12
Nur Fitria Qurrotu Aini Muhkam secara etimologis berasal dari kata al-Ihkam yang berarti al-Itqan, suatu kepastian atau sesuatu yang kokoh. Adapun mutasyabih secara etimologis berasal dari kata al-Tasyabuh yang berarti al-Tamatsul atau menyerupai satu sama lain. Adapun definisi muhkam secara terminologis, menurut al-Thibi, adalah ayat yang jelas maknanya, sedangkan mutasyabih adalah ayat yang samar artinya. Salah satu contoh dari mutasyabih adalah asma Allah atau sifat-Nya. Definisi ini juga dinukil oleh Abdul Adzim al-Zurqani dalam “Manahil al-‘Irfandan Nuruddin ‘Ithr dalam bukunya yang berjudul Ulum al-Quran al- Karim.” Muhkam Mutasyabih Dalam al-Quran Ibnu Habib an- Naisaburi mengatakan bahwa dalam perkara ini al-Quran dibagi menjadi tiga: Pertama, al- Quran seluruhnya muhkam. Pembahasan mengenai pendapat ini bisa dirujuk pada perkataan Baidlawi tentang tafsir QS. Hud: 1. Menurut Baidlawi maksud muhkam dari ayat tersebut adalah tidak adanya celah dalam al- Quran, baik dari segi lafal ataupun makna. Kedua, Al-Quran seluruhnya mutasyabih. Hal ini didasarkan pada QS. al- Zumar: 23. Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa kata tasyabuh tersebut maksudnya menyerupai atau membenarkan satu sama lain. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan dalam al-Quran terkadang terdapat penyebutan lafal yang memiliki arti sama namun berlawanan maksudnya dan lafal yang berlawanan makna secara bersamaan. Hal ini membuktikan bahwa al-Quran membenarkan satu sama lain. Inilah yang dimaksud bahwa al-Quran seluruhnya mutasyabih. Ketiga , Al-Quran sebagian muhkam dan sebagian mutasyabih. Telah diketahui sebelumnya bahwa al- Quran menurut surat Hud seluruhnya muhkam dan menurut surat al-Zumar seluruhnya mutasyabih. Lalu dikemukakan juga dalam ayat 7 surat Ali- Imran yang menyatakan bahwa al-Quran sebagian muhkam dan sebagian mutasyabih. “Dialah yang menurunkan al-Kitab kepadamu. Di antaranya ada ayat-ayat muhkamat, itulah pokok isi al-Quran, dan sebagian lainnya ayat mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya keculai Allah. Dan orang -orang yang mendalam ilmunya berkata “Kami beriman kepada ayat mutasyabihat, semuanya dari Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran darinya kecuali orang-orang yang berakal.Memahami Konsep Muhkam Mutasyabih E D I S I X D ewasa ini, banyak kita dengar dari beberapa surat kabar mengenai maraknya perbuatan-perbuatan asusila yang terjadi di berbagai tempat dan perempuan sebagai korbannya. Yang membuat hati semakin miris, kejadian itu tidak hanya menimpa mereka yang berpakaian terbuka, namun juga menimpa mereka yang berpakaian tertutup. Tidak cukup sampai di situ, perbuatan keji itu tidak hanya menimpa mereka yang berumuran dewasa, namun merambat sampai kepada anak- anak yang belum cukup umur hingga para manula. Adanya perbuatan tentunya bukan suatu hal yang tiba-tiba muncul atau tanpa kesengajaan. Sejatinya ada faktor yang menjadikan seseorang berbuat hal tersebut, dan faktor itu tidak lain adalah akibat memandang sesuatu yang dilarang oleh agama. Kelalaian NADHRAH DAFTAR ISI Menjaga Pandangan DZIKRA KAJIAN AL- I’JAZ IKPM CABANG KAIRO Bersambung ke hlm 8 M A R E T 2 0 1 4 Bersambung ke hlm 5 NADHRAH 1 TAHNIAH 2 MARJA 11 UDHAMA 10 6 SALAM 12 MABHATS MEMAHAMI KONSEP MUHKAM MUTASYABIH PERAN ULAMA DALAM MENJAGA AL-QURAN KERAGAMAN MAKNA AL-QURAN QURTHUBI: MUNASABAT DALAM AL-QURAN HAFALAN DAN PEMAHAMAN Faiq Aziz

IQRA' X.pdf

Embed Size (px)

Citation preview

  • Nur Fitria Qurrotu Aini

    Muhkam secara etimologis berasal dari kata al-Ihkam yang berarti al-Itqan, suatu kepastian atau sesuatu yang kokoh. Adapun mutasyabih secara etimologis berasal dari kata al-Tasyabuh yang berarti al-Tamatsul atau menyerupai satu sama lain.

    Adapun definisi muhkam secara terminologis, menurut al-Thibi, adalah ayat yang jelas maknanya, sedangkan mutasyabih adalah ayat yang samar artinya. Salah satu contoh dari mutasyabih adalah asma Allah atau sifat -Nya. Definisi ini juga dinukil oleh Abdul Adzim al-Zurqani dalam Manahil al-Irfan dan Nuruddin Ithr dalam bukunya yang berjudul Ulum al-Quran al-Karim. Muhkam Mutasyabih Dalam al-Quran

    Ibnu Habib an-Naisaburi mengatakan bahwa dalam perkara ini al-Quran dibagi menjadi tiga: Pertama, al-Quran seluruhnya muhkam. Pembahasan mengenai pendapat ini bisa dirujuk pada perkataan Baidlawi tentang tafsir QS. Hud: 1. Menurut Baidlawi maksud muhkam dari ayat tersebut adalah tidak adanya celah dalam al-Quran, baik dari segi lafal ataupun makna.

    Kedua, Al-Quran seluruhnya mutasyabih. Hal ini didasarkan pada QS. al-Zumar: 23. Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa kata tasyabuh tersebut maksudnya

    menyerupai atau membenarkan satu sama lain. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan dalam al-Quran terkadang terdapat penyebutan lafal yang memiliki arti sama namun berlawanan maksudnya dan lafal yang berlawanan makna secara bersamaan. Hal ini membuktikan bahwa al-Quran membenarkan satu sama lain. Inilah yang dimaksud bahwa al-Quran seluruhnya

    mutasyabih. K e t i g a , A l - Q u r a n sebagian muhkam dan sebagian mutasyabih. T e l a h d i k e t a h u i sebelumnya bahwa al-Quran menurut surat Hud seluruhnya muhkam dan menurut surat al-Zumar seluruhnya mutasyabih. Lalu dikemukakan juga dalam ayat 7 surat Ali-Imran yang menyatakan bahwa al-Quran sebagian muhkam dan sebagian mutasyabih. Dialah yang m e nu r u nk an a l -K i t a b

    kepadamu. Di antaranya ada ayat-ayat muhkamat, itulah pokok isi al-Quran, dan sebagian lainnya ayat mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya keculai Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata Kami beriman kepada ayat mutasyabihat, semuanya dari Tuhan kami. Dan tidak dapat mengambil pelajaran darinya kecuali orang-orang yang berakal.

