Upload
hasna-hadaina-sabila
View
267
Download
37
Embed Size (px)
A. PENDAHULUAN
Dalam beberapa tahun terakhir, kita dikejutkan oleh berbagai kasus
kejahatan dan bencana massal yang memakan banyak korban jiwa. Pada kasus-
kasus seperti itu tidak jarang dijumpai korban jiwa yang tidak dikenal sehingga
perlu diidentifikasi. Gigi geligi pertama kali digunakan sebagai sarana identifikasi
pada tahun 1477 pada kasus mayat tidak dikenal yang kemudian diidentifikasikan
sebagai Charles The Bold, tahun 1776 mayat Jenderal Joseph Waren dikenali dari
gigi tiruannya yang dipasang oleh Paul Revere, begitu pula dengan mayat Adolf
Hitler yang terbakar habis di temapat persembunyiannya.
Di Indonesia kasus yang diungkap dengan bantuan Kedokteran Gigi Forensik
selain kasus bom Bali adalah kasus pembunuhan Gina di Los Angeles oleh teman
senegaranya yang kini telah divonis mati. Gigi geligi dipakai sebagai alat
identifikasi karena adanya perbedaan yang sangat khas dari gigi geligi tiap orang,
baik bentuknya, susunannya, oklusinya, maupun adanya hasil restorasi pada gigi
geligi tersebut seperti tambalan dan gigi palsu. Selain itu gigi geligi juga
mempunyai daya tahan lebih besar dibanding organ lain terhadap kerusakan
akibat kematian dan kecelakaan; penelitian menunjukkan perlu suhu sangat tinggi
sekali untuk merubah gigi menjadi abu (Adiantoro, 2003). Forensik dengan ilmu
kedokteran gigi disebut ilmu kedokteran gigi forensik atau odontologi forensik.
Dari segi istilah odontologi forensik merupakan perpaduan anatara Bahasa
Romawi dan Yunani yang berarti ilmu tentang gigi untuk kepentingan peradilan.
Keiser Nielsen (1970) cit. Adiantoro (2003) mendefinisikan ilmu ini sebagai
bagian dari ilmu kedokteran gigi yang meneiliti bukti-bukti kejahtan yang ada
1
hubungannya dengan gigi geligi, kemudian dinilai dan dilaporkan untuk proses
peradilan. Paderson (1969) cit. Adiantoro (2003) mengatakan bahwa kedokteran
gigi forensik adalah bagian dari ilmu kedokteran gigi yang berhubungan dengan
penilaian dan penemuan-penemuan kedokteran gigi untuk kepentingan peradilan,
sementara Furuhata dan Yamamoto (1967) cit. Adiantoro (2003) menyebutkan
bahwa kedokteran gigi forensik adalah cabang dari ilmu kedokteran kehakiman
yang menggunakan pengetahuan kedokteran gigi dalam memecahkan masalah
hukum dan kejahatan. Dari berbagai definisi diatas dapat disimpulkan bahwa
kedokteran gigi forensik tidak hanya terbatas pada proses identifikasi melalui gigi
geligi saja tapi juga meliputi kasus-kasus yang diakibatkan oleh dental injury,
dental malpraktek, serta kasus penipuan dalam bidang kedokteran gigi.
Salah satu analisis yang digunakan dalam kedokteran gigi forensik adalah
analisis bitemarks (Bowers, 2004). Proses membandingkan bite mark dengan gigi-
geligi tersangka mencakup analisis dan pengukuran ukuran, bentuk, dan posisi
gigi individual (van der Velden, dkk., 2006). Ketidaksempurnaan atau
irregularitas unik yang teridentifikasi baik pada perlukaan maupun gigi tersangka
merupakan indikator yang penting untuk menentukan kesesuaian bite mark
dengan gigi tersangka. Bite mark manusia umumnya tampak sebagai daerah
kontusi atau abrasi berbentuk bulat atau elips. Pada beberapa kasus, permukaan
kulit dapat juga mengalami laserasi atau potongan jaringan dapat terlepas
seutuhnya (Brogdon, 1998). Analisis bite mark manusia merupakan bagian ilmu
kedokteran gigi forensik yang sulit karena elastisitas kulit, lokasi anatomis, dan
2
tekanan gigitan dapat menyebabkan berubahnya penampakan bite mark (van der
Velden, dkk., 2006).
B. TINJAUAN PUSTAKA
Bite mark merupakan abrasi permukaan superfisial, dan/atau hemorargi
dibawah permukaan kulit, atau memar kulit akibat gigitan (Lessig dkk., 2006).
Bite mark atau pola gigitan ialah bekas gigitan dari pelaku yang tertera pada kulit
korban dalam bentuk luka, jaringan kulit maupun jaringan ikat di bawah kulit
sebagai akibat dari pola permukaan gigitan dari gigi-gigi pelak, dengan kata lain
pola gigitan merupakan suatu produksi dari gigi-gigi pelaku melalui kulit korban
(Eckert, 2008). Karakteristik gigitan pada manusia adalah abrasi superfisial
dan/atau hemoragi dibawah permukaan kulit yang berbentuk seperti lengkung.
Hal itu disebabkan karena adanya pola yang dibentuk oleh gigi-gigi incisivus,
kaninus, dan premolar. Selain pada tubuh manusia, bite mark dapat ditemukan
pada beberapa jenis makanan seperti coklat batang, permen karet, buah dan
sayuran. Makanan yang berbentuk padat menguntungkan dalam beberapa kasus
(Lessig dkk., 2006).
Menurut Lessig dkk. (2006) untuk merekam sebuah bite mark dapat
menggunakan beberapa cara antara lain, menyalin bite mark pada kertas
transparan (Gambar 1) dan dokumentasi fotogragi (Gambar 2).
3
Gambar 1.Hasil salinan bite mark pada kertas transparan (Lessig dkk., 2006)
(a) (b)
Gambar 2. (a) Skala standar menurut American Board of Forensic Odontostomatology (ABFO) No.2 (Lessig dkk., 2006), (b) pengolahan gambar menggunakan software (Velden dkk., 2006)
Bila memakai fotografi, foto dokumentasi bite mark di-scan lalu dilakukan
pengolahan foto menggunakan software Adobe Photoshop 7.0 (Gambar 2b). Lalu
hasil olahan foto dianalisis menggunakan skala American Board of Forensic
Odontostomatology (ABFO) No.2 (Gambar 2a).
Salah satu kasus yang pernah ditangani untuk investigasi bite mark pada
apel adalah kasus yang ditangani polisi di Saxony (Gambar 3). Cetakan negatif
dari bite mark pada apel (Gambar 3a) diperoleh dari sebuah apel yang ditemukan
saat investigasi kriminal setelah kejadian perampokan. Bite mark pada apel dibuat
duplikatnya pada gips plaster (Gambar 3b), dan menunjukkan gambar lengkung
gigi yang spesifik. Model kerja gigi yang dicetak dari pelaku memiliki lengkung
yang identik (sama). Jadi tidak ada pengecualian pelaku sebagai pelaksana
kejahatan (Gambar 3c)
4
(a) (b) (c)
Gambar 3. Investigasi bite mark pada apel, (a) Cetakan negatif, (b) Cetakan positif, (c) Perbandingan cetakan positif dan model gigi pelaku (Lessig dkk.,2006)
C. PENATALAKSANAAN PRAKTIKUM BITE MARK
1. Alat dan Bahan
a. Satu buah apel hijau untuk 1 kelompok
b. Model gigi RA dan RB milik masing-masing anggota kelompok
c. Spatula, rubber bowl, alginate, dan gips stone
d. Wadah untuk mencetak apel
e. Plastik transparan dan spidol marker
f. Plat kaca
g. Sliding caliper
2. Metode Analisis Bite Mark
Studi analasis bite mark ini dilakukan dengan tahap-tahap kerja sebagai
berikut:
a. Salah satu anggota kelompok melakukan gigitan (gigitan dangkal dan
gigitan dalam) pada apel hijau yang telah disediakan.
5
b. Hasil gigitan dicetak dengan alginat dengan perluasan tepi area gigitan 1
cm. Cetakan kemudian diisi dengan gips stone.
c. Identifikasi pola gigitan dan ciri spesifik gigi-gigi yang terlihat pada cetakan
bite mark serta membandingkan ciri spesifik yang telah diidentifikasi
dengan model gigi RA dan RB.
d. Menentukan kemungkinan tersangka utama sesuai perbandingkan yang
telah dilakukan.
e. Dilakukan penapakan (tracing) pada cetakan bite mark dan model gigi
tersangka utama menggunakan plastik transparan.
f. Menghitung lebar mesiodistal cetakan bite mark dan model gigi tersangka.
g. Membandingkan hasil pengukuran lebar mesiodistal gigi dari hasil
penapakan bite mark dan dari model gigi, kemudian distorsi yang diperoleh
dicatat dalam tabel.
D. ANALISIS
Setelah dilakukan pencetakan bite mark dari gigitan dangkal, gigitan dalam,
dan penapakan (tracing) dilakukan analisis sebagai berikut:
1. Gigitan dangkal:
Bekas gigitan pola cukup jelas.
Bentuk lengkung rahang atas adalah parabola, bentuk lengkung rahang
bawah adalah parabola
Untuk rahang atas, gigi yang tercetak adalah 4 cetakan gigi yaitu gigi 12
11 21 22.
6
Untuk rahang bawah, gigi yang tercetak adalah 6 cetakan gigi yaitu gigi
33 32 31 41 42 43.
Malposisi gigi pada gigitan dangkal:
2. Gigitan dalam :
Bekas gigitan memiliki pola yang cukup jelas tetapi tidak teratur.
Pola lengkung gigitan terlihat simetris sehingga tidak terlihat adanya
deviasi rahang
Terdapat spacing pada gigi antara gigi 12 dan 11
Tidak terlihat crowding pada pola gigitan rahang atas maupun rahang
bawah
Gigitan rahang atas, gigi yang tercetak adalah 4 cetakan gigi yaitu gigi 12
11 21 22
Gigitan rahang bawah, gigi yang tercetak adalah 6 cetakan gigi yaitu gigi
33 32 31 41 42 43
Malposisi gigi pada gigitan dalam
7
Rahang Atas Rahang Bawah
12: Mesiolabiotorsiversi Tidak terdapat malposisi gigi
Rahang Atas Rahang Bawah
12 : Mesiolabiotorsiversi
22 : MesiolabiotorsiversiTidak terdapat malposisi gigi
Model-model rahang masing-masing anggota dilakukan analisis sebagai berikut:
1. Model 1 (Hendargo)
Cetakan model rahang atas ini hampir sama dengan bite mark
karena tidak ada malposisi gigi individual namun lengkung gigi model
berbeda dengan lengkung pada bite mark. Ukuran gigi model juga lebih
besar dibandingkan pada pola gigitan dangkal maupun dalam. Pada rahang
bawah lengkung gigi model juga berbeda dengan lengkung pada bite
mark. Dengan pertimbangan tersebut Hendargo dieliminasi dari daftar
tersangka.
2. Model 2 (Aqilla)
Cetakan model rahang atas ini tidak memiliki kesamaan dengan
bite mark karena tidak terdapat malposisi gigi individual. Sedangkan
rahang bawah hampir sama dengan bite mark karena tidak memiliki
malposisi gigi individual. Dengan pertimbangan tersebut Aqila dieliminasi
dari daftar tersangka.
3. Model 3 (Qanita)
Cetakan model rahang atas ini tidak memiliki kesamaan dengan
bite mark karena tidak ada malposisi gigi individual. Pada rahang bawah
juga tidak memiliki kesamaan karena terdapat malposisi gigi 31 dan 41
labioversi. Oleh karena itu, Qanita dieliminasi dari daftar tersangka.
4. Model 4 (Dimaz)
Berdasarkan perbandingan antara bite mark dengan model gigi,
ukuran mesio distal model gigi lebih kecil dari bitemark. Selain itu,
8
terlihat juga adanya spacing pada model gigi tersangka sedangkan pada
bitemark tidak menunjukkan adanya spacing sehingga Dimas dieliminasi
dari daftar tersangka.
5. Model 5 (Anissya)
Berdasarkan perbandingan antara bite mark dengan model gigi
terdapat kesamaan. Hal ini terlihat dari adanya malposisi gigi 12 dan 22
yang mesiolabiotorsiversi. Cetakan rahang bawah juga hampir sama
dengan bite mark karena tidak terlihat adanya malposisi gigi individual.
Oleh karena itu, Anissya dianggap paling sesuai dengan bite mark.
Gigitan dalam Gigitan Dangkal
Tabel I. Perbandingan Lebar Mesio-Distal Gigi Anissya dengan Bite Mark
9
Elemen
Lebar Mesiodistal Gigi pada Model
Gigitan Dangkal
Distorsi
Gigitan Dalam
Distorsi
11 8,22 9,62 +1,40 8,4 +0,18
12 6,6 6,7 +0,1 6,9 +0,3
13 8,08 - - - -
21 7,9 8,42 +0,52 8,4 +0,5
22 6,6 6,68 +0,08 7,1 +0,5
23 8,08 - - - -
31 4,82 5,98 +1,16 5,8 +0,98
32 5,96 6,14 +0,18 6,48 +0,52
33 7,6 6,74 -1,14 5,82 -1,78
41 5 5,84 +0,84 5,66 +0,66
42 5,94 6,08 +0,14 6,34 +0,4
43 7,02 6,64 -0,38 6,12 -0,9
Rata-rata +0,29 +0,136
Pengukuran dari hasil penapakan bite mark pada gigitan dangkal maupun
gigitan dalam menunjukkan adanya distorsi ukuran mesiodistal dibandingkan
dengan pengukuran pada cetakan model gigi. Hal tersebut dapat dikarenakan
adanya pergeseran ketika menggigit yang dapat menyebabkan titik-titik mesial
dan distal menjadi kurang jelas, sehingga sangat memungkinan terjadinya
kesalahan dalam menentukan lebar mesiodistal gigi. Selain itu, adanya perbedaan
tekanan sudut maksila dan mandibula, serta posisi tubuh saat melakukan bite mark
juga dapat mengubah bentuk bite mark..
Pada perbandingan antara lebar mesio-distal gigi dengan bite mark,
distorsi pada gigitan dangkal lebih besar dibandingkan distorsi pada gigitan
dalam. Faktor yang mempengaruhi distorsi pada kasus ini kemungkinan karena
kulit apel pada gigitan dangkal rapuh sehingga proses penggigitan kurang akurat.
Selain itu juga dapat disebabkan oleh pencetakan yang kurang baik, seperti
10
adanya porus dan undercut. Akan tetapi, kemiripan pola lengkung gigi antara
model gigi dengan bite mark pada apel dapat digunakan sebagai pertimbangan
dalam mengidentifikasi bite mark.
E. KESIMPULAN
Hasil analisis bitemark menunjukkan bahwa :
1. Pelaku gigitan buah apel tersebut adalah Annisya. Hal tersebut disebabkan
terdapat kesamaan lengkung gigi, malposisi gigi individual pada model rahang
dan pada pola gigitan apel.
2. Distorsi lebar mesio-distal gigi yang terjadi disebabkan adanya perbedaan
tekanan dengan sudut rahang, posisi badan saat menggigit, serta faktor lain
seperti pencetakan yang kurang baik.
F. DAFTAR PUSTAKA
Adiantoro S. 2003. Dentamedia No.1 Vol.7 : Januari-Maret 2003
Bowers, M. 2004. Forensic Dentistry: A Field Investigator’s Handbook. Elsevier
Publishing
Brogdon, B. G. 1998. Forensic Radiology. New York: CRC Press
Eckert, W.G. 2008. Forensic Dentistry. International Reference Organization in
Forensic Medicine and Sciences. Michigan
Lessig R, Wenzel V, Weber M. 2006. Bite mark analysis in forensic routine case
work. EXCLI Journal. 5: 93-102
van der Velden A., Spiessens M., and Willems G. 2006. Bite Mark Analysis and
Comparison Using Image Perception Technology. The Journal of Forensic
Odonto-Stomatology. 24 (1):14-17
11