16

JURNAL SENI BUDAYA - download.isi-dps.ac.id

  • Upload
    others

  • View
    9

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: JURNAL SENI BUDAYA - download.isi-dps.ac.id
Page 2: JURNAL SENI BUDAYA - download.isi-dps.ac.id

i

JURNAL SENI BUDAYAJURNAL SENI BUDAYAJURNAL SENI BUDAYAJURNAL SENI BUDAYAJURNAL SENI BUDAYAVOLUME 25 NO. 2 SEPTEMBER 2010

INSTITUT SENI INDONESIA DENPASARINSTITUT SENI INDONESIA DENPASARINSTITUT SENI INDONESIA DENPASARINSTITUT SENI INDONESIA DENPASARINSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR20102010201020102010

Page 3: JURNAL SENI BUDAYA - download.isi-dps.ac.id

iii

Ketua PenyuntingI Wayan Rai S.

Wakil Ketua PenyuntingRinto Widyarto

Penyunting PelaksanaI Ketut MurdanaI Wayan SetemI Gusti Ngurah SeramasaraDiah KustiyantiNi Made RuastitiNi Luh Sustiawati

Penyunting AhliI Wayan Rai S. (ISI Denpasar) EthnomusicologistMargaret J. Kartomi. (Monash University) EthnomusicologistJean Couteau. (Sarbone Francis) Sociologist of ArtRon Jenkins. (Wesleyan University) TheatreMichael Tenzer. (UMBC) Ethnomusicologist

ISSN 0854-3461

DEWAN PENYUNTINGJurnal Seni Budaya MUDRA

Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departeman Pendidikan NasionalNomor: 108/DIKTI/Kep/2007. tentang Hasil Akreditasi Jurnal IlmiahDirektorat Jenderal Pendidikan Tinggi Tahun 2007 Jurnal Seni Budaya MUDRAdiakui sebagai jurnal terakriditasi, dengan peringkat B.

Alamat Penyunting dan Tata Usaha:UPT. Penerbitan ISI Denpasar Jalan Nusa Indah Denpasar 80235Telepon (0361) 227316, Fax. (0361) 236100 E-Mail: isidenpasar®yahoo.ac.id.

MUDRA diterbitkan oleh UPT. Penerbitan Institut Seni Indonesia Denpasar. Terbit pertama kali pada tahun 1990.

Penyunting menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan dalam media lain. Persyaratan seperti yang tercantumpada halaman belakang (Petunjuk Untuk Penulis). Naskah yang masuk dievaluasi dan disunting untuk keseragaman format,istilah dan tata cara lainnya

Dicetak di Percetakan PT. Percetakan Bali

Mengutip ringkasan dan pernyataan atau mencetak ulang gambar atau label dari jurnal ini harus mendapat izin langsung dari penulis.Produksi ulang dalam bentuk kumpulan cetakan ulang atau untuk kepentingan periklanan atau promosi atau publikasi ulang dalambentuk apa pun harus seizin salah satu penulis dan mendapat lisensi dari penerbit. Jurnal ini diedarkan sebagai tukaran untuk perguruantinggi, lembaga penelitian dan perpustakaan di dalam dan luar negeri. Hanya iklan menyangkut sains dan produk yang berhubungandengannya yang dapat dimuat pada jumal ini.

Permission to quote excerpts and statements or reprint any figures or tables in this journal should be obtained directly from theauthors. Reproduction in a reprint collection or for advertising or promotional purposes or republication in any form requirespermission of one of the authors and a licence from the publisher. This journal is distributed for national and regional higher institution,institutional research and libraries. Only advertisements of scientific or related products will be allowed space in this journal.

Page 4: JURNAL SENI BUDAYA - download.isi-dps.ac.id

v

1. Multikulturalisme dalam Diskursus Memperkuat Kebinekaan dan Kemejemukan di IndonesiaAnak Agung Gede Rai ........................................................................................................ 101

2. Multikulturalisme dan Pariwisata BaliNi Made Ruastiti ................................................................................................................ 108

3. Eksistensi Desa Pakraman dalam Pelestarian Adat dan Budaya BaliI Wayan Suarjaya ................................................................................................................. 120

4. Kebudayaan dan Kebijakan Keruangan : Esensi Budaya dalam Pengaturan Batas KetinggianBangunan BaliGusti Ayu Made Suartika .................................................................................................... 131

5. Reklamasi Pantai Sanur dalam Perspektif Ekonomi dan Sosial Budaya Masyarakat BaliI Made Darma Oka ............................................................................................................ 150

6. Estetika Hindu : Rasa sebagai Taksu Seni SastraI Wayan Suka Yasa .............................................................................................................. 159

7. Penerapan Konsep Joged Mataram dakam TariSupriyanto ........................................................................................................................... 172

8. Pragmatik Imperatif dalam Dialog Lakon ”Semar Mbangun Gedhong Kencana”Sajian Ki Mujaka Jaka RaharjaS. Hesti Heriwati................................................................................................................. 185

ISSN 0854-3461

JURNAL SENI BUDAYAJURNAL SENI BUDAYAJURNAL SENI BUDAYAJURNAL SENI BUDAYAJURNAL SENI BUDAYA

VOLUME 25 SEPTEMBER 2010 Nomor 2

Page 5: JURNAL SENI BUDAYA - download.isi-dps.ac.id

MUDRA VOLUME 25 NO.2 SEPTEMBER 2010: 108-119

108

MULTIKULTURALISME DAN PARIWISATA BALI

Ni Made Ruastiti

Jurusan Tari, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Denpasar, Indonesia

Abstrak

Multikulturalisme dapat diartikan sebagai suatu paham yang menjunjung tinggi atau menghormati keberagaman kultural.Paham ini muncul sebagai reaksi atas tekanan globalisasi yang cenderung menyatukan dunia (budaya) menjadi satu dibawah pengaruh ideologi kapitalisme, atau modernisme. Dibukanya Bali sebagai daerah tujuan wisata telah memberidampak positif dan negatif bagi masyarakat setempat. Kunjungan wisatawan ke Bali yang tentunya selalu disertaikebudayaannya tampak tidak semata-mata berdimensi ekonomi, akan tetapi juga berdimensi kultural. Berkembangnyapariwisata di Bali memang benar dapat memberikan peluang kerja, dan oleh karenanya banyak orang luar berimigrasi kedaerah ini untuk mencari nafkah. Mereka juga datang ke daerah ini disertai dengan kebudayaannya masing-masing.Kondisi ini dapat menimbulkan dampak multikultural di daerah ini, yang jika tidak ditanggulangi secara tepat akan dapatmenimbulkan disintegrasi sosial.

Multiculturism and Bali’s Tourism

Abstract

It may be stated that multiculturalism refers to a view which glorifies or respects cultural diversity. This view has appearedas a response to the global pressure which has tended to unify the world (culture) under the ideology of capitalism ormodernity. The tourism developed in Bali, as a tourist destination, has positively and negatively affected the localcommunity. The tourists who visit Bali bring their own culture. This means that what they bring is not only economicallydimensional but culturally dimensional as well. The development of tourism in Bali has created a lot of job opportunitiesand; as a consequence, many people from outside Bali have migrated to Bali to earn a living. These people also bring theirown culture. This condition will lead to multiculturalism, which, if not accurately dealt with, will lead to a social disintegra-tion.