    Memahami Konsep Muhkam Mutasyabih

    E D I S I X

    D ewasa ini, banyak kita dengar dari beberapa surat kabar mengenai

    maraknya perbuatan-perbuatan asusila yang terjadi di berbagai tempat dan perempuan sebagai korbannya. Yang membuat hati semakin miris, kejadian itu tidak hanya menimpa mereka

    yang berpakaian terbuka, namun juga menimpa mereka yang berpakaian tertutup. Tidak cukup sampai di situ, perbuatan keji itu tidak hanya menim pa merek a yang berumuran dewasa, namun merambat sampai kepada anak-anak yang belum cukup umur hingga para manula. Adanya

    perbuatan tentunya bukan suatu hal yang tiba-tiba muncul atau tanpa kesengajaan. Sejatinya ada faktor yang menjadikan seseorang berbuat hal tersebut, dan faktor itu tidak lain adalah akibat memandang sesuatu yang dilarang oleh agama. Kelalaian

    N A D H R A H

    A L - Q U R A N

    DAFTAR ISI

    Menjaga Pandangan

    D Z I K R A

    K A J I A N A L - I J A Z

    I K P M C A B A N G

    K A I R O

    Bersambung ke hlm 8

    M A R E T 2 0 1 4

    Bersambung ke hlm 5

    NADHRAH 1

    TAHNIAH 2

    MARJA 11

    UDHAMA 10

    6

    SALAM 12

    MABHATS

    M E M A H A M I

    K O N S E P M U H K A M

    M U T A S Y A B I H

    P E R A N U L A M A

    D A L A M M E N J A G A

    A L - Q U R A N

    K E R A G A M A N

    M A K N A

    A L - Q U R A N

    Q U R T H U B I :

    M U N A S A B A T

    D A L A M A L - Q U R A N

    H A F A L A N D A N

    P E M A H A M A N

    Faiq Aziz

  • M i s i terbesar di balik proses pencarian ilmu adalah takwa kepada Allah. Atas dasar ini, mencari i lmu membutuhkan etika khusus, yaitu adab berinteraksi dengan ilmu dan tentu saja orang yang berilmu (ulama). Salah satu etika tersebut

    adalah ikhlas.

    Etika Menuntut Ilmu

    B U L E T I N I Q R A , E D I S I X , M A R E T 2 0 1 4

    2 T A H N I A H

    Di dalam al-Quran, banyak sekali ayat yang mendorong manusia untuk menad-aburkan tanda-tanda kebesaran Allah di muka bumi ini. Pada penghujung ayat tersebut, al-Quran juga menegaskan tujuan perintah tersebut, yaitu agar mereka bertafakur , se-hingga menjadi manusia berpengetahuan.

    Al-Quran kemudian juga mem-berikan apresiasi kepada mereka yang ber-ilmu, seperti yang dijelaskan dalam QS. al-Mujadalah: 11 dan QS. al-Zumar: 9. Oleh karena itulah, al-Quran mengajarkan agar kita momohon ditambah ilmu, sebagaimana dije-laskan dalam QS. Thaha: 114: Wahai Tu-hanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengeta-huan. Hal ini cukup beralasan, sebab di antara tanda-tanda manusia yang takut kepada Tuhannya adalah mereka yang berilmu. Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-Nya hanyalah ulama (yang mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah. (QS. Fathir: 28)

    Ayat tersebut menjelaskan kepada kita bahwa misi terbesar di balik proses pen-carian ilmu adalah takwa kepada Allah. Atas dasar ini, mencari ilmu membutuhkan etika khusus, yaitu adab berinteraksi dengan ilmu dan tentu saja orang yang berilmu (ulama).

    Salah satu etika tersebut adalah ikhlas. Dalam sebuah Hadis yang diriwayat-kan oleh Abu Hurairah RA, dikisahkan ten-tang tiga golongan manusia yang pertama kali dihisab di akhirat kelak. Salah satu kelompok dari golongan ini adalah para pencari ilmu. Allah bertanya kepada mereka, Apa yang kamu perbuat selama di dunia? Aku men-cari ilmu kemudian mengajarkannya demi Engkau. Aku (juga) membaca al-Quran demi Engkau. Jawab mereka. Kamu dusta! Kamu mengajarkan ilmu agar dikenal sebagai alim, dan kamu membaca al-Quran untuk menda-patkan gelar qari. Mereka akhirnya dilempar-kan ke neraka.

    Dari kisah tersebut, dapat disim-pulkan bahwa ikhlas adalah asas utama dalam ibadah. Para ulama bahkan megibaratkan ikhlas sebagai ruh dari sebuah amal. Ini arti-nya, perbuatan tanpa keikhlasan adalah nol besar, sia-sia. Imam Ibnu Shalah dalam Mukaddimah menulis, di antara adab yang

    Susunan Redaksi Buletin IQRA Kajian AL-IJAZ IKPM Kairo

    Dewan Penasihat: Ketua IKPM Cabang Kairo; Pembimbing: Bagian Keilmuan IKPM Cabang Kairo; Penanggung Jawab Umum: Faiq Aziz, Alfina Wildah;

    Pemimpin Umum: Putri Rezeki Rahayu; Pemimpin Redaksi: Jakfar Shodiq; Pemimpin Usaha: Uswatun Hasanah; Editor: Saeful Lthfy, Maulidatul Hifdhiyah

    Malik; Layouter: Rusydiana Tsani, Nur Fitria Qurrotu Aini; Kru: Hilmy Mubarak, Jauharotun Naqiyah, Anisa Nur Rohmah, Ari Kurniawati, Risky Maratul Mu'allamah,

    Nisaul Mujahidah.

    Alamat Redaksi: Swessry B - Gami', Hay 10, Nasr City, Egypt 32206

    harus dipenuhi oleh seorang pencari Hadis adalah ikhlas dan menghindarkan diri dari tujuan-tujuan duniawi.

    Tata krama lainnya yang juga tidak kalah penting adalah semangat. Dalam mencari ilmu, motivasi untuk tidak mudah menyerah mutlak diperlukan, sebab ilmu tidak bisa diperoleh dengan mudah. Semangat juga berkai-tan erat dengan adab mencari ilmu lainnya, sabar. Ya, semangat dan sabar tidak bisa dipisahkan dalam konteks mencari ilmu, sebab kesabaran akan melahirkan tekad untuk berjuang mencari ilmu dan mencapai keberhasilan.

    Rasulullah SAW bersabda: Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah ketimbang mukmin yang lemah. Pada setiap sesuatu, terdapat kebaikan. Oleh karena itu, jadikan dirimu selalu berada pada hal-hal yang memberimu manfaat, mintalah pertolongan kepada Allah, dan janganlah merasa lemah. Hadis ini merupakan anjuran bagi setiap Muslim untuk tidak cepat berputus asa, terlebih dalam proses mencari ilmu, sebab tidak ada hal yang lebih bermanfaat bagi seorang Muslim selain ilmu.

    Selain itu, hal terpenting yang harus diperhatikan dalam mencari ilmu adalah bermu-lazamah kepada guru. Sosok guru memiliki peran sentral dalam proses pencarian ilmu, sebab ia mengantarkan murid-muridnya menye-lami samudra ilmu penghetahuan yang begitu luas. Syekh Ala Muhammad Musthafa Abi Azaim menjelaskan, di antara kewajiban seorang pencari ilmu adalah bermulazamah kepada orang saleh dan ulama. Bermulazamah kepada orang saleh mengantarkannya mengenal Allah, se-dangkan orang-orang berilmu membawanya pada ilmu pengetahuan.

    Pembahasan tentang ilmu inilah yang kami hadirkan dalam edisi perdana di tahun 2014 ini. Pada rubrik Fikrah, pembahasan sepu-tar keutamaan ilmu dikemas dengan ringkas namun cukup menarik. Setelahnya, kami hadirkan urgensi waktu yang diulas mendalam pada rubrik Qadhaya. Dalam rubrik Udhama, profil Imam Qurthubi mewarnai edisi kali ini. Akhir kata, seperti yang dikatakan oleh Hasan al-Banna, Kewajiban yang ada jauh lebih banyak ketimbang waktu yang tersedia. Semoga kita termasuk dalam pencari ilmu yang menghargai waktu. Selamat membaca!

  • 3 F I K R A H

    B U L E T I N I Q R A , E D I S I X , M A R E T 2 0 1 4

  • Menghargai Waktu 4 Q A D H A Y A

    B U L E T I N I Q R A , E D I S I X , M A R E T 2 0 1 4

    Kehidupan manusia terus berjalan seiring berputarnya waktu. Di antara mereka ada orang-orang yang beruntung, yaitu yang mengatur waktu. Sebaliknya, ketika diatur oleh waktu, mereka termasuk orang yang merugi.

