View
235
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Jurnal reading mengenai pneumotoraks iatrogenik. Membahas mengenai sistem skoring dan faktor risiko dari pneumotoraks.
Citation preview
JOURNAL READING
PNEUMOTHORAX IN THE INTENSIVE
CARE UNIT - INCIDENCE, RISK
FACTORS, AND OUTCOMEArnaud de Lassence, Jean-Francois Timsit, Muriel Tafflet, Elle Azoulay, Samir Jamali, Francois Vincent,
Yves Cohen, Maıte Garrouste-Orgeas, Corinne Alberti, Didier Dreyfuss
Anesthesiology 2006; 104:5–13
Disusun Oleh :
Dorothy Eugene Nindya G99142120
Pembimbing
dr. Septian Adi Permana, Sp.An, M.Kes
KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2016
Pneumothoraks pada Intensive Care Unit -
Insidensi, Faktor Risiko, dan Hasil
Latar belakang: Faktor risiko dan hasil dari pasien sakit kritis dengan
pneumothoraks iatrogenic (IP) belum diteliti dalam populasi intensive care unit
(ICU) yang besar.
Metode: Penulis meneliti secara kohort prospektif pada pasien dewasa yang
dirawat di rumah sakit lebih dari 24 jam. Data dikumpulkan pada saat masuk ICU
dan setiap harinya oleh dokter senior sampai pasien dipulangkan. Faktor risiko IP
diidentifikasi seluruhnya menggunakan kohort. Studi case control yang
dicocokkan digunakan untuk mengevaluasi risiko IP pada pasien yang meninggal.
Hasil: Dari 3.499 pasien, 69 dengan pneumothoraks sebelum masuk ICU
dieksklusikan. Dari sisa 3.430 pasien, 94 mengalami IP dalam waktu 30 hari (42
karena barotrauma dan 52 karena prosedur invasive). Insidensi kumulatif IP
sebesar 1,4% (95% confidence interval [CI], 1,0-1,8) pada hari ke-5 dan 3,0%
(95% CI, 2,4–3,6) pada hari ke-30. Faktor risiko IP (hazard ratio [95% CI])
adalah berat badan kurang dari 80 kg (2,4 [1,3–4,2]), riwayat sindrom
immunodefisiensi saat dewasa (2,8 [1,2–6,4]), diagnosis sindrom distress
respiratori akut (5.3 [2.6–11])atau edema pulmonal kardiogenik saat dirawat (2.0
[1.1–3.6]), insersi kateter pada arteri pulmonal atau vena sentral (1.7 [1.0 –2.7]),
dan penggunaan agen inotropik saat 24 jam pertama (2.1 [1.3–3.4]). Risiko IP
pada pasien yang meninggal adalah 2,6 (95% CI, 1,3–4,9; P= 0.004).
Kesimpulan: Pneumothoraks iatrogenik adalah komplikasi yang mengancam jiwa
yang didapati pada 3% pasien ICU. Pencegahan terhadap factor risiko IP
seharusnya dapat mengurangi angka kejadian IP.
2
PNEUMOTHORAKS iatrogenik (IP) adalah salah satu komplikasi iatrogenik
utama pada pasien intensive care unit (ICU). Insidensi IP dalam ICU lebih besar
dari 20% pada tahun 1990an dan sejak itu telah berkurang 3%. IP di ICU
kebanyakan merupakan komplikasi barotrauma yang berhubungan dengan
ventilasi mekanik (IP-MV) atau muncul setelah prosedur tertentu (contohnya,
setelah insersi kateter vena sentral, thorakosentesis, atau operasi). Penelitian
mengenai prognosis dan hasil dari IP kebanyakan berupa retrospektif dan
berfokus pada kategori tunggal IP.
Perkembangan dari strategi proteksi paru untuk ventilasi, material, teknik, dan
rekomendasi yang baru untuk insersi kateter vena sentral membuat IP sangat bias
dicegah dalam praktek sehari-hari. Namun, munculnya IP erat kaitannya dengan
penyakit yang mendasari ,seperti ARDS. Identifikasi pasien dengan factor risiko
bertujuan untuk mengetahui langkah preventif yang bermanfaat.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menginvestigasi insidensi, faktor risiko,
morbiditas, dan mortalitas IP pada database OUTCOMEREA® yang besar.