Keywords : Multicultural, tourism, and cultural

Multikulturalisme dapat diartikan sebagai suatu pahamyang menjunjung tinggi atau menghormatikeberagaman kultural. Paham ini sesungguhnyamuncul sebagai reaksi atas tekanan globalisasi yangcenderung menyatukan dunia (budaya) menjadi satudi bawah pengaruh ideologi kapitalisme, ataumodernisme. Sebagai bangsa yang memiliki sejarahyang panjang, kiranya tidak dapat dihindarkan bahwabangsa Indonesia berada dalam kehidupan denganbudayanya yang beraneka ragam, seperti antara lain:

kultur, atau budaya etnis Jawa, Madura, Sumatra,Sunda, Makasar, Bugis, Bali, dan lain-lain, yang hidupberdampingan, dan saling melengkapi satu sama lain.

Sebagai suatu bangsa, sejak diproklamasikannyakemerdekaan RI tahun 1945, masyarakatnya telahhidup sebagai satu kesatuan bangsa dengan berbagaikebudayaanya yang secara keseluruhan kemudianmenjadi embrio dari kebudayaan bangsa Indonesia.Bersamaan dengan itu, bangsa Indonesia menetapkan

Page 6: JURNAL SENI BUDAYA - download.isi-dps.ac.id

Multikulturalisme dan Pariwisata... (Ni Made Ruastiti)

109

dasar negara, falsafah hidup bangsa ini untuk hidupbersatu berdasarkan Pancasila. Keinginan untukhidup bersatu berdasarkan Pancasila, tampak pulasebagai satu perjuangan panjang dan terus-menerussejalan dengan dinamika kehidupan bangsa Indone-sia. Bersamaan dengan cita-cita hidup dalam suasanamultikultural itu, bangsa Indonesia mendapat cobaanbaik dari dalam maupun dari luar. Tantangan daridalam adalah adanya bibit-bibit budaya etnik yangtidak dapat hidup secara berimbang dengan etnikyang lainnya, dan adanya tekanan pusat yang dapatmenimbulkan kecemburuan pada pihak yangdikecewakan. Sedangkan tantangan dari luar munculakibat gelombang globalisasi yang begitu dinamismenerobos masuk ke dalam kehidupan berbangsa.Tantangan globalisasi yang dikenal sebagai “eramodern”, budaya modernitas ini mendorongmasyarakat masuk dalam satu tatanan bertaraf danberstandar Internasional, yang telah membuatmerosotnya semangat berkebangsaan. Setiap individutergiring untuk menjadi warga nomor satu yaitu wargadunia, dengan semangat konsumerisme. Hal initampaknya telah menimbulkan krisis berkebangsaanyang cukup panjang, yang dapat mengancamkeutuhan bangsa ini jika tidak segera disikapi secaratepat. Semangat multikultural inilah diharapkanmampu mengantisipasi terjadinya ketidak seimbanganitu.

MULTIKULTURALISME DAN ETNISITAS

Pemerintah Indonesia yang menjalankan sistemkenegaraan dengan paham kebangsaan berusahakeras agar dapat mengintegrasikan seluruh komponenbangsa, membangun satu sinergi untuk mewujudkancita-cita bangsa yang sejahtera, adil makmurberdasarkan falsafah negara Pancasila. DasarNegara Pancasila, tidak hanya dilihat sebagai satukerangka prikehidupan berbangsa, tetapi juga satucita-cita mulia, agar bangsa ini dapat hidup sejahterasecara bersama-sama, tanpa mempersoalkan adanyaperbedaan suku, agama, bahasa, budaya, dan lain-lain yang telah hidup dan tumbuh subur di bumi Indo-nesia. Disadari bahwa bangsa ini adalah bangsa yangmultikultural, maka seluruh masyarakat sepakat untukmembangun keberagaman budayanya dan hidupsaling menghargai satu dengan yang lainnya.

Dengan begitu, muncul sentimen kebangsaan yangdapat dilihat memiliki dua dimensi yang saling terkait,

yakni : dimensi internal dan dimensi ekstenal. Dimensiinternal mengacu pada kemampuan domestik untukmenciptakan iklim yang kondusif, memadai bagipembangunan nasional yang perlu dinikmati olehsetiap etnik yang menjadikan bangsa itu, sedangkandimensi eksternal menunjuk pada adanya kemampuanbangsa (nasional) dalam menjalankan hubungan luarnegerinya dengan aktor-aktor negara lainnya. Denganpaham kebangsaan itu, orientasi nasional akanmanjadi satu determinan penting dalam politik luarnegeri suatu negara.

Sejak awal, usaha menjaga integrasi bangsa telahdilakukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat.Dengan menganut paham kebangsaan, PemerintahIndonesia berusaha menjalankan politik luar dan dalamnegerinya dengan mengutamakan kepentinganbangsa. Akan tetapi dalam proses integrasi ataupembentukan dan pembangunan paham kebangsaanIndonesia tampak cukup tersendat-sendat, karenalemahnya ikatan kebangsaan, baik karena faktorkontaknya dengan perkembangan global, maupunmunculnya kembali sentimen sempit etnis,kepentingan kelompok yang sering membawa konflik,bahkan menjadi apa yang dirasakan sebagai krisiskebangsaan.

Dilihat dari sisi sejarah, keadaan semacam itumemang tidak tiba-tiba muncul. Seperti adanyakontak dengan dunia luar. Hal ini dapat dilihat kembalike zaman yang lalu, yakni zaman datangnya pengaruhEropa (Barat) di kepulauan. Sejak abad ke XIX,semakin gencar abad XX), pengaruh modern (Barat)semakin meresap merasuk ke dalam kehidupanbangsa Indonesia. Berbagai prilaku, cara hidup, nilai-nilai kemasyarakatan mengalami kemajuan, danbahkan semakin lama semakin mempengaruhi carahidup dan berpikir bangsa Indonesia ini.

Pada abad XX, pengaruh luar yang sering disebutsebagai budaya modernitas, atau globalisasi, semakinleluasa masuk ke Indonesia. Sistem teknologi yangcanggih membuat hubungan individu satu dengan yanglain, menjadi tanpa batas. Hubungan itu dapatmelampaui batas-batas ruang dan waktu. Karenaadanya hubungan yang semakin mengglobal, dansemangat konsumerisme itu tampak telahmengendorkan, melemahkan sikap-sikap primodialbangsa yang sebelumnya memberi semangat padakehidupan masyarakat. Semakin lemahnya rasa

Page 7: JURNAL SENI BUDAYA - download.isi-dps.ac.id

MUDRA VOLUME 25 NO.2 SEPTEMBER 2010: 108-119

110

nasionalisme bangsa ini semakin memicu munculnyakonflik-konflik antar kelompok yang ada di dalamnya.

Dalam era globalisasi, konflik-konflik yang muncultidak hanya diakibatkan oleh perbedaan kepentinganideologi ataupun ekonomi. Tetapi juga sering karenaadanya perbedaan peradaban. Menurut Hutington,peradaban adalah sebuah ikatan kultural yangterbentuk atas kelompok etnis, agama, dan bahasadari suatu kelompok masyarakat. Pecahnya konflik-konflik antar etnis yang terjadi di negeri-negeri Afrika,adalah contoh dari adanya perbenturan peradaban(Huntington, 1968). Dalam hubungan itu, tampakbahwa Huntington melihat bagaimana perbedaankebudayaan, atau keberagaman dalam kebudayaandapat membawa konflik antar kelompok. Sampaidisini nampak bahwa globalisasi, atau modernitasbudaya, telah membawa serta setidaknya suasanakonflik, atau benturan antar peradaban, yaitu benturanantara peradaban Barat dan Timur, juga benturanantara peradaban modern dan tradisional.

