Jurnal tekno fisika

Embed Size (px)

DESCRIPTION

jurnal hasil skripsi

Citation preview

  • Perancangan Kolimator Di Beam Port Tembus

    Reaktor Kartini Untuk Boron Neutron Capture

    Therapy

    Muhammad Ilma Muslih Arrozaqi1, Andang Widiharto2, Yohannes Sardjono3

    1,2 Jurusan Teknik Fisika FT UGM

    Jln. Grafika 2 Yogyakarta 55281 INDONESIA [email protected]

    [email protected]

    3 Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan, Badan Tenaga Nuklir Nasional BATAN

    Jl. Babarsari Yogyakarta INDONESIA [email protected]

    Intisari Telah dilakukan penelitian tentang desain kolimator yang menghasilkan neutron epitermal untuk keperluan uji in vivo Boron

    Neutron Capture Therapy (BNCT) di Reaktor Riset Kartini dengan menggunakan perangkat lunak Monte Carlo N-Particle (MCNP).

    Reaktor dimodelkan sebagai sumber neutron dan bekerja pada daya 100 kW. Simulasi menunjukkan bahwa desain kolimator yang

    optimal adalah kolimator yang tersusun atas dinding kolimator berbahan Nikel (95 %) setebal 1,5 cm, Moderator Al 1350 (99,5%)

    setebal 15 cm, Perisai gamma Pb setebal 1 cm dan penambahan Boral setebal 1,5 cm. ujung kolimator berupa aperture dengan diameter

    2 cm sesuai dengan kebutuhan uji in vivo. Fluks maksimum yang diperoleh sebesar 5,03 x 108 n.cm-2.s-1. Sedangkan kualitas keluaran

    radiasi terdiri dari komponen neutron cepat sebesar 2,17 x 10-13 Gy.cm2.n-1, komponen gamma sebesar 1,16 x10-13 Gy.cm2.n-1, rasio

    antara neutron termal dan neutron epitermal sebesar 1,20 x 10-1 dan direksionalitas maksimum sebesar 0,835. Tiga diantara parameter

    tersebut belum memenuhi kriteria dari IAEA yaitu fluks neutron yang kurang dari 1 x 109 n.cm-2.s-1, komponen neutron cepat yang

    lebih dari 2 x10-13 Gy.cm2.n-1 dan rasio antara neutron termal dan neutron epitermal lebih dari 0,05. Meski begitu, fluks neutron

    epitermal ini masih dapat digunakan karena lebih dari 5 x 108 n.cm-2.s-1 dan komponen neutron cepat masih cukup dekat dengan

    kriteria sehingga masih layak untuk uji in vivo BNCT.

    Kata kunci BNCT, MCNP, kolimator, beam port tembus, kriteria, IAEA, in vivo, fluks neutron epitermal

    Abstract Studies were carried out to design a collimator which results in epithermal neutron beam for in vivo experiment of Boron Neutron Capture Therapy (BNCT) at the Kartini Research Reactor by means of Monte Carlo N-Particle (MCNP) codes. Reactor within

    100 kW of thermal power was used as the neutron source. All materials used were varied in size, according to the value of mean free

    path for each material. MCNP simulations indicated that by using 5 cm thick of Ni (95%) as collimator wall, 15 cm thick of Al as

    moderator, 1 cm thick of Pb as -ray shielding, 1.5 cm thick of Boral as additional material, with 2 cm aperture diametr, epithermal neutron beam with maximum flux of 5.03 x 108n.cm-2.s-1 could be produced. The beam has minimum fast neutron and -ray components of, respectively, 2.17x10-13Gy.cm2.n-1 and 1.16 x 10-13 Gy.cm2.n-1, minimum thermal neutron per epithermal neutron ratio

    of 0.12, and maximum directionality of 0.835 . It did not fully pass the IAEAs criteria, since the epithermal neutron flux was below the recommended value, 1.0 x 109 n.cm-2.s-1. Nonetheless, it was still usable with epithermal neutron flux exceeding 5.0 x 108 n.cm-2.s-1and

    fast neutron flux close to 2 x10-13Gy.cm2.n-1. it is still feasible for BNCTin vivo experiment.

    Keywords design, collimator, epithermal neutron beam, BNCT, MCNP, criteria.

    I. PENDAHULUAN

    Dokumen ini adalah template. Sebuah salinan elektronik

    yang dapat di-download dari situs jurnal Teknofisika. Untuk

    pertanyaan di atas kertas panduan, silakan hubungi panitia

    publikasi konferensi seperti yang ditunjukkan pada situs web. I

    Berdasarkan data dari World Helth Organization (WHO)

    yang dipublikasikan dalam buku World Health Statistic 2012 ,

    ada sekitar 36 juta kasus kematian (63%) karena penyakit non

    wabah. Sementara kanker menempati urutan kedua penyebab

    kematian setelah penyakit jantung, yaitu sekitar 21% dari total

    penyakit tak menular, dengan peningkatan kematian mulai dari

    7,6 juta hingga 13 juta jiwa tiap tahunya. Lebih dari dua pertiga

    dari semua kasus kematian yang disebabkan oleh kanker terjadi

    di negara dengan pendapatan rendah dan menengah,

    diantaranya kanker paru-paru, payudara, kolorektal dan kanker

    hati. Mayoritas dari kasus tersebut berakhir dengan kematian.

    Di Indonesia, ada kurang lebih 165 orang mati untuk setiap

    100.000 populasi karena kanker [1].

    Kanker adalah penyakit yang disebabkan oleh sel

    normal yang mengalami perubahan sifat sehingga tumbuh

    secara tak terkendali. Pertumbuhan yang tak terkendali tersebut

    menghasilkan sebuah jaringan yang disebut tumor. Jika tidak

    segera dilakukan pengobatan dengan baik, tumor tersebut akan

    menyebabkan beberapa gangguan antara lain: menyebar ke

  • jaringan terdekat, menyebabkan tekanan pada struktur tubuh

    lainya dan menyebar ke bagian lain tubuh melalui pembuluh

    limfa atau aliran darah. Semua gangguan diatas dapat

    memberikan dampak yang serius pada tubuh manusia. Dalam

    banyak kasus, kanker yang tidak ditangani dengan baik akan

    menyebabkan kematian [2].

    Pada negara berkembang, kesadaran untuk mengobati

    kanker tidak setinggi pada negara maju. Aspek ini disebabkan

    oleh beberapa faktor. Pertama, biaya pengobatan kanker belum

    cukup terjangkau oleh sebagian besar penyakit kanker, bahkan

    dalam kasus tertentu membutuhkan perawatan intensif dengan

    melibatkan peralatan medis akurasi tinggi yang biayanya mahal

    seperti kanker otak. Kedua, metode yang telah ada hanya

    memberikan pengobatan secara paliative dan belum

    menjangkau ke arah curative untuk kasus kanker tingkat lanjut.

    Tujuan dari pengobatan paliative ini adalah mengurangi rasa

    sakit atau memperpanjang harapan hidup pasien, sehingga ini

    tidak secara total mengobati pasien. Pada keadaan ini, mereka

    lebih memilih untuk meninggalkan masa pengobatan dan

    beralih ke pengobatan alternatif. Ketiga, beberapa metode

    pengobatan memiliki efek samping yang beresiko meskipun

    efek ini tidak terjadi secara langsung dan bersifat deterministik.

    Biasanya dalam melakukan penanganan kanker tidak hanya

    melibatkan satu metode pengobatan untuk menekan efek

    samping tersebut sekaligus meningkatkan efektifitas terapi agar

    diperoleh hasil yang maksimal. Pada dasarnya ada empat

    metode standar terapi kanker. Metode tersebut diantaranya

    adalah kemoterapi, radioterapi dan immunoterapi. Masing-

    masing metode itu mempunyai batasan dan kelemahan

    sehingga pada sebagian besar terapi kanker menggunakan

    kombinasi terapi diatas.

    Terapi yang umum digunakan dalam pengobatan kanker

    adalah radioterapi. Terapi ini memanfaatkan radiasi energi

    tinggi seperti sinar-x, sinar gama atau elektron. Efek dari

    radiasi tersebut dapat membunuh sel kanker melalui

    mekanisme ionisasi DNA sel pada daerah lokal yang terpapar

    radiasi. Kelemahan dari terapi ini adalah ikut terpaparnya

    jaringan sehat yang segaris atau sejajar dengan pemukaan sel

    kanker, terutama yang lebih dekat dengan sumber radiasi.

    Terlebih lagi ada attenuasi untuk bagian tubuh yang lebih

    dalam sehingga ada variasi distribusi dosis untuk tiap

    kedalaman yang berbeda. Meskipun berbagai macam teknik

    penyinaran telah dikembangkan untuk memperoleh hasil yang

    optimal seperti 3D Conformal Radiotherapy, Stereotactic

    Radiotherapy, dan High Dose Rate Brachytherapy, pada

    beberapa kasus metode ini masih meninggalkan efek jangka

    panjang pada jaringan sehat [3,4].

    Salah satu bagian dari radioterapi yang potensial untuk

    dikembangkan adalah Boron Neutron Capture Therapy

    (BNCT). Teknik ini memanfaatkan nuklida non-radioaktif 10B

    untuk menangkap neutron melalui reaksi ini 10B(n,)7Li. Hasil dari reaksi ini mempunyai karakteristik Linier Energy Transfer

    (LET) yang tinggi (untuk partikel mendekati 150 keVm-1 dan untuk 7Li mendekati 175 keVm-1). Jangkauan dari

    partikel ini berada pada jarak 4,5 m hingga 10 m , sehingga

    energi terdeposisi terbatas dalam sel tunggal (diameter sel 18

    2 m ) [3].

    Gbr. 1 Skema hasil peluruhan dari Boron Neutron Capture

    Therapy [3].

    Boron-11 mempunyai waktu paruh yang sangat singkat yaitu

    sekitar 10-12 s sedangkan Lithium-7 sekitar 10-5 s. Pada

    senyawa campuran boron, disertakan juga scavanger yang

    sangat reaktif terhadap lithium-7 sehingga lithium akan terikat

    dan keluar tubuh melalui mekanisme metabolisme. Hal ini

    penting karena dosis therapiutic untuk lithium mendekati dosis

    toksik. Sedangkan partikel alpha akan berubah menjadi helium

    setelah mendapatkan elektron melalui reaksi ionisasi dan

    eksitasi. Karena helium merupakan gas mulia yang bersifat

    inert, helium akan keluar dari tubuh tanpa bereaksi secara

    kimiawi.

