66
216 IX. DISAIN MODEL DINAMIK PENGELOLAAN PARIWISATA DI KAWASAN PUNCAK 9.1 Sintesis Analisis Pariwisata Kawasan Puncak Pada bab ini dilakukan sintesis dari keseluruhan alat analisis yang sudah diuraikan pada bab-bab sebelumnya. Kompilasi alat analisis beserta hasil dan penjelasan lainnya dicantumkan pada tabel 80 berikut ini. Tabel 80. Keterkaitan tujuan, alat analisis dan hasil analisis dengan rumusan black box No. TUJUAN ALAT ANALISIS HASIL ANALISIS RUMUSAN BLACK BOX 1 Mengukur daya saing kegiatan pariwisata di Kawasan Puncak travel cost methode (TCM) indeks daya saing Pariwisata Wisatawan bersedia mengeluarkan biaya yang lebih tinggi terhadap lokasi- lokasi obyek wisata yang terpelihara dan mampu memberikan pelayanan wisata yang baik. Pariwisata di Kawasan Puncak memiliki daya saing yang cukup tetapi bila dibandingkan dengan Lembang Kabupaten Bandung Barat yang memiliki karakteristik alam yang hampir sama, posisi tingkat daya saing Kawasan Puncak masih berada dibawah Lembang. INPUT : Laju pertumbuhan ekonomi Aktivitas penertiban Tarif wisata Jml penduduk Kapasitas jalan OUTPUT : Meningkatnya daya saing Puncak Meningkatnya Pendapatan masyarakat Peningkatan PAD Peningkatan kamtibmas Meningkatnya kualitas lingkungan Lalu lintas lancar 2 Menghasilkan analisis daya dukung obyek wisata di Kawasan Puncak. analisis daya dukung (PCC, RCC, ECC) Berdasarkan perhitungan daya dukung sebenarnya (real carrying capacity) kondisi ke-7 obyek tujuan wisata (OTW) yang diamati masih memadai untuk menampung jumlah kunjungan wisatawan saat ini. Namun setelah mempertimbangkan aspek manajemen yang dilakukan pihak pengelola OTW, maka kemampuan daya dukung OTW menjadi lebih rendah. Dari tujuh OTW yang diamati, obyek agrowisata Gn Mas dan Curug Cilember kondisi daya dukung efektifnya (ECC) sudah terlampaui. INPUT : Kualitas SDM Kapasitas infrastruktur Jml wisatawan Luas areal obyek wisata Anggaran pemeliharaan lingkungan OUTPUT : Meningkatnya daya dukung pariwisata 3 Menghasilkan kajian kondisi kelembagaan pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak. ISM Tujuan pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak adalah terwujudnya pengelolaan pariwisata puncak yang terpadu, terintegrasi dan berkelanjutan. Lembaga yang berperan sebagai faktor kunci dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak adalah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata INPUT : Peran Lembaga Anggaran Regulasi Kualitas SDM Sarana dan prasarana

IX. DISAIN MODEL DINAMIK PENGELOLAAN PARIWISATA DI … · pariwisata di Kawasan Puncak travel cost methode (TCM) indeks daya saing Pariwisata • Wisatawan bersedia mengeluarkan biaya

Embed Size (px)

Citation preview

216

IX. DISAIN MODEL DINAMIK PENGELOLAAN PARIWISATA DI KAWASAN PUNCAK

9.1 Sintesis Analisis Pariwisata Kawasan Puncak

Pada bab ini dilakukan sintesis dari keseluruhan alat analisis yang sudah

diuraikan pada bab-bab sebelumnya. Kompilasi alat analisis beserta hasil dan

penjelasan lainnya dicantumkan pada tabel 80 berikut ini.

Tabel 80. Keterkaitan tujuan, alat analisis dan hasil analisis dengan rumusan

black box

No. TUJUAN ALAT

ANALISIS HASIL ANALISIS

RUMUSAN BLACK BOX

1 Mengukur daya saing kegiatan pariwisata di Kawasan Puncak

� travel cost methode (TCM)

� indeks daya saing Pariwisata

• Wisatawan bersedia mengeluarkan biaya yang lebih tinggi terhadap lokasi-lokasi obyek wisata yang terpelihara dan mampu memberikan pelayanan wisata yang baik.

• Pariwisata di Kawasan Puncak memiliki daya saing yang cukup tetapi bila dibandingkan dengan Lembang Kabupaten Bandung Barat yang memiliki karakteristik alam yang hampir sama, posisi tingkat daya saing Kawasan Puncak masih berada dibawah Lembang.

INPUT :

• Laju pertumbuhan ekonomi

• Aktivitas penertiban

• Tarif wisata

• Jml penduduk

• Kapasitas jalan

OUTPUT :

• Meningkatnya daya saing Puncak

• Meningkatnya Pendapatan masyarakat

• Peningkatan PAD

• Peningkatan kamtibmas

• Meningkatnya kualitas lingkungan

• Lalu lintas lancar

2 Menghasilkan analisis daya dukung obyek wisata di Kawasan Puncak.

� analisis daya dukung (PCC, RCC, ECC)

Berdasarkan perhitungan daya dukung sebenarnya (real carrying capacity) kondisi ke-7 obyek tujuan wisata (OTW) yang diamati masih memadai untuk menampung jumlah kunjungan wisatawan saat ini. Namun setelah mempertimbangkan aspek manajemen yang dilakukan pihak pengelola OTW, maka kemampuan daya dukung OTW menjadi lebih rendah. Dari tujuh OTW yang diamati, obyek agrowisata Gn Mas dan Curug Cilember kondisi daya dukung efektifnya (ECC) sudah terlampaui.

INPUT :

• Kualitas SDM

• Kapasitas infrastruktur

• Jml wisatawan

• Luas areal obyek wisata

• Anggaran pemeliharaan lingkungan

OUTPUT :

Meningkatnya daya dukung pariwisata

3 Menghasilkan kajian kondisi kelembagaan pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak.

ISM • Tujuan pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak adalah terwujudnya pengelolaan pariwisata puncak yang terpadu, terintegrasi dan berkelanjutan.

• Lembaga yang berperan sebagai faktor kunci dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak adalah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata

INPUT :

• Peran Lembaga

• Anggaran

• Regulasi

• Kualitas SDM

• Sarana dan prasarana

217

No. TUJUAN ALAT

ANALISIS HASIL ANALISIS

RUMUSAN BLACK BOX

(Disbudpar).

• Kendala yang dihadapi dalam pengelolaan kawasan Puncak adalah tidak adanya manajemen yang terintegrasi serta belum adanya Standar Operasional Prosedur dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak.

• Untuk mengatasi kendala serta mencapai tujuan yang diharapkan, maka program prioritasnya adalah membentuk institusi/forum khusus, evaluasi kebijakan/peraturan dan integrasi regulasi.

• Peran serta masyarakat

• Kerjasama lintas sektoral

OUTPUT:

• Pengelolaan pariwisata puncak yang terintegrasi

4 Menghasilkan analisis tingkat keberlanjutan kegiatan pariwisata di Kawasan Puncak.

� Analisis RAP-tourism (MDS)

Secara umum kondisi Pariwisata di Kawasan Puncak memiliki status tidak berkelanjutan, terutama pada dimensi hukum kelembagaan, ekologi, sosial budaya dan sarana prasarana. Atribut-atribut sensitif yang muncul dalam analisis ini dijadikan masukan/input dalam sistem.

INPUT:

• Jumlah penduduk

• Kelembagaan

• Kebijakan/regulasi

• Jumlah akomodasi wisata

• Kapasitas jalan

• Timbulan sampah

• Pelayanan air bersih

OUTPUT:

• Perluasan lapangan kerja

• Lalu lintas lancar

• Pariwisata yang berkelanjutan

5 Menghasilkan analisis kebijakan pemanfaatan ruang dan perizinan pariwisata di Kawasan Puncak.

content analysis (Analisis Isi)

- Kawasan Puncak dalam PP dan Perpres dinyatakan sebagai kawasan strategis nasional, dalam Perda Provinsi dinyatakan sebagai Kawasan Strategis Provinsi begitu pula dalam Perda Kab.Bogor dinyatakan sbg KS kabupaten, namun arahannya masih bersifat makro dan tidak ditindaklanjuti dengan rencana detail yang lebih operasional.

- Amanat mengenai kelembagaan dan koordinasi jabodetabekpunjur tidak diatur kembali dalam RTRW Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten.

INPUT:

• Kebijakan/regulasi

• Kerjasama lintas sektoral

• Kelembagaan

OUTPUT :

Tersusunnya RDTR Kawasan Puncak

• Meningkatnya kualitas lingkungan

Hasil analisis pada tabel diatas merupakan data dan informasi yang

sangat berguna sebagai variabel input dan output yang diperhitungkan dalam

black box sebagai suatu sistem. Dijelaskan bahwa untuk memperbaiki output

nilai indeks daya saing pariwisata Kawasan Puncak, maka 8 (delapan) indikator

pembentuk daya saing menjadi input yang dikendalikan dalam sistem

218

pengelolaan pariwisata Puncak. Input tersebut antara lain belanja wisatawan

yang dinyatakan dengan tarif wisata, jumlah penduduk, jumlah wisatawan,

kapasitas jalan dan Kualitas SDM.

Berdasarkan hasil analisis daya dukung wisata didapatkan fakta bahwa

walaupun secara umum kapasitas daya dukung di tempat-tempat obyek wisata

masih memadai, namun dalam jangka waktu kedepan, kapasitas ini sudah tidak

memadai lagi, bahkan saat ini untuk obyek wisata Gunung Mas dan Curug

Cilember sudah melampaui daya dukung efektifnya. Harapan untuk

meningkatkan daya dukung wisata di tempat-tempat obyek wisata harus

dilakukan dengan mengendalikan variabel input antara lain jumlah wisatawan,

luas areal obyek wisata, kualitas SDM, anggaran pemeliharaan lingkungan dan

kapasitas infrastruktur. Kondisi iklim berupa curah hujan menjadi faktor pembatas

daya dukung wisata, namun dalam sistem ini variabel curah hujan dikategorikan

sebagai input lingkungan diluar sistem.

Kelembagaan selalu menjadi isu penting dalam pengelolaan sumberdaya

alam dan lingkungan. Kejadian kerusakan alam dan degradasi lingkungan

seringkali terjadi karena konflik kepentingan antar lembaga, tumpang tindih

kewenangan, koordinasi yang tidak berjalan dan komitmen yang lemah. Melalui

alat analisis ISM (Interpretive Structural Modelling) dihasilkan strukturisasi

kelembagaan, kendala, tujuan dan aktivitas/program yang diperlukan dalam

pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak. Elemen tujuan yang menjadi faktor

kunci yaitu terwujudnya pengelolaan pariwisata Puncak yang terpadu,

terintegrasi dan berkelanjutan; terlaksananya pengelolaan pariwisata di kawasan

puncak yang efisien dan efektif dan terlaksananya penegakan hukum secara

tegas dan jelas. Output yang dikehendaki dalam black box merupakan

manifestasi dari elemen tujuan yang diinginkan sekaligus penyelesaian atau

solusi atas kendala yang dihadapi.

Berdasarkan faktor kunci elemen tujuan serta elemen kendala maka

variabel outputnya adalah terwujudnya pengelolaan pariwisata yang terintegrasi.

Variabel input yang dimasukan dalam sistem diperoleh dari elemen program dan

elemen lembaga antara lain; peningkatan peran lembaga, ketersediaan

anggaran, penyusunan regulasi, peningkatan kualitas SDM, penyediaan sarana

dan prasarana, peningkatan peran serta masyarakat serta kerjasama lintas

sektoral.

219

Konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan adalah pengelolaan

seluruh sumberdaya sedemikian rupa hingga kita dapat memenuhi kebutuhan

ekonomi, sosial, estetika dan ekologi. Output yang diharapkan dari aktivitas

pariwisata pada dasarnya adalah pengelolaan pariwisata yang berkelanjutan

artinya tidak terjadinya degradasi sumberdaya alam dan lingkungan, ditandai

dengan empat kondisi yaitu: (1) anggota masyarakat harus berpartisipasi dalam

proses perencanaan dan pembangunan pariwisata; (2) pendidikan bagi tuan

rumah, pelaku industri dan wisatawan; (3) kualitas habitat kehidupan liar,

penggunaan energi dan iklim mikro harus dimengerti dan didukung; (4) investasi

pada bentuk–bentuk transportasi alternatif (Yaman dan Mohd 2004).

Status keberlanjutan pariwisata di Kawasan Puncak berdasarkan analisis

Rap-tourism Multi Dimensional Scaling (MDS) menunjukkan nilai indeks

keberlanjutan sebesar 34,74 yang berarti status Kawasan Puncak untuk

pengembangan pariwisata adalah tidak berkelanjutan. Status tidak berkelanjutan

tersebut dicerminkan oleh nilai indeks keberlanjutan pada setiap dimensi yaitu

untuk dimensi hukum dan kelembagaan sebesar 31,86 dengan status tidak

berkelanjutan, dimensi ekologi sebesar 31,38 dengan status tidak berkelanjutan,

dimensi ekonomi sebesar 67,87 dengan status berkelanjutan, dimensi sosial

budaya sebesar 32,43 dengan status tidak berkelanjutan dan dimensi sarana

prasarana sebesar 27,73 dengan status tidak berkelanjutan. Untuk mencapai

status berkelanjutan, maka kinerja pariwisata di Kawasan Puncak harus dibenahi

dari berbagai dimensi dengan cara menentukan atribut-atribut yang paling

sensitif untuk dijadikan variabel input dalam sistem pengelolaan pariwisata di

Kawasan Puncak. Variabel input diantaranya adalah kelembagaan, pertumbuhan

penduduk, kesempatan kerja, kebijakan/regulasi, kapasitas jalan, cakupan

pelayanan air bersih dan timbulan sampah.

9.2 Penyusunan Black Box (Kotak Gelap)

Secara garis besar ada enam kelompok variabel yang mempengaruhi

kinerja sistem yang digambarkan dalam bentuk diagram input-output (Manetch

dan Park,1977). Diagram input-output atau dikenal dengan sebutan diagram I-O

tersebut meliputi: (1) variabel output yang dikehendaki, yang ditentukan

berdasarkan hasil analisis kebutuhan; (2) variabel output yang tidak dikehendaki,

(3) variabel input yang terkendali; (4) variabel input yang tak terkendali; (5)

variabel input lingkungan; dan (6) variabel umpan balik sistem.

220

Sistem pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak digambarkan dalam

diagram input-output, yang terdiri dari input terkontrol, input tidak terkontrol,

output dikehendaki dan output tidak dikehendaki. Melalui mekanisme

pengelolaan pariwisata output yang tidak dikehendaki diubah menjadi input

terkontrol yang masuk ke dalam sistem pengelolaan pariwisata yang berdaya

saing dan berkelanjutan. Input merupakan masukan yang diberikan pada sistem

pengelolaan pariwisata untuk mempengaruhi kinerja sistem secara langsung

maupun tidak langsung dalam mencapai tujuan.

Gambar 43. Diagram input-output (black box) pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak.

INPUT TAK TERKENDALI

• Perubahan Sosial-budaya

• Kebijakan Nasional dan

Regional

• Dinamika perubahan ekonomi

global

INPUT

LINGKUNGAN

Kondisi geografis, Kondisi iklim

cuaca, Bencana

alam, Peraturan

pemerintah

OUTPUT YANG

DIKEHENDAKI

• Peningkatan Pendapatan masyarakat

• Peningkatan PAD

• Perluasan lapangan kerja

• Lalu lintas lancar

• Peningkatan kualitas lingkungan

• Peningkatan kamtibmas

• Berkurangnya jml bangli dan PKL

• Penanganan puncak yang terintegrasi

• Meningkatnya daya saing kawasan

• Pariwisata berkelanjutan

MODEL

PENGELOLAAN

PARIWISATA YANG

BERDAYA SAING

DAN

BERKELANJUTAN

PENGAWASAN DAN

PENGENDALIAN

PARIWISATA DI

KAWASAN PUNCAK

INPUT TERKENDALI

• Jumlah penduduk

• Jumlah kendaraan

• Jumlah akomodasi wisata

• Kapasitas jalan

• Laju pertumbuhan ekonomi

• Jml wisatawan

• Aktivitas penertiban

• Kelembagaan

• Anggaran

• Tarif wisata

• Kualitas SDM

• Kebijakan pemerintah daerah

• Kesempatan kerja

• Timbulan sampah

• Pelayanan air bersih

• Kerjasama lintas sektoral

• Peran serta masyarakat

OUTPUT TAK DIKEHENDAKI

• Peningkatan jumlah sampah

• Penurunan jumlah investasi

• Penurunan kesehatan masyarakat

• Meningkatnya kriminalitas

• Kerusakan tata nilai budaya

• Meningkatnya tutupan lahan

• menurunnya daya dukung lingkungan

221

Input tidak terkendali pada sistem ini merupakan input yang sulit

dikendalikan langsung sehingga tidak dimasukan atau diikutsertakan dalam

sistem, perannya dianggap tidak terlalu mempengaruhi kinerja sistem, seperti

halnya, perubahan sosial-budaya, dinamika perubahan informasi dan ekonomi

global. Sedangkan input terkendali seperti halnya jumlah penduduk, wisatawan,

kendaraan, akomodasi, jalan dan sebagainya merupakan input yang penting

diatur dan dikendalikan karena sangat besar pengaruhnya pada kinerja sistem

pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak. Input lingkungan adalah peubah

yang mempengaruhi sistem akan tetapi sistem itu sendiri tidak dapat

mempengaruhinya, seperti halnya kondisi cuaca dan iklim serta kebijakan

Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan

Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur dan Peraturan

Pemerintah 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

Dalam perancangan model diagram black box perlu ditentukan suatu

parameter rancangan sistem. Seperti yang diungkapkan oleh Eriyatno (2003),

parameter rancangan sistem digunakan untuk menetapkan struktur sistem yang

merupakan peubah keputusan penting bagi kemampuan sistem menghasilkan

keluaran yang dikehendaki secara efisien dalam memenuhi kepuasan bagi

kebutuhan yang ditetapkan. Peubah ini dapat dirubah selama pengoperasian

sistem untuk membuat kemampuan sistem bekerja lebih baik dalam keadaan

lingkungan yang berubah-ubah. Parameter rancangan sistem dapat berupa

lokasi fisik, ukuran fisik dari sistem dan komponen sistem.

Sebagai contoh, dalam suatu sistem pabrik teh, yang dimaksud

parameter perancangan sistem adalah sebuah SOP (Standar Operasional

Prosedur) yang dibuat oleh pihak manajemen sebagai acuan bagi pekerja dalam

rangka mewujudkan tujuan dari sistem produksi (Tindao 2009). Namun untuk

pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak karena belum dikelola dalam

manajemen terpadu sehingga melibatkan banyak sektor dan lembaga dengan

berbagai kewenangan, maka parameter rancangan sistem dimaksud berasal dari

beberapa kebijakan yang terkait langsung dan sangat intensif mengatur

pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak dari mulai kebijakan umum, tujuan

sampai kepada program-program dan target kinerja.

Pengukuran produktifitas atau pencapaian target dan sasaran merupakan

cara terbaik dalam menilai kemampuan atau kinerja pengelolaan pariwisata di

222

Kawasan Puncak. Proses transformasi input dan parameter rancangan sistem

akan menghasilkan output. Output terdiri dari output yang dikehendaki dan

output yang tidak dikehendaki. Output yang dikehendaki adalah peningkatan

pendapatan PAD dan masyarakat, perluasan lapangan kerja, lalu lintas lancar,

peningkatan kualitas lingkungan dan kamtibmas, berkurangnya PKL dan

bangunan liar, penanganan Kawasan Puncak yang terintegrasi, peningkatan

daya saing Kawasan Puncak serta mewujudkan pariwisata yang berkelanjutan.

Output yang tidak dikehendaki dari sistem ini merupakan hasil sampingan

yang tidak dapat dihindarkan dari sistem yang berfungsi dalam menghasilkan

output yang dikehendaki dan sering merupakan kebalikan dari output yang

dikehendaki. Output yang tidak dikehendaki dalam sistem pengelolaan pariwisata

di Kawasan Puncak adalah peningkatan jumlah sampah, tutupan lahan dan

kriminalitas, menurunnya daya dukung lingkungan, kesehatan masyarakat dan

jumlah investasi serta kerusakan tata nilai budaya.

Manajemen pengawasan dan pengendalian merupakan umpan balik

dalam jalannya sistem. Proses transformasi dari input menjadi output sering

terdapat perbedaan harapan yang tidak sesuai dengan yang telah direncanakan.

Oleh karena itu, diperlukan umpan balik agar hal-hal yang menimbulkan

perbedaan harapan yang tidak sesuai dapat ditangani dan disesuaikan dengan

harapan dan tujuan semula (Tindao ,2009). Berdasarkan hasil identifikasi sistem

dan sintesis analisis terhadap beberapa dimensi yang berpengaruh terhadap

pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak, maka dapat digambarkan dalam

diagram lingkar sebab-akibat dan kotak gelap. Diagram lingkar sebab-akibat

dapat dilihat pada gambar 44.

Jumlah

Wisatawan

Pendapatan

Daerah

Pendapatan

Masyarakat

+

+

+

+

+-Kualitas

Lingkungan+

Pembangunan

Daerah

Sarana

Akomodasi

-

Tutupan

Lahan

+

Pengembangan

Pariwisata

+

+

Kenyaman

+

Stabililtas

Keamanan

Kerawanan

Sosbud

Jumlah

KendaraanKemacetan

Lalin

-

+

+

+

+

Perubahan

Sosbud

Gambar 44. Diagram lingkar sebab akibat (causal loop) pengembangan pariwisata di Kawasan Puncak Kabupaten Bogor.

223

Pengembangan pariwisata akan meningkatkan jumlah kunjungan wisata,

yang kemudian diikuti dengan penambahan sarana akomodasi wisata seperti

restoran, vila, hotel. Penambahan sarana dan prasarana tersebut akan

membutuhkan lahan. Jika tidak dilakukan pengendalian pertumbuhan tutupan

lahan yang baik maka akan mengakibatkan terlampauinya daya dukung

lingkungan sehingga pada akhirnya akan menurunkan kualitas lingkungan.

Selain itu, penambahan wisatawan akan diikuti dengan penambahan jumlah

kendaraan dan fasilitas jalan yang pada akhirnya sering menimbulkan

kemacetan sebagai akibat terlampuinya kapasitas jalan yang ada.

Kondisi ini akan menurunkan kenyamanan wisatawan dalam berwisata

yang pada akhirnya akan berpengaruh negatif terhadap pengembangan

pariwisata di kawasan puncak. Demikian pula dengan perubahan kondisi sosial

budaya akan dipengaruhi oleh kehadiran wisatawan dengan segala budaya yang

dimilikinya. Apabila tidak dilakukan penanganan yang baik maka dihawatirkan

terjadi konflik sosial atau kerawanan sosial budaya yang akan mengganggu

stabilitas keamanan di wilayah tersebut. Kondisi ini akan menurunkan

kenyamanan dan pada akhirnya berpengaruh negatif terhadap pengembangan

pariwisata. Disisi lain pengembangan pariwisata berdampak positif terhadap

peningkatan pendapatan masyarakat, yang pada akhirnya akan berkontribusi

positif terhadap peningkatan pendapatan daerah dan pembangunan daerah,

termasuk pendanaan untuk memperbaiki kualitas lingkungan.

9.3 Model Dinamik Pengelolaan Pariwisata

Pemodelan merupakan alat bantu dalam pengambilan keputusan. Model

didefinisikan sebagai suatu penggambaran dari suatu sistem yang telah dibatasi.

Struktur model dinamik yang dikembangkan merupakan gambaran dari interaksi

antara elemen-elemen dalam sistem. Model dinamik mampu menelusuri jalur

waktu dari peubah-peubah model dan dapat memberikan kekuatan yang lebih

tinggi pada analisis dunia nyata, untuk memudahkan proses perancangan model,

maka dilakukan pembagian sistem secara keseluruhan menjadi beberapa sub

sistem yaitu sub sistem: (1) Submodel Penduduk; (2) Submodel Transportasi

dan Akomodasi; (3) Submodel Fisik Lingkungan dan (4). Submodel Hukum dan

kelembagaan. Setiap struktur dari masing-masing sub sistem menunjukkan

ketergantungan sebab akibat dari perilaku masing-masing sub sistem.

224

Penyusunan model dinamik pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak

menggunakan asumsi :

(1) Pertambahan penduduk dihitung berdasarkan kelahiran dan migrasi

masuk serta kematian dan migrasi keluar per tahun

(2) Jumlah wisatawan yang menginap/bermalam di Kawasan Puncak adalah

sebesar 20% dari seluruh jumlah wisatawan.

(3) Komitmen pemerintah diperhitungkan berdasarkan frekuensi penertiban

bangunan tidak berizin, jumlah aparatur pelaksana penertiban dan

frekuensi sosialisasi.

(4) Kebijakan perangkutan dan aksesibilitas tidak mengalami perubahan.

(5) Laju pertumbuhan ekonomi Kawasan Puncak menggunakan angka laju

pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bogor.

(6) Laju pertumbuhan penduduk Kawasan Puncak menggunakan laju

pertumbuhan penduduk Kecamatan Ciawi, Megamendung dan Cisarua.

(7) Perkembangan ekonomi diwakili oleh kondisi retribusi dan pajak serta Laju

Pertumbuhan Ekonomi.

(8) Perkembangan lingkungan diwakili oleh kondisi timbulan sampah,

pertambahan kendaraan, pertambahan CO2, tutupan lahan dan daya

dukung lingkungan di obyek wisata.

(9) Perkembangan sosial budaya diwakili oleh kondisi penyediaan lapangan

pekerjaan, pengangguran, penertiban bangunan, komitmen pemerintah,

laju pertumbuhan penduduk.

(10) Pengelolaan pariwisata di masa yang akan datang masih tetap seperti

pengelolaan saat ini.

(11) Tidak terjadi upaya secara besar-besaran dalam penertiban bangunan PKL

dan bangunan tanpa izin lainnya.

(12) Asumsi lain berkaitan dengan penyusunan model dinamik dicantumkan

dalam lampiran.

9.3.1 Submodel Penduduk

Penduduk merupakan salah satu aset pembangunan yang paling

dominan yang dimiliki banyak negara berkembang pada umumnya. Berdasarkan

hasil Registrasi dari Dinas Kependudukan, Catatan Sipil dan Keluarga

Berencana, pada Tahun 2009 tercatat bahwa penduduk Kabupaten Bogor yaitu

4.340.520 jiwa dengan komposisi penduduk laki-laki berjumlah 2.230.314 jiwa

225

dan perempuan 2.110.206 jiwa dengan ratio jenis kelamin 106. Pertimbangan

untuk memasukkan variabel penduduk disebabkan karena fenomena

kecenderungan pertumbuhan penduduk yang selalu bertambah akan

mempengaruhi terhadap pertambahan tutupan lahan karena pertambahan

pemukiman, infrastruktur dan fasilitas perkotaan lainnya.

Pertambahan penduduk yang berdasarkan deret ukur tersebut, menjadi

dasar pertimbangan diberlakukannya berbagai macam kebijakan untuk

mengendalikan atau mengurangi jumlah penduduk. Pertambahan penduduk

dipengaruhi oleh kelahiran (natalitas) dan migrasi masuk sedangkan yang

mengurangi jumlah penduduk adalah karena adanya kematian (mortalitas) dan

migrasi keluar (emigrasi). Pertambahan penduduk merupakan selisih antara

kelahiran ditambah migrasi masuk dikurangi kematian ditambah migrasi keluar.

Hubungan antara laju pertumbuhan penduduk dengan jumlah penduduk

membentuk loop positif (reinforcing) saling menguatkan artinya dengan semakin

tingginya laju pertambahan penduduk maka akan meningkatkan jumlah

penduduk. Sebaliknya, pengurangan jumlah penduduk membentuk loop negatif

(balancing), artinya semakin tinggi laju pengurangan penduduk maka jumlah

penduduk akan semakin menurun.

Besarnya jumlah penduduk akan membawa implikasi tertentu, terutama

terhadap persebaran dan densitas (kepadatan). Pada tahun 2009 kecamatan

yang mempunyai kepadatan penduduk di atas 2.000 jiwa/km2 sebanyak 20

kecamatan, termasuk didalamnya adalah kecamatan Ciawi dan Megamendung

di Kawasan Puncak. Kabupaten Bogor mempunyai struktur penduduk umur

muda, hal ini akan membawa akibat semakin besarnya jumlah angkatan kerja.

Perbandingan antara jumlah angkatan kerja dengan penduduk berumur 15 tahun

lebih disebut dengan partisipasi angkatan kerja. Tahun 2008 Tingkat Partisipasi

Angkatan Kerja (TPAK) Kabupaten Bogor secara total adalah 55,24%.

Peningkatan TPAK tidak terlepas karena adanya peningkatan kinerja

perekonomian daerah yang diperlihatkan dari peningkatan laju Produk Domestik

Regional Bruto (PDRB).

226

PendudukKelahiran

-

+

Kematian

+

+

Migrasi

Masuk

Migrasi

Keluar

+

-

Gambar 45. Diagram lingkar sebab akibat (causal loop) sub model penduduk.

Komponen penduduk dalam model ini dianggap sebagai suatu level

(akumulasi) yang bisa bertambah dan berkurang karena dinamika angka

kelahiran dan kematian. Dinamika aliran yang menyebabkan bertambah atau

berkurangnya suatu level disebut flow atau rate. Pada model ini faktor kelahiran

dan migrasi masuk (inmigration) adalah unsur rate penambah. Rate pengurang

jumlah penduduk disebabkan oleh faktor kematian dan migrasi keluar

(outmigration). Konstruksi sub model penduduk disajikan pada gambar 46.

Gambar 46. Struktur Model Dinamik sub model penduduk

Faktor penambah jumlah penduduk pada tiga kecamatan di Kawasan

Puncak berasal dari laju migrasi masuk (inmigration) yaitu rata-rata sebesar

1,5% per tahun sementara itu, kelahiran alamiah (natalitas) menyumbang sekitar

227

2,5% per tahun. Faktor pengurang pertambahan penduduk berasal dari migrasi

penduduk keluar sebesar 0,4% per tahun dan mortalitas sebesar 0,3% per tahun.

Simulasi model dinamik pada sub model penduduk seperti gambar 38.

berawal dari jumlah penduduk di wilayah studi sebesar 295.340 jiwa pada tahun

2009 dengan tingkat natalitas sebesar 2,5% dan tingkat mortalitas sebesar 0,3%

maka diperkirakan jumlah penduduk di tiga kecamatan pada tahun 2029 akan

mencapai 465.409 jiwa.

Jumlah penduduk pada awalnya menunjukkan pertumbuhan akibat

proses reinforcing oleh karena adanya positif feedback atau loop positive akan

tetapi dengan semakin bertambahnya waktu, terjadi proses balancing oleh loop

negative sehingga diperoleh keseimbangan. Faktor pembatas yang menahan

pertambahan penduduk adalah karena keterbatasan lahan. Pertambahan jumlah

penduduk mempunyai hubungan timbal balik negatif (negative feedback) dengan

ketersediaan lahan artinya semakin tinggi jumlah penduduk maka

kecenderungannya akan mengurangi ketersediaan lahan yang kosong atau

memiliki hubungan positif (positive feedback) dengan peningkatan tutupan lahan

terbangun. Namun demikian, karena keterbatasan ketersediaan lahan,

sedangkan penduduk pertambahannya cukup cepat, maka pada suatu saat akan

terjadi pertumbuhan yang melambat sampai pada suatu titik keseimbangan

tertentu (stable equilibrium) dan selanjutnya mengalami penurunan. Fenomena

model ini mengikuti pola dasar (archetype) “limit to growth” dalam sistem

dinamik.

Pada tahun 2009 terdapat jumlah penduduk sebanyak 295.340 jiwa, dari

jumlah penduduk tersebut, didapatkan penduduk yang tidak bekerja sebanyak

41.348 jiwa. Berdasarkan asumsi jumlah penduduk tidak bekerja adalah 14%

dari jumlah penduduk, maka diperkirakan pada tahun 2029 penduduk yang tidak

bekerja bertambah menjadi 65.157 jiwa. Pola penambahan jumlah penduduk

tidak bekerja mengikuti pola pertambahan penduduk dengan loop positif yang

saling memperkuat. Namun perubahan angka pengangguran sangat

dipengaruhi oleh kondisi ekonomi daerah yang diindikasikan dengan perubahan

Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) berdasarkan kinerja sektor dalam Produk

Domestik Regional Bruto ( PDRB). Asumsinya dengan peningkatan LPE akan

memicu peningkatan penyediaan lapangan pekerjaan yang dapat disediakan

228

untuk penduduk angkatan kerja. LPE disini berperan sebagai faktor koreksi untuk

mengendalikan pertambahan jumlah pengangguran.

Jika terjadi perkembangan ekonomi yang baik disertai pengendalian

penduduk terutama dari kelahiran yang ketat, maka jumlah penduduk yang tidak

bekerja akan berkurang atau sebagian besar penduduk mendapatkan pekerjaan

sehingga kinerja pembangunan daerah akan semakin baik dan masyarakat

semakin sejahtera. Perkembangan sektor pariwisata memberikan pengaruh

yang baik terhadap pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja atau

penyediaan kesempatan kerja. Penyerapan tenaga kerja pada sektor pariwisata

diperoleh dari kegiatan akomodasi baik hotel/wisma/vila/resort, juga kegiatan

hiburan dan restoran. Pada tahun 2009 kesempatan kerja pada sektor pariwisata

di Kawasan Puncak dapat menyerap 1.483 tenaga kerja, diperkirakan pada

tahun 2029 akan tersedia kesempatan kerja di sektor pariwisata untuk 2.337

tenaga kerja. Namun demikian, bila dibandingkan antara jumlah pengangguran

dengan kesempatan kerja yang dapat disediakan dari aktivitas pariwisata, masih

sangat kecil yaitu baru sekitar 3,6%.

Tabel 81. Simulasi sub model penduduk

229

Gambar 47. Grafik hasil simulasi jumlah penduduk periode 2009-2029

9.3.2 Submodel Transportasi dan Akomodasi

Peningkatan jumlah penduduk dan wisatawan akan meningkatkan

kebutuhan akan transportasi berupa kendaraan, baik kendaraan pribadi maupun

kendaraan umum, demikian pula dengan peningkatan jumlah kendaraan akan

membutuhkan penyediaan fasilitas jalan yang memadai. Pemeliharaan,

peningkatan, pembangunan jalan baru maupun manajemen lalu lintas akan

meningkatkan kapasitas jalan terhadap pengguna jalan khususnya kendaraan.

Peningkatan jumlah kendaraan yang diikuti dengan penambahan ruas jalan baru

akan membutuhkan lahan-lahan baru untuk membangun jalan-jalan alternatif.

Demikian pula dengan penambahan obyek wisata dan akomodasi, baik berupa

hotel, villa maupun wisma akan menambah kebutuhan lahan-lahan baru.

Apabila tidak dilakukan pengendalian berdasarkan peruntukan ruang, maka

dapat menjadi ancaman bagi penyediaan ruang terbuka hijau atau areal-areal

yang harus dikonservasi.

Jumlah

Wisatawan

Kendaraan

+

Akomodasi

+

Kebutuhan

Lahan

Objek Wisata

Jalan

+

+

+

+

+

+

+

+

Gambar 48. Diagram lingkar sebab akibat (causal loop) sub model

transportasi dan akomodasi.

230

Berdasarkan konstelasi regional, sistem jaringan jalan di Kawasan

Puncak, yaitu mulai dari Kota Bogor sampai dengan Kota Cianjur melalui Ciawi,

Cisarua dan Cipanas ditetapkan sebagai jaringan jalan kolektor primer. Volume

lalu lintas akan meningkat dengan cepat pada waktu akhir minggu (week end),

terutama pada hari jum’at, sabtu dan minggu. Pergerakan lalu lintas di Kawasan

Puncak sangat tinggi, sering terjadi kemacetan dalam bentuk antrian yang

sangat panjang. Kondisi ini sangat merugikan bagi masyarakat yang akan

melakukan pergerakan menerus tanpa harus melakukan maksud kegiatan

pariwisata. Pengaturan lalu-lintas yang dilakukan aparat kepolisian dan DLLAJ

adalah dalam bentuk pengaturan sistem pergerakan satu arah pada jam-jam

tertentu dan sistem pengalihan arus lalu-lintas, terutama untuk kendaraan besar

(seperti bus dan truk) untuk tidak melalui Kawasan Puncak melainkan melalui

jalur Sukabumi.

Gambar 49. Struktur model dinamik sub model transportasi dan akomodasi.

Pada sub-model transportasi dan akomodasi, variabel yang ditentukan

sebagai variabel level terdiri dari, jumlah kendaraan, jumlah akomodasi dan

jumlah penduduk. Jumlah lalu lintas harian kendaraan di kawasan puncak

berdasarkan data dari DLLAJ adalah 10.000 kendaraan/hari dan jumlah

kendaraan yang melintasi Kawasan Puncak yang dihitung dari pos pengamatan

Ciawi pada saat week end diperoleh jumlah kendaraan adalah 39.564

kendaraan. Berdasarkan data lalu lintas harian rata-rata dan hasil survey pada

saat week end kemudian dikonversi dalam satu tahun, maka jumlah kendaraan

yang melintas kurang lebih adalah 6.144.000 kendaraan.

231

Berdasarkan hasil studi DLLAJ selama tiga tahun, diperoleh data

penambahan jumlah kendaraan yang melintasi Kawasan Puncak yang dipantau

dari pos pengamatan yang sama adalah 2,5%. Berdasarkan simulasi model

dinamik, maka pada tahun 2029 penambahan kendaraan akan menjadi

12.860.098 kendaraan per tahun. Pertambahan jumlah kendaraan ini akan

dibatasi oleh pengaturan lalu lintas karena kondisi jalan yang pertambahannya

sangat lambat/sedikit, sehingga pada suatu saat akan terjadi penurunan jumlah

kendaraan yang melintasi Kawasan Puncak.

Demikian pula dengan penambahan jumlah wisatawan akan

meningkatkan jumlah akomodasi berupa penginapan dan sarana obyek wisata.

Berdasarkan data dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata pada tahun 2009 luas

total akomodasi yang tersedia saat ini adalah sekitar 250.000 m2. Diperkirakan

pada saat tahun 2029 kebutuhan lahan untuk akomodasi berupa penginapan

dan jalan menjadi 521.280 m2

Tabel 82. Simulasi sub model transportasi dan akomodasi

232

Gambar 50. Grafik hasil simulasi jumlah kendaraan dan luas akomodasi

periode 2009-2029.

9.3.3 Submodel Fisik Lingkungan

Jumlah penduduk yang semakin meningkat ditambah pula dengan

kedatangan wisatawan yang berkunjung ke tempat-tempat obyek wisata dan

bermalam di tempat-tempat akomodasi wisata seperti hotel, villa dan wisma,

akan semakin memperbesar beban lingkungan di Kawasan Puncak.

Penambahan jumlah penduduk dan wisatawan akan meningkatkan jumlah

angkutan transportasi atau kendaraan. Peningkatan jumlah kendaraan akan

menimbulkan kemacetan lalu lintas karena tidak memadainya antara kapasitas

jalan dengan jumlah pengguna jalan. Peningkatan jumlah kendaraan akan

menurunkan kualitas udara yang disebabkan emisi dari kendaraan bermotor dan

kebisingan yang ditimbulkan dari suara kendaraan.

Pencemaran udara tersebut selain menyebabkan menurunnya kualitas

udara juga mengganggu kenyamanan dan menyebabkan terjadinya gangguan

kesehatan. Dampak negatif akibat menurunnya kualitas udara cukup berat

terhadap lingkungan terutama kesehatan manusia yaitu: menurunnya fungsi

paru, peningkatan penyakit pernapasan, dampak karsinogen dan beberapa

penyakit lainya. Selain itu pencemaran udara dapat menimbulkan bau,

kerusakan materi, gangguan penglihatan, dan dapat menimbulkan hujan asam

yang merusak lingkungan . Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten

Bogor, pada tahun 2010 jumlah penderita ISPA di Kecamatan Ciawi sebanyak

31.217 orang, Kecamatan Cisarua sebanyak 15.093 orang dan Kecamatan

Megamendung sebanyak 6.032 orang.

233

Penambahan jumlah penduduk dan peningkatan kunjungan wisatawan

akan meningkatkan volume sampah yang dihasilkan. Keterbatasan sarana

prasarana pengelolaan sampah baik dalam bentuk tempat pembuangan

sementara (TPS), maupun tempat pembuangan akhir (TPA) serta keterbatasan

armada angkutan dan petugas kebersihan (pesapon) akan semakin menurunkan

kondisi sanitasi lingkungan yang pada akhirnya akan menurunkan kesehatan

masyarakat. Kondisi kesehatan masyarakat setempat dan sanitasi lingkungan

merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kunjungan wisatawan

ke suatu destinasi. Informasi terjadinya wabah penyakit di suatu destinasi yang

tersampaikan kepada wisatawan merupakan propaganda buruk bagi tempat

destinasi tersebut.

Penambahan jumlah wisatawan yang berkunjung ke suatu destinasi selain

menimbulkan peningkatan penggunaan jalan dan kemacetan juga dapat

menimbulkan kesesakan atau kepadatan wisatawan di suatu tempat obyek

wisata. Peningkatan kunjungan wisatawan yang tidak mempertimbangkan daya

dukung fisik, faktor pembatas dan kapasitas manajemen dapat melampaui

kapasitas daya dukung efektifnya, sehingga kondisi berwisata di lokasi tersebut

menjadi sesak (overcrowded) dan tidak nyaman.

Kendaraan

Sampah

Pengunjung /

Wisatawan

Daya Dukung

OTW

Sanitasi

Lingkungan

+

+

-

Kenyamanan

Wisata

+

Kemacetan

Lalin

+

Kualitas

Udara

Kesehatan

Masyarakat

-

Kepadatan

+

-

-

-+

-

+

Gambar 51. Diagram lingkar sebab akibat (causal loop) sub model fisik

lingkungan

234

Gambar 52. Struktur Model Dinamik sub model fisik dan lingkungan

Simulasi model dinamik pada sub model fisik dan lingkungan seperti

gambar 52, menjelaskan bahwa penambahan wisatawan ke Kawasan Puncak

akan memberikan dampak negatif dan positif bagi daerah. Dampak positifnya

adalah peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang berasal dari pajak dan

retribusi yang dibayarkan para pelaku wisata. Pada tahun 2009, jumlah

wisatawan di Kawasan Puncak terdapat sebanyak 1.345.536 orang yang

memberikan kontribusi terhadap PAD sebanyak Rp. 29.242.751.500. Perolehan

PAD akan meningkat setiap tahunnya seiring dengan peningkatan jumlah

wisatawan, namun peningkatan jumlah wisatawan juga memiliki konsekuensi

terhadap penurunan kualitas udara dan penambahan sampah. Pada tahun

2029 diperkirakan sampah di kawasan Puncak yang berasal dari penduduk

maupun wisatawan terdapat sebanyak 3.698.248,21 kg atau sekitar 3.698

ton/thn. Penambahan jumah sampah ini membutuhkan peningkatan kapasitas

layanan dan penanganan persampahan dari pemerintah.

Tabel 83. Simulasi sub model fisik lingkungan

235

Gambar 53. Grafik hasil simulasi jumlah wisatawan, dan jumlah sampah

periode 2009-2029

9.3.4 Submodel Hukum dan Kelembagaan

Industri pariwisata merupakan industri yang mengutamakan menjual citra

lingkungan dan pelayanan. Untuk menciptakan lingkungan dan pelayanan yang

baik di suatu destinasi akan sangat tergantung pada kualitas kelembagaan dan

penegakan hukum. Aparatur dengan komitmen dan integritas yang tinggi akan

ditunjukkan dengan sikap patuh dan taat terhadap regulasi yang telah ditetapkan.

Penerapan perizinan yang sesuai aturan hukum disertai dengan pengawasan

dan pengendalian yang terus menerus akan meningkatkan kualitas pengendalian

tata ruang dan mengurangi jumlah bangunan yang tidak berizin atau bangunan

berizin tetapi menyimpang dari ketentuan ruang yang ada. Kondisi ruang di

Kawasan Puncak yang terkendali akan berkontribusi terhadap perbaikan kualitas

lingkungan yang pada akhirnya akan menjadi faktor utama yang menjadi daya

tarik wisata.

Integritas dan komitmen aparatur akan tergantung dari kualitas Sumber

Daya Manusia (SDM) aparatur yang merupakan faktor penting untuk mengatasi

beberapa permasalahan dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak,

seperti halnya persoalan koordinasi antar lembaga atau antar stakeholder.

Apabila koordinasi stakeholder berjalan dengan baik, maka akan mengatasi

persoalan tumpang tindih kewenangan, karena dari awal penentuan tugas pokok

dan fungsi kelembagaan sudah dibicarakan secara bersama. Peningkatan SDM

baik aparatur pemerintah maupun pelaku pengelola wisata berkontribusi

terhadap perbaikan pelayanan di bidang pariwisata. Perbaikan pelayanan

kepariwisataan akan memberikan kontribusi yang besar bagi peningkatan daya

tarik wisata di Kawasan Puncak.

236

Pengendalian

Tata Ruang

Pemberian

Izin

Penerapan

Regulasi

Tumpang

Tindih

Kewenangan

SDM

+

+

Bangunan

Berizin

+

Kualitas

Lingkungan

+

Daya Tarik

WIsata

Pelayanan

Koordinasi

Stakeholders

-

-

+

+Komitmen

Aparatur

Penerapan

Sanksi

+

+

+

+

+

+

+

+

+

Gambar 54. Diagram lingkar sebab akibat (causal loop) sub model hukum

dan kelembagaan

Gambar .55 Struktur model dinamik sub model hukum dan kelembagaan.

Dinamika perubahan jumlah wisatawan ke Kawasan Puncak akan

berpengaruh terhadap kondisi ekonomi dan sosial masyarakat setempat.

Pertambahan jumlah wisatawan akan menarik masyarakat baik masyarakat lokal

atau pendatang untuk berdagang menyediakan berbagai komoditi untuk dijual

kepada para wisatawan. Selain itu perkembangan jumlah wisatawan dapat

memicu terjadinya bangunan tanpa izin, walaupun peningkatannya tidak terlalu

drastis. Pada awal tahun simulasi jumlah bangunan tidak berizin terdapat

sebanyak 1.368 bangunan diperkirakan akan meningkat menjadi 1.912

237

bangunan pada tahun 2029. Peningkatan ini selain disebabkan karena perilaku

menyimpang masyarakat juga karena kurangnya jumlah aparatur pengawas

lapangan yang bertugas menegur dan menertibkan bangunan tidak berizin

tersebut.

Tabel 84. Simulasi sub model hukum dan kelembagaan

Gambar 56. Grafik hasil simulasi bangunan tidak berijin periode 2009-2029.

Pada gambar 57, ditampilkan suatu tiruan perilaku sistem pengelolaan

pariwisata di Kawasan Puncak secara keseluruhan yang merupakan hubungan

antara sub model kependudukan, sub model fisik lingkungan, sub model

transportasi dan akomodasi serta sub model hukum dan kelembagaan.

238

Gambar 57. Model pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak.

9.4 Validasi Model

Validasi merupakan tahap terakhir dalam pengembangan model untuk

memeriksa model yang dirancang apakah keluaran model sesuai dengan sistem

nyata. Rancangan model harus memenuhi syarat kecukupan struktur model.

Karena itu, perlu dilakukan uji validasi terhadap perilaku yang dihasilkan oleh

struktur model tersebut. Validasi perilaku dilakukan dengan membandingkan

antara perilaku yang dihasilkan oleh model dengan perilaku sistem nyata.

Validasi model dapat dilakukan melalui dua pengujian, yaitu uji validasi struktur

dan uji validasi kinerja. Uji validasi struktur lebih menekankan pada keyakinan

pada pemeriksaan kebenaran logika pemikiran. Uji ini dilakukan untuk

mengetahui struktur model dengan konsep teori empirik. Uji validasi struktur

bertujuan untuk memperoleh keyakinan sejauhmana keserupaan struktur model

mendekati struktur nyata. Uji ini dibedakan atas dua jenis yaitu validasi

konstruksi dan kestabilan struktur. Validasi konstruksi adalah keyakinan

239

terhadap konstruksi model diterima secara akademis, sedangkan kestabilan

struktur adalah keberlakuan atau kekuatan (robustness) struktur dalam dimensi

waktu (Muhammadi et al. 2001).

Uji validasi kinerja/output model lebih menekankan pemeriksaan

kebenaran yang taat data empiris. Uji ini merupakan aspek pelengkap dalam

metode berpikir sistem yang bertujuan untuk memperoleh keyakinan, sejauh

mana kinerja model sesuai dengan kinerja sistem nyata sehingga memenuhi

syarat sebagai model ilmiah yang taat fakta. Caranya adalah dengan

membandingkan kinerja model dengan data empiris untuk melihat sejauh mana

perilaku kinerja model sesuai dengan data empiris (Muhammadi et al 2001).

Model yang baik adalah model yang memenuhi kedua syarat tersebut

yaitu logis-empiris (logico-empirical). Uji validitas kinerja ini dilakukan untuk

mengetahui apakah model yang dikembangkan dapat diterima secara akademik

atau tidak. Pengujian dilakukan dengan cara memvalidasi output model, yaitu

dengan membandingkan output model dengan data empirik. Penyimpangan

terhadap output model dan dengan data empirik dapat diketahui dengan uji

statistik yaitu menguji penyimpangan: (1) Absolute mean error (AME) yaitu

penyimpangan (selisih) antara nilai rata-rata (mean) hasil simulasi terhadap nilai

aktual; (2) Absolute variation error (AVE) yaitu penyimpangan nilai variasi

(variance) simuasi terhadap aktual. Batas penyimpangan yang dapat diterima

atau ditolelir adalah antara 5-10% (Muhammadi et al 2001).

9.4.1 Uji Validasi Struktur dan kinerja

Uji validasi struktur lebih menekankan pada keyakinan pada pemeriksaan

kebenaran logika pemikiran. Uji ini dilakukan untuk mengetahui struktur model

dengan konsep teori empirik dan bertujuan untuk memperoleh keyakinan

sejauhmana keserupaan struktur model mendekati struktur nyata.

Uji validasi kinerja dalam penelitian ini menggunakan uji AME dengan

menggunakan data aktual perkembangan jumlah penduduk periode tahun 2006 -

2010. Adapun jumlah penduduk aktual dan hasil simulasi di Kawasan Puncak

seperti pada tabel 81.

240

Tabel 85 . Data Validasi Model Berdasarkan Perkembangan Jumlah Penduduk

TAHUN PENDUDUK AKTUAL PENDUDUK SIMULASI

2006

2007

2008

2009

2010

283.444

278.965

287.152

296.340

303.529

283.444

289.963

296.632

303.455

310.434

AME PENDUDUK 0,025

AVE PENDUDUK 0,089

Hasil uji validasi berdasarkan jumlah penduduk menunjukkan bahwa,

AME menyimpang 2,5% dan AVE 8,9% untuk penduduk simulasi dari data

aktual. Batas penyimpangan variabel tersebut pada parameter AME dan AVE

adalah <10%, yang menunjukkan bahwa model ini mampu mensimulasikan

perubahan-perubahan yang terjadi secara aktual di lapangan atau dapat

disimpulkan bahwa model tersebut memiliki kinerja yang baik dan dapat diterima

secara ilmiah.

Secara visual kecenderungan model dengan dunia nyata atau fakta di

lapangan dapat ditampilkan dalam bentuk grafis seperti tertera pada gambar 58.

Gambar 58. Grafik perbandingan penduduk aktual dan penduduk hasil simulasi.

Demikian juga perilaku yang dihasilkan oleh model lainnya memiliki pola

yang sama dengan perilaku sistem nyata maka model dapat dikatakan telah

dapat digunakan. Berikut masing-masing sub model yang menjelaskan grafik

241

perbandingan perilaku berdasarkan hasil simulasi dan kondisi aktual pada

masing-masing variabel.

Tabel 86. Data validasi model berdasarkan perubahan jumlah kendaraan

TAHUN JML KENDARAAN AKTUAL JML KENDARAAN SIMULASI

2006

2007

2008

2009

2010

5.511.703

5.662.547

5.758.711

6.073.680

6.215.619

5.511.703

5.677.054

5.847.365

6.022.786

6.203.470

AME KENDARAAN 0,001

AVE KENDARAAN 0,064

Hasil uji validasi menunjukkan bahwa, AME menyimpang 0,1% dan AVE

6,4%. Batas penyimpangan variabel tersebut pada parameter AME dan AVE

adalah <10%, yang menunjukkan bahwa model ini mampu mensimulasikan

perubahan-perubahan yang terjadi secara aktual di lapangan, seperti tertera

secara visual pada gambar 59.

Gambar 59. Grafik perbandingan jumlah kendaraan aktual dan jumlah

kendaraan hasil simulasi.

9.5 Simulasi Skenario Model Pengelolaan Pariwisata di Kawasan

Puncak

Analisis kebijakan merupakan pekerjaan intelektual yang memilah dan

mengelompokkan upaya atau tindakan untuk memperoleh pengetahuan tentang

cara-cara yang strategis dalam mempengaruhi sistem, untuk mencapai tujuan

yang diinginkan atau dengan kata lain adalah sebagai pengetahuan tentang cara

242

mempengaruhi sistem. Pengetahuan dengan menggunakan metode sistem

dinamis digunakan untuk menangani sistem yang rumit, berubah dan non linier.

Analisis kebijakan juga dimaksudkan untuk memahami pola kebijakan ataupun

perubahan faktor eksternal yang menjadi masukan sistem. Melalui analisis

kebijakan ini akan dilihat bagaimana pengaruh perubahan-perubahan parameter

atau kebijakan terhadap perkembangan variabel-variabel yang dikaji.

Salah satu aspek penting dalam proses analisis kebijakan dengan

metode sistem dinamis adalah simulasi model. Simulasi model adalah tiruan

perilaku sistem nyata. Menirukan perilaku sistem nyata maka, proses analisis

akan lebih cepat, bersifat menyeluruh, hemat dan dapat dipertanggungjawabkan

(Muhammadi et al. 2001). Melalui analisis kebijakan ini akan dilihat bagaimana

pengaruh perubahan-perubahan parameter atau kebijakan terhadap

perkembangan variabel-variabel yang dikaji. Selanjutnya dilakukan uji

sensitivitas model dengan membuat skenario-skenario model untuk menentukan

agenda kebijakan kedepan. Model yang telah dibentuk dan sah setelah

divalidasi, kemudian disimulasikan dimana tahun 2009 merupakan titik awal

simulasi (t = 0). Simulasi ini memungkinkan kita untuk melihat situasi pada

tahun yang diinginkan, untuk memudahkan menentukan bentuk perencanaan

yang akan ditetapkan.

Hasil simulasi tersebut digunakan dalam membuat peringkat skenario yang

mencerminkan urutan skenario yang yang akan dipilih sebagai kebijakan lebih lanjut.

Skenario bertujuan untuk memprediksi kemungkinan yang akan terjadi dimasa

yang akan datang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Skenario kebijakan

diterapkan mulai tahun 2009 dan dalam penelitian ini simulasi ditetapkan sampai

tahun 2029. Untuk melihat perilaku model, dibuat beberapa skenario model

dicobakan untuk sistem pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak. Skenario

dikembangkan dengan melakukan simulasi intervensi terhadap variabel

penduduk, transportasi dan akomodasi, fisik Lingkungan serta hukum dan

kelembagaan. Beberapa skenario kebijakan yang dicoba dalam simulasi ini

diharapkan menjadi masukan bagi pemerintah Kabupaten Bogor dalam

mengelola pariwisata di Kawasan Puncak agar memiliki daya saing dan

berkelanjutan.

Dalam memilih skenario kebijakan didasarkan pada parameter rancangan

sistem dalam black box yang digunakan untuk menetapkan struktur sistem yang

243

merupakan peubah keputusan penting bagi kemampuan sistem menghasilkan

keluaran yang dikehendaki secara efisien dalam memenuhi kepuasan bagi

kebutuhan yang ditetapkan. Output yang diinginkan dari sistem Pengelolaan

pariwisata yang berdaya saing dan berkelanjutan adalah (1). Peningkatan

Pendapatan masyarakat, (2). Peningkatan PAD, (3). Perluasan lapangan kerja,

(4). Lalu lintas lancar, (5). Peningkatan kualitas lingkungan, (6).Peningkatan

kamtibmas, (7). Berkurangnya jumlah bangunan liar dan PKL, (8). Penanganan

puncak yang terintegrasi, (9). Meningkatnya daya saing kawasan dan (10).

Mewujudkan Pariwisata berkelanjutan.

Skenario yang dipilih untuk mencapai output yang dikehendaki tersebut

adalah dengan merancang tiga buah skenario: (1) skenario tanpa intervensi (TI),

yaitu jika pemerintah tidak melakukan apa-apa; (2) skenario RP (rencana

pemerintah), yaitu kebijakan yang telah dan akan dilakukan oleh pemerintah

berupa; pengendalian penduduk, peningkatan ekonomi wilayah, membuka akses

jalan baru serta pengendalian bangunan tidak berizin; serta (3) skenario Alt

(Alternatif), yaitu skenario yang diusulkan berupa kebijakan pengendalian

penduduk, pembatasan jumlah kendaraan, peningkatan perekonomian kawasan,

pengendalian bangunan tidak berizin, serta pembiayaan lingkungan, (Skenario

RP dan Alt disusun untuk memenuhi output seperti yang tertera pada black box).

Tabel 87. Hubungan antara Output dalam Black Box dan Pemilihan Skenario

NO OUTPUT YANG DIKEHENDAKI SKENARIO RP SKENARIO ALT

1.

2.

3.

4.

5

6.

7.

8.

9..

Peningkatan Pendapatan masyarakat

Peningkatan PAD

Perluasan lapangan kerja

Lalu lintas lancar

Peningkatan kualitas lingkungan

Peningkatan kamtibmas

Berkurangnya jml bangli dan PKL

Meningkatnya daya saing kawasan

Mewujudkan Pariwisata berkelanjutan

- Meningkatkan ekonomi wilayah (Pajak dan retribusi, LPE)

Membuka akses jalan baru

- Pengendalian penduduk

- penertiban bangunan liar

penertiban bangunan liar

penertiban bangunan liar

Seluruh kebijakan

Seluruh kebijakan

- Meningkatkan ekonomi wilayah (Pajak dan retribusi, LPE)

- Membatasi jumlah kendaraan

- Pengendalian penduduk

- penertiban bangunan liar

- internalisasi biaya lingkungan

penertiban bangunan liar

penertiban bangunan liar

Seluruh kebijakan Seluruh kebijakan

244

9.5.1 Skenario Tanpa Intervensi (TI)

Pada model ini tidak dilakukan intervensi apapun, perkembangan

pengelolaan pariwisata dibiarkan seperti kondisi awal (tahun 2009). Keadaan ini

menunjukkan ketidakaktifan pemerintah dalam pengelolaan pariwisata di

Kawasan Puncak. Pada kondisi ini diasumsikan tidak ada program pengendalian

penduduk, tidak ada pembatasan kendaraan yang masuk/melintasi Kawasan

Puncak, pertumbuhan ekonomi berjalan konstan, tidak dilakukan pengendalian

pertumbuhan bangunan akomodasi wisata, tidak ada upaya untuk memperbaiki

kualitas lingkungan serta tidak ada upaya untuk penertiban bangunan tidak

berizin (bangunan liar).

9.5.2 Skenario Rencana Pemerintah (RP):

Kebijakan Pengendalian penduduk, Meningkatkan perekonomian

wilayah, pembangunan jalan alternatif serta meningkatkan frekuensi

penertiban bangunan liar.

Skenario RP (rencana pemerintah) adalah simulasi kebijakan yang telah

maupun akan direncanakan oleh pemerintah. Intervensi yang dilakukan

pemerintah adalah dengan (1) Mengendalikan pertambahan penduduk dengan

menekan angka kelahiran (natalitas) menjadi 2% per tahun; (2) Pemerintah

menyusun kalkulasi pertumbuhan ekonomi ditingkatkan melalui berbagai

program sehingga LPE meningkat sebesar 5,13%; (3) Seiring dengan

pertumbuhan LPE maka pemerintah memandang perlu menaikan penerimaan

pajak dan retribusi dari sektor pariwisata, sehingga berdampak pada peningkatan

pengeluaran wisatawan; (4) Untuk mengatasi kemacetan lalu lintas diusulkan

membuka akses jalan baru; (5) penegakan hukum dan penertiban bangunan

liar, dilaksanakan oleh pemerintah daerah melalui program nobat (nongol babat)

dengan frekuensi penertiban satu kali dalam setahun.

Salah satu kebijakan yang diharapkan menjadi solusi dari kondisi

kemacetan lalu lintas adalah dengan membuka akses jalan baru. Tujuannya

adalah untuk mengurangi jumlah kendaraan yang akan melewati jalur utama

jalan raya puncak yang berasal dari jalan Tol Jagorawi dan jalan raya Sukabumi.

Potensi jalan alternatif yang diusulkan dibagi dalam 2 wilayah yaitu jalan

alternatif utara dan jalur alternatif selatan. Alternatif akses jalan yang diharapkan

dapat mengatasi kemacetan lalu lintas pada jalur Puncak antara lain melalui

(FPS 2009):

245

1. Ruas jalan Jalur Utara:

a. Jalur Cilember – Batulayang – Tugu Selatan.

Jalur Cilember-Batulayang-Tugu Selatan merupakan jalur yang saat ini

sudah dimanfaatkan oleh pengguna jalan untuk menghindari kemacetan di

sekitar tanjakan Leuwimalang, Pasar Cisarua dan jalur masuk ke Taman Safari.

Kondisi jalan ini umumnya merupakan perkerasan aspal kecuali sekitar

persimpangan Ciburial yang memiliki perkerasan batu sepanjang 50 meter

dengan lebar 3 meter. Di lokasi Ciburial ini pun hampir sepanjang 500 meter

kondisi sekitar jalan (samping kiri dan kanan) merupakan tembok rumah

penduduk sehingga kemungkinan lebih sulit untuk memperlebar jalan juga

terdapat beberapa tanjakan dalam jalur jalan tersebut. Total panjang ruas jalan

ini sampai dengan keluar ke Jalan Raya Puncak di sekitar Restoran Hegar

(sebelum Green Garden) yaitu + 8 km.

b. Jalur Bukit Sentul – Cijayanti – Megamendung – Cilember –

Batulayang – TuguSelatan –PTP Gunung Mas.

Jalur ini menggunakan ruas tol Jagorawi melalui pintu keluar Sentul

Selatan, maka titik-titik rawan kemacetan seperti di Ciawi, Gadog dan Cibogo,

Pasar Cisarua sampai dengan Taman Safari tidak dilalui sebagaimana lintasan

saat ini. Untuk jalur utara ini jalan yang sudah ada masih memerlukan

peningkatan terutama ruas jalan Cijayanti menuju Megamendung,

Megamendung – Cilember dan Tugu Selatan – PTP Gunung Mas. Peningkatan

jalan ini dapat dilakukan melalui peningkatan perkerasan dan pelebaran jalan

dan pembangunan jembatan. Jalur Sentul ini akan bertemu dengan ruas jalan

Cilember tepatnya di sekitar Jalan Pesantren dan mengikuti alternatif jalur

pertama. Namun untuk menghubungkan ke jalur Jalan Raya Puncak tidak keluar

di Restoran Hegar tetapi di Sekitar Pabrik Teh Ciliwung Desa Tugu Selatan

(kurang lebih 500 meter sebelum ex Kantor Diparda) dan masuk mengikuti jalur

kebun teh dan keluar di sekitar Mesjid Attaawun.

Kondisi jalur Sentul sampai dengan Cijayanti sebagian berupa

perkerasan batu sedangkan antara Cijayanti dengan Cipayung (dekat Komplek

Pertamina) berupa perkerasan batu dan tanah. Dari Cipayung ke Megamendung

(Pusdikintel) berupa perkerasan aspal dengan lebar jalan 3 meter. Dari komplek

Pertamina ke Ujung Jalan (Curug) sepanjang 7,2 km terdapat perkerasan jalan

batu sepanjang sekitar 150 meter menjelang akhir ruas jalan. Dari Ujung jalan

246

tersebut untuk menembus ke jalan Pesantren terdapat jalan batu dengan lebar 2

meter dan melewati sungai. Saat ini jalan tersebut tidak dapat dilalui dengan

kendaraan mobil sepanjang + 2 km. Kondisi jalur Megamendung – Jalan

Pesantren ini disamping terjal juga jalanya kecil. Untuk menghubungkan jalur

Tugu Selatan (Ciburial) ke lokasi pabrik Teh Ciliwung melalui komplek villa dan

sekitar + 500 meter dihubungkan dengan jalan setapak dan melalui sungai

(belum ada jembatan). Lebar jalan dalam komlpeks ini rata-rata 3 meter dan

sekitarnya berupa tanaman tahunan.

2. Ruas jalan Jalur Selatan:

Jalur selatan terbagi menjadi 3 jalur utama:

a. Jalur Gadog (BPLP) – simpang Restoran Ibu Cirebon (Jalan raya puncak)

sepanjang + 16,5 km

b. Jalur Restoran Ibu Cirebon – simpang Paragajen (Cibeureum/Taman Safari)

sepanjang + 3,6 km (Jalan Raya Puncak dan Jalan Raya Taman Safari)

c. Jalur Simpang Paragajen – PTP Gunung Mas sepanjang + 5 km

Beberapa gambar alternatif akses jalan adalah sebagai berikut .

Salah satu jalan masuk menuju Desa Cipayung yang dapat menghubungkan Wilayah Cijayanti – Bukit Sentul atau Desa Gunung Geulis dengan kondisi perkerasan batu dan tanah.

Bagian jalan dari arah akhir ruas jalan Megaindah atau Pusdikintel yang dapat menghubungkan/menuju Jalan Pesantren – Cilember dengan kondisi sebagian jalan batu dan terdapat jembatan yang tidak dapat dilalui kendaraan roda empat.

Kondisi jalan menuju Komplek Villa di Tugu Selatan, melalui Jembatan Sungai Citamiang.

Gambar 60. Ruas Jalan alternatif wisata di Kawasan Puncak

247

9.5.3 Skenario Alternatif (Alt):

Kebijakan Pengendalian penduduk, Membatasi jumlah kendaraan,

Meningkatkan perekonomian wilayah, meningkatkan frekuensi

penertiban bangunan tidak berizin, serta internalisasi biaya

lingkungan.

Skenario AIt adalah skenario alternatif berupa modifikasi skenario RP

dengan beberapa penambahan kebijakan secara komprehensif/holistik dari

berbagai dimensi baik dari dimensi sosial, ekonomi, hukum dan kelembagaan

serta lingkungan. Intervensi yang dilakukan adalah: (1) Mengendalikan

pertambahan penduduk dengan menekan angka kelahiran (natalitas) menjadi

2% per tahun, angka kematian dianggap tetap dan migrasi keluar dianggap

tetap; (2) Pemerintah menyusun kalkulasi pertumbuhan ekonomi ditingkatkan

melalui berbagai program sehingga LPE meningkat sebesar 5,13%; (3) Seiring

dengan pertumbuhan LPE dan dalam rangka pengendalian pembangunan maka

pemerintah memandang perlu menaikan pajak dan retribusi ; (4) Peningkatan

pajak dan retribusi tersebut dialokasikan sebesar 3% untuk membiayai perbaikan

lingkungan; (5) penertiban PKL dan bangunan liar dengan frekuensi penertiban

di Kawasan Puncak sebesar 2 kali/tahun; (6) Konsekuensinya perlu menambah

jumlah aparatur dan sarana/prasarana; (7) Sebagai upaya menanggulangi

kemacetan maka pemerintah menerapkan regulasi pembatasan jumlah dan jenis

kendaraan yang masuk/melintas pada setiap week end dan hari libur ke

Kawasan Puncak.

9.6 Perbandingan Antara Ketiga Skenario

Ketiga skenario tersebut selanjutnya dibandingkan untuk mengetahui

skenario mana yang dapat memberikan kinerja terbaik. Perbandingan antara

ketiga skenario pada tahun awal simulasi (tahun 2009) dan tahun akhir simulasi

(2029) dapat dilihat selengkapnya pada tabel 88 berikut.

248

Tabel 88. Perbandingan berdasarkan skenario TI, RP dan Alt pada tahun 2009

dan 2029

Indikator Tahun 2009 Skenario tahun 2029

TI RP Alt

Jumlah penduduk (jiwa) Jumlah wisatawan (jiwa) Jumlah kendaraan (unit) Kebutuhan jalan (km) Volume sampah (lt/th) Kebutuhan akomodasi wisata (m

2)

Tutupan lahan (m2)

Perolehan pajak dan retribusi (Rp) Daya dukung wisata (jiwa) Biaya lingkungan ( Rp)

295.340 1.345.536 6.144.000

50.5 1.949.332

250.000 6.445.256

36.329.472.000 13.186.355

0

465.409 2.816.361

12.860.098 105.7

3.698.248 521.280.71

9.582.031.5 76.041.757.708

10.785.734 0

421.966 2.803.667

12.774.460 131.2

3.572.762 744.570

9.266.839.8 83.928.200.878

11.424.075 0

421.966 2.917.538

12.110.994 99.5

3.680.700 919.111

9.227.684 96.278.766.922

11.893.139 2.888.363.008

Keterangan : TI = Tanpa Intervensi, RP = Rencana Pemerintah, Alt = Alternatif

249

Gambar 61. Perbandingan hasil simulasi pada ketiga skenario untuk Jml Penduduk, Jml wisatawan, Jml kendaraan, Kapasitas ECC, Biaya Lingkungan, Luas Akomodasi, Luas Tutupan Lahan, dan jml sampah.

Jumlah penduduk pada saat awal simulasi adalah 295.340 jiwa, apabila

tidak dilakukan intervensi pengendalian penduduk, maka penduduk di kawasan

puncak akan mencapai 465.409 jiwa pada tahun 2029. Sejalan dengan

pertambahan penduduk maka jumlah penduduk yang tidak bekerja

(menganggur) meningkat menjadi 65.157 jiwa pada tahun 2029 dari 41.438

jiwa pada tahun 2009. Pertambahan penduduk pada skenario RP dan Alt

dikendalikan dengan menekan angka kelahiran sampai 2%. Angka pertambahan

penduduk pada skenario RP dan Alt lebih rendah dari skenario TI. Perkiraan

jumlah penduduk pada tahun 2029 sebesar 421.966 jiwa, terjadi peningkatan

42,87% dari kondisi tahun 2009.

Peningkatan jumlah penduduk dan wisatawan akan meningkatkan jumlah

kendaraan. Jumlah kendaraan eksisting yang melintas di Kawasan Puncak

pada tahun 2009 terdapat sebanyak 6.144.000 setahun. Jumlah penduduk

yang tinggal di Kawasan Puncak lebih sedikit dari jumlah wisatawan yang

berkunjung ke OTW di Kawasan Puncak. Jumlah wisatawan mencapai 1.235.965

jiwa sedangkan penduduk Kawasan Puncak hanya mencapai 295.340 jiwa

atau hanya 23,9%. Dengan demikian walaupun telah dilakukan pengendalian

jumlah penduduk melalui intervensi pada skenario RP dan Alt namun jumlah

kendaraan yang melintas ke Kawasan Puncak, terus mengalami peningkatan.

Jumlah lalu lintas harian kendaraan di kawasan puncak berdasarkan data dari

DLLAJ adalah 10.000 kendaraan/hari dan pada hari minggu mencapai 39.564

kendaraan.

250

Jika tidak dilakukan intervensi apapun (TI) untuk mengurangi jumlah

kendaraan yang ada, maka pada tahun 2029 jumlah kendaraan yang akan

melintasi atau memasuki Kawasan Puncak akan mencapai 12.860.098

kendaraan per tahun. Setelah dilakukan intervensi dalam skenario RP maka

jumlah kendaraan berkurang menjadi 12.802.131 kendaraan. Selanjutnya pada

skenario Alt dibuat suatu kebijakan yang prinsipnya tidak terlalu mengurangi

jumlah wisatawan sebagai sumber perekonomian daerah tetapi mengurangi atau

membatasi kendaraan yang masuk/melintas ke jalur Puncak karena kondisi saat

ini mengalami keterbatasan kapasitas jalan. Setelah intervensi program dalam

skenario Alt, maka jumlah kendaraan pada tahun 2029 adalah 12.110.994

kendaraan atau lebih rendah dari skenario TI dan RP.

Konsekuensi penambahan jumlah kendaraan akan berakibat terhadap

kebutuhan sarana infrastruktur jalan. Jika tidak dilakukan intervensi program (TI)

maka pada akhir tahun simulasi diperkirakan kebutuhan infrastruktur jalan

mencapai 528.497,17 m2 atau jika dikonversikan ke satuan panjang setelah

dibagi luas jalan rata-rata sekitar 5 m, maka panjang jalan yang diperlukan

adalah sekitar 105,7 km. Demikian pula setelah dilakukan skenario RP dengan

membuat jalan alternatif, walaupun mungkin dapat mengurangi kemacetan lalu

lintas, namun jumlah kendaraan masih mengalami peningkatan sehingga

diperlukan penambahan jalan seluas 656.115 m2 atau sepanjang 131,2 km.

Selanjutnya jika disimulasikan program pembatasan kendaraan pada

skenario Alt, sehingga jumlah kendaraan berkurang, maka panjang jalan yang

dibutuhkan adalah sekitar 99,5 km atau seluas 497.712,07 m2. Ditinjau dari

segi efisiensi anggaran dan kelestarian lingkungan terhadap tutupan lahan, maka

skenario Alt lebih baik dari skenario RP dan TI. Berdasarkan standar analisa

belanja pemerintah Kabupaten Bogor, biaya pembuatan 1 m2 jalan hotmiks

adalah Rp. 350.000. Berdasarkan hal tersebut, maka dengan menggunakan

skenario Alt anggaran belanja pemerintah dapat dihemat antara 7 milyar sampai

dengan 15 milyar rupiah setiap tahunnya.

Sejalan dengan dinamika perubahan jumlah kendaraan yang memasuki

Kawasan Puncak, maka akan berpengaruh terhadap sumbangan CO2 ke udara

dari kendaraan. Berdasarkan hasil pengujian terhadap kendaraan bermotor jenis

niaga (Buchari 2010), sebuah kendaraan mengeluarkan emisi CO2 sebesar 134

gr/km/kendaraan. Jumlah CO2 yang dilepaskan ke udara pada tahun 2009 yang

251

berasal dari kendaraan yang melintasi puncak adalah 82.329.600 gr. Apabila

tidak dilakukan upaya-upaya pengurangan emisi, maka pada tahun 2029

penambahan jumlah emisi CO2 dari kendaraan yang dilepaskan ke udara di

Kawasan Puncak akan mencapai 162.287.316 gr.

Peningkatan wisatawan ke kawasan Puncak akan mendorong para

pengusaha untuk menambah pembangunan akomodasi baik berupa hotel, vila,

resort, maupun wisma. Selanjutnya berdasarkan hasil survey terhadap

responden diperoleh data bahwa tidak semua wisatawan menginap di Kawasan

Puncak, kurang lebih sekitar 20% dari jumlah wisatawan yang menginap di

Kawasan Puncak. Berdasarkan data dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata,

luas obyek wisata yang ada saat ini yaitu seluas 1.416.000 m2, setelah

diakumulasikan dengan data luas tutupan jalan, akomodasi dan penduduk, maka

total luas tutupan lahan pada tahun 2009 adalah 6.445.256 m2. Tanpa intervensi

pembatasan wisatawan dan penduduk, pengaturan ruang dan perizinan maka

jumlah tutupan lahan akan terus bertambah, sehingga pada tahun 2029 luas

tutupan lahan yang diperlukan mencapai 9.582.032 m2 atau sekitar 7,4% dari

luas Kawasan Puncak (129.780.000 m2). Jumlah tutupan lahan yang dibutuhkan

akibat perkembangan akomodasi dan infrastruktur jalan pada skenario RP dan

Alt lebih sedikit jika dibandingkan skenario TI yaitu 9.266.839,8 m2 dan

9.227.684 m2. Pengurangan tutupan lahan ini salah satunya sebagai dampak

kebijakan penertiban bangunan liar yang dilaksanakan secara intensif.

Selanjutnya penambahan jumlah wisatawan akan dibatasi oleh daya

dukung lokasi obyek wisata. Pada tahun 2009, kondisi obyek wisata yang ada

di Kawasan Puncak dapat menampung 13.186.355 wisatawan. Seiring dengan

pertambahan waktu, kemampuan daya dukung obyek wisata untuk menampung

jumlah wisatawan akan semakin berkurang/menurun. Pada tahun 2029 jumlah

wisatawan yang dapat ditampung berkurang menjadi 10.785.734 wisatawan

pada skenario TI dan 11.424.075 wisatawan pada skenario RP serta 11.893.139

wisatawan pada skenario Alt. Penurunan daya dukung objek tempat wisata

dalam menampung kunjungan wisatawan dapat disebabkan oleh kondisi

infrastruktur yang buruk, kondisi obyek wisata yang tidak terpelihara serta

kapasitas manajemen atau pelayanan yang menurun.

Pertambahan penduduk dan wisatawan akan mengakibatkan

peningkatan timbulan sampah. Berdasarkan data Dinas Pertamanan dan

252

Kebersihan (2009), sampah yang dihasilkan per orang di wilayah Kabupaten

Bogor adalah sebesar 2,5 ltr. Selain penduduk setempat, sampah pun dihasilkan

dari aktivitas wisatawan. Asumsinya jika penduduk menghasilkan sampah

sebanyak 2,5 ltr/hari, maka jika wisatawan berada di kawasan wisata dari pukul 9

sampai dengan pukul 19.00 (10 jam), maka sampah yang dihasilkan wisatawan

adalah 10/24 x 2.5 liter atau sekitar 0,9 liter/org/hari. Berdasarkan data jumlah

penduduk dan wisatawan di Kecamatan Ciawi, Cisarua dan Megamendung akan

diperoleh jumlah sampah sebanyak 1.949.332 lt pada tahun 2009. Apabila

pemerintah tidak melakukan intervensi apapun dalam pengendalian penduduk

dan wisatawan maka pada tahun 2029 sampah yang berasal dari penduduk dan

wisatawan mencapai 3.698.248 lt. Jumlah timbulan sampah akan berkurang

pada saat dilakukan pengendalian jumlah penduduk dan wisatawan pada

skenario RP dan Alt yaitu masing-masing jumlah sampah pada tahun akhir

simulasi menjadi 3.572.762 lt dan 3.680.700 lt.

Pertambahan jumlah wisatawan di Kawasan Puncak dapat memicu

pertumbuhan pedagang kaki lima (PKL) dan vila atau bangunan akomodasi

lainnya yang tidak berizin. Hal ini kerapkali menimbulkan kemacetan lalu lintas

dan suasana kumuh menutupi keindahan pemandangan di Kawasan Puncak.

Pertambahan atau pengurangan PKL dan bangunan tidak berizin salah satunya

dipengaruhi seberapa intensif aktivitas sosialisasi, penertiban dan intensitas

pengawasan bangunan yang dilakukan pemerintah. Pada kondisi skenario

tanpa intervensi, bangunan PKL dan bangunan tidak berizin akan meningkat

sekitar 3,98% menjadi 1.912 bangunan pada tahun 2029. Pada skenario RP,

komitmen aparatur pemerintah dalam rangka penegakan hukum dilaksanakan

melalui pengawasan dan penertiban bangunan tidak berizin walaupun

pelaksanannya hanya satu kali dalam satu tahun, sehingga penambahan

bangunan liar tersebut dapat sedikit dikendalikan walaupun diperkirakan masih

terjadi kenaikan dari 1.368 bangunan pada tahun 2009 menjadi 1.707 bangunan

pada tahun 2029 atau bertambah sekitar 2,5%. Penertiban bangunan tidak

berizin, selain memerlukan kesiapan aparatur dari segi kecukupan jumlah

petugas, juga kesiapan sarana dan prasarana serta penyediaan anggaran.

Kegiatan penertiban bangunan tidak berizin berdasarkan standar anggaran

belanja daerah Kabupaten Bogor, adalah Rp. 12.000.000 per bangunan. Jika

pemerintah daerah mengalokasikan dana penertiban bangunan di Kawasan

Puncak sebesar Rp 1 milyar per tahun maka melalui skenario alternative,

253

bangunan tidak berizin dapat ditertibkan seluruhnya pada tahun 2028.

Percepatan penertiban bangunan tidak berizin dapat dilakukan dengan

menambah frekuensi penertiban dan meningkatkan jumlah alokasi anggaran

setiap tahunnya.

Penertiban bangunan tidak berizin di Kawasan Puncak akan mengurangi

tutupan lahan, namun dengan kebijakan membuka jalan baru diduga akan

menambah tutupan lahan dan memicu tumbuhnya bangunan-bangunan lahan

baru baik berizin maupun tidak berizin. Sehingga diperkirakan tutupan lahan

pada tahun 2029 akan mencapai 9.266.840 m2. Pada skenario alternatif,

frekuensi penertiban ditingkatkan sehingga diperkirakan sampai akhir tahun

simulasi jumlah bangunan tidak berizin dapat ditekan sampai 1.633 bangunan

atau pertambahannya bisa dikendalikan sampai 1,9%.

Dampak positif peningkatan aktivitas wisata adalah meningkatkan

penerimaan daerah berasal dari pajak dan retribusi. Peningkatkan penerimaan

pendapatan daerah melalui pajak dan retribusi dari sektor pariwisata dapat

dilakukan melalui ekstensifikasi dan peningkatan tarif wisata di obyek wisata dan

maksimalisasi pajak hotel dan restoran. Penerimaan pajak dan retribusi pada

skenario TI diperkirakan akan meningkat dari Rp. 36.329.472.000 pada tahun

awal simulasi menjadi Rp. 76.041.757.708 pada tahun 2029. Kebijakan

peningkatan penerimaan pajak dan retribusi di Kawasan Puncak seperti yang

diterapkan pada skenario RP dan Alt selain untuk meningkatkan penerimaan

daerah sekaligus sebagai alat pengendalian pertambahan jumlah wisatawan.

Disimulasikan pada skenario RP dan Alt penambahan penerimaan daerah pada

tahun 2029 menjadi Rp. 83.928.200.878 dan Rp. 96.278.766.922.

Pada skenario alternatif, penerimaan daerah dari pajak dan retribusi

tidak seluruhnya digunakan pemerintah untuk membiayai belanja langsung dan

tidak langsung tetapi dialokasikan sebesar 3% untuk membiayai perbaikan

lingkungan, sehingga kelestarian Kawasan Puncak dapat terjaga.

9.7 Kebijakan dan Pendekatan Program

Berdasarkan ketiga skenario model kebijakan pengelolaan pariwisata di

Kawasan Puncak, skenario dengan kinerja terbaik adalah skenario alternatif

(Alt). Skenario alternatif dapat dilakukan melalui beberapa kebijakan dan

program seperti tercantum pada tabel 84.

254

Tabel 89. Rekomendasi kebijakan dan program pengelolaan pariwisata di

Kawasan Puncak

No KEBIJAKAN PROGRAM

1. Pengendalian penduduk 1. Optimalisasi Operasi yustisi dan Keluarga Berencana

2. Pembatasan kawasan pemukiman

2.

3.

Peningkatan perekonomian kawasan

Pembatasan jumlah kendaraan

3. Peningkatan kualitas SDM tenaga kerja yang siap pakai

4. Peningkatan UKM di bidang pertanian dan industri rumah tangga (home industry)

5. Peningkatan penerimaan dari pajak dan retribusi

Penggunaan angkutan masal

4. Pengendalian bangunan tidak berizin

Optimalisasi pelaksanaan operasi wibawa praja

5. Peningkatan pembiayaan lingkungan

Internalisasi/penambahan biaya lingkungan dalam pajak/retribusi

9.7.1 Kebijakan Pengendalian Penduduk

Penduduk adalah semua orang yang berdomisili di wilayah geografis

Republik Indonesia selama 6 bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili

kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan menetap (BPS, 2009). Besarnya jumlah

penduduk akan membawa implikasi tertentu, utamanya terhadap persebaran

dan densitasnya (kepadatan). Kepadatan penduduk mencerminkan banyaknya

penduduk tiap satuan luas wilayah. Berdasarkan hasil sensus penduduk 2010,

kepadatan penduduk di Kabupaten Bogor adalah 18 orang per ha.

Kepadatan penduduk yang tinggi cenderung memperlambat pendapatan

per kapita melalui tiga cara, yaitu: (1) Memperberat beban penduduk pada lahan;

(2) Menaikkan barang konsumsi karena kekurangan faktor pendukung untuk

menaikkan penawaran mereka; (3) Menurunkan akumulasi modal, karena

dengan tambah anggota keluarga maka akan meningkatkan pengeluaran/biaya

(BPS 2010). Secara umum angka distribusi penduduk di Kabupaten Bogor lebih

tinggi dari 4%, dengan angka beban tanggungan sebesar 53,75. Berdasarkan

data-data kependudukan menunjukkan bahwa wilayah Kabupaten Bogor dengan

potensi yang dimilikinya mampu menarik penduduk untuk tinggal atau datang ke

wilayah ini. Perkembangan usaha industri, pemukiman dan wisata telah

menarik minat untuk bekerja, bertempat tinggal dan berwisata di Kabupaten

255

Bogor. Kondisi tersebut mengakibatkan konsekuensi terhadap tingginya

kepadatan penduduk.

9.7.1.1 Program Keluarga Berencana dan Operasi Yustisi

Pertambahan jumlah penduduk disebabkan karena pertambahan alamiah

(kelahiran) dan pertambahan karena migrasi masuk. Pengendalian penduduk

merupakan kegiatan membatasi pertumbuhan penduduk, umumnya dilakukan

dengan mengurangi jumlah kelahiran yang dikenal dengan program keluarga

berencana. Berdasarkan data sensus ekonomi daerah (Suseda) tahun 2008,

angka kelahiran total (TFR) masih berkisar 2,51 dan rata-rata usia kawin pertama

wanita adalah 17,9 tahun. Situasi kependudukan di Kabupaten Bogor tersebut

merupakan fenomena yang memerlukan perhatian dan penanganan sungguh-

sungguh dan berkelanjutan. Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah

dengan mengendalikan jumlah penduduk dan meningkatkan kualitas penduduk.

Hal ini antara lain dilakukan dengan menggalakan dan meneguhkan

kembali Program operasi yustisi dan Keluarga Berencana Nasional di semua

tingkatan. Berdasarkan Undang-undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang

Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, yang dimaksud

Keluarga Berencana adalah upaya mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal

melahirkan, mengatur kehamilan, melalui promosi, perlindungan dan bantuan

sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas.

Kegiatan Program Keluarga Berencana di Kabupaten Bogor, diarahkan

pada 5 (lima) kegiatan strategis yaitu: (1) program Pemberdayaan Keluarga

(PK); (2) Program KB dan Kesehatan Reproduksi (KB-KR); (3) Program

Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) dan PUP (Pendewasaan Usia

Perkawinan); (4) Program Penguatan kelembagaan keluarga kecil berkualitas;

dan (5) Program pengembangan sistem informasi data mikro keluarga.

Perkembangan pelaksanaan Keluarga Berencana di Kabupaten Bogor pada

tahun 2010 menunjukan hasil yang baik yaitu pencapaian total peserta KB

sebanyak 157.157 peserta atau 96,61% dari Perkiraan Permintaan Masyarakat

(PPM) sebesar 162.666 peserta. Jumlah peserta KB Aktif (PA) sebanyak

660.676 akseptor, jika dibandingkan dengan jumlah Pasangan Usia Subur (PUS)

sebanyak 913.344 PUS maka PA/PUS menjadi 72,34%. Sedangkan jika dilihat

berdasarkan mix kontrasepsi maka persentase pencapaian peserta KB baru

terhadap PPM per mix kontrasepsi adalah sebagai berikut: 3.026 akseptor IUD

256

(83,78% dari PPM), 1.117 peserta MOW (182,82% dari PPM), 6.159 peserta

implant (127,49% dari PPM), dan 89.002 peserta suntikan (96,96% dari PPM).

Pelaksanaan KB di Kawasan Puncak pada khususnya dan Kabupaten

Bogor pada umumnya sudah dilaksanakan dengan baik. Realisasi peserta KB

baru di Kawasan Puncak melebihi target yaitu masing-masing 106,14 % untuk

Kecamatan Megamendung dan 113,86% untuk Kecamatan Cisarua, sedangkan

Kecamatan Ciawi realisasinya adalah 93,68%. Prioritas kegiatan yang perlu

dilanjutkan dan tingkatkan dimasa yang akan datang adalah:

a. Rata-rata Usia Kawin di Kabupaten Bogor masih rendah yaitu 17,9 tahun,

sedangkan Provinsi Jawa Barat 18,05 tahun dan Nasional sudah mencapai

20 tahun. Perlu upaya dan kerja keras untuk memberikan motivasi/dorongan

agar para remaja mampu menunda usia perkawinannya hingga usia yang

dapat dikatakan matang baik dari sisi kesehatan fisik, psikis, ekonomi

maupun sosialnya. Wahana atau forum yang dapat dimanfaatkan untuk

meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemauan remaja untuk dapat

menunda perkawinan adalah dengan memberikan pengetahuan dan

wawasan tentang kesehatan reproduksi melalui wadah konseling PIK KRR

(Pusat Informasi Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja) yang telah

dibentuk di masing-masing kecamatan;

b. Menambah jumlah petugas lapangan pengelola KB, petugas lapangan

merupakan ujung tombak dalam pencapaian keberhasilan program. Saat ini

jumlah petugas lapangan KB baru 184 orang untuk melayani 428

desa/kelurahan, sehingga masih kekurangan petugas lapangan KB sebanyak

244 orang;

c. Meningkatkan kepedulian dan peran serta masyarakat terhadap KB melalui

peningkatan peran serta Pos KB dan Sub Pos KB dalam pelaksanaan

program KB;

d. Meningkatkan frekuensi penyuluhan dan melaksanaan pembinaan untuk

menekan angka drop out (DO) peserta KB, karena saat ini angka DO peserta

KB untuk tingkat kabupaten termasuk tinggi yaitu 12,05%, bahkan untuk

kecamatan di Kawasan Puncak memiliki angka DO yang lebih tinggi yaitu

12,34% (Kecamatan Ciawi), 14,05% (Kecamatan Cisarua) dan 19,32%

(Kecamatan Megamendung);

257

e. Perlu penanganan yang komprehensif dan khusus serta berkesinambungan

terhadap segmen remaja, mengingat kehidupan remaja yang sangat rawan

terhadap resiko penyimpangan seksualitas, HIV/AIDS dan Narkoba;

f. Meningkatkan pelembagaan dan pembudayaan KB, salah satunya dengan

melanjutkan program “Kampung KB”;

g. Peningkatan cakupan pelayanan KB gratis bagi keluarga miskin;

h. Optimalisasi pelaksanaan operasi yustisi secara konsisten.

9.7.1.2 Program Pembatasan Kawasan Permukiman

Peningkatan jumlah penduduk salah satu penyebabnya adalah terjadinya

peningkatan pembangunan kawasan pemukiman. Berdasarkan penelitian Dewi

(2010), sebelum tahun 2000 kenaikan tutupan lahan permukiman relatif lambat

yaitu dari 3,96% (1992) menjadi 8,49% (2000), atau meningkat sebesar 4,53%,

akan tetapi setelah tahun 2000 kenaikan tutupan lahan relative lebih cepat

selama kurun waktu 2000-2006, tutupan lahan permukiman meningkat 12%.

Demikian pula hasil penelitian Suwarno (2011), selama 9 tahun terakhir (2000-

2009) mengalami kenaikan dari 1.261,62 ha menjadi 3.356,73 ha atau rata-rata

18,45% per tahun. Peningkatan luas lahan permukiman 18,45% ini berarti lebih

tinggi daripada laju pertumbuhan penduduk 3,28% per tahun. Hal ini

menunjukkan bahwa permintaan lahan untuk diubah menjadi lahan terbangun

sangat besar (laju permukiman lebih dari 5 kali laju pertumbuhan penduduk).

Peningkatan kawasan pemukiman/terbangun akan meningkatkan

kepadatan penduduk. Berdasarkan arahan RTRW Kabupaten Bogor tahun 2008,

kepadatan penduduk untuk kategori sustainable (rendah) adalah < 50 jiwa/ha,

kepadatan sedang 50 – 100 jiwa/ha, kepadatan tinggi (kritis) adalah 100 – 150

jiwa/ha, serta destruktif > 200 jiwa/ha. Pada tahun 2010, kepadatan penduduk

Kecamatan Ciawi adalah 41 jiwa/ha, Kecamatan Cisarua adalah 18 jiwa/ha dan

Kecamatan Megamendung adalah 29 jiwa/ha. Berdasarkan model simulasi

jumlah penduduk di Kawasan Puncak pada tahun 2029 diperkirakan mencapai

421.966 jiwa dengan kepadatan sekitar 35 jiwa/ha. Hal tersebut

mengindikasikan bahwa kepadatan penduduk di wilayah Puncak dikategorikan

kepadatan sedang.

Namun demikian khusus untuk Kawasan Puncak tidak hanya

berdasarkan kepadatan penduduk, tetapi harus mempertimbangkan kunjungan

wisatawan yang jumlahnya dalam satu tahun melebihi angka jumlah penduduk

258

definitif di Kawasan Puncak, yaitu mencapai 1.345.536 jiwa atau berdasarkan

skenario TI, diproyeksikan pada tahun 2029 wisatawan bertambah menjadi

2.816.361 jiwa. Jika dijumlahkan antara penduduk dengan wisatawan maka

jumlahnya menjadi 3.238.327 jiwa. Berdasarkan jumlah tersebut, maka

kepadatan penduduk dan wisatawan menjadi 264 jiwa/ha atau termasuk dalam

kepadatan tinggi dan mempunyai kecenderungan destruktif. Walaupun sifatnya

tidak menetap, namun pada saat-saat tertentu kondisi ini akan menimbulkan

suasana tidak nyaman dan dapat membebani serta merusak lingkungan.

Berdasarkan PP no 26 Tahun 2008 tentang RTRWN terhadap pemanfaatan

ruang yang perlu dicegah, dibatasi, atau dikurangi keberadaannya dapat

dikenakan kebijakan disinsentif. Disinsentif kepada pemerintah daerah

diberikan, antara lain, dalam bentuk: pembatasan penyediaan infrastruktur;

pengenaan kompensasi; dan/atau penalti.

Berdasarkan kondisi, permasalahan dan ketentuan yang mengatur

Kawasan Puncak, maka implementasi pembatasan kawasan pemukiman

terbangun dapat dilaksanakan melalui:

1) Pengenaan pajak bumi dan bangunan yang tinggi secara selektif terutama

terhadap bangunan-bangunan baru;

2) Pembatasan penyediaan infrastruktur dan utilitas lain terutama terhadap

daerah-daerah dengan peruntukan non pemukiman;

3) Pengenaan retribusi Izin Mendirikan Bangunan yang tinggi untuk setiap

bangunan di Kawasan Puncak, sebagai upaya menurunkan animo

masyarakat mendirikan bangunan di Kawasan Puncak;

4) Perambahan kawasan hutan maupun lahan HGU perkebunan agar

ditertibkan agar tidak berubah menjadi permukiman semi-permanen maupun

permanen;

5) Pengendalian yang ketat terhadap pemberian izin (IPPT/ILOK/IMB);

6) Distribusi penduduk di dalam kawasan dan distribusi wisatawan didalam

kawasan maupun keluar kawasan melalui pengembangan destinasi wisata

alternatif selain Kawasan Puncak.

Distribusi penduduk dalam kawasan dapat dilakukan dengan membuat

rencana zonasi yang membagi penduduk atas aktivitas ruang. Pengaturan

penduduk pada masing-masing Zona ditujukan agar dapat dicapai

keseimbangan pemanfaatan ruang pada suatu kawasan. Pengaturan ini

259

ditentukan berdasarkan intensitas kegiatan struktur ruang dan fisik lahan yang

dapat dikembangkan pada masing-masing Zona. Hal ini didasari pula oleh

kecenderungan, dimana semakin dekat dengan pusat kegiatan, maka

kecenderungan kepadatan penduduk semakin tinggi. Distribusi wisatawan

didalam kawasan dapat dilakukan melalui pengaturan zonasi wisata dan

manajemen wisata kawasan berdasarkan kemampuan daya dukung masing-

masing Obyek Tujuan Wisata (OTW). Perencanaan zonasi wisata di Kawasan

Puncak sudah disusun oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata pada tahun 2003.

Zona wisata di Kawasan Puncak terbagi atas zona A, B, C, dan D dengan

masing-masing fungsi, arahan pengembangan wisata yang diperbolehkan dan

komponen penataannya.

Kecamatan Ciawi termasuk dalam zona A, merupakan lokasi strategis

menjadi pintu gerbang menuju objek wisata di jalur Bopunjur (kawasan wisata

Puncak) dan objek wisata di jalur Bogor-Sukabumi. Sebagian besar Kecamatan

Cisarua dan Megamendung termasuk pada zona C dengan arahan

pengembangan antara lain pengembangan permukiman perkotaan dan kawasan

permukiman perdesaan, fungsi pertanian lahan basah dan kawasan perkebunan,

meningkatkan aksesibilitas objek wisata dengan pusat akomodasi wisata,

membentuk keterkaitan antara aktifitas pariwisata dengan aktifitas masyarakat

setempat, mempertahankan fungsi daerah resapan/ruang terbuka hijau pada

daerah dengan kelerengan curam, pengembangan prasarana dan sarana

pendukung pariwisata, pengaturan pemanfaatan villa/wisma yang disewakan,

mengendalikan perkembangan villa pada daerah-daerah yang tidak sesuai

peruntukkan dan menciptakan keterkaitan antara pusat akomodasi wisata

dengan objek-objek wisata.

Implementasi pengaturan wisata melalui zonasi wisata ini belum berjalan

maksimal, salah satu kendalanya adalah karena produk perencanaan ini tidak

mengikat masyarakat dan pemerintah karena tidak dituangkan dalam bentuk

peraturan daerah. Disarankan perlu dilakukan review kembali dan dituangkan

dalam bentuk peraturan daerah rencana detail dan zonasi Kawasan Puncak

yang memiliki kekuatan hukum, sehingga dapat menjadi pedoman bagi

pemerintah yang memiliki otoritas perizinan sekaligus sangsi bila terjadi

pelanggaran. Distribusi wisatawan didalam Kawasan Puncak selain melalui

pengaturan zonasi, juga dapat dilakukan melalui manajemen pariwisata secara

260

menyeluruh di Kawasan Puncak, salah satu alat pengendalinya adalah kapasitas

atau daya dukung pada setiap OTW.

Distribusi wisatawan keluar Kawasan Puncak perlu dilakukan setelah

memperhatikan kondisi infrastruktur yang semakin terbatas serta terjadinya

peningkatan tutupan lahan yang dapat mengancam konservasi lingkungan di

DAS Ciliwung. Sesuai dengan PP no 26 Tahun 2008 tentang RTRWN, Kawasan

Puncak termasuk kedalam kawasan strategis nasional (KSN). Salah satu

kebijakannya adalah pelestarian dan peningkatan fungsi dan daya dukung

lingkungan hidup untuk mempertahankan dan meningkatkan keseimbangan

ekosistem, melestarikan keanekaragaman hayati, mempertahankan dan

meningkatkan fungsi perlindungan kawasan, melestarikan keunikan bentang

alam, dan melestarikan warisan budaya nasional. Dengan demikian

pengembangan pembangunan di Kawasan Puncak harus dibatasi sehingga

untuk mengalihkan sebagian wisatawan terutama wisatawan repeater ke

Kawasan Puncak perlu didistribusikan ke wilayah destinasi lainnya. Kebijakan

Pemerintah Kabupaten Bogor yang saat ini sedang mempersiapkan alternatif

puncak di wilayah Kabupaten Bogor sebelah Timur (Kawasan Puncak 2/Puncak

Raya), merupakan langkah tepat sebagai salah satu upaya memecah arus

wisatawan atau distribusi wisatawan keluar Kawasan Puncak, walaupun untuk

mewujudkan rencana ini memerlukan pendanaan yang besar dan jangka waktu

yang cukup lama.

9.7.2 Kebijakan Peningkatan Perekonomian Kawasan

Kawasan Puncak walaupun termasuk wilayah konservasi alam, namun

juga dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata baik skala lokal kabupaten

Bogor maupun skala regional Provinsi Jawa Barat. Kebijakan peningkatan

ekonomi pendapatan daerah di Kawasan Puncak perlu direncanakan secara

cermat dan hati-hati agar tidak bersifat eksploitatif yang dapat mengakibatkan

kerusakan atau degradasi lingkungan. Peningkatan ekonomi di Kawasan

Puncak yang merupakan kawasan wisata dapat dilaksanakan melalui (1)

Peningkatan penerimaan daerah dari pajak dan retribusi; (2) Peningkatan

kualitas SDM siap pakai; (3) Kemitraan antara pengusaha wisata dan

masyarakat setempat; (4) kerjasama dan keterkaitan dari aktivitas hulu-hilir.

261

9.7.2.1 Peningkatan kualitas SDM tenaga kerja yang siap pakai

Permasalahan ketenagakerjaan di Kabupaten Bogor adalah kelebihan

pasokan tenaga kerja yang tidak seimbang dengan serapan tenaga kerja pada

lapangan usaha. Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) total Kabupaten

Bogor tahun 2010 sebesar 59,60 artinya 59,60% dari penduduk usia kerja

terlibat dan berusaha dalan kegiatan produktif menghasilkan barang dan jasa.

Berdasarkan angka total angkatan kerja yang ada di Kabupaten Bogor pada

tahun 2010, sebanyak 1.722.345 jiwa (89%) adalah mereka yang aktif bekerja,

sedangkan sisanya 205.032 jiwa (11%) merupakan pengangguran terbuka.

Penduduk angkatan kerja yang bekerja di Kawasan Puncak sebagian besar

bekerja di sektor jasa (53%) serta perdagangan, hotel dan restoran (20%).

Tingginya proporsi tenaga kerja yang bekerja di sektor tersebut sesuai dengan

pengembangan Kawasan Puncak sebagai destinasi wisata.

Namun demikian berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari

pengusaha hotel dan restoran yang tergabung dalam PHRI, kualitas tenaga kerja

di Kawasan Puncak masih belum memadai dan perlu ditingkatkan kualitasnya.

Prioritas kegiatan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja di Kawasan Puncak

adalah melalui:

1) Pelatihan keterampilan bagi para calon tenaga kerja di tempat-tempat balai

latihan kerja (BLK) yang dilanjutkan dengan kegiatan magang;

2) Pelatihan customer service excelent bagi para pekerja wisata secara

berkesinambungan;

3) Mendirikan sekolah pariwisata, untuk mencetak/menghasilkan tenaga-tenaga

baru yang siap pakai;

4) Peningkatan jumlah aparatur dan pelaku wisata yang telah mengikuti

pendidikan dan pelatihan kepariwisataan, termasuk keterampilan berbahasa

asing.

9.7.2.2 Peningkatan UKM di bidang pertanian dan industri rumah tangga

(home industry)

Kawasan Puncak merupakan pusat kegiatan wisata di Kabupaten Bogor,

dimana sebagian besar potensi wisata, atraksi wisata dan fasilitas wisata berada

pada kawasan ini. Berdasarkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten

Bogor pada tahun 2008 terdapat 168 akomodasi yang terdiri dari 7 hotel bintang

dan 161 hotel melati (termasuk wisma dan villa). Hotel bintang adalah Safari

262

Garden Hotel, Parama Hotel, Jayakarta Hotel, Grafika Mas Prioritas Hotel,

Permata Alam Hotel, Cipayung Asri hotel dan Citra Cikopo. Pada tahun 2008,

berdasarkan data Dispenda terdapat 121 rumah makan yang menawarkan menu

tradisional dan lokal. Selain potensi berupa fasilitas wisata, jumlah wisatawan

yang berkunjung ke Kawasan Puncak pada tahun 2009 adalah sebanyak

1.335.443.

Potensi wisata Puncak yang demikian besar perlu dimanfaatkan oleh

masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan wisata dari mulai kebutuhan

konsumsi (pangan), akomodasi, transportasi, industri, kerajinan dan jasa.

Permasalahan yang pada umumnya terjadi di daerah wisata adalah terjadinya

“kebocoran wisata” sehingga terjadi capital flight ke daerah lain dan masyarakat

setempat tidak menerima keuntungan dan manfaat dari aktivitas wisata.

Prioritas kegiatan yang perlu dipersiapkan adalah:

1) Pendataan dan pemetaan UKM untuk mengetahui jumlah, lokasi, jenis usaha,

kekuatan permodalan, permasalahan dan sebagainya;

2) Pelatihan keterampilan dan kewirausahaan para UKM di bidang pertanian,

industri dan jasa;

3) Membentuk forum UKM di Kawasan Puncak dengan tujuan untuk

memudahkan koordinasi, pengorganisasian dan penyampaian informasi;

4) Meningkatkan kemitraan antara UKM dengan para pelaku usaha di Kawasan

Puncak;

5) Menerapkan penggunaan teknologi informasi untuk memudahkan komunikasi

dan koordinasi antara UKM dan pengusaha wisata.

9.7.2.3 Peningkatan Penerimaan Pajak dan Retribusi

Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu bentuk peran

serta masyarakat sekaligus sebagai sumber pendapatan daerah yang penting

untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.

Pungutan pajak mempunyai tiga fungsi atau tujuan, yaitu: (1) Fungsi penerimaan

(budgetair), pajak dikenakan dengan tujuan untuk mengumpulkan penerimaan

Negara dalam rangka membiayai kegiatan pemerintah; (2) Fungsi pengaturan

(regulator), berkaitan dengan dikenakannya pajak untuk mengatur transaksi

ekonomi yang terkait dengan obyek pajak; dan (3) Fungsi distribusi, pajak

dikenakan dalam rangka menciptakan pemerataan pendapatan antar warga

negara (Bappeda, 2007).

263

Kegiatan pariwisata yang dikenakan pajak adalah hotel, restoran dan

hiburan. Pajak hotel adalah pajak yang dikenakan atas pelayanan yang

disediakan hotel dengan pembayaran oleh pribadi atau badan. Dasar pengenaan

pajak hotel adalah jumlah pembayaran yang diberikan konsumen kepada hotel

(omzet). Besarnya tarif pajak hotel adalah 10 persen dengan cara menghitung

pajak hotel yaitu: tarif pajak (10%) x dasar pengenaan. Demikian pula pajak

restoran adalah pajak yang dikenakan atas pelayanan yang disediakan restoran

dengan pembayaran oleh orang pribadi atau badan. Cara penghitungannya

adalah: tarif pajak (10%) x dasar pengenaan (jumlah pembayaran yang dilakukan

konsumen kepada restoran (omzet). Pajak hiburan adalah pajak yang dikenakan

atas penyelenggaraan hiburan dengan dipungut bayaran.

Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa

atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh

pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Retribusi

dikelompokan menjadi retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha dan retribusi

perizinan tertentu. Retribusi jasa umum adalah retribusi atas jasa yang

disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan

kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.

Retribusi jasa usaha adalah retribusi atas jasa yang disediakan oleh pemerintah

daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula

disediakan oleh sektor swasta.

Retribusi perizinan tertentu adalah retribusi atas kegiatan tertentu

pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau

badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan

pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumberdaya alam,

barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan

umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Retribusi di sektor pariwisata seperti

retribusi izin usaha sarana pariwisata, retribusi izin usaha obyek wisata dan

retribusi izin jasa usaha wisata termasuk dalam kelompok retribusi perizinan

tertentu. Ketiga retribusi tersebut diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 4 tahun

2007 tentang Pengelolaan Usaha Pariwisata. Selain pajak dan retribusi yang

berkaitan dengan pariwisata terdapat pajak dan retribusi lainnya seperti PBB,

IMB dan sebagainya. Peningkatan penerimaan pajak dan retribusi dilaksanakan

melalui prioritas kegiatan:

264

1) Pendataan objek pajak dan retribusi kepada seluruh wajib pajak dan retribusi

di Kawasan Puncak;

2) Meningkatkan kualitas dan kuantitas petugas pemungut pajak dan retribusi

pada lokasi-lokasi pemungutan pajak dan retribusi;

3) Meningkatkan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana berupa komputer,

sarana mobilitas dsb. untuk pemungutan pajak dan retribusi;

4) Meningkatkan pengawasan dan pengendalian terhadap para wajib pajak dan

retribusi;

5) Meningkatkan pembinaan dan penyuluhan kepada para wajib pajak dan

retribusi agar sadar dan tepat waktu dalam pembayaran pajak dan retribusi;

6) Meningkatkan biaya pajak dan retribusi

9.7.3 Kebijakan Pengendalian Bangunan tidak Berizin

Bangunan tidak berizin terdiri atas beberapa katagori yaitu:(1) Bangunan

yang didirikan pada lahan yang tidak bermasalah dan sesuai dengan pengaturan

ruang tetapi belum mengurus perizinan; (2) Bangunan didirikan di atas lahan

yang bermasalah dan tidak sesuai dengan pengaturan ruang sehingga tidak

dapat mengurus perizinan; (3) Bangunan yang sudah berizin namun melakukan

perluasan bangunan yang tidak diurus izinnya; 4) Bangunan tidak permanen

PKL (pedagang kaki lima).

Jumlah bangunan tidak berizin terus bertambah tidak sebanding dengan

ketersediaan aparatur yang bertugas mengawasi dan menertibkan bangunan

tidak berizin. Selama pelaksanaan penertiban, ditemukan berbagai kendala

sebagai berikut: (1) Masih kurangnya sumber daya manusia (SDM) baik secara

kualitas maupun kuantitas apabila dibandingkan dengan cakupan wilayah

Kabupaten Bogor. Ditinjau dari luas wilayah dan banyaknya penduduk maka

jumlah anggota Polisi Pamong Praja yang ideal berjumlah 500 orang dengan

perbandingan 1 orang personil berbanding 8.000 penduduk; (2) Masih

kurangnya sarana dan prasarana yang memadai apabila dibandingkan dengan

banyaknya kegiatan serta luasnya Kabupaten Bogor; (3) Besarnya biaya untuk

melaksanakan penertiban; (4) Masih lemahnya koordinasi antar intansi terkait

serta (5) perlawanan yang sangat kuat dari pihak masyarakat luar. Masyarakat

luar ini umumnya mantan pejabat tinggi, pengusaha menengah-besar atau mitra

/ kolega pejabat pemerintah lokal. Dalam pelaksanaan kegiatan Satuan Polisi

Pamong Praja Kabupaten Bogor melakukan koordinasi lintas sektoral dengan

265

aparat keamanan yang terdiri dari Polres Bogor, Kodim 0621, Polisi Militer,

Koramil dan Polsek setempat. Dengan melakukan koordinasi lintas sektoral

dengan beberapa instansi tersebut maka diharapkan dapat membantu dan

mempermudah pelaksanaan tugas Satuan Polisi Pamong Praja dalam menjaga

ketentraman dan ketertiban umum di wilayah Kabupaten Bogor.

Program yang perlu dilakukan adalah optimalisasi operasi wibawa praja melalui

kegiatan:

1. Penyuluhan/ sosialisasi kepada masyarakat;

2. Meningkatkan sarana, prasarana dan jumlah personil yang menangani

penertiban;

3. Melaksanakan aktivitas pengawasan dan penertiban secara intensif, konsisten

dan persisten;

4. Melaksanaan pendataan dan menyusun database bangunan tidak berizin;

5. Memberikan efek jera melalui penayangan pemilik bangunan tidak berizin di

media massa sebagai sangsi sosial;

6. Bekerjasama dengan instansi lain untuk membatasi ketersediaan infrastruktur

seperti akses jalan, listrik dan telekomunikasi bagi bangunan yang tidak

berizin.

9.7.4 Kebijakan Pembatasan Jumlah Kendaraan

Sebagai salah satu lintasan Bogor-Cianjur–Bandung, jalur jalan raya

Puncak memiliki beban yang cukup berat terutama karena lintasannya

dimanfaatkan juga sebagai jalur wisata menuju beberapa obyek wisata di

Kabupaten Bogor maupun di Kabupaten Cianjur. Kondisi tersebut

mengakibatkan volume kendaraan di jalur jalan raya Puncak sangat padat

dengan LHR (laju harian rata-rata) saat ini rata-rata 10.000 SMP/hari (SMP =

satuan mobil penumpang) serta V/C (Volume/Capacity) >1,0, maka dapat

dikategorikan sebagai jalur yang perlu diberikan alternatif penurunan volume lalu

lintas (Disbudpar, 2003).

266

3

Gambar 62. Titik Rawan Macet di Wilayah Puncak

Sumber : Kasat Lantas Polres Bogor

Kemacetan lalu lintas diakibatkan sebagian besar wisatawan bertujuan

untuk mengunjungi daya tarik wisata Taman safari Indonesia, Taman wisata

matahari, wana wisata Curug Cilember, dan lainnya yang semua akses jalurnya

melewati jalan raya puncak. Hal ini mengakibatkan intensitas kendaraan yang

melewati jalan raya Puncak semakin padat dan akhirnya mengakibatkan

kemacetan. Selain itu diperparah juga dengan terdapatnya pasar di sisi jalan

raya Puncak, Desa Cisarua, Kecamatan Cisarua, dimana badan jalan dipakai

untuk parkir kendaraan dan angkutan umum serta bahu jalan di pakai pedagang

kaki lima untuk tempat berdagang. Titik pusat kemacetan di jalan raya Puncak,

Kabupaten Bogor berada pada Gadog, Pasar Cisarua, dan pertigaan tugu

Taman Safari Indonesia. Solusi saat ini yang dilakukan pemerintah Kabupaten

Bogor dalam mengurangi tingkat kemacetan di jalan raya Puncak adalah dengan

menerapkan sistem buka tutup. Sistem buka tutup biasanya dilakukan pada

akhir pekan dan hari libur dimana pada jam-jam tertentu dilakukan jalan satu

arah (one way) secara bergantian dari arah lampu merah keluar pintu tol Ciawi

sampai pertigaan tugu Taman Safari Indonesia dan berganti dari arah

sebaliknya.

Jumlah kendaraan eksisting yang melintas di Kawasan Puncak pada

tahun 2009 terdapat sebanyak 6.144.000 setahun. Apabila tidak dilakukan

pembatasan jumlah kendaraan, maka diperkirakan pada tahun 2029 jumlah

kendaraan menuju Kawasan Puncak akan mencapai 12.860.098 kendaraan per

267

tahun. Kapasitas jalan yang ada saat ini sangat tidak memadai untuk

menampung jumlah kendaraan sebanyak itu, sehingga diperlukan penambahan

panjang jalan sekitar 55,2 km. Melalui program pembatasan kendaraan menuju

Kawasan Puncak dianggap lebih efektif dipandang dari segi keamanan,

kenyamanan dan konservasi lingkungan.

Pembatasan kendaraan dapat dilakukan melalui penggantian moda

angkutan dari kendaraan pribadi menjadi kendaraan masal. Berdasarkan hasil

diskusi melalui focus group discussion dan pendapat pakar baik eksekutif

maupun legislatif (anggota DPRD), penanganan transportasi di Kawasan Puncak

melalui pembatasan kendaraan dengan penggantian moda di masa yang akan

datang, dapat dilakukan dengan menyediakan kendaraan bis wisata atau

kendaraan monorail/sky train. Simulasi sketsa konsep pengaturan jalur wisata

dapat dilihat pada gambar 63 berikut.

Gambar 63. Sketsa konsep pengaturan jalur angkutan wisata.

Berdasarkan gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa penggantian moda

(stop over) diusulkan untuk ditempatkan di sekitar wilayah Kecamatan Ciawi

tidak jauh dari mulut pintu tol jagorawi. Jalur wisata dibagi menjadi tiga buah

stasiun yaitu stasiun Taman Wisata Matahari, stasiun Taman Safari Indonesia

serta Stasiun Gunung Mas. Pengunjung atau wisatawan dapat memilih

268

perjalanan wisatanya menuju stasiun yang diinginkan. Pada setiap

pemberhentian stasiun dapat disiapkan sebuah rest area dilengkapi dengan

penjualan cinderamata dan kendaraan-kendaraan wisata yang dapat digunakan

wisatawan menuju destinasi obyek wisata lainnya. Kendaraan yang melintasi

jalur Puncak dapat dibagi dalam tiga ketegori yaitu 1) kendaraan bertujuan ke

destinasi Cianjur dan Bandung, 2) kendaraan yang commuter atau kendaraan

penduduk Kecamatan Ciawi, Cisarua dan Megamendung dan 3) kendaraan yang

mengangkut wisatawan (temporer). Perlakuan terhadap ketiga kategori

kendaraan tersebut dapat diatur dengan cara 1) kendaraan menuju Cianjur dan

Bandung dapat diarahkan menuju jalur jalan Poros Tengah-Timur yang sedang

disiapkan Pemerintah Kabupaten Bogor berawal dari sentul dan berakhir di

Cipanas Kabupaten Cianjur, 2) kendaraan pribadi maupun umum yang

mengangkut penduduk setempat dapat langsung menuju kawasan puncak dan

3) kendaraan wisata diberikan stiker khusus dengan membayar atau dapat parkir

di stop over (terminal) untuk berganti moda menggunakan kendaraan wisata

yang disediakan.

Pendapat atau wacana dari para pakar dalam bentuk sketsa konsep jalur

wisata ini perlu ditindaklanjuti secara mendalam dan komprehensif dari berbagai

aspek yaitu aspek fisik wilayah, teknis, pembiayaan dan sebagainya. Hal-hal

lainnya yang perlu dipersiapkan/dilakukan adalah :

1) Menyusun studi kelayakan meliputi studi penggantian moda angkutan, jumlah

kendaraan yang dibatasi, kapasitas kendaraan pengganti, kelayakan

pembiayaan, kondisi sosial, ekonomi dan sebagainya;

2) Melakukan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat;

3) Pengembangan rest area atau tempat parkir (stop over) wisatawan maupun

non wisatawan;

4) Penyediaan terminal/sub terminal untuk melayani kegiatan wisata dan

transportasi perkotaan;

5) Penerapan tarif parkir yang tinggi atau larangan parkir di kawasan yang akan

dibatasi lalu lintasnya, dan pengalihan moda dari kendaraan pribadi menjadi

angkutan massal pada lokasi-lokasi tertentu;

6) Menyusun peraturan/kebijakan terkait pengaturan/manajemen lalu lintas;

7) Melakukan kerjasama pembiayaan infrastruktur dengan pihak pemerintah

pusat, provinsi dan swasta.

269

9.7.5 Pembiayaan Lingkungan Kawasan Puncak

Pengelolaan lingkungan di Kawasan Puncak akan lebih optimal jika

dilakukan bersama-sama dengan stakeholder lainnya baik dari kalangan

pemerintah, masyarakat maupun swasta. Bentuk partisipasi dalam bentuk

kerjasama pembiayaan dapat dilakukan melalui kegiatan:

1) Bantuan atau subsidi dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan

Pemerintah Daerah lainnya di sekitar Jabodetabek untuk membiayai

pengelolaan Kawasan Puncak;

2) Melibatkan peran serta swasta melalui dana CSR yang digunakan untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan;

3) Meminimalisasi kerusakan lingkungan dengan meningkatkan peran serta

swasta dalam pembuatan sumur resapan, penghijauan, penataan drainase

serta pengolahan sampah dan limbah;

4) Internalisasi biaya lingkungan dalam pajak dan retribusi yang dipungut dari

wajib pajak dan retribusi serta merumuskan skema pembiayaan

pembangunan melalui dana jaminan lingkungan.

9.8. Simulasi Peningkatan Nilai Keberlanjutan Multi Dimensi

Pariwisata Kawasan Puncak

Pada bab VI telah diuraikan bahwa analisis multi dimensi terhadap status

keberlanjutan Kawasan Puncak untuk pengembangan pariwisata menunjukkan

nilai indeks keberlanjutan sebesar 34,74 yang berarti status Kawasan Puncak

untuk pengembangan pariwisata adalah tidak berkelanjutan. Pada bahasan ini

akan dilakukan simulasi untuk mengetahui status keberlanjutan setelah

diterapkannya kebijakan berdasarkan skenario alternatif.

Berdasarkan simulasi MDS tersebut diperoleh hasil bahwa nilai

keberlanjutan Kawasan Puncak sebesar 59,52, dimana dimensi hukum

kelembagaan sebesar 64,54, dimensi ekologi sebesar 52,97, dimensi sosial

budaya sebesar 51,47 dan dimensi sarana prasarana sebesar 58,64 sehingga

semua dimensi sudah berkelanjutan, termasuk dimensi ekonomi yang sejak awal

sudah berkelanjutan karena nilainya 67,87. Perubahan nilai keberlanjutan

berdasarkan dimensi, atribut dan kebijakan dapat dilihat pada tabel 90 berikut.

270

Tabel 90 Perubahan Nilai Dimensi setelah Penerapan Kebijakan Skenario Alternatif.

NO DIMENSI KEBIJAKAN

(SKENARIO ALTERNATIF)

NILAI

AWAL

NILAI

AKHIR

NAIK

1 DIMENSI HUKUM DAN KELEMBAGAAN

Kebijakan dimensi hukum dan kelembagaan dilaksanakan melalui penyusunan RDTR kawasan puncak, membentuk lembaga/forum wisata yang terintegrasi, pengendalian perizinan, peningkatan penertiban bangunan tidak berizin, meningkatkan koordinasi antar lembaga serta penerapan upaya insentif dan desinsentif.

31,86 64,54 32,68

2 DIMENSI EKOLOGI

Kebijakan dimensi ekologi dilaksanakan melalui pengendalian jumlah penduduk, pengaturan zonasi, pembatasan pemukiman, pembatasan jumlah kendaraan, penerapan upaya desinsentif melalui peningkatan pajak dan retribusi serta pengembangan kawasan destinasi alternatif.

31,38 52,97 21,59

3 DIMENSI EKONOMI Kebijakan dimensi ekonomi dilaksanakan melalui peningkatan kemitraan antara pelaku usaha wisata dengan masyarakat, mengembangkan UKM serta peningkatan penerimaan daerah dari pariwisata.

67,87 67,87 TETAP

4 DIMENSI SOSIAL BUDAYA

Kebijakan dimensi sosial budaya dilaksanakan melalui, peningkatan kualitas SDM pekerja melalui kegiatan pendidikan dan magang,peningkatan atraksi budaya, pengendalian jumlah penduduk..

32,43 51,47 19,04

5 DIMENSI SARANA DAN PRASARANA

Kebijakan dimensi sarana dan prasarana dilaksanakan melalui upaya penyediaan sarana pendidikan sekolah pariwisata, penyediaan air bersih, penanganan persampahan dan pemeliharaan sarpras di setiap OTW.

27,73 58,64 30,91

Berikut ini adalah hasil simulasi berbagai dimensi sebagaimana

ditunjukkan pada gambar ini.

271

Gambar 64. Dimensi Hukum dan Kelembagaan Hasil Simulasi

Pada dimensi hukum dan kelembagaan, atribut yang perlu mendapatkan

perhatian untuk ditangani dengan baik adalah: 1). Ketersediaan lembaga yang

menangani pengelolaan pariwisata Puncak secara terintegrasi, 2). ketersediaan

pedoman teknis dan operasional dalam pengelolaan pariwisata Puncak, 3).

jumlah bangunan tidak berizin yang ditertibkan di kawasan Puncak, 4). Frekuensi

koordinasi antara berbagai instansi/stake holder dalam pengelolaan pariwisata di

Kawasan Puncak. Elemen yang berfungsi penting dalam sebuah sistem

kepariwisataan diantaranya adalah pengelolaan pelaku pariwisata, pelayanan

pariwisata, pengendali dan daya tarik pariwisata. Pelaku pariwisata dapat

berupa subyek maupun obyek yang perlu diperhatikan dari segi kualitas,

kuantitas dan mobilitas. Berkenaan dengan hal tersebut maka harus dilakukan

penelaahan dengan cermat untuk mengetahui perilaku wisatawan baik asal

tempat wisatawan. maupun wisatawan di destinasi wisata, preferensi wisatawan,

kualitas wisatawan, pencaran pasar wisatawan, sarana dan prasarana,

perangkutan dan sebagainya.

Jumlah lembaga yang terlibat dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan

Puncak sedikitnya terdapat 20 lembaga dengan tugas pokok, fungsi dan

kewenangan yang berbeda-beda, tetapi kadangkala terjadi tumpang tindih

kewenangan antara satu lembaga dengan lembaga lainnya. Lemahnya

koordinasi, pembagian tugas yang jelas serta tidak adanya komando yang

menyinergikan antara berbagai lembaga merupakan faktor utama yang menjadi

272

kendala dalam pengelolaan pariwisata. Berdasarkan analisis ISM, para pakar

mengharapkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata tampil sebagai leader yang

mengkoordinasikan pengelolaan pariwisata khususnya di Kawasan Puncak,

namun karena keterbatasan internal institusi seperti SDM, sarana prasarana,

pendanaan dan pedoman kerja (SOP) menjadi kendala besar bagi aktivitas

Disbudpar dalam meningkatkan kinerja pariwisata di Kabupaten Bogor pada

umumnya dan Kawasan Puncak pada khususnya. Agar pengelolaan Kawasan

Puncak lebih baik di masa depan para pakar mengharapkan adanya suatu

lembaga yang menangani secara khusus pengelolaan pariwisata di Kawasan

Puncak. Hasil wawancara dan diskusi dengan pimpinan daerah dan beberapa

dinas/instansi menyampaikan wacana dibentuknya semacam BUMD wisata yang

bertugas mengelola kawasan-kawasan wisata termasuk didalamnya Kawasan

Puncak. BUMD ditangani oleh seorang profesional yang direkrut secara khusus

melalui seleksi sedangkan badan pengawas BUMD dapat berasal dari unsur

pemerintah dalam hal ini Disbudpar, swasta/asosiasi, masyarakat/LSM, dan

perguruan tinggi.

Gambar 65. Analisis Monte Carlo Dimensi Hukum Kelembagaan Hasil Simulasi

Berdasarkan kondisi, permasalahan dan ketentuan yang mengatur

Kawasan Puncak, maka implementasi peraturan, hukum dan kelembagaan

273

tentang pembatasan kawasan pemukiman terbangun dapat dilaksanakan

melalui:

1) Pengenaan pajak bumi dan bangunan yang tinggi secara selektif terutama

terhadap bangunan-bangunan baru;

2) Pembatasan penyediaan infrastruktur dan utilitas lain terutama terhadap

daerah-daerah dengan peruntukan non pemukiman;

3) Pengenaan retribusi Izin Mendirikan Bangunan yang tinggi untuk setiap

bangunan di Kawasan Puncak, sebagai upaya menurunkan animo

masyarakat mendirikan bangunan di Kawasan Puncak;

4) Perambahan kawasan hutan maupun lahan HGU perkebunan agar

ditertibkan agar tidak berubah menjadi permukiman semi-permanen maupun

permanen;

5) Pengendalian yang ketat terhadap pemberian izin (IPPT/ILOK/IMB);

6) Distribusi penduduk di dalam kawasan dan distribusi wisatawan didalam

kawasan maupun keluar kawasan melalui pengembangan destinasi wisata

alternatif selain Kawasan Puncak.

Gambar 66. Dimensi Ekologi Hasil Simulasi

Daya tarik wisata adalah elemen yang dapat menjadi magnet suatu

daerah, tanpa adanya daya tarik wisata maka tidak akan terjadi aktivitas

pariwisata, karenanya untuk memelihara dan mengoptimalkan daya tarik wisata

yang sebagian besar memperlihatkan keindahan alam, maka mutlak harus

menjaga, memelihara dan menjamin kelestarian lingkungan.

274

Pada dimensi ekologi atribut yang diubah nilai keberlanjutannya adalah

(1) kepadatan penduduk, dan (2) luas tutupan lahan. Hal ini antara lain

dilakukan dengan menggalakkan dan meneguhkan kembali Program operasi

yustisi dan Keluarga Berencana Nasional di semua tingkatan. Berdasarkan

Undang-undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan

dan Pembangunan Keluarga, yang dimaksud Keluarga Berencana adalah upaya

mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan,

melalui promosi, perlindungan dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk

mewujudkan keluarga yang berkualitas.

Kegiatan Program Keluarga Berencana di Kabupaten Bogor, diarahkan

pada 5 (lima) kegiatan strategis yaitu: (1) program Pemberdayaan Keluarga

(PK); (2) Program KB dan Kesehatan Reproduksi (KB-KR); (3) Program

Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) dan PUP (Pendewasaan Usia

Perkawinan); (4) Program Penguatan kelembagaan keluarga kecil berkualitas;

dan (5) Program pengembangan sistem informasi data mikro keluarga.

Gambar 67. Analisis Monte Carlo Dimensi Ekologi Hasil Simulasi

Pengendalian luas tutupan lahan dilakukan dengan berbagai upaya

seperti pengaturan ruang, dengan membuat rencana zonasi yang membagi

penduduk atas aktivitas ruang. Pengaturan penduduk pada masing-masing

Zona ditujukan agar dapat dicapai keseimbangan pemanfaatan ruang pada suatu

275

kawasan, Zona wisata di Kawasan Puncak terbagi atas zona A, B, C, dan D

dengan masing-masing fungsi, arahan pengembangan wisata yang

diperbolehkan dan komponen penataannya. Distribusi wisatawan didalam

kawasan dapat dilakukan melalui pengaturan zonasi wisata dan manajemen

wisata kawasan berdasarkan kemampuan daya dukung masing-masing Obyek

Tujuan Wisata (OTW). Selain itu aktivitas yang dilakukan untuk mengurangi

tutupan lahan oleh bangunan adalah dengan cara penertiban bangunan tidak

berizin, memperketat perizinan, dan pengawasan terhadap penambahan

bangunan.

Gambar 68. Dimensi Sarana Prasarana Hasil Simulasi

Pada dimensi sarana dan prasarana, setelah dilakukan intervensi program maka

diperkirakan atribut yang naik adalah: 1) Ketersediaan fasilitas penanganan

persampahan , 2) Jumlah rumah tangga pelanggan air bersih dari PDAM, dan

3). Ketersediaan angkutan umum.

276

Gambar 69. Analisis Monte Carlo Dimensi Sarana Prasarana Hasil Simulasi

Sarana dan prasarana adalah prasyarat bagi keberlangsungan proses

pariwisata. Sarana pariwisata adalah segala sesuatu yang melengkapi dan atau

memudahkan proses kegiatan pariwisata seperti; penginapan, rumah makan,

perbelanjaan, biro perjalanan, lembaga keuangan dan lain-lain. Wisatawan pada

saat mencapai destinasi maka hal yang akan dicari adalah 1) obyek yang

menjadi daya tarik, 2) cinderamata apa yang akan diperoleh, 3) dengan apa

menuju OTW, 4). dimana menginap, 5) fasilitas apa yang tersedia, 6) dimana

informasi dapat diperoleh dengan mudan dan jelas. Pembangunan dan

pengelolaan sarana dan prasarana terutama bila berkaitan dengan alam, harus

mempertimbangkan aspek lingkungan serta ekosistemnya agar pemanfaatan

obyek wisata dapat berkelanjutan.

Salah satu prasarana/utilitas yang dibutuhkan adalah jaringan

perangkutan. Keandalan sistem perangkutan secara langsung akan

berpengaruh terhadap pola distribusi arus wisatawan menuju destinasi wisata

dan selanjutnya menuju obyek wisata. Tanpa pelayanan jasa perangkutan maka

kepariwisataan akan lumpuh (Warpani dan Warpani 2007). Keandalan layanan

sistem perangkutan termasuk pengaturan moda angkutan menjadi hal yang vital

bagi berlangsungnya aktivitas wisata, bukan saja penting bagi wisatawan untuk

melakukan perjalanan tetapi juga bagi arus pasokan pangan, dan kelengkapan

wisata lainnya seperti kebutuhan akan produk cinderamata, atraksi kesenian,

277

jasa boga dan sebagainya. Akomodasi dan daya tarik wisata di Kawasan

Puncak sebaik dan semenarik apapun tidak akan banyak maknanya tanpa

dukungan sistem perangkutan yang handal dari segi ketersediaan dan pelayanan

angkutan.

Saat ini angkutan umum yang dapat digunakan oleh masyarakat

setempat maupun wisatawan di Kawasan Puncak adalah kendaraan bis,

kendaraan pribadi, motor dan angkutan perkotaan sebanyak empat trayek

dengan kode trayek nomor 20, 02 A, T 02 A dan T 02. Berdasarkan hasil survey

lalu lintas tahun 2001, jenis kendaraan yang paling banyak melintas di Kawasan

Puncak adalah kendaraan ringan (kendaraan penumpang pribadi dan angkutan

kota) rata-rata setiap harinya adalah 21.531 kendaraaan per hari atau 897

kendaraan per jam, sedangkan bus atau truk besar jumlahnya tidak terlalu besar

atau relatif kecil yaitu 2.094 kendaraan per hari atau sekitar 87 kendaraan per

jam. Berdasarkan data tersebut maka perbandingan antara kendaraan pribadi

dengan angkutan masal adalah 10 : 1 atau jumlah kendaraan pribadi dan

angkutan kota jumlahnya sepuluh kali dari kendaraan bis/truk. Alternatif

kebijakan transportasi atau perangkutan di masa yang akan datang adalah

dengan melakukan pembatasan kendaraan khususnya kendaraan pribadi yang

digantikan dengan angkutan wisata bagi masyarakat yang datang ke Kawasan

Puncak untuk tujuan berwisata.

Selain perangkutan, aksesibilitas juga berperan penting dalam

meningkatkan kinerja pariwisata di suatu destinasi. Aksesibilitas adalah daya

hubung antarzone yakni jaringan jalan, ketersediaan dan kapasitas terminal,

serta ketersediaan moda angkutan. Saat ini di Kawasan Puncak belum memiliki

terminal, sehingga penggantian moda angkutan dilaksanakan dengan

menggunakan badan jalan yang ada. Dimasa yang akan datang perlu dibangun

sebuah terminal. Terminal menyandang fungsi pokok yakni, menyediakan 1)

akses ke kendaraan yang bergerak pada jalur khusus, 2) tempat dan kemudahan

perpidahan/pergantian moda angkutan dari kendaraan yang bergerak pada jalur

khusus ke kendaraan lain, 3) sarana simpul lalu lintas, tempat konsolidasi lalu

lintas, 4). Tempat untuk menyimpan kendaraan, 5) memiliki fungsi penunjang

sebaga tempat perbelanjaan.

278

Gambar 70. Dimensi Sosial Budaya Hasil Simulasi

Pada dimensi sosial dan budaya, atribut yang diperbaiki karena pendekatan

program adalah : 1) Jumlah tenaga kerja di sektor pariwisata, 2) Laju

pertumbuhan penduduk dan 3) Lama masa tinggal wisatawan. Kualitas

sumberdaya manusia di suatu destinasi wisata sangat penting untuk menunjang

pertumbuhan kegiatan pariwisata. Berbagai ragam kegiatan kepariwisataan

mengandung makna terbukanya kesempatan kerja di berbagai bidang yang perlu

diisi oleh tenaga kerja yang terampil. Dampak positif pengembangan pariwisata

dapat dirasakan jika tenaga kerja setempat yang tersedia sesuai dengan

kesempatan kerja, namun sebaliknya jika bila tenaga kerja yang ada tidak

terampil dan terdidik maka kesempatan kerja yang ada akan diisi oleh tenaga

kerja pendatang. Pengangguran yang tinggi di suatu wilayah memiliki

kecenderungan tingginya kejadian gangguan keamanan dan ketertiban sehingga

pada akhirnya akan menurunkan kenyamanan berwisata di suatu destinasi.

Kualitas SDM perlu terus ditingkatkan melalui pendidikan formal maupun

informal, kegiatan magang dan sebagainya.

Lama tinggal wisatawan di suatu obyek wisata memilik makna ganda, yaitu

sebagai tolok ukur pesona daya tarik wisata daerah yang bersangkutan juga

sebagai indikator adanya kesan yang mendalam bagi wisatawan sehingga ingin

tinggal lebih lama lagi. Tolok ukur lain keberhasilan pembangunan

279

kepariwisataan adalah besarnya uang yang dibelanjakan oleh wisatawan

(peneluaran). Besarnya belanja berbanding lurus dengan lama tinggal di suatu

obyek tempat wisata (Warpani dan Warpani 2007). Berkenaan dengan hal

tersebut pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak harus mampu

meningkatkan rata-rata lama tinggal dua hari menjadi tiga hari atau lebih. Hal

yang harus dilakukan adalah dengan 1) menciptakan sistem layanan yang prima

untuk memberikan kesan mendalam bagi wisatawan, 2) menawarkan aneka

ragam daya tarik dan atraksi wisata, 3) menyediakan outlet-outlet produk

kerajinan/kriya, 4) meningkatkan stabilitas keamanan dan ketertiban, 5)

menyediakan sarana dan prasarana pariwisata yang optimal, 6) menciptakan

kondisi lingkungan yang asri, aman dan nyaman.

Gambar 71. Analisis Monte Carlo Dimensi Sosial Budaya Hasil Simulasi

280

Tabel 91 Diagram layang-layang hasil simulasi kawasan pariwisata puncak

No DIMENSI NILAI

INDIKATOR INDEKS

1 HUKUM DAN KELEMBAGAAN 64.54 BERKELANJUTAN

2 EKOLOGI 52.97 BERKELANJUTAN

3 EKONOMI 67.87 BERKELANJUTAN

4 SOSIAL BUDAYA 51.47 BERKELANJUTAN

6 SARANA PRASARANA 58.64 BERKELANJUTAN

Hasil analisis monte carlo menunjukkan bahwa nilai indeks

keberlanjutan kawasan pariwisata Puncak Kabupaten Bogor pada taraf

kepercayaan 95%, memperlihatkan hasil yang tidak banyak mengalami

perbedaan dengan hasil analisis rap-tourism (multy dimensional scaling =

MDS). Hal ini berarti bahwa kesalahan dalam analisis dapat diperkecil

baik dalam hal pemberian skoring setiap atribut, variasi pemberian scoring

karena perbedaan opini relatif kecil (dibawah 2,5 poin) dan proses

analisis data yang dilakukan secara berulang-ulang stabil serta kesalahan

dalam menginput data dan data hilang dapat dihindari. Perbedaan nilai

indeks keberlanjutan analisis MDS dan Monte Carlo seperti pada tabel

92.

Tabel 92. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis Monte Carlo dengan analisis Rap-Tourism Kawasan Puncak

Dimensi Keberlanjutan Nilai Indeks Keberlanjutan (%)

Perbedaan MDS Monte Carlo

HUKUM DAN KELEMBAGAAN 64,54 62,94 1,60

EKOLOGI 52,97 52,31 0,66

EKONOMI 67,87 65,90 1,93

SOSIAL BUDAYA 51,47 51,47 0

SARANA PRASARANA 58,64 57,73 0,91

Adapun gambar diagram layang-layang hasil analisis keberlanjutan

setelah dilakukan perbaikan pada beberapa atribut adalah seperti pada

gambar 71.

281

DIAGRAM LAYANG-LAYANG

64.54

52.97

67.8751.47

58.64

0

20

40

60

80

100

HUKUM DAN

KELEMBAGAAN

EKOLOGI

EKONOMISOSIAL BUDAYA

SARANA PRASARANA

Gambar 71. Diagram Layang-Layang Hasil Simulasi