Selain itu, sifat pluralis bangsa Indonesia, yangmerupakan bibit laten, juga sistem pemerintahan yangsentralistis di masa Orde Baru ini masih menjadicontoh bagaimana penyimpangan-penyimpangan ituterjadi. Garis-garis Besar Haluan Negara pada masaitu senantiasa memberi gambaran yang baik mengenaiera pembangunan bangsa menuju cita-cita kehidupanberbangsa berlandaskan demokrasi Pancasila.Namun di dalam pelaksanaannya, semua nampakdapat diatur secara sentralis, yang kemudianmembawa berbagai kekecewaan di daerah.Beberapa kebijakan pemerintah yang berorientasipada stabilitas politik, tampak menjadi faktor pentingdalam proses penyeragaman budaya. Penyergamansistem dan struktur pemerintahan desa, merupakansalah satu bentuk pemaksaan atas masyarakat adatyang sebelumnya otonom (Abdon Nababan, 1995 :429). Secara jelas Undang-Undang No. 5 Tahun 1979tentang pemerintahan desa, telah memaksa sistempemerintahan desa menjadi seragam di seluruh In-donesia. Hanya di Bali penyeragaman itu sulitdilakukan, sehingga tetap eksis dengan apa yangdikenal sebagai desa adat dan desa dinas (Warren,2002 : Parimartha, 2001). Keadaan penekanan, ataudominasi seperti itu dapat menjadi sumber munculnyaberbagai krisis kebangsaan.

Pada masa pemerintah Orde Baru, pembangunanbangsa Indonesia berbalik 180 derajat. Sebelumnya,dimasa yang dikenal sebagai Orde Lama,pemerintahan lebih menekankan pada pembangunanmental dan keutuhan bangsa (character building),mempersiapkan bangsa menuju era baru yang mod-ern. Memasuki masa Orde Baru arah pembangunandiubah lebih berorientasi pada ekonomi, denganharapan dapat membangun bangsa secara cepatdalam bidang ekonomi (kesejahteraan). Untuk dapatmembangun ekonomi secara cepat, pemerintahmembuat hutang yang besar kepada dunia luar, tidakhanya besar, bahkan berlebihan – menurut ahlisejarah politik Roeslan Abdulgani. Sejalan dengansemangat kapitalisme dunia, dan budaya modernitas,masyarakat Indonesia terjebak ke dalam ideologikapitalis, yang sekaligus memiliki watak darikemakmuran yang dijanjikan ideologi kapitalis, yangsekaligus memiliki watak konsumeris dalammenikmati hidup. Akibatnya muncul krisis moneterpada tahun 1997. mengatasi krisis berkepanjangan,dilakukan usaha memperbaiki keadaan ekonomi,dengan istilah reformasi ekonomi. Hal ini jugadilakukan dengan mengadakan pinjaman kepadadunia luar. Kali ini pinjaman diminta kepada DanaMoneter Internasional (IMF), yang memberikanpersyaratan sebagai imbalan bantuan sebesar 43milyar dollar AS. Persaratan itu adalah : (1)dihapuskannya politik monopoli pemerintahIndonesia yang menyengsarakan rakyat kecil, (2)diadakan perombakan bentuk-bentuk perusahaanyang berwatak kerabatisme (cronyism). Perbaikanperekonomian ini-pun tampaknya belum memenuhiharapan masyarakat. Akhirnya, rezim Order Baruitu jatuh akibat adanya kekuatan reformasi yang jugamelengserkan Soeharto sebagai presiden RI padatanggal 21 Mei 1998 (Roeslan Abdulgani, Bali Post,31-5-2002, hal 7).

Betapa pun semangat reformasi telah tumbuh danmencoba membawa perubahan untuk perbaikankehidupan bangsa, namun masih saja ada hambatan,ganjalan dalam pelaksanaannya. Banyak faktor yangdapat dilihat sebagai penghambat, seperti masihbercokolnya kekuatan unsur-unsur anti reformasi,adanya kelompok kepentingan yang sulitdipertemukan, dikotomi kepentingan pusat-daerah,dan lain-lain. Karena kompaknya unsur krisis itu,maka muncul istilah, “krisis multidimensional”, ataudi era ini disebut krisis reformasi, yang pada

Page 8: JURNAL SENI BUDAYA - download.isi-dps.ac.id

Multikulturalisme dan Pariwisata... (Ni Made Ruastiti)

111

hakekatnya dapat dilihat sebagai krisis kebudayaanbangsa secara keseluruhan, seperti adanya konflik-konflik etnik yang belakangan ini terjadi. Sebagaicontoh terjadinya konflik Madura-Dayak, konfliketnik di Ambon, konflik di Sulawesi, konflik di Jakarta,dan lain sebagainya yang dapat dilihat sebagai suatubentuk krisis peradaban, yang dapat mengancamkeutuhan bangsa. Barangkali konflik-konflik itumuncul sebagai satu fenomena kompensasi jiwabangsa yang multikultural, yang sebelumnya tertekandi bawah kekuasaan Orde Baru, yang kini terlepastanpa arah yang jelas. Kondisi semacam ini bisa sajadilihat sebagai suatu bentuk krisis kebangsaan dankrisis kebudayaan. Maka ketika para praktisimengajukan pemecahan dengan perbaikan ekonomi,atau dengan penegakan supremasi hukum semuanyatidak mampu membawa bangsa ini keluar dari krisistersebut.

Munculnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999tentang Otonomi Daerah, yang diharap dapatmemberikan keleluasaan pada dearah-daerah untukmengurus-mengurus urusannya sendiri berdasarkanotonomi luas, nyata dan bertanggung jawab, jugabelum jelas arahnya. Nampak Undang-Undang itumasih banyak menggunakan logika serta indikatorekonomi dalam merumuskan konsepnya. Oleh sebabitu, konsep otonomi daerah ini menjadi sangat biasekonomi, dan bukan lagi dilihat sebagai sebuahkeputusan politik. Contoh, bagi daerah yang tidakmampu secara ekonomi melaksanakan otonomi, akandigabung dengan daerah yang lain (Tim Lapera, 2000: XXIII). Maka dari itu, Undang-Undang otonomidaerah ini-pun tampak belum memberikan solusi ataskrisis yang sedang melanda bangsa ini, bahkancenderung memunculkan arogansi daerah dalampelaksanaannya. Dalam hubungan ini, bisa dimengertibahwa :

“Reformasi sistem pemerintahan masih menjadikonsep topdown, yang proses pembagian otoritaspolitik (political authority) masih didasarkan padakonsepsi politik dan kemauan politik (political will)pemerintah pusat. Otoritas lokal belum menjadipraktek aktual yang berlangsung secara dialogisdalam hubungan pusat dan daerah”, sebagaimana jugadikatakan oleh Irwan Abdullah bahwa “Prosespenyatuan dan penyeragaman kebudayaan telahterjadi pada masa Orde Baru, dan hingga setelahOrde Baru pun belum tampak adanya perubahan

(pengembangan kebudayaan lokal). Sementara,sepanjang masa Orde Baru tampak semua wargadisibukan dengan upaya-upaya pengembangankebudayaan Nasional yang juga sesungguhnya tidakpernah ada” (Abdullah, 2002 : 14).

Dapat dimengerti, jika Irwan Abdullah menyatakanbahwa kebudayaan nasional tidak pernah ada, karenaia selalu bergerak, dan terus tumbuh dalam satuproses yang dinamis. Mungkin juga Irwan ragu kalausimbol kebudayaan nasional akan mampu membawagerak perkembangan bangsa ini ke arah yangintegratif. Yang nyata adalah kelompok-kelompokpendukung kebudayaan daerah yang secara kompaktelah menyatakan siap membangun bangsa yang satu,yaitu bangsa Indonesia. Itulah yang terjadi padaproklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945.Karena bangsa Indonesia sedang tumbuh, dan tetapakan tumbuh, maka kebudayaannya pun sedangtumbuh dan belum merupakan sesuatu yang bulat danutuh, akan tetapi tetap tumbuh.

