137

Jurnal April 2012

  • Upload
    vukhanh

  • View
    270

  • Download
    6

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Jurnal April 2012
Page 2: Jurnal April 2012

I

Vol. 5 No. 1, April 2012

ISSN 1978-6506

Jurnal Yudisial

Vol 5 No.1 Hal. 1-116

Jakarta April 2012

ISSN 1978-6506

MENGUJI TAFSIR KEADILAN

Page 3: Jurnal April 2012

II

Jurnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal ini beredar pada setiap awal April, Agustus, dan Desember, memuat hasil kajian/riset atas putusan-

putusan pengadilan oleh jejaring peneliti dan pihak-pihak lain yang berkompeten. Penerbitan jurnal ini bertujuan untuk memberi ruang kontribusi bagi komunitas hukum Indonesia dalam mendukung eksistensi peradilan yang akuntabel, jujur, dan adil, yang pada gilirannya ikut membantu tugas dan wewenang Komisi Yudisial Republik Indonesia dalam menjaga dan menegakkan kode etik dan pedoman perilaku hakim.

Isi tulisan dalam jurnal sepenuhnya merupakan pandangan independen masing-masing penulis dan tidak merepresentasikan pendapat Komisi Yudisial Republik Indonesia. Sebagai ajang diskursus ilmiah, setiap hasil kajian/riset putusan yang dipublikasikan dalam jurnal ini tidak pula dimaksudkan sebagai intervensi atas kemandirian lembaga peradilan, sebagaimana telah dijamin oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat pada halaman akhir jurnal.

Alamat Redaksi:Gedung Komisi Yudisial Lantai 3

Jalan Kramat Raya Nomor 57 Jakarta Pusat

Telp. 021-3905876, Fax. 021-3906215

Email: [email protected]

DIS

CLA

IME

R

Page 4: Jurnal April 2012

III

MIT

RA

BE

STA

RI Segenap pengelola Jurnal Yudisial menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya atas

sumbangsih Mitra Bestari yang telah melakukan review terhadap naskah Jurnal Yudisial Edisi April 2012. Semoga bantuan mereka mendapatkan balasan dari Allah SWT

1. Dr. Shidarta, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum Filsafat dan Pidana)

2. Dr. Anton F. Susanto,S.H., M.Hum. (Pakar Hukum

3. Dr. Yeni Widowati, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum

4. Prof. Dr. Meila Rahayu, S.H., M.H. (Pakar Hukum

5. Prof. Dr. B. Arief Sidharta, S.H. (Pakar Hukum

6. Dr. Lilik Mulyadi, S.H., M.H. (Pakar Hukum

7. Prof. Dr. Marwan Mas, S.H., M.H. (Pakar Hukum

8. Laode M. Syarif, S.H., LL. M., Ph.D (Pakar Hukum

9. Rm. Dr. Alexius Andang Listya Binawan. (Pakar Hukum

Page 5: Jurnal April 2012

IV

PE

NG

AN

TARPenanggung Jawab : Muzayyin Mahbub.

Pemimpin Redaksi : Patmoko

Penyunting/Editor : 1. Hermansyah

2. Onni Roeslani

3. Heru Purnomo

4. Imron

5. Asep Rahmad Fajar

6. Suwantoro

Redaktur Pelaksana : Dinal Fedrian

Arnis Duwita Purnama

Sekretariat : 1. Sri Djuwati

2. Yuni Yulianita

3. Romlah Pelupessy.

4. Ahmad Baihaki

5. Arif Budiman.

6. Adi Sukandar

7. Aran Panji Jaya

8. Nur Agus Susanto

Desain Grafis & Fotografer : Widya Eka Putra

TIM

PE

NY

US

UN

Page 6: Jurnal April 2012

V

PE

NG

AN

TAR MENGUJI TAFSIR KEADILAN

Adakah keadilan di muka bumi ini? Kepada siapa keadilan diperoleh? Jawaban dua pertanyaan tersebut tidaklah mudah khususnya bagi ahli hukum lantaran membutuhkan proses perdebatan mendalam berdasarkan beragam teori

hukum.

Secara sederhana, keadilan terbagi dalam tiga kelompok besar. Yaitu, keadilan berdasarkan hukum, keadilan berdasarkan suara mayoritas, dan keadilan berdasarkan ketuhanan. Kelompok di atas masing-masing memiliki alasan yang berbeda satu dengan lainnya. Bagi kelompok pertama, keadilan akan diperoleh berdasarkan hukum yang berlaku sehingga dikenal sebagai kelompok aliran positifisme. Bagi kelompok ini keadilan melalui proses peradilan yang diputuskan oleh hakim. Sementara kelompok kedua memandang keadilan diperoleh melalui suara mayoritas yang mendengungkan semboyan “vox populi vox de” atau suara rakyat adalah suara Tuhan. Adapun bagi kelompok terakhir, keadilan baru bisa diperoleh apabila bersumber pada kitab suci dan keyakinan terhadap Tuhan.

Negara hukum seperti Indonesia lebih cenderung menganut kelompok pertama. Alhasil, keadilan diperoleh mayoritas berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan. Dan, sebagai representasi pemberi keadilan adalah hakim yang berada dalam lembaga peradilan (kekuasaan kehakiman). Di Indonesia, kekuasaan kehakiman bertumpu pada Mahkamah Agung (MA) dan peradilan di bawahnya, serta Mahkamah Konsitusi (MK). Keduanya memiliki wewenang berbeda guna memberikan keadilan.

Berbeda dengan hakim di MA yang memiliki Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal hakim dan pengawasan internal melalui jejang pengadilan yang lebih tinggi/atau kasasi, MK tidak memiliki pengawas ekternal dan jejang putusan yang lebih tinggi karena putusannya terakhir dan mengikat, final and binding. Putusan MK Nomor 49/PUU-IX/2011 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK telah mentasbihkan hal itu.

Dalam negara hukum yang mengedepankan check and balances maka tidak ada satu pun kekuasaan yang tidak dapat diawasi, termasuk kekuasaan kehakiman. Oleh sebab itu check and balances kekuasaan kehakiman agar mampu mewujudkan keadilan. Kalimat sederhana yang melukiskan hal itu ialah hakim sama seperti manusia lainnya yang dapat salah atau tergoda dengan kehidupan duniawi. Bila terjadi, maka hakim akan melahirkan putusan yang jauh dari nilai keadilan. Berdasarkan pemikiran di atas “Menguji Tafsir Keadilan” menjadi tema besar dalam jurnal edisi ini.

Sebagai akhir kata, ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada pihak-pihak lain yang membantu kehadiran jurnal kali ini. Semoga jurnal ini memberikan manfaat.

Tertanda

Pemimpin Redaksi Jurnal Yudisial

Page 7: Jurnal April 2012

VI

JURNAL YUDISIAL

ISSN 1978-6506 Vol. 5 No. 1, April 2012

Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya.

UDC: 342.5

Chandranegara IS (Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah, Jakarta)

Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan Konstitusional Antar-Lembaga Negara

Kajian Atas Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009

Jurnal Yudisial, Vol. 5 No. 1, April 2012, hal 1-16

Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji Perppu adalah kewenangan yang tidak didapatkan melalui Undang-Undang Dasar namun melalui praktik peradilan. Kewenangan untuk menguji Perppu sepatutnya tidak diperoleh oleh Mahkamah Konstitusi dikarenakan adanya potensi sengketa kewenagan konstitusional lembaga negara yakni dengan DPR selaku pemegang kewenangan konstitusional untuk menguji Perppu dan Presiden selaku pemegang kekuasaan mutlak legislasi dalam ihkwal kegentingan memaksa. Oleh karena itu, kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk dapat atau tidak dapatnya menguji Perppu perlu diatur di dalam Undang-Undang Dasar.

(Chandranegara IS)

Kata kunci: pengujian konstitusional, sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, Perppu, supremasi konstitusi.

UDC: 658.114.6

Rajagukguk E (Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok)

Perluasan Tafsir Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999

Kajian Putusan Nomor 34/PDT.G/KPPU/2011/PN.JKT.PST

Jurnal Yudisial, Vol. 5 No. 1, April 2012, hal 51-63

Karangan ini membahas komentar atas putusan hakim dalam perkara “P” dkk v. KPPU No. 34/Pdt.G/KPPU/2011/PN.JKT.PST. Perkara ini bermula dari Putusan KPPU terhadap PT “P” (Persero) dan tiga perusahaan lainnya yang mempersalahkan mereka melanggar Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999. KPPU memutuskan bahwa keempat perusahaan tersebut telah melakukan persekongkolan dan diskriminasi dalam pemilihan partner strategis. KPPU berpendapat, bahwa pemilihan partner itu yang dilakukan melalui “beauty contest” sama dengan pengadaan barang dan jasa. KPPU menghukum PT “P” dan tiga perusahaan lainnya membayar denda. Namun proyek tersebut tetap dapat diteruskan. Kesemua terhukum tidak setuju dengan Putusan KPPU tersebut dan mengajukan banding ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sebagaimana diperkenankan oleh Pasal 44 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999. Pada tingkat banding, PN Jakarta Pusat memperkuat putusan KPPU. Karangan ini membahas putusan PN Jakarta Pusat dimana penulisnya tidak sependapat

Page 8: Jurnal April 2012

VII

UDC: 349

Rahayu MIF (Fakultas Hukum, Universitas Islam, Bandung)

Keadilan Ekologis Dalam Gugatan Class Action Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah

Kajian Putusan Nomor 145/Pdt.G/2005/PN.Bdg

Jurnal Yudisial, Vol. 5 No. 1, April 2012, hal 17-35

Dalam perkara gugatan class action tempat pembuangan akhir (TPA) Leuwigajah, majelis hakim memutuskan berlandaskan pada akta perjanjian yang dibuat oleh para penggugat dan tergugat. Berdasarkan aspek sosial, putusan tersebut dirasakan adil karena memenuhi tuntutan ganti kerugian yang dituntutkan oleh para penggugat. Namun dari sisi ekologi kasus longsor TPA ini menyisakan persoalan tersendiri karena terjadi ketidakadilan ekologis. Majelis hakim sama sekali tidak mempertimbangkan nilai ekologis yang dimiliki oleh alam dan lingkungan sebagai hal yang perlu dipertimbangkan dalam kasus ini dan tidak memerintahkan para tergugat untuk menangani TPA tersebut sesuai dengan nilai-nilai ekologis. Pada hakekatnya, semua makhluk hidup yang ada di alam semesta memiliki nilai sehingga harus diperlakukan sama walaupun dengan pembobotan perlakuan yang berbeda-beda. Alam semesta dan kehidupannya masuk dalam pertimbangan dan kepedulian moral manusia sehingga keberadaannya tidak selalu dikorbankan hanya untuk kepentingan manusia saja. Untuk itu perlu adanya kepedulian, tanggung jawab dan kewajiban moral dari manusia sebagai pelaku moral.

UDC: 608.3

Purwaningsih E (Fakultas Hukum, Universitas Yarsi, Jakarta)

Penerapan World Wide Novelty dan Function-Way-Result Test Pada Paten

Kajian Putusan Nomor 075 PK/Pdt.Sus/2009

Jurnal Yudisial, Vol. 5 No. 1, April 2012, hal 84-98

Paten sebagai konstruksi hukum memberikan perlindungan hukum bagi penemuan yang memenuhi persyaratan paten, yaitu: unsur kebaruan dari penemuan; langkah inventif yang terkandung dalam penemuan; serta dapat atau tidaknya penemuan diterapkan dalam industri. Untuk menciptakan kepastian hukum dan keadilan, hakim harus memperhatikan spesifikasi paten (dalam klaim) dan kebaruan penemuan tersebut di seluruh dunia, juga function-way-result test, terutama dalam kasus ini. Dalam pengajuan paten diwajibkan untuk mengungkapkan secara tepat unsur-unsur dari penemuan yang dimintakan perlindungan. Dengan demikian, dalam aplikasi hendaklah tertulis deskripsi tentang esensi dari penemuan. Ruang lingkup atau luasnya perlindungan paten tergantung pada klaim, klaim menunjukkan inti dari penemuan, sehingga untuk menilai pelanggaran paten

dengan putusan KPPU dan PN Jakarta Pusat.

(Erman Rajagukguk)

Kata kunci: pengadaan barang dan jasa, pemilihan mitra strategis, persekongkolan dan diskriminasi, bukti tidak langsung.

Page 9: Jurnal April 2012

VIII

UDC: 347.956.6

Syamsudin M (Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta)

Keadilan Subtantif yang Terabaikan Dalam Sengketa Sita Jaminan

Kajian Putusan Nomor 42/PDT/2011/PT.Y

Jurnal Yudisial, Vol. 5 No. 1, April 2012, hal 36-50

Tujuan dari kajian putusan ini adalah untuk menguji apakah putusan majelis hakim di pengadilan tingkat banding sudah mencerminkan putusan yang adil baik secara prosedural maupun substantif. Hasil kajian menunjukkan bahwa putusan hakim sudah mengikuti prosedur hukum acara secara memadai, bahkan majelis hakim terkesan sangat ketat dalam menerapkan prosedur hukum acara berdasarkan HIR dan Rv. Namun demikian putusan majelis hakim ini belum sampai pada memeriksa pokok sengketa yang didasarkan pada hukum materiil. Putusan ini belum menyentuh substansi atau pokok perkara yang disengketakan, sehingga belum mencerminkan keadilan substantif. Putusan hakim ini terasa kering dan belum menggali nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari belum dielaborasikannya faktor-faktor non-yuridis dalam pertimbangan hakim, akibatnya kepentingan Para Terbanding belum mendapatkan perlindungan hukum yang memadai dan imbang secara substansial. Padahal keadilan substantif itulah yang harus diwujudkan hakim pada akhir putusannya.

UDC: 608.3

Purwaningsih E (Fakultas Hukum, Universitas Yarsi, Jakarta)

Penerapan World Wide Novelty dan Function-Way-Result Test Pada Paten

Kajian Putusan Nomor 075 PK/Pdt.Sus/2009

Jurnal Yudisial, Vol. 5 No. 1, April 2012, hal 84-98

Paten sebagai konstruksi hukum memberikan perlindungan hukum bagi penemuan yang memenuhi persyaratan paten, yaitu: unsur kebaruan dari penemuan; langkah inventif yang terkandung dalam penemuan; serta dapat atau tidaknya penemuan diterapkan dalam industri. Untuk menciptakan kepastian hukum dan keadilan, hakim harus memperhatikan spesifikasi paten (dalam klaim) dan kebaruan penemuan tersebut di seluruh dunia, juga function-way-result test, terutama dalam kasus ini. Dalam pengajuan paten diwajibkan untuk mengungkapkan secara tepat unsur-unsur dari penemuan yang dimintakan perlindungan. Dengan demikian, dalam aplikasi hendaklah tertulis deskripsi tentang esensi dari penemuan. Ruang lingkup atau luasnya perlindungan paten tergantung pada klaim, klaim menunjukkan inti dari penemuan, sehingga untuk menilai pelanggaran paten tergantung pada interpretasi klaim, filing

tergantung pada interpretasi klaim, filing date, state of the art dan cakupan klaim paten terdahulu (prior art).

(Endang Purwaningsih)

Kata kunci: paten, worldwide novelty, function-way-result test.

(Rahayu MIF)

Kata kunci: class action, keadilan ekologis

Page 10: Jurnal April 2012

IX

UDC: 343

Dwiatmodjo H (Fakultas Hukum, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto)

Penjatuhan Pidana Bersyarat Dalam Kasus Pencurian Kakao

Kajian Putusan Nomor 247/Pid.B/2009/PN. PWT

Jurnal Yudisial, Vol. 5 No. 1, April 2012, hal 99-116

Penjatuhan pidana bersyarat dalam kasus pencurian kakao sudah sesuai dengan pemikiran dasar pemberian pidana bersyarat. Pemikiran dasar pemberian pidana bersyarat tersebut pada intinya terdiri dari empat aspek: Pertama, pidana bersyarat dijatuhkan untuk menolong terpidana agar belajar hidup produktif. Kedua, pidana bersyarat menjadi lembaga hukum yang lebih baik dari sekedar kelapangan hati hakim maupun masyarakat. Ketiga, pidana bersyarat menjadi sarana koreksi yang bermanfaat bagi terpidana dan masyarakat. Keempat, pidana bersyarat berorientasi pada perbuatan dan juga pelaku tindak pidana. Oleh sebab itu, penjatuhan pidana bersyarat ini telah sesuai dengan prinsip hukum pidana yang mengutamakan pencegahan.

(Haryanto Dwiatmodjo)

Kata kunci: pidana bersyarat, pencurian, keadilan.

date, state of the art dan cakupan klaim paten terdahulu (prior art).

(Endang Purwaningsih)

Kata kunci: paten, worldwide novelty, function-way-result test.

(Syamsudin M)

Kata kunci: keadilan substantif, putusan banding, sengketa sita jaminan.

Page 11: Jurnal April 2012

X

JOURNAL OF YUDISIAL

ISSN 1978-6506 Vol. 5 No. 1, April 2012

The descriptors given are free terms. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge.

UDC: 342.5

Chandranegara IS (Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah, Jakarta)

The Review of Government Regulation in Lieu of Law Regarding Constitutional Authority Dispute Among The State Institutions

An Analysis of Constitutional Court Decision Number 138/PUU-VII/2009

Journal Of Yudisial, Vol. 5 No. 1, April 2012, page 1-16

The authority of the Constitutional Court to review the Government Regulation in Lieu of Law (Perppu) is not obtained through the judicial practice, instead of the constitution. In theory such an authority should not given to the constitutional court since the existance of potental disputes between the court and other hight rangked state entity like punishment and/or house of representatives. In term of the state circumstances of the state of emergency, the President has the exclusive power to produce th Perppu. Thus, it is of great importance that the constitutional court showed have this authority strictly regulated in the coming amamded constitution.

(Chandranegara IS)

Keywords: constitutional review, constitutional authority dispute, the government regulation in lieu of law (Perppu), rule of law.

UDC: 658.114.6

Rajagukguk E (Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok)

An Extensive Interpretation On Article 22 Of The Law Number 5 Year 1999

An Analysis of Decision Number 34/PDT.G/KPPU/2011/PN.JKT.PST

Journal Of Yudisial, Vol. 5 No. 1, April 2012, page 51-63

This article is aimed to share some comments on a court decision over the case of PT “P” c.s. v. KPPU. The KPPU has delivered a decision against PT “P” and three other companies blaming them to commit an unlawful practice as stated in Article 22 of Law No. 5 Year 1999. KPPU decides that the four companies have performed conspiracy and discrimination in selecting strategic partner. KPPU is of the opinion that the way of partner selection being conducted through “beauty contest” is the same way with that of procurement of goods and services. KPPU ordered the four companies to pay a fine and the decision was supported later on by the Jakarta Central Distric Court. The author of this article has different opinions with the decisions.

(Erman Rajagukguk)

Keywords: procurement, selection of strategic partners, conspiracy and discrimination, indirect evidence.

Page 12: Jurnal April 2012

XI

UDC: 349

Rahayu MIF (Fakultas Hukum, Universitas Islam, Bandung)

The Ecological Justice in Class Action Lawsuit of Leuwigajah Final Disposal Landfill

An Analysis of Decision Number 145/PDT.G/2005.PN.BDG

Journal Of Yudisial, Vol. 5 No. 1, April 2012, page 17-35

In a class action lawsuit on the case of Leuwigajah Final Disposal Landfill, the panel of judges has passed a decision in favor of the residents based on a deed of agreement made by the plaintiffs and defendants. According to the contract, the plantiffs as the class members are entitled to get compensation. In the social point of view, the court ruling is considered fair enough. But in term of ecology, the decision leaves its own problems, i.e. the ecological injustice, since the judges never weighed up the ecological values of nature and environment as their main concerns. In the perspective of ecology, every single creature in the universe has the right to exist. In many cases like the Leuwigajah incident, both human beings and their environmental should be correspondingly taken into account. The decision is supposed to emphasize the involvement, responsibility, and obligation of human beings as the moral actors in such cases.

(Rahayu MIF)

Keywords: class action lawsuit, ecological justice.

UDC: 347.918

Hikmah M (Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok)

The Refusal Of International Arbitration Decision In The Case Of Astro All Asia Network PLC (ASTRO)

An Analysis of Decision Number 05/Pdt/ARB-INT/2009/PNJP

Journal Of Yudisial, Vol. 5 No. 1, April 2012, 64-83

Even though Indonesia has already had the Arbitration Law, refusals of the international arbitration decisions still happen. One of which is the object of analysis in this article, that is the case of Astro All Asia Network Plc. The application of the international arbitration decision from Singapore was refused by the Central Jakarta District Court. This refusal is confirmed by the Supreme Court. This article discuss any court’s considerations for the refusal. It seems that some reasoning are not in accordance with the Arbitration Law, that come from both at the district court level and the Supreme Court. That such refusal, in consequence, could cause bad impact to the international bussiness climate. The Government was supposed to admit and implement the international arbitration decisions as a consequence of Indonesia’s membership of the 1958 New York Convention.

(Mutiara Hikmah)

Keywords: Arbitration Law, international arbitration decision.

Page 13: Jurnal April 2012

XII

UDC: 347.956.6

Syamsudin M (Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta)

The Overlooked Substantive Justice In A Case Of Sequetration Dispute

An Analysis of Decision Number 42/PDT/2011/PT.Y

Journal Of Yudisial, Vol. 5 No. 1, April 2012, page 36-50

The purpose of this study is to examine whether a decision of the Yogyakarta Court of Appeal has been procedurally and substantively just. The author of this article discloses that the panel of judges who handled the case has strictly applied the procedural law as stated in the HIR and Rv so that the decision can be regarded as the procedural justice contained. However, the judges’ decision in this case does not reflect the substantive justice, since it has not reached the level of verifying the subject of disputes based on substantive law. The judges’ decision is too formalistic in checking and resolving the matter, so it only emphasizes the procedural fairness values instead of substantive justice values. In fact, substantive justice is of significance that must be upheld by judges at any kind of decision

(Syamsudin M)

Keywords: substantive justice, court of appeal decision, warranty-confiscation dispute.

UDC: 608.3

Purwaningsih E (Fakultas Hukum, Universitas Yarsi, Jakarta)

The Application Of Worldwide Novelty And Function-Way Result-Test On Patent

An Analysis of Decision Number 075 PK/Pdt.Sus/2009

Journal Of Yudisial, Vol. 5 No. 1, April 2012, page 84-98

Patent as legal construction gives legal protection for the invention which fulfills requirements for a patentable invention, such as: novelty, non-obviousness/inventive steps and industrial applicability. In order to create legal certainty and justice, the judge should pay attention to the specification of patent (in the claim) and the application of worldwide novelty, also function way result test, especially in this case. In the claim, it is required to state and clarify precisely the elements of invention for which protection is sought. Thus, the claim should be composed of a description or explanation of the essence of the invention. The scope or the extent of patent protection is based on the claim. The essence of protection also depends on the claim; therefore the infringement depends on the interpretation of the claim, filing date, state of the art and prior art scope of the claim.

(Endang Purwaningsih)

Keywords: patent, worldwide novelty, function-way-result test.

Page 14: Jurnal April 2012

XIII

UDC: 343

Dwiatmodjo H (Fakultas Hukum, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto)

A Conditional Sentence Imposed Upon The Conviction Of Theft Of Cocoa

An Analysis of Decision Number 247/Pid.B/2009/PN. Pwt

Journal Of Yudisial, Vol. 5 No. 1, April 2012, page 99-116

The imposition of conditional penalties over criminal acts in case of theft of cocoa is in conformity with the main purpose of conditional penalties. The main purpose of conditional penalties essentially consists of four aspects. First, it is imposed to help the inmates learning to live productively. Second, it works as an implied law institution for the inmates better than the broad-mindedness of the judge or the public. Third, it becomes a medium for correction for the inmates and the society. Fourth, it is oriented to the action and also the criminals. Therefore, the imposition of conditional penalties over criminal acts has been in accordance with the principles of criminal law that prioritizes prevention.

(Haryanto Dwiatmodjo)

Keywords: conditional penalties, theft, justice.

Page 15: Jurnal April 2012

XIV

DA

FTA

R IS

I PENGUJIAN PERPPU TERKAIT SENGKETA KEWENANGAN KONSTITUSIONAL ANTAR-LEMBAGA NEGARA .................................................................... 1Kajian Atas Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009Ibnu Sina Chandranegara Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta

KEADILAN EKOLOGIS DALAM GUGATAN CLASS ACTION TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR LEUWIGAJAH ................................ 17Kajian Putusan Nomor 145/PDT.G/2005/PN.BDG Mella Ismelina Farma Rahayu Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung

KEADILAN SUBTANTIF YANG TERABAIKAN DALAM SENGKETA SITA JAMINAN ...................................................... 36Kajian Putusan Nomor 42/PDT/2011/PT.Y M. Syamsudin Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

PERLUASAN TAFSIR PASAL 22 UU NOMOR 5 TAHUN 1999 ........................................................................ 51Kajian Putusan Nomor 34/PDT.G/KPPU/2011/PN.JKT.PSTErman Rajagukguk Fakultas Hukum Universitas Indonesia

PENOLAKAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM KASUS ASTRO ALL ASIA NETWORK PLC (ASTRO) .......... 64Kajian Putusan Nomor 05/Pdt/ARB-INT/2009/PNJPMutiara Hikmah Fakultas Hukum Universitas Indonesia

PENERAPAN WORLD WIDE NOVELTY DAN FUNCTION-WAY–RESULT TEST PADA PATEN .................................... 84Kajian Putusan Nomor 075 PK/PDT.SUS/2009 Endang PurwaningsihFakultas Hukum Universitas YARSI

PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT DALAM KASUS PENCURIAN KAKAO .................................................. 99 Kajian Putusan Nomor 247/Pid.B/2009/PN. PWTHaryanto DwiatmodjoFakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

Page 16: Jurnal April 2012

Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan Konstitusional (Ibnu Sina Chandranegara) | 1

AbstrActThe authority of the Constitutional Court to review the Government Regulation in Lieu of Law (Perppu) is not obtained through the judicial practice, instead of the constitution. In theory such an authority should not given to the constitutional court since the existance of potental disputes between the court and other hight rangked state entity like punishment and/or house of representatives. In term of the state circumstances of the state of emergency, the President has the exclusive power to produce th Perppu. Thus, it is of great importance that the constitutional court showed have this authority strictly regulated in the coming amamded constitution.

Keywords: constitutional review, constitutional authority dispute, the government regulation in lieu of law (Perppu), rule of law.

ABSTRAKKewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji Perppu adalah kewenangan yang tidak didapatkan melalui Undang-Undang Dasar namun melalui praktik peradilan. Kewenangan untuk menguji Perppu sepatutnya tidak diperoleh oleh Mahkamah Konstitusi dikarenakan adanya potensi sengketa kewenagan konstitusional lembaga negara yakni dengan DPR selaku pemegang kewenangan konstitusional untuk menguji Perppu dan Presiden selaku pemegang kekuasaan mutlak legislasi dalam ihkwal kegentingan memaksa. Oleh karena itu, kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk dapat atau tidak dapatnya menguji Perppu perlu diatur di dalam Undang-Undang Dasar.

Kata kunci: pengujian konstitusional, sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, Perppu, supremasi konstitusi.

PENGUJIAN PERPPU TERKAIT SENGKETA KEWENANGAN KONSTITUSIONAL ANTAR-LEMBAGA NEGARA

Ibnu Sina Chandranegara, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah JakartaJl. K.H Ahmad Dahlan, Cirendeu-Jakarta Selatan

Email: [email protected]

Kajian Atas Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009

THE REvIEW Of GOvERNMENT REGULATION IN LIEU Of LAW REGARDING CONSTITUTIONAL AUTHORITy DISPUTE AMONG

THE STATE INSTITUTIONS

Ibnu Sina Chandranegara, Faculty of law of University of Muhammadiyah JakartaJl. K.H Ahmad Dahlan, Cirendeu-Jakarta Selatan

Email: [email protected]

An Analysis of Constitutional Court Decision Number 138/PUU-VII/2009

Page 17: Jurnal April 2012

2 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 1-16

PENDAHULUANI.

Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) yang diamanahkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), yakni pengujian undang-undang (UU) terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) saat ini telah mengalami perkembangan dalam praktik yang dilakukan oleh MK sendiri. Salah satunya adalah pengujian konstitusional peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) terhadap UUD yang pernah dilakukan MK. MK pernah menguji Perppu sebanyak 2 (dua) kali, yaitu (i) Pengujian terhadap Perppu No. 9 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang diputus oleh MK pada Putusan No. 138/PUU-VII/2009 dan (ii) Pengujian terhadap Perppu No. 4 Tahun 2008 Tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) yang diputus oleh MK pada Putusan No. 145/PUU-VII/2009.

RUMUSAN MASALAHII.

Pengujian Perppu yang dilakukan oleh MK tersebut menjadi polemik dikalangan para ahli hukum, politisi bahkan masyarakat. Persoalan yang muncul adalah “apakah MK memang berwenang menguji Perppu?”. Selain itu, timbul juga persoalan lain yaitu “apakah dengan adanya pengujian Perppu yang dilakukan oleh MK, akan timbul potensi sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara (SKLN) antara MK dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)?”. Tulisan ini bermaksud meneliti pengujian Perppu yang dilakukan oleh MK dalam perspektif SKLN dan dampak yang ditimbulkan terhadap unsur “darurat” dalam Perppu apabila pengujian Perppu dapat pula dilakukan oleh MK selain DPR.

STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS III.

“Seberat apapun permasalahan yang terjadi di satu negara, sudah seharusnya dapat diatasi dengan instrumen hukum yang ada untuk tetap menjamin berjalannya fungsi-fungsi kekuasaan yang melindungi kepentingan seluruh rakyat.” (Asshiddiqie, 2010: 57-58)

Negara diartikan oleh R. Kranenburg sebagai suatu organisasi kekuasaan yang diciptakan oleh sekelompok manusia atau bangsa, dengan tujuan untuk menyelenggarakan kepentingan mereka bersama (Soehino, 2001: 184). Dalam menjalankan fungsinya sebagai organisasi kekuasaan, maka negara akan memiliki sebuah konstitusi sebagai pondasi negara dalam menjalankan kekuasaannya sebagaimana diungkapkan oleh Brian Thompson bahwa “a constitution is a document which contain the rules for the operation of an organization.” (Thompson, 1997: 3).

Konstitusi sepatutnya mengakomodasi ketentuan-ketentuan prosedur-prosedur penyelenggaraan negara sebagaimana dinyatakan oleh Wiliam G. Andrews (i) the general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government, (ii) the basis of government, (iii) the form of institutions and procedures (Andrews,1968: 9). “Prosedures” disini dimaksudkan bahwa konstitusi tidak hanya mengatur mengenai penyelenggaraan negara dalam ordinary condition atau normal condition namun konstitusi sepatutnya mengatur penyelenggaraan negara dalam keadaan yang tidak normal (emergency condition).

Jika emergency condition itu terjadi, maka organ-organ negara akan melakukan respon untuk mengatasi keadaan tersebut. Akibat timbulnya

Page 18: Jurnal April 2012

Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan Konstitusional (Ibnu Sina Chandranegara) | 3

keadaan darurat tersebut maka akan terjadi dua kemungkinan yaitu (i) organ negara dan pemerintahan mengalami syndroma disfunctie (tidak berfungsi sebagaimana mestinya), atau (ii) penguasa negara berubah menjadi tiran (dictator by accident) yang dapat memanfaatkan keadaan darurat itu untuk dijadikan alat kepentingannya sendiri atau untuk memperkokoh kekuasaannya. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan perangkat hukum positif dalam rangka mencegah dan menanggulangi keadaaan yang bersifat darurat tersebut (Hamidi dan Lutfi, 2009: 41-42). Salah satu pengaturan UUD NRI Tahun 1945 mengenai keadaan darurat adalah apa yang disebutkan dalam Pasal 22 sebagai berikut:

“Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa Presiden berhak mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah harus dicabut.”

Sebelum adanya perubahan UUD 1945 terdapat penjelasan Pasal 22 UUD 1945 yang menyatakan, “Pasal ini mengenai noodverordeningsrecht Presiden. Aturan seperti ini memang diperlukan supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat.” Ni’ matul Huda berpandangan bahwa Pasal 22 tersebut adalah isyarat bahwa dalam keadaan yang lebih genting dan amat terpaksa dan memaksa, tanpa menunggu adanya syarat-syarat yang ditentukan oleh dan dalam suatu undang-undang, serta bagaimana akibat-akibat yang tidak sempat ditunggu dan ditetapkan dalam suatu undang-undang, Presiden berhak menetapkan Perppu sekaligus menyatakan

suatu keadaan bahaya dan darurat (Huda, 2003: 140).

Pasal 22 tersebut menggunakan istilah “dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa” yang dapat ditafsirkan bahwa adanya suatu kegentingan yang memaksa pihak tertentu untuk menanggulangi suatu kegentingan tersebut dengan cara-cara yang dibuat melalui prosedur tidak biasanya. Kemudian frasa “Presiden berhak mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang” menjelaskan bahwa pihak tertentu yang mempunyai kompetensi untuk menanggulangi kegentingan memaksa tersebut adalah Presiden dan hal yang dapat dilakukan oleh Presiden dalam upaya menanggulangi kegentingan tersebut adalah dengan kekuasaan legislatif sepenuhnya tanpa melibatkan DPR yakni membuat sebuah undang-undang yang berbajukan peraturan pemerintah. Konstruksi pemikiran tersebut bersifat subjektif, hal ini dikarenakan upaya yang dilakukan untuk menanggulangi kegentingan tersebut hanya sepihak oleh penilaian Presiden semata. Kedudukan Perppu sebagai norma subjektif juga dinyatakan Jimly Asshiddiqie:

“Pasal 22 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk secara subjektif menilai keadaan negara atau hal ihwal yang terkait dengan negara yang menyebabkan suatu undang-undang tidak dapat dibentuk segera, sedangkan kebutuhan akan pegaturan materiil mengenai hal yang perlu diatur sudah sangat mendesak sehingga Pasal 22 UUD 1945 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu)” (Asshiddiqie, 2010: 209)

Perppu sebagai produk hukum darurat

Page 19: Jurnal April 2012

4 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 1-16

menurut Presiden sesungguhnya belum tentu mengandung unsur darurat sebagaimana ditentukan pada pasal 12 UUD NRI Tahun 1945 yang dinyatakan bahwa “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”. Hal tersebut dikarenakan kelahiran Perppu yang didasarkan pada unsur “kegentingan memaksa” dalam sebuah Perppu belum tentu mengandung unsur “keadaan bahaya”, dikarenakan keadaan bahaya yang diatur di dalam Pasal 12 tersebut mengandung unsur objektif sedangkan kegentingan memaksa secara gramatikal mempunyai unsur subjektif.

Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa segala sesuatu yang “membahayakan” tentu memiliki sifat yang menimbulkan “kegentingan yang memaksa”, tetapi segala hal ikhwal kegentingan yang memaksa Presiden untuk mengeluarkan Perppu tidak selalu membahayakan atau bernilai dangerous threat (Asshiddiqie, 2010: 208) Jadi apabila dibedakan, ketentuan deklarasi bahaya yang dicantumkan oleh Presiden sebagaimana ditentukan pada Pasal 12 adalah refleksi dari kewenangan seorang kepala negara sedangkan ketentuan Pasal 22 yang memberi hak kepada Presiden untuk melahirkan Perppu pada saat kegentingan yang memaksanya adalah refleksi dari kewenangan kepala pemerintahan.

Kekuasaan Presiden untuk menerbitkan Perppu juga tidak tergantung pada keadaan bahaya yang sedang melanda. Penilaian subjektif Presiden untuk mencegah sesuatu yang akan “membahayakan” juga dapat dijadikan unsur mengapa Perppu dilahirkan oleh Presiden. Kelahiran Perppu ini sangat tidak tergantung oleh deklarasi keadaan bahaya sebagaimana ditentukan pada Pasal 12. Bahkan Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa dalam kondisi negara yang

normal sekalipun, apabila memang memenuhi syarat, Presiden dapat saja menetapkan suatu Perppu (Asshiddiqie, 2010: 207). Seharusnya Pasal 22 juga menentukan secara limitatif mengenai unsur-unsur lain mengenai dilahirkannya sebuah Perppu oleh Presiden selain adanya unsur tunggal “kegentingan memaksa”. Kedudukan Perppu sendiri sering menimbulkan perdebatan yang pada umumnya dikarenakan beberapa hal, antara lain: (Isra, 2010: 165)

Perppu dapat dikatakan sebagai 1. peraturan yang bersifat sementara, sebab secepat mungkin harus dimintakan persetujuan pada Dewan Perwakilan Rakyat yaitu pada masa sidang berikutnya setelah Perppu tersebut dibentuk. Walaupun bersifat sementara namun dampak pemberlakuan Perppu dapat saja berlangsung lama, sekalipun Perppu itu telah dicabut.

Proses politik di DPR yang kadangkala 2. memunculkan kontroversi sehingga sangat diperlukan ketegasan DPR apakah akan menyetujui atau tidak menyetujui Perppu tersebut. Kadangkala pengesahan Perppu menjadi ajang tawar menawar pemerintah dan DPR sehingga perdebatan dari segi substansi hukum tidak penting.

Pengajuan Perppu ke DPR dilakukan 3. dalam bentuk pengajuan rancangan undang-undang tentang penetapan perppu tersebut menjadi undang-undang. Dalam hal DPR menyetujui Perppu tersebut kadangkala pengesahan Perppu menjadi ajang

Page 20: Jurnal April 2012

Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan Konstitusional (Ibnu Sina Chandranegara) | 5

tawar menawar pemerintah dan DPR sehingga perdebatan dari segi substansi hukum tidak penting.

Pengajuan Perppu ke DPR dilakukan 4. dalam bentuk pengajuan rancangan undang-undang tentang penetapan Perppu tersebut menjadi undang-undang. Dalam hal ini DPR menyetujui Perppu tersebut maka rancangan undang-undang tentang penetapan Perppu tersebut tidak berlaku dan Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang pencabutan Perppu tersebut yang dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut. Proses ini kadangkala berlangsung lama akibat dari dinamika di DPR yang sangat tidak menentu.

Hingga saat ini unsur lain hanya ditemukan oleh doktrin-doktrin para ahli seperti Jimly Asshiddiqie dan Bagir Manan. Jimly Asshiddiqie menyatakan ada tiga unsur penting membentuk pengertian keadaan bahaya yang dapat menimbulkan kegentingan yang memaksa yaitu, (i) adanya unsur ancaman yang membahayakan (dangerous threat), (ii) adanya unsur kebutuhan yang mengharuskan (reasonable necessity), dan (iii) adanya unsur keterbatasan waktu (limited time) yang tersedia. Atas dasar unsur tersebut Jimly menyatakan adanya 3 (tiga) syarat materiil untuk adanya penetapan suatu Perppu, yaitu (i) ada kebutuhan mendesak untuk bertindak atau yang diistilahkan olehnya sebagai “reasonable necessity”, (ii) waktu yang tersedia terbatas (limited time) atau terdapat kegentingan waktu, dan (iii) tidak tersedia alternatif lain atau menurut penalaran yang wajar (beyond reasonable doubt) alternatif lain diperkirakan tidak akan dapat

mengatasi keadaan, sehingga dengan penerbitan Perppu merupakan satu-satunya cara untuk mengatasi keadaan tersebut.

Dari ketiga unsur di atas, unsur ancaman yang membahayakan (dangerous threat) lebih berorientasi pada Pasal 12 UUD NRI Tahun 1945, khususnya mengenai “keadaan bahaya”, meskipun ada pula Perppu yang dilatarbelakangi oleh unsur ancaman yang membahayakan (dangerous threat). (Asshidiqie, tanpa tahun). Contohnya yakni Perppu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dimana dalam Penjelasan Umumnya menegaskan bahwa penggunaan Perppu untuk mengatur pemberantasan tindak pidana terorisme didasarkan pertimbangan bahwa terjadinya terorisme di berbagai tempat telah menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil serta menimbulkan ketidakamanan bagi masyarakat, sehingga mendesak untuk dikeluarkan Perppu guna segera dapat diciptakan suasana yang kondusif bagi pemeliharaan ketertiban dan keamanan tanpa meninggalkan prinsip-prinsip hukum.

Contoh Perppu yang dilatarbelakangi oleh unsur kebutuhan yang mengharuskan (reasonable necessity) adalah Perppu Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, dimana kebijakan Pemerintah Arab Saudi yang menetapkan bahwa mulai tahun 1430 Hijriyah jemaah haji dari seluruh negara (termasuk Indonesia) harus menggunakan paspor biasa (ordinary passport) yang berlaku secara internasional dijadikan sebagai ukuran “kegentingan yang memaksa”, sehingga Pemerintah Indonesia perlu melakukan upaya yang bersifat segera untuk menjamin tersedianya paspor dimaksud agar penyelenggaraan ibadah haji tetap dapat dilaksanakan.

Page 21: Jurnal April 2012

6 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 1-16

Adapun contoh Perppu yang dilatarbelakangi oleh unsur keterbatasan waktu (limited time) yang tersedia adalah Perppu Nomor 1 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang mengatur bahwa Anggota KPU yang diangkat berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum dan yang telah disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, tetap melaksanakan tugasnya sampai dengan terbentuknya penyelenggara pemilihan umum yang baru.

Hal ini mengingat Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sedang mempersiapkan Rancangan Undang-Undang tentang penyelenggaraan Pemilihan Umum untuk menggantikan ketentuan yang saat ini berlaku yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Presiden berpendapat syarat hal ihwal kegentingan yang memaksa telah terpenuhi untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Febriansyah, http://djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/75-eksistensi-dan-prospek-pengaturan-perppu-dalam-sistem-norma-hukum-negara-

republik-indonesia.html)

Bagir Manan menyatakan bahwa unsur kegentingan yang memaksa harus menunjukkan 2 (dua) ciri umum, yaitu: (i) ada krisis (crisis), dan (ii) ada kemendesakan (emergency). Menurutnya suatu keadaan krisis apabila terdapat gangguan yang menimbulkan kegentingan dan bersifat mendadak (a grave and sudden disturbunse). Kemendesakan (emergency), apabila terjadi berbagai keadaan yang tidak diperhitungkan sebelumnya dan menuntut suatu tindakan segera tanpa menunggu permusyawaratan terebih dahulu. Atau telah ada tanda-tanda permulaan yang nyata dan menurut nalar yang wajar apabila tidak diatur segera akan menimbulkan gangguan baik bagi masyarakat maupun terhadap jalannya pemerintahan (Manan, 1999: 158-159).

Baru semenjak adanya putusan Mahkamah Konstitusi No 138/ PUU-VII/ 2009, pengujuan Perpu Nomor 9 tahun 2009, ditentukannya syarat-syarat bagi Presiden untuk mengeluarkan Perppu berdasarkan putusan peradilan bukan hanya melalui dokrtin. Dengan ditetapkannya syarat-syarat bagi Presiden untuk menerbitkan Perppu ini juga masih terus menimbulkan perdebatan dikarenakan nilai subjektif dari sebuah Perppu berubah menjadi objektif melalui putusan MK. Perubahan ini didasari oleh pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa Berdasarkan Putusan MK Nomor.138/PUU-VII/2009, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diperlukan apabila:

1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;

2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi

Page 22: Jurnal April 2012

Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan Konstitusional (Ibnu Sina Chandranegara) | 7

kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;

3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan;

Dengan perubahan ini maka jelas muncul norma baru yang merubah konstruksi norma yang terdapat di dalam Pasal 22 UUD 1945. Dengan ini maka bisa dikatakan bahwa terjadi perubahan konstitusi tanpa melalui Pasal 37 UUD 1945 namun melalui praktek peradilan. Syarat bagi Presiden yang sebelumnya diberi kekuasaan mutlak untuk menafsirkan apa makna “hal ikhwal kegentingan memaksa” yang bercorak subjektif menjadi objektif dikarenakan terdapat syarat kumulatif lainnya bagi Presiden yakni sebagaimana ditentukan oleh MK di atas.

Hal ini jelas memperketat kewenangan Presiden dalam menentukan hal ikhwal kegentingan memaksa. Apa yang dilakukan oleh MK ini jelas menimbulkan kerancuan, yakni apakah apabila Presiden membentuk Perppu namun tidak memenuhi syarat yang ditentukan maka Perppu tersebut menjadi tidak mengikat? Atau apakah Presiden dapat dijustifikasi telah melanggar konstitusi dikarenakan melanggar pertimbangan MK di dalam putusan a quo apabila Perppu bentukan Presiden tidak mendasari pada putusan a quo?

Keadaan ini seolah-olah menjadi kacau dikarenakan ketika MK sedang mempertimbangkan kewenangannya di dalam putusan a quo tetapi “tidak disengaja” MK membentuk norma baru yang justru menjebak

MK dalam sesuatu perubahan norma UUD 1945. Harusnya MK menjalani amanah UUD 1945 bukan justru malah mengoreksi UUD 1945. Penulis beranggapan ada maksud baik dalam pertimbangan majelis MK tersebut yakni mencegah Presiden berbuat sewenang-wenang terhadap pelaksanaan kewenangan legislasi Presiden pada saat keadaan darurat. Namun, upaya itu seharusnya dilakukan dalam perubahan UUD hal ini ditakutkan akan mengaburkan posisi MK sebagai pengawal konstitusi.

Di dalam putusan No.138/PUU-VII/2009, tampak bahwa MK tidak saja menggunakan UUD 1945 sebagai batu uji terhadap apa yang dimohonkan, tetapi MK juga menggunakan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagai batu uji lainnnya sebagaimana tercantum di dalam Pertimbangan Mahkamah terntang kewenangan Mahkamah pada poin 3.5 di dalam putusan No. 138/PUU-VII/2009:

Bahwa dasar hukum dibuatnya Perppu diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang- undang”. Kemudian Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, selanjutnya disebut UU 10/2004, telah mendudukkan Perpu sejajar dengan Undang-Undang Pasal 7 ayat (1) UU 10/2004 menyatakan, “Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Page 23: Jurnal April 2012

8 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 1-16

b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

c. ... dst”;

Penulis menilai bahwa pertimbangan ini tidak tepat. Penulis beranggapan bahwa sepatutnya MK tidak menggunakan undang-undang sebagai dasar pertimbangan dalam menilai apakah MK berwenang atau tidak dalam menguji Perppu. Seharusnya MK menarik pandangannya berdasarkan Undang-Undang Dasar.

Dengan pertimbangan yang demikian ini menunjukan bahwa MK tidak menguji UU secara vertikal namun secara horizontal. Di sisi lain pertmbangan yang demikian ini menunjukkan bahwa MK menunjukkan karakter kelembagaan yang semestinya, yakni pengadilan norma hukum dan produk hukum. Sejarah terbentuknya MK sendiri didasari kebutuhan akan peradilan yang mampu mengadili norma hukum dan produk hukum yang mengikat secara umum, sehingga supremasi hukum (konstitusi) dapat dijaga, mengingat produk hukum yang lahir belum tentu sesuai dengan konstitusi ataupun dengan sistem hukum yang terbangun dalam suatu negara.

Salah satu sebab dikatakannya Perppu sebagai produk hukum Presiden dalam keadaan darurat/genting, dikarenakan kontrol dan pengujian konstitusionalitasannya berada di DPR melalui mekanisme political review. Sedangkan produk hukum Presiden dalam keadaan normal ialah UU yang telah dibahas dan disetujui bersama DPR dan mekanisme pengujiannya dapat dilakukan oleh dua cara yakni (i) political review/legislative review dan (ii) judicial constitutional review. Namun apabila MK berwenang menguji Perppu, berarti Perppu yang dikeluarkan saat waktu tertentu (keadaan genting) oleh Presiden

maka saat itulah Perppu dapat diuji oleh MK. Apabila demikian konstruksinya maka nilai darurat/genting pada suatu Perppu menjadi hilang.

Pengujian UU dilakukan oleh MK karena UU merupakan produk hukum legislator saat negara dalam keadaan normal tanpa mempertimbangkan adanya kegentingan, sehingga UU tersebut tidak terdapat unsur darurat yang bersifat sementara yang dimaksudkan untuk menanggulangi kedaruratan tersebut. UU yang dibuat pada saat keadaan normal dimaksudkan untuk mengakomodir kepentingan umum (tindakan kenegaraan) sedangkan pembentukan Perppu dikeluarkan Presiden pada saat negara dalam keadaan yang dikecualikan dari keadaan yang bersifat normal (state of exception). Kim Lane Scheppele sebagaimana dikutip Jimly menyatakan bahwa “state of exception” ialah:

The situation in which is confronted by mortal threat and responds by doing things that would never be justifiable in normal times, given the working principles the state. The state of exception uses justifications that only work in extremis, when the state is facing a challege so severe that it must violate its own principles to save it self.” (Asshiddiqie, 2010: 58-59).

Oleh karena itu, pembentukan Perppu yang dilakukan Presiden sesungguhnya dilakukan untuk kepentingan menanggulangi keadaan genting (tindakan kepemerintahan) sehingga memaksa Presiden untuk membuat peraturan pemerintah namun materi muatannya adalah undang-undang yang mekanisme pengawasannya dan pengujiannya menurut UUD NRI Tahun 1945 berada di tangan DPR. Buruk atau salahnya suatu Perppu bukan berarti ada niat dari Presiden

Page 24: Jurnal April 2012

Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan Konstitusional (Ibnu Sina Chandranegara) | 9

untuk melakukan kesalahan dalam legislasi, namun karena konstitusi menentukan demikian. Apabila melihat kondisi kekinian setelah MK mampu menyatakan keberwenangannya untuk menguji Perppu maka Presiden berada di dalam kondisi yang abu-abu apabila ingin mengeluarkan Perppu. Hal ini dikarenakan apabila Presiden melanggar tafsiran MK mengenai “kegentingan memaksa” maka Presiden secara tidak langsung telah melanggar konstitusi dan mengabaikan eksistensi MK itu sendiri karena konstitusi menyatakan bahwa sifat putusan MK adalah final dan mengikat.

Namun perlu dicermati concurring opinion oleh salah satu hakim yang juga Ketua MK yakni Mahfud MD. Ia sesungguhnya setuju bahwa MK tidaklah mempunyai kewenangan untuk menguji Perppu, namun dikarenakan menurutnya konstitusi bukanlah suatu produk hukum yang mati, melainkan sebagai suatu the living constitusion, maka ia mempertimbangkan beberapa hal sebelum menyatakan kesetujuannya bahwa MK dapat menguji Perppu dalam Putusan MK No.138/PUU/2009, yakni

1. Akhir-akhir ini timbul perdebatan, apakah penilaian untuk memberi persetujuan atau tidak atas Perpu oleh DPR dilakukan pada masa sidang berikutnya persis pada masa sidang setelah Perppu itu dikeluarkan ataukah pada masa sidang berikutnya dalam arti kapan saja DPR sempat sehingga pembahasannya dapat diulur-ulur. Dalam kenyataannya Perppu yang dimohonkan pengujian dalam perkara a quo baru dibahas oleh DPR setelah melampaui masa sidang pertama sejak Perppu ini dikeluarkan. Seperti diketahui Perppu

a quo diundangkan pada tanggal 22 September 2009, sedangkan masa sidang DPR berikutnya (DPR baru, hasil Pemilu 2009) adalah tanggal 1 Oktober sampai dengan tanggal 4 Desember 2009, tetapi Perppu a quo tidak dibahas pada masa sidang pertama tersebut. Kalau Perppu tidak dapat diuji oleh Mahkamah maka sangat mungkin suatu saat ada Perppu yang dikeluarkan tetapi DPR tidak membahasnya dengan cepat dan mengulur-ulur waktu dengan berbagai alasan, padahal Perppu tersebut mengandung hal-hal yang bertentangan dengan konstitusi. Oleh sebab itu menjadi beralasan, demi konstitusi, Perpu harus dapat diuji konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi agar segera ada kepastian dapat atau tidak dapat terus berlakunya sebuah Perppu;

2. Timbul juga polemik tentang adanya Perppu yang dipersoalkan keabsahan hukumnya karena tidak nyata-nyata disetujui dan tidak nyata-nyata ditolak oleh DPR. Dalam kasus ini DPR hanya meminta agar Pemerintah segera mengajukan RUU baru sebagai pengganti Perpu. Masalah mendasar dalam kasus ini adalah bagaimana kedudukan hukum sebuah Perppu yang tidak disetujui tetapi tidak ditolak secara nyata tersebut. Secara gramatik, jika memperhatikan bunyi Pasal 22 UUD 1945, sebuah Perppu yang tidak secara tegas mendapat persetujuan dari DPR ”mestinya” tidak dapat

Page 25: Jurnal April 2012

10 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 1-16

dijadikan Undang-Undang atau tidak dapat diteruskan pemberlakuannya sebagai Perppu, tetapi secara politis ada fakta yang berkembang sekarang ini bahwa ”kesemestian” tersebut masih dipersoalkan, sehingga sebuah Perppu yang tidak disetujui oleh DPR (meski tidak ditolak secara nyata) masih terus diberlakukan sampai dipersoalkan keabsahan hukumnya karena dikaitkan dengan satu kasus. Dalam keadaan ini menjadi wajar jika Mahkamah diberi kewenangan untuk melakukan pengujian terhadap Perppu;

3. Terkait dengan tidak disetujuinya sebuah Perppu oleh DPR ada juga pertanyaan, sampai berapa lama atau kapan sebuah Perppu yang tidak mendapat persetujuan DPR harus diganti dengan Undang-Undang Pencabutan atau Undang-Undang Pengganti. Karena tidak ada kejelasan batas atau titik waktu maka dalam pengalaman sekarang ini ada Perppu yang tidak mendapat persetujuan DPR;

4. Dapat terjadi suatu saat Perppu dibuat secara sepihak oleh Presiden tetapi secara politik DPR tidak dapat bersidang untuk membahasnya karena situasi tertentu, baik karena keadaan yang sedang tidak normal maupun karena sengaja dihambat dengan kekuatan politik tertentu agar DPR tidak dapat bersidang. Bahkan dapat juga dalam keadaan seperti itu ada Perppu yang melumpuhkan lembaga-lembaga negara tertentu secara

sepihak dengan alasan kegentingan yang memaksa sehingga ada Perppu yang terus dipaksakan berlakunya sementara persidangan-persidangan DPR tidak dapat diselenggarakan. Dengan memerhatikan kemungkinan itu menjadi wajar apabila Mahkamah diberi kewenangan untuk melakukan pengujian atas Perpu.

Penulis menilai pendapat tersebut didasari oleh karena ketakutan konstitusional apabila keadaan yang semacam itu terjadi. Sehingga MK memutuskan tidak berdasarkan UUD yang sebenar-benarnya namun berdasarkan asumsi mengenai sesuatu hal yang ideal bukan berdasarkan apa yang telah ditentukan secara rigid oleh UUD. Pemikiran yang demikian, seharusnya berada di dalam kepala seorang politisi yang sedang menyusun perubahan UUD. Dengan keputusan yang demikian ini, maka dampak yang dapat ditimbulkan adalah adanya potensi sengketa kewenangan konstitusional lembaga yang justru akan melibatkan MK sendiri, dan ini secara logika hukum dapat terjadi dan tidak dapat dihindari.( Asshiddiqie, konpres, 2006, hal.4). Argumentasi ini disusun dengan konstruksi bahwa mekanisme munculnya suatu Perppu akan diawali oleh adanya pandangan subjektif Presiden sendiri sebagai kepala negara serta pemegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara dalam melihat sesuatu yang dikategorikan “hal ikhwal kegentingan memaksa”, Pasal 10 UUD 1945.

Pandangan subyektif lahir dikarenakan Presiden merupakan pemegang kekuasaan pemerintahan negara, sehingga yang lebih mengetahui keadaan suatu negara ialah si pemegang kekuasaan untuk “memerintah” negara tersebut dalam hal ini Presiden. Sehingga untuk

Page 26: Jurnal April 2012

Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan Konstitusional (Ibnu Sina Chandranegara) | 11

menanggulangi keadaan genting yang memaksa tersebut Presiden diberi kekuasaan sepihak oleh konstitusi untuk membuat undang-undang tanpa melalui proses yang ditetapkan pada Pasal 20 UUD NRI 1945 agar tindak tanduk Presiden dalam menanggulangi keadaan memaksa tersebut tidak hanya berdasarkan kekuasaan namun berdasarkan hukum.

Setelah keluarnya Perppu, DPR diberikan amanah oleh konstitusi untuk melakukan legislative/political review terhadap Perppu yang dikeluarkan Presiden tersebut pada persidangan DPR yang berikutnya. Pada tahapan inilah norma subyektif yang diterbitkan dalam rangka menanggulangi keadaan genting yang memaksa diuji konstitusionalitasannya. Masalah akan timbul ketika MK berwenang menguji Perppu yang belum disidangkan dan direview oleh DPR.

Apabila MK menguji Perppu maka muncul konsekuensi logis yakni akan dapat dibatalkannya Perppu tersebut, khususnya apabila (i) bertentangan dengan konstitusi (UUD NRI Tahun 1945), dan/atau (ii) terbukti mengancam dan/atau merugikan nilai-nilai hak asasi manusia khususnya yang diberikan oleh konstitusi (hak konstitusional), sehingga apabila sesaat berlakunya Perppu ada paling tidak seorang warga negara yang dirugikan hak konstitusionalnya oleh berlakunya Perppu tersebut, maka warga negara tersebut memiliki legal standing untuk mengujinya di MK. Selain itu, ada pula kemungkinan Perppu tersebut dinyatakan null and avoid apabila jelas dan terbukti bertentangan dengan konstitusi dan mengancam serta merugikan nilai-nilai hak asasi manusia khususnya yang diberikan oleh konstitusi (hak konstitusional).

Keadaan ini juga didukung oleh A.W Bradley dan K.D. Ewing yang menguraikan

bahwa ada beberapa alasan substantif yang biasa dipakai dalam membatalkan produk hukum pada pengujian konstitusional, antara lain: (i) the ultra vire rule (excess of power), (ii) abuse of discretional powers, yaitu berupa: (ii.a) irrelevant consederations, (ii.b) improper purposes, (ii.c) error of law, (ii.d) unauthorised delegation, (ii.e) discretion may not fettered, (ii.f) breach of a local authority’s financial duties, (ii.g) unreasonableness (irrationality), (ii.h) proportionality, (iii) failure to perform statutory duty, (iv) the concept of juricdiction, (v) mistake of fact, (vi) acting incompatibly with convention rights (Asshiddiqie, 2006: 150).

Maka yang menjadi pertanyaan, Bagaimanakah nasib kewajiban yang dimiliki DPR untuk menguji Perppu pada persidangan berikutnya apabila Perppu tersebut sudah diuji MK? Hal ini yang akan menjadi masalah. Sesungguhnya sifat putusan MK adalah final dan mengikat jadi seharusnya apa yang diputus oleh MK maka mengikat kesemua pihak termasuk ke DPR itu sendiri namun disisi lain putusan MK yang final dan mengikat itu dapat pula membawa akibat hukum dalam makna negatif sebagaimana dijelaskan oleh Malik bahwa akibat hukum dalam makna negatif putusan MK yang final dan mengikat, antara lain: (Malik, 2009: 92-95)

1. Membatalkan sebuah keputusan politik dan atau sebuah undang-undang hasil politik.

2. Terguncang rasa keadilan pihak-pihak yang tidak puas terhadap putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat.

3. Dalam perspektif ke depan dapat membawa pembusukan hukum dari dalam hukum itu sendiri.

Page 27: Jurnal April 2012

12 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 1-16

Dengan adanya akibat hukum dalam makna yang negatif tersebut, maka ada kemungkinan pula bahwa DPR bisa tidak merasa terikat oleh putusan MK apabila MK menyatakan telah membatalkan suatu Perppu yang telah diujinya. Hal yang kemungkinan akan timbul yakni (i) DPR tetap akan membahas Perppu tersebut pada sidang berikutnya dan (ii) DPR mempunyai legal standing untuk menggugat MK pada sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara di MK sendiri.

Pada kemungkinan yang pertama akan menjadi masalah apabila pembahasan di DPR menghasilkan kesimpulan yang bertentangan dengan apa yang diputuskan MK. Hal ini akan mengakibatkan merosotnya kewibawaan MK. dan yang kedua, masalah tampak jelas bahwa dengan telah diujinya Perppu oleh MK sebelum adanya persetujuan DPR, maka DPR dapat berpandangan bahwa kewenangannya (dan kewajibanya) yang diamanahkan konstitusi di “ambil alih” oleh lembaga lain dalam hal ini MK. Sehingga akan terjadi perseteruan antara DPR dan MK, sedangkan MK sendiri lah yang merupakan lembaga pemutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara.

Apabila keadaan sebagaimana yang diuraikan di atas terjadi maka akan menjadi dilematis. Disatu sisi MK menguji Perppu dikarenakan diberikan amanah oleh konstitusi untuk mengawal nilai-nilai konstitusi, demokrasi, dan hak asasi manusia di lain pihak DPR juga mempunyai alasan konstitusional (constitutional reason) bahwa DPR berwenang untuk menguji Perppu tersebut.

Pengujian Perppu yang dilakukan oleh MK dapat pula berpotensi mengakibatkan konflik kelembagaan dengan Presiden. Sebagaimana

diuraikan sebelumnya bahwa terbentuknya Perppu dikarenakan adanya pandangan subyektif Presiden selaku kepala negara serta pimpinan tertinggi angkatan darat, angkatan laut, dan angkatan udara dalam menanggulangi “kegentingan yang memaksa”. Sehingga untuk bertindak cepat, Presiden mengeluarkan Perppu untuk melakukan tindakan yang didasarkan oleh hukum bukan oleh karena kekuasaan belaka.

Pada hakikatnya kekuasaan membentuk norma subyektif ini diberikan konstitusi kepada Presiden adalah dikarenakan Presiden dianggap satu-satunya lembaga negara yang mampu cepat mengatasi kegentingan memaksa daripada main state organ lainnya. Jadi apabila disaat dikeluarkannya Perppu oleh Presiden kemudian MK mengujinya dan membatalkannya sebelum diuji oleh DPR, maka ada potensi Presiden tidak mematuhi putusan MK tersebut dikarenakan Presiden dapat masih beranggapan bahwa kegentingan masih berlangsung dan masih membutuhkan Perppu tersebut.

Adanya unsur noodrecht dalam hukum menyebabkan hukum itu sendiri jutru menghalalkan segala perbuatan yang tidak berdasar atas hukum atau onrecht. Di dalam hukum pidana unsur keadaan terpaksa atau overmacht dan keadaan pembelaan diri secara terpaksa dalam hukum pidana menjadi dasar untuk adanya penghalalan serta pembenaran. Keadaan overmacht atau terpaksa, dalam bidang hukum perdata juga dikenal, yakni ketika suatu keadaan terpaksa yang menyebabkan seseorang tidak wajib melakukan perbuatan yang wajib dilakukan dalam keadaan yang normal. Kapal laut yang membuang sebagian muatannya di tengah laut karena keharusan mengutamakan keselamatan penumpang (zeeworp), dalam hukum dagang juga dapat dibenarkan karena alasan

Page 28: Jurnal April 2012

Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan Konstitusional (Ibnu Sina Chandranegara) | 13

keterpaksaan. Ketentuan sejenis juga tercantum didalam Al-Qur’an surrah Al-Baqarah ayat 173 yang menyatakan:

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. tetapi Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Berlakunya suatu keadaan bahaya atau keadaan darurat dalam hukum tata negara menyebabkan perbuatan yang bersifat melawan hukum (onrecht) dapat dibenarkan untuk dilakukan karena adanya kebutuhan yang mengharuskan yang sulit tercapai apabila menggunakan norma objektif. Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi menyatakan bahwa meskipun ketentuan-ketentuan yang ada di dalam bidang hukum pidana, hukum perdata, hukum dagang, dan Al-Quran menunjuk kepada kepentingan individu yang diperkenankan menyimpang jika terdapat keadaan darurat yang membahayakan, hal tersebut juga berlaku bagi negara.

Oleh karena itu, Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi menyimpulkan bahwa manakala timbul keadaan darurat yang membahayakan, negara harus tegas bertindak dan bahkan, apabila perlu dengan cara kekerasan yang melanggar hak asasi manusia sekalipun (Hamidi dan Lutfi, 2009: 41-42)

Pasal 28I UUD NRI Tahun 1945 pun telah menentukan bahwa terdapat 7 (tujuh) jenis hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, yaitu (i) hak untuk hidup, (ii) hak untuk tidak disiksa, (iii) hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, (iv) hak beragama, (v) hak untuk tidak diperbudak, (vi) hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, (vii) hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.

Meskipun terdapat keadaan “genting” dan mengharuskan Presiden menerbitkan Perppu, konstitusi sendiri telah memberikan batasan secara tegas bahwa hak asasi tersebut tidak dapat dilanggar sehingga terdapat unsur obyektif yang ditentukan pada pasal 28I UUD NRI Tahun 1945 dan harus dipatuhi dalam penerbitan Perppu yang sarat dengan unsur subyektif. Sehingga walaupun MK mempunyai putusan yang final dan mengikat dalam melakukan pengujian konstitusionalitasan Perppu maka dengan adanya potensi sengketa kewenangan konstitusional antar lembaga negara yang ditimbulkan justru akan dapat menjadikan adanya kekacauan konstitusi karena akan selalu ada kemungkinan untuk DPR dan Presiden tidak mematuhi putusan MK dan/atau menggugat MK karena adanya sengketa kewenangan konstitusional antar lembaga negara tersebut.

Pengujian Perppu oleh MK justru mampu merubah original intent yang terdapat di dalam konstitusi sendiri yang bisa berakibat apa yang dicantumkan oleh konstitusi menjadi tidak bermakna (Saldi Isra, 2010: 62). Sesungguhnya hal tersebut sudahlah diingatkan oleh Muhammad Alim yang pada saat itu mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda)

“Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menentukan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD.” Kewenangan

Page 29: Jurnal April 2012

14 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 1-16

yang diberikan oleh yang berdaulat, harus dilaksanakan sesuai dengan UUD, tidak boleh menyimpang dari UUD 1945. Kewenangan Mahkamah Konstitusi yang tertera dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang hanya sebatas menguji Undang-Undang terhadap UUD, apabila ditambah dengan menguji Perppu, menurut saya dilaksanakan tidak menurut UUD, melainkan dilaksanakan menyimpang dari UUD”. (Muhammad Alim, Disenting Opinion, Putusan Mahkamah Konstitusi No.138/PUU-VII/2009, 31)

SIMPULANIV.

Pada saat sekarang ini perkembangan ketatanegaraan Indonesia menjadi dinamis pasca kehadiran MK. Jimly Asshiddiqie merumuskan bahwa dengan kewenangan-kewenangan yang dimilikinya MK mempunyai 6 (enam) fungsi penting, yakni sebagai (i) pengawal konstitusi, (ii) pengendali dan penyeimbang demokrasi mayoritarian, (iii) penengah dalam hubungan antar lembaga atau antar cabang kekuasaan negara (constitutional arbitrase between and among state organs), (iv) pelindung hak-hak konstitusional warga negara (protector of the citizens’ constitutional rights), (v) pelindung hak asasi manusia (protector of human rights), dan (vi) penafsir akhir atau final atas norma konstitusi (the final interpreter of the constitution).(Asshidiqie, Creating A Constitutional in A New Democracy, tanpa tahun)

Salah satu terobosan yang dilakukan MK dalam menjaga supremasi konstitusi adalah menyatakan keberwenangan MK dalam menguji

Perppu terhadap UUD. Namun, terobosan MK kali ini justru merubah nilai tekstual dari UUD NRI Tahun 1945 yang berpotensi terjadinya kekacauan konstitusional khususnya munculnya potensi sengketa kewenangan yang ditimbulkan akibat adanya pengujian Perppu oleh MK.

Potensi sengketa yang kemudian terjadi adalah sengketa kewenangan menguji Perppu dengan DPR dan potensi diabaikannya putusan MK oleh Presiden atas pengujian Perppu yang diterbitkan Presiden. Sesungguhnya gagasan untuk menguji konstitusionalitasan Perppu merupakan gagasan yang baik dikarenakan Indonesia sendiri telah memiliki MK sebagai pengawal konstitusi.

Namun, pengaturan bahwa MK dapat menguji Perppu harus secara tegas diatur di dalam UUD itu sendiri sehingga MK tidak melakukan penafsiran yang “menurut UUD”. Penafsiran secara progresif dan bebas merupakan sesuatu yang baik dikarenakan hakim melihat kesegala arah untuk mencapai titik keadilan dan kemaslahatan itu sendiri. Namun, penafsiran yang tidak “menurut UUD” justru dapat berakibat mengacaukan nilai UUD itu sendiri.

Sehingga untuk mengakomodir adanya peran dari kekuasaan judicial dalam mengawas norma-norma yang dikeluarkan legislator dalam keadaan genting (Presiden), MPR perlu meninjau ulang mengenai prosedur dan subjek yang dapat me-review Perppu kedepannya. Hal itu menjadi perlu diagendakan untuk dibahas apabila adanya perubahan UUD kelima nantinya mengingat dalam keadaan normal ataupun darurat, MK akan mengawal konstitusi demi menjaga hak asasi manusia dan menyeimbangkan demokrasi.

Page 30: Jurnal April 2012

Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan Konstitusional (Ibnu Sina Chandranegara) | 15

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an:

Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama, 1986.

Buku:

Andrews, William G. 1968. Constitutions and Consti tu tio nalism. New Jersey: Van Nostrand Company.

Asshiddiqie, Jimly. 2006. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta: Konpress.

-----------------------. 2006. Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara. Jakarta: Konpress.

-----------------------. 2006. Perihal Undang-Undang. Jakarta: Konpress.

-----------------------. 2006. Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara. Jakarta: Konpress.

-----------------------. 2010. Hukum Tata Negara Darurat. Jakarta: Rajawali Pers.

Fadjar, Abdul Mukhtie. 2006. Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi. Yogyakarta: Konpress dan Citra Media.

Harun, Refly, et al (editor). 2004. Setahun Mahkamah Konstitusi: Refleksi Gagasan dan Penyelenggaraan, serta Setangkup Harapan, dalam Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi: Menjaga Denyut Konstitusi. Jakarta; Konpress.

Huda, Ni’matul. 2003. Politik Ketatanegaraan Indonesia. Yogyakarta: FH UII Press.

Isra, Saldi, et al. 2010. Perkembangan Pengujian

Perundang-undangan di Mahkamah Konstitusi (Dari Berpikir Hukum Tekstual Ke Hukum Progresif). Jakarta: Mahkamah Konstitusi bekerjasama dengan Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas.

Kelsen, Hans. 2007. Teori Umum Hukum dan Negara. Judul Asli: General Theory of Law and State. Alih Bahasa Somardi. Jakarta: Bee Media.

Lijphart, Arend. 1999. Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries. New Heaven and London: Yale University Press.

Mahfud. MD, Moh. 2009. Konstitusi dan Hukum dalam Kontrovesi dan Isu. Jakarta: Rajawali Pers.

Manan, Bagir. 1999. Lembaga Kepresidenan. Yogyakarta: PSH-FH UII dan Gama Media.

Palguna, I Dewa Gede. 2008. Mahkamah Konstitusi, Judicial Review, dan Welfare State: Kumpulan Pemikiran I Dewa Gede Palguna. Jakarta: Konpress.

Schwartz, Herman. 2000. The Struggle for Constitutional Justice In Post-Communist Europe. Chicago: The University of Chicago Press.

Shidarta. 2006. Moralitas Profesi Hukum, Suatu Tawaran Pemikiran. Bandung: Refika Adhitama.

Stone, Alec. 1992. The Birth of Judicial Politics in France: The Constitutional Council in Comparative Perspective. New York-Oxford: Oxford University Press.

Page 31: Jurnal April 2012

16 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 1-16

Thompson, Brian. 1997. Textbook On Constitutional Law And Administrative Law. London: Blackstone Press ltd.

Makalah dan Artikel Internet:

Jimly Asshiddiqie. Creating A Constitutional Court In A New Democracy, bahan ceramah di Australia.

Moh. Mahfud MD. The Role of Constitutional Court in The Development Democracy in Indonesia, bahan presentasi pada World Conference on Constitutional Justice. Cape Town, Afrika Selatan, 23- 24 January, 2009.

Reza Fikri Febriansyah. Eksistensi dan Prospek Pengaturan Perppu Dalam Sistem Norma Hukum Negara Republik Indonesia, http://djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/75-eksistensi-dan-prospek-pengaturan-perppu-dalam-sistem-norma-hukum-negara-republik-indonesia.html, diakses tanggal 30 Januari 2011.

Page 32: Jurnal April 2012

Keadilan Ekologis Dalam Gugatan Class Action Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah (Mella Ismelina) | 17

ABSTRAKDalam perkara gugatan class action tempat pembuangan akhir (TPA) Leuwigajah, majelis hakim memutuskan berlandaskan pada akta perjanjian yang dibuat oleh para penggugat dan tergugat. Berdasarkan aspek sosial, putusan tersebut dirasakan adil karena memenuhi tuntutan ganti kerugian yang dituntutkan oleh para penggugat. Namun dari sisi ekologi kasus longsor TPA ini menyisakan persoalan tersendiri karena terjadi ketidakadilan ekologis. Majelis hakim sama sekali tidak mempertimbangkan nilai ekologis yang dimiliki oleh alam dan lingkungan sebagai hal yang perlu dipertimbangkan dalam kasus ini dan tidak memerintahkan para tergugat untuk menangani TPA tersebut sesuai dengan nilai-nilai ekologis. Pada hakekatnya, semua makhluk hidup yang ada di alam semesta memiliki nilai sehingga harus diperlakukan sama walaupun dengan pembobotan perlakuan yang berbeda-beda. Alam semesta dan kehidupannya masuk dalam pertimbangan dan kepedulian moral manusia sehingga keberadaannya tidak selalu dikorbankan hanya untuk kepentingan manusia saja. Untuk itu perlu adanya kepedulian, tanggung jawab dan kewajiban moral dari manusia sebagai pelaku moral.

Kata kunci: class action, keadilan ekologis

AbstrActIn a class action lawsuit on the case of Leuwigajah Final Disposal Landfill, the panel of judges has passed a decision in favor of the residents based on a deed of agreement made by the plaintiffs and defendants. According to the contract, the plantiffs as the class members are entitled to get compensation. In the social point of view, the court ruling is considered fair enough. But in term of ecology, the decision leaves its own problems, i.e. the ecological injustice, since the judges never weighed up the ecological values of nature and environment as their main concerns. In the perspective of ecology, every single creature in the universe has the right to exist. In many cases like the Leuwigajah incident, both human beings and their environmental should be correspondingly taken into account. The decision is supposed to emphasize the involvement, responsibility, and obligation of human beings as the moral actors in such cases.

Keywords: class action lawsuit, ecological justice

KEADILAN EKOLOGIS DALAM GUGATAN CLASS ACTION TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR LEUWIGAJAH

Mella Ismelina Farma Rahayu, Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung Jl. Tamansari No.1 Bandung 40116Email: [email protected]

Kajian Putusan Nomor 145/Pdt.G/2005/PN.Bdg

THE ECOLOGICAL JUSTICE IN CLASS ACTION LAWSUIT Of LEUWIGAJAH fINAL DISPOSAL LANDfILL

Mella Ismelina Farma Rahayu, Faculty of law of University of Islam BandungJl. K.H Ahmad Dahlan, Cirendeu-Jakarta Selatan

Email: [email protected]

An Analysis of Decision Number 145/PDT.G/2005.PN.BDG

Page 33: Jurnal April 2012

18 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 17-35

PENDAHULUAN I.

Tulisan ini akan menguraikan dan menganalisis aspek keadilan terkait keadilan ekologis dalam putusan Nomor 145/Pdt.G/2005/PN.Bdg terkait perkara di Pengadilan Negeri Bandung tentang class action Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah (http://news.detik.com/read/2006/02/23/180323/546137/10/korban-longsor-tpa-leuwigajah-hanya-diganti-rugi-jutaan-rupiah?nd9922036, 18 Februari 2012, 12.00 wib).

Gugatan tersebut diajukan pada tanggal 28 April 2005. Pihak penggugat adalah warga korban longsor TPA Leuwigajah sedangkan tergugat adalah Gubernur Jawa Barat, Walikota Bandung, Bupati Bandung, Walikota Cimahi, dan Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung. Tiga lokasi yang diajukan penggugat (warga), yaitu TPA yang berada di Kp. Cireundeu RT 05/RW 10 Kel. Leuwigajah, Cimahi Selatan, TPA Kp. Cilimus RT 02/RW 09 Kel. Batu Jajar Timur, Kec. Batujajar, dan TPA Leuwigajah, yang kini dijadikan kuburan massal. Besaran nilai gugatan untuk kerugian materiil mencapai Rp18,6 miliar dan Rp40 triliun untuk kerugian immateriil. Karenanya, jumlah ganti rugi yang diminta sebesar Rp41 triliun. Jumlah itu harus dibayar secara tunai, sekaligus, dan seketika saat putusan dibacakan. Seandainya terlambat, pihak tergugat harus membayar uang paksa (dwangsom) sekira Rp1. 000.000,- per hari.

Sampah TPA Leuwigajah longsor pada dini hari tanggal 21 Februari 2005 dengan memakan korban jiwa mencapai kurang lebih 147 orang. Luas sawah dan pemukiman yang tertimbun diduga lebih dari 18 ha dan ratusan warga Kec. Batujajar kehilangan harta benda serta mata pencahariannya. Longsor tersebut telah

menyebabkan kerugian materiil dan immateriil. Perkiraan kerugian untuk materiil mencapai Rp18,6 miliar dan Rp. 40 triliun kerugian immateriil.

Sebelum terjadinya peristiwa longsor TPA Leuwigajah tanggal 21 Februari 2005, TPA Leuwigajah pernah mengalami longsor pada tahun 1992 dengan kondisi tujuh rumah tertimbun sampah namun pada saat itu penanganannya tidak maksimal dan dibiarkan bertahun-tahun. Ketika terjadi longsor pada tahun 1992 tidak ada upaya membangun benteng pengaman longsor dan pada saat itu diprediksikan pembuangan sampah dengan sistem open dumping di TPA Leuwigajah sudah cukup mengkhawatirkan namun PD Kebersihan tidak serius dalam menangani permasalahan ini sehingga terjadilah kembali longsor pada tanggal 21 Februari 2005 tersebut sekitar pukul 02.30 WIB.

Sebelum terjadi longsor, ketinggian sampah hampir 100 meter, sedangkan jarak antara TPA dengan pemukiman penduduk hanya 1,5 kilometer sehingga pada saat sampah bergeser karena hujan, langsung menimbun rumah-rumah di Kampung Cilimus dan Pojok. Longsoran sampah tingginya lebih dari 50-60 meter lebar sekitar 600 meter.

Kondisi ketiga lokasi yang diajukan penggugat (warga), yaitu TPA yang berada di Kp. Cireundeu RT 05/RW 10 Kel. Leuwigajah, Cimahi Selatan kondisi lapangan tampak tidak ada tembok pembatas sampah, buffer zone serta pengelolaan sampah dan air di lokasi itu, TPA Kp. Cilimus RT 02/RW 09 Kel. Batu Jajar Timur, Kec. Batujajar dari lokasi ini banyak barang bukti yang tidak bisa dibawa ke persidangan, dan TPA Leuwigajah, yang kini dijadikan kuburan massal telah tertimbun sampah. Secara umum kondisi di lapangan adalah tidak adanya dinding

Page 34: Jurnal April 2012

18 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 17-35 Keadilan Ekologis Dalam Gugatan Class Action Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah (Mella Ismelina) | 19

pembatas TPA, buffer zone (lapis penahan kedua) sehingga memungkinkan sampah akan mudah bergeser dan menimpa rumah penduduk, tidak ada sistem drainase dan sanitasi air serta pengelolaan sampah yang memadai. Pengelolaan sampah yang dilakukan adalah kumpul, angkut dan buang. Sampah yang datang hanya didorong, yang kemudian ditumpuk lagi dengan sampah yang baru datang. Pengelolaan sampah melalui sistem sanitary landfield (sistem penumpukan sampah yang diselingi tanah) hanya dilakukan dalam jangka waktu pendek yaitu satu tahun saja selanjutnya sistem pembuangan sampah itu hanya dengan open dumping (timbunan sampah tanpa diselingi tanah). Hal tersebut yang memudahkan sampah bergeser, dan ini bukti yang mengakibatkan terjadinya longsor yang sangat besar.

Putusan dari kasus ini adalah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung menghukum para tergugat untuk tunduk dan mentaati persetujuan yang telah disepakati. Putusan tersebut disampaikan dalam sidang perkara class action, yang diajukan para korban longsor TPA Leuwigajah, Kota Cimahi. Majelis hakim yang memeriksa perkara tersebut mengambil putusan dengan mempertimbangkan akta perdamaian yang disepakati para pihak yang berperkara dan ditandatangani 8 Februari 2006.

Para tergugat terdiri dari Gubernur Jawa Barat, Walikota Bandung, Bupati Bandung, Walikota Cimahi, dan Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung, masing-masing sebagai tergugat I, II, III, IV, dan V bersepakat dengan penggugat Tdy, S.H. dkk. yang bertindak untuk dan atas nama MM dkk. sebagai penggugat untuk membuat akta perdamaian dalam rangka penyelesaian perkara perdata No. 145/Pdt.G/ 2005/PN.Bdg. dengan jalan damai. Kedua pihak

yang berperkara sepakat untuk mengakhiri perkara perdata yang sedang diproses oleh PN Kelas IA Bandung dengan beberapa ketentuan dan syarat, di antaranya tergugat mengupayakan pemberian santunan berupa uang yang besarnya disepakati pihak pertama dan pihak kedua setelah tersedianya anggaran yang mendapat persetujuan DPRD Prov. Jabar, DPRD Kota Bandung, DPRD Kab. Bandung, dan DPRD Kota Cimahi kepada ahli waris korban, korban, dan pemilik tanah bangunan yang terkena bencana longsor TPA Leuwigajah.

Dalam persidangan tersebut majelis hakim memutuskan kepada 4 pemimpin pemerintah daerah dan PD Kebersihan Kota Bandung untuk mengganti rugi sebesar Rp. 30.000.000,- tiap korban jiwa, Rp. 50.000,- tiap meter untuk tanah dan ladang, Rp. 1.100.000,- untuk bangunan dan Rp. 20.000.000,- untuk mengganti harta benda yang terkubur (akan ditanggung oleh Pemkot Bandung, Pemkot Cimahi, Pemkab Bandung, dan Pemprov Jawa Barat sendiri). Perhitungan jumlah sebesar itu berdasarkan jumlah sampah yang dibuang ke TPA Leuwigajah. Pemprov Jabar akan membayar Rp16 miliar, Pemkot Bandung (Rp29 miliar), Kota Cimahi (Rp3 miliar), dan Pemkab Bandung (Rp. 6.000.000.000 ,-.) ganti rugi Rp 1.100.000,-/meter. Sedangkan untuk rumah semipermanen akan diganti Rp. 700.000,-/meter dan rumah panggung Rp. 400.000,-/meter. Sedangkan untuk lahan tanah atau sawah, pihaknya akan memberikan ganti rugi dengan harga berdasarkan kepada nilai jual objek pajak (NJOP) di daerah itu.

Majelis hakim menilai 4 pemimpin pemerintah daerah, yakni Gubernur Jawa Barat, Walikota Bandung, Bupati Bandung, Walikota Cimahi, dan Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung terbukti telah melawan hukum dengan

Page 35: Jurnal April 2012

20 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 17-35

mengabaikan pengelolaan TPA Leuwigajah dalam bidang keamanan bagi masyarakat sekitar serta terbukti bahwa TPA Leuwigajah tersebut tidak disertai dengan adanya tanggul pengamanan.

Persetujuan tertuang dalam akta perdamaian yang dibuat berdasarkan proses mediasi yang dijalani sejak September 2005 dan akta perdamaian disepakati pada tanggal 8 Februari 2006. Akta perdamaian yang dihasilkan dari mediasi itu merupakan upaya untuk mengakhiri perkara perdata yang sedang diproses oleh PN Bandung. Sementara para tergugat, masing-masing Gubernur Jawa Barat, Walikota Bandung, Bupati Bandung, Walikota Cimahi, dan Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung, juga menyetujui untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 730.000,-.

Hakim menjelaskan, putusan atas class action yang diajukan oleh korban longsor sampah setahun silam, berisi tentang pemberian uang santunan terhadap warga yang terkena longsor, baik ahli waris korban maupun pemilik tanah dan bangunan yang tertimpa longsor. Dalam perdamaian itu kedua pihak menyetujui agar gugatan class action yang dilakukan warga terhadap empat pemerintah daerah dicabut. Penandatanganan akta perdamaian dari masyarakat TPA Leuwigajah diwakili tim pengacara Tdy, sedangkan dari pemerintah ditandatangani Wakil Gubernur NAH, Wakil Bupati Bandung YS, Sekda Kota Bandung MS, Walikota Cimahi IT, dan Dirut PD Kebersihan Kota Bandung AG.

RUMUSAN MASALAHII.

Permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan ini lebih menitikberatkan pada aspek keadilan ekologis, komunikasi hukum dan budaya hukum yang terjalin dalam interaksi hakim dengan

hukum serta environmental leadership yang perlu ada dalam jiwa seorang hakim dan pejabat publik dalam konteks perwujudan dan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yang ujungnya menimbulkan kesejahteraan bagi masyarakat dan lingkungan itu sendiri. Hal tersebut menjadi menarik untuk dikaji mengingat orientasi putusan yang diambil oleh hakim lebih cenderung hanya memperhatikan aspek sosial saja sedangkan aspek ekologis yang juga mempunyai peran yang penting bagi kehidupan manusia luput dari kajian dalam putusan tersebut. Berdasarkan hal tersebut, permasalahan diidentifikasikan sebagai berikut:

Sejauhmanakah aspek keadilan ekologis 1. menjadi pertimbangan majelis hakim dalam menangani perkara gugatan class action tempat pembuangan akhir (TPA) Leuwigajah?

Bagaimanakah komunikasi hukum 2. pada proses penanganan gugatan class action tempat pembuangan akhir (TPA) Leuwigajah yang dibangun oleh majelis hakim dalam konteks kontruksi budaya hukum?

Bagaimanakah persoalan 3. environmental leadership dalam kajian putusan perkara gugatan class action tempat pembuangan akhir (TPA) Leuwigajah?

STUDI PUSTAKA DAN ANALISISIII.

Menimbang Keadilan Ekologis

Akhir-akhir ini berkembang dan mulai banyak muncul gerakan atau kelompok yang memandang dan memperlakukan alam semesta ini secara keseluruhan dan bukan parsial. Selama tiga puluh tahun terakhir, krisis lingkungan mendorong berlangsungnya proses “penghijauan

Page 36: Jurnal April 2012

20 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 17-35 Keadilan Ekologis Dalam Gugatan Class Action Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah (Mella Ismelina) | 21

pemikiran religius ketika para pemikir religius dari berbagai tradisi mulai memberikan tanggapan secara bermakna pada semakin besarnya kesadaran tentang makhluk yang begitu rapuh, mudah rusak, dan saling bergantung (Chapman. Et.al., 2007: 153).

Meskipun banyak tradisi religius memiliki cukup banyak sumber, namun belum banyak yang telah mengembangkan sepenuhnya etika lingkungan yang sistematis yang relevan dengan masalah-masalah kontemporer. Lynn White, seorang sejarawan yang mengkhususkan diri pada abad pertengahan, mengatakan bahwa sain dan teknologi modern sebagai sumber masalah lingkungan kontemporer yang saling terkait satu sama lain (White Jr, 1967: 1203-1207). Banyak hal yang muncul dan krisis yang luar biasa besar dari hal yang disebutkan di atas. Oleh karena itu, menjelang tahun 1970-an sebuah gerakan eko-keadilan yang berupaya mengintegrasikan ekologi, keadilan (masyarakat) dan hal yang religius mulai mengungkapkan pemikiran mereka dalam berbagai telaah teologis, etis, historis, biblikal dan kebijakan umum yang berlangsung di belahan Amerika (Bakken. Et.al., 1995: 6-8).

Salah satu konsep yang relevan dengan kajian putusan Nomor 145/Pdt.G/2005/PN.Bdg ini adalah “ecoliteracy”. Konsep ”ecoliteracy” ini sebenarnya perlu ada dalam pandangan hakim dalam memutus perkara yang berkaitan dengan kasus lingkungan. “Ecoliteracy”, merupakan perpaduan dari dua kata, yakni “ecological dan “literacy.” Pengertian “ecological” diartikan sebagai “terkait dengan prinsip-prinsip ekologi” sedangkan pengertian “literacy” memiliki arti “melek huruf” dalam pengertian sebagai situasi seseorang yang telah faham atau memiliki pengertian atas suatu hal. Dengan demikian, “ecoliteracy” bisa diartikan sebagai situasi

melek huruf, paham, atau memiliki pengertian terhadap bekerjanya prinsip-prinsip ekologi dalam kehidupan bersama di planet bumi.

“Ecoliteracy” merupakan tahap dasar atau tahap pertama dalam pembangunan komunitas-komunitas berkelanjutan. Selanjutnya tahap kedua adalah “ecodesign” (perancangan bercorak ekologis) dan tahap ketiga atau tahap terakhir adalah terbentuknya komunitas-komunitas berkelanjutan. Konsep “ecoliteracy” dapat dikatakan sebuah strategi untuk menggerakkan masyarakat luas agar bisa memeluk secepatnya pola pandangan baru atas realitas kehidupan bersama mereka di planet bumi dan melakukan pembaruan-pembaruan yang diperlukan. Hal tersebut didasarkan pada pemahaman bahwa kehidupan bersama di planet bumi harus dipandang bukan lagi secara mekanistik melainkan secara ekologis serta sistemik. Jadi apa yang perlu dipahami dari “ecoliteracy” adalah wisdom of nature (kebijaksanaan alam) yang digambarkan oleh Fritjof Capra (2004) sebagai kemampuan sistem-sistem ekologis planet bumi mengorganisir dirinya sendiri melalui cara-cara halus dan kompleks. Cara sistem-sistem ekologis ini mengorganisir diri sendiri telah teruji sangat handal untuk melestarikan kehidupan di planet bumi (Purwadianto, 2004: 42-45).

Kemampuan “ecoliteracy” yang perlu dimiliki oleh para hakim yang menangani kasus lingkungan tentu perlu pula didukung dengan pemahaman hakim tentang etika lingkungan. Hal ini menjadi penting bagi seorang hakim agar dalam memutus perkara lingkungan dapat memutus dengan pandangan yang holistik dan komprehensif.

Berdasarkan pandangan etika biosentrisme, manusia hanya bisa hidup dan berkembang sebagai

Page 37: Jurnal April 2012

22 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 17-35

manusia utuh tidak hanya dalam komunitas sosial saja tetapi juga dalam komunitas ekologis yaitu makhluk yang kehidupannya tergantung dari dan terkait erat dengan semua kehidupan lain di alam semesta (Keraf, 2010: 5). Dengan kata lain, manusia sebagai makhluk sosial tidak akan lepas dalam perannya juga sebagai makhluk ekologi. Kehidupan manusia tidak saja ditentukan oleh komunitas sosialnya tetapi juga komunitas ekologis yaitu makhluk yang kehidupannya tergantung dari dan terkait erat dengan semua kehidupan lain di alam semesta (Keraf, 2010: 5).

Manusia dengan unsur-unsur lingkungan lainnya yaitu biotik dan abiotik satu sama lain saling ketergantungan dan saling berinteraksi membentuk suatu keseimbangan, keharmonisan dan kestabilan. Dalam berinteraksi tersebut tentu manusia tidak ditempatkan lebih unggul dibandingkan unsur-unsur lingkungan lainnya dalam pencapaian segala apa yang dibutuhkannya. Dengan demikian, posisi manusia adalah sejajar dengan alam, manusia tidak berada di luar, di atas dan terpisah dengan alam. Manusia merupakan bagian dari keseluruhan alam semesta bukan merupakan pusat dari seluruh alam semesta. Sejalan dengan hal tersebut, Aldo Leopold, salah seorang holisme lingkungan menganggap bahwa kita harus meninggalkan etika antroposentrik dan berpandangan bahwa semua makhluk baik manusia maupun dunia fauna dan flora berhak memperoleh martabat yang sama sebagai sesama warga komunitas biotik (Wilardjo, Kompas, 13 Januari 2002).

Adalah menjadi tidak bermoral jika manusia memandang rendah unsur lingkungan hidup yang lainnya karena pada hakekatnya manusialah yang banyak menggantungkan pemenuhan hidup dan kehidupannya pada alam dan lingkungannya. Berbicara tentang moral yang menjadi pertanyaan

adalah apakah hanya manusia saja yang dianggap bermoral sedangkan makhluk lainnya tidak pantas diperlakukan secara bermoral?

Terdapat beberapa argumen mengenai hal tersebut antara lain argumen dari Aristoteles, Thomas Aquinas dan Immanuel Kant, yang menyatakan bahwa hanya manusia yang mempunyai kemampuan moral berupa akal budi dan kehendak bebas untuk melakukan pilihan moral secara bebas dan rasional, karena makhluk hidup atau spesies lain tidak mempunyai kemampuan ini, maka etika tidak berlaku bagi mereka (Keraf, 2010: 5). Argumentasi yang sama disampaikan oleh John Passmore. Passmore mendasarkan argumennya pada reciprocity assumption. Suatu asumsi yang beranggapan bahwa kewajiban moral hanya berlaku kalau ada kewajiban timbal balik diantara para pihak yang terlibat dalam sebuah relasi moral (Keraf, 2010: 81).

Argumen tersebut benar jika melihat hanya manusia saja yang dapat menjadi subjek moral karena hanya manusia yang mempunyai kemampuan moral dan manusia lah pelaku moral. Namun argumen tersebut tidak menjawab mengapa makhluk hidup lainnya yang bukan merupakan subyek moral tidak perlu diperlakukan secara moral oleh manusia sebagai pelaku moral dan hal itu sering kita lakukan ketika kita berinteraksi dengan alam dan lingkungan hidup kadangkala kita menganggap alam tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri sehingga alam tidak pantas mendapatkan pertimbangan dan kepedulian moral.

Etika biosentrisme berupaya melakukan sebuah revolusi dan loncatan moral yang menuntut agar komunitas biotis dan ekologis diperlakukan juga sebagai komunitas moral. Dasar moral dari

Page 38: Jurnal April 2012

22 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 17-35 Keadilan Ekologis Dalam Gugatan Class Action Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah (Mella Ismelina) | 23

perluasan perlakuan moral itu adalah keluhuran kehidupan (baik pada spesies manusia dan spesies lainnya) pada dirinya sendiri (Keraf, 2010: 81).

Berdasarkan pandangan biosentrisme, tidak hanya manusia saja yang mempunyai nilai tetapi alam pun mempunyai nilai pada dirinya sendiri lepas dari kepentingan manusia sehingga alam pantas mendapatkan pertimbangan dan kepedulian moral. Yang menjadi titik berat dari etika biosentrisme adalah kehidupan sehingga setiap kehidupan di muka bumi ini mempunyai nilai moral yang sama sehingga perlu dilindungi dan diselamatkan. Konsekuensi dari pandangan ini adalah alam semesta adalah sebuah komunitas moral, di mana setiap kehidupan dalam alam semesta ini, baik manusia maupun alam sama-sama mempunyai nilai moral. Dengan demikian, terdapat perluasan lingkup keberlakuan etika dan moralitas untuk mencakup seluruh kehidupan di alam semesta tidak hanya berlaku bagi komunitas manusia saja (Keraf, 2010: 66).

Melalui pandangan tersebut, etika tidak lagi dibatasi hanya bagi manusia tetapi berlaku bagi semua makhluk hidup dan tuntutan moral tidak hanya berlaku pada komunitas sosial saja tetapi berlaku pula terhadap komunitas ekologis. Demikian pula dengan persoalan tanggung jawab moral manusia tidak dibatasi terhadap sesama manusia saja tetapi juga terhadap semua kehidupan di alam semesta. Semua kehidupan di bumi memiliki status moral yang sama. Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Singer dan Rachels, semua spesies mempunyai kedudukan dan status moral yang sama. Oleh karena itu, diantara semua spesies harus berlaku prinsip moral perlakuan yang sama (equal treatment) (Keraf, 2010: 86). Melalui pandangan seperti itu, diharapkan manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan hidupnya, timbul rasa hormat

dan menghargai atas keberadaan unsur-unsur lingkungan hidup dan timbul sikap ingin menjaga dan melestarikan fungsi lingkungan hidup.

Ada hal yang perlu diperhatikan pula ketika kita membahas teori biosentrisme yaitu pembedaan antara pelaku moral (moral agents) dan subjek moral (moral subjects). Kedua hal tersebut dapat menjawab pertanyaan mengapa manusia memiliki kewajiban dan tanggung jawab terhadap mahkluk lain dan alam semesta. Menurut Paul Taylor, pelaku moral adalah makhluk yang memiliki kemampuan berupa akal budi, kebebasan dan kemauan yang dapat digunakannya untuk bertindak secara moral sehingga mempunyai kewajiban dan tanggung jawab dan dapat dituntut untuk bertanggung jawab atas tindakannya (accountable beings). Melalui kemampuan tersebut, pelaku moral dapat membuat pertimbangan moral sebelum bertindak agar terhindar dari tindakan yang salah secara moral. Pelaku moral juga dapat memahami mana yang baik dan buruk secara moral (Keraf , 2010: 70).

Berlainan dengan pelaku moral, subjek moral adalah makhluk yang bisa diperlakukan secara baik atau buruk dan pelaku moral mempunyai kewajiban dan tanggung jawab moral terhadapnya. Keadaan subjek moral untuk lebih baik atau buruk sangat ditentukan oleh sikap dan perilaku pelaku moral. Yang termasuk subjek moral menurut teori biosentrisme adalah semua organisme hidup dan kelompok organisme tertentu, sedangkan benda-benda abiotik bukan termasuk pada subjek moral tetapi keberadaannya juga penting dalam interaksi dengan manusia dan subjek moral dalam mewujudkan keseimbangan kehidupan sehingga perlu pula diperlakukan secara baik dan etis oleh pelaku moral (Keraf, 2010: 71).

Page 39: Jurnal April 2012

24 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 17-35

Bias Penyelesaian dan Penyelenggaraan Pengelolaan Sampah

Dalam konteks kehidupan kemasyarakatan, administrasi negara diserahi tugas penyelenggaraan kesejahteraan umum (”bestuurszorg”) yang dilakukan pemerintah yang meliputi segala lapangan kemasyarakatan. Adanya ”bestuurszorg” tersebut menjadikan tanda adanya suatu ”welfare State”.

Dalam kasus perkara gugatan class action tempat pembuangan akhir (TPA) Leuwigajah ditemukan beberapa hal yang terkait tindakan administrasi negara yang bertugas melakukan pelayanan publik dalam konteks pelayanan kepada masyarakat, yang tidak dilakukan oleh para tergugat sebagai pejabat publik yang menjadi pertimbangan hakim.

Kejadian longsoran sampah ini merupakan kelalaian dari para tergugat yang berawal dari ketidakpedulian dan ketidakpatutan mereka melaksanakan tanggung jawab. Tugas perencanaan, koordinasi dan pengawasan hingga proses pengelolaan pembuangan sampah ke TPA Leuwigajah yang merupakan tanggung jawab tergugat tidak dilakukan sebagaimana mestinya.

Ada beberapa hal yang luput dari pengawasan dan pengamatan yang sebenarnya harus dilakukan oleh tergugat sebagai pejabat publik yaitu terkait kajian daya dukung dan daya tampung TPA Leuwigajah, persyaratan Amdal yang tidak dipenuhi, tidak dilakukannya evaluasi kerja atau pemeriksaan secara berkala mengingat sebelumnya juga telah terjadi longsor di TPA Leuwigajah, tidak terdapat batas wilayah pembuangan sampah Kota Bandung, Cimahi, dan Kabupaten Bandung. Kemudian tidak ada tanggul penahan (retaining wall), penampung air lindi, zona pengaman (buffer zone), jembatan

timbang, penataan sampah yang memadai, dan alat pengolah sampah, dan tidak pernah dibangunnya fasilitas keamanan bagi kampung yang terletak di bawah TPA Leuwigajah.

Berdasarkan hal di atas, nampak bahwa orientasi dalam pengelolaan sampah yang dilakukan oleh para tergugat masih berorientasi pada paradigma antroposentrisme. Cara pandang antroposentrisme tersebut membatasi keberlakuan etika hanya pada komunitas manusia saja dan hanya manusia saja yang mempunyai nilai dan kepentingan yang harus dihargai (Keraf, 2010: 85-86). Hal tersebut terungkap di mana tergugat tidak memperhatikan daya dukung dan daya tampung TPA Leuwigajah dan persyaratan Amdal yang tidak dipenuhi. Hal tersebutlah yang menjadi salah satu pemicu terjadinya longsor.

Pandangan antroposentrisme juga nampak ketika hakim hanya memfokuskan pada pemberian ganti rugi kepada para korban tanpa upaya penanganan pencemaran dan kerusakan lingkungan yang terjadi serta upaya perubahan dalam kesadaran manusia dan sistem ekonomi. Penekanan yang dilakukan lebih pada gejala dari sebuah isu lingkungan hidup bukan pada akar permasalahannya karena yang pertama dilihat adalah dampak langsung dari kasus longsor yaitu kerugian yang dialami oleh para korban longsor TPA Leuwigajah sedangkan pencemaran dan kehancuran sumber daya alam kurang menjadi perhatian yang serius.

Jadi dalam kasus ini, majelis hakim belum melihat permasalahan lingkungan hidup dalam suatu perspektif relasional yang lebih luas dan holistik serta tidak memusatkan perhatian pada dampak lingkungan hidup yang terjadi secara keseluruhan ekosistem dan mengatasi dampak tersebut secara teknis dan parsial.

Page 40: Jurnal April 2012

24 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 17-35 Keadilan Ekologis Dalam Gugatan Class Action Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah (Mella Ismelina) | 25

Penanganan kasus longsor TPA Leuwigajah membutuhkan sudut pandang yang lebih komprehensif dan holistik dengan memperhatikan relasional yang lebih luas dengan memandang kasus ini secara keseluruhan ekosistem. Penanganan kasus ini tidak cukup dengan hanya memberikan ganti rugi pada para korban longsor, mencari teknologi untuk mencegah dan mengatasi meluasnya pencemaran dan perusakan lingkungan yang terjadi, dan membuat undang-undang terkait pengelolaan sampah saja tetapi diperlukan upaya penanganan yang seimbang antara aspek sosial, ekonomi dan ekologi sehingga terjadi keseimbangan antara keadilan sosial dan keadilan ekologis.

Keadilan ekologis akan tercapai apabila manusia memandang alam semesta beserta isinya dalam perspektif yang lebih luas. Di mana alam semesta beserta isinya tidak direduksi dan dilihat semata-mata dari segi nilai dan fungsi ekonomisnya saja tetapi dilihat pula nilai dan fungsi budaya, sosial, spiritual dan religius, medis dan biologis. Dalam pandangan ini alam semesta beserta isinya mempunyai nilai yang lebih luas tidak hanya sekedar nilai ekonomis.

Komunikasi Hukum dan Budaya Hukum

Dalam bagian ini pembahasan lebih difokuskan pada interaksi manusia dengan hukum dalam konteks komunikasi hukum dan budaya hukum yang dibangunnya. Hal tersebut menjadi penting untuk dibahas dikarenakan para hakim dalam memutus sebuah perkara tidak akan terlepas dengan persoalan komunikasi hukum dan apa yang dibangun dalam komunikasi hukum tersebut akan bermuara pada kontruksi budaya hukum tertentu.

Untuk menjelaskan pengaruh hukum

terhadap sikap atau perilaku manusia, dapat dilihat dari berbagai sudut pandang diantaranya dapat dilihat dari isi hukum dan tujuan hukum. Kaum positivistik umumnya melihat bahwa ketaatan seseorang terhadap hukum diukur seberapa jauh orang itu bersikap sesuai dengan harapan pembentuk hukum yang tercermin dalam isi hukum dan tujuan hukum. Tujuan hukum dianggap tercapai apabila hukum berhasil mengatur tingkah laku manusia sesuai dengan tujuan hukum tertentu, Mengenai hal tersebut, Friedman menyatakan bahwa (Soekanto, 1989: 5-6 & 10):

“Compliance is, in other words, knowing conformity with a norm or command, a deliberate instance of legal behavior that bends toward the legal act that evokade it. Compliance and deviance are two poles of a continuum. Of the legal behavior in the middle, one important type might be called evasion. Evasive behavior frustrates the goals of a legal act, but falls short of noncompliance or, as the case may be, legal culpability.”

Atas dasar pendapat Friedman tersebut, maka dalam kaitan pengaruh hukum dengan sikap tindak manusia dapat diklasifikasikan ke dalam ketaatan (compliance), ketidaktaatan atau penyimpangan (deviance) dan pengelakan (evasion). Klasifikasi tersebut berkaitan dengan hukum yang berisikan larangan atau suruhan. Namun untuk hukum yang yang berisi kebolehan, klasifikasinya adalah penggunaan (use), tidak menggunakan (nonuse) dan penyalahgunaan (misuse).

Berkaitan dengan tujuan dari kaidah hukum, Gusfield membedakannya antara tujuan kaidah hukum yang bersifat simbolis dengan yang bersifat instrumental dalam sebuah artikel yang berjudul

Page 41: Jurnal April 2012

26 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 17-35

“Moral Passage: The Symbolic Process in Public Designations of Deviance”. Suatu kaidah hukum bersifat instrumental apabila tujuannya terarah pada suatu perilaku konkret, sehingga efek hukum akan kecil sekali apabila tidak diterapkan dalam kenyataannya, sedangkan kaidah hukum simbolis tidak tergantung pada penerapannya tetapi lebih diarahkan pada sikap seseorang. Tujuan dari kaidah hukum simbolis ini dapat ditemukan di dalam penjelasan suatu peraturan (Soekanto, 1989: 5-6 & 10). Di sisi lain, pandangan yang lebih kontemporer melihat bahwa ketaatan masyarakat berkaitan dengan seberapa jauh masyarakat mampu mengaktualisasikan kearifan-kearifan yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Artinya, isi hukum tidak dilihat semata-mata sebagai harapan pembentuk undang-undang tetapi juga mengakomodasi harapan dan cita masyarakat.

Agar perilaku manusia dapat selaras dengan tujuan hukum, dibutuhkan kondisi-kondisi pendukung diantaranya proses komunikasi atau interaksi. Berkaitan dengan hal tersebut, Friedman menegaskan bahwa “A legal act (rule, doctrine, practice) whatever functions it serves, is a message” (Soekanto, 1989: 17).

Komunikasi merupakan suatu proses penyampaian dan penerimaan lambang-lambang yang mengandung arti-arti tertentu. Tujuan dari komunikasi adalah menciptakan pengertian bersama dengan maksud agar terjadi perubahan pikiran, sikap ataupun perilaku. Namun, komunikasi hukum lebih banyak tertuju pada sikap. Oleh karena sikap merupakan suatu kesiapan mental (predisposition) sehingga seseorang mempunyai kecenderungan-kecenderungan untuk memberikan pandangan yang baik atau buruk yang kemudian terwujud di dalam perilaku nyata. Dengan demikian, sikap mempunyai komponen kognitif, afektif maupun

konatif. Komponen kognitif menyangkut persepsi terhadap keadaan sekitarnya yang antara lain mencakup pengetahuan. Komponen afektif berhubungan dengan perasaan senang atau tidak senang. Komponen konatif berkaitan dengan kecenderungan untuk bertindak atau berbuat terhadap sesuatu. Ketiga komponen tersebut berkaitan erat dengan komunikasi hukum (Soekanto, 1989: 18).

Kadangkala komunikasi hukum yang dilakukan tidak dapat berjalan dengan lancar disebabkan karena apa yang diatur dalam hukum tidak erat hubungannya dengan masalah-masalah yang secara langsung dihadapi oleh masyarakat, akibatnya mungkin hukum tidak mempunyai pengaruh sama sekali atau mempunyai pengaruh yang negatif terhadap sikap masyarakat. Dalam kondisi seperti itu, maka masyarakat dapat bersikap acuh tak acuh atau bahkan melawan hukum. Hal tersebut disebabkan oleh karena kebutuhan mereka tidak dapat dipenuhi dan tidak dipahami, sehingga kemungkinan besar mengakibatkan terjadinya frustasi, tekanan atau bahkan konflik. Oleh karena itu, dalam proses komunikasi hukum senantiasa harus diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut (Soekanto, 1989: 19) :

1. Komunikasi langsung, peningkatan kepercayaan kepada komunikator, daya tarik maupun kewibawaan.

2. Besar-kecilnya jumlah penerima pesan, semakin kecil jumlah penerima pesan, semakin efektif komunikasi hukumnya.

3. Isi pesan adalah sekhusus mungkin. Sebaiknya digunakan jalan pikiran yang bersifat induktif.

4. Memperhatikan relevansi pesan dari sudut penerima pesan.

Page 42: Jurnal April 2012

26 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 17-35 Keadilan Ekologis Dalam Gugatan Class Action Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah (Mella Ismelina) | 27

5. Kesadaran bahasan dan pemahamannya. Gunakan bahasa yang dipergunakan oleh sasaran komunikasi.

Di samping persoalan hukum harus dikomunikasikan, perlu pula diperhatikan mengenai subyek hukum, apakah ia dapat melakukan atau tidak melakukan hal-hal yang diatur oleh hukum. Oleh karena itu, perlu diperhatikan faktor-faktor yang menjadi pendorong bagi manusia untuk berperilaku tertentu. Menurut Soerjono Soekanto, faktor-faktor pendorong seseorang patuh terhadap hukum karena (Soekanto, 1989: 19) :

1. Perhitungan untung rugi, artinya kalau dia patuh pada hukum maka keuntungannya lebih banyak daripada kalau dia melanggar hukum (konsekuensinya maka penegakan hukum senantiasa harus diawasi secara ketat.

2. Hukumnya sesuai dengan hati nuraninya (seseorang memilih hukum adat untuk menyelesaikan sengketanya karena menganggap lebih sesuai dengan hati nurani).

3. Untuk menjaga hubungan baik dengan sesamanya atau penguasa.

4. Adanya tekanan-tekanan tertentu.

5. Dianggapnya hal yang paling praktis untuk patuh pada hukum.

Dalam komunikasi hukum, peranan ahli hukum sangat diharapkan untuk dapat menjelaskan hukum kepada masyarakat dengan berpegang pada dasar-dasar komunikasi maupun psikologi agar masyarakat dapat memahami serta mematuhi hukum.

Komunikasi hukum yang berkaitan dengan suatu keputusan hukum, maka dapat dilakukan secara langsung kepada masyarakat sasaran melalui tatap muka sehingga dapat langsung diketahui apakah pesannya diterima dan dimengerti oleh si penerima pesan atau tidak. Komunikasi langsung harus dapat dilakukan dalam masyarakat-masyarakat kecil yang mendasarkan pola interaksinya pada komunikasi tatap muka.

Berlainan jika sasaran komunikasi hukum adalah masyarakat luas, maka pembuat hukum harus dapat memproyeksikan sarana-sarana yang diperlukan, agar kaidah hukum yang dirumuskannya mencapai sasaran dan benar-benar dipatuhi, sedangkan kaitan dengan masalah dan relevansi suatu kaidah hukum, maka semakin khusus ruang lingkup suatu kaidah, semakin efektif kaidah hukum tersebut dari sudut komunikasi hukum. Demikian pula dalam penggunaan bahasa harus digunakan bahasa yang dapat dipahami oleh masyarakat. Penentuan masyarakat yang menjadi sasaran perundang-undangan pun perlu diperhatikan.

Apabila hukum telah dikomunikasikan kepada masyarakat, maka kepatuhan terhadap hukum sangat dipengaruhi oleh budaya hukum yang ada di masyarakat di mana hukum itu akan diimplementasikan.

Istilah budaya hukum muncul seiring dengan perkembangan lebih lanjut dari studi hukum dan masyarakat serta kebudayaan. Pembahasan budaya hukum dapat bertitik tolak dari pendapat Philip Selznick yang menyatakan bahwa hukum itu erat sekali berkaitan dengan usaha untuk mewujudkan nilai-nilai tertentu dan latar belakang susunan masyarakat tertentu, sedangkan Montesquieu dalam bukunya Spirit

Page 43: Jurnal April 2012

28 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 17-35

of Law berpendapat bahwa hukum merupakan bagian integral dari kebudayaan masyarakat. Hukum merupakan hasil dari beberapa faktor dalam masyarakat seperti adat istiadat, lingkungan fisik dan perkembangan masa lampau, sehingga hukum hanya dapat dimengerti di dalam kerangka kehidupan masyarakat di mana hukum itu berkembang (Sismarwoto, 2004: 419).

Bermula dari telaahan mengenai hal tersebut kemudian dikajilah mengenai konsep tentang budaya hukum. Hubungan antara kebudayaan dan hukum digambarkan oleh Koentjaraningrat sebagai suatu sistem nilai budaya yang terdiri dari konsep-konsep yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar masyarakat mengenai hal-hal yang mereka harus anggap amat bernilai dalam hidup. Karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem tata kelakuan manusia yang tingkatnya lebih konkret, seperti norma-norma, hukum, dan aturan-aturan khusus, semua berpedoman kepada sistem nilai budaya (Koentjaraningrat, 1987: 25).

Thurnwald seperti yang dikutip oleh Soekanto mengemukakan bahwa hukum harus dianggap sebagai ekspresi suatu sikap kebudayaan, artinya tertib hukum harus dipelajari dan dipahami secara fungsional dari sistem kebudayaan. Kebudayaan menurut Spradley, seperti dikutip Bambang Rudito, adalah pengetahuan yang diperoleh, yang digunakan oleh manusia untuk menginterpretasikan pengalaman dan melahirkan tingkah laku (Budimanta et.al., 2005: xxiv) atau dengan kata lain, kebudayaan merupakan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, resep-resep, rencana-rencana dan strategi-strategi yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang dipunyai manusia dan yang digunakan secara selektif dalam menghadapi lingkungannya

sebagaimana terwujud dalam tingkah laku dan tindakan-tindakannya (Budimanta. Et.al., 2005: xxv).

Terkait hal tersebut, Friedman menyatakan bahwa budaya hukum itu mengacu kepada bagian-bagian dari budaya pada umumnya yang berupa kebiasaan, pendapat, cara-cara berperilaku dan berpikir yang mendukung atau menghindari hukum. Kemudian Podgorecki menggunakan istilah subbudaya hukum untuk menunjukkan relevansi antara hukum dengan kebudayaan. Menurut pandangan Podgorecki, gagasan subbudaya hukum dimulai dari pembahasan tentang kebudayaan yang berlaku secara umum dalam suatu masyarakat.

Kebudayaan dirumuskan sebagai seperangkat nilai-nilai sosial umum seperti gagasan-gagasan, pengetahuan, seni, lembaga-lembaga, pola-pola sikap, pola-pola perilaku dan hasil-hasil material (Riswandi dan Syamsudin, 2004: 145). Podgorecki membedakan tiga jenis subbudaya hukum menurut fungsinya bagi sistem hukum, yaitu subbudaya hukum positif, subbudaya hukum negatif, dan subbudaya hukum netral. Subbudaya hukum menjadi sangat penting karena menjadi penyebab atau penentu tipe-tipe sikap dan perilaku hukum masyarakat (Riswandi dan Syamsudin, 2004: 145-146 & 153).

Jika kita melihat sistem hukum, maka budaya hukum merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam sistem hukum suatu negara selain struktur dan substansi hukum. Konsep budaya hukum sebagai salah satu komponen dari sistem hukum, mulai diperkenalkan pada tahun enam puluhan oleh Friedman dalam artikel yang berjudul “Legal Culture and Social Development” (Riswandi dan Syamsudin, 2004: 154).

Menurut Friedman, hukum itu tidak

Page 44: Jurnal April 2012

28 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 17-35 Keadilan Ekologis Dalam Gugatan Class Action Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah (Mella Ismelina) | 29

layak hanya dibicarakan dari segi struktur dan substansinya saja melainkan juga dari segi budaya hukum. Tanpa budaya hukum, sistem hukum itu tidak akan berdaya karena budaya hukum menentukan bekerjanya sistem hukum. Komponen budaya adalah komponen yang terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang merupakan pengikat sistem serta menentukan tempat sistem hukum di tengah-tengah budaya bangsa secara keseluruhan. Jadi, budaya hukum adalah keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempat yang logis dalam kerangka budaya milik masyarakat umum (lihat lebih lanjut, Soekanto dan Abdullah, 1980: 9-24).

Budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan (Friedman, 2001: 8). Istilah budaya hukum pertama kali dikemukakan oleh Friedman untuk menyebut kekuatan-kekuatan sosial yang mempengaruhi bekerjanya hukum di masyarakat, yang berupa elemen-elemen nilai dan sikap masyarakat yang berhubungan dengan institusi hukum. Friedman membedakan budaya hukum secara internal dan eksternal. Budaya hukum internal adalah budaya hukum warga masyarakat yang melaksanakan tugas-tugas hukum secara khusus sedangkan budaya hukum eksternal adalah budaya hukum masyarakat pada umumnya (Riswandi dan Syamsudin, 2004: 147-148).

Friedman merumuskan budaya hukum sebagai sikap-sikap dan nilai-nilai yang berhubungan dengan hukum, bersama-sama dengan sikap-sikap dan nilai-nilai yang berkait dengan tingkah laku yang berhubungan dengan hukum dan lembaga-lembaganya, baik secara positif maupun negatif (Rahardjo, 1980: 82). Dengan demikian, istilah budaya hukum

digunakan untuk menunjukkan suatu kekuatan sosial yang ikut menentukan terhadap bekerjanya suatu sistem hukum. Faktor sosial tersebut berproses bersamaan dengan bekerjanya sistem hukum dalam sebuah konteks kebudayaan. Faktor sosial tersebut dapat mendukung atau menghambat bekerjanya sistem hukum, hal itu bergantung pada unsur adat istiadat, nilai, sikap masyarakat berkaitan dengan hukum (Riswandi dan Syamsudin, 2004: 149).

Friedman mencoba untuk menelaah budaya hukum dari pelbagai perspektif. Dia menganalisis budaya hukum nasional yang dibedakannya dari subbudaya hukum yang mungkin berpengaruh secara positif atau negatif terhadap hukum nasional. Selanjutnya Friedman membedakan budaya hukum internal dari yang eksternal. Budaya hukum internal merupakan budaya hukum warga masyarakat yang melaksanakan tugas-tugas hukum secara khusus, sedangkan budaya hukum eksternal merupakan budaya hukum masyarakat pada umumnya (Lumbuun, 2002: 30).

Lebih lanjut, Friedman berpendapat bahwa budaya hukum menunjuk pada dua hal yaitu pertama, unsur adat istiadat organis yang berkaitan dengan kebudayaan secara menyeluruh dan kedua, unsur nilai dan sikap sosial (Lumbuun, 2002: 148). Daniel S. Lev memerinci budaya hukum ke dalam nilai-nilai hukum prosedural dan nilai-nilai hukum substantif. Nilai-nilai hukum prosedural mempersoalkan tentang cara-cara pengaturan masyarakat dan manajemen konflik sedangkan nilai-nilai hukum substantif dari budaya hukum terdiri dari asumsi-asumsi fundamental mengenai distribusi maupun penggunaan sumber-sumber di dalam masyarakat, apa yang dianggap adil dan tidak oleh masyarakat dan sebagainya (Lumbuun, 2002: 87).

Page 45: Jurnal April 2012

30 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 17-35

Menurut Lawrence M. Friedman, budaya hukum berfungsi sebagai motor penggerak keadilan yang menjembatani antara sistem hukum dengan sikap-sikap manusia dalam masyarakatnya. Pendapat yang senada dilontarkan pula oleh Esmi Warassih bahwa faktor budaya hukum memegang peranan penting karena merupakan jembatan antara sistem hukum dengan tingkah laku masyarakatnya (HZ, 2004: 10 dan Salman dan Susanto, 2004: 52). Perubahan yang terjadi dalam masyarakat pada gilirannya berimbas kepada perubahan dalam bidang hukum. Perubahan dalam bidang hukum itu dapat terjadi disebabkan karena hukum digunakan atau tidak digunakan dalam masyarakat atau terjadi kekeliruan dan penyalahgunaan hukum oleh masyarakat dalam kehidupannya.

Konsep budaya hukum digunakan untuk menjawab pertanyaan bagaimana sesungguhnya masalah-masalah hukum itu diselesaikan oleh masyarakat dan mengapa terdapat perbedaan dalam jalannya kehidupan hukum di antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya.

Hukum adalah sebagai sarana untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dan sebagai sarana menyalurkan kebijakan-kebijakan pemerintah dalam bentuk perundang-undangan. Setiap kebijakan yang dibuat selalu mencerminkan nilai-nilai dari pembuat kebijakan sehingga kadangkala hukum yang dibuat tidak sejalan dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat atau tidak sejalan dengan kesiapan masyarakat dalam menerima hukum itu. Hukum yang dijalankan dalam masyarakat banyak ditentukan oleh nilai-nilai, sikap-sikap serta pandangan-pandangan yang telah dihayati oleh anggota-anggota masyarakat (Salman dan Susanto, 2004: 125). Dengan demikian, keberhasilan suatu peraturan

dalam mewujudkan tujuannya tergantung pada budaya hukum masyarakat yang hendak dikenai hukum.

Dalam upaya mencapai tujuan hukum, maka hukum yang dibuat harus sesuai dengan nilai-nilai yang hidup (living law) dalam masyarakat atau dengan kata lain, hukum yang dibentuk harus sesuai dengan budaya hukum masyarakat dan merupakan pencerminan model-model masyarakatnya, sehingga perilaku-perilaku masyarakat sesuai dengan apa yang telah ditentukan di dalam aturan-aturan hukum yang berlaku (Raharjo, 1980: 49).

Untuk dapat bertingkah laku sesuai dengan hukum, maka dibutuhkan adanya kesadaran hukum dalam masyarakat. Menurut Esmi Warassih, kesadaran hukum merupakan jembatan yang menghubungkan antara peraturan-peraturan hukum dengan tingkah laku hukum masyarakat. Sedangkan kesadaran hukum masyarakat dipengaruhi oleh budaya hukum yaitu nilai-nilai, pandangan serta sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum (Raharjo, 1980: 49).

Lebih lanjut, Darmodiharjo dan Shidarta mengungkapkan bahwa budaya hukum identik dengan pengertian kesadaran hukum, yaitu kesadaran hukum dari subyek hukum secara keseluruhan. Kesadaran hukum merupakan abstraksi mengenai perasaan hukum dari suatu subyek hukum. Indikator-indikator kesadaran hukum tersebut adalah pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum, pengetahuan tentang isi pengaturan hukum, sikap terhadap peraturan-peraturan hukum dan pola perilaku hukum (Riswandi & Syamsudin, 2004: 158). Sementara itu, Soekanto dan Taneko mengemukakan bahwa kesadaran hukum berkaitan dengan nilai-nilai, yaitu konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri

Page 46: Jurnal April 2012

30 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 17-35 Keadilan Ekologis Dalam Gugatan Class Action Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah (Mella Ismelina) | 31

manusia tentang keserasian antara ketertiban dengan ketentraman yang dikehendaki atau yang sepantasnya (Riswandi dan Syamsudin, 2004: 158).

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa hukum dan kebudayaan mempunyai hubungan yang sangat erat di mana hukum merupakan penjelmaan dari nilai-nilai budaya atau sistem nilai-nilai budaya suatu masyarakat.

Environmental Leadership

Pembahasan environmental leadership menjadi penting untuk dibahas dalam tulisan ini karena terjadinya kasus longsor TPA Leuwigajah tersebut tidak lepas dari kurang kepedulian pemimpin termasuk para hakim (penegak hukum) terhadap kelestarian fungsi lingkungan hidup. Hal tersebut mengindikasikan lemahnya pemahaman dan komitmen pemimpin dan para penegak hukum kita di dalam mengimplementasikan gagasan pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

Dengan kata lain, telah terjadinya kegagalan kepemimpinan lingkungan (environmental leadership). Di sisi lain, kebijakan desentralisasi pemerintah di tahun 2000 membawa implikasi semakin terabaikannya isu-isu lingkungan dan pembangunan berkelanjutan oleh isu-isu yang lebih mengedepankan kepentingan ekonomi dan politik (Budimanta. Et.al., 2005: iv). Setiap bencana alam yang terjadi tidak jarang memakan korban yang tidak sedikit seperti korban longsor TPA Leuwigajah. Namun hal tersebut sepertinya tidak membuat sadar para pemimpin dan penegak hukum untuk lebih memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan dalam setiap kebijakan dan putusan yang diambilnya.

Ketidakefektifan pengaturan dan

pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan tidak terlepas dari rendahnya kapasitas sumber daya manusia dalam mengelola, memfasilitasi, mengkomunikasikan, mengkoordinasikan kepentingan dan membangun kerjasama antar stakeholders. Dengan demikian, persoalan yang muncul adalah persoalan kapasitas leadership serta persoalan integritas moral. Selain itu, dalam kenyataannya dalam setiap pembangunan yang dilakukan pengintegrasian antara aspek ekonomi, ekologi, dan sosial belum terintegrasi dalam setiap kebijakan pembangunan selama ini. Dengan demikian, persoalan ini merupakan persoalan mendasar yang harus dicari jalan keluarnya.

Kepemimpinan lingkungan (environmental leadership) pada prinsipnya adalah sebuah proses membangun kesadaran kritis terhadap isu-isu lingkungan, memotivasi dan mengembangkan kapasitas dan kapabilitas untuk melakukan aksi. Berkaitan dengan hal tersebut, Rachmat Witoelar menyatakan bahwa kepemimpinan lingkungan (environmental leadership) merupakan kapasitas, sikap dan pengalaman praktis seseorang dalam mewujudkan usaha-usaha untuk memajukan kesejahteraan manusia dan keadilan lingkungan, melalui kemampuan memperkuat nilai-nilai demokrasi, kepekaan terhadap potensi dan persoalan lingkungan, serta keterbukaan pada pendekatan interdisciplinary dalam pengelolaan lingkungan (Budimanta. Et.al., 2005: v).

Salah satu upaya yang bisa dilakukan dalam menumbuhkan sifat kepemimpinan lingkungan adalah dengan memberikan pembekalan pengetahuan dan pemahaman tentang pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan melalui program pelatihan yang berkaitan dengan lingkungan dan kepemimpinan lingkungan. Peningkatan pengetahuan dan pemahaman tentang pengelolaan lingkungan hidup tersebut menjadi penting

Page 47: Jurnal April 2012

32 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 17-35

guna menumbuhkan kesadaran dan motivasi serta membentuk visi dan misi lingkungan bagi kepemimpinan lingkungan yang pada akhirnya dapat mempengaruhi tindakan-tindakan mereka yang diwujudkan oleh kelembagaan lingkungan yang dipimpinnya.

Kepemimpinan lingkungan yang dikehendaki adalah seseorang yang memiliki kapabilitas yang integratif dalam penanganan permasalahan lingkungan, memahami aturan-aturan hukum mengenai lingkungan dan memahami manajemen pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan dengan baik. Selain itu, seorang pemimpin diharapkan mampu mengintegrasikan tiga pilar pembangunan berkelanjutan yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan (ekologi) dalam setiap kebijakan yang dibuatnya sehingga terlihat ada keterkaitan antara lingkungan dan good governance. Upaya mewujudkan prinsip-prinsip good governance haruslah sejalan dengan perjuangan mewujudkan kebijakan lingkungan hidup dan sumber daya alam yang baik (Santosa. Et.al., 2000: 41).

Dalam konteks kepemimpinan lingkungan, maka ada keperluan untuk merubah paradigma pembangunan dari pembangunan konvensional menuju ke pembangunan berkelanjutan (sustainable development) (Budimanta. Et.al., 2005: x). Selama kepemimpinan pembangunan masih berpegang pada paradigma konvensional maka malapetaka lingkungan akan semakin besar.

Pembangunan konvensional pada umumnya lebih mengarah kepada pandangan hidup yang lebih berorientasi ekonomi yang menekankan nilai-nilai yang bersifat ego-sentris individualistis. Berdasarkan paradigma pembangunan konvensional, pembangunan

adalah eksploitasi sumber daya alam di mana manusia adalah subjek dan sumber daya alam adalah objek pembangunan. Sumber daya alam diartikan sebagai sumber kehidupan sehingga pengelolaan sumber daya alam lebih berkonotasi pemanfaatan untuk kehidupan bukan merupakan asset alam yang perlu dikelola dengan bijak (Budimanta. Et.al, 2005: xi).

Berlainan dengan pembangunan konvensional, pembangunan berkelanjutan lebih mengutamakan pembangunan yang memberlanjutkan kehidupan ekonomi, sosial dan lingkungan. Keberlanjutan ekonomi bisa dijamin apabila ketimpangan pendapatan antar manusia bisa diminimalkan dan kemiskinan diberantas. Keberlanjutan sosial memerlukan ditingkatkannya kualitas sumber daya manusia dan modal sosial dalam perikehidupan sosial-politik, sedangkan keberlanjutan lingkungan dimungkinkan apabila daya dukung lingkungan dan daya tampung lingkungan terjaga dengan baik sehingga ekosistem penopang kehidupan terlestarikan (Budimanta. Et.al, 2005: x). Selain itu, paradigma pembangunan berkelanjutan menempatkan ekosistem sebagai subsistem pembangunan juga menempatkan posisi manusia bukan sebagai makhluk yang dominan tetapi menempatkan manusia sebagai makhluk sosial dalam hubungan harmonis dengan Tuhan, alam dan masyarakat.

Dengan konsep seperti itu, maka terdapat perubahan nilai interaksi antara manusia dengan lingkungannya yang semula bersifat transenden menjadi holistik di mana manusia menempati posisi yang sejajar dengan lingkungannya sehingga ada saling ketergantungan antara manusia dengan lingkungannya di mana manusia membutuhkan lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya sedangkan lingkungan

Page 48: Jurnal April 2012

32 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 17-35 Keadilan Ekologis Dalam Gugatan Class Action Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah (Mella Ismelina) | 33

membutuhkan peran manusia untuk menjaga keseimbangan daya dukung lingkungan dan daya tampung lingkungan. Jadi dalam pembangunan berkelanjutan terjadi perubahan nilai dari pandangan manusia sebagai subyek pembangunan dan lingkungan sebagai obyek pembangunan menjadi pandangan atau nilai saling membutuhkan diantara manusia dan lingkungan. Namun dalam perubahan nilai atau pandangan tersebut tidak hanya dibutuhkan pola pikir manusianya saja tetapi harus lebih melibatkan hati nurani dalam kepemimpinan lingkungan.

Pada akhirnya, paradigma pembangunan berkelanjutan itulah yang kini harus ada di setiap kepemimpinan. Khusus berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup maka, pola kepemimpinan lingkungan (environmental leadership) yang diperlukan adalah kepemimpinan yang memiliki visi terhadap masa depan yang berkelanjutan, berpikir holistik dan integratif dan dapat berperan sebagai komunikator yang baik sehingga mampu menjembatani kepentingan seluruh pihak serta mempunyai integritas moral lingkungan (Budimanta. Et.al, 2005: xvii). Selain itu, dukungan politik sangat perlu bagi berkembangnya kapasitas kepemimpinan lingkungan (environmental leadership) di Indonesia. Politik menjadi penting dalam memberikan ruang bagi berkembangnya good governance dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.

SIMPULANIV.

Kasus longsor TPA Leuwigajah menyadarkan kita bahwa alam semesta beserta isinya memiliki nilai yang harus dihargai, dan manusia memiliki kewajiban dan tanggung jawab moral terhadap makhluk hidup lain dan alam

semesta. Hal itu karena manusia adalah pelaku moral yang mempunyai kemampuan bertindak secara moral. Kewajiban dan tanggung jawab moral tersebut yaitu menghargai dan menghormati alam dengan tidak melakukan sesuatu yang menimbulkan dampak negatif terhadap alam semesta dan lingkungan hidup serta kewajiban dan tanggung jawab untuk memulihkan kembali kondisi alam semesta yang telah tercemar dan rusak kepada keadaan semula agar fungsi lingkungan tetap termanfaatkan dengan baik.

Putusan majelis hakim dalam kasus longsor TPA Leuwigajah yang mendasarkan putusannya hanya pada kesepakatan para pihak yang tertuang dalam akta perdamaian dari sisi keadilan sosial mungkin telah terpenuhi karena para penggugat telah memperoleh ganti rugi sesuai dengan yang disepakati bersama. Namun di sisi lain, ada hal yang perlu diperhatikan juga yaitu terkait dengan keadilan ekologis. Hal ini menjadi penting karena pelestarian fungsi lingkungan juga merupakan hal yang harus diperhatikan bagi keberlanjutan hidup dan kehidupan manusia itu sendiri. Selain itu, permasalahan lingkungan tidak dapat diselesaikan secara parsial dan terkotak-kotak tetapi permasalahan lingkungan hidup hanya bisa teratasi melalui pendekatan yang holistik, multidisipliner dan interdisipliner.

Demikian pula dalam kasus longsor TPA Leuwigajah, penyelesaian kasus tersebut harus dilakukan secara holistik dengan memperhatikan semua kepentingan baik kepentingan para korban juga kepentingan ekologis agar daya dukung dan daya tampung lingkungan TPA Leuwigajah dapat dipulihkan kembali sehingga fungsinya dapat digunakan kembali sesuai dengan rencana Pemerintah Daerah yang akan menggunakan kembali TPA Leuwigajah sebagai pembuangan sampah setelah ganti rugi pada para korban selesai

Page 49: Jurnal April 2012

34 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 17-35

dilakukan. Dengan kajian yang holistik terhadap kasus lingkungan maka diharapkan adanya keseimbangan antara kepentingan pelestarian fungsi lingkungan dan pemanfaatan lingkungan hidup. Selain itu, adanya environmental leadership menjadi hal yang penting untuk ditumbuhkan pada setiap pemimpin dan penegak hukum kita agar setiap kebijakan dan putusan yang diambil selalu berpatokan pada konsep pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Bakken, Peter W., Joan Gibb Angel & J. Ronald Engel. 1995. A Critical Survey dalam Ecology, Justice and Christian Faith:A Critical Guide to The Literature. Westport, Conn, Greenwood Press.

Budimanta, Arif. Et.al. 2005. Seri Kajian Sustainable Future, Environmental Leadership. Jakarta: Indonesia Center for Sustainable Development (ICSD).

Capra, Fritjof. 2004. Hidden Connection; Strategi Sistemik Melawan Kapitalisme Baru. Jogyakarta: Jalasutra.

------------------. 2004. Titik Balik Peradaban, Sain, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayan. Jogyakarta: Bentang.

Chapman, Audrey R. Rodney L. Petersen & Barbara Smith Moran. 2007. Bumi yang terdesak; Perspektif Ilmu dan Agama mengenai Konsumsi, Populasi, dan Keberlanjutan. Bandung: Mizan.

Friedman, Lawrence M. 2001. “American Law an Introduction”. Second Edition. Diterjemahkan Wishnu Basuki. Hukum Amerika Sebuah Pengantar. Cet, Pertama.

Jakarta: PT. Tata Nusa.

Edi Setiadi, HZ. 2004. “Reformasi Sistem Hukum Indonesia”. Makalah Diskusi Rutin Dosen Fakultas Hukum Unisba. Bandung.

Keraf, A.Sonny. 2010. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Kompas.

Koentjaraningrat. 1987. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Cetakan ke 13. Jakarta: PT. Gramedia.

Lumbuun, T. Gayus. 2002. Confucianisme dan Lingkungan Hidup, Budaya Hukum Masyarakat Pasiran. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Purwadianto, Agus. Et.al. 2004. Jalan Paradoks; Visi Baru Fritjof Capra tentang Kearifan dan kehidupan Modern. Bandung: Teraju, Mizan.

Rahardjo, Satjipto. 1980. Hukum dan Masyarakat. Bandung: Angkasa.

Riswandi, Budi Agus dan M. Syamsudin. 2004. Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum. Jakarta: Rajawali Press.

Rudito, Bambang. 2005. “Pentingnya Environmental Leadership Sebuah Pengantar”, dalam Budimanta, Arif. Et.al. Seri Kajian Sustainable Future, Environmental Leadership. Jakarta: ICSD.

Salman, Otje dan Susanto, Anthon F. 2004. Beberapa Aspek Sosiologi Hukum. Bandung: Alumni.

Santosa, Mas Achmad. Et.al.. 2000. Membentuk Pemerintahan Peduli Lingkungan Dan Rakyat. Jakarta: Indonesia Center for Environmental Law (ICEL).

Page 50: Jurnal April 2012

34 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 17-35 Keadilan Ekologis Dalam Gugatan Class Action Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah (Mella Ismelina) | 35

Soekanto, Soerjono. 1989. Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Soerjono, Soekanto dan Mustafa Abdullah. 1980. Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat. Jakarta: Rajawali Pers.

White Jr, Lynn. 1967. The Historical Roots of Our Ecological Crisis. Science 155.

Sumber lain:

Eddy Sismarwoto. 2004. Celah-Celah Pemberdayaan Hukum dalam Masyarakat (Analisis Teoritis Hukum dan Masyarakat). Jurnal Hukum. Vol.14, No.3.

L. Wilardjo, Ekologi dalam, Kompas, 13 Januari 2002.

http://news.detik.com/read/2006/02/23/180323/546137/10/korban-longsor-tpa-leuwigajah-hanya-diganti-rugi-jutaan-rupiah?nd9922036, 18 Februari 2012, 12.00 wib.

Page 51: Jurnal April 2012

36 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 36-50

ABSTRAKTujuan dari kajian putusan ini adalah untuk menguji apakah putusan majelis hakim di pengadilan tingkat banding sudah mencerminkan putusan yang adil baik secara prosedural maupun substantif. Hasil kajian menunjukkan bahwa putusan hakim sudah mengikuti prosedur hukum acara secara memadai, bahkan majelis hakim terkesan sangat ketat dalam menerapkan prosedur hukum acara berdasarkan HIR dan Rv. Namun demikian putusan majelis hakim ini belum sampai pada memeriksa pokok sengketa yang didasarkan pada hukum materiil. Putusan ini belum menyentuh substansi atau pokok perkara yang disengketakan, sehingga belum mencerminkan keadilan substantif. Putusan hakim ini terasa kering dan belum menggali nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari belum dielaborasikannya faktor-faktor non-yuridis dalam pertimbangan hakim, akibatnya kepentingan Para Terbanding belum mendapatkan perlindungan hukum yang memadai dan imbang secara substansial. Padahal keadilan substantif itulah yang harus diwujudkan hakim pada akhir putusannya.

Kata kunci: keadilan substantif, putusan banding, sengketa sita jaminan.

AbstrActThe purpose of this study is to examine whether a decision of the Yogyakarta Court of Appeal has been procedurally and substantively just. The author of this article discloses that the panel of judges who handled the case has strictly applied the procedural law as stated in the HIR and Rv so that the decision can be regarded as the procedural justice contained. However, the judges’ decision in this case does not reflect the substantive justice, since it has not reached the level of verifying the subject of disputes based on substantive law. The judges’ decision is too formalistic in checking and resolving the matter, so it only emphasizes the procedural fairness values instead of substantive justice values. In fact, substantive justice is of significance that must be upheld by judges at any kind of decision.

Keywords: substantive justice, court of appeal decision, warranty-confiscation dispute

KEADILAN SUBSTANTIf yANG TERABAIKANDALAM SENGKETA SITA JAMINAN

M. Syamsudin, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia,Jl. Tamansiswa No. 158 Yogyakarta

Email: [email protected]

Kajian Putusan Nomor 42/PDT/2011/PT.Y

THE OvERLOOKED SUBSTANTIvE JUSTICE IN A CASE Of SEQUESTRATION DISPUTE

M.Syamsudin, Faculty of law of the islamic university of IndonesiaJl. K.H Ahmad Dahlan, Cirendeu-Jakarta Selatan

Email: [email protected]

An Analysis of Decision Number 42/PDT/2011/PT.Y

Page 52: Jurnal April 2012

Keadilan Substantif Yang Terabaikan Dalam Sengketa Sita Jaminan (M. Syamsudin) | 37

PENDAHULUANI.

Kasus ini diawali oleh adanya hubungan hukum pinjam meminjam sertifikat tanah hak milik (SHM) oleh Ny. E dan DS kepada Ny. SR dan SAH. Ny. E dan DS adalah anak kandung dari Ny. SR dan SAH. Peminjaman SHM tersebut dituangkan dalam bentuk Akta Notariil Nomor 4, tanggal 6 April 2005 di hadapan Notaris/PPAT BHS, S.H berkedudukan di Yogyakarta. Tujuan peminjaman adalah untuk dijadikan agunan oleh peminjam di Bank Mandiri Cabang Kebon Sirih Jakarta. Akan tetapi kenyataannya peminjaman tersebut tidak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perjanjian dalam akte notariil tersebut, yakni untuk agunan di Bank Mandiri Cabang Kebon Sirih Jakarta, justru dijaminkan kepada Drs. IK dan GS, S.H untuk jaminan hutang-piutang di antara mereka.

Dalam perjalanan hutang-piutang antara Drs. IK dan GS, S.H dengan Ny. E dan DS mengalami masalah dan berakhir pada gugatan yang dilakukan oleh Drs. IK dan GS, S.H (penggugat I dan II) menggugat Ny. SR dan SAH (tergugat I dan II) serta Ny. E dan DS (turut tergugat III dan IV) ke Pengadilan Negeri Cibinong, Bogor. Hasilnya Pengadilan Negeri Cibinong memenangkan gugatan penggugat I dan II. Disebabkan tidak ada upaya banding dari para tergugat dan turut tergugat, maka putusan PN Cibinong mempunyai kekuatan hukum tetap.

Oleh karena itu untuk melaksanakan/eksekusi putusan tersebut, Ketua PN Cibinong meminta bantuan untuk melaksanakan Sita Jaminan kepada Ketua PN Sleman, DIY dikarenakan objek sengketanya ada di wilayah kompetensi PN Sleman. Permohonan Ketua PN Cibinong tersebut dipenuhi oleh Ketua PN Sleman dengan diterbitkan Surat Penetapan Ketua PN

Sleman No.02/Pdt.E.Del/2007/PN.Slmn tentang Pelaksanaan Sita Jaminan.

Selanjutnya, para tergugat I dan II dan turut tergugat III dan IV melakukan perlawanan dan mengajukan gugatan perlawanan kepada para penggugat I dan II ke PN Sleman. Hasilnya putusan PN Sleman memenangkan para pelawan (tergugat I, II, III dan IV). Atas putusan tersebut pihak terlawan (penggugat I dan II) tidak menerima dan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Yogyakarta. Hasilnya PT Yogyakarta memenangkan pihak pembanding (para terlawan I dan II). Sampai saat ini posisi perkara ini belum mempunyai kekuatan hukum tetap karena pihak terbanding mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).

Secara substansial, kasus yang diputus oleh Pengadilan Tinggi Yogyakarta ini merupakan perkara perlawanan terhadap eksekusi putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Dalam kasus ini terkandung beberapa masalah yaitu di satu sisi pelawan memiliki kepentingan kepemilikan terhadap tanah yang akan dilelang oleh terlawan I dan II yang tentu harus dilindungi oleh hukum.

Di sisi lain dalam perlawanan tersebut juga terjadi pelanggaran hukum acara yang dilakukan oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Sleman. Bentuk pelanggarannya adalah alamat terlawan III dan IV yang merupakan anak dari para pelawan yang juga merupakan pihak yang telah menjaminkan sertifikat tersebut kepada terlawan I dan II dicantumkan dalam gugatan perlawanan oleh para pelawan dengan alamat yang tidak valid, padahal majelis hakim seharusnya menilai tentang keabsahan panggilan itu dengan membaca relaas panggilan yang telah ditandatangani oleh Kepala Desa atau Lurah Ciangsana, yang menyatakan

Page 53: Jurnal April 2012

38 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 36-50

bahwa terlawan III dan IV telah 5 (lima) tahun pindah dari tempat tinggal semula.

Inilah yang dinilai oleh majelis hakim di Pengadilan Tinggi Yogyakarta telah terjadi pelanggaran hukum acara dalam perkara ini, karena seharusnya surat panggilan itu diserahkan langsung kepada terlawan III dan IV. Hal ini mengakibatkan gugatan perlawanan itu menjadi cacat formil. Sementara itu, dilihat dari pihak terlawan I dan II adalah kreditur yang telah menyerahkan dana sebesar 2 (dua) milyar rupiah kepada terlawan III dan IV, yang tidak mungkin dikalahkan begitu saja, mengingat jumlah uang yang sebesar itu tidak mungkin dibiarkan hilang begitu saja karena akan tercipta ketidakadilan.

RUMUSAN MASALAHII.

Berangkat dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di bagian pendahuluan, dapat dirumuskan permasalahan hukum dalam bentuk pertanyaan akademik yaitu: ”Apakah putusan majelis hakim di pengadilan tingkat banding dalam kasus ini sudah mencerminkan putusan yang adil, baik dilihat secara prosedural maupun substantif?”

Untuk mengukur hal tersebut akan digunakan konsep keadilan prosedural dan substantif sebagaimana dikemukakan oleh Salman Luthan yang dielaborasikan dengan konsep-konsep keadilan lainnya. Keadilan prosedural adalah keadilan terkait dengan perlindungan hak-hak hukum para pihak (penggugat, tergugat dan para saksi) dalam setiap tahapan proses peradilan. Keadilan substantif adalah keadilan terkait dengan putusan hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang harus dibuat berdasarkan pertimbangan kejujuran, objektivitas, tidak memihak (imparsiality), tanpa

diskriminasi dan berdasarkan hati nurani (Luthan, 2009: 2).

STUDI PUSTAKA DAN ANALISISIII.

A. Studi Pustaka

Putusan hakim adalah hukum yang sebenar-benarnya (the real law). Asumsi dasar itu dikemukakan oleh aliran realisme hukum yang menyatakan bahwa all the law is judge made law, artinya semua hukum itu pada hakikatnya adalah putusan hakim, sehingga posisi dan kedudukan hakim menjadi pusat lahirnya hukum (Gray dalam Darmodiharjo dan Shidarta, 2004: 138). Oleh karena itu putusan hakim sebagai hukum yang sejatinya, harus dapat mewujudkan tujuan hukum itu sendiri. Setidak-tidaknya terdapat 3 (tiga) tujuan hukum itu yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan (Ali, 1996: 84-96).

Ketiga tujuan hukum tersebut (keadilan, kemanfaatan dan kepastian) dalam praktik sulit diwujudkan secara bersamaan sekaligus. Dalam praktik sering terjadi benturan atau ketegangan antara kepastian hukum dengan kemanfaatan, antara keadilan dengan kepastian, dan pula keadilan dengan kemanfaatan. Menurut Radbruh (dalam Ali, 1996: 96), jika terjadi hal seperti itu disarankan agar digunakan asas prioritas, di mana prioritas pertama jatuh pada keadilan, baru diikuti kemanfaatan dan kepastian. Achmad Ali sendiri menyarankan menggunakan asas prioritas yang kasuistis. Artinya ketiga tujuan hukum itu diprioritaskan sesuai dengan konteks kasusnya yang dihadapi. Oleh karena itu dapat saja kasus A mungkin prioritasnya pada kemanfaatan, kasus B prioritasnya pada kepastian, dan kasus C prioritasnya pada keadilan (Ali, ibid: 96).

Keadilan dalam konteks putusan hakim

Page 54: Jurnal April 2012

Keadilan Substantif Yang Terabaikan Dalam Sengketa Sita Jaminan (M. Syamsudin) | 39

dapat dilihat dari dua sisi yaitu keadilan prosedural dan keadilan substantif. Keadilan prosedural adalah keadilan terkait dengan perlindungan hak asasi manusia (HAM) dan hak-hak hukum para pihak (tersangka, terdakwa, terpidana, saksi, dan korban, serta penggugat dan tergugat) dalam setiap tahapan proses peradilan. Keadilan substantif adalah keadilan terkait dengan putusan hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara harus dibuat berdasarkan pertimbangan kejujuran, objektif, tidak memihak (imparsiality), tanpa prasangka, diskriminasi dan sesuai dengan hati nurani. Sepanjang putusan hakim dibuat berdasarkan pertimbangan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai adil secara substantif (Luthan, 2009: 3).

Jujur artinya, hakim dalam membuat putusan atas perkara yang disengketakan tidak menyembunyikan kebenaran. Fakta-fakta (bukti-bukti) yang terungkap dalam persidanganlah yang dijadikan dasar pembuatan putusan. Objektivitas berarti bahwa fakta-fakta yang digunakan dalam suatu kasus adalah fakta-fakta yang sesuai dengan objek perkara yang disengketakan. Tidak memihak berarti bahwa hakim tidak bersikap berat sebelah kepada pihak yang bersengketa maupun terhadap fakta-fakta yang diajukan pihak-pihak yang bersengketa dalam memperjuangkan hak dan kepentingannya. Tanpa prasangka artinya bahwa hakim tidak membuat kesimpulan atas seseorang tanpa mendengarkan keterangan atau penjelasannya (Luthan, 2009: Ibid).

Proses pembuatan putusan oleh hakim di pengadilan, merupakan suatu proses yang kompleks dan sulit dilakukan sehingga memerlukan pelatihan, pengalaman, dan kebijaksanaan. Menurut Artidjo Alkostar, sebagai figur sentral penegak hukum, para hakim memiliki kewajiban moral dan tanggung jawab profesional untuk

menguasai knowledge, memiliki skill berupa legal technical capacity dan kapasitas moral yang standar. Dengan adanya kecukupan pengetahuan dan keterampilan teknis, para hakim dalam memutus suatu perkara akan dapat memberikan pertimbangan hukum (legal reasoning) yang tepat dan benar. Jika suatu putusan pengadilan tidak cukup mempertimbangkan (onvoldoende gemotiveerd) tentang hal-hal yang relevan secara yuridis dan sah muncul di persidangan, maka akan terasa adanya kejanggalan yang akan menimbulkan matinya akal sehat (the death of common sense).

Putusan pengadilan yang tidak logis akan dirasakan pula oleh masyarakat yang paling awam, karena putusan pengadilan menyangkut nurani kemanusiaan. Penegak hukum bukanlah budak kata-kata yang dibuat pembentuk undang-undang, tetapi lebih dari itu mewujudkan keadilan berdasarkan norma hukum dan akal sehat (Alkostar, 2009: 3).

Menurut Sudikno Mertokusumo, seorang sarjana hukum, khususnya hakim, selayaknya menguasai kemampuan menyelesaikan perkara yuridis (the power of solving legal problems), yang terdiri dari tiga kegiatan, yaitu: (i) merumuskan masalah hukum (legal problem identification); (ii) memecahkannya (legal problem solving); dan (iii) mengambil putusan (decision making). Oleh karena itu dibutuhkan langkah-langkah penalaran hukum yang tepat dalam proses memecahkan masalah hukum itu (Mertokusumo, 1990: 4).

Setidak-tidaknya terdapat enam langkah utama dalam proses penalaran hukum dalam proses pembuatan putusan hakim, yaitu: pertama, mengidentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan suatu struktur (peta) kasus yang sungguh-sungguh diyakini oleh hakim sebagai

Page 55: Jurnal April 2012

40 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 36-50

kasus yang riil terjadi. Kedua, menghubungkan (mengsubsumsi) struktur kasus tersebut dengan sumber-sumber hukum yang relevan, sehingga ia dapat menetapkan perbuatan hukum dalam peristilahan yuridis (legal term);

Ketiga, menyeleksi sumber hukum dan aturan hukum yang relevan untuk kemudian mencari tahu kebijakan yang terkandung di dalam aturan hukum itu (the policies underlying those rule), sehingga dihasilkan suatu struktur (peta) aturan yang koheren. Keempat, menghubungkan struktur aturan dengan struktur kasus. Kelima, mencari alternatif-alternatif penyelesaian yang mungkin, dan keenam, menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk kemudian diformulasikan sebagai putusan akhir (Shidarta, 2004: 177, penjelasan detail dari langkah-langkah tersebut baca hlm. 199-229).

Penalaran hukum tersebut perlu memberikan ruang kepada pendekatan-pendekatan socio legal. Dengan pendekatan socio legal akan dapat memahami persoalan hukum dalam masyarakat lebih konstektual terkait dengan kondisi sosio-kultural masyarakatnya Hal-hal demikian itulah yang dianggap melahirkan keadilan substantif. Keadilan yang ukurannya bukan kuantitatif sebagaimana yang muncul dalam keadilan formal, tapi keadilan kualitatif yang didasarkan pada moralitas publik dan nilai-nilai kemanusian dan mampu memberikan kepuasan dan kebahagiaan bagi masyarakat (Umar, 2011: 44).

Putusan keadilan substantif tidak hanya mengakomodir aturan yang berlaku dalam tahapan penemuan keadilan yang paling sosial. Menurut Roscoe Pound, keadilan bukan semata-mata persoalan yuridis semata, akan tetapi masalah sosial yang dalam banyak hal disoroti oleh sosiologi hukum (Umar, 2011: 44).

Karakter keadilan substantif yang bertumpu pada ‘respon’ masyarakat, dengan indah membentuk penyelesaian permasalahan bersandar pada hukum yang ‘mendalami suara hati masyarakat’. Artinya, hukum mampu mengenali keinginan publik dan punya komitmen bagi tercapainya keadilan substantif (Ridwan, 2008:170).

B. Analisis

Analisis hukum adalah kegiatan penelaahan dan interpretasi atas fakta-fakta hukum yang telah dikemukakan, dikaitkan dengan bahan-bahan hukum yang relevan. Penelaahan dan interpretasi ini didasarkan pada isu atau masalah hukum yang telah diajukan untuk dicari pemecahannya atau penyelesaiannya dari segi hukumnya. Bahan-bahan hukum tersebut berfungsi sebagai patokan dan dasar yang dipergunakan untuk menilai fakta-fakta hukum yang ada, sehingga akan dapat ditemukan hukumnya dari pertanyaan hukum yang diajukan. Jika isu atau masalah hukum itu sudah dapat ditemukan hukumnya, berarti masalah hukum itu sudah terpecahkan atau sudah terjawab (Syamsudin, 2008: 40).

Jawaban atas isu atau masalah hukum itu ada kemungkinan benar atau salah. Benar-salahnya jawaban masalah hukum yang dipecahkan, sangat tergantung dari kejelian, kekritisan, dan kemahiran penulis (baca hakim) dalam mengemukakan fakta-fakta hukum dan bahan-bahan hukum yang diajukan. Jika penulis (baca hakim) salah atau keliru dalam melakukan analisis hukum, maka akan berakibat pula pada kesalahan atau kekeliruan dalam pengambilan kesimpulan nantinya. Pengambilan kesimpulan yang salah atau keliru, akan berakibat pula pada pembuatan pendapat hukum (legal opinion) yang salah atau keliru. Oleh karena itu dalam proses analisis ini dituntut ketelitian sekaligus

Page 56: Jurnal April 2012

Keadilan Substantif Yang Terabaikan Dalam Sengketa Sita Jaminan (M. Syamsudin) | 41

kecerdasan dalam memaknai fakta-fakta hukum dengan sumber-sumber hukum yang relevan.

Dengan mengacu pada bahan-bahan hukum yang ada, hakim dapat menemukan pengertian, konsep, asas, ajaran atau teori yang dapat digunakan untuk menilai fakta-fakta hukum yang ada, sehingga akan dapat diketahui status hukumnya, hubungan hukumnya, unsur-unsurnya, akibat hukumnya, sanksinya, dan juga kategori-kategori hukum yang lainnya. Oleh karena itu dalam melakukan analisis hukum, dibutuhkan perspektif yang luas sehingga akan menambah luas dan mendalamnya makna hukum yang dapat diberikan atau dijawab oleh hakim.

Untuk melakukan analisis hukum, berikut ini diuraikan langkah-langkah yang dapat dilakukan, yaitu dimulai dari mengemukakan fakta hukum, melakukan telaah atas fakta hukum dengan bahan-bahan hukum yang relevan, dan yang terakhir menentukan hukumnya. Langkah awal dalam proses analisis hukum ini adalah mengemukakan fakta-fakta hukum atau kejadian yang revelan dengan norma-norma hukum. Oleh karena itu langkah awal dalam analisis ini adalah mengumpulkan fakta-fakta hukum selengkap-lengkapnya. Fakta-fakta hukum bisa berupa perbuatan, peristiwa, atau keadaan. Pembunuhan adalah perbuatam hukum, kelahiran adalah peristiwa hukum dan di bawah umur adalah suatu keadaan. Fakta-fakta hukum ini diuraikan secara obyektif dan naratif sesuai dengan urutan kejadian atau peristiwanya.

Dalam tradisi civil law seperti Indonesia, hukum utamanya adalah perundang-undangan (legislasi). Oleh karena itu setelah mengumpulkan fakta-fakta hukum secara lengkap, langkah selanjutnya adalah melakukan pemeriksaan atau telaah perundang-undangan untuk menemukan

konsep-konsep hukum. Pada level hukum positif, konsep-konsep hukum pada umumnya sudah terumuskan secara jelas dan pasti dalam bahasa perundang-undangan.

Indikator-indikator perilaku atau perbuatan yang dilarang, dibolehkan dan diperintahkan pada umumnya sudah terumuskan dalam perundang-undangan. Peneliti tinggal menafsirkan fakta-fakta atau kejadian atau disebut peristiwa itu dengan patokan atau ukuran atau indikator-indikator yang ada dalam norma undang-undang itu. Jika perilaku itu memenuhi unsur-unsur atau masuk dalam kualifikasi konsep hukum tersebut maka implikasinya perbuatan itu akan membawa akibat hukum. Akibat hukum itu dapat berupa sanksi hukum, yang dapat berupa kurungan, denda ganti rugi dan sebagainya.

Contoh misalkan pada Pasal 1365 BW: Setiap perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian, mewajibkan yang menimbulkan kerugian itu untuk membayar ganti kerugian. Dalam pasal tersebut konsep utama yang harus dijelaskan adalah: (i) Konsep perbuatan. Dalam konsep ini harus dijelaskan secara gamblang sehingga tidak menimbulkan kesulitan. Misalnya apakah gempa bumi termasuk konsep perbuatan. Jika termasuk perbuatan, itu perbuatan siapa? dan bisakah perbuatan itu dipertanggungjawabkan?; (ii) Konsep melanggar hukum. Konsep ini harus dimaknai secara jelas terutama unsur-unsurnya. Dalam Yurisprudensi melanggar hukum terjadi dalam hal: melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukumnya, melanggar kepatutan, dan melanggar kesusilaan; (iii) Konsep kerugian. Konsep kerugian meliputi: kerusakan yang diderita, keuntungan yang diharapkan dan biaya yang telah dikeluarkan.

Page 57: Jurnal April 2012

42 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 36-50

Dari contoh di atas dapat diketahui bahwa tidak cukup hanya dengan berdasarkan norma hukum yang tertulis langsung diterapkan pada fakta hukumnya. Rumusan norma sifatnya abstrak dan konsep pendukungnya dalam banyak hal merupakan konsep terbuka atau konsep yang kabur. Dalam kondisi yang demikian maka dibutuhkan adanya kegiatan penemuan hukum, rechtsvinding.

Penemuan hukum sendiri dapat dilakukan dengan 2 (dua) teknik, yaitu: (i) Interpretasi, dan (ii) Konstruksi hukum yang meliputi: analogi, penghalusan atau penyempitan hukum dan argumentum a contrario. Fungsi penemuan hukum adalah menemukan norma konkret untuk diterapkan pada fakta hukum terkait. Setelah menemukan norma konkret langkah berikutnya adalah menentukan hukumnya atas fakta hukum tersebut. Sebagaimana contoh di atas, setelah menemukan norma konkret dari perbuatan dalam konteks Pasal 1365 BW, dapat dijadikan parameter untuk menjawab pertanyaan apakah gempa bumi merupakan perbuatan? (Ibid).

Analisis di sini dimaksudkan adalah cara untuk memilah-milah, mengurai dan mengelompokkan data atau informasi yang didapat agar dapat ditetapkan relasi-relasi tertentu antara kategori-kategori data yang satu dengan lainnya, sehingga data tersebut mempunyai makna. Tujuan akhir analisis adalah menetapkan hubungan-hubungan antara suatu variable/gejala /unsur tertentu dengan variabel/gejala/unsur yang lain, dan menetapkan jenis hubungan yang ada di situ.

Untuk menganalisis apakah putusan majelis hakim di pengadilan tingkat banding sudah mencerminkan putusan yang adil baik secara prosedural maupun substantif akan didasarkan

pada konsep keadilan sebagaimana dikemukakan oleh Salman Luthan yang membagi dalam dua macam yaitu keadilan prosedural dan keadilan substantif. Keadilan prosedural adalah keadilan terkait dengan perlindungan hak-hak hukum para pihak (penggugat, tergugat dan para saksi) dalam setiap tahapan proses peradilan. Keadilan substantif adalah keadilan terkait dengan putusan hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang harus dibuat berdasarkan pertimbangan kejujuran, objektivitas, tidak memihak (imparsiality), tanpa diskriminasi dan berdasarkan hati nurani.

Dari konsep keadilan prosedural ini indikator yang digunakan adalah apakah putusan hakim tersebut telah mengikuti prosedur hukum acara secara tepat. Dari indikator tersebut dijabarkan lebih rinci menjadi poin-poin kriteria sebagai berikut, pertama, apakah putusan hakim tersebut sudah memuat hal-hal yang harus ada dalam suatu putusan pengadilan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 dan Pasal 184 HIR/195 RBG, yang mencakup: (i) Kepala putusan; (ii) Identitas para pihak; (iii) Ringkasan nyata gugatan & jawaban; (iii) Alasan atau pertimbangan hakim dalam putusan; (iv) Amar putusan; (v) Hari/tanggal musyawarah dan pembacaan putusan; (vi) Biaya perkara.

Kedua, apakah putusan hakim tersebut sudah mencermati alat-alat bukti yang sah sesuai dengan Pasal 164, 153, dan 154 HIR atau 284, 180, dan 181 RBG, yang digunakan di dalam putusan hakim PN, yang mencakup: (i) surat; (ii) saksi; (iii) persangkaan; (iv) pengakuan; (v) sumpah; (vi) pemeriksaan setempat; (vii) keterangan ahli; (3) Apakah hakim tersebut telah menggunakan alat bukti tambahan selain yang dimuat dalam putusan hakim PN?; (4) Apakah penerapan

Page 58: Jurnal April 2012

Keadilan Substantif Yang Terabaikan Dalam Sengketa Sita Jaminan (M. Syamsudin) | 43

hukum pembuktian sesuai dengan perjanjian/undang-undang, doktrin dan/atau yurisprudensi?; (5) Apakah hakim tersebut sudah memuat secara proporsional antara argumen penggugat dan tergugat di dalam pertimbangannya?; (6) Apakah hari/tanggal dilakukan musyawarah majelis hakim PT (dalam pengambilan keputusan) berbeda dengan hari/tanggal putusan diucapkan?

Untuk konsep keadilan substantif indikator yang digunakan adalah: (i) Apakah putusan hakim telah dapat membuktikan unsur yang digugat (terkait dengan hukum materiil)?; (ii) Apakah putusan hakim telah mencerminkan penalaran hukum yang logis (runtut dan sistematis)?; (iii) Apakah putusan hakim telah menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (aspek non-yuridis)?; (iv) Apakah hakim telah berlaku profesional dalam penyelesaian perkara?

Berdasarkan data atau informasi yang terdapat dalam isi Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor 42/PDT/2011/PT.Y dan hasil penggalian data berdasarkan wawancara dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut ini.

Mengenai aspek putusan hakim memuat hal-hal yang harus ada dalam suatu putusan pengadilan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 dan Pasal 184 HIR/195 RBG, isi putusan menunjukkan sudah terpenuhinya unsur-unsur yang harus termuat dalam Pasal 2 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 dan pasal 184 HIR/195 RBG, yaitu: (1) kepala putusan tertulis DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA; (2) Identitas para pihak, Drs IK dan GS sebagai para pembanding dan Ny. SR dan SAH sebagai para terbanding serta Ny. E dan DS sebagai para turut terbanding; (3) Ringkasan nyata gugatan & jawaban sudah tercantum dalam pertimbangan

hanya saja pihak terbanding dan turut terbanding tidak mengajukan jawaban atau kontra memori banding; (4) alasan atau pertimbangan hakim dalam putusan sudah tercantumkan; (5) Amar putusan sudah diantumkan; (6) Hari/tanggal musyawarah dan pembacaan putusan sudah dicantumkan; (7) Biaya perkara sudah dicantumkan.

Mencermati tentang alat-alat bukti yang sah sesuai dengan Pasal 164, 153, dan 154 HIR atau 284, 180, dan 181 RBG, dalam putusan tidak terlihat majelis hakim mencermati alat-alat bukti seperti pada pasal-pasal tersebut, yakni surat, saksi, persangkaan, pengakuan, sumpah, pemeriksaan setempat dan keterangan ahli. Dalam pertimbangan hakim hanya dikemukakan bahwa para pihak telah mengajukan bukti-bukti yang cukup.

Apabila dianalisis apakah hakim tersebut telah menggunakan alat bukti tambahan selain yang dimuat dalam putusan hakim PN, dalam putusan tidak terbaca hakim menggunakan alat bukti tambahan selain yang dimuat dalam putusan hakim. Sementara, dari ukuran apakah penerapan hukum pembuktian sesuai dengan perjanjian/undang-undang, doktrin dan/atau yurisprudensi, dalam putusan terlihat bahwa hakim dalam penerapan hukum pembuktian bersesuaian dengan perjanjian, doktrin dan yurisprudensi. Ini dibuktikan dengan pencantuman: (1) Perjanjian Pinjam Meminjam Sertifikat Tanah Hak Milik antara para turut terbanding – semula terlawan III dan IV (Ny. E dan DS) dengan para terbanding- semula pelawan I dan II (Ny. SR dan SAH) yang dituangkan dalam akte notariil No. 4 tanggal 6 April 2005; (2) Perjanjian Pinjam Uang antara para pembanding – semula terlawan I dan II dengan para turut terbanding –semula terlawan III dan IV yang diputus oleh PN Cibinong No. 51/Pdt.G/2006/PN.Cbn; (3) Yurisprudensi MA

Page 59: Jurnal April 2012

44 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 36-50

No. 2177 K/Pdt/1983 j. No. 1742 K/Pdt/1983 j. No. 343 K/Sip/1975 bahwa di antara pihak-pihak harus ada hubungan hukum; (6) Pasal 390 ayat (1) HIR dan Pasal 1 Rv; panggilan harus disampaikan di tempat tinggal atau tempat domisili pilihan tergugat; dan (7) Undang-Undang No. 20 Tahun 1947.

Dari segi perimbangan dan proporsionalitas antara argumen penggugat dan tergugat di dalam pertimbangannya, dalam putusan terlihat bahwa hakim sudah berupaya menampilkan secara berimbang argumen penggugat (pembanding) akan tetapi karena pihak terbanding tidak mengajukan kontra memori banding maka jawaban terbanding tidak terbaca dalam putusan tersebut. Majelis hakim lantas mengacu pada jawaban para pelawan pada saat sidang di pengadilan tingkat pertama.

Dilihat dari ukuran apakah hari/tanggal dilakukan musyawarah majelis hakim PT (dalam pengambilan keputusan) berbeda dengan hari/tanggal putusan diucapkan, dalam putusan terbaca bahwa hari/tanggal dilakukan musyawarah majelis hakim PT (dalam pengambilan keputusan) berbeda dengan hari/tanggal putusan diucapkan yakni musyawarah dilakukan pada hari Kamis, 3 November 2011 dan putusan dijatuhkan pada hari Senin, 7 Nopember 2011.

Selanjutnya, untuk menganalisis tentang Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta No. 42/PDT/2011/PT.Y apakah putusan tersebut telah dapat membuktikan unsur yang digugat, akan didasarkan pada kriteria: (1) Apa dasar gugatan/jawaban yang digunakan para pihak?; (2) Apakah dasar gugatan diputuskan secara berbeda oleh hakim?; (3) Apakah hakim juga menggunakan yurisprudensi?; (4) Apakah hakim juga menggunakan sumber hukum berupa doktrin

hukum?; (5) Apakah putusan hakim menggunakan sumber berupa nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, yaitu berupa hukum adat, hukum lokal, dan/atau kebiasaan?; (6) Apakah hakim mempertimbangkan semua unsur dasar gugatan yang digunakan dalam putusan PN?; (7) Apakah amar putusan hakim PT ini menguatkan, menolak, memperbaiki atau lainnya; (8) Adakah dasar pertimbangan hakim dalam amar putusan?

Berdasarkan data atau informasi yang terdapat dalam isi Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta No. 42/PDT/2011/PT.Y dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut ini:

Dari ukuran dasar gugatan/jawaban yang digunakan para pihak, dalam putusan terbaca bahwa dasar gugatan (dalam hal ini banding) yang digunakan pihak pembanding adalah sangat keberatan dan sangat tidak sependapat dengan seluruh pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan PN Sleman No. 106/Pdt.Plw/2010/PN.Slm. Akan tetapi dalam putusan tidak terbaca bahwa pihak terbanding mengajukan kontra memori banding/jawaban pengajuan banding tersebut.

Ditelaah dari ukuran apakah dasar gugatan diputuskan secara berbeda oleh hakim, dalam putusan terlihat bahwa putusan majelis hakim di tingkat banding mengabulkan permohonan banding dari para pembanding dan membatalkan Putusan PN Sleman No. 106/Pdt.Plw/2010/PN.Slm yang dimohonkan banding tersebut. Dilihat dari ukuran apakah hakim juga menggunakan yurisprudensi, dalam putusan terlihat bahwa hakim menggunakan yurisprudensi dalam membuat pertimbangan hukum yaitu Yurisprudensi MA No. 2177 K/Pdt/1983 j. No. 1742 K/Pdt/1983 j. No. 343 K/Sip/1975 bahwa di antara pihak-pihak harus ada hubungan hukum. Dari ukuran apakah

Page 60: Jurnal April 2012

Keadilan Substantif Yang Terabaikan Dalam Sengketa Sita Jaminan (M. Syamsudin) | 45

hakim juga menggunakan sumber hukum berupa doktrin hukum, terbaca dalam putusan bahwa hakim menggunakan doktrin dalam pertimbangan hukumnya yaitu ajaran tentang gugatan kumulasi subjektif yakni gugatan yang terdiri dari beberapa orang penggugat dan beberapa orang tergugat. Sayangnya ajaran tersebut tidak dijelaskan secara memadai.

Apabila diteliti apakah putusan hakim menggunakan sumber berupa nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, yaitu hukum adat, hukum lokal, dan/atau kebiasaan, dalam isi putusan tidak terlihat bahwa hakim menggunakan sumber hukum berupa nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, berupa hukum adat, hukum lokal dan/ atau kebiasaan.

Hal lainnya, dari ukuran apakah hakim mempertimbangkan semua unsur dasar gugatan yang digunakan dalam putusan, dalam putusan terlihat bahwa hakim sudah mempertimbangkan semua unsur dasar pengajuan permohonan banding dari para pembanding yang berkonsekuensi pada dikabulkannnya permohonan banding dari para pembanding. Dilihat dari ukuran apakah amar putusan hakim PT ini menguatkan, menolak, memperbaiki atau lainnya, dalam putusan terbaca bahwa putusan hakim mengabulkan permohonan banding para pembanding dan membatalkan Putusan PN Sleman No. 106/Pdt.Plw/2010/PN.Slm yang dimohonkan banding. Mengenai dasar pertimbangan hakim dalam amar putusan, nampak dalam putusan diuraikan dasar-dasar pertimbangan hakim sebelum memutuskan perkara.

Dasar-dasar pertimbangan tersebut pada intinya dapat dikemukakan bahwa pokok sengketa yang harus dibuktikan dalam perkara ini adalah: apakah penyerahan Sertifikat Hak Milik (SHM)

sebidang tanah SHM No. 5507 seluas 711 M2 atas nama Ny. SR terletak di Desa Sendangadi, Kec. Mlati, Kabupaten Sleman, DIY dan sebidang tanah dan bangunan SHM No. 5995 seluas 2.826 M2 atas nama Ny. SR terletak di Desa Sinduadi, Kec. Mlati, Kabupaten Sleman, DIY, Tidak sah dan cacat/malanggar hukum serta mengikat para terbanding, sehingga permohonan lelang eksekusi yang diajukan oleh para pembanding tidak mempunyai kekuatan hukum dengan segala akibat hukumnya, sehingga telah terjadi kesalahan obyek sita dan lelang dalam perkara ini?

Untuk menganalisis apakah Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta No. 42/PDT/2011/PT.Y telah dapat membuktikan unsur yang digugat, akan didasarkan pada kriteria, yaitu: (1) Apakah hakim tersebut memberikan analisis yang secara tuntas terhadap fakta dan hukumnya (sebelum menjatuhkan amar)?; (2) Apakah amar putusan hakim tersebut merupakan kesimpulan yang logis terkait dengan fakta dan hukum?; (3) Apakah fakta hukum (judex facti) yang diungkapkan dalam putusan hakim tersebut ini disusun secara sistematis/runtut sehingga mudah dipahami?; (4) Apakah dalam menjatuhkan putusan, hakim tersebut melakukan penafsiran terhadap hukum dan/atau klausula perjanjian dengan menggunakan metode penemuan hukum penafsiran di luar penafsiran gramatikal dan otentik?; (5) Apakah dalam menjatuhkan putusan, hakim tersebut melakukan penemuan hukum dengan menggunakan metode konstruksi hukum?; (6) Apakah teridentifikasi bahwa konklusi dalam putusan hakim tersebut sudah runtut dan sistematis yang didukung oleh pertimbangan fakta dan hukum, sehingga tidak ada konklusi yang dipaksakan?

Berdasarkan data atau informasi yang terdapat dalam isi Putusan Pengadilan Tinggi

Page 61: Jurnal April 2012

46 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 36-50

Yogyakarta No. 42/PDT/2011/PT.Y dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut ini.

Dilihat dari analisis terhadap fakta dan hukumnya (sebelum menjatuhkan amar), dalam putusan terlihat bahwa hakim sudah memberikan analisis yang tuntas terhadap fakta dan hukumnya sebelum menjatuhkan amar. Hal itu ditunjukkan dengan dasar-dasar pertimbangan yang disusun sebagai berikut: (i) Permohonan banding dari para pembanding; (ii) Isi memori banding dari para pebanding, yang pada intinya adalah keberatan atas putusan PN No. 106/Pdt.Plw/2010/PN.Slm; (iii) Para terbanding, yang tidak mengajukan kontra memori banding; (iv) Pertimbangan-pertimbangan hukum hakim pada putusan PN Sleman No. 106/Pdt.Plw/2010/ PN.Slm; (v) Pertimbangan hukum majelis hakim PT dapat dikemukakan bahwa pokok sengketa yang harus dibuktikan dalam perkara ini adalah: apakah penyerahan Sertifikat Hak Milik (SHM) sebidang tanah SHM No. 5507 seluas 711 M2 atas nama Ny. SR terletak di Desa Sendangadi, Kec. Mlati, Kabupaten Sleman, DIY dan sebidang tanah dan bangunan SHM No. 5995 seluas 2.826 M2 atas nama Ny. SR terletak di Desa Sinduadi, Kec. Mlati, Kabupaten Sleman, DIY, Tidak sah dan cacat/malanggar hukum serta mengikat para terbanding, sehingga permohonan lelang eksekusi yang diajukan oleh para pembanding tidak mempunyai kekuatan hukum dengan segala akibat hukumnya, sehingga telah terjadi kesalahan obyek sita dan lelang dalam perkara ini? Untuk menjawab pertanyaan tersebut majelis mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

a. Terdapat dua bentuk hubungan hukum yaitu hubungan langsung dan tidak langsung. Hubungan langsung terdapat pada Akta Notariil No. 4, tanggal 6 April 2005 tentang Perjanjian

Peminjaman sertifikat untuk Agunan di Bank antara para terbanding dengan para turut terbanding. Hubungan hukum tidak langsung terjadi antara para terbanding dengan para turut terbanding didasarkan pada perjanjian pinjam uang yang telah diputus oleh PN Cibinong Nomor: 51/Pdt.G/2006/PN.Cbn. Hubungan ini dalam teori hukum disebut bentuk gugatan kumulasi subjektif (terdiri dari beberapa orang penggugat dan beberapa orang tergugat) yang berdasar Yurisprudensi MA No. 2177 K/Pdt/1983 j. No. 1742 K/Pdt/1983 j. No. 343 K/Sip/1975 di antara pihak-pihak harus ada hubungan hukum. Berdasarkan hal tersebut maka peranan para turut terbanding mempunyai kedudukan dan peran yang penting/sentral dalam menyelesaikan pokok sengketa dalam perkara ini.

b. Majelis hakim di PT tidak sependapat dengan pertimbangan majelis hakim di tingkat pertama (PN) khusus untuk para terbanding yang menyatakan bahwa para turut terbanding tidak pernah hadir di persidangan meski telah dipanggil secara sah dan patut. Menurut majelis hakim, pemanggilan tersebut tidak dilakukan dengan tata cara pemanggilan yang sah menurut hukum, sehingga dapat dianggap tidak pernah ada. Berdasarkan Pasal 390 ayat (1) HIR dan Pasal 1 Rv, bahwa panggilan harus disampaikan di tempat tinggal atau domisili pilihan tergugat.

Page 62: Jurnal April 2012

Keadilan Substantif Yang Terabaikan Dalam Sengketa Sita Jaminan (M. Syamsudin) | 47

c. Bahwa menurut majelis hakim, peranan para turut terbanding sangat penting dan menentukan dalam penyelesaian pokok sengketa secara adil dan manusiawi, sedangkan alamat atau tempat tinggal para turut terbanding salah atau tidak benar sehingga mengakibatkan gugatan/perlawanan para terbanding menjadi cacat formil. Dengan demikian panggilan sidang termasuk relaas pemberitahuan putusan kepada turut terbanding selama persidangan di PN dianggap tidak pernah ada atau tidak pernah dilakukan secara sah, maka menurut majelis dengan tanpa mempertimbangkan lebih lanjut tentang pokok sengketa dalam perkara ini, gugatan/perlawanan para terbanding harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvanklijke verklaard). Dengan demikian putusan majelis hakim di tingkat pertama tidak dapat dipertahankan lagi dan harus dibatalkan.

Dilihat dari ukuran apakah amar putusan hakim tersebut merupakan kesimpulan yang logis terkait dengan fakta dan hukum, dalam putusan terlihat bahwa amar putusan hakim tersebut merupakan kesimpulan yang logis terkait dengan fakta dan hukum. Hal ini ditunjukkan dengan penalaran hukum yang logis, yakni sinkron antara dasar pertimbangan dengan amar putusan. Namun putusan ini belum menyentuh substansi atau pokok perkara disengketakan, sehingga belum mencerminkan keadilan substantif.

Dilihat dari ukuran apakah fakta hukum (judex facti) yang diungkapkan dalam putusan hakim tersebut ini disusun secara sistematis/

runtut sehingga mudah dipahami, dalam putusan tidak nampak karena putusan di tingkat banding tersebut tidak memeriksa fakta hukum dan yang diperiksa hanya penerapan hukum oleh majelis hakim di tingkat pertama. Dari ukuran apakah dalam menjatuhkan putusan, hakim tersebut melakukan penafsiran terhadap hukum dan/atau klausula perjanjian dengan menggunakan metode penemuan hukum di luar penafsiran gramatikal dan otentik?

Dalam putusan tidak terlihat bahwa hakim melakukan penafsiran hukum dengan menggunakan metode penemuan hukum di luar penafsiran gramatikal dan otentik. Selanjutnya, dari ukuran apakah teridentifikasi bahwa konklusi dalam putusan hakim tersebut sudah runtut dan sistematis yang didukung oleh pertimbangan fakta dan hukum, sehingga tidak ada konklusi yang dipaksakan? Dalam putusan dapat dikatakan bahwa konklusi dalam putusan sudah runtut dan sistematis dan didukung oleh pertimbangan fakta dan hukumnya sehingga tidak nampak konklusi yang dipaksakan.

Untuk menganalisis tentang Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta No. 42/PDT/2011/PT.Y apakah putusan hakim telah menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (aspek non-yuridis), akan didasarkan pada kriteria, yaitu: (1) apakah teridentifikasikan adanya pertimbangan faktor-faktor non-yuridis (psikologis, sosial, ekonomi, edukatif, lingkungan, religius)?; (2) Apakah faktor-faktor tersebut sejalan dengan bunyi amar putusan tersebut?

Berdasarkan data atau informasi yang terdapat dalam isi Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta No. 42/PDT/2011/PT.Y dapat dikemukakan bahwa dalam putusan tidak nampak hakim mempertimbangkan faktor-faktor

Page 63: Jurnal April 2012

48 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 36-50

non-yuridis (psikologis, sosial, ekonomi, edukatif, lingkungan, religius). Putusan hakim ini masih sangat kering dan belum menggali nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari belum dielaborasikannya faktor-faktor non-yuridis (psikologis, sosial, ekonomi, edukatif, lingkungan, religius) dalam pertimbangan hakim. Akibatnya kepentingan para terbanding (pemilik SHM) yang dipinjam oleh para turut terbanding dan SHM tersebut ternyata tidak digunakan sebagaimana mestinya seperti yang tercantum dalam perjanjian pinjam-meminjam sertifikat semula, belum mendapatkan perlindungan yang memadai secara substansial.

Dikarenakan majelis hakim tidak nampak mempertimbangkan faktor-faktor non-yuridis (psikologis, sosial, ekonomi, edukatif, lingkungan, religius) maka konsekuensi logisnya faktor-faktor tersebut tidak dapat diukur apakah sejalan atau tidak dengan bunyi amar putusan. Untuk menganalisis tentang Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta No. 42/PDT/2011/PT.Y apakah hakim telah berlaku profesional dalam penyelesaian perkara, akan didasarkan pada kriteria sebagai berikut: (1) Apakah hakim tersebut telah berlaku profesional dalam menjalankan tugasnya?; (2) Apakah penilaian tersebut sejalan dengan deskripsi umum dari hasil pengkajian data primer?

Berdasarkan data atau informasi yang terdapat dalam isi Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta No. 42/PDT/2011/PT.Y dapat dikemukakan hal-hal bahwa dari segi profesionalisme, majelis hakim masih terkesan sangat positivistik dan formalistik dalam memeriksa dan menyelesaikan perkara, sehingga terkesan hanya mengedepankan nilai keadilan prosedural dan mengesampingkan nilai keadilan substantif. Oleh karena itu nilai profesionalisme

hakim masih ditunjukkan sebatas profesional artian yang formal dan belum menyentuh hal-hal yang substansial, padahal yang dibutuhkan para pihak pada akhirnya adalah keadilan substansial.

Penilaian tersebut sejalan dengan hasil pengkajian data primer (hasil wawancara) yang menunjukan bahwa responden sebagai hakim mengetahui dan menyadari bahwa kasus ini merupakan perkara perlawanan terhadap eksekusi putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap, di mana dalam kasus ini terkandung beberapa masalah yaitu di satu sisi pelawan memiliki kepentingan kepemilikan terhadap tanah yang akan dilelang oleh terlawan I dan II yang tentu harus dilindungi. Di sisi lain dalam perlawanan tersebut juga terjadi pelanggaran hukum acara oleh majelis hakim di tingkat pertama di mana alamat terlawan III dan IV yang merupakan anak dari para pelawan yang juga merupakan pihak yang telah menjaminkan sertifikat tersebut kepada terlawan I dan II dicantumkan dalam gugatan perlawanan oleh para pelawan dengan alamat yang tidak valid, padahal majelis hakim seharusnya menilai tentang keabsahan panggilan itu dengan membaca relaas panggilan yang telah ditandatangani oleh Kepala Desa atau Lurah Desa Ciangsana, yang menyatakan bahwa terlawan III dan IV telah lima tahun pindah dari sana. Inilah yang oleh majelis dinilai telah terjadi pelanggaran hukum acara dalam perkara ini, karena seharusnya surat panggilan itu diserahkan langsung kepada terlawan III dan IV. Hal ini mengakibatkan gugatan perlawanan itu menjadi cacat formil (hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Tinggi (H) pada Hari Rabu, 14 Maret 2012 di Fakultas Hukum UII, Jl. Tamansiswa No. 158 Yogyakarta).

Sementara itu, majelis juga menyadari bahwa dari segi moral majelis hakim menilai

Page 64: Jurnal April 2012

Keadilan Substantif Yang Terabaikan Dalam Sengketa Sita Jaminan (M. Syamsudin) | 49

bahwa terlawan I dan II adalah kreditur yang telah menyerahkan dana sebesar dua milyar kepada terlawan III dan IV, yang tidak mungkin dikalahkan begitu saja, mengingat jumlah uang yang sebesar itu tidak mungkin dibiarkan hilang begitu saja karena akan tercipta ketidakadilan.

Dari fakta-fakta yang telah diuraikan, yang patut dipertanyakan dari profesionalisme hakim dalam menangani perkara ini adalah: mengapa majelis hakim yang sudah mengetahui pokok perkara seperti itu tidak membuat pertimbangan hukum yang lebih substansial dan tidak hanya mendasarkan pada segi formalitas belaka? Bukankah setiap putusan hakim itu harus mencerminkan dua keadilan sekaligus yaitu keadilan prosedural dan keadilan substantif.

SIMPULANIV.

Putusan majelis hakim PT Yogyakarta sudah mencerminkan putusan yang mengandung keadilan prosedural. Hal ini ditunjukkan oleh majelis hakim dalam menangani perkara sudah mengakomodir hak-hak tergugat dan penggugat secara berimbang dalam prosedur hukum acara. Bahkan majelis hakim terkesan sangat ketat dalam menerapkan prosedur hukum acara berdasarkan HIR dan Rv. Putusan majelis hakim ini belum sampai pada memeriksa pokok sengketa yang didasarkan pada hukum materiil. Unsur-unsur yang dibuktikan sebatas pada unsur-unsur yang terdapat pada hukum acaranya, yaitu ketidakhadiran para turut terbanding yang pada persidangan di Pengadilan Tingkat Pertama dianggap tidak dipanggil secara patut dan benar berdasarkan Pasal 390 ayat (1) HIR dan Pasal 1 Rv yang mengakibatkan perlawanan para terbanding cacat formil. Dalam putusan tersebut terbaca bahwa dasar gugatan (dalam hal ini banding)

yang digunakan pihak pembanding adalah sangat keberatan dan sangat tidak sependapat dengan seluruh pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan PN Sleman No. 106/Pdt.Plw/2010/PN.Slm.

Dalam pertimbangannya, tidak terlihat bahwa hakim menggunakan sumber hukum berupa nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, berupa hukum adat, hukum lokal dan/atau kebiasaan. Hal ini dapat dilihat dari belum dielaborasikannya faktor-faktor non-yuridis dalam pertimbangan hakim. Akibatnya kepentingan para terbanding (pemilik SHM) yang dipinjam oleh para turut terbanding sebagaimana SHM tersebut ternyata tidak digunakan sebagaimana mestinya seperti yang tercantum dalam perjanjian sebelumnya, belum mendapatkan perlindungan hukum yang memadai secara substansial. Dari segi penalaran hukum, putusan ini telah menunjukkan penalaran hukum yang logis, yakni sinkron antara dasar pertimbangan dengan amar putusan.

Dalam putusan ini tidak terlihat bahwa hakim melakukan penafsiran hukum dengan menggunakan metode penemuan hukum di luar penafsiran gramatikal dan otentik. Konklusi dalam putusan sudah runtut dan sistematis dan didukung oleh pertimbangan hukum yang cukup sehingga tidak nampak konklusi yang dipaksakan, akan tetapi lagi-lagi putusan ini tidak menyentuh substansi dari pokok sengketa sehingga belum memberikan keadilan yang sebenar-benarnya (keadilan substansi).

Dari fakta-fakta yang diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa majelis hakim masih terkesan sangat formalistik dalam memeriksa dan menyelesaikan perkara ini, sehingga terkesan hanya mengedepankan nilai keadilan prosedural dan mengabaikan nilai keadilan substantif. Oleh

Page 65: Jurnal April 2012

50 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 36-50

karena itu nilai profesionalisme hakim masih ditunjukkan sebatas profesional dalam artian yang formal dan belum menyentuh hal-hal yang substansial.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Ahmad. 1996. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis). Jakarta: Chandra Pratama.

Alkostar, Artidjo. 2009. Peran dan Upaya Mahkamah Agung dalam Menjaga dan Menerapkan Hukum yang Berkepastian Hukum, Berkeadilan dan Konsisten melalui Putusan-Putusan MA. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional PROSPEK POLITIK PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA: Pemberdayaan Peran Institusi Penegakan Hukum dan HAM dalam Menjunjung Tinggi Peradilan Bermartabat, Berwibawa, dan Berkeadilan oleh Center for Local Law Development Studies UII di Auditorium UII Lt. 3, Jl Cik Dik Tiro No. 1 Yogyakarta, Sabtu, 7 Maret 2009.

Darmodiharjo, Darji & Shidarta. 2004. Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Putra, Heddy Shri Ahimsa. 2011. Paradigma Profetik Sebuah Konsepsi. Makalah disampaikan dalam “Diskusi Pengembangan Ilmu Profetik”, di Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII Yogyakarta, 18 Nopember 2011. diselenggarakan oleh Fakultas Hukum - UII, Yogyakarta, 18 November 2011.

Mertokusumo, Sudikno. 1990. Pendidikan Hukum di Indonesia dalam Sorotan. Harian Kompas. 7 Nopember 1990.

Shidarta. 2004. Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan. Bandung: CV.Utama.

Luthan, Salman. 2009. Aksesibilitas Pencari Keadilan Miskin Mendapatkan Bantuan Hukum di Pengadilan. Makalah dalam Rangka Seleksi Hakim Agung 2009.

---------------------. 2009. Mewujudkan Putusan Hakim Agung Berkeadilan Substantif. Makalah disampaikan pada Fit and Proper Test Hakim Agung di Gedung DPR RI.

Syamsudin, M. Cet.2 2008. Mahir Menulis Legal Memorandum. Jakarta: Prenada Media Group.

Umar, Sholehudin. 2011. Hukum & Keadilan Masyarakat, Setara Press, Malang.

Ridwan. 2008. “Mewujudkan Karakter Hukum Progresif dari Asas-Asas Umum Pemerintahan yang baik Solusi Pencarian dan Penemuan Keadilan Substantif”, Jurnal Hukum Pro Justicia Vol.26 No.2,

Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor 42/PDT/2011/PT.Y

Wawancara dengan Hakim Pengadilan Tinggi Yogyakarta (H) pada Hari Rabu, 14 Maret 2012 di Fakultas Hukum UII, Jl. Tamansiswa No. 158 Yogyakarta.

Page 66: Jurnal April 2012

Perluasan Tafsir Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (Erman Rajagukguk) | 51

ABSTRAKKarangan ini membahas komentar atas putusan hakim dalam perkara “P” dkk v. KPPU No. 34/Pdt.G/KPPU/2011/PN.JKT.PST. Perkara ini bermula dari Putusan KPPU terhadap PT “P” (Persero) dan tiga perusahaan lainnya yang mempersalahkan mereka melanggar Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999. KPPU memutuskan bahwa keempat perusahaan tersebut telah melakukan persekongkolan dan diskriminasi dalam pemilihan partner strategis. KPPU berpendapat, bahwa pemilihan partner itu yang dilakukan melalui “beauty contest” sama dengan pengadaan barang dan jasa. KPPU menghukum PT “P” dan tiga perusahaan lainnya membayar denda. Namun proyek tersebut tetap dapat diteruskan. Kesemua terhukum tidak setuju dengan Putusan KPPU tersebut dan mengajukan banding ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sebagaimana diperkenankan oleh Pasal 44 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999. Pada tingkat banding, PN Jakarta Pusat memperkuat putusan KPPU. Karangan ini membahas putusan PN Jakarta Pusat dimana penulisnya tidak sependapat dengan putusan KPPU dan PN Jakarta Pusat.

Kata kunci: pengadaan barang dan jasa, pemilihan mitra strategis, persekongkolan dan diskriminasi, bukti tidak langsung.

AbstrActThis article is aimed to share some comments on a court decision over the case of PT “P” c.s. v. KPPU. The KPPU has delivered a decision against PT “P” and three other companies blaming them to commit an unlawful practice as stated in Article 22 of Law No. 5 Year 1999. KPPU decides that the four companies have performed conspiracy and discrimination in selecting strategic partner. KPPU is of the opinion that the way of partner selection being conducted through “beauty contest” is the same way with that of procurement of goods and services. KPPU ordered the four companies to pay a fine and the decision was supported later on by the Jakarta Central Distric Court. The author of this article has different opinions with the decisions.

Keywords: procurement, selection of strategic partners, conspiracy and discrimination, indirect evidence.

PERLUASAN TAfSIR PASAL 22 UU NOMOR 5 TAHUN 1999

Erman Rajagukguk, Fakultas Hukum Universitas Indonesia,Kampus Baru UI, Depok 16424

Email: [email protected]

Kajian Putusan Nomor 34/PDT.G/KPPU/2011/PN.JKT.PST

AN ExTENSIvE INTERPRETATION ON ARTICLE 22 Of THE LAW NUMBER 5 yEAR 1999

Erman Rajagukguk, Faculty of law of the University of IndonesiaJl. K.H Ahmad Dahlan, Cirendeu-Jakarta Selatan

Email: [email protected]

An Analysis of Decision Number 34/PDT.G/KPPU/2011/PN.JKT.PST

Page 67: Jurnal April 2012

52 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 51-63

PENDAHULUANI.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam tingkat banding telah memperkuat putusan KPPU yang menyatakan PT P dkk telah melanggar Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pasal 22 tersebut menyatakan, bahwa pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan, terlapor I PT ”P” (Persero), terlapor II PT ”M”., terlapor III PT M&P T dan terlapor IV MC terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999.

Pertimbangan hukumnya sebagaimana dalam Putusan KPPU No. 35/KPPU-I/2010, antara lain, pertama, beauty contest yang diadakan PT ’’P’’ dan PT ”M” memiliki tujuan menciptakan “persaingan untuk pasar” dan dengan demikian merupakan suatu bentuk “tender” dalam arti yang dimaksudkan dalam Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 sebagaimana dalam Putusan KPPU No. 35/KPPU-I/2010: 215. Kedua, beauty contest dilakukan dengan cara diskriminatif karena tidak semua peserta beauty contest diberikan kesempatan yang halnya dengan pemohon yang dapat memberikan presentasi kepada PT ”P” dan PT ”M” pada tanggal 7, 23, dan 24 Februari, 16 Maret dan 4 September 2006 dan membahas hal-hal terkait dengan proyek Donggi Senoro sebelum dan selama beauty contest berlangsung. Ketiga, terdapat indikator-indikator atau bentuk persekongkolan sesuai dengan pedoman Pasal 22, antara pemohon, PT ’’P’’, PT ”M” karena adanya kesempatan eksklusif dan penciptaan persaingan semu demi keuntungan pemohon Keempat,

beberapa faktor tertentu menunjukkan bahwa beauty contest dilaksanakan untuk memenangkan pemohon, yaitu fakta bahwa Term of Reference yang digunakan dalam beauty contest dibuat mengambang, bahwa terdapat perbedaan sistem penilaian yang digunakan oleh PT ”P” dan PT ”M”, dan bahwa permintaan atas proposal yang mengikat (binding proposal) dibuat setelah pemberian pertanyaan tambahan kepada Mitsui dan pemohon (Putusan KPPU No. 35/KPPU-I/2010: 222-223).

Kelima, tindakan diskriminatif yang mengarah pada dinyatakannya pemohon sebagai pemenang dalam beauty contest merupakan tindakan yang tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha sehingga menyebabkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Keenam, permintaan pemohon atas informasi tentang data hulu dan hilir kepada PT ’’P’’ dan PT ”M” menyebabkan PT ”M” memfasilitasi peninjauan oleh pemohon atas informasi yang terkait dengan pekerjaan awal LNGI. Ketujuh, pemohon menggunakan informasi hasil due diligence dalam mempersiapkan proposalnya di mana informasi tersebut masuk dalam definisi rahasia dagang dengan merujuk pada definisi yang ditemukan dalam UU No. 30/2000. Kedelapan, terdapat indikator-indikator atau bentuk-bentuk persekongkolan antara PT ”M” dan pemohon karena PT ”M” memfasilitasi Mitsubishi dalam meninjau data milik LNGI dan data tersebut digunakan oleh pemohon untuk tujuan bisnisnya sendiri dan demi kepentingannya sendiri. Kesembilan, pemohon membuat proposalnya berdasarkan hasil due diligence tersebut, di mana merupakan tindakan yang tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha sehingga menyebabkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

Page 68: Jurnal April 2012

Perluasan Tafsir Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (Erman Rajagukguk) | 53

KPPU menghukum terlapor I PT ’’P’’ untuk membayar denda sebesar Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah), menghukum terlapor II PT ”M” membayar denda sebesar Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah), menghukum terlapor III PT MPT Sulawesi membayar denda sebesar Rp. 1. 000.000.000,- (satu milyar rupiah), dan menghukum terlapor IV MC membayar denda sebesar Rp 15.000.000.000,- (lima belas milyar rupiah). Dalam Tingkat Banding Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memperkuat putusan KPPU No. 35/KPPU-I/2010.

Pada tingkat banding, pemohon PT P menyatakan tidak terbukti Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dalam pemilihan mitra yang dilakukan dalam proyek Donggi Senoro. Alasannya antara lain, termohon dalam hal ini KPPU telah keliru dalam memberikan pertimbangan hukum yang menganggap proses pemilihan mitra yang dilaksanakan oleh pemohon sebagai proses tender dalam lingkup pengertian Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Pasal 22 tersebut jelas-jelas mengatur mengenai tender untuk pengadaan barang dan jasa, dan sangat tidak relevan untuk diterapkan pada proses pemilihan mitra.

Tender adalah tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang atau untuk menyediakan jasa. Bahwa dalam proses pemilihan mitra proyek Donggi Senoro, calon mitra tidak mengajukan penawaran harga. Tujuan pemilihan mitra bukan dimaksudkan untuk memilih kontraktor atau pembeli barang (Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 34/PDT.G/KPPU/2011/PN.JKT.PST.: 61).

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam pertimbangan hukumnya menyatakan, antara

lain, bahwa pertimbangan hukum yang dibuat termohon keberatan, KPPU tersebut telah tepat dan benar. Pengadilan mengambil seluruh pertimbangan itu untuk menguatkan putusan KPPU (Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 34/PDT.G/KPPU/2011/PN.JKT.PST.: 275). Para pemohon tidak puas dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut dan mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung RI. Hal ini dimungkinkan oleh Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

RUMUSAN MASALAHII.

Paling sedikit ada tiga hal yang menjadi pokok analisis sehubungan dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 34/Pdt.G/KPPU/2011/PN.JKT.PST.:

Apakah pemilihan partner usaha a. adalah sama dengan pengadaan barang dan jasa seperti yang dimaksud Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999?

Apakah KPPU berwenang untuk b. memperluas pengertian Pasal 22 tersebut?

Apakah pembuktian Pasal 22 c. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 boleh menerapkan pembuktian tidak langsung (indirect evidence)?

STUDI PUSTAKA DAN ANALISISIII.

1. Studi Pustaka

Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan

Page 69: Jurnal April 2012

54 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 51-63

Persaingan Usaha Tidak sehat menyatakan: “Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”.

Ketentuan ini adalah mencakup konspirasi tender, yaitu suatu hambatan persaingan yang sering kali dianggap sangat serius. Jika hasil pengumuman tender menguntungkan salah satu peserta yang mengambil bagian, maka tender tersebut secara tersirat mengandung pembatasan persaingan harga. Tender kolusif terjadi bila para pesaing sepakat untuk mempengaruhi hasil tender demi kepentingan salah satu pihak dengan tidak mengajukan penawaran atau mengajukan penawaran pura-pura saja (Hansen. Et.al., 2002: 312-313). Maksud diadakannya tender untuk mendapatkan barang yang murah dan baik tidak terpenuhi. Persekongkolan ini adalah persekongkolan horisontal antara para pelaku usaha.

Tender adalah memborongkan pekerjaan/menyuruh pihak lain untuk mengerjakan atau memborong pekerjaan-pekerjaan seluruhnya atau sebagian pekerjaan atau kontrak yang dibuat oleh kedua belah pihak sebelum pemborongan itu dikerjakan. Kegiatan tender melebar kepada kegiatan pengadaan barang dan jasa (Lubis. Et.al., 2009: 148-150).

Tender adalah sama dengan lelang. Manipulasi lelang adalah kesepakatan antara para pihak agar pesaing memenangkan suatu lelang. Kesepakatan ini dapat dicapai oleh satu atau lebih peserta lelang yang sepakat menahan diri untuk tidak mengajukan penawaran, atau oleh para peserta lelang yang menyepakati satu peserta dengan harga lebih rendah dan kemudian menawarkannya di atas harga perusahaan yang

direncanakan. Manipulasi lelang menghancurkan proses kompetitif ini. Mekanisme manipulasi lelang dapat berupa tekanan penawaran, penawaran pelengkap, dan rotasi penawaran (Anderson. Et.al., : 28).

Persekongkolan dalam pengadaan barang dan jasa, ataupun dalam mekanisme tender dapat terjadi melalui kesepakatan-kesepakatan baik tertulis maupun tidak tertulis. Kolusi dalam tender dapat terjadi melalui kesepakatan antara para pelaku usaha, antara pemilik pekerjaan maupun antar kedua pihak tersebut. Sebenarnya persekongkolan dalam pengadaan barang dan jasa tidaklah terjadi hanya pada saat penetapan pemenang tender semata. Sebagai contoh, terjadinya kolusi antara penyedia dana atau pembuat anggaran dengan produsen atau supplier barang dan jasa (Pardede, 2010: 162-163).

Pada permulaan abad ke-21, banyak pemerintahan di Eropa mengalokasikan hak untuk memakai frekuensi telepon mobil kepada pihak swasta. Mekanisme alokasi yang diterapkan berbeda dari negara ke negara. Suatu negara memilih untuk menggunakan satu atau lain bentuk dari lelang untuk mengalokasikan hak, sementara negara lainnya menggunakan beauty contest, di mana pelaku usaha dipilih berdasarkan proposal yang diajukannya.

Ini adalah salah satu metode dalam memilih penyedia jasa yang berhak atas frekuensi telepon mobil. Pengalihan hak ini meluas kepada operasi angkutan umum seperti bus dan kereta api, pompa bensin, dan lain sebagainya (Janssen, Edt., 2004 : xii). Dari studi kepustakaan di atas, beauty contest dipraktikkan dalam penyediaan jasa.

2. Pembahasan dan Analisis

Istilah beauty contest tidak terdapat dalam

Page 70: Jurnal April 2012

Perluasan Tafsir Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (Erman Rajagukguk) | 55

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Istilah ini berasal dari kepustakaan Hukum Persaingan di luar negeri (Dykstra dan Windt, 2004: 85). Beauty Contest tidak sama dengan pemilihan mitra untuk mendapatkan calon partner guna mengembangkan suatu proyek. Pemilihan mitra tidak sama dengan tender pengadaan barang/jasa.

Pemilihan mitra adalah pemilihan calon partner untuk mengembangkan suatu proyek, bukan mengenai pelaksanaan pengadaan barang/jasa. Dalam konteks ini PT ”P ” dan PT ”M” mencari partner usaha yang akan menanamkan investasi, mempunyai kemampuan teknologi, mempunyai akses terhadap pasar internasional (dalam konteks penjualan gas), dan calon partner akan menanggung risiko kerugian usaha. PT ”P ” dan PT ”M” tidak mencari supplier atau pemasok barang dan jasa.

Ruang Lingkup Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999

Pemilihan mitra tersebut tidak masuk dalam ruang lingkup Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 karena pemilihan mitra adalah pemilihan calon partner untuk membangun suatu usaha, bukan mengenai pengadaan barang/jasa. Pemilihan partner sebagai mitra strategis dalam membangun suatu usaha didasarkan kepada kemampuan permodalan, keahlian, dan pengalaman calon partner tersebut untuk mengadakan investasi, bukan mengenai pengadaan barang/jasa.

Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menyatakan pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Penjelasan pasal ini berbunyi, tender adalah

tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang, atau untuk menyediakan jasa. Pasal 22 tersebut berkenaan dengan persekongkolan tender yaitu suatu bentuk kerjasama antara para pelaku usaha dengan maksud untuk menguasai pasar yang bersangkutan. Dengan demikian Pasal 22 memiliki unsur:

a. pelaku usaha;

b. persekongkolan;

c. pihak lain;

d. barang/jasa;

e. pasar bersangkutan.

Ad. a. Pelaku Usaha.

Yang dimaksud pelaku usaha di sini adalah pelaku usaha yang mengikuti tender bukan pelaku usaha penyelenggara tender. Pelaku usaha penyelenggara tender tidak berkepentingan untuk bekerjasama dengan pelaku usaha peserta tender, karena pelaku usaha penyelenggara tender menyelenggarakan untuk mendapatkan hasil yang efisien, yaitu harga yang semurah-murahnya dan barang/jasa yang sebaik-baiknya.

Ad. b. Persekongkolan.

Menurut Pasal 1 butir 8 persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerjasama yang dilakukan pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol. Dalam hal ini menurut penulis persekongkolan itu dilakukan antara para pelaku usaha dalam tingkat horisontal, untuk menghilangkan persaingan di antara mereka, bukan persekongkolan vertikal karena antara pelaku usaha penyelenggara tender dan pelaku usaha peserta tender tidak ada persaingan.

Page 71: Jurnal April 2012

56 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 51-63

Pasal 22 berasumsi bahwa persekongkolan terjadi di antara para pelaku usaha. Pihak-pihak tersebut harus menyepakati suatu persekongkolan untuk mempengaruhi hasil tender demi kepentingan salah satu pihak dengan tidak mengajukan penawaran atau mengajukan penawaran pura-pura saja. Misalnya dengan penawaran harga tinggi dan satu-satunya yang terkoordinasi dengan pengharapan pihak yang tidak menang tender yang bersangkutan akan mendapat giliran menang pada tender yang akan datang berdasarkan kegiatan kolusif.

Tender kolusif biasanya bermaksud untuk meniadakan persaingan harga dan menaikkan harga. Persekongkolan ini bertujuan untuk menaikkan harga tender. Dalam pemilihan mitra, kegiatan pemilihan partner adalah menilai kemampuan calon partner, umpamanya dalam permodalan maupun pengalaman. Hal ini berlainan dengan pengadaan barang/jasa.

Ad. c. Pihak lain.

Menurut penulis adalah pelaku usaha lain dalam tingkat horisontal untuk menghindarkan persaingan di antara mereka, bukan dalam tingkat vertikal.

Ad. d. Barang/Jasa.

Ketentuan umum Pasal 1 butir 16 dan butir 17 telah menerangkan secara jelas sekali apa yang dimaksud dengan barang/jasa. Pasal 1 butir 16 menyatakan barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha. Sementara Pasal 1 butir 17 menyatakan jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan

atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.Pemilihan partner strategis yang ikut berinvestasi tidak termasuk dalam klasifikasi barang dan atau jasa.

Ad. e. Pasar bersangkutan.

Persekongkolan dalam tender diperlukan untuk menentukan pasar bersangkutan, karena tujuan persekongkolan tersebut adalah untuk menguasai pasar. Tidak ditentukannya pasar bersangkutan menyebabkan tidak terpenuhinya semua unsur dari Pasal 22.

Pasar bersangkutan adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan atau jasa tersebut sebagaimana dalam Pasal 1 butir 10 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Persekongkolan harus ditujukan untuk menghambat persaingan berdasarkan suatu pertukaran informasi antar para peserta tender.

Dalam hal ini harus ada pertukaran informasi yang relevan bagi persaingan, informasi tersebut harus berhubungan dengan strategi persaingan rahasia yang dimiliki para pesaing. Hal tersebut tidak akan terjadi di dalam pelaku usaha untuk memilih mitra, seperti dalam kasus ini. Pelaku usaha yang memilih mitra adalah berdasarkan kemampuan calon mitra, yaitu kemampuan permodalan karena mitra ikut jadi pemegang saham dan kemampuan berdasarkan pengalaman.

Dalam hal pemilihan mitra ini, tidak ada persekongkolan pertukaran informasi dari para pelaku usaha yang membuat pelaku usaha bersikap pura-pura sehingga ia terpilih. Tender adalah bertujuan untuk mencari penawar dengan

Page 72: Jurnal April 2012

Perluasan Tafsir Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (Erman Rajagukguk) | 57

harga terendah atau best value (kombinasi harga dan kualitas). Sedangkan Pemilihan Mitra adalah bertujuan untuk mencari mitra yang akan menanggung risiko bisnis bersama-sama (sharing risk). Dalam proses pemilihan mitra harus dilakukan diskusi dengan pihak yang berminat untuk berinvestasi. Diskusi tersebut adalah tentang maksud dan tujuan investasi serta untuk mendapat informasi dari peminat investasi.

Sebagai kesimpulan Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tidak dapat diterapkan kepada pelaku usaha yang memilih mitra untuk pengembangan suatu proyek. Pemilihan mitra bukan merupakan pengadaan barang/jasa, tetapi mitra untuk menyertakan modal sebagai pemegang saham dan mempunyai pengalaman serta kemampuan.

Pemilihan mitra yang dilakukan oleh PT ”P” bersama-sama PT ”M” untuk monetisasi lapangan gas Area M dan Blok S melalui bisnis LNG dengan skema hilir bukanlah merupakan pengadaan barang/jasa sebagaimana dimaksud pada SK Direksi No. Kpts-036/C00000/2004-SO tanggal 24 Agustus 2004 tentang Manajemen Pengadaan Barang/Jasa.

Pada waktu Undang-Undang ini diajukan oleh DPR untuk menjadi Undang-Undang, saya ingat benar sebagai Wakil Ketua Tim Pemerintah dalam pembahasan Undang-Undang ini di DPR, pada waktu itu tidak terpikirkan penerapan Pasal 22 ini kepada hal-hal di luar pengadaan barang dan jasa, apalagi sampai kepada pemilihan partner usaha. Menjadi pertanyaan sekarang, apakah KPPU boleh memperluas pengertian barang dan jasa tersebut sampai kepada pemilihan partner usaha?

Peraturan KPPU No. 2 Tahun 2010 tentang Pedoman Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun

1999 tentang Larangan Persekongkolan dalam Tender tidak bisa memperluas penafsiran Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999

Peraturan KPPU bukanlah sumber hukum dalam hierarki peraturan perundang-undangan Republik Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diganti dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Peraturan KPPU No. 2 Tahun 2010 telah memperluas penafsiran persekongkolan tender dari persekongkolan horizontal, memasukan juga persekongkolan vertikal.

Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 sudah sangat jelas menyatakan bahwa tender adalah mengenai barang dan jasa. Memberikan jasa yaitu mengerjakan sesuatu dengan mendapat upah. Pemilihan partner yang dilakukan oleh PT ”P” adalah suatu kegiatan investasi yang mengandung unsur untung dan rugi suatu perusahaan yang nantinya berbentuk joint venture.

Perluasan pengertian tersebut dikatakan berdasarkan pendapat Maarten C.W. Janssen dalam kata pengantar bukunya. Maarten C.W. Janssen sebagai editor dalam buku Auctioning Public Asset: Analysis and Alternatives, sebenarnya menguraikan pemilihan penyedia barang atau jasa dengan cara antara lelang (auction) dan beauty contest, bukan mengenai pemilihan partner usaha.

In the beginning of the 21st century, many European governments have allocated the right to use third generation mobile telephony (UMTS-) frequencies to private telecom parties. The allocation mechanism

Page 73: Jurnal April 2012

58 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 51-63

that was adopted differed widely between countries. Some countries chose to use one or another from of aution for allocating the rights, whereas others chose a Beauty Contest in which market players were selected on the basis of the proposals they had submitted how to use the frequencies (Janssen (Ed), 2004: xii).

… Auctions and their alternatives are ways to select the private parties that get a license to operate the market. The efficiency of the market, one of the most important goals from an economic point of view, defends to a large extent on the way the market is designed (how is the license defined and how many license are allocated) (Janssen, 2004: 9).

Jelas sekali uraian dalam buku tersebut tetap mengenai pengadaan barang dan jasa, dan bukan mengenai pemilihan partner untuk suatu usaha seperti yang dilakukan oleh PT ”P” dan PT ”M”.

KPPU tidak berwenang untuk memperluas ruang lingkup suatu undang-undang. Peraturan KPPU No. 2 Tahun 2010 telah memperluas penafsiran pengadaan barang dan jasa kepada pemilihan partner untuk melaksanakan suatu usaha. Selain itu KPPU telah memperluas pengertian persekongkolan tender dari persekongkolan horizontal, memasukan juga persekongkolan vertikal.

KPPU tidak dapat memperluas penafsiran suatu undang-undang, apalagi dengan mengutip pendapat ahli luar negeri. Pendapat ahli luar negeri tidak dapat dipakai untuk menafsirkan undang-undang Indonesia berdasarkan azas kedaulatan (soveregnity). Yang bisa merubah isi penafsiran undang-undang tersebut adalah

pembuat undang-undang sendiri yaitu DPR RI bersama Pemerintah. Di samping itu, hakim pengadilan dapat menafsirkan suatu undang-undang, tetapi Komisi Pengawas Persaingan Usaha bukan hakim sebagai lembaga yudikatif yang boleh menafsirkan suatu undang-undang.

Pembuktian Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Pasal 48 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa pelanggaran Pasal 22 diancam dengan pidana denda serendah-rendahnya Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 25.000.000.000,- (dua puluh lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan. Berdasarkan ketentuan tersebut pembuktian bahwa pelaku usaha melanggar pasal ini harus dilakukan dengan menggunakan pembuktian pidana sebagaimana dimaksud Pasal 42 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.

Dalam hal ini KPPU menggunakan alat bukti lain, yaitu dugaan, penafsiran, asumsi yang menurut saya adalah alat bukti tidak langsung (indirect evidence). Hal ini tidak boleh dilakukan untuk membuktikan kesalahan pelaku usaha sebagaimana diuraikan berikut ini.

Pelanggaran terhadap Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 diancam dengan hukuman pidana sebagaimana disebut dalam Pasal 48 ayat (2). Pembuktian tentang adanya pelanggaran pasal tersebut haruslah memakai alat-alat bukti sebagaimana dimaksud oleh Pasal 42, yaitu:

a. keterangan saksi,

b. keterangan ahli,

c. surat dan atau dokumen,

d. petunjuk,

Page 74: Jurnal April 2012

Perluasan Tafsir Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (Erman Rajagukguk) | 59

e. keterangan pelaku usaha.

Pemakaian alat bukti lainnya seperti alat bukti tidak langsung (indirect evidence) yang terdiri dari antara lain (OECD, 2007: 2):

1. Penafsiran atau interpretasi, dugaan dan asumsi.

2. Logika.

tidak dikenal dalam hukum pembuktian persaingan usaha di Indonesia.

Alat-alat bukti tersebut dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 sama dengan alat-alat bukti yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 184, dengan mengganti Keterangan Terdakwa menjadi Keterangan Pelaku Usaha, dan dalam Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006 diubah menjadi Keterangan Terlapor.

Dengan demikian pelanggaran pidana dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menganut prinsip yang sama dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Azas minimum pembuktian merupakan prinsip yang mengatur batas yang harus dipenuhi untuk membuktikan kesalahan pelaku usaha atau dengan kata lain, azas pembuktian ialah suatu prinsip yang harus dipedomani dalam menilai cukup atau tidaknya alat bukti membuktikan salah atau tidaknya pelaku usaha.

Untuk menjelaskan masalah ini, titik tolak berpijak berdasarkan prinsip Pasal 183 KUHAP, yaitu tidak boleh menjatuhkan pidana kepada pelaku usaha/terlapor kecuali dengan sekurang-kurang dua alat bukti yang sah, harus diperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa pelaku usahalah yang melakukannya.

Pasal 64 ayat (2) Peraturan Komisi

Pengawas Persaingan Usaha No. 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan di KPPU telah menyatakan juga bahwa Majelis Komisi menentukan sah atau tidak sahnya suatu alat bukti dan menentukan nilai pembuktian berdasarkan kesesuaian sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah.Sedangkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 telah menyebutkan secara rinci atau limitatif alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yaitu:

a. keterangan saksi,

b. keterangan ahli,

c. surat dan atau dokumen,

d. petunjuk,

e. keterangan pelaku usaha.

Di luar ini, tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah. Dengan demikian di luar alat bukti itu tidak dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan pelaku usaha/terlapor.

Pelanggaran terhadap Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 mempunyai sanksi pidana, maka semestinya pembuktian pelanggaran tersebut mengikuti prinsip Hukum Acara Pidana yang lazim, seperti yang disebutkan oleh Pasal 184 sampai dengan Pasal 189 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sebagai berikut ini:

Ad.a. Keterangan saksi

Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian keterangan saksi, perlu diperhatikan beberapa pokok ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang saksi. Artinya, agar keterangan seorang saksi dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, harus dipenuhi aturan ketentuan sebagai berikut:

Page 75: Jurnal April 2012

60 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 51-63

1. Harus mengucapkan sumpah atau janji.

2. Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti adalah apa yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu.

3. Keterangan saksi harus diberikan di sidang KPPU.

4. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup untuk membuktikan bahwa terlapor bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.

5. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.

Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi. Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, KPPU harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan:

a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;

b. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;

c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan tertentu;

d. cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya

keterangan itu dipercaya.

Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain tidak merupakan alat bukti namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.

Ad.b. Keterangan ahli

Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara guna kepentingan pemeriksaan.

Ad.c. Surat

Surat sebagaimana tersebut dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:

a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;

b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenal hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;

c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan

Page 76: Jurnal April 2012

Perluasan Tafsir Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (Erman Rajagukguk) | 61

keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya;

d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

Ad. d. Petunjuk

Pasal 188 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menyebutkan petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk sebagaimana dimaksud di atas menurut prinsip Pasal 188 ayat (2) hanya dapat diperoleh dari:

a. keterangan saksi;

b. surat;

c. keterangan pelaku usaha.

Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu seharusnya dilakukan dengan arif lagi bijaksana, setelah mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan.

Alat bukti petunjuk pada umumnya, baru diperlukan apabila alat bukti yang lain belum mencukupi batas minimum pembuktian yang ditentukan undang-undang. Alat bukti petunjuk baru bisa dipergunakan jika telah ada alat bukti yang lain. Petunjuk sebagai alat bukti, bukan alat bukti yang memiliki bentuk ”substansi tersendiri”. Dia tidak mempunyai ”wadah” sendiri jika dibandingkan dengan alat bukti yang lain.

Petunjuk sebagai alat bukti adalah ”asessor” (tergantung) pada alat bukti keterangan

saksi, surat dan keterangan pelaku usaha/terlapor sebagai sumber yang dapat melahirkannya, dan hanya boleh diambil dan diperoleh dari ketiga alat bukti yang lain tersebut.

Kalau alat bukti yang menjadi sumbernya tidak ada diperiksa dalam persidangan KPPU, dengan sendirinya tidak akan pernah ada alat bukti petunjuk. Sebaliknya alat bukti yang lain bisa saja ada tanpa kehadiran alat bukti petunjuk di sidang KPPU. Tanpa alat bukti petunjuk, sidang KPPU mungkin saja mencapai nilai pembuktian yang cukup dari alat bukti yang lain. Akan tetapi, alat bukti petunjuk tidak akan pernah mampu mencukupi nilai pembuktian tanpa adanya alat bukti yang lain.

Ad.e. Keterangan pelaku usaha/terlapor

Pasal 189 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menyebutkan:

1. Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.

2. Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.

3. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.

4. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

Page 77: Jurnal April 2012

62 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 51-63

Kata-kata terdakwa dalam pasal ini diganti dengan kata-kata pelaku usaha dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 kemudian diganti lagi dengan kata “terlapor” dalam Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006, sehingga prinsip dalam Pasal 189 KUHAP dapat diterapkan untuk pembuktian keterangan pelaku usaha/terlapor.

Pembuktian tidak langsung tidak sama dengan alat bukti menurut Pasal 42 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, karena pembuktian tidak langsung menggunakan prinsip lain. Misalnya:

1. Penafsiran atau interpretasi, suatu yang terlarang dalam pembuktian pidana menurut prinsip Hukum Acara Pidana. Pendapat atau rekaan yang diperoleh bukan merupakan bukti.

2. Logika, tidak membuktikan apa yang dilihat, didengar, atau dialami sendiri.

Sebagai kesimpulan, pembuktian tidak langsung tidak sama dengan alat bukti dalam Pasal 42 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dan tidak dikenal dalam peraturan perundang-undang di Indonesia. Pembuktian tidak langsung (indirect evidence) tidak sama dengan alat bukti Petunjuk. Petunjuk harus diperoleh dari keterangan saksi, surat maupun keterangan pelaku usaha/terlapor; sedangkan pembuktian tidak langsung bisa berdasarkan dugaan, penafsiran atau interpretasi dan logika. Ketiganya itu dilarang dalam pembuktian tindak pidana di Indonesia.

Prinsip pembuktian yang diterapkan dalam putusan-putusan kasus-kasus luar negeri baru bisa dipergunakan di Indonesia, bila prinsip-prinsip tersebut sudah dianut oleh Undang-Undang

Nasional Indonesia.

SIMPULANIV.

Sebagai kesimpulan dari uraian di atas adalah sebagai berikut:

1. Beauty contest bukan istilah Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tetapi istilah sarjana luar negeri. Hukum asing tidak dapat dipakai untuk menafsirkan undang-undang Indonesia berdasarkan azas kedaulatan (soveregnity), kecuali telah ditetapkan sebagai undang-undang Indonesia oleh pembentuk undang-undang. Oleh karena itu beauty contest tidak sama dengan tender. Begitu pula tender tidak sama dengan pemilihan mitra. Sementara ruang lingkup Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 adalah mengenai penawaran barang dan jasa, dan persekongkolan tender adalah persekongkolan antara para pelaku usaha para peserta tender (horisontal), bukan persekongkolan antara peserta tender dan penyelenggara tender (vertikal). Pemilihan mitra tidak masuk ruang lingkup Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.

2. KPPU tidak dapat memperluas ruang lingkup suatu Undang-Undang. Peraturan KPPU No. 2 Tahun 2010 tentang Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Persekongkolan dalam Tender, telah memperluas penafsiran Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang bukan wewenang KPPU. Yang

Page 78: Jurnal April 2012

Perluasan Tafsir Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (Erman Rajagukguk) | 63

boleh merubah penafsiran undang-undang adalah pembentuk undang-undang dan hakim. KPPU bukan hakim sebagai organ yudikatif.

3. Pembuktian Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 harus mengikuti pembuktian pidana sebagaimana yang dimaksud Pasal 42 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, bukan berdasarkan dugaan, penafsiran, dan asumsi.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Robert. Et.al., Kerangka Rancangan dan Pelaksanaan Undang-Undang Kebijakan Persaingan. Terjemahan Pahala Tamba. Washington D.C.: Bank Dunia-OECD Paris.

Hansen, Knud. Et.al. 2002. Law Concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition. Jakarta: Katalis Publishing-Media Services.

Janssen, Maarten C.W. Edt. 2004. Auctioning Public Assets, Analysis and Alternatives. New York: Cambridge University Press.

Lubis, Andi Fahmi. Et.al. 2009. Hukum Persaingan Usaha, Antara Teks & Konteks. Jakarta: GTZ.

OECD. 2007. “Prosecuting Cartels without Direct Evidence of Agreement”.

Pardede, Soy Martua. 2010. Persaingan Sehat & Akselerasi Pembangunan Ekonomi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Sumber lain:

Peraturan KPPU No. 2 Tahun 2010 tentang Pedoman Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Persekongkolan Dalam Tender.

Putusan KPPU No. 35/KPPU-I/2010.

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 34/Pdt.G/KPPU/2011/ PN.JKT.PST.

Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Page 79: Jurnal April 2012

64 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 64-83

AbstrActEven though Indonesia has already had the Arbitration Law, refusals of the international arbitration decisions still happen. One of which is the object of analysis in this article, that is the case of Astro All Asia Network Plc. The application of the international arbitration decision from Singapore was refused by the Central Jakarta District Court. This refusal is confirmed by the Supreme Court. This article discuss any court’s considerations for the refusal. It seems that some reasoning are not in accordance with the Arbitration Law, that come from both at the district court level and the Supreme Court. That such refusal, in consequence, could cause bad impact to the international bussiness climate. The Government was supposed to admit and implement the international arbitration decisions as a consequence of Indonesia’s membership of the 1958 New York Convention.

Keywords: Arbitration Law, international arbitration decision.

ABSTRAKMeskipun Indonesia telah memiliki Undang-Undang Arbitrase, penolakan keputusan arbitrase internasional masih terjadi. Salah satunya adalah objek analisis dalam artikel ini, yaitu kasus Astro Jaringan Semua Plc Asia. Penerapan keputusan arbitrase internasional dari Singapura ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Penolakan ini diperkuat oleh Mahkamah Agung. Artikel ini membahas seksama pertimbangan pengadilan untuk penolakan tersebut. Terdapat beberapa alasan yang tidak sesuai dengan UU Arbitrase, baik di tingkat pengadilan maupun Mahkamah Agung. Penolakan tersebut dapat menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan perdagangan internasional, khususnya terhadap pengusaha asing. Pemerintah seharusnya mengakui dan melaksanakan keputusan arbitrase internasional sebagai konsekuensi dari keanggotaan Indonesia di Konvensi New York tahun 1958.

Kata kunci: UU Arbitrase, keputusan arbitrase internasional.

PENOLAKAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM KASUS ASTRO ALL ASIA NETWORK PLC

Mutiara Hikmah, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Kampus Baru UI, Depok 16424

Email: [email protected] atau [email protected]

Kajian Putusan Nomor 05/Pdt/ARB-INT/2009/PNJP

THE REfUSAL Of INTERNATIONAL ARBITRATION DECISION IN THE CASE Of ASTRO ALL ASIA NETWORK PLC (ASTRO)

Mutiara Hikmah, Faculty of law of University of IndonesiaKampus Baru UI, Depok 16424

Email: [email protected] atau [email protected]

An Analysis of Decision Number 05/Pdt/ARB-INT/2009/PNJP

Page 80: Jurnal April 2012

Penolakan Putusan Arbitrase Internasional Dalam Kasus Astro All Asia Network PLC (Mutiara Hikmah) | 65

PENDAHULUANI.

Indonesia telah menjadi anggota Konvensi New York 1958 (Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards 1958) melalui Keputusan Presiden RI (Keppres) No. 34 Tahun 1981 dan diterbitkan dalam Lembaran Negara RI Tahun 1981 No. 40 (Gautama, 1981: 214). Dengan ikut sertanya negara Indonesia dalam Konvensi New York 1958, maka Indonesia terikat pada ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam konvensi tersebut mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional (Rajagukguk, 2001: 65).

Pada awalnya, sikap Pemerintah Indonesia (dalam hal ini Mahkamah Agung RI), tidak mengakui pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Akan tetapi, kesadaran bahwa negara Indonesia akan terus tumbuh menjadi bagian dari aktivitas bisnis dunia, maka Pemerintah Indonesia harus memikirkan langkah ke depan untuk dapat mengakui dan melaksanakan putusan-putusan arbitrase internasional. Khususnya dalam upaya menarik perhatian para investor untuk memilih Indonesia sebagai tempat utama dalam aktivitas investasinya. Maka negara Indonesia harus membuka diri untuk mengikuti model penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang diikuti dengan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasionalnya (Simanjuntak, 2002: 85).

Apalagi jika melihat tendensi yang terjadi pada akhir-akhir ini, dalam kontrak-kontrak yang ditandatangani oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau perusahaan negara di satu pihak dengan pihak asing, baik dalam bentuk Kerja Sama Operasi (KSO)/Joint Operation Contract (JOC) atau lain-lain usaha bersama dan perjanjian yang bersifat ”internasional”, dipakai klausul mengenai

penyelesaian sengketa melalui arbitrase dan umumnya arbitrase ditentukan akan dilangsungkan di luar negeri (Gautama (a), 2004: 1). Walaupun dalam kontrak ditentukan bahwa hukum Indonesia yang dipilih untuk menyelesaikan sengketa, namun pelaksanaan pemeriksaan arbitrasenya dilangsungkan di luar negeri. Jika pelaksanaan pemeriksaan dan proses arbitrase berlangsung di luar negeri, ketika putusan arbitrase diucapkan dan pihak yang kalah dalam proses tersebut adalah pihak dari Indonesia, maka hal ini akan berakibat pihak yang menang dalam proses arbitrase tersebut memohon pelaksanaan putusan arbitrase internasional tersebut di Indonesia.

Mengenai pelaksanaan putusan arbitrase internasional, sangat terkait dengan pemahaman dan kemampuan hakim serta sikap pengadilan (Prodjodikoro, 1954: 74). Pengadilan-pengadilan mempunyai peranan penting dalam menyelesaikan sengketa-sengketa di bidang perdagangan, walaupun para pihak telah sepakat untuk menyelesaikan sengketa yang bersangkutan melalui lembaga arbitrase. Pengadilan diminta campur tangan manakala proses arbitrase telah selesai dan salah satu pihak tidak bersedia melaksanakan putusan arbitrase tersebut (Rajagukguk, 2001: 4).

Dalam proses pelaksanaan putusan arbitrase, lembaga arbitrase tidak dapat memaksakan pelaksanaan putusannya (Zuraida, 2009: 222), melainkan lembaga pengadilan yang harus memaksa pihak yang kalah untuk melaksanakan putusan arbitrase tersebut. Dalam prakteknya, pengadilan dapat sewaktu-waktu campur tangan dalam hal pemeriksaan proses arbitrase sedang berjalan.

Sejak Indonesia menjadi anggota Konvensi New York 1958 pada tahun 1981, pada kurun

Page 81: Jurnal April 2012

66 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 64-83

waktu sebelum berlakunya Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing di Indonesia (untuk selanjutnya disingkat dengan ”Perma”), masih terdapat hambatan-hambatan bagi pelaku usaha asing dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia. Mahkamah Agung RI sebagai lembaga peradilan tertinggi di Indonesia berpendirian bahwa putusan arbitrase internasional tidak dapat dilaksanakan di Indonesia.

Setelah Mahkamah Agung RI mengeluarkan Perma, pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia mulai mendapat kepastian, karena hukum acara yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan putusan arbitrase internasional sudah jelas. Untuk mengatur pelaksanaan putusan arbitrase internasional dalam hierarki perundang-undangan di Indonesia, pada 12 Agustus 1999 diundangkanlah Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (untuk selanjutnya disingkat dengan UU Arbitrase) terdiri dari XI Bab dan 82 Pasal. Pada Bab VI UU Arbitrase tersebut mengatur tentang Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.

Setelah berlakunya UU Arbitrase, satu-satunya putusan arbitrase internasional yang dibatalkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat adalah putusan arbitrase asal Jenewa, Swiss (tanggal 18 Desember 2000), yaitu pada perkara KBC vs. PT P dan PL (Putusan No. 86/Pdt-G/2002, tanggal 19 Agustus 2002 dengan Ketua Majelis Hakim HS, S.H). Kasus tersebut mengundang perhatian berbagai pihak dari dalam dan luar negeri, karena selain melibatkan beberapa saksi ahli dari berbagai negara, juga putusan arbitrase tersebut dimohonkan pelaksanaannya oleh pihak KBC di beberapa negara, sehubungan dengan aset pihak PT P yang terdapat di beberapa negara (antara lain di Hongkong, Singapura, Texas dan

Kanada). Pembatalan putusan arbitrase Swiss oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung RI dengan Putusan No. 01/BANDING/WASIT-INT/2002, tanggal 8 Maret 2004.

Pada tahun 2010, terdapat putusan arbitrase internasional asal Singapore International Arbitration Center/SIAC yang ditolak pelaksanaannya oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, serta penolakan tersebut kemudian dikuatkan oleh Mahkamah Agung RI. Kasus tersebut merupakan salah satu kasus arbitrase internasional yang juga diajukan banding ke Mahkamah Agung adalah kasus antara AAAN dengan PT APM, anak perusahaan. PT APM sebagai pemilik PT DV bersama dengan AG, di mana A memiliki saham sebanyak 49%. Dan sisanya dimiliki Silver Concord sebesar 51%. APM sendiri, dimiliki oleh PT FM, sebanyak 99% dalam bentuk nilai penyertaan sebesar Rp.34,54 juta dan PT MVC dengan nilai penyertaan Rp.35 ribu (1%).

Gugatan bermula dari perselisihan terkait kerja sama televisi swasta AAAN dengan LG melalui PT DV. Kerja sama ini mewajibkan LG menanamkan 50 persen saham mereka di Astro, namun tidak dipenuhi. Akhirnya, keputusan pengadilan arbitrase menetapkan PT DVharus membayar US$230 juta. Sementara FM dan PT APM, juga anak perusahaan milik LG, diwajibkan membayar sejumlah US$95 juta.

Menurut keterangan dari kuasa hukum pihak AAAN, PT APM telah gagal dalam menyelesaikan rencana kerjasama antara AAAN dan LG di dalam PT DV, sehingga AAAN menggunakan haknya dengan mendaftarkan masalah tersebut ke persidangan arbitrase di Singapura, SIAC. Majelis arbitrase SIAC memutuskan bahwa pihak

Page 82: Jurnal April 2012

Penolakan Putusan Arbitrase Internasional Dalam Kasus Astro All Asia Network PLC (Mutiara Hikmah) | 67

PT APM harus membayar denda sebesar US$ 230 juta kepada AAAN, dengan putusan SIAC No. 62 of 2008 tanggal 7 Mei 2009. Oleh kuasa hukum pihak AAAN, putusan arbitrase asal SIAC tersebut didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor pendaftaran No. 05/2009, tanggal 1 September 2009. Pada keesokan harinya, secara terpisah PT DV mengajukan permohonan pembatalan atas putusan Arbitrase SIAC dengan Register Nomor: 177/PDT.P/2009/PN.JKT.PST, tanggal 2 September 2009. Demikian pula dengan PT APM, juga mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase internasional asal SIAC dengan Register Nomor: 178/PDT.P/2009/PN.JKT.PST. Berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tertanggal 28 Oktober 2009, permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional oleh pihak AAAN tersebut ditolak oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

RUMUSAN MASALAHII.

Pada kasus AAAN di atas, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah menolak pelaksanaan putusan arbitrase asal Singapore International Arbitration Center, dan penolakan tersebut dikuatkan oleh Mahkamah Agung RI. Dengan terikatnya Indonesia pada Konvensi New York 1958, Pemerintah RI seharusnya berhati-hati dalam menolak putusan arbitrase internasional yang dimohonkan pelaksanaannya di Indonesia.

Berdasarkan pemaparan latar belakang tersebut di atas, maka terdapat beberapa masalah yang dapat dirumuskan, antara lain:

Bagaimana analisis mengenai 1. pertimbangan pengadilan yang memberikan penolakan terhadap putusan arbitrase internasional pada kasus AAAN?

Bagaimana analisis mengenai 2. pertimbangan Mahkamah Agung RI yang telah menguatkan penolakan terhadap putusan arbitrase internasional pada kasus AAAN?

STUDI PUSTAKA DAN ANALISISIII.

1. Studi Pustaka

Kajian mengenai putusan arbitrase internasional merupakan salah satu kajian di bidang Hukum Perdata Internasional (untuk selanjutnya disingkat dengan HPI), karena adanya unsur-unsur asing (foreign elements) dalam suatu putusan arbitrase internasional. Perumusan yang diberikan oleh ahli HPI Inggris Chesire, adalah “That part of English Law known as Private International Law comes into operation whenever the court is seized of a suit that contains as foreign element”. (Terjemahan bebas dari penulis: Bagian dari Hukum Inggris yang dikenal dengan Hukum Perdata Internasional adalah berasal dari hubungan-hubungan yang memiliki unsur asing).

Adanya unsur-unsur asing tersebut, ditandai dengan adanya hal-hal atau keadaan yang menyebabkan berlakunya suatu stelsel hukum. Hal ini disebut juga sebagai suatu titik-titik pertalian, yang dalam pembahasan tentang HPI, terdiri dari Titik-titik Pertalian Primer (untuk selanjutnya disingkat dengan TPP), Titik-titik Pertalian Sekunder (untuk selanjutnya disingkat dengan TPS), serta Titik-titik Pertalian Lebih Lanjut.

Yang dimaksud dengan TPP adalah hal-hal dan keadaan-keadaan yang melahirkan atau menciptakan suatu hubungan HPI. Karena terdapatnya TPP ini, maka lahirlah hubungan-hubungan HPI. Macam-macam TPP dalam

Page 83: Jurnal April 2012

68 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 64-83

HPI antara lain (Gautama, 1986: 24-62): kewarganegaraan, bendera kapal, domisili, tempat kediaman, tempat kedudukan badan hukum, dan pilihan hukum. Selain TPP, juga ada TPS, yaitu hal-hal atau keadaan yang menentukan hukum mana yang berlaku dalam suatu peristiwa HPI. Macam-macam TPS terdiri dari: kewarganegaraan, bendera kapal, domisili, tempat kediaman, tempat kedudukan badan hukum, pilihan hukum, tempat letaknya benda, tempat dilangsungkannya perbuatan hukum, tempat dilaksanakannya perjanjian, tempat terjadinya perbuatan melawan hukum.

Sedangkan yang termasuk ke dalam Titik-titik Pertalian Lebih Lanjut, adalah (Gautama 1986: 63-72): Titik pertalian kumulatif, adalah terdapat suatu kumulasi (penumpukan) dari titik-titik pertalian. Kumulasi ini dapat berlangsung dalam dua bentuk tertentu. Salah satu dari stelsel hukum yang berlaku bersamaan ini adalah stelsel hukum nasional dan yang lainnya adalah stelsel hukum asing.

Bentuk yang lainnya adalah stelsel hukum yang berlaku bersamaan ini adalah stelsel hukum yang kebetulan dipertautkan. Titik pertalian alternatif, yaitu adanya lebih dari satu titik pertalian yang dapat menentukan hukum yang berlaku. Salah satu dari dua atau lebih faktor-faktor ini dapat merupakan faktor yang berlaku.Titik pertalian pengganti, adalah titik-titik pertalian yang diperlakukan apabila titik taut yang seharusnya dipergunakan tidak terdapat. Titik pertalian tambahan, bahwa titik taut penentu yang harus berlaku adanya tidak mencukupi. Dalam hal ini diperlukan titik taut tambahan. Titik pertalian accessoir, adalah penempatan suatu hubungan hukum di bawah satu stelsel hukum yang sudah berlaku untuk lain hubungan hukum yang lebih utama.

Mengenai titik pertalian ini, Chesire memberikan uraian dengan mengemukakan bahwa ”connecting factor” merupakan ”some outstanding fact which establishes a natural connection between the factual situation before the court and a particular system of law”(Chesire dan North, 1992: 10). (Terjemahan bebas dari penulis: ”Beberapa faktor utama yang timbul sebagai hubungan antara keadaan sesungguhnya yang menyangkut sistem hukum yang khusus”).

Pembahasan tentang pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia berhubungan dengan salah satu teori HPI, yaitu teori tentang hak-hak yang telah diperoleh (vested rights theory) ). Istilah hak-hak yang telah diperoleh dalam bidang HPI tidak hanya mencakup hak-hak kebendaan, hak-hak kekeluargaan dan status personal, tetapi juga mencakup hak-hak yang timbul dari tiap-tiap hubungan hukum atau keadaan hukum (Gautama, 1986: 257-258).

Jika mempelajari sejarahnya, teori tentang hak-hak yang telah diperoleh, merupakan teori yang sudah tua usianya (Gautama, 2008: 274). Dalam abad pertengahan, teori ini sudah ditemukan di dalam pemikiran-pemikiran sarjana hukum pada saat itu. Hal ini dapat dilihat pada pendapat-pendapat sarjana asal Belanda dan Jerman. Dalam abad ke-18 teori tentang hak-hak yang telah diperoleh ini disandarkan pada teori hukum alam (natuurrecht). Terutama di Jerman teori ini telah memperoleh banyak pengikut dalam permulaan abad ke-19. Jika terdapat “pertemuan” (“kollisie”) kaidah-kaidah hukum, maka diberikan prioritas kepada kaidah-kaidah hukum negara di mana hubungan hukum bersangkutan telah tercipta. Dengan demikian dikedepankan pengertian tentang “hak-hak yang telah diperoleh”.

Page 84: Jurnal April 2012

Penolakan Putusan Arbitrase Internasional Dalam Kasus Astro All Asia Network PLC (Mutiara Hikmah) | 69

Beberapa penulis seperti Frankenstein, telah menerima prinsip hak-hak yang telah diperoleh. Menurut pendapatnya, bahwa jika diadakan perubahan kewarganegaraan seseorang atau perubahan letaknya benda karena terdapat hubungan hukum dengan sistem hukum lain, maka hak-hak yang telah diperoleh itu tetap berlaku (Frankenstein, 1926: 132). Pendapat tersebut juga didukung oleh Raape dan Martin Wolff (Wolff, 1950: 2).

Martin Wolff memberikan penjelasan bahwa tidak ada suatu negara dalam HPI-nya akan boleh mengatur sesuatu sedemikian rupa hingga kewajiban-kewajiban hukum internasionalnya berkenaan dengan hak-hak orang asing dapat dilanggar begitu saja. Dalam hubungan ini beliau menunjuk kepada apa yang dinamakan teori tentang “hak-hak yang diperoleh”. Menurut beliau, jika suatu hubungan hukum telah terjadi di negara asing antara warga negara dari negara itu menurut hukum yang berlaku di sana, maka lain-lain negara akan mengakuinya sebagai tercipta secara sah, sekalipun dalam hal bahwa kemudian hubungan ini telah dipindahkan ke dalam negeri dan menurut hukum dalam negeri ini harus dipandang sebagai tidak sah adanya (Wolff, 1950. :1).

Ahli HPI Belanda yang kenamaan seperti Meijers dan Van Brakel juga menerima teori tentang “hak-hak yang telah diperoleh”. Menurut Van Brakel, harus diadakan pengakuan terhadap hak-hak yang telah tercipta di luar negeri. Tanpa pengakuan itu tidak akan mungkin hubungan lalu lintas internasional HPI akan dapat berkembang. Pengakuan hak-hak yang telah diperoleh, merupakan salah satu pikiran fundamental di mana gedung HPI telah dibangun. Menurut beliau doktrin tentang “hak-hak yang telah diperoleh” lebih banyak harus dilihat sebagai suatu asas

hukum yang telah memberikan inspirasi kepada pembuat undang-undang daripada suatu kaidah hukum yang berdiri sendiri (zelfstandige regel), pengakuan status personil orang asing pemakaian lex rei sitae, pengakuan sahnya suatu perbuatan yang sesuai dengan syarat-syarat formal di luar negeri, semua ini boleh dianggap disandarkan atas asas “hak-hak yang diperoleh” itu. Asas ini dapat dianggap telah “tersirat” (“verwerkt”) dalam kaidah hukum bersangkutan (Gautama, 1998: 307).

Dicey merupakan sarjana HPI Inggris yang telah mengedepankan teori tentang “vested rights”. Dalam pandangan Dicey dikemukakan lagi perbedaan antara kaidah-kaidah hukum asing (laws) dan hak-hak (rights) yang telah diperoleh di luar negeri. Yang hendak diberikan perlindungan ialah hak-hak yang disebut terakhir ini. Atas dasar apakah dianggap perlu untuk menghargai hak-hak yang telah diperoleh di luar negeri ini? Dasarnya menurut pandangan Dicey bukan semata-mata “courtoisie” (“comity”). Tidaklah tergantung kepada kehendak sendiri pihak negara yang berdaulat untuk memperhatikan hak-hak yang telah diperoleh di negara-negara lain. Yang menjadi dorongan ialah kenyataan bahwa jika tidak dihargai “hak-hak yang telah diperoleh” di luar negeri ini akan timbullah banyak kesulitan dan “inconveniences” serius serta ketidak-adilan yang sangat, hingga dengan demikian ini akan diperlambat atau dihalang-halangi perkembangan hubungan dalam HPI.

Jika mempelajari perkembangan teori hak-hak yang telah diperoleh di Indonesia, Mahkamah Agung RI (di bawah Ketua Prof. Wirjono Prodjodikoro) menganggap lebih tepat untuk mempergunakan istilah ”pelanjutan keadaan hukum”. Prof. Wirjono menjelaskan: ”Dalam perkataan-perkataan recht, right atau

Page 85: Jurnal April 2012

70 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 64-83

droit tidak berarti sebagai hak hukum, melainkan keadaan hukum atau perhubungan hukum. Beliau menambahkan, bahwa sebetulnya tidak berarti melindungi hak-hak atau kekuasaan hukum, melainkan berarti melanjutkan suatu keadaan hukum. Menurut beliau, dalam banyak peristiwa, untuk mana hukum perdata asing harus berlaku, memang alasannya dapat diketemukan pada suatu pelanjutan keadaan hukum. Akan tetapi, menurut beliau pelanjutan keadaan hukum ini bukan satu-satunya alasan untuk menunjuk kepada hukum perdata asing (Gautama, 1998: 312).

Secara hukum positif ditunjuk pula kepada ketentuan yang termaktub pada Pasal 16 A.B. yang berhubungan dengan Pasal 3 A.B. Pasal ini menunjuk kepada hukum perdata bagi orang-orang asing yang berada di Indonesia. Pasal ini mengedepankan prinsip nasionalitas (nationaliteits-beginsel) untuk status personal seseorang. Pasal 16 A.B. ini secara letterlijk hanya mengenai status para warga negara Republik Indonesia yang berada di luar negeri.

Secara analogi, juga status personal orang-orang asing yang berada di Indonesia tetap takluk di bawah hukum nasionalnya, sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3 A.B. bahwa hukum perdata dan hukum dagang pada pokoknya adalah sama, baik untuk para warga negara maupun untuk orang asing.

Menurut Wirjono Prodjodikoro kata-kata dalam Pasal 16 A.B. “mengandung penafsiran pelanjutan keadaan”. Dengan demikian dapatlah ditarik kesimpulan seolah-olah prinsip “pelanjutan keadaan hukum” atau penghormatan terhadap “hak-hak yang telah diperoleh” termasuk pula dalam peraturan-peraturan tertulis yang berlaku untuk Indonesia (Gautama, 1998: 313).

Teori tentang “hak-hak yang telah diperoleh”

mempunyai hubungan erat dengan masalah ketertiban umum. Menurut pandangan berbagai sarjana hukum tujuan daripada “hak-hak yang diperoleh” ini justru adalah sebaliknya daripada tujuan ketertiban umum dalam HPI. Ketertiban umum internasional merupakan dasar kuat untuk melakukan hukum perdata nasional sang hakim, padahal menurut kaidah-kaidah HPI sang hakim sendiri, kaidah-kaidah hukum perdata asing yang harus dipergunakan.

Ajaran “hak-hak yang diperoleh” justru menghendaki kebalikannya, bukan hukum asing yang dikesampingkan, tetapi justru hukum asing inilah yang diakui dan dipergunakan. Prinsip hak-hak yang diperoleh ini dalam prakteknya dapat dipergunakan untuk memperbaiki pelaksanaan prinsip ketertiban umum. Di mana pemakaian prinsip ketertiban umum ini akan menghasilkan dikesampingkannya hukum perdata asing, padahal hukum asing ini perlu diperhatikan juga demi terpenuhinya rasa keadilan para pihak. Pemakaian prinsip “hak-hak yang diperoleh” dapat memperbaiki dan melembutkan pelaksanaan prinsip ketertiban umum.

Dalam kajian Hukum Perdata Internasional, tidak ada definisi khusus yang dirumuskan untuk istilah ketertiban umum. Tetapi pada esensinya, hakim suatu negara dapat mengenyampingkan berlakunya kaidah hukum asing, jika hukum asing tersebut bertentangan dengan sendi-sendi asasi hukum sang hakim. Relativitas merupakan sifat dari ketertiban umum, artinya ketertiban umum bersifat relatif, berlakunya tergantung pada faktor-faktor waktu, tempat dan intensitas (dalam bahasa Jerman Inlandsbeziehungen) (Gautama 1998: 142).

Juga dalam hubungan “hak-hak yang telah diperoleh” pembahasan asas resiprositas adalah

Page 86: Jurnal April 2012

Penolakan Putusan Arbitrase Internasional Dalam Kasus Astro All Asia Network PLC (Mutiara Hikmah) | 71

penting. Prinsip saling harga-menghargai juga harus diperhatikan dalam hubungan ini. Memang tidak dapat disangkal bahwa soal timbal balik memegang peranan penting dalam seluruh bidang HPI. Jika timbal-balik penting baik untuk ketertiban umum maupun untuk “hak-hak yang telah diperoleh”, perlu diperhatikan pula bahwa dalam wujudnya terdapat perbedaan tertentu.

Dalam wujudnya, timbal balik ini adalah berlainan dalam hal ketertiban umum dan dalam hal “hak-hak yang telah diperoleh”. Letak perbedaannya adalah, dalam hal ketertiban umum resiprositas mengakibatkan bahwa hakim menjaga supaya berhati-hati dalam menggunakan asas ini sebagai alasan untuk mengutamakan hukum nasional, sedangkan dalam hal “hak-hak yang telah diperoleh” resiprositas adalah mendorong hakim supaya mengetahui seberapa boleh memperhatikan hak-hak yang telah diperoleh (atau melanjutkan keadaan hukum).

Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam hubungan mengenai hak-hak yang telah diperoleh ini: “jika suatu negara kurang memperhatikan hak perlanjutan keadaan hukum ini terhadap lain negara, maka tidak boleh diharapkan, bahwa negara lain itu akan memperhatikan hal perlanjutan keadaan hukum itu sepatutnya terhadap negara yang tersebut pertama tadi”.

Sebagai kelanjutan tinjauannya beliau telah menjelaskan lebih jauh persoalan sampai di manakah negara masing-masing akan memperhatikan prinsip “hak-hak yang telah diperoleh” itu. Paling tegas hanya dapat dikatakan, bahwa suatu negara akan mungkin menghentikan perhatian prinsip “hak-hak yang telah diperoleh” ini, jika ternyata, bahwa dengan diakuinya hak-hak yang telah diperoleh di luar negeri ini, rasa keadilan rakyat sang hakim akan tersinggung

sedemikian rupa, sehingga pelanjutan keadaan hukum itu tidak dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini, ditambahkan oleh beliau bahwa jika inconcreto harus disebutkan suatu alasan tertentu untuk membatasi pengakuan prinsip “hak-hak yang telah diperoleh” ini, maka akan kembali lagi kepada alasan berdasar atas ketertiban umum negara awal.

Ketertiban umum dalam hal ini merupakan pembatasan dari berlakunya hak-hak-yang telah diperoleh. Mengenai hal tersebut, Konvensi New York 1958 pun mengatur mengenai ketertiban umum yang dapat dijadikan dasar untuk penolakan terhadap berlakunya putusan arbitrase internasional di suatu negara. Konvensi New York 1958 merupakan konvensi internasional yang diprakarsai oleh PBB mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Indonesia merupakan salah satu negara peserta dari 145 jumlah negara yang menjadi anggota Konvensi New York 1958.

Dengan ikut sertanya negara Indonesia dalam Konvensi New York 1958, maka Indonesia terikat pada ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam konvensi tersebut. Salah satu pasal dari konvensi tersebut dengan jelas menyatakan, bahwa apabila terdapat suatu klausul arbitrase (Pasal 2 ayat (3) Konvensi New York 1958), yaitu perjanjian yang dibuat oleh para pihak, dalam hal timbul sengketa, mereka akan menyelesaikan sengketa ini dengan jalan arbitrase, maka pihak hakim dari pengadilan harus menyatakan dirinya tidak berwenang serta mempersilahkan para pihak untuk melanjutkan perkara mereka di hadapan forum arbitrase.

Badan-badan peradilan dari negara peserta konvensi, apabila diminta untuk mengadili suatu perkara di mana para pihak telah mengadakan

Page 87: Jurnal April 2012

72 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 64-83

persetujuan secara tertulis untuk memilih forum arbitrase, para pihak dipersilahkan untuk menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase. Kecuali apabila badan peradilan yang berwenang menganggap bahwa perjanjian arbitrase yang telah dibuat oleh para pihak telah dianggap batal adanya atau tidak dapat dilaksanakan.

Prinsip dalam Konvensi New York 1958 ini, dikenal dengan istilah Limitation of Court Involvement. Di mana menurut prinsip ini, terdapat pembatasan campur tangan pengadilan di dalam proses arbitrase. Dengan kata lain, jika para pihak sudah sepakat memilih arbitrase sebagai tempat penyelesaian sengketa, maka pengadilan harus menolak untuk memeriksa sengketa tersebut. Hal ini seperti yang diatur di dalam Pasal 2 ayat (3) Konvensi New York 1958. Prinsip dalam Konvensi New York 1958 tersebut merupakan penghormatan terhadap asas kebebasan berkontrak.

2. Analisis

2.1. Analisis Terhadap Penolakan Putusan Arbitrase Internasional asal SIAC oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Dalam sub bahasan ini akan diuraikan beberapa hal sehubungan dengan kasus posisi, antara lain:

A. Para Pihak

Para pihak yang bersengketa adalah: ANI B.V., ANH B.V., AMC N.V., AM N.V. (adalah beberapa perseroan terbatas yang berkedudukan di Belanda), AOL (perseroan terbatas yang berkedudukan di Bermuda), AAAN PLC (perseroan terbatas yang berkedudukan di Inggris), MBNS Sdn Bhd (perseroan terbatas yang berkedudukan di Malaysia) dan AAMN FZ-

LLC (perseroan terbatas yang berkedudukan di UEA).

Para pihak tersebut secara keseluruhan disebut sebagai pemohon pada arbitrase SIAC Nomor: 062 Tahun 2008 (ARB 062/08/JL) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan pemohon kasasi terhadap penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 05/Pdt/ARB-INT/2009 pada Mahkamah Agung RI, melawan pihak:

PT APM, PT FM Tbk dan PT DV/PT DV (perseroan terbatas yang berkedudukan di Indonesia). Para pihak tersebut secara keseluruhan disebut sebagai termohon pada arbitrase SIAC, termohon penetapan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase SIAC Nomor: 062 Tahun 2008 (ARB 062/08/JL) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan termohon kasasi terhadap penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 05/Pdt/ARB-INT/2009 pada Mahkamah Agung RI.

B. Intisari Kasus

AN adalah stasiun televisi satelit berlangganan di Indonesia yang beroperasi sejak 28 Februari 2006 hingga 19 Oktober 2008. AN dioperasikan oleh PT DV, dimana kepemilikan sahamnya adalah 49% oleh PT APM dan 51% oleh Silver Concord Holding Limited (Badan Hukum BVI), keduanya adalah anak perusahaan milik LG. PT DV memperoleh pasokan siaran dari AAAN PLC, operator televisi satelit berlangganan Astro di Malaysia dan Brunei Darussalam, dan juga berhak menggunakan nama ”A” melalui suatu perjanjian lisensi penggunaan merek dagang (Trademark License Agreement). Kedua pihak juga menyepakati Subsciption and Shareholder Agreement (untuk selanjutnya disingkat dengan SSA) dalam waktu dua tahun AAAN akan turut serta menjadi pemegang saham di PT DV.

Page 88: Jurnal April 2012

Penolakan Putusan Arbitrase Internasional Dalam Kasus Astro All Asia Network PLC (Mutiara Hikmah) | 73

Pada tanggal 11 Maret 2005 diadakan penutupan SSA antara pihak pemohon dan PT DV. Berdasarkan SSA, Astro harus melakukan penyetoran modal sebesar tiga puluh sembilan juta Dollar Amerika ditambah dukungan teknis sebesar seratus tiga puluh enam juta Dollar Amerika kepada PT DV. Pada 26 Agustus 2005, Pemerintah Indonesia memberlakukan Undang-Undang Penyiaran yang mewajibkan semua operator, termasuk yang telah memiliki ijin multimedia seperti PT DV untuk mengajukan ijin penyelenggaraan penyiaran berdasarkan Undang-Undang Penyiaran yang membatasi kepemilikan asing menjadi 20%.

Konsekuensinya, L dan A kemudian membicarakan lebih lanjut untuk restrukturisasi PT DV agar dapat memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang Penyiaran yang baru. Badan Koordinasi Penanaman Modal kemudian memberikan ijin, bahwa hingga tahun 2010 Astro diperbolehkan memiliki hingga 51% saham.

Perundingan dilanjutkan kembali pada bulan Mei 2007. Hingga akhir Mei 2007, perkiraan biaya yang telah dikeluarkan pihak Astro adalah US$107,6 juta dalam bentuk pendanaan awal dan jasa. Hingga akhir Agustus 2007, tidak ada tanda bahwa SSA akan ditutup, namun para pihak mulai memikirkan pilihan untuk keluar. Astro menyatakan tidak akan melanjutkan pemberian dukungan berupa dana maupun jasa pada PT DV. Pada bulan Juli dan Agustus 2008, pemohon menerbitkan dan mengirimkan tagihan pada PT DV atas jasa dan meminta pengembalian atas dana yang telah diberikan. Di lain pihak, Lippo bersikeras bahwa Astro berkewajiban memberi dana dan jasa pada PT DV.

Tanggal 4 September 2008, PT APM mengajukan gugatan perdata pada Pengadilan

Negeri Jakarta Selatan, dengan AAAN, MBNS, Sdn Bhd, AAMN FZ-LLC, MSS Sdn Bhd, RM, SD, NM, LT, PT AKV, TAS (pemilik PT AKV), PT KMA (perusahaan yang berkedudukan di Indonesia, penyelenggara jasa penyiaran televisi berlangganan dengan merek dagang Aora), PT AB (perusahaan yang berkedudukan di Indonesia yang diperkenalkan oleh AAN sebagai pemegang saham sebesar tiga puluh satu persen pada PT DV), sebagai tergugat dan PT DV sebagai turut tergugat. Gugatan didasarkan atas perbuatan melawan hukum berkenaan dengan pendanaan dan pengaturan PT DV dengan petitum pada AAAN, MBNS, Sdn Bhd, All Asia MN FZ-LLC untuk meneruskan pendanaan dan jasa pada PT DV serta membayar US$1,62 miliar atas pencemaran nama baik PT APM.

Sementara itu, AAAN mengajukan perkara mengenai SSA pada SIAC tanggal 6 Oktober 2008. Pengajuan perkara pada SIAC didasarkan pada Pasal 17.4 SSA. Pada tanggal 7 Mei 2009 SIAC mengeluarkan Putusan Arbitrase SIAC No. 062 Tahun 2008. Salah satu isi Putusan Arbitrase SIAC adalah memerintahkan PT APM menghentikan proses perkara di Indonesia selama berkaitan dengan AAAN, MBNS Sdn Bhd, AAMN FZ-LLC, dan RM.

C. Putusan Arbitrase

Putusan arbitrase yang dimintakan pelaksanaannya di Indonesia adalah Putusan Arbitrase SIAC Nomor: 062 Tahun 2008 (ARB 062/08/JL). Putusan ini dikeluarkan oleh lembaga arbitrase SIAC yang berkedudukan di Singapura. Ketika para pihak memilih SIAC sebagai forum penyelesaian sengketa berdasar Pasal 17.4 SSA, maka ada beberapa hukum yang berlaku, yaitu:

1. Hukum Singapura sebagai lex

Page 89: Jurnal April 2012

74 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 64-83

arbitri (hukum tempat arbitrase berlangsung).

Singapura memiliki dua undang-undang arbitrase, satu yang berlaku untuk arbitrase nasional dan satu lagi untuk arbitrase internasional. Untuk perjanjian-perjanjian arbitrase internasional, undang-undang yang berlaku adalah International Arbitration Act (untuk selanjutnya disebut IAA), Chapter 143 A, yang berlaku untuk arbitrase internasional maupun arbitrase non-internasional apabila para pihak memperjanjikan secara tertulis bahwa Part II IAA dan Model Law akan berlaku. IAA memberikan Model Law kekuatan berlaku di Singapura, dengan pengecualian Chapter VIII (tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan).

Hukum Singapura merupakan lex arbitri, mengingat SIAC merupakan institusi arbitrase yang berkedudukan di Singapura. Maka ketentuan IAA berlaku pula untuk arbitrase antara PT APM dan Astro. SIAC sebagai lembaga yang berwenang, selain harus tunduk pada procedural law dan menerapkan substantive law dalam penyelesaian sengketa, juga tunduk pada ketentuan arbitrase internasional Singapura dalam IAA.

2. SIAC Rules tahun 2007 sebagai procedural law (hukum yang mengatur tatacara dalam proses berarbitrase).

Berdasarkan Pasal 17.4 SSA, para

pihak memilih SIAC sebagai institusi arbitrase serta menyatakan bahwa SIAC Rules akan berlaku dalam proses arbitrase. Sesuai dengan asas pacta sunt servanda (perjanjian bersifat mengikat bagi para pembuatnya) maka mahkamah arbitrase dalam menjalankan proses arbitrase tunduk pada SIAC Rules tahun 2007. SIAC sendiri juga mengadopsi Uncitral Model Law on International Commercial Arbitration.

3. Hukum Singapura sebagai substantive law (hukum yang mengatur mengenai materi perjanjian).

Berdasarkan Pasal 18.5 SSA, “This Agreement shall be governed by and construed in accordance with the laws of the Republic of Singapore.” sesuai dengan asas pacta sunt servanda, maka mahkamah arbitrase ketika memeriksa sengketa antara para pihak yang timbul berdasarkan SSA, memperlakukan hukum Singapura.

D. Penetapan Pengadilan

Setelah memperoleh Putusan Provisi Arbitrase SIAC, pihak Astro mendaftarkan putusan tersebut di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 1 September 2009 untuk dimintakan eksequatur di Indonesia.

Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 05/Pdt/ARB-INT/2009

Dalam Penetapan Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan Peraturan SIAC Nomor: 062 Tahun 2008 tanggal 07 Mei 2009, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

Page 90: Jurnal April 2012

Penolakan Putusan Arbitrase Internasional Dalam Kasus Astro All Asia Network PLC (Mutiara Hikmah) | 75

berpendapat bahwa substansi Putusan Provisi Arbitrase SIAC bukanlah substansi dalam bidang perdagangan; bahwa Putusan Provisi Arbitrase SIAC merupakan intervensi pelaksanaan proses peradilan di Indonesia; dan bahwa Putusan Provisi Arbitrase SIAC bukanlah merupakan putusan final mengenai pokok perkara; oleh karenanya menetapkan bahwa Putusan Provisi Arbitrase SIAC tidak dapat dilaksanakan.

Dalam kasus PT A di atas, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak permohonan pelaksanaan putusan arbitrase asal SIAC yang diajukan oleh pihak PT A . Adapun yang menjadi alasan ketua pengadilan dalam menolak pelaksanaan putusan arbitrase internasional asal SIAC tersebut adalah:

- Bahwa substansi Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan SIAC, telah melebihi kewenangan yang sudah ditetapkan yaitu telah mengintervensi pelaksanaan proses peradilan di Indonesia yang telah berjalan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, maka Putusan Arbitrase Internasional dimaksud tidak dapat dijalankan (Non Eksekutorial);

- Bahwa setelah diteliti dan dipelajari permasalahan dalam berkas perkara Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan SIAC yang diputus tanggal 7 Mei 2009, adalah ternyata Putusan Arbitrase Internasional tersebut bukan merupakan putusan akhir/final;

- Bahwa sengketa dalam putusan arbitrase SIAC, bukanlah sengketa mengenai ruang lingkup hukum perdagangan sebagaimana ditentukan

dalam Pasal 66 butir (b) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999;

- Bahwa untuk mencegah kekeliruan yang timbul di kemudian hari, apabila permohonan eksekuatur tersebut tetap dilaksanakan, maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memandang perlu untuk menyatakan bahwa Putusan Arbitrase SIAC tidak dapat dilaksanakan (non eksekuatur).

Atas penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap putusan Arbitrase SIAC, dalam hal ini penulis tidak sependapat. Adapun beberapa alasannya adalah:

1. Bahwa putusan arbitrase tersebut telah melebihi kewenangan yang sudah ditetapkan yaitu telah mengintervensi pelaksanaan proses peradilan di Indonesia. Hal tersebut kurang tepat, mengingat di dalam Undang-Undang Arbitrase dinyatakan di dalam Pasal 3, bahwa pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Kemudian di dalam Pasal 11 ayat (1) dinyatakan bahwa, adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke pengadilan negeri.

2. Bahwa adalah ternyata Putusan Arbitrase Internasional tersebut bukan merupakan putusan akhir/final. Hal tersebut kurang tepat, mengingat prinsip umum dalam perjanjian arbitrase, bahwa putusannya bersifat final dan binding. Hal ini seperti yang diatur di dalam Undang-Undang Arbitrase Pasal 60 dan di dalam Konvensi New York 1958, Pasal 3.

Page 91: Jurnal April 2012

76 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 64-83

3. Bahwa sengketa dalam putusan arbitrase SIAC, bukanlah sengketa mengenai ruang lingkup hukum perdagangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 66 butir (b) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. Menurut penulis hal ini kurang tepat, mengingat kerjasama di bidang penyiaran televisi adalah kerjasama di bidang jasa, dalam hal ini termasuk ke dalam bidang perniagaan. Di samping itu kerjasama mengenai permodalan yang berupa saham, juga termasuk dalam bidang keuangan, sehingga ruang lingkup putusan arbitrase SIAC tersebut termasuk ke dalam ruang lingkup hukum perdagangan, sesuai dengan penjelasan Pasal 66 butir (b) UU Arbitrase.

2.2. Analisis Putusan Mahkamah Agung RI, menguatkan penolakan putusan SIAC

Astro mengajukan kasasi terhadap penetapan Putusan Provisi Arbitrase SIAC oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Mahkamah Agung dalam Putusan No. 01 K/Pdt.Sus/ 2010 berpendapat bahwa penolakan pemberikan eksequatur oleh pengadilan negeri sudah benar dan tepat, karena perintah dalam Putusan Provisi Arbitrase SIAC untuk menghentikan proses peradilan di Indonesia adalah melanggar asas sovereignty Negara Republik Indonesia, bahwa tidak ada suatu kekuatan asing pun yang dapat mencampuri proses hukum yang sedang berjalan di Indonesia. Hal ini dipandang melanggar ketertiban umum (public orde) di Indonesia; materi yang termuat dalam Putusan Provisi Arbitrase SIAC bukan termasuk dalam bidang perdagangan tetapi termasuk dalam hukum acara.

Beberapa pendapat yang dijadikan alasan oleh Mahkamah Agung RI adalah, pertama Judex Facti (pengadilan negeri) tidak salah menerapkan

hukum, dari segi hukum acara dan dari segi hukum materiil. Kedua, bahwa dari segi hukum materiil, penolakan pemberian eksekuatur oleh Judex Facti adalah sudah benar dan tepat.

Ketiga, bahwa perintah dalam putusan arbitrase SIAC, untuk menghentikan proses peradilan di Indonesia, adalah melanggar asas souvereignty dari Negara Republik Indonesia. Tidak ada sesuatu kekuatan asing pun yang dapat mencampuri proses hukum yang sedang berjalan di Indonesia. Hal ini jelas melanggar ketertiban umum di Indonesia dan materi yang termuat dalam Putusan Arbitrase SIAC tersebut bukan termasuk dalam bidang perdagangan, tetapi termasuk dalam hukum acara.

Menurut penulis penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asal SIAC oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Mahkamah Agung RI, adalah kurang tepat. Sehubungan dengan pertimbangan yang disampaikan oleh Mahkamah Agung RI, dalam hal ini penulis berpendapat, bahwa: seharusnya, hakim pada instansi ini lebih cermat lagi memeriksa penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, mengenai sudahkan Pasal 66 Undang-Undang Arbitrase diteliti dan diterapkan dengan seksama. Selain itu, apakah dasar-dasar penolakan yang diberikan oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sesuai dengan dasar-dasar penolakan yang diatur di dalam Konvensi New York 1958.

Dalam hal penolakan putusan arbitrase internasional, Konvensi New York 1958 memberi kesempatan kepada negara peserta konvensi untuk melakukan penolakan terhadap putusan arbitrase internasional, jika memenuhi syarat-syarat seperti yang diatur di dalam Pasal V (1) Konvensi, antara lain:

a. Para pihak dalam perjanjian seperti yang

Page 92: Jurnal April 2012

Penolakan Putusan Arbitrase Internasional Dalam Kasus Astro All Asia Network PLC (Mutiara Hikmah) | 77

diatur dalam Pasal II, menurut hukum yang berlaku, tidak mempunyai kapasitas, atau perjanjian tersebut tidak sah menurut hukum yang berlaku, atau tidak ada petunjuk bahwa perjanjian tersebut sah, berdasarkan hukum negara di mana putusan itu dibuat;

b. Pihak yang diminta untuk melaksanakan putusan tidak mendapat pemberitahuan yang wajar mengenai penunjukan para arbitrator atau dalam proses arbitrase ia tidak dapat menyampaikan kasusnya;

c. Putusan berkenaan dengan hal yang berbeda atau tidak sesuai dengan hal-hal yang diajukan kepada arbitrator, atau putusan mengandung hal-hal di luar ruang lingkup pengajuan arbitrase;

d. Komposisi dari kekuasaan arbitrase atau prosedur arbitrase tidak sesuai dengan perjanjian yang dibuat oleh para pihak, atau persetujuan itu gagal, jika tidak sesuai dengan hukum negara di tempat arbitrase berlangsung;

e. Putusan belum mempunyai kekuatan mengikat terhadap para pihak, atau telah dikesampingkan atau ditangguhkan oleh otoritas yang berwenang di negara atau berdasarkan hukum negara di mana putusan itu dibuat.

Pada prinsipnya, putusan arbitrase internasional seharusnya mendapat pengakuan dan dapat dilaksanakan di Indonesia. Hal ini disebabkan, karena sejak tanggal 7 Oktober 1981, Indonesia telah terikat dalam suatu Perjanjian Internasional yang mengatur tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Jika melihat putusan arbitrase tersebut berasal dari lembaga arbitrase di Singapura, yaitu

SIAC, maka dapat diketahui bahwa Singapura dan Indonesia adalah sesama anggota Konvensi New York 1958. Keanggotaan Singapura pada konvensi tersebut, terhitung sejak 21 Agustus 1986. Jika mempelajari, bahwa kedua negara adalah sesama anggota Konvensi New York 1958, maka hal ini telah memenuhi asas resiprositas, seperti yang diatur di dalam Pasal 66 butir (a) Undang-Undang Arbitrase.

Berdasarkan Pasal 66 butir (b) Undang-Undang Arbitrase, pelaksanaan putusan arbitrase internasional hanya berlaku terbatas pada bidang hukum perdagangan. Jika mempelajari lebih jauh mengenai penjelasan pasal tersebut, bahwa yang dimaksud dengan ruang lingkup hukum perdagangan adalah kegiatan-kegiatan antara lain di bidang perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak kekayaan intelektual. Berdasarkan Hukum Indonesia, pendirian perusahaan patungan merupakan bentuk penanaman modal secara langsung di Indonesia. Bila mempelajari ruang lingkup sengketa, maka sengketa pada perkara ”A” termasuk ruang lingkup hukum perdagangan. Sehingga putusan arbitrase tersebut seharusnya dapat dilaksanakan di Indonesia.

Berdasarkan Pasal 66 butir (c) Undang-Undang Arbitrase, putusan arbitrase yang dapat dilaksanakan di Indonesia adalah putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum di Indonesia. Mahkamah Agung berpendapat, bahwa jika pelaksanaan putusan arbitrase asal SIAC di atas diberikan, maka akan melanggar ketertiban umum di Indonesia. Pertanyaan selanjutnya adalah, ketertiban umum yang mana yang dilanggar, apabila putusan arbitrase tersebut dilaksanakan di Indonesia. Mengingat sampai saat ini, tidak ada batasan yang jelas mengenai ketertiban umum. Hal ini dikarenakan sifat

Page 93: Jurnal April 2012

78 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 64-83

ketertiban umum yang bersifat sangat relatif. Pada Pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990, mengenai Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing Di Indonesia, dikatakan yang dimaksud dengan Ketertiban Umum adalah sendi-sendi asasi dan susila sang hakim. Dari definisi tersebut, dapat dikatakan masih abstraknya konsep ketertiban umum. Hal ini akan membuat hakim menafsirkan konsep tersebut berbeda-beda.

Mengenai penolakan terhadap putusan arbitrase internasional seperti yang disebutkan dalam Pasal V ayat (2) butir (b) karena alasan bertentangan dengan ketertiban umum, banyak dilakukan dalam praktek pengadilan di negara-negara lain. Dapat dilihat penerapan Pasal V ayat (2) butir (b) yang membolehkan penolakan pelaksanaan putusan arbitrase internasional karena alasan ketertiban umum dalam beberapa putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat dan bagaimana Mahkamah Agung Amerika Serikat menafsirkan konsep ketertiban umum.

Hal ini seperti terlihat dalam perkara antara Bremen melawan Zapata Off-Shore (5th Circuit, 1972). Dalam perkara antara Vimar Seguros y Reaseguros, S.A. melawan M/V Sky Reefer (1995), Mahkamah Agung Amerika Serikat memutuskan bahwa klausula arbitrase dalam sebuah bill of lading dapat dilaksanakan berdasarkan Federal Arbitration Act, sekalipun klausula tersebut mencakup penyelesaian sengketa melalui arbitrase di Jepang berdasarkan Hukum Jepang dan dalam Underlying Contract terdapat klausula yang menyimpangi hukum Amerika Serikat, yaitu Carriage of Goods by Seas Act (COGSA).

Dalam perkara antara Fitzroy Engineering, Ltd. v. Flame Engineering, Inc., 1994 (N.D. 1994), Mahkamah Agung Amerika Serikat memutuskan

bahwa putusan arbitrase yang memenangkan pihak kontraktor New Zealand atas sub-kontraktor AS dapat dilaksanakan. Pihak termohon eksekusi (perusahaan AS) mengajukan argumen bahwa putusan arbitrase ini bertentangan dengan ketertiban umum AS karena adanya benturan kepentingan antara pihak penasehat hukum perusahaan AS itu dengan pihak kontraktor New Zealand.

Benturan kepentingan ini terjadi karena penasehat hukum tersebut pernah mewakili sebuah perusahaan joint venture salah satu anggotanya adalah pemerintah New Zealand dan operator mesin yang sedianya akan mengoperasikan mesin yang seharusnya dibangun oleh perusahaan AS tersebut. Namun argumentasi ini ditolak oleh pengadilan karena pihak termohon eksekusi dianggap kurang dapat membuktikan bahwa benar penasehat hukum tersebut pernah mewakili perusahaan joint venture.

Selain itu, pengadilan berpendapat bahwa pihak termohon eksekusi tidak dapat membuktikan bagaimana sesungguhnya hubungan antara penasehat hukum tersebut dan perusahaan joint venture akan dapat mempengaruhi hasil putusan arbitrase (Andrew M. Campbell “Refused to Enforce Foreign Arbitral Awards on Public Policy Grounds”. https://web2.westlaw.com/find/default.wl?care.html, 1 November 2010).

Jika memperhatikan tentang teori hak-hak yang telah diperoleh, seharusnya hakim di pengadilan maupun di Mahkamah Agung RI, menghormati tentang hak-hak yang telah diperoleh pihak ASTRO yang memenangkan perkara di hadapan lembaga arbitrase SIAC. Menurut penulis, penolakan putusan arbitrase internasional asal SIAC di atas, hanya menambah deretan panjang mengenai kurang kondusifnya

Page 94: Jurnal April 2012

Penolakan Putusan Arbitrase Internasional Dalam Kasus Astro All Asia Network PLC (Mutiara Hikmah) | 79

negara Indonesia bagi pelaksanaan putusan arbitrase internasional.

Hal ini bisa berakibat menjadi preseden buruk bagi pelaku usaha-pelaku usaha asing yang akan memohon pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia. Berdasarkan data di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat per 31 Desember 2011, sejak ditolaknya putusan arbitrase internasional asal SIAC pada perkara ASTRO, belum ada lagi pendaftaran permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Salah satu pakar dan praktisi hukum menilai, bahwa dengan ditolaknya putusan arbitrase internasional tersebut, memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap kepercayaan investor asing atau pelaku usaha asing di Indonesia (Lubis, Media Indoneasia.com, 23 Februari 2010).

SIMPULANIV.

Dari pemaparan tulisan di atas, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan oleh penulis sehubungan dengan penolakan putusan arbitrase internasional asal SIAC, antara lain:

1. Bahwa penolakan putusan yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap putusan arbitrase internasional asal SIAC dalam perkara PT A , adalah kurang tepat, mengingat dasar-dasar penolakan yang diberikan oleh hakim masih belum berpedoman dengan konvensi New York dan Undang-Undang Arbitrase; Adapun beberapa alasannya adalah:

a. Putusan arbitrase tersebut telah melebihi kewenangan yang sudah ditetapkan yaitu telah mengintervensi

pelaksanaan proses peradilan di Indonesia. Hal tersebut kurang tepat, mengingat di dalam Undang-undang Arbitrase dinyatakan di dalam Pasal 3, bahwa pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Kemudian di dalam Pasal 11 ayat (1) dinyatakan bahwa, adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke pengadilan negeri.

b. Putusan arbitrase internasional tersebut bukan merupakan putusan akhir/final. Hal tersebut kurang tepat, mengingat prinsip umum dalam perjanjian arbitrase, bahwa putusannya bersifat final dan binding. Hal ini seperti yang diatur di dalam Undang-Undang Arbitrase Pasal 60 dan di dalam Konvensi New York 1958, Pasal 3.

c. Sengketa dalam putusan arbitrase SIAC, bukanlah sengketa mengenai ruang lingkup hukum perdagangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 66 butir (b) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. Menurut penulis hal ini kurang tepat, mengingat kerjasama di bidang penyiaran televisi adalah kerjasama di bidang jasa, dalam hal ini termasuk ke dalam bidang perniagaan. Di samping itu kerjasama mengenai permodalan yang berupa saham, juga termasuk dalam bidang keuangan, sehingga ruang lingkup

Page 95: Jurnal April 2012

80 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 64-83

putusan arbitrase SIAC tersebut termasuk ke dalam ruang lingkup hukum perdagangan, sesuai dengan penjelasan Pasal 66 butir (b) Undang-Undang Arbitrase.

2. Putusan Mahkamah Agung RI yang menguatkan penolakan pelaksanaan putusan arbitrase internasional asal SIAC dalam perkara PT A, adalah kurang tepat, mengingat peran Mahkamah Agung sebagai Guardian of The Awards. Seharusnya penelitian yang dilakukan oleh Mahkamah Agung mengenai penolakan putusan arbitrase internasional tersebut dilakukan secara seksama dan mendalam. Menurut penulis penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asal SIAC oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Mahkamah Agung RI, adalah kurang tepat. Sehubungan dengan pertimbangan yang disampaikan oleh Mahkamah Agung RI, dalam hal ini penulis berpendapat, bahwa: Seharusnya, hakim pada instansi ini lebih cermat lagi memeriksa penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, mengenai sudahkan Pasal 66 Undang-Undang Arbitrase diteliti dan diterapkan dengan seksama. Selain itu, Apakah dasar-dasar penolakan yang diberikan oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sesuai dengan dasar-dasar penolakan yang diatur di dalam Konvensi New York 1958.

Pada prinsipnya, putusan arbitrase internasional seharusnya mendapat pengakuan dan dapat dilaksanakan di Indonesia. Hal ini disebabkan, karena sejak tanggal 7 Oktober 1981, Indonesia telah terikat dalam suatu Perjanjian Internasional yang mengatur tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.

Jika melihat putusan arbitrase tersebut berasal dari lembaga arbitrase di Singapura, yaitu SIAC, maka dapat diketahui bahwa Singapura dan Indonesia adalah sesama anggota Konvensi New York 1958. Keanggotaan Singapura pada konvensi tersebut, terhitung sejak 21 Agustus 1986. Jika mempelajari, bahwa kedua negara adalah sesama anggota Konvensi New York 1958, maka hal ini telah memenuhi asas resiprositas, seperti yang diatur di dalam Undang-Undang Arbitrase.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Abrurrachman A. 1991. Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan dan Perdagangan. Jakarta: Pradnya Paramita.

Abdurrasyid, Priyatna. 2002. Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa. Cetakan pertama. Jakarta: PT Fikahati Aneska bekerjasama dengan Badan Arbitrase Nasional Indonesia.

Adolf, Huala. 1991. Arbitrase Komersial Internasional. Jakarta: Rajawali Press.

-----------------. 1990. Pelaksanaan Keputusan Badan Arbitrase Komersil Intenasional Menurut Konvensi New York 1958. Varia Peradilan, No.58, Juli 1990. Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia.

-----------------. 1994. Hukum Arbitrase Komersial Internasional. Jakarta: Radjagrafindo.

-----------------. 2008. Dasar-dasar Hukum Kontrak Internasional. Cetakan kedua. Bandung: Refika Aditama.

Black, Henry Campbell. 1968. Black’s Law

Page 96: Jurnal April 2012

Penolakan Putusan Arbitrase Internasional Dalam Kasus Astro All Asia Network PLC (Mutiara Hikmah) | 81

Dictionary. Revised fourth edition. St.Paul, Minnesota: West Publishing Co.

Cheshire & Norths. 1992. Private International Law. Twelfth edition. London: Butterworths.

Elkouri, Frank & Edna Elkouri. 1974. How Arbitration Works. Washington D.C.

Gautama, Sudargo. 1979. Arbitrase Dagang Internasional. Cetakan I. Bandung: Alumni.

-----------------. 1982. Soal-soal Aktual Hukum Perdata Internasional. Cetakan I. Bandung: Alumni.

-----------------. “Konsep Rancangan Undang-Undang Hukum Perdata Internasional Indonesia”, disajikan dalam Lokakarya Hukum Perdata Internasional Indonesia, yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, di Jakarta 29 September 1983.

-----------------. 1985. Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional. Cetakan I. Bandung: Alumni.

-----------------. 1989. Perkembangan Arbitrase Dagang Internasional Di Indonesia. Bandung: PT. Eresco.

-----------------. 1991. Hukum Dagang Dan Arbitrase Internasional. Cetakan I. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

-----------------. 1992. Hukum Perdata Internasional Indonesia. Jilid I, buku 1. Cetakan V. Bandung: Alumni.

-----------------. 1995. Hukum Perdata

Internasional Indonesia. Jilid II bagian 4, buku kelima. Bandung: Alumni.

-----------------. 1995. Indonesian Business Law. Cetakan I. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

-----------------. 1996. Aneka Hukum Arbitrase (Ke Arah Hukum Arbitrase Indonesia Yang Baru). Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

-----------------. 1998. Hukum Perdata Internasional Indonesia. Cetakan ketiga. Jilid III bagian 2. Buku ke-8. Bandung: Alumni.

Hartono, Sunarjati. 1976. Pokok-pokok Hukum Perdata Internasional Indonesia. Cetakan I. Bandung: Binacipta.

-----------------. 1982. In Search of New Legal Principles. Bandung: Binacipta.

-----------------. 1976. Kapita Seleka Hukum Ekonomi. Jakarta: Binacipta.

Janvan Den Berg, Albert. 1981. The New York Arbitration Convention of 1958. Netherlands: Kluwer Law & Taxation Publishers.

Kusumah Atmadja, Asikin Z. 1973. Commercial Arbitration, Present and future Role of Commercial. Jakarta: The Law Association for The Asia And The Western Pacific.

-----------------. 1998. Arbitrase Perdagangan Internasional. Bunga Rampai Eksekusi Putusan Arbitrase Asing. Jakarta: Mahkamah Agung RI.

Longdong, Tineke Tuegeh. 1998. Asas Ketertiban Umum dan Konvensi New York 1958. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Page 97: Jurnal April 2012

82 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 64-83

Prodjodikoro, Wirjono. 1954. Asas-Asas Hukum Perdata Internasional. Cetakan kedua. Jakarta: Van Dop & Co.

Purbacaraka, Purnadi dan Agus Brotosusilo. 1991. Sendi-sendi Hukum Perdata Internasional (Suatu Orientasi). Cetakan III. Jakarta: Rajawali Pers.

Rajagukguk, Erman. 2000. Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan. Jakarta: Chandra Pratama.

Sumampouw, Mathilde. 1958. Pilihan Hukum Sebagai Titik Pertalian Dalam Hukum Perjanjian Internasional. Jakarta: Disertasi Doktor FHUI.

Suparman, Eman. 2004. Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan. Jakarta: Tatanusa.

Yuhassarie, Emmy. (editor). 2003. Proceedings, Arbitrase dan Mediasi. Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum.

Zuraida, Tin. 2009. Prinsip Eksekusi Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia, Teori dan Praktek Yang Berkembang. Surabaya: PT Wastu Lanas Grafika.

Karya Ilmiah/Disertasi:

Mathilde, Sumampouw. 1958. Pilihan Hukum Sebagai Titik Pertalian dalam Hukum Perjanjian Internasional. Jakarta: Disertasi Doktor FHUI.

Suparman, Eman. 2004. Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan Keadilan. Semarang: Disertasi Universitas Diponegoro.

Wibowo, Basuki Rekso. 2007. ”Arbitrase

Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdagangan di Indonesia”. Surabaya: Disertasi Universitas Airlangga.

Zuraida, Tin. 2006. ”Prinsip Eksekusi Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia, Teori dan Praktek Yang Berkembang”. Surabaya: Disertasi Universitas Airlangga.

Internet:

Budidjaja, Tony. ”Pembatalan Putusan Arbitrase di Indonesia”. Akses 30 Oktober 2007. http://cms.sp.co.id/hukumonline/detail.asp?id=13217&cl=Kolom>.

Blum, George L. ”Setting Aside Arbitration award on Ground of interest or bias arbitrators, commercial,bussiness”. Akses 1 November 2007. https://web2.westlaw.com/find/default.wl?care.html.

Campbell, Andrew M. “Refused to Enforce Foreign Arbitral Awards on Public Policy Grounds”. Akses 1 November 2007. https://web2.westlaw.com/find/default.wl?care.html.

”Hakim Dan Mafia Peradilan”. Akses 17 Maret 2008. http://www.kompas.com/31 Agustus 2007.

Hukum Online,” Pengguna SIAC Asal Indonesia Terus Meningkat, Bagaimana nasib BANI?,”(Jakarta, 28/11/2006). Akses 24 Januari 2008. http://hukumonline.com/detail.asp?id.

Parish, Matthew. “The Proper Law of an Arbitration Agreement”. Akses 25 November 2010. http://login.westlaw.co.uk/maf/wluk/app/delivery?&docguide.

Page 98: Jurnal April 2012

Penolakan Putusan Arbitrase Internasional Dalam Kasus Astro All Asia Network PLC (Mutiara Hikmah) | 83

Rosenhouse, Michael.A. “Confirmation of Foreign Arbitral Awards Under Convention on Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards”. Akses 1 November 2007. https://web2.westlaw.com/find/default.wl?care.html.

Rubins, Noah.”The Enforcement and Annulment of International Arbitration in Indonesia”. Akses 1 November 2007. https://web2.westlaw.com/World Journals/default.wl?n=top&rs.html.

UNCITRAL. “UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration”. Akses 30 Oktober 2010. <http://www.uncitral.org/pdf/english/texts/arbitration.ml-arb/06-54671/Ebook.pdf.

Peraturan Perundang-undangan dan Konvensi Internasional:

Indonesia. Keputusan Presiden RI tentang Pengesahan Konvensi New York tahun 1958. Keppres No.34, L.N. No.40 Tahun 1981.

--------. Undang-Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.UU No. 30, L.N. No.138 Tahun 1999.

-------. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas).

-------. Keputusan Presiden RI tentang Penangguhan/Pengkajian Kembali Proyek Pemerintah, BUMN Dan Swasta yang berkaitan Dengan Pemerintah BUMN. Keppres No. 39 Tahun 1997.

-------. Keppres No. 5 Tahun 1998.

Mahkamah Agung RI. Peraturan Mahkamah

Agung RI tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing di Indonesia. Perma RI No. 1 Tahun 1990.

Geneva Convention on The Execution of Foreign Arbitral Awards 0f 1927.

New York Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards of 1958.

United Nation Commission on International Trade Law. Model Law on International Commercial Arbitration.

Page 99: Jurnal April 2012

84 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 84-98

AbstrActPatent as legal construction gives legal protection for the invention which fulfills requirements for a patentable invention, such as: novelty, non-obviousness/inventive steps and industrial applicability. In order to create legal certainty and justice, the judge should pay attention to the specification of patent (in the claim) and the application of worldwide novelty, also function way result test, especially in this case. In the claim, it is required to state and clarify precisely the elements of invention for which protection is sought. Thus, the claim should be composed of a description or explanation of the essence of the invention. The scope or the extent of patent protection is based on the claim. The essence of protection also depends on the claim; therefore the infringement depends on the interpretation of the claim, filing date, state of the art and prior art scope of the claim.

Keywords: patent, worldwide novelty, function-way-result test.

ABSTRAKPaten sebagai konstruksi hukum memberikan perlindungan hukum bagi penemuan yang memenuhi persyaratan paten, yaitu: unsur kebaruan dari penemuan; langkah inventif yang terkandung dalam penemuan; serta dapat atau tidaknya penemuan diterapkan dalam industri. Untuk menciptakan kepastian hukum dan keadilan, hakim harus memperhatikan spesifikasi paten (dalam klaim) dan kebaruan penemuan tersebut di seluruh dunia, juga function-way-result test, terutama dalam kasus ini. Dalam pengajuan paten diwajibkan untuk mengungkapkan secara tepat unsur-unsur dari penemuan yang dimintakan perlindungan. Dengan demikian, dalam aplikasi hendaklah tertulis deskripsi tentang esensi dari penemuan. Ruang lingkup atau luasnya perlindungan paten tergantung pada klaim, klaim menunjukkan inti dari penemuan, sehingga untuk menilai pelanggaran paten tergantung pada interpretasi klaim, filing date, state of the art dan cakupan klaim paten terdahulu (prior art).

Kata kunci: paten, worldwide novelty, function-way-result test.

PENERAPAN WORLD WIDE NOvELTy DAN fUNCTION-WAy–RESULT TEST PADA PATEN

Endang Purwaningsih, Fakultas Hukum Universitas YARSI Jalan Letjen Suprapto Cempaka Putih Jakarta

Email: [email protected] atau [email protected]

Kajian Putusan Nomor 075 PK/Pdt.Sus/2009

THE APPLICATION Of WORLDWIDE NOvELTy AND fUNCTION-WAy RESULT-TEST ON PATENT

Endang Purwaningsih, Faculty of law of University of YARSIJalan Letjen Suprapto Cempaka Putih Jakarta

Email: [email protected] atau [email protected]

An Analysis of Decision Number 075 PK/Pdt.Sus/2009

Page 100: Jurnal April 2012

Penerapan World Wide Novelty dan Function-Way-Result Test Pada Paten (Endang Purwaningsih) | 85

PENDAHULUANI.

Dalam rangka mendapatkan paten, suatu penemuan harus memenuhi syarat substantif tertentu, yaitu kebaruan (novelty), bisa dipraktekkan dalam industri (industrial applicability) mempunyai nilai langkah inventif (inventive step), juga memenuhi syarat formal. Penentuan bahwa suatu penemuan yang dimintakan paten dapat diberi atau tidak dapat diberi paten dilakukan antara lain dengan mempertimbangkan: (1) kebaruan penemuan (novelty); (2) langkah inventif yang terkandung dalam penemuan (inventive step); (3) dapat atau tidaknya penemuan diterapkan atau digunakan dalam industri (industrial applicable); (4) penemuan yang bersangkutan tidak termasuk dalam kelompok penemuan yang tidak dapat diberikan paten; (5) penemu atau orang yang menerima lebih lanjut hak penemu berhak atas paten bagi penemuan tersebut; dan (6) penemuan tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum serta kesusilaan. Jadi pada hakikatnya, sebuah penemuan dapat dikatakan Ppatentable bila memenuhi ketiga syarat substantif tersebut, yaitu novelty, dapat diterapkan dalam industri, dan mengandung langkah inventif.

Berdasarkan fictie hukum, maka sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, maka berlakulah materi yang tertuang dalam UU tersebut. Dalam kasus SE versus PT NEI diketahui bahwa SE selaku tergugat pada kasus patent infringement ini telah dikalahkan oleh PT NEI selaku penggugat, baik pada tingkat pertama (Pengadilan Negeri) maupun pada tingkat kasasi (Mahkamah Agung) sehingga mengajukan Peninjauan Kembali (PK) yang akhirnya tetap memenangkan penggugat (PT NEI). PT NEI adalah pabrikan dan distributor

atas barang berupa dispenser yang dilengkapi dengan pintu untuk menutup keran, di Indonesia barang dispenser tersebut diperoleh dari eksportir di Cina.

Penggugat telah mendistribusikan dan/atau memperdagangkan barang berupa dispenser yang dilengkapi dengan pintu tersebut di Indonesia sejak tahun 2004 dan setelah menjalankan usahanya tersebut selama sekitar 5 (lima) tahun, penggugat baru mengetahui bahwa SE (tergugat) telah memiliki paten sederhana atas dispenser yang dilengkapi dengan pintu untuk menutup keran tersebut tertanggal 4 Januari 2005 dengan nomor Pendaftaran ID 0 000553 S. Penggugat merasa berkepentingan terhadap masalah ini, sehingga mengajukan gugatan pembatalan paten sederhana tersebut; dengan alasan bahwa invensi tersebut tidak memiliki kebaruan lagi karena sudah diungkapkan sebelumnya.

Sebaliknya dalam eksepsinya tergugat (SE) mengajukan exceptio Disqualificative, Exceptio Plurium Litis Consortium dan Exceptio Obscuur Libel, yakni mendasarkan pada sudah terbitnya sertifikat paten sederhana atas nama SE, gugatan kurang pihak yang menurut tergugat seharusnya juga Ditjen HKI dijadikan tergugat (akan tetapi dilakukan pembatalan pihak oleh penggugat) dan gugatan kabur serta prematur. Menurut tergugat, invensinya merupakan invensi baru terbukti telah dilakukan pemeriksaan substantif di Direktorat Paten dengan dokumen pembanding US-5 348 192 dan US 5 718 261.

Pengadilan Niaga pada PN Jakarta Pusat melalui putusan nomor 42/PATEN/2008/PN.NIAGA.JKT.PST telah mengabulkan gugatan penggugat (PT NEI) dan menyatakan bahwa invensi yang dimuat pada Paten Sederhana nomor ID 0000 553 S tersebut tidak memenuhi unsur

Page 101: Jurnal April 2012

86 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 84-98

kebaruan yang disyaratkan oleh UU Paten serta membatalkannya. Demikian pula Mahkamah Agung RI melalui putusan nomor 861 K/Pdt. Sus/2008 telah menguatkan putusan PN tersebut, yakni menolak permohonan kasasi dari tergugat (SE).

Selanjutnya tergugat (SE) mengajukan peninjauan kembali atas kasus tersebut dengan bukti baru (novum) berupa surat tembusan Buku Register Hak Paten nomor Hak Paten 0234861.5 tanggal 19 September 2002 dan gambar Mesin Air Minum (dispenser) tanpa dilengkapi dengan pintu yang dikeluarkan Direktorat HKI RRC dengan nomor klasifikasi 3100 dan hak paten telah berakhir pada 19 September 2003 dikarenakan tidak melunasi iuran tahunan dalam waktu yang ditentukan. Dalam hal ini SE mendalilkan bahwa Sertifikat Paten dari RRC tersebut cacat hukum sehingga menjadi batal hukum dan tidak berkekuatan hukum.

Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan-alasan peninjauan kembali tersebut tidak dibenarkan karena bukti yang diajukan SE (sebagai pemohon kasasi) bukanlah novum. Bukti yang diajukan pemohon kasasi ternyata telah diajukan sebagai bukti pada peradilan tingkat pertama di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat sehingga bukti tersebut tidak bersifat menentukan karena telah dipertimbangkan oleh hakim di PN tersebut.

Demikian pula ternyata produk model dispenser yang didistribusikan/diperdagangkan oleh SE merupakan produk terbaru tahun 2003 yang telah beredar di pasaran Medan dan Palembang pada bulan Maret 2004, sedangkan pendaftaran Paten Sederhananya dengan judul ”Dispenser yang dilengkapi dengan pintu penutup keran” adalah pada tanggal 15 April 2004, sehingga MA berpendapat bahwa invensi

yang diajukan tergugat (pemohon Kasasi) bukan merupakan invensi baru.

Mahkamah Agung dengan memperhatikan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, serta memperhatikan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 maka telah memutuskan untuk menolak permohonan peninjauan kembali dari pemohon PK (SE) tersebut dan menghukum pemohon PK untuk membayar biaya perkara pemeriksaan PK sebesar Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah).

RUMUSAN MASALAHII.

Dari uraian latar belakang di atas, menurut Hukum Paten, diajukan rumusan masalah sebagai berikut:

(1). Apakah syarat patentability invention khususnya worldwide novelty diterapkan secara tepat pada kasus tersebut oleh hakim?

(2). Bagaimanakah seharusnya penerapan function-way-result test pada kasus tersebut?

STUDI PUSTAKA DAN ANALISISIII.

A. Studi Pustaka

Telah diketahui bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, dalam rangka memperoleh paten maka suatu penemuan harus memenuhi syarat substantif tertentu, yaitu kebaruan (novelty), bisa dipraktekkan dalam perindustrian (industrial applicability), mempunyai nilai langkah inventif

Page 102: Jurnal April 2012

Penerapan World Wide Novelty dan Function-Way-Result Test Pada Paten (Endang Purwaningsih) | 87

(inventive step/non obviousness), juga memenuhi syarat formal.

Menurut Saidin (2010: 127) bahwa kelemahan inventor Indonesia itu terletak pada ketidakmampuannya untuk melakukan langkah inventif terhadap invensi yang sudah ada sebelumnya. Di AS dan Jepang di Kantor Paten setiap hari dipenuhi oleh tenaga-tenaga ahli peneliti untuk mempelajari formula paten yang telah ada dan mereka mencari langkah inventif untuk dapat dilindungi menjadi paten baru. Merujuk pendapat tersebut, kelengkapan online digital library atau fasilitas discovery search harus digalakkan baik di Ditjen HKI maupun di lembaga riset dan kampus.

Khusus mengenai kebaruan, sifat baru pada penemuan mutlak akan hilang apabila ada publikasi dengan cara bagaimanapun, dan di negara manapun, atau pernah diketahui dengan cara bagaimanapun, dan di negara manapun sebelum aplikasi diajukan. Kebaruan relatif berarti sifat baru dari suatu temuan itu akan hilang apabila ada publikasi di negara manapun atau penggunaan setempat yang diketahui umum sebelum aplikasi diajukan. Jadi, Indonesia dalam hal syarat kebaruan menganut sistem kebaruan yang luas (world wide novelty), hal itu dapat dilihat dari ketentuan yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan mengenai paten, baik pada peraturan yang lama maupun pada peraturan perundang-undangan yang baru. Ketentuan Pasal 3 Undang-Undang tentang Paten, menunjukkan syarat kebaruan yang luas, yaitu: bahwa suatu penemuan tidak dianggap baru, jika pada saat pengajuan permintaan paten, penemuan tersebut telah diumumkan di Indonesia atau di luar Indonesia dalam suatu tulisan, uraian lisan atau melalui peragaan, atau dengan cara lain yang memungkinkan seorang ahli untuk melaksanakan

penemuan (invensi) tersebut sebelum tanggal penerimaan atau tanggal prioritas (Purwaningsih, 2005: 221).

Invensi bisa saja dihasilkan oleh masyarakat umumnya, maupun oleh masyarakat kampus. Invensi yang patentable harus memenuhi novelty, non obviousness/inventive step, dan industrial applicable. Dosen dan mahasiswa dituntut untuk menghasilkan karya ilmiah, jadi bisa saja menghasilkan produk tangible seperti mesin atau robot, ataupun formula obat dan sebagainya. Pembukaan wawasan tentang HKI mutlak diperlukan, serta akses ke Ditjen HKI juga penting untuk mengetahui apakah invensi yang dihasilkan oleh dosen dan mahasiswa ini tidak anticipated by patented invention. Kesadaran hukum akan perlunya perlindungan terhadap invensi dan eksploitasi terhadap invensi tersebut harus ditanamkan bersama dengan pembangunan budaya paten (Purwaningsih, 2009: 30).

Banyak perguruan tinggi yang menghasilkan akademisi yang handal. Lembaga penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi disesaki oleh peneliti yang hebat. Banyak kegiatan riset yang dilakukan. Anggaran sudah dikucurkan walaupun perlu diakui juga tidak terlalu besar jumlahnya oleh pemerintah, tapi kontribusinya terhadap pembangunan berbagai sektor belum optimal (Lakitan, 2009: 179). Demikian pula menurut Endang (2012: 64) tanpa adanya perlindungan hukum maka kegiatan dalam bidang penelitian dan pengembangan tidak akan bergairah, juga diperlukan insentif serta jaminan dari pemerintah agar setiap hasil kreativitas intelektual tidak mudah ditiru oleh pihak lain. Landasan pembenaran paten antara lain adalah insentif untuk kegiatan R&D, rewarding dan paten sebagai sumber informasi bagi improvement and improvement on the improvement. Jadi merujuk

Page 103: Jurnal April 2012

88 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 84-98

pendapat tersebut, pembenaran terhadap peranan paten dalam pertumbuhan industri dan teknologi masih dipertanyakan, perlu diterapkan supaya lebih berperan potensial sesuai prinsip-prinsip paten.

Prinsip-prinsip umum dalam UU Paten antara lain: (1) asas teritorial, (2) paten diberikan atas dasar permohonan (di Indonesia dengan first to file system); (3) kewajiban mengungkapkan penemuan (disclosure clause) dan (4) jangka waktu perlindungan. Dihubungkan dengan patentablility invention dan pemenuhan syarat tersebut, sebenarnya syarat kebaruan (novelty) dapat ditentukan berdasarkan pembatasan-pembatasan tertentu, misalnya daerah (territory), kapan penemuan itu diketahui, dan cara pengumuman penemuan itu kepada masyarakat.

Syarat kebaruan (novelty), yaitu bahwa penemuan yang dimintakan paten tidak boleh lebih dahulu diungkapkan di manapun dan dengan cara apapun. Mengenai syarat kebaruan, bisa bersifat mutlak atau relatif, bersifat mutlak atau dikenal dengan world wide novelty. Di lain pihak, karena kondisi dan kepentingan negara berkembang ada bentuk novelty lokal atau national novelty yang bersifat relatif (Purwaningsih, 2005: 222).

Kebaruan yang disyaratkan di Indonesia sebenarnya bersifat luas (world wide novelty), akan tetapi dalam UUPaten Indonesia, syarat kebaruan luas (Pasal 3 UU Paten) ini kemudian diterapkan secara relatif (dibatasi), ini dapat dilihat dari Pasal 4 UU Paten, yaitu: suatu penemuan tidak dianggap telah diumumkan jika dalam jangka waktu paling lama 6 bulan sebelum tanggal penerimaan:

1. invensi tersebut telah dipertunjukkan dalam suatu pameran internasional di Indonesia atau di luar negeri yang resmi atau diakui sebagai resmi atau

dalam suatu pameran nasional di Indonesia yang resmi atau diakui sebagai resmi.

2. invensi tersebut telah digunakan di Indonesia oleh penemunya dalam rangka percobaan dengan tujuan penelitian dan pengembangan.

Invensi juga dianggap telah diumumkan apabila dalam jangka waktu 12 bulan sebelum penerimaan ternyata ada pihak lain yang mengumumkan dengan cara melanggar kewajiban untuk menjaga kerahasiaan invensi tersebut. Suatu penemuan mengandung langkah inventif jika penemuan tersebut bagi seorang yang mempunyai keahlian biasa dalam bidang teknik yang bersangkutan merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya (non obviousness). Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten, penilaiannya dengan mengacu pada kriteria bahwa suatu invensi merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya dengan memperhatikan keahlian yang ada pada saat permohonan diajukan atau yang telah ada pada saat diajukan permohonan pertama dalam hal permohonan itu diajukan dengan hak prioritas.

Sebuah penemuan agar dilindungi paten harus memenuhi syarat bahwa penemuan itu dapat diterapkan dalam industri. Penemuan yang bersangkutan dapat diproduksi atau digunakan di dalam berbagai jenis industri. Pengertian industri merupakan pengertian yang luas, misalnya apa yang sekarang dipandang sebagai agrobisnis juga merupakan bidang industri. Salah satu hal yang penting dan perlu mendapat perhatian adalah sangat terbatasnya data, dokumentasi, dan informasi mengenai pengetahuan tradisional yang sebenamya telah ada sejak ratusan tahun yang lalu,

Page 104: Jurnal April 2012

Penerapan World Wide Novelty dan Function-Way-Result Test Pada Paten (Endang Purwaningsih) | 89

telah menjadi salah satu sebab diberikannya paten oleh Kantor Paten dengan pertimbangan tidak adanya dokumen pembanding (prior art) yang dapat menggugurkan invensi yang bersangkutan.

Dengan merujuk pada disclosure clause yang terdapat pada prinsip hukum paten, Undang-Undang tentang Paten memungkinkan terjadinya pengembangan teknologi melalui improvement dan improvement on the improvement. Artinya bahwa pengungkapan teknologi melalui publikasi sesuai dengan first to file diharapkan mampu menjadi pendobrak jumlah paten. Selain itu, technological interest dan economic interest mempunyai hubungan saling ketergantungan dengan paten. Suatu penemuan muncul karena kepentingan untuk mengembangkan teknologi dan memajukan perekonomian (industri), sebaliknya hasil dari penemuan tersebut juga menghasilkan keuntungan di bidang teknologi dan ekonomi, bahkan merangsang inovasi selanjutnya untuk makin maju.

Masalah yang paling memerlukan keuletan dan ketekunan serta keterampilan adalah membuat supaya invensi dapat memenuhi syarat dapat dipatenkan; yakni novelty, inventive step dan industrial applicable. Selain itu juga pembuatan klaim pada spesifikasi invensi yang didaftarkan. Dalam permohonan paten harus disertai dengan spesifikasi penemuan yang mengandung deskripsi lengkap tentang penemuan tersebut. Jika deskripsi itu layak untuk mendapatkan paten, negara lalu memberi paten untuk penemuan tersebut. Dengan diberikannya paten, pemegang paten merasa terlindungi, dengan demikian akan memacu pemegang paten itu untuk mengembangkan industrinya.

Oleh karena, pemberian paten hanya dalam waktu 20 tahun, maka bila jangka waktu telah

habis penemuan menjadi public domain. Sebagai public domain eksploitasi terhadap penemuan itu tidak dapat dikatakan sebagai pelanggaran hukum. Dengan kata lain, paten juga memungkinkan pengembangan teknologi atau sebagai insentif pengembangan industri.

Menurut pendapat Haryani (2010: 161-162), di samping perlindungan hukum terhadap paten, juga dikenal adanya perlindungan hukum terhadap Paten Sederhana. Paten Sederhana hanya diberikan untuk satu invensi yang dapat terdiri dari beberapa klaim. Jika menyimak pendapat ini maka bisa saja rancu antara pengertian paten biasa sebagai perlindungan hukum terhadap invensi (bisa mungkin beberapa invensi yang merupakan satu kesatuan/patent family) berhadapan dengan paten sederhana yakni satu invensi dengan beberapa klaim. Perlu ditegaskan baik dalam teori atau praktek, sebenarnya UU Paten Indonesia menganut pendapat yang mana.

Dalam aplikasi paten, fungsi klaim adalah menentukan seberapa jauh luasnya hak atau sempitnya perlindungan paten diberikan, yang sangat tergantung pada seberapa luas atau sempitnya suatu klaim dibuat. Klaim yang terlalu luas belum tentu menguntungkan penemunya sebab mungkin kurang spesifik atau bahkan melanggar klaim paten lainnya. Demikian pula klaim yang terlalu sempit akan merugikan penemu baik dari segi kepentingan ekonomi maupun kepentingan teknologi, karena cakupannya terlalu sempit.

Mengenai sempit atau luasnya perlindungan yang didasarkan pada klaim ini terdapat berbagai aturan ataupun doktrin yang berbeda, yang dicerminkan baik dari perundangan-undangan paten maupun putusan pengadilan. Jadi Klaim dibuat guna mencakup kepentingan teknologi

Page 105: Jurnal April 2012

90 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 84-98

dan kepentingan ekonomi si inventor yang ingin diraup dalam dunia industri, yang nantinya berwujud monopoly patent right.

Pieoroen dalam Beschermingsomvang van Octrooien in Nederland, Duitsland en Engeland (1988) menyatakan bahwa dimungkinkan terjadi ‘discrepancy’ antara the words of the claim dan the extent (scope) of protection. Kesulitan pembuatan rumusan klaim dipahami memungkinkan terjadinya perlindungan melebihi kata-kata klaim. Jadi terdapat penafsiran secara luas (broad interpretation) dan penafsiran secara sempit (narrow interpretation), yang kesemuanya bertujuan menciptakan keadilan dan kepastian hukum.

Sehubungan dengan esensi dan batas lingkup perlindungan itulah, pengadilan sangat penting peranannya untuk menerangkan makna sebenarnya isi peraturan perundang-undangan, juga untuk menggali dan menginterpretasikannya. Misalnya mengenai pelanggaran paten, luas sempitnya scope paten dan lain-lain, peraturan perundangan tidak mengatur secara detail atau kurang jelas, sehingga pengadilan lah yang berperan besar menentukan arti klaim, batasan pelanggaran dan lain-lain; guna mencapai kepastian hukum, keseimbangan dan keadilan. Di dalam prakteknya, ketiga hal tersebut sangat sulit diwujudkan bahkan saling bertentangan satu sama lain (Purwaningsih, 2005: 25).

Untuk menentukan perbedaan secara substantif antara pelbagai invensi, bisa dilakukan dengan pelbagai metode. Banyak teori juga sudah dikemukan oleh banyak ahli misalnya teori equivalensi, means plus function, history estoppel/wrapper estoppel dan teori yang telah dikemukakan Pieroen mengenai The qualifying principle of due care, risk and predictability.

Demikian pula ada teori yang bermaksud untuk mengetes fungsi, cara dan hasil, yang dikenal dengan tes ‘function-way-result’ yang pertama kali diperkenalkan pada kasus Graver Tank tahun 1950. Intinya, bahwa jika secara substansial invensi milik seseorang sama atau mirip dengan fungsi, cara dan hasil yang (terkover klaim) dilindungi paten, maka telah terjadi infringement.

B. Analisis

Memahami bahwa esensi dan luasnya perlindungan paten merupakan sesuatu yang substansial, maka scope of claims sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan paten itu sendiri dalam dunia industri. Dari segi teknologi, penafsiran yang terlalu luas terhadap klaim akan menyebabkan setiap perbaikan atau penyempurnaan terhadap penemuan yang dipatenkan dianggap sebagai pelanggaran, sebaliknya apabila terlalu sempit akan bermunculan teknologi yang mirip-mirip dan sangat mempersempit hak monopoli pemilik paten.

Dari segi ekonomi, sempit atau luasnya perlindungan akan menimbulkan persaingan, baik pada saat aplikasi maupun pada saat pelaksanaan paten di pasar industri. Demikian juga klaim merupakan substansi yang dapat memicu terjadinya sengketa, antara para penemu dengan penemuan yang mirip, yang terdahulu maupun yang kemudian, juga antara berbagai negara yang mengadakan transaksi paten.

Dengan demikian, inti ruang lingkup perlindungan paten tidak sama antara berbagai negara, ada yang didasarkan pada kata-kata dalam klaim dan ada pula yang berdasarkan makna/intisarinya. Jadi perlu dikaji mengenai esensi perlindungan paten, penentuan batas-batasnya dihubungkan dengan technological interest

Page 106: Jurnal April 2012

Penerapan World Wide Novelty dan Function-Way-Result Test Pada Paten (Endang Purwaningsih) | 91

dan economic interest, serta akibat luasnya perlindungan tersebut.

Paten dari sudut pandang kepentingan teknologi, melibatkan berbagai kepentingan yakni dari teknologinya sendiri dan fungsinya, cara kerja, novel atau tidak, applicable atau tidak dan bagaimana improvementnya. Di Jepang untuk mengkualifikasi suatu teknologi dapat dipatenkan atau tidak; dikenal tes Way, Result and Function. Di Amerika juga dikenal discovery system untuk mengecek semua teknologi terdahulu yang pernah dipatenkan. Di Indonesia juga telah dimulai penelusuran paten melalui web-site, dan sedang dipelajari kemungkinan sistem online aplikasi paten diterapkan.

Dari segi ekonomi, menyangkut berbagai kepentingan khususnya cakupan luasnya monopoli pada saat pemasaran produk, lisensi, persaingan dan sebagainya. Di samping kepentingan antara individu (penemu) dan pihak lain yang bertransaksi, kepentingan nasional dan masyarakat umum patut dipertimbangkan. Setelah mengkaji esensi dan batas perlindungan paten, secara filosofis perlu pula untuk mengkaji penyelesaian hukum atas terjadinya sengketa paten yang mungkin timbul antara para pihak, yang dalam penelitian ini dikaji penyelesaian sengketa melalui litigasi. Selain itu perlu dikaji secara mendalam bahwa dengan adanya paten akan mendorong pengembangan teknologi di Indonesia, yang antara lain meliputi penguasaan teknologi dan usaha untuk menciptakan penemuan.

1. Penerapan Syarat Patentability Invention oleh Hakim Khususnya Novelty

Tergugat (SE) dalam peradilan tingkat pertama telah dikalahkan berdasarkan putusan Pengadilan Niaga pada PN Jakarta Pusat melalui

putusan nomor 42/PATEN/2008/PN.NIAGA.JKT.PST yang telah mengabulkan gugatan penggugat (PT NEI) dan menyatakan bahwa invensi yang dimuat pada Paten Sederhana nomor ID 0000 553 S tersebut tidak memenuhi unsur kebaruan yang disyaratkan oleh UUPaten serta membatalkannya. Demikian pula Mahkamah Agung RI melalui putusan nomor 861 K/Pdt. Sus/2008 telah menguatkan putusan PN tersebut, yakni menolak permohonan kasasi dari tergugat (SE), bahkan selanjutnya peninjauan kembali (PK) pun ditolak.

Jika mencermati eksepsi tergugat (SE) mengajukan exceptio Disqualificative, Exceptio Plurium Litis Consortium dan Exceptio Obscuur Libel, yakni mendasarkan pada sudah terbitnya sertifikat paten sederhana atas nama SE, gugatan kurang pihak yang menurut tergugat seharusnya juga Ditjen HKI dijadikan tergugat (akan tetapi dilakukan pembatalan pihak oleh penggugat) dan gugatan kabur serta prematur.

Menurut tergugat, invensinya merupakan invensi baru terbukti telah dilakukan pemeriksaan substantif di Direktorat Paten dengan dokumen pembanding US-5 348 192 dan US 5 718 261. Memang perlu dikaji kenapa tergugat berani menyampaikan bahwa kurang pihak, karena perlu diingat bahwa Ditjen HKI adalah instansi yang bertanggungjawab terhadap pendaftaran dan pemberian sertifikat paten.

Jika mencermati pertimbangan hakim PN, hakim PN selanjutnya memutuskan untuk memenangkan penggugat untuk seluruhnya dan menyatakan bahwa invensi yang dimuat pada Paten Sederhana nomor ID 0000 563 S, tertanggal 4 Januari 2005 atas nama tergugat tidak memenuhi unsur kebaruan sebagaimana dipersyaratkan oleh UUPaten serta menyatakan batal pendaftaran atas

Page 107: Jurnal April 2012

92 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 84-98

paten tersebut dengan memerintahkan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual untuk membatalkan paten sederhana yang berjudul “Dispenser yang dilengkapi dengan pintu untuk menutup keran” tersebut. Merujuk pada putusan tersebut, maka terdapat beberapa hal penting yang harus diperhatikan baik oleh Ditjen HKI maupun ilmuwan/teoritisi bahwa:

1. State of the art harus dinilai secara fungsional substantif oleh skilled in the art dengan dokumen pembanding yang cukup (prior art), artinya seharusnya semakin banyak pembanding maka akan semakin tipis kesalahan penafsiran klaim terjadi, apalagi kalau sampai terjadi literal infringement di mana judulnya pun sama (atau terkover). Dengan digital library/ online yang ada di dunia ini, Ditjen HKI bisa mencari data tentang paten secara tak terbatas, jangan hanya USPTO (paten Amerika) dan JPO (paten Jepang). Dengan mengemukannya kasus ini terbukti bahwa online system (di USA discovery system) perlu dibenahi, penjelajahan situs web paten kurang luas maupun informasi paten kurang menjangkau lapisan masyarakat, baik aparat Ditjen HKI (yang senyatanya tidak tahu sudah ada paten terdahulu yang mirip/sama tersebut), maupun pihak yang berkepentingan;

2. Ditjen HKI juga bertanggungjawab atas terbitnya paten sederhana tersebut, sehingga untuk selanjutnya Ditjen HKI harus lebih berhati-hati dan menghidupkan akses online yang berguna bagi calon inventor terhadap

data invensi berpaten yang selalu up to date, jadi Ditjen HKI harus mengikuti perkembangan paten dunia dan memberi akses seluas-luasnya bagi perkembangan teknologi Indonesia. Jangan sampai ketika seorang WNI bersusah payah melakukan R&D, dengan makan biaya dan waktu banyak, ternyata karena kekurangan informasi dan rujukan, ternyata di luar negeri sudah ada patennya, maka invensinya tidak mungkin bisa mendapatkan paten, apalagi jika pihak asing menggunakan hak prioritas dengan mendasarkan filing date di negara pertama pemberi paten.

3. Demikian pula hubungan dengan penerapan novelty, bahwa untuk saat ini dan seterusnya, jika memang novelty tidak dibatasi teritorialnya, harus dinyatakan secara tegas dalam UUPaten, bahwa Indonesia menganut syarat kebaruan luas yang bersifat mutlak. Artinya bahwa mungkin dengan alasan mendukung terciptanya WTO-TRIPS, dan persaingan industri dan teknologi.

Indonesia tidak perlu membatasi novelty secara teritorial, akan tetapi ingin melahirkan teknologi (berpaten) yang tidak kalah canggihnya secara internasional. Jadi unsur kebaruan luas (world wide novelty) layak diterapkan di Indonesia ketika sudah tersedia akses yang signifikan terhadap informasi paten seluruh dunia, di dukung fasilitas online yang selalu di-update oleh Ditjen HKI. Memang Pasal 3 UU Paten telah menyatakan

Page 108: Jurnal April 2012

Penerapan World Wide Novelty dan Function-Way-Result Test Pada Paten (Endang Purwaningsih) | 93

secara jelas tentang hal tersebut, akan tetapi dalam penjelasan Pasal 3 perlu diperhatikan karena hanya memuat sebagai berikut: Penjelasan Pasal 3 ayat (3)…..yang dimaksud dengan teknologi yang diungkapkan sebelumnya pada ayat ini mencakup dokumen permohonan yang diajukan di Indonesia dan dipublikasikan pada atau setelah tanggal penerimaan atau tanggal prioritas dari permohonan yang sedang diperiksa substantifnya.

Tanggal penerimaan atau tanggal prioritas dokumen yang dipublikasikan tersebut lebih awal daripada tanggal penerimaan atau tanggal prioritas dari permohonan yang substantifnya sedang diperiksa. Jika diperhatikan kata-kata yang tercetak tebal dari penulis di atas, dikembalikan pada Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (2) tentu tidak sinkron, karena pada Pasal 3 ayat (2) tertera: teknologi yang diungkapkan sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah teknologi yang telah diumumkan di Indonesia atau di luar Indonesia dalam suatu tulisan, uraian lisan atau melalui peragaan, atau dengan cara lain yang memungkinkan seorang ahli untuk melaksanakan invensi tersebut sebelum: a. tanggal penerimaan atau tanggal prioritas.

4. Dalam kasus tersebut terdapat keganjilan bahwasanya utuk kelas dispenser seharusnya memang masuk ke dalam peralatan sederhana atau rumah tangga sehingga lebih

tepat dikualifikasi ke dalam paten sederhana, bukan paten biasa (dalam kasus tersebut di Cina peralatan ini masuk ke dalam paten biasa). Diketahui bahwa paten biasa memiliki teknologi lebih rumit/canggih daripada paten sederhana, selain itu pada paten sederhana yang diperiksa dalam pemeriksaan substantif hanya meliputi kebaruan (novelty) dan dapat diterapkan dalam industri (industrial applicable). Dalam paten biasa selain kedua hal itu masih ditambah lagi dengan langkah inventif (inventive step/non obviousness).

Demikian pula pada paten sederhana hanya terdapat satu klaim. Jadi seharusnya, jika memang Ditjen HKI mengkualifikasi invensi semacam dispenser tersebut dan peralatan rumah tangga yang lain, untuk lain waktu (setelah kasus ini) tidak perlu diadakan pemeriksaan substantif mengenai inventive step/non obviousness, serta harus memperhatikan apakah klaim ada satu atau banyak. Ketika mencermati kasus tersebut di mana dikualifikasi oleh Ditjen HKI sebagai paten sederhana, ternyata terdapat enam klaim, padahal seharusnya untuk paten sederhana hanya terdapat satu klaim.

5. Dalam pemeriksaan substantif seharusnya juga diperhatikan clarity dan unity (jika paten biasa) dari klaim, selain novelty, inventive step (paten biasa) dan industrial applicable. Lebih khusus tentang novelty, invensi yang dipatenkan harus merupakan

Page 109: Jurnal April 2012

94 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 84-98

sebuah penemuan baru yang tidak pernah ada sebelumnya, karena justru akan menjadi suatu hal yang buruk, bukannya baik bagi masyarakat untuk memberikan hak eksklusif berupa paten kepada sebuah penemuan yang telah dikenal luas. UUPaten tidak akan memberikan paten bagi penemuan yang kurang memiliki unsur kebaruan. Jadi jika sebuah penemuan kurang unsur kebaruannya, maka penemuan tersebut dikatakan kekurangan unsur ‘kebaruan’.

Masalah ‘Kebaruan’ hilang ditentukan berdasarkan atas waktu aplikasi paten diajukan, yang mungkin saja dalam hal ini jam, menit dalam aplikasi tersebut diajukan sama pentingnya dengan tanggal. Ketika sebuah penemuan telah kehilangan ‘kebaruan’ penemuan tersebut bisa mendapatkan bantuan hukum eksepsional (pengecualian terhadap kurangnya kebaruan) dengan syarat tertentu dengan alasan bahwa penemuan tersebut dianggap belum kehilangan kebaruannya. Setiap orang yang ingin mengajukan permohonan untuk memperoleh pengecualian harus mengajukan aplikasi paten bagi penemuan tersebut dalam jangka waktu 6 bulan terhitung mulai tanggal ketika kebaruannya hilang dan menyerahkan sebuah pernyataan tertulis berkaitan dengan permasalahan tersebut dan dokumentasi lainnya untuk membuktikan permasalahan tersebut dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Meskipun aplikasi paten yang demikian memenuhi

persyaratan untuk mendapatkan pengecualian, jika orang lain telah mengajukan sebuah aplikasi paten untuk penemuan yang sama, penemu terdahulu tidak bisa mendapatkan paten karena aplikasinya diajukan lebih kemudian daripada orang lain itu (Purwaningsih, 2005: 30).

Demikian pula hakim pada tingkat kasasi sebagi judex yuris seharusnya lebih jeli terhadap penerapan hukum yang telah diputuskan oleh hakim PN sebagai judex factie, apakah benar dan tepat penerapan hukumnya pada kasus tersebut. Jadi sebaiknya Judex Yuris mempertimbangkan, kenapa terhadap dispenser tersebut bisa dikategori pada kelas yang berbeda, kenapa bisa jadi paten biasa dan paten sederhana, kenapa kalau paten sederhana ‘kok’ Ditjen HKI membolehkan banyak klaim, dan sebagainya, kenapa prior art yang di Cina terlewati dari kacamata Ditjen HKI, bagaimana pemeriksaan substantif dilakukan, atau mungkin kenapa Ditjen HKI tidak dipersalahkan (sebagai tergugat II) oleh penggugat.

Jika merujuk pada tulisan Haryani (2010: 161-162), maka sebenarnya pada paten sederhana pun boleh dengan banyak klaim, hanya saja dibatasi untuk satu invensi. Jadi dimaksudkan bahwa paten biasa adalah banyak invensi (dalam satu kesatuan) dan banyak klaim dan paten sederhana adalah satu invensi dengan boleh lebih dari satu klaim. Dengan banyak pendapat yang berbeda tersebut, seharusnya kembali pada ketentuan dalam UUPaten.

Merujuk pada alasan-alasan peninjauan kembali (PK) yang menurut MA tidak dibenarkan karena bukti yang diajukan SE (sebagai pemohon kasasi) bukanlah novum, maka sudah tepatlah kiranya putusan MA tersebut. Memang benar,

Page 110: Jurnal April 2012

Penerapan World Wide Novelty dan Function-Way-Result Test Pada Paten (Endang Purwaningsih) | 95

jika bukti yang diajukan pemohon kasasi ternyata telah diajukan sebagai bukti pada peradilan tingkat pertama di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, maka seharusnya pun si pemohon kasasi mengetahui tentang hal tersebut.

Jadi ketika terbukti produk model dispenser yang didistribusikan/diperdagangkan oleh SE merupakan produk terbaru tahun 2003 yang telah beredar di pasaran Medan dan Palembang pada bulan Maret 2004, sementara pendaftaran Paten Sederhananya (filing date) dengan judul ”Dispenser yang dilengkapi dengan Pintu Penutup Keran” adalah pada tanggal 15 April 2004, sehingga MA secara jelas berpendapat bahwa invensi yang diajukan tergugat (pemohon Kasasi) memang bukan merupakan invensi baru. Mengenai pemakai terdahulu, sebenarnya dalam UUPaten Indonesia mengenal pemakai terdahulu, akan tetapi dengan syarat asalkan tidak merugikan kepentingan si pemilik/pemegang paten.

Berdasarkan bahasan di atas, secara hukum memang putusan baik pada tingkat pertama, maupun kasasi adalah tepat, hingga PK pun ditolak; hanya saja perlu dipertimbangkan beberapa hal penting khusus mengenai penerapan novelty yang luas secara mutlak ini antara lain:

1. Pertimbangan hukum tentang penerapan worldwide novelty seharusnya dinyatakan secara tegas, demi menjamin kepastian hukum dan keadilan.

2. Hakim harus bisa memilah mana yang benar secara hukum, kenapa Ditjen HKI bisa memberikan sertifikat paten sederhana terhadap invensi dengan lebih satu klaim, yang tentu menyalahi UUPaten.

3. Hakim juga harus bisa menilai kenapa

Ditjen HKI bisa memberikan sertifikat paten sederhana, yang ternyata telah dipatenkan di Cina sebelum paten sederhana tersebut diberikan (bahkan sebelum filing date) dan bagaimana iktikad baik dapat dibuktikan ketika ternyata dokumen di Cina tersebut tidak digunakan sebagai prior art atau sebagai dokumen pembanding pada saat pemeriksaan substantif.

2. Penerapan Function-Way-result test oleh Hakim

Berkenaan dengan infringement; suatu pelanggaran membutuhkan 2 langkah: (1) pengadilan harus menafsirkan klaim-klaim yang dinyatakan sebagai telah dilanggar menurut hukum; untuk menetapkan maksud dan scope klaim-klaim tersebut; dan (2) klaim-klaim sebagaimana telah ditafsirkan, dibandingkan dengan pelanggaran yang telah ditetapkan baik alat maupun proses. Dalam menafsirkan klaim, reference (prior art yang dilanggar) pertama-tama dibuat menjadi bukti intrinsik yakni: spesifikasi paten, prosecution history, dan klaim-klaim lain dalam paten. Hanya jika terjadi ambiguitas mengenai maksud klaim-klaim , diperbolehkan untuk menggunakan extrinsic evidence yakni expert testimony (saksi ahli), perjanjian (treaty), dictionary (kamus), dan prior art sejenis lainnya. Ekstrinsik evidence demikian tidak boleh digunakan untuk merubah meaning of a claim term, seperti yang ditentukan oleh intrinsik evidence yang ini sudah menjadi catatan umum.

Penelitian kedua (perbandingan alat dan proses) meliputi membandingkan produk atau metode tergugat dengan klaim invensi. Pelanggaran terhadap patent claim bisa digambarkan secara harfiah (literal infringement) suatu produk atau

Page 111: Jurnal April 2012

96 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 84-98

melalui doktrin equivalen. Dalam menentukan literal infringement, masing-masing elemen dalam suatu klaim dipertimbangkan secara material dan esensial.

Untuk terjadinya literal infringement masing-masing pembatasan klaim yang ditunjukkan harus ditemukan dalam metode ataupun dengan alat tergugat. Oleh karena klaim-klaim paten merupakan sekumpulan bagian yang tidak terpisahkan dan membatasi invensi, klaim-klaim yang dipersengketakan (yang telah ditafsirkan) harus dibandingkan dengan metode atau produk tergugat. Infringement tidak ditentukan oleh suatu perbandingan hanya oleh produk atau proses tergugat dan embodiment yang digambarkan dalam sebuah paten, atau oleh suatu perbandingan dengan commercial product pemilik paten.

The tripartite test ‘function-way-result’ menyatakan bahwa infringement melalui doktrin equivalen bisa ditemukan ketika alat-alat tergugat dan klaim invensi menunjukkan secara substansial fungsinya sama, secara substansial memiliki cara yang sama dan secara substansial menghasilkan produk yang sama pula. Jadi doktrin ini didasarkan pada tes tersebut pada invensi khusus yang disengketakan dan bagaimana cara pembuatan klaim itu sendiri. Dalam membandingkan suatu alat tergugat dengan klaim invensi, tes equivalensi harus digunakan pada elemen per elemen pokok, di mana perbandingan antara masing-masing elemen klaim paten dan masing-masing elemen alat tergugat dibuat lebih daripada hanya perbandingan invensi secara keseluruhan dan alat tergugat secara keseluruhan.

Beberapa faktor untuk mengidentifikasikan adanya ‘substantially of differences’ adalah: (1) interchangeability (dapat dipertukarkan) antara

elemen tergugat dengan elemen klaim, yang harus menunjukkan insubstantially of differences, (2) evidence of copying (bukti peniruan) yang menunjukkan insubstantially of differences dan (3) evidence of designing around the patent claims (bukti design yang tercakup klaim), yang menunjukkan insubstantially of differences (Purwaningsih, 2005: 97-98). Mengingat kasus dispenser tersebut di Cina dikualifikasi/didaftar sebagai paten biasa (dan dengan banyak klaim), sementara di Indonesia ternyata milik tergugat (SE) didaftarkan sebagai paten sederhana dan Ditjen HKI memberikan paten sederhana (dengan banyak klaim), maka perlu diperhatikan sebagai berikut:

1. Dispenser sebenarnya hanyalah peralatan rumah tangga, apalagi jika hanya ditambah dengan penutup keran, tentu bisa dimasukkan ke dalam paten sederhana, akan tetapi tentu mengubah banyak klaim menjadi satu klaim. Dengan menilai bahwa segala macam dispenser bisa terkualifikasi (terkover) dengan kata ‘dispenser’, maka meskipun ditambah keran atau apa (misal kipas angin dan sebagainya), yang secara substansial tidak berbeda jelas, tetap saja dikategorikan dengan dispenser, sehingga invensi milik tergugat (meskipun paten sederhana) terantisipasi (terkover) oleh invensi berpaten penggugat.

2. Perlunya pemeriksa substantif menerapkan tes/pemeriksaan tentang fungsi, cara dan hasil, apakah mirip/sama secara substansial atau tidak. Hal ini sangat menentukan pokok invensi yang terlihat dalam klaim.

Page 112: Jurnal April 2012

Penerapan World Wide Novelty dan Function-Way-Result Test Pada Paten (Endang Purwaningsih) | 97

Jadi antara penemuan terdahulu dan penemuan baru dipersandingkan, jika nampak mirip (equivalen), maka demi kepastian hukum tetap diadakan tes mengenai fungsi, cara dan hasil, apakah memang benar sama/mirip secara substansial, karena paten mendasarkan diri pada aspek fungsionalitas, bukan estetis atau pun tampilan.

3. Pemeriksa substantif (pada saat pemeriksaan di Ditjen HKI) dan hakim (pada saat litigasi) seharusnya juga berpedoman pada bukti yang nyata dilandasi oleh iktikad baik para pihak. Diskresi hakim memang dibolehkan sepanjang tidak mengesampingkan bukti yang nyata serta jangan sampai terjadi ‘kurang update’ informasi atau ketinggalan informasi, khususnya bagi Ditjen HKI dalam hal pendaftaran paten di dunia, karena Ditjen HKI merupakan gerbang utama terbitnya sertifikat paten.

Dari bahasan di atas, bahwa meskipun tidak tertera hakim menerapkan tes atau pemeriksaan terhadap fungsi, cara dan hasil pada invensi berpaten tersebut, tercermin bahwa berdasarkan pertimbangan khususnya mengenai interpretasi klaim (claim interpretation) dan judul serta klaim invensi yang mirip (dan terkover), maka sudah tepatlah putusan hakim menerapkannya pada kasus tersebut. Jadi selain terjadi literal infringement juga lebih substansial infringement pada fungsi, cara dan hasil.

SIMPULANIV.

Dari uraian analisis di atas, dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut:

1. Secara hukum putusan baik pada tingkat pertama, maupun kasasi adalah tepat, hingga PK pun ditolak; hanya saja perlu dipertimbangkan beberapa hal penting khusus mengenai penerapan novelty yang luas secara mutlak ini antara lain: (1) Pertimbangan hukum tentang penerapan worldwide novelty seharusnya dinyatakan secara tegas, demi menjamin kepastian hukum dan keadilan; (2) Hakim harus bisa memilah mana yang benar secara hukum, Ditjen HKI bisa memberikan sertifikat paten sederhana terhadap invensi dengan lebih satu klaim, perlu dikembalikan pada ketentuan UUPaten; harus ditegaskan baik dalam penjelasan UUPaten maupun aturan organik serta prakteknya; dan (3) Hakim juga harus bisa menilai kenapa Ditjen HKI bisa memberikan sertifikat paten sederhana, yang ternyata telah dipatenkan di Cina sebelum paten sederhana tersebut diberikan (bahkan sebelum filing date) dan bagaimana iktikad baik dapat dibuktikan ketika ternyata dokumen di Cina tersebut tidak digunakan sebagai prior art atau sebagai dokumen pembanding pada saat pemeriksaan substantif;

2. Meskipun tidak tertera hakim menerapkan tes atau pemeriksaan terhadap fungsi, cara dan hasil pada invensi berpaten tersebut, tercermin bahwa berdasarkan pertimbangan khususnya mengenai interpretasi klaim (claim interpretation) dan judul serta klaim invensi yang mirip (dan terkover), maka sudah tepatlah putusan hakim menerapkannya pada kasus tersebut. Jadi selain terjadi literal infringement juga lebih substansial infringement pada fungsi, cara dan hasil.

Page 113: Jurnal April 2012

98 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 84-98

Perlunya pemeriksa substantif menerapkan tes/pemeriksaan tentang fungsi, cara dan hasil, apakah mirip/sama secara substansial atau tidak. Hal ini sangat menentukan pokok invensi yang terlihat dalam klaim. Jadi antara penemuan terdahulu dan penemuan baru dipersandingkan, jika nampak mirip (equivalen), maka demi kepastian hukum tetap diadakan tes mengenai fungsi, cara dan hasil, apakah memang benar sama/mirip secara substansial, karena paten mendasarkan diri pada aspek fungsionalitas, bukan estetis atau pun tampilan. Pemeriksa substantif (pada saat pemeriksaan di Ditjen HKI) dan hakim (pada saat litigasi) seharusnya juga berpedoman pada bukti yang nyata dilandasi oleh iktikad baik para pihak.

DAFTAR PUSTAKA

European Patent Office. 2000. Case Law of The Boards of Appeal of The EPO 1987-1992. EPO.

Haryani, Iswi. 2010. Prosedur Mengurus HAKI yang Benar. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.

JPO. 1990. Comparative study of patent practices in the field of biotechnology related mainly to microbiological inventions (EPO, JPO, USPTO). Japan.

JPO. 1998. Comparative Study on The Japanese The United States and The European Patent Systems. Japan: Japan Institute of Invention and Innovation.

JPO. 2000. Drafting Claim and Specification. Japan.

Lakitan, Benyamin. 2009. Teknologi Berorientasi

Domestik dalam Buku Sains & Teknologi 2. Jakarta: Gramedia.

Oda, Shigeaki. 2003. Usage of information on IPR”, Internet, patent Abstracts of Japan. JIII/AOTS.

Pieroen, A.P. 1988. Beschermingsomvang van Octrooien in Nederland, Duitsland en Engeland. Kluwer-Deventer.

Purwaningsih, Endang. 2005. Paten sebagai Konstruksi Hukum Perlindungan Invensi dalam Bidang Teknologi dan Industri. Jurnal Pro Justitia. UNPAR.

-----------------------------. 2005. Perkembangan Hukum Intellectual Property Rights. Jakarta: Ghalia Yudistira.

-----------------------------. 2006. Paten sebagai Penentu Besarnya Monopoly Patent Rights dalam Dunia Industri. Jurnal Gloria Yuris. Unika Atmajaya.

-----------------------------. 2009. Model Pengembangan Budaya Paten di Kampus dalam rangka Menumbuhkembangkan Indigenous Technological Capabilities. Laporan Hibah Penelitian DIKTI.

-----------------------------. 2012. HKI DAN LISENSI. Bandung: CV Mandar Maju.

Saidin, O.K. 2010. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta: Rajawali Press.

Sumber lain:

Direktori Putusan MA RI. Akses 20 Februari 2012. putusan.mahkamahagung.go.id.

Dirjen Paten. Akses 20 Februari 2012. http://www.dgip.go.id.

Page 114: Jurnal April 2012

Penjatuhan Pidana Bersyarat Dalam Kasus Pencurian Kakao (Haryanto Dwiatmodjo) | 99

AbstrActThe imposition of conditional penalties over criminal acts in case of theft of cocoa is in conformity with the main purpose of conditional penalties. The main purpose of conditional penalties essentially consists of four aspects. First, it is imposed to help the inmates learning to live productively. Second, it works as an implied law institution for the inmates better than the broad-mindedness of the judge or the public. Third, it becomes a medium for correction for the inmates and the society. Fourth, it is oriented to the action and also the criminals. Therefore, the imposition of conditional penalties over criminal acts has been in accordance with the principles of criminal law that prioritizes prevention.

Keywords: conditional penalties, theft, justice.

ABSTRAKPenjatuhan pidana bersyarat dalam kasus pencurian kakao sudah sesuai dengan pemikiran dasar pemberian pidana bersyarat. Pemikiran dasar pemberian pidana bersyarat tersebut pada intinya terdiri dari empat aspek: Pertama, pidana bersyarat dijatuhkan untuk menolong terpidana agar belajar hidup produktif. Kedua, pidana bersyarat menjadi lembaga hukum yang lebih baik dari sekedar kelapangan hati hakim maupun masyarakat. Ketiga, pidana bersyarat menjadi sarana koreksi yang bermanfaat bagi terpidana dan masyarakat. Keempat, pidana bersyarat berorientasi pada perbuatan dan juga pelaku tindak pidana. Oleh sebab itu, penjatuhan pidana bersyarat ini telah sesuai dengan prinsip hukum pidana yang mengutamakan pencegahan.

Kata kunci: pidana bersyarat, pencurian, keadilan.

PENJATUHAN PIDANA BERSyARATDALAM KASUS PENCURIAN KAKAO

Haryanto Dwiatmodjo, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman PurwokertoJalan Prof. Dr. H.R. Boenyamin 708 Grendeng Purwokerto 53122

Email: [email protected]

Kajian Putusan Nomor 247/Pid.B/2009/PN. PWT

A CONDITIONAL SENTENCE IMPOSED UPON THE CONvICTION Of THEfT Of COCOA

Haryanto Dwiatmodjo, Faculty of law of Jenderal Soedirman University, PurwokertoJalan Prof. Dr. H.R. Boenyamin 708 Grendeng Purwokerto 53122

Email: [email protected]

An Analysis of Decision Number 247/Pid.B/2009/PN. Pwt

Page 115: Jurnal April 2012

100 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 99-116

PENDAHULUANI.

Pembahasan Hukum Pidana dengan segala aspeknya (sifat melawan hukum, kesalahan dan pidana) akan selalu menarik berhubung dengan sifat dan fungsinya yang istimewa. Muladi (2002: 15) bahkan menyatakan hukum pidana itu memotong darah dagingnya sendiri serta memiliki fungsi ganda yang rasional (sebagai bagian dari politik kriminal) dan sekunder sebagai sarana pengaturan tentang kontrol sosial sebagaimana dilaksanakan secara spontan atau dibuat oleh negara dengan alat perlengkapannya. Sedangkan esensi jaminan perlindungan hak seorang justru terletak pada tahap ajudikasi. Sebab pada tahap sidang pengadilanlah terdakwa (dan juga pembelanya) dapat berdiri tegak sebagai pihak yang sama derajatnya berhadapan dengan penuntut umum (Lestijono, 2005: 96). Hal ini bermakna bahwa pengadilan wajib sepenuhnya menjamin hak-hak kedua belah pihak, baik penuntut umum sebagai pendakwa maupun terdakwa dalam membela dirinya.

Pemidanaan merupakan bagian penting dalam hukum pidana karena merupakan puncak dari seluruh proses mempertanggungjawabkan seseorang yang telah bersalah melakukan tindak pidana. Chairul Huda (2006: 125) menyatakan “A criminal law without sentencing would morely be a declaratory system pronouncing people guilty without any formal consequences following that guilt”. Hukum pidana tanpa pemidanaan berarti menyatakan seorang bersalah tanpa ada akibat yang pasti terhadap kesalahannya. Dengan demikian konsepsi tentang kesalahan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pengenaan pidana dan proses pelaksanaannya. Jika kesalahan dipahami sebagai “dapat di cela” maka pemidanaan merupakan “perwujudan dari celaan“.

Setiap penjatuhan sanksi pidana setidaknya harus mendasarkan pada perbuatan yang dilakukan oleh si pelaku maupun keadaan-keadaan yang ada dalam diri pelaku. Kenyataan dalam praktik banyak variasinya sehingga dapat dimengerti apabila tidak selalu tercapai apa yang dinamakan pemidanaan yang konsisten (consistency of sentencing). Sekalipun demikian yang harus dicapai adalah konsistensi dalam pendekatan terhadap pemidanaan (consistency of approach to sentencing). Hal ini dibutuhkan mengingat kegagalan dalam menciptakan konsistensi ini menimbulkan rasa injustice. Karena seorang pelaku tindak pidana mungkin akan memperoleh pidana yang lebih berat dari yang lain dan sebaliknya. Demikian pula pandangan masyarakat terhadap persamaan hak dalam peradilan akan terganggu apabila terjadi fluctuation in sentencing (Muladi, 1995: 111).

Beberapa waktu yang lalu Pengadilan Negeri Purwokerto dalam Perkara Nomor 247/Pid.B/2009/PN.Pwt telah menjatuhkan Pidana Bersyarat kepada seorang perempuan tua usia 55 tahun, Mbok Mnh namanya yang didakwa telah mencuri 3 (tiga) kilogram buah Kakao (bukan hanya tiga biji sebagaimana diberitakan di beberapa media massa).

Kasus ini menjadi menarik bukan hanya karena banyaknya tanggapan masyarakat yang berempati pada peristiwa yang dialami Mnh karena dianggap melukai hati masyarakat serta melukai rasa keadilan rakyat yang akhirnya oleh majelis hakim dinyatakan terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana pencurian sebagaimana diatur Pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana sehingga hakim menjatuhkan sanksi berupa pidana penjara selama 1 (satu) tahun 15 (lima belas) hari walaupun pidana tersebut tidak perlu dijalaninya

Page 116: Jurnal April 2012

Penjatuhan Pidana Bersyarat Dalam Kasus Pencurian Kakao (Haryanto Dwiatmodjo) | 101

kecuali di kemudian hari ada putusan hakim yang menjatuhkan pidana kepada terdakwa karena telah melakukan tindak pidana sebelum habis masa percobaan selama 3 (tiga) bulan.

RUMUSAN MASALAHII.

Dengan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan dibatasi: Apakah penjatuhan pidana dalam perkara Nomor 247/Pid.B/2009/Pn.Pwt telah sesuai dengan ide dasar pemberian pidana bersyarat?

STUDI PUSTAKA DAN ANALISISIII.

Sistem peradilan pidana (criminal justice system) sebagai salah satu implementasi nyata dari teori sistem pada dasarnya merupakan open system akan selalu mengalami interface (interaksi, koneksi dan interdependensi) dengan lingkungannya serta subsistem-subsistem yang ada di dalam sistem peradilan pidana itu sendiri secara terpadu sehingga sistem peradilan pidana tidak hanya dapat dilihat dari sudut pendekatan sosial. Dengan demikian sistem peradilan pidana tidak dapat dilepaskan dari sistem sosial lainnya (sistem politik, sistem ekonomi dan sebagainya) yang berlaku di negara tersebut.

Adapun ciri-ciri pendekatan sistem dalam peradilan pidana antara lain berfokus pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana, pengawasan dan pengendalian pengggunaan kekuasaan peradilan pidana, efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari pada efisiensi penyelesaian perkara dan penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan the administration of justice (Atmasasmita, 1996: 9-10). Kajian Tim Fakultas Hukum Universitas Indonesia (2001: 25) terhadap sistem peradilan pidana pada umumnya memiliki

konsekuensi dan implikasi, sebagai berikut:

semua subsistem akan saling 1. tergantung (interdependent) karena produk (output) suatu subsistem merupakan masukan (input) bagi subsistem lainnya,

pendekatan sistem mendorong 2. adanya interagency consultation an co-operation yang pada gilirannya akan meningkatkan upaya-upaya penyusunan strategis dari keseluruhan sistem; dan

kebijakan yang diputuskan yang 3. diputuskan dan dijalankan oleh suatu subsistem akan berpengaruh pada subsistem lain.

Sifat saling ketergantungan di antara tiap-tiap subsistem dalam sistem peradilan pidana (pembuat undang-undang, kepolisian, kejaksaan, kehakiman/peradilan, advokat, lembaga pemasyarakatan dan masyarakat) maka konsultasi dan kerjasama terpadu merupakan suatu conditio sine qua non guna mewujudkan suatu sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system).

Salah satu prinsip utama dalam penyelenggaraan sistem peradilan pidana terpadu adalah equality before the law, merupakan prinsip yang dijamin konstitusi sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945. Implementasi asas equality before the law dalam sistem peradilan pidana selama ini pada umumnya hanya berorientasi pada masyarakat sebagai salah satu pihak yang terlibat dalam perkara pidana baik sebagai saksi, pelaku maupun korban khususnya bagi mereka yang dikenakan status sebagai tersangka, terdakwa maupun terpidana (sehingga idealnya tidak perlu ada pembedaan perlakuan hukum terhadap tiap-

Page 117: Jurnal April 2012

102 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 99-116

tiap warganegara). Padahal asas equality before the law seharusnya juga berorientasi terhadap para aparat penegak hukum khususnya hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman.

Implementasi asas equality before the law bagi para hakim sangat penting karena dengan diterapkannya sistem majelis hakim dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman maka ada persamaan hak dan kewajiban di antara para hakim dalam suatu majelis guna menghindari adanya pengaruh internal (yang berasal dari dalam kekuasaan kehakiman itu sendiri) yang dapat mempengaruhi kemandirian dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Salah satu implementasi nyata dari asas equality before the law bagi para hakim adalah terjaminnya kebebasan tiap-tiap anggota majelis hakim untuk mengemukakan pertimbangan dan pendapatnya dalam menghasilkan putusan.

Dalam proses peradilan pidana ekspresi equality before the law digambarkan Kaligis (2006: 131) mengutip pendapat Trapman:

“Het standpunt van de verdachte karakteriseerde hij als de subjectieve beoordeling van een subjective positie dat van de raadsman als de objective beordeling van een subjective positie, dat van de openbare minister als de subjective beoordeling van een objective positie, dat van de rechter als de objective beoordeling van een objective positie”.

(bahwa dalam peradilan pidana terdakwa mempunyai pertimbangan yang subyektif dalam posisi yang subyektif, penasehat hukum mempunyai pertimbangan yang obyektif dalam posisi yang subyektif, penuntut umum mempunyai pertimbangan yang subyektif dalam posisi yang obyektif,

sedangkan hakim mempunyai pertimbangan yang obyektif dalam posisi yang obyektif pula).

Pertimbangan obyektif yang dilakukan dalam posisi obyektif oleh seorang hakim hanya dapat dilakukan manakala kemandirian dan kekuasaan kehakiman di negara itu telah dilaksanakan secara baik. Posisi obyektif hakim didasarkan pada tugasnya dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara, sedangkan suatu pertimbangan obyektif hakim merupakan sesuatu yang amat sulit untuk dicapai karena dalam setiap pertimbangan-pertimbangannya untuk menentukan keputusan manusia akan selalu dipengaruhi oleh faktor-faktor subyektif yang bersifat internal (dari dalam dirinya sendiri) seperti pengalaman hidup, pola pemikiran, wawasan, tingkat pendidikan, keyakinan-keyakinan subyektif dan sebagainya, sehingga jika dalam suatu perkara terdapat kepentingan langsung atau tidak langsung dari hakim maka dapat dipastikan hakim tersebut tidak akan mampu menempatkan dirinya dalam posisi yang obyektif. Oleh karena itu aspek-aspek psikologis hakim akan sangat mempengaruhi hasil dan kualitas putusan pengadilannya.

Peran hakim dalam mengembangkan konsep-konsep dasar (hukum pidana) sangat signifikan melalui putusan-putusannya. Hakim juga harus mampu bersifat a-politik, sehingga hakim akan memiliki kepekaan terhadap rasa keadilan masyarakat. Seorang hakim tidak mungkin berinisiatif mengadakan perkara melainkan sebaliknya harus bersifat pasif menunggu perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya dalam suatu sidang pengadilan.

Proses pembentukan hukum dan pengambilan putusan menurut Roeslan Saleh

Page 118: Jurnal April 2012

Penjatuhan Pidana Bersyarat Dalam Kasus Pencurian Kakao (Haryanto Dwiatmodjo) | 103

sebagaimana dikutip Mudzakir (2001: 166) adalah suatu proses pemositifan asas-asas hukum materiil melalui institusi yang berwenang untuk itu. Putusan pengadilan terhadap perkara tindak pidana merupakan hasil dari suatu proses panjang dan kompleks yang memerlukan teknik-teknik tertentu dari aparat penegak hukum khususnya hakim sehingga putusan pengadilan harus mengandung suatu proses pemikiran hakim yang dapat diikuti oleh orang lain secara baik, khususnya oleh terdakwa sebagai pihak yang paling berkepentingan atas putusan pengadilan.

Karakter produk hukum atau pengambilan keputusan hukum (putusan pengadilan) umumnya sangat dipengaruhi oleh pandangan dasar tentang keadilan dan teori hukum yang diikuti penegak hukum (khususnya hakim) meskipun berpijak pada ketentuan hukum yang sama (Mudzakir, 2001: 167). Adanya ketentuan yang diatur Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menuntut para hakim agar menjadi manusia hukum yang cinta keadilan, membenci ketidakadilan serta berani mengambil keputusan atas keyakinannya berdasar hati nurani yang murni sehingga berani menghadapi siapapun kecuali terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian hakim diharapkan dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Norma atau kaidah hukum ditujukan terutama kepada pelakunya yang konkret, yaitu si pelaku pelanggar yang nyata-nyata berbuat bukan untuk penyempurnaan manusia melainkan untuk kepentingan masyarakat agar masyarakat tertib, agar jangan sampai jatuh korban kejahatan. Hukum mengatur masyarakat secara patut dan bermanfaat dengan menempatkan apa yang diharuskan ataupun yang diperbolehkan dan sebaliknya. Hukum dapat mengkualifikasikan

sesuatu perbuatan sesuai dengan hukum atau mendiskualifikasikan sebagai melawan hukum (Sudarto, 1986: 111).

Di Indonesianpun terdapat masalah-masalah yang universal yaitu ketidakpuasan masyarakat terhadap perampasan kemerdekaan yang dalam berbagai penelitian terbukti sangat merugikan baik terhadap individu yang dikenai pidana maupun terhadap masyarakat.

Salah satu cara mengatasinya antara lain dalam bentuk peningkatan pemidanaan yang bersifat non-institusional seperti pendayagunaan pidana bersyarat sebagaimana diatur dalam Pasal 14a-14f Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) berikut peraturan pelaksanaannya Staatblad 1926 No. 251 jo 486, pada bulan Januari 1927 yang kemudian diubah dengan Staatblad No. 172 (Muladi, 2002: vii).

Dalam tingkatan penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai tujuan-tujuan sosial yang dikehendaki seperti yang dialami oleh negara-negara modern sekarang ini maka persoalannya bergeser kepada ketegangan antara idekepastian hukum dan penggunaan hukum untuk melakukan perubahan-perubahan. Idekepastian hukum menghendaki adanya stabilitas di dalam masyarakat sedangkan pengggunaan secara instrumental adalah untuk menciptakan perubahan melalui pengaturan tingkah laku warga masyarakat menuju kepada sasaran yang dikehendaki (Rahardjo, 1986: 113).

Pidana bersyarat menurut Muladi (2002: 62) bukan merupakan pidana pokok melainkan cara penerapan pidana sebagaimana pidana yang tidak bersyarat. Pengaturan mengenai pidana bersyarat ini sendiri di dalam KUHP, yang terdapat dalam:

Page 119: Jurnal April 2012

104 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 99-116

Pasal 14a KUHP:

1. Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun atau kurungan, tidak termasuk kurungan pengganti, maka dalam putusannya dapat memerintahkan pula di kemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena terpidana melakukan suatu perbuatan pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut di atas habis atau terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat-syarat khusus yang mungkin ditentukan dalam perintah itu.

2. Hakim yang mempunyai kewenangan seperti di atas kecuali dalam perkara-perkara yang mengenai penghasilan dan persewaan negara apabila menjatuhkan pidana denda tetapi harus ternyata kepadanya bahwa pidana denda atau perampasan yang mungkin diperintahkan pula akan sangat memberatkan si terpidana. Dalam menerapkan ayat ini kejahatan dan pelanggaran candu hanya dianggap sebagai perkara mengenai penghasilan negara, jika terhadap kejahatan dan pelanggaran itu di tentukan bahwa dalam hal dijatuhkan pidana denda tidak diterapkan ketentuan Pasal 30 ayat 2.

3. Jika hakim tidak menentukan lain, maka perintah mengenai pidana pokok juga mengenai pidana tambahan.

4. Perintah tersebut dalam ayat 1 hanya diberikan jika hakim berdasarkan penyelidikan yang teliti yakin bahwa dapat diadakan pengawasan yang cukup untuk dipenuhinya syarat dipenuhinya syarat umum yaitu bahwa terpidana tidak akan melakukan perbuatan pidana dan sysrat-syarat khusus jika sekiranya syarat-syarat

itu ada.

5. Perintah tersebut dalam ayat (1) harus disertai hal-hal atau keadaan yang menjadi alasan perintah itu.

Pasal 14b KUHP:

1. Masa percobaan bagi kejahatan dan pelanggaran yang tersebut dalam Pasal 492, 504, 505, 506 dan 536, paling lama adalah tiga tahun dan bagi pelanggaran lainnya paling lama dua tahun.

2. Masa percobaan dimulai pada saat putusan telah menjadi tetap dan telah diberitahukan kepada terpidana menurut cara yang ditentukan dalam undang-undang.

3. Masa percobaan itu tidak dihitung selama terpidana dihilangkan kemerdekaannya karena tahanan yang sah.

Pasal 14c ayat (1) KUHP:

1. Dalam perintah yang dimaksud Pasal 14a, kecuali jika dijatuhkan pidana denda, selain menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan perbuatan pidana, hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih pendek daripada masa percobaannya, harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan pidana tadi.

2. Apakah hakim menjatuhkan pidana penjara lebih dari tiga bulan atau kurungan atas salah satu pelanggaran tersebut dalam Pasal 492, 504, 505, 506 dan 536, maka boleh ditetapkan syarat khusus yang lainnya mengenai tingkah laku terpidana yang harus dipenuhi selama masa percobaan atau selama bagian dari masa percobaan.

3. Syarat-syarat tersebut di atas tidak boleh

Page 120: Jurnal April 2012

Penjatuhan Pidana Bersyarat Dalam Kasus Pencurian Kakao (Haryanto Dwiatmodjo) | 105

mengurangi kemerdekaan agama atau kemerdekaan politik terpidana.

Pasal 14d KUHP:

1. Yang diserahi mengawasi supaya supaya syarat-syarat dipenuhi ialah pejabat yang berwenang yang akan menyuruh menjalankan putusan.

2. Jika ada alasannya hakim dalam perintahnya boleh mewajibkan kepada lembaga yang berbentuk badan hukum atau kepada pimimpin suatu rumah penampung atau kepada pejabat tertentu supaya memberi pertolongan dan bantuan kepada terpidana dalam memenuhi syarat-syarat khusus.

3. Aturan-aturan lebih lanjut mengenai pengawan dan bantuan tadi serta mengenai penunjukkan lembaga dan pemimpin rumah penampung yang dapat diserahi memberi bantuan itu diatur dengan undang-undang.

Pasal 14e KUHP:

1. Atas usul pejabat tersebut Pasal 14d ayat (1) atas permintaan terpidana hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama selama masa percobaan, dapat mengubah syarat-syarat khusus atau lamanya waktu berlaku syarat-syarat khusus di dalam masa percobaan. Hakim juga boleh memerintahkan orang lain daripada orang yang diperintahkan semula, supaya meberi bantuan kepada terpidana dan juga boleh memperpanjang masa percobaan satu kali, paling banyak dengan separo dari waktu yang paling lama dapat ditetapkan untuk masa percobaan.

Pasal 14f KUHP:

1. Tanpa mengurangi ketentuan tersebut pasal

di atas, atas usul tersebut Pasal 14d ayat (1), hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama dapat memerintahkan supaya pidananya dijalankan atau memerintahkan supaya atas namanya diberi peringatan pada terpidana, yaitu jika terpidana selama masa percobaan melakukan perbuatan pidana dan karenanya ada pemidanaan yang menjadi tetap, atau jika salah satu syarat lainnya tidak terpenuhi atau jika terpidana sebelum masa percobaan habis dijatuhi pemidanaan yang menjadi tetap karena melakukan perbuatan pidana sebelum masa percobaan mulai berlaku. Dalam memerintah pemberian peringatan, hakim harus menentukan juga bagaimana cara memberi peringatan itu.

2. Setelah masa percobaan habis, perintah supaya dijalankan tidak dapat diberikan lagi kecuali jika sebelum masa percobaan habis, terpidana dituntut karena melakukan perbuatan pidana di dalam masa percobaan dan penuntutan itu kemudian berakhir dengan pemidanaan yang menjadi tetap, hakim masih boleh memerintahkan supaya pidananya dijalankan, karena melakukan perbuatan pidana tadi.

Usaha untuk menerapkan pidana bersyarat menurut Muladi (2002: 197) harus diarahkan pada manfaat:

a. Pidana bersyarat tersebut di satu pihak harus dapat meningkatkan kebebasan individu, dan di lain pihak mempertahankan tertib hukum serta memberikan perlindungan kepada masyarakat secara efektif terhadap pelanggaran hukum lebih lanjut;

b. Pidana bersyarat harus dapat dapat meningkatkan persepsi masyarakat terhadap falsafah rehabilitasi dengan cara

Page 121: Jurnal April 2012

106 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 99-116

memelihara kesinambungan hubungan antara narapidana dengan masyarakat secara normal;

c. Pidana bersyarat berusaha menghindarkan dan melemahkan akibat-akibat negatif dari pidana perampasan kemerdekaan yang seringkali menghambat usaha pemasyarakatan kembali narapidana ke dalam masyarakat;

d. Pidana bersyarat mengurangi biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat untuk membiayai sistem koreksi yang berdaya guna;

e. Pidana bersyarat diharapkan dapat membatasi kerugian-kerugian dari pidana pencabutan kemerdekaan khususnya terhadap mereka yang kehidupannya tergantung kepada si pelaku tindak pidana;

f. Pidana bersyarat diharapkan dapat memenuhi tujuan pemidanaan yang bersifat integratif dalam fungsinya sebagai sarana pencegahan (umum dan khusus) perlindungan masyarakat, memelihara solidaritas masyarakat dan pengimbalan.

Sebagaimana telah disebutkan di atas Pengadilan Negeri Purwokerto dalam Perkara Nomor 247/Pid.B/2009/PN.PWT telah menjatuhkan Pidana Bersyarat kepada Mbok Mnh yang didakwa mencuri 3 (tiga) kilogram buah kakao atau cokelat. Dari putusan tersebut dapat dikemukakan fakta hukum sebagai berikut:

a. Identitas

Terdakwa Mnh alias Ny. S binti S. Tempat lahir Banyumas, umur 55 tahun, tahun lahir 1955. Jenis kelamin Perempuan. Kebangsaan Indonesia. Tempat tinggal desa ”D” Kecamatan Aji, Kabupaten B. Agama Islam, Pekerjaan

Tani, Pendidikan Kelas 1 Sekolah Dasar.

b. Dakwaan

Terdakwa Mnh alias Ny. S binti S pada hari Minggu, tanggal 2 Agustus 2009 sekitar jam 13.00 WIB atau setidak-tidaknya pada suatu waktu di tahun 2009, bertempat di areal perkebunan cokelat atau kakao Blok A9 milik PT RSA IV Darmakradenan ikut D ”D”, Kecamatan Aji, Kabupaten B atau setidak-tidaknya di suatu tempat lain dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Purwokerto, mengambil suatu barang yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki barang itu dengan melawan hukum.

Pada waktu dan tempat tersebut di atas ketika terdakwa berada di areal perkebunan cokelat atau kakao Blok A9 milik PT RSA IV Darmakradenan ikut Desa D kemudian saat itu melihat buah-buah kakao atau cokelat yang bergelantungan di pohonnya maka seketika saja timbul niat terdakwa untuk mengambil buah kakao milik PT RSA IV Darmakradenan tersebut tanpa ijin.

Selanjutnya terdakwa melaksanakan niatnya secara diam-diam tanpa sepengetahuan pemiliknya mengambil 3 (tiga) biji buah cokelat atau kakao berat sekitar 3 (tiga) kilogram dengan cara dipetik dengan menggunakan tangan terhadap buah cokelat yang masih berada di pohonnya dan terdakwa juga membawa 1 (satu) buah kandi untuk menaruh buah kakao atau cokelat tersebut, tapi belum sempat terdakwa membawanya meninggalkan tempat kejadian, ternyata perbuatan terdakwa diketahui oleh mandor perkebunan yaitu saksi T bin S dan saksi R alias D bin A yang sedang melakukan patroli rutin telah memergoki dan menangkap basah

Page 122: Jurnal April 2012

Penjatuhan Pidana Bersyarat Dalam Kasus Pencurian Kakao (Haryanto Dwiatmodjo) | 107

terdakwa setelah buah kakao atau cokelat tersebut berada di tangan terdakwa.

Akhirnya terdakwa diamankan oleh pihak kepolisian Polsek Aji untuk proses selanjutnya. Akibat perbuatan terdakwa maka pihak PT RSA IV Darmakradenan mengalami kerugian sekitar Rp 30.000,- (tiga puluh ribu rupiah). Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana sesuai Pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

c. Barang Bukti dan Keterangan Saksi

1. Barang Bukti

Untuk memperkuat pembuktiannya, jaksa penuntut umum mengajukan barang bukti ke persidangan berupa:

a. 3 (tiga) kilogram basah buah cokelat atau kakao berikut biji dan kulitnya.

b. 1 (satu) buah kandi.

2. Keterangan Saksi

Untuk membuktikan dakwaannya jaksa penuntut umum juga telah mengajukan 3 (tiga) orang saksi yakni: Saksi J bin WS, saksi T bin S dan saksi R alias D bin A, yang masing-masing telah memberikan keterangannya di bawah sumpah di persidangan.

d. Keterangan Terdakwa

Terdakwa memberikan keterangannya di persidangan yang pada pokoknya sebagai berikut:

- Terdakwa Mnh alias Ny. S binti S, pada hari Minggu pahing 2 Agustus 2009 sekitar pukul 13.00 WIB tertangkap basah Petugas PT RSA IV Blok A9

Darmakradenan mengambil 3 (tiga) biji buah cokelat atau kakao yang bila dijual di pasaran hanya seharga Rp2.100,- (dua ribu seratus rupiah) namun menurut pihak PT RSA IV mengalami kerugian Rp30.000,- (tiga puluh ribu rupiah);

- Saksi Mandor T bin S dan saksi R alias D bin A yang ikut menangkap terdakwa dilakukan dengan niat agar ada efek jera saja;

- Terdakwa mengambil untuk bibit karena tidak mampu untuk membeli;

- Terdakwa menyesali perbuatannya dan tidak akan mengulangi perbuatan tersebut, terdakwa baru pertama kali melakukan hal tersebut.

e. Tuntutan Jaksa

Setelah didengar keterangan para saksi dan keterangan terdakwa selanjutnya hakim memberikan kesempatan kepada jaksa penuntut umum untuk mengajukan tuntutannya. Jaksa penuntut umum dalam tuntutan hukumnya yang dibacakan yanggal 12 Nopember 2009, Nomer Reg. Perk. PDM.147.PKRTO/Ep.1/10.09 yang pada pokoknya menuntut supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan:

1. Menyatakan terdakwa Mnh alias Ny. S binti S terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “pencurian” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 362 KUHP;

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Mnh alias Ny. S binti S dengan pidana penjara 6 (enam) bulan dikurangi selama terdakwa ditahan dengan perintah agar

Page 123: Jurnal April 2012

108 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 99-116

terdakwa tetap ditahan;

3. Menyatakan barang bukti:

a. 3 (tiga) kilo gram buah cokelat atau kakao berikut biji dan kulitnya dikembalikan pada pihak PT RSA IV Darmakradenan ikut desa Darmakradenan.

b. 1 (satu) kandi dirampas untuk dimusnahkan.

4. Memetapkan supaya terpidana membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah).

Terhadap tuntutan pidana tersebut terdakwa mengajukan pembelaan atau pledoi pada tanggal 19 Nopember 2009 yang pada pokoknya mengemukakan sebagai berikut:

1. Terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi;

2. Terdakwa baru pertama kali melakukan perbuatan tersebut;

3. Terdakwa mohon maaf atas perbuatannya;

4. Terdakwa mohon hukuman yang seringan-ringannya dan seadil-adilnya.

f. Pertimbangan Hukum Hakim

Menimbang bahwa di media massa dimuat secara luas, pemberitaan yang pada pokoknya mengemukakan:

1. Simpati dan dukungan kepada Mnh atau Ny. S (55 tahun) warga Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang terus mengalir;

2. Sejumlah penggiat gender

menyampaikan keprihatinannya dan mendatangi DPRD agar ikut memberikan dukungan moral, tujuannya agar majelis hakim bisa menegakkan keadilan yang sesungguhnya untuk masyarakat;

3. Pendapat pakar Hukum Pidana dari Fakultas Hukum Unsoed yang menyatakan “Hakim dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan rasa keadilan yang sesungguhnya untuk masyarakat dan individu bukan hanya yuridis normatif saja”.

Menimbang bahwa terhadap pembelaan atau pledoi atau permohonan terdakwa tersebut dan pemberitaan media massa yang disampaikan dalam persidangan, penuntut umum menyatakan tetap pada tuntutan pidananya sedangkan terdakwa tetap pada pembelaannya atau pledoinya atau permohonannya. Terhadap hal-hal yang relevan sebagaimana termuat dan tercatat dalam berita acara persidangan diambil alih dan dianggap termuat dalam putusan ini.

Untuk memidana seseorang harus dibuktikan tentang adanya tindak pidana dan terdakwalah yang harus bertanggung jawab atas tindakan pidana tersebut. Mengenai hal adanya perbuatan pidana harus dibuktikan dengan dipenuhinya semua unsur pasal-pasal dari peraturan perundang-undangan yang didakwakan kepadanya dan tidak ditemukan adanya alasan pembenar, sedangkan mengenai pertanggungjawaban atas terjadinya tindak pidana tersebut dan ditemukan alasan pemaaf yang dapat menghapus pertanggungjawaban pidana.

Sehubungan dengan hal tersebut majelis hakim terlebih dahulu mempertimbangkan

Page 124: Jurnal April 2012

Penjatuhan Pidana Bersyarat Dalam Kasus Pencurian Kakao (Haryanto Dwiatmodjo) | 109

mengenai ada tidaknya tindak pidana dengan cara menghubung-hubungkan fakta hukum yang ada dengan semua unsur pasal-pasal dari peraturan perundang-undangan yang didakwakan kepada terdakwa, apabila terpenuhi semua unsur maka terdakwa yang telah terbukti melakukan tindak pidana seperti yang didakwakan kepadanya, selanjutnya akan dipertimbangkan lebih lanjut mengenai pertanggungjawaban pidana dengan cara menghubung-hubungkan fakta hukum yang ada dengan semua unsur pertanggungjawaban pidana.

Berdasar keterangan saksi-saksi dan terdakwa yang telah memberikan keterangan di persidangan, dihubungkan pula dengan barang bukti yang telah disita secara sah dan telah dibenarkan oleh saksi-saksi dan terdakwa, yang satu dan lainnya saling berhubungan, terdapat fakta-fakta hukum sebagai berikut:

1. Terdakwa Mnh alias Ny. S binti S, perempuan tua, umur 55 tahun kelahiran Banyumas, bertempat tinggal di Desa Darmakradenan RT 04/RW 09, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas;

2. Terdakwa Mnh sebagai petani terpaksa mengambil 3 (tiga) buah kakao untuk bibit diladangnya pada 2 Agustus 2009, Minggu siang pukul 13.00 WIB;

3. 3 (tiga) buah kakao tersebut tumbuh di pohon pada Perkebunan PT RSA IV Darmakradenan ikut desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas;

4. PT RSA IV Darmakradenan dirugikan Rp 30.000,- (tiga puluh ribu rupiah);

5. Penangkapan terdakwa Mnh

dimaksudkan untuk menimbulkan efek jera.

Terhadap fakta-fakta tersebut dihubungkan dengan unsur-unsur dari perundang-undangan yang didakwakan kepada terdakwa untuk dianalisa apakah fakta-fakta tersebut semua unsur pasalnya dari peraturan perundangan yang didakwakan kepada terdakwa terpenuhi atau tidak. Dalam perkara ini terdakwa oleh penuntut umum didakwa melakukan tindak pidana melanggar Pasal 362 KUHP: ”Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum diancam karena pencurian, dengan pidana paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.

Pasal 362 KUHP memuat unsur-unsur sebagai berikut:

1. Barang siapa;

2. Mengambil;

3. Yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain;

4. Dengan maksud memiliki barang dengan melawan hukum.

Ad. 1) Barang siapa

Yang dimaksud barang siapa adalah orang sebagai pendukung hak dan kewajiban yang identitasnya jelas diajukan ke persidangan karena telah didakwa melakukan tindak pidana dan perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Penuntut umum telah menghadapkan seorang terdakwa bernama: Mnh alias Ny. S binti S yang identitas selengkapnya seperti dalam surat dakwaan penuntut umum.

Setelah mendengar keterangan saksi-

Page 125: Jurnal April 2012

110 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 99-116

saksi dan keterangan terdakwa di persidangan, didapat fakta-fakta hukum bahwa tidak ada kekeliruan orang (eror in persona) yang disangka telah melakukan tindak pidana tersebut adalah benar Mnh alias Ny. S binti S. Berdasarkan pertimabangan hukum tersebut di atas maka unsur kesatu ini telah terbukti.

Ad. 2) Mengambil sesuatu barang

Yang dimaksud “mengambil sesuatu barang” adalah memindahkan barang ke suatu tempat ke tempat lain, dan berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan terdakwa Mnh alias Ny. S binti S pada hari Minggu Pahing tanggal 2 Agustus 2009 sekitar pukul 13.00 WIB telah mengambil 3 (tiga) buah kakao/cokelat dengan cara memetik dari pohon pada perkebunan PT RSA IV di Blok A9 Darmakradenan di desa Darmakradenan Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas dan hingga tertangkap tangan oleh saksi mandor T bin S dan saksi R alias D dan akibat perbuatan terdakwa PT. RSA IV Darmakradenan mengalami kerugian Rp. 30.000,-. Berdasarkan pertimbangan hakim maka unsur kedua ini telah terpenuhi.

Ad.3) Yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain

Berdasarkan keterangan saksi-saksi yang dihubungkan dengan petunjuk yang diperkuat oleh keterangan terdakwa di muka persidangan maka diperoleh fakta yang bersesuaian bahwa benar terdakwa telah mengambil 3 (tiga) buah kakao atau cokelat seluruhnya milik PT. RSA IV Darmakradenan bukan milik terdakwa Mnh. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, maka unsur ketiga inipun telah terbukti.

Ad.4) Dengan maksud memiliki barang dengan melawan hukum

Berdasarkan keterangan saksi-saksi yang dihubungkan dengan petunjuk yang diperkuat oleh keterangan terdakwa di muka persidangan maka diperoleh fakta yang bersesuaian bahwa benar telah mengambil 3 (tiga) buah kakao atau cokelat seberat lebih 3 (tiga) kilo gram yang seluruhnya milik PT. RSA IV Darmakradenan dan terdakwa mengambil barang tersebut di atas tanpa ijin dan sepengetahuan pemiliknya yaitu PT. RSA IV Darmakradenan dengan maksud akan memiliki untuk bibit tanaman dan perbuatan terdakwa tersebut mengakibatkan PT. RSA IV Darmakradenan menderita kerugian Rp. 30.000,- (tiga puluh ribu rupiah). Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, maka unsur keempat terpenuhi.

Oleh karena semua unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 362 KUHP telah terpenuhi maka hakim berkeyakinan bahwa terdakwa Mnh alias Ny. S binti S dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan melanggar Pasal 362 KUHP karena itu terdakwa harus dihukum sesuai dengan perbuatannya tersebut. Terhadap hal tersebut di atas majelis hakim mempertimbangkan apakah ada alasan pembenar yang dapat meniadakan/menganulir tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa tersebut; bahwa alasan pembenar yang tertulis sebagaimana ditentukan dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP, Pasal 50 KUHP dan Pasal 51 ayat (1) KUHP.

Karena telah terbukti semua unsur tindak pidana dari delik yang didakwakan kepada terdakwa yang ternyata diatur dalam KUHP sebagai Hukum Pidana Materiil, maka tindakan yang dilakukan terdakwa tersebut telah terbukti sebagai tindakan yang melawan hukum, dengan demikian tidak ditemukan alasan pembenar “ketiadaan sifat melawan hukum materiil”.

Page 126: Jurnal April 2012

Penjatuhan Pidana Bersyarat Dalam Kasus Pencurian Kakao (Haryanto Dwiatmodjo) | 111

Terdakwa bukanlah dokter maupun berprofesi sebagai paramedis, tindakan yang dilakukan terdakwa tersebut tidak terkait dengan masalah kedokteran dengan demikian tidak ditemukan alasan pembenar “eksepsi kedokteran”; berdasarkan hal-hal yang telah dipertimbangkan di atas, tidak ditemukan alasan pembenar baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis (keadaan sifat melawan hukum materiil dan eksepsi kedokteran).

Setelah terbukti adanya tindak pidana tersebut dan tidak ditemukan alasan pembenar, selanjutnya majelis hakim mempertimbangkan mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap terdakwa yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

1. Barang siapa (pelaku subjek hukum).

2. Kesalahan (sengaja/dolus atau kealpaan/culpa).

3. Tidak ada alasan pemaaf.

Ad. 1 dan 2:

Unsur kesatu dan kedua telah dipertimbangkan sebagaimana tersebut di atas dan kedua unsur ini telah terbukti dan terpenuhi.

Ad. 3:

Alasan pemaaf yang tertulis dalam KUHP ada 4 (empat) macam, yaitu:

1. Tidak mampu bertanggung jawab (Pasal 44 KUHP)

2. Daya paksa (Pasal 48 KUHP)

3. Pembelaan darurat yang melampaui batas (Pasal 49 ayat (2) KUHP)

4. Sedangkan alasan pemaaf yang

tertulis adalah “Avas” atau “tidak tercela”.

Sepanjang persidangan berlangsung menurut pengamatan majelis, terdakwa dalam keadaan sehat jasmani maupun rohani, mampu mengikuti jalannya persidangan dengan baik dan diperoleh fakta bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa atas kehendak sendiri, bukan karena perintah jabatan yang tidak sah, dikira sah dan tidak pernah diketemukan alasan pembelaan darurat, sehingga menurut majelis hakim tidak diketemukan alasan pemaaf sebagaimana ditentukan dalam Pasal 44 KUHP, Pasal 48 KUHP, Pasal 48 ayat (2) KUHP dan Pasal 51 ayat (2) KUHP, sehingga terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukannya.

Fenomena “kasus Mnh” ini menjadi menarik masyarakat karena menyentuh sisi kemanusiaan, melukai keadilan rakyat “dimejahijaukan” ambil 3 (tiga) biji kakao/cokelat senilai Rp21.999,-. “Aktivis Dukung Ny. Mnh dibebaskan”…mestinya polisi, jaksa dan majelis hakim bisa melihat dampak yang ditimbulkan dari perbuatan si pelaku. Kalau dampaknya tidak begitu merugikan masyarakat secara luas termasuk pihak korban itu bisa ditangani dengan pendekatan lain dulu, tidak terus semua diproses pidana.

Perbuatan terdakwa merupakan gejala tidak diberdayakannya masyarakat setempat sekitar PT. RSA IV Darmakradenan sehingga menimbulkan ketimpangan dan kecemburuan sosial. Lebih jauh lagi bahwa yang terpenting putusan haruslah membawa makna, makna itu disiratkan melalui fantasi dan imajinasi yang divisualisasikan fantasi dan imajinasi hakim haruslah memimpin sebuah peradaban. Ketentuan pidana yang tercantum dalam pasal perundangan yang didakwakan

Page 127: Jurnal April 2012

112 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 99-116

kepada terdakwa masih bersifat umum, masih bersifat abstrak, dalam arti tatkala terjadi suatu perkara dan di hadapkan ke pengadilan, maka hakimlah yang berkewajiban untuk memberikan roh keadilan kepada pencari keadilan di dalam kasus melalui putusannya.

Sebelum hakim menjatuhkan hukuman kepada terdakwa, maka perlu dikemukakan hal-hal yang meringankan dan memberatkan terdakwa, selain itu dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa yang dipertimbangkan sebagai berikut:

Hal-hal yang memberatkan:

Tidak dijumpai pada terdakwa Mnh.

Hal-hal yang meringankan:

1. Terdakwa Mnh sudah lanjut usia;

2. Terdakwa Mnh adalah petani yang tidak punya apa-apa;

3. Tiga buah kakao, sangatlah berarti bagi petani Mnh, buat benih untuk ditanam kembali, sedang dari sisi perusahaan perkebunan tidak terlalu merugi;

4. Semangat terdakwa Mnh, haruslah diapresiasi, menghadiri persidangan tepat waktu mesti letih tertatih-tatih;

5. Terdakwa mengambil kakao tiga buah, bagi Mnh selaku terdakwa sudah merupakan hukuman baginya, mengganggu ketenangan jiwa, melalui hati, menguras tenaga dan harta serta membuat keropos jiwa raga.

Mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas menurut majelis hakim pidana yang akan

dijatuhkan terhadap diri terdakwa sebagaimana tersebut dalam amar putusan ini adalah sudah sesuai dengan kadar kesalahan terdakwa dan tidak bertentangan dengan rasa keadilan rakyat.

Oleh karena terdakwa ditahan maka masa penahanan yang telah dijalani terdakwa haruslah dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.

Menimbang, bahwa mengenai barang bukti akan dipertimbangkan statusnya masing-masing sebagai berikut:

1. 3 (tiga) kilo gram buah cokelat atau kakao berikut biji dan kulitnya dikembalikan ke PT. RSA IV Darmakradenan melalui saksi T bin S.

2. 1 (satu) buah kandi dirampas untuk dimusnahkan.

g. Amar Putusan

Karena terdakwa dinyatakan bersalah, maka harus dibebani membayar biaya perkara (Pasal 222 ayat (1) KUHAP, mengingat Pasal 362 KUHP, Pasal 197 KUHAP serta perundang-undangan lain yang berlaku. Selanjutnya majelis hakim yang memeriksa perkara ini telah mengambil putusan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto pada hari Kamis, tanggal 19 Nopember 2009, putusan mana pada hari itu juga diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum oleh majelis hakim tersebut, putusannya sebagai berikut:

1. Menyatakan terdakwa Mnh alias Ny. S binti S yang lengkap dengan segala identitasnya tersebut di atas, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pencurian;

Page 128: Jurnal April 2012

Penjatuhan Pidana Bersyarat Dalam Kasus Pencurian Kakao (Haryanto Dwiatmodjo) | 113

2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada terdakwa pidana penjara selama 1 (satu) tahun 15 (lima belas) hari dengan ketentuan pidana tersebut tidak usah terdakwa jalani kecuali apabila dikemudian hari ada putusan hakim yang menjatuhkan pidana kepada terdakwa karena terdakwa melakukan tindak pidana sebelum habis masa percobaan selama 3 (tiga) bulan;

3. Memerintahkan supaya barang bukti:

a. 3 (tiga) kilo gram buah cokelat atau kakao berikut biji dan kulitnya dikembalikan pada PT. RSA IV Darmakradenan melalui saksi T bin S;

b. 1 (satu) buah kandi dirampas untuk dimusnahkan;

c. Membebankan kepada terdakwa biaya perkara sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah).

Alasan yang menjadi dasar bagi hakim dalam menjatuhkan pidana bersyarat dalam perkara Nomor 247/Pid.B/2009/PN.PWT menurut penuturan salah seorang hakim yang menyidangkan perkara tersebut bertujuan untuk membimbing atau memberi peringatan pada terpidana agar tidak mengulangi tindak pidana dan untuk sarana edukasi agar pelakunya sadar bahwa tindak pidana yang dilakukan merupakan perbuatan tercela yang mengakibatkan pemidanaan.

Di samping itu tujuan penjatuhan pidana bersyarat pada terdakwa karena adanya keyakinan hakim bahwa pidana tersebut dapat memperbaiki perilaku terdakwa. Selain itu menurut Dr. Noor Aziz Said, S.H, M,S pengajar Magister Ilmu Hukum Universitas Jenderal Soedirman berpendapat bahwa penjatuhan pidana bersyarat untuk mengurangi dampak buruk pidana penjara.

Terdakwa seperti mbok Mnh yang sudah tua hanya gara-gara mencuri buah kakao yang nilainya tidak seberapa itu harus dipenjara. Oleh karena itu demi rasa keadilan masyarakat dan demi keadilan serta kepentingan terdakwa sendiri penjatuhan pidana bersyarat oleh hakim sudah tepat.

Penjatuhan pidana bersyarat dalam perkara Nomor 247/Pid.B/2009/PN.PWT dengan segala pertimbangan hukumnya juga sudah sesuai dengan ide dasar atau pemikiran dasar dari ketentuan pidana bersyarat sebagaimana dikemukakan Muladi yakni bahwa pemikiran dasar yang melandasi sanksi pidana bersyarat sangat sederhana. Pidana yang dijatuhkan secara keseluruhan untuk menghindari tindak pidana lebih lanjut dengan cara menolong terpidana agar belajar hidup produktif dalam mayarakat yang telah dirugikan olehnya. Cara yang sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan ini adalah dengan cara mengarahkan pelaksanaan sanksi pidana dalam masyarakat, daripada mengirim ke lingkungan yang bersifat buatan tidak normal dalam bentuk perampasan kemerdekaan.

Hal ini tidak berarti bahwa sanksi pidana bersyarat bisa digunakan untuk semua kasus atau akan selalu menghasilkan sesuatu yang lebih baik dari sanksi pidana pencabutan kemerdekaan. Yang harus ditekankan dalam hal sanksi pidana bersyarat adalah bahwa sanksi pidana bersyarat harus dapat menjadi suatu lembaga hukum yang lebih baik dari sekedar merupakan suatu kebaikan atau kelonggaran atau kemurahan hati sebagaimana dihayati oleh sebagian besar masyarakat dewasa ini dan menjadi sarana koreksi yang tidak hanya bermanfaat bagi terpidana melainkan juga bermanfaat bagi masyarakat (Muladi, 2002: 175).

Lebih jelas lagi penjatuhan pidana bersyarat oleh hakim dalam perkara Nomor 247/

Page 129: Jurnal April 2012

114 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 99-116

Pid.B/2009/PN. PWT, dapat diketahui dari amar putusan hakim yang antara lain menyatakan:

a. Terdakwa Mnh alias Ny. S binti S yang lengkap dengan segala identitas tersebut di atas, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pencurian;

b. Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada terdakwa pidana penjara selama 1 (satu) tahun 15 (lima belas) hari dengan ketentuan pidana tersebut tidak usah terdakwa jalani kecuali apabila di kemudian hari ada putusan hakim yang menjatuhkan pidana kepada terdakwa karena terdakwa melakukan tindak pidana sebelum habis masa percobaan selama 3 (tiga) bulan.

Penjatuhan pidana bersyarat oleh hakim dalam perkara Nomor 247/Pid.B/2009/PN. PWT, juga didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan:

a. Pembelaan atau pledoi tanggal 19 Nopember 2009 yang pada pokoknya dikemukakan:

1. Terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi;

2. Terdakwa baru pertama kali melakukan perbuatan tersebut;

3. Terdakwa mohon maaf atas perbuatanya;

4. Terdakwa mohon hukuman yang seringan-ringannya dan seadil-adilnya.

b. Media masa juga memuat secara luas pemberitaan yang pada pokoknya mengemukakan:

1. Simpati dan dukungan kepada Mnh atau Ny. S (55 tahun) warga Desa «D», Kecamatan Aji terus mengalir;

2. Sejumlah penggiat gender menyampaikan keprihatinannya dan mendatangi DPRD agar ikut memberikan dukungan moral, tujuannya agar majelis hakim bisa menegakkan keadilan yang sesungguhnya untuk masyarakat;

3. Pendapat salah seorang akademisi Hukum Pidana dari Fakultas Hukum Unsoed yang menyatakan “Hakim dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan rasa keadilan yang sesungguhnya untuk masyarakat dan individu bukan hanya yuridis normatif saja”.

c. Fenomena “kasus Mnh” ini menjadi menarik masyarakat karena menyentuh sisi kemanusiaan, melukai keadilan rakyat “dimejahijaukan” ambil 3 (tiga) biji kakao/cokelat senilai Rp 21.999,-. “Aktivis Dukung Ny. Mnh dibebaskan”…mestinya polisi, jaksa dan majelis hakim bisa melihat dampak yang ditimbulkan dari perbuatan si pelaku. Kalau dampaknya tidak begitu merugikan masyarakat secara luas termasuk pihak korban itu bisa ditangani dengan pendekatan lain dulu, tidak terus semua diproses pidana.

d. Di samping itu perbuatan terdakwa merupakan gejala tidak diberdayakannya masyarakat sekitar PT. RSA IV Darmakradenan sehingga menimbulan ketimpangan dan kecemburuan sosial.

e. Lebih jauh lagi bahwa yang terpenting putusan haruslah membawa makna, makna

Page 130: Jurnal April 2012

Penjatuhan Pidana Bersyarat Dalam Kasus Pencurian Kakao (Haryanto Dwiatmodjo) | 115

itu disiratkan melalui fantasi dan imajinasi yang divisualisasikan fantasi dan imajinasi hakim haruslah memimpin sebuah peradaban.

f. Ketentuan pidana yang tercantum dalam pasal perundangan yang didakwakan kepada terdakwa masih bersifat umum, masih bersifat abstrak, dalam arti tatkala terjadi suatu perkara dan dihadapkan ke pengadilan, maka hakimlah yang berkewajiban untuk memberikan roh keadilan kepada pencari keadilan melalui putusan pengadilan.

Sedangkan penjatuhan pidana bersyarat dalam perkara Nomor 247/Pid.B/2009/PN. PWT, dalam hubungannya dengan ide dasar penjatuhan pidana bersyarat telah sesuai dengan pemikiran dasar yang melandasi pidana bersyarat, ini dapat disimpulkan dari hal-hal berikut:

a. Pidana bersyarat untuk menghindari terjadinya tindak pidana lebih lanjut dengan cara menolong terpidana agar belajar hidup produktif dalam masyarakat yang telah dirugikan olehnya;

b. Pidana bersyarat harus menjadi lembaga hukum yang lebih baik dari sekedar merupakan suatu kebaikan atau kelonggaran atau kemurahan hati dari hakim maupun masyarakat;

c. Pidana bersyarat dapat menjadi sarana koreksi yang tidak hanya bermanfaat bagi terpidana melainkan juga bermanfaat bagi masyarakat;

d. Adanya premis yang menyatakan bahwa tanggapan terhadap kejahatan yang utama adalah sanksi pidana bersyarat (pidana non

institusional) kecuali terdapat faktor-faktor yang memberatkan dalam kasus-kasus tertentu. Di dalam konteks ini pemanfaatan sanksi pidana bersyarat akan meningkatkan daya pencegahan hukum pidana dengan segala keuntungan-keuntungannya dibandingkan dengan pidana perampasan kemerdekaan;

e. Pidana bersyarat sesuai dengan variabel hukum pidana yang berperikemanusiaan, yaitu sebagai hukum pidana yang bercirikan: mengutamakan pencegahan, tidak hanya berorientasi kepada perbuatan tetapi juga kepada orang yang melakukan tindak pidana.

SIMPULANIV.

Berdasarkan uraian sebagaimana tersebut di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa penjatuhan pidana bersyarat dalam perkara Nomor 247/Pid.B/2009/PN. PWT, telah sesuai dengan ide dasar penjatuhan pidana bersyarat karena telah didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan: Sanksi tersebut untuk menghindari terjadinya tindak pidana lebih lanjut dengan cara menolong terpidana agar belajar hidup produktif dalam masyarakat yang telah dirugikan olehnya; dan menjadi sarana koreksi yang tidak hanya bermanfaat bagi terpidana melainkan juga bermanfaat bagi masyarakat.

Putusan ini sesuai dengan variabel hukum pidana yang berperikemanusiaan, yaitu sebagai hukum pidana yang bercirikan: mengutamakan pencegahan, tidak hanya berorientasi kepada perbuatan tetapi juga kepada orang yang melakukan tindak pidana.

Page 131: Jurnal April 2012

116 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 99-116

DAFTAR PUSTAKA

Atmasasmita, Romli. 1996. Cet. Ke-2. Sistem Peradilan Pidana (Perspektif Eksestialisme dan Abolisionisme). Bandung: Binacipta.

Fakultas Hukum Universitas Indonesia (Tim). 2001. Sinkronisasi Ketentuan Perundang-undangan Mengenai Sistem Peradilan Pidana Terpadu Melalui Penerapan Asas-asas Umum. Jakarta.

Huda, Chairul. 2006. Dari Tiada Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan: Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: Kencana Prenada Media.

Kaligis, O.C. 2006. Edisi Pertama. Cet. Ke-1. Perlindungan Hukum Atas Hak Tersangka, Terdakwa dan Terpidana. Bandung: PT Alumni.

Lestijono, Agus Dwi. 2005. Telaah Konsep Hak Asasi Manusia dalam Kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana. Jurnal Hukum Vol. 01 No. 1 Tahun 2005, hal. 96.

Mudzakir. 2001. Posisi Hukum Korban Kejahatan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Disertasi. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Muladi. 2002. Lembaga Pidana Bersyarat. Bandung: Alumni.

Rahardjo, Satjipto. 1986. Hukum dan Masyarakat. Bandung: Angkasa.

Page 132: Jurnal April 2012

BIODATA PENULIS

Ibnu Sina Chandranegara, adalah Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta Bagian Hukum Tata Negara, lahir di Jakarta, pada tanggal 11 Oktober 1989. Memperoleh gelar Sarjana Hukum (S1) pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta dan saat ini masih melanjutkan studi pada Program Magister Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta dengan Konsentrasi Hukum Tata Negara. Penulis juga merupakan Anggota Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Di samping itu Penulis juga merupakan Anggota Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia Pimpinan Pusat Muhammadiyah Periode 2010-2015. Email: [email protected]. HP: +6281311075760.

Mella Ismelina FR, adalah Dekan dan pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung sekaligus pengajar pada Pascasarjana Universitas Islam Bandung dan Program Magister Ilmu Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak. Gelar kesarjanaan diperoleh dari Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung, gelar magister diperoleh dari Program Magister Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran Bandung dan gelar doktor ilmu hukum diperoleh dari Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang serta memperoleh jabatan Guru Besar di bidang Ilmu Hukum. Beliau aktif melakukan penelitian dan menulis di jurnal ilmiah.

M. Syamsudin, lahir di Purworejo, Jawa Tengah, 4 September 1969. Menyelesaikan Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Semarang 1994, Magister Hukum di Program Pascasarjana Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, 2002, dan Program Doktor Ilmu Hukum di Pascasarjana Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, 2010. Bekerja sebagai Dosen Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta (Program S1, S2 dan S3) mengampu matakuliah: Hukum Adat, Antropologi Hukum, Metode Penelitian Hukum, Filsafat Hukum, dan Teori Hukum. Jabatan yang pernah dipegang Kepala Pusat Penelitian Sosial Lembaga Penelitian UII Yogyakarta (2002-2005), Kepala Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII (2010-sekarang), Sekretaris Senat FH UII (2005-2010), Konsultan Peneliti di Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Perhubungan Republik Indonesia (2002-sekarang), Ketua Penyunting Jurnal Fenomena Pusat Penelitian Sosial UII (2003-2005). Peserta pada Training on Social-Legal Studies in Promoting and Protecting Indigenous Rigths: A Harmonization between Modern Law and Customary Law in Indonesia, 15 March – 1 April 2010, di Van Vollenhoven Institute, Leiden University Belanda. Peserta Program Sandwich Like di School of Law, Flinders University, Adelaide South Australia, September-Desember 2008. HP: 08562880013.

Page 133: Jurnal April 2012

Erman Rajagukguk, lahir di Padang 1 Juni 1946. Mendapat S.H. (Sarjana Hukum) dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (1975). Melanjutkan studi ke Amerika Serikat (1982–1988) dan mendapat LL.M dari University of Washington, School of Law, Seattle (1984) dan Ph.D dari universitas yang sama (1988). Pada tahun 1997 diangkat sebagai Gurubesar Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Setahun kemudian diangkat menjadi Direktur Jenderal Hukum & Perundang-Undangan Departemen Kehakiman Republik Indonesia (1998). Delapan bulan kemudian diangkat sebagai Wakil Sekretaris Kabinet RI sampai dengan April 2005. Ditunjuk sebagai Wakil Ketua Team Pemerintah dalam penyusunan dan pembahasan RUU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dengan DPR. Sekarang selain mengajar pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Dekan Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia (2005–sekarang). Buku yang telah diterbitkan antara lain “Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah, dan Kebutuhan Hidup” (Jakarta: Ghalia, 1990), “Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan” (Jakarta: Chandra Pratama, 1998), ”Nyanyi Sunyi Kemerdekaan: Menuju Indonesia Negara Hukum Demokratis” (Jakarta: Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi FH UI, 2006), ”Hukum Investasi di Indonesia” (Jakarta: Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi FH UI, 2007), “Perseroan Terbatas, Keuangan Negara, Dan Tindak Pidana Korupsi” (Jakarta: Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi FH UI, 2009), “Butir-Butir Hukum Ekonomi” (Jakarta : Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi FH UI, 2011).

Mutiara Hikmah, lahir di Jakarta pada 21 Januari 1970. Berkarir sebagai Dosen Tetap di Fakultas Hukum UI sejak Mei 1996. Saat ini menjabat Lektor Kepala dengan Pangkat/Golongan IV-b. Gelar Sarjana Hukum dengan skripsi di Bidang Hukum Perdata Internasional, dicapai pada tahun 1995. Kemudian Gelar Magister di bidang Hukum Ekonomi pada tahun 2002. Mengikuti Program Doktor Pada Program Pasca sarjanaa FHUI pada tahun 2003, dan pada tahun 2010 memperoleh Gelar Doktor dari Universitas Pelita Harapan. Matakuliah yang diasuh di Fakultas Hukum UI adalah Hukum Antar Tata Hukum/ HATAH, Hukum Perdata Internasional, Konvensi-konvensi Hukum Perdata Internasional, Kapita Selekta Hukum Perdata Internasional, serta mata kuliah Hukum dan Hak Asasi Manusia. Di Fakultas Ekonomi UI mengajar untuk Kelas Khusus Internasional, sejak tahun 2006 pada mata kuliah Economics and Business Law in Indonesia. Dosen yang aktif dalam menulis, meneliti dan juga mengikuti training, workshop dan konferensi baik yang bersifat nasional maupun internasional. Penulis juga aktif memuat tulisannya di dalam jurnal-jurnal ilmiah, antara lain Jurnal Hukum dan Pembangunan, Jurnal Keadilan dan Jurnal Hukum Internasional. Buku-buku yang pernah ditulis, antara lain ”Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional Pada Perkara-Perkara Kepailitan” (Penerbit Refika Aditama, 2007) dan Bunga Rampai Hukum Antar Tata Hukum dan Hak Asasi Manusia (Penerbit Fakultas Hukum UI, 2011).

Page 134: Jurnal April 2012

Endang Purwaningsih, lahir di Purworejo, Jawa Tengah pada 04 September 1968, menamatkan pendidikan dasar dan menengah di SDN Kaligondang I Pituruh, SMPN Pituruh dan SMAN Kutoarjo, Kabupaten Purworejo Jawa Tengah; lulus S1 Ilmu Hukum (Hukum Keperdataan) Universitas Diponegoro/UNDIP 1991 dengan Skripsi: “Pelaksanaan Joint Venture Indonesia dan Jepang di Indonesia”; lulus S2 Ilmu Hukum (Hukum Ekonomi) Universitas Gadjah Mada/UGM 1998 dengan Tesis: “Peranan Lisensi Paten dalam Pertumbuhan Teknologi dan Industri Indonesia”, dan lulus S3 Ilmu Hukum (Hukum Hak Kekayaan Intelektual) Universitas Airlangga/UNAIR 2005, dengan Disertasi: “Perlindungan Paten Menurut Hukum Paten Indonesia” (Studi Komparatif). Saat ini Penulis menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas YARSI Jakarta (2009-2013). Pengalaman penelitian Penulis antara lain Penelitian Hibah Kompetensi DIKTI 2011/2012 tentang Traditional Knowledge (sebagai Ketua); Penelitian Hibah Bersaing DIKTI 2009 tentang Perlindungan Tapis Lampung (sebagai Ketua); Penelitian Hibah Bersaing DIKTI 2008 tentang Patentability Invention di Kalangan Kampus se-Provinsi Lampung dalam rangka menumbuhkembangkan Indigenous Technological Capabilities (sebagai Ketua); Penelitian Hibah Bersaing DIKTI 2008-2010 tentang Perlindungan Foklor Jawa oleh Masyarakat Transmigran Jawa di Lampung (sebagai anggota), Penelitian Fundamental DIKTI 2008 tentang Kawin Lari Sebambangan sebagai Media Pembelajaran Sosial Mayarakat Adat Lampung (sebagai anggota); Penelitian Hibah Bersaing DIKTI 2007 (sebagai Ketua) mengenai Patent Culture Building di Sentra Industri Kecil dan Menengah Jawa Timur; Penelitian Hibah Bersaing DIKTI 2008 (sebagai anggota) mengenai Model Rehabilitasi Napi Wirogunan Yogyakarta; Penelitian Hibah Bersaing DIKTI 2007 (sebagai anggota); Penelitian Hibah Bersaing DIKTI 2006 mengenai Konflik PT Freeport dan Masyarakat Adat Timika (sebagai anggota); Penelitian tentang Pengaruh Kesadaran Hukum, Sosialisasi Pemerintah tentang BIO-PIRACY, dan Budaya hukum terhadap Motivasi Produsen Jamu dan Obat Tradisional untuk Memperoleh Perlindungan Hukum HKI, 2006 (sebagai Ketua) dan lain lain. Buku cetak yang telah diterbitkan antara lain “Perkembangan Hukum Intellectual Property Rights” (Ghalia Yudistira, 2005) dan “Kapita Selekta Hukum Ekonomi” (Jenggala Pustaka Utama, 2009); “Hukum Bisnis” (Ghalia Yudistira, 2010); dan “Hak Kekayaan Intelektual dan Lisensi” (Mandar Maju, 2012). HP: 081280400620

Haryanto Dwiatmodjo, lahir di Yogyakarta tanggal 25 Februari 1957 adalah Staf Pengajar di Fakultas Hukum UNSOED Purwokerto dan sekarang menjabat sebagai Ketua Bagian Hukum Pidana di Fakultas Hukum UNSOED. Pendidikan S1 di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Lulus tahun 1985 dan Pendidikan S2 di Universitas Diponegoro Semarang Lulus tahun 1997.

Page 135: Jurnal April 2012

PEDOMAN PENULISAN

Jurnal Yudisial menerima naskah hasil penelitian atas putusan pengadilan (court decision) suatu kasus konkret yang memiliki kompleksitas permasalahan hukum, baik dari pengadilan di Indonesia maupun luar negeri.

FORMAT NASKAH

Naskah dituangkan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris baku. Apabila ada kutipan langsung yang dipandang perlu untuk tetap ditulis dalam bahasa lain di luar bahasa Indonesia atau Inggris, maka kutipan tersebut dapat tetap dipertahankan dalam bahasa aslinya dengan dilengkapi terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.

Naskah diketik di atas kertas ukuran kwarto (A-4) sepanjang 20 s.d. 25 halaman (sekitar 6.000 kata), dengan jarak antar-spasi 1,5. Ketikan menggunakan huruf (font) Times New Roman berukuran 12 poin.

Semua halaman naskah diberi nomor urut pada margin kanan bawah.

SISTEMATIKA NASKAH

I. JUDUL NASKAH

Judul utama ditulis di awal naskah dengan menggunakan huruf Times New Roman 14 poin, diketik dengan huruf kapital seluruhnya, ditebalkan (bold), dan diletakkan di tengah margin (center text). Tiap huruf awal anak judul ditulis dengan huruf kapital, ditebalkan, dengan menggunakan huruf Times New Roman 12 poin. Contoh:

PERSELISIHAN HUKUM MODERN DAN HUKUM ADAT

DALAM KASUS PENCURIAN SISA PANEN RANDU

Kajian Putusan Nomor 247/Pid.B/2009/PN.BTG

A. Nama dan identitas penulis

Nama penulis ditulis tanpa gelar akademik. Jumlah penulis dibolehkan maksimal dua orang. Setelah nama penulis, lengkapi dengan keterangan identitas penulis, yakni nama dan alamat lembaga tempat penulis bekerja, serta akun email yang bisa dihubungi! Nama penulis dicetak tebal (bold), tetapi identitas tidak perlu dicetak tebal. Semua keterangan ini diketik dengan huruf Times New Roman 12 poin, diletakkan di tengah margin. Contoh:

Mohammad Tarigan

Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jalan S. Parman No. 1 Jakarta 11440,

email [email protected].

Page 136: Jurnal April 2012

b. Abstrak

Abstrak ditulis dalam dua bahasa sekaligus, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Panjang abstrak dari masing-masing bahasa sekitar 200 kata, disertai dengan kata-kata kunci (keywords) sebanyak 3 s.d. 5 terma (legal terms). Jarak antar-spasi 1,0 dan dituangkan dalam satu paragraf.

II. PENDAHULUAN

Subbab ini berisi latar belakang dari rumusan masalah dan ringkasan jalannya peristiwa hukum (posisi kasus) yang menjadi inti permasalahan dalam putusan tersebut.

III. RUMUSAN MASALAH

Subbab ini memuat formulasi permasalahan yang menjadi fokus utama yang akan dijawab nanti melalui studi pustaka dan analisis. Rumusan masalah sebaiknya diformulasikan dalam bentuk pertanyaan. Setiap rumusan masalah harus diberi latar belakang yang memadai dalam subbab sebelumnya.

IV. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS

Subbab ini diawali dengan studi pustaka, yakni tinjauan data/informasi yang diperoleh melalui bahan-bahan hukum seperti perundang-undangan dan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, juga hasil-hasil penelitian, buku, dan artikel yang relevan dan mutakhir. Paparan dalam studi pustaka tersebut harus menjadi kerangka analisis terhadap rumusan masalah yang ingin dijawab. Bagian berikutnya adalah analisis permasalahan. Analisis harus dikemas secara runtut, logis, dan terfokus, yang di dalamnya terkandung pandangan orisinal dari penulisnya. Bagian analisis ini harus menyita porsi terbesar dari keseluruhan substansi naskah.

V. SIMPULAN

Subbab terakhir ini memuat jawaban secara lengkap dan singkat atas semua rumusan masalah.

PENGUTIPAN DAN DAFTAR PUSTAKA

Sumber kutipan ditulis dengan menggunakan sistem catatan perut (body note atau side note) dengan urutan nama penulis/lembaga, tahun terbit, dan halaman yang dikutip. Tata cara pengutipannya adalah sebagai berikut:

Satu penulis: (Grassian, 2009: 45); Menurut Grassian (2009: 45), ...

Dua penulis: (Abelson dan Friquegnon, 2010: 50-52);

Lebih dari dua penulis: (Hotstede. Et.al., 1990: 23);

Terbitan lembaga tertentu: (Cornell University Library, 2009: 10).

Kutipan tersebut harus ditunjukkan dalam daftar pustaka (bibliografi) pada akhir naskah. Tata cara penulisan daftar pustaka dilakukan secara alfabetis, dengan contoh sebagai berikut:

Page 137: Jurnal April 2012

Abelson, Raziel & Marie-Louise Friquegnon. Eds. 2010. Ethics for Modern Life. New York: St. Martin’s Press.

Grassian, Victor. 2009. Moral Reasoning: Ethical Theory and Some Contemporary Moral Problems. New Jersey: Prentice-Hall.

Cornell University Library. 2009. “Introduction to Research.” Akses 20 Januari 2010. <http://www.library.cornell.edu/resrch/intro>.

PENILAIAN

Semua naskah yang masuk akan dinilai dari segi format penulisannya oleh tim penyunting. Naskah yang memenuhi format selanjutnya diserahkan kepada mitra bestari untuk diberikan catatan terkait kualitas substansinya. Setiap penulis yang naskahnya diterbitkan dalam Jurnal Yudisial berhak mendapat honorarium dan beberapa eksemplar bukti cetak edisi jurnal tersebut.

CARA PENGIRIMAN NASKAH

Naskah dikirim dalam bentuk digital (softcopy) ke alamat e-mail:

[email protected]

dengan tembusan ke:

[email protected] dan [email protected].

Personalia yang dapat dihubungi (contact persons):

Nur Agus Susanto (085286793322);

Dinal Fedrian (085220562292); atau

Arnis (08121368480).

Alamat redaksi:

Pusat Data dan Layanan Informasi, Gd. Komisi Yudisial Lt. 3, Jl. Kramat Raya No. 57 Jakarta Pusat 10450, Fax. (021) 3906215.