    Ada dua jenis neutron yang dapat digunakan sebagai

    sumber neutron dalam BNCT yaitu neutron termal dan neutron

    epitermal. Neutron termal biasanya digunakan untuk sel kanker

    yang terletak di permukaan kulit (Superficial). Untuk area yang

    lebih dalam (8-10 cm) menggunakan neutron epitermal, karena

    akan termoderasi oleh jaringan tubuh (terutama yang memiliki

    kandungan air yang banyak) sehingga akan mencapai sel

    kanker dalam bentuk neutron termal (penjelasan lebih lengkap,

    akan dipaparkan bagian dasar teori) [3].

    Untuk menunjang fasilitas BNCT, diperlukan sumber

    Neutron dengan kriteria tertentu. Sumber neutron pada fasilitas

    BNCT bisa diperoleh dari Reaktor Nuklir atau Compact

    neutron Generator. Di Indonesia sendiri telah tersedia tiga

    Reaktor Nuklir untuk keperluan riset yang dioperasikan oleh

    Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), yaitu Reaktor

    TRIGA 2000 di Bandung , TRIGA MARK-II (Reaktor Kartini)

    di Yogyakarta dan Reaktor Serba Guna - G.A. Siwabessy di

    serpong. Dari ketiga reaktor tersebut , reaktor yang bisa

    dimanfaatkan untuk fasilitas BNCT adalah Reaktor Kartini [4].

    Reaktor Kartini bekerja pada daya 100 kW dan

    mempunyai enam saluran yang langsung terhubung dengan inti

    reaktor untuk melewatkan Neutron keluar. Seperti tampak pada

    gambar dibawah ini.

  • Gbr.2 Pandangan atas dari irisan Reaktor Kartini [5].

    Untuk keperluan penelitian BNCT , Beam Port

    Tembus ( Radial Piercing Beam Port) adalah saluran yang

    sesuai untuk uji In Vivoterkait terapi kanker. Yaitu pengujian

    biologis yang menggunakan organisme uji seperti hewan

    dengan asumsi semua jaringan, sel-sel penyusun tubuh, serta

    enzim-enzim yang ada dalam tubuh hewan uji tersebut

    memiliki kesamaan dengan manusia. Saluran ini langsung

    menembus reflektor grafit dan mempunyai pangkal paling

    dekat dengan inti reaktor, sehingga dilewati oleh neutron

    dengan nilai fluks yang paling tinggi dibandingkan dengan

    saluran yang lainya. Saat ini Beam Port Tembus masih berupa

    saluran yang disumbat dengan kayu (bagian dalam) dan

    aluminium yang berisi beton (bagian luar). Agar bisa

    difungsikan untuk keperluan uji In Vivo BNCT diperlukan

    collimator yang sesuai dengan persyaratan yang telah di

    tentukan oleh International Atomic Energy Agency (IAEA).

    Sebelum dilakukan pemasangan, dibutuhkan penelitian untuk

    membuat sebuah rencana desain terlebih dahulu. Dalam

    penelitian tersebut tidak dapat dilakukan secara langsung

    melalui pengukuran tetapi melalui simulasi yang bertujuan

    untuk efisiensi biaya dan menekan resiko kecelakaan radiasi

    saat pengukuran langsung, agar diperoleh sebuah desain

    collimator yang siap pakai. Hal inilah yang melatarbelakangi

    penulis dalam perancangan kolimator di beam port tembus

    Reaktor Kartini untuk Boron Neutron Capture Therapy (BNCT)

    sehingga diharapkan mampu menjadi solusi terhadap masalah

    yang dipaparkan diatas.

    II. TINJAUAN PUSTAKA

    A. Parameter Berkas Neutron

    Dalam BNCT, diperlukan neutron termal yang cukup

    untuk bereaksi dengan senyawa boron berlabel dalam sel tumor

    pada volume target. Maka, pada volume target yang letaknya

    lebih dalam di bawah permukaan kulit, neutron yang digunakan

    adalah neutron epitermal. Sementara pada volume target yang

    letaknya di permukaan cukup menggunakan neutron termal [4].

    Gbr. 3 Kurva distribusi fluks neutron termal dan neutron

    epitermal [5].

    Neutron epitermal dapat menembus jaringan dan

    menghasilkan neutron termal maksimum pada kedalaman 2-3

    cm di bawah permukaan kulit dan turun secara eksponensial

    pada kedalaman selanjutnya. Penetrasi berkas ini bisa

    ditingkatkan dengan menaikan energi rerata neutron epitermal

    dengan ukuran berkas yang kecil. Berbeda dengan neutron

    epitermal, neutron termal justru turun secara eksponensial sejak

    dari permukaan. Oleh karena itu, neutron termal sesuai untuk

    pengobatan kanker pada permukaan kulit [6].

    Sebagian besar berkas neutron termal disertai radiasi

    lainya dan tidak secara selektif diserap oleh senyawa berlabel

    dalam sel, sehingga baik jaringan sehat maupun tumor akan

    mengalami kerusakan jaringan. Maka diharapkan adanya

    desain kolimator yang optimal sedemikian sehingga

    menghasilkan neutron epitermal yang sampai pada kedalaman

    tumor untuk waktu terapi yang rasional dan seminimal

    mungkin tidak ada radiasi lain. Ada dua prinsip sifat berkas

    radiasi, yaitu intensitas dan kualitas. Internsitas radiasi

    ditentukan oleh waktu terapi sedangkan kualitas radiasi

    berhubungan dengan jenis radiasi, energi dan intensitas relatif

    antara radiasi lainya [4,6].

    1) Intensitas Neutron Epitermal: Definisi umum

    untuk neutron epitermal dalam penelitian ini adalah neutron

    yang berada pada rentang energi 0,5 eV hingga 10 keV.

    Penelitian yang telah ada menunjukkan bahwa fluks berkas

    neutron epitermal minimum yang sesuai adalah 109neutron cm-

    2s-1. Bisa juga menggunakan berkas dengan intensitas 5 108

    neutron cm-2s-1 namun perlu waktu iradiasi yang lebih lama.

    Jika menggunakan intensitas yang lebih tinggi (1010), waktu

    penyinaran yang lebih singkat harus diimbangi dengan

    peningkatan kualitas berkas sinar. Tetapi ketika harus membuat

    pilihan, para praktisi cenderung lebih memilih kualitas sinar

    daripada intensitas selama masih dalam waktu penyinaran yang

    wajar (mungkin bisa diperpanjang hingga satu jam) [6].

  • 1) Kualitas berkas sinar:Kualitas berkas didefinisikan oleh empat parameter sebagai berikut.

    - Komponen neutron cepat. Dalam penelitian ini, rentang

    neutron cepat didefinisikan pada rentang energy diatas 10 keV.

    Dalam neutron cepat, ada berkas radiasi lain yang tidak

    diinginkan oleh karena karakteristiknya, seperti proton dengan

    LET tinggi dan radikal bebas. Pada fasilitas BNCT yang telah

    ada rentang dosis dari komponen ini adalah 2,5-13 10-13 Gy

    cm2 per neutron epitermal dan pada volume target adalah 2

    10-13 Gy cm2 per neutron epitermal [4,6].

    - Komponen sinar gamma. Karena sinar gamma tidak hanya

    menyinari volume target yang telah diinjeksikan senyawa

    bertanda, melainkan sebagian besar jaringan sehat di sekitarnya,

    maka komponen ini harus dihilangkan. Karena disamping dari

    reaktor, gamma juga akan dihasilkan melalui reaksi (n,) di dalam tubuh pasien. Pada volume target, nilai yang diijinkan

    adalah adalah 2 10-13 Gy cm2 per neutron epitermal.

    Sedangkan pada fasilitas BNCT yang telah ada, berada pada

    rentang 1-13 10-13 Gy cm2 per neutron epitermal [6].

    - Rasio antara fluks neutron termal dan epitermal. Untuk

    mengurangi kerusakan pada permukaan kulit, maka neutron

    termal harus diminimalisir. Rasio fluks neutron termal dan

    epitermal harus kurang dari 0,05 [6].

    - Rasio antara arus neutron total dan fluks neutron total.Rasio

    ini menunjukkan fraksi neutron yang bergerak kearah luar /

    depan port. Nilai yang disarankan untuk poin ini adalah lebih

    besar dari 0,7. Hal ini untuk membatasi divergensi berkas

    neutron (mengurangi iradiasi diluar target yang telah

    ditentukan) serta untuk membantu fleksibilitas pasien selama

    berada sejajar dengan sumbu port. Artinya saat pasien tidak

    memungkinkan cukup dekat dengan lubang keluaran, maka

    posisi pasien yang agak jauh tidak menyebabkan organ lain

    terirradiasi [6]. Secara umum, disajikan dalam Tabel 2.1

    Tabel 1. Parameter berkas neutron yang disarankan IAEA.

    Parameter Notasi (satuan) Rekomendasi

    IAEA

    Fluk neutron

    epitermal (/

    2 ) > 1.0 109

    Laju dosis

    neutron cepat /

    fluks neutron

    epitermal

    /(

    2/) < 2.0 1013

    Laju dosis

    gamma / fluks

    neutron

    epitermal

    /(

    2/) < 2.0 1013

    Rasio antara

    fluks termal dan

    epitermal

    / < 0.05

    Rasio antara arus

    neutron dan

    fluks neutron

    / > 0.7

    B. Kolimator untuk BNCT

    Ada dua metode dasar untuk melakukan pendekatan

    fluks netron yang sesuai pada neutron yang bersumber dari

    reaktor. Yaitu spectrum shifting dan filtering. Spectrum shifting

    menggunakan moderator untuk menurunkan energi neutron

    cepat ke rentang neutron termal atau epitermal. Sedangkan

    pada filtering menggunakan material yang menyerap neutron

    pada energi tertentu. Untuk reaktor yang mempunyai bukaan

    fasilitas irradiasi yang besar seperti kolom termal, biasanya

    menggunakan spectrum shifting atau bisa dikombinasikan

    dengan filtering. Pada reaktor yang hanya mempunyai port

    yang sempit dan panjang, teknik filtering harus digunakan [6].

    Secara umum, ada beberapa komponen kolimator

    yang dapat dioptimasi untuk memperoleh keluaran neutron

    yang sesuai. Diantanrannya: dinding kolimator, moderator,

    filter, perisai gamma, aperture [4].

