45
JUMP 5 1. Patofisiologi pasien mengeluh nyeri dada kanan, dan nyeri pundak kiri. 2. Patofisiologi pergerakkan dada kanan tertinggal dan sesak nafas makin berat. 3. Interpretasi pemeriksaan fisik pada hemithorax kanan dan bahu kiri. 4. Secondary survey. 5. Pemeriksaan klinis, penanganan dan imobilisasi pada kegawatdaruratan. 6. Biomekanika trauma. 7. Anatomi thorax dan clavicula. 8. Gejala trauma thorax dan pneumothorax ventil. 9. Pemeriksaan klinis dan penunjang pada thorax dan clavicula. 10. Penanganan trauma pada bahu kiri dan thorax. 11. Aspek medikolegal pada kasus kegawatdaruratan. JUMP 7 1. Patofisiologi pasien mengeluh nyeri dada kanan, dan nyeri pundak kiri. Pada skenario dilaporkan bahwa dari pasien didapatkan dua jejas, yaitu region bahu kiri dan pada hemithorax kanan. Kedua jejas ini menghasilkan manifestasi yang berbeda. Pada regio bahu kiri, akan

JUMP 5 dan 7 Skenario 2 Traumatologi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Laporan tutorial skenario 2 blok traumatologi, jump 5 dan 7

Citation preview

JUMP 5

1. Patofisiologi pasien mengeluh nyeri dada kanan, dan nyeri pundak kiri.

2. Patofisiologi pergerakkan dada kanan tertinggal dan sesak nafas makin berat.

3. Interpretasi pemeriksaan fisik pada hemithorax kanan dan bahu kiri.

4. Secondary survey.

5. Pemeriksaan klinis, penanganan dan imobilisasi pada kegawatdaruratan.

6. Biomekanika trauma.

7. Anatomi thorax dan clavicula.

8. Gejala trauma thorax dan pneumothorax ventil.

9. Pemeriksaan klinis dan penunjang pada thorax dan clavicula.

10. Penanganan trauma pada bahu kiri dan thorax.

11. Aspek medikolegal pada kasus kegawatdaruratan.

JUMP 7

1. Patofisiologi pasien mengeluh nyeri dada kanan, dan nyeri pundak kiri.

Pada skenario dilaporkan bahwa dari pasien didapatkan dua jejas, yaitu

region bahu kiri dan pada hemithorax kanan. Kedua jejas ini menghasilkan

manifestasi yang berbeda. Pada regio bahu kiri, akan didapatkan nyeri,

deformitas, dan krepitasi. Hal ini dikarenakan regio bahu disusun oleh

acromion oss scapula dan oss humerus dan beberapa ligamentum yang rawan

mengalami dislokasi atau deformitas akibat jatuh. Krepitasi terjadi karena

terdapat gangguan sendi, sedangkan nyeri bahu terjadi karena syaraf yang

menginnervasi gelang bahu terstimulasi akibat perubahan anatomis gelang

bahu yang terjadi karena benturan akibat trauma.

Jejas yang ada pada hemithorax kanan di skenario mengindikasikan

adanya riwayat trauma tumpul. Trauma tumpul bisa membuat rongga thorax

terganggu, salah satunya akan terjadi pneumothorax dan timbulnya rasa nyeri.

2. Patofisiologi pergerakkan dada kanan tertinggal dan sesak nafas makin

berat.

Jejas yang ada pada hemithorax kanan di skenario mengindikasikan

adanya riwayat trauma tumpul. Trauma tumpul bisa membuat rongga thorax

terganggu, salah satunya akan terjadi pneumothorax. Pneumothorax

merupakan suatu keadaan terdapatnya udara dalam cavum pleura. Hal ini

terjadi karena trauma tersebut membuat udara masuk ke cavum pleura.

Pneumothorax ada dua, pneumothorax terbuka dan tension

pneumonia. Pneumothorax terjadi saat ada hubungan langsung rongga plerura

dengan lingkungan sehingga cepat mencapai titik seimbang. Namun tension

pneumothorax (pneumothorax ventil) terjadi di mana udara yang ada pada

cavum pleura tidak bisa keluar. Hal ini dapat mengakibatkan peningkatan

tekanan intrapleura yang progresif sehingga mengakibatkan paru-paru sulit

mengembang. Paru-paru sulit mengembang karena udara pada cavitas pleura

inilah yang akan menimbulkan manifestasi klinis berupa sesak dan terjadi

ketertinggalan pergerakan dinding dada kanan saat inspirasi.

3. Interpretasi pemeriksaan fisik pada hemithorax kanan dan bahu kiri.

Pada pemeriksaan tingkat kesadaran menggunakan Glasgow Coma

Scale didapatkan skor 15. Ini menunjukkan pasien dalam keadaan sadar

penuh (compos mentis), dimana pada ketiga komponen penilaian GCS

didapat poin penuh (mata spontan membuka dan mengedip, orientasi penuh

dan respon motorik sesuai perintah).

Terdapat nafas cepat dan dangkal pada pasien menunjukkan adanya

upaya untuk meningkatan ventilasi. Peningkatan ventilasi ini merupakan

usaha mengeluarkan CO2 yang sudah berlebih di darah. Karbon dioksida akan

mengalami serangkaian reaksi kimiawi yang pada akhirnya menghasilkan ion

hidrogen yang mempu merangsang pusat pernapasan sentral dan menaikkan

ventilasi. Pada pemeriksaan suara nafas tambahan didapatkan: gurgling (-),

snoring (-). Hal ini menunjukkan tidak terdapat tumpukan cairan pada saluran

pernapasan atas dan tidak adanya obstruksi parsial jalan nafas.

Pemeriksaan vital sign menunjukkan adanya peningkatan frekuensi

denyut nadi (120x/menit), hipotensi (tekanan darah 90/70 mmHg), suhu

dalam batas normal 370C dan peningkatan frekuensi napas (respiratory rate

36x/menit).

Jejas pada hemithorax kanan menunjukkan adanya trauma di daerah

dada kanan. Pergerakan dada kanan tertinggal menunjukkan gerakan ekspansi

dada yang asimetris, dimana dada kanan memiliki ketidakmampuan untuk

mengembang dan mengempis sempurna saat respirasi. Pada pemeriksaan

perkusi dada didapatkan hasil hipersonor serta pemeriksaan auskultasi didapat

suara nafas vesikuler menurun yang menunjukkan adanya udara dalam

jumlah besar yang terperangkap dan tidak bisa keluar dari rongga thorax.

Udara yang terperangkap ini dapat bergerak hingga ke jaringan subkutan dan

menyebabkan emfisema subkutis. Pada regio bahu kiri terdapat jejas, tidak

didapatkan perdarahan aktif, serta didapatkan adanya oedem, deformitas,

nyeri tekan dan krepitasi. Hasil penemuan ini merupakan tanda-tanda

terjadinya fraktur dan melihat daerah jejas adalah region bahu kiri

diperkirakan terjadi fraktur clavicula.

4. Secondary survey.

Secondary survey merupakan suatu prosedur untuk mencari perubahan-

perubahan yang dapat berkembang menjadi lebih gawat dan mengancam jiwa

apabila tidak segera diatasi dengan pemeriksaan dari kepala sampai kaki

(head to toe).

a. Anamnesis

Anamnesis yang harus diingat:

S : Symptoms atau gejala.

A : Alergi.

M : Mekanisme dan sebab trauma.

M : Medikasi (obat yang sedang diminum saat ini).

P : Past illness.

L : Last meal (makan dan minum terakhir).

E : Event/Environment yang berhubungan dengan kejadian perlukaan.

b. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik pada secondary survey meliputi pemeriksaan tingkat

kesadaran, pupil, kepala, maksilofasial, leher, toraks, abdomen/pinggang,

pelvis, medula spinalis, kolumna vertebralis, ekstremitas. Masing-masing

aspek dilakukan identifikasi trauma terlebih dahulu, kemudian penilaian

dengan pemeriksaan fisik, kemudian temuan klinis dari pemeriksaan fisik

dikonfirmasi dengan pemeriksaan lanjutan sesuai dengan aspek.

Untuk pemeriksaan dibawah ini harus dilakukan tidak boleh lebih dari 3

menit setelah terjadi trauma, yaitu :

1) Kepala: cek adanya deformitas, perdarahan, dan tanda perlukaan lain.

Pemeriksaan pada kepala meliputi mata, telinga, hidung, dan mulut.

2) Leher: cek adanya deformitas pada servikal.

3) Dada: cek adanya perlukaan benda tajam maupun tumpul.

4) Abdomen: cek adanya perlukaan benda tajam maupun tumpul,

bengkak, dan nyeri.

5) Pelvis: cek adanya fraktur dan deformitas.

6) Genital : cek adanya cairan yang mengalir dari saluran urogenital

apakah ada perdarahan atau inkontinensia.

7) Ekstremitas bawah : cek adanya perdarahan, fraktur, bengkak, nyeri,

dan denyut.

8) Ekstremitas atas : cek adanya perdarahan, fraktur, bengkak, nyeri, dan

denyut.

c. Triage

Triage adalah suatu sistem seleksi dan pemilihan pasien untuk menentukan

tingkat kegawatan dan prioritas penanganan pasien (DepKes RI, 2005).

Sistem triage merupakan salah satu penerapan sistem manajemen risiko di

unit gawat darurat sehingga pasien yang datang mendapatkan penanganan

dengan cepat dan tepat sesuai kebutuhannya dengan menggunakan

sumberdaya yang tersedia. Triage juga membantu mengatur pelayanan

sesuai dengan alur pasien di unit gawat darurat. Tujuan dilakukan Triage

adalah menangani korban/pasien dengan cepat, cermat dan tepat sesuai

dengan sumber daya yang ada. Triage dibagi menjadi dua, yaitu Triage

lapangan dan Triage dalam Rumah Sakit (RS). Untuk triage dalam Rumah

Sakit biasanya dilakukan oleh perawat atau dokter instalasi gawat darurat

dan mengenai triage lapangan, harusnya seorang first responder (yang

pertama kali menangani bencana) menguasai triage.

5. Pemeriksaan klinis, penanganan dan imobilisasi pada

kegawatdaruratan.

Langkah-langkah umum assessment pada trauma:

a. Preparation

Tahap preparation dibagi lagi menjadi 2, yaitu pre hospital dan

hospital phase. Pada pre hospital phase yang harus diperhatikan adalah

pemeliharaan jalan napas, kontrol perdarahan luar dan syok, imobilisasi

pasien, dan transport segera ke fasilitas kesehatan terdekat yang memadai.

Koordinasi yang baik harus terjalin antara petugas lapangan dengan

petugas rumah sakit. Petugas lapangan harus melaporkan dengan jelas

keadaan pasien kepada paetugas triase di rumah sakit agar pasien

mendapatkan penanganan yang sesuai dengan tingkat keparahan luka

yang diderita.

Pada hospital phase petugas kesehatan harus melakukan

perencanaan yang baik sebelum kedatangan pasien. Fasilitas kesehatan

tersebut harus menyediakan ruang resusitasi, alat – alat untuk membuka

jalan napas dan kristaloid harus sudah tersedia dan dapat langsung

dipakai. Alat – alat untuk pemeriksaan tambahan juga harus tersedia

secara portabel. Seluruh petugas kesehatan yang menangani pasien harus

menggunakan alat perlindungan diri yang memadai.

b. TRIAGE

1) Definisi

Triage awalnya terbentuk dari system Simple Triage and Rapid

Treatment (START) yang mana START berkembang pada tahun

1980an sebagai alur penanggulangan pada suatu bencana. Banyak

versi dari START hanya mengidentifikasi pasien tanpa memberikan

tatalaksana apapun sampai transportasi datang. TRIAGE dalam

bahasa Perancis berarti ‘memilih’ atau ‘mengelompokkan’. TRIAGE

adalah proses menentukan prioritas untuk melakukan terapi atau

tatalaksana pada pasien atau grup pasien. Pengelompokkan pasien

berdasarkan kategori tertentu dilakukan oleh ahli yang sudah

berpengalaman. Kebanyakan memakai metode sistemik dan ilmiah

untuk pencapaian kondisi pasien untuk menginterpretasi keadaan

klinis dan mengintervensi pada fase awal untuk mencegah kematian.

2) Klasifikasi TRIAGE berdasarkan warna

a) Black/ Expectant

Pasien tidak bisa bertahan hidup, dilihat dari beratnya luka,

tingkat ketersediaan penanganan, atau keduanya.

Pasien mengalami cedera mematikan dan akan meninggal

meski mendapat pertolongan. Misalnya:

Cedera kepala berat

Luka bakar derajat 3 hampir di seluruh tubuh

Kerusakan organ vital

b) Red/ Immediate

Bisa diselamatkan dengan intervensi cepat dan transport

Perbaikan ABC ketika penanganan

Membutuhkan perhatian medis dalam menit kelangsungan

hidup (±60menit), misalnya :

- Tension pneumothorax

- Distress pernapasan (RR >30x/menit)

- Perdarahan internal vasa besar

- Perdarahan hebat

- Cedera jalan nafas

- Cardiac arrest

- Syok – nadi radial tidak teraba, akral dingin, CRT >2

detik

- Luka terbuka di abdomen atau thoraks

- Trauma kepala berat

- Komplikas diabetes

- Keracunan

- Persalinan patologis

- Tidak sadar

- Luka bakar, termasuk luka bakar inhalasi

- Fraktur terbuka

c) Yellow/ Delayed

Transport pasien bisa ditunda

Termasuk yang luka serius dan mengancam jiwa, tapi status

tidak memburuk pada beberapa jam, misalnya :

Fraktur tertutup pada ekstremitas (perdarahan

terkontrol)

Perdarahan laserasi terkontrol

Luka bakar <25% luas permukaan tubuh

Trauma tulang belakang

Perdarahan sedang

Trauma kepala tanpa gangguan kesadaran

d) Green/ Minor

Luka-luka ringan, misalnya :

Laserasi minor

Memar dan lecet

Luka bakar superficial

Status tidak memburuk walau beberapa hari

Masih bisa mengurus diri sendiri (contoh: bisa berjalan

walau terluka)

3) Klasifikasi TRIAGE berdasarkan tempat

Triage di UGD

Diterapkan sehari-hari untuk assessment prioritas penanganan

pasien di UGD. Prioritas diberikan pada pasien yang paling

membutuhkan. Sumber daya tersedia dalam kualitas dan kuantitas

yang cukup baik.

Prosedur Triage di UGD :

Menilai adakah tanda emergency (ABCD).

Penatalaksanaan segera diberikan begitu teridentifikasi

satu tanda emergency

- Jika terdapat tanda A, atasi. Jika tidak terdapat, teruskan

mencari tanda B.

- Jika terdapat tanda B, atasi. Jika tidak terdapat, teruskan

mencari tanda C.

- Jika terdapat tanda C, atasi. Jika tidak terdapat, teruskan

mencari tanda D.

- Jika terdapat tanda D, atasi.

Bila tidak terdapat tanda emergency, dilanjutkan dengan

penilaian adakah tanda prioritas.

Tempatkan pasien sesuai prioritasnya. Bila pasien

mempunyai tanda prioritas maka pasien ditempatkan di

urutan depan penanganan. Sementara menunggu, pasien

dapat diberikan terapi suportif.

Pasien yang tidak mempunyai tanda emergency atau tanda

prioritas kembali ke antrian untuk menunggu perawatan.

Berpindah ke pasien berikutnya.

Triage in-patient

Diterapkan sehari-hari di setting unit perawatan, misalnya ICU,

kamar bedah, dan unit rawat jalan. Prioritas diberikan pada pasien

yang paling membutuhkan pertolongan berdasarkan kriteria

medis. Sumber daya tersedia dengan baik.

Triage incident

Diterapkan pada setting kecelakaan dengan jumlah korban cukup

banyak, misalnya kecelakaan bus atau pesawat dan kebakaran.

Triage diprioritaskan untuk evakuasi dan penanganan pasien.

Biasanya terdapat keterbatasan sumber daya lokal, meskipun

demikian pasien tetap dapat memperoleh penatalaksanaan

maksimal di fasilitas kesehatan.

Triage militer

Diterapkan pada setting medan pertempuran. Terdapat

keterbatasan sumber daya, terutama bila suplai sumber daya

terganggu.

Triage bencana/ masal

Diterapkan pada setting bencana dengan korban masal yang

melebihi kemampuan sistem pelayanan kesehatan lokal dan

regional. Protokol triage bencana memprioritaskan pada

penyelamatan sebagian besar korban dan mengoptimalkan sumber

daya yang tersedia.

4) Alur TRIAGE

Imobilisasi pada pasien dilakukan ketika ditemukan maupun dicurigai

adanya fraktur pada skelet yang bersangkutan. Fraktur adalah hilangnya

kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis, baik yang

bersifat total maupun yang parsial. Kebanyakan fraktur terjadi karena

kegagalan tulang menahan tekanan terutama tekanan membengkok, memutar

dan tarikan.

6. Biomekanika trauma.

Biomekanika trauma adalah ilmu yang mempelajari kejadian cedera

pada suatu jenis kekerasan atau kecelakaan tertentu. Misalnya orang jatuh

dari sepeda motor akan menimbulkan cedera yang berbeda dibandingkan

dengan orang yang ditabrak mobil. Biomekanika trauma penting dipelajari

karena akan membantu dalam :

Akibat yang ditimbulkan trauma

Waspada terhadap jenis perlukaan yang diakibatkan trauma.

Sedangkan jenis perlukaan bisa dibagi menjadi perlukaan yang tampak

misalnya luka dibagian luar, dan perlukaan yang tidak tampak / tidak bisa

dilihat secara langsung misalnya perlukaan organ bagian dalam.

Organ dalam tubuh dapat dibagi menjadi:

Organ tidak berongga (padat , solid) misalnya: hepar, limpa, paru, otak.

Organ berongga, misalnya usus.

Perlukaan organ dalam terjadi melalui mekanisme cedera:

1. Cedera langsung 

Misalnya kepala dipukul martil. Kulit kepala bisa robek dan menimbulkan

perdarahan luar, tulang kepala dapat retak atau patah, atau dapat

menimbulkan perdarahan di otak.

2. Cedera akibat gaya perlambatan (deselerasi)

Misalnya seorang pengendara sepeda motor menabrak pohon. Setelah

badan berhenti di pohon, maka organ dalam akan tetap bergerak maju

dalam rongga masing-masing. Jantung akan terlepas dari ikatannya (aorta)

sehingga terjadi ruptur aorta. Usus akan robek terlepas darimesenterium.

3. Cedera akibat dari gaya percepatan (akselerasi)

Misalnya pengendara mobil ditabrak dari belakang. Tabrakan dari

belakang bisa terjadi pada kendaraan yang sedang berhenti atau kendaraan

yang kecepatannya lebih lambat. Cedera yang sering terjadi biasanya

karena adanya daya pecut (whiplash injuri) dan cedera yang harus

diwaspadai adalah cedera dibawah tulang leher, apalagi jika kendaraan

tersebut tidak memakai headrest.

4. Cedera kompresi (efek kantong kertas.

Ibarat sebuah kantong kertas yang ditiup, kemudian ditutup kemudian

dipukul hingga meledak. Hal ini juga bisa terjadi pada organ berongga

yang dapat pecah akibat tekanan.

7. Anatomi thorax dan clavicula.

8. Gejala trauma thorax dan pneumothorax ventil.

TRAUMA THORAX

Trauma thorax merupakan trauma yang mengenai dinding thorax dan

atau organ intrathorax, baik karena trauma tmpul maupun oleh karena trauma

tajam. Trauma thorax semakin meningkat sesuai dengan kemajuan

transportasi dan kondisi social ekonomi masyarakat. Trauma pada thorax

dapat dibagi menjadi 2 yaitu trauma tumpul dan trauma tajam.

1. Trauma tumpul

Adapun definisi dari benda tumpul adalah tidak bermata tajam, konsistensi

keras/kenyal dan permukaan halus/kasar. Variasi mekanisme terjadinya

trauma tumpul adalah benda tumpul yang bergerak pada korban yang diam

dan korban yang bergerak pada benda tumpul yang diam. Luka akibat

trauma tumpul dibagi menurut beberapa kategori yaitu abrasi (lecet),

laserasi dan kontusio (memar). Trauma tumpul biasanya dikarenakan

tabrakan kendaraan dimana penderita adalah penumpang/pengemudi,

tabrakan pejalan kaki, tabrakan sepeda motor, trauma yang disengaja

(serangan), jatuh (falls) dan trauma ledakan (blast injury).

2. Trauma tajam

Trauma tajam adalah trauma yang disebabkan alat/senjata bermata tajam

dan atau berujung runcing. Luka yang disebabkan dari trauma tajam ini

bisa dikategorikan menjadi luka tusuk, luka iris dan luka bacok.

PNEUMTOHORAX TENSION

Merupakan pneumothorax yang disertai oleh peningkatan tekanan intra

thorax yang semakin lama semakin bertambah (progresif). Pada

pneumothorax ini ditemukan mekanisme ventil yaitu udara dapat masuk

tetapi tidak bisa keluar. Gejala klinis : sesak bertambah berat dengan cepat

(progresif), takipneu, hipotensi, JVP meningkat, asimetris statis dan dinamis.

9. Pemeriksaan klinis dan penunjang pada thorax dan clavicula.

Pada kasus trauma thorax dalam skenario diperlukan pemeriksaan

analisis gas darah. Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pada

pasien dapat mengarahkan kecurigaan pada adanya fraktur dan pneumothorax

ventil. Untuk memastikan diagnosis tersebut, maka dilakukan pemeriksaan

radiologis atau foto polos thorax.

Prinsip Pemeriksaan Radiologis pada Fraktur

Pemeriksaan penunjang pada fraktur yang harus dilakukan adalah

pemeriksaan radiologis. Pemeriksaan radiologis ini menganut aturan yang

disebut Rules of Two. Rules of Two merupakan seperangkat guideline

sederhana. Beberapa hal dari Rules of Two harus dipatuhi, dan beberapa di

antaranya hanya berlaku pada kasus tertentu saja. Prinsip-prinsip umum ini

tentunya berguna untuk membantu menghindari kesalahan dalam interpretasi

hasil radiografi dan manajemen pasien.

Rules of Two mencakup 10 hal yaitu:

a. Two views (dua tampilan): sebaiknya dilakukan secara anteroposterior

(AP) dan lateral, kecuali pada radiologis thorax, abdomen, dan pelvis.

b. Two joints (dua sendi): menampilkan gambaran sendi di atas dan di

bawah tulang panjang, terutama pada fraktur bagian antebrachii dan

cruris.

c. Two sides (dua sisi): membandingkan kedua sisi terutama pada anak-

anak.

d. Two abnormalities (dua kelainan): cobalah mencari kelainan lain yang

menjadi faktor predisposisi fraktur, misalnya pada fraktur patologis,

ditemukannya “bone island”.

e. Two occasions: periksalah dengan film atau pemeriksaan radiologis

terdahulu, hal ini dapat membantu pada foto thorax ataupun pada kasus

misalnya osteomyelitis, septic arthritis, dll.

f. Two visits (dua kunjungan): diperlukan pemeriksaan radiologis ulang

terutama setelah operasi, tindakan immobilisasi tulang, mengurangi

dislokasi, atau pengambilan benda asing, untuk melihat apakah kelainan

telah membaik, tidak berubah, atau bahkan memburuk.

g. Two opinions (dua pendapat): dapat digunakan untuk meyakinkan

kelainan yang terjadi, dapat menggunakan Red Dot System (memberikan

titik merah pada kelainan yang terjadi, biasanya sistem ini digunakan

pada instalansi gawat darurat.

h. Two records (dua catatan): menyalin hasil temuan pemeriksaan

radiografi pada rekam medis.

i. Two specialists (dua spesialis): semua film harus dilihat dan dilaporkan

secara resmi oleh seorang ahli radiologi.

j. Two examinations (dua pemeriksaan): terkadang diperlukan pemeriksaan

penunjang lain untuk menegakkan diagnosis, seperti: Ultrasonography,

Computed Tomography, Magnetic Resonance Imaging, dan Isotope Bone

Scanning.

Pemeriksaan Radiologis pada Pneumothorax

Pemeriksaan radiologis pada pneumotoraks biasanya menunjukkan:

a. Terlihat tepi pleura visceral sangat tipis berupa garis putih yang tajam.

b. Tidak terlihat tanda-tanda paru-paru pada tepi garis ini.

c. Gambaran radiolusen dibandingkan dengan paru-paru sisi yang lain.

d. Paru-paru mungkin benar-benar kolaps.

e. Mediastinum tidak harus bergeser kecuali pada tension pneumothorax.

f. Dapat ditemukan pula emfisema subkutan dan pneumomediastinum.

Gambaran radiologis pada pneumothoraks

10. Penanganan trauma pada bahu kiri dan thorax.

a. Trauma bahu kiri

Pengelolaan fraktur secara umum mengikuti prinsip pengobatan

kedokteran pada umumnya, yaitu jangan mencederai pasien, pengobatan

didasari atas diagnosis yang tepat, pemilihan pengobatan dengan tujuan

tertentu, mengikuti “law of nature”, pengobatan yang realistis dan

praktis, dan memperhatikan setiap pasien secara individu. Prinsip

penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke

posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa

penyembuhan patah tulang (imobilisasi). Pada anak-anak reposisi yang

dilakukan tidak harus mencapai keadaan sempurna seperti semula karena

tulang mempunyai kemampuan remodeling.

Penatalaksanaan umum fraktur meliputi menghilangkan rasa nyeri,

Menghasilkan dan mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur, Agar

terjadi penyatuan tulang kembali, Untuk mengembalikan fungsi seperti

semula. Untuk mengurangi nyeri tersebut, dapat dilakukan imobilisasi,

(tidak menggerakkan daerah fraktur) dan dapat diberikan obat penghilang

nyeri. Teknik imobilisasi dapat dilakukan dengan pembidaian atau gips.

Bidai dan gips tidak dapat pempertahankan posisi dalam waktu yang

lama. Untuk itu diperlukan teknik seperti pemasangan traksi kontinu,

fiksasi eksteral, atau fiksasi internal.

Berapa lama patah tulang diperlukan untuk bersatu dan sampai

terjadi konsolidasi? Tidak ada jawaban yang tepat mungkin karena faktor

usia, konstitusi, suplai darah, jenis fraktur dan faktor lain mempengaruhi

sepanjang waktu diambil.5 Prediksi yang mungkin adalah timetable

Perkins yang sederhana. Fraktur spiral pada ekstremitas atas menyatu

dalam 3 minggu, untuk konsolidasi kalikan dengan 2; untuk ekstremitas

bawah kalikan dengan 2 lagi; untuk fraktur transversal kalikan lagi oleh

2.

Sebuah formula yang lebih sophisticated adalah sebagai berikut.

Sebuah fraktur spiral pada ekstremitas atas memakan waktu 6-8 minggu

untuk terjadinya konsolidasi. Ekstremitas bawah membutuhkan dua kali

lebih lama. Tambahkan 25% jika bukan fraktur spiral atau jika

melibatkan tulang paha. Patah tulang anak-anak, tentu saja, menyatu

lebih cepat. Angka-angka ini hanya panduan kasar, harus ada bukti klinis

dan radiologis terkait konsolidasi sebelum tekanan penuh diperbolehkan

tanpa splintage.

Imobilisasi yang lama akan menyebabkan mengecilnya otot dan

kakunya sendi. Oleh karena itu diperlukan upaya mobilisasi secepat

mungkin.

Beberapa penatalaksanaan fraktur secara ortopedi meliputi proteksi

tanpa reposisi dan imobilisasi, Imobilisasi dengan fiksasi, Reposisi

dengan cara manipulasi diikuti dengan imobilisasi, Reposisi dengan

traksi, Reposisi diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar, Reposisi

secara nonoperatif diikuti dengan pemasangan fiksasi dalam pada tulang

secara operatif. Reposisi secara operatif dikuti dengan fiksasi patahan

tulang dengan pemasangan fiksasi interna, Eksisi fragmen fraktur dan

menggantinya dengan prosthesis.

Proteksi tanpa reposisi dan imobilisasi digunakan pada penanganan

fraktur dengan dislokasi fragmen patahan yang minimal atau dengan

dislokasi yang tidak akan menyebabkan kecacatan dikemudian hari.

Contoh adalah pada fraktur kosta, fraktur klavikula pada anak-anak,

fraktur vertebrae dengan kompresi minimal.

Pada imobilisasi dengan fiksasi dilakukan imobilisasi luar tanpa

reposisi, tetapi tetap memerlukan imobilisasi agar tidak terjadi dislokasi

fragmen. Contoh cara ini adalah pengelolaan fraktur tungkai bawah tanpa

dislokasi yang penting.

Tindakan reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan

imobilisasi dilakukan pada fraktur dengan dislokasi fragmen yang berarti

seperti pada fraktur radius distal. Reposisi dengan traksi dilakukan terus-

menerus selama masa tertentu, misalnya beberapa minggu, kemudian

diikuti dengan imobilisasi. Tindakan ini dilakukan pada fraktur yang bila

direposisi secara manipulasi akan terdislokasi kembali dalam gips. Cara

ini dilakukan pada fraktur dengan otot yang kuat, misalnya fraktur femur.

Reposisi diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar dilakukan

untuk fiksasi fragmen patahan tulang, dimana digunakan pin baja yang

ditusukkan pada fragmen tulang, kemudian pin baja tadi disatukan secara

kokoh dengan batangan logam di kulit luar. Beberapa indikasi

pemasangan fiksasi luar antara lain fraktur dengan rusaknya jaringan

lunak yang berat (termasuk fraktur terbuka), dimana pemasangan internal

fiksasi terlalu berisiko untuk terjadi infeksi, atau diperlukannya akses

berulang terhadap luka fraktur di sekitar sendi yang cocok untuk internal

fiksasi namun jaringan lunak terlalu bengkak untuk operasi yang aman,

asien dengan cedera multiple yang berat, fraktur tulang panggul dengan

perdarahan hebat, atau yang terkait dengan cedera kepala fraktur dengan

infeksi.

Reposisi dilakukan secara non-operatif diikuti dengan pemasangan

fiksator tulang secara operatif, misalnya reposisi patah tulang pada

fraktur kolum femur. Fragmen direposisi secara non-operatif dengan

meja traksi, setelah tereposisi, dilakukan pemasangan prosthesis secara

operatif pada kolum femur.

Reposisi secara operatif dikuti dengan fiksasi patahan tulang

dengan pemasangan fiksasi interna dilakukan, misalnya pada fraktur

femur, tibia, humerus, atau lengan bawah. Fiksasi interna yang dipakai

bisa berupa pen di dalam sumsum tulang panjang, bisa juga plat dengan

skrup di permukaan tulang. Keuntungan reposisi secara operatif adalah

dapat dicapai reposisi sempurna, dan bila dipasang fiksasi interna yang

kokoh, sesudah operasi tidak diperlukan pemasangan gips lagi dan segera

bisa dilakukan imobilisasi. Indikasi pemasangan fiksasi interna adalah

fraktur tidak bisa di reduksi kecuali dengan operasi, fraktur yang tidak

stabil dan cenderung terjadi displacement kembali setelah reduksi fraktur

dengan penyatuan yang buruk dan perlahan (fraktur femoral neck),

fraktur patologis, fraktur multiple dimana dengan reduksi dini bisa

meminimkan komplikasi, fraktur pada pasien dengan perawatan yang

sulit (paraplegia, pasien geriatri).

Eksisi fragmen fraktur dan menggantinya dengan prosthesis

dilakukan pada fraktur kolum femur. Caput femur dibuang secara

operatif dan diganti dengan prosthesis. Tindakan ini diakukan pada orang

tua yang patahan pada kolum femur tidak dapat menyambung kembali.

b. Trauma thorax kanan

Needle Thoracosynthesis (Torakosintesis Jarum) dilakukan pada pasien

dengaan tension pneumothorax yang mengancam jiwa. Prosedur:

1) Periksa status pernapasan pasien.

2) Berikan O2 aliran tinggi dengan ventilator.

3) Identifikasi spatium intercostal II linea midclavicula ipsilateral dada

yang terkena pneumothorax.

4) Anestesi lokal area operasi bila pasien sadar.

5) Bila pasien tidak mengalami trauma servikal, posisikan pasien dalam

keadaan duduk.

6) Pegang Luer-Lok bagian distal kateter, insersikan jarum kateter

(5cm) ke area dengan arah ke atas.

7) Pungsi pleura parietal.

8) Lepaskan Luer-Lok dari kateter dan dengarkan udara yang keluar dari

cavitas pleura.

9) Lepaskan jarum dan ganti Luer-Lok di bagian distal kateter. Berikan

bandage pada area insersi jarum.

Komplikasi torakosintesis jarum yang dapat terjadi seperti hematoma

lokal, pneumotoraks, dan perlukaan pada parenkim paru.

11. Aspek medikolegal pada kasus kegawatdaruratan.

Pengertian trauma (injury) dari aspek medikolegal sering berbeda

dengan pengertian medis.Pengertian medis menyatakan trauma atau

perlukaan adalah hilangnya diskontinuitas dari jaringan. Dalam pengertian

medikolegal trauma adalah pengetahuan tentang alat atau bendayang dapat

menimbulkan gangguan kesehatan seseorang. Artiya orang yang sehat, tiba-

tibaterganggu kesehatannya akibat efek dari alat atau benda yang dapat

menimbulkankecelderaan. Aplikasinya dalam pelayanan kedokteran forensik

adalah untuk membuatterang suatu tindak kekerasan yang terjadi pada

seseorang.

Berdasarkan tujuannya, paradigma yang digunakan dalam pemeriksaan

medikolegal sangat berbeda dibandingkan dengan pemeriksaan klinis untuk

kepentingan pengobatan. Tujuan pemeriksaan medikolegal pada seorang

korban adalah untuk menegakkan hukum pada peristiwa pidana yang dialami

korban melalui penyusunan VeR (Visum et Repertum) yang baik. Tujuan

pemeriksaan klinis pada peristiwa perlukaan adalah untuk memulihkan

kesehatan pasien melalui pemeriksaan, pengobatan, dan tindakan medis

lainnya. Apabila seorang dokter yang ditugaskan untuk melakukan

pemeriksaan medikolegal menggunakan orientasi dan paradigma pemeriksaan

klinis, penyusunan VeR dapat tidak mencapai sasaran sebagaimana yang

seharusnya. Dari segi medikolegal, orientasi dan paradigma yang digunakan

dalam merinci luka dan kecederaan adalah untuk dapat membantu

merekonstruksi peristiwa penyebab terjadinya luka dan memperkirakan

derajat keparahan luka (severity of injury). Dengan demikian pada

pemeriksaan suatu luka, bisa saja ada beberapa hal yang dianggap penting

dari segi medikolegal, tidak dianggap perlu untuk tujuan pengobatan, seperti

misalnya lokasi luka, tepi luka, dan sebagainya.

c. Penentuan derajat luka

Penentuan Derajat Luka Salah satu yang harus diungkapkan dalam

kesimpulan sebuah VeR perlukaan adalah derajat luka atau kualifikasi

luka.9 Dari aspek hukum, VeR dikatakan baik apabila substansi yang

terdapat dalam VeR tersebut dapat memenuhi delik rumusan dalam

KUHP. Penentuan derajat luka sangat tergantung pada latar belakang

individual dokter seperti pengalaman, keterampilan, keikutsertaan dalam

pendidikan kedokteran berkelanjutan dan sebagainya. Suatu perlukaan

dapat menimbulkan dampak pada korban dari segi fisik, psikis, sosial dan

pekerjaan, yang dapat timbul segera, dalam jangka pendek, ataupun

jangka panjang. Dampak perlukaan tersebut memegang peranan penting

bagi hakim dalam menentukan beratnya sanksi pidana yang harus

dijatuhkan sesuai dengan rasa keadilan.

Hukum pidana Indonesia mengenal delik penganiayaan yang terdiri

dari tiga tingkatan dengan hukuman yang berbeda yaitu penganiayaan

ringan (pidana maksimum 3 bulan penjara), penganiayaan (pidana

maksimum 2 tahun 8 bulan), dan penganiayaan yang menimbulkan luka

berat (pidana maksimum 5 tahun). Ketiga tingkatan penganiayaan

tersebut diatur dalam pasal 352 (1) KUHP untuk penganiayaan ringan,

pasal 351 (1) KUHP untuk penganiayaan, dan pasal 352 (2) KUHP untuk

penganiayaan yang menimbulkan luka berat. Setiap kecederaan harus

dikaitkan dengan ketiga pasal tersebut. Untuk hal tersebut seorang dokter

yang memeriksa cedera harus menyimpulkan dengan menggunakan

bahasa awam, termasuk pasal mana kecederaan korban yang

bersangkutan. Rumusan hukum tentang penganiayaan ringan

sebagaimana diatur dalam pasal 352 (1) KUHP menyatakan bahwa

“penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk

menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai

penganiayaan ringan”. Jadi bila luka pada seorang korban diharapkan

dapat sembuh sempurna dan tidak menimbulkan penyakit atau

komplikasinya, maka luka tersebut dimasukkan ke dalam kategori

tersebut. Selanjutnya rumusan hukum tentang penganiayaan (sedang)

sebagaimana diatur dalam pasal 351 (1) KUHP tidak menyatakan apapun

tentang penyakit. Sehingga bila kita memeriksa seorang korban dan

didapati “penyakit” akibat kekerasan tersebut, maka korban dimasukkan

ke dalam kategori tersebut. Akhirnya, rumusan hukum tentang

penganiayaan yang menimbulkan luka berat diatur dalam pasal 351 (2)

KUHP yang menyatakan bahwa Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka

berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima

tahun”. Luka berat itu sendiri telah diatur dalam pasal 90 KUHP secara

limitatif. Sehingga bila kita memeriksa seorang korban dan didapati salah

satu luka sebagaimana dicantumkan dalam pasal 90 KUHP, maka korban

tersebut dimasukkan dalam kategori tersebut. Luka berat menurut pasal

90 KUHP adalah :

Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan

sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut.

Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau

pekerjaan pencarian.

Kehilangan salah satu panca indera.

Mendapat cacat berat.

Menderita sakit lumpuh.

Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih.

Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.

Perbedaan dalam membuat keputusan penentuan luka tidak banyak

menemukan masalah dalam penentuan luka derajat tiga, namun secara

konseptual masih berbeda pendapat untuk penetapan luka derajat satu

dan dua. Variasi keputusan klinis dalam menentukan kualifikasi luka

tidak akan menguntungkan bagi pengambilan keputusan oleh para

penegak hukum dalam proses peradilan karena tidak memberikan

kepastian pendapat mana yang akan dijadikan sebagai dasar pengambilan

keputusan.

Rumusan delik penganiayaan menyebutkan antara lain bahwa luka

derajat dua akan terpenuhi bila pekerjaan atau jabatan korban menjadi

terganggu. Walaupun masih terdapat kontroversi dalam penentuan

kualifikasi luka dengan mempertimbangkan jenis pekerjaan korban,

namun pada umumnya para dokter cenderung sepakat untuk tidak

mempertimbangkan hal tersebut di masa mendatang. Mereka lebih

cenderung menggunakan rumusan ada atau tidak adanya penyakit dalam

menentukan kualifikasi luka karena hal tersebut masih dalam lingkup

kompetensi seorang dokter di bidang medis. Hal-hal yang mempengaruhi

penentuan kualifikasi luka adalah regio anatomis yang terkena trauma.

Sebagai contoh, apabila regio leher terkena trauma, walaupunpun kecil

akibat yang nampak, namun terdapat kecenderungan untuk memberikan

kualifikasi luka yang lebih berat. Hal itu disebabkan karena pada daerah

leher terdapat organ-organ yang vital bagi kehidupan, seperti arteri

karotis, vena jugularis, serta saluran pernafasan. Kekerasan pada daerah

wajah dan daerah kepala lainnya juga dipertimbangkan sebagai faktor

yang ikut meningkatkan kualifikasi luka. Walaupun beberapa responden

memperhatikan nilai laboratorium termasuk peningkatan leukosit pada

salah satu kasus, namun pada umumnya faktor-faktor fisiologis yang

terjadi akibat trauma seperti reaksi inflamasi sistemik (systemic

inflamatory response syndrome), respons neurologik, fisiologik, dan

metabolik belum mendapatkan perhatian khusus dalam menentukan

kualifikasi luka. Penganiayaan ringan tidak mengakibatkan luka atau

hanya mengakibatkan luka ringan yang tidak termasuk kategori

“penyakit dan halangan” sebagaimana disyaratkan dalam pasal 352

KUHP. Contoh luka ringan atatu luka derajat satu adalah luka lecet yang

superfisial dan berukuran kecil atau memar yang berukuran kecil. Lokasi

lecet atau memar tersebut perlu diperhatikan oleh karena lecet atau

memar pada beberapa lokasi tertentu mungkin menunjukkan cedera

bagian dalam tubuh yang lebih hebat dari yang terlihat pada kulit. Luka

lecet atau memar yang luas dan derajatnya cukup parah dapat saja

diartikan sebagai bukan sekedar luka ringan. Luka atau keadaan cedera

yang terletak di antara luka ringan dan luka berat dapat dianggap sebagai

luka sedang.

d. Medikolegal kegawatdaruratan traumatologi

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan

Medik Pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa “Persetujuan tindakan medik

kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau

keluarganya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai

tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap

pasien. Pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik,

pengaturan mengenai informed consent pada kegawatdaruratan lebih

tegas dan lugas. Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 pasal 4 ayat (1)

dijelaskan bahwa “Dalam keadaan darurat, untuk menyelamatkan jiwa

pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan

tindakan kedokteran”.

Disahkannya Permenkes No. 290/MENKES/PER/III/2008

sekaligus mengggugurkan Permenkes sebelumnya yaitu pada Permenkes

No 585/Men.Kes/Per/IX/1989 masih terdapat beberapa kelemahan. Pada

pasal 11 hanya disebutkan bahwa yang mendapat pengecualian hanya

pada pasien pingsan atau tidak sadar. Beberapa pakar mengkritisi

bagaimana jika pasien tersebut sadar namun dalam keadaan darurat.

Guwandi (2008) mencontoh pada kasus pasien yang mengalami

kecelakaan lalu-lintas dan terdapat perdarahan serta membahayakan jiwa

di tubuhnya tetapi masih dalam keadaan sadar. Contoh lain apabila

seseorang digigit ular berbisa dan racun yang sudah masuk harus segera

dikeluarkan atau segera dinetralisir dengan anti-venom ular. Jika ditinjau

dari hukum kedokteran yang dikaitkan dengan doktrin informed consent,

maka yang dimaksudkan dengan kegawatdaruratan adalah suatu keadaan

dimana :

Tidak ada kesempatan lagi untuk memintakan informed consent,

baik dari pasien atau anggota keluarga terdekat (next of kin).

Tidak ada waktu lagi untuk menunda-nunda.

Suatu tindakan harus segera diambil.

Untuk menyelamatkan jiwa pasien atau anggota tubuh.

Seperti yang telah dijelaskan pada Permenkes No

209/Menkes/Per/III/2008 pada pasal 4 ayat (1) bahwa tidak diperlukan

informed consent pada keadaan gawat darurat. Namun pada ayat (3) lebih

di tekankan bahwa dokter wajib memberikan penjelasan setelah pasien

sadar atau pada keluarga terdekat. Berikut pasal 4 ayat (3) “ Dalam hal

dilakukannya tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin

kepada pasien setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat”. Hal

ini berarti, apabila sudah dilakukan tindakan untuk penyelamatan pada

keadaan gawat darurat, maka dokter berkewajiban sesudahnya untuk

memberikan penjelasan kepada pasien atau kelurga terdekat. Selain

ketentuan yang telah diatur pada UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik

Kedokteran dan Peraturan Menteri Kesehatan No.

209/Menkes/Per/III/2008, apabila pasien dalam keadaan gawat darurat

sehingga dokter tidak mungkin mengajukan informed consent, maka

KUH Perdata Pasal 1354 juga mengatur tentang pengurusan kepentingan

orang lain. Tindakan ini dinamakan zaakwaarneming atau perwalian

sukarela yaitu “Apabila seseorang secara sukarela tanpa disuruh setelah

mengurusi urusan orang lain, baik dengan atau tanpa sepengetahuan

orang itu, maka secara diam-diam telah mengikatkan dirinya untuk

meneruskan mengurusi urusan itu sehingga orang tersebut sudah mampu

mengurusinya sendiri”. Dalam keadaan yang demikian perikatan yang

timbul tidak berdasarkan suatu persetujuan pasien, tetapi berdasarkan

suatu perbuatan menurut hukum yaitu dokter berkewajiban untuk

mengurus kepentingan pasien dengan sebaik-baiknya. Maka dokter

berkewajiban memberikan informasi mengenai tindakan medis yang

telah dilakukannya dan mengenai segala kemungkinan yang timbul dari

tindakan itu.

Tindakan dalam kegawatdaruratan medik di perbolehkan tanpa

melakukan persetujuan atau informed consent terlebih dahulu. Hal ini

sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran

dan diperjelas oleh KUH Perdata pasal 1354.

Pelayanan gawat darurat mempunyai aspek khusus karena

mempertaruhkan kelangsungan hidup seseorang. Oleh karena itu dari

segi yuridis khususnya hukum kesehatan terdapat beberapa pengecualian

yang berbeda dengan keadaan biasa. Menurut segi pendanaan,

nampaknya hal itu menjadi masalah, karena dispensasi di bidang ini sulit

dilakukan.

Dipandang dari segi hukum dan medikolegal, pelayanan gawat

darurat berbeda dengan pelayanan non-gawat darurat karena memiliki

karakteristik khusus. Beberapa isu khusus dalam pelayanan gawat darurat

membutuhkan pengaturan hukum yang khusus dan akan menimbulkan

hubungan hukum yang berbeda dengan keadaan bukan gawat darurat.

Beberapa Isu Seputar Pelayanan Gawat Darurat Pada keadaan

gawat darurat medik didapati beberapa masalah utama yaitu:

a) Periode waktu pengamatan/pelayanan relatif singkat

b) Perubahan klinis yang mendadak

c) Mobilitas petugas yang tinggi

Apabila seseorang bersedia menolong orang lain dalam keadaan

darurat, maka ia harus melakukannya hingga tuntas dalam arti ada pihak

lain yang melanjutkan pertolongan itu atau korban tidak memerlukan

pertolongan lagi. Dalam hal pertolongan tidak dilakukan dengan tuntas

maka pihak penolong dapat digugat karena dianggap mencampuri/

menghalangi kesempatan korban untuk memperoleh pertolongan lain

(loss of chance).

DAFTAR PUSTAKA

Afandi, Dedi. 2010. Visum et Repertum Perlukaan: Aspek Medikolegal dan

Penentuan Derajat Luka. Majalah Kedokteran Indonesia Volume 60,

Nomor 4, April.

http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/viewFile/

722/717

American College of Surgeons. 1997. Advanced Trauma Life Support (ATLS).

FirstImpression: USA.

Amin, Zulkifli, Asril Bahar, dkk. 2006. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas

Kedokteran UI. Jakarta.

Bickley LS, dan Szilagyi PG. 2007. Chapter 7, The Thorax and Lungs. Dalam:

Bickley L.S. dan Szilagyi PG. Bates' Guide to Physical Examination and

History Taking.9th edition.Lippincott Williams & Wilkins.

Bruner and Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah,Ed. 8 Vol. 1. Jakarta :

EGC

Delahay JN, Sauer S. Skeletal Trauma. In: Wiesel S, Delahay JN, editor.

Essentials of orthopedic surgery. 3rd ed.. Washington: Springer; 2007.

p.40-83

Demetriades D. 2009. Assessment and management of trauma 5th edition.

Department of surgery university of southern california.

Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk

Perencanaan dan Pendokumentasian Perawat Pasien. Jakarta; EGC.

Ediyono (2008).Pneumothorax. Elib.fk.uwks.ac.id – Diakses 20 April 2014

Ganveer, Rajnarayan R, Tiwari. Injury pattern among non-fatal road traffic

accident cases: a cross-sectional study in central India. Indian J Med Sci

Jan 2005;59:9-12

Halim Hadi. 2007. Penyakit-Penyakit Pleura dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid II Edisi 4. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Iwan. 2012. Asuhan Keperawatan Kline dengan Frktur. Medical Bedah III. Stikes

Kusuma Husada.

Jain D.G, Gosari S.N, Jain D.D :Understanding and Managing

TensionPneumothorax.JIACN 2008; 9(1) :42–50.

Navin, M and Waddell, R. Triage is Broken. EMS Magazine August 2005 pp.1–3

http://www.ha.org.hk/visitor/ha_visitor_index.asp?

Content_ID=10051&Lang=ENG&Dimension=100&Parent_ID=10042

Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta:Media AesculapiusFakultas Kedokteran UI,

1995, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Jakarta:Binarupa Aksara.

Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/1988 tentang Rumah Sakit

Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis

Peraturan Menteri Kesehatan No.749a/1989 tentang Rekam Medis

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Nomor

290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.

Price, Sylvia Anderson. 1995. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses – Proses

Penyakit. Jakarta; EGC.

Rachmad, KB, Tjahyono, AS, Wibawanto, AW, et al. Penanganan Trauma

Thorax. 1st ed. 2002. Jakarta: Subbag Ilmu Bedah Thorax, FKUI.

Satyo AC. 2006. Aspek medikolegal luka pada forensik klinik.Majalah

Kedokteran Nusantara, 39 (4): 430-432.

Schaller. 2014. Open Fracture.

http://www.emedicine.medscape.com/article/1269242-overview (diakses

pada 29 April 2014)

Simangunsong LRS .2011. Traumatologi. Fakultas Kedokteran UHN.

Skinner H, Smith W, Shank J, Diao E, Lowenberg D. Musculoskeletal Trauma.

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan

Suddarth. Jakarta; EGC.

Undang-undang No 23/1992 tentang Kesehatan .

Undang-undang No. 29/ tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Wibisono E, Budianto IR. 2014. Pneumotoraks. Dalam: Tanto, C, et al. Kapita

Selekta Kedokteran Edisi IV Jilid I. Jakarta: Media Aesculapius. Hal 271-274