Maka jika dilihat dari segi akarnya di Indonesia, unsurkrisis itu dapat dikelompokkan atas dua yakni : faktorluar dan dalam. Sebagai faktor luar dapat dilihatbahwa globalisasi budaya modernitas telah melandamasyarakat Indonesia, membawa perubahan-perubahan di dalam cara, dan gaya hidup, mengarahpada ciri-ciri modern, individual, konsumtif. Dapatdimengerti, bahwa globalisasi budaya modernitasmerupakan globalisasi dalam level budaya yangmengacu pada prinsip hidup modern, tercermin dalamideologi kultural konsumerisme (Trijono, 1996: 137).Adanya sentuhan budaya global, menyebabkansemakin banyak warga bangsa Indonesiaterpengaruh, sehingga membuat mereka mudahberhubungan dengan dunia luar, dan mengaburkanpandangannya terhadap identitas negara bangsa.Semangat nasional ini mencair menjadi semangatdunia yang tanpa batas. Semua dipercepat denganmajunya teknologi informasi, dan komunikasi, yangmembawa seseorang dengan mudah dapatberhubungan dengan orang lain, di luar wilayah negarasendiri. Faktor kedua, adalah faktor dalam negerisendiri. Sebagai bangsa yang plural, dan multikultural,kini sentimen etnik semakin terpancing menampakkansikap anasional, kurang toleransi, tetapimengutamakan kepentingan kelompok sempit yangmeresahkan. Terjadinya konflik-konflik dan bentrokantar etnik yang semakin runyam sebagaimana

Page 9: JURNAL SENI BUDAYA - download.isi-dps.ac.id

MUDRA VOLUME 25 NO.2 SEPTEMBER 2010: 108-119

112

diungkapkan di atas merupakan contoh dari situasikrisis kebangsaan, krisis kebudayaan yang sedangmelanda bangsa.

Sejak awal tumbuhnya bangsa Indonesia, telahdikenal bahwa bangsa ini terdiri atas berbagai sukubangsa dengan daerah/wilayahnya sendiri, sehinggadikenal dengan bangsa yang plural, berdimensi jamakdalam segi etnik. Munculnya satu bangsa dalamwujud plural itu, bukanlah sesuatu yang kebetulan,tetapi melalui pengalaman sejarah yang panjang,setelah bergelut dengan pahit getir perjuanganmengusir penjajahan.

Secara etnik dan geografis, jelas bahwa bangsa In-donesia tidak hanya plural dalam arti etnik, tetapi jugamulti dalam arti cultural. Maka paham multikulturalperlu dikembangkan, demi munculnya rasa salingmenghargai antar sesama multikultural, ataumultikulturisme yang sesungguhnya merupakan reaksiatas dominasi yang semakin luas dari budayamodernitas yang menekan, mematikan kreatifitasbudaya lokal. Pandangan ini sejalan dengan semangatpostmodernisme yang sedang berkembang danmemberi dukungan kepada kebhinekaan budaya yangtidak terikat pada dominasi globalisasi. Paham inidapat mempertemukan budaya global dan budayalokal untuk dapat hidup bersama dan berinteraksisaling mendukung satu dengan yang lainnya, yangdisebut dengan istilah Glokalisasi budaya.

Diterapkannya Undang-undang Otonomi Daerah(OTDA), dapat dimengerti sebagai bagian darikesadaran multikultural. Sebagai bangsa yang sadarakan warisan budayanya, maka setiap warganya patutmemelihara warisan dan nilai-nilainya,mengembangkan sikap toleransi yang tinggi terhadapberbagai perbedaan yang ada. Semangat demokrasidalam wadah Negara Kesatuan Indonesia. BhinekaTunggal Ika merupakan satu konsep mengenaitoleransi, hidup bersama dalam keberagaman, dandalam satu wilayah tertentu secara bersama. Ituadalah satu konsepsi yang sejalan dengan pandanganmultikulturalisme yang berkembang berhadapandengan paham global yang ingin menyeragamkankehidupan dunia. Oleh karena itu, konsep BhinekaTunggal Ika hidup terus di dada bangsa Indonesia,dipelihara, dan dikembangkan secara terus menerussehingga setiap generasi mampu memberi maknakepada eksistensi dirinya sebagai satu bangsa yang

bhineka (berbeda) tetapi tunggal ika (satu itu).Namun, dengan semangat multikultural atau BhinekaTunggal Ika, bangsa Indonesia mampu mengatasiberbagai krisis bangsa yang timbul atas pandangansempit di tengah peradaban manusia yang terusbergerak.

MULTIKULTURALISME DANPARIWISATA BALI

Pariwisata adalah “segala sesuatu yang berhubungandengan wisata, termasuk pengusahaan obyek wisatadan daya tarik wisata usaha-usaha yang terkait denganbidang tersebut” (Perda Tingkat I Bali Nomor 3/1991,Bab 1, pasal 1). Penyelenggaraan usaha-usahatersebut tidak terlepas dari pubisnis pariwisata danwisatawan, yakni “setiap orang yang mengunjungisuatu negara tempat tinggalnya yang biasa, untukberbagai tujuan selain mencari dan melakukan suatupekerjaan yang menguntungkan di negara yangdikunjungi” (Wirawan, 1989 : 26). Mereka memilikikaitan yang sangat erat, mengingat bahwa pebisnismengusahakan objek, sedangkan wisatawanmenikmatinya, sehingga timbul pertukaran barang danatau jasa yang berdimensi ekonomis.

Penikmatan ini dilakukan dengan cara wisatawantinggal di suatu daerah tujuan wisata lebih dari 24jam. Selama mereka tinggal di daerah tujuan wisatamereka tidak saja melakukan komunikasi ekonomis,tetapi juga komunikasi antarbudaya denganmasyarakat tempatan atau tuan rumah. Karena itulah,kehadiran mereka di daerah tujuan wisata tidak sajasecara fisikal dan ekonomis, tetapi juga secarakultural. Dalam artian, kehadiran mereka tidak hanyamenikmati apa yang butuhkan dan dibayar dengandolar, tetapi sekaligus juga melakukan hubungan sosialbudaya dengan masyarakat setempat, sehingga terjadihubungan budaya secara timbal balik. Dengandemikian, dalam perspektif antropologis maupunsosiologis pariwisata sekurang-kurangnya mencakupdua dimensi, yakni dimensi ekonomis dan kultural(Usman, 1998).

Hubungan ekonomis maupun kultural yangberlangsung antara wisatawan dengan masyarakatsetempat bisa menimbulkan berbagai dampak antaralain adalah dampak kultural, yakni pengaruh padabidang kebudayaan baik pada masyarakat setempatmaupun wisatawan. Dampak kebudayaan bisa yang

Page 10: JURNAL SENI BUDAYA - download.isi-dps.ac.id

Multikulturalisme dan Pariwisata... (Ni Made Ruastiti)

113

diinginkan yang lazim disebut dampak positif, ataubisa pula dampak yang tidak diinginkan ini lazimdisebut dampak negatif (Suratmo, 1991, Soemarwoto,1989). Kriteria untuk menentukan dampak positifmaupun negatif adalah kefungsionalan bagikelangsungan hidup sistem sosial maupun sistemorganisme. Dalam artian, kalau hal itu memberikankontribusi positif maka disebut berdampak positif,begitu pula sebaliknya.