Materi dan Metode
Database
Kami menggunakan studi observasional prospektif dalam sebuah database
multicenter (OUTCOMEREA®) sejak Januari 1997 hingga Juni 2003. Database
ini, yang dikelola oleh 11 dokter atau ahli bedah ICU, secara spesifik didesain
untuk merekam keparahan penyakit setiap hari, kejadian iatrogenik, dan infeksi
nosokomial. Sampel pasien yang lebih tua dari 16 tahun dan dirawat di ICU lebih
dari 24 jam dimasukkan ke database setiap tahun. Singkatnya, kita dapat memilih
dua metode sampling random: (1) Rawat berturut-turut pada n bed ICU atau (2)
rawat berturut-turut pada bulan yang ditentukan. Jumlah bed (atau bulan)
dialokasikan ke dalam database setahun sekali oleh steering committee database.
Kami mempelajari semua pasien pada database OUTCOMEREA kecuali pasien
yang dirawat di ICU karena pneumothoraks (n = 69).
3
Metode dari Pengumpulan Data. Data dikumpulkan setiap hari oleh dokter
senior pada setiap unit. Untuk setiap pasien, investigator memasukkan data ke
dalam sebuah komputer menggunakan software VIGIREA (OUTCOMEREA;
Rosny sous bois, Perancis) dan memasukkan semua rekam medis ke database
OUTCOMEREA. Semua kode dan definisi dibuat sebelum studi dimulai.
Prosedur. Semua studi ICU mengikuti peraturan yang sama untuk ventilasi
mekanik dan insersi kateter. Pada pasien dengan ventilasi mekanik, volume tidal
ditetapkan untuk mempertahankan tekanan plateau dibawah 30 cm H2O pada
kebanyakan kasus dan tidak lebih dari 35 cm H2O pada semua pasien.
Akses vena sentral dipilih berdasarkan algoritma yang disarankan sebelumnya.
Singkatnya, untuk menghindari infeksi terkait kateter, akses subclavia lebih
dipilih kecuali pada pasien dengan gangguan hemostasis yang berat atau tekanan
oksigen arterial (PaO2)/fraksi oksigen insipirasi (FiO2) kurang dari 150, dengan
pilihan antara melalui jalur femoral atau jugularis interna sesuai dengan
pertimbangan dokter yang hadir. Protokol tertulis juga dibagikan pada ICU yang
berpartisipasi, namun dalam prakteknya tidak diaudit.
Variabel Penelitian. Data-data berikut yang direkam adalah: karakteristik pasien
yang dirawat (usia, jenis kelamin, asal, dan berat badan), diagnosis masuk
(pneumonia, edema pulmonary kardiogenik, eksaserbasi akut dari penyakit paru
obstruktif kronik, atau ARDS), kategori masuk, gejala utama, diabetes, acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS), penyakit kronik, skor McCabe, temuan
klinik dan laboratorium, modalitas pengobatan (kebanyakan ventilasi mekanik
[ya/tidak] dan ventilasi endotrakeal mekanik [ya/tidak], agen inotropic, dan
antimikroba), dan kateter. Skor tersebut dimasukkan saat pasien masuk dan setiap
hari sesudahnya: Simplified Acute Physiologic Score (SAPS II), Logistic Organ
Dysfunction (LOD), Sequential Organ Failure Assesment, dan skor Glasgow
Coma Scale. Dan juga durasi pemasangan ventilasi invasif, durasi dirawat di ICU
dan di rumah sakit, hasil saat keluar dari ICU dan rumah sakit juga direkam.
4
Kualitas Database. Data dikumpulkan setiap hari oleh dokter ICU dengan
komputer. Software secara automatis mengecek variabel yang dimasukkan oleh
investigator. Pada setiap ICU, prosedur pengontrolan kualitas termasuk pada
dokter ICU senior dari ICU lain yang mengecek 2% sampel secara random.