    1) Dinding kolimator: Diperlukan reflektor yang sesuai

    untuk menaikan intensitas berkas. Selain itu kenaikan berkas

    juga dapat dicapai dengan membuat bentuk dinding kolimator

    seperti kerucut dengan diameter awal yang lebar dan aperture

    ujung yang sempit. Bahan dinding kolimator yang sesuai untuk

    reflektor adalah yang mempunyai tampang lintang hamburan

    dan masa atom relatif yang besar. Bahan yang

    direkomendasikan untuk komponen ini adalah Pb, Bi, PbF2 [6].

    Namun, Ni juga dapat digunakan. Berdasarkan penelitian yang

    dilakukan Marko Mucec dan salah satu jurnal yang diterbitkan

    Elsevier menunjukkan bahwa neutron epitermal akan

    meningkat setelah ketebalan dinding kolimator Ni mencapai

    6,5 cm [4,7].

    Gbr. 4 Fluks neutron epitermal untuk setiap variasi ketebalan

    dinding kolimator Ni [7].

    Untuk dinding kolimator yang letaknya dekat dengan

    ujung keluaran, diperlukan beam delimiter untuk menyerap

    neutron. Bagian ini tersusun dari B4C atau 6Li2CO3 yang

    terdispersi dalam polyethylene. Neutron epitermal yang

    menumbuk bagian ini akan mengalami termalisasi dan

    ditangkap dengan emisi sinar gamma yang minimal [6].

  • - Moderator. Moderator untuk neutron cepat yang paling baik

    adalah yang mempunyai masa atom yang rendah. Hasil aktivasi

    neutron dari bahan moderator harus memiliki umur yang

    pendek. Bahan yang sesuai untuk sifat diatas adalah Al, Al2O3,

    dan AlF3. Kombinasi Al dengan Al2O3 atau AlF3 bisa

    memoderasi neutron cepat secara efisien karena tampang

    lintang O dan F dapat mengisi celah pada daerah resonansi Al

    [6].

    - Perisai sinar gamma. Bahan yang digunakan untuk perisai

    gamma adalah bahan yang mempunyai densitas atom yang

    tinggi. Pb dan Bi adalah material yang bagus untuk mengurangi

    sinar gamma yang keluar dari reaktor dan bersifat transparan

    bagi neutron meskipun akan tetap sedikit mempengaruhi

    penurunan intensitas berkas neutron. Bismuth hampir sama

    baiknya dengan timbal, tetapi dapat melewatkan neutron

    epitermal dengan lebih baik [6].

    - Filter. Bagian ini berfungsi untuk menahan neutron cepat dan

    neutron termal, serta meloloskan neutron epitermal yang keluar

    dari reaktor. Bahan yang bisa digunakan untuk filter neutron

    termal adalah 6Li dan 10B (mempunyai tampang lintang 1/v).

    Bahan dengan tampang lintang 1/v bisa menghabiskan neutron

    dengan energi di bawah spektrum neutron epitermal. Selain itu

    dapat dikombinasikan menjadi LiF, campuran ini secara efektif

    menangkap neutron energi rendah , di bawah 10 eV dan

    mengurangi neutron dengan energi diatas 10 keV [8]. Tampang

    lintang serapan dari isotop 60Ni mempunyai interferensi

    minimum yang sangat rendah dan lebar pada rentang energi

    antara beberapa eV hingga 10 keV sehingga material ini sangat

    sesuai untuk tujuan BNCT [8,9].

    - Aperture. Aperture berfungsi untuk menentukan tampang

    lintang yang keluar dari port, sehingga umumnya diletakan

    pada ujung port. Dalam presentasi yang disajikan oleh

    Nicoletta Protti yang berjudul The efficacy of Boron Neutron

    Capture Therapy on small animal models, dia menggunakan

    aperture 3-4 cm dalam uji coba yang dilaporkan dalam In vivo efficacy test of BNCT for NRLT: BDIX rats + 10BPA-f [10]. Aperture dapat divariasikan sesuai dengan kebutuhan uji

    selama dalam ukuran yang dapat wajar sehingga

    memungkinkan untuk dideteksi hasilnya [4].

    III. DASAR TEORI

    A. Boron Neutron Capture Therapy (BNCT)

    Adalah teknik terapi yang didesain untuk meradiasi

    volume target hingga pada tingkatan sel secara selektif

    menggunakan partikel bermuatan dengan Linear Energy

    Transfer yang tinggi. Chadwick (1932) menemukan bahwa

    10B mempunyai kecendurangan yang tinggi untuk menangkap

    neutron pada energi termal (

  • = . . Sebagai tambahan, untuk fluks didefinisikan sebagai penjumlahan skalar dari intensitas yang mempunyai

    arah bervariasi. Diasumsikan bahwa neutron akan terserap atau

    terhambur saaat melewati suatu bidang dengan tebal , Intensitas sebelum tumbukan diwakili dengan () dan setelah tumbukan ( + ). Untuk sejumlah /3 , terdapat . inti per cm2 dan tiap inti memiliki luas termal cm2, maka fraksi luas yang terhalang inti adalah . . , sehingga diperoleh hubungan sebagai berikut.

    ( + ) = (1 )() (3.1)

    () = () (3.2)

    ()

    ()= (3.3)

    Setelah di integrasikan diperoleh

    () = 0. (3.4)

    Besaran didefinisikan sebagai tampang lintang mikroskopik dengan satuan 2/ atau . Dimana 1 barn setara dengan 10242. Dari persamaan tersebut, ada definisi lain yakni tampang lintang makroskopik.

    = (3.5)

    Tampang lintang makroskopik memiliki satuan 1, sehingga untuk persamaan untuk neutron tak terhambur

    adalah

    ()

    0= (3.6)

    sedangkan untuk neutron terhambur,

    0= (3.7)

    Karena perbandingan intensitas akhir dengan

    intensitas awal adalah fungsi probabilitas, maka dapat

    ditentukan pula probablitas netron lolos pada hamburan

    pertama dan terhambur pada kejadian selanjutnya pada

    ketebalan . Probabilitas ini dapat dinotasikan sebagai () dan dapat diperoleh dengan cara mengalikan probilitas neutron lolos pada tahap pertama dan probabilitas neutron

    terhambur pada tahap kedua.

    () = . (3.8)

    Dengan mengetahui probabilitas ini, kita dapat

    menghitung jarak rerata antara dua peristiwa hamburan yang

    ditempuh neutron (mean free path).

    = ()

    0= . =

    1

    0

    (3.9)

    Diperoleh bahwa jarak bebas rerata adalah resiprok

    dari termal lintang makroskopik.

    2) Interaksi partikel alpha: Karena alpha merupakan

    partikel berat dan bermuatan, partikel ini sangat reaktif

    terhadap materi dan menghasilkan sejumlah besar ion di

    sepanjang lintasannya, namun tidak mempunyai penetrasi

    yang dalam. Sebagai contoh, 5 MeV alpha hanya mampu

    mencapai jarak 3,6 cm di udara dan tidak dapat menembus

    selapis kertas. Untuk material lain dengan densitas yang lebih

    padat jarak tembus reratanya akan berkurang secara

    proporsional. Pada jaringan tubuh mamalia, partikel alpha

    berenergi 5 MeV hanya mampu menembus hingga kedalaman

    4 m [14]. Proses yang paling mungkin terlibat dalam

    penyerapan alpha adalah ionisasi dan eksitasi dari elektron

    orbital. Ionisasi terjadi ketika partikel alpha cukup dekat

    dengan elektron sehingga menarik elektron tersebut dari

    orbitnya melalui gaya coulumb. Setiap terjadi interaksi

    tersebut , partikel alpha kehilangan energi kinetiknya dan

    melambat. Selain itu, energi kinetik alpha juga berkurang

    akibat elektron yang tereksitasi. Seiring dengan melambatnya

    partikel alpha, kecenderungan untuk menyebabkan ionisasi

    akan naik dan akan mencapai puncaknya pada akhir lintasan.

    Setelah berhasil menangkap elektron, partikel alpha akan

    berubah menjadi atom helium. Karena alpha mempunyai

    penetrasi yang rendah, maka tidak berbahaya jika berupa

    paparan eksternal. Kecuali jika nuklida pemancar partikel

    alpha berada dalam tubuh, maka kerusakan jaringan akan

    lebih besar dibandingkan dengan radiasi yang lain [14].

    3) Interaksi radiasi dengan tubuh: Interaksi radiasi

    dengan materi biologi diawali dengan proses eksitasi atau

    ionisasi yang terjadi dalam waktu 10-15 detik setelah paparan

    radiasi. Reaksi ini segera diikuti dengan interaksi fisiko kimia

    yang menghasilkan pembentukan ion radikal dalam 10-10 detik

    (ditunjukkan oleh persamaan reaksi (3.13)). Reaksi ini akan

    menghasilkan radikal bebas dalam waktu 10-5 detik

    (ditunjukkan oleh persamaan (3.14) dan (3.15)). Radikal bebas

    menginduksi terjadinya reaksi biokimia yang menimbulkan

    kerusakan khususnya pada DNA sehingga menyebabkan efek

    biologis. Elektron sekunder yang dihasilkan dari proses ionisasi

    akan berinteraksi secara langsung maupun tidak langsung.

    Secara langsung bila penyerapan energi dari elektron tersebut

    langsung terjadi pada molekul organik dalam sel yang

    mempunyai arti biologi penting, seperti DNA, sedangkan

    interaksi secara tidak langsung bila terlebih dahulu terjadi

    interaksi radiasi dengan molekul air dalam sel yang efeknya

    kemudian mengenai molekul organik penting [15].

    2 + +

    (3.15)

    2+ + +

    (3.16)

    + 2 + (3.17)

    Penyerapan energi radiasi oleh molekul air dalam

    proses radiolisis air akan menghasilkan ion radikal yang

  • kemudian akan dihasilkan radikal bebas (H* dan OH*).

    Radikal bebas adalah suatu atom atau molekul bebas, tidak

    bermuatan dan mempunyai sebuah elektron yang tidak

    berpasangan pada orbit terluarnya. Radikal bebas bersifat tak

    stabil, sangat reaktif dan toksik terhadap molekul organik vital

    tubuh. Radikal bebas yang telah terbentuk dapat saling

    berinteraksi menghasilkan suatu molekul hidrogen peroksida

    yang stabil dan toksik. Karena sebagian besar tubuh manusia

    terdiri dari air (80%) , maka sebagian besar interaksi radiasi

    dalam tubuh terjadi secara tidak langsung [15].

