29
28 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan selama penelitian diperoleh data utama yaitu : waktu laten pemijahan, fekunditas, diameter telur, derajat pembuahan, derajat penetasan, survival rate dan kualitas air sebagai parameter pendukung. Data utama yang telah diperoleh sebelum analisis ragam data ( ANOVA), terlebih dahulu diuji normalitas (prosedur Liliefors) dan homogenitas (prosedur Bartlett). Berikut keseluruhan data utama yang diamati dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 6. Hasil pengamatan rerata keseluruhan parameter yang diamati. Perlak uan Parameter Pengamatan Latensi Time (Jam) Fekudit as (Butir) Dameter Telur (mm) Pembuaha n (%) Penetas an (%) SR (%) A 11.68 472175 0.90 90.617 32.30 33.70 B 9.02 440569 1.03 90.98 38.10 31.51 C 8.97 513078 0.83 91.10 34.05 42.88 Sumber : Data primer yang diolah (2014) A. Waktu Laten Waktu laten dihitung mulai dari saat penyuntikan akhir sampai terjadinya pemijahan yang ditandai dengan

IV. Pembahasan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Pembahsan sementara laporan skripsi

Citation preview

Page 1: IV. Pembahasan

28

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengamatan selama penelitian diperoleh data utama yaitu : waktu

laten pemijahan, fekunditas, diameter telur, derajat pembuahan, derajat penetasan,

survival rate dan kualitas air sebagai parameter pendukung.

Data utama yang telah diperoleh sebelum analisis ragam data ( ANOVA),

terlebih dahulu diuji normalitas (prosedur Liliefors) dan homogenitas (prosedur

Bartlett). Berikut keseluruhan data utama yang diamati dapat dilihat pada tabel

berikut ini :

Tabel 6. Hasil pengamatan rerata keseluruhan parameter yang diamati.

PerlakuanParameter Pengamatan

Latensi Time (Jam)

Fekuditas (Butir)

Dameter Telur (mm)

Pembuahan (%)

Penetasan (%)

SR (%)

A 11.68 472175 0.90 90.617 32.30 33.70

B 9.02 440569 1.03 90.98 38.10 31.51

C 8.97 513078 0.83 91.10 34.05 42.88Sumber : Data primer yang diolah (2014)

A. Waktu Laten

Waktu laten dihitung mulai dari saat penyuntikan akhir sampai terjadinya

pemijahan yang ditandai dengan keluarnya telur. Hasil pengamatan rerata waktu

laten dapat dilihat pada Tabel 6 dan Gambar 2.

Secara keseluruhan dari hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa kisaran

rerata waktu laten pemijahan ikan patin dengan pemberian hormon ovaprim yang

berbeda adalah 8.97 jam sampai dengan 11.68 jam. Dari hasil pengamatan dapat

dilihat bahwa waktu laten yang paling singkat terdapat pada perlakuan C (0,7

ml/kg) yaitu 8,97 jam kemudian perlakuan B (0,6 ml/kg) dengan rerata waktu

laten 9,02 jam dan yang paling lambat terdapat pada perlakuan A (0,5 ml/kg)

yaitu 11,68 jam.

Page 2: IV. Pembahasan

29

Gambar 2. Grafik rerata waktu laten ikan patin

Uji normalitas Lilliefors untuk fekunditas telur ikan patin didapatkan nilai

Lmaks lebih kecil dari nilai Ltabel (lampiran), sehingga H0 diterima yang berarti data

menyebar normal. Selanjutnya, pada uji homogenitas Bartlett didapatkan nilai

data X2hitung lebih kecil dari X2

tabel (lampiran), sehingga H0 diterima yang berarti

data homogen.

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (ANOVA) diperoleh data Fhitung

perlakuan lebih besar dari Ftabel (0,05) tetapi lebih kecil dari Ftabel (0,01) yang

berarti bahwa antar perlakuan berpengaruh nyata. Dengan demikian terdapat

perbedaan yang nyata diantara perlakuan atau dengan kata lain perlakuan

berpengaruh nyata terhadap perbedaan dosis penyuntikan ovaprim dengan waktu

laten ikan patin.

Dari ketiga perlakuan semua ikan memijah hal ini dikarenakan semua

induk yang digunakan sudah matang gonad, akan tetapi waktu laten ketiga

perlakuan ini berbeda nyata. Berbeda nyatanya waktu laten di duga karena adanya

perbedaan kandungan gonadotropin dalam tubuh ikan yang dihasilkan dari

pemberian hormon ovaprim. Menurut Fujaya (1999), induk yang disuntik dengan

Page 3: IV. Pembahasan

30

hormon hipofisa, LHRH, dan lain-lain dapat menambah atau meningkatkan

konsentrasi hormon gonadotropin dalam darah sehingga mampu menginduksi

perkembangan telur dan pemijahan.

Ovulasi dipengaruhi oleh kandungan gonadotropin dalam tubuh. Induk

ikan akan mengalami ovulasi ketika kebutuhan hormon gonadotropin tercukupi.

Biasanya keterlambatan waktu ovulasi terjadi karena kebutuhan hormon

gonadotropin belum tercukupi.

Mekanisme yang terjadi dalam ovulasi dan pemijahan, yaitu sinyal

lingkungan diterima oleh sistem syaraf pusat dan diteruskan ke hipotalamus,

sebagai respon, hipotalamus akan melepaskan hormon GnRH (Gonadotropin

Releasing Hormon) yang selanjutnya bekerja pada hipofisis. Pada tahap ini

hipofisis tidak mensekresikan Gonadotropin 1 melainkan Gonadotropin 2 yang

juga bekerja pada lapisan teca 2 di Oosit. Akibat kerja hormon Gonadotropin 17 α

hidrokisil progesterol dan enzim 20 β hidrosterol sebagai missal yang umum pada

ikan. Ada ikan tertentu seperti spotled sea trout menggunakan 17 α 20 β 21

trihidroksi trogesterol. Selanjutnya steroid pemicu pematangan akan merangsang

pembentukan faktor perangsang pematangan yang akan menyebabkan inti telur

bermigrasi kearah mikrofil kemudian melebur. Setelah proses peleburan inti,

lapisan partikel akan pecah dan telur dikeluarkan menuju rongga ovary dalam

proses yang dikenal dengan proses ovulasi. Setelah proses ovulasi, telur telah

dikatakan mencapai kematangan secara fisiologis dan siap dibuahi oleh sperma.

Kemampuan ovulasi ikan sangat berkaitan dengan dosis penyuntikan yang

efektif untuk tiapa spesies. Matty (1985), menjelaskan bahwa penyuntikan

hormon ovaprim bukan untuk merangsang perkembangan gonad, tetapi untuk

Page 4: IV. Pembahasan

31

mempercepat terjadinya ovulasi semakin tinggi dosis yang yang diberikan

semakin cepat waktu pemijahan.

Berpengaruhnya pemberian hormon ovaprim yang berbeda terhadap waktu

laten ikan patin merupakan pembuktian yang sangat penting bahwa dengan

pemberian hormon ovaprim yang berbeda akan mempengaruhi waktu laten

pemijahan ikan patin. Pemberian hormon yang tepat akan mempercepat proses

ovulasi dan pemijahan, akan tetapi dengan dosis yang berlebihan waktu laten

pemijahan ikan patin akan lambat kembali. Hal ini sesuai dengan pendapat

Jansen (1979), bahwa kerja hormon eksterogen bekerja lambat pada konsentrasi

rendah dan terus meningkat sejalan dengan pertambahan konsentrasi sampai

ketitik optimalnya dan kembali berjalan lambat diatas konsentrasi optimumnya.

B. Fekunditas

Fekunditas merupakan jumlah telur yang dapat dihasilkan oleh indukan

ikan dalam satu siklus pemijahan. Dari sejumlah telur yang dihasilkan pada

umumnya tidak semua terbuahi dan tidak semua menetas. Hasil pengamatan rerata

fekunditas dapat dilihat pada Tabel 6 dan Gambar 3.

Berdasarkan data pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa rerata fekunditas ikan

patin berkisar antara 440.569 butir sampai dengan 513.078 butir. Dari hasil

pengamatan dapat dilihat bahwa fekunditas yang paling rendah terdapat pada

perlakuan B (0,6 ml/kg) yaitu 440.569 butir kemudian perlakuan A (0,5 ml/kg)

dengan rerata fekunditas 472.175 butir dan yang paling tinggi terdapat pada

perlakuan C (0,7 ml/kg) yaitu 513.078 butir.

Page 5: IV. Pembahasan

32

Gambar 3. Grafik rerata fekunditas telur ikan patin

Uji normalitas Lilliefors untuk fekunditas telur ikan patin didapatkan nilai

Lmaks lebih kecil dari nilai Ltabel (lampiran), sehingga H0 diterima yang berarti data

menyebar normal. Selanjutnya, pada uji homogenitas Bartlett didapatkan nilai

data X2hitung lebih kecil dari X2

tabel (lampiran), sehingga H0 diterima yang berarti

data homogen.

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (ANOVA) diperoleh data Fhitung

perlakuan lebih kecil dari Ftabel (0,05) dan Ftabel (0,01) yang berarti bahwa antar

perlakuan tidak berpengaruh nyata. Dengan demikian tidak terdapat perbedaan

yang nyata diantara perlakuan atau dengan kata lain perlakuan tidak berpengaruh

nyata terhadap dosis penyuntikan ovaprim terhadap fekunditas ikan patin.

Menurut Fujaya (2004) bahwa fekunditas merupakan salah satu fase yang

menentukan dalam kelangsungan populasi dengan dinamikanya. Berdasarkan

fekunditas ini maka dapat dilakukan penaksiran jumlah anakan yang dihasilkan.

Selanjutnya dikemukakan bahwa di alam, pemijahan (spawning) dipengaruhi oleh

kondisi lingkungan (eksternal), misalnya : hujan, habitat, oksigen terlarut, suhu

dan lain-lain. Kondisi lingkungan ini akan mempengaruhi kontrol endokrin untuk

Page 6: IV. Pembahasan

33

menghasilkan hormon yang mendukung proses perkembangan gonad dan

pemijahan.

Perhitungan fekunditas secara tidak langsung dapat menaksir jumlah

anakan ikan yang dihasilkan dan akan menentukan jumlah ikan dalam kelas umur

yang bersangkutan. Dalam hal ini ada hubungan yang sangat erat dengan strategi

reproduksi dalam rangka mempertahankan kehadiran spesies itu di alam (Effendi,

1997).

Menurut Nurman (1998), bahwa fekunditas dipengaruhi oleh ukuran ikan

(panjang dan berat) dan umur. Ikan yang memiliki ukuran besar cenderung

memiliki fekunditas lebih besar daripada ikan yang berukuran kecil. Selain itu,

nilai fekunditas juga dipengaruhi oleh nilai diameter telur. Makin besar nilai

diameter telur maka, nilai fekunditas akan semakin kecil. Sehingga adanya

perbedaan fekunditas pada setiap perlakuan bukan dipengaruhi oleh dosis ovaprim

yang diberikan. Hal ini sesuai dengan data penelitian bahwa nilai fekunditas yang

kecil mempunyai nilai diameter telur yang lebih besar.

C. Diameter Telur

Telur yang dihasilkan oleh induk memiliki ukuran yang bervariasi. Ukuran

telur dapat dilihat dengan menghitung diameter telur. Hasil pengamatan diameter

telur dapat dilihat pada Tabel 6 dan Gambar 4.

Berdasarkan data pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa rerata diameter telur

ikan patin berkisar antara 0,8 mm sampai dengan 0.9 mm. Dari hasil pengamatan

dapat dilihat bahwa diameter telur yang paling kecil terdapat pada perlakuan B

(0,6 ml/kg) yaitu 440.569 butir kemudian perlakuan A (0,5 ml/kg) dengan rerata

fekunditas 472.175 butir dan yang paling tinggi terdapat pada perlakuan C (0,7

ml/kg) yaitu 513.078 butir.

Page 7: IV. Pembahasan

34

Gambar 4. Grafik diameter telur ikan patin

Uji normalitas Lilliefors untuk diameter telur ikan patin didapatkan nilai

Lmaks lebih kecil dari nilai Ltabel (lampiran), sehingga H0 diterima yang berarti data

menyebar normal. Selanjutnya, pada uji homogenitas Bartlett didapatkan nilai

data X2hitung lebih kecil dari X2

tabel (lampiran), sehingga H0 diterima yang berarti

data homogen.

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (ANOVA) diperoleh data Fhitung

perlakuan lebih kecil dari Ftabel (0,05) dan Ftabel (0,01) yang berarti bahwa antar

perlakuan tidak berpengaruh nyata. Dengan demikian tidak terdapat perbedaan

yang nyata diantara perlakuan atau dengan kata lain perlakuan tidak berpengaruh

nyata terhadap dosis penyuntikan ovaprim terhadap diameter telur ikan patin.

Kualitas telur dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor internal

dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi umur induk, ukuran induk dan

genetika. Faktor eksternal meliputi pakan, suhu, cahaya, kepadatan, dan populasi.

Genetika induk ikan mempengaruhi telur yang dihasilkan. Dua faktor

internal non genetik yang mempengaruhi mutu telur adalah umur induk dan

ukuran. Beberapa penelitian menunjukan bahwa ikan betina memijah pertama kali

Page 8: IV. Pembahasan

35

menghasilkan telur berdiameter kecil. Diameter telur meningkat dengan jelas

ketika pemijahan kedua dan laju peningkatan ini lebih lambat pada pemijahan-

pemijahan selanjutnya.

Menurut Effendi (1997), umumnya pertambahan bobot gonad ikan betina

pada saat stadium matang gonad dapat mencapai 10 – 25% dari bobot tubuh.

Lebih lanjut dikemukakan bahwa semakin meningkat tingkat kematangan gonad,

diameter telur semakin besar.

Berbedanya ukuran diameter telur pada penelitian ini diduga karena

adanya perbedaan jumlah granula kuning telur yang tersedia selama proses

vitelogenin. Hal ini sesuai pendapat Nagahama (1995), bahwa bertambahnya

granula kuning telur dalam jumlah dan ukuran sehingga menyebabkan volume

oosit akan semakin besar sampai pada ukuran maksimum.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa telur yang berukuran besar

menghasilkan kelangsungan hidup yang lebih tinggi. Unus (2009)

mengemukakan bahwa semakin besar ukuran diameter telur akan semakin baik,

karena dalam telur tersebut tersedia makanan cadangan sehingga larva ikan akan

bertahan lama. Larva yang berasal dari telur yang besar memiliki keuntungan

karena memiliki cadangan kuning telur yang lebih banyak sebagai sumber energi

sebelum memperoleh makanan dari luar. Ukuran diameter telur dapat menetukan

kualitas yang berhubungan dengan kandungan kuning telur dimana telur yang

berukuran besar juga dapat menghasilkan larva yang berukuran besar.

D. Derajat Pembuahan

Hasil pengamatan derajat pembuahan dapat dilihat pada Tabel 6,

sedangkan Grafik derajat pembuahan telur ikan patin disajikan pada Gambar 5.

Page 9: IV. Pembahasan

36

Gambar 5. Grafik derajat pembuahan ikan patin

Uji normalitas Lilliefors untuk derajat pembuahan ikan patin didapatkan

nilai Lmaks lebih kecil dari nilai Ltabel (lampiran), sehingga H0 diterima yang berarti

data menyebar normal. Selanjutnya, pada uji homogenitas Bartlett didapatkan

nilai data X2hitung lebih kecil dari X2

tabel (lampiran), sehingga H0 diterima yang

berarti data homogen.

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (ANOVA) diperoleh data Fhitung

perlakuan lebih kecil dari Ftabel (0,05) dan Ftabel (0,01) yang berarti bahwa antar

perlakuan tidak berpengaruh nyata. Dengan demikian tidak terdapat perbedaan

yang nyata diantara perlakuan atau dengan kata lain perlakuan tidak berpengaruh

nyata terhadap dosis penyuntikan ovaprim terhadap derajat pembuahan ikan patin.

Derajat pembuahan tertinggi terdapat pada perlakuan C (91,10%)

kemudian diikuti perlakuan B (90,98%) dan yang terendah terdapat pada

perlakuan A (90,617%). Keberhasilan pemijahan sangat ditentukan oleh kualitas

dan kuantitas sperma, (Yustina dkk, 2003).

Menurut Nurman (1998), bahwa pembuahan adalah proses terjadinya

pertemuan antara spermatozoa dengan sel telur. Proses pembuahan pada sel telur

Page 10: IV. Pembahasan

37

sangat dipengaruhi oleh kualitas telur, kualitas sperma dan kecepatan sperma

untuk bergerak spontan sehingga mampu masuk ke dalam lubang mikrofil pada

sel telur. Selanjutnya Masrizal dan Efrizal (1997) menambahkan tingginya

tingkat pembuahan dikarenakan pergerakan spermatozoa yang semakin aktif.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa derajat pembuahan tidak dipengaruhi oleh

injeksi ovaprim yang diberikan pada setiap perlakuan.

Derajat pembuahan sangat dipengaruhi oleh kualitas air, terutama suhu

pada media pemijahan artinya suhu relatif stabil dan sesuai dengan kebutuhan

sehingga pembuahan dapat berlangsung dengan optimal. Telur yang dikeluarkan

oleh ikan bentuknya tidak teratur, setelah masuk kedalam air akan menjadi bulat

dan menggelembung dalam waktu yang cepat. Air masuk ke dalamnya

diantaranya chorin (kulit telur) dan isi telur membentuk ruang yang disebut ruang

perivitella. Sperma akan masuk kedalam untuk membuahi inti telur dan inti telur

akan tertutup dalam waktu singkat, lamanya penutupan tergantung dari jenis ikan

(Satyarani, 2008).

E. Derajat Penetasan

Pengamatan derajat penetasan dilakukan dengan menghitung jumlah telur

yang berhasil menetas, diperoleh dari jumlah telur sampel dikurangi jumlah telur

yang tidak menetas. Perhitungan dilakukan sesaat setelah telur menetas. Derajat

penetasan dinyatakan sebagai persentase jumlah telur yang berhasil menetas dari

seluruh telur yang terbuahi.

Hasil pengamatan derajat pembuahan dapat dilihat pada Tabel 6,

sedangkan grafik derajat pembuahan telur ikan patin disajikan pada Gambar 6.

Page 11: IV. Pembahasan

38

Gambar 6. Grafik derajat penetasan ikan patin

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (ANOVA) diperoleh data Fhitung

perlakuan lebih kecil dari Ftabel (0,05) dan Ftabel (0,01) yang berarti bahwa antar

perlakuan tidak berpengaruh nyata. Dengan demikian tidak terdapat perbedaan

yang nyata diantara perlakuan atau dengan kata lain perlakuan tidak berpengaruh

nyata terhadap dosis penyuntikan ovaprim terhadap derajat penetasan ikan patin.

Penetasan adalah perubahan intracapsular (tempat yang terbatas) ke fase

kehidupan, hal ini penting dalam perubahan-perubahan morfologi hewan.

Penetasan merupakan saat terakhir masa pengeraman sebagai hasil beberapa

proses sehingga embrio keluar dari cangkangnya.

Penetasan terjadi karena dua hal, yaitu : 1) kerja mekanik dan 2) kerja

enzimatik. Kerja mekanik adalah oleh karena embrio sering mengubah posisinya

karena kekurangan ruang dalam cangkangnya, atau karena embrio telah lebih

panjang dari lingkungannya dalam cangkangnya (Lagler et al., 1997). Dengan

pergerakan-pergerakan tersebut bagian cangkang telur yang lembek akan pecah

sehingga embrio akan keluar dari cangkangnya. Kerja enzimatik adalah enzim dan

unsur kimia lainya yang dikeluarkan oleh kalenjer endodermal didaerah pharynk

Page 12: IV. Pembahasan

39

embrio. Enzin ini oleh Blaxter (1969) disebut chorionase yang kerjanya bersifat

mereduksi chorinyang terdiri atas pseudokeratine menjadi lembek. Biasanya pada

bagian cangkang yang pecah akibat gabungan kerja mekanik dan kerja enzimatik,

ujung ekor embrio dikeluarkan terlebih dahulu, kemudian menyusul bagian

kepalanya.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa derajat penetasan tertinggi

terdapat pada perlakuan B (38,10 %) diikuti perlakuan C (34,05%) dan derajat

penetasan terendah terdapat pada perlakuan A (32,30%). Rendahnya derajat

penetasan pada penelitian ini diduga bukan akibat dari kualitas sperma yang

buruk, hal ini dikarenakan semua perlakuan dari yang paling cepat memijah

memiliki tingkat derajat penetasan yang hampir sama atau tidak berbeda nyata

antara semua perlakuan. Akan tetapi rendahnya derajat penetasan ini diduga

akibat kualitas telur yang kurang baik.

Semakin tinggi persentase kematangan akhir dan semakin baik pula

spermatozoa semakin tinggi pula persentasi penetasannya. Beberapa faktor luar

yang mempengaruhi pada penetasan telur ikan antara lain : suhu, oksigen terlarut,

pH, salinitas dan intensitas cahaya. Artinya dalam penelitian ini perlakuan yang

diberikan berpengaruh tidak langsung terhadap parameter pengamatan. Diduga

kematangan fisiologis telur diperoleh dari perlakuan yang diberikan,misalnya :

pemberokan dan keberhasilan ovulasi pemijahan.

F. Survival Rate (Sintasan)

Sintasan dinyatakan sebagai persentase dari jumlah ikan yang hidup

selama masa pemeliharaan dalam jangka waktu tertentu. Hasil pengamatan derajat

pembuahan dapat dilihat pada Tabel , sedangkan grafik derajat pembuahan telur

ikan patin disajikan pada Gambar .

Page 13: IV. Pembahasan

40

Gambar 7. Grafik sintasan ikan patin

Uji normalitas Lilliefors untuk fekunditas telur ikan patin didapatkan nilai

Lmaks lebih kecil dari nilai Ltabel (lampiran), sehingga H0 diterima yang berarti data

menyebar normal. Selanjutnya, pada uji homogenitas Bartlett didapatkan nilai

data X2hitung lebih kecil dari X2

tabel (lampiran), sehingga H0 diterima yang berarti

data homogen.

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (ANOVA) diperoleh data Fhitung

perlakuan lebih kecil dari Ftabel (0,05) dan Ftabel (0,01) yang berarti bahwa antar

perlakuan tidak berpengaruh nyata. Dengan demikian tidak terdapat perbedaan

yang nyata diantara perlakuan atau dengan kata lain perlakuan tidak berpengaruh

nyata terhadap dosis penyuntikan ovaprim terhadap survival rate ikan patin.

Survival rate dinyatakan sebagai persentase dari jumlah ikan yang hidup

selama masa pemeliharaan dalam jangka waktu tertentu. Dilihat dari tabel sintasan

tertinggi terdapat pada perlakuan C (42,88%) diikuti perlakuan A (33,70%) dan

yang terendah terdapat pada perlakuan B (31,51%). Tinggi rendahnya survival

rate berhubungan dengan kualitas air, ketersediaan pakan serta sifat kanibalisme

ikan patin sendiri. Selain itu, kualitas telur juga mempengaruhi sintasan larva.

Page 14: IV. Pembahasan

41

Pada penelitian ini terlihat survival rate pada semua perlakuan sangat

rendah, yang tertinggi hanya mencapai 42,88% yaitu pada perlakuan C.

Rendahnya survival rate ini diduga akibat dari ketersediaan pakan yang kurang

tetapi tingkat kepadatan yang tingggi sebagai akibat dari ketersediaan akuarium

yang terbatas. Karena tingkat kepadatannya yang terlalu tinggi tetapi jumlah

pakan yang terbatas sehingga terjadi kanibalisme. Hal ini terlihat sangat jelas

diantara larva yang saling menggigit pada bagian ekor.

Khairuman dan Dodi (2002), mengemukakan bahwa keberhasilan

peningkatan produksi dalam pemeliharaan benih ikan tergantung dari berbagai

faktor penting yang sifatnya harus seimbang, yaitu nutrisi dari makanan, kualitas

air dan kondisi serta jumlah benih yang dipelihara. Tingkat kelangsungan hidup

ikan patin pada penelitian ini sangat ditunjang oleh adanya faktor-faktor tersebut,

sehingga merangsang sintasan dan laju pertumbuhan ikan patin secara optimal.

Menurut Wardoyo (1981), untuk dapat mengelola sumberdaya perikanan

yang baik, maka salah satu faktor yang perlu diperhatikan adalah kualitas air.

Tang dan Affandi (2000) menyatakan bahwa faktor lingkungan yang

mempengaruhi kelangsungan hidup larva ikan diantaranya adalah suhu, oksigen

terlarut (DO), pH, dan amoniak (NH3).

G. Kualitas air

Kualitas air lingkungan adalah suatu kelayakan lingkungan perairan untuk

menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme air yang nilainya dinyatakan

dalam suatu kisaran tertentu. Sementara itu, perairan ideal adalah perairan yang

dapat mendukung kehidupan organisme dalam menyelesaikan daur hidupnya.

Page 15: IV. Pembahasan

42

Kualitas air adalah salah satu keadaan dan sifat fisik, kimia, dan biologi

suatu perairan yang dibandingkan dengan persyaratan untuk keperluan tertentu,

seperti kualitas air untuk air minum, pertanian, perikanan, dan lainnya sehingga

menkjadikan persyaratan kualitas air berbeda-beda sesuai dengan peruntukannya.

Ikan patin merupakan komoditas perikanan yang toleran terhadap rendahnya

kualitas air bila dibandingkan dengan kebanyakan ikan lainnya. Namun demikian,

perpaduan antara kualitas, kuantitas air merupakan faktor dominan yang

menentukan produksi.

Hasil pengukuran kualitas air pada awal dan akhir penelitian disajikan

pada Tabel 7.

Tabel 7. Kualitas air pada penelitian

No. ParameterPangamatan Awal Pengamatan AkhirPagi Siang Pagi Siang

1. pH 6,42 6,67 6,97 7,032. DO 4,06 mg/l 4,27 mg/l 4,06 mg/l 4,12 mg/l3. Suhu 25,9 0C 26,9 0C 27,0 0C 28,4 0C4. Amoniak (NH3-N) 0,15 mg/l 0,15 mg/l 0,26 mg/l 0,27 mg/l

Sumber: Data primer (2014)

1. Suhu

Proses pertumbuhan dan reproduksi ikan dipengaruhi oleh faktor-faktor

lingkungan diantaranya suhu (Basri, 2002) menyatakan bahwa kenaikan suhu

akan meningkatkan laju metabolisme. Akibat meningkatnya laju metabolisme

akan menyebabkan konsumsi oksigen meningkat, sementara dilain pihak dengan

naiknya suhu akan menyebabkan kelarutan oksigen dalam air menjadi berkurang.

Suhu air yang diperlukan dalam proses biologi seperti pematangan gonad,

pemijahan dan penetasan telur berkisar antara 25-27 °C (Sutisna dan

Sutarmanto, 1995).

Page 16: IV. Pembahasan

43

Hasil pengukuran suhu pada awal penelitian adalah 25,9 °C dan pada akhir

penelitian suhunya adalah 28,4° C. Kisaran suhu pada awal penelitian khususnya

pada pagi hari cukup rendah yaitu 6,42 0C, pada kisaran suhu ini dapat dikatakan

kurang ideal bagi penetasan telur serta pemeliharaan larva. Hal ini terlihat dari

lamanya waktu telur menetas. Selain itu suhu yang rendah menyebabkan nafsu

makan ikan berkurang. Namun pada pertengahan masa penelitian suhu mulai

normal yaitu berkisar 27,0 0C pada pagi hari dan 28,4 0C pada siang hari. Pada

kisaran suhu ini dapat dikatakan sudah memenuhi kisaran yang baik untuk

pemeliharaan larva.

2. pH (Derajat keasaman)

pH merupakan salah satu faktor kimia yang penting sebagai petunjuk baik

atau tidaknya kualitas air sebagai lingkungan hidup ikan. Perguncangan pH dapat

berakibat buruk terhadap hewan akuatik yang tidak tahan menghadapi perubahan

pH yang terlalu besar. pH yang optimal untuk proses reproduksi ikan berkisar

antara 6,7 sampai 8,2 (Sutisna dan sutarmanto, 1995).

Berdasarkan hasil pengukuran pH selama penelitian diperoleh hasil

dengan kisaran antara 6,42 – 7,03. Pengukuran dilakukan pada pagi dan siang hari

di awal dan akhir penelitian. Data tersebut menunjukkan bahwa kisaran pH air

pada tempat penelitian mengalami kenaikan dari pH yang cukup rendah bagi

pemeliharaan larva ikan patin menjadi lebih baik. Terjadinya kenaikan pH dalam

media pemeliharaan diduga akibat adanya pencampuran air garam pada saat

pemberian pakan dengan artemia. Selain itu, juga diduga akibat pengaruh dari

aerasi yang diberikan di dalam media selama masa pemeliharaan.

Page 17: IV. Pembahasan

44

Perairan dengan pH < 4 merupakan perairan yng sangat asam dan dapat

menyebabkan kematian makhluk hidup, sedangkan pH > 9,5 merupakan perairan

yang sangat basa yang dapat menyebabkan kematian dan mengurangi

produktivitas perairan. Cholik et al (1996) menyatakan bahwa jika air

mempunyai keasaman pada pH 4 dan kebasaan pada pH 11 merupakan titik

kematian bagi ikan.

3. Oksigen Terlarut (DO)

Oksigen terlarut merupakan faktor pembatas bagi kehidupan organisme.

Perubahan konsentrasi oksigen terlarut dapat menimbulkan efek langsung yang

berakibat pada kematian organisme perairan. Sedangkan pengaruh yang tidak

langsung adalah meningkatkan toksisitas bahan pencemar yang pada akhirnya

dapat membahayakan organisme itu sendiri. Hal ini disebabkan oksigen terlarut

digunakan untuk proses metabolisme dalam tubuh dan berkembang biak (Effendi,

1997).

Konsentrasi oksigen terlarut yang aman bagi kehidupan perairan sebaiknya

harus diatas titik kritis dan tidak terdapat bahan lain yang bersifat racun,

konsentrasi oksigen minimum sebesar 2 mg/l cukup memadai untuk menunjang

secara normal komunitas akautik di perairan. Apabila kadar oksigen rendah

menyebabkan nafsu makan menurun, yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap

laju pertumbuhan ikan (Zonneveld et al, 1991).

Hasil pengukuran DO pada awal pemeliharaan 4,06 mg/l di pagi hari dan

4,27 mg/l di siang hari sedangkan pada akhir penelitian 4,06 mg/l di pagi hari dan

4,12 mg/l di siang hari. Data tersebut menunjukan bahwa DO selama masa

pemeliharaan masih dalam kisaran yang menunjang bagi kehidupan ikan.

Page 18: IV. Pembahasan

45

4 Amoniak Terlarut (NH3-N)

Amoniak merupakan gas buangan terlarut hasil metabolisme ikan oleh

perombakan protein, baik dari kotoran ikan itu sendiri maupun sisa pakan. Sisa

pakan biasanya akan membusuk sehingga kadar amoniak meningkat. Kadar

amoniak yang baik untuk kehidupan ikan dan organisme lainnya adalah kurang

dari 1 ppm. Sedangkan menurut Wardoyo (1981), untuk pertumbuhan ikan

hendaknya kandungan amoniak tidak lebih dari 2 ppm. Batas konsentrasi amoniak

merupakan racun bagi ikan.

Hasil analisa amoniak pada awal penelitian adalah 0,15 mg/l dan pada

akhir penelitian adalah 0,27 mg/l sehingga masih aman bagi kehidupan ikan.

Meningkatnya kandungan amoniak dalam air menyebabkan ikan cepat stress dan

mudah terserang penyakit. Meningkatnya kadar amoniak disebabkan oleh pakan

serta feses yang dihasilkan oleh ikan. Menurut Cholik et al (1986), ikan memakan

hampir semua jenis pakan yang diberikan. Namun dihitung dari berat kering

hanya sekitar 25% dari nutrien yang terkandung dalam pakan diubah menjadi

daging ikan.Sisanya adalah berupa sisa-sisa metabolisme. Ikan mampu

memanfaatkan pakan dengan kandungan protein tinggi, namun sebanyak 65%

protein akan hilang ke lingkungan sebagai amoniak (NH3).