    Itulah waktu, siapa yang menyangka ia begitu krusial dalam kehidupan manusia. Imam Syafii dalam salah satu syairnya mengibaratkan waktu dengan pedang. Waktu adalah pedang, jika kamu tidak memotongnya, maka ia akan memotongmu. Begitu urgen sebuah waktu, sehingga ia diibaratkan seperti pedang yang hendak memotong tubuh seseorang seandainya ia lalai sedikit saja terhadap pedang tersebut.

    Urgensi waktu ditegaskan Allah SWT dalam firman-Nya surat al-Ashr 1-3, Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, dan saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran. Menurut Abdullah bin Abbas, al-Ashr di sini adalah zaman. Dalam tafsir Mafatih al-Ghaib, Imam Fakhrudin al-Razi menjelaskan bahwa Allah SWT bersumpah dengan masa, karena di dalamnya terdapat suatu keajaiban (keistimewaan). Dengannya seseorang bahagia dan sedih, sehat dan sakit, kaya dan miskin. Hal ini karena umur tidak memberikan suatu kebahagiaan dan kegembiraan apapun.

    Abu Fattah Abu Ghuddah dalam kitabnya Qimatu al-Zaman menulis, Seandainya kamu hidup seribu tahun tanpa hal yang bermanfaat, kemudian kamu bertaubat, maka Allah SWT akan memberimu kebahagiaan di akhir hayatmu, dan kamu akan masuk dalam surga abadi. Dari sini kamu tahu hal yang membahagiakan dalam hidupmu ketika itu. Waktu merupakan pokok nikmat, karena itulah Allah SWT bersumpah dengannya. Allah SWT mengingatkan bahwa siang dan malam merupakan waktu di mana manusia lalai. Waktu pun lebih mulia dari suatu tempat, sebab itu Allah SWT bersumpah dengannya. Waktu merupakan nikmat tanpa cacat, karena yang merugi dan cacat adalah manusianya.

    Dalam sebuah Hadis , Rasu lu l lah SAW menjelaskan tentang hakikat waktu, Dua nikmat di mana banyak manusia merugi: kesehatan dan waktu luang. Menurut Imam Ibnu al-Jauzi, ada manusia yang sehat tetapi tidak memiliki waktu luang, karena ia sibuk dengan kehidupannya. Ada juga yang diberi kekayaan, namun tidak sehat. Seandainya keduanya berkumpul, maka ia akan malas dalam ketaatan. Mereka ini termasuk orang yang merugi. Menurutnya, dunia merupakan ladang akhirat, di dalamnya terdapat perniagaan yang dengan laba yang baru terlihat di akhirat kelak . Barangs iapa yang menggunakan kekosongan dan kesehatannya untuk taat kepada Allah SWT, mereka termasuk orang yang beruntung, dan barangsiapa yang menggunakan keduanya untuk bermaksiat kepada Allah SWT, maka ia merugi. Karena setelah waktu senggang, akan ada kesibukan, dan usai sehat ada sakit. Kalaupun tidak ada orang yang merugi, lambat laun ia akan tua, dan hal ini sudah cukup menjadi bukti. Abu Athahiyyah berkata dalam sebuah syair,

    Saeful Luthfy

    Sesunggunya masa muda, waktu luang, dan harta adalah sumber dari segala kerusakan.

    Begitulah makna waktu. Betapa ia amat berharga, sehingga tidak sepatutnya manusia lalai dan membuang-buang waktunya. Konon, Sufyan al-Tsauri, seorang imam Hadis di masanya, bahkan mendahulukan mendengar sepotong Hadis daripada mengucapkan salam. Kisah ini dinukil oleh Abu Fatah Abu Ghuddah dalam bukunya yang cukup masyhur, Qimatu al-Zaman. Dari al-Hafidz al-Bagdadi melalui sanadnya kepada Muhammad bin Katsir al-Abdiy, ia berkata: Sufyan al-Tsauri datang ke Basrah. Ketika ia melihat Hammada bin Salamah, ia berujar, Ceritakan kepadaku Hadis Abi al-Usyarai dari ayahnya. Hammada berkata, Abu al-Usyarai bercerita kepadaku dari ayahnya, aku (ayahnya) berkata, Ya Rasulullah, apakah penyembelihan hanya di tenggorokan dan leher? Rasulullah menjawab, Seandainya kamu menikam di pahanya itu sudah cukup bagimu (menyembelihnya). Ketika se lesai , Sufyan mendekati Hammada kemudian mengucapakan salam dan memeluknya. Hammada bin Salamah kemudian berkata, Siapa kamu? Sufyan al-Tsauri menjawab, Aku Sufyan. Hammada lalu bertanya, Ibnu Syaid? Sufyan menjawab, Ya. Hammada bertanya lagi, Al-Tsauri? Sufyan menjawab, Ya. Hammada bertanya kembali, Abu Abdillah? Sufyan menjawab, Ya. Hammada berkata, Apa yang menghalangi kamu untuk mengucapkan salam kepadaku terlebih dahulu, kemudian bertanya tentang Hadis? Sufyan menjawab, Aku takut kamu meninggal sebelum aku mendengarkan Hadis darimu.

    Kisah ini mengajakan kepada kita bagaimana seorang Sufyan al-Tsauri bergegas untuk mendengarkan dan menerima suatu Hadis, sebelum mengucap salam kepada guru dan memeluknya. Kekhawatiran akan hilangnya waktu karena kematian, dan perhatiannya akan waktu dan ilmu. Dari sini kita dapat belajar bagaimana para ulama dahulu menjadikan waktu begitu berharga, Mereka tidak ingin waktu berjalan begitu saja dan berlalu dengan sia-sia.

    Tidak heran jika para ulama dahulu banyak menghasilkan karya. Hingga sekarang, banyak ulama kini yang masih terheran-heran dengan mereka. Mereka dengan umur yang tidak begitu panjang, mampu menghasilkan banyak karya. Sebut saja Imam Suyuthi yang hidup selama 61 tahun 10 bulan, telah menghasilkan ratusan karya yang jauh melampaui usia beliau. Dalam buku Dalil al-Makhtthath al-Suyuthi wa Amkini Wujdih karya Ahmad al-Khazandar dan Muhammad Ibrahim al-Syibany yang diterbitkan di Kuwait, disebutkan bahwa karya tulis al-Suyuthi berjumlah 981 buah. Bayangkan karya al-Suyuthi mencapai angka ratusan, sedangkan umur beliau kurang dari 62 tahun. Karya itu pun bukan hanya dalam satu bidang atau disiplin ilmu, namun bermacam-macam

  • 5 Q A D H A Y A

    B U L E T I N I Q R A , E D I S I X , M A R E T 2 0 1 4

    dan kegemeraan manusia dalam memandang sesuatu yang diharamkan, memunculkan dan mengakibatkan maraknya perbuatan asusia atau pelecehan. Allah SWT berfirman, dalam surat al-Nur ayat 30, Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat. Oleh sebab itu, Allah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk menahan pandangan terhadap hal-hal yang diharamkan kepada mereka, dan hendaknya mereka tidak memandangi sesuatu kecuali itu diperbolehkan. Namun apabila mereka secara tidak sengaja melihat hal-hal yang diharamkan, hendaknya mereka memalingkan pandangannya dengan segera. Pendapat ini diperkuat oleh riwayat Jarir bin Abdullah, ia berkata, Aku bertanya kepada Rasulullah tentang terjerumusnya pandangan kepada hal-hal yang diharamkan tetapi secara tidak sengaja. Lalu Rasulullah SAW memerintahku untuk memalingkan pandangan. ( HR. Muslim ) Menghindarkan seseorang untuk berbuat keburukan, merupakan sebab Allah SWT memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk menahan pandangan. Karena pandangan merupakan jembatan zina, sebagian ulama salaf

    berkata, Pandangan bagai anak panah yang meracuni hati. Oleh karenanya, ayat ini mengandung dua perintah yaitu, perintah memelihara kemaluan dan perintah untuk menjaga pandangan yang menjadi jembatan kepada larangan, yaitu zina. Perintah untuk memelihara kemaluan terkadang dengan larangan berbuat zina dan terkadang dengan menahan pandangan. Dengan menjaga pandangan kita terhadap hal-hal yang diharamkan, hati kita akan bersih. Sebagian ulama berkata, Barang siapa yang sanggup menjaga pandangannya niscaya Allah SWT akan mewariskan cahaya dalam pandangannya. Diriwayatkan dari Abu Umamah, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, Barang siapa yang melihat kecantikan seorang wanita kemudian menahan pandangannya niscaya Allah SWT akan menggantinya dengan pahala ibadah yang akan mereka rasakan manisnya. ( HR. Ahmad ) Perbuatan zina dan yang serupa dengannya,

    dapat dengan mudah dihindari jikalau seseorang mampu

    menjaga pandangannya, karena pandangan merupakan

    kunci dari itu semua. Jika seorang sanggup menjaga

    pandanganya dari melihat hal-hal yang diharamkan, maka

    kejadian-kejadian yang sering terjadi dewasa ini dapat

    dihindari dengan mudah.Wallahu alam .

