43
Acara I KINETIKA: FERMENTASI DALAM PRODUKSI MINUMAN VINEGAR LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI FERMENTASI ` Disusun oleh: Nama: Ivan Septian P NIM: 11.70.0129 Kelompok: A4 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

Ivan Septian P_Kinetika_KloterA_11.70.0129

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Pada laporan ini akan dibahas mengenai kinetika mikroorganisme selama proses fermentasi berlangsung. Sampel yang digunakan untuk analisa adalah cider apel dengan penambahan yeast Saccharomyces cereviceae. Pengujian yang dilakukan adalah pengukuran biomassa dengan Haemocytometer, penentuan total asam selama fermentasi, pengukuran pH minuman vinegar, dan penentuan hubungan absorbansi dengan kepadatan sel.

Citation preview

KINETIKA: FERMENTASI DALAM PRODUKSI MINUMAN VINEGAR

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI FERMENTASI

`Disusun oleh:Nama: Ivan Septian PNIM: 11.70.0129Kelompok: A4

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANUNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

Acara I20141. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan rata-rata jumlah mikroba/cc, optical density (OD), pH, dan total asam dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1.Hasil Pengamatan Rata-rata Jumlah Mikroba/cc, Optical Density (OD), pH, dan Total Asam

KelPerlakuanWaktu mo tiap petakRata-rata mo tiap petakRata-rata/ mo tiap ccODpHTotal asam

1234

A1Sari apel + S. cereviceaeN0119151011,254,5 x 1070,52952,9025,344

N244125182226,510,6 x 1070,26832,8823,808

N485357625155,7522,3 x 1070,55542,9723,424

N72608682928032 x 1071,04763,1819,2

N9620817224418020180,4 x 1071,47082,9119,584

A2Sari apel + S. cereviceaeN02623222824,759,9 x 1071,04172,9525,436

N242624222519,257,7 x 1070,67792,8821,312

N482940398247,51,9 x 1080,84743,0121,696

N7224118106104105,54,22 x 1080,87233,1622,08

N961401891451181485,92 x 1081,41373,0720,16

A3Sari apel + S. cereviceaeN014171514156 x 1070,82412,9025,152

N242250505644,51,78 x 1080,22172,8723,616

N481101221191171174,68 x 1081,00592,9919,2

N72112103112104107,754,31 x 1081,28913,1220,16

N9684626874722,88 x 1080,93423,1120,16

A4Sari apel + S. cereviceaeN0810201212,55 x 1070,77782,9613

N244350503243,751,75 x 1080,79772,8811

N4899829810094,753,79 x 1081,09843,0415

N72108101929899,753,99 x 1080,96303,2115,5

N96115117111112113,754,55 x 1080,91693,2410

1

A5Sari apel + S. cereviceaeN02320211920,758,3 x 1070,91692,9323,424

N2442465256491,96 x 1080,71962,8822,08

N487178827476,253,05 x 1080,61733,0430,72

N7282103106115101,54,06 x 1081,45403,2622,08

N96131207125154154,256,17 x 1081,24873,2120,16

2

Pada praktikum ini dilakukan pengukuran jumlah biomassa sel pada vinegar hasil fermentasi. Pengukuran jumlah biomassa sel dilakukan selama 5 hari yaitu pada jam ke-0, jam ke-24, jam ke-48, jam ke-96 dan jam ke-120. Berdasarkan hasil pengujian, dapat dilihat bahwa hasil yang diperoleh setiap kelompok menunjukkan hasil yang berbeda-beda meskipun jenis perlakuan yang dilakukan sama, yaitu sari apel + Saccharomyces cereviceae. Pada kelompok A1, dapat dilihat bahwa nilai rata-rata/ mo tiap cc dan OD dari waktu N0 hingga N96 mengalami peningkatan; sedangkan nilai pH dari waktu N0 hingga N96 berkisar antara 2,88-3,18 dan menunjukkan hasil yang fluktuatif; lalu nilai total asam yang dihasilkan mengalami penurunan. Pada kelompok A2, dapat dilihat bahwa nilai rata-rata/ mo tiap cc dari waktu N0 hingga N96 mengalami peningkatan; sedangkan nilai pH dari waktu N0 hingga N96 berkisar antara 2,88-3,16 dan menunjukkan hasil yang fluktuatif; begitu pula dengan nilai OD dan total asam yang diperoleh juga menghasilkan nilai yang fluktuatif. Pada kelompok A3, dapat dilihat bahwa baik nilai rata-rata/ mo tiap cc, OD, pH, dan total asam yang diperoleh dari waktu N0 hingga N96 menunjukkan hasil yang fluktuatif. Pada kelompok A4, dapat dilihat bahwa nilai rata-rata/ mo tiap cc dari waktu N0 hingga N96 mengalami peningkatan; sedangkan nilai pH dari waktu N0 hingga N96 berkisar antara 2,88-3,24 dan menunjukkan hasil yang fluktuatif; begitu pula dengan nilai OD dan total asam yang diperoleh juga menghasilkan nilai yang fluktuatif. Pada kelompok A5, dapat dilihat bahwa nilai rata-rata/ mo tiap cc dari waktu N0 hingga N96 mengalami peningkatan; sedangkan nilai pH dari waktu N0 hingga N96 berkisar antara 2,88-3,26 dan menunjukkan hasil yang fluktuatif; begitu pula dengan nilai OD dan total asam yang diperoleh juga menghasilkan nilai yang fluktuatif.

Grafik 1. Hubungan Optical Density (OD) dengan Waktu

Berdasarkan grafik, dapat dilihat bahwa hubungan optical density (OD) dengan waktu untuk setiap kelompok memiliki hasil yang berbeda-beda. Untuk kelompok A1 dan A2, nilai OD akan mengalami penurunan pada N24, lalu mengalami peningkatan hingga N96. Untuk kelompok A3, nilai OD mengalami penurunan pada N24 lalu meningkat hingga N72, lalu mengalami penurunan kembali pada N96. Untuk kelompok A4, nilai OD mengalami peningkatan hingga N48, lalu mengalami penurunan hingga N96. Untuk kelompok A5, nilai OD mengalami penurunan hingga N48, lalu meningkat pada N72 dan mengalami penurunan kembali pada N96.

Grafik 2. Hubungan Jumlah Sel dengan Waktu

Berdasarkan grafik, dapat dilihat bahwa hubungan jumlah sel dengan waktu untuk setiap kelompok memiliki hasil yang berbeda-beda. Untuk kelompok A1, jumlah sel yang diperoleh mengalami peningkatan dari N0 hingga mencapai N96. Untuk kelompok A2, jumlah sel mengalami penurunan pada N24, lalu mengalami peningkatan hingga N96. Untuk kelompok A3, jumlah sel mangalami peningkatan hingga N48, lalu mengalami penurunan hingga N96. Untuk kelompok A4 dan A5, jumlah sel juga mengalami meningkatan mulai dari N0 hingga N96.

Grafik 3. Hubungan Jumlah Sel dengan pH

Berdasarkan grafik, dapat dilihat bahwa hubungan jumlah sel dengan pH untuk setiap kelompok menghasilkan nilai yang fluktuatif. Untuk kelompok A1, jumlah sel terbanyak diperoleh pada nilai pH 2,91; sedangkan jumlah sel paling sedikit diperoleh pada nilai pH 2,90. Untuk kelompok A2, jumlah sel terbanyak diperoleh pada nilai pH 3,07; sedangkan jumlah sel paling sedikit diperoleh pada nilai pH 2,88. Untuk kelompok A3, jumlah sel terbanyak diperoleh pada nilai pH 2,99; sedangkan jumlah sel paling sedikit diperoleh pada nilai pH 2,90. Untuk kelompok A4, jumlah sel terbanyak diperoleh pada nilai pH 3,24; sedangkan jumlah sel paling sedikit diperoleh pada nilai pH 2,96. Untuk kelompok A5, jumlah sel terbanyak diperoleh pada nilai pH 3,21; sedangkan jumlah sel paling sedikit diperoleh pada nilai pH 2,93.

Grafik 4. Hubungan Jumlah Sel dengan Optical Density (OD)

Berdasarkan grafik, dapat dilihat bahwa hubungan jumlah sel dengan optical density (OD) untuk setiap kelompok menghasilkan nilai yang fluktuatif. Untuk kelompok A1, jumlah sel terbanyak diperoleh pada nilai OD 1,4708; sedangkan jumlah sel paling sedikit diperoleh pada nilai OD 0,5295. Untuk kelompok A2, jumlah sel terbanyak diperoleh pada nilai OD 1,4137; sedangkan jumlah sel paling sedikit diperoleh pada nilai OD 0,6779. Untuk kelompok A3, jumlah sel terbanyak diperoleh pada nilai OD 1,0059; sedangkan jumlah sel paling sedikit diperoleh pada nilai OD 0,8241. Untuk kelompok A4, jumlah sel terbanyak diperoleh pada nilai OD 0,9169; sedangkan jumlah sel paling sedikit diperoleh pada nilai OD 0,7778. Untuk kelompok A5, jumlah sel terbanyak diperoleh pada nilai OD 1,2487; sedangkan jumlah sel paling sedikit diperoleh pada nilai OD 0,9169.

Grafik 5. Hubungan Jumlah Sel dengan Total Asam

Berdasarkan grafik, dapat dilihat bahwa hubungan jumlah sel dengan total asam untuk setiap kelompok menghasilkan nilai yang fluktuatif. Untuk kelompok A1, jumlah sel terbanyak diperoleh pada nilai total asam 19,584; sedangkan jumlah sel paling sedikit diperoleh pada nilai total asam 25,344. Untuk kelompok A2, jumlah sel terbanyak diperoleh pada nilai total asam 20,16; sedangkan jumlah sel paling sedikit diperoleh pada nilai total asam 21,312. Untuk kelompok A3, jumlah sel terbanyak diperoleh pada nilai total asam 19,2; sedangkan jumlah sel paling sedikit diperoleh pada nilai total asam 25,152. Untuk kelompok A4, jumlah sel terbanyak diperoleh pada nilai total asam 10; sedangkan jumlah sel paling sedikit diperoleh pada nilai total asam 13. Untuk kelompok A5, jumlah sel terbanyak diperoleh pada nilai total asam 20,16; sedangkan jumlah sel paling sedikit diperoleh pada nilai total asam 23,424.6

2. PEMBAHASAN

Pada praktikum ini, dilakukan percobaan mengenai kinetika fermentasi dalam produksi minuman vinegar. Kinetika ini sangat penting untuk dipelajari karena menjadi dasar bagi proses fermentasi yang terjadi. Hal ini diungkapkan oleh Utami et al (2009) dalam jurnalnya yang berjudul Kinetika Fermentasi Yoghurt Yang Diperkaya Ubi Jalar (Ipomea Batatas) bahwa studi kinetika pertumbuhan dan fermentasi ini perlu untuk lebih memahami setiap proses fermentasi. Kinetika dalam proses fermentasi ini menggambarkan mengenai pertumbuhan dan pembentukan produk oleh suatu mikroorganisme, yang mana mempengaruhi kemampuan respon sel dari mikroorganisme tersebut. Disinilah letak perlunya studi kinetika pertumbuhan dalam proses fermentasi secara rasional.

Fermentasi sendiri merupakan proses pemecahan senyawa gula menjadi karbon dioksida (CO2) dan alkohol yang disebabkan oleh adanya aktivitas mikroorganisme. Hasil dari fermentasi ini akan bergantung pada jenis substrat (bahan pangan) yang digunakan, jenis mikroorganisme, serta proses metabolisme yang terjadi. Pada prinsipnya, semua mikroorganisme akan menggunakan unsur karbon (C) sebagai substrat utama, disusul dengan nitrogen (N). Oleh karena itu hampir seluruh bahan pangan yang mengandung karbon dan nitrogen dapat digunakan sebagai substrat dalam proses fermentasi (Winarno et al, 1980).

Pada praktikum ini, sampel yang digunakan untuk percobaan adalah sari apel (cider apel) yang diberi penambahan yeast Saccharomyces cereviceae. Cider sendiri merupakan minuman hasil fermentasi sari buah atau bahan lain yang mengandung pati, dengan atau tanpa penambahan gula oleh sel yeast atau khamir. Cider ini memiliki kadar alkohol yang tidak terlalu tinggi (Ranganna, 1978). Secara umum, hampir semua jenis buat dapat dijadikan cider, asal jumlah gula yang terkandung mencukupi. Pada praktikum ini sari apel mengalami proses fermentasi dimana ragi (yeast) yang ditambahkan ini mengubah gula yang terkandung di dalam apel menjadi etil alkohol dan karbon dioksida. Proses pemecahan gula ini terjadi dalam 2 tahap. Pertama, yeast akan mengubah gula menjadi alkohol, lalu yang kedua bakteri asam laktat akan mengubah 7

asam malat menjadi karbon dioksida (Realita & Debby, 2010). Reaksi yang terjadi selama proses fermentasi adalah:C6H12O62 C2H5OH + 2 CO2(karbohidrat)(yeast)(alkohol) (gas) (Rahman, 1992).

Cider apel yang digunakan kemudian ditambahkan dengan yeast untuk memfermentasi cider apel. Yeast merupakan organisme eukariotik yang tidak membentuk spora aseksual dan bersifat sebagai sel tunggal selama terjadi siklus pertumbuhan vegetatif. Pertumbuhan dari yeast berawal dari periode ekspansi, yaitu peningkatan volume (Cooney et al, 1981). Yeast memperbanyak diri dengan cara budding (memecah diri menjadi sel baru) dan tumbuh dengan mengkonsumsi gula dan mengubahnya menjadi energi. Proses konsumsi gula oleh yeast ini akan memberikan hasil samping berupa CO2 serta alkohol (Chu, 2007). Yeast ini memilki enzim yang dapat menghidrolisa sukrosa dan maltosa, namun tidak dapat memecah pati menjadi residu glukosanya (Matz, 1992). Yeast sendiri memiliki banyak kelebihan dalam proses fermentasi, misalnya dapat memberikan rasa dan aroma yang khas, serta mampu menahan pelepasan gas agar berlangsung dalam jangka waktu yang lebih lama (Bennion & Hughes, 1970).

Jenis yeast yang digunakan dalam praktikum ini adalah Saccharomyces cereviceae. Saccharomyces cereviceae ini memiliki karakteristik hidup bergerombol, menghasilkan budding, tumbuh dengan cepat pada suhu 20C, memiliki diameter 5-10 m, serta selnya mengapung pada permukaan (Fardiaz, 1992). Menurut Rehm & Reed (1983), Saccharomyces cereviceae biasa ditumbuhkan dalam suatu fermentasi aerobik dengan metode fed batch dan dengan pH lingkungan berkisar antara 4-5. Saccharomyces cereviceae ini juga sering dikomersialkan dan dikenal sebagai bakers yeast. Campelo & Isabel (2004) menambahkan bahwa Saccharomyces cereviceae ini dalam kondisi yang sangat aerob dapat memaksimalkan pertumbuhan sel. Faktor yang mempengaruhi kapasitas fermentasi dari Saccharomyces cereviceae adalah tekanan osmotik dan kandungan karbon dan nitrogen. Bhusan & Joshi (2006) dalam jurnalnya yang berjudul Bakers Yeast Production Under Fed Batch Culture from Apple Pomace menambahkan bahwa proses fermentasi dari bakers yeast akan sangat dipengaruhi oleh tipe dan konsentrasi sumber karbon, oksigen terlarut saat proses agitasi, pH dan suhu.

2.1. Cara Kerja2.1.1. Pengukuran Biomassa dengan HaemocytometerProses pengukuran biomassa pada praktikum ini menggunakan alat yang disebut dengan Haemocytometer. Haemocytometer ini merupakan suatu alat yang berfungsi untuk menghitung sel secara cepat dengan konsentrasi sel yang rendah. Haemocytometer ini memiliki 2 bagian ruang dimana setiap ruangnya terdapat garis mikroskopis yang sudah tergores pada permukaan kacanya. Lebar dan kedalaman garis mikroskopis tersebut sudah diketahui dengan pasti sehingga alat ini cukup teliti untuk mengukur jumlah biomassa. Apabila dilihat dengan menggunakan mikroskop, Haemocytometer terbagi menjadi 9 kotak besar yang dibatasi dengan 3 garis di setiap sisinya. Di dalam masing-masing 9 kotak tersebut terdapat 16 kotak kecil. Jumlah sel yang dihitung adalah sel yang terdapat pada 4 kotak besar yang saling berdekatan (Chen & Pei, 2011).

21

43

Gambar 1. Kotak pada Haemocytometer

Langkah kerja yang dilakukan pada pengukuran ini adalah pertama-tama sebanyak 250 ml media pertumbuhan yang telah disterilisasi disiapkan, lalu 30 ml biakan yeast yang telah tersedia diambil (pengambilan secara akurat menggunakan pipet ukur) dan dimasukkan ke dalam media pertumbuhan secara aseptis. Setelah itu dilakukan inkubasi dengan perlakuan shaker atau dengan penggoyangan. Inkubasi ini dilakukan pada suhu ruang (25-30C) selama 5 hari, dan setiap 24 jam dilakukan pengambilan sampel sebanyak 10 ml secara aseptis untuk mengetahui tingkat pertumbuhan sel yeast. Selanjutnya dilakukan pengujian tingkat kepadatan Saccharomyces cereviceae (N0) dengan menggunakan Haemocytometer. Apabila sampel terlalu keruh, dapat dilakukan pengenceran. Pengamatan dan nilai dari N0, N24, N48, N72, dan N96 ditentukan dengan menggunakan teknik kepadatan sel. Faktor pengenceran yang digunakan juga diperhatikan dan diperhitungkan. Terakhir, dibuat suatu grafik yang menggambarkan pertumbuhan yeast selama fermentasi berjalan.

Pada percobaan ini dilakukan perlakuan shaker yang bertujuan untuk membantu proses fermentasi, terutama dalam memberikan supply oksigen pada media dan mikroba yang ditumbuhkan. Hal ini sesuai dengan teori dari Said (1987) yang menyatakan bahwa proses shaker akan mensuplai oksigen pada media dan membantu pertumbuhan mikroba secara aerobik. Dengan adanya proses shaker yang meningkatkan pasokan oksigen, jumlah sel mikroba di dalam kultur akan semakin meningkat. Adanya supply oksigen ini juga sangat tepat untuk menunjang pertumbuhan yeast yang digunakan, seperti diungkapkan oleh Winarno et al (1980) bahwa Saccharomyces cereviceae akan tumbuh baik pada kondisi aerob.

Stanburry & Whittaker (1984) menambahkan bahwa proses pengadukan atau shaker ini memiliki tujuan untuk memperkecil ukuran dari gelembung udara sehingga diperoleh area yang lebih besar untuk transfer oksigen dan mengurangi terjadinya difusi. Kecepatan putaran selama proses shaker berlangsung perlu dijaga karena gerakan berputar ini akan menyebabkan media bergerak sehingga terjadi aerasi. Kecepatan putaran perlu diatur agar kondisi lingkungan yang terbentuk dalam media dapat stabil. Selama proses shaker berlangsung juga erlenmeyer ditutup dengan menggunakan aluminium foil yang bertujuan agar proses berlangsung dengan steril. Hal ini sesuai dengan teori dari Rahman (1992) yang menyatakan bahwa labu yang diletakkan di atas alat shaker harus ditutup agar udara dari luar tidak masuk ke dalam labu sehingga sterilitas media dapat terjaga.

Inkubasi dengan shaker pada saat praktikum dilakukan pada suhu ruang (25-30C) karena suhu ruang merupakan suhu yang baik untuk yeast dapat tumbuh. Hal ini sesuai dengan teori dari Fardiaz (1992) yang menyatakan bahwa suhu pertumbuhan pada kebanyakan khamir (yeast) pada umumnya hampir sama dengan kapang, yaitu 25-30C, yang mana merupakan suhu optimum untuk tumbuh. Sedangkan suhu maksimum yeast masih dapat tumbuh adalah pada suhu 37-47C.

Pada pengukuran dengan Haemocytometer juga dapat dilakukan pengenceran apabila sari apel yang dihasilkan terlalu keruh. Hal ini bertujuan untuk memudahkan pengamatan, seperti yang diungkapkan oleh Fardiaz (1992) proses pengenceran dilakukan untuk mempermudah penghitungan jumlah mikroorganisme. Pengenceran dilakukan dengan mengambil sampel sebanyak 1 ml yang kemudian ditambahkan dengan 9 ml aquades, lalu di-vortex. Jumlah sel yang terhitung kemudian dikalikan dengan bilangan 10.

2.1.2. Penentuan Hubungan Absorbansi Dengan Kepadatan SelLangkah kerja yang dilakukan pada pengukuran absorbansi adalah pertama-tama kultur yeast yang telah dibiakan diambil sebanyak 30 ml. Kemudian dilakukan penentuan Optical Density (OD) dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 660 nm. Pengamatan dilakukan selama 5 hari, dan nilai OD yang dihasilkan ini dicatat lalu dibandingkan dengan hasil pengamatan kepadatan sel. Terakhir dibuat grafik yang menunjukkan hubungan OD dengan kepadatan sel.

Penentuan panjang gelombang untuk mengukur absorbansi tidak boleh sembarangan. Ewing (1976) mengatakan bahwa dalam analisa dengan spektrofotometer, panjang gelombang yang digunakan perlu disesuaikan dengan kemampuan larutan yang diujikan dalam mengabsorbsi energi radiasi pada panjang gelombang yang ditentukan. Pada praktikum ini, panjang gelombang yang digunakan adalah 660 nm. Hal ini sudah sesuai dengan teori dari Sevda & Rodrigues (2011) dalam jurnalnya yang berjudul Fermentative Behavior of Saccharomyces Strains During Guava (Psidium Guajava L) Must Fermentation and Optimization of Guava Wine Production. menyatakan bahwa pengukuran absorbansi (optical density) untuk Saccharomyces cereviceae dilakukan pada panjang gelombang 660 nm.

2.1.3. Pengukuran pH Minuman VinegarPada pengukuran pH cider apel, langkah yang dilakukan adalah larutan sampel diambil sebanyak 10 ml. Setelah itu sampel diukur dengan menggunakan pH meter. Terakhir hasil pH yang terukur dicatat.

2.1.4. Pengukuran Total Asam Selama FermentasiPada pengukuran total asam pada cider apel, langkah yang dilakukan adalah dengan menggunakan metode titrasi. Pertama-tama, sebanyak 10 ml sampel ditetesi dengan 3 tetes PP, lalu dititrasi dengan NaOH 0,1 N. Titrasi dihentikan apabila larutan sampel berubah menjadi warna merah muda. Setelah itu, kadar total titrasi ditentukan dengan rumus:

Pengukuran asam ini dilakukan bersamaan waktunya dengan pengukuran biomassa. Selanjutnya dibuat analisis kadar total asam sitrat selama fermentasi, dan analisis hubungan total biomassa dan kadar asam.

Pada proses titrasi ini digunakan NaOH sebagai titran. Hal ini didukung oleh teori dari Petrucci & Suminar (1987) yang menyatakan bahwa titrasi yang dilakukan dengan menggunakan larutan standar dapat dipakai untuk mengetahui kadar zat terlarut maupun proses netralisasi. Titrasi ini biasanya menggunakan larutan asam kuat atau basa kuat. Pada titrasi ini dilakukan penambahan 3 tetes PP yang berperan sebagai indikator. Hal ini sesuai dengan teori dari Chang (1991) yang menyatakan bahwa penggunaan PP sebagai indikator juga disebabkan karena titran yang digunakan adalah NaOH yang bersifat basa, sebab PP tidak berwarna dalam asam dan larutan netral. Namun akan berwarna merah muda pada larutan basa.

2.2. Pembahasan HasilBerdasarkan hasil pengujian, dapat dilihat bahwa hasil yang diperoleh setiap kelompok menunjukkan hasil yang berbeda-beda meskipun jenis perlakuan yang dilakukan sama, yaitu sari apel + Saccharomyces cereviceae. Pada kelompok A1, dapat dilihat bahwa nilai rata-rata/ mo tiap cc dan OD dari waktu N0 hingga N96 mengalami peningkatan; sedangkan nilai pH dari waktu N0 hingga N96 berkisar antara 2,88-3,18 dan menunjukkan hasil yang fluktuatif; lalu nilai total asam yang dihasilkan mengalami penurunan. Pada kelompok A2, dapat dilihat bahwa nilai rata-rata/ mo tiap cc dari waktu N0 hingga N96 mengalami peningkatan; sedangkan nilai pH dari waktu N0 hingga N96 berkisar antara 2,88-3,16 dan menunjukkan hasil yang fluktuatif; begitu pula dengan nilai OD dan total asam yang diperoleh juga menghasilkan nilai yang fluktuatif. Pada kelompok A3, dapat dilihat bahwa baik nilai rata-rata/ mo tiap cc, OD, pH, dan total asam yang diperoleh dari waktu N0 hingga N96 menunjukkan hasil yang fluktuatif. Pada kelompok A4, dapat dilihat bahwa nilai rata-rata/ mo tiap cc dari waktu N0 hingga N96 mengalami peningkatan; sedangkan nilai pH dari waktu N0 hingga N96 berkisar antara 2,88-3,24 dan menunjukkan hasil yang fluktuatif; begitu pula dengan nilai OD dan total asam yang diperoleh juga menghasilkan nilai yang fluktuatif. Pada kelompok A5, dapat dilihat bahwa nilai rata-rata/ mo tiap cc dari waktu N0 hingga N96 mengalami peningkatan; sedangkan nilai pH dari waktu N0 hingga N96 berkisar antara 2,88-3,26 dan menunjukkan hasil yang fluktuatif; begitu pula dengan nilai OD dan total asam yang diperoleh juga menghasilkan nilai yang fluktuatif.

2.2.1. Optical Density (OD) dengan WaktuBerdasarkan hasil pengamatan, diperoleh hasil hubungan optical density (OD) dengan waktu untuk setiap kelompok memiliki hasil yang berbeda-beda. Untuk kelompok A1 dan A2, nilai OD akan mengalami penurunan pada N24, lalu mengalami peningkatan hingga N96. Untuk kelompok A3, nilai OD mengalami penurunan pada N24 lalu meningkat hingga N72, lalu mengalami penurunan kembali pada N96. Untuk kelompok A4, nilai OD mengalami peningkatan hingga N48, lalu mengalami penurunan hingga N96. Untuk kelompok A5, nilai OD mengalami penurunan hingga N48, lalu meningkat pada N72 dan mengalami penurunan kembali pada N96.

2.2.2. Jumlah Sel dengan WaktuBerdasarkan hasil pengamatan, diperoleh hasil bahwa hubungan jumlah sel dengan waktu untuk setiap kelompok memiliki hasil yang berbeda-beda. Untuk kelompok A1, jumlah sel yang diperoleh mengalami peningkatan dari N0 hingga mencapai N96. Untuk kelompok A2, jumlah sel mengalami penurunan pada N24, lalu mengalami peningkatan hingga N96. Untuk kelompok A3, jumlah sel mangalami peningkatan hingga N48, lalu mengalami penurunan hingga N96. Untuk kelompok A4 dan A5, jumlah sel juga mengalami meningkatan mulai dari N0 hingga N96.

2.2.3. Jumlah Sel dengan Optical Density (OD) (Foto Terlampir)Berdasarkan hasil pengamatan, diperoleh hasil bahwa hubungan jumlah sel dengan optical density (OD) untuk setiap kelompok menghasilkan nilai yang fluktuatif. Untuk kelompok A1, jumlah sel terbanyak diperoleh pada nilai OD 1,4708; sedangkan jumlah sel paling sedikit diperoleh pada nilai OD 0,5295. Untuk kelompok A2, jumlah sel terbanyak diperoleh pada nilai OD 1,4137; sedangkan jumlah sel paling sedikit diperoleh pada nilai OD 0,6779. Untuk kelompok A3, jumlah sel terbanyak diperoleh pada nilai OD 1,0059; sedangkan jumlah sel paling sedikit diperoleh pada nilai OD 0,8241. Untuk kelompok A4, jumlah sel terbanyak diperoleh pada nilai OD 0,9169; sedangkan jumlah sel paling sedikit diperoleh pada nilai OD 0,7778. Untuk kelompok A5, jumlah sel terbanyak diperoleh pada nilai OD 1,2487; sedangkan jumlah sel paling sedikit diperoleh pada nilai OD 0,9169.

2.2.4. Hubungan Antara Jumlah Sel, Waktu, dan Optical Density (OD)Berdasarkan ketiga hasil diatas, dapat kita lihat bahwa rata-rata terjadi fluktuasi hasil dan hasil yang diperoleh setiap kelompok tidak menentu. Hal ini kurang sesuai dengan teori yang ada. Sebenarnya, apabila kita ingin menganalisis hubungan antara jumlah sel, waktu, dan Optical Density (OD), kita tidak dapat memisahkan ketiganya karena saling berkaitan satu sama lain.

Dalam pengujian dengan spektrofotometer, jumlah sel mikroorganisme tersebut ditunjukkan dengan adanya kekeruhan pada larutan. Semakin banyak jumlah sel mikroorganisme dalam larutan yang diuji, maka larutan akan semakin keruh dan nilai Optical Density (OD)-nya akan semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan teori dari Hadioetomo (1993) yang menyatakan bahwa kekeruhan pada larutan mengindikasikan adanya mikroorganisme yang tumbuh. Apabila jumlah mikroorganisme meningkat akant menyebabkan tingkat kekeruhan larutan meningkat yang mana akan menyebabkan nilai OD-nya juga meningkat. Hal itu juga didukung oleh Anagnostopoulos et al (2010) dalam jurnalnya yang berjudul Effect of Growth Conditions on Biosorption of Cadmium and Copper by Yeast Cells, menyatakan bahwa semakin tinggi jumlah sel/cc maka kekeruhannya akan meningkat. Pelezar & Chan (1986) juga menambahkan bahwa semakin banyak massa sel yang ada dalam suspensi maka sinar yang dihamburkan akan semakin banyak sehingga nilai OD semakin tinggi.

Kemudian sel mikroorganisme tersebut memiliki beberapa fase di dalam pertumbuhannya, yaitu fase lag, log, stasioner, dan death. Mikroorganisme tertentu apabila berada di dalam fase yang berbeda tentu saja jumlah sel yang dihasilkan akan berbeda, misalnya pada fase log, jumlah sel mikroorganisme akan meningkat secara drastis. Seiring terjadinya peningkatan sel mikroorganisme tersebut, maka nilai OD yang diperoleh semakin tinggi pula. Permisalan kedua adalah apabila fase pertumbuhan mikroorganisme mencapai fase stasioner, maka jumlah sel mikroorganisme akan mengalami penurunan sehingga nilai OD yang diperoleh juga akan semakin kecil. Hal ini sesuai dengan teori dari Mahreni & Sri (2011) yang mengatakan bahwa fase pertumbuhan suatu sel mikroorganisme dapat dibagi menjadi fase lag (pertubuhan sama dengan nol), fase percepatan pertumbuhan atau log (pertumbuhan cepat mengikuti kurva eksponensial), fase stagnan (kecepatan pertumbuhan tetap), dan fase kematian (pertumbuhan semakin lambat dan sebagian sel mati).

Analisis hubungan diatas juga didukung oleh Laily et al (2004) yang berkata bahwa hubungan antara OD dengan pengukuran kepadatan sel adalah nilai OD dapat menunjukkan terjadinya suatu fase pertumbuhan bakteri dengan sangat jelas. Nilai OD akan stabil ketika fase pertumbuhan berada pada fase adaptasi. Ketika fase pertumbuhan memasuki fase eksponensial, maka akan terjadi peningkatan kekeruhan karena adanya penambahan jumlah sel bakteri. Apabila fase pertumbuhan memasuki fase stasioner, maka nilai kekeruhan akan menurun drastis karena adanya penurunan bobot biomassa.Waktu fermentasi juga tidak serta merta menentukan fase pertumbuhan yang terjadi pada mikroorganisme. Tidak semua mikroorganisme memiliki periode yang sama dalam setiap fase pertumbuhannya. Ada mikroorganisme yang memiliki periode fase lag yang lama, atau fase log yang lama. Terdapat banyak faktor yang akan mempengaruhi lama atau tidaknya suatu fase terjadi dalam pertumbuhan mikroorganisme, misalnya menurut Arroyo-Lopez et al (2009) dalam jurnalnya yang berjudul Effects of Temperature, pH, and Sugar Concentration on The Growth Parameters of Saccharomyces cereviceae, S. kudriavzevii and Their Interspecific Hybrid mengatakan bahwa untuk pertumbuhan Saccharomyces cereviceae sendiri akan dipengaruhi oleh suhu, pH, dan nutrient, terutama gula. Nutrient disini menjadi salah satu faktor yang paling penting ketika menentukan suatu fase pertumbuhan karena apabila nutrient dalam media habis, maka fase pertumbuhan akan langsung memasuki fase stasioner karena nutrisinya sudah habis terpakai. Hal ini didukung oleh Stanburry & Whittaker (1984) yang menyatakan bahwa apabila media sudah tidak tersedia, maka yeast akan mengalami kematian dan jumlahnya akan mengalami penurunan. Yeast yang mati ini kemudian dapat menjadi sumber nutrisi yang baru bagi yeast yang masih bertahan sehingga jumlahnya kembali mengalami peningkatan. Terjadinya penurunan jumlah sel yang terukur juga dapat disebabkan yeast baru mencapai tahan adaptasi.

Diperolehnya hasil yang berfluktuasi ini dapat disebabkan terjadinya kesalahan-kesalahan dalam melakukan percobaan atau pengukuran dengan Haemocytometer, atau kurang aseptisnya percobaan yang dilakukan sehingga jumlah sel yang terukur dalam Haemocytometer tidak hanya sel Saccharomyces cerevieae saja, tetapi ada bakteri kontaminan lain. Hal ini didukung oleh Atlas (1984) yang menyatakan bahwa keakuratan penghitungan secara manual dengan menggunakan Haemocytometer akan bergantung pada keakuratan pencampuran sampel (tanpa gelembung), jumlah atau bilik yang dihitung, dan jumlah sel yang dihitung (200-500/0,1 mm3). Selain itu juga dapat disebabkan terjadinya kesalahan dalam pengukuran absorbansi.

2.2.5. Hubungan Jumlah Sel dengan pHBerdasarkan hasil pengamatan, diperoleh hasil bahwa hubungan jumlah sel dengan pH untuk setiap kelompok menghasilkan nilai yang fluktuatif. Untuk kelompok A1, jumlah sel terbanyak diperoleh pada nilai pH 2,91; sedangkan jumlah sel paling sedikit diperoleh pada nilai pH 2,90. Untuk kelompok A2, jumlah sel terbanyak diperoleh pada nilai pH 3,07; sedangkan jumlah sel paling sedikit diperoleh pada nilai pH 2,88. Untuk kelompok A3, jumlah sel terbanyak diperoleh pada nilai pH 2,99; sedangkan jumlah sel paling sedikit diperoleh pada nilai pH 2,90. Untuk kelompok A4, jumlah sel terbanyak diperoleh pada nilai pH 3,24; sedangkan jumlah sel paling sedikit diperoleh pada nilai pH 2,96. Untuk kelompok A5, jumlah sel terbanyak diperoleh pada nilai pH 3,21; sedangkan jumlah sel paling sedikit diperoleh pada nilai pH 2,93.

Hasil pengamatan yang mengenai hubungan pH dan jumlah sel ini menghasilkan hasil pH yang berkisar diantara 2,86-3,26. Nilai pH yang terukur pada cider apel ini bukan merupakan range pH yang optimum bagi Saccharomyces cereviceae untuk tumbuh, sehingga jumlah sel mikroorganisme yang dihasilkan akan bergantung pada nilai pH-nya juga. Hal ini didukung oleh teori dari Roukas (1994) yang mengatakan bahwa kisaran pertumbuhan Saccharomyces cereviceae adalah pada pH 3,5-6,5. Hasil pengamatan yang mengenai hubungan pH dengan jumlah sel juga memberikan hasil yang fluktuatif, padahal seharusnya semakin banyak jumlah sel mikroorganisme dan semakin lama waktu fermentasi, maka pH-nya akan semakin rendah. Hal ini disebabkan karena selama fermentasi akan dihasilkan alkohol dimana semakin banyak alkohol, maka pH yang dihasilkan akan semakin rendah. Semakin banyak jumlah sel Saccharomyces cereviceae, maka alkohol yang dihasilkan juga akan semakin banyak

Hal ini didukung oleh Azizah (2012) melalui jurnalnya yang berjudul Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kadar Alkohol, pH, dan Produksi Gas Pada Proses Fermentasi Bioetanol dari Whey dengan Substrat Kulit Nanas yang menyatakan bahwa Saccharomyces cereviceae bersifat homofermentatif, sehingga proses fermentasi akan menghasilkan alkohol. Alkohol ini bersifat asam sehingga ketika waktu fermentasi ditambah, maka akan semakin banyak alkohol yang terbentuk. Kondisi ini menyebabkan pH substrat semakin rendah. Di dalam proses fermentasi yeast juga tidak hanya dihasilkan alkohol saja, tetapi menghasilkan hasil samping (by product) berupa gas CO2. Seiring meningkatnya waktu fermentasi, maka produksi gas CO2 juga semakin bertambah meskipun tidak signifikan. Peningkatan produksi gas ini diikuti dengan penurunan nilai pH. Kartohardjono et al (2007) dalam jurnalnya yang berjudul Absorbsi CO2 dari campurannya dengan CH4 atau N2 melalui kontaktor membran serat berongga menggunakan pelarut air menambahkan bahwa gas CO2 sering disebut gas asam (acid whey) karena memiliki sifat yang asam. Oleh karena itu gas CO2 juga berkontribusi terhadap nilai pH.

2.2.6. Hubungan Jumlah Sel dengan Total AsamBerdasarkan hasil pengamatan, diperoleh hasil bahwa hubungan jumlah sel dengan total asam untuk setiap kelompok menghasilkan nilai yang fluktuatif. Untuk kelompok A1, jumlah sel terbanyak diperoleh pada nilai total asam 19,584; sedangkan jumlah sel paling sedikit diperoleh pada nilai total asam 25,344. Untuk kelompok A2, jumlah sel terbanyak diperoleh pada nilai total asam 20,16; sedangkan jumlah sel paling sedikit diperoleh pada nilai total asam 21,312. Untuk kelompok A3, jumlah sel terbanyak diperoleh pada nilai total asam 19,2; sedangkan jumlah sel paling sedikit diperoleh pada nilai total asam 25,152. Untuk kelompok A4, jumlah sel terbanyak diperoleh pada nilai total asam 10; sedangkan jumlah sel paling sedikit diperoleh pada nilai total asam 13. Untuk kelompok A5, jumlah sel terbanyak diperoleh pada nilai total asam 20,16; sedangkan jumlah sel paling sedikit diperoleh pada nilai total asam 23,424.

Hasil penelitian mengenai jumlah total asam pada praktikum ini juga memberikan hasil yang fluktuatif, padahal seharusnya semakin lama waktu fermentasi berlangsung, maka total asam yang dihasilkan akan semakin tinggi. Hal ini didukung oleh teori dari Sreeramulu et al (2000) yang menyatakan bahwa semakin lama waktu fermentasi, maka nilai pH yang dihasilkan akan semakin rendah karena selama fermentasi akan dihasilkan asam-asam organik. Asam-asam organik yang terlarut akan melepaskan proton (H+) sehingga akan menurunkan pH. Selama proses fermentasi, yeast akan melakukan metabolism terhadap gula dan mengasilkan sejumlah asam-asam organik.

Diperolehnya beberapa hasil pengamatan yang kurang sesuai dengan teori ini dapat disebabkan selama melakukan percobaan, terjadi beberapa kesalahan atau prosedur percobaan yang dilakukan tidak sesuai, misalnya kesalahan dalam pengukuran pH menggunakan pH meter, atau terjadinya perbedaan praktikan yang melakukan titrasi sehingga definisi penentuan apakah titik akhir titrasi sudah tercapai atau belum akan berbeda-beda. Hal ini menyebabkan jumlah total asam yang dihasilkan juga berbeda. Hal ini didukung oleh teori dari Girindra (1986) yang menyatakan bahwa ketika dilakukan titrasi, bagian bawah erlenmeyer tidak dialasi oleh kertas putih, sehingga terjadinya perubahan warna tidak terlihat dengan jelas.18

3. KESIMPULAN

Kinetika dalam proses fermentasi menggambarkan pertumbuhan dan pembentukan produk oleh suatu mikroorganisme. Fermentasi merupakan proses pemecahan senyawa gula menjadi karbon dioksida (CO2) dan alkohol yang disebabkan oleh adanya aktivitas mikroorganisme. Sampel yang digunakan pada praktikum ini adalah cider apel. Jenis yeast yang digunakan pada praktikum ini adalah Saccharomyces cereviceae. Pengukuran biomassa menggunakan alat Haemocytometer. Perlakuan shaker bertujuan untuk meningkatkan supply oksigen, sehingga jumlah sel mikroba di dalam kultur akan semakin meningkat. Inkubasi dengan shaker dilakukan pada suhu ruang (25-30C) karena suhu ruang merupakan suhu yang baik untuk yeast dapat tumbuh. Pengenceran bertujuan untuk mempermudah penghitungan jumlah mikroorganisme. Pengukuran Optical Density (OD) menggunakan panjang gelombang 660 nm. Pengukuran pH dilakukan menggunakan alat pH meter. Pengukuran total asam dilakukan adalah dengan menggunakan metode titrasi. Fase pertumbuhan suatu sel mikroorganisme dibagi menjadi fase lag, fase log, fase stagnan, dan fase kematian. Mikroorganisme apabila berada di dalam fase yang berbeda akan memiliki jumlah sel yang berbeda. Hubungan antara OD dengan pengukuran kepadatan sel adalah nilai OD dapat menunjukkan terjadinya suatu fase pertumbuhan bakteri dengan sangat jelas. Semakin banyak jumlah sel mikroorganisme dalam larutan yang diuji, maka larutan akan semakin keruh dan nilai Optical Density (OD)-nya akan semakin tinggi. pH optimum untuk pertumbuhan Saccharomyces cereviceae adalah 3,5-6,5. Semakin banyak jumlah sel mikroorganisme dan semakin lama waktu fermentasi, maka pH-nya akan semakin rendah karena ada pembentukan alkohol. Semakin banyak jumlah sel Saccharomyces cereviceae, maka alkohol yang dihasilkan akan semakin banyak.

19

Semakin lama waktu fermentasi, maka nilai total asam akan semakin tinggi karena selama fermentasi akan dihasilkan asam-asam organik.

Semarang, 30 Mei 2014Asisten dosen: Stella Mariss Meilisa Lelyana Katharina Nerissa Chrysentia Archinitta Andriani CintyaIvan Septian P20

11.70.0129

4. DAFTAR PUSTAKA

Anagnostopoulos, V.A.; Symeopoulos, B.D. and Soupioni, M.J. 2010. Effect of Growth Conditions on Biosorption of Cadmium and Copper by Yeast Cells. Global NEST Journal, Vol 12 (3) pp 288-295.

Arroyo-Lopez, F.N.; Orlic, S.; Querol, A.; and Barrio, E. 2009. Effects of Temperature, pH, and Sugar Concentration on The Growth Parameters of Saccharomyces cereviceae, S. kudriavzevii and Their Interspecific Hybrid. International Journal of Food Microbiology 131: 120-127.

Atlas, R.M. 1984. Microbiology Fundamental and Applications. Mac Millard Publishing Company. New York.

Azizah, N.; Al-Baarri, N. dan Mulyani, S. 2012. Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kadar Alkohol, pH, dan Produksi Gas Pada Proses Fermentasi Bioetanol dari Whey dengan Substrat Kulit Nanas. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 1 (2): 72-77.

Bennion, M & O, Hughes. 1970. Introductory Foods 6th Edition. Collier Macmillan Publisher. London.

Bhushan, S. and Joshi, V.K. 2006. Bakers Yeast Production under Fed Batch Culture from Apple Pomace. Journal of Scientific & Industrial Research. Vol 65, pp 72-76.

Campelo, A.F. and Isabel, B. 2004. Fermentative Capacity of Bakers Yeast Exposed to Hyperbaric Stress.

Chang, R. 1991. Chemistry. MC Graw Hill. USA.

Chen, Y.W. and Pei, J.C. 2011. Automatic Cell Counting for Hemocytometers through Image Processing. World Academy of Science, Engineering and Technology.

Chu, M. 2007. Kitchen Notes: Bakers. http://www.cookingforengineers.com/article_ 2004.php?id=213. Diakses tanggal 26 Mei 2014.

Cooney, C.L.; Rehm, H.J. and Reed, G. 1981. Biotechnology volume 1. VCH. Weinheim

Ewing, G.W. 1976. Instrumental Methods of Chemical Analysis. Mc Growhill Book Company. USA.

21

Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Girindra, A. 1986. Biokimia 1. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Hadioetomo, R. S. 1993. Mikobiologi Dasar dalam Praktek, Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Kartohardjono, S.; Anggara; Subihi; dan Yuliusman. 2007. Absorbsi CO2 dari campurannya dengan CH4 atau N2 melalui kontaktor membran serat berongga menggunakan pelarut air. Jurnal Teknologi 11 (2): 97-102.

Laily, N.; Atariansah, D.; Nuraini, S.; Istini, I.; Susanti, dan Hartono, L. 2004. Kinetika Fermentasi Produksi Selulosa Bakteri oleh Acetobacter pasterianum pada Kultur Kocok.

Mahreni dan Sri, S. 2011. Kinetika Pertumbuhan Sel Sacharomyces cerevisiae dalam Media Tepung Kulit Pisang. Seminar Rekayasa Kimia dan Proses. ISSN:1411-4216.

Matz, S.A. 1992. Bakery Technology and Engineering, 3th edition. Van Nostrand Reinhold. New York.

Pelezar, M.J. and Chan, E.C.S. 1976. Turbidimetric Measurement of Plant Cell Culture Growth. Massachussets : MIT.Petrucci, R.H. dan Suminar. 1987. Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern Edisi Keempat Jilid 1. Erlangga. Jakarta.

Rahman, A. 1992. Teknologi Fermentasi. Penerbit Arcan. Jakarta.

Ranganna. 1978. Analysis of Fruit and Vegetable Product. The AVI Publ. Co. Inc.

Realita, T. dan Debby, M.S. 2010. Teknologi Fermentasi. Penerbit: Widya Padjajaran. Bandung.

Rehm and Reed, G. 1983. Food and Feed Production with Microorganisms Volume 5. Weinheim Deerfield Beach. Florida.

Roukas, T. 1994. Continous ethanol productions from carob pod extract by immobilized Saccharomyces cereviseae in a packed bed reactor. Journal Chemical Technology Biotech. 59: 387-393.

Said, E.G. 1987. Bioindustri: Penerapan Teknologi Fermentasi. PT. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta.

Sevda, S. and Rodrigues, L. 2011. Fermentative Behavior of Saccharomyces Strains During Guava (Psidium Guajava L) Must Fermentation and Optimization of Guava Wine Production. Journal Food Process Technology 2:4.

Sreeramulu, G.; Zhu, Y.; and Knol, W. 2000. Kombucha Fermentation and Its Antimikrobial Activity. Journal Agriculture Food Chemistry. 886 (2000) 6573.

Stanburry, P.F. and Whittaker. 1984. Principles of Fermentation Technology. Pergamon Press. New York.

Utami, R.; Andriani, M.A.M.; dan Putri, Z.A. 2009. Kinetika Fermentasi Yoghurt Yang Diperkaya Ubi Jalar (Ipomea Batatas). fp.uns.ac.id/jurnal/caraka%20XXV_1-51-55.pdf

Winarno, F.G.; Fardiaz, S. dan Fardiaz, D. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.23

5. LAMPIRAN

5.1. Perhitungan Kelompok A45.1.1. Jumlah Sel

= 0,00025 mm= 0,00000025 cc

N0

= 5 x 107 N24

= 175 x 106 N48

= 379 x 106 N96

= 399 x 106 N120

= 455 x 106

5.1.2. Total Asam

N0 Total Asam = = 24,96 mg/ml N24Total Asam = = 21,12 mg/ml

24

N48Total Asam = = 28,8 mg/ml N72Total Asam = = 29,76 mg/ml N96Total Asam = = 19,2 mg/ml

5.2. Foto25

N0

N24

N48

N72

N96

5.3. Laporan Sementara5.4. Abstrak Jurnal5.5. Report Viper