Koefisien korelasi interrater berkisar antara 0,67-1 untuk variabel klinis, skor
keparahan, dan skor disfungsi organ, dan koefisien ƙ untuk variabel kualitatif
berkisar 0,5-0,9. Nilai yang hilang terjadi hanya pada usia dan berat badan
(kurang dari 1% dari kelompok), yang digantikan oleh nilai spesifik median dari
jenis kelamin.
Definisi IP. Rontgen dada diambil setidaknya sekali sehari selama sebulan
pertama pada semua pasien dengan ventilasi, secara rutin setelah thoracentesis
atau insersi kateter vena sentral, dan ketika diindikasikan secara klinis. CT Scan
dilakukan ketika rontgen dada tidak dapat mengkonfirmasi diagnosis klinis yang
dicurigai. IP juga didiagnosis ketika dibutuhkan drainase tension pneumothorax
sebelum rontgen dada.
Semua pasien di-screening IP setiap hari selama dirawat di ICU. Empat kategori
IP dibedakan menjadi IP sekunder barotrauma yang disebabkan oleh ventilasi
mekanik invasif (IP-MV), IP setelah insersi kateter vena sentral (IP-CVC), IP
setelah thoracentesis, dan IP yang terkait dengan penyebab lain.
Analisis Statistik
Variabel kuantitatif dan kualitatif disajikan sebagai median [interquartile range
(IQR)] dan n (%). Kami mempelajari kejadian IP pertama (dalam 30 hari
pertama), "pasien hidup pulang dari ICU tanpa mengalami IP" sebagai risiko yang
bersaing. Kami menggunakan insidensi kumulatif, tidak dengan plot Kaplan-
Meier.
Episode pertama IP dalam 30 hari pertama di ICU dipertimbangkan. Sebuah
model hazard proporsional digunakan untuk menghitung waktu terjadinya IP dan
5
untuk menyelidiki faktor risiko IP. Kami menggunakan ekstensi Fine and Gray
dari model Cox mengambil risiko bersaing ke dalam akun.
Variabel secara signifikan terkait dengan IP pada tingkat risiko 0,05 dipilih
menggunakan model Cox bivariat. Analisis multivariat dilakukan dengan cara
bertahap. Karena kita mengantisipasi kolinearitas diantara skor keparahan dan
disfungsi organ, hal ini diperkenalkan berturut-turut pada langkah pertama dari
analisis multivariat.
Risiko proporsional dan hipotesis log-linearitas diperiksa untuk semua model.
Untuk variabel kontinyu, ketika log linearitas tidak dikonfirmasi, kita memotong
variabel pada break point dari kurva spline. Sebuah uji interaksi dua arah
digunakan untuk melihat interaksi yang signifikan antara variabel dalam model
akhir. Hasil dilaporkan sebagai rasio hazard dan interval kepercayaan 95% (CI).
Sebuah skor risiko pneumotoraks dikembangkan dari koefisien regresi yang
terkait dengan setiap variabel. Validasi internal dari skor risiko pneumotoraks
dilakukan dengan bootstrapping, yang melibatkan analisis sejumlah besar
subsampel (400 replika independen) dengan penggantian dari sampel penuh.
Bootstrapping memberikan perkiraan yang objektif dari koefisien β pada regresi
akhir. Validasi eksternal juga dilakukan dengan menggunakan data eksternal
pasien termasuk dalam database diantara Juni 2003 dan November 2004 (n =
1.798).
Angka kematian di rumah sakit pada pasien dengan IP, ventilasi invasif pada hari
terjadinya IP, durasi rawat inap sebelum dan setelah IP, kematian setelah IP, dan
perubahan LOD setiap hari sebelum dan sesudah IP dipelajari secara berurutan.