    Dalam hubungannya dengan respon sel, dikenal istilah

    Radiosensitivitas. Yaitu tingkat sensitivitas terhadap paparan

    radiasi yang berhubungan dengan kematian sel, khususnya

    kemampuan reproduktif sel. Kemampuan reproduktif sel

    adalah hilangnya kemampuan sel untuk melakukan

    pembelahan (proliferasi) setelah sel melakukan mitosis dua

    atau tiga kali. Radiosensitivitas suatu sel bergantung pada

    faktor fisik, kimia dan biologi sel. Faktor fisik yang

    berpengaruh antara lain meliputi LET radiasi, dosis, laju dosis,

    dan distribusi waktu paparan radiasi (tunggal dan fraksinasi)

    [15].

    B. Perangkat lunak Monte Carlo N-Particle (MCNP)

    MCNP (Monte Carlo N-Particle Transport

    Code) adalah perangkat lunak serbaguna yang dikembangkan

    oleh Los Alamos National Laboratory (LANL) untuk

    menghitung transpor partikel dan radiasi menggunakan metode

    stokastik yang disebut Monte Carlo. Beberapa fenomena

    transport meliputi neutron, foton, elektron, dan gabungannya.

    Rentang energi neutron yang mampu dihitung MCNP adalah

    antara 10-11 MeV hingga 20 MeV untuk semua isotop dan lebih

    dari 150 MeV untuk beberapa isotop. Untuk rentang energi

    foton yang mampu dihitung adalah antara 1 KeV hingga 1 GeV.

    Perangkat lunak ini dilengkapi kemampuan untuk menghitung

    keff sebagai fitur standarnya [16].

    Pengguna dapat membuat file input yang kemudian

    dapat dibaca oleh MCNP untuk diolah berdasarkan perhitungan

    yang diinginkan. File input ini terdiri dari informasi yang

    meliputi spesifikasi geometri, deskripsi material, lokasi dan

    karakteristik dari sumber neutron, foton dan elektron serta tipe

    tally (perhitungan) yang diinginkan. Monte Carlo bekerja

    dengan cara menduplikasi secara teoritis proses statistik

    (seperti interaksi partikel nuklir dengan bahan) dan sangat

    berguna untuk masalah kompleks yang tidak dapat dimodelkan

    oleh kode komputer yang menggunakan metode deterministik.

    Peristiwa probabilistik individu yang terdiri dari suatu proses,

    disimulasikan secara berurutan [16].

    Gbr. 7 Kejadian acak dari interaksi neutron dengan material

    fisi [16].

    Gambar 7. merepresentasikan jejak dari interaksi

    neutron pada material dengan geometri slab (lempeng) yang

    mengalami reaksi fisi. Insiden pertama dipilih secara acak

    untuk ditentukan dimana interaksi terjadi, sesuai dengan

    hukum fisis yang mengatur proses berdasarkan material yang

    terlibat. Pada tahap ini, tumbukan neutron terjadi pada nomor

    1. Neutron terhambur dengan arah seperti gambar diatas, yang

    dipilih secara acak sesuai distribusi hamburan fisisnya. Dalam

    peristiwa ini juga dihasilkan foton yang akan disimpan

    sementara waktu untuk dianalisis nantinya. Pada nomor 2,

    reaksi fisi terjadi sehingga neutron yang datang berubah

    menjadi dua neutron baru dengan arah yang berbeda beserta

    satu berkas foton. Salah satu neutron dan foton disimpan

    kembali untuk dianalisis kemudian. Neutron fisi yang pertama

    ditangkap pada insiden nomor 3 dan berakhir disini. Neutron

    yang telah tersimpan pada interaksi sebelumnya, keluar dari

    slab pada nomor 4 setelah disampling secara acak. Foton hasil

    dari reaksi fisi mengalami interaksi pada kejadian nomor 5 dan

    keluar dari slab pada kejadian nomor 6. Sisa foton yang

    tergenerasi pada insiden pertama terserap pada kejadian nomor

    7. Perlu diketahui bahwa partikel tersimpan yang dianalisis

    pertama kalinya oleh MCNP adalah partikel yang terbentuk

    paling akhir [16].

    Salah satu fitur yang disediakan dalam MCNP untuk

    perhitungan terkait fenomena teknik nuklir adalah tally.

    Masing-masing tally memiliki tujuan kalkulasi numerik yang

    berbeda-beda sesuai jenisnya. Berikut disajikan beberapa tally

    sesuai fungsi perhitungannya.

    Tabel 2. Jenis tally yang disediakan oleh MCNP

    Tally Mode

    partikel

    Deskripsi Satuan

    F1 :N, :P, :E Arus yang

    melewati surface

    Partikel

    F2 :N, :P, :E Fluks rerata yang

    melewati surface

    Partikel/cm2

    F4 :N, :P, :E Fluks rerata yang

    melewati cell

    Partikel/cm2

    F5a :N, :P uks pada titik Partikel/cm2 F6 :N, :P, :N,P Energi deposisi

    rerata yang

    melewati cell

    MeV/g

  • F7 :N Energi deposisi fisi

    dalam cell

    MeV/g

    F8 :N, :P, :E, :P,E Distribusi pulsa

    energi pada

    detektor

    Pulsa

    Surface yang dimaksud pada tabel 3.1 adalah batas

    suatu geometri, sedangkan cell adalah suatu volume geometri

    yang dibatasi oleh surface. N,P dan E mewakili jenis radiasi

    yaitu neutron, foton dan elektron.

    Perangkat lunak serupa yang telah dikembangkan

    adalah SHIELD. Untuk hasil yang lebih baik, MCNP5 dapat

    digantikan dengan perangkat lunak tersebut.

    C. Visual Editor

    Visual Editor (Vised) dikembangkan untuk untuk

    membantu pengguna dalam membuat file input MCNP

    menggunakan menu button. Vised juga dapat digunakan untuk

    menampilkan preview geometri yang telah dibuat tanpa

    menggunakan vised seperti notepad. Melalui vised, pengguna

    dapat dengan mudah mengatur dan melihat secara rinci

    komponen geometri yang ditampilkan dari berbagai sudut

    pandang.

    Gbr. 8 Tampilan antarmuka Visual editor.

    IV. PELAKSANAAN PENELITIAN

    A. Alat dan Bahan Penelitian

    Pendekatan yang dipilih untuk penelitian ini adalah

    berbasis simulasi dengan menggunakan seperangkat Personal

    Computer dengan spesifikasi sebagai berikut:

    Processor : Intel Core i5 CPU 2.93 GH RAM : 4 GB

    Operating System: Windows 7 32-bit

    Software :

    Micosoft Excel 2007

    Notepad++ v6.3.3

    Visual editor 5-4.23-12N

    Monte Carlo N-Particle version 5 (MCNP5)

    B. Tata Laksana Penelitian

    Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Maret 2013

    sampai Septermber 2013, dengan hasil berupa spesifikasi

    geometri dan material kolimator pada beam port tembus untuk

    Boron Neutron Capture Therapy. Penelitian dilaksanakan di

    Pusat Akselerator dan Proses Bahan BADAN TENAGA

    NUKLIR NASIONAL yang beralamat di Jl. Babarsari Kotak

    Pos 6101 YKBB YOGYAKARTA.

    Pelaksanaan dimulai dengan mempersiapkan alat,

    bahan dan kompetensi. Alat dan bahan yang dimaksud telah

    dijelaskan pada subbab sebelumnya, sedangkan kompetensi

    yang harus dikuasai adalah penggunaan software MCNP5

    meliputi tata cara input dengan menggunakan code serta

    pembacaan file output sesuai dengan kebutuhan. Tata cara

    pembacaan file input akan dijelaskan lebih lanjut pada lampiran

    D. Kemudian dilakukan pemodelan Reaktor Kartini sebagai

    sumber neutron. Setelah Reaktor kartini termodelkan dengan

    baik, dilakukan perancangan kolimator pada beam port tembus.

    Data hasil keluaran dari perancangan kolimator dianalisis untuk

    diambil pertimbangan apakah desain tersebut memenuhi

    kriteria yang direkomendasikan oleh IAEA. Jika belum

    memenuhi, maka dilakukan perancangan ulang tiap bagian

    kolimator hingga diperoleh hasil yang optimal. Hasil akhirnya

    berupa spesifikasi kolimator yang meliputi geometri dan

    dimensi material yang dirumuskan dalam kesimpulan.

    Pemodelan Reaktor Kartini dimulai dari pembuatan

    geometri reaktor. Data reaktor yang meliputi dimensi serta

    material penyusunnya diperoleh dari dokumen Laporan

    Analisis Keselamatan (LAK), pengamatan langsung di

    lapangan serta informasi narasumber yang bekerja di Reaktor

    Kartini. Dalam pembuatan geometri, bahan bakar diasumsikan

    merupakan bahan bakar baru. Dari informasi tersebut, Reaktor

    Kartini dapat dimodelkan. Model tersebut kemudian dievaluasi

    Keff dan fluksnya pada beberapa titik (ring bahan bakar) dan

    divalidasi dengan data pengukuran lapangan. Jika belum sesuai,

    maka batang kendali divariasikan hingga diperoleh hasil yang

    dekat dengan parameter validasi. Jika model reaktor telah

    cukup dekat (mirip) dengan reaktor sesungguhnya, maka model

    ini dapat digunakan sebagai sumber neutron untuk kolimator

    yang akan dirancang.

    Metode perancangan kolimator yang diambil adalah

    metode sekuensial. Artinya tiap bagian kolimator dirancang

    secara berurutan dan independen terhadap bagian lainnya.

    Urutan bagian tersebut dimulai dari dinding kolimator,

    moderator, perisai gamma, filter serta aperture. Perancangan

    tiap bagian kolimator tersebut dilakukan dengan optimasi

    keluaran kolimator setelah divariasikan ketebalannya.

