Georg. Lippsmeier,1980).

Ventilasi Silang pengudaraan ruangan yang kontinyu didaerah tropis berfungsi terutama untuk memperbaiki iklim ruangan, udara yang bergerak menghasilkan penyegaran terbaik, karena dengan penyegaran yang baik terjadi proses penguapan yang berarti menurunkan temperature pada kulit. Untuk mendapatkan ventilasi silang. lubang – lubang harus dibuat pada sisi-sisi bangunan yang berlawanan (Georg. Lippsmeier,1980).

Bukaan pintu dan jendela pada bangunan kolonial Belanda berukuran besar dan tinggi dan berirama monoton (Peter J.M.Nas dan Martien de Vietter, 2007).

Ventilasi didapat dengan memanfaatkan perbedaan bagian ruangan yang berbeda suhunya, karena berbeda tekanan udaranya. Udara mengalir dari tekanan yang tinggi ke tekanan rendah

Berdasarkan survey di lapangan untuk Bukaan pintu dan jendela pada bangunan museum nasional Indonesia (Museum Gajah) berukuran besar dan tinggi dan terdapat jendela Boventlicht serta di lapisi dengan teralis besi.

Sesuai dengan iklim tropis

5 Lantai

Lantai pada arsitektur tropis lantai keras (lantai batu) dianjurkan untuk bangunan dengan pengudaraan alamiah karena konstruksinya terbuka, sangat di pengaruhi oleh iklim, ganggunan binatang kecil dan kotoran. Lantai batu buatan yang licin (teraso) sangat mudah dirawat dan dibersihkan. Yang lebih murah dan lebih sering di pakai yaitu ubin keramik atau ubin teraso. Lapisan lantai yang dikenal luas secara international. Untuk batu dan kayu cocok digunakan untuk bangunan dengan penyejuk udara penuh (Georg. Lippsmeier,1980).

Lantai pada bangunan kolonial Belanda terdiri dari ubin marmer berwarna biru atau merah, lantai semen abu-abu atau berwarna (Peter J.M.Nas dan Martien de Vietter, 2007).

Berdasarkan survey di lapangan Lantai pada bangunan museum nasional Indonesia (Museum Gajah) terdiri dari lantai marmer, lantai kayu, lantai batu, ubin keramik dan ubin teraso.

Sesuai dengan iklim tropis

Page 9: KAJIAN ARSITEKTUR KOLONIAL BELANDA PADA IKLIM … ARSITEKTUR/Seminar... · Jakarta kota. Bangunan Museum ... Teori Arsitektur Eropa, Teori Arsitektur Kolonial Belanda. ... 2.1. Landasan

Hal. 9

6 Atap

Atap pada arsitektur tropis merupakan bagian terpenting dari sebuah bangunan. berdasarkan bidang dan orientasinya atap merupakan bagian bangunan yang paling banyak terkena cahaya, dan merupakan bagian yang paling bertanggung jawab terhadap kenyamanan ruangan. Atap pelana dan limasan dalam perancangan perlu di perhatikan yaitu :

- Pemakaian hanya di daerah hangat-lembab dengan curah hujan tinggi.

- Cocok untuk daerah angin topan, jika kemiringan atap diatas 30°

Atap pada bangunan kolonial Belanda terdapat bentuk atap limasan dan pelana dengan sudut kemiringan 30° atau lebih (Handinoto, 1996, Samsudi, 2000).

Berdasarkan survey di lapangan, Atap pada bangunan museum nasional Indonesia (Museum Gajah) berdasarkan keterangan dari Bapak Jay dan Bapak Darowi atap pada bangunan museum nasional Indonesia (Museum Gajah) dahulunya beratap seng dan menggunakan rangka kayu tetapi setelah mengalami renovasi atap diganti dengan genteng dengan kemiringan 30° (drajat), atap berbentuk limasan dan pelana.

Sesuai dengan iklim tropis

7 Plafond

Plafond pada arsitektur tropis untuk ketinggian plafond pada bangunan minimal 2,40 M (Indri Hapsari, 2003).

Plafond pada bangunan kolonial Belanda tinggi-tinggi yang berasal dari Eropa masih di pertahankan dengan alasan interior lebih besar pasti lebih sejuk dibandingkan interior rumah dengan langit-langit rendah (Peter J.M.Nas dan Martien de Vietter, 2007).

Berdasarkan survey di lapangan Plafond pada bangunan museum nasional Indonesia (Museum Gajah) ketinggiannya ± 6.00 M.

Sesuai dengan iklim tropis

8 Bentuk Bangunan

Bentuk bangunan pada arsitektur tropis dibuat untuk memaksimalkan energy alam, baik penghawaan dan pencahayaan (Marcus Gartiwa, 2011).

Fasad bangunan bukan sekedar bentuk dua dimensi permukaan luar saja, atau merupakan suatu ruang transisi yang berperan sebagai “teater” inteaksi antara ruang luar dan dalam (Benjamin Stein).

Bentuk bangunan kolonial Belanda tidak menetapkan panduan estetika apa pun untuk tampilan gedung-gedung. Yang jelas rancangan harus memenuhi persyaratan-persyaratan elementer dan fungsional peraturan di fokuskan pada fungsi (Peter J.M.Nas dan Martien de Vietter, 2007).

Berdasarkan survey di lapangan Bentuk bangunan pada museum nasional Indonesia, Secara Arsitektur bergaya Imperium, dengan bentuk bergaya Yunani yang di campur dengan penggunaan tiang-tiang bergaya romawi serta reinansance. Arsitektur ini muncul karena para arsitek Eropa masih terpengaruh oleh kejayaan arsitektur klasik.

Sesuai dengan iklim tropis

Page 10: KAJIAN ARSITEKTUR KOLONIAL BELANDA PADA IKLIM … ARSITEKTUR/Seminar... · Jakarta kota. Bangunan Museum ... Teori Arsitektur Eropa, Teori Arsitektur Kolonial Belanda. ... 2.1. Landasan

Hal. 10

No Elemen Arsitektur Arsitektur Tropis

1 Orientasi Bangunan √

2 Denah √

3 Dinding X

4 Bukaan (Pintu & Jendela) Serta ventilasi √

5 Lantai √

6 Atap √

7 Plafond √

8 Bentuk Bangunan √

Keterangan :

( X ) Tidak sesuai iklim tropis

( √ ) Sesuai Arsitektur tropis

4 KESIMPULAN & REKOMENDASI

4.1. Kesimpulan

1. Berdasarkan pengamatan dilapangan serta hasil dan pembahasan pada bangunan Museum Nasional Indonesia (Museum Gajah) pada bangunan unit – A, Maka pada elemen : Orientasi bangunan, Denah, Bukaan (Pintu & Jendela) serta ventilasi, Lantai, Atap, Plafond dan Bentuk bangunan. Masih sesuai dengan iklim tropis. Sedangkan pada elemen : Dinding tidak sesuai dengan iklim tropis.

4.2. Rekomendasi

1. Ingin mengetahui lebih dekat tentang bangunan Museum Nasional Indonesia (museum gajah) apakah terdapat bentuk adaptasi bangunan Kolonial Belanda terhadap iklim Tropis. Tetapi hendaknya pihak museum nasional Indonesia (museum gajah) dapat lebih membuka pintu untuk membantu mahasiswa untuk melakukan penelitian lebih mendalam lagi.

2. Pengembang Ilmu Diperlukan penelitian lain sebagai kelanjutan penelitian ini dengan menggali berbagai macam aspek arsitektur Kolonial Belanda terhadap iklim Tropis. Dan semua bangunan yang ada di Museum Indonesia.

Page 11: KAJIAN ARSITEKTUR KOLONIAL BELANDA PADA IKLIM … ARSITEKTUR/Seminar... · Jakarta kota. Bangunan Museum ... Teori Arsitektur Eropa, Teori Arsitektur Kolonial Belanda. ... 2.1. Landasan

Hal. 11

5 REFERENSI

• Georg. Lippsmeier, Bangunan Tropis, (1980). • Marcus Gartiwa, Dr.Ir. Iwan Sudrajat, M.Arch (Pendamping), Morfologi Bangunan dalam

Konteks Kebudayaan Bandung : Muara Indah, (1998). • Peter J.M.Nas dan Martien de Vietter, Masa Lalu dalam Masa Kini, (2007). • Rahil Muhammad Hasbi, (2007). • Syarif Hidayat M.Arch, Arsitektur Tropis, Pusat Pengembangan Ajaran – UMB. • Yulianto Sumalyo, Arsitektur Kolonial Belanda Di Indonesia, Paris Perancis (1988).