Kemunculan dampak budaya dalam pariwisata tidakbisa dilepaskan dari kehadiran wisatawan pada suaturuang atau lokasi yang dihuni oleh masyarakatsetempat. Namun, mengingat bahwa peristiwamemiliki pula dimensi ekonomis yang luas dankompleks, maka tidak mengherankan jika pada suatudaerah tujuan wisata hadir banyak orang dengantujuan mencari nafkah. Para pencari nafkah berasaldari masyarakat setempat maupun orang luar. Padaruang yang sama mereka berinteraksi satu samalainnya sehingga membentuk suatu sistem sosial.

Wisatawan maupun migran pencari nafkah, terutamayang bukan berasal dari masyarakat setempat tidakbisa melepaskan kebudayaannya. Karena,kebudayaan yang mereka miliki terinternalisasimelalui proses enkulturasi, pelaziman budaya ataupemrograman budaya yang membuat mereka ketikaberimigrasi akan tetap membawa kebudayaannya.Sebaliknya, masyarakat setempat sebagai tuanrumah, dengan sendirinya juga terikat kepadakebudayaan yang memiliki. Oleh sebab itu, tidakmengherankan jika pada suatu daerah tujuan wisataterutama pada kawasan hunian wisata munculmasyarakat pluralistik atau multikultural yang begitukental, seperti tampak pada kawasan wisata Kuta,Sanur, Lovina, Candi Dasa, dll.

Masyarakat setempat, wisatawan maupun migranpencari nafkah memiliki motivasi sendiri-sendiri ataubahkan bisa juga sama maupun saling salingmelengkapi, karena bermain dalam ruang yang sama,maka satu sama lainnya akan terlibat dalam suatukomunikasi antar budaya, mengingat bahwa produsenpesan adalah anggota suatu budaya, sedangkanpenerima pesannya adalah anggota suatu budayalainnya (Porter dan Samovor, 1990). Eilers (1995)menunjukkan dalam komunikasi antarbudaya akanterjadi suatu proses interaktif, berlandaskan padatujuan bersama, tidak resmi dan pengungkapan pesanlewat interaksi.

Motivasi-motivasi itu, baik secara terpisah maupunyang satu dengan yang lainnya berkomplementer,mendorong wisatawan untuk berkunjung ke suatudaerah tujuan wisata. di daerah tujuan wisata merekaakan berhubungan dengan masyarakat tempatan yangberstatus sebagai tuan rumah. Masyarakat tempatanmemiliki sistem budaya yang terdiri dari beberapaunsur, yakni bahasa, sistem ekonomi, sistemkesehatan, organisasi sosial, peralatan danperlengkapan hidup, sistem religi, sistem kesenian dansistem rekreasi. Unsur-unsur tersebut berkombinasiatau saling berhubungan yang merupakan suatukesatuan (Koentjaraningrat 1983 ; Harris dan Moran,1990).

Kedatangan wisatawan menimbulkan peluang kerjasehingga mengundang penduduk tempatan maupunorang luar untuk berimigrasi ke daerah-daerah daerahtujuan wisata, dengan tujuan utama mencari nafkah.Hal ini dapat dilihat di Bali, dimana banyak etnik non-Bali yang berimigrasi ke Bali, misalnya etnik Jawa,Madura, Minangkabau, Sasak, Batak, dll.Kedatangan mereka ke Bali membawa pula sistembudaya yang mereka miliki. Karena itu, tidakmengherankan jika di suatu daerah tujuan wisata bisamuncul masyarakat multibudaya.

Wisatawan, masyarakat tempatan dan migran pencarinafkah berhubungan satu sama lainnya dalam kontekskomunikasi antarbudaya. Hubungan mereka lebihbanyak bermotifkan ekonomi dan tunduk kepadasistem ekonomi, yakni nilai jual ekonomi itu mutlakmemerlukan kebudayaan mediasi, terutama adalahbahasa, baik bahasa lisan, tertulis maupun gerakanggota badan (gestures). Bahasa yang dipakai bisaberasal dari kebudayaan lokal (bahasa Bali),kebudayaan nasional (bahasa Indonesia), ataukebudayaan global, bahasa dunia atau asing, misalnyabahasa Inggris, Jepang, Cina, dll. Atau mereka bisapula menggunakan kebudayaan lokal antara lainberbentuk bahasa campuran sebagaimana yangsering dipakai pada tempat-tempat umum, misalnyadi pasar (Suparlan, 1986).

Unsur lainnya yang dapat pula berfungsi sebagaimediasi adalah aspek-aspek budaya yang disuguhkanoleh tuan rumah maupun migran pencari nafkahkepada wisatawan, sehingga mereka bisaberhubungan dalam tata ekonomi pasar secaratimbal-balik. Hal ini pun bisa diambilkan dari

Page 11: JURNAL SENI BUDAYA - download.isi-dps.ac.id

MUDRA VOLUME 25 NO.2 SEPTEMBER 2010: 108-119

114

Bali, semakin lama semakin banyak. Mereka menetapatau bahkan berkampung halaman di Bali, sehinggamasyarakat Bali menjadi semakin pluralistic.Hubungan wisatawan, migran pencari nafkah denganmasyarakat tempatan terjadi secara tangan pertamadan kontinu, sehingga terbentuklah akulturasi (Berryet.al. 1999).

Akulturasi bisa menimbulkan respon yang bervariasipada tatanan individu maupun kelompok sistem sosial.Respon yang bisa terjadi adalah masyarakat tempatanmengagumi kebudayaan asing, baik yang berasal dariwisatawan maupun kebudayaan para migran, dansebaliknya mereka menolak kebudayaan sendiri.Sejalan dengan itu mereka menerima kebudayaan luardengan penuh kegairahan, dan sabaliknya merekamelakukan passing atau meninggalkan kebudayaansendiri. Karena itu, secara perlahan-lahan sistembudaya tempatan akan digantikan dengan sistembudaya asing. Pada tingkatan individu semakin banyakorang kehilangan identitas etniknya, bahkan merekamengejek atau menjelekkan kebudayaan sendiri. Padatataran masyarakat akan muncul dampak erosibudaya maupun asimilasi, yakni masyarakat tempatanmeleburkan dirinya secara total pada budaya asing.Gejala ini sering pula disebut cocacolonisasi ataucaptive mind syndrom, yakni menerima segalabentuk produk asing (Barat), bahkan sampai ke sistemberpikir ala Barat (Yusuf, 1991). Segala sesuatu dariBarat diterima tanpa kritik, sehingga terbentukmanusia yang secara fisikal adalah serupa ini makadengan meminjam apa yang dikemukakan Naisbit danbahwa pariwisata telah berubah menjadi imperialismecultural. Keadaan ini dapat mengancamkelangsungan hidup nasionalisme maupun budayaetnik yang mereka miliki.

Respon lainnya bisa bersifat berlawanan daripadapassing, yakni terjadi penolakan terhadapakebudayaan luar yang disertai dengan sikap melebih-lebihkan kebudayaan sendiri. Pada tataran kehidupanberbangsa dan bernegara bias melahirkannasionalisme cultural atau bahkan mengarah kepadachavinistik. Sedangkan pada tataran etnik bisamelahirkan etnosentristik bahkan mengarah kepadaxenophobia. Sejalan dengan it sistem budayanasional maupun budaya etnik menjadi kuat danmenonjol, sebaliknya sistem budaya luar menjadilemah. Hal ini bisa melahirkan sikap meremehkanmaupun memusuhi orang luar, baik dalam bentuk

kebudayaan lokal, misalnya kesenian (tari, musik,lukis, seni kuliner), sistem ritual, peninggalan sejarah,dll. Dengan adanya media ini timbullah komunikasiantar budaya yang bersifat visual, verbal, tindakan,kimiawi, dll. Bahkan yang tidak kalah pentingnya, bisapula terjadi bahwa aspek-aspek tersebut diambilkandari kebudayaan global, sebagaimana terlihat dariadanya pusat-pusat hiburan, hotel atau rumah-rumahmakan bertaraf internasional atau mengikuti seleranegara tertentu. Dengan cara ini diharapkanwisatawan bisa betah di suatu daerah tujuan wisata,karena selera budaya mereka yang terkait denganpemenuhan kebutuhan dasar terpenuhi secaraoptimal. Untuk merebut pasar wisata terutama dalamkesenian diperlukan kemasan berbagai atraksi wisatayang dibentuk dari berbagai keunikan lokal darimasing-masing kabupaten. Dengan demikian atraksi-atraksi wisata lokal ini dapat bersaing di pasarglobal.

Wisatawan tidak seluruhnya bisa berbahasa Indone-sia maupun berbahasa daerah, begitu pula masyarakattempatan tidak semuanya bisa berbahasa asing. Belumterhitung lagi adanya kenyataan bahwa sebagai or-ang asing, wisatawan tidak mengenal secara baikdaerah yang dikunjunginya. Karena itu hubunganantarbudaya bisa mengalami kendala cultural. Dalamkaitan inilah diperlukan broker budaya, yakni merekayang bertindak sebagai orang tengah atau perantarabudaya antara sistem lokal dengan sistem nasional;masyarakat Bali dengan wisatawan domestik, atauantara sistem lokal dan sistem nasional dengan sistemglobal ; masyarakat Bali, masyarakat Indonesia danwisatawan mancanegara. Pada umumnya, merekaterdiri dari juru bahasa, pemandu wisata atau penjualcenderamata (Matheison dan Wall, 1991). Sebagaibroker budaya, mereka fasih linguistik – menguasaianeka bahasa, misalnya untuk kasus Bali, merekatidak saja menguasai bahasa ibu – Bahasa Bali, tetapijuga bahasa Indonesia dan bahasa asing. Bahkan,tidak menutup pula kemungkinan mereka fasihbudaya, sehingga peranan mereka sebagai brokerbudaya bisa berlangsung secara baik.

Kunjungan wisatawan ke suatu daerah tujuan wisataberlangsung secara kontinu, bahkan ada musim-musim tertent daerah tujuan wisata mengalamikebanjiran wisatawan (Mahieson dan Wall, 1991).Begitu pula migran pencari nafkah yang datang kesuatu daerah tujuan wisata, seperti yang tampak di

Page 12: JURNAL SENI BUDAYA - download.isi-dps.ac.id

Multikulturalisme dan Pariwisata... (Ni Made Ruastiti)

115

wacana maupun tindakan kekerasan. Akibatnya, padatataran sistem sosial timbul friksi antarkelompokmaupun antaretnik yang pada akhirnya bisamelahirkan konflik sosial.

Selain itu, bisa pula timbul respon dalam bentukmarginalisasi, yakni terbentuknya manusia yangterombang-ambing antara budaya sendiri dan budayaasing. Mereka tidak menentukan anutan budayasecara tegas, semuanya diterima secara serempak,namun tidak dihayati sampai ke aspek maknanya.Akibatnya timbul pendangkalan budaya maupunkeraguan dalam bertindak, karena mereka tidakmemiliki resep bertindak yang pasti. Orang marginalakan sulit diterima atau sulit bisa masuk ke dalamkelompok yang menyukai budaya luar maupun budayatempatan. Kesemuanya ini dapat mengakibatkanmanusia mengalami stress akulturasi yang antara laindapat berwujud perasaan marginalitas dan alienasi(Berry et al, 1999). Kondisi ini dapat mendorongmereka untu menggerakkan perubahan sosial dansekaligus menciptakan kemantapan anutan budayaagar kermaginalisasian mereka tidak berlarut-larut.

Respon lainnya adalah mereka mampumengintegrasikan kebudayaan luar dengankebudayaan tempatan, sehingga menimbulkanhubungan harmoni pada tataran sistem sosial. Halini tidak semata-mata karena mereka memiliki anutanbudaya yang pasti, tetapi juga karena mereka mampumembangun sistem sosial yang berasaskan pluralismedan pemeliharaan kebudayaan secara berkelanjutan.Untuk mewujudkan sasaran ini diperlukan mediat-ing person, yakni orang yang berkemampuanmenyaring, mengombinasikan, serta menyintesekankebudayaan luar dengan kebudayaan tempatan tanpamenanggalkan aspek aslinya, sehingga melahirkansuatu bentuk kebudayaan yang layak bagikelangsungan hidup sistem sosial (Yusuf, 1991).Dengan mengacu kepada temuan Horikoshi (1987)perana mediating person acapkali berada ditanganpara pemimpin tradisional.

Bali sebagai daerah tujuan wisata telah dikenal sejakakhir abad XIX, dan terus berlangsung sampai saatini. Bahkan, pengembangan Bali sebagai daerahtujuan wisata telah mencapai taraf kematangan(Bandem, 1996; Atmadja, 1992). Pencapaian tarafini tentu menimbulkan berbagai dampak kultural padamasyarakat Bali. Masalah ini sering didiskursuskan

dalam aneka kegaitan ilmiah maupun paparan padaberbagai media komunikasi kebudayaan. Dalamdiskursus itu, secara garis besarnya muncul duapandangan, yakni pandangan pesimistik danpandangan optimistik. Pandangan pesimistikberanggapan bahwa peristiwa lebih banyakberdampak kultural negatif bagi kebudayaan Bali.Dengan mengacu kepada Matheison dan Wall (1991)pandangan pesimistik tidak bisa dilepaskan dariadanya kenyataan bahwa wisatawan yangberkunjung ke Bali kebanyakan berasal dari negara-negara yang secara ekonomis dan kultural termasuknegara maju. Kondisi ini mempengaruhi pola aliranbudaya, yakni lebih kuat dari negara maju ke negaramiskin, sehingga akulturasi yang bercorak asimilasisulit dihindarkan. Sebaliknya, mereka yang merekamiliki, baik yang bersumberkan pada pengalamanmereka dalam bersumberkan pada agama Hindu,mereka berkemampuan mengadaptasikan ataumelokalisasikan kebudayaan luar sehingga sistemsosial mereka tetap berlangsung secara harmoni.

Pariwisata Dan Kebudayaan BaliBertolak dari bukti-bukti kondisi kultural masyarakatBali di kekinian maupun di kelampauan sepertitercermin pada perjalanan Sejarah Bali, tampakbahwa pandangan optimistik cukup beralasan. Halini tidak bisa dilepaskan dari adanya kenyataan bahwadalam menyikapi pengaruh kebudayaan luar merekatidak memilih respon menolak atas dasaretnosentrisme. Begitu pula pencapaian tarafkematangan dalam pengembangan Bali sebagaidaerah tujuan wisata, tidak bisa dilepaskan dariketerbukaan masyarakat Bali terhadap wisatawanmaupun migran pencari nafkah yang mengalir ke Bali.Masyarakat Bali memiliki local genius untukmelakukan mediating dalam merespon kebudayaanluar yang masuk ke Bali, sehingga masyarakat Balitetap terintegrasi secara baik. Namun, sesuai dengankonsep rwa bhineka atau oposissi binary makapandangan yang bernada pesimistik pun tidak bisadiabaikan. Karena bagaimanapun juga, di balikkeoptimisan selalu ada kemungkinan-kemungkinanyang mempesimiskan, atau di balik dampak kulturalyang positif selalu ada dampak kultural yang negatif.

Mengacu kepada pendapat Cohen (1984) dan Pitana(1996) dampak sosial maupun kultural pariwisata bisadicermati pada sepuluh bidang atau aspek, yaitu 1)dampak terhadap keterkaitan dan keterlibatan antara

Page 13: JURNAL SENI BUDAYA - download.isi-dps.ac.id

MUDRA VOLUME 25 NO.2 SEPTEMBER 2010: 108-119

116

masyarakat setempat dengan masyarakat yang lebihluas, termasuk tingkat otonomi atauketergantungannya; 2) dampak terhadap hubunganinterpersonal antara anggota masyarakat; 3) dampakterhadap dasar-dasar organisasi dan kelembagaansosisal; 4) dampak terhadap migrasi dari dan kedaerah pariwisata; 5) dampak terhadap ritmekehidupan sosial masyarakat ; 6) dampak terhadappola pembagian kerja; 7) dampak terhadap stratifikasidan mobilitas sosial; 8) dampak terhadap distribusidan pengaruh kekuasaan; 9) dampak terhadapmeningatnya penyimpangan-penyimpangan sosial;dan 10) dampak terhadap bidang kesenian dan adat-istiadat (Ave dan Hilling ed., 1992; France ed., 1997;Griya, 1996; Spillanne, 1994).

Dampak pariwisata dalam bidang kesenian misalnya,selalu menjadi bahan perdebatan yang hangat.Pertanyaan yang seringkali diperdebatkan, yakniapakah pariwisata internasional enriching(memperkaya) budaya atauhkah degrading(memerosotkan) budaya (Soedarsono, 1999, Ave danHilling ed., 1992). Untuk kasus Bali pertanyaanserupa ini sering pula diketengahkan, bahkan telahpernah diteliti oleh Pugeh et.al. (1999). Merekamenemukan bahwa pariwisata berdampak positifterhadap kesenian Bali, yakni menimbulkanrevitalisme – gairah baru dalam berkesenian. Halini bisa berwujud revival – menghidupkan kembaliseni yang telah mati, reformation – pembaruanterhadap unsur-unsur seni yang telah ada, atau rec-reation – menciptakan karya seni yang baru, sesuaidengan rangsangan yang diberikan oleh wisatawan.

Sejalan dengan temuan itu, Moquet (1971), Mathiesondan Wall (1991) dan Soedarsono (1999)mengemukakan bahwa ada berbagai sebutan yangdigunakan untuk melabeli seni pertunjukan yangdiciptakan untuk pariwisata, yakni art bymatemorphosis (seni yang telah mengalamiperubahan bentuk), art of acculturation (seni yangmerupakan akulturasi antara selera estetispenciptanya dengan selera estetis wisatawan),pseudo-tradisional art (seni bersifat semu) karenaapabila diamati, bentuk seni pertunjukan pariwisataBali yang berkembang kini tampak mengacu kepadabentuk-bentuk seni pertunjukan tradisional daerah ini,namun ditampilkan dengan tanpa unsur-unsur yangdisakralkan masyarakat setempat. Seni pertunjukanserupa ini sering disebut tourist art karena sengaja

ditampilkan untuk wisatawan. Seni serupa ini telahberubah maknanya, yakni menjadi suatu komoditisebagaimana benda-benda suvenir yang dijual dibandara Internasional. Komodifikasi seni seperti inibisa saja akan dapat menimbulkan permasalahan,memberi dampak negatif seperti desakralisasiterhadap seni pertunjukan tersebut. Namun demiuang, manusia sering melakukan pencurian terhadapberbagai karya seni yang berfungsi sebagai peralatanritual sebagaimana sering terjadi di Bali. Begitu pulamunculnya masalah imitasi seni, sebagaimanaterjadinya penjualan patung-patung Asmat (sukuAsmat di Irian Jaya) yang dibuat oleh pengerajin dariDesa Padang Bulia, Buleleng dan dijual di Bali sebagaisouvenir. Benda seni pseudo tradisional iniseringkali dibuat secara massal sehingga nilai senidan ketelitiannya kurang memperoleh perhatian. Olehsebab itu, kemerosotan nilai seni yang dimiliki patungitu sangat sulit untuk dihindari (Mathieson dan Wall,1991).

Dampak lainnya yang sering pula diperdebatkanadalah migrasi pencari nafkah ke Bali yang semakinlama semakin meningkat. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keunggulan, karena pertama,pada dirinya melekat motivasi dan panggilan kulturalyang kuat. Kedua, mereka merasa terpilih daripadapenduduk lainnya untuk berimigrasi. Ketiga, saluranberimigrasi biasanya memakai saluran keluarga –migrasi berantai (Pelly, 1994, 1997). Keunggulan inimenyebabkan banyak diantara mereka yang berhasilatau bahkan merupakan saingan bagi orang Bali,mengingat bahwa bidang usaha pencarian nafkahyang mereka tangani sama dengan apa yang ditanganioleh orang Bali sendiri. Persaingan memperebutkansumber daya ekonomi, apalagi ditambah denganadanya perdebatan identitas kesukubangsaan yangmereka miliki dapat mempermudah timbulnya konflikyang berbau SARA.

Memang benar, tidak semua migran sukses.Melainkan banyak pula di antara mereka yang kurangberuntung, sehingga menimbulkan berbagai masalahdi Bali, seperti misalnya terjadinya pencemaranbudaya yang berbentuk perilaku-perilakumenyimpang dan pencemaran lingkungan yangberbentuk menjamurnya pemukiman kumuh. Hal inimenimbulkan reaksi pada masyarakat Bali yangdiwujudkan dalam bentuk reteritorialisasi atas ruangekonomi maupun ruang kultur yang mereka miliki

Page 14: JURNAL SENI BUDAYA - download.isi-dps.ac.id

Multikulturalisme dan Pariwisata... (Ni Made Ruastiti)

117

(cf.Lull, 1993). Untuk menyikapi permasalahan-permasalahan ini terkadang tidak selamanya darimereka yang diselesaikan dengan cara yang damai,melainkan tidak sedikit mereka mempergunakan carakekerasaan, sebagaimana tercermin dari kasuspenertiban pedagang kaki lima di Kuta, penertibanrumah kumuh di Tanjung Benoa, dll. (Atmadja, 2000).Bahkan, sejalan dengan itu ada kecenderunganmasyarakat Bali mengarah kepada etnosentrismeatau xenophobia.

SIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa kunjunganwisatawan ke suatu daerah tujuan wisata tidaksemata berdimensi ekonomi tetapi juga berdimensikultural. Hal ini mengingat bahwa kedatangan merekayang rutin itu selalu disertai dengan membawakebudayaannya. Begitu pula di daerah tujuan wisatayang mereka kunjungi, mereka menuntutpengembangan budaya yang sesuai dengan budayamereka yang akhirnya demi dolar masyarakatsetempat mengikutinya, sehingga lahirlah anekaproduk budaya yang ditujukan bagi wisatawan. Selainitu, pariwisata menimbulkan pula peluang kerja.Akibatnya, banyak orang luar berimigrasi ke daerahtujuan wisata dengan tujuan utama untuk mencarinafkah. Mereka pun datang membawa sertakebudayaannya. Kesemuanya itu dapat menimbulkandampak multikultural di daerah tujuan wisata, baikdampak yang diinginkan (positif) maupun dampakyang tidak diinginkan (negatif), dimana jika tidakditanggulangi secara baik akan dapat menimbulkandisintegrasi sosial.