Kami menyelidiki apakah risiko IP meningkat pada pasien meninggal, dengan
faktor seperti keparahan dan durasi rawat di ICU. Untuk tujuan ini, kami
merancang sebuah studi kasus kontrol yang membandingkan pasien yang
meninggal di rumah sakit dan pasien yang selamat. Sedikitnya 631 kasus dan
kontrol diperlukan untuk mendeteksi peningkatan odds ratio (OR) IP dari 2
6
asumsi prevalensi IP 3% pada pasien selamat (dengan α 0,05 dan β 0.20). Kriteria
kasus kontrol (1: 1) yang sesuai adalah kemungkinan kematian di rumah sakit
(SAPS II) ±5%, durasi rawat di ICU ±20%, ventilasi invasif saat masuk, dan
transfer dari bangsal.
Kami menggunakan regresi logistik bersyarat dengan dan tanpa penyesuaian
kriteria yang cocok, faktor risiko kematian, dan faktor-faktor risiko untuk IP.
Interaksi dua arah secara klinis yang relevan dipilih dalam model akhir dan diuji.
Analisis sensitivitas dari risiko IP dilakukan pada pasien yang dipasang ventilasi
selama setidaknya 24 jam, pada mereka dengan nilai SAPS II intermedia (27- 48
poin, yaitu dari persentil ke-25 sampai ke-75), dan pada pasien yang memutuskan
untuk mengakhiri perawatan (keputusan yang diambil oleh konsensus pada
anggota staf ICU dan dikomunikasikan kepada intensivist yang bertugas atau yang
ditulis dalam rekam medis pasien).
Semua uji statistik berbentuk two tailed, dan nilai P kurang dari 0,05 dianggap
signifikan. Semua analisa statistik dilakukan dengan menggunakan software SAS
8.02 (SAS Inc, Cary, NC) dan S-plus 2000 (Mathsoft Inc., Seattle, WA).
Hasil
Populasi Studi
Dari 10.339 pasien yang dimasukkan dalam OUTCOMEREA ICU selama periode
penelitian, 3.430 (29%) masuk dalam 11 ICU yang ikut perpartisipasi (40.472 hari
ICU). Diantara ini, 94 (2,7%; 95% CI, 2,2-3,2%) mengalami sedikitnya satu
episode IP dalam 30 hari pertama (Gambar 1); 7 pasien mengalami dua episode
(termasuk 1 episode pada hari ke-31).
7
Gambar 1. Diagram penelitian. *Pneumothoraks iatrogenik (IP) sebelum 30 hari di intensive care unit. ** IP-CVC = IP setelah kateter vena sentral; IP-MV = IP yang diakibatkan barotrauma karena ventilasi invasif; IP-Oth = penyebab lain IP; IP-TC = IP setelah
thoracentesis.
Diantara 3.430 pasien yang diteliti, 2.299 (67%) mendapatkan ventilasi mekanik
invasif selama setidaknya 24 jam dan 1.949 (57%) selama 48 jam. IP dikaitkan
dengan durasi rawat di ICU yang lebih lama (7 [IQR, 4 –13] vs. 17,5 [IQR, 9 –
32] hari; P < 0,001) dan dirawat di rumah sakit (18 [IQR, 10–33] vs. 31 [IQR, 14–
46] hari; P < 0,001). Tingkat mortalitas di ICU (22 vs. 45%; P < 0,001) dan rumah
sakit (28 vs. 51%; P < 0,001) juga lebih tinggi pada pasien dengan IP.
Insidensi dan Epidemiologi dari IP
Episode pertama IP yang merupakan efek sekunder barotrauma selama ventilasi
invasif (IP-MV) pada 42 pasien, dengan waktu rawat inap rata-rata untuk IP
adalah 5 hari [IQR, 3-10 hari] dan dari inisiasi ventilasi mekanik untuk IP adalah
4 hari [IQR, 2-8 hari]. IP yang diikuti insersi kateter vena sentral (IP-CVC) pada
28 pasien, dengan waktu rata-rata dari mulai masuk sampai terjadinya IP adalah
3,5 hari [IQR, 2,5-9 hari]. IP terjadi setelah thoracentesis pada 21 pasien, dengan
waktu rata-rata dari mulai masuk sampai terjadinya IP adalah 7 hari [IQR, 3-12
hari]. IP yang dikarenakan penyebab lain terdapat pada 3 pasien, dengan waktu
8
rata-rata dari mulai masuk sampai terjadinya IP adalah 20 hari [IQR, 10 -26 hari].