    Sabar Sambungan dari hlm. 1

    disiplin ilmu, mulai Tafsir, Hadis, Fikih dan lainnya. Bagaimanakah Imam al-Suyuthi melakukan hal ini semua? Tentunya tidak lain karena beliau begitu mementingkan dan mempergunakan waktu dengan sebaik-baiknya. Tidak ada hari tanpa membaca dan menulis.

    Dari berbagai hikmah tersebut , tidaklah mengherankan jika begitu banyak ulama berwasiat untuk memanfaatkan waktu sebaik mungkin, terlebih bagi seorang pencari ilmu. Imam al-Suyuthi dalam baitnya berkata, Syekh al-Kinani berkata kepada kami dari ayahnya seorang Khatib, Bersegeralah wahai pencari ilmu dalam tiga hal: makan, jalan, dan menulis. Tiga pesan ini menunjukkan bahwa seorang pencari ilmu, ketika ia tidak cepat dalam tiga hal tersebut, maka akan berlama-lama dalam makan dan semakin suka dengannya (makan). Dengan demikian, hilanglah waktu untuk membaca, menulis dan berjalan cepat, karena lamanya waktu menunggu dan makan, serta berhenti dari makan.

    Dalam buku Al-Syifa bi Huquqi al-Musthafa al-Qadhi Iyadh menjelaskan bahwa orang Arab dan para pembesar mereka saling memuji dan membanggakan diri dengan sedikit makan dan tidur, serta menghina mereka yang banyak makan dan tidur, karena banyak makan dan tidur menandakan kerakusan dan ketamakan, serta menjadikan tubuh sakit dan malas. Sedangkan sedikitnya (makan dan tidur) menunjukkan kepuasan dan semangat, serta menjadikan badan sehat dan pikiran jernih. Luqman Hakim pernah berwasiat kepada anaknya, Wahai anakku, jika perutmu kenyang, maka pikiranmu akan mati (tidur), sehingga kamu merugi

    dengan hilangnya hikmah (ilmu), dan seluruh tubuhmu akan malas untuk beribadah.

    Tidak hanya itu, waktu juga mengharuskan manusia lebih banyak ingat kepada Allah, karena sesuatu yang paling dekat dengan mereka adalah kematian. Bagaimana tidak, dalam firman-Nya Allah SWT berkata, Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. (QS. Luqman: 34) Ayat ini, menurut Ibnu Katsir bermakna bahwa manusia tidak mengetahui apa yang akan terjadi besok pagi, perbuatan baikkah atau perbuatan burukkah. Manusia pun tidak mengetahui kapan ia akan meninggal dan di mana ia meninggal, karena tidak ada yang mengetahui hal ini kecuali Allah SWT. Dalam sabdanya Rasulullah SAW pernah berkata, Perbanyaklah dzikir hadzima al-ladzzat (kematian). Hal ini agar kita semakin m e m pe rs iapkan d ir i menu ju kehidupan yang sesungguhnya yaitu akhirat, karena hanya amal salih kitalah yang bisa dibawa nanti. Selain itu, mengingat kematian menjadikan kita semakin taat kepada Allah SWT dan merendah, serta tidak sombong dengan apa yang dimiliki, telebih cinta dunia yang hanya sementara.

    Penjelasan di atas setidaknya cukup untuk menjadikan kita lebih sadar atas apa yang telah kita lakukan dan perbuat, apakah itu sudah sesuai dengan apa yang Allah SWT ridai. Tidak ada tujuan kecuali Allah SWT, dan tidak ada rida yang diharapkan kecuali rida Allah SWT. Wallahu Alam

  • Munasabat berarti ikatan antar ayat-ayat atau surat-surat di

    al-Quran yang dikaitkan oleh sesuatu yang serupa di antara

    keduanya. Adapun Burhanudin al-Biqai

    dalam mukadimah tafsirnya memaknai munasabat sebagai sebuah ilmu untuk

    mengetahui susunan bagian-bagian al-Quran

    6 M A B H A T S

    B U L E T I N I Q R A , E D I S I X , M A R E T 2 0 1 4

    Hingga saat ini , kajian tentang nilai kemukjizatan al-Quran belum mencapai kata final. Para ulama dan pemikir Muslim masih berbeda pendapat tentang nilai kemukjizatan al-Quran yang utama. Sebagian mereka menyatakan bahwa inti kemukjizatan al-Quran terletak pada hal-hal gaib yang dimuat al-Quran (al-ijaz al-ghaibiyyah), dan sebagian lain mengatakan bahwa pokok kemukjizatan al-Quran ada pada isyarat-isyarat akan kebenaran ilmiah yang banyak disinggung di dalam al-Quran (al-ijaz al-ilmi).

    Kendati demikian, tidak ada satu pun ulama atau pemikir Islam yang m e n a m p i k p e n d a p a t b a h w a kemukjizatan al-Quran pada hakikatnya terletak pada sisi kebahasaan dan kesastraan al-Quran. Struktur kalimat dalam al-Quran yang begitu indah dan sarat makna menjadi alasan kuatnya pendapat ini. Bahkan masyarakat Arab yang dikenal sebagai pakar bahasa dan sas t ra t idak mampu menandingi keagungan susunan dan gaya bahasa al-Quran, walau dalam kadar satu surat pun (QS. al-Baqarah: 23 dan QS. Yunus: 38).

    S a l a h s a t u u n s u r kemukjizatan kebahasaan al-Quran adalah konsep munasabat. Secara bahasa, munasabat berasal dari kata nasaba atau nisbatan yang berarti kekerabatan, kemiripan dan keserupaan, sedangkan secara istilah, munasabat berarti ikatan antar ayat-ayat atau surat-surat di al-Quran yang dikaitkan oleh sesuatu yang serupa di antara keduanya. Adapun Burhanudin al-Biqai dalam mukadimah tafsirnya memaknai munasabat sebagai sebuah ilmu untuk mengetahui susunan bagian-bagian al-Quran.

    K e t e r a n g a n m e n g e na i munasabat memang tidak ditemui secara tersurat dalam al-Quran, akan tetapi dijelaskan secara tersirat pada beberapa ayat. Salah satunya pada QS. Hud: 1, Alif Lam Ra. (Inilah) Kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi , kenudian dijelaskan secara terperinci, yang (diturunkan) dari sisi (Allah) Yang Maha bijaksana, Maha teliti. Dalam ayat ini disebutkan bahwa salah satu sifat al-Quran adalah ihkam (susunan ayat yang runtut dan tertib).

    Sifat tersebut juga dipahami bahwa ayat-ayat al-Quran berkaitan erat satu sama lain, sehingga ia juga bisa ditafsirkan atau menafsirkan maksud sayat lain.

    Kedua, dalam QS. Fusshilat: 43, ditegaskan sifat al-Quran lainnya, (Yang) tidak akan didatangi oleh kebatilan baik dari depan maupun dari belakang (pada masa lalu dan yang akan datang), yang diturunkan dari Tuhan yang Maha bijaksana, Maha Terpuji. Ini artinya, dalam al-Quran tidak ditemukan pertentangan di antara ayat-ayatnya, sebab ia turun dari sisi Zat yang Maha bijaksana, dan kalam-Nya mustahil cacat dan berlawanan makna.

    Dalam Al-Burhan fi Ulum al-Quran Imam Zarkasyi berpendapat bahwa munasabat merupakan sebuah ilmu yang sangat agung, sebab dengannya seseorang mengetahui batasan tentang apa yang d ikatakannya . Pendapat serupa juga diutarakan oleh Imam Suyuthi dalam Al-Itqan. Menurutnya, munasabat merupakan pengetahuan yang sangat istimewa.

    K e ndat i demik ian mas ih menurut Imam Suyuthi - munasabat seringkali luput dari perhatian mufasir. Hal ini dikarenakan munasabat membahas ayat dengan detail, sehingga membutuhkan ketelitian lebih. Senada dengan Imam Suyuthi, Nurudin Ithr dan beberapa ulama lainnya juga menyayangkan minimnya perhatian mufasir terhadap konsep ini , padahal keistimewaan sebuah kalimat terletak pada kaitan antara kalimat tersebut dengan kalimat lainnya.

    Namun ternyata, Nurudin Ithr tidak sepenuhnya menganggap negatif minimnya perhatian tersebut . Dalam pandangannya, konsep munasabat telah diperhatikan oleh sebagian mufasir, bahkan sejak kemunculan tafsir untuk pertama kalinya yang dipelopori oleh Ibnu Jarir al-Thabari (w. 310 H). Para mufasir terlebih mufasir bi matsur di masa klasik menurut Nurudin Ithr, telah menerapkan konsep munasabat tersebut, hanya saja mereka tidak menyebutkannya secara jelas.

    Tidak adanya pengungkapan konsep tersebut secara gamblang cukup beralasan, sebab munasabat lahir hanya berawal dari pendapat ulama salaf ketika menafsirkan sebuah ayat, dan mereka sama sekali tidak menuliskannya. Hal ini terus

    Maulidatul Hifdhiyah Malik

    Urgensi Munasabat Dalam Penafsiran

    Al-Quran

  • 7 M A B H A T S

    B U L E T I N I Q R A , E D I S I X , M A R E T 2 0 1 4

    berlanjut hingga periode awal ilmu tafsir dibukukan. Salah satunya ditemukan dalam Jami al-Bayan an Tawil Ayi al-Quran karya Ibnu Jarir Thabari. Dalam tafsir ini, penerapan konsep munasabat cukup terlihat , meski tidak begitu gamblang. Setelah Imam Thabari, tafsir Al-Kasysyaf milik Zamakhsyari (w. 538 H), juga disebut sebagai tafsir yang telah menerapkan konsep munasabat secara tersirat.

    Munasabat baru diungkapkan secara tersurat dan benar-benar diterapkan oleh Fakhrudin al-Razi (w. 606 H) dalam tafsirnya Mafatih al-Ghaib. Dalam tafsir ini, al-Razi dinilai sebagai salah satu mufasir yang cukup serius menerapkan konsep munasabat. Keberhasilan al-Razi ini juga dinilai sebagai salah satu pengantar diterapkannya konsep munasabat dalam tafsir-tafsir setelahnya, seperti tafsir Al-Bahr al-Muhith milik Abu Hayyan al-Andalusi (w. 745 H), komentar Syihab al-Khafaji (w. 791) atas tafsir Baidhawi, dan juga tafsir Ruh al-Maani karya Alusi (w. 1270 H). Adapun penulisan konsep munasabat secara independen baru lahir beberapa tahun setelahnya, yang dipelopori oleh Syekh Abi Jafar Ibnu Zubair dalam bukunya Al-Burhan fi Munasabati Tartibi Suwar al-Quran. Langkah ini kemudian diikuti oleh Burhanudin Biqai dalam tafsirnya yang berjudul Nadzm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar.

    Munasabat merupakan ilmu yang sangat penting untuk dipelajari, sebab pokok bahasan suatu kalimat seringkali tidak bisa dipahami hanya melalui kalimat tersebut saja, melainkan hubungannya dengan kalimat sesudah atau sebelumnya. Inilah mengapa munasabat dijadikan sebagai salah satu rukun dalam metode penafsiran tematik (maudhui), dan syarat utama dalam metode penafsiran analitik (tahlili). Selain itu, pemahaman akan munasabat suatu ayat dengan ayat lainnya, dapat memberikan gambaran utuh tentang pokok pikiran ayat atau surat tersebut . Burhanudin Biqai menyatakan bahwa ilmu munasabat sangat membantu dalam menafsirkan al-Quran. Hal ini karena munasabat mampu menyempurnakan maksud dan makna suatu ayat, yang mungkin saja dijelaskan lebih rinci dalam ayat atau surat lain. Biqai kemudian memberikan analogi menarik tentang hubungan munasabat dengan ilmu tafsir, yaitu sebagaimana pentingnya nahwu dalam ilmu bayan. Lebih dari itu, manfaat te rbesar dar i konsep munasabat adalah semakin bertambahnya keyakinan akan kemukjizatan al-Quran. Sebagian besar keistimewaan al-Quran terletak pada kaitan antar ayat dan urutan ayat tersebut. Demikian pendapat Fakhrudin al-Razi.

    Ada empat macam munasabat al-Quran. Pertama, munasabat antar ayat. Munasabat pada jenis ini terdiri atas tiga bagian, munasabat antar ayat yang terlihat jelas, munasabat antar ayat yang dikaitkan oleh huruf athf, dan munasabat maknawi. Munasabat antar ayat bagian pertama merupakan munasabat yang paling banyak ditemukan dalam al-Quran. Salah satunya munasabat antara ayat 219 dengan ayat 220 pada surat al-Baqarah, Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu supaya kamu berpikir. Tentang dunia dan akhirat. Pada penggalan ayat tersebut, penjelasan yang disampaikan dalam ayat 219, tidak akan utuh sebelum pembaca memahami bagian awal ayat 220. Dua ayat ini

    disatukan oleh huruf jar fi yang ada dalam ayat 220, sehingga perintah yang disampaikan telah sempurna, yakni berpikir tentang kehidupan dunia dan akhirat, dan tidak asal berpikir.

    Adapun contoh dari munasabat tipe kedua dapat dilihat pada hubungan ayat 24 dengan ayat 25 pada surat yang al-Baqarah, Maka jika kamu tidak dapat membuatnya dan pasti kamu tidak akan mampu melakukannya, peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir. Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik bahwa mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya Hubungan di antara dua ayat ini adalah penjelasan tentang karakter orang kafir dan orang mukmin yang sama sekali berbeda. Selain itu, juga disebutkan ancaman neraka bagi orang kafir dan kenikmatan surga sebagai balasan untuk orang-orang yang beriman. Apabila dilihat secara sekilas, maka tidak akan dapat ditemui kaitan di antara keduanya. Adapun kedua ayat ini dikaitkan oleh huruf athaf di awal ayat 25, yaitu huruf wawu, di mana ia berfungsi sebagai penghimpun (al-tasyrik) di antara keduanya. Sedangkan misal dari munasabat jenis ketiga ditemui dalam kaitan antara ayat 5 dengan ayat sebelumnya pada surat al-Anfal.

    Kedua, munasabat antara awal surat dengan akhirnya, seperti dalam awal surat al-Mulk yang artinya: Maha suci Allah, di tangan-Nya segala kerajaan dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Surat ini kemudian diakhiri dengan sebuah pertanyaan berbunyi: Jika sumber air kamu menjadi kering, maka siapakah yang akan mendatangkan air yang mengalir bagimu? Di sini, dapat dilihat bahwa jawaban atas pertanyaan yang ada di akhir ayat terletak pada ayat pertama, yakni Allah yang Maha Kuasa akan mendatangkan sumber air.

    Ketiga, munasabat antara surat dengan surat sebelumnya, misalnya surat al-Kautsar dengan surat al-Maun yang terletak tepat sebelumnya. Jika surat al-Maun berisi tentang sifat-sifat tercela, seperti bakhil, meninggalkan salat, riya ketika mengerjakannya, serta enggan membayar zakat. Maka surat al-Kautsar menyebutkan kebalikan dari semua sifat buruk tersebut. Keempat, pemisah ayat (fashilah) dengan ayat setelahnya. Pada jenis ini, munasabat tidak lagi dapat dilihat dengan jelas, melainkan menitikberatkan kajian balagah lebih mendalam.

    Alasan lain yang menjadikan konsep munasabat

    sangat penting dalam menafsirkan al-Quran adalah, karena ia

    mampu memberikan deskripsi yang tepat tentang makna dan

    pokok bahasan ayat atau surat, melalui penjelasan hubungan

    keduanya dengan yang lain. Lebih dari itu, pemahaman akan

    munasabat suatu ayat atau surat juga membuktikan keagungan

    kemukjizatan al-Quran, terlebih kemukjizatan kebahasaan.

    Maka, benarlah apa yang dikatakan oleh Fakhrudin al-Razi,

    Barangsiapa yang menadaburkan susunan lafal al-Quran,

    maka ia akan mendapati betapa al-Quran tidak hanya

    menampakkan kemukjizatannya melalui keindahan lafal dan

    kedalaman maknanya, namun juga melalui susunan ayat dan

    surat yang begitu mengagumkan. Wallahu alam

  • D a l a m p e n a f s i r a n a y a t mutasyab ih d ibagi menjadi tiga macam: a) Ayat yang tidak bisa dicapai oleh akal ma nu s i a , s e p e r t i datangnya hari kiamat, keluarnya Dajjal dan hal-hal gaib. b) Ayat yang dapat diketahui oleh manusia dengan cara mempelajarinya, seperti lafal-lafal asing (gharib), ithnab, ijaz, dan lain sebagainya. c) Ayat yang hanya diketahui oleh para orang yang ilmunya mendalam dan tidak umum bagi kebanyakan manusia.

    Sambungan dari Memahami Konsep Muhkam Mutasyabih

    Adanya penjelasan mengenai muhkam mutasyabih dalam surat Ali-Imran:7, maka yang harus difahami maksud muhkam dan mutasyabih pada surat tersebut. Jika dilihat dari maksud muhkam mutasyabih tersebut akan terlihat dua sifat berbeda yang saling berlawanan satu sama lain dan pada hal inilah terdapat perbedaan yang besar pula dari para ulama mengenai pemahaman muhkam dan mutasyabih pada ayat ini

    Sebelumnya dikatakan bahwa pengertian muhkam secara bahasa berasal dari al-Ihkam merupakan sesuatu yang pasti dan dapat diartikan pula menjaga sesuatu dari kerusakan atau terjaga dari kerusakan sedangkan mutasyabih yaitu menyerupai satu sama lain. Namun yang akan d i tambahkan dis ini bahwasanya mutasyabih yang berasal dari kata al-tasyabuh bukan berarti hal yang sama akan tetapi mutasyabih yang mencakup kekaburan makna atau makna yang tidak jelas. Al-Qaradlawi menjelaskan bahwa maksud tasyabuh disini yang memiliki banyak penafsiran karena permisalannya dengan yang lain baik dari segi lafadz ataupun makna.

    Dari pengertian tersebut diketahui bahwa muhkam di sini merupakan ayat yang jelas maknanya, sedangkan mutasyabih berarti ayat yang tidak dipahami artinya dan hanya diketahui oleh Allah SWT atau orang yang mendalam ilmunya. Ibrahim Khalifah dalam al-Muhkam wa al-Mutasyabih Fi al-Quran al-Karim mengatakan jika mengartikan kata mutasyabih dalam ayat ini sebagai makna mutasyabih hakiki, maka hal ini merupakan kesalahan pemahaman dan benar-benar salah.

    Hal selanjutnya yang perlu dipahami adalah kedudukan ayat muhkam sebagai Ummu al-Kitab. Al-Syathibi mengatakan bahwa kata Umm di sini berarti sebagian besar. Mayoritas ulama memaknainya sebagai pondasi atau ayat-ayat pokok dalam al-Quran. Al-Qaradlawi mengatakan bahwa yang dimaksud sebagai ummu di sini adalah pemahaman ayat mutasyabih yang dikembalikan ke ayat muhkam. Ibrahim Khalifah membenarkan pendapat ini dan menyatakan bahwa tidak salah jika mengartikan sesuatu sebagai aslinya.

    Hal serupa diungkapkan al-Syahatah dalam bukunya yang menyimpulkan terdapat dua maksud dari

    8 N A D H R A H

    B U L E T I N I Q R A , E D I S I X , M A R E T 2 0 1 4

    ayat tersebut. Pertama, bahwasanya Allah tidak akan menurunkan al-Quran kecuali untuk dikerjakan maka tidak mungkin ada suatu perkara yang tidak bisa difahami ataupun dipelajari dan pemahaman ayat-ayat mutasyabih kembali ke ayat muhkam karena muhkam merupakan Ummu al-Kitab. Kedua, bahwasanya Allah memuji orang Rasikh atau yang mendalami ilmu karena merekalah orang-orang yang berakal dan menggunakan ilmunya untuk mengetahui ayat mutasyabihat.

    Dengan memahami maksud dari ayat tersebut maka muhkam dan mutasyabih pada ayat ini berbeda dengan dua ayat sebelumnya dalam surat Hud dan al-Zumar. Pada Ali-Imran ini dijelaskan bahwa muhkam merupakan ayat yang sudah jelas dan berlawanan dengan mutasyabih yang memiliki makna tidak jelas atau tersembunyi. Dari ketiga ayat tersebut sebenarnya tidak ada pertentangan antara satu ayat dan ayat yang lain, karena maksud dari setiap ayat masing-masing sudah jelas dan memiliki makna tersendiri. Pandangan Ulama Terhadap Ayat Mutasyabih

    Sebelum membahas pandangan para ulama mengenai ayat mutasyabih, maka terlebih dahulu akan dijelaskan pandangan ulama salaf dan khalaf dalam menafsirkan ayat mutasyabih. Pertama, mazhab salaf. Mazhab ini disebut juga dengan a l-Mufawwidlah yang art inya mengembalikan semua makna kepada Allah SWT. Mereka mengetahui dan mengimani ayat mutasyabih tetapi dalam penakwilkan ayat yang jelas ulama salaf ini mengatakan tidak ada yang mengetahui maknanya kecuali Allah SWT, dan mengembalikan setiap ayat mutasyabih pada surat as-Syura: 11.

    (11:) Kedua, mazhab khalaf. Para ulama khalaf menafsirkan ayat mutasyabih dengan penakwilan yang jelas. Dalam mazhab ini terdapat dua kelompok, sebagian darinya menakwilkan ayat-ayat mutasyabih dengan takwil dzahiri. Kelompok ini menakwilkan sifat akan tetapi tidak diketahui secara pasti bagaimana hakikat Allah sesungguhnya, seperti Abu Hasan al-Asyari. Sebagian lainnya menakwilkan ayat mutasyabih dengan makna yang pasti. Maksud dari menakwilkan di sini menafikan takwil dari segi lafal. Alasan madzhab ini bahwasanya yang dimaksud dengan menakwilkan menafikan takwil dari segi lafadz atau bahasa akan tetapi selama masih masuk akal maka penakwilan tersebut wajib untuk menafikan apa yang keluar dari Dzat Allah dan dari kelemahan Dzat Allah.

    Dari kedua pendapat tersebut, maka lahirlah beragam pendapat tentang penafsiran ayat mutasyabih. Keragaman ini disebabkan perbedaan waqaf pada QS. Ali Imran: 7. Di antara pendapat

  • tersebut antara lain: pertama, pendapat ini diungkapkan oleh mayoritas

    ulama salaf. Mereka mengatakan bahwa kalimat merupakan akhir dari kalam sebelumnya dan berhenti setelah kalimat tersebut, lalu huruf

    dijadikan sebagai kata sambung, sedangkan

    dijadikan sebagai mubtada dan khabarnya . Kedua, para ulama khalaf mengatakan bahwa al-Rasikh

    berarti mengetahui makna mutasyabih dan menjadikan huruf sebagai

    huruf athf dan kata sebagai mathuf pada kalimat , lalu kata

    sebagai hal atau keadaan. Pembacaan ayat ini tidak berhenti pada

    kalimat akan tetapi berhenti pada kata , dan sebagian

    mengatakan berhenti pada kata . Jika berlandaskan pendapat ini, maka maksud dari ayat ini adalah Allah mengetahui takwil ayat mutasyabih, dan begitu juga halnya para orang yang mendalam ilmunya. Mereka kemudian berkata bahwa mereka beriman kepada Allah.

    Setelah penjelasan mengenai dasar pemahaman ayat mutasyabih, maka dalam penafsiran ayat mutasyabih dibagi menjadi tiga macam: a) Ayat yang tidak bisa dicapai oleh akal manusia, b) Ayat yang dapat diketahui oleh manusia dengan cara mempelajarinya, c) Ayat yang hanya diketahui oleh para orang yang ilmunya mendalam dan tidak umum bagi kebanyakan manusia.

    B U L E T I N I Q R A , E D I S I X , M A R E T 2 0 1 4

    Ayat Mutasyabih dalam Al-Quran Dalam ayat mutasyabihat terdapat beragam

    bentuk tasyabuh atau permisalan. Dari beragam bentuk tersebut, mutasyabih dikelompokkan dalam tiga bagian. Pertama, keserupaan lafal (tasyabuh lafadz). Dalam jenis ini, terdapat lafal berbentuk tunggal (mufrad) dan jamak (murakkab). Salah satu contohnya adalah lafal al-yamin dalam QS. al-Shaffat: 93. Kata ini berarti tangan kanan, namun dalam ayat lain diartikan sebagai janji, dan kedua pengertian ini diperbolehkan. Adapun contoh dalam lafal jamak bisa dilihat pada surat al-Syura ayat 11.

    Kedua, keserupaan makna (tasyabuh makna). Contoh dalam tasyabuh makna beragam, akan tetapi terdapat dua hal yang dijadikan pembahasan. Pertama, huruf muqathaah pada awal surat. Ibrahim Khalifah mengatakan setiap surat yang dimulai dengan huruf-huruf muqathaah menetapkan sifat al-Quran bahwa ia berasal dari Allah SWT, dan bukan dari Nabi SAW.

    Kedua, sifat-sifat Allah. Ada dua pendapat tentang ayat yang berhubungan dengan Dzat Allah.

    Pertama, pendapat para ulama salaf. Contohnya: . (5: ) Kata diyakini oleh ulama salaf,

    namun tidak diketahui penakwilan sesungguhnya. Kedua, pendapat para ulama khalaf. Mereka meyakini maksud dari ayat tersebut adalah meninggikan Allah SWT atau malaikat takut kepada Allah karena keagungan-Nya. Contoh dari penakwilan lainnya, para ulama salaf mengatakan bahwa Allah memiliki tangan, wajah, akan tetapi tidak diketahui bagaimana hal tersebut bagi Allah. Sedangkan para ulama khalaf mengartikan tangan sebagai kekuatan dan wajah sebagai Dzat Allah SWT pada ayat mutasyabih tertentu.

    Ketiga, keserupaan lafal dan makna. Dalam

    bagian terakhir ini, terdapat lima macam keserupaan dilihat dari sisi bilangan, cara, waktu, tempat dan perkara, serta kesahihan syarat.

    Dalam konsep muhkam-mutasyabih, berbagai anggapan dan tuduhan muncul. Ayat mutasyabih yang sarat akan makna tersembunyi dijadikan sebagai celah bagi mereka yang mengingkari kebenaran al-Quran. Menurut mereka, muhkam merupakan ayat yang sudah jelas maknanya, sedangkan mutasyabih sebaliknya. Lalu terdapat pertanyaan, apakah muhkam memiliki kelebihan daripada mutasyabih atau tidak? Jika jawabannya memiliki kelebihan, maka telah bertentangan dengan ayat al-Quran yang menyatakan bahwa al-Quran seluruh kalamnya sama, yang diturunkan penuh dengan hikmah.

    Dalam hal ini al-Zurqani mengatakan bahwa muhkam memiliki kelebihan dari mutasyabih, karena sifatnya sebagai pondasi al-Quran, sehingga makna ayat mutasyabih dikembalikan ke ayat muhkam. Sedangkan yang dimaksud bahwa al-Quran semuanya sama, yakni sama dalam segi kekhususan sifat al-Qurannya sendiri bahwa ia turun kepada Nabi SAW, dicatat sebagai ibadah dalam membacanya, tertulis dalam mushaf dan ditransmisikan dengan riwayat yang sahih. Kesamaan dalam kekhususan sifat al-Quran tidak berarti mengingkari kelebihan ayat muhkam. Walaupun di sisi lain mutasyabih juga memiliki kelebihan, karena dengan adanya mutasyabih lahirlah berbagai ijtihad ulama. Dengan demikian, muhkam memiliki beberapa keistimewaan dalam beberapa hal, serta kesamaan dengan mutasyabih dalam sebagian hal lain, sehingga tidak ada kontradiksi di antara keduanya. Selain itu, adanya ayat mutasyabih memberikan hikmah tersendiri, yaitu semakin sulit sebuah ilmu untuk dipelajari, semakin bertambah pahalanya. Wallahu Alamu Bi al-Shawab.

    9 N A D H R A H

  • 1 0 Qurthubi: U D H A M A

    Nama lengkapnya adalah Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abu Bakar Ibn Farh al-Anshari al-Khazraji al-Maliki, dan lebih dikenal dengan Abu Abdullah al-Qurthubi atau Imam al-Qurthubi. Qurthubi lahir di Cordoba-Andalusia pada awal abad ketujuh hijriyah. Di Andalusia, ia menghafal al-Quran dan belajar tentang bahasa Arab. Selain itu, ia juga belajar syair dan ilmu-ilmu syariah Islam, seperti fikih, nahwu, ilmu qiraat, balaghah dan ilmu-ilmu al-Quran lainnya. Kegigihannya dalam mendatangi halakah-halakah keilmuan membuat ia menguasai berbagai bidang ilmu. Ia sendiri belajar membaca al-Quran dan ilmu qiraat kepada Abu Ja'far Ibn Abu Hajah yang merupakan seorang alim bahasa Arab dan ilmu al-Quran. Selain itu ia belajar kepada Abu Sulaiman Ibn Rabi' Ibn Abdurrahman al-Asy'ari yang merupakan seorang kadi Cordoba dan ahli ilmu hadis. Ia juga belajar kepada Abu 'Amir Yahya Ibn 'Amir Ibn Ahmad Ibn Mani' al-Asy'ari tentang ilmu qiraat. Qurthubi hidup di lingkungan keluarga petani yang bersahaja. Ayahnya selalu menaungi dan mendidiknya dengan kesederhanaan yang kelak mengantarkannya menjadi seorang zuhud dan warak. Qurthubi lahir dan dibesarkan di Andalusia pada masa pemerintahan dinasti Muwahidun yang berkuasa atas Maroko dan Andalusia antara tahun 515 H665 H. Pendiri dinasti ini adalah Muhammad Ibn Abdullah Ibn Tumart al-Maghriby. Daulah ini dikelilingi oleh empat kerajaan Kristen Spanyol, yaitu Kerajaan Leon, Kerajaan Castilla, Kerajaan Aragon dan Kerajaan Nafaro. Seiring berjalannya waktu, dinasti Muwahidun melemah dan membuat empat kerajaan tersebut yang tergabung dalam aliansi Kerajaan Kristen Spanyol untuk menyerang dinasti tersebut agar dapat menguasainya. Penyerangan ini pertama kali dilancarkan pada tanggal 3 Ramadhan tahun 627 H. Penyerangan yang mendadak ini mengakibatkan kerugian yang besar, banyak penduduk yang tewas dalam penyerbuan ini, salah satunya adalah ayah dari Qurthubi. Setelah itu, Kerajaan Kristen Spanyol tersebut terus melakukan serangan-serangan yang akhirnya membuat daulah Islamiyah yang ada di Andalusia habis tidak tersisa pada tahun 633 H. Keadaan perang yang tidak menentu tersebut membuat penduduk Andalusia ketika itu hijrah ke negara Islam lain, di antaranya adalah Qurthubi yang akhirnya hijrah menuju Mesir. Negeri ini menjadi tujuan hijrahnya Qurthubi karena salah satunya untuk mengikuti gurunya Ahmad Ibn Umar Ibn Ibrahim Ibn Umar Abu al-Abbas al-Anshari al-Qurthubi yang lebih dikenal dengan Ibn al-Muzayyin yang hijrah ke Mesir. Peristiwa ini terjadi antara tahun 646 H 648 H. Tatkala hijrah ke Mesir, saat itu Baghdad sebagai ibukota dinasti Abbasiyah sekaligus sebagai pusat ilmu pengetahuan Islam jatuh. Keadaan tersebut menjadikan Mesir sebagai satu-satunya benteng terakhir umat Islam di bawah pengaruh dinasti Mamalik. Sehingga, seluruh ulama-ulama Islam hijrah ke Mesir untuk mencari perlindungan. Dengan begitu, berkumpullah para ulama besar di sana, yang akhirnya dimanfaatkan Qurthubi untuk menimba ilmu kepada para ulama-ulama tersebut.

    Dinasti Muwahidun sendiri ketika itu, merupakan sebuah dinasti yang dipimpin oleh para khalifah dan pemimpin yang menerapkan hukum Islam di Andalusia. Hal ini menjadikan kedudukan ulama pada dinasti tersebut diperhitungkan dan membuat pelajaran fikih diterima oleh para penduduk Cordoba, khususnya fikih yang bermadzhab Maliki. Karena madzhab tersebut yang dipakai dalam berbagai keputusan di dalam Dinasti Muwahidun dan yang diberlakukan di Cordoba. Sedangkan madzhab akidah pada pembahasan sifat yang diberlakukan pada Dinasti Muwahidun adalah madzhab Asya'irah yang telah dibawa oleh pendiri dinasti tersebut, Ibn Tumart. Keadaan intelektual ketika itu akhirnya mempengaruhi pandangan dan pendapat Qurthubi dalam masalah akidah dan fikih. Ia juga menyebutkan dalam kitab tafsirnya, beberapa bantahan terkait gerakan tasawuf yang tercampur dengan filsafat. Sampai sejauh ini, belum ada keterangan yang menjelaskan tentang adanya murid yang berguru kepada Qurthubi kecuali anaknya yang bernama Syihab al-Din Ahmad yang mengambil ijazah kepadanya. Hal itu dikarenakan ia sendiri telah sibuk menghadiri banyak majlis ilmu, menulis buku dan beribadah serta berpindah-pindah tempat tinggal. Sehingga ia tidak mempunyai waktu untuk ikut serta dalam urusan pengajaran ataupun kekadian. Qurthubi telah banyak meninggalkan karya tulis yang menunjukkan keluasan ilmunya di berbagai bidang dan pendalamannya terhadap bidang-bidang tersebut. Diantara karya-karyanya adalah: Al-Jmi' liahkm al-Qurn wa al-Mubayyin lim tadhammanahu min al-Sunnah wa y al-Furqn, Al-Tadzkirah fi Ahwal al-Maut wa Umr al-khirah, A-Tidzkr fi Afdhal al-Adzkr, Al-Asn fi Syarh Asma al-Husn wa Siftuhu al-'Ul. Qamh al-Harsh bi al-Zuhdi wa al-Qana'ah wa rad Dzil al-Su'l bi al-Kasby wa al-Sin'ah. Al-Taqrb likitb al-Tamhd. al-Muqtabas fi Syarh Muwatha' Malik Ibn Anas, dan masih banyak lagi karya-karya Qurtubhi. Setelah banyak menghabiskan waktunya untuk menimba ilmu dengan para ulama besar. Qurthubi pergi ke kota Minyah Ibn Khushaib yang merupakan sebuah kota yang terletak di sebelah timur kota Asyut, Mesir.. Nama ini dinisbahkan kepada Minyah Ibn Khusaib, pemilik upeti Mesir pada zaman Harun al-Rasyid yang sekarang lebih dikenal dengan nama Minya. Hal ini ia lakukan untu menjauhkan diri dari hingar bingarnya dunia. Di sana ia menghabiskan banyak waktunya untuk menulis beberapa karya tulis dan beribadah. Hingga ia wafat pada Senin malam, 9 Syawwal 671 H dan dimakamkan di sana. Wallahu alam

    B U L E T I N I Q R A , E D I S I X , M A R E T 2 0 1 4

    Rusydiana Tsani

  • Bahasa Arab merupakan bahasa yang terkenal dengan keluasan makna dan keberagaman maksud dari setiap kosa kata. Syair-syair yang dilan-tunkan bangsa Arab menandakan ketinggian cita rasa dan kedalaman makna bahasa Arab. Al-Quran adalah kalam ilahi yang diturunkan dalam bahasa Arab sebagai petunjuk bagi umat seluruh alam. Walaupun demikian, hanya orang-orang yang berilmu yang dapat memahami kedalaman bahasa Ilahi ini, sehingga menghasilkan beragam penafsiran, baik di masa klasik maupun kontemporer.

    Dalam buku Alfadz min al-Quran al-Karim, Nasiruddin al-Asad menuliskan keragaman penafsiran yang ditafsirkan mufasir dan fakih dalam satu kosa kata. Keberagaman ini disebabkan setiap mufasir dan fakih dipengaruhi oleh budaya dan tabiat lingkungan pada zamannya. Penulis menjelaskan be-berapa lafal yang memiliki perbedaan penafsiran dari kalangan mufasir dan ahli bahasa. Lafal tersebut antara lain: al-Nashara, ummi, an yadin, dan sebagainya.

    Lafal tidak ditemukan di dalam syair Jahiliyah dan sajak-sajak Arab. Kata ini disebut pertama kali dalam al-Quran dari perkataan Yahudi yang kemudian diterjemahkan pada bahasa Arab. Pakar tafsir berbeda dalam menafsirkan dan penisbatan makna dari kata ini. Ada yang mengatakan ia

    dinisbatkan pada kata . Ada juga yang mengatakan ia berasal dari kata .

    Pendapat lainnya ia berasal dari .

    Lain halnya dengan Thabari, ia menafsirkan kata tersebut berbeda dari satu ayat dengan ayat lainnya. Kata Ummiyun dalam surat al-Baqarah ayat 78 ditafsirkan sebagai mereka yang tidak bisa menulis dan membaca. Lalu dalam surat Ali Imran ayat 20 Ummiyun ditafsirkan dengan mereka yang tidak memiliki buku dari kalangan musyrikin.

    Sedangkan lafal disebutkan oleh al-Quran dalam tiga belas ayat

    pada empat surat. ditafsirkan sebagai

    penolong ( ) kota di Syam ,( , ( dan

    . Imam Sibawaih mengatakan jamak

    dari adalah seperti . Adapun Raghib al-Asfahani menyebutkan sebab penamaan kata nasara terdapat dalam surat al-Shaf ayat 14.

    Mengenai tafsir kata ini, al-Quran menyebutkan nasara dan belum menyebutkan Masehi, walaupun keduanya memiliki kesatuan makna. Kata Masehi merujuk kembali kepada Hawariyun, murid Isa al-Masih, sehingