Upload
sophia-burhan
View
903
Download
9
Embed Size (px)
Citation preview
STUDI CROSS SECTIONAL PENYAKIT ISPA PADA BALITA BGM DI PUSKESMAS CEMPAKA
BULAN JUNI 2005
OLEH :
Leonardus S. Wibowo
Mariya Ekawati
Vony Tjandra
Zeldi Ichsan
PEMBIMBING :
Dr. Ihya Ridlo Nizomy, M.Kes
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURATBAGIAN/LABORATORIUM IKM/PBL
FAKULTAS KEDOKTERAN
BANJARBARU
AGUSTUS 2005
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 DATA DASAR
1.1.1 Keadaan Geografis
Puskesmas Cempaka terletak di kecamatan Cempaka, kota Banjarbaru,
Propinsi Kalimantan Selatan, tepatnya di Jalan Gubernur Mistar Cokrokusumo
Kompleks Perkantoran, Kelurahan Sungai Tiung, lebih kurang 7 Km dari ibukota
Banjarbaru.
Wilayah kerja puskesmas terletak pada ketinggian di atas 75 m dari
permukaan laut. Sebagian besar wilayah kecamatan Cempaka ditumbuhi ilalang
dan belukar, juga dijumpai persawahan dan perkebunan terutama di bagian
selatan, dan hutan yang banyak dijumpai di sebelah timur. Keadaan tanah di
wilayah kecamatan Cempaka sebagian besar terdiri dari tanah yang berbatu-batu
dan berpasir yang mengandung bahan galian tambang, seperti intan, emas,
batubara, koral, kerikil, pasir, dll. Sehingga di daerah ini dijumpai kegiatan
penambangan atau pendulangan intan.
Jumlah hujan tertinggi terjadi pada bulan maret, yaitu 425,7 mm,
sedangkan curah hujan terendah terjadi bulan september, yaitu 74,5 mm. Hari
hujan terendah terjadi pada bulan Agustus dan September, sedangkan jumlah hari
hujan tertinggi terjadi pada bulan Maret dan Desember.
2
Batas Wilayah kerja Puskesmas Cempaka adalah sebagai berikut :
1. Sebelah Utara : Kecamatan Banjarbaru Kota Banjarbaru.
2. Sebelah Selatan : Kecamatan Bati-bati Kabupaten Tanah Laut.
3. Sebelah Timur : Kecamatan Karang Intan Kabupaten Banjar.
4. Sebelah Barat : Kecamatan Landasan Ulin Kota Banjarbaru.
Luas Wilayah kerja Puskesmas Cempaka adalah 146,70 Km2 yang
meliputi empat Kelurahan yaitu :
1. Kelurahan Palam : 14,75 Km2
2. Kelurahan Bangkal : 29,8 Km2
3. Kelurahan Sungai Tiung : 21,5 Km2
4. Kelurahan Cempaka : 80,65 Km2
1.1.2 Data Demografi
Jumlah penduduk di Wilayah kerja Puskesmas Cempaka adalah 23.592
jiwa dengan jumlah Kepala Keluarga sebanyak 6.511 KK. Jumlah penduduk
Kelurahan Palam sebanyak 2.694 jiwa, Kelurahan Bangkal sebanyak 3.263 jiwa,
Kelurahan Sungai Tiung sebanyak 6.572 jiwa, dan Kelurahan Cempaka sebanyak
11.063 jiwa.
3
Tabel 1. Distribusi Penduduk Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin
di Wilayah Kerja Puskesmas Cempaka Tahun 2004
NoKelompok
Umur
Jenis KelaminJumlahLaki-
lakiPerempuan
1 00-04 1.265 1250 2.5152 5 - 9 thn 1.425 1335 2.763 10-14 thn 1.265 1285 2.554 15-19 1.298 1058 2.3565 20-24 1.305 1233 2.5386 25-29 1.061 1160 2.2217 30-34 1.039 1008 2.0478 35-39 921 865 1.7869 40-44 791 704 1.49510 45-49 392 431 82311 50-54 427 443 87012 55-59 194 208 40213 60-64 273 296 56914 65-69 92 121 21315 70-74 125 133 25816 75+ 61 128 18917 TT - - -Jumlah 11.934 11.658 23.592
Sumber : Kecamatan Cempaka dalam Angka tahun 2004
4
Grafik 1. Distribusi Penduduk Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin
di Wilayah Kerja Puskesmas Cempaka Tahun 2004
5
Tabel 2. Distribusi Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Wilayah Kerja
Puskesmas Cempaka Tahun 2004
No Mata Pencaharian Jumlah1 Petani Pemilik 27602 Petani penggarap 12903 Penyekop 1174 Pengusaha 55 Pengrajin 356 Buruh tambang 9587 Buruh bangunan 2708 Buruh Industri 299 PNS 19610 ABRI 125011 Pensiunan 250
Jumlah Sumber : Laporan Tahunan Puskesmas Cempaka tahun 2004
Diagram 1.Distribusi Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Wilayah Kerja
Puskesmas Cempaka Tahun 2004
6
Tabel 3. Distribusi Penduduk Menurut Jenis Pendidikan di Wilayah Kerja
Puskesmas Cempaka Tahun 2004
No Kelurahan
Tingkat Pendidikan
JumlahTdk tamat SD
Tamat SD-SLTP
Tamat SLTA keatas
1 Palam 97 585 95 27902 Bangkal 362 469 118 19953 Sei Tiung 775 1136 84 9494 Cempaka 824 1560 406 777
Jumlah2.058 3750 703 651131,61% 57,59% 10,80% 100%
Sumber : Laporan Hasil Pendataan Keluarga Kecamatan Cempaka tahun 2004
Grafik 2. Distribusi Penduduk Menurut Jenis Pendidikan di Wilayah Kerja
Puskesmas Cempaka Tahun 2004
7
Tabel 4. Data 10 Jenis Penyakit Terbanyak Puskesmas Cempaka Tahun 2004
No Jenis Penyakit Jumlah Kasus
1 Infeksi akut lain Pada Saluran Pernapasan atas (1302) 4738
2 Penyakit lain pada saluran pernapasan bagian atas (22) 2954
3 Tekanan Darah Tinggi (12) 1293
4 Penyakit pada sistem otot dan jaringan pengikat (21) 1972
5 Penyakit Kulit Alergi (2002) 742
6 Ginggivitis dan periodental (1503) 733
7 Penyakit Pulpa dan jaringan periapikal (1502) 731
8 Asma (1403) 649
9 Penyakit lain pada Saluran Pernapasan Akut (1303) 631
10 Diare (102) 603
Sumber : Laporan Tahunan Puskesmas Cempaka tahun 2004
Grafik 3. Data 10 Jenis Penyakit Terbanyak Puskesmas Cempaka Tahun 2004
8
Tabel 5.Data Hasil Penemuan Penderita Program P2 ISPA Puskesmas Cempaka
Tahun 2004
NO BULANPENEMUAN PENDERITA
NON PNEMONI PNEMONIBayi 1 - 4 Th Jumlah Bayi 1 - 4 Th Jumlah
1 Januari 50 93 143 8 16 242 Pebruari 61 131 192 11 11 223 Maret 91 167 258 12 25 374 April 72 112 184 14 22 365 Mei 52 102 154 8 6 146 Juni 56 101 157 6 4 107 Juli 60 145 205 11 22 338 Agustus 83 165 248 5 24 299 September 44 152 196 2 11 1310 Oktober 64 191 255 1 10 1111 Nopember 43 103 146 3 6 912 Desember 68 170 238 2 9 11
TOTAL 744 1632 2376 83 166 249
1.2 Latar Belakang
Tujuan utama pembangunan nasional adalah peningkatan kualitas sumber
daya manusia yang dilakukan secara berkelanjutan. Berdasarkan visi
pembangunan nasional melalui pembangunan kesehatan yang ingin dicapai untuk
mewujudkan Indonesia sehat 2010. Visi pembangunan gizi adalah mewujudkan
keluarga mandiri sadar gizi untuk mencapai status gizi keluarga yang optimal.2
Masukan gizi telah terbukti merupakan salah satu faktor penting yang
berpengaruh dalam pembangunan dan pembentukan kualitas sumber daya
manusia. Peningkatan kualitas hidup masyarakat akan berhasil dengan baik
apabila dilakukan sedini mungkin, yaitu dengan memberikan perhatian kepada
gizi balita.2
9
Masalah gizi di Indonesia masih merupakan masalah yang cukup berat.
Pada hakekatnya berpangkal pada keadaan ekonomi yang kurang dan kurangnya
pengetahuan tentang nilai gizi dari makanan-makanan yang ada. Makanan yang
sehat harus memenuhi syarat kualitas maupun kuantitas, disamping jangan
mengandung zat-zat/organisme-organisme yang dapat menimbulkan penyakit.
Masalah gizi juga timbul karena perilaku gizi seseorang yang salah, yaitu
ketidakseimbangan antara konsumsi gizi dan kecukupan gizinya. Bila konsumsi
selalu kurang dari kecukupan gizinya, maka seseorang menderita gizi kurang.
Sebaliknya, jika konsumsi melebihi kecukupan gizinya maka yang bersangkutan
akan menderita gizi lebih. Jumlah kebutuhan makanan tidaklah sama pada setiap
orang. Hal ini tergantung pada umur, jenis kelamin, tinggi dan berat badan, jenis
pekerjaan dan keadaan kesehatan orang itu sendiri.3
Anak usia dibawah lima tahun merupakan kelompok umur yang rawan
gizi dan rawan penyakit. Kelompok ini yang merupakan kelompok umur yang
paling menderita akibat gizi, dan jumlahnya dalam populasi besar.3
Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui.
Infeksi berat dapat memperjelek keadaan gizi melalui gangguan masukan
makanannya dan meninggikan kehilangan zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya
malnutrisi walaupun ringan berpengaruh negatif terhadap daya tahan tubuh
terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja sinergistik maka malnutrisi bersama-sama
dengan infeksi memberi dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan
dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi secara sendiri-sendiri. Akibat gizi
kurang sistem imunitas dan antibodi berkurang, sehingga orang mudah terserang
10
infeksi seperti pilek, batuk, dan diare. Pada anak-anak hal ini dapat membawa
kematian.4,5
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) masih merupakan masalah
kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini tampak dari hasil Survey Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 yang menunjukkan bahwa proporsi kematian
bayi akibat ISPA masih 29,5 %. Artinya dari 100 bayi yang meninggal 30 di
antaranya meninggal karena ISPA.2
Berdasarkan data profil kesehatan Dinas Kesehatan Propinsi Kalimantan
Selatan, prevalensi total di propinsi Kalimantan Selatan pada tahun 1999 sebesar
17,48 % dan pada tahun 2000 turun menjadi 10,43 %, pada tahun 2001 terjadi
peningkatan prevalensi gizi kurang pada balita total menjadi 12,5 %. Penemuan
jumlah kasus bayi, batita dan balita di bawah garis merah (BGM) melalui program
penimbangan bulanan tahun 2002 oleh Dinas Kota Banjarmasin berjumlah 5326
balita. Dari data rekapitulasi hasil penimbangan balita di Puskesmas Cempaka
periode Januari sampai Maret 2005, ditemukan kasus BGM (kasus baru dan lama)
6 orang bayi, 31 orang batita dan 20 orang balita. Di Puskesmas Cempaka pada
tahun 2004 penyakit ISPA menduduki peringkat pertama dari 10 penyakit
terbanyak. Jumlahnya mencapai 2376 balita. Pada periode bulan Januari sampai
Juni tahun 2005 sebanyak 1090 balita.
Berdasarkan data tersebut, jumlah balita BGM dan penderita ISPA pada
balita di puskesmas Cempaka cukup tinggi. Namun belum diketahui apakah balita
BGM yang ada tersebut berhubungan dengan penyakit ISPA. Dengan demikian
penelitian ini dilakukan guna membuktikan adanya hubungan balita BGM dengan
11
penyakit ISPA serta membuktikan apakah balita BGM merupakan faktor risiko
penyakit ISPA pada balita di Puskesmas Cempaka bulan Juni 2005.
1.3 Rumusan Penelitian
Apakah terdapat hubungan antara balita BGM dengan penyakit ISPA dan
apakah BGM itu merupakan faktor risiko penyakit ISPA pada balita di Puskesmas
Cempaka bulan Juni 2005.
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidak hubungan antara
balita BGM dengan penyakit ISPA dan untuk membuktikan apakah balita BGM
benar-benar merupakan faktor risiko terhadap terjadinya penyakit ISPA di
Puskesmas Cempaka bulan Juni 2005.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan atau informasi
kepada masyarakat tentang hubungan antara balita BGM dengan penyakit ISPA,
dan bahwa balita BGM merupakan salah satu faktor risiko yang menyebabkan
terjadinya penyakit ISPA. Diharapkan pula dapat berguna bagi perkembangan
ilmu pengetahuan umumnya dan ilmu gizi pada khususnya, serta dapat menjadi
data ilmiah bagi penelitian selanjutnya.
12
BAB II
KERANGKA TEORI
2.1 Kerangka Teori
2.1.1 Pengertian Dasar Mengenai Gizi Anak
Istilah gizi di Indonesia baru mulai dikenal sekitar tahun 1956 sebagai
terjemahan dari “nutrion”.5 Kata gizi berasal dari bahasa Arab “ghidza” dibaca
gizi. Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi
secara normal melalui proses digesti, absorbsi, transportasi, penyimpanan,
metabolisme, dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk
mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ,
serta menghasilkan energi.6 Nutrien ialah zat penyusun bahan makanan yang
diperlukan oleh tubuh untuk metabolisme, yaitu air, protein, lemak, karbohidrat,
vitamin dan mineral.5 Bahan makanan ialah hasil produksi pertanian, perikanan
dan peternakan. Beberapa jenis makanan dapat langsung dimakan sebagai
makanan, misalnya buah-buahan, susu, telur dan lain-lain.8
Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang gizi, merupakan salah satu
faktor primer yang menyebabkan masalah gizi kurang.5 Melaksanakan pemberian
makan yang sebaik-baiknya kepada bayi dan anak, bertujuan sebagai berikut :8
1. Memberikan nutrien yang cukup untuk kebutuhan; memelihara kesehatan
dan memulihkan bila sakit, melaksanakan berbagai jenis aktifitas,
pertumbuhan dan perkembangan jasmani serta psikomotor.
13
2. Mendidik kebiasaan yang baik tenteng memakan, menyukai dan
menentukan makanan yang diperlukan.
Makanan untuk bayi sehat terdiri dari:8
1. Makanan utama yaitu air susu ibu (ASI): jika ASI sama sekali tidak ada
dapat diberikan makanan buatan sebagai penggantinya.
2. Makanan pelengkap terdiri dari buah-buahan, biskuit, makanan padat bayi
yaitu bubur susu, nasi tim atau makanan lain yang sejenis
2.1.2 Gizi Status Gizi
Status gizi (nutrition status) merupakan ekspresi dari keseimbangan dalam
bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel
tertentu. Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status
gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi
yang digunakan secara efesien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik,
perkembangan otak, kemempuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat
setinggi mungkin. Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan
satu atau lebih zat-zat gizi esensial. Status gizi lebih terjadi bila tubuh
memperoleh zat-zat gizi dalam jumlah berlebihan, sehingga menimbulkan efek
toksik atau membahayakan. Baik pada status gizi kurang, maupun status gizi lebih
terjadi gangguan gizi.7,9
Status gizi memiliki pengertian status gizi anak atau seseorang pada suatu
saat yang didasarkan pada kategori dan indikator yang digunakan. Di bawah ini
adalah kategori status gizi menurut indikator yang digunakan dan batas-batasnya,
yang merupakan hasil kesepakatan nasional pakar gizi di Bogor bulan Januari
14
2000 dan di Semarang bulan Mei 2000, yang tercantum dalam Edaran Dirjen Bina
Kesehatan Masyarakat Nomor : KM.03.02.1.4.1298, tanggal 31 Juli 2000 tentang
Kartu Menuju Sehat (KMS) Balita, Pemantauan Status Gizi (PSG) dan
Pemantauan Konsumsi Gizi (PKG).9
Tabel 6. Baku Antropometri Menurut Standar WHO-NCHS.9
Indikator Status Gizi Keterangan
Berat Badan menurut Umur
(BB/U)
Gizi Lebih
Gizi Baik
Gizi Kurang
Gizi Buruk
2 SD
-2 SD sampai +2 SD
< -2 SD sampai –3 SD
< -3 SD
Tinggi Badan menurut Umur
(TB/U)
Normal
Pendek
-2 SD sampai + 2 SD
< -2 SD
Berat Badan menurut Tinggi
Badan (BB/TB)
Gemuk
Normal
Kurus
Kurus sekali
2 SD
-2 SD sampai +2 SD
< -2 SD sampai –3 SD
< -3 SD
2.1.3 Pemantauan Pertumbuhan
Pertumbuhan merupakan indikator perkembangan status gizi karena
pertumbuhan merupakan salah satu produk dari keadaan keseimbangan antara
asupan dan kebutuhan zat gizi (status Gizi). Pementauan pertumbuhan merupakan
suatu kegiatan yang dilakukan secara terus menerus (berkesinambungan) dan
teratur. Dengan pemantauan pertumbuhan, setiap ada gangguan keseimbangan
15
gizi panda seorang anak akan dapat diketahui secara dini melalui perubahan
pertumbuhannya. Dengan diketahuinya gangguan gizi secara dini maka tindakan
penanggulangannya dapat dilakukan dengan segera, sehingga keadaan gizi yang
memburuk dapat dicegah. Maka pemantauan pertumbuhan merupakan kegiatan
penting dalam rangka kewaspadaan gizi.9
Oleh karena itu kegiatan pemantauan pertumbuhan mempunyai tiga tujuan
penting, yaitu :9
1. Mencegah memburuknya keadaan gizi
2. Upaya meningkatkan keadaan gizi
3. Mempertahankan keadaan gizi yang baik.
Pada dasarnya semua informasi atau data yang diperlukan untuk
pemantauan pertumbuhan balita, bersumber dari data berat badan hasil
penimbangan balita bulanan yang diisikan ke dalam KMS untuk dinilai naik (N)
ate tidaknya (T). Tiga bagian kegiatan penting dalam pemantauan pertumbuhan
adalah :9
1. Ada kegiatan penimbangan yang dilakukan terus menerus secara teratur
2. Ada kegiatan mengisikan data berat badan anak ke dalam KMS
3. Ada penilaian naik ate turunnya berat badan anak sesuai dengan arah garis
pertumbuhannya.
Data yang digunakan untuk pemantauan pertumbuhan adalah :
N, T : Balita yang ditimbang 2 bulan berturut-turut dan garis pertumbuhan
panda KMS naik (N) ate tidak naik (T)
D : Jumlah balita yang ditimbang
16
O : Balita yang tidak ditimbang bulan sebelumnya
B : Anak yang baru pertama kali ditimbang panda bulan ini
BGM : Balita yang berat badannya di bawah garis merah panda KMS
Gambar 1. Mekanisme Pemeriksaan Lanjut Balita BGM5
2.1.4 Gangguan Gizi
Gangguan gizi disebabkan oleh faktor primer atau sekunder. Faktor primer
adalah bila susunan makanan seseorang salah dalam kuantitas dan atau kualitas
yang disebabkan oleh kurangnya penyediaan pangan,kurang baiknya distribusi
17
BGM
Ukur kembali panjang/tinggi dan berat badan
Periksa tanda-tanda klinis kwashiorkor/Marasmus
BB/TB < -3 SD ? Ya Tidak
Tidak ada Ya
Gizi Buruk
Bukan Gizi Buruk
pangan, kemiskinan, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang gizi, kebiasaan
makan yang salah. Faktor sekunder meliputi faktor yang menyebabkan zat-zat gizi
tidak sampai di sel-sel pencernaan, seperti gigi-geligi yang tidak baik, kelainan
struktur saluran cerna dan kekurangan enzim.9
A. Akibat Gizi Kurang pada Proses Tubuh
Akibat kurang gizi terhadap proses tubuh bergantung panda zat-zat apa
yang kurang. Kekurangan gizi seczrz umum (makanan kurang dalam kuantitas
dan kualitas) menyebabkan gangguan panda proses-proses :5
a. Pertumbuhan
Anak-anak tidak tumbuh menurut potensialnya. Protein digunakan sebagai
zat pembakar, sehingga otot-otot menjadi lembek dan rambut mudah rontok.
b. Produksi tenaga
Kekurangan energi berasal dari makanan, menyebabkan seseorang
kekurangan tenaga untuk bergerak, bekerja dan melakukan aktivitas. Orang
menjadi malas, merasa lemah dan produktivitas kerja menurun.
c. Pertahanan tubuh
Daya tahan terhadap tekanan ate stress menurun. Sistem imunitas dan
antibody berkurang, sehingga orang mudah terserang infeksi seperti pilek,
batuk, dan diare. Panda anak-anak hal ini dapat membawa kematian.
d. Struktur dan Fungsi Otak
Kurang gizi panda usia muda dapat berpengaruh terhadap perkembangan
mental, dengan demikian kemampuan berpikir. Otak mencapai bentuk
maksimal panda usia dua tahun.
18
e. Perilaku
Baik anak-anak maupun orang dewasa yang kurang gizi menunjukkan
perilaku tidak tenang. Mereka mudah tersinggung, cengeng dan apatis.
B. Akibat Gizi Lebih pada Proses Tubuh
Gizi lebih menyebabkan kegemukan ate obesitas. Kelebihan energi yang
dikonsumsi disimpan dalam jaringan dalam bentuk lemak. Kegemukan
merupakan salah satu factor risiko dalam terjadinya berbagai penyakit degeneratif,
seperti hipertensi, penyakit-penyakit diabetes, jantung koroner, hati dan kantung
empedu.5
2.1.5 Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
Penyakit ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak. Episode
penyakit batuk pilek pada balita di Indonesia diperkirakan sebanyak 3-6 kali
pertahun. Sebagai kelompok penyakit, ISPA merupakan salah satu penyebab
utama kunjungan pasien di sarana kesehatan. Sebanyak 40 – 60% kunjungan
berobat di puskesmas dan 15% - 30% kunjungan berobat di bagian rawat jalan
dan rawat inap rumah sakit disebabkan oleh ISPA.10
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi akut yang
menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung
(saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya,
seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura.10
Etiologi ISPA terdiri dari lebih dari 300 jenis bakteri, virus, dan rikectsia.
Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus Streptococcus,
Staphylococcus, Pneumococcus, Hemofilus, Bordetella, dan Korinebakterium.
19
Virus penyabab ISPA antara lain adalah golongan Myxovirus, Adenovirus,
Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma, Herpes virus.9 Gejala klinis penyakit
ISPA adalah batuk, pilek, dengan atau tanpa demam. Bila telah terjadi komplikasi
pneumoni terdapat gejala berupa napas cepat dan tarikan dinding dada ke
dalam 10.
2.1.6 Dampak Malnutrisi Terhadap Infeksi
Menurunnya status gizi berakibat menurunnya imunitas penderita terhadap
berbagai infeksi. Tubuh memiliki tiga macam pertahanan untuk menolak infeksi:
a) melalui sel (imunitas selular), b) melalui cairan (imunitas humoral), dan c)
aktivitas leukosit polimorfonukleus.4
Imunitas Seluler
Telah lama diketahui bahwa pada penderita KEP didapat kelenjar timus
dan tonsil yang atrofik, mengurangnya jumlah T-limfosit yang berkorelasi dengan
imunitas seluler. Oleh menurunnya imunitas seluler maka invasi kuman gram
negatif atau kuman-kuman yang biasanya tidak begitu virulen sering
menyebabkan kematian penderita KEP berat.4
Imunitas Humoral
Fagositosis mempunyai peranan yang penting dalam pertahanan tubuh
terhadap berbagai macam infeksi, walaupun beberapa kuman dapat
menghindarinya. Bergabungnya komplemen dengan antibodi dapat memperbesar
efisiensi fagositosis dan aktivitas membunuhnya. Stitayah Sirisinta tahun 1975
telah memeriksa kadar imunoglobulin penderita-penderita KEP dan hasilnya
20
menunjukkan bahwa kadar Ig G, Ig A, Ig M, dan Ig D tidak menurun, bahkan
kadar Ig A dan Ig D meninggi. Pada infeksi berat kadar imunoglobulin lebih
tinggi dibandingkan dengan infeksi ringan, mereka berasumsi bahwa sintesis
antibodi terhadap antigen pada KEP tidak terganggu. Akan tetapi berhasilnya
antibodi dalam menunaikan tugasnya tergantung pada kerja sama dengan
komponen humoral lain yang diberi nama komplemen. Maka walaupun terdapat
kadar antibodi tinggi, jika terdapat gangguan pada sistem komplemen, infeksi
lebih mudah terjadi. Pda penderita KEP kadar komplemen-komplemen serum ini
lebih rendah, terkecuali C4, jika dibandingkan dengan anak sehat. Dari
penyelidikan ini dapat diambil kesimpulan bahwa walaupun kadar imunoglobulin
pada KEP tidak menurun, bahkan meninggi, pada KEP terdapat gangguan
imunitas humoral yang disebabkan oleh menurunnya komplemen protein.4
Aktivitas Leukosit Polimorfonukleus
Leukosit bertugas untuk manfagositir kuman sebelum membunuhnya.
Pada penderita KEP aktivitas leukosit untuk memfagositir maupun membunuh
kuman menurun.4
BAB III
LANDASAN TEORI DAN HIPOTESA
3.1 Landarasn Teori
Menurunnya status gizi berakibat menurunnya imunitas penderita terhadap
berbagai infeksi. Tubuh memiliki tiga macam pertahanan untuk menolak infeksi:
21
a) melalui sel (imunitas selular), b) melalui cairan (imunitas humoral), dan c)
aktivitas leukosit polimorfonukleus.4
Imunitas Seluler
Telah lama diketahui bahwa pada penderita KEP didapat kelenjar timus
dan tonsil yang atrofik, mengurangnya jumlah T-limfosit yang berkorelasi dengan
imunitas seluler. Oleh menurunnya imunitas seluler maka invasi kuman gram
negatif atau kuman-kuman yang biasanya tidak begitu virulen sering
menyebabkan kematian penderita KEP berat.4
Imunitas Humoral
Fagositosis mempunyai peranan yang penting dalam pertahanan tubuh
terhadap berbagai macam infeksi, walaupun beberapa kuman dapat
menghindarinya. Bergabungnya komplemen dengan antibodi dapat memperbesar
efisiensi fagositosis dan aktivitas membunuhnya. Stitayah Sirisinta tahun 1975
telah memeriksa kadar imunoglobulin penderita-penderita KEP dan hasilnya
menunjukkan bahwa kadar Ig G, Ig A, Ig M, dan Ig D tidak menurun, bahkan
kadar Ig A dan Ig D meninggi. Pada infeksi berat kadar imunoglobulin lebih
tinggi dibandingkan dengan infeksi ringan, mereka berasumsi bahwa sintesis
antibodi terhadap antigen pada KEP tidak terganggu. Akan tetapi berhasilnya
antibodi dalam menunaikan tugasnya tergantung pada kerja sama dengan
komponen humoral lain yang diberi nama komplemen. Maka walaupun terdapat
kadar antibodi tinggi, jika terdapat gangguan pada sistem komplemen, infeksi
lebih mudah terjadi. Pda penderita KEP kadar komplemen-komplemen serum ini
lebih rendah, terkecuali C4, jika dibandingkan dengan anak sehat. Dari
22
penyelidikan ini dapat diambil kesimpulan bahwa walaupun kadar imunoglobulin
pada KEP tidak menurun, bahkan meninggi, pada KEP terdapat gangguan
imunitas humoral yang disebabkan oleh menurunnya komplemen protein.4
Aktivitas Leukosit Polimorfonukleus
Leukosit bertugas untuk manfagositir kuman sebelum membunuhnya.
Pada penderita KEP aktivitas leukosit untuk memfagositir maupun membunuh
kuman menurun.4
Secara singkat landasan teori diatas dapat digambarkan sebagai berikut :
23
Status Gizi (BGM)
Imunitas Tubuh
Imunitas Selular
Imunitas Humoral
Aktivitas leukosit PMN
Kelenjar timus dan tonsil atrofi
Komplemen Protein
Aktivitas Leukosit
3.2 Hipotesis
Terdapat hubungan antara balita BGM dengan penyakit ISPA dan BGM
merupakan faktor risiko penyakit ISPA pada balita di Puskesmas Cempaka bulan
Juni 2005.
BAB IV
METODOLOGI
.
4.1 Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah data balita yang berkunjung ke poli umum
puskesmas Cempaka bulan Juni 2005.
Kriteria inklusi dari tesponden :
1. Data register balita usia 0 - 4 tahun di poli umum di Puskesmas Cempaka
bulan Juni 2005.
2. Data lengkap berisi umur, berat badan dan diagnosa penyakit.
3. Data balita dihitung berdasarkan kasus bukan berdasarkan jumlah
kunjungan.
24
Mudah terjadi infeksi
Kriteria eksklusi dari responden :
1. Data register balita usia diatas 4 tahun di poli umum Puskesmas
Cempaka.
2. Data tidak lengkap.
4.2 Alat dan Prasarana Penelitian
Alat yang digunakan adalah data register dan status balita usia 0 – 4 tahun
yang ada di poli umum puskesmas Cempaka pada bulan Juni 2005 dan Kartu
Menuju Sehat (KMS).
4.3 Variabel-Variabel Penelitian
4.3.1 Variabel Bebas (Independent Variable)
Variabel bebas pada penelitian ini adalah balita BGM bulan Juni 2005.
4.3.2 Variabel Terikat (Dependent Variable)
Variabel terikat pada penelitian ini adalah balita penderita ISPA bulan
Juni 2005.
4.3.3 Variabel Pengganggu
Variabel pengganggu pada penelitian ini adalah tingkat sosial ekonomi,
pendidikan, lingkungan, ketelitian dalam pencatatan serta pengambilan
data.
4.4 Definisi Operasional
1. Balita adalah Anak yang berusia 0 - 4 tahun
25
2. Berat badan merupakan ukuran indeks gizi dan pertumbuhan tubuh dari
responden.
3. BGM adalah Balita yang berat badannya di bawah garis merah pada KMS
pada catatan terakhir.
4. ISPA adalah penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian dan
atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung (saluran atas) hingga
alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus,
rongga telinga tengah dan pleura.
5. BGM (+), ISPA (+) adalah : Balita yang berat badannya di bawah garis
merah pada KMS, yang diperoleh dari hasil pengukuran berat badan
berdasarkan umur yang dicocokkan pada KMS. Serta data balita penderita
ISPA yang berkunjung ke puskesmas Cempaka bulan Juni 2005.
6. BGM (+), ISPA (-) adalah : Balita yang berat badannya di bawah garis
merah pada KMS, yang diperoleh dari hasil pengukuran berat badan
berdasarkan umur yang dicocokkan pada KMS. Serta data balita selain
penderita ISPA yang berkunjung ke puskesmas Cempaka bulan Juni 2005.
7. BGM (-), ISPA (+) adalah : Balita yang berat badannya di atas garis
merah pada KMS, yang diperoleh dari hasil pengukuran berat badan
berdasarkan umur yang dicocokkan pada KMS. Serta data balita penderita
ISPA yang berkunjung ke puskesmas Cempaka bulan Juni 2005.
8. BGM (-), ISPA (-) adalah : Balita yang berat badannya di atas garis
merah pada KMS, yang diperoleh dari hasil pengukuran berat badan
26
berdasarkan umur yang dicocokkan pada KMS. Serta data balita selain
penderita ISPA yang berkunjung ke puskesmas Cempaka bulan Juni 2005.
9. Rasio prevalens adalah perbandingan antara prevalens penyakit (efek)
pada kelompok dengan risiko dengan prevalens efek pada kelompok tanpa
risiko. Interpretasinya :
- Bila nilai rasio prevalens = 1 berarti variabel yang diduga merupakan
faktor risiko tersebut tidak ada pengaruhnya untuk terjadinya efek,
dengan kata lain bersifat netral.
- Bila nilai rasio prevalens > 1, maka berarti variabel tersebut
merupakan faktor risiko untuk timbulnya penyakit tertentu.
- Bila nilai rasio prevalens < 1, berarti faktor yang diteliti tersebut justru
mengurangi kejadian penyakit, dengan kata lain variabel yang diteliti
tersebut merupakan faktor protektif.
- Bila nilai rasio prevalens mencakup angka 1, maka berarti pada
populasi yang diwakili oleh sampel tersebut mungkin nilai
prevalensnya = 1, sehingga belum dapat disimpulkan bahwa faktor
tersebut merupakan faktor risiko.
4.5 Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan secara observasional analitik dengan
menggunakan metode cross-sectional.
4.6 Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilakukan sesuai dengan prosedur berikut ini :
27
a. Pengumpulan Data
Data diambil dari register harian poli umum dan status bulan Juni 2005
yang ada di bagian pendaftaran di puskesmas Cempaka.
b. Pencatatan Data
Data dicatat dengan cara sebagai berikut :
- Mencatat data penderita ISPA pada balita dan umur dalam satuan
bulan yang diperoleh dari buku register harian poli umum
puskesmas Cempaka pada bulan Juni 2005.
- Mencari status yang ada di bagian pendaftaran di puskesmas
Cempaka.
- Mencatat berat badan yang ada pada status tersebut dalam satuan
kilogram
- Melihat dan mencatat berat badan berdasarkan umur pada KMS
apakah berada di bawah garis merah atau di atas garis merah.
4.7 Analisa Data
Setelah data dari status diperoleh, data tersebut kemudian dikumpulkan
dan diolah. Data yang sudah diolah kemudian dianalisis untuk mencari hubungan
antara balita BGM dengan penyakit ISPA. Analisa data ini dengan menggunakan
uji Chi-square pada tahap kepercayaan 95%. Kemudian dilakukan studi cross
sectional untuk memperoleh rasio prevalens dengan menggunakan rumus sebagai
berikut :
Efek Jumlah
28
Ya Tidak
Faktor
Risiko
Ya A B A + B
Tidak C D C + D
Keterangan :
A = subjek dengan faktor risiko yang mengalami efek
B = subjek dengan faktor risiko yang tidak mengalami efek
C = subjek tanpa faktor risiko yang mengalami efek
D = subjek tanpa faktor risiko yang tidak mengalami efek
Rumus Ratio Prevalens :
RP = A / (A+B) : C/ (C+D)
Keterangan :
A / (A+B) = proporsi (prevalens) subjek yang mempunyai faktor risiko yang
mengalami efek, sedangkan
C/ (C+D) = proporsi (prevalens) subjek tanpa faktor risiko yang mengalami
efek.
4.8 Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Cempaka pada bulan
Agustus 2005.
29
BAB V
JADWAL KEGIATAN
Tabel 7. Jadwal Kegiatan
No Keterangan
Minggu
VII VIII IX X
1 Penyusunan Proposal
2 Persiapan Lapangan
3Pengumpulan, Pengolahan dan Analisa
Data
4 Penyusunan Laporan
5 Presentasi
30
BAB VI
HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1 Hasil
Dari hasil analisa data balita yang berkunjung ke poli anak di puskesmas
Sungai Jingah pada bulan September - Nopember 2005 yang memenuhi kriteria
inklusi adalah 752 balita.
Berdasarkan data hasil penelitian, maka data bayi dan balita penderita
ISPA dan Gizi kurang/buruk pada bulan September – Nopember 2005 dapat
dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 8.Data balita penderita ISPA di puskesmas Sungai Jingah pada bulan
September – Nopember 2005.
No Keterangan Jumlah Prosentase
1 Balita penderita ISPA 168 22,34 %
2 Balita yang tidak menderita ISPA 584 77,66 %
Jumlah 752 100 %
31
Tabel 9. Data balita gizi kurang dan buruk di puskesmas Sungai Jingah pada
bulan September – Nopember 2005.
No Keterangan Jumlah Prosentase
1 Balita gizi kurang- buruk 216 28,72 %
2 Balita yang tidak gizi kurang – buruk 536 71,28%
Jumlah 752 100 %
Tabel 10. Data balita penderita ISPA dan balita gizi kurang- buruk pada bulan
September – Nopember 2005.
ISPAJUMLAHPOSITIP
(+)NEGATIP
(-)
GIZI KURANG-
BURUK
POSITIP(+)
50 166 216
NEGATIP(-)
118 418 536
JUMLAH 168 584 752
Tabel 11. Hasil Perhitungan Chi-square Hubungan Penyakit ISPA dengan balita
Gizi kurang-buruk
Hubungan dengan balita BGMHubungan
X2 Survei X2 Tabel
Penyakit ISPA 0,113 3,84 Tidak bermakna
Tabel 11 di atas menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan yang tidak
bermakna antara balita gizi kurang -buruk dengan penyakit ISPA.
32
Hasil perhitungan ratio prevalens adalah sebesar 1,05 hal ini
menunjukkan bahwa balita gizi kurang- buruk belum dapat disimpulkan sebagai
faktor risiko terhadap terjadinya penyakit ISPA.
6.2 Pembahasan
Pada umumnya infeksi yang sering menyerang pada balita adalah infeksi
saluran pernapasan akut yang sering dikenal dengan ISPA.
Pada penelitian ini ditetapkan subjek penelitian adalah balita yang datang
ke poli anak puskesmas Sungai Jingah pada bulan September - Nopemberr 2005
yang tercatat pada register dan status di puskesmas Sungai Jingah sebanyak 752
yang memenuhi syarat, yaitu data balita yang berusia 0 – 4 tahun yang datang ke
puskesmas pada bulan September – Nopember 2005, data lengkap berisi berat
badan dan umur.
Berdasarkan data yang ada, pada bulan September – Nopember 2005
jumlah balita penderita ISPA yang datang ke poli umum puskesmas Cempaka
sebanyak 168 balita, kurang lebih 22,34% dari semua jumlah balita yang datang
ke poli anak puskesmas Sungai Jingah pada bulan September - Nopember 2005.
Sedangkan yang selain penderita ISPA ada 584 balita (77,60 %) . Balita gizi
kurang - buruk yang datang ke poli anak puskesmas Sungai Jingah adalah 216
balita hanya 28,72 % dari semua balita yang berkunjung pada bulan September -
Nopember 2005. Sedangkan jumlah balita yang tidak gizi kurang – buruk
sebanyak 536 balita (71,28 %).
Untuk mengetahui hubungan antara balita gizi kurang –buruk dengan
penyakit ISPA digunakan analisis uji Chi square. Dari hasil analisis tersebut
33
didapatkan hasil bahwa X2 kurang dari X2 tabel pada tingkat kepercayaan 95%
yang berarti H0 diterima sehingga terdapat hubungan yang tidak bermakna secara
signifikan (p < 0,05) antara balita gizi kurang- buruk dengan penyakit ISPA.
Hal ini kemungkinan disebabkan karena gizi kurang - buruk merupakan suatu
keadaan kronis sedangkan ISPA merupakan suatu keadaan akut, sehingga pada
saat dilakukan penelitian kemungkinan balita gizi kurang - buruk tidak sedang
menderita ISPA .
Jumlah balita gizi kurang- buruk yang menderita ISPA pada penelitian ini
sebanyak 50 balita. Hal ini kemungkinan terjadi secara kebetulan, karena salah
satu kelemahan pada studi cross sectional adalah sulit untuk menentukan sebab
dan akibat karena pengambilan data risiko dan efek dilakukan pada saat yang
bersamaan (temporal relationship tidak jelas). Akibatnya sering tidak mungkin
ditentukan mana yang sebab dan mana akibat.
Pada data perhitungan ratio prevalens terdapat jumlah balita gizi kurang -
buruk sebanyak 216 balita, 50 diantaranya menderita ISPA. (prevalens penyakit
ISPA pada balita BGM = 50 / 216 = 0,231). Terdapat 536 balita yang tidak gizi
kurang - buruk, 118 di antaranya menderita ISPA ( prevalens penyakit ISPA pada
balita yang tidak gizi kurang - buruk = 118 /536 = 0,220).Maka ratio prevalens
diperoleh hasil sebesar 1,05. Ini berarti balita gizi kurang - buruk belum dapat
disimpulkan sebagai faktor risiko terhadap terjadinya penyakit ISPA. Hal ini
kemungkinan disebabkan karena balita gizi kurang - buruk dan penyakit ISPA
dinilai hanya satu kali saja sehingga tidak dapat diketahui seberapa jauh balita gizi
kurang – buruk menyebabkan ISPA. Untuk itu perlu dilakukan penelitian secara
34
retrospective dengan mengidentifikasi subyek dengan efek sebagai kelompok
kontrol, dan mencari subjek yang tidak mengalami efek (kelompok kasusl). Faktor
risiko yang diteliti ditelusuri retrospektif pada kedua kelompok, kemudian
dibandingkan.11
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh
kesimpulan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara balita gizi
kurang - buruk dengan penyakit ISPA pada bulan September - Nopember 2005 di
puskesmas Sungai Jingah, sehingga balita gizi kurang - buruk masih meragukan
sebagai faktor resiko penyakit ISPA.
7.2 Saran
Untuk perbaikan dan penyempurnaan penelitian yang akan datang,
peneliti menyarankan agar dilakukan penelitian secara retrospektif untuk mencari
hubungan seberapa jauh balita gizi kurang-buruk mempengaruhi penyakit ISPA,
selain itu dilakukan juga penelitian terhadap faktor lain yang juga mempengaruhi
35
terjadinya penyakit ISPA seperti faktor lingkungan, tingkat sosial ekonomi dan
pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim. Laporan Tahunan Puskesmas Cempaka Tahun 2004. Dinas Kesehatan Kota Banjarbaru 2005
2. Anonim. Perbaikan Gizi Makro. Depkes RI. Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat. Direktorat Gizi Masyarakat
3. Depkes RI. Pesan Dasar Gizi Seimbang, Jakarta 1995
4. Pudjiadi Solihin.Ilmu Gizi Klinis pada Anak. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Jakarta 1990.
5. Almatsier Sunita. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta 2001.
6. Suprajasa IDN, Bahri B & Fajar I Penilaian Status Gizi Malang : Depkes RI, pusat pendidikan tenaga kerja kesehatan. Akademi Gizi Malang, 2000
7. Jahari AB. Antropometri Sebagai Indikator Status Gizi. Gizi Indonesia, 1998
8. Hasan R, Alatas H, ed. Pneumonia. Dalam : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Jilid 2. Bagian FKUI, Jakarta ; 2000 : 1228-1233
36
9. Anonim. Pemantauan Pertumbuhan Balita, Departemen Kesehatan RI,
Jakarta 2002
10. Anonim. Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut Departemen Kesehatan RI. Jakarta 2002.
11. Sastroasmoro,S. Dasar –Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Bagian Ilmu Kesehatan Anak. FKUI, Jakarta ; 1995
37