Secara keseluruhan, waktu median dari mulai pasien masuk sampai ke episode
pertama IP adalah 5,5 hari [IQR, 3-11 hari].
Insiden kumulatif IP adalah 1,4% (95% CI, 1,0-1,8) pada hari ke-5, 2,1% (95%
CI, 1,6-2,6) pada hari ke-10, dan 3,0% (95% CI, 2,4-3,6) pada hari ke-30 (Gambar
2). Pada hari ke-30, insiden kumulatif adalah sebagai berikut: IP-MV, 1,3% (95%
CI, 0,9-1,7); IP-CVC, 0,9% (95% CI, 0,5-1,2); dan IP setelah thoracocentesis,
0,7% (95% CI, 0,4-1,0).
Gambar 2. Keterlambatan munculnya pneumothoraks iatrogenik pertama dan 95% confidence intervals. Diagram ini menunjukkan insidensi kumulatif ketika “pulang dari ICU
hidup tanpa pneumothoraks iatrogenik” dianggap sebagai risiko yang bersaing.
Keparahan penyakit menurut SAPS II, LOD, dan Sequential Organ Failure
Assessment lebih besar pada pasien dengan IP (tabel 1). Pasien dengan IP
memiliki perbandingan yang lebih besar dibandingkan pasien tanpa IP untuk
mengidap AIDS, pneumonia saat masuk, edema paru, atau ARDS. Pasien dengan
IP lebih mungkin untuk mendapat ventilasi invasif dan memerlukan insersi kateter
arterial, sentral, dan juga arteri pulmonalis.
Dari 94 pasien dengan IP, 10 meninggal pada hari yang sama atau sehari sesudah
terjadinya IP. Tension IP menyebabkan henti jantung pada 10 pasien (10,6%).
9
Tabel 1. Karakteristik Pasien yang Masuk dalam Penelitian
Drainase chest tube diperlukan pada 87 pasien (93%), untuk durasi rata-rata 6 hari
[3-10 hari]. Rekam medis dari 7 pasien yang tersisa ditinjau secara retrospektif.
Dua dari pasien ini memiliki gangguan hemostasis berat dan mengalami IP lokal
setelah terbebas dari ventilasi mekanik. Pada 5 pasien lainnya, IP lokal terjadi
selama pernapasan spontan, setelah thoracentesis (n = 2), insersi vena kateter
sentral (n = 2), atau biopsi transbronkial (n = 1) dan diselesaikan dengan terapi
oksigen.
Keparahan sesuai dengan nilai LOD meningkat secara signifikan antara hari
sebelum dan hari setelah IP. Rata-rata peningkatan skor LOD adalah +0,59 [+0,13
10
sampai +1,05], P = 0,004, pada hari IP dan +1,38 [+0,57 sampai +1,86], P <
0,001, pada hari setelah IP.
Faktor Risiko IP
Analisis univariat dan multivariat faktor risiko IP dilaporkan dalam tabel 1 dan 2.
Pada langkah terakhir dari analisis multivariat, enam faktor secara independen
terkait dengan IP: riwayat AIDS, diagnosis edema pulmonal kardiogenik saat
dirawat, diagnosis ARDS saat dirawat, insesrsi kateter vena sentral atau arteri
pulmonal dalam 24 jam pertama, dan penggunaan agen vasoaktif dalam 24 jam
pertama (tabel 2). Analisis bootstrap tidak mempengaruhi tipe atau signifikansi
dari faktor risiko independen (tabel 2).