DAFTAR RUJUKAN

Atmadja, N.B. (1992), Pelestarian Hutan WisataKera di Desa Adat Sangeh, Bali (Suatu Telaahtentang Peranan Desa Adat Dalam MengelolaObyek Wisata), (Tesis Magister Tidak Diterbitkanpada Universitas Indonesia Jakarta).

Atmadja, N.B. (2000), Pemertahanan IdentitasKebalian : Dari Deteritorial ke Teritorialisasi.(Makalah dibawakan dalam Seminar Internasionaltentang Kebudayaan Bali yang diselenggarakan olehLembaga Pengkajian Budaya Bali).

Ave, J. dan J. Hillig. Ed. (1992), Universal TourismEnriching or Degrading Culture ? Yogyakarta,Gadjah Mada University Press.

Bandem, I Md. (1996), Etnologi Tari Bali,Yogyakarta, Kanisius.

Berry, J.W. et.al. (1999), Psikologi LintasbudayaRiset dan Aplikasi, (Edi Suhardono Penerjemah),Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama.

Cohen, E. (1984), “The Sociology of Tourism :Approaaches Issues and Findings”, Annal ofTourism Research, Nomor 30. Halaman 236-226.

Ellisers, F.J. (1987), Berkomunikasi Antara BudayaSuatu Pengantar Komunikasi Antarbudaya,(J.Tondowidjjo Penerjemah), Flores, Nusa Indah.

Erawan, I., ed. (1997), Periwisata danPembangunan Ekonomi (Bali sebagai kasus),Denpasar, Upada Sastra.

France, I., ed. (1997), The Earthscan Reader inUstainable Tourism, London, Earthscan Publica-tions Ltd.

Griya, Wy. (1995), Pariwisata dan DinamikaKebudayaan Lokal, Nasional, Global, Denpasar,Upada Sastra.

Harris. Ph. R. dan R.T. Moran. (1990), “MemahamiPerbedaan-perbedaan Budaya”, Dalam DeddyMulyana dan Jalaluddin Rakhmat, ed., KomunikasiAntarbudaya, Badung, PT. Remadja Rosdakarya,Halaman 58-75.

Horikoshi, H. (1987), Kyai dan Perubahan Sosial,(Umar Basalin dan Andi Muarly SunrawaPenerjemah), Jakarta, P3M.

Koentjaraningrat. (1983), Pengangar Antropologi,Jakarta, Aksara Baru.

Lull, J. (1993), Media Komunikasi KebudayaanSuatu Pendekatan Global, (A. Setiawan AbadiPenerjemah), Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.

Maquet, J. (1971), Introduction to AestheticAnthropology, Massachusett, Addison Wesley.

Page 15: JURNAL SENI BUDAYA - download.isi-dps.ac.id

MUDRA VOLUME 25 NO.2 SEPTEMBER 2010: 108-119

118

Mathieson, A. dan G. Wall. (1991), Toursim :Economic, Physical and Social Impacts, England,Longman Group UK Limited.

Mathieson, A. dan Wall. (1991), Tourism :Principles, Practices, Philosophies, New York,John Willey & Sons.

Naisbitt, J. dan P. Aburdene. (1990), Sepuluh ArahBaru untuk Tahun 1990-an Megatrends 2000,(F.X. Budiyanto Penerjemah), Jakarta, BinarupaAksara.

Pelly, U. (1994), Urbanisasi dan Adaptasi PerananMisi Budaya Minangkabau dan Mandailing,(Hartono Hadikusumo Penerjemah), Jakarta, LP3ES.

Pelly, U. “Keserasian Manusia Pendatang denganLingkungan Tujuan”, Dalam Rofik Ahmadi ed.,Budaya Kepeloporan dalam Mobilitas Penduduk,Jakarta Diterbitkan Atas Kerja Sama Puspa Swaradengan Departemen Transmigrasi dan PemukimanPerambah Hutan, Halaman 122-138.

Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I BaliNomor : 3 Tahun 1991 tentang Peristiwa Budaya,Denpasar, Biro Hukum Setwilda Tingkat I Bali.

Pitana. I Gd. (1996), “Balinika-CyberneticaPariwisata dan Religiusitas Kekininian MasyarakatBali”, Pustaka Hindu Raditya, I, Nomor 5, Halaman161-179.

Poster, R.E.T. dan L.A. Samovar. (1990), “SuatuPendekatan terhadap Komunikasi Antabudaya”,Dalam Mulyana dan Jalaluddin Rakhamat ed.,Komunikasi Antarbudaya, Bandung, PT. RemadjaRosdakarya, Halaman 12-38.

Pugeh, Kt.et.al, Dampak Pariwisata terhadapKesenian Etnis Bali dan Perilaku Masyarakat Balidi Daerah Propinsi Bali, Singaraja, FKIP.

Soedarsono, R.M. (1999), Metodologi PenelitianSeni Pertunjukan dan Seni Rupa dengan ContohUntuk Tesis dan Disertasi, Bandung, MasyarakatSeni Pertunjukan Indonesia.

Soemarwoto, O. (1989), Ekologi LingkunganHidup dan Pembangunan, Jakarta, Djambatan.

Spillane, J. (1994), Pariwisata Indonesia SiasatEkonomi dan Rekayasa Kebudayaan, Yogyakarta,Kanisius.

Suparlan, P. (1986), “Penelitian bagi menunjangPembinaan dan Pengembangan KebudayaanNasional”, Dalam A. Widjaja ed., ManusiaIndonesia Individu Keluarga dan Masyarakat,Jakarta, Akademika Pressindo. Halaman 81-88.

Suratmo, G. (1991), Analisis Mengenai DampakLingkungan, Yogyakarta, Gadjah Mada UniversityPress.

Usman, S. (1998), Pembangunan danPemberdayaan Masyarakat, Yogyakarta, PustakaPelajar.

Yusuf, Y. (1991), Psikologi Antar Budaya, Bandung,PT. Remaja Rosdakarya.

Abdulgani, Roeslan. (2002), Bali Post (31-5), hal.7

Abdullah, Irwan, (2002), Denpasar (Paperdisampaikan dalam Simposium InternasionalAnthropogi).

Banyu Perwita, A.A. (1996), “Konflik Antar Etnisdalam Masyarakat Global dan Relevansinya BagiIndonesia”, dalam Analisis CSIS (Maret-April, XXV,No. 2), hal. 149-159.

Featherstone, Mike. (1993), Consumer Culture andPostmodernism, London/New Delhi, SAGEPublication.

Hutington, (1986), Political Order in ChangingSocieties, New Heven, Yale University Press.

Muhammad Fuad. (2000), “Kebudayaan danPerubahan Sosial dalam Tinjauan Teori”, dalamWacana (Vol.2, 1, April), hal. 18-30.

Nagazumi, Akira. (1986), Indonesia Dalam KajianSarjana Jepang, Jakarta, Yayasan Obor Indone-sia.

Parimartha, I Gde. (2001), Desa Adat dan DesaDinas di Bali : Sebuah Refleksi Kesejahteraan,Jakarta (Makalah disampaikan pada KonfrensiNasional Sejarah VII, 28-31 Oktober).

Page 16: JURNAL SENI BUDAYA - download.isi-dps.ac.id

Multikulturalisme dan Pariwisata... (Ni Made Ruastiti)

119

Trijono, Lambang. (1996), “Globalisasi Modernitasdan Krisis Negara Bangsa: Tantangan IntegrasiNasional dalam Konteks Global”, dalam AnalisisCSIS, XXV, No. 2, hal. 136-148.

Warren, Carol A. (1990), Adat and Dinas : Villageand State in Cotemporary Bali. University ofWastern Australia (Dissertation of Dept. of Anthro-pology).