    Langkah pertama, adalah studi referensi dalam pemilihan

    material bagian kolimator. Tahap ini penting untuk dilakukan

    agar tidak perlu dilakukan uji berbagai macam material yang

    ada, sehingga membutuhkan waktu yang lama dalam proses

    simulasinya. Material yang telah direkomendasikan dalam

    referensi kemudian diuji sesuai fungsinya. Pada bagian

    kolimator yang pertama, yaitu dinding kolimator yang

    berfungsi untuk meningkatkan dan mempertahankan neutron

    epitermal, maka paremeter ujinya adalah fluks neutron termal

    sehingga bahan pertimbangannya adalah fluks neutron

    epitermal maksimum yang dapat dicapai setelah divariasikan

  • ketebalannya. Untuk moderator neutron, berfungsi untuk

    menurunkan fluks neutron epitermal sehingga parameter ujinya

    adalah komponen neutron cepat (/). Komponen neutron cepat keluaran kolimator untuk setiap variasi ketebalan

    moderator dianalisa untuk dipilih nilainya yang cukup kecil.

    Pemilihan ini juga mempertimbangkan fluks neutron epitermal

    karena penambahan moderator juga akan mengurangi fluks

    neutron epitermal juga, padahal diharapkan neutron epitermal

    yang dicapai adalah sebesar-besarnya sehingga pada tahapan

    ini diperlukan optimasi dan pengambilan keputusan. Untuk

    perisai gamma berfungsi untuk mengurangi intensitas radiasi

    gamma tanpa mengurangi fluks neutron epitermal secara

    signifikan, sehingga perlu dilakukan optimasi penambahan

    perisai gamma agar diperoleh / yang sekecil-kecilnya dan fluks neutron epitermal yang tinggi. Filter digunakan untuk

    mengurangi fluks neutron termal sedemikian sehingga / cukup kecil sesuai persyaratan IAEA. Seperti halnya bagian kolimator sebelumnya, bagian ini juga dioptimasi agar

    neutron epitermal tidak turun terlalu besar. Namun pada

    penelitian ini tidak dilakukan penambahan filter karena

    material yang direkomendasikan tidak tersedia di pasar industri

    material. Bagian terakhir adalah aperture. Aperture adalah

    lubang keluaran kolimator yang menyempit untuk

    mengendalikan berkas radiasi agar tidak menyebar secara

    divergen. Lubang aperture tidak divariasikan diameternya dan

    ditetapkan 2 cm. Namun disekitar lubang ditambahkan material

    yang mampu mengurangi berkas radiasi agar aman bagi

    lingkungan.

    Pada awalnya tiap bagian kolimator diuji coba dengan

    menambahkan beberapa material ideal yang berbeda secara

    bergantian agar diperoleh material dengan sifat yang paling

    baik sesuai fungsinya sebagai bagian dari kolimator. Material

    terpilih kemudian dievaluasi ketersediaannya dalam industri

    material dan dipilih material yang kemurniannya cukup tinggi.

    Material ini kemudian divariasikan untuk dioptimasi sesuai

    fungsinya sebagaimana dijelaskan diatas.

    1) Pemodelan Reaktor Kartini: Reaktor Kartini

    termasuk anggota dari Reaktor TRIGA (Training Research and

    Isotopes Production General Atomic). Reaktor TRIGA adalah

    jenis reaktor nuklir yang digunakan untuk pendidikan,

    pelatihan, penelitian dan produksi isotop yang dibuat oleh

    Perusahaan General Atomic di Amerika Serikat. Teras Reaktor

    TRIGA berbentuk silinder dengan terdiri atas kisi-kisi tempat

    dudukan elemen bahan bakar, elemen dummy, dan batang

    kendali. Elemen-elemen tersebut tersusun dalam 6 daerah atau

    ring yang sepusat (A, B, C, D, E, dan F). Pada masing-masing

    ring sepusat dengan jarak yang sama, sehingga akan

    membentuk sebuah silinder [16].

    Gbr. 9 Konfigurasi bahan bakar Reaktor Kartini [16].

    Ukuran batang kelongsong bahan bakar, dan radius

    masing-masing ring disajikan dalam Tabel 4.1.

    Tabel 3.. Ukuran elemen bahan bakar TRIGA Reaktor Kartini.

    Panjang total 73,04 75,39 cm

    Panjang Aktif 38 cm

    Panjang Grafit 6,5-9,5 cm

    Diameter luar kelongsong 37 mm

    Tebal cakram molibdenum 35,6 mm

    Tebal kelongsong 0,5 mm

    Gap bahan bakar-kelongsong 0,2 mm

    Radius Ring A 0 cm

    Radius Ring B 4.05384 cm

    Radius Ring C 7.98068 cm

    Radius Ring D 11.94562 cm

    Radius Ring E 15.91564 cm

    Radius Ring F 19.8882 cm

    Reaktor ini dapat dioperasikan pada daya maksimum

    250 kW.. Dalam memodelkan Reaktor Kartini, menggunakan

    acuan spesifikasi yang didokumentasikan di Laporan Analisis

    Keselamatan (LAK). Spesifikasi tersebut meliputi geometri

    dan bahan tiap-tiap bagian teras reaktor kartini. Sistem yang

    dimodelkan hanya dibatasi pada teras reaktor sebagai sumber

    neutron beserta beton pengungkung. Beberapa bagian yang

    mempengaruhi kekritisan juga dipertimbangkan dalam

    pemodelan ini seperti Reflektor, Rotary specimen rack (Lazy

    Suzan), beam port tembus dan kisi alumunium.

    Saat ini Reaktor Kartini dioperasikan pada daya 100

    kW yang dicapai dengan menarik batang kendali pengaman

    100 %, kompensasi 65 % dan pengatur 55 %. Pada kondisi ini

    telah diperoleh keff yang mendekati 1 dan nilai fluks neutron

    yang mendekati nilai referensi pada penelitian sebelumnya

    (Ring B = 1,78 x 1012 n/cm2, Ring C =1,56 x 1012 n/cm2, dan

    Ring D =1,14 x 1012 n/cm2). Untuk memperoleh nilai tersebut,

    telah dilakukan simulasi menggunakan MCNP5 dengan

    100.000 partikel (history) sebagai initial condition dan 1020

    siklus total. Jumlah tersebut menghasilkan akurasi dan

    penyimpangan error hingga 10-4. Dalam perhitungan keff

  • digunakan KCODE card dan dalam perhitungan fluks

    menggunakan tally card F4:N.

    1) Recording Neutron dan sinar gamma (SSW/SSR card) : Pada tahap ini, radiasi yang keluar dari inti reaktor akan

    direkam di permukaan pangkal beam port. Hal ini bertujuan

    untuk mempermudah perhitungan selanjutnya, memperolah

    keakuratan yang tinggi dan mempersingkat proses running

    yang berulang-ulang.

    Pada dasarnya semakin banyak jumlah cell yang

    dideklarasikan sebagai cell penting (important), maka waktu

    yang dibutuhkan oleh MCNP untuk mensimulasikannya akan

    semakin lama sehingga perlu dilakukan pengurangan important

    cell agar waktu simulasi menjadi pendek. Untuk itu proses

    simulasi dapat dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama

    adalah tahap recording yaitu proses simulasi menggunakan

    KCODE dengan menyertakan SSW card. Dalam proses ini,

    semua bagian reaktor dideklarasikan sebagai important cell dan

    semua komponen radiasi yang masuk ke dalam beam port

    tembus dari inti reaktor akan dibaca oleh MCNP dan disimpan

    dalam bentuk file SSR. Sangat penting untuk memasukan

    partikel awal (history) dengan jumlah besar agar diperoleh hasil

    sampling yang akurat dan error yang kecil. Dalam penelitian

    ini diambil nilai 108 history untuk sampling dan 25 siklus.

    Proses pada tahapan ini memang akan memakan waktu yang

    lama, namun akan mempermudah pada proses selanjutnya.

    Tahap kedua adalah tahap untuk memanggil kembali file SSR

    hasil bacaan MCNP pada tahap pertama. Pada tahap ini, bagian

    selain yang berhubungan dengan beam port tembus

    dideklarasikan sebagai non-important cell. Permukaan pangkal

    beam port tembus yang telah direkam menjadi sumber radiasi

    untuk perhitungan selanjutnya. Karena important cell jauh

    lebih sedikit dari sebelumya, maka running yang dilakukan

    MCNP juga jauh lebih singkat, sehingga waktu untuk

    melakukan optimasi perancangan kolimator semakin efisien.

    Keuntungan lain yang diperoleh dari simulasi dua

    tahap ini adalah, keluaran dari inti reaktor yang masuk kedalam

    kolimator selalu tetap. Berbeda dengan perhitungan yang

    dilakukan dalam sekali simulasi tanpa recording, selain waktu

    simulasi untuk keseluruhan optimasi akan lama, keluaran dari

    inti reaktor juga akan berubah-ubah meskipun sedikit, karena

    konsep Monte Carlo yang bersifat probabilistik, sehingga

    variabel kontrol tidak bernilai tetap.

    2) Perhitungan parameter: Sebelum dilakukan

    optimasi, maka perlu diketahui parameter apa yang akan

    menjadi dasar optimasi. Parameter yang dimaksud meliputi

    fluks neutron epitermal, fluks neutron termal, fluks neutron

    total, laju dosis neutron cepat, laju dosis gamma, dan arus

    neutron. Dalam perhitungan parameter-parameter tersebut

    digunakan tally yang sesuai dengan tujuan perhitungannya

    berdasarkan yang tertera pada tabel 3.1. Untuk perhitungan

    fluks neutron dan laju dosis neutron cepat menggunakan tally

    dengan jenis F4:N, sedangkan untuk perhitungan laju dosis

    foton menggunakan tally jenis F4:P dan untuk perhitungan arus

    neutron menggunakan F1:N. Pada umumnya, penggunaan tally

    F4 digunakan untuk menghitung fluks rerata yang melewati

    suatu volume geometri sedangkan untuk menghitung fluks

    yang melewati suatu permukaan digunakan tally F2. Namun

    dalam penggunaan praktis, F4 lebih fleksibel untuk digunakan

    karena dapat mendefinisikan bagian yang berbeda yang

    dibatasi permukaan yang sama.

    Seperti yang disinggung dalam paragraf sebelumnya,

    F4 digunakan dalam tiga tujuan perhitungan yang berbeda.

    Tetapi dalam MCNP tidak diijinkan penggunaan jenis tally

    yang sama dalam sekali perhitungan. Oleh karena itu, perlu

    ditambahkan indeks untuk membedakan masing-masing

    perhitungan tersebut. Indeks tersebut diletakkan antara huruf F

    dengan n (nomor tally). Dalam penelitian ini F4:N digunakan

    untuk perhitungan fluks neutron, F14:N untuk perhitungan laju

    dosis neutron cepat, dan F24:P untuk perhitungan laju dosis

    gamma.

    Hasil dari perhitungan dengan MCNP berupa data

    tally pada volume geometri yang ditentukan, namun karena

    penghitungan tersebut berdasarkan jumlah partikel per cm2dan

    tidak sesuai dengan satuan pada kriteria yang ditetapkan IAEA,

    maka terlebih dahulu harus dilakukan konversi daya ke laju fisi,

    sebagai berikut:

    (105) (1 /

    ) (

    1

    1,602 1013) (

    1

    200 )

    = 3,121 1015

    Untuk menghasilkan daya sebesar 100 kW diperlukan 3,121 1015/. Dengan mengetahui laju fisi tersebut, maka faktor normalisasi untuk setiap tally dapat ditentukan

    berdasarkan berkas radiasinya. Faktor normalisasi untuk

    neutron adalah sebagai berikut

    (3,121 1015

    ) (

    2.42

    ) = 7,553 1015 /

    Nilai ini akan dipakai pada perhitungan fluks neutron (F4:N)

    dan perhitungan laju dosis neutron (F14:N), sedangkan faktor

    normalisasi untuk foton gamma adalah sebagai berikut

    (3,121 1015

    ) (

    1

    ) = 3,121 1015 /

    Nilai ini akan dipakai pada perhitungan laju dosis gamma

    (F24:P). Pada perhitungan arus neutron (F1:N) perlu dibagi

    dengan luas termal keluaran neutron pada kolimator. Dalam

    penelitian ini telah ditetapkan bahwa ujung aperture

    berdiameter 2 cm, sehingga faktor normalisasi menjadi

    7.553 1015

    (1 )2= 2.405 1015

    2.

    Faktor-faktor ini akan digunakan untuk mengkonversi tally-

    tally input file dalam suatu card khusus (fm card ).

    Terkait perhitungan dosis berdasarkan energi yang

    dilepaskan oleh berkas radiasi neutron dan foton gamma

    terhadap material, acuan yang digunakan adalah tabel kerma

    coefficientsyang dikeluarkan dalam Dosimetry system 2002

  • (DS02) dari ICRU Report 63. Karena batas bawah energi

    neutron cepat adalah 10-2 MeV, maka koefisisen kerma yang

    digunakan adalah pada energi diatas nilai tersebut, sedangkan

    untuk gamma menggunakan koeffisien kerma untuk semua

    rentang energi. Kode untuk memasukan tabel konversi tersebut

    dalam MCNP adalah DEn dan DFn. DEn adalah card mewakili

    energi berkas radiasi sedangkan DFn adalah koefisien kerma

    yang berkorelasi dengan DEn.

    Disamping itu, dalam perhitungan fluks neutron

    diperlukan batasan untuk klasifikasi energi neutron sehingga

    bisa dibedakan fluks untuk neutron termal, neutron epitermal

    dan neutron cepat. Dalam MCNP, kita dapat memasukan

    batas-batas atas dari energi neutron melalui En card yang

    dipisah dengan spasi, karena MCNP menghitung fluks neutron

    dibawah batas tersebut. Untuk penelitian ini diambil batas 5 x

    10-7, 10-2 dan 20 MeV. Artinya neutron termal berada dibawah

    5 x 10-7 MeV, neutron epitermal berada pada 5 x 10-7< E

  • Material Pb lebih mudah untuk diperoleh sehingga diputuskan

    untuk menggunakan Pb sebagai perisai gamma. Pb

    mempunyai jarak bebas rerata sekitar 1,5 cm. Namun,

    optimasi penelitian ini menggunakan variasi 0,5 cm karena

    mempertimbangkan pengurangan neutron yang terjadi.

    - Aperture. Aperture adalah bagian kolimator yang

    mengerucut pada bagian ujung untuk memusatkan berkas

    radiasi. Diameter ujung yang dipilih adalah 2 cm sesuai

    tujuannya untuk uji in vivo dengan organisme uji tikus. Setiap

    pengujian pada bagian sebelumnya, selalu dilakukan

    pengukuran pada ujung aperture ini, sehingga keluarannya

    merupakan keluaran yang diterima langsung oleh organisme

    uji.

    Desain kolimator dimulai dari pengujian dinding

    kolimator. Pada tahap ini, semua material ideal yang

    disarankan (Pb, Bi, PbF2 dan Ni) disimulasikan untuk

    memperoleh material dengan sifat terbaik dalam

    mempertahankan fluks neutron epitermal. Material ideal

    tersebut kemudian digantikan dengan material non-ideal yang

    tersedia di pasaran industri material sesuai rekomendasi pihak

    manufacturing. Material tersebut disimulasikan kembali

    dengan variasi ketebalan 0,5 cm hingga tercapai nilai fluks

    neutron termal maksimum. Untuk setiap penambahan

    ketebalan dinding kolimator, berarti pengurangan diameter

    dalam dari lubang kolimator. Setelah fluks neutron epitermal

    maksimum tercapai, langkah selanjutnya adalah

    mensimulasikan bahan moderator ideal (Al, Al2O3, dan AlF3)

    dengan variasi ketebalan 5 cm karena jarak bebas rerata dari

    material tersebut adalah sekitar itu. Material dengan sifat

    memoderasi paling baik dipilih sesuai ketersediaannya untuk

    disimulasikan kembali dengan variasi ketebalan yang lebih

    kecil untuk memperoleh data yang presisi. Dari data tersebut

    kemudian ditentukan ketebalan optimum yang

    mempertimbangkan / dan fluks neutron epitermal. Setelah itu, simulasi dilanjutkan dengan penambahan Pb di

    ujung kolimator. Parameter yang dievaluasi adalah / . Seperti pada moderator penambahan ketebalan Pb juga

    mempertimbangkan pengaruhnya terhadap pengurangan fluks

    neutron epitermal. Langkah terakhir adalah mengevaluasi

    fluks neutron di sekitar lubang aperture. Jika diperlukan, bisa

    ditambahkan Boral yang bahan utamanya adalah Boron dan

    Alumunium dimana Alumunium dapat memoderasi neutron

    cepat dengan baik dan boron dapat menyerap neutron termal

    hasil moderasi alumunium. Penambahan ini penting sebagai

    komponen keselamatan untuk mengurangi fluks neutron di

    sekitar lubang aperture.

    C. Rencana Analisis Hasil

    Dalam penelitian ini, analisis hasil dilakukan selama

    simulasi. Setiap data hasil simulasi suatu bagian kolimator

    dianalisis terlebih dahulu sebelum dianjutkan simulasi bagian

    kolimator yang lain. Hal ini karena suatu bagian kolimator

    saling mempengaruhi dan saling bergantung satusama lain.

    Pada beberapa bagian kolimator, cukup dianalisis dengan

    grafik. Namun, beberapa bagian yang lain tidak cukup ditinjau

    dari grafik melainkan dibandingkan dalam bentuk tabel,

    terkait pengaruhnya dengan parameter lain. Dalam hal ini

    perlu dilakukan pengambilan keputusan dalam mengambil

    nilai optimal.

    V. PELAKSANAAN PENELITIAN

    A. Validasi Model Reaktor Kartini

    Validasi model reaktor kartini meliputi kritikalitas dan

    fluks neutron total pada beberapa ring bahan bakar dalam inti

    reaktor. Hasil simulasi menunjukkan bahwa keff model Reaktor

    Kartini adalah 1,0008 0,0007. Hasil ini cukup dekat dengan

    nilai kritikalitas yang diharapkan yaitu 1,000 +0,010. Fluks

    neutron pada bahan bakar di Ring B, Ring C dan Ring D model

    reaktor masing-masing adalah 1,52 x 1012, 1,37 x 1012 , dan 1,27

    x 1012 n.cm-2.s-1, sedangkan pada kondisi sebenarnya, fluks

    yang terukur adalah 1,78 x 1012, 1,56 x 1012 ,dan 1,14 x 1012

    n.cm-2.s-1 [17]. Penyimpangan nilai ini disebabkan oleh

    beberapa faktor diantaranya adalah kondisi sebenarnya yang

    tidak ideal, beberapa geometri model bagian reaktor tidak

    persis sama dan kesalahan pada perhitungan faktor multiplikasi

    yang tidak mewakili kondisi sebenarnya. Meskipun begitu,

    model ini masih bisa digunakan sebagai pendekatan dalam

    perancangan kolimator.

    B. Perancangan kolimator pada beam port tembus

    Sebelum ditambahkan kolimator, beam port tembus

    hanya berupa lubang kosong yang disumbat oleh kayu pada

    bagian luar dan Alumunium pada bagian dalam. Ketika sumbat

    tersebut dilepas, maka lubang beam port kosong mempunyai

    dimensi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 11.

    Gbr. 11 Dimensi beam port tembus.

    Neutron berasal dari teras reaktor pada bagian paling

    kiri dan akan keluar di ujung beam port bagian 2, yakni bagian

    paling kanan. Sehingga pengukuran parameter uji dilakukan

    pada permukaan ujung bagian 2 beam port. Di dalam lubang

    bagian 2 tersebut akan ditambahkan material tertentu sebagai

    bagian dari kolimator sedemikian sehingga keluaran yang

    dihasilkan sesuai dengan persyaratan IAEA.

    15 cm 19 cm

    156cm 117 cm

    Teras (Bagian)

    1)

    (Bagian)

    2)

  • 1) Dinding Kolimator: Semua bahan yang direkomendasikan sebagai reflektor diuji dengan simulasi

    menggunakan MCNP. Hasil simulasi dengan variasi ketebalan

    0,5 cm berbagai bahan uji ditunjukkan dalam Gambar 5.2.

    Gbr. 11 Fluks neutron epitermal Vs Tebal dinding kolimator

    berbagai bahan.

    Gambar tersebut menunjukkan bahwa material yang

    memiliki kemampuan untuk mempertahankan neutron yang

    paling baik adalah Nikel. Fluks neutron termal semakin

    meningkat hingga ketebalan 3 cm. Artinya semakin tebal

    dinding kolimator Ni semakin banyak juga jumlah neutron

    yang mengalami refleksi. Peningkatan ini disebabkan adanya

    pergeseran energi neutron dari neutron cepat menjadi neutron

    epitermal. Pada ketebalan selanjutnya, fluks neutron epitermal

    justru semakin turun. Hal ini karena ketebalan dinding

    kolimator yang lebih besar membuat diameter dalam dari

    kolimator semakin kecil sehingga terjadi semakin banyak

    tumbukan antara neutron dengan dinding kolimator dan

    menyebabkan pergeseran energi neutron yang semakin besar

    hingga melawati daerah epitermal menuju daerah termal.

