45
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehamilan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan keluarga, khususnya calon ibu. Selain merupakan anugerah, kehamilan merupakan juga menjadi satu hal yang mencemaskan. Dalam setiap keluarga, kehamilan diharapkan sebagai sumber pengharapan terbesar dari keluarga pada calon anak yangakan dilahirkan. Walau demikian, ada kalanya harapan ini tidak terwujud ketika bayi mengalami kematian sebelum sempat dilahirkan. Intra Uterine Fetal Death (IUFD) merupakan kematian janin yang berkaitan dengan ekspulsi komplet atau ekstraksi hasil konsepsi dari Ibu, pada durasi yang tidak dapat diperkirakan di dalam masa kehamilan, dan merupakan terminasi kehamilan yang tidak diinduksi (Cousens, 1

IUFD 3.docx

Embed Size (px)

DESCRIPTION

IUF

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Kehamilan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan keluarga, khususnya calon ibu. Selain merupakan anugerah, kehamilan merupakan juga menjadi satu hal yang mencemaskan. Dalam setiap keluarga, kehamilan diharapkan sebagai sumber pengharapan terbesar dari keluarga pada calon anak yangakan dilahirkan. Walau demikian, ada kalanya harapan ini tidak terwujud ketika bayi mengalami kematian sebelum sempat dilahirkan.Intra Uterine Fetal Death (IUFD) merupakan kematian janin yang berkaitan dengan ekspulsi komplet atau ekstraksi hasil konsepsi dari Ibu, pada durasi yang tidak dapat diperkirakan di dalam masa kehamilan, dan merupakan terminasi kehamilan yang tidak diinduksi (Cousens, 2011). Di berbagai negara berkembang di dunia, angka kematian janin semakin bertambah seiring dengan tingkat kesejahteraan rakyat dan kualitas pelayanan kesehatan di negara tersebut. Pelaporan angka insidensi kematian janin juga masih terbatas dan belum terdokumentasi dengan baik. Padahal laporan tersebut dapat menjadi acuan atau rujukan yang berguna dalam memperbaiki kinerja tenaga kesehatan maternal yang ada (MacDorman, 2009).Angka insidensi kematian janin di dunia diperkirakan mencapai rentang 2,14 3,82 juta jiwa (Cousens, 2011). Angka ini bervariasi tergantung pada kualitas perawatan medis yang tersedia di negara bersangkutan dan definisi yang digunakan untuk mengelompokkan kematian janin.Underreporting in developing nations is common, which makes comparisons even more difficult.Angka insidensi ini pun belum termasuk yang terdapat di negara-negara berkembang, dimana resiko kematian maternal dan janinnya lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara yang kaya maupun sudah maju. Hal ini dipersulit dengan kurangnya data pelaporan dan surveipenelitian yang memadai tentang kuantitas, kualitas dan karakteristik angka insidensi IUFD di negara-negara berkembang, khususnya di Indonesia.In 2009, the estimated global number of stillbirths was 2.64 million (uncertainty range, 2.14-3.82 million). [2] The worldwide stillbirth rate declined by 14.5% from 22.1 stillbirths per 1000 births in 1995 to 18.9 stillbirths per 1000 births in 2009.B. Perumusan MasalahApa saja karakteristik ibu hamil dengan Intra Uterine Fetal Death (IUFD) di kamar bersalin RS Margono Soekarjo periode Januari Desember 2010? Berapa saja proporsi setiap faktor resiko tersebut?C. Tujuan Penelitian a) Tujuan UmumUntuk mengetahui gambaran karakteristik ibu hamil denganIntra Uterine Fetal Death (IUFD) di kamar bersalin RS Margono Soekarjoperiode Januari Desember 2010.b) Tujuan Khusus1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkanIntra Uterine Fetal Death (IUFD)pada ibu hamil di kamar bersalin RS Margono Soekarjo periode Januari Desember 2010.2. Untuk mengetahui proporsi untuk tiap-tiap faktorIntra Uterine Fetal Death (IUFD) pada ibu hamil di kamar bersalin RS Margono Soekarjoperiode Januari Desember 2010.3. Untuk mengetahui gambaran kejadian secara keseluruhan darikasus Intra Uterine Fetal Death (IUFD)pada ibu hamil di kamar bersalin RS Margono Soekarjo periode Januari Desember 2010.D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan bisa diambil dari diadakannya penelitian ini yaitu :1. Dapat mengetahui gambaran karakteristik ibu hamil denganIntra Uterine Fetal Death (IUFD) di kamar bersalin RS Margono Soekarjoperiode Januari Desember 2010.2. Sebagai bahan wacana bagi pihak institusi dan para akademisi FKIK Jurusan Kedokteran UNSOED serta FK UPN Veteran, khususnya tentang Intra Uterine Fetal Death (IUFD) dan faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya IUFD.3. Sebagai sarana pembelajaran bagi dokter muda dan syarat tugas stase Obstetri dan Ginekologi.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan PustakaA.1. Karakteristik Ibu HamilKarakterikstik ibu hamil adalah suatu informasi biologis yang berkaitan dengan keadaan ibu pada saat hamil mencakup usia ibu, usia kehamilan ibu, jumlah anak yang dimiliki (paritas), riwayat penyakit dalam kehamilan serta kesehatan ibu dan janin yang ada di dalam kandungannya.

A.2. Definisi dan Etiologi Intra Uterine Fetal Death (IUFD)Ketiadaan daya hidup janin pada berbagai tahap merupakan kematian janin. Berdasarkan revisi tahun 2003 dari Prosedur Pengkodean Penyebab dari Kematian Janin ICD-10, Pusat Statistik Kesehatan Nasional mendefinisikan kematian janin sebagai kematian yang terutama berkaitan dengan ekspulsi komplet atau ekstraksi hasil konsepsi dari Ibu, pada durasi yang tidak dapat diperkirakan di dalam masa kehamilan, dan merupakan terminasi kehamilan yang tidak diinduksi. (Cousens, 2011) Kematian janin diindikasikan oleh adanya fakta setelah terjadi ekspulsi atau ekstraksi, janin tidak bernafas atau menunjukkan tanda-tanda lain dari kehidupan seperti detak jantung, pulsasi umbilical cord, atau gerakan yang berarti dari otot-otot volunter. Detak jantung tidak termasuk kontraksi transien dari jantung, respirasi tidak termasuk pernafasan yang sangat cepat atau gasping. Pengertian ini kemudian diklasifikasikan sebagai kematian awal (28 minggu kehamilan) (Khashogi, 2005).IUFD (Intra Uterine Fetal Death) merupakan kematian janin yang terjadi tanpa sebab yang jelas, yang mengakibatkan kehamilan tidak sempurna (Uncomplicated Pregnancy). Kematian janin terjadi kira-kira pada 1% kehamilan dan dianggap sebagai kematian janin jika terjadi pada janin yang telah berusia 20 minggu atau lebih, dan bila terjadi pada usia di bawah usia 20 minggu disebut abortus. Sedangkan WHO menyebutkan bahwa yang dinamakan kematian janin adalah kematian yang terjadi bila usia janin 20 minggu dan berat janin waktu lahir diatas 500 gram (ACOG, 1996 , Khashogi, 2005).Pada dasarnya untuk membedakan IUFD dengan aborsi spontan, WHO dan American College of Obstetricians and Gynaecologists telah merekomendasikan bahwa statistik untuk IUFD termasuk di dalamnya hanya kematian janin intra uterine dimana berat janin 500 gr atau lebih, dengan usia kehamilan 22 minggu atau lebih. Tapi tidak semua negara menggunakan pengertian ini, masing-masing negara berhak menetapkan batasan dari pengertian IUFD (Cousens, 2011).Penyebab dari kematian janin intra uterine yang tidak dapat diketahui sekitar 25-60%, insiden meningkat seiring dengan peningkatan usia kehamilan. Pada beberapa kasus yang penyebabnya teridentifikasi dengan jelas, dapat dibedakan berdasarkan penyebab dari faktor janin, maternal dan patologi dari plasenta (Cunningham, 2005). a. Faktor Ibu1. Ketidakcocokan Rh darah Ibu dengan janin2. Ketidakcocokan golongan darah Ibu dengan janin3. Berbagai penyakit pada ibu hamil (hipertensi, preeklampsia, eklampsia, diabetes mellitus tidak terkontrol, lupus eritematosus sistemik)4. Trauma saat hamil5. Infeksi pada ibu hamil6. Prolonged Pregnancy (kehamilan diatas 42 minggu)7. Hamil pada usia lanjut8. Ruptur uteri9. Kematian Ibub. Faktor Janin1. Gerakan Sangat Berlebihan2. Kelainan kromosom3. Kelainan bawaan bayi4. Malformasi janin5. Kehamilan multipel6. Intra Uterine Growth Restriction7. Infeksi (parvovirus B19, CMV, listeria)8. Insufisiensi plasenta yang idiopatikc. Faktor Plasenta1. Perlukaan cord2. Ketuban pecah secara mendadak (abruption)3. Premature Rupture of Membrane4. Vasa PreviaA.3. Epidemiologi Intra Uterine Fetal Death (IUFD)Janin saat ini dipandang sebagai pasien yang menghadapi resiko mortalitas dan morbiditas yang cukup serius. Secara epidemiologi, angka insidensi kematian janin di seluruh dunia diperkirakan mencapai rentang 2,14 3,82 juta jiwa. Angka ini mengalami penurunan pada tahun 2009, yaitu sejumlah 14,5%. Kisaran angka tersebut adalah 18,9 lahir mati per 1000 kelahiran (MacDorman, 2009).Pada tahun 2005, data dari Laporan Statistik Vital Nasional menunjukkan tingkat nasional AS kelahiran mati rata-rata 6,2 per 1000 kelahiran (Barfield, 2002). In 2009, the estimated global number of stillbirths was 2.64 million (uncertainty range, 2.14-3.82 million). [2] The worldwide stillbirth rate declined by 14.5% from 22.1 stillbirths per 1000 births in 1995 to 18.9 stillbirths per 1000 births in 2009. Pada tahun 2009, jumlah global diperkirakan saat dilahirkan adalah 2,64 juta (berkisar ketidakpastian, 2,14-3820000). Tingkat kelahiran mati di seluruh dunia menurun 14,5% dari 22,1 bayi lahir mati per 1000 kelahiran pada tahun 1995-18,9 lahir mati per 1000 kelahiran pada tahun 2009 (MacDorman, 2009).Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Depkes RI tahun 2003 (POGI, 2006) mengenai kegagalan yang terjadi selama masa kehamilan, didapatkan data mortalitas perinatal di Indonesia berkisar 24 dari 1000 kehamilan. Kondisi kesehatan janin memiliki kontribusi tertinggi dalam mengakibatkan mortalitas perinatal (39%) dibandingkan dengan faktor maternal (5,1%). Resiko tingginya angka kematian yang berkaitan dengan faktor maternal kebanyakan berupa jarak 15 bulan kehamilan dari persalinan terakhir dan usia ibu hamil di atas 40 tahun.

A.4. Patogenitas, Patofisiologi dan Tanda-Gejala Intra Uterine Fetal DeathSesuai dengan etiologi dari kematian janin dalam rahim atau Intra Uterine Fetal Death (IUFD), kematian janin disebabkan oleh tiga permasalahan pokok yaitu kausa dari janin, kausa dari ibu, dan kausa dari plasenta (Cunningham, 2005). Penyebab dari janin bisa berasal dari cacat genetik atau malformasi kongenital mayor, infeksi janin, gestasi multipel, dan cacat lahir non kromosom (Silver, 2007). Dari penyebab maternal yang berakibat IUFD antara lain faktor diabetes tidak terkontrol, hipertensi kehamilan hingga preeklampsia-eklampsia, kematian ibu, infeksi ibu, SLE, autoantibodi, hemoglobinopati, ruptur uterina, antifosfolipid, dan lainnya (Nybo-Andersen, 2004). Faktor-faktor kausa dari plasenta berupa adanya ruptura plasenta prematur, vasa previa, insufisiensi plasenta, perdarahan fetomaternal, trauma pada umbilikus, dan semacamnya (Korteweg, 2009 , Suparman, 2003).1. Kausa JaninDari 25 40% kasus kematian janin, penyebab terseringnya adalah karena faktor janin itu sendiri. Kausa pada janin tersebut mencakup cacat genetik atau malformasi kongenital mayor, infeksi janin, gestasi multipel, dan cacat lahir non kromosom (Cunningham, 2005).Malformasi kongenital mayor merupakan adanya kelainan kromosom autosom. Beberapa dari kelainan tersebut antara lain neural-tube defect, hidrosefalus, penyakit jantung kongenital, hidrops dan lain-lain. Malformasi kongenital mayor ini merupakan kelainan genetis yang mengancam hidup janin dan mengganggu kerja organ-organ vital (Silver, 2007). Infeksi janin merupakan kausa yang konsisten dengan tingkat kegawatdaruratan janin. Semakin parah morbiditas dan virulensi dari infeksi yang diderita janin, semakin buruk kemungkinan janin untuk dapat hidup di dalam uterus. Beberapa infeksi janin yang dapat membahayakan janin antara lain infeksi TORCH (CMV, Toxoplasma, Rubella), malaria, infeksi Streptococcus grup A dan Streptococcus grup B, Salmonelosis atau demam tifoid, hingga gangguan pembekuan darah dan syok (Silver, 2007; Cunningham, 2005).Rubella dan Parovirus B19 merupakan salah satu agen paling teratogenik yang diketahui. Sekitar 80% wanita hamil terinfeksi rubella dan ruam selama 12 minggu akan mengalami infeksi kongenital, usia 13-14 minggu berjumlah 54 %, dan pada akhir trimester kedua sebanyak 25%. Adanya infeksi virus Rubella dan Parovirus ini akan menyebabkan gangguan tumbuh kembang janin intra uterin yang berakibat pada kegagalan perkembangan jantung, defek susunan syaraf pusat, ikterus, hepatitis, hambatan pertumbuhan janin, trombositopenia, anemia, dan lain-lain. Sitomegalovirus lebih banyak menyebabkan infeksi dan kecacatan perinatal dibandingkan dengan hambatan perkembangan dan pertumbuhan janin intra uterin. Infeksi CMV menyebabkan mikrosefalus, retardasi mental-motorik, defisit sarafsensori, hepatosplenomegali, anemia hemolitik, hingga sindroma anti-fosfolipid (Cunningham, 2005 , Lembar, 2009). Toksoplasmosis akut merupakan penyulit sekitar 1-5 dari 1000 kehamilan. Setidaknya pada wanita hamil, keguguran atau lahirnya bayi hidup dengan tanda-tanda kecacatan akibat toksoplasmosis kongenital rentan terjadi. Gejala dan tanda klinis yang didapatkan berupa berat lahir rendah, anemia, ikterus, hepatosplenomegali, kalsifikasi intrakranial, limfadenopati, rasa lelah, nyeri otot, bahkan hingga retardasi mental (Maroef, 2003).Infeksi Streptococcus grup A saat ini sudah jarang dijumpai. Walau demikian, infeksi ini tergolong infeksi yang berat karena menimbulkan syok dan sangat toksik, sehingga berakibat pada kematian ibu janin. Infeksi Streptococcus grup B berperan dalam menyebabkan gangguan hasil kehamilan (persalinan preterm, ketuban pecah dini, korioamnionitis, dan sepsis nifas). Oleh karena itu, infeksi Streptococcus merupakan infeksi yang cukup berbahaya bagi kelangsungan hidup janin di dalam uterus (Silver, 2007).Penyakit sistemik lain yang menimbulkan kematian janin sekaligus kematian maternal antara lain malaria, demam tifoid, demam berdarah dengue, gangguan pembekuan darah, dan syok. Semua gangguan sistemik ini membutuhkan adanya penanganan yang lebih komprehensif untuk ibu hamil, dengan mempertimbangkan konsultasi pada ahli-ahli penyakit dalam yang kompeten (Silver, 2007).2. Kausa MaternalKasus kematian janin yang diakibatkan oleh faktor maternal ternyata hanya memiliki peranan yang kecil. Beberapa penyakit dari ibu yang mempunyai kausa tersering berupa hipertensi dan diabetes pada kehamilan. Penyakit-penyakit lain seperti autoantibodi, SLE, penyakit rhesus merupakan sebab yang jarang jumlah kejadiannya. Pada intinya, kasus kematian janin yang disebabkan oleh kausa ibu diakibatkan oleh adanya gangguan sistemik pada ibu, dimana gangguan sistemik tersebut mengganggu perfusi darah dari ibu ke janin (Nicholson, 2009 , Lembar 2009). Penyebab lainnya seperti penurunan alfa feto protein, cukup memberikan arti yang besar dalam menimbulkan kematian janin, walaupun kejadian tersebut bersifat jarang ditemukan (Smith, 2004).Mekanisme inkompatibilitas Rhesus darah antar orang tua mempunyai peran dalam IUFD. Golongan darah Rhesus yang berbeda tersebut memberikan suatu bentuk autoantibodi pada tubuh janin, sehingga berakibat pada hiperkoagulitas darah dan reaksi autoimun janin. Hampir semua kasus ibu hamil dengan inkompatibilitas Rhesus berakibat pada kematian janin (Cunningham, 2005).Hipertensi dalam kehamilan terbagi menjadi tiga jenis yaitu hipertensi gestasional, pre-eklampsia, dan eklampsia. Ketiga jenis hipertensi kehamilan ini merupakan bagian yang berurutan, sesuai dengan tingkat keparahan. Hipertensi gestasional merupakan peningkatan tekanan darah mencapai 140/90 mmHg atau lebih untuk pertama kali selama kehamilan, tetapi belum mengalami proteinuria. Hipertensi gestasional yang memberat akan menyebabkan terjadinya pre-eklampsia. Pre-eklampsia adalah sindrom spesifik kehamilan berupa berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel disertai dengan adanya kombinasi antara hipertensi dan proteinuria yang nyata selama kehamilan. Bila pre-eklampsia tidak segera ditangani dengan baik, akan menimbulkan stadium pre-eklampsia berat yang akhirnya mengakibatkan eklampsia. Eklampsia adalah terjadinya kejang grand malpada seorang wanita dengan preeklampsia yang tidak dapat disebabkan oleh hal lain (Roeshadi, 2006).Hipertensi kehamilan sejatinya mengakibatkan vasospasme dan iskemia dalam pembuluh darah ibu. Pada hipertensi gestasional, terjadi peningkatan curah jantung yang bermakna. Hal ini mengakibatkan adanya peningkatan afterload jantung. Hal ini akan semakin parah bila mencapai tahap pre-eklampsia, dimana terjadi peningkatan resistensi perifer akibat vasospasme yang berlebihan dan berakibat pada penurunan mencolok curah jantung. Bila keadaan ini terus dibiarkan, maka akan mengganggu perfusi utero-plasenta dan mengakibatkan hipoksia janin. Hal ini akan berakibat pada kematian janin (Rambulangi, 2003 , Utama, 2009). Gejala dan tanda untuk masing-masing tipe hipertensi kehamilan hampir mempunyai gambaran yang sama, terutama pada keluhan nyeri kepala dan epigastrium. Pada hipertensi gestasional, dapat dikenali adanya nyeri kepala, nyeri epigastrium, dan peningkatan tekanan darah yang nyata. Pre-eklampsia berat ditegakkan dengan adanya ekskresi protein urin dalam 24 jam sebesar 2 gram atau lebih, dan proteinuria 2+ atau lebih yang menetap. Sedangkan pre-eklampsia ringan ditemukan proteinuria 1+ atau tidak ada sama sekali, dan merupakan kelanjutan dari hipertensi gestasional(Utama, 2009). Oleh karena itu, pada pre-eklampsia, pembedaan antara pre-eklampsia ringan dengan pre-eklampsia berat adalah sesuatu yang sangat vital karena berhubungan dengan tekanan onkotik dan volume cairan tubuh yang terganggu (POGI, 2006). Diabetes mellitus tipe 2 lebih merupakan faktor penyulit medis tersering pada kehamilan. Pasien dipisahkan menjadi golongan yang mengidap diabetes sebelum hamil (overt), dan yang mengidap saat hamil (gestasional). Diabetes gestasional mengisyaratkan bahwa gangguan ini dipicu oleh kehamilan, yang mungkin terjadi akibat perubahan-perubahan fisiologis pada metabolisme glukosa. Keadaan ini dapat menimbulkan efek bagi ibu dan janin. Efek yang akan dialami janin adalah makrosomia disertai trauma lahir karena distosia bahu. Hal ini disebabkan oleh karena pengendapan lemak yang berlebihan di bahu dan badan. Hiperinsulinemia janin yang disebabkan oleh hiperglikemia ibu pun akhirnya akan merangsang pertumbuhan somatik yang berlebihan. Berkaitan dengan kematian janin, dugaan kematian janin oleh karena diabetes gestasional masih merupakan permasalahan yang belum ditemukan secara pasti bagaimana teori terjadinya. Kemungkinan paling besar adalah adanya trauma janin saat lahir akibat distosia bahu atau diabetes dipandang sebagai pemicu hipertensi pada kehamilan yang akhirnya menimbulkan pre-eklampsia dan eklampsia (Rambulangi, 2003 , Utama, 2009).Ruptur uteri adalah robekan atau diskontinuitas dinding rahim akibat dilampauinya daya regang miometrium. Penyebab ruptur uteri ini antara lain adanya diproporsi janin dan panggul, partus macet, atau adanya partus traumatik, dimana terjadi trauma mekanis yang kuat yang dapat merobek miometrium uterus (Suparman, 2003). Penilaian klinis pada rupture uterine ini berbeda antara pada uterus normal dengan pada uterus bekas sectio caesarea. Penilaian klinis rupture uteri pada uterus normal diawali oleh adanya lingkaran konstriksi (balds ring) hingga umbilicus atau diatasnya, nyeri hebat pada perut bagian bawah, hilangnya kontraksi uterus gravidus yang normal, perdarahan pervaginam, dan syok (Cunningham, 2005). Biasanya, penyebab utama dari ruptura uteri pada uterus normal adalah karena partus yang macet, trauma atau kecelakaan pada ibu, dan lain-lain (Weiss, 2001). Sedangkan pada uterus bekas sectio caesarea, terjadi gejala nyeri yang khas, perdarahan bertambah sedikit dari normal, dan bradikardia pada janin. Ruptur tersebut terjadi sebelum atau pada fase laten persalinan, dan pada fase aktif / kala II bila insisi transversal SBR. Adanya ruptura uteri ini secara otomatis akan mengakibatkan adanya perdarahan mendadak pada ibu dan trans-plasenta, sehingga berakibat pada perdarahan janin yang masif dan kematian janin (Nybo-Andersen, 2004).3. Kausa PlasentaKasus kematian janin yang dikaitkan dengan kausa plasenta relatif bersifat dependent, tidak bisa berdiri sendiri, atau tergantung dari adanya penyebab yang lainnya. Kasus-kasus yang sering menyebabkan kematian janin antara lain solusio plasenta, infeksi plasenta dan ketuban, infark plasenta, dan perdarahan janin ke ibu (French, 2005).Solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta dari tempat implantasinya sebelum janin lahir. Beberapa jenis perdarahan akibat solusio plasenta biasanya merembes di antara selaput ketuban dan uterus kemudian lolos keluar yang menyebabkan perdarahan eksternal. Solusio plasenta terbagi menjadi solusio plasenta totalis dan parsialis (French, 2005 , Flenady, 2011).Solusio plasenta diawali perdarahan ke dalam desidua basalis. Desidua kemudian terpisah, meninggalkan satu lapisan tipis yang melekat ke endometrium. Akibatnya, proses ini pada tahap paling awal akan memperlihatkan pembentukan hematom desidua yang menyebabkan pemisahan, penekanan, dan destruksi plasenta di dekatnya. Hal ini mengakibatkan berkurangnya perfusi darah ke janin melalui plasenta dan berakibat pada kematian janin (French, 2005). Pada beberapa kasus, arteri spiralis desidua mengalami ruptur sehingga menyebabkan hematom retro plasenta, yang sewaktu membesar semakin banyak pembuluh darah dan plasenta yang terlepas. Karena masih teregang oleh hasil konsepsi, uterus tidak dapat berkontraksi untuk menjepit pembuluh darah yang robek yang memperdarahi tempat implantasi plasenta. Darah yang keluar dapat memisahkan selaput ketuban dari dinding uterus dan akhirnya muncul sebagai perdarahan eksternal atau tetap dalam uterus. Hal inilah yang membedakan antara solusio plasenta parsialis dengan totalis (French, 2005). Gambaran klinis solusio plasenta ringan hingga berat pun berbeda. Pada solusio plasenta ringan, terjadi ruptur sinus marginalis yang menyebabkan perdarahan pervaginam warna merah hitam dan agak tegang dengan bagian janin masih teraba. Solusio plasenta sedang terjadi sakit perut terus menerus, nyeri tekan, bagian janin sukar diraba, BJA sukar diraba dengan stetoskop biasa, dan terjadi kelainan pembekuan darah (French, 2005). Solusio plasenta berat merupakan gejala terberat dengan pelepasan solusio plasenta lebih dari duapertiga luas, uterus tegang seperti papan, nyeri hebat, dan ibu-janin tiba-tiba mengalami syok hingga meninggal. Infark plasenta merupakan kelainan plasenta yang tersering. Infark plasenta terjadi karena akibat dari sumbatan pasokan vaskuler ibu, yaitu sirkulasi antarvilus. Secara histopatologis terdapat gambaran degenerasi fibrinoid trofoblas, kalsifikasi, dan infark iskemik akibat oklusi arteri spiralis (French, 2005). Secara umum, etiologi dari infark plasenta ini terjadi karena penuaan trofoblas yang mengalami perubahan, dan gangguan sirkulasi uteroplasenta. Sinsisium yang mengalami penuaan mengalami degenerasi sinsisium. Sinsisium yang terurai tersebut kemudian langsung terpajan dengan darah ibu, sehingga menyebabkan bekuan darah pada vilus-vilus. Dari sini, terbentuklah trombosis arteri vilus pada janin dan bahkan berakibat pada kalsifikasi plasenta. Pembentukan trombosis dan kalsifikasi ini mengakibatkan gangguan sirkulasi darah ke janin yang berakibat kematian janin (French, 2005). Gambaran infark plasenta ini dapat ditegakkan dengan pemeriksaan Patologi Anatomi dan Ultrasonografi. A.5. DiagnosisIntra Uterine Fetal Death(IUFD)Pada anamnesis ibu hamil tidak merasakan ada pergerakan janin dan hilangnya tanda-tanda dan gejala kehamilan. Pada pemeriksaan fisiktidak ditemukan tanda pertumbuhan uterus, pada pemeriksaan laboratorium terdapat penurunan kadar serial -Hcg, pada pemeriksaan x-ray ditemukan Spalding sign dan Roberts sign, dan pada pemeriksaan USG ditemukan jelas keadaan janin mati intra uterin.A.6. KomplikasiIntra Uterine Fetal Death (IUFD)Kematian janin akan menyebabkan desidua plasenta menjadi rusak. Plasenta yang rusak akan menghasilkan tromboplastin. Tromboplastin masuk kedalam peredaran darah ibu yang mengakibatkan pembekuan intravaskuler yang dimulai dari endotel pembuluh darah oleh trombosit sehingga terjadi pembekuan darah yang meluas (Disseminated intravascular coagulationatau DIC).Dampak dari adanya DIC tersebutadalah terjadinya hipofibrinogenemia. Hipofibrinogenemia (kadar fibrinogen < 100 mg%), biasa pada 4-5 minggu sesudah IUFD. Kadar normal fibrinogen pada wanita hamil adalah 300-700mg%. Akibat kekurangan fibrinogen maka dapat terjadi perdarahan post partum. Perdarahan post partus biasanya berlangsung 2-3 minggu setelah janin mati (Flenady, 2011).Selain dari komplikasi fisik yang serius pada ibu, dampak secara kejiwaan pun dapat terjadi. Dampak psikologis dapat timbul pada ibu setelah lebih dari 2 minggu kematian janin yang dikandungnya (Nybo-Andersen, 2004). Hal tersebut dapat mempengaruhi kesehatan jiwa ibu. Faktor resiko terjadinya depresi pada ibu hingga psikosis dapat terjadi (Rahayu, 2008 ; Nybo-Andersen, 2004).

A.7. Penatalaksanaan Intra Uterine Fetal Death (IUFD)Bila disangka telah terjadi kematian janin dalam rahim, sebaiknya diobservasi dahulu dalam 2-3 minggu untuk mencari kepastian diagnosis. Selama observasi, 70-90 % akan terjadi persalinan yang spontan (POGI, 2006). Jika pemeriksaan Radiologi tersedia, konfirmasi kematian janin setelah 5 hari. Tanda-tandanya berupa overlapping tulang tengkorak, hiperfleksi kolumna vertebralis, gelembung udara didalam jantung dan edema scalp.USG merupakan sarana penunjang diagnostik yang baik untuk memastikan kematian janin dimana gambarannya menunjukkan janin tanpa tanda kehidupan, tidak ada denyut jantung janin, ukuran kepala janin dan cairan ketuban berkurang (POGI, 2006). Dukungan mental emosional perlu diberikan kepada pasien.Sebaiknya pasien selalu didampingi oleh orang terdekatnya.Yakinkan bahwa kemungkinan besar dapat lahir pervaginam. Pilihan cara persalinan dapat secara aktif dengan induksi maupun ekspektatif, perlu dibicarakan dengan pasien dan keluarganya sebelum keputusan diambil (POGI, 2006). Bila pilihan penanganan adalah ekspektatif maka tunggu persalinan spontan hingga 2 minggu dan yakinkan bahwa 90 % persalinan spontan akan terjadi tanpa komplikasi (POGI, 2006). Jika trombosit dalam 2 minggu menurun tanpa persalinan spontan, lakukan penanganan aktif. Penanganan aktif dilakukan padaserviks matang, denganmelakukan induksi persalinan menggunakan oksitosin atau prostaglandin. Jika serviks belum matang, lakukan pematangan serviks dengan prostaglandin atau kateter foley, dengan catatan jangan lakukan amniotomi karena berisiko infeksi (POGI, 2006). Mekanisme kerja kateter Foley adalah untuk membantu mematangkan serviks. Secara teknis, kateter Foley ukuran no.18 dimasukkan hingga ke Ostium Uteri Internum, mengembangkan baln kateter dengan aquadest 30 mL, dan mempertahankan selama 8 12 jam. Dari sini, akan terjadi pemisahan antara selaput ketuban dengan Segmen Bawah Rahim. Hal ini akan menimbulkan pelepasan lisosom oleh desidua basalis dan pelepasan enzim lithik fosfolipase A yang akan membentuk asam arakhidonat. Asam arakhidonat ini akan meningkatkan pembentukan prostaglandin, sehingga serviks menjadi matang (Suparman, 2003 ; Nicholson, 2009). Efek samping dari kateter Foley ini adalah demam intrapartum atau postpartum, perdarahan per vaginam pasca pemasangan kateter, KPD, prolapsus tali pusat, dan lain-lain (Nicholson, 2009).Persalinan dengan sectio cesare merupakan alternatif terakhir. Jika persalinan spontan tidak terjadi dalam 2 minggu, trombosit menurun dan serviks belum matang, matangkan serviks dengan misoprostol: Tempatkan misoprostol 25 mcg dipuncak vagina, dapat diulang sesudah 6 jam (Gomes, 2003). Jika tidak ada respon sesudah 2x25 mcg misoprostol, naikkan dosis menjadi 50mcg setiap 6 jam. Jangan berikan lebih dari 50 mcg setiap kali dan jangan melebihi 4 dosis. Jika ada tanda infeksi, berikan antibiotika. Jika tes pembekuan sederhana lebih dari 7 menit atau bekuan mudah pecah, waspada koagulopati (Dickinson, 2003). Berikan kesempatan kepada ibu dan keluarganya untuk melihat dan melakukan kegiatan ritual bagi janin yang meninggal tersebut. Pemeriksaan patologi plasenta dapat dilakukan untuk mengungkapkan adanya patologi plasenta dan infeksi (Gomes, 2003).Bila setelah 3 minggu kematian janin dalam kandungan atau 1 minggu setelah diagnosis, pasien belum ada tanda untuk partus, maka pasien harus dirawat agar dapat dilakukan induksi persalinan. Induksi persalinan dapat dimulai dengan pemberian esterogen untuk mengurangi efek progesteron atau langsung dengan pemberian oksitosin drip dengan atau tanpa amniotomi (Gomes, 2003).Protokol untuk Pemeriksaan Bayi Lahir MatiGambaran umumTali pusat

MalformasiProlaps

Noda kulitLilitan leher

Derajat maserasiHematom atau striktur

Warna - pucat, pletorikJumlah pembuluh

Selaput ketubanPanjang

TernodaCairan amnion

MenebalWarna: mekonium, darah

Konsistensi

Volume

Tabel 1. Protokol untuk pemeriksaan bayi lahir matiPenanganan terhadap hasil konsepsi adalah penting untuk menyarankan kepada pasien dan keluarganya bahwa bukan suatu kegawatan dari bayi yang sudah meninggal :a. Jika uterus tidak lebih dari 12 minggu kehamilan maka pengosongan uterus dilakukan dengansuction curetaseb. Jika ukuran uterus antara 12-28 minggu, dapat digunakan prostaglandin E2 vaginal supositoria dimulai dengan dosis 10 mg, c. Jika kehamilan > 28 minggu dapat dilakukan induksi dengan oksitosin. Selama periode menunggu diusahakan agar menjaga mental/psikis pasien yang sedang berduka karena kematian janin dalam kandungannya.Kematian janin adalah suatu kejadian traumatik psikologik bagi wanita dan keluarganya. Radestat mendapatkan bahwa interval yang lebih dari 24 jam sejak diagnosa kematian janin sampai induksi persalinanberkaitan dengan ansietas berlebihan (Barfield, 2002). Faktor lain yang berperan adalah apabila wanita yang bersangkutan tidak melihat bayinya selama yang dia inginkan dan apabila dia tidak memiliki barang kenangan dapat timbul kecemasan pada ibu sampai gejala depresi dan gejala somatisasi yang dapat bertahan sampai lebih dari 6 bulan. Seorang wanita yang pernah melahirkan bayi meninggal, telah lama dianggap memiliki resiko yang lebih besar mengalami gangguan hasil kehamilan pada kehamilan berikutnya (Kashoghi, 2007).Beberapa penelitian menyebutkan kisaran angka kekambuhan lahir mati antara 0 sampai 8 persen.Kematian janin sebelumnya walaupun tidak semua lahir mati menyebabkan gangguan hasil pada kehamilan berikutnya.Evaluasi prenatal penting dilakukan untuk memastikan penyebab.Apabila penyebab lahir mati terdahulu adalah kelainan karyotipe atau kausa poligenik, pengambilan sampel villus khorionik atau amniosintesis dapat mempermudah deteksi dini dan memungkinkan dipertimbangkannya terminasi kehamilan (Kashoghi, 2007).Pada diabetes, cukup banyak kematian perinatal yang berkaitan dengan kelainan kongenital.Pengendalian glikemik intensif pada periode perikonsepsi dilaporkan menurunkan insiden malformasi dan secara umum memperbaiki hasil (Silver, 2007).

A.8. PencegahanIntra Uterine Fetal Death (IUFD)Beberapa pencegahan yang dianjurkan dari beberapa pustaka yang ada antara lain sebagai berikut (Silver, 2007) :1. Memberikan nasehat pada waktu ANC mengenai nutrisi dan keseimbangan diet makanan, 2. Hindari merokok, tidak meminum minuman beralkohol, jamu, obat-obatan dan hati-hati terhadapinfeksi yang berbahaya,3. Mendeteksi secara dini faktor-faktor predisposisi IUFD dan pemberian pengobatan4. Mendeteksi gejala awal IUFD atau tanda fetal distress,5. Diberlakukannya tindakan Cut off untuk terminasi kehamilan.

DAFTAR PUSTAKA

ACOG Committee opinion. 1995. Perinatal and infant mortality statistics. Committee on Obstetric Practice : Number 167.. American College of Obstetricians and Gynecologists. Int J Gynaecol Obstetry (on-line).Diakses pada 28 Mei 2011.Barfield WD, et al. 2002. Contribution of late fetal deaths to US perinatal mortality rates in 1995-1998. Semin Perinatology;26(1): pg.17-24 (on-line). Diakses pada 29 Mei 2011.Cousens S, Blencowe H, Stanton C, et al. 2011. National, Regional, and Worldwide Estimates of Stillbirth Rates in 2009 with Trends since 1995, a systematic analysis. Lancet ; 377(9774):1319-30 (on-line). Diakses pada 29 Mei 2011.Cunningham, F.G., etc. 2005. Kematian Janin. Obstetri Williams vol. 2, edisi 21. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, hlm. 1200-20.Flenady V, et al. 2011. Major risk factors for stillbirth in high-income countries: a systematic review and meta-analysis. Lancet;377(9774):1331-40 (on-line). Diakses pada 29 Mei 2011.French AE, Gregg VH, Newberry Y, et al. 2005. Umbilical cord stricture: a cause of recurrent fetal death. Obstet Gynecol;105(5 Pt 2):1235-9(on-line). Diakses pada 29 Mei 2011.Gomez Ponce de Leon R, Wing DA. 2009. Misoprostol for termination of pregnancy with intrauterine fetal demise in the second and third trimester of pregnancy - a systematic review. Contraception ; 79(4):259-71 (on-line). Diakses pada 29 Mei 2011.Khashoghi, T.Y., 2005. Epidemiology of Intrauterine Fetal Death in Saudi Arabia, KKUH experience. Biomedial Journal Research; 16 (1) : 59 64 (on-line). Diakses pada 22 Mei 2011.Korteweg, F.J., etc. 2009. Diverse Placental Pathologies as the Main Causes of Fetal Death.Obstet Gynecol ; 114 (4) : 809-17 (on-line). Diakses pada 24 Mei 2011.Lembar, S., etc. 2009.Hubungan Sindrom Antifosfolipid dengan Gangguan Kehamilan.Majalah Kedokteran Damianus vol. 8, no.1, Departemen Patologi Klinik FK Unika Atmajaya (on-line).Diakses pada 5 Juni 2011.Maroef, S., etc. 2003. Toksoplasmosis Ibu Hamil di Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran no.139, edisi Kebidanan dan Kandungan (on-line).Diakses pada 22 Mei 2011.MacDorman, M.F., etc. 2009. Fetal and Perinatal Mortality. National Vital Statistic Reproduction ; 57 (8) ; 1-19 (on-line). Diakses pada 26 Mei 2011.Nicholson JM, Caughey AB, Stenson MH, Cronholm P, Kellar L, Bennett I, et al.2009. The active management of risk in multiparous pregnancy at term: association between a higher preventive labor induction rate and improved birth outcomes. Am J Obstet Gynecol;200(3):250.e1-250.e13 (on-line). Diakses pada 29 Mei 2011.Nybo Andersen AM, Hansen KD, Andersen PK, et al. 2004. Advanced paternal age and risk of fetal death: a cohort study. Am J Epidemiol.;160(12):1214-22 (on-line).Diakses pada 26 Mei 2011.POGI : Standar Pelayanan Medis Obstetri dan Ginekologi, edisi revisi. 2006. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, Jakarta (on-line). Diakses pada 22 Mei 2011.Rahayu, E.B. 2008.Respon dan Koping Ibu Hamil yang Memiliki Riwayat Kematian Janin di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta per tahun 2008.Magister Ilmu Kesehatan Universitas Indonesia (on-line).Diakses pada 5 Juni 2011.Rambulangi, J. 2003. Beberapa Cara Prediksi Hipertensi dalam Kehamilan. Cermin Dunia Kedokteran : no. 139, edisi Kebidanan dan Kandungan (on-line). Diakses pada 22 Mei 2011.Rambulangi, J. 2003. Penanganan Pendahuluan dan Prarujukan Penderita Preeklampsia Berat dan Eklampsia. Cermin Dunia Kedokteran : no. 139, edisi Kebidanan dan Kandungan (on-line). Diakses pada 22 Mei 2011.Roeshadi, H.R., 2006. Upaya Menurunkan Angka Kesakitan dan Angka Kematian Ibu pada Penderita Preeklampsia dan Eklampsia. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Kebidanan dan Kandungan (on-line). Diakses pada 27 Mei 2011.Silver RM. 2007. Fetal death. Obstet Gynecol. Jan 2007;109(1):153-67. Diakses pada 29 Mei 2011.Smith, G., etc. 2004. Second-Trimester Maternal Serum Levels of Alpha-Fetoprotein and the Subsequent Risk of Suddent Infant Death Syndrome. The New England Journal of Medicine : 351 ; 978-86 (on-line). Diakses pada 28 Mei 2011.Suparman, E., etc. 2003. Management of Placental Abruption and Incomplet Uterine Ruptue caused by Accidental Trauma of Abdomen. Cermin Dunia Kedokteran, no.139, edisi Kebidanan dan Kandungan (on-line). Diakses pada 22 Mei 2011.Utama, S.Y. 2008.Faktor Resiko yang Berhubungan dengan Kejadian Preeklampsia Berat pada Ibu Hamil di RS Raden Mattaher Jambi tahun 2007.Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi vol. 8, no. 2, Juli 2008 (on-line).Diakses pada 5 Juni 2011.Weiss HB, Songer TJ, Fabio A. 2001. Fetal deaths related to maternal injury.JAMA;286(15):1863-8 (on-line). Diakses pada 27 Mei 2011.

28