Tabel 2. Faktor Risiko IP: Analisis Multivariat
Faktor risiko IP memperlihatkan sedikit perubahan ketika analisis dilakukan ulang
pada pasien dengan ventilasi mekanik saja atau pada pasien dengan sedikitnya
satu kateter vena sentral atau kateter arteri pulmonal. AIDS merupakan faktor
risiko untuk IP-MV namun bukan untuk IP-CVC.
Berdasarkan rasio hazard variabel yang disesuaikan termasuk model akhir,
dibuatlah sebuah skor risiko IP (tabel 3). Skor ini berkisar dari 0 sampai 6. Dua
11
poin menunjukkan ARDS saat dirawat, dan satu poin untuk setiap faktor risiko
lainnya. Insidensi kumulatif IP menurut skor risiko dapat dilihat pada gambar 3.
Risiko kumulaitf pada hari ke-30 berkisar dari 0,9% (95% CI, 0-1,9%) dengan
skor nol sampai 34% (95% CI, 9,5-59%) dengan skor 5 atau lebih besar (gambar
3A). Model tersebut diujikan pada set data eksternal berdasarkan populasi terbaru
yang dimasukkan dalam database (n = 1.798 pasien). Terdapat 32 kasus IP
(1,9%). Seperti terlihat pada gambar 3B, risiko IP dalam 30 hari pertama pada
populasi eksternal ini sebesar 0% saat skor risiko IP 0, bernilai 9,1% saat skor
risiko 4, dan 15,1% saat skor risiko 5 atau 6.
Tabel 3. Skor Risiko Pneumothoraks Iatrogenik
Peningkatan risiko IP pada pasien meninggal: Studi Case Control
Dari 982 pasien meninggal, 745 berhasil dicocokkan dengan pasien yang hidup.
Kecocokan bernilai sebesar 100% untuk probabilitas kematian di rumah sakit
berdasarkan SAPS II saat masuk dan saat rawat inap di ICU, 87% untuk ventilasi
12
invasif, dan 83% pada pasien yang ditransfer dari bangsal. Pada 745 pasang
pasien yang dicocokkan (1.490 pasien), 39 kasus IP (5,2%) muncul pada pasien
meninggal, dan 17 (2,2%) muncul pada pasien hidup (P = 0,003). Populasi yang
dimasukkan pada studi case-control ini dapat dilihat pada tabel 4.
Gambar 3. Insidensi kumulatif pneumothoraks iatrogenik (IP) menurut level skor risiko pada set data model (A) dan set data validasi (B).
Analisis multivariat: Regresi Logistik Bersyarat
Pada analisis multivariat, kami mengambil semua variabel yang digunakan untuk
dicocokkan dan beberapa variabel tambahan yang mungkin mempengaruhi hasil,
13
seperti LOD, penyakit kronik, kategori pasien masuk, usia, dan juga faktor risiko
IP seperti diagnosis masuk pneumonia, edema pulmonal, ARDS; berat badan;
insersi arteri pulmonal atau kateter sentral; dan AIDS. Interaksi dua arah klinis
juga diuji (LOD dengan usia, penyakit kronik, berat badan < 80 kg, operasi yang
tidak dijadwalkan, ventilasi invasif; diagnosis pneumonia dengan operasi yang
tidak terjadwal; dan penyakit kronik dengan operasi tidak terjadwal, probabilitas
kematian di rumah sakit, dan berat badan).
Pneumothorax iatrogenik lebih sering terjadi pada pasien meninggal: OR yang
tidak disesuaikan bernilai 2,37 (95% CI, 1,32-4,26; P = 0,0028), dan OR
disesuaikan pada variabel yang disebutkan di atas sebesar 2,56 (95% CI, 1,34-
4,89; P = 0,0043).
Akhirnya, tingginya risiko kematian yang terkait dengan IP-MV (OR, 2,44; 95%
CI, 0,96-6,24) tidak berbeda dengan yang berhubungan dengan IP-CVC (OR,
2,67; 95% CI, 1,1-6,45).
Risiko kematian yang diperkirakan tidak berubah pada analisis terpisah dengan
pasien yang terventilasi (530 pasien; OR 2,68; 95% CI, 1,32-5,45; P = 0,0065),
pasien dengan keparahan sedang (SAPS II diantara 27 dan 48; 254 pasang; OR,
3,19; 95% CI, 0,98-10,4; P = 0,055), dan pasien dengan keputusan untuk tidak
melanjutkan perawatan penunjang hidup (450 pasang; OR, 2.72; 95% CI, 1.08 –
7.22; P = 0.032).
14
Tabel 4. Karakteristik Pasien yang Terinklusi pada Peneltian Case-Control
Diskusi
Hasil dari penelitian multicenter ini menunjukkan bahwa IP adalah komplikasi
mengancam jiwa yang terkait dengan peningkatan risiko kematian dua kali lipat.
Insidensi IP selama 30 hari sebesar 3% pada populasi keseluruhan. Timbulnya IP
bergantung dengan faktor risiko yang dapat dengan mudah ditemukan saat pasien
dirawat di ICU.
Insidensi keseluruhan IP yang disebabkan ventilasi mekanik di ICU belum
diketahui dengan jelas karena kebanyakan penelitian menginvestigasi barotrauma
terkait ventilasi mekanik tanpa memisahkan dengan jelas antara pneumothorax,
pneumomediastinum, pneumoperitoneum, dan empisema subkutis. Selanjutnya,
15
IP pascaprosedur juga tidak disamakan dengan kejadian terkait prosedur
mekanikal seperti perdarahan, posisi kateter yang menyimpang, atau kegagalan
pada kateter vena sentral.
Tingkat keseluruhan IP pada pasien ICU adalah 8% pada tahun 1980an dan secara
bertahap berkurang 3-4%. Bahkan pada penelitian terbaru, tingkat insidensi
pneumothoraks sebesar 7-14% pada pasien yang mendapat ventilasi mekanik dan
paling tinggi pada pasien dengan cedera paru akut dan ARDS. Ventilasi mekanik
merupakan penyebab paling sering pada IP pada penelitian kami, sama halnya
dengan laporan sebelumnya. Namun, prosedur invasif tetap menjadi penyebab
utama IP, kebanyakan karena insersi vena sentral, thoracentesis, dan
bronkhoskopi dengan biopsi transbronkial.
Kurva insidensi kumulatif menunjukkan 3% risiko IP setelah 30 hari. Risiko
tertinggi selama 5 hari pertama ICU dan menurun bertahap sesudahnya.
Timbulnya IP meningkat pada durasi rawat inap di ICU dan rumah sakit. Selain
itu, menggunakan studi case-control dengan penyesuaian yang teliti pada
keparahan saat dirawat dan durasi pajanan berisiko, kami membuktikan bahwa IP
berhubungan dengan peningkatan risiko kematian yang dua kali lipat lebih besar.
Berbeda dengan Chen et al, kami mengobservasi bahwa peningkatan risiko
kematian sama halnya dengan IP-MV dan IP pascaprosedural. Hasil ini sesuai
dengan evaluasi pasien berventilasi mekanik, pasien dengan cedera paru akut, dan
pasien dengan AIDS. Pada satu penelitian yang melibatkan sebuah grup pasien
dengan ARDS, IP-MV tidak berkaitan dengan penigkatan risiko kematian.
Namun, pada penelitian ini, mortalitas pada pasien tanpa kebocoran udara (39%)
tidak lebih rendah daripada pasien dengan IP-MV (46%). Kami juga menemukan
skor LOD meningkat setelah IP. Selain itu, IP berkaitan dengan henti jantung
pada 10 pasien dan dengan cepat muncul sebelum kematian pada 10 pasien lain,
mendukung besarnya risiko kematian terkait IP.
Pada penelitian kami, Aids, berat badan kurang dari 80 kg, diagnosis masuk
edema pulmonal kardiogenik atau ARDS, insersi kateter arteri pulmonal atau vena
16
sentral, dan pemberian inotropik pada hari pertama di ICU merupakan faktor
risiko independen untuk IP pada pasien ICU. Temuan kami konsisten dengan
penelitan sebelumnya mengenai ARDS dan berat badan rendah. Pasien AIDS
sering dirawat karena penyakit paru interstitial atau pneumonia Pneumocystis
carinii, yang dikaitkan dengan tingginya fisiko IP. Akhirnya, insersi kateter vena
cava superior dikaitkan dengan risiko IP sebesar 0,5-3%.
Terdapat beberapa keterbatasan pada penelitian kami. Pertama, barotrauma
simtomatik tanpa IP tidak dicatat. Hal ini mungkiin mempengaruhi estimasi β
kovariat dan menurunkan kekuatan penelitian. Sebagai tambahan, karena CT Scan
tidak dilakukan secara rutin, insidensi IP mungkin di atas perkiraan. Juga, karena
foto thoraks tidak dilakukan secara rutin setelah kematian, kasus IP yang
diakibatkan pompa jantung selama prosedur resusitasi jantung juga bisa
terlewatkan. Kedua, tidak adanya tekanan plateau dan volume tidak pada databse
dapat mempengaruhi hasil dari evaluasi faktor risiko dan skor risiko IP. Namun,
tekanan plateau secara hati-hati dipertahankan dibawah 30 cm H2O pada semua
ICU yang diteliti. Pada situasi ini, plateau bukanlah faktor risiko pada IP dalam
dua penelitian terakhir. Ketiga, rendahnya angka IP mungkin dapat membatasi
kekuatan penelitian untuk mengidentifikasi faktor risiko. Terakhir, edema
pulmonal kardiogenik didiagnosis oleh investigator berdasarkan temuan fisik dan
hasil echocardiography. Tekanan kapilar pulmonal tidak diukur secara rutin.
Karena itu, reproduktifitas variabel ini terbuka untuk ditanyakan.
Kami menggunakan hasil kami untuk membuat skor risiko IP yang dapat
dievaluasi pada perawatan di ICU. Risiko untuk mengalami IP dalam 30 hari
pertama kurang dari 1% ketika skor bernilai 0 dan 15% ketika skor bernilai 4.
Skor risiko ini membutuhkan validasi eksternal lebih lanjut pada database lainnya.
Namun, hasil yang didapatkan dari databse OUTCOMEREA mendukung
reliabilitas dari skor risiko IP ini.
Pneumothoraks iatrogenik harus menjadi indikator kualitas yang baik karena
berhubungan erat dengan mortalitas di ICU. Perbandingan hasil pada ICU
17
termasuk pengukuran yang akurat dan komprehensif, ukuran sampel yang cukup
tanpa bias, dan penyesuaian risiko melalui aplikasi model yang valid dengan data
yang dapat diandalkan. Skor risiko IP dapat berguna untuk membandingkan
tingkat IP di berbagai ICU menurut level risikonya. Skor tersebut juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi pasien dengan risiko IP tinggi, yang akan
berguna dari prosedur spesifik untuk pemasangan kateter vena sentral seperti
estimasi risiko dan keuntungan, tempat pemasangan kateter yang tidak berisiko IP
(pembuluh darah femoral), penggunaan ultrasound Doppler jika vena subclavia
atau jugular interna dibutuhkan, pemasangan oleh dokter yang berpengalaman,
dan penghentian prosedur bila dua pemasangan yang pertama gagal.
Pneumothoraks adalah kejadian iatrogenik utama yang terdapat pada pasien ICU
dan dapat dengan mudah didiagnosis. Penelitian kami mengkonfirmasi bahwa IP
berhubungan dengan peningkatan bertahap pada lama rawat inap di ICU,
penggunaan sumber daya, dan mortalitas. Intervensi seperti ventilator pada pasien
ARDS, meningkatkan pengalaman dokter dengan insersi kateter, dan penggunaan
ultrasound untuk kanulasi vena sentral mengurangi tingkat barotrauma. Kami
menyarankan tingkat IP dapat membantu pengukuran hasil di ICU. Penggunaan
skor risiko IP memperlihatkan perbandingan antara grup, pusat ksesehatan, atau
tahun yang dapat diandalkan.
18