    .

    Gbr. 12 Tampang lintang hamburan 58Ni [9].

    Gambar tersebut adalah distribusi tampang lintang

    hamburan untuk berbagai energi pada 58Ni. Isotop ini

    mempunyai presentase yang paling besar dalam nikel alam

    yakni sekitar 80 % sedangkan sisanya (60Ni ) hanya sekitar

    20 %. Dalam grafik tersebut tampak bahwa pada wilayah energi

    epitermal, tampang lintang hamburannya adalah sekitar 20

    hingga 30 barn. Sebagai perbandingan Pb dan Bi masing-

    masing mempunyai tampang lintang hamburan 9 hingga 13

    barn [4,9]. Hal inilah yang menjelaskan kenapa Nikel lebih baik

    dari pada bahan uji lain.

    Pada kenyataanya, Nikel dengan kandungan 100 %

    sulit untuk ditemukan dalam pasar industri material. Sebagai

    pendekatan dipilih Nikel dengan kemurnian 95 %. Hal ini

    memungkinkn terjadi pergeseran titik optimasi sehingga perlu

    dilakukan simulasi kembali untuk mengujinya.

    Gbr. 13 Fluks neutron epitermal Vs Tebal dinding Ni 95%.

    Hasil simulasi pada gambar 5.4 menunjukkan bahwa titik

    puncak optimasi bergeser menjadi 1,5 cm. Hal ini karena

    beberapa unsur bahan pengotor (5%) yang terkandung dalam

    campuran Nikel tersebut mempunyai tampang lintang serapan

    yang lebih besar dari Nikel, seperti yang ditunjukkan dalam

    tabel berikut ini.

    Tabel 4. Persentase campuran Ni 95% beserta tampang lintang

    serapannya.

    Unsur Persentase a barn

    Ni 95 4,619

    Mn 1,5 13,4118

    Fe 1 2,585

    Si 0,5 0,1691

    Cu 1 4,4678

    C 0,5 0,0034

    Ti 0,5 17,294

    Berdasarkan tabel tersebut, tampak bahwa unsur Mn

    dan Ti mempunyai tampang lintang serapan yang lebih tinggi

    dari Nikel. Unsur inilah yang menyebabkan fluks neutron

    berkurang dan titik optimasi bergeser ke ketebalan yang lebih

    kecil.

    2) Moderator: Berikut disajikan grafik hasil uji beberapa material moderator.

    -1

    0

    1

    2

    3

    4

    5

    0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5

    e

    pi (

    n/c

    m2 )

    x 1

    09

    Tebal dinding kolimator (cm)

    Pb Bi PbF2 Ni R = 0.7213

    -1

    0

    1

    2

    3

    4

    0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5 6 6.5

    ep

    i (n

    /cm

    2 ) x

    10

    9

    Tebal dinding kolimator (cm)

  • Gbr. 14 df/epi Vs Tebal Moderator berbagai bahan.

    Dari grafik tersebut tampak bahwa ketiga bahan

    tersebut mempunyai pola yang sangat sama. Al, Al2O3, dan

    AlF3 mempunyai kecenderungan yang hampir sama karena

    unsur pokok penyusunnya sama-sama didominasi oleh Al.

    Komponen neutron cepat terus menurun hingga pada ketebalan

    tertentu dan naik kembali setelah kedalaman tertentu. Hal ini

    karena pada awalnya neutron cepat termoderasi menjadi

    neutron epitermal sehingga menambah fluks epitermal yang

    artinya memperkecil pembilang dan memperbesar penyebut

    parameter ini, sehingga menyebabkan parameter ini semakin

    kecil. Pada penambahan ketebalan selanjutnya, spektrum

    energi neutron telah berada pada daerah epitermal dan terus

    termoderasi menuju daerah termal. Artinya fluks neutron

    epitermal akan semakin berkurang dan penyebut dari parameter

    tersebut juga akan semakin kecil. Hal ini menyebabkan

    / semakin naik kembali. Dari ketiga bahan tersebut, yang paling baik adalah Al karena mampu menurunkan

    / hingga pada titik terendahnya dengan cepat hingga pada ketebalan 20 cm, tetapi tidak menaikkan parameter ini

    secara signifikan pada ketebalan selanjutnya. Karena faktor

    ketersediaan, sebagai pendekatan dipilih Al dengan kode

    manufacture 1350 dan kemurnian 99.5 %. Pengotornya antara

    lain Si 0,1 %, Fe 0,4 %, Cu 0,05%, Mn 0,01 %, Ti 0,01 %, Ga

    0,03 %, V 0,01 %, Zn 0,05 %, B 0,05%. Karena melibatkan dua

    parameter yang dioptimasi, maka data lebih mudah untuk

    dianalisis dalam bentuk tabel sebagai berikut

    Tabel 5. Hasil simulasi moderator Al 1350 (95%)

    Tebal

    (cm)

    x 109 /

    Tebal

    (cm) x 10

    9 /

    (n/cm2.s) (Gy-cm2/n) (n/cm2.s) (Gy-cm2/n)

    5 1,16 311 13 0,11 900

    6 1,5 259 14 0,28 84,5

    7 0,772 453 15 0,577 7,1

    8 1,96 147 16 0,249 24,7

    9 1,47 111 17 0,243 163

    10 1,07 199 18 0,299 100

    11 0,532 556 19 0,203 453

    12 0,846 342 20 0,196 98,3

    Berdasarkan tabel tersebut tebal optimal berada pada

    15 cm dengan fluks neutron epitermal 5,57 x 108 n/cm2.s dan

    / = 7,1 x 10-13Gy-cm2/n. Fluks neutron turun hingga di

    bawah batas yang ditentukan IAEA. Meskipun begitu, nilai ini

    masih dapat digunakan karena masih berada diatas 5 x 108

    n/cm2.s.

    3) Perisai gamma: Untuk menekan dosis gamma, ditambahkan material Pb di ujung kolimator. Pb mempunyai

    jarak bebas rerata 1,5 cm. namun untuk mendapatkan

    perubahan yang lebih akurat dipilih variasi 0,5 cm karena

    panambahan ini juga mempengaruhi fluks neutron termal

    meskipun sedikit. Berikut tabel hasil simulasi dengan

    penambahan Pb.

    Tabel 7. Hasil simulasi dengan penambahan perisai gamma Pb

    Tebal (cm) x 10

    9 / 1013

    (n/cm2.s) (Gy-cm2/n)

    0 0,557 151

    0,5 0,506 14,4

    1 0,405 1,16

    1,5 0,402 1,16

    Penambahan Pb pada ketebalan 1 cm menurunkan

    fluks neutron epitermal hingga di bawah batas yang dapat

    digunakan. Namun, mengurangi dosis gama secara signifikan.

    Pada ketebalan selanjutnya, fluks neutron epitermal semakin

    rendah namun hampir tidak berpengaruh terhadap komponen

    gamma. Akhirnya optimasi yang dipilih adalah pada ketebalan

    1 cm. Pada ketebalan ini fluks neutron epitermal berada di

    bawah batas yang ditentukan IAEA (4,05 x 108 n/cm2.s), tetapi

    dalam hal ini kualitas keluaran radiasi lebih diutamakan dari

    pada fluks yang dibutuhkan. Kualitas radiasi yang dihasilkan

    pada ketebalan tersebut sudah memenuhi kriteria IAEA untuk

    BNCT yaitu 1,16 x 10-13Gy-cm2/n, sedangkan yang

    disyaratkan adalah kurang dari 2 x 10-13Gy-cm2/n.

    4) Aspek keselamatan :Pada bagian ini ditambahkan material Boral di sekeliling lubang aperture untuk mengurangi

    fluks neutron yang keluar selain dari lubang aperture. Hasil

    simulasi untuk penambahan Boral disajikan dalam tabel 6.

    Tabel 8. Fluks neutron lingkungan setelah ditambahkan Boral

    (n/cm2.s)

    Tebal

    (cm) Termal Epitermal Cepat Total

    0,5 2,53 x 105 8,21 x 106 1,20 x 107 2,05 x 107

    1 1,32 x 105 5,88 x 106 1,47 x 107 2,07 x 107

    1,5 9,11 x 104 9,84 x 106 1,40 x 107 2,40 x 107

    2 8,21 x 104 8,64 x 106 1,23 x 107 2,11 x 107

    -2

    0

    2

    4

    6

    5 10 15 20 25 30df/

    epi

    x 1

    0-3

    Tebal (cm)

    Al AlF3 Al2O3

  • Tabel 6. Fluks neutron pada lubang aperture setelah

    ditambahkan Boral

    Te

    bal

    (c

    m)

    x 109 / 10

    13 / 1013

    (n/cm2.s) (Gy-cm2/n) (Gy-cm2/n)

    0,5 0,512 2,58 1,20

    1 0,506 2,49 1,17

    1,5 0,503 2,17 1,16

    2 0,482 2,26 8,14

    Berdasarkan data dari kedua tabel tersebut tampak

    bahwa penambahan Boral mempengaruhi fluks neutron di

    sekeliling lubang aperture, terutama untuk neutron termal.

    Tetapi penambahan ini juga mempengaruhi fluks neutron yang

    ada pada lubang aperture. Pada penambahan boral setebal 0,5

    cm, fluks neutron epitermal lebih besar jika dibandingkan saat

    belum ditambahkan. Hal ini karena mendapat kontribusi dari

    hamburan neutron dari material boral disekeliling lubang

    aperture. Pada penambahan selanjutnya, fluks neutron

    epitermal semakin turun karena neutron epitermal yang arah

    nya tidak paralel dengan sumbu kolimator terserap oleh

    material di sekeliling aperture. Tebal yang dipilih adalah pada

    1,5 cm karena pada ketebalan tersebut fluks neutron epitermal

    masih dalam batas yang digunakan sedangkan komponen

    neutron cepat dan komponen gamma mencapai minimum.

    Gbr. 15 Kolimator hasil optimasi pada beam port tembus.

    Fluks neutron lingkungan masih dianggap cukup tinggi,

    sehingga dalam penerapan nantinya diperlukan mekanisme proteksi

    radiasi bagi pekerja radiasi. Disamping itu harus dilakukan studi

    lebih lanjut untuk menurunkan fluks neutron tersebut agar organ

    sehat di sekitar titik uji, tidak ikut terpapar radiasi.

    Keluaran akhir neutron berdasarkan optimasi yang telah

    dilakukan ditunjukkan dalam tabel 9.

    Tabel 9. Keluaran berkas radiasi hasil optimasi

    Parameter Nilai Rekomendasi

    IAEA

    (/2) 5,03 x 108 > 1,0 109

    /( 2/) 2,17 x 10-13 < 2,0 1013

    /( 2/) 1,16 x 10-13 < 2,0 1013

    / 0,120 < 0,05

    / 0,835 > 0,7

    Ada tiga parameter yang belum tercapai sesuai

    rekomendasi IAEA. Pertama adalah fluks neutron epitermal. Fluks

    neutron epitermal yang tercapai adalah 5,03 x 108 n/cm2.s.

    Meskipun belum mencapai kriteria, hasil tersebut masih layak

    untuk digunakan karena lebih dari 5 x 108 n/cm2.s. Kedua adalah

    komponen neutron cepat. Komponen neutron cepat yang tercapai

    adalah 2,17 x 10-13Gy-cm2/n. Parameter ini sudah cukup dekat

    dengan kriteria. Ketiga adalah komponen neutron termal. Parameter

    ini masih cukup jauh dengan acuan yaitu 0,120.

    Meskipun desain ini belum sempurna, beberapa parameter

    kualitas radiasi yang dikeluarkan masih lebih baik dibandingkan

    beberapa fasilitas BNCT didunia.

    Tabel 9. Perbandingan keluaran berkas radiasi fasilitas BNCT

    [19]

    VI. KESIMPULAN DAN SARAN

    A. Kesimpulan

    Desain kolimator optimal pada beam port tembus

    Reaktor Kartini untuk BNCT yang pengujianya dilakukan

    secara sekuensial dan independen untuk masing-masing

    bagian kolimator adalah sebagai berikut.

    1. Dinding kolimator dengan bahan Ni setebal 1,5 cm dan aperture 2 cm,

    2. Moderator dengan bahan Al 1350 (99,5 %) setebal 15 cm,

    3. Perisai gamma dengan bahan Pb setebal 1 cm, dan 4. Boron-Alumunium (Boral) setebal 1,5 cm.

    keluaran berkas radiasi dari desain tersebut ditunjukkan dalam

    lima parameter berikut

    1. Fluks neutron epitermal 5,03 x 108 n/cm2.s

  • 2. Laju dosis neutron cepat per fluks neutron epitermal 2,17 x 10-13 Gy-cm2/n

    3. Laju dosis gamma per fluks neutron epitermal 1,16 x 10-13 Gy-cm2/n

    4. Rasio antara fluks termal dan epitermal 0,120 5. Rasio antara arus neutron dan fluks neutron total 0,835

    Parameter keluaran dari desain ini tidak sepenuhnya

    memenuhi kriteria yang ditentukan IAEA. Namun jika

    dibandingkan fasilitas BNCT lain di dunia, desain ini masih

    layak untuk digunakan.

    B. Saran

    Untuk memperoleh hasil yang lebih baik, maka

    penulis memiliki saran untuk penelitian selanjutnya.

    1. Dalam desain ini, fluks neutron epitermal yang keluar dari aperture tidak hanya berasal dari teras reaktor secara

    langsung tetapi juga dari hamburan dinding aperture.

    Kolimasi yang lebih baik dapat dicapai dengan

    memperpanjang dimensi kerucut aperture ke arah dalam

    atau memperkecil sudut kerucut aperture. Perubahan ini

    juga akan mempengaruhi parameter yang lain sehingga

    perlu dilakukan studi lebih lanjut terkait dimensi yang

    tepat untuk bagian aperture ini.

    2. Untuk mengurangi fluks neutron yang bocor di sekeliling lubang aperture, perlu ditambahkan bahan yang menyerap

    neutron dengan lebih baik seperti Lithium atau bahan

    yang mengandung Boron pada kerucut aperture. Namun,

    masih diperlukan studi lebih lanjut untuk memperoleh

    material yang lebih baik dan dimensi yang tepat. Selain

    itu, modifikasi bentuk aperture juga bisa dilakukan seperti

    gambar berikut.

    Gambar 6.1. Perubahan ujung aperture yang

    direkomendasikan.

    Perbedaan dari desain sebelumnya adalah

    terdapat material yang mengandung boron (dalam contoh

    diatas boral) pada kerucut aperture. Penambahan ini akan

    menyerap neutron lebih banyak sehingga tidak bocor ke

    lingkungan. Tetapi agar neutron pada sistem tidak ikut

    terserap perlu ditambahkan pula lapisan Nikel yang

    ketebalanya masih perlu dioptimasi pada ketebalan

    selanjutnya.

    3. Untuk menekan fluks neutron termal dengan lebih rendah, diperlukan material yang menyerap neutron pada rentang

    energi tersebut namun melewatkan neutron pada rentang

    energi epitermal. Material yang baik dalam hal ini adalah

    60Ni, tetapi material tersebut tidak memadai dalam hal

    ketersediaan dalam industri material sehingga perlu

    dilakukan eksplorasi lebih lanjut terkait bahan dengan sifat

    yang serupa.

    REFERENSI

    [1] World Health Statistic. Dokumen publik, World

    Healtt Organization, Jenewa, 2006.

    [2] Cancer Research UK. What Cancer Is. Diakses dari

    http://www.cancerresearchuk.org/cancer-help/about-

    cancer/what-is-cancer/cells/what-cancer-is, 2

    Agustus 2013.

    [3] Wolfgang Sauerwein dan Ray Moss. Requirement for

    Boron Neutron Capture Therapy (BNCT) at a

    Nuclear Research Reactor. The European BNCT

    Project, Belanda, 2009.

    [4] Nina Fauziah. A conceptual Design of Neutron

    Collimator in Thermal Column of Kartini Research

    Reactor for Boron Neutron Capture Therapy. Skripsi ,

    Jurusan Teknik Fisika, Universitas Gadjah Mada,

    Yogyakarta, 2009.

    [5] Widarto. Analisis Dan Penentuan Distribusi Fluks

    Neutron Saluran Tembus Radial Untuk

    Pendayagunaan Reaktor Kartini. Laporan penelitian,

    Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta, 2002.

    [6] Current Status of Neutron Capture Therapy.

    Dokumen teknis, International Atomic Energy

    Agency,Wina, 2001.

    [7] Gritzay, Kalchenko, Klimova, Razbudey, Sanzhur,

    dan Binneyvier. Monte-Carlo calculations for the

    development of a BNCT neutron source at the Kyiv

    Research Reactor.Laporan penelitian, Elsevier,

    Amsterdam, 2004.

    [8] Katarzyna Tyminska. Filter/moderator system for a

    BNCT beam of epithermal neutrons at nuclear reactor

    MARIA. Laporan penelitian, Institute of Atomic

    Energy, wierk-Otwock, 2009.

    [9] N. Soppera, E. Dupont, and M. Bossant. Java-based

    Nuclear InformationSoftware: Book of Neutron-

    induced Cross-sections. A technical document,

    Nuclear Energy Agency, Issy-les-Moulineaux, 2012.

    [10] Nicoletta Protti. The efficacy of Boron Neutron

    Capture Therapy on small animal models. Desertasi,

    University of Pavia, Pavia, 2012.

    [11] Media Nuklir. Interaksi neutron. Diakses dari

    medianuklir.files.wordpress.com/2010/08/interaksi-neutron.pdf, 5 Agustus 2013.

    [12] Dwi Wahyuningsih. Simulasi Pengukuran Distribusi

    Dosis Serapan Pada Brachytherapy Payudara

    Menggunakan Mcnp5 Dengan Model Seed

    Advantage TM103Pd. Skripsi, Universitas Sebelas

    Maret, Surakarta, 2012.

  • [14] European Centre of Technological Safety .

    Interaction of Radiation with Matter. Diakses

    dari http://www.tesec-int.org/TechHaz-

    site%2008/Radiation-interaction.pdf.,29 Mei

    2013

    [15] Interaksi Radiasi Dengan Tubuh. Dokumen teknis,

    Insprektur Pratama, Jakarta, 2005.

    [16] Thomas E. Booth, John T. Goorley, Avneet Sood,

    Forrest B. Brown, H. Grady Hughes, Jeremy E.

    Sweezy, Jeffrey S. Bull, Russell D. Mosteller, Richard

    F. Barrett, Lawrence J. Cox, Richard E. Prael, Susan

    E. Post, R. Arthur Forster, Elizabeth C. Selcow, and

    Teresa L. Roberts. MCNPA General Monte Carlo

    N-Particle Transport Code, Version 5, Volume I:

    Overview and Theory. A technical document, LA-UR-

    03-1987, Los Alamos National Laboratory, New

    Mexico, 2003.

    [17] Arie Yusman Windiasari, Widarto dan Yusman

    Wiyatmo. Penentuan Karakteristik Distribusi Rapat

    Daya Teras Reaktor Kartini . Prosiding Seminar

    Nasional ke-17 Teknologi dan Keselamatan PLTN

    Serta Fasilitas Nuklir, hal. 195-205, Yogyakarta, 1

    Oktober 2011.

    [18] Thomas E. Booth, John T. Goorley, Avneet Sood,

    Forrest B. Brown, H. Grady Hughes, Jeremy E.

    Sweezy, Jeffrey S. Bull, Russell D. Mosteller, Richard

    F. Barrett, Lawrence J. Cox, Richard E. Prael, Susan

    E. Post, R. Arthur Forster, Elizabeth C. Selcow, and

    Teresa L. Roberts. MCNPA General Monte Carlo N-Particle Transport Code, Version 5, Volume II:

    Overview and Theory. A technical document, LA-CP-

    03-0245, Los Alamos National Laboratory, New

    Mexico, 2003.

    [19] Introduction to the BNCT facility at the THOR.

    Dokumen teknis, Hsin-chu, 2010.

    [20] World U. S. Department of Commerce. X-ray Mass

    AttenuationCoefficient. Diakses dari

    http://physics.nist.gov/PhysRefData/XrayMassCoef/

    ElemTab/z83.html,20 Mei 2013.

    [21] Sandvick. Nominal Composition Alloy.

    Diakses dari http://sandvick.com, Oktober 2013.