119
SIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI AJARAN SELINGKAR HIDUP KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELU SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag) Oleh: Nor Kholis Swandi NIM: 11140321000073 PRODI STUDI AGAMA-AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2019

KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

  • Upload
    others

  • View
    11

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

SIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL:

STUDI KOMPARASI AJARAN SELINGKAR HIDUP

KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM

WETU TELU

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Agama

(S. Ag)

Oleh:

Nor Kholis Swandi

NIM: 11140321000073

PRODI STUDI AGAMA-AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2019

Page 2: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

LEMBAR PERSETUJUAN

SIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL:Studi Komparasi Ajaran Setingkar Hidup Kaharingan

dan Guwe Urip-Gawe Pati Islam Wetu Telu

Diajukan Unhrk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sa{ana Agama(s'Ae)

Oleh:

Nor Kholis SwandiNIM: 11140321000073

Di Bawah Bimbingan:

PRODI STI]DI AGAMA.AGAMA

FAKT]LTAS USHULUDDIN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2019

Page 3: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

Nama

NIM

Fakultas

Jurusan

LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nor Kholis Swandi

trt40321000073

Ushuluddin

Studi Agama-Agama

Judul Skripsi : Siklus Hidup Dalam Agama Lokal: Studi Komparasi Ajaran

Selingkar Hidup Kaharitgan dart Gawe Urip-Gawe pati Islam

WetuTelu

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

l. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu porsyaratan memperoleh gelar strata I di UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Page 4: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

PENGESAIIAN PANITIA UJIAN MI]NAQASYAII

Skipsi ini berjudul Siklus Hidup Dalam Agama Lokal: Studi

Komparasi Ajaran Selingkar Hidup Kaharingan dan Gawe Urip'Gawe Pati

Islam Wetu Telu telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada 8 November 2019' Skipsi ini telah

diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada

Jurusan Studi Agama-Agama.

Jakarta, 12 Oktober 20 1 9

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

NrP. 197103r0 199703 t 005

Lisfa Sentosa Aisyah. M.A.

NrP. 19750506 200501 2 003

Penguji I,

-c\#(frDr. Hamid Nasuki. M.Ae

NrP. 19630908 199001 1001

Anggota,

Pembimbing,

Penguj i II,

-pQf7fny",----7::

Dra. Halimah SM. M.Ae

NIP. 19590413 199603 2 001

t

Page 5: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

iv

ABSTRAK

Nor Kholis Swandi

Judul Skripsi: “Siklus Hidup dalam Agama Lokal: Studi Komparasi Ajaran

Selingkar Hidup Kaharingan dan Gawe Urip-Gawe Pati Islam Wetu Telu”

Perjalanan hidup manusia terentang melalui beberapa taraf: orok-bayi,

remaja, dewasa, nikah, tua renta, dan mati. Bersama dengannya, sikap manusia

terhadap kenyataan hidup beralih juga. Di dalam tradisi agama lokal, terutama

yang berkembang di Kaharingan dan Islam Wetu Telu, setiap masa peralihan

kehidupan biasanya diikuti oleh ritual-ritual yang sudah mempunyai makna

tersendiri guna mempengaruhi kekuatan alam dan roh-roh yang hidup di

sekitarnya agar memberikan kekuatan positif kepada setiap masyarakatnya.

Penelitian ini mencoba untuk membandingkan serta menganalisa nilai-

nilai yang terkandung di dalam setiap ritual siklus hidup yang berkembang di

Kaharingan (selingkar hidup) dan Islam Wetu Telu (gawe urip-gawe pati), mulai

dari periode kelahiran sampai periode kematian. Salah satu contohnya adalah

upacara mamanggar janji dalam tradisi Kaharingan yang digunakan untuk

menyampaikan maksud pria untuk mempersunting wanita pujaannya. Sedangkan

dalam Islam Wetu Telu biasanya dengan melakukan merariq sebagai bentuk

komitmen sang pria jika benar-benar ingin menjadikan si wanita sebagai

pendamping hidupnya.

Jenis penelitian yang digunakan di dalam skripsi ini adalah kajian

kepustakaan (library research), dengan pendekatan historis, antropologi

fungsionalis Malinowski serta komparatif. Pendekatan historis digunakan untuk

memaparkan sejarah Kaharingan dan Islam Wetu Telu. Pendekatan Antropologi

fungsionalis Malinowski berguna untuk menjelaskan fungsi-fungsi dari berbagai

ritual yang dilakukan oleh kedua suku tersebut. Sedangkan pendekatan komparatif

digunakan untuk membandingkan ritual-ritual yang ada dalam siklus hidup

Kaharingan dan Islam Wetu Telu.

Meskipun Kaharingan dan Islam Wetu Telu merupakan dua entitas

yang berbeda, tapi secara substansial mempunyai nilai-nilai yang beririsan di

dalam ritus kehidupannya. Ritus-ritus yang dilakukan berkenaan dengan siklus

hidup manusia mempunyai kedudukan yang sangat tinggi karena mampu memberi

makna bagi setiap manusia dalam kehidupannya. Selain sebagai penghubung

dengan alam roh-roh nenek moyangnya, tujuan dari pada ritus peralihan ini adalah

sebagai sarana pembebasan diri dari kesalahan atau penebusan hutang dari taraf

hidup yang ditinggalkan, usaha memperkuat diri sambil memohon doa restu,

kekuatan batin, bekal rohani dan keberanian untuk berhasil baik dalam taraf

hidupnya yang baru atau pada jenjang masyarakat baru yang akan dinaikinya.

Kata Kunci: Siklus Hidup, Kaharingan, Islam Wetu Telu.

Page 6: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

v

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah

memberikan kenikmatan berupa akal dan keinginan sehingga kami bisa

menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat dan Salam semoga tetap

tercurahkan kepada sang penutup para Nabi, Muhammad SAW yang telah

membawa perubahan terhadap peradaban dunia dengan hadirnya ilmu

pengetahuan dan menjadi juru tauladan bagi para pengikutnya dengan akhlak al-

karimah-Nya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa bantuan

dari berbagai pihak baik berupa materiil maupun dorongan moril. Oleh karena itu,

sebagai tanda syukur dan penghargaan yang tulus, penulis menghaturkan ucapan

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Alm. Bapak, Ach. Sya’eri yang baru saja meninggalkan kita semua

menghadap Tuhan pada Minggu (06/10/2019), semoga beliau mendapat

tempat yang indah di alam sana dan khusnul khatimah dengan dimasukkan ke

dalam syurga-Nya. Dan ibuku, Zayyinah yang tak pernah merasa lelah

mendidik anaknya hingga mencapai titik ini. Beliaulah semangatku, hudupku

hanya untuk kebahagiaan kalian.

2. Segenap Bapak dan ibu Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta atas wawasan serta pengetahuan yang diberikan kepada penulis selama

belajar di kampus ini.

3. Ibu Siti Nadroh, M.A. selaku pembimbing dalam penulisan skripsi, yang telah

memberikan arahan dengan segenap kesabaran dan ketelitian dalam

membimbing penulis. Beliau banyak meluangkan waktu, tenaga, fikiran, yang

Page 7: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

vi

tak pernah mengenal waktu, selalu memberikan motivasi dan bimbingan

sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Syaiful Azmi, M.A. selaku Ketua Jurusan Studi Agama-Agama

merangkap penasehat akademik dan Ibu Lisfa Sentosa Aisyah, M.A. selaku

Sekretaris Jurusan Studi Agama-Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

selalu memberikan pelayanan kepada mahasiswanya dengan baik.

5. Bapak Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Dr. Yusuf

Rahman, M.A. beserta jajarannya.

6. Para staf perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan

Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, terima kasih atas pinjaman buku-bukunya.

7. Keluarga besar penulis, adik, paman, bibi, nenek, Bani Thoha dan lainnya.

Terima kasih atas do’a dan dukungannya beserta segala yang telah diberikan

kepada penulis.

8. Sahabat-sahabatku anggota “the djongkors” yang selalu menghadirkan

senyum dan tawa di setiap tongkrongannya. Irfan ‘Abah’ Maulana sebagai

tetua, Athoillah ‘jamet’ Tantowi, Muhammad ‘jamet’ Ibnu Sina, M. Rian

Sujud ‘jamet’ Taufik, Muhammad ‘busyboy’ Qoyyum, Ricky ‘pastel’

Setiawan, dan Ojan Fauzan Chair.

9. Teman-teman terbaik yang menjadi tempat keluh kesahku dikala galau

menghadapi penulisan skripsi yang begitu banyak drama, Mustika Diani Dewi

dan Abd. Rahman. Terima kasih atas bantuannya.

10. Keluarga besar Jurusan Studi Agama-Agama angkatan 2014 khususnya kelas

PE’A B yang sudah seperti saudara dan berjuang bersama-sama mulai dari

nol.

Page 8: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

vii

11. Keluarga besar Ikatan Mahasiswa Bata-Bata (IMABA) yang sudah memberi

penulis akses untuk bisa melanjutkan studi di kampus tercinta ini dan

menampung penulis untuk tinggal di asrama selama 4 tahun. Terima kasih

banyak atas semua pengalaman dan arahannya.

12. Keluarga besar Kuliah Kerja Nyata (KKN) Archery 169 2017 UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang sudah seperti keluarga meskipun hanya sebulan

dipertemukan di desa Tapos 1, Kec. Tenjolaya, Kab. Bogor. Dimas, Bagus,

Juniko, Bayhaqi, Rifqi, Tanu, Vina, Via, Sita, Alya, Fuaziyah, Bilah, Udoh,

Putri. Teruslah jaga ikatan dan persaudaraan.

Jakarta, 18 Oktober 2019

Nor Kholis Swandi

Page 9: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................................. i

LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN MUNAQASYAH ...................................... iii

ABSTRAK ............................................................................................................ iv

KATA PENGANTAR ........................................................................................... v

DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 10

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................................... 10

D. Metodologi Penelitian ............................................................................... 11

E. Landasan Teori .......................................................................................... 16

F. Tinjauan Pustaka ....................................................................................... 17

G. Sistematika Penulisan ................................................................................ 21

BAB II AGAMA LOKAL DI INDONESIA ..................................................... 23

A. Definisi Agama Lokal ............................................................................... 23

B. Eksistensi Agama Lokal di Indonesia ....................................................... 26

C. Siklus Hidup Agama Lokal ....................................................................... 31

BAB III SIKLUS HIDUP DALAM KAHARINGAN DAN ISLAM WETU

TELU .................................................................................................................... 35

A. Sejarah Singkat Kaharingan ...................................................................... 35

B. Selingkar Hidup Dalam Kaharingan ......................................................... 38

C. Sejarah Singkat Islam Wetu Telu .............................................................. 54

D. Gawe Urip-Gawe Pati Islam Wetu Telu ................................................... 60

E. Makna Hidup Perspektif Kaharingan dan Islam Wetu Telu ..................... 77

Page 10: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

ix

BAB IV KOMPARASI & ANALISIS SIKLUS HIDUP KAHARINGAN DAN

ISLAM WETU TELU ........................................................................................ 81

A. Periode Kelahiran ...................................................................................... 81

B. Periode Kehidupan .................................................................................... 83

C. Periode Kematian ...................................................................................... 90

D. Menjaga Tradisi Nusantara, Merawat Budaya Bangsa ............................. 93

BAB V PENUTUP ............................................................................................... 99

A. Kesimpulan ................................................................................................ 99

B. Saran ........................................................................................................ 102

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 104

Page 11: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia sebagai negara kepulauan yang terbentang dari Sabang

sampai Merauke, dari Miangas sampai pulau Rote mempunyai kekayaan yang

luar biasa, baik dari segi sumber daya alam, budaya, etnis, bahasa dan agama

sehingga meniscayakan akan adanya keberagaman dan perbedaan. Semua

anugerah ini tidak berangkat dari ruang kosong dan mesti mengalami pasang

surut serta perkembangan yang mengikuti perputaran waktu pada masanya.

Terkhusus lagi tentang budaya yang kemunculannya tidak lepas dari peran

manusia sebagai pelaku langsung dalam kehidupan, king maker yang

menentukan jalannya kehidupan. Koentjaraningrat mendefinisikan

kebudayaan sebagai seluruh total dari pikiran, karya, dan hasil karya manusia

yang tidak berakar kepada nalurinya, dan yang karena itu hanya bisa

dicetuskan oleh manusia sesudah suatu proses belajar.

Salah satu wujud dari kebudayaan adalah sistem sosial, yang

menyangkut kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri

dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul

satu dengan lain, yang dari detik ke detik, hari demi hari, tahun ke tahun selalu

mengikuti pola-pola tertentu yang berdasarkan adat dan kelakuan. Sebagai

rangkaian aktivitas manusia-manusia dalam masyarakat, maka sistem sosial

Page 12: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

2

itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi,

difoto, didokumentasikan.1

Unsur agama dan keyakinan juga tak kalah penting dalam sejarah

manusia. Ada yang mengatakan bahwa umur agama setua umur manusia itu

sendiri, dalam artian bahwa agama menjadi bagian integral dari manusia yang

tak terpisahkan. Pernyataan ini bisa kita tarik kebelakang sampai pada zaman

Yunani Kuno, Mesir Kuno bahkan sampai Mesopotamia2. Di sana sudah

mengenal akan adanya zat atau kekuatan yang mengatasi, mengawasi dan

mengontrol mereka. Di sana juga sudah mengenal konsep dewa lokal maupun

dewa nasional yang pada kemudian hari bertransformasi menjadi konsep

Tuhan. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa sudah banyak perubahan dan

revolusi yang terjadi seturut dengan perjalanan sejarahnya.

Secara sederhana, agama dapat didefinisikan sebagai ajaran, sistem

yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan

Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan

manusia dan manusia serta lingkungannya.3 Lebih lanjut, setelah perenungan

mendalam dan melihat berdasarkan ciri-ciri yang ditemukan di dalam agama

mana saja, Emile Durkheim dalam bukunya yang telah diterjemahkan kedalam

bahasa Indonesia The Elementary Forms of The Religious Life; Sejarah

Bentuk-Bentuk Agama yang Paling Dasar menyimpulkan bahwa agama

adalah kesatuan sistem kepercayaan dan praktek-praktek yang berkaitan

1Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: Kompas

Gramedia, Cet.XXI, 2015), h. 7. 2Mesopotamia berasal dari bahasa Yunani yang artinya between the rivers, yaitu antara

dua sungai (sungai Tigris dan Eufrat). Lih. M. Ali Imron, Sejarah Terlengkap Agama-Agama di

Dunia dari Masa Klasik hingga Modern (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), h. 34. 3KBBI Online, “Agama,” https://kbbi.web.id/agama, diakses pada 13 November 2018.

Page 13: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

3

dengan yang sakral, yaitu hal yang disisihkan dan terlarang -kepercayaan dan

praktek-praktek yang menyatukan seluruh orang yang menganut dan meyakini

hal-hal tersebut kedalam suatu komunitas moral yang disebut Gereja.4

Tidak satupun agama turun dari surga ke dalam ruang vakum sosial.

Tidak juga dalam lingkungan yang ideal atau sangat halus. Tapi tiap-tiap

agama muncul dalam masyarakat yang sarat dengan nilai, etos dan kebiasaan

dan tradisinya. Kerapkali agama datang dalam masyarakat yang menyimpang

atau rusak dari jalan kebenaran, untuk menjamin kebaikan bagi seluruh

masyarakat. Jadi, kita seharusnya memahani kemunculan agama dalam

masyarakat di mana agama tersebut dilahirkan. Demikian juga, tidak ada

agama yang dapat dijalankan dalam sosial yang hampa. Apapun ajaran dan

ideal agama, dikerjakan oleh pemeluknya dalam caranya sendiri sesuai dengan

tradisi dan kebiasaan mereka.5

Sebelum ada agama di Nusantara atau sebelum agama masuk ke

Indonesia, nenek moyang bangsa Indonesia telah mempunyai kepercayaan

akan adanya kekuatan di luar kekuasaan manusia, yaitu yang menciptakan

dunia dan seisinya. Masyarakat Indonesia mempunyai tradisi keberagamaan

yang sangat plural. Tidak hanya agama mainstream yang sudah terlembaga,

tetapi juga kepercayaan lokal. Kepercayaan lokal dengan sistem ajaran, tradisi,

pengikut merupakan sesuatu yang hidup dalam masyarakat, bahkan jauh

sebelum negara Indonesia ada.6

4Emile Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life; Sejarah Bentuk-Bentuk

Agama yang Paling Dasar, terj. IR Muzir dan M. Syukri (Yogyakarta: IRCiSoD, 2011), h. 80. 5Asghar Ali Engineer, Liberalisasi Teologi Islam; Membangun Teologi Damai dalam

Islam terj. Rizqon Khamami (Yogyakarta: Alenia, 2004), h. 170 6Kementerian Agama RI, Dinamika Agama Lokal di Indonesia (Jakarta: Puslitbang

Kehidupan Keagamaan, 2014), h. 1.

Page 14: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

4

Tetapi karena pada prinsipnya manusia waktu itu kurang mengerti

tentang cara-cara menyembah atau berbakti kepada sang pencipta sehingga

cara menyembahnya sangat sederhana. Kegiatan ini telah terkelompok

sedemikian rupa berbentuk organisasi. Dengan adanya Tap MPR No:

IV/MPR/1978 di mana pemerintah memberikan arah dan pembinaan, maka

seakan-akan organisasi itu tumbuh kembali, sehingga oleh masyarakat

dianggap hal yang baru.7

Sebagai representasi bahwa manusia mengakui adanya kekuatan lain di

alam semesta ini, mereka mempunyai sasaran atau tujuan penyembahan atau

sesuatu Yang Kuasa untuk disembah. Mereka menyebutnya Tuhan, Allah,

God, Dewa, El, Ilah, El-Ilah, Lamatu’ak, Debata, Gusti Pangeran, Deo, Theos,

atau penyebutan lain sesuai dengan konteks dan bahasa masyarakat yang

menyembah-Nya. Penyebutan ini menunjukkan manusia percaya bahwa yang

disembah itu adalah dzat yang benar-benar ada; mereka pun memberi hormat

dan setia kepada-Nya.8

Kemendikbud melalui Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang

Maha Esa dan Tradisi, mencatat ada 187 kelompok penghayat kepercayaan di

13 provinsi. Kelompok terbanyak berada di Jawa Tengah dengan 53

kelompok. Sementara itu, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan

Sipil Kementerian Dalam Negeri, mencatat jumlah penghayat kepercayaan

hingga juli 2017 ada 138.791 orang. Jumlah ini kemungkinan bertambah

pasca putusan MK terhadap UU 24/2013 tentang adminduk. Direktorat

7M. Jandra, Hasil Penelitin Organisasi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Daerah Istimewa Yogyakarta II (Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990), h.

1. 8M. Ali Imron, Sejarah Terlengkap Agama-Agama di Dunia dari Masa Klasik hingga

Modern (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), h. 12

Page 15: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

5

Jenderal Dukcapil Zudah Arif Fakhrulloh mengatakan, jumlah penghayat

sebesar 3,14 persen dari total masyarakat Indonesia. Sebelumnya, penganut

kepercayaan juga mencatatkan diri sebagai pemeluk enam agama yang diakui

pemerintah.9

Dari sekian banyak aliran kepercayaan yang eksis di Indonesia,

nantinya hanya akan ada dua aliran kepercayaan yang dijadikan sorotan yakni

Kaharingan dan Islam Wetu Telu. Yang pertama, merupakan kepercayaan asli

orang Dayak yang berkembang di pulau Kalimantan. Pada mulanya orang

Dayak hidup di tepi-tepi sungai tapi seiring berjalannya waktu mereka

semakin terdesak ke daerah hulu. Sejak itulah mereka sering disebut sebagai

“orang Hulu” (penyebutan ini sering ditujukan pada orang Dayak). Dari hulu-

hulu sungai ini mereka menyebar ke pedalaman-pedalaman pulau

Kalimantan.10

Seperti yang terdapat pada suku-suku bangsa lain di Indonesia, suku

bangsa Dayak mempunyai banyak sekali tata aturan hidup yang harus

dipatuhi, misalnya adat berpakaian, adat dalam melakukan suatu upacara baik

yang berkaitan dengan daur hidup maupun dengan peristiwa alam, adat

menerima tamu, dan lain-lain. Kecenderungan mereka untuk tetap

menghormati dan menjunjung tinggi adat istiadatnya itu didorong oleh

9Lutfy Mairizal Putra, KOMPAS, “Sebetulnya, Berapa Jumlah Penghayat Kepercayaan di

Indonesia?.” Edisi 22 November 2017.

https://sains.kompas.com/read/2017/11/22/124500723/sebetulnya-berapa-jumlah-penghayat-

kepercayaan-di-indonesia-. 10Depdikbud, Sejarah Kebudayaan Kalimantan (Jakarta: CV, Dwi Jaya Karya, 1993), h.

32.

Page 16: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

6

ketentuan akan hukum adat yang tetap diberlakukan bagi si pelanggar adat

sampai sekarang.11

Dalam hal keyakinan, mayoritas orang Dayak menganut Kaharingan,

bahkan sampai ada persepsi bahwa seorang Dayak di saat yang sama dia

menganut Kaharingan. Meskipun sebenarnya tidak semua orang Dayak

menamakan kepercayaan mereka sebagai Kaharingan, sebagian menyebutnya

sebagai agama helu yang berarti agama zaman dulu, sebagian lagi

menyebutnya dengan agama biasa yaitu agama yang bukan Islam. Tapi itu

semua hanya sebagai pilihan kata saja dengan Kaharingan tetap menjadi

sebutan yang familiar untuk mereka.

Sebagai kepercayaan yang kental dengan unsur adat, Kaharingan

memiliki konsep yang dikenal dengan selingkar hidup atau dengan bahasa

sehari-hari kita kenal dengan siklus hidup, yaitu perjalanan hidup manusia

dimulai dari masa kehamilan, kelahiran, masa baligh, perkawinan sampai

masa kematian. Masa-masa tersebut dianggap oleh masyarakat Dayak sebagai

masa-masa yang kritis yang sering mendapat gangguan dari makhluk-makhluk

halus ataupun roh-roh jahat sehingga pada masa-masa perubahan seperti ini,

mereka membutuhkan bantuan dari makhluk-makhluk halus ataupun roh-roh

jahat serta campur tangan orang lain melalui upacara inisiasi. Untuk

mendapatkan bantuan tersebut, mereka memerlukan adanya upacara-upacara

tertentu yang berbentuk sesembahan atau sesajen.12

Salah satu contoh dari proses selingkar hidup adalah kepercayaan akan

kehamilan pada suku Dayak Sanggau yang meliputi pantangan dan anjuran.

11Depdikbud, Sejarah Kebudayaan Kalimantan, h. 34. 12Syamsir Salam, Kaharingan Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah

(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h. 179.

Page 17: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

7

Sebagai pantangan, wanita hamil dilarang memakan daging binatang yang

hidup di dalam lobang seperti trenggililng, ular dan labi-labi dengan alasan

takut proses kelahirannya akan susah. Anjuran yang diyakini baik bagi wanita

setelah melahirkan adalah duduk nyandar (kaki lurus badan nyandar di

dinding) selama satu bulan agar darah putih tidak naik ke kepala, takut jadi

gila bisa juga buta. Makanan yang dianjurkan nasi putih dengan garam dan

daun bungkal selama tiga hari.13

Kepercayaan selanjutnya adalah Islam Wetu Telu. Wetu Telu

merupakan salah satu varian Islam kultural yang ada di Indonesia setelah

terjadinya dialektika antara Islam dengan budaya Sasak Lombok. Proses

dialektika tersebut pada gilirannya menghasilkan Islam yang unik, khas

(distinctive), esoterik, dengan ragamnya tradisi-tradisi lokal yang telah disisipi

nilai-nilai Islam. Komunitas Islam Wetu Telu menganggap adat mereka

sebagai nilai-nilai distingtif dan ekspresi dari identitas mereka. Adat

memainkan peran yang signifikan dalam komunitas ini. Penganut Wetu Telu

diidentikkan dengan mereka yang dalam praktek kehidupan sehari-hari sangat

kuat berpegang pada adat-istiadat nenek moyang mereka. Dalam ajaran Wetu

Telu, terdapat banyak nuansa Islam di dalamnya. Namun demikian

artikulasinya lebih dimaknakan dalam idiom adat. Disini warna agama

bercampur dengan adat, padahal adat sendiri tidak selalu sejalan dengan

agama. Pencampuran praktek-praktek agama ke dalam adat ini menyebabkan

watak Wetu Telu sangat sinkretik.14

13 Suprabowo, “Praktik Budaya dalam Kehamilan, Persalinan dan Nifas”, KESMAS

Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional vol.1, no.3 (Desember 2006): h. 115-116. 14Muhammad Harfin Zuhdi, “Parokialitas Adat Wetu Telu di Bayan: Wajah Akulturasi

Agama Lokal di Lombok” Istinbath vol. 13, no.1 (Desember 2014): h. 32.

Page 18: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

8

Berdasarkan kepercayaan masyarakat Bayan, Wetu Telu

menyimbolkan pengungkapan bahwa semua makhluk hidup muncul (metu)

melalui tiga macam sistem reproduksi; melahirkan (menganak), bertelur

(menteluk) dan berkembang biak dari benih dan buah (mentiuk).15 Ketiganya

merepresentasikan makna harfiah wetu atau metu telu. Lebih lanjut,

berdasarkan keterangan yang didapat dari Pemangku Karangsalah bahwa

Wetu Telu sebagai sistem agama juga termanifestasikan dalam kepercayaan

bahwa semua makhluk harus melewati tiga tahap rangkaian siklus, dilahirkan

(manganak), hidup (urip) dan mati (mate).16 Kegiatan ritual, menurutnya,

sangat terfokus pada rangkaian siklus ini.

Dari keterangan tersebut, kita akan mendapatkan istilah Gawe Urip

dan Gawe Pati. Gawe Urip adalah serangkaian aktivitas ritual yang

dilangsungkan dalam kehidupan seseorang. Seperti Buang Au (upacara

kelahiran) dan Ngitanang (khitanan). Sedangkan Gawe Pati adalah

serangkaian upacara yang dilakukan bagi yang sudah meninggal. Mulai dari

penguburan (nusur tanah), hari ketujuh (mitu) hingga hari ke seribu (nyiu)

kematian seseorang.

Penelitian ini menjadi menarik jika kita mengaitkan kedekatan tradisi

dari kedua agama lokal di atas yang mana Kaharingan lebih dekat pada tradisi

Hindu bahkan ada yang mengkategorikan Kaharingan sebagai Hindu itu

sendiri sehingga disebut Hindu Kaharingan, sedangkan Islam Wetu Telu lebih

dekat pada tradisi Islam sesuai dengan kata pertama dari Islam Wetu Telu. Hal

15Arnis Rachmadani, “Local Wisdom: Tradisi Perkawinan Islam Wetu Telu sebagai

Perekat Hubungan Masyarakat Bayan,” Haromoni X, No.3 (Juli-September 2011)h, 667. 16Muhammad Harfin Zuhdi, “Wetu Telu in Bayan Lombok,” Kawalu, Journal of Local

Culture 3, no.2 (July-December 2016), h. 30.

Page 19: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

9

tersebut merupakan dua hal yang berbeda sama sekali baik dari segi sejarah

maupun ajarannya. Meskipun begitu, dalam proses siklus hidup ini kita bisa

menemukan titik temu di antara keduanya terutama dalam hal tujuan

substansial dari upacara siklus hidupnya seperti yang tergambar dalam

upacara kehamilan di antara keduanya yang jika ditarik benang merahnya

maka sama-sama mengharapkan keturunan yang unggul dan sesuai harapan

keluarga.

Penulis menekankan bahwa dalam penelitian ini kita mengenalkan

budaya dan tradisi asli Nusantara yang sangat beragam (heterogen). Apa yang

ada dalamnya merupakan kekayaan (lokal wisdom) dari masing-masing suku

sehingga patut untuk dijadikan pertimbangan dalam melihat dunia (worlview).

Karena keakrabannya dengan alam, tiap suku yang ada mendasarkan semua

tindak tanduknya sebisa mungkin bersahabat dengan alam sehingga tidak ada

ekspoitasi baik terhadap alam ataupun lingkungan.

Tetapi, mengingat terbatasnya ruang, penulis hanya membatasi

pembahasan ritual yang menyangkut siklus hidup hanya pada periode

kelahiran, periode kehidupan yang terbatas hanya pada ritual tato dan khitanan

serta perkawinan dari masing-masing suku, dan seputar upacara kematian.

Upacara-upacara tersebut dipilih karena berdasarkan kesamaan periode waktu

dilaksanakannya upacara.

Berdasarkan pemaparan di atas, dengan beberapa keunikan dan local

wisdom tersebut, penulis merasa tertarik untuk meneliti lebih jauh bagaimana

konsep siklus hidup dalam agama lokal dengan judul “Siklus Hidup dalam

Page 20: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

10

Agama Lokal: Studi Komparatif Ajaran Selingkar Hidup Kaharingan dan

Gawe Urip-Gawe Pati Islam Wetu Telu.”

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep ajaran siklus hidup dalam Kaharingan dan Islam Wetu

Telu?

2. Bagaimana komparasi antara siklus hidup Kaharingan dan Islam Wetu

Telu?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui konsep ajaran siklus hidup di dalam Kaharingan

dan Islam Wetu Telu.

b. Mengetahui komparasi antara siklus hidup Kaharingan dan Islam Wetu

Telu.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini dibagi menjadi tiga, yakni kegunaan teoritis,

praktis dan akademis.

a. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumbangan data

ilmiah, serta mampu memperkaya khazanah keilmuan dalam

memahami dan mengintrepretasikan hasil karya para penulis di

Indonesia mengenai Siklus Hidup dalam Agama Lokal khususnya

dalam Kaharingan dan Islam Wetu Telu.

Page 21: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

11

b. Kegunaan Praktis

1) Bagi Penulis

Menambah wawasan ilmu pengetahuan dalam studi agama-agama

khususnya yang berkaitan dengan masalah siklus hidup dalam

Kaharingan dan Islam Wetu Telu.

2) Bagi Lembaga Pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan bagi

para mahasiswa/I khususnya jurusan Studi Agama-Agama agar

lebih objektif lagi dalam mengintrepretasikan setiap hasil karya

orang lain, dan hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan para

peneliti lain dengan tema atau judul yang serupa.

c. Kegunaan Akademis

Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi

persyaratan akhir perkuliahan guna mendapatkan gelar Sarjana Agama

(S.Ag) jurusan Studi Agama-Agama Fakultas Ushuluddin Universitas

Islam Negeri Syarif Hidaybatullah Jakarta.

D. Metodologi Penelitian

Metodologi penelitian digunakan dalam setiap kegiatan atau penulisan

skripsi. Hal ini bertujuan untuk menemukan data yang valid, dan analisa yang

logis rasional. Adapun metodologi yang digunakan dalam penelitian ini antara

lain:

a. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian

kepustakaan (library research) yaitu suatu penelitian kualitatif yang objek

Page 22: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

12

penelitiannya adalah kepustakaan. Ia memuat gagasan atau pikiran-pikiran

yang didukung oleh data kepustakaan di mana sumbernya dapat berupa

jurnal penelitian, skripsi, tesis, disertasi, laporan penelitian, buku teks,

makalah, laporan seminar, dokumentasi hasil diskusi ilmiah, dokumen

resmi dari pemerintah dan lembaga resmi lainnya.17

Lebih jauh Mustika Zed mengemukakan bahwa Riset kepustakaan atau

sering juga disebut studi pustaka ialah serangkaian kegiatan yang

berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan

mencatat serta mengolah bahan penelitian.18 Dengan metode ini penulis

menghimpun, membaca, meneliti, dan mengkaji beberapa literatur yang

berhubungan dengan masalah yang akan di bahas dan ada kaitannya

dengan skripsi ini.

b. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang penulis gunakan adalah antropologis, historis dan

komparasi. Dalam metode antropologis, yang menjadi objek kajiannya

adalah manusia dalam kaitannya dengan agama, yaitu bagaimana pikiran,

sikap dan perilaku manusia dalam hubungannya dengan yang gaib.19

Antropologi mencoba mengungkapkan perilaku agama yang telah menjadi

kebiasaan pada diri seseorang, berdasarkan latar belakang keyakinan,

pengetahuan, norma serta nilai-nilai ajaran yang dianut. Dalam hal ini,

17Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan R&D

edisi iv cet. xix (Bandung: Alfabeta, 2014), h. 3. 18Mustika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004),

h. 3. 19Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), h.

11.

Page 23: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

13

antropologi memandang agama sebagai sistem budaya yang memberikan

kontrol terhadap perilaku seseorang.20

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori antropologi

fungsionalis yang dikembangkan oleh Bronislaw Malinowski (1884-

1942). Teori ini beranggapan bahwa semua unsur kebudayaan adalah

bagian-bagian yang berguna bagi masyarakat di mana unsur-unsur tersebut

berada. Pandangan fungsionalis menekankan bahwa setiap pola perilaku,

kepercayaan dan sikap yang menjadi bagian dari kebudayaan suatu

masyarakat, memiliki peran mendasar di dalam kebudayaan yang

bersangkutan.

Malinowski meyakini bahwa masyarakat harus dilihat dalam

keseluruhan fungsinya. Pandangan ini ingin memberikan penegasan bahwa

semua tradisi dan prakteknya harus dipahami dalam konteks utuhnya dan

dijelaskan berdasarkan fungsi-fungsi yang mereka penuhi manusia,

anggota masyarakat tersebut. Malinowski menegaskan, segala sesuatu

yang telah dilakukan manusia harus dijelaskan melalui peranannya pada

masa sekarang; bahkan tradisi-tradisi yang tampaknya seperti sekedar

sampah dari periode yang lebih awal pasti memiliki sebuah fungsi dan

fungsi tersebut adalah penjelasan sebenar-benarnya bagi eksistensi

mereka.21 Teori fungsional Malinowski cocok dengan penelitian ini karena

nantinya peneliti akan menjelaskan fungsi dari masing-masing dari

upacara siklus hidup yang dilaksanakan kedua suku yang mempunyai

makna yang sangat mendalam.

20Abdullah Ali, Agama dalam Ilmu Perbandingan (Bandung: Nuansa Aulia, 2007), h. 94. 21Yusron Razak, Erwan Nurtawaban, Antropologi Agama (Ciputat: UIN Jakarta Press,

2007), h. 20.

Page 24: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

14

Adapun pendekatan historis ditempuh dengan cara menggunakan

penjajakan terhadap asal-usul sejarah lahirnya suatu agama, siapa tokoh

pembawa ajaran tersebut, sejarah pertumbuhan dan perkembangan

lembaga-lembaga keagamaannya serta ide-ide yang berkembang secara

periodik dalam kehidupan kemanusiaan.22 Karakter yang menonjol dalam

pendekatan ini adalah tentang signifikansi waktu dan prinsip-prinsip

kesejarahan tentang individualitas dan perkembangan. Melalui pendekatan

historis, peneliti dapat melakukan periodisasi atau derivasi sebuah fakta

dan melakukan rekonstruksi proses genesis: perubahan dan

perkembangan.23

Sedangkan pendekatan komparasi yaitu bersifat perbandingan;

menyatakan perbandingan.24 Marc Bloch, sejarawan Prancis, seperti

dikutip oleh Media Zainul Bahri, menggambarkan empat proyek studi

perbandingan, yaitu: (a) penyaringan (selection); bagaimana melakukan

seleksi terhadap beberapa fenomena atau lingkungan sosial yang berbeda,

(b) menggambarkan garis-garis evolusi fenomena atau keadaan sosial itu,

(c) melakukan pengamatan atas kesamaan dan perbedaan-perbedaan

diantara mereka, dan (d) sejauh kemungkinan yang dapat dicapai adalah

membeberkan penjelasan dan analisis kritis.25 Sehingga metode ini dalam

prosesnya mengkaji terlebih dahulu lalu menggambarkan keadaan objek

yang akan diteliti dengan merujuk pada data-data yang ada –baik sumber

22Abdullah Ali, Agama dalam Ilmu Perbandingan,h. 83. 23Imam Suprayogo, Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2001), h. 65. 24J.S. Badudu, Kamus Kata-Kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia (Jakarta: PT.

Kompas Media Nusantara, 2003), h. 186. 25Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-Agama dari Era Teosofi Indonesia (1901-

1940) hingga Masa Reformasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 27-28.

Page 25: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

15

primer atau sekunder- kemudian menganalisisnya secara komprehensif

serta membandingkan untuk mencari titik temu sehingga dengan demikian

akan ditemukan rincian jawaban atas persoalan yang terkait dengan pokok

permasalahan.

c. Sumber Data

Sumber data ini dibagi menjadi dua, yaitu sumber data primer dan

sumber data sekunder. Sumber data primer adalah sumber data yang dapat

memberikan data penelitian secara langsung. Sumber data primer ini

merupakan sumber utama, berupa karya yang ditulis langsung oleh

penganutnya sendiri maupun yang ahli dalam bidangnya atau hasil dari

wawancara. Beberapa tulisan yang menjadi sumber data primer adalah

Islam Wetu Telu Versus Waktu Lima karya Erni Budiwanti; Suku

Terasing Sasak di Bayan Daerah Propinsi Nusa Tenggara Barat terbitan

Depdikbud dan Kaharingan; Akar-Akar Budaya Suku Dayak di

Kalimantan Tengah karya Syamsir Salam; Kaharingan Religi dan

Penghidupan di Penghulu Kalimantan karya Sarwoto Kertodipoero.

Sedangkan sumber data sekunder adalah data yang materinya secara

tidak langsung berhubungan dengan masalah yang di ungkapkan. Sumber

data sekunder ini digunakan sebagai pelengkap dari sumber data primer.26

d. Teknik Penulisan

Teknik penulisan dalam skripsi ini menggunakan buku Pedoman

Akademik Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh CeQDA (Centre for

26Suharsini Ari Kunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka

Cipta, 2002), h.117.

Page 26: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

16

Quality Development and Assurance) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

tahun 2013.

E. Landasan Teori

1. Siklus Hidup

Di dalam KBBI dijelaskan, siklus merupakan putaran waktu yang di

dalamnya terdapat rangkaian kejadian yang berulang-ulang secara tetap

dan teratur; daru. Sedangkankan siklus hidup adalah putaran hidup dari

lahir sampai mati.27

Di dalam tradisi Kaharingan, siklus hidup dikenal dengan istilah

Selingkar Hidup, sementara tradisi Islam Wetu Telu menyebutnya dengan

istilah Gawe Urip-Gawe Pati. Gawe Urip adalah serangkaian aktivitas

ritual yang dilangsungkan dalam kehidupan seseorang. Sedangkan Gawe

Pati adalah serangkaian upacara yang dilakukan bagi yang sudah

meninggal.

2. Agama Lokal

Agama Lokal merupakan sistem keyakinan yang dianut, dihayati dan

dijalankan secara turun temurun oleh masyarakat nusantara jauh sebelum

masuk agama-agama yang datang kemudian.28 Agama/kepercayaan lokal

adalah agama yang berkembang dan dianut oleh komunitas di daerah

tertentu. Yang lahir dan tumbuh di nusantara, jauh sebelum adanya agama

Hindu, Buddha, Islam, Konghucu, Katolik dan Kristen. Ciri-ciri utamanya

27KBBI Online, diakses pada 9 September 2019 melalui https://kbbi.web.id/siklus. 28Sudarto, Kondisi Pemenuhan Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Terhadap

Tuhan Yang Maha Esa, (Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2017), h. 10.

Page 27: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

17

adalah keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, gotong royong dan

saling menghormati hubungan antar sesama manusia, alam dan Tuhan.29

3. Kaharingan

Kaharingan adalah kepercayaan tradisional Suku Dayak di

Kalimantan, ketika agama lain memasuki wilayah Kalimantan.30 Kata

Kaharingan berasal dari bahasa Sangiang (bahasa Dayak kuna). Akar kata

Haring yang artinya hidup atau kehidupan. Mendapat awalan ka dan

akhiran an. Jadi Kaharingan berarti sesuatu yang menjadi sumber

kehidupan atau sumber segala yang hidup.31

4. Islam Wetu Telu

IWT merupakan praktik unik sebagian masyarakat suku Sasak yang

mendiami pulau Lombok di NTB. Mereka menjalankan Islam hanya 3

rukun saja yaitu membaca dua kalimat syahadat, shalat dan puasa.32 Wetu

Telu berarti waktu tiga. Penamaan ini diambil dari filosofi hidup yang

mereka –suku Sasak- anut, bahwa hidup itu ada 3 macam; melahirkan

(menganak), bertelur (menteluk) dan tumbuh (mentiuk).33

F. Tinjauan Pustaka

Pada bagian ini penulis mencoba mengumpulkan beberapa karya dan

literatur terdahulu yang ada kaitannya dengan penelitian ini, di antaranya:

29Suhanah, Ed, Dinamika Agama Lokal di Indonesia, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan

Keagamaan KEMENAG, 2014), h. 5. 30Wikipedia Bahasa Indonesia, diakses pada 9 September 2019 melalui

https://id.wikipedia.org/wiki/Kaharingan 31Buhol, dkk, Panaturan sebagai Pedoman Hidup Umat Hindu Kaharingan,

(Palangkaraya: STAHN-TP, 2016), h. 2-3. 32Wikipedia Bahasa Indonesia, diakses pada 9 September 2019 melalui

https://id.wikipedia.org/wiki/Wetu_Telu 33Zaki Yamani Athhar, “Kearifan Lokal dalam Ajaran Islam Wetu Telu di Lombok”,

Ulumuna Vol. IX Edisi 15 no.1, Januari-Juni 2005, h. 75.

Page 28: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

18

Pertama, skripsi yang ditulis oleh Annisa Rizky Amalia dengan judul

Tradisi Perkawinan Merariq Suku Sasak di Lombok (Studi Kasus Integrasi

Agama dengan Budaya Masyarakat Tradisional) yang menjelaskan

bagaimana terjadinya integrasi antara agama dan budaya dalam tradisi Merariq

Masyarakat Sasak. Dalam tradisi tersebut terlihat sekali akan kekentalan

budayanya, mulai dari perpaduan antara budaya Sasak, budaya Hindu Bali

serta beberapa unsur lainnya. Karena ada keterkaitan pembahasan, penulis

mengambil beberapa data yang diperlukan dari penelitian tersebut. Namun

perbedaan yang jelas adalah karya Rizky ini terfokus hanya pada merariq saja

sedangkan karya penulis hanya meletakkan merariq sebagai salah satu

rangkaian dalam upacara penikahan dalam tradisi IWT.

Kedua, karya Zaki Yamani Athhar dalam jurnal ULUMUNA dengan

judul Kearifan Lokal dalam Ajaran Islam Wetu Telu di Lombok yang

membahas bagaimana sejarah perkembangan Wetu Telu bisa tersebar di pulau

Lombok yang di perkirakan sudah ada sejak abad XVI masehi, bagaimana

sebutan Wetu Telu diberikan pada masyarakat Bayan dan ritual

kemasyarakatan komunitas Wetu Telu yang terdiri dari 4 upacara; upacara

negara, upacara pertanian, upacara desa serta upacara menurut siklus

penanggalan agama. Kesemua seremonial itu semata untuk ngalap berkah dan

mengharap lindungan Tuhan serta wujud syukur akan nikmat-Nya. Yang

membedakan karya Zaki dengan karya penulis adalah penekanan penelitian

yang dilakukan oleh Zaki adalah terletak pada ritual kemasyarakatan.

Sedangkan penulis lebih condong pada siklus hidup berikut ritual yang

dilakukan oleh Kaharingan dan IWT. Penulis mengambil beberapa data dari

Page 29: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

19

penelitian ini terutama dalam segi sejarahnya karena terdapat kesesuaian

diantara karya Zaki dengan penulis.

Ketiga, buku Erni Budiwanti yang berjudul Islam Wetu Telu versus

Waktu Lima yang berisi seluk beluk tentang Lombok, hubungan antara

Agama, Islam dan Adat yang erat kaitannya dengan ideal Islam dan idiom

adat, ideologi Pancasila dan Islam di bawah rezim Orde Baru dalam setting

sosial, kulturak dan politik, seluk beluk tentang Wetu Telu mulai dari

kepercayaan sampai praktek keagamaan dengan salah satu ritualnya adalah

ritus peralihan individual, otoritas kepemimpinan di Bayan yang terjadi

dikotomi antara pemangku adat dan agama, hubungan antara stratifikasi

masyarakat, perkawinan dan kedudukan wanita serta gerakan dakwah dan

dampak kulturalnya bagi masyarakat setempat.

Keempat, skripsi yang berjudul Agama dan Kebudayaan Kaharingan

di Kalimantan Menurut Para Penulis Indonesia (1990-2013) yang ditulis oleh

Mustika Diani Dewi membahas agama dan kebudayaan di Kalimantan

menurut 8 penulis di Indonesia. Secara garis besar, isi dari skripsi ini

dibedakan menjadi 2, yaitu masalah agama dan kebudayaan, yang di dalamnya

dijelaskan sedemikian rupa sehingga pada kesimpulan akhirnya ditemukan

suatu kesamaan dan perbedaan diantara penulis itu. Penulis mengambil

beberapa data yang salah satunya dalam hal pernikahan pada Suku Dayak

Kaharingan mengingat pemaparan Mustika bisa disesuaikan dengan penelitian

penulis yang salah satu bagian dari siklus hidupnya adalah pernikahan.

Perbedaan antara Karya penulis dengan mustika adalah penulis lebih

menekankan pada konteks siklus hidup sedangkan mustika lebih berbicara

Page 30: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

20

pada tataran permukaan saja dan tidak mendalam yang kemudian antara

penulis satu dengan yang lain dibandingkan.

Kelima, sebuah karya yang ditulis oleh Martin Baier dalam Jurnal

Masyarakat dan Budaya dengan judul Perkembangan Sebuah Agama Baru di

Kalimantan Tengah yang berisi tentang sejarah perkembangan agama di suku

Dayak Ngaju dimulai sejak masa kolonial Belanda, asal mula “Kaharingan”

yang mendapat momentum bagus pada masa penjajahan Jepang karena untuk

pertama kalinya agama asli daerah dapat dianut dan diajar secara serius setaraf

dengan agama-agama lainnya, Kaharingan dan pengakuan negara, sebagai

akibat dari kebijakan Orde Baru yang mengharuskan setiap warga negara

memeluk salah satu agama yang diakui pemerintah dengan bentuk konkretnya

adalah usaha perubahan oleh Tjilik Riwut pada 1953 sebagai usaha untuk

membuat Kaharingan dapat diterima.

Keenam, sebuah buku yang berjudul Kaharingan; Akar-Akar Budaya

Suku Dayak di Kalimantan Tengah karya Syamsir Salam yang berisi tentang

sejarah suku bangsa Dayak mulai dari asal usul suku Bangsa Dayak, macam-

macam suku Dayak serta susunan masyarakatnya, sendi-sendi kehidupan suku

Dayak dengan sistem sosial masyarakat dan mata pencahariannya, seputar

Kaharingan mulai dari sejarah dan dasar-dasar kepercayaannya, beberapa

upacara adat dan agama seperti upacara selingkar hidup, upacara adat

perkawinan adat kewarisan. Penulis banyak mengambil data dari buku

tersebut karena di dalamnya terdapat sejarah dan upacara selingkar hidup

Kaharingan tetapi yang membedakan diantara karya penulis dengan buku

tersebut adalah penelitan penulis diletakkan dalam konteks perbandingan

Page 31: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

21

dengan suku lain, yakni IWT sedangakn karya Syamsir Salam hanya

membahas Kaharingan saja.

Dengan melihat karya-karya sebelumnya, penulis mendapatkan

beberapa data tambahan yang nantinya akan dimasukkan ke dalam penelitian

ini guna menunjang dan memperkuat argumen. Meskipun terdapat beberapa

titik persamaan, tetapi masih didapatkan beberapa isu yang belum dibahas

secara mendalam sehingga penulis menganggap perlu untuk dijadikan bahan

penelitian.

Adapaun perbedaan kajian yang akan penulis tulis dengan hasil

penelitian di atas, bahwa penulis akan memfokuskan diri pada analisa yang

mendalam mengenai komparasi antara siklus hidup yang ada pada agama

lokal Kaharingan dan Islam Wetu Telu menggunakan metode library research

dengan pendekatan deskriptif, analitis, komparatif.

Dengan demikian penelitian yang akan dilakukan oleh penulis

merupakan penelitian pertama yang membahas tentang ”Siklus Hidup Dalam

Agama Lokal; Studi Komparatif Ajaran Selingkar Hidup Kaharingan dan

Gawe Urip-Gawe Pati Islam Wetu Telu”.

G. Sistematika Penulisan

Agar memudahkan penulisan skripsi ini maka dalam pembahasannya

telah dibagi kedalam beberapa bab dengan perincian sebagai berikut:

Bab Pertama :Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,

pembatasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, kajian

pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

Page 32: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

22

Bab Kedua :Menguraikan seputar agama lokal di Indonesia dan

eksistensinya saat ini.

Bab Ketiga :Menguraikan sejarah singkat dan siklus hidup di dalam tradisi

Kaharingan dan Islam Wetu Telu.

Bab Keempat :Menganalisa dan membandingkan konsep selingkar hidup

Kaharingan dan gawe urip-gawe pati Wetu Telu.

Bab Kelima :Merupakan penutup dari skripsi ini yang terdiri dari

kesimpulan dan saran-saran dari penulis serta daftar pustaka

yang digunakan sebagai bahan rujukan.

Page 33: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

23

BAB II

AGAMA LOKAL DI INDONESIA

A. Definisi Agama Lokal

Istilah Agama Lokal, dalam hal ini bisa disamakan dengan penggunaan

istilah agama asli atau agama pribumi. Yang dimaksud dengan agama asli

adalah sebuah agama yang bukan datang dari luar suku penganutnya.

Karenanya, agama asli kerap juga disebut agama suku atau kelompok

masyarakat. Agama ini lahir dan hidup bersama sukunya dan mewarnai setiap

aspek kehidupan suku penganutnya. Agama ini telah dianut oleh suku

penganutnya jauh sebelum agama dunia diperkenalkan kepada suku itu.34

Terdapat tiga prinsip yang terus dipegang oleh penganut agama lokal di

Nusantara menurut Arkeolog Agus Widiatmoko: meyakini hubungan antara

manusia dengan Yang Kuasa, hubungan manusia dengan manusia serta

hubungan manusia dengan tumbuhan, hewan dan lingkungan.

Agama Lokal atau disebut juga Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang

Maha Esa merupakan sistem keyakinan yang dianut, dihayati dan dijalankan

secara turun temurun oleh masyarakat nusantara jauh sebelum masuk agama-

agama yang datang kemudian. Rahmat Subagya menyebutnya sebagai agama

asli. Dalam bukunya Agama Asli Indonesia, sebagaimana dikutip oleh

Sudarto, Subagya mendefinisikan agama lokal Nusantara sebagai sistem

34Kiki Muhammad Hakiki, “Politik Identitas Agama Lokal (Studi Kasus Aliran

Kebatinan)” Analisis, Vol. XI, No. 1, Juni 2011, h. 162.

Page 34: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

24

spiritualitas asli yang tidak bercampur dengan agama-agama lain yang datang

ke Nusantara kemudian.35

Agama/kepercayaan lokal adalah agama yang berkembang dan dianut

oleh komunitas di daerah tertentu. Agama lokal nusantara, memiliki berbagai

nama, yang lazim digunakan di tempat mereka hidup sehari-hari. Agama asli

nusantara adalah agama lokal. Yang lahir dan tumbuh di nusantara, jauh

sebelum adanya agama Hindu, Buddha, Islam, Konghucu, Katolik dan

Kristen. Mungkin banyak di kalangan masyarakat Indonesia sudah tidak lagi

mengetahui bahwa sebelum adanya agama-agama tersebut di atas, telah ada

agama lokal yang jauh lebih tua. Ciri-ciri utamanya adalah keyakinan terhadap

Tuhan Yang Maha Esa, gotong royong dan saling menghormati hubungan

antar sesama manusia, alam dan Tuhan. Masyarakat penganut

agama/kepercayaan lokal menyebut nama agama-agama mereka sesuai dengan

bahasa masing-masing.36

Menurut Engkus Ruswana, salah satu pimpinan Majelis Luhur

Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI) yang dikutip

dari SUARA menyatakan bahwa sebelum agama yang diakui negara seperti

Islam, Kristen, Hindu, dll masuk, Indonesia sudah mempunyai kepercayaan

lokal. Dan itulah yang disebutnya sebagai agama asli Nusantara. Dalam sistem

kepercayaan penghayat, mereka bukan hanya menghargai para leluhur, tapi

juga Tuhan. Mereka mempunyai Tuhan. Tapi bedanya dengan agama lain

yang berhubungan langsung dengan Tuhan, mereka tidak. Mereka mempunyai

35Sudarto, Kondisi Pemenuhan Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Terhadap

Tuhan Yang Maha Esa, (Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2017), h. 10. 36Suhanah, Ed, Dinamika Agama Lokal di Indonesia, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan

Keagamaan KEMENAG, 2014), h. 5.

Page 35: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

25

para leluhur untuk dihormati. Sebab karena leluhur mereka ini ada. Warisan

budaya, bercocok tanam, sampai sistem kehidupan, itu dibuat oleh para

leluhur. Sementara kelompok penghayat kepercayaan yang ingin tetap

memegang teguh kepercayaan mengasingkan diri ke tempat-tempat terpencil

agar nilai-nilai leluhur tetap terjaga. Mereka mengasingkan diri ke Tengger

atau juga Baduy. Mereka ingin pemurnian ajaran.37

David Barret dan Todd Johnsond dalam statistik agama-agama yang

setiap tahun diterbitkan oleh International Bulletin of Missionary Research

penganut agama lokal di dunia ini pada laporan tahun 2003 saja adalah sebesar

237.386.000 orang.38 Jumlah itu pada tahun 2003 diperkirakan hanya 3,78%

dari total penduduk dunia yang kini berjumlah hampir 6,3 miliar manusia.

Dibandingkan dengan kondisi Indonesia, maka penganut agama lokal hanya

sekitar 1% saja dari total penduduk Indonesia. Kebanyakan dari mereka

tinggal di Papua, Sumba, Pedalaman Sumatra, pedalaman Kalimantan dan

pedalaman Sulawesi serta beberapa daerah pulau Jawa.

Semasa penjajahan, penganut agama lokal banyak mengalami

perlakuan tidak mengenakkan dan diskrimatif. Orang-orangnya dimasukkan

ke kategori ‘kafir’ (heidenen) sebagai ‘a residual factor’ (barang yang tersisa).

Karena pemerintah kolonial tidak berkontak dengan rakyat jelata yang

mayoritasnya beragama asli tetapi hanya dengan pengusaha-pengusaha feodal

yang kurang lebih kehinduan dan keislaman, peraturan-peraturan kolonial

berpedoman pada agama monoritas lapisan atas. Peraturan tahun 1895, no.

37Pebriansyah Ariefana, “Engkus Ruswana: Jumlah Penghayat Kepercayaan Diprediksi

Bertambah”, SUARA, Senin 13 Oktober 2017. 38David Barret dan Todd Johnson, “Annual Statistical Table on Global Mission: 2003”

dalam International Bulletin of Missionary Research, vol. 27, No. 1, Th. 2003, h. 25.

Page 36: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

26

198, misalnya mewajibkan agar semua perkawinan dari orang yang bukan

Kristen dan bukan Hindu dilakukan menurut hukum Islam demi

penyederhanaan administrasi perkawinan.39

Setelah Indonesia merdeka, kesadaran unuk mengembangkan

agama/kepercayaan lokal tumbuh berkembang sesuai UUD dan kebijakan

pemerintah terkait dengan agama/kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha

Esa. Pada tahun 1965 muncul PNPS yang menyebutkan beberapa agama yang

hidup dan dianut oleh mayoritas penduduk di Indonesia. Disamping itu

terdapat kelompok-kelompok keagamaan/kepercayaan lokal yang pada masa

Orde Baru diintegrasikan kepada agama-agama induknya, kebijakan

pemerintah terhadap penganut agama lokal juga diarahkan kembali ke agama

asal. Namun bagi penganut kepercayaan yang tidak memiliki latar belakang

ajaran pada agama besar, pembinaannya ditangani oleh Kemendikbud.40

B. Eksistensi Agama Lokal di Indonesia

Eksistensi kelompok faham keagamaan lokal sedang bergelut

menghadapi tantangan yang tidak ringan, terutama dari pengaruh modernitas

dan peradaban global, di samping tekanan-tekanan dari kelompok umat

beragama (agama besar) disekitarnya yang menghendaki pola perilaku dan

faham keagamaan lokal mereka berubah. Lebih jauh kelompok faham

keagamaan lokal tersebut juga dihadapkan pada permasalahan internalnya

masing-masing, utamanya karena terbatasnya SDM yang berkualitas,

miskinnya dana pendukung aktivitas keagamaan dan terbatasnya kemampuan

disseminasi nilai-nilai ajaran pada generasi selanjutnya. Namun demikian,

39Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia, cet. 2, (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), h. 240. 40Suhanah, Ed, Dinamika Agama Lokal di Indonesia, h. 5.

Page 37: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

27

secara umum mereka masih dapat mempertahankan eksistensi faham

keagamaan kelompok dan nilai-nilai ajaran yang diwariskan oleh generasi

terdahulu hingga saat ini. Ada beberapa faktor yang menjadi penyangga masih

eksisnya faham kelompok keagamaan yang bersifat lokal tersebut:

Pertama, dari aspek yuridis, kelompok faham keagamaan yang bersifat

lokal masuk dalam bingkai yang tetap dilindungi oleh Undang-Undang Dasar

1945, khususnya pasal 29 yang menyatakan:a; Negara berdasarkan pada

Ketuhanan yang Maha Esa. b; Negara menjamin kebebasan setiap warga

negara untuk memilih agamanya sendiri, dan beribadat menurut agamanya dan

kepercayaannya itu. Bahkan mereka juga memperoleh pembinaan dari

pemerintah meskipun bagi mereka pembinaan yang diterimanya masih

dirasakan sangat minim.

Kedua, dari aspek historis, pada umumnya kelompok faham

keagamaan lokal telah muncul sejak lama. Mereka mengakui bahwa

kepercayaan lokal yang dianut tidak bertentangan dengan nilai-nilai luhur

falsafah negara Pancasila, UUD’45 dan NKRI. Bahkan mereka mempercayai

faham keagamaan lokal yang dianut merupakan agama asli masyarakat

Indonesia, yang prinsip ajarannya sudah berurat berakar sejak sebelum agama

tradisi besar seperti Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu

berkembang pesat di Indonesia.

Ketiga, kelompok faham keagamaan lokal tersebut tetap terpelihara

dan eksis karena nilai-nilai ajaran yang dikembangkan masih memiliki banyak

penganut dan tetap relevan dengan kebutuhan zaman dan tidak berbenturan

secara signifikan dengan lingkungan sekitarnya. Nilai-nilai ajaran penganut

Page 38: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

28

faham keagamaan ini juga dipandang bersifat universal, adaptif dengan

suasana lingkungan, inklusif, toleran, sehingga tidak bertentangan dengan

norma yang berlaku dalam masyarakat sekitar. Memang dalam skala tertentu

sebagian dari faham dan perilaku keberagamaan mereka nampak unik,

eksklusif dan berbeda dengan faham keagamaan mainstream. Karena itulah

kadangkala mereka mengalami penentangan oleh sebagian kelompok-

kelompok penganut umat beragama tradisi besar lain di sekitarnya, khusunya

mereka yang penganut faham keagamaan relatif bersifat fanatik,

fundamentalis dan ekstim.41

Eksistensi kepercayaan lokal di Indonesia tergantung pada sikap

kepercayaan lokal sendiri terhadap kebijakan-kebijakan negara. Kepercayaan

lokal akan terus ada selama pengikutnya masih menjaga tradisi-tradisi leluhur

dan berkomitmen terhadap pemerintah. Penganut kepercayaan tetap

mendapatkan hak-hak sebagai warga negara dan pemerintah dapat melindungi

mereka melalui wewenang Depdikbud. Relasi ini akan berpengaruh terhadap

eksistensi mereka, sebab keberadaan kepercayaan lokal akan dilindungi dalam

peraturan negara, meskipun tidak diakui sebagai agama nasional. Membangun

hubungan yang baik adalah kunci utama bagi pluralitas di Indonesia sebagai

bagian dari kekayaan bangsa.

Relasi yang baik antara kepercayaan lokal dan negara bukan berarti

berlangsung tanpa tantangan. Modernitas merupakan ancaman bagi

kepercayaan lokal yang dapat mempengaruhi relasinya dengan pemerintah.

Perkembangan teknologi yang menguasai bidang pendidikan, ekonomi, dan

41Prolog Imam Tholkhah (Kepala Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan) dalam

buku Achmad Rosidi, Ed, Perkembangan Paham Keagamaan Lokal di Indonesia, (Jakarta:

KEMENAG, 2011), h. xvi-xvii.

Page 39: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

29

sosial yang dibawa oleh orang luar kepercayaan lokal dapat menjadi faktor

yang mempengaruhi eksistensi kepercayaan lokal. Generasi muda yang mulai

mengenal dunia luar tentu menginginkan adanya inovasi dari kepercayaan

lokal tersebut, bahkan akulturasi budaya. SDM yang dibutuhkan untuk

mengolah SDA mengharuskan para penganutnya mencari pengetahuan-

pengetahuan yang mendukung eksplorasi SDA melalui lembaga-lembaga

pendidikan. Pendidikan dan faktor ekonomi akan mengubah tatanan sosial

baik dalam hubungan antar individu dalam komunitas tersebut maupun diluar

komunitasnya.

Tantangan-tantangan tersebut seharusnya dapat disikapi dengan bijak

oleh penganut kepercayaan lokal. Kunci eksistensi kepercayaan lokal berada

pada faktor internal kelompok itu sendiri. Faktor internal yang dimaksud

meliputi bagaimana penganut kepercayaan lokal menyikapi tantangan-

tantangan, bagaimana mereka menjaga nilai-nilai tradisi yang telah diwariskan

secara turun temurun, dan bagaimana menyeimbangkan pengaruh modernitas

dan tradisi lokal.42

Relasi antara Agama Lokal dengan Negara sudah tidak ada

permasalahan lagi terutama setelah dikabulkannya gugatan judicial review

yang diinisiasi oleh 4 orang perwakilan dari Komunitas Marapu, Parmalim,

Ugamo Bangsa Batak serta Sapta Dharma dengan pembatalan keputusan Pasal

61 Ayat 1 dan Pasal 64 Ayat 1 UU Adminduk sebagaimana telah diubah

dengan UU nomor 24 Pasal 61 dan 64 Tahun 2013 tentang Adminduk oleh

MK dengan mengeluarkan keputusan Nomor 97/PUU-XIV/2016. Para

42Arbi Mulya Sirait, dkk, “Posisi dan Reposisi Kepercayaan Lokal di Indonesia” Jurnal

Kuriositas Edisi VIII Vol. 1, Juni 2015, h. 34-35.

Page 40: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

30

penganut agama lokal sudah tidak terlalu diresahkan lagi mengenai berbagai

macam diskriminasi yang sudah lama mereka alami terutama berkaitan

dengan karir dan hubungan sosio-kultural mereka. Kedepan, mereka sudah

bisa mencantumkan kolom kepercayaan di dalam KTP sehingga dengan ini

diharapkan bisa menunjang perkembangan karir dan mendapatkan layanan

pemerintah layaknya masyarakat pada umumnya.

Terkait langsung dengan Kaharingan, terlebih dengan terdapatnya

berbagai lembaga yang terkait dengan Kaharingan, seperti Majelis Besar

Agama Hindu Kaharingan (MBAHK) dan Majelis Daerah Agama Hindu

Kaharingan (MDAHK) yang semua itu bisa menjadi wadah para penganutnya

untuk menyuarakan dan menyampaikan aspirasi serta hak dan tanggung jawab

sebagai warga negara, maka tentu kedepannya tidak akan banyak

permasalahan yang akan timbul dan justru mereka akan terbantu dengan

adanya lembaga tersebut di atas sehingga masa depan Kaharingan di Indonesia

akan cerah dan akan selalu eksis tak lekang oleh perubahan zaman.

Sementara para penganut IWT, Masalah administrasi kependudukan

yang tercantum dalam KTP, kolom agama dituliskan Islam. Ini merupakan

bukti bahwa mereka beragama Islam dan ini yang membedakan mereka

dengan kelompok-kelompok lainnya seperti kepercayaan Kaharingan, Madrais

atau penganut kebatinan atau kepercayaan yang mengosongkan kolom agama

dalam kartu identitas mereka (sebelum keputusan MK tentang UU Adminduk

tahun 2017). Dengan kata lain, orang Bayan mengidentifikasi diri mereka

Page 41: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

31

sebagai Islam atau mengaku Muslim dalam administrasi kependudukan

mereka (KTP, ijazah, akta lahir, surat nikah, paspor, dll).43

C. Siklus Hidup Agama Lokal

Masyarakat Indonesia dari dulu telah dikenal luas sebagai masyarakat

yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi nenek moyangnya. Tradisi

yang sarat dengan nilai-nilai luhur kebudayaan tersebut diwariskan secara

turun temurun oleh tiap generasi ke generasi berikutnya. Di Keraton

Yogyakarta misalnya, berbagai macam hal tersebut diejawantahkan menjadi

sebuah acara-acara khusus yang seringkali dikenal banyak orang dengan

istilah upacara tradisi. Upacara tradisi sendiri adalah upacara yang penuh

dengan makna simbolik yang bisa mencerminkan nilai-nilai budaya yang

berlaku dalam masyarakat.44

Ada beberapa bentuk upacara tradisi yang saat ini diselenggarakan

oleh masyarakat. Namun, biasanya upacara tradisi yang paling sering dijumpai

adalah yang berkaitan dengan upacara siklus hidup (daur hidup) seseorang.

Upacara daur hidup adalah bentuk upacara adat sebagai wujud realisasi dari

penghayatan manusia terkait dengan fase penting kehidupannya. Upacara

siklus kehidupan dalam suatu masyarakat dibagi dalam beberapa tingkat yang

disebut stage along the life cycle, yaitu fase kehamilan, masa kanak-kanak,

remaja, dewasa dan kematian. Pada saat peralihan, waktu para individu beralih

dari satu tingkat hidup ke tingkat hidup yang lain, biasanya diadakan

43Arbi Mulya Sirait, dkk, “Posisi dan Reposisi Kepercayaan Lokal di Indonesia” Jurnal

Kuriositas Edisi VIII Vol. 1, Juni 2015, h. 33. 44Anonim, Upacara Daur Hidup Masyarakat Jawa, diakses dari

https://www.kratonjogja.id/hajad-dalem/10/upacara-daur-hidup-masyarakat-jawa, pada 09

November 2019.

Page 42: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

32

selamatan-selamatan atau upacara sebagai perwujudan sikap tunduk dan takut

terhadap Tuhan atau sesuatu yang dianggap sakral maupun takut berdosa

apabila tidak melaksanakannya.45

Arnold Van Gennep46 secara sistematis membandingakan upacara-

upacara yang merayakan perubahan seorang individu dari satu status ke status

lain dalam suatu masyarakat tertentu berdasarkan data etnografi dari seluruh

dunia. Dia berpendirian bahwa ritus dan upacara religi secara universal pada

asasnya berfungsi sebagai aktivitas untuk menimbulkan kembali semangat

kehidupan sosial antar warga masyarakat. Dia menyatakan bahwa kehidupan

sosial dalam tiap masyarakat di dunia secara berulang, dengan interval waktu

tertentu, memerlukan apa yang disebutnya “regenerasi” semangat kehidupan

sosial. Hal itu disebabkan karena selalu ada saat-saat di mana semangat

kehidupan sosial menurun dan sebagai akibatnya akan menimbulkan kelesuan

dalam masyarakat.47

Lebih lanjut, Van Gennep menyatakan bahwa dalam tahap-tahap

pertumbuhan sebagai individu (lahir, masa kanak-kanak, dewasa, menikah,

masa tua, dan meninggal) manusia mengalami perubahan-perubahan biologis

serta perubahan dalam lingkungan sosial dan kebudayaannya yang dapat

mempengaruhi jiwanya dan menimbulkan krisis mental. Untuk menghadapi

tahap pertumbuhan yang baru, maka dalam lingkaran hidupnya, manusia juga

memerlukan “regenerasi” semangat kehidupan. Dia menganggap rangkaian

45DEPDIKBUD, Arti dan Fungsi Upacara Tradisional Daur Hidup pada Masyarakat

Betawi, (Jakarta: Dirjen Kebudayaan, 1993), h. 2. 46Memiliki nama lengkap Arnold Kurr van Gennep (1873-1957) adalah seorang ahli

etnografi Prancis dan ahli cerita rakyat yang dikenal karena kajiannya pada bidang ritual di

berbagai kebudayaan. Karya utamanya adalah “The Rites of Passage”. 47Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I (Jakarta: UI Press, 1987), h. 74.

Page 43: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

33

ritus dan upacara sepanjang tahap-tahap pertumbuhan atau siklus hidup (life

cycle rites) individu, sebagai rangkaian ritus dan upacara yang paling penting

karena menciptakan peristiwa publik yang merayakan proses transisi

seseorang dan meneguhkan kembali nilai-nilai luhur masyarakat tersebut

dalam menuntun tingkah laku masyarakatnya demi keberlangsungan

komunitasnya.48

Van Gennep membagi semua ritus dan upacara menjadi tiga bagian,

yaitu: (1) perpisahan atau separation phase. Manusia melepaskan

kedudukannya yang semula. Acara ritus biasanya terdiri dari tindakan-

tindakan yang melambangkan perpisahan. Ritus ini tercermin dalam upacara

kematian. Upacara kematian diyakini sebagai suatu proses peralihan menuju

kehidupan yang baru di alam baka atau juga individu yang mati harus

diintegrasikan ke dalam kehidupan yang baru di antara makhluk halus yang

lain di alam baka. (2) peralihan atau marge/liminal phase. Upacara ini sebagai

inisiasi dan menandakan peralihan ke masa selanjutnya. Setiap individu perlu

dipersiapkan untuk menjadi manusia baru dalam lingkungan sosialnya yang

baru nanti. Dalam tahapan ini, para anak muda yang sedang menjalani upacara

itu dipersiapkan untuk kehidupan sosialnya sebagai orang dewasa dalam

masyarakat. (3) integrasi kembali atau reincorporation phase, mereka

diresmikan ke dalam tahap kehidupan serta lingkungan sosial yang baru.

Individu yang bersangkutan secara pralambang seakan-akan dilahirkan

48David G. Blumenkrantz, Marc B. Goldstein, “Rites of Passage as a Framework for

Community Interventions with Youth”, Global Journal for Community Psychology Practice, Vol.

1, Issue 2 (September 2010), h. 42.

Page 44: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

34

kembali, dan mengukuhkan integrasinya ke dalam lingkungan sosial yang

baru.49

Upacara-upacara pada saat peralihan sepanjang life cycle itu sifatnya

universal yang biasanya terdapat pada kebudayaan yang berkembang di dalam

tradisi lokal. Hanya saja tidak semua saat-saat peralihan dianggap sama

pentingnya dalam semua tradisi. Demikian pula dengan adanya perkembangan

kebudayaan, tidak semua upacara siklus hidup masih dipertahankan dan

dilaksanakan oleh masyarakat.

Dalam perkembangan kehidupan saat ini, upacara tradisi ini mulai

ditinggalkan atau dikurangi kelengkapannya akibat faktor ekonomi ataupun

kepraktisan. Karena memang sebuah proses upacara tradisi selain sarat dengan

komitmen dan keteguhan hati untuk melaksanakannya, juga membutuhkan

biaya yang tidak sedikit dalam persiapan dan penyelenggaraan.

Tradisi Kaharingan menyebut upacara siklus hidup dengan Selingkar

Hidup, sementara tradisi Islam Wetu Telu membahasakannya sebagai ritual

Gawe Urip-Gawe Pati. Gawe Urip adalah serangkaian aktivitas ritual yang

dilangsungkan dalam kehidupan seseorang atau selama manusia itu hidup di

dunia. Sedangkan Gawe Pati adalah serangkaian upacara yang dilakukan bagi

yang sudah meninggal.

49Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, h. 75.

Page 45: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

35

BAB III

SIKLUS HIDUP DALAM KAHARINGAN DAN ISLAM WETU TELU

A. Sejarah Singkat Kaharingan

Penduduk asli yang mendiami wilayah Kalimantan Tengah, seperti

juga penduduk asli yang mendiami pulau Kalimantan umumnya dikenal

dengan sebutan orang Dayak. Penggunaan istilah Dayak pada mulanya

diperkenalkan oleh seorang misionaris dan ahli bahasa yang bernama August

Hardeland. Di daerah Kalimantan Tengah sistim kepercayaan lama yang

diperoleh secara turun temurun dikenal dengan istilah Kaharingan, sehingga

orang-orang banyak mengenal agama asli penduduk Kalimantan sebagai

Kaharingan.50

Kata Kaharingan berasal dari bahasa Sangiang (bahasa Dayak kuna).

Akar kata Haring yang artinya hidup atau kehidupan. Mendapat awalan ka

dan akhiran an. Jadi Kaharingan berarti sesuatu yang menjadi sumber

kehidupan atau sumber segala yang hidup. Sebelum perang dunia II,

Kaharingan dikenal dengan istilah “Agama Helu” (agama dulu) yang artinya

agama yang pertama. Jadi Kaharingan adalah agama yang pertama dikenal

pada kalangan masyarakat Kalimantan Tengah. Kemudian sejak

berintegrasinya umat Kaharingan dengan Agama Hindu pada tahun 1980,

maka sebutan Kaharingan digunakan sebagai sebutan bagi penganut agama

Hindu etnis Dayak Kalimantan.

Istilah Kaharingan baru digunakan setelah perang dunia II, ketika

penduduk pribumi di Kalimantan timbul suatu kesadaran akan kepribadian

50L Dyson dan Asharini M, Tiwah Upacara Kematian pada Masyarakat Dayak Ngaju di

Kalimantan Tengah, (Jakarta: Depdikbud, 1981), h. 20.

Page 46: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

36

kebudayaan mereka sendiri, dan suatu keinginan kuat untuk menghidupkan

kembali kebudayaan Dayak yang asli.51 Istilah Kaharingan pada awal mulanya

muncul pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Nama Kaharingan

diusulkan oleh Damang Y. Salilah untuk memberi nama pada kepercayaan

yang berkembang di Kalimantan Tengah. Sebelum diperkenalkannya istilah

Kaharingan, semua kepercayaan yang berkembang di Kalimantan Tengah

dahulunya dikenal dengan berbagai nama misalnya agama Tempon, Telon,

agama Helo, Hiden, Kapir, dan sebagainya. Penggunaan istilah Kaharingan

yang pada awalnya direstui oleh pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia

tersebut kemudian terus berlanjut.52

Awal penyebutan Kaharingan secara kelembagaan dimulai ketika

berdirinya Sarikat Kaharingan Dayak Indonesia (SKDI) pada tahun 1950.

Pembentukan SKDI ini juga menandai awal dari keinginan para pemeluk

Kaharingan untuk menjadi agama dan menyusun Panaturan53 sebagai sumber

dari berbagai ajarannya. Kaharingan adalah agama yang dipercaya diajarkan

(diwahyukan) oleh Bawi Ayah, malaikat yang telah diutus oleh Ranying

Hatalla Langit (Tuhan Yang Maha Kuasa) turun ke dunia dengan Balai

51Buhol, dkk, Panaturan sebagai Pedoman Hidup Umat Hindu Kaharingan,

(Palangkaraya: STAHN-TP, 2016), h. 2-3. 52L Dyson dan Asharini M, Tiwah Upacara Kematian pada Masyarakat Dayak Ngaju di

Kalimantan Tengah, h. 20. 53Kitab suci Panaturan diyakini dan sebagai pedoman hidup bagi umat Hindu Kaharingan

yang merupakan sumber ajaran, bimbingan, dan tauladan yang sangat diperlukan di dalam

menjalankan kehidupannya sehari-hari. Kitab suci Panaturan yang merupakan wahyu dari Ranying

Hatalla Langit yang mengandung ajaran atau pedoman hidup di dunia ini dan di akhirat nanti

merupakan penuntun tindakan umat Hindu Kaharingan sejak ia dilahirkan sampai ia kembali

kepada Ranying Hatalla Langit. Ajaran atau pedoman yang tertulis di dalam Kitab Suci Panatruan

tidak hanya terbatas sebagai tuntunan hidup individual melainkan juga sebagai tuntunan hidup

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ajaran yang tertulis ini diwahyukan oleh Ranying

Hatalla Langit dan diterima oleh para Basir (Ulama Hindu Kaharingan) dan disampaikan secara

lisan di dalam segala kegiatan ritual keagamaan. Di dalam kitab suci Panaturan yang dikeluarkan

oleh Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan (MB-AHK) cetakan tahun 2001 memuat 63 pasal

yang terdiri dari 2951 ayat. (https://tampungpenyang.wordpress.com/2009/10/29/kitab-suci-hindu-

kaharingan/, diakses pada Senin, 08 April 2019).

Page 47: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

37

Kaharingan atau Balai Basarah sebagai tempat ibadahnya.54 Mereka memiliki

waktu ibadah rutin yaitu setiap kamis atau malam jumat. Bentuk ibadah

(ritual) dalam Kaharingan ada dua, yaitu Manyanggar dan Basarah.

Manyanggar adalah ritual memberikan sesajen kepada makhluk-makhluk

halus agar tidak mengganggu (menghindari tempat tersebut). Sesajen itu

diletakkan di tempat yang diperkirakan ada makhluk halusnya. Basarah

artinya menyerahkan diri kepada Tuhan, yang dilakukan di Balai

Kaharingan.55

Sebenarnya tidaklah semua orang menamakan kepercayaan mereka itu

“Kaharingan”. Mereka sendiri lazim menyebutnya agama helu dan kadang-

kadang juga “agama biasa” yang kalau kita tanyakan apa maksud agama biasa

itu mereka menjawabnya “yang bukan Islam, Kristen, bukan....”. terkadang

mereka memakai nama suku untuk menyebut agama mereka; orang-orang

Dusun menyebut agama mereka agama Dusun, orang-orang Lawangan

mengaku beragama Lawangan, orang-orang Bahau beragama Bahau, selain

itu, dipakai juga istilah-istilah Agama Tantaulang, Agama Dayak, serta masih

banyak lagi. Namun diantara sebanyak itu, istilah Kaharingan lah yang paling

umum dipakai.56

Kaharingan mengajarkan kepada masyarakat penganutnya, dalam hal

ini suku Dayak, untuk menghormati arwah nenek moyang (ngaju laiu).

Mereka menganggap bahwa arwah nenek moyang itu selalu memperhatikan

54Neni Puji Nur Rahmawati, Moch Andre WP, Mengenal Kaharingan, (Pontianak: Top

Indonesia, 2015), h. 3-4. 55Wahid Sugiyarto, “Eksistensi Agama Hindu Kaharingan di Kota Palangkaraya

Kalimantan Tengah” Harmoni vol. 15 No. 3, September-Desember 2016, , h. 111. 56Sarwoto Kertodipoero, Kaharingan Religi dan Penghidupan di Penghulu Kalimantan,

(Muara Teweh: Sumur Bandung, 1963), h.13.

Page 48: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

38

serta melindungi anak cucunya yang masih hidup di dunia. Selain itu, mereka

juga percaya bahwa jiwa (ngaju hambaruan) orang yang mati itu

meninggalkan tubuh kemudia menempati alam sekeliling tempat tinggal

manusia yang disebut sebagai liau (dalam bahasa Ot-Danum disebut rio).57

Menurut kepercayaan para pemeluknya, Kaharingan tidak dimulai sejak

zaman tertentu namun sejak awal penciptaan, sejak Ranying Hatalla

menciptakan manusia. Ranying berarti Maha Tunggal, Maha Agung, Maha

Mulia, Maha Jujur, Maha Lurus, Maha Kuasa, Maha Tahu, Maha Suci, Maha

Pengasih dan Penyayang, Maha Adil, Maha Kekal dan Maha Mendengar.

Hatalla berarti Maha Pencipta.58

B. Selingkar Hidup Dalam Kaharingan

1. Upacara Kelahiran

Jauh sebelum seorang bayi dilahirkan, terhadap si ibu sudah dikenakan

berbagai macam pantangan (pali,padi). Ia dilarang mengikat-ikat tali,

menganyam tikar, menganyam bakul. Semua perbuatan yang bersifat

mengikat termasuk kategori pantangan tersebut. Sang ibu pun dilarang

memakan beberapa jenis makanan misalnya tunggul pisang, kura-kura,

tombong nyiur, dsb. Termasuk pantangan juga membunuh binatang,

menancapkan tiang. Semakin dekat waktu kelahiran, makin keras pula

pali-pali tersebut. Semua itu dimaksudkan agar si bayi nanti lahir dengan

mudah dan gampang. Anjuran yang diyakini baik bagi wanita setelah

melahirkan adalah duduk nyandar (kaki lurus badan nyandar di dinding)

57DEPDIKBUD, Sejarah Kebudayaan Kalimantan, (Jakarta: CV. Dwi Jaya Karya, 1994),

h. 63. 58Neni Puji Nur Rahmawati, Nilai-Nilai Budaya dalam Upacara adat Manyanggar di

Kota Palangkaraya, h. 45.

Page 49: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

39

selama satu bulan biar darah putih tidak naik ke kepala, takut jadi gila bisa

juga buta. Makanan yang dianjurkan nasi putih dengan garam dan daun

bungkal selama tiga hari.59Ketika sang ibu mau melahirkan, dipanggillah

seorang dukun beranak (bidan). Seringkali pada saat-saat bayi akan lahir,

sang ayah berlari-lari turun kebatang melepaskan tali-tali perahu ataupun

tali-tali yang lain. Pelepasan tali itu dimaksudkan agar kelahiran calon

bayi berjalan dengan mudah dan lancar. Di sini sang ayah mencoba

mempengaruhi daya-daya magi dalam alam semesta.60

Masa mengandung dianggap sebagai masa kritis baik terhadap janin

maupun kepada ibu yang mengandungnya. Masa tersebut penuh dengan

ketidakpastian, yaitu apakah bayi tersebut dapat lahir dengan selamat atau

tidak. Gangguan-gangguan yang bisa timbul pada saat seperti ini misalnya

perut mulas, perut yang sakit amat sangat dan dapat menyebabkan

keguguran atau anak yang dikandungan itu hilang demikian saja.

Gangguan itu diyakini oleh orang dayak berasal dari roh-roh gaib yang

merasa terganggu dan tersinggung akibat dari salah perbuatan dari pihak

keluarga ataupun sekitar. Untuk menangkal, memohon pertolongan atau

mengusir roh-roh jahat tersebut dapat dilakukan dengan suatu upacara

yang disebut dengan bagantung sahut dengan maksud untuk meminta

bantuan, mengadakan perjanjian dan pengakuan kesalahan dengan roh-roh

halus yang disebut dengan saudara empat. Bila permintaan dikabulkan

atau perjanjian dapat diterima, berarti roh halus saudara empat itu untuk

59 Suprabowo, “Praktik Budaya dalam Kehamilan, Persalinan dan Nifas”, KESMAS

Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional vol.1, no.3 (Desember 2006): h. 115-116.

60Sarwoto Kertodipoero, Kaharingan Religi dan Penghidupan di Penghulu Kalimantan,

h. 54.

Page 50: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

40

seterusnya akan bertindak sebagai penjaga atau akan melindungi hingga

bayi dilahirkan.61

Setelah lahir, segeralah digantungkan daun-daunan atau juga sehelai

tikar dimuka rumah sebagai tanda tabu bagi rumah itu. Para tetangga

hanya boleh memasuki rumah tersebut sesudah mereka masing-masing

menancapkan tanda ganti pali dimuka rumah berwujud sehelai daun atau

sebuah ranting berdaun. Tembuni (placenta) yang telah dipotong dengan

sekerat buluh tajam di atas sebuah pelantan-pelawai (tangkai belajung)

kemudian diselenggarakan sebaik-baiknya dengan ditaruh di dalam sebuah

bakul kecil (pansyuk). Sebelum dimasukkan, pada dasar bakul ditaruhkan

sedikit beras ketan (lekatan), di atas lekatan tersebut ditaburkan sedikit

garam dan barulah tembuni itu dimasukkan. Di atasnya diletakkan lagi

lekatan, masukkan garam lagi dan paling atas buluh alat pemotong serta

tangkai belajung tadi. Bakul kemudian digantungkan di atas pohon dan

ada pula yang ditanam di dalam tanah.

Upacara mampandoi (memandikan bayi) diadakan setelah tali pusar si

bayi putus. Oleh sang bidan –untuk pertama kalinya- dibawa turun ketepi

kali dimandikan. Pada upacara ini dibuat juga sebuah patung dari tepung

beras yang bersamaan dengan sajiang yang lain dilabuhkan kedalam air.

Patung tersebut sebagai ganti diri pribadi si bayi yang dipersembahkan

kepada roh-roh air. Lazimnya dalam upacara ini pula kepada si anak

dipilihkan sebuah nama baginya. Bilamana sebelum kelahiran bayi sang

orang tua mengucapkan suatu hajat, misalnya akan menyembelih babi bila

61Syamsir Salam, Agama Kaharingan Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan

Tengah, h. 179-180.

Page 51: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

41

bayinya laki-laki, maka dalam upacara mampadoi itulah hajat tadi dibayar.

Seluruh isi kampung serta kampung disekitarnya diundang. Tak lupa

dalam upacara ini orang memanggil arwah para leluhur serta sangiang-

sangiang di langit agar ikut menyaksikan pesta serta memberikan berkah

keselamatan bagi si anak beserta orang tuanya. Malam harinya dilanjutkan

dengan makan-makan, minum tuak serta menari-nari sampai pagi.

Lazim pula digabungkan dengan mempandoi ini sebuah upacara yang

lain, yaitu memalas bidan. Upacara ini bermaksud untuk melepaskan

bidan dari segala mara bahaya, penyakit, berhubung beberapa waktu

lamanya ia telah bekerja terkena darah. Dalam kesempatan itu kepadanya

diucapkan rasa terimakasih karena telah mengurus kelahiran serta merawat

sang jabang bayi beserta orang tuanya dengan baik. Kepadanya diserahkan

sejumlah uang serta sehelai kain (bahalai) sebagai pembalas jasa

(tambai).62

Beberapa waktu kemudian akan dijumpai ritual Nahunan, yakni

upacara memandikan bayi secara ritual menurut kebiasaan suku Dayak

Kalimantan Tengah. Maksud utama dari pelaksanaan Nahunan adalah

prosesi pemberian nama sekaligus pembaptisan menurut Kaharingan

kepada anak yang telah lahir. Upacara Nahunan sendiri berasal dari kata

“Nahun” yang berarti tahun. Dengan demikian, ritual ini umumnya digelar

bagi bayi yang telah berusia setahun atau lebih. Prosesi pemberian nama

dianggap oleh masyarakat Dayak sebagai sebuah prosesi yang merupakan

hal sakral karena alasan tersebut digelarlah upacara ritual Nahunan.

62Sarwoto Kertodipoero, Kaharingan Religi dan Penghidupan di Penghulu Kalimantan,

h. 54-55.

Page 52: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

42

Hasil pilihan nama anak tersebut lantas dikukuhkan manjadi nama

aslinya. Selain sebagai sarana pemberian nama kepada anak, Nahunan juga

dimaksudkan sebagai upacara membayar jasa bagi bidan yang membantu

proses persalinan hingga si anak dapat lahir dalam keadaan selamat.63

2. Tradisi Tato

Bagi sebagian orang, tato mempunyai nilai seni yang tinggi serta

sebagai bentuk ekspresi diri dari orang yang bersangkutan. Namun, bagi

suku Dayak di Kalimantan, khususnya Kaharingan, tato memiliki beragam

nilai termasuk nilai adat, agama serta status sosial bahkan sebagai bagian

cara hidup orang Dayak. Tato Dayak berperan sebagai tanda bahwa

pemakainya telah melakukan sesutu, sebagai identitas diri, menunjukkan

status sosial pemiliknya, sebagai simbol keberanian dan juga sebagai

penolak bala atau menjaga pemakainya dari roh-roh jahat.

Tato pada suku Dayak disebut “tutang”. Setiap motif tato memiliki arti

berbeda-beda. Pembuatan dan peletakan tato juga tidak boleh dilakukan

sembarangan. Misalnya, tato sekitar jari tangan menunjukkan pemiliknya

ahli pengobatan, tubuh lelaki yang dipenuhi tato berarti kuat mengembara.

Tato motif muka harimau yang biasa ada di bagian paha menunjukkan

status sosial yang tinggi. Tato bunga terong dengan gambar tali nyawa

(bentuk usus pada katak) dibagian tengahnya kebanyakan untuk laki-laki

sebagai tanda telah memasuki usia dewasa.64 Pada perempuan, tato

merupakan tanda bahwa dirinya telah masuk dalam fase kehidupan yang

63Neni Puji Nur Rahmawati, Nilai-Nilai Budaya dalam Upacara adat Manyanggar di

Kota Palangkaraya, (Pontianak: STAIN Pontianak Press, 2013), h. 40-41. 64Aris Wardani, “Tutang, Seni Merajah Tubuh Suku Dayak yang Mendunia”, Okezone,

13 April 2019. Diakses dari https://lifestyle.okezone.com/read/2019/04/12/612/2042820/tutang-

seni-merajah-tubuh-suku-dayak-yang-mendunia, pada 23 Juli 2019.

Page 53: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

43

baru. Para perempuan Dayak menerima tato setelah ia mengalami

menstruasi pertama sebagai simbol ia telah beranjak dewasa.65

Bagi mereka, tato merupakan sesuatu yang sakral berhubungan erat

dengan beberapa kejadian dan tujuan yang sudah menjadi budaya suku di

Kalimantan. Dalam kepercayaannya, tato berwarna hitam yang terdapat

pada suku Dayak akan berubah menjadi warna emas dan menjadi penerang

jalan menuju keabadian setelah mereka mati dan telah melalui Tiwah.66

3. Upacara Perkawinan

Upacara pekawinan dianggap religius oleh suku bangsa Dayak karena

berkaitan dengan memperoleh keturunan dan merupakan suatu

peningkatan nilai berdasarkan hukum agama yang sakral. Salah satu tujuan

perkawinan yang dipercayai oleh suku Dayak adalah untuk menjaga nama

baik keluarga, terutama bagi suatu keluarga yang mempunyai anak gadis.

Pada keluarga dari kalangan rakyat yang biasa berlaku anggapan bahwa

anak perempuan yang telah berusia lebih dari 15 tahun dan belum menikah

seakan-akan membawa malu terhadap keluarganya.

Oleh sebab itu apabila suatu keluarga terdapat anak gadis dan ada

orang yang berniat untuk meminang, meskipun pinangan ini merupakan

pinangan pertama bagi gadis itu, tak jarang pinangan tersebut diterima

oleh orang tuanya, walaupun gadis tersebut belum mencapai usia 18 tahun.

Ada kalanya anak perempuan yang berusia 9 tahun atau 10 tahun sudah

bisa dipinang, meskipun pernikahan akan ditunda sampai dia mencapai

65Anonim, “Tato Dayak, Tato Asli Indonesia yang dikenal Hingga Mancanegara”, 1001

Indonesia. Diakses dari https://1001indonesia.net/tato-suku-dayak/, pada 02 Juli 2019. 66Widi Hatmoko, “ Mengenal Tato Suku Mentawai dan Dayak Kalimantan”. Merah

Putih, 25 Maret 2017. Diakses dari https://merahputih.com/post/read/mengenal-tato-suku-

mentawai-dan-dayak-kalimantan, pada 02 Juli 2019.

Page 54: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

44

usia yang dianggap sudah dapat melangsungkan pernikahan. Misalnya

ketika sudah menginajk 15 tahun.67

Syarat-syarat perkawinan bagi masyarakat suku Bangsa Dayak yakni:

pria dan wanita yang telah dewasa (biasanya wanita berumur 15 atau 16

tahun) dan dapat bertanggung jawab bila mereka telah melaksanakan

perkawinan menurut adat, tidak mempunyai hubungan kekerabatan atau

keluarga yang dekat, misalnya sepupu sekali sampai sepupu dua kali, tidak

mempunyai darah langsung misalnya antara paman dengan keponakan. Di

samping itu pihak keluarga pria harus menyerahkan tanda jujuran (ikatan)

sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku menurut kedudukannya di

dalam masyarakat. Dikehendaki pula bahwa pria telah mempunyai

pekerjaan atau mata pencaharian, tetapi terkadang terjadi bahwa pihak pria

masih ditanggung sepenuhnya oleh orang tuanya.68

Berikut tahap-tahap upacara perkawinan suku Dayak:

a. Hakumbang Auh (Uang Hantaran)

Ini merupakan tahap awal dalam upacara perkawinan suku Dayak,

yakni seorang laki-laki menyampaikan niat ingin mempersunting

seorang gadis melalui perantara yang disebut Uluh Helat atau Saruhan

agar niatnya sampai kepada keluarga gadis yang ingin dipesunting

tersebut. Sebagai bukti kesungguhan dan niat baik, dari pihak pria

memberikan mangkok berisi beras dan telur ayam yang dibungkus

kain kuning dan sejumlah uang sebagai Duit Pangumbang lalu

67 Tim Penulis Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Adat dan Upacara Perkawinan

Daerah Kalimantan Timur, (Jakarta: PN Balai Pustaka, tt), h. 52. 68 Tim Penulis Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Adat dan Upacara Perkawinan

Daerah Kalimantan Timur, h. 109.

Page 55: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

45

diberikan kepada Uluh Helat tersebut dan diberika kepada pihak

wanita.

Jika lamaran tersebut diterima maka si Uluh Helat menyampaikan

waktu dan tanggal upacara mamunggul dilaksanakan. Apabila ditolak,

Uluh Helat tersebut membawa kembali mangkok berisi beras dan

ayam berikut uangnya.

b. Mamanggul

Tahap selanjutnya mamanggul, yakni cara meminta sigadis secara

resmi setelah pihak pria mengetahui bahwa keinginan hati mereka

diterima oleh pihak wanita. Antara lain membawa sebuah Balanga

(guci asli cina) atau sebuah gong. Pada acara ini kedua pihak

membicarakan waktu pelaksanaan peminangan, yaitu Maja Misek.

Dalam perkembangannya yang berlaku sekarang, bukti Mamanggul

tidak lagi berupa gong melainkan berupa Duit Panggul. Pada

kesempatan ini dibuat sebuah kesepakatan. Kesepakatan ini dapat

berupa lisan maupun tertulis yang dibuat dalam bentuk sebuah surat

perjanjian yang disebut surat Panggul. Jika pihak keluarga si gadis

kemudian menolak maka barang bukti mamanggul tidak dikembalikan

kepada pihak si pemuda.

Dalam perkembangannya, tahapan Hakumbang Auh dianggap sama

dengan Mamanggul. Karena itu rangkaian tata cara perkawinan yang

lazim sekarang ini cenderung mulai dari Hakumbang Auh lalu Maja

Misek dan seterusnya. Istilah Hakumbang Auh lebih sering digunakan,

sedangkan istilah Mamanggul mulai menghilang.

Page 56: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

46

c. Maja Misek (peminangan)

Misek adalah suatu acara pertunangan/musyawarah antar keluarga pria

dan wanita sebelum upacara perkawinan. Acara ini terutama dalam

rangka menetapkan hari perkawinan, besarnya jujuran yang harus

dibawa oleh pria dan sebagainya.69

d. Mamanggar Janji

Mamanggar Janji berarti memastikan janji, di mana kedua belah pihak

bertemu lagi secara khusus untuk memastikan kapan waktu

pelaksanaan perkawinan. Pada saat Maja Misek hanya memperkirakan

bulannya saja sementara di tahap ini menentukan tanggalnya serta dari

pihak pria membawa dan memberikan biaya perkawinan kepada pihak

wanita.

e. Pelaksanaan Perkawinan

Pelaksanan perkawinan yang dimaksud ialah upacara dari rumah

pengantin pria sampai dengan peresmian perkawinan. Berikut upacara

yang dilaksanakan :

1) Penganten Haguet, pangantin pria berangkat menuju rumah

pengantin wanita dengan membawa rotan yang pada ujung rotan

dibentuk patung manusia, dan pada lehernya diikat seutas manik

bernama manas sembelum dengan tali tengang.

2) Penganten Mandai (pelaksanaan pernikahan), ketika pengantin

pria sampai dirumah pengantin wanita dan dilaksanakannya

membuka lawang sekepeng (pintu yang terbuat dari pelepah daun

69Syamsir Salam, Agama Kaharingan Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan

Tengah, h. 191.

Page 57: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

47

kelapa dan diberi benang-benang), mamapas (upacara pembersih

dengan doa-doa, agar tempat upacara pernikahan dan pengantinya

dijauhkan dari marabahaya)), menginjak telor, dan terakhir

penganten pria masuk ke rumah.

3) Haluang Hapelek, biasanya terdapat dua kelompok, yaitu

kelompok mempelai wanita sebanyak 4 orang dan kelompok

mempelai pria 3 orang yang diwakili oleh luang (perantara). Kedua

kelompok ini dipisahkan oleh suatu tabir pemisah dan keduanya

mengadakan dialog secara berdiplomasi, baik dalam bentuk

sindirian, humor ataupun kelakar yang tujuan utama pembicaraan

adalah melakukan perundingan. Bila pembicaraan mereka telah

tuntas, maka ketujuh orang luang itu lalu bicara secara langsung

tanpa tabir. 5 orang di antaranya bertindak sebagai saksi dan dua

orang mewakili fihak wanita dan pria melaksanakan perjanjian

mengenai pengakuan, pembayaran, kesanggupan dan penyerahan

poin-poin isyarat perkawinan menurut adat, masing-masing adalah:

a) Pengakuan pelek sinde uju. Artinya penguan pihak pria tentang

kodrat, martabat, status dan harga diri wanita di depan umum.

b) Pembayaran pelek handue uju. Artinya pembayaran materi

simbolis yang menandakan sikap moral, kesopanan pria

terhadap keluarga isterinya, demi menjamin keutuhan rumah

tangga mereka untuk selama-lamanya.

Page 58: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

48

c) Menyanggupi pelek hatelu uju. Artinya suatu pernyataan

kesanggupan pihak pria untuk membangun rumah tangga yang

bahagia dan sejahtera untuk selama-lamanya.

d) Penyerahan pelek tunggal. Artinya penyerahan diri mempelai

pria dan wanita untuk bersatu dalam rumah tangga yang

mandiri.70

4) Manyaki Penganten (penganten hasaki), yaitu mengoleskan darah

hewan korban ke beberapa bagian tubuh kedua mempelai, Adapun

istilah Penganten Hasaki berarti kedua mempelai dipoles dengan

darah. Pada upacara ini kedua penganten duduk di atas gong71

dengan memegang pohon sawang yang diikat Bersama dengan

dereh uwei (sepotong rotan) dan rabayang (tombak bersayap

seperti trisula). Jari telunjuk mereka menunjuk ke atas sebagai

tanda mereka berdua bersaksi pada Ranyiang Hatalla Langit. Kaki

menginjak batu asah sebagai tanda bahwa mereka bersaksi kepada

penguasa alam yakni Jatha Balawang Bulau. Setelah itu manyaki

mamalas dilaksanakan yakni mengoleskan darah hewan korban,

minyak kelapa, tanah, air dan beras serta tapung tawar. Beras

diletakkan di atas ubun-ubun kedua mempelai. Kemudian diikatkan

lamiang/lilis72 pada pergelangan tangan mempelai. Urutan dalam

memalas darah binatang pada kedua mempelai diawali terlebih

70Syamsir Salam, Agama Kaharingan Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan

Tengah, h. 192-193. 71Suku dayak percaya bahwa gong mempunyai kekuatan sakti dan kekuatan itu dapat

diharapkan untuk memberikan bantuan terhadap kedua penganten dalam kehidupan rumah tangga

kelak. 72 Lamiang/lilis dapat berbentuk kain warna kuning, merah ataupun hijau. Maksudnya

sebagai penangkal dari sakit atau bahaya-bahaya lainnya, sebagai akibat gangguan roh-roh jahat.

Page 59: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

49

dahulu oleh kepala adat, orang tua, kerabat dekat serta hadirin.

Upacara itu bermakna bahwa kedua mempelai disucikan, sehingga

dalam menjalani kehidupan berumahtangga mereka senantiasa

sehat, selamat dan memperoleh rejeki.73

Setelah menjalani upacara Hasaki atau Hapalas kedua mempelai

makan makanan yang disebut Pangian Putir Santang (7 gumpal

nasi), sebagai simbol penyatuan mereka bahwa sejak hari itu resmi

suami istri. Setelah acara ini selesai maka dilaksanakan penanaman

pohon sawang yang disebut sawang turus janji.74

4. Upacara Kematian

Pada orang Dayak Ngaju dan orang Dayak pada umumnya, peristiwa

di mana manusia mencapai ajalnya tidak berarti hidup itu akan berhenti

sampai disitu saja, melainkan jiwa kembali kedunia asal di mana keadaan

kekal abadi dan manusia sampai pada suatu titik kesempurnaan. Kematian

bukan berarti akhir dari hidup, tetapi kematian adalah proses peralihan

masuk kedalam dunia baru yakni dunia roh. Kehidupan akan terus

berlangsung sebagaimana hidup yang pernah dijalani di dunia nyata.75

Ada semacam kewajiban moral dan sosial untuk melaksanakan

upacara tiwah bagi masyarakat Kaharingan Dayak Ngaju. Kewajiban

secara moral artinya bahwa pihak keluarga dari orang yang meninggal itu

merasa wajib mengantarkan arwah ke dunia roh, dunia yang menurut alam

73Syamsir Salam, Agama Kaharingan Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan

Tengah, h. 191. 74 Diakses dari https://rid755.wordpress.com/2012/07/30/pelaksanaan-upacara-

perkawinan-agama-hindu-kaharingan/ pada tanggal 04 Mei 2019 pukul 16.04 WIB. 75L Dyson dan Asharini M, Tiwah Upacara Kematian pada Masyarakat Dayak Ngaju di

Kalimantan Tengah, h. 29.

Page 60: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

50

pikiran mereka adalah serba sempurna. Keadaan yang serba sempurna

tersebut sebenarnya pernah manusia alami sebelum mereka melakukan

pelanggaran titah terhadap Yang Kuasa. Dan sebagai saran untuk

mencapai alam akhirat harus melalui upacara-upacara, yang

perwujudannya nampak pada upacara tiwah. Orang yang meninggal dan

belum menjalani upacara yang dimaksud menurut kepercayaan orang

Ngaju tidak dapat memasuki dunia arwah yang seba abadi, arwah akan

tetap berada di sekitar lingkungan manusia yang masuh hidup dan bahkan

akan mengganggu sanak keluarga yang masih hidup. Gangguan itu dapat

berupa kegagalan panen, penyakit serta bahaya-bahaya lain yang terus

mengancam. Sedangkan kewajiban sosial yang dimaksud yakni bila

keluarga-keluarga lain mampu melaksanakan upacara tiwah ketika ada

dari anggotanya yang meninggal, mengapa kita tidak. Nanti dianggap

kurang mampu dan tidak tahu terimakasih, lebih-lebih jika yang meniggal

itu adalah orang tua seperti ayah, ibu, kakek atau nenek. Upacara tiwah

mengandung arti penghormatan terakhir terhadap orang yang meninggal.

Semakin lama dan meriah suatu upacara tiwah memberikan pengaruh yang

besar kepada pihak penyelenggara, artinya menambah besar harga diri

mereka.76

Bagi orang Kaharingan, upacara kematian merupakan salah satu

bagian penting dalam perjalanan hidup manusia. Di situ dibedakan tiga

rangkaian:

76L Dyson dan Asharini M, Tiwah Upacara Kematian pada Masyarkat Dayak Ngaju di

Kalimantan Tengah, h. 30.

Page 61: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

51

a. Upacara pemakaman sementara, di mana mayat dibawa ke tempat

pembaringan di atas tanah, dibungkus dengan kain rangkap tujuh,

dimasukkan lungun kayu. Tujuh hari tujuh malam orang-orang

bergantian berjaga. Seorang balian melagukan mantra pengantar mayat

arwah orang mati dipersialahkan agar menyantap hidangan yang telah

disediakan, seolah-olah masih hidup. Kemudian lungun diantarkan ke

hutan. Diletakkan dalam lubang ataupun dalam rumah kecil (sandung)

yang dibangun di atas pohon ditengah-tengah daun-daun rimbun.

Tujuh hari lamanya pelita mayat kemudian dipadamkan. Perayaan

pada upacara itu bersifat meriah dan gembira. Katanya untuk

menghibur arwah orang mati.

b. Tiga, empat tahun kemudian, bila daging sudah terpisah dari tulang,

diadakan upacara wara, mengantarkan roh ke negeri arwah (lewulian,

louliau atau Batu Nindang Tarong) di langit ketujuh. Sekali lagi tujuh

hari tujuh malam lamanya diperpanjang dengan tiga hari tiga malam

khusus untuk mengormati para tamu. Tujuh orang Balian wara mengaji

cerita tentang hidup di Lewulian yang serba sejahtera. Patung arwah

orang yang mati didirikan, perjamuan disediakan baik bagi para

hadirin insani maupun bagi para sangiang, yaitu para dewa dan leluhur.

c. Upara siwah (tiwah, totok) bermaksud melepaskan diri dari segala

kedukaan dan mengakhiri masa berkabung, serupa pesta penutup

sesudah wara. Tulang-tulang dibongkar, dibersihkan, dibungkus

dengan daun dan dimasukkan keriring, peti kebesaran dengan hiasan

simbolis. Setelah keriring dibawa berkeliling rumah tujuh kali,

Page 62: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

52

diletakkan dala hutan di atas tanah. Pesta besar dengan makan minum

tuak, tari menari mengungkapkan kegembiraan bahwa tertib alam

pulih kembali dan surga berdamai dengan dunia.77

Tiwah merupakan upacara ritual kematian tingkat akhir bagi

masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah khususnya para penganut

Kaharingan. Upacara ini biasanya digelar atas seseorang yang telah

meninggal dan dikubur sekian lama hingga yang tersisa dari

jenazahnya diperkirakan hanya tinggal tulangnya saja. Tujuannya

sebagai ritual untuk meluruskan perjalanan roh atau arwah yang

bersangkutan menuju Lewu Tatau (surga-dalam bahasa Sangiang)

sehingga bisa hidup tentram dan damai di alam Sang Kuasa. Maksud

lainnya adalah untuk melepas Rutas atau kesialan bagi keluarga

almarhum yang ditinggal dari pengaruh-pengaruh buruk yang

menimpa serta bertujuan pula untuk melepas ikatan status janda atau

duda bagi pasangan berkeluarga. Pasca Tiwah, secara adat mereka

diperkenankan untuk menentukan pasangan hidup selanjutnya ataupun

tetap memilih untuk tidak menikah lagi.78

Pesta tiwah selain diselenggarakan oleh keluarga secara sendiri-sendiri

dapat pula dilakukan bersama-sama oleh sekelompok keluarga atau

bahkan oleh satu desa. Mereka bersama-sama mengumpulkan dana

kemudian menyelenggarakan upacara tiwah. Kadang-kadang terjadi

pula pihak yang satu hanya membantu pihak yang lain dan dikemudian

hari tentunya pihak yang pernah dibantu akan membalas bantuan

77Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia, cet. 2, h. 198-199. 78Neni Puji Nur Rahmawati, Nilai-Nilai Budaya dalam Upacara adat Manyanggar di

Kota Palangkaraya, h. 38-39.

Page 63: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

53

tersebut.79 Biaya atau benda yang sudah terkumpul (disebut laloh)

akan diberikan kepada pemimpin penyelenggara (bakas tiwah) untuk

mengkoordinir semua kegiatan yang berhubungan dengan upacara

nantinya. Pemimpin upacara ditunjuk berdasarkan musyawarah oleh

para tua-tua kampung dan para peserta lain yang turut bergabung

dalam pelaksanaan upacara. Pelaksanaan upacara tiwah biasanya

setelah musim panen karena pada waktu tersebut dianggap sebagai

masa tenggang sementara dari semua kegiatan pertanian serta

masyarakat masih mempunyai banyak persediaan bahan makanan yang

cukup setelah masa panen tersebut.

Inti dari upacara tiwah adalah membangunkan arwah dari tempat tidur

sementaranya (mapisik liaw), memandikan (mapandauy liaw),

memberikan pakaian (mampakayan liaw), menjamu (mampakanan

liaw), memberi nama baru (manenga aran/tandak taheta) dan

mengajak arwah mengunjungi kerabat-kerabatnya yang masih hidup

untuk memberikan kata perpisahan (liaw mangalino). Setelah itu

arwah diantar ke dunia baka untuk selamanya (magah liaw). Wujud

nyata dari tahap-tahap penyelenggaraan upacara tiwah adalah pertama,

penggalian kuburan atau pengambilan peti jenazah; kedua,

pembakarannya; ketiga, pengumpulan abu dan sisa-sisa tulang yang

tidak termakan api; keempat, memasukkan jenazah ke tempat yang

baru (sandong)80.

79L Dyson dan Asharini M, Tiwah Upacara Kematian pada Masyarakat Dayak Ngaju di

Kalimantan Tengah, h. 32. 80Sandong yaitu tempat menyimpan tulang-tulang manusia setelah upacara tiwah

berakhir. Sebelum dimasukkan ke dalam sandong tulang-tulang dibakar, tetapi tidak semua bagian

Page 64: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

54

Perkembangan terkini cukup banyak perubahan yang telah mewarnai

upacara ini, misalnya bentuk peti mati yang lebih sederhana terbuat

dari papan kayu biasa dan tidak diukir, pada masa lalu peti jenazah

selalu dibuat dari sebatang pohon kayu yang cukup besar dan dibentuk

menyerupai perahu lesung dengan aneka warna lukisan menghiasi peti

jenazah tersebut. Dulu yang dikorbankan adalah manusia dan kerbau,

tapi dewasa ini dapat diganti dengan sapi, adat menganyaupun dapat

dikatakan sudah hilang. Sandong banyak yang terbuat dari semen, batu

dan pasir, yang pada masa lalu tidak pernah dijumpai. Dulu orang

mengguanakan bahan kayu lokal (kayu besi/ulin) untuk membuat

sandong. Dewasa ini sering beberapa keluarga bergabung untuk

melaksanakan upacara tiwah, dan dilakukan 5-10 tahun sekali, hal ini

berbeda dengan masa lampau yang hampir setiap selesai masa panen

akan dijumpai penyelenggaraan tiwah.81

C. Sejarah Singkat Islam Wetu Telu

Islam Wetu Telu berkembang di Lombok, Nusa Tenggara Barat,

terutama daerah Bayan yang mayoritas penduduknya merupakan suku Sasak.

Tidak seperti umumnya penganut ajaran Islam yang melakukan shalat lima

kali dalam sehari, para penganut ajaran ini mempraktikkan shalat wajib hanya

pada tiga waktu saja. Konon hal ini terjadi karena penyebar Islam saat itu

tulang tersebut ikut terbakar. Sisa-sisa yang tidak terbakar inilah yang disimpan dalam Sandong.

Tujuan dari pembakaran jenazah adalah untuk mensucikan jenazah tersebut agar arwahnya dapat

diterima di alam baka dengan tentram. 81L Dyson dan Asharini M, Tiwah Upacara Kematian pada Masyarakat Dayak Ngaju di

Kalimantan Tengah, h. 37.

Page 65: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

55

mengajarkan Islam secara bertahap dan karena suatu hal tidak sempat

menyempurnakan dakwahnya.82

Islam Wetu Telu berbeda dengan Islam yang umum dikenal dikenal di

tempat lain. Oleh karena itu untuk membedakannya lahirlah istilah Islam

Waktu Lima. Islam Waktu Telu yang berarti Islam Waktu Tiga sedangkan

Islam Waktu Lima adalah Islam yang dikenal dengan Islam Sunni. Nama

Islam Waktu Telu mungkin desebabkan karena umumnya mereka tidak

melakukan sembahyang lima waktu, tetapi mereka hanya mengenal tiga (telu)

waktu sembahyang. Kalau Islam Sunni melakukan lima waktu sembahyang

sehari semalam maka penganut Islam Waktu Telu hanya mengenal tiga waktu

sembahyang yaitu sembahyang tarawih pada bulan Ramadhan, sembahyang

pada waktu lebaran Tinggi (bersamaan Idul Fitri Islam Sunni) dan

sembahyang pada waktu Lebaran Pendek (bersamaan dengan Idul Adha).83

Tetapi terdapat anggapan lain bahwa nama Islam Waktu Telu diambil

dari falsafah kepercayaan Islam Waktu Telu. Dalam sistem kepercayaannya

bahwa hidup ini ada tiga macam. Pertama kehidupan karena dilahirkan

(menganak) seperti manusia, dan binatang yang melahirkan anaknya. Kedua

kehidupan karena menetas lewat telur (menteluk) seperti burung dan binatang

yang bertelur lainnya. Ketiga, kehidupan karena tumbuh (mentiuk) seperti

pohon-pohon dan tanaman-tanaman lainnya.84 Tetapi fokus kepercayaan Wetu

Telu tidak terbatas hanya pada sistem teproduksi. Kata tersebut memiliki

82Muhammad Izzuddin el-Kasyafaniy, dkk, Wajah Islam Sasak dalam Lebaran Topat dan

Maulid, (Mataram: Insan Madani Institute, 2014), h. 18. 83DEPDIKBUD, Suku Terasing Sasak di Bayan Daerah Propinsi Nusa Tenggara Barat,

(Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1989), h. 88. 84Zaki Yamani Athhar, “Kearifan Lokal dalam Ajaran Islam Wetu Telu di Lombok”,

Ulumuna Vol. IX Edisi 15 no.1, Januari-Juni 2005, h. 75.

Page 66: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

56

makna yang lebih rumit. Pemangku menjelaskan: “Wetu Telu tidak hanya

menunjuk pada tiga macam sistem reproduksi, melainkan juga menunjuk pada

kemahakuasaan Tuhan yang memungkinkan makhluk hidup untuk hidup dan

mengembangbiakkan diri melalui mekanisme reproduksi tersebut.”

Ketiga jenis mekanisme reproduksi itu dipahat pada patung kayu yang

disebut Paksi Bayan yang menampilkan sosok seekor singa yang menjadi

bagian dari dan berada di puncak mimbar. Mimbar ini berada di masjid kuno

Wetu Telu Bayan. Seorang Kyai biasanya duduk di mimbar ini saat

memberikan khutbah dalam memperingati hari besar islam seperti Lebaran

Haji dan Lebaran Idul Fitri. Pada permukaan Paksi Bayan terdapat pahatan

yang merepresentasikan tiga sistem reproduksi: kijang melambangkan

kelahiran anak-anak, unggas merepresentasikan burung yang bertelur,

sedangkan kelapa, padi dan kapas melambangkan bermacam-macam

tumbuhan yang berkembang biak dari benih dan buah.85 Penghulu punya

penafsiran yang lain lagi. Ia menyatakan bahwa patung kayu Paksi Bayan

melambangkan persatuan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Pahatan

mamalia, unggas, kelapa, padi dan kapas pada permukaan Paksi Bayan

melambangkan melimpahnya kekayaan alam Indonesia. Dari Sabang sampai

Mereuke, berbagai macam binatang dan hasil bumi bisa hidup bersama-sama

dan tumbuh dengan baik.86

Pemangku Karangsalah mendukung keterangan di atas, berpandangan

bahwa Wetu Telu sebagai sebuah sistem agama juga termanifestasikan dalam

kepercayaan bahwa semua makhluk harus melewati tiga tahap rangkaian

85Ahmad Amir Aziz, “Islam Sasak: Pola Keberagamaan Komunitas Islam Lokal di

Lombok,” Jurnal Millah vol. VIII, no. 2, Februari 2009, h. 244. 86Erni Budiwanti, Islam Wetu Telu vs Waktu Lima (Yogyakarta: LkiS, 2000), h.136-137.

Page 67: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

57

siklus, dilahirkan (menganak), hidup (urip), mati (mate). Kegiatan ritual

menurutnya, sangat terfokus kepada rangkaian siklus ini. Setiap tahap yang

selalu diiringi upacara merepresentasikan transisi dan transformasi status

seseorang menuju status selanjutnya, juga mencerminkan kewajiban seseorang

terhadap dunia roh.87

Dalam hal syahadat, selain diucapkan dalam bahasa Arab, penganut

IWT juga mengucapkannya dalam bahasa Sasak. Berikut adalah bacaannya:

“Asyhadu Ingsun sinuru anak sinu. Anging stoken ngaraning pangeran.

Anging Allah Pangeran. Ka sebenere lan ingsun anguruhi. Setukhune nabi

Muhammad utusan demi Allah. Allahumma shali Allah sayidina Muhammad”.

Artinya: “Kami berjanji (bersaksi) bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah,

dan kami percaya bahwa nabi Muhammad adalah utusan Allah”. Disebut

”berjanji” karena diakui sudah menerima agama Islam.88

Dalam pelaksaan kepercayaan kelihatannya bahwa Islam Waktu Telu,

yang selanjutnya disebut “IWT”, merupakan percampuran antara sistem

kepercayaan pra Islam dengan Islam (sinkretisme). Sistem kepercayaan pra

Islam adalah pemujaan arwah leluhur dan tempat-tempat keramat yang

dianggap mempunyai kekuatan gaib. Mereka tidak melakukan syariat Islam

sebagaimana yang dilakukan Islam Sunni seperti sembahyang lima kali sehari,

sembahyang Jum’at, puasa dan pergi haji ke Mekah. Kewajiban itu hanyalah

kewajiban kiyainya. Oleh karena itu maka kyai dianggap sebagai perantara

dalam berhubungan dengan Allah. Demikian pula bila mereka meninggal

maka dengan pertolongan kyainya akan mampu mengantarkan mereka untuk

87Erni Budiwanti, Islam Wetu Telu vs Waktu Lima, h. 137. 88Muhammad Harfin Zuhdi, “Islam Wetu Telu: Dialektika Hukum Islam dengan Tradisi

Lokal”, Istinbath, Jurnal Hukum Islam vol. 13, No. 2, Desember 2014, h. 164.

Page 68: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

58

membuka pintu sorga lewat do’anya. Orang biasa, hanya mempunyai

kewajiban untuk berpartisipasi dalam setiap upacara seperti Mauludan, dengan

membawa makanan ke Mesjid Agung dan berbagai sajian lainnya untuk

dimakan bersama-sama89.

Di samping itu bagi orang Bayan mereka mempunyai tokoh adat yang

disebut pemangku, atau mangku. Pemangku ini tugas utamanya adalah

berhubungan dengan dunia roh dan makhluk halus yang menjaga tempat-

tempat tertentu. Dengan perantaraan mangku ini orang Bayan yang mendapat

gangguan dari makhluk halus yang jahat seperti anta boga tau selaq akan

menjadi sakit dan bisa ditangani oleh dukun yang disebut balian yang bisa

mengobatinya. Oleh mangku ia akan berhubungan dunia gaib dan bersama

balian akan mengobati orang yang terkena gangguan makhluk halus tersebut.

Dalam sejarahnya, Islam pertama kali masuk ke Lombok dibawa oleh

Sunan Prapen dan atau Pangeran Songopati. Beliau memiliki 2 putra yaitu

Nurcahya dan Nursada. Yang pertama ditugaskan untuk mengembangkan

agama Islam sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW,

sedangkan Nursada diberi tugas dan kewajiban untuk mengembangkan dan

melestarikan adat-istiadat sedemikian rupa sehingga sesuai dengan ajaran dan

ketentuan-ketentuan agama Islam. Dari pengikut Nursada inilah berkembang

ajaran Islam Wetu Telu.

Kedua putra pangeran itu mendapat pengikut yang banyak. Pada

perkembangan berikutnya, pengikut Nurcahya mengalami berbagai musibah

dan penyakit, sedangkan pengikut IWT hidup damai dan sejahtera. Melihat

89DEPDIKBUD, Suku Terasing Sasak di Bayan Daerah Propinsi Nusa Tenggara Barat,

h. 89.

Page 69: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

59

kondisi pengikutnya, Nurcahya datang kepada adiknya agar menolong

pengikutnya supaya terhindar dari malapetaka tersebut. Akhirnya disepakati,

Nursada sanggup menolong kakaknya dengan suatu syarat agar seluruh

pengikutnya berlih mengikuti ajaran Nursada. Sejak itulah, konon muncul

IWT.90

IWT memiliki kepercayaan yang kuat terhadap adat. Adat berasal dari

berbagai tradisi: animisme, Hindu-Buddha, Islam yang masuk ke dalam sistem

ajaran agama pada waktu penyebaran Islam berlangsung di Bayan. Akibatnya

adalah Islam dan adat menjadi dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Adat

dilestarikan lewat lembaga yang ada di masyarakat dan ditangani oleh

pemangku adat. Ada struktur yang hirarkis yang mengatur pembagian

wewenang (otoritas) di kalangan pemangku adat dan jajarannya ke bawah

menyangkut semua masalah yang ada di masyarakat. Perayaan ritual menjadi

realisasi dari pembagian wewenang ini sekaligus meneguhkan identitas

kolektif masyarakat Bayan.91

Belakangan, setelah terjadi Islamisasi secara lebih intensif, agama

diurus oleh tuan guru atau kyai. Dalam sejarah Bayan, adat dan agama

sebenarnya diurus oleh orang atau lembaga yang sama dan satu, karena adat

dan agama pada awalnya adalah satu. Adat berfungsi sebagai sistem nilai yang

menjadi rujukan masyarakat. Masyarakat yang melanggar ketentuan adat

mendapat sanksi atau hukuman yang telah ditentukan oleh adat. Nilai ini

diyakini dapat mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat

karena dianggap bersumber dari sesuatu yang supranatural dan sakral. Dalam

90Zaki Yamani Athhar, “Kearifan Lokal dalam Ajaran Islam Wetu Telu di Lombok”, h.

75. 91Suhanah, Ed, Dinamika Agama Lokal di Indonesia, h. 189-190.

Page 70: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

60

konteks Bayan, agama dan adat berasal dari, dan diyakini sebagai, sumber

yang sama, yang hanya karena fungsinya saja kemudian keduanya dibedakan.

Pada prakteknya adat dan agama dapat dilihat dalam berbagai ritus peralihan

(kelahiran, perkawinan, kematian). Semua ada adatnya dan semua memiliki

nilai agamawi di dalamnya.92

Orang Bayan menggunakan kalender qamariyah Islam dan

memperingati peristiwa-peristiwa penting berdasarkan penanggalan tersebut.

Berikut ini adalah daftar penanggalan qamariyah Islam dalam versi Bayan

serta Arab. Nama-nama bulan dalam setahun adalah : 1. Muharam

(Muharram), 2. Sapar (Shafar), 3. Maulud (Maulud/Rabi’ul Awwal), 4.

Rabiulakir (Rabi’ul Akhir), 5. Jumadilawal (Jumad al-Awwal), 6. Jumadilakir

(Jumad al-Akhir), 7. Rejeb (Rajab), 8. Saban (Sya’ban), 9. Ramadhan

(Ramadhan), 10. Sawal (Syawal), 11. Julkaidah (Dzul-Qaidah), 12. Julhaji

(Dzul-Hijjah).93

D. Gawe Urip-Gawe Pati Islam Wetu Telu

1. Upacara Kelahiran (Buang Au)

Masyarakat Sasak masih menggunakan dukun beranak (balian) dalam

proses melahirkan anak-anaknya sebagaimana terdapat didaerah lain.

Apabila sang ibu mengalami kesulitan dalam proses melahirkan, balian

menafsirkan hal tersebut akibat tingkah laku sang ibu sebelum hamil. Bisa

dalam bentuk berlaku kasar terhadap ibu atau suaminya. Untuk itu

diadakan upacara, seperti menginjak ubun-ubun, meminum air bekas cuci

tangan suami dan ibunya. Hal tersebut dipercaya dapat mempercepat

92Suhanah, Ed, Dinamika Agama Lokal di Indonesia, h. 190. 93Erni Budiwanti, Islam Wetu Telu vs Waktu Lima, h. 152.

Page 71: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

61

kelahiran sang bayi. Setelah bayi tersebut lahir, masyarakat menganggap

bahwa rambut yang dibawa lahir oleh bayi disebut bulu panas. Oleh

karena itu rambut tersebut dihilangkan dengan mengadakan selamatan,

do’a ataupun upacara sederhana yang disebut ngrusiang. Orang pertama

yang memotong rambut bayi tersebut adalah seorang kyai.94

Selesai persalinan, sang balian tersebut biasanya membakar arang dan

menempatkannya di bawah ranjang di mana bayi dibaringkan. Ini

dimaksudnya untuk menjaga agar si bayi merasa hangat dan dapat tidur

nyenyak. Sekitar seminggu kemudian, orang tua si bayi mengadakan

upacara buang au yang secara harfiah berarti membuang abu. Dalam

upacara ini, balian membuang seluruh abu yang dihasilkan arang,

sedangkan orangtua bayi mengumumkan nama bayi yang baru dilahirkan.

Nama yang tidak cocok bagi penyandangnya diyakini oleh orang

Bayan akan mengundang nasib buruk. Dengan alasan inilah para orang tua

biasanya berkonsultasi terlebih dahulu dengan para pemangku dan kyai

sebelum memilih nama yang tepat bagi anaknya. Dalam pemilihan nama,

pemangku dan kyai menggunakan perhitungan astrologi berdasarkan

waktu, tanggal, bulan dan tahun saat bayi dilahirkan. Meskipun begitu,

terdapat beberapa orang yang menggunakan nama kakek atau kakek

buyutnya yang sudah meninggal untuk bayi mereka demi mengenang asal

usulnya.

Orang Bayan mempercayai bahwa seorang bayi membawa dosa

orangtuanya di masa lalu. Oleh karena itu dalam upacara buang au bayi

94Suhupawati, “Upacara Adat Kelahiran sebagai Nilai Sosial Budaya pada Masyarakat

Suku Sasak Desa Pengadangan”, Fajar Historia, Vol. 1 No. 1, Juni 2017, h. 59.

Page 72: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

62

disucikan dengan menyelenggarakan bedak keramas dan doa kyai. Bedak

keramas adalah campuran santan kelapa, darah ayam dan sembek yang

ditaruh di tempurung kelapa. Ramuan itu dioleskan di kening bayi dan

orang tuanya. Bedak keramas ini adalah upacara pembersihan oleh karena

dosa warisan yang dibawa orang tua bayi tersebut.95

2. Khitanan (Ngitanang)

Kalangan Wetu Telu Bayan mengkhitan anak laki-lakinya ketika sudah

berumur antara 3 sampai 7 tahun. Seorang anak dianggap masih tetap boda

–orang yang belum di Islamkan- sampai di khitan. Kedudukan Lokak

penyunat, tukang khitan, seperti jabatan adat lainnya, bersifat turun

temurun. Peralatan yang digunakan dalam proses khitan masih tradisional.

Dalam prosesnya, tukang sunat mencelupkan peralatannya, pisau dan

beberapa bilah bambu pendek kedalam tempurung kelapa berisi air kelapa.

Ia menjepit penis si bocah dengan dua bilah bambu, menarik penis itu

kemudian memotongnya. Penyunat kemudian membungkus kulit yang

terluka itu dengan ramuan daun-daunan (lanas) untuk menghentikan

pendarahan. Kemudian pembantunya mengusapkan air keramat (aik mel-

mel)96 di kening si bocah.

Belakangan seorang Mantri kesehatan yang ditugaskan Departemen

Kesehatan juga melakukan pengkhitanan. Tidak seperti Lokak Penyunat,

mereka sudah menggunakan cara medis modern, dengan memanfaatkan

95Erni Budiwanti, Islam Wetu Telu vs Waktu Lima, h. 184-185. 96Aik mel-mel dipersiapkan sehari sebelum pengkhitanan dilakukan yaitu pada saat Kyai,

Pemangku dan Toaq Lokaq membacakan lontar. Lontar itu memuat sejarah hidup Nabi

Muhammad sejak masa kecil hingga kenabiannya. Sesudah dibaca, lontar itu direndam dalam

sebuah waskom air semalaman. Oleh karena itu air itu dianggap bertuah dan diberikan kepada

anak-anak yang disunat untuk mengurangi rasa sakit mereka.

Page 73: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

63

pembiusan lokal, memberikan suntikan antibiotik dan menjahit luka

sesudah semuanya selesai. Meskipun begitu, masyarakat setempat masih

lebih memilih menggunakan cara tradisional untuk menyunat anaknya

dengan jasa Lokak Penyunat. Di Bayan, Mantri Kesehatan diundang hanya

juka Lokak Penyunat tidak bisa memenuhi tugasnya, semisal karena ia

harus mengerjakan tugas serupa di beberapa tempat yang berbeda pada

waktu bersamaan.97

3. Upacara Perkawinan Islam Wetu Telu

Umumnya masyarakat Sasak, perkawinan tidak harus memenuhi syarat

agama dan peraturan/perundang-undangan negara saja, tetapi juga

pelaksanaan syarat-syarat adat. Jika tidak, akan kurang baik bagi anak-

anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Agar kedudukan hukum anak-

anak yang akan lahir dari suatu perkawinan jelas, maka perkawinan

tersebut dibebankan suatu upacara sorong-serah yang diikuti upacara

nyondol. Tetapi nyondol tidak merupakan kewajiban seperti upacara

sorong-serah. Walaupun nyondol merupakan rangkaian sorong-serah

tetapi dapat atau tidak dilakukan.98

Perkawinan di kalangan orang Bayan bukanlah soal mereka yang

kawin itu saja, tetapi juga menjadi soal keluarga bahkan persekutuan

(desa). Tetapi tidak berarti bahwa mereka yang hendak kawin itu tidak

mempunyai hak atas pemilihan jodoh. Kemungkinan pemilihan jodoh

dibatasi oleh peraturan-peraturan yang melarang perkawinan dengan

97Erni Budiwanti, Islam Wetu Telu vs Waktu Lima, h. 189-190. 98DEPDIKBUD, Upacara Tradisional Sorong-Serah dan Nyondol dalam Adat

Perkawinan Sasak di Lombok, (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya,

1991), h. 13.

Page 74: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

64

orang-orang tertentu. Apabila melanggar ketentuan pada hukum

perkawinan, maka akan mendapat hukuman (dedosan) berupa denda atau

sekaumang gubuk (dikucilkan). Pengucilan disini dalam artian bahwa

warga itu tidak diusir dari kampungnya akan tetapi ia tidak diajak apabila

ada kegiatan di kampung baik itu berupa pesta adat ataupun jika gotong

royong di desa, begitu pula jika warga itu akan mengadakan pesta maka

tidak akan ada yang mendatanginya.99

Secara umum, di Bayan ada tiga macam bentuk perkawinan, yaitu:100

1) Perkawinan Endogami/Homogami, adalah perkawinan dengan kerabat

dekat atau perkawinan dalam status sosial yang sama, seperti

perkawinan antara sepupu, baik paralel (dengan anak saudara laki-laki

ayah atau anak saudara perempuan ibu) maupun sepupu silang (dengan

anak saudara laki-laki ibu atau anak saudara perempuan ayah)

merupakan bentuk perkawinan yang dianjurkan.

2) Perkawinan Hipogami, adalah perkawinan antara wanita bangsawan

dengan laki-laki yang lebih rendah status sosialnya (jajar karang),

maka anak yang dilahirkan dari keturunan ini akan menyandang status

ayahnya.

3) Perkawinan Hepergami, adalah perkawinan antara laki-laki bangsawan

dengan wanita yang lebih rendah status sosialnya, maka anak yang

99DEPDIKBUD, Suku Terasing Sasak di Bayan Daerah Propinsi Nusa Tenggara Barat,

h. 106. 100Muhammad Harfin Zuhdi, Parokialitas Adat Islam Wetu Telu dalam Prosedur

Perkawinan Ditinjau dari Perspektif Hukum Islam di Desa Bayan Beleq Kecamatan Bayan

Lombok Barat Nusa Tenggara Barat, Tesis Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004,

h. 93.

Page 75: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

65

dilahirkan dari keturunan ini tetap menyandang status kebangsawanan

ayahnya.

Bentuk perkawinan komunitas Wetu Telu di Bayan, pada umumnya

dilakukan secara endogami, karena menganggap perkawinan dalam

kerabat sendiri lebih baik jika dibandingkan dengan perkawinan dengan

orang diluar kerabat. Perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan

anak dari paman/bibi disebut nunggurin. Perkawinan model ini sangat

dianjurkan karena diibaratkan seperti bertemunya ruas dengan buku pada

pohon bambu, semakin ruas dan buku bertemu pertanda pohon itu akan

menjadi panjang.101

Selanjutnya prosesi dan prosedur perkawinan harus dilakukan dengan

mulang/merariq yaitu melarikan calon mempelai perempuan kemudian

menyembunyikan di salah satu rumah yang sudah ditentukan sebelumnya,

bisa rumah tetangga atau rumah kerabat mempelai laki-laki dan ada

pantangan disembunyikan di rumah mempelai laki-laki sendiri.

Seperti umumnya suku Sasak, masyarakat Bayan mengenal kawin lari

sebagai tradisi yang mengawali perkawinan, bukannya melamar seorang

gadis melalui orang tuanya. Merariq dipahami dan diyakini sebagai bentuk

kehormatan atas harkat dan martabat keluarga perempuan. Gadis yang

dibawa lari dianggap mempunyai keistimewaan tertentu sehingga menarik

hati lelaki dan mempunyai nilai tawar ekonomis yang tinggi.102 Kawin lari

101Sriyaningsih dan M. Rosidi, Wujud, Arti dan Fungsi Puncak-Puncak Kebudayaan

Lama dan Asli Bagi Masyarakat Pendukungnya di Daerah NTB, (Jakarta: Depdikbud, 1996), h.

40. 102Ahmad Amir Aziz, “Islam Sasak: Pola Keberagamaan Komunitas Islam Lokal di

Lombok,” Jurnal Millah vol. VIII, no. 2, Februari 2009, h. 250.

Page 76: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

66

melibatkan pertemuan rahasia dengan si gadis dan membawanya kabur di

malam hari menuju suatu tempat persembunyian. Calon mempelai wanita

menyelinap keluar dari rumah orang tuanya seperti sudah direncanakan

sebelumnya dan si mempelai pria biasanya disertai oleh kerabat atau

kawan-kawannya. Pada beberapa kasus, mempelai pria tetap tinggal di

rumah dan menyuruh perantaranya yang terpercaya untuk menculikkan

wanita yang dimaksud untuknya. Penculikan ini dianggap berhasil bila

mempelai wanita dan pria menyembunyikan diri di suatu tempat rahasia

(penyeboan)103, biasanya di rumah salah seorang kerabat patrilateral calon

mempelai pria.

Menyadari bahwa anak gadis mereka tidak pulang hingga keesokan

paginya, orangtua gadis tersebut mengirim seorang pejati (kurir) untuk

melaporkan kasus tersebut pada kepala dusun (klian dusun) mereka yang

mengumumkan kasus lebih lanjut ke seluruh penjuru desa, klian dusun

juga meminta penduduk untuk memberitahu dirinya atau orang tua si gadis

jika mereka mengetahui di mana si gadis disembunyikan. Hari berikutnya,

beberapa orang mewakili mempelai pria mengirim pesan untuk

memberitahukan penculikan itu kepada klian dusun mereka yang

meneruskan informasi itu kepada klian dusun orangtua si gadis. Kedua

klian dusun ini disertai oleh kerabat laki-laki mempelai pria, bersama-

sama mendatangi orangtua si gadis dan memberitahukan mereka

(nyelabar) bahwa anaknya mulang/merari’ (dilarikan) dan berada di

103Penyeboan berasal dari kata sebo, artinya sembunyi yakni gadis yang sudah dilarikan

disembunyikan di sebuah rumah keluarga atau rumah sahabat mempelai pria. Dalam penyeboan,

baik gadis maupun calon suaminya terikat dengan aturan-aturan adat. Misalnya, tidak boleh dilihat

oleh keluarga mempelai wanita, dan jika hal itu terjadi menyebabkan adanya dedosan, sanksi adat

berupa denda.

Page 77: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

67

tempat aman. Selanjutnya wakil-wakil mempelai pria mendatangi orangtua

mempelai wanita untuk membicarakan tanggal yang tepat bagi

perundingan jumlah denda kawin lari. Pada tanggal yang disepakati oleh

kedua belah pihak, ahli waris (kerabat patrilateral) mempelai wanita dan

pria, dengan disaksikan oleh klian dusun, pemangku, Toak Lokaq, dari

pihak mempelai perempuan, menetapkan perincian ajikrama. Pertemuan

ini dinamakan ngeraosang ajikrama (membicarakan ajikrama).104

Disaksikan dan diperantarai oleh para pemuka adat: Pemangku, Toak

Lokaq, dan Klian Dusun, wakil mempelai wanita mempersiapkan daftar

barang-barang ajikrama. Dalam pembicaraan itu para wakil mempelai pria

berusaha menurunkan ajikrama, sementara perwakilan mempelai wanita

berusah meningkatkannya. Sehingga terjadilah tawar menawar

berkepanjangan dan kadang-kadang kesepakatan baru bisa dicapai setelah

beberapa kali pertemuan.

Tiga hari setelah kawin lari (mulang), seorang Kyai diundang ke

tempat di mana pasangan bersembunyi untuk memberkati upacara

perkawinan. Dalam upacara ini, yang disebut metikah lekoq buaq105, Kyai

mengadakan ritual bedak keramas yang secara simbolis memandikan

pasangan tersebut dengan memerciki kepala mereka masing-masing

dengan santan kelapa. Upacara ini juga disebut tobat kakas (pertobatan)

bagi dosa-dosa masa lalu dan perbuatan tercela yang pernah dilakukan

104Muhammad Harfin Zuhdi, Parokialitas Adat Islam Wetu Telu dalam Prosedur

Perkawinan Ditinjau dari Perspektif Hukum Islam di Desa Bayan Beleq Kecamatan Bayan

Lombok Barat Nusa Tenggara Barat, h. 106. 105Metikah Lekoq Buaq, artinya perkawinan dengan buaq lekoq (buah sirih). Disebut

demikian karena Kyai menggunakan buah sirih untuk memberkati perkawinan di tempat

persembunyian.

Page 78: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

68

oleh pasangan yang bersangkutan. Akan tetapi pada sistem ini kedua

mempelai belum diperbolehkan melakukan hubungan seksual hingga akad

nikah dilangsungkan.106

Setelah mengadakan tobat kakas maka dilanjutkan denga prosesi

penyerahan wali oleh paman mempelai wanita sebagai wali sah kepada

penghulu dengan diawali pembacaan dua kalimah syahadah. Setelah itu

baru dilanjutkan denga prosesi ijab kabul, dan diakhiri dengan pembacaan

do’a kepada dua mempelai oleh penghulu.107

Akhirnya sesudah ritual ini dilakukan, maka baru kemudian pasangan

tadi boleh melakukan hubungan seksual. Tetapi ritual ini Cuma

membebaskan pasangan itu saja. Mempelai pria tetap belum bisa bergaul

secara leluasa dengan keluarga mempelai wanita. Ia harus selalu menjaga

jarak dari kerabat istrinya hingga ia sanggup membayar ajikrama.

Perkawinan tersebut baru mendapat pengakuan sosial apabila ajikrama

sudah dibayar. Sorong Serah (upacara pembayaran ajikrama) kepada

keluarga mempelai wanita merupakan tahapan paling penting karena

dengan cara inilah dapat dicapai penerimaan sepenuhnya dan pemberian

status legal perkawinan yang lengkap.

Sebelum melaksanakan sorong-serah terlebih dahulu diadakan gundem

oleh para ahli waris dari pihak perempuan, guna membicarakan ajikrama

sorong-serah. Hasil gundem tersebut lalu disampaikan kepada pihak

106Arnis Rachmadani, “Local Wisdom: Tradisi Perkawinan Islam Wetu Telu sebagai

Perekat Kerukunan Masyarakat Bayan,” Harmoni, Jurnal Multikultural & Multireligius, vol. X,

no. 3, Juli-September 2011, h. 672. 107Sriyaningsih dan M. Rosidi, Wujud, Arti dan Fungsi Puncak-Puncak Kebudayaan

Lama dan Asli Bagi Masyarakat Pendukungnya di Daerah NTB, h. 43.

Page 79: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

69

keluarga laki-laki. Jumlah ajikrama ditentukan sesuai dengan tingkatan

menurut tradisi adat masing-masing gubug.108

Dalam upacara sorong-serah, dilaksanakan pembayaran Ajikrama

yang berupa uang dan barang yang telah ditetapkan berdasarkan derajat

menurut adat. Sesuai dengan prinsip kekerabatan suku bangsa Sasak yang

patrilineal, besarnya ajikrama yang diserahkan didasarkan pada martabat

laki-laki. Hal ini sesuai dengan tujuan penyerahan ajikrama itu yakni

untuk menetapkan status mempelai wanita dalam keluarga suaminya dan

status anak-anak yang akan dilahirkan dari perkawinan itu.109 Sorong serah

artinya menyodorkan dan menyerahkan. Barang yang diserahkan tersebut

dinamakan Ajikrama yang mempunyai arti adat yang mulia atau benda

adat yang mulia.

Menurut adat Sasak seorang isteri yang tidak diupacarakan sorong

serah tidak sah menjadi anggota keluarga suaminya. Anak-anak yang lahir

dari perkawinannya itu menjadi anak-anak tapi bukan anak suaminya.

Anak-anak itupun tidak berhak mewarisi pusaka seperti tanah, terak, keris

pusaka dan mantra kalau punya, dari ayahnya, anak-anaknya hanya dapat

menerima warisan dari ibu mereka.

Upacara sorong-serah dan nyondol dilaksanakan oleh orang sebanyak-

banyaknya diiringi dengan bunyi-bunyian seperti tawaq-tawaq, rebana

atau rudat. Rombongan penyoron (yang menyerahkan ajikrama) dipimpin

oleh seorang pembayun (utusan pihak keluarga mempelai pria). Selain

108Arnis Rachmadani, “Local Wisdom: Tradisi Perkawinan Islam Wetu Telu sebagai

Perekat Kerukunan Masyarakat Bayan,” h. 674. 109DEPDIKBUD, Upacara Tradisional Sorong-Serah dan Nyondol dalam Adat

Perkawinan Sasak di Lombok, h. 10.

Page 80: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

70

rencang (peserta) terdapat seorang pemuka adat dan seorang pemuka

agama yang menjadi pendamping pembayun.

Adapun contoh kewajiban yang harus dipenuhi antara lain lima ribu

kepeng bolong sebagai ulum dedosan, satak kepeng bolong (bakul kecil

yang berisi dua ratus uang bolong), due lembar kereng putek (dua lembar

kain putih) telu bilah tombak, dan seekor kerbau. Semua barang tersebut

disebut “ajikrama” artinya sejumlah pembayaran yang telah ditentukan

oleh adat. Namun ada kebijaksanaan lain apabila perkawinan dilakukan

oleh pemuda dan si gadis yang kampungnya satu dengan yang lain sangat

jauh maka bisa ditempuh dengan menukar ajikrama dengan nominal uang

tertentu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Kebijaksanaan ini

disebut ”cocol”.110

Benda-benda yang akan diserahkan diatur dalam wadah-wadah sesuai

dengan jenis benda. Sisirah atau otak bebeli ditaruh dalam leweng. Uang

tapak lemah ditaruh dalam amplop. Tapak lembah yang berbentuk uang

emas atau perhiasan dibungkus dengan selembar sapu tangan dan

dikantongi oleh pembayun atau pendamping dari pemuka masyarakat.

Oleh-oleh yang berbentuk kain-kain dikemas dalam sebuah kotak terbuat

dari daun lontar. Kotak dihiasi dengan manik-manik dengan pola hias

daun, sulur, geometris, bintang dan bulan sabit. Yang pemegat

ditempatkan dalam beberapa buah piring dan tiap-tiap piring dibawa ileh

seorang anggota rombongan. Uang denda kalau ada, disiapkan dalam

110Arnis Rachmadani, “Perkawinan Islam Wetu Telu Masyarakat Bayan Lombok Utara,”

Analisa vol. XVIII no. 1, Januari-Juni 2011, h. 68.

Page 81: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

71

amplop yang dikantongi oleh salah seorang anggota keluarga mempelai

laki-laki yang ikut dalam anggota rombongan penyorong.

Selain dede yang berfungsi sebagai lambang pengganti air susu ibu

ditempatkan dalam sebuah pasu kecil atau rombongan atau gadang artinya

tempat nasi. Maksud salin dede sebagai peralihan tanggung jawab dari

orang tua mempelai wanita pindah ke pundak mempelai laki-laki. Benda-

benda lain kalau ada serta pelengkak dan kao tindoq111 dibawa langsung

oleh anggota rombongan penyorong. Aji pisuka, penyauman yang

biasanya diwujudkan dalam uang ditaruh dalam pring. Dengan berbaris

teratur dan tertib, rombongan penyorong, diikuti oleh rombongan

pengantin yang diiringi bunyi-bunyian, keluar dari rumah orang tua

mempelai pria. Sepanjang jalan benda-benda ajikrama dan pelengkapnya

itu dibawa dan dijaga dengan baik oleh anggota rombongan.

Setibanya di pintu kampung (jebak) orang tua mempelai wanita,

mereka duduk tertib sesuai urutan seperti sewaktu mulai berangkat.

Sementara petugas yang membawa sesirah memukul leweng bertalu-talu.

Bila pihak penampi (wakil keluarga mempelai wanita yang menerima

ajikrama) sudah siap dikirimlah dua orang penyolo mempersilahkan

rombongan penyorong masuk.

Rombongan penyorong yang telah diperkenankan masuk sampai batas

tikar yang terbentang di bawah terop mereka duduk. Setelah mengucapkan

salam, mereka dipersilahkan maju. Mereka tidak boleh langsuung duduk

di atas tikar sebelum dipersilahkan maju. Mereka kemudian duduk di atas

111Kao tindoq artinya kerbau tidur. Melambangkan permintaan keamanan dan kedamaian.

Page 82: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

72

tanah tanpa alas. Sekalipun begitu mereka tabu memilih-milih tempat yang

lebih baik atau lebih bersih. Ketahanan mental dan kesetiaan mereka

kepada adat diuji.

Setelah kedua belah pihak duduk berhadapan yang dibatasi sebuah alu

melinyang di tengah-tangah jarak keduanya, pembayun penyorong mulau

berdialog dengan pembayun penampi. Pembicaraan berawal dari saling

puji memuji diikuti ileh perkenalan. Mereka tidak lain adalah pembayun

atau utusan yang ditunjuk oleh Kepala Desa, Keliang (kepala dusun) dan

orang yang punya hajat atau keluarga mempelai, menjelaskan maksud

kedatangannya, yaitu menyerahkan ajikrama dengan menyebut jumlahnya.

Benda-benda lain seperti sesirah,112 tapak lemah113 dan olen-olen114

dikembalikan utuh kepada keluarga mempelai pria. Salin dede115 diberikan

kepada orang tua mempelai wanita. Kalu ada denda-denda, diperuntukkan

yang berhak. Denda pelengkak diberikan kepada kakak lelaki mempelai

perempuan yang didahului kawin. Denda-denda, pembabas kota, kor jiwa

menjadi bagian desa dan pamong desa. Setelah acara sorong-serah selesai,

pembayun beserta anggota rombongan minta diri.

Sementara itu rombongan pengantin disongsong di luar kampung

diarak masuk kampung. Kedua pengantin disambut dan didudukkan di

pelaminan sejenak dan anggota rombongan dijamu. Terakhir memberikan

112Sesirah atau otak bebeli terdiri dari kain putih dan kain hitam bergaris putih vertikal

dan horizontal sejajar berpotongan diikat dengan benang dalam wadah leweng atau gong kecil,

melambangkan persatuan wanita dengan pria yang terikat dalam perkawinan. 113Tapak lemah artinya menginjak tanah, melambangkan manusia (Adam) diciptakan dari

tanah. 114Olen-olen berwujud kain-kain, melambangkan manusia tidak dapat hidup tanpa benda-

benda, seperti makanan, pakaian dan rumah tinggal. Kesemuanya itu harus didapat dengan kerja

keras. 115Salin dede artinya ganti mengasuh. Melambangkan perpindahan tanggungjawab dari

orang tua mempelai wanita kepada pegantin pria.

Page 83: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

73

ucapan selamat kepada kedua mempelai dan kedua orang tuanya.

Sementara itu anggota rombongan dijamu dengan rokok sirih, minuman

dan juadah. Waktu mereka hanya sebentar kemudian balik membawa

pengantin pulang dan selesailah upacara sorong-serah dan nyondol dalam

adat perkawinan suku bangsa Sasak di Lombok.116

Sebagai tambahan, bahwasanya terdapat beberapa pantangan yang

perlu ditaati dalam proses sorong-serah ini. Seperti pelaku-pelaku sorong-

serah harus laki-laki dewasa, dipantangkan bagi wanita dan anak-anak.

Pakaian orang yang sorong-serah harus lengkap menurut adat yang terdiri

dari keris, baju, sabuk, ikat kepala, dan leang (dodot). Harus memakai

daster dan leang. Ketika sampai di tempat upacara sorong-serah, mereka

pantang berbicara sebelum anggota rombongan duduk bersila dengan baik

di tanah. Bagi anggota rombongan pantang mengangkat leang ketika

hendak duduk, sekalipun berlumpur atau berdebu. Sikap duduk harus baik,

pantang kain tersingkap sampai lutut kelihatan. Pantang pembayun dan

pendamping duduk di tikar sebelum dipersilahkan. Pantang pembayun

berbicara tanpa mengatas namakan segenap rombongan, pamit tanpa

memamitkan segenap anggota rombongan, menepuk kotoran atau debu

yang melekat pada pakaiannya ketika baru bangun hendak kembali pulang.

Bila pangtangan-pantangan tersebut dilanggar dapat didenda oleh pihak

keluarga mempelai wanita. Denda ditanggung oleh pihak laki-laki.

Juga mempelai wanita dilarang menginap di rumah orang tuanya

ketika datang nyondol. Apapun alasannya dia harus kembali hari itu juga,

116DEPDIKBUD, Upacara Tradisional Sorong-Serah dan Nyondol dalam Adat

Perkawinan Sasak di Lombok, h. 31-32.

Page 84: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

74

bila dilanggar dapat mendatangkan bala. Untuk melepaskan rindu kepada

kedua orang tua dan saudara-saudaranya, tradisi menyediakan bagianya

acara bejango atau “balik tampak” . bejango artinya menjenguk, balik

tampak artinya napak tilas. Acara bejango diadakan untuk merapahkan

antara kedua kelompok keluaga. Merapahkan artinya memperkenalkan dan

mengakrabkan perhubungan kedua belah pihak. Pada kesempatan ini

kedua mempelai dan kedua orang tua mempelai laki-laki bermalam di

rumah orang tua mempelai wanita selama semalam.117

Dalam perkembangan mutakhir, timbul kesadaran dari orang-orang

Bayan untuk mencatatkan pernikahannya ke KUA, tapi prosesi adat juga

masih dilaksanakan. Pernikahan tetap dilakukan setelah pernikahan resmi

di KUA. Kenyataan ini penting untuk membuktikan pengakuan mereka tas

negara dan adat. Untuk melaksanakan pernikahan dualisme ini, ada

pembagian peran antara ayah atau kakek dan paman. Jika di KUA orang

tua (ayah atau kakek) berperan sebagai wali, sedang dalam pernikahan

adat wewenang diberikan kepada paman. Dengan demikian baik negara

maupun adat tetap menjalankan tugas dan wewenangnya di tengah

masyarakat. Disatu sisi masyarakat Bayan ingin mempertahankan adat

istiadatnya yang diwariskan dari para leluhurnya. Di sisi lain, mereka

berupaya menjadi masyarakat modern, menjadi bagian masyarakat

Indonesia.118

117DEPDIKBUD, Upacara Tradisional Sorong-Serah dan Nyondol dalam Adat

Perkawinan Sasak di Lombok, h. 32-33. 118Arbi Mulya Sirait, dkk, “Posisi dan Reposisi Kepercayaan Lokal di Indonesia”, h. 32.

Page 85: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

75

4. Upacara Kematian

Setiap orang yang ingin mengikuti prosesi pelaksanaan gawe pati

dianjurkan memakai pakaian adat, minimal dodot (kain pelapis pinggang,

terkadang dapat diganti dengan sarung), dan sapu’ (ikat kepala) untuk

laki-laki serta kain hitam untuk wanita. Sebelum memandikan mayat, alat

yang harus disiapkan meliputi: kain warna putih (mori) untuk membungus

mayat, kain batik (jarik) untuk menutupi mayat, keranda dari bambu untuk

menggotong mayat serta air untuk memandikan mayat. Adapun alat

pelengkap upacara Gawe Pati antara lain: sesajen, kemenyan, brem, sirih

dan pinang, tembakau dan bunga-bunga untuk nyekar (ditabur di kuburan).

Bagi yang meninggal waktu lingsiran (waktu setelah dzuhur)

dimakamkan keesokan harinya tetapi diberikan boreh (seperti lulur

tradisional) lalu mandi kambalkan (mandi biasa) oleh keluarga terdekat

baru kemudian oleh para kyai termasuk penghulu dilanjutkan dengan

pembacaan Lontar Chandra Kirana untuk menghibur keluarga yang

meninggal. Keesokan harinya dilanjutkan dengan Trek Ules (memotong

kain kafan) berjumlah ganjil sesuai kemampuan keluarga yang dilakukan

oleh Penghulu atau Kyai.

Pelaksanaan gawe pati dimulai dengan tahapan memandikan,

mengkafani, menyalatkan serta penguburan(nyusur tanah), kemudian

dilanjutkan dengan nelung pada hari ketiga, mituq pada hari ketujuh,

nyiwak yaitu perayaan hari kesembilan, matang puluh pada hari keempat

Page 86: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

76

puluh, nyatus pada hari keseratus dan nyiu sebagai penutup prosesi ritus

gawe pati pada hari keseribu.119

Masyarakat Dusun Bayan Beleq membedakan perlakuan bagi mereka

yang meninggal di luar batas kuta (wilayah) dusun. Mereka percaya bahwa

yang meninggal diluar kuta akan membawa penyakit atau malapetaka. Hal

ini menjadi alasan untuk diadakannya selamatan mengasuh. Mangasuh

adalah ritual pembersihan guna mencegah malapetaka dan penyakit

memasuki perbatasan desa.120 Sebelum dibawa kedalam kuta, anggota

keluarga harus melakukan ritual pembersihan yaitu dengan mengorbankan

hewan seperti sapi atau kerbau untuk acara periapan mengsuh saat para

kyai berdo’a untuk keselamatan kuta.121

Bagi orang Islam Wetu Telu, seseorang yang mati tidak dapat

langsung mencapai keluhuran. Oleh karena itu, upacara kematian atau

Gawe Pati dilakukan untuk menjamin arwah orang yang sudah meninggal

mencapai keluhuran. Dengan adanya upacara kematian ini, Islam Wetu

Telu memiliki anggapan bahwa keluhuran seseorang yang telah meninggal

akan mencapai keluhuran pada hari keseribu.122 Tujuan lain dari ritual nyiu

ini adalah untuk menggabungkan arwah si mati dengan dunia leluhur.

Melalui doa kyai yang memimpin upacara ini, arwah si mati dipertemukan

dengan para leluhur. Bagi mereka, kematian merupakan suatu rangkaian

119Rasmianto, “Interrelasi Kiai, Penghulu dan Pemangku Adat dalam Tradisi Islam Wetu

Telu di Lombok,” Jurnal el-Harakah, vol.XI, no. 2, Tahun 2009, h. 146. 120Fitria Yusfira, dkk, “Meneropong Strategi Kebudayaan melalui Kesadaran Historis

‘Pantang Melupakan Leluhur’ Islam Wetu Telu”, Jurnal Filsafat, vol. 26, no. 2, Agustus 2016, h.

261. 121Eka Trisma Hidayanti, “Eksistensi Ritus Gawe Pati pada Masyarakat Wetu Telu di

Dusun Bayan Beleq, Desa Bayan, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara”, Jurnal

Humanis, Fakultas Ilmu Budaya UNUD Vol. 22.1, Februari 2018, h. 60. 122Muh. Amin Arqi, “Kematian Menurut Islam Wetu Telu Ditinjau dari Perspektif

Psikologi Islam”, Jurnal Psikologi Islam, Vol.5 No.1, (2018), h. 41.

Page 87: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

77

untuk mencapai tahapan yang lebih tinggi, yakni keluhuran dan ritual-

ritual untuk menjamin tercapainya tahapan ini.123

E. Makna Hidup Perspektif Kaharingan dan Islam Wetu Telu

1. Makna Hidup Perspektif Kaharingan

Ketulusan hati, kejujuran, kelurusan, kemurnian jiwa adalah ciri khas

dari hidup rakyat dipehuluan yang sangat terpencil ini. Menipu atau

berbohong adalah suatu hal yang sangat mereka jauhi. Sedangkan

pencurian sama sekali tak pernah terjadi dikalangan mereka. Tolong

menolong, bantu membantu, beri memberi pekerjaan gotong royong

adalah adat utama masyarakat setempat yang masih terus ditradisikan.

Mengerjakan ladang seseorang, dari menebas ke menugal sampai

mengetam adalah tangguangan bersama. Tanpa diberitahu datang orang-

orang membantu. Begitupun dalam hal pendirian rumah.

Berkenaan dengan kesehariannya, masyarakat menghendaki agar

mereka selalu menaati segala tradisi serta adat-kebiasaan yang berlaku.

Dan itulah –penaatan itu- yang disebut sikap atau perbuatan yang baik.

Menyimpang dari sesuatu tradisi leluhur adalah hal yang buruk. Malahan

kadang-kadang dianggap sebagai suatu dosa.124 Pecahnya sebuah guci,

pelanggaran tabu, pelanggaran syarat-syarat suatu upacara, tidak

membayar hajat, menebang sebuah pohon berganan tanpa upacara adalah

termasuk sebagai perbuatan dosa. Dalam Kaharingan, dosa adalah setiap

pelanggaran terhadap tata tertib yang berlaku dalam seluruh kosmos. Oleh

123Erni Budiwanti, Islam Wetu Telu vs Waktu Lima, h. 191-193. 124Sarwoto Kertodipoero, Kaharingan Religi dan Penghidupan di Penghulu Kalimantan,

h. 42.

Page 88: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

78

karena itu penyimpangan terhadap syarat-syarat upacara atau terhadap tata

tertib masyarakat adalah suatu dosa karena keduanya adalah penjelmaan

tata tertib kosmos.

Yang aneh pula adalah bahwa dosa itu dapat menular. Berzina

misalnya, walaupun yang melakukan perbuatan dosa ini 2 orang, namun

siksaannya akan menimpa seluruh isi kampung karena dosa tersebut telah

menular keseluruh anggota masyarakat. Karena itu, bila ada orang

kedapatan berzinah dan si perempuan kedapatan hamil, tidak saja dosa ini

dibetulkan menurut hukum adat misalnya keduanya harus kawin atau salah

satu pihak harus membayar denda kepada yang lain, melainkan seluruh

kampung yang dalam hal ini biasanya diwakili oleh balian125 harus

mengadakan upacara, memberi persembahan kepada para dewa agar

kampung yang telah kena noda dosa itu tidak terkena bencana dengan

melaksanakan upacara Mudja Sumbang126.

2. Makna Hidup Perspektif Islam Wetu Telu

Mengenai hakekat dari hidup ini orang Sasak pada umumnya

berpendapat bahwa hidup di dunia ini adalah kehidupan sementara dan

kehidupan yang abadi adalah kehidipan sesudah mati. Untuk itu maka

125Balian adalah orang yang tahu secara mendalam mengenai soal-soal alam ghaib, yang

mempunyai keahlian dalam hal keagamaan. Dia bertugas sebagai mediator dan komunikator antara

manusia dengan makhluk lain yang keberadaanya tidak terlihat oleh kasat mata jasmani manusia.

Balian menyampaikan permohonan-permohonan manusia kepada Ranying Hatalla (Tuhan) dengan

perantara roh baik yang telah menerima tugas khusus dari Ranying Hatalla untuk mengayomi

manusia. Tidak setiap orang sekalipun berusaha keras mampu melakukan tugas dan kewajiban

sebagai Balian. Biasanya hanya orang-orang terpilih saja. Biasanya masyarakat menggunakan

Balian ini dalam upacara peristiwa-peristiwa penting semisal kematian, penyakit menular,

perkawinan, pembayaran hajat, dll. 126Upacara perkawinan darurat dilaksanakan selama sehari yang dipimpin oleh 2 orang

balian dengan iringan bunyi ketambung mengucapkan mantra-mantra bersahut-sahutan dirumah

keluarga wanita. Mereka meminta maaf kepada para sangiang, para dewa serta leluhur atas

peristiwa yang telah terjadi. Memohon penghapusan dosa serta diselamatkan kampung mereka

dari segala bencana.

Page 89: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

79

hidup di dunia ini harus selalu berbuat baik dan benar. Manusia harus

mengikuti adat istiadat yang berlaku, manusia harus selalu memberikan

sajian kepada arwah leluhur yang menjaga desa dan tempat-tempat

tertentu. Untuk itu mereka harus taat kepada pemangku adat dan

mengikuti ajaran-ajaran yang diajarkan oleh kyai mereka. Mereka tidak

terlalu mengejar kehidupan yang lebih baik di dunia ini. Mereka

menganggap bahwa hidup yang telah dialami sekarang ini telah cukup.

Oleh karena itu sikap hidup yang mewarnai mereka adalah serba nrimo,

pasrah terhadap nasib.

Berkaitan dengan hajat hidup manusia, mereka sekedar untuk dapat

memenuhi kebutuhannya di dunia ini. Anggapan mereka bahwa kerja itu

adalah sekedar untuk memungkinkan mereka memenuhi kebutuhan

hidupnya baik secara biologis maupun dalam rangkan menunaikan tugas-

tugas sosialnya atau kewajiban-kewajiban ritualnya. Dengan demikian

rezeki yang diperoleh sebagai hasil kerja mereka harus sebagian

dikorbankan untuk tujuan-tujuan memenuhi adat istiadat mereka, serta

keperluan-keperluan pemujaan pada arwah leluhur. Karena rezeki itu

diperoleh menurut anggapan mereka bukan semata-mata karena prestasi

mereka tetapi berkat sifat Maha Pengasih dan Penyayang Tuhan serta

pertolongan para arwah leluhur yang memelihara tempat-tempat tertentu

sehingga memungkinkan mereka memperoleh hasil. Karena itu, dalam

bekerja mereka diliputi berbagai pantangan dan ketentuan-ketentuan yang

didasarkan atas kepercayaan yang harus selalu diperhatikan.

Page 90: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

80

Perihal hakekat hubungan manusia dengan alam, masyarakat Bayan

dapat dianggap masyarakat yang masih tunduk kepada alam. Bahkan

karena mereka itu termasuk mempunyai kepercayaan yang memuja alam

berupa upacara buka hutan, upacara memuja sumber air, upacara

menghormati pohon-pohon tertentu maka gejala alam ini dianggap

mempunyai kekuatan sakti yang harus dipuja sehingga tidak menimbulkan

malapetaka bagi mereka. Dengan demikian pandangan terhadap alam

sebagai kekuatan yang dapat menimbulkan bencana lebih besar dari pada

memandang alam ini sebagai sumber hidup yang harus diolah demi

kebutuhan mereka.

Oleh karena itu mereka berusaha hidup sesuai dengan kodrat alam.

Berusaha merubah dan menguasai alam dapat dianggap merusak sistem

kepercayaan mereka. Salah satu contohnya adalah pandangan yang melatar

belakangi pengolahan sawah bahwa tanah pertanian itu harus dianggap

sakral oleh karena itu alat pertanian yang dipergunakan harus yang telah

ditentukan oleh sistem kepercayaan mereka. Seperti sawah hanya boleh

diinjak-injak oleh kerbau dalam waktu-waktu tertentu sampai matang

untuk ditanami. Dengan demikian pembaharuan teknologi akan menemui

hambatan karena adanya kepercayaan tersebut.127

127DEPDIKBUD, Suku Terasing Sasak di Bayan Daerah Propinsi Nusa Tenggara Barat,

h. 104.

Page 91: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

81

BAB IV

KOMPARASI & ANALISIS SIKLUS HIDUP KAHARINGAN DAN ISLAM

WETU TELU

A. Periode Kelahiran

Tahapan pertama dari siklus hidup manusia adalah periode kelahiran.

Sebelum lahir ke duniapun si jabang bayi sudah diharapkan menjadi anak

yang baik, unggul, bertanggung jawab serta disematkan banyak harapan baik

lainnya untuk kehidupan dia kelak. Maka dari itu banyak hal yang dilakukan

semasa sang ibu hamil demi tercapainya harapan tersebut. Baik dari

Kaharingan maupun IWT sepakat bahwa kelak anaknya diharapkan menjadi

generasi unggul untuk menggantikan orangtuanya di masa mendatang.

Masyarakat Dayak Sanggau mengetahui tanda-tanda kehamilan seperti

pembesaran perut, ngeraah atau ngidam, tidak datang bulan dan lemas.

Sementara tanda-tanda kehamilan yang dapat terlihat atau dirasakan yakni

keluar lendir darah/calak, perut mulas,sakit pinggang, pecah air ketuban

(piying nutup).128 Dalam masa kehamilan, tradisi Kaharingan mengenal

berbagai macam anjuran dan beberapa pantangan yang harus dilakukan oleh si

ibu, seperti dilarang mengikat tali dan membunuh binatang. Sang ibu

dianjurkan makan nasi putih bercampur garam dan daun bungkal selama tiga

hari berturut-turut setelah melahirkan. Semua itu dimaksudkan agar si bayi

nanti lahir dengan mudah dan gampang serta demi kebaikan sang bayi kelak.

Bagi seorang perempuan yang baru hamil pertama kali, biasanya

dilaksanakan upacara Nyaki Tihi yang dalam arti literalnya sebagai kegiatan

128Edy Suprabowo, “Praktik Budaya dalam Kehamilan, Persalinan dan Nifas pada Suku

Dayak Sanggau”, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, vol. 1, No. 3, (Desember 2006), h. 114.

Page 92: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

82

atau tindakan memoles ibu hamil. Nyaki Tihi adalah memoleskan darah

kepada seorang perempuan yang sedang mengandung anak pertama dalam

masyarakat Dayak. Ritual ini biasa dilaksanakan ketika usia kandungan

memasuki tujuh bulan. Tujuannya untuk upaya perlindungan atau keselamatan

ibu hamil tersebut. Terhadap kandungan bayi kedua dan seterusnya, upacara

ini tidak berlaku lagi.129 Sedangkan dalam tradisi IWT jika proses kelahiran

sang bayi susah maka itu ditafsirkan sebagai akibat dari perbuatan yang telah

dilakukan sang ibu sebelumnya. Oleh karena itu, maka diadakanlah upacara

seperti menginjak ubun-ubun, meminum air bekas cuci tangan suami dan

ibunya agar kelahiran bayinya lancar.

Untuk proses melahirkan, masyarakat Kaharingan dan IWT masih

sama-sama menggunakan jasa dukun beranak. Setelah lahiran, placenta dari

bayi Kaharingan di taruh didalam sebuah bakul kecil yang berisi sedikit beras

ketan yang ditaburi sedikit garam di atasnya serta buluh alat pemotong dan

tangkai belajung ditaruh paling atas. Upacara mampandoi (memandikan bayi)

diadakan sesudah tali pusar bayi putus dengan dimandikan ke tepi kali oleh

sang dukun. Lazim juga dilaksanakan upacara mamalas bidan sebagai bentuk

terima kasih kepada bidan atas jasanya yang telah membantu proses kelahiran

serta merawat si bayi dan orang tuanya. Kepadanya diserahkan sejumlah uang

serta sehelai kain (bahalai) sebagai pembalas jasa (tambai).

Sementara dalam tradisi IWT, rambut bayi yang lahir dianggap oleh

masyarakat sebagai bulu panas. Oleh karena itu harus dihilangkan dengan

mengadakan selamatan, do’a ataupun upacara sederhana yang disebut

129Wilson, “Makna Upacara Nyaki Tihi Adat Dayak Ngaju di Desa Samba Danum

Katingan, Kalimantan Tengah”, Kontekstualita, vol. 26, No. 2, (Desember 2009), h. 43-44.

Page 93: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

83

ngurisang. Selain itu, dipercayai pula bahwa seorang bayi membawa dosa

orang tuanya dimasa lalu. Oleh karena itu dalam upacara buang au bayi

disucikan dengan menyelenggarakan bedak keramas dan doa kyai. Bedak

keramas adalah campuran santan kelapa, darah ayam dan sembek yang ditaruh

di tempurung kelapa. Ramuan itu dioleskan di kening bayi dan orang tuanya.

Selesai persalinan, sang balian tersebut biasanya membakar arang dan

menempatkannya di bawah ranjang di mana bayi dibaringkan. Ini

dimaksudnya untuk menjaga agar si bayi merasa hangat dan dapat tidur

nyenyak. Sekitar seminggu kemudian, orang tua si bayi mengadakan upacara

buang au (buang abu) yaitu membuang seluruh abu yang dihasilkan arang

oleh balian, sedangkan orangtua bayi mengumumkan nama bayi yang baru

dilahirkan setelah sebelumnya berkonsultasi dengan para pemangku dan kyai

mengenai nama yang tepat untuk si bayi dengan menggunakan perhitungan

astrologi berdasarkan waktu, tanggal, bulan dan tahun saat bayi dilahirkan.

Sementara dalam tradisi Kaharingan, prosesi pemberian nama pada si

bayi biasanya dilaksanakan dalam upacara Nahunan, di mana sang bayi

dimandikan secara ritual sebagai maksud pemberian nama sekaligus

pembaptisan menurut Kaharingan kepada anak yang telah lahir. Umunya ritual

ini digelar bagi bayi yang telah berusia setahun atau lebih.

B. Periode Kehidupan

Dalam periode kehidupan ini saya mengambil masing-masing dua

tahapan kehidupan dari setiap kepercayaan, yakni tradisi tato dan tradisi

perkawinan dalam Kaharingan serta Ngitanang (Khitanan) dan tradisi

perkawinan Islam Wetu Telu. Tradisi tato dan ngitanang dipilih karena

Page 94: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

84

keduanya sama-sama berada pada masa pertumbuhan (remaja) baik di pihak

Kaharingan maupun IWT.

Tato bagi orang Kaharingan tidak hanya sebagai seni melainkan

banyak nilai yang mereka sematkan seperti nilai adat, agama dan pribadi.

Beda motif tato, beda juga nilai yang terkandung didalamnya. Mulai dari

identitas diri, menunjukkan status sosialnya, simbol keberanian, bentuk

penghargaan atas suatu kemampuan sampai pada simbol penolak bala dan

juga penjaga pemakainya dari roh-roh jahat.

Perempuan yang bertato biasanya merupakan tanda bahwa dia sudah

memasuki fase kehidupan baru setelah mangalami menstruasi pertama

sebagai tanda telah beranjak dewasa. Sedangkan untuk lelaki yang tubuhnya

dipenuhi tato itu menandakan bahwa dia seorang yang perkasa dan kuat

mengembara. Dipercayai bahwa tato berwarna hitam yang terdapat pada suku

Dayak akan berubah menjadi warna emas dan menjadi penerang jalan menuju

keabadian setelah mereka mati dan telah melalui tiwah.

Dibagian dunia lain, yakni tradisi IWT, fase peralihan pertama ditandai

dengan dilaksanakannya khitanan (ngitanang). Anak yang belum dikhitan

akan selamanya dianggap boda (belum di Islamkan). Oleh karenanya setiap

anak laki-laki yang sudah berumur 3-7 tahun akan dikhitan terlebih dahulu

agar dianggap Muslim.

Dalam prosesnya, orang Bayan biasa menggunakan jasa Lokak

penyunat (tukang khitan) maupun mantri kesehatan meskipun mereka lebih

sering memakai jasa lokak penyunat. Lokak penyunat ini menggunakan cara

Page 95: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

85

tradisional untuk proses khitan yang biasanya keahlian ini bersifat turun

temurun.

Dalam hal ini, tradisi tato tidak ditemukan dalam IWT meskipun

mereka sangat kental akan tradisi lokal mengingat IWT merupakan tradisi

yang ajarannya dekat dengan Islam yang notabennya melarang tato. Begitupun

sebaliknya dengan khitan yang tidak dijumpai dalam tradisi Kaharingan

karena khitan hanya ditemukan dalam tradisi Islam dan Yahudi.

Memasuki masa peralihan selanjutnya, kita akan disuguhi bagaimana

tradisi perkawinan di antara kedua suku. Dikarenakan perbedaan jarak dan

waktu, berbeda pula tradisi yang berkembang. Meskipun begitu, hal

substansial yang dapat diambil dari keduanya adalah tujuan dari perkawinan

itu untuk membina rumah tangga yang haromonis serta melahirkan turunan

yang bisa melanjutnya tradisi nenek moyangnya.

Suku bangsa Dayak menganggap perkawinan sebagai yang bernilai

religius karena berkaitan dengan memperoleh keturunan. Orang yang mau

menikah hendaknya sudah siap secara lahir maupun batin terutama si pria

yang akan menjadi tulang punggung keluarga karena mereka akan memasuki

dunia baru yang diemban berdua.

Dalam proses pelamaran (Hakumbang Auh-Maja Misek), tidak ada

yang istimewa dalam tradisi Kaharingan karena hanya diisi dengan

musyawaroh antar keluarga berkaitan dengan kapan pelaksanaan perkawinan

yang dilanjutkan dengan pemberian biaya perkawinan kepada pihak wanita

dalam Mamanggar Janji. Biasanya lazim ditugaskan seorang laki-laki (uluh

helat) untuk mendatangi pihak perempuan guna menegosiasikan hal tersebut.

Page 96: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

86

Melalui seorang ulu helat inilah nantinya akan disampaikan keputusan pihak

perempuan apakah mau menerima pinangan tersebut atau menolaknya.

Memasuki pelaksanaan perkawinan, penganten pria berangkat menuju

rumah calon istrinya (penganten haguet). Sesampainya disana mereka

disambut oleh tuan rumah dilanjutkan dengan mamapas agar pernikahan

beserta pengantennya dijauhi dari marabahaya. Dalam haluang hapelek

dilakukan perundingan mengenai pengakuan, pemayaran, kesanggupan dan

penyerahan poin-poin isyarat perkawinan menurut adat.

Yang menarik disini adalah Manyaki Penganten karena mempelai pria

dan wanita diolesi darah hewan kurban ke beberapa bagian tubuhnya. Hal itu

dimaknai sebagai pensucian terhadap mempelai, sehingga dalam menjalani

kehidupan berumah tangga mereka senantiasa sehat, selamat dan memperoleh

rejeki. Hari itu ditutup dengan pangian putir santang yakni memakan 7

gumpal nasi sebagai simbol penyatuan mereka bahwa sejak hari itu sudah sah

sebagai pasangan suami istri.

Selang beberapa waktu setelah upacara perkawinan berlangsung di

rumah wanita, dari pihak pria mengadakan pesta pakaja manantu di

rumahnya. Hal ini dimaksudkan untuk memperkenalkan penganten wanita

kepada para kerabat dan handai tolan serta masyarakat tetangga sekitar. Ketika

mempelai wanita sudah sampai di rumah mertuanya, sang mertua

menyambutnya dengan 7 butir isyarat adat, yaitu130:

1. Garantung Tanggul, berarti menanti berpayung gong. Hal ini

menggambarkan bahwa menantu harus diberi mahkota kehormatan,

130Syamsir Salam, Kaharingan Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah,

(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h. 193-194.

Page 97: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

87

perlingungan hukum, daya tahan dan daya tangkal sehingga merasa aman

dan lega di bawah naungan keluarga sang suami.

2. Pinggan tapak penyau pai, yaitu tersedianya tempat pembasuhan. Sebelum

menantu masuk ke rumah, dipersilahkan terlebih dahulu membasuh diri

agar bersih dari pengaruh rasa sial, mimpi buruk serta gangguan roh-roh

jahat.

3. Bulau singah pakang, mertua memberikan emas/perhiasan, hal ini

dimaksudkan sebagai penyuluh dan penerang bagi menantu untuk turun

naik tangga di rumah mertua.

4. Lamiang tukang sapau, pemberian rumah kepada menantu sebagai

lambang kelonggaran atau keleluasaan bagi menantu hidup di rumah

mertua.

5. Benang kampuh benang sandurung ringgit epat nambatu puting, mertua

memberikan seperangkat pakaian dan uang ala kadarnya. Hal ini

dimaksudkan agar menantu mau bekerja keras, tidak jadi orang pemalas

dan rajin bekerja serta selalu kelihatan anggun dalam berpenampilan.

6. Batu kaja, sang mertua memberikan sesuatu harta yang paling berharga.

Ini dimaksudkan untuk jadi perhatian bagi menantu dan juga sebagai bekal

kelak jika akan melahirkan anak-anaknya.

7. Bawai saki, lilis manas peteng, pinggan mise lampat hejan. Tahap ini

memperlihatkan citra ikatan kekeluargaan antara mertua dan menantu

serta segenap kerabatnya yang utuh dan berkesinambungan.

Page 98: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

88

Setelah rangkaian acara tadi terlaksana, acara ditutup dengan do’a bagi

kesehatan, kekayaan materi serta untuk menguatkan iman kepada para dewa

ataupun kepada roh-roh nenek moyang.

Untuk perkawinan IWT, semenjak dari tahapan awal pernikahan sudah

disuguhi dengan keunikan tersendiri, terutama tradisi merariq. Dalam hal ini

calon mempelai wanita “diculik” terlebih dahulu oleh pihak lelaki. Term

diculik ini bukanlah bermakna negatif karna berdasarkan adat disana, laki-laki

yang berniat untuk mempersunting gadis incarannya biasanya diawali dengan

penculikan terlebih dahulu sebagai bukti keseriusan dan juga menunjukkan

kelelakiannya. Tentunya kasus ini diawali dengan perjanjian terlebih dahulu

antara si pria dengan si gadis mengenai kapan waktu yang tepat untuk

melakukan merariq. Biasanya si gadis dititipkan ditempat yang aman baik itu

tempat saudara ataupun keluarga (bale penyeboqan). Selama proses

persembunyian ini, antara si pria dan si gadis terdapat ketentuan yang tidak

boleh didobrak menurut hukum adat sebelum pernikahan mereka sah secara

adat maupun agama seperti tinggal berdua didalam satu ruangan ataupun

melakukan sesuatu yang bisa menyebabkan denda maupun hukuman menurut

adat yang berlaku sehingga mereka harus menjaga jarak terlebih dahulu.

Adat Sasak menyediakan waktu tersendiri bagi si pemuda

(teruna/bajangan) dengan gadis (dedare) untuk saling mengenal lebih jauh

(PDKT) melalui lembaga adat yang disebut midang atau ngayo atau menyojag.

Kesempatan ini biasanya digunakan untuk suatu percakapan yang intim agar

keduanya dapat saling mengenal dengan baik dan menapat kesempatan

membicarakan rencana perkawinan mereka. Waktu dan tempat midang serta

Page 99: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

89

tingkah lakunya telah diatur dengan ketentuan adat yang disebut awing-awing

desa.131

Nur Yasin mencatat setidaknya ada 4 prinsip dasar yang terkandung

dalam praktik merariq ini, yakni; 1) prestige keluarga perempuan yang

dianggap punya kelebihan dan keistimewaan tersendiri yang menarik hati laki-

laki. 2) superioritas laki-laki dan inferioritas perempuan 3) egalitarianisme

atau rasa kebersamaan di kalangan seluruh keluarga perempuan. 4) komersial;

memiliki nilai tawar. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan tingkat sosial

anak dan orang tua, semakin tinggi pula nilai tawar sang gadis. Begitu pula

berlaku sebaliknya. Komersialisasi kawin ini tampak kuat hanya apabila

antara si pria dan wanita sama-sama berasal dari suku Sasak. Namun apabila

salah satunya berasal dari luar, maka tuntutan komersialisasi tersebut agak

lemah.132

Tiga hari kemudian biasanya diadakan tobat kakas yang disusul

dengan penyerahan wali oleh paman mempelai wanita untuk prosesi ijab kabul

dengan diawali pembacaan dua kalimat Syahadat dan diakhiri dengan do’a

kepada dua mempelai. Setelah itu, akan diadakan upacara sorong serah di

mana penganten laki-laki akan menyerahkan ajikrama yang sudah disepakati

kepada pihak perempuan. Tujuannya untuk menetapkan status mempelai

wanita dalam keluarga suaminya dan status anak-anak yang akan dilahirkan

dari perkawinan itu.

Rangkaian terakhir dari upacara pernikahan IWT adalah nyongkol,

kegiatan ini dilakukan secara bersamaan seluruh anggota keluarga mempelai

131M. Nur Yasin, Hukum Perkawinan Islam Sasak, (Malang: UIN Malang Press, 2008), h.

152-153. 132M. Nur Yasin, Hukum Perkawinan Islam Sasak, h. 157-160.

Page 100: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

90

laki-laki bersama masyarakat berkunjung ke rumah mempelai perempuan.

Tujuannya ialah untuk menampakkan dirinya secara resmi di hadapan orang

tua dan keluarganya bahkan kepada seluruh masyarakat sembari meminta

maaf serta memberi hormat kepada kedua orang tua pengantin perempuan.133

C. Periode Kematian

Bagi sebagian orang kematian merupakan sesuatu yang sangat

menakutkan karena mereka menganggap bahwa itu adalah akhir dari

kehidupan dan kenikmatan yang selama ini dirasakan akan terputus. Para

filsuf memiliki dua pandangan yang bertolak belakang tentang hidup. Ada

yang pesimistis sehingga memandang hidup ini sebagai sesuatu yang berat,

penuh kesedihan, dan kesulitan lalu berakhir dengan maut yang berarti

kepunahan. Ada juga yang optimis menilai hidup sebagai penghormatan dan

tanggung jawab yang dapat berakhir dengan kebahagiaan dan kekekalan yang

baru diperoleh melalui maut.134

Tapi tidak untuk masyarakat Dayak yang justru menganggap kematian

sebagai awal dari kehidupan baru, yakni kehidupan roh (akhirat) yang didalam

impian mereka sebagai kehidupan yang sempurna. Meskipun begitu, tidak

gampang untuk mencapai kehidupan tersebut. Mereka harus melalui upacara

terlebih dahulu yang disebut dengan upacara Tiwah. Jika tidak begitu, maka

arwah orang yang sudah meninggal akan tetap berada disekitar lingkungan

manusia dan bahkan akan mengganggu sanak keluarga yang masih hidup.

Gangguan-gangguan itu seperti gagal panen, penyakit, kecelakaan, atau

133Sudirman Bahrie, Lalu Ratmaja, Prosesi Perkawinan Masyarakat Gumi Sasak, (NTB:

KSU Primaguna, 2012), h. 126. 134Kata pengantar M. Quraish Shihab dalam buku Komarudin Hidayat, Psikologi

Kematian, Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme, (Jakarta: Penerbit Noura Books, 2011), h. X.

Page 101: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

91

bahaya lainnya. Bagi orang Kaharingan, kematian perlu disempurnakan

dengan ritual lanjutan agar roh dapat hidup tentram bersama Ranying

Hatalla.Upacara Tiwah mengandung arti penghormatan terakhir terhadap

orang yang meninggal.

Ada tiga tingkatan dalam upacara kematian menurut kepercayaan

Dayak Ngaju. Tingkatan pertama yaitu kematian manusia di dunia, yang akan

diupacarakan oleh keluarga dan jenazahnya dikuburkan di tempat pemakaman

sementara. Tingkatan kedua yaitu upacara memberi makan arwah. Karena roh

manusia dianggap masih berada di sekitar manusia lainnya. Tingkatan kedua

bisa berlangsung selama satu sampai lima tahun. Sedangkan tingkatan akhir

yaitu Tiwah, adalah upacara ketika tulang belulang manusia digali,

dikumpulkan, dibakar dan kemudian disimpan pada pemakaman tetap yang

tidak menyentuh tanah. Sisa abu pembakaran tulang akan dibungkus dalam

kain merah dan kemudian diletakkan kedalam gong, sebelum akhirnya akan

diangkat dan disimpan dalam sandong.

Upacara Tiwah merupakan ritual yang ditujukan untuk meluruskan

perjalanan roh atau arwah orang yang sudah meninggal menuju Lewu Tatau

(surga) sehingga bisa hidup tentram dan damai dialam sana. Selain itu juga

dimaksudkan sebagai prosesi suku Dayak untuk melepas rutas atau kesialan

bagi keluarga yang ditinggalkan dari pengaruh-pengaruh buruk yang

menimpa.

Masyarakat Dayak Tomun Lamandau sangat memperhatikan prosesi

penyelenggaraan upacara Tiwah karena upacara ini mempunyai makna yang

sangat sakral dan penting. Mereka percaya apabila mereka belum meniwahkan

Page 102: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

92

keluarganya, arwah akan tetap berada di bumi dan tidak bisa menuju ke surga.

Oleh karena itu, mengadakan upacara Tiwah hukumnya wajib bagi

Masyarakat Dayak, terutama apabila yang meninggal masih menganut

Kaharingan. Bagi sanak keluarga yang masih hidup, penyelenggaraan upacara

Tiwah merupakan penghormatan terakhir bagi yang meninggal dunia.

Sebelum si mati di tiwahkan, keluarga merasa masih berutang dan memiliki

beban moral kepada orang yang mati tersebut.135

Sementara untuk upacara kematian IWT cenderung lebih dekat pada

tradisi Islam, sesuai dengan kata pertama yang melekat pada IWT itu sendiri.

Meskipun dalam beberapa segi masih bisa ditemukan unsur kelekatan dari

adat setempat mengingat proses dialektik antara adat lokal dan Islam yang

berkembang Lombok. Hal ini terlihat pada orang yang meninggal pada waktu

lingsiran (setelah dzuhur) yang harus dimakamkan keesokan harinya

sedangkan mayatnya harus di berikan boreh atau semacam lulur tradisional

lalu dimandikan oleh pihak keluarga terlebih dahulu.

Seperti halnya dalam tradisi Islam (baca: aswaja) yang berkembang di

Nusantara, upacara kematian dalam IWT juga mengenal hari ketiga (nelung),

hari ketujuh (mituq), hari kesembilan (nyiwaq), hari keempat puluh (matang

puluh), hari keseratus (nyatus) dan hari ke seribu (nyiu) sebagai penutup dari

gawe pati.

Patut menjadi catatan disini bahwa masyarakat Bayan Beleq

membedakan perlakuan bagi mereka yang meninggal di luar batas kuta

(wilayah) dusun. Terlebih dahulu harus diadakan selamatan mengasuh guna

135Nina Putri Hayam Dey, dkk, “Aspek Budaya, Sosial dan Ekonomi dari Tiwah (Upacara

Masyarakat Dayak Tomun Lamandau), Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, vol. XXI, No. 2

(2012), h. 175.

Page 103: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

93

mencegah malapetaka dan penyakit masuk kedalam desa. Hal ini tidak

terlepas dari kepercayaan masyarakat yang melekat bahwa mereka yang

meninggal di luar wilayah permukiman akan membawa penyakit atau

malapetaka. Sedangkan anggota keluarga mengorbankan hewan seperti sapi

atau kerbau sebelum mayatnya dibawa kedalam kuta.

Bagi orang IWT, seseorang yang mati tidak langsung dapat mencapai

keluhuran. Oleh karena itu, upacara kematian atau gawe pati dilakukan untuk

menjamin arwah orang yang sudah meninggal mencapai keluhuran. Mereka

beranggapan bahwa keluhuran seseorang yang telah meninggal akan tercapai

pada hari keseribu.

D. Menjaga Tradisi Nusantara, Merawat Budaya Bangsa

Ibn Khaldun, seorang sosiolog Muslim sebagaimana yang dikutip oleh

Ridwan lubis dalam bukunya, berpendapat bahwa pada dasarnya manusia

merupakan makhluk berperadaban (al insan madaniyyun bi al thaba’).

Peradaban yang dirasakan sekarang ini muncul akibat saling percaya antar

manusia sehingga bisa bekerjasama satu dengan yang lain sekalipun hidup

dalam keragaman.136 Bahrul Hayat membagi nilai atau norma dalam

kehidupan sosial menjadi empat (catur norma): kesepakatan sosial, nilai

budaya137, nilai agama138, dan hukum formal139. Dari catur norma ini

kemudian menghasilkan modal sosial. Dalam kesepakatan sosial nantinya

akan mendorong lahirnya berbagai kearifan lokal karena sekalipun di antara

136Ridwan Lubis, Agama dalam Konstitusi RI; Menghidupkan Kembali Nilai-Nilai

Profetik di Tengah Masyarakat Heterogen, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2018), h. 23. 137Nilai budaya yang asasi adalah keyakinan setiap warga masyarakat terhadap adanya zat

yang Maha SEMPURNA yang mengatasi berbagai nilai yang ada dalam masyarakat. 138Nilai agama adalah wujud keyakinan manusia terhadap perlunya pedoman hidup. 139Adanya hukum formal adalah merupakan hasil kreasi masyarakat untuk memagari

kehidupan masyarakat agar tidak ada yang menyimpang dari batas-batas kepatutan dan kewajaran.

Page 104: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

94

mereka sesungguhnya terdapat berbagai perbedaan akan tetapi di atas

perbedaan itu mereka menghasilkan kesepakatan.140

Modal sosial yang dimiliki Indonesia berupa kemajemukan seharusnya

menjadi kebanggaan tersendiri bagi segenap warganya. Terlebih lagi dengan

segenap keragamannya, Indonesia minim konflik dan perpecahan yang

membuat negara lain iri hati dan bahkan dengan sikap rendah hati mau

berkaca terhadap negeri pertiwi ini bagaimana merawat keragaman.

Suatu kebudayaan tidaklah bersifat immortal di mana pada suatu saat

akan mengalamai perubahan karena berbagai macam sebab. Perubahan bisa

terjadi secara kebetulan, direncanakan atau karena adanya kontak dengan

unsur kebudayaan lain. Apapun sebabnya, perubahan kebudayaan dapat

berasal dalam diri masyarakat atau dari luar masyarakat. Akibat dari setiap

perubahan kebudayaan di antaranya, hilangnya unsur-unsur kebudayaan yang

pernah ada, dipertahankannya unsur-unsur kebudayaan dan terjadinya adaptasi

dengan unsur kebudayaan yang baru.141 Namun, faktor intern yang dapat amat

menentukan dalam adopsi unsur-unsur budaya luar itu adalah disposisi atau

kecenderungan dasar suatu bangsa atau suku bangsa yang sifatnya dapat

cenderung terbuka atau cenderung lebih tertutup.142

Salah satu ciri dari dunia kontemporer menurut Robert W. Hefner

adalah munculnya gerakan populis yang menolak keberagaman sosial dan

agama. Di negara-negara Barat, misalnya muncul gerakan Islamophobia, di

140Bahrul Hayat, Mengelola Kemajemukan Umat Beragama, (Jakarta: PT. Saadah Pustaka

Mandiri, 2013), h. 204. 141Sugeng Pujileksono, Pengantar Antropologi; Memahami Realitas Sosial Budaya,

(Malang: Instrans Publishing, 2015), h. 245. 142Edi Sedyawati, Kebudayaan di Nusantara; dari Keris, Tor-Tor sampai Industri

Budaya,(Depok: Komunitas Bambu, 2014), h. 15.

Page 105: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

95

India –negara demokratis terbesar di dunia- muncul gerakan Hindutva yang

memarginalisir warga India yang beragama Islam dan Kristen, di Syiria, Irak

dan sebagian besar negara-negara Muslim Timur Tengah dalam sepuluh tahun

terakhir mencoba memobilisir kaum mayoritas terhadap minoritas baik yang

Muslim maupun non-Muslim. Pendek kata, dunia kita kini secara umum

mengalami sebuah krisis keberagaman/pluralitas yang serius dan umum.143

Kita tentu tidak ingin kejadian serupa menerpa Indonesia. Polarisasi

yang terjadi akibat kontestasi pemilihan presiden 2019 cukuplah menjadi

pengalaman pahit dan dikubur sedalam-dalamnya. Saatnya kita

mengedepankan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bangsa seperti yang

tercantum dalam sila ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia.

Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi merupakan sesuatu yang

positif, tetapi seharusnya disikapi dengan bijaksana dengan mengambil yang

baik serta mengabaikan yang buruk. Perubahan sosial tidak hanya menatap

masa depan dengan baik akan tetapi juga harus melakukan refleksi ke masa

lalu karena pada masa lalu terdapat sejumlah kebijakan produk dari

pengalaman baik kegagalan dan keberhasilan. Semuanya harus diperiksa

faktor-faktor yang melatar belakanginya sehingga apabila menghadapi

kegagalan maka tidak akan terperosok dua kali ke dalam kesalahan yang

sama. Jangan serta merta mengadopsi apa yang masuk tanpa menyaring

terlebih dahulu sehingga mengakibatkan kehampaan kehidupan dan hilangnya

jadi diri bangsa.

143Sambutan Robert W. Hefner didalam buku Ahmad Najib Burhani, Menemani

Minoritas; Paradigma Islam tentang Keberpihakan dan Pembelaan kepada yang Lemah, (Jakarta:

PT. Gramedia Pustaka Utama, 2019), h. xix.

Page 106: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

96

Jati diri bangsa tertanam kuat dalam tradisi yang berkembang di

berbagai suku Indonesia. Disana terdapat nilai-nilai luhur yang bisa dijadikan

pedoman baik sebagai norma maupun dalam kehidupan sosial. Nilai-nilai

luhur yang sudah diwariskan secara turun temurun ini bisa diaplikasikan juga

terhadap kehidupan sekarang selama itu baik bagi kita. Suku-suku pedalaman

terkenal dengan keramahannya terhadap lingkungan karena dari lingkungan

pula mereka bisa bertahan hidup.

Ekploitasi alam yang semakin gencar mengakibatkan lahan pertanian

dan hutan kita semakin menyusut. Bumi semakin menjerit dan mengeluarkan

protesnya dengan berbagai macam bencana yang tak kunjung berhenti. Itu

merupakan akibat langsung dari ketidak-ramahan kita terhadap alam sekitar.

Satu sisi tekhnologi membawa kita pada kemajuan luar biasa pada bidang

industri dan korporasi. Tapi disisi lain, lingkungan sekitar kita menjadi korban

dari ‘magic’ tekhnologi ini.

Dengan kembali pada nilai dasar kita, nilai luhur bangsa Indonesia,

nilai yang sudah lama kita abaikan, kita berharap masa depan Indonesia akan

lebih baik. Nilai luhur itu bukan datang dari ruang hampa melainkan melalui

perenungan yang mendalam nenek moyang kita. Nilai-nilai itu berupa gotong-

royong antar sesama yang sudah lama dipraktekkan oleh pendahulu kita. Jiwa,

atau semangat gotong-royong (lawan dari sikap individualis) timbul akibat

adanya pengertian akan kebutuhan sesama warga masyarakat. Dalam

masyarakat yang memiliki jiwa gotong-royong, kebutuhan umum dinilai lebih

Page 107: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

97

tinggi daripada kebutuhan pribadi, dan kerja bakti merupakan hal yang

terpuji.144

Nilai luhur selanjutnya adalah hubungan solidaritas yang tinggi antar

sesama. Jarang sekali kita dapatkan nenek moyang kita hanya hidup sendiri

dengan lingkungannya karena ikatan batin antar sesama yang sangat kuat

sehingga ketika ada suatu kebutuhan atau keperluan, mereka akan saling bahu

membahu membantu antara yang satu dengan yang lain. Hubungan

kekeluargaan dan ketetanggaan sangat kental yang mereka praktekka tidak

kita temukan pada masyarakat perkotaan terutama daerah metropolitan.

Dalam memutuskan suatu masalah, sistim musyawarah selalu

dikedepankan. Musyawarah adalah unsur sosial yang dalam banyak

masyarakat pedesaan. Keputusan diambil dalam suatu rapat tidak berdasarkan

pendapat mayoritas (voting), tetapi merupakan keputusan yang dicapai secara

bulat. Dengan demikian, baik mayoritas maupun minoritas masing-masing

mengurangi pendiriannya agar dapat dicapai kesepakatan bersama.145

Hubungan manusia dengan lingkungan juga tak luput dari sorotan,

mereka hidup di alam dan bekerja sama dengan alam sehingga alam

lingkungan senantiasa mereka jaga dan minim ekspolitasi lingkungan.

Hubungan yang seperti itu membuat alam terus dalam keadaan yang natural

dan hijau, mata pencaharian mereka tidak pernah berkurang serta alam merasa

tenang.

Dengan kemajuan zaman dan berbagai domain kehidupan, respon yang

paling bijaksana adalah dengan tidak meninggalkan apa-apa yang menjadi

144Koenjtaraningrat, Pengantar Antropologi II; Pokok-Pokok Etnografi, (Jakarta: PT.

Rineka Cipta, 2005), h, 155. 145Koenjtaraningrat, Pengantar Antropologi II; Pokok-Pokok Etnografi, h, 157.

Page 108: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

98

nilai luhur bangsa kita yang dipraktekkan semenjak nenek moyang terdahulu.

Tanpa mengabaikan kemajuan tekhnologi, kolaborasi antara keduanya akan

menjadi sesuatu yang menakjubkan dimasa mendatang karena menjaga tradisi

Nusantara adalah merawat budaya bangsa.

Page 109: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

99

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam setiap masa transisi kehidupannya, Kaharingan -kepercayaan

lokal suku Dayak- dan Islam Wetu Telu yang berkembang di daerah Lombok

melaksanakan ritual. Dalam periode kelahiran, masyarakat Kaharingan

melaksanakan beberapa upacara seperti nyaki tihi bagi perempuan yang baru

hamil pertama kali, mampandoi untuk memandikan bayi serta nahunan untuk

prosesi pemberian nama bayi serta rasa terima kasih keluarga bagi dukun

beranak yang telah membantu. Sementara dalam IWT, terdapat beberapa

rangkaian upacara seperti ngurisang yang merupakan upacara cukur rambut

bayi yang baru lahir, bedak keramas sebagai sarana penyucian bayi dari dosa-

dosa serta buang au yang diikuti pemberian nama bagi bayi lahir tersebut.

Memasuki periode kedua, orang Dayak mulai memakai tato sebagai

penegasan identitas diri dalam sukunya. Beda motif tato, beda pula makna

yang terkandug di dalamnya. Bagi perempuan, tato menandakan bahwa dia

sudah masuk pada fase kedua kehidupan, yakni masa remaja ke dewasa

dengan dimulainya menstruasi pertama. Bagi laki-laki, semakin banyak tato

yang tersemat di badannya, semakin memperlihatkan pula bahwa dia seorang

yang perkasa. Dalam tradisi IWT, laki-laki yang sudah memasuki fase kedua

kehidupan ditandai dengan dilaksanakannya upacara ngitanang. Selama belum

berkhitan, maka dia akan disebut boda, karena pada dasarnya ngitanang ini

sebagai pertanda bahwa dia seorang Muslim.

Page 110: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

100

Umat Kaharingan pada Suku bangsa Dayak menganggap perkawinan

sebagai yang bernilai religius karena berkaitan dengan memperoleh keturunan.

Oleh karenanya, terdapat beberapa tahapan dalam tradisi perkawinannya.

Untuk melamar sang gadis, pihak pria biasanya mengutus seorang untuk

menyampaikan maksudnya pada pihak wanita (mamanggar janji). Ketika

jawaban pasti sudah didapatkan, langkah selanjutnya merencanakan

bagaimana jalannya pernikahan akan dilangsungkan. Berbagai upacara yang

tercantum dalam hukum adat dilaksanakan secara bergantian hingga tiba pada

akhirnya acara ditutup dengan do’a bagi kesehatan, kekayaan materi serta

untuk menguatkan iman kepada para dewa ataupun kepada roh-roh nenek

moyang.

Dalam tradisi IWT, merariq patut menjadi sorotan karena upacara ini

terbilang unik. Sebagai lembaga adat yang cenderung dekat dengan tradisi

Islam, di sana terdapat aturan melarikan calon mempelai perempuan terlebih

dahulu apabila ingin meminangnya. Hal ini akan menandakan keprestisiusan

gadis dan keperjakan si pria meskipun dalam pelaksanaannya tetap memakai

hukum adat yang ketat. Sorong-serah dan nyongkol akan menjadi tahapan

berikutnya jika kedua pihak sudah sepakat menuju jenjang pernikahan. Jadilah

kedua insan ini menjadi sepasang suami istri yang sudah diakui baik oleh

lembaga adat maupun oleh pemerintah.

Orang Dayak yang sudah meninggal harus melalui beberapa upacara

adat terlebih dahulu agar arwahnya tidak gentayangan di lingkungan sekitar

dan justru akan mengganggu penghuninya. Salah satu upacara yang wajib

dilaksanakan adalah Tiwah. Upacara Tiwah merupakan ritual yang ditujukan

Page 111: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

101

untuk meluruskan perjalanan roh atau arwah orang yang sudah meninggal

menuju Lewu Tatau (surga) sehingga bisa hidup tentram dan damai dialam

sana. Selain itu juga dimaksudkan sebagai prosesi suku Dayak untuk melepas

rutas atau kesialan bagi keluarga yang ditinggalkan dari pengaruh-pengaruh

buruk yang menimpa.

Di dalam tradisi kematian IWT, kita bisa temukan ritual hari ketiga

(nelung), hari ketujuh (mituq), hari kesembilan (nyiwaq), hari keempat puluh

(matang puluh), hari keseratus (nyatus) dan hari ke seribu (nyiu) sebagai

penutup dari gawe pati. Rangkaian ritual tersebut bisa kita temukan juga

dalam tradisi Islam ASWAJA yang berkembang di Indonesia. Yang

membedakan di antara keduanya mungkin hanya perlakuan bagi orang yang

meninggal di luar daerah hukum adat (batas kota) karena harus diadakan

upacara selamatan mengasuh terlebih dahulu untuk mencegah malapetaka dan

penyakit masuk kedalam desa. Hal ini tak telepas dari kepercayaan setempat

yang menganggap mereka yang meninggal diluar wilayah permukiman akan

membawa penyakit atau malapetaka.

Tapi di atas semua itu, penulis ingin mengenalkan tradisi Indonesia

yang di dalamnya mengandung banyak nilai-nilai luhur yang bisa

diaplikasikan dan masih relevan terhadap kehidupan sekarang. Kita bisa

belajar bagaimana bergotong-royong dalam menjalankan suatu pekerjaan,

bermusyawarah dalam pengambilan keputusan, serta cara merawat alam dan

lingkungan. Bukan tidak mungkin cita-cita undang-undang dasar kita untuk

mewujudkan suatu negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur

akan tercapai di kemudian hari.

Page 112: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

102

Tujuan dari pada ritus peralihan ini adalah sebagai sarana pembebasan

diri dari kesalahan atau penebusan hutang dari taraf hidup yang ditinggalkan,

usaha memperkuat diri sambil memohon do’a restu, kekuatan batin, bekal

rohani dan keberanian untuk berhasil baik dalam taraf hidupnya yang baru

atau pada jenjang masyarakat baru yang akan dinaikinya dan akhirnya

perayaan secara gembira bersama teman-teman baru inkorporasi dan lulusnya

dalam komunitas hidup baru. Dengan demikian bahaya yang mengancam

manusia pada saat peralihan ditransformasikan menjadi daya yang

membantunya dan dijadikan jimat keselamatan.

Berdasarkan dari hasil penelitian diatas, ternyata upacara siklus hidup

(rite of passage) di dalam tradisi Kaharingan lebih rumit dan kompleks dari

pada yang di praktekkan di dalam tradisi Islam Wetu Telu. Hal itu terlihat

mulai dari fase kehamilan yang sudah dihadapkan dengan beberapa kewajiban

dan ritual yang harus dilakukan oleh setiap ibu hamil. Begitupun pada periode

kehidupan dan kematian yang tidak hanya lebih banyak dari segi bilangan

ritusnya, melainkan tingkat kerumitan dari masing-masing upacara juga

mempunyai intensitas yang berbeda-beda.

B. Saran

1. Pemerintah hendaknya memberi jaminan akses pendidikan terhadap

seluruh generasi muda penganut agama lokal terutama yang tinggal di

daerah terpencil supaya bisa mengikuti perkembangan zaman.

2. Pemerintah dan swasta membuka seluas-luasnya lowongan kerja bagi

segenap penganut agama lokal tanpa memandang asal-usulnya.

Page 113: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

103

3. Pihak kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menambah koleksi buku-

buku yang berkaitan dengan agama lokal karena terbatasnya literatur yang

menyangkut tema tersebut.

4. Ada peneliti lain yang dapat melanjutkan penelitian ini agar mendapatkan

temuan-temuan baru seputar Kaharingan dan Islam Wetu Telu.

Page 114: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

104

DAFTAR PUSTAKA

SUMBER BUKU/ARTIKEL

Ali, Abdullah. Agama dalam Ilmu Perbandingan (Bandung: Nuansa Aulia, 2007).

Arqi, Muh. Amin. “Kematian Menurut Islam Wetu Telu Ditinjau dari Perspektif

Psikologi Islam”, Jurnal Psikologi Islam, Vol.5 No.1, (2018).

Athhar, Zaki Yamani. “Kearifan Lokal dalam Ajaran Islam Wetu Telu di

Lombok”, Ulumuna Vol. IX Edisi 15 no.1, (Januari-Juni 2005).

Aziz, Ahmad Amir. “Islam Sasak: Pola Keberagamaan Komunitas Islam Lokal di

Lombok,” Jurnal Millah vol. VIII, no. 2, (Februari 2009).

Badudu, J.S. Kamus Kata-Kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia (Jakarta:

PT. Kompas Media Nusantara, 2003).

Bahri, Media Zainul. Wajah Studi Agama-Agama dari Era Teosofi Indonesia

(1901-1940) hingga Masa Reformasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2015).

Bahrie, Sudirman. Ratmaja, Lalu. Prosesi Perkawinan Masyarakat Gumi Sasak.

(NTB: KSU Primaguna, 2012).

Barret, David dan Johnson, Todd. “Annual Statistical Table on Global Mission:

2003” dalam International Bulletin of Missionary Research, vol. 27,

No. 1, (Th. 2003).

Blumenkrantz, David G., Goldstein, Marc B. “Rites of Passage as a Framework

for Community Interventions with Youth”. Global Journal for

Community Psychology Practice, Vol. 1, Issue 2 (September 2010)

Budiwanti, Erni. Islam Wetu Telu vs Waktu Lima (Yogyakarta: LkiS, 2000).

Buhol, dkk. Panaturan sebagai Pedoman Hidup Umat Hindu Kaharingan.

(Palangkaraya: STAHN-TP, 2016).

DEPDIKBUD. Upacara Tradisional Sorong-Serah dan Nyondol dalam Adat

Perkawinan Sasak di Lombok. (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan

Pembinaan Nilai-Nilai Budaya, 1991).

-------. Sejarah Kebudayaan Kalimantan. (Jakarta: CV. Dwi Jaya Karya, 1994).

Page 115: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

105

-------. Suku Terasing Sasak di Bayan Daerah Propinsi Nusa Tenggara Barat.

(Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1989).

Dey, Nina Putri Hayam. Dkk. “Aspek Budaya, Sosial dan Ekonomi dari Tiwah

(Upacara Masyarakat Dayak Tomun Lamandau), Jurnal Studi

Pembangunan Interdisiplin, vol. XXI, No. 2 (2012).

Durkheim, Emile. The Elementary Forms of The Religious Life; Sejarah Bentuk-

Bentuk Agama yang Paling Dasar, terj. IR Muzir dan M. Syukri

(Yogyakarta: IRCiSoD, 2011).

El-Kasyafaniy, Muhammad Izzuddin. Dkk. Wajah Islam Sasak dalam Lebaran

Topat dan Maulid. (Mataram: Insan Madani Institute, 2014).

Engineer, Asghar Ali. Liberalisasi Teologi Islam; Membangun Teologi Damai

dalam Islam terj. Rizqon Khamami (Yogyakarta: Alenia, 2004).

Hadikusuma, Hilman. Antropologi Agama (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,

1993).

Hakiki, Kiki Muhammad. “Politik Identitas Agama Lokal (Studi Kasus Aliran

Kebatinan)”. Analisis, Vol. XI, No. 1, (Juni 2011).

Hayat, Bahrul. Mengelola Kemajemukan Umat Beragama. (Jakarta: PT. Saadah

Pustaka Mandiri, 2013).

Hidayanti, Eka Trisma. “Eksistensi Ritus Gawe Pati pada Masyarakat Wetu Telu

di Dusun Bayan Beleq, Desa Bayan, Kecamatan Bayan, Kabupaten

Lombok Utara”, Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya UNUD Vol.

22.1, (Februari 2018).

Imron, M. Ali. Sejarah Terlengkap Agama-Agama di Dunia dari Masa Klasik

hingga Modern (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015).

Jandra, M. Hasil Penelitin Organisasi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha

Esa Daerah Istimewa Yogyakarta II (Yogyakarta: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan, 1990).

Kata pengantar M. Quraish Shihab dalam buku Komarudin Hidayat, Psikologi

Kematian, Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme, (Jakarta:

Penerbit Noura Books, 2011).

Kementerian Agama RI, Dinamika Agama Lokal di Indonesia (Jakarta: Puslitbang

Kehidupan Keagamaan, 2014).

Page 116: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

106

Kertodipoero, Sarwoto. Kaharingan Religi dan Penghidupan di Penghulu

Kalimantan. (Muara Teweh: Sumur Bandung, 1963).

Koenjtaraningrat, Pengantar Antropologi II; Pokok-Pokok Etnografi. (Jakarta:

PT. Rineka Cipta, 2005).

Koentjaraningrat. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: Kompas

Gramedia, Cet.XXI, 2015)

-------, Sejarah Teori Antropologi I (Jakarta: UI Press, 1987)

Kumbara, AA Anom. Dkk. Roah Adat Ruwatan Cara Sasak di Loang Baloq Kota

Mataram. (Bali: Balai Pelestarian Nilai Budaya Badung, 2012).

Kunto, Suharsini Ari. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta:

Rineka Cipta, 2002).

L Dyson dan Asharini M, Tiwah Upacara Kematian pada Masyarakat Dayak

Ngaju di Kalimantan Tengah. (Jakarta: Depdikbud, 1981).

Lubis, Ridwan. Agama dalam Konstitusi RI; Menghidupkan Kembali Nilai-Nilai

Profetik di Tengah Masyarakat Heterogen, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu,

2018).

Prolog Imam Tholkhah (Kepala Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan)

dalam buku Achmad Rosidi, Ed, Perkembangan Paham Keagamaan

Lokal di Indonesia. (Jakarta: KEMENAG, 2011).

Pujileksono, Sugeng. Pengantar Antropologi; Memahami Realitas Sosial Budaya,

(Malang: Instrans Publishing, 2015).

Rachmadani, Arnis. “Local Wisdom: Tradisi Perkawinan Islam Wetu Telu

sebagai Perekat Hubungan Masyarakat Bayan.” Haromoni X, No.3

(Juli-September 2011).

------- “Local Wisdom: Tradisi Perkawinan Islam Wetu Telu sebagai Perekat

Kerukunan Masyarakat Bayan,” Harmoni, Jurnal Multikultural &

Multireligius, vol. X, no. 3, (Juli-September 2011).

------- “Perkawinan Islam Wetu Telu Masyarakat Bayan Lombok Utara,” Analisa

vol. XVIII no. 1, (Januari-Juni 2011).

Rahmawati, Neni Puji Nur. Nilai-Nilai Budaya dalam Upacara adat Manyanggar

di Kota Palangkaraya, (Pontianak: STAIN Pontianak Press, 2013).

Page 117: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

107

Rahmawati, Neni Puji Nur. WP, Moch Andre. Mengenal Kaharingan. (Pontianak:

Top Indonesia, 2015).

Rasmianto. “Interrelasi Kiai, Penghulu dan Pemangku Adat dalam Tradisi Islam

Wetu Telu di Lombok,” Jurnal el-Harakah, vol.XI, no. 2, (Tahun

2009).

Razak, Yusron. Nurtawaban, Erwan. Antropologi Agama (Ciputat: UIN Jakarta

Press, 2007)

Salam, Syamsir. Kaharingan Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan

Tengah (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009).

Sambutan Robert W. Hefner di dalam buku Ahmad Najib Burhani, Menemani

Minoritas; Paradigma Islam tentang Keberpihakan dan Pembelaan

kepada yang Lemah. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2019).

Sedyawati, Edi. Kebudayaan di Nusantara; dari Keris, Tor-Tor sampai Industri

Budaya.(Depok: Komunitas Bambu, 2014).

Sirait, Arbi Mulya, dkk, “Posisi dan Reposisi Kepercayaan Lokal di Indonesia”

Jurnal Kuriositas Edisi VIII Vol. 1, Juni 2015.

Sriyaningsih dan M. Rosidi. Wujud, Arti dan Fungsi Puncak-Puncak Kebudayaan

Lama dan Asli Bagi Masyarakat Pendukungnya di Daerah NTB.

(Jakarta: Depdikbud, 1996).

Sudarto. Kondisi Pemenuhan Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan

Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. (Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara,

2017).

Sugiyarto, Wahid. “Eksistensi Agama Hindu Kaharingan di Kota Palangkaraya

Kalimantan Tengah” Harmoni vol. 15 No. 3, September-Desember

2016.

Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan

R&D edisi iv cet. xix (Bandung: Alfabeta, 2014).

Suhanah, Ed. Dinamika Agama Lokal di Indonesia. (Jakarta: Puslitbang

Kehidupan Keagamaan KEMENAG, 2014).

Suhupawati. “Upacara Adat Kelahiran sebagai Nilai Sosial Budaya pada

Masyarakat Suku Sasak Desa Pengadangan”, Fajar Historia, Vol. 1

No. 1, (Juni 2017).

Page 118: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

108

Suprabowo, Edy. “Praktik Budaya dalam Kehamilan, Persalinan dan Nifas pada

Suku Dayak Sanggau”, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, vol. 1,

No. 3, (Desember 2006).

Suprayogo, Imam. Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Bandung: PT

Remaja Rosdakarya, 2001)

Tim Penulis Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Adat dan Upacara

Perkawinan Daerah Kalimantan Timur, (Jakarta: PN Balai Pustaka,

tt).

Wilson. “Makna Upacara Nyaki Tihi Adat Dayak Ngaju di Desa Samba Danum

Katingan, Kalimantan Tengah”, Kontekstualita, vol. 26, No. 2,

(Desember 2009).

Yasin, M. Nur. Hukum Perkawinan Islam Sasak. (Malang: UIN Malang Press,

2008)

Yusfira, Fitria. Dkk. “Meneropong Strategi Kebudayaan melalui Kesadaran

Historis ‘Pantang Melupakan Leluhur’ Islam Wetu Telu”, Jurnal

Filsafat, vol. 26, no. 2, (Agustus 2016).

Zed, Mustika. Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

2004).

Zuhdi, Muhammad Harfin. “Islam Wetu Telu: Dialektika Hukum Islam dengan

Tradisi Lokal”, Istinbath, Jurnal Hukum Islam vol. 13, No. 2,

(Desember 2014).

------- “Parokialitas Adat Wetu Telu di Bayan: Wajah Akulturasi Agama Lokal di

Lombok.” Istinbath 13, no.1 (Desember 2014).

-------“Wetu Telu in Bayan Lombok.” Kawalu, Journal of Local Culture 3, no.2

(July-December 2016).

------- Parokialitas Adat Islam Wetu Telu dalam Prosedur Perkawinan Ditinjau

dari Perspektif Hukum Islam di Desa Bayan Beleq Kecamatan Bayan

Lombok Barat Nusa Tenggara Barat, Tesis Pasca Sarjana UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2004.

SUMBER INTERNET

Ariefana, Pebriansyah. “Engkus Ruswana: Jumlah Penghayat Kepercayaan

Diprediksi Bertambah”, SUARA, Senin 13 Oktober 2017.

Page 119: KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM WETU TELUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48336/1/NOR KHOLIS SWANDI-FUF.pdfSIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL: STUDI KOMPARASI

109

Anonim. “Tato Dayak, Tato Asli Indonesia yang dikenal Hingga Mancanegara”,

1001 Indonesia. Diakses dari https://1001indonesia.net/tato-suku-

dayak/, pada 02 Juli 2019.

Anonim, Upacara Daur Hidup Masyarakat Jawa, diakses dari

https://www.kratonjogja.id/hajad-dalem/10/upacara-daur-hidup-

masyarakat-jawa, pada 09 November 2019.

Wardani, Aris, “Tutang, Seni Merajah Tubuh Suku Dayak yang Mendunia”,

Okezone, 13 April 2019. Diakses dari

https://lifestyle.okezone.com/read/2019/04/12/612/2042820/tutang-

seni-merajah-tubuh-suku-dayak-yang-mendunia, pada 23 Juli 2019.

Diakses dari https://rid755.wordpress.com/2012/07/30/pelaksanaan-upacara-

perkawinan-agama-hindu-kaharingan/ pada tanggal 04 Mei 2019 pukul

16.04 WIB.

KBBI Online, “Agama,” https://kbbi.web.id/agama, diakses pada 13 November

2018.

Hatmoko, Widi. “ Mengenal Tato Suku Mentawai dan Dayak Kalimantan”.

Merah Putih, 25 Maret 2017. Diakses dari

https://merahputih.com/post/read/mengenal-tato-suku-mentawai-dan-

dayak-kalimantan, pada 02 Juli 2019.