isi tugas akhir imma

  • Upload
    sowthet

  • View
    213

  • Download
    6

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan negara kelautan dengan wilayah perairan mencakup 70 % dari luas wilayah Indonesia. Perairan merupakan penunjang kehidupan manusia, baik ditinjau dari sumber alamnya misalnya berbagai pemasok kebutuhan akan protein hewani maupun sebagai media transportasi perdagangan antar pulau dalam negara. Luasnya perairan Indonesia menyebabkan banyak penduduk

memanfaatkan perairan tersebut sebagai lahan untuk usaha budidaya. Salah satu komoditas yang dikembangkan dalam usaha budidaya tersebut adalah rumput laut Eucheuma cottoni yang lebih dikenal dalam dunia perdagangan dengan nama dagang Kappaphycus alvarezii. Metode perbanyakan benih rumput laut Kappaphycus alvarezii dapat dilakukan melalui teknik kultur jaringan, namun dalam pelaksanaannya ditemukan beberapa kendala, antara lain metode sterilisasi pada eksplan, penggunaan pupuk yang paling sesuai untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan di laboratorium sampai aklimatisasi di lapangan (Suryati, Sulaeman, Parenrengi dan Rosmiati, 2008). Perbanyakan dan penyediaan benih secara vegetatif melalui kultur jaringan diharapkan dapat menghasilkan benih yang lebih besar dan mempunyai daya pertumbuhan lebih cepat (Lideman, 2004), serta menghasilkan tanaman baru yang lebih tahan terhadap penyakit. Untuk itu, penyempurnaan dan penguasaan tehnik

1

kultur jaringan khususnya Kappaphycus alvarezii dengan menggunakan media Conwy masih perlu dilakukan. Selain penggunaan media Conwy di dalam kultur jaringan juga diperlukan hormon yang diharapkan mampu mempercepat keluarnya titik tunas/ atau titik tumbuh yang lebih banyak, oleh karena itu di perlukan penambahan hormon dari luar yang berfungsi untuk merangsang pertumbuhan, misalnya pembentukan tunas, perkecambahan dan sebagainya. Sehubungan dengan hal tersebut maka dibutuhkan pengetahuan dan keterampilan dalam melakukan regenerasi rumput laut melalui teknik kultur jaringan. Untuk itu, dalam karya tulis ini akan diuraikan teknik regenerasi rumput laut melalui kultur jaringan dengan penambahan hormon IAA untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas benih. 1.2 Tujuan dan Kegunaan Tujuan tugas akhir ini adalah untuk menguraikan teknik kultur jaringan rumput laut spesies Kappaphycus alvarezii dengan menggunakan media Conwy yang diperkaya dengan hormon IAA dan campuran vitamin untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas benih. Hasil kegiatan ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi mengenai teknik kultur jaringan rumput laut Kappaphycus alvarezii dengan metode cair.

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1.

Taksonomi Rumput Laut Secara taksonomi rumput laut Kappaphycus alvarezii (Gambar1) menurut

Ask & Azanza (2002) dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Phylum Kelas Sub kelas Ordo Famili Genus Spesies : Rhodophyta : Rhodophyceae : Florideophycidae : Gigartinales : Soliericeae : Kappaphycus : Kappaphycus alvarezii

Gambar 1. Rumput alvarezii

Laut Kappaphycus

Di Indonesia rumput laut dikenal dua kelompok (genus) utama yang dibudidayakan yakni Gracilaria di tambak dan Eucheuma di perairan pantai.

3

Rumput laut Eucheuma cottoni yang selama ini lebih dikenal oleh pembudidaya rumput laut adalah sinonim dari nama K. alvarezii. Nama K. alvarezii tersebut secara taksonomis telah menggantikannya atas dasar tipe kandungan karaginan yang dihasilkan yakni kappa-karaginan (Ask dan Azanza, 2002). 2.2. Morfologi Identitas dari rumput laut K. alvarezii adalah thallus silindris, permukaan licin, cartilageneus, warna hijau, hijau kekuningan, abu-abu, coklat atau merah. Penampakan thallus bervariasi mulai dari bentuk sederhana sampai kompleks, duri duri pada thallus terdapat juga sama halnya dengan Eucheuma denticulatum tetapi tidak tersusun melingkari thallus. Percabangan keberbagai arah dengan batang-batang utama keluar saling berdekatan di daerah basal. Tumbuh melekat ke substrat dengan alat pelekat berupa cakram, bentuk thalusnya tegak dan bulat dengan ukuran panjang 5 cm sampai 30 cm dan mempunyai cabang yang tembus cahaya (Doty dalam Malingkas, 2000). Cabang-cabang pertama dan kedua tumbuh membentuk rumpun yang rimbun dengan ciri khusus mengarah kearah datangnya sinar matahari. Cabang-cabang tersebut tampak ada yang memanjang atau melengkung seperti tanduk. 2.3. Reproduksi Perkembangbiakan rumput laut pada dasarnya terbagi menjadi dua macam yaitu secara generatif dan vegetatif. Secara generatif reproduksi rumput laut dikenal juga sebagai perkembangbiakan secara kawin. Rumput laut diploid (2n) menghasilkan spora yang haploid (n). spora ini kemudian menjadi dua jenis yakni jantan dan betina yang masing-masing bersifat haploid (n). selanjutnya rumput

4

laut jantan akan menghasilkan sperma dan rumput laut betina akan menghasilkan suatu perkawinan dengan terbentuknya zigot yang akan tumbuh menjadi tanaman baru. Sedangkan secara vegetatif berlangsung tanpa melalui perkawinan, setiap bagian rumput laut yang dipotong akan tumbuh menjadi rumput laut muda yang mempunyai sifat seperti induknya. Perkembangbiakan dengan vegetatif lebih umum dilakukan dengan cara stek dari cabang-cabang thalus yang muda, masih segar, warna cerah dan memiliki percabangan yang rimbun serta terbatas dari penyakit (Parengrengi dan Sulaeman, 2005)

2.4. Habitat dan Syarat Hidup Eucheuma cottoni pada umumnya hidup baik pada aliran air laut yang konstan dan stabil, selain itu mempunyai variasi tempratur harian kecil. Pertumbuhan thalus pada bagian ujung (apical) lebih cepat dibandingkan dengan bagian pangkal (basal) dan laju pertumbuhan berkorelasi secara positif dengan kandungan nitrogen di dalam tanaman (Risjani, 2000), selain itu K. alvarezii tumbuh di daerah pasang surut (interdital) atau pada daerah yang selalu terendam air, umumnya tumbuh dengan baik di daerah pantai terumbu (reef), karena di daerah tersebut beberapa persyaratan hidup rumput laut jenis ini banyak terpenuhi. Syarat-syarat antara lain : kedalaman perairan, cahaya, substrak dan gerakan air (Aslan, 1998). Rumput laut tumbuh di seluruh bagian hidrosfire sampai batas kedalaman 200 meter (Poncomulyo, 2006). Sedangkan menurut Atmaja (1980), dalam wilayah perairan Indonesia rumput laut jenis K. alvarezii tersebar di daerah Lombok, Sumba, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah,

5

Lampung, Kepulauan seribu dan Perairan Pelabuhan Ratu. Parameter lingkungan utama dari rumput laut adalah kekeruhan/kecerahan, kandungan padatan terlarut dan tersuspensi, serta arus laut. Tumbuhan muda dari rumput laut akan tumbuh optimal ketika mendapatkan cukup cahaya (Dahuri dkk., 2004). 2.5. Hama dan Penyakit Penyakit rumput laut dapat di identifikasikan sebagai suatu gangguan fungsi atau terjadinya perubahan anatomi atau struktur yang normal, seperti terjadinya perubahan dalam laju pertumbuhan dan penampakan (misalnya : warna, bentuk dan lain-lain) yang pada akhirnya berpengaruh terhadap tingkat produktifitas hasil. Terjadinya penyakit umumnya disebabkan oleh adanya interaksi antara faktor lingkingan (suhu, kecerahan, salinitas dan lain-lain) dengan demikian dapat dikatakan bahwa timbulnya dimulai dari adanya penurunan/ perubahan factor lingkungan. Hama yang menyerang tanaman budidaya rumput laut berdasarkan ukuran besar kecilnya hama dikelompokkan menjadi dua bagian, (Kurniastuty, P. Hartono dan Muawanah, 2002). 1. Hama mikro yaitu kelompok hama yang berukuran panjang kurang dari 2 cm dan melekat pada thallus tanaman rumput laut, seperti larva bulu babi (Tripneustes) dan larva teripang (Holothuria sp.). 2. Hama makro yaitu hama yang berukuran lebih 2 cm seperti bintang laut (Protoneostes), ikan baronang (Siganus sp.) dan penyu laut (Chelonian midas), Bulu babi (Diadema) dan bulu babi duri pendek (Tripneustes). Selain gangguan hama, rumput laut juga sering diserang oleh penyakit

6

yang disebabkan oleh bakteri, virus dan jamur. Jenis penyakit yang sering menyerang rumput laut adalah ice-ice. Penyakit ice-ice timbul karena adanya perubahan kondisi lingkungan seperti suhu, arus, kecerahan dan perubahan musim (Doty dan Alvarez, 1975). Penyakit ini biasanya menyerang pada saat terjadi kenaikan suhu yang cukup tinggi, yaitu lebih dari 30oC (Hoyle, 1975). Gejala yang timbul akibat serangan penyakit ice-ice adalah pertumbuhan yang lambat dan terjadi perubahan warna menjadi pucat atau warna tidak cerah, hampir seluruh thallus pada beberapa cabang menjadi putih dan membusuk dengan tingkat penyerangan yang terjadi dalam waktu yang cukup lama. 2.6. Kultur Jaringan In Vitro Kultur in vitro merupakan teknik pemeliharaan jaringan atau bagian dari individu secara buatan (artifisial). Kultur in vitro secara umum dikenal dengan nama kultur jaringan (tissue culture), pemberian nama ini karena kegiatan berkaitan dengan jaringan. Dikatakan in vitro (bahasa Latin, berarti "di dalam kaca") karena jaringan dibiakkan di dalam tabung inkubasi atau cawan Petri dari kaca atau material tembus pandang lainnya. Kultur in vitro secara teoritis dapat dilakukan untuk semua jaringan, baik dari tumbuhan maupun hewan (termasuk manusia) namun masing-masing jaringan memerlukan komposisi media tertentu (Aslamyah, 2002). Keuntungan dari kultur in vitro adalah lebih hemat tempat, hemat waktu dan tanaman yang diperbanyak cenderung mempunyai sifat sama atau seragam dengan induknya. Contoh tanaman yang sudah lazim diperbanyak secara kultur jaringan adalah tanaman anggrek, beberapa crop plants dan juga seaweeds.

7

(Aslamyah, 2002). BAB III METODOLOGI

3.1. Waktu dan Tempat Kegiatan Pengalaman Kerja Praktik Mahasiswa (PKPM) ini dilaksanakan pada 17 Maret hingga 17 Juni 2009, bertempat di Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau (BRPBAP) Maros, Kabupaten Maros, Propinsi Sulawesi Selatan. 3.2. Metode penulisan Metode penulisan yang digunakan dalam penyusunan tugas akhir ini menggunakan metode deskriktif berdasarkan hasil kegiatan PKPM, wawancara dengan mentor, pembimbing lapangan, dosen pembimbing serta penelusuran pustaka. 3.3. Metode Kerja

3.3.1. Alat dan Bahan Wadah yang digunakan untuk pemeliharaan eksplan adalah botol kultur yang telah disucihamakan dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121OC dengan tekanan 20 psi selama 15 menit, erlenmeyer yang telah disucihamakan tetapi belum digunakan disimpan di dalam oven dan inkubator untuk menghindari terjadinya kontaminasi. Air laut yang digunakan adalah air laut salinitas 25 o/oo dan 30 o/oo yang berasal dari bak penampungan dan yang telah disaring melalui membran filter dan

8

saringan ultrafiltrasi serta disterilkan dengan menggunakan autoklaf. Media yang digunakan dalam pemeliharaan eksplan adalah media conwy (Tabel 1) yang telah disterilkan menggunakan autoklaf pada suhu 121OC dengan tekanan 20 psi selama 15 menit, media tersebut dicampur dengan antibiotik dan hormon IAA 1 ppm. Tabel 1. Komposisi media kultur Conwy Bahan Stock A: FeCl3.6H2 O MnCl3.6H2 O H3BO3 EDTA (Na-salt) 20 N4H2PO4.2H2O NaNO3 Aquadest Stock B (Trace Metal): ZnCl2 CoCl2.6H2O (NH4)6.MO6 O 24 CuSO4.5 H2O Aquadest 2,1 2 0,9 2 100 ml gram gram gram gram 100 1000 gram gram ml 1,3 0,36 33,6 45 gram gram gram gram Dosis Satuan

9

Campuran Vitamin Vitamin B12 Vitamin B1 Aquadest 10 200 100 mg mg ml

Eksplan yang dikultur merupakan rumput laut yang segar yang diambil di pantai Politani yang telah dipotong-potong 2 cm dan disterilisasi dengan menggunakan betadine 1 % dan antibiotik 0,1 %. 3.4. Prosedur Kerja 3.4.1. Sterilisasi Botol Kultur Botol kultur dicuci dengan menggunakan sabun sunlight dan dibilas dengan air tawar mengalir, botol kultur yang sudah bersih dibilas dengan HCl 10 % dan dibilas lagi dengan air tawar mengalir sampai bersih, dan terakhir dibilas lagi dengan aquadest. Botol tersebut disterilisasi secara basah dengan menggunakan autoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit dengan tekanan 20 psi, setelah itu dimasukkan ke dalam ruangan steril dengan suhu 200C. 3.4.2. Sterilisasi Erlenmeyer Erlenmeyer yang sudah dipakai dicuci dengan sabun dan dibilas dengan air tawar mengalir sampai bersih kemudian dikeringkan. Setelah kering erlenmeyer ditutup dengan aluminium foil kemudian diikat dengan karet gelang dan

10

dimasukkan kedalam oven dengan suhu 1000C selama 4 jam, setelah itu disimpan di inkubator pada suhu 400C. 3.4.3. Sterilisasi Selang, Pipet, Pinset dan Batu Aerasi. Selang, pipet, pingset dan batu aerasi dicuci bersih dengan menggunakan sabun kemudian dibilas dengan air tawar mengalir sampai bersih dan keringkan, setelah kering dibungkus dengan aluminium foil dan dimasukkan kedalam autoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit dengan tekanan 20 psi.

3.4.4. Sterilisasi Air Laut Air laut yang ada di bak penampungan dipompa ke bak fiber dengan menggunakan membran filter kemudian dialirkan lagi ke kontainer dengan menggunakan saringan ultrafiltrasi. Air tersebut dimasukkan ke dalam labu ukur dan erlenmeyer lalu ditutup dengan aluminium foil dan diikat dengan karet gelang. Air dalam erlenmeyer dimasukkan ke dalam autoklaf dan disterilisasi pada pada suhu 1210C selama 15 menit dengan tekanan 20 psi.

3.4.5. Pembuatan Media Bahan ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik yang dilapisi dengan kertas saring sesuai dengan komposisi atau takaran yang telah ditentukan. Bahan yang telah ditimbang dimasukkan ke dalam Erlenmeyer dan dilarutkan dengan menggunakan aquadest steril dan dihomogenkan dengan menggunakan ultra sonik. Setelah itu, bahan di panaskan diatas hot plate sampai mendidih dan ditambahkan dengan trace metal kemudian dimasukkan kedalam botol kultur.

11

3.4.6. Seleksi Eksplan Rumput laut yang akan dijadikan eksplan untuk dikultur langsung diambil dari laut pada pagi hari supaya tidak terkena sinar matahari dengan persyaratan bibit harus segar dan baru, masih muda dan memiliki percabangan banyak, rimbun dan berujung runcing, selain itu bebas dari hama dan penyakit. 3.4.7. Sterilisasi Eksplan Eksplan yang telah dipotong-potong dengan menggunakan scalpel atau pisau bedah dengan ukuran 2 cm. Dimasukkan ke dalam wadah yang berisi Air laut salinitas 30 . Setelah pemotongan selesai, eksplan dibilas dengan betadine 1 % dengan cara menggojok gojok dan dilanjutkan dengan pembilasan menggunakan air laut steril secara berulang-ulang. Eksplan selanjutnya disterilisasi menggunakan campuran antibiotik 0,1 % dan dibilas dengan air laut steril secara berulang-ulang sampai antibiotiknya hilang. 3.4.8. Pemeliharaan Eksplan Air laut steril dimasukkan kedalam erlenmeyer dengan volume 1000 ml kemudian ditambahkan pupuk Conwy sebanyak 2 ml dan diperkaya dengan vitamin 50 l serta campuran antibiotik 10 ppm. Erlenmeyer digocok atau dihomogenkan agar larutan tersebut dapat tercampur dengan baik. Eksplan yang telah steril dimasukkan kedalam botol kultur sebanyak 20 eksplan perbotol yang ditutup dengan plastik transparan yang diikat dengan karet gelang. Botol kultur yang berisi eksplan ditempatkan diatas shaker dengan kecepatan 55 rpm dan kultur dilakukan pada suhu 20oC dengan intensitas cahaya 1500 lux dengan 12

12

jam periode terang dan 12 jam periode gelap. Pada minggu ke dua media yang digunakan hanya pupuk Conwy sebanyak 2 ml yang diperkaya dengan campuran vitamin 50 l sebagai kontrol. Kemudian minggu ketiga baru ditambahkan dengan hormon IAA sebayak 1 ppm. Kegiatan yang dilakukan dibagi 2 perlakuan yaitu dengan menggunakan media Conwy sebagai kontrol dan selebihnya menggunakan tambahan hormon IAA 1 ppm. Media yang telah dibuat dimasukkan kedalam botol kultur dengan volume 200 ml/botol. Pergantian media dilakukan minimal satu kali seminggu untuk regenerasi nutrient, sebagai pembanding dilakukan juga pemeliharaan dengan menggunakan media yang ditambahkan hormon IAA sebanyak 1 ppm pada minggu ketiga. 3.4.9. Pergantian Media Larutan Conwy sebanyak 2 ml yang diperkaya dengan campuran vitamin sebayak 50 l dicampur dengan air laut steril (SSW) salinitas 30 sebanyak 1000 ml di dalam Botol kultur yang baru diisi dengan media yang baru dibuat sebayak 200 ml/botol. Eksplan dipindahkan ke media yang baru dan ditutup dengan plastik transparan lalu ikat dengan karet gelang. Botol kultur yang telah diganti medianya dishaker pada kondisi yang sama dengan kegiatan pemeliharaan eksplan. 3.4.10. Aklimatisasi Eksplan yang akan diaklimatisasi diganti terlebih dahulu media dan wadahnya dan keesokan harinya baru di bawah ke laut. Botol kultur dikeluarkan dan tutupnya dibuka, kemudian eksplan dimasukkan ke dalam waring dan diikat

13

pada kayu yang dibentangkan.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1

Hasil Rata-rata pertumbuhan panjang tunas dan tingkat kelangsungan hidup

eksplan rumput laut Kappaphycus alvarezii yang dipelihara selama 8 minggu dengan menggunakan media conwy tanpa penambahan IAA lebih tinggi dibanding dengan yang menggunakan media conwy dengan penambahan IAA (Tabel 2). Panjang tunas eksplan pada media conwy tanpa IAA relatif lebih tinggi 26,2 % dan tingkat kelangsungan hidup lebih tinggi 17,92 %. Tabel 2. Pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup (SR) Eksplan Rumput Laut K. alvarezii Selama 8 Minggu. No. Perlakuan Rata-rata Pertumbuhan Panjang Tunas (mm) II 1. 2. Hormon IAA Tanpa hormon IAA Persentase perbedaan 1,0 IV 0,9 1,2 VI 1,0 1,4 VIII 1,2 40 % SR

1,5 57,92 %

3.

-

25 %

28,6 %

25,0 %

14

Selama kultur jaringan dilakukan terjadi perubahan warna yang awalnya coklat tua menjadi coklat muda dengan ujung thallus berwarna putih pada pemberian hormon IAA selain itu daging pada eksplan yang dikultur lama kelamaan menjadi lunak.

Gambar 4. Eksplan yang sudah mati berwarna putih 4.2 Pembahasan 4.2.1. Pemeliharaan Eksplan Eksplan yang telah dipelihara pada media conwy tanpa IAA yang menunjukkan pertumbuhan dan SR yang lebih baik (Tabel 2) mengidikasikan bahwa penambahan hormon IAA tidak terlalu berpengaruh terhadap pertumbuhan eksplan rumput laut. Hal ini menunjukkan bahwa hormon pertumbuhan IAA tersebut tidak terlalu penting untuk memacu pertumbuhan eksplan rumput laut jenis Kappaphycus alvarezii, hal ini dapat dilihat pada Gambar 3 dibawah ini.

15

a

b

Gambar 3. Pertumbuhan eksplan. a). Perlakuan dengan menggunakan hormon IAA 1 ppm. b). Perlakuan tanpa IAA Pemeliharaan eksplan dilakukan untuk mengamati dan mengetahui proses pertumbuhan eksplan yang akan ditanam setelah disterilkan (Santoso dan Nursandi, 2001). Kegagalan dalam kultur jaringan bisa dipengaruhi oleh intensitas cahaya yang sangat berbeda antara di lokasi budidaya dengan yang ada pada kultur jaringan. Selama pemeliharaan, pengontrolan terhadap eksplan dapat dilakukan setiap hari. Adapun suhu ruangan yang ideal untuk pemeliharaan rumput laut yaitu kurang lebih 20oc dengan intensitas cahaya 1500 lux yang ditempatkan diatas shaker dengan kecepatan kurang lebih 55 rpm (Suryati dkk., 2000). Hal ini bertujuan agar eksplan yang berada dalam botol kultur dapat melakukan proses fotosintesis, penggunaan shaker bertujuan untuk membuat sirkulasi air di dalam botol agar nutrien tidak mengendap. Pemeliharaan eksplan rumput laut dilakukan selama 8 minggu hal ini dimaksudkan untuk menghasilkan bibit rumput laut yang siap tebar dan mendapatkan thallus yang muda akan

16

bertambah panjang yang memerlukan waktu 2 bulan dari hasil kultur jaringan. Keberhasilan kultur jaringan ditentukan oleh beberapa hal seperti

sterilisasi alat yang akan dipakai, pembuatan media, seleksi eksplan, sterilisasi eksplan dan pergantian media. Sterilisasi alat kultur bertujuan untuk membersihkan dan membunuh mikroorganisme yang tidak diinginkan atau untuk mensucihamakan tempat, alat, media rumput laut yang akan dikultur. Setiap proses kegiatan dalam kultur jaringan harus di lakukan secara aseptik agar rumput laut yang dikultur tidak terkontaminasi dengan udara luar. Kontaminasi dengan udara luar dapat mengganggu eksplan yang dipelihara sehingga memgganggu pertumbuhan bahkan menyebabkan kematian (Suryati, dkk., 2005). Penyerapan nutrien sangat berpengaruh terhadap pertambahan panjang thallus muda. Nutrien dari media inilah yang dipergunakan oleh rumput laut untuk tumbuh dan membentuk thallus muda yang baru. Kemampuan penyerapan nutrien tiap eksplan berbeda berdasarkan usia dan ukurannya. Kemungkinan ini terjadi karena usia eksplan yang muda akan lebih banyak membutuhkan nutrien dan proses penyerapan nutriennya akan lebih cepat. 4.2.2. Laju PertumbuhanPada dasrnya laju pertumbuhan eksplan pada pemberian hormon IAA dan tanpa hormon IAA sangat berbeda, mungkin hal ini disebabkan karena media yang digunakan tidak sesuai dengan takaran yang diberikan padahal diketahui bahwa fungsi dari Hormon IAA itu sendiri untuk menstimulasi sel pemanjangan pucuk, tapi hasil yang diperoleh tidak sama. Dari hasil pengamatan yang dilakukan pada perlakuan tanpa hormon IAA dapat dilihat kalau pertambahan panjang tunas dan tingkat kelangsungan hidupnya sangat

17

jauh berbeda dengan yang menggunakan hormon IAA,

Perubahan warna setelah

penanaman tidak terjadi secara langsung, tetapi perlahan berubah setiap minggunya. Kemungkinan ini disebabkan oleh adanya perbedaan intensitas cahaya yang sangat besar dimana intensitas cahaya yang terdapat di lokasi

budidaya berkisar antara 3000 4000 lux, sedangkan intensitas cahaya pada saat kultur in vitro berkisar antara 1500 1600 lux. Selain itu periode gelap dan terangnya tidak sama dengan yang di alam karena disebabkan oleh lampu yang sering mati. Kualitas benih dari K. alvarezii yang dihasilkan oleh perlakuan tanpa hormon IAA lebih baik, hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan tunas yang lebih banyak dan lebih tinggi selain itu warnanya pun tidak terlalu berubah seperti pada pemberian hormon IAA dan juga jumlah eksplan yang mati atau berwarna putih pada pemberian hormon IAA lebih banyak dibanding tanpa pemberian hormon. Diduga ini disebabkan oleh karena eksplan yang dipelihara pada pemberian hormon IAA tergolong tua sedangkan pada perlakuan tanpa hormon tergolong eksplan yang masih muda, sedangkan kita tahu kalau Kemampuan penyerapan nutrien tiap eksplan berbeda berdasarkan usia dan ukurannya. Kemungkinan ini terjadi karena usia eksplan yang muda akan lebih banyak membutuhkan nutrien dan proses penyerapan nutriennya akan lebih cepat. Sedangkan pada eksplan yang tergolong tua kebutuhan nutrien dan proses penyerapannya cenderung lebih kurang dan lambat. Asumsi ini berdasarkan pada kemampuan sel pada tanaman yang masih muda akan jauh lebih aktif membelah sehingga penyerapan nutrien harus lebih aktif untuk memenuhi kebutuhannya. Sementara pada eksplan yang

18

lebih tua sel cenderung hanya memperbaiki diri, sehingga pertumbuhan sel menjadi lebih lambat. Dalam kultur jaringan ini warna rumput laut tidak terlalu menunjang keberhasilan dari kultur jaringan karena dari hasil pengamatan kalau benih yang diambil dari pantai Takalar warnanya coklat muda beda dengan yang diambil dari pantai Politani yang berwarna coklat gelap, akan tetapi pada saat dikultur pertumbuhannya sama Cuma yang membedakan rumput laut dari Takalar banyak yang terserang penyakit yang menyebabkan batang rumput laut menjadi lunak dan terdapat bercak-bercak putih pada batangnya.

19

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan Alat, media dan eksplan serta persiapan media yang baik sangat

menentukan keberhasilan dalam kultur jaringan rumput laut Kappaphycus alvarezii. Media conwy yang diperkaya dengan vitamin dan antibiotik memberi pertumbuhan yang baik pada eksplan. 5.2. Saran Adapun saran dari penulis adalah agar dilakukan juga pengkulturan rumput laut jenis lain selain Eucheuma dan Gracilaria mengingat rumput laut merupakan salah satu komunitas penting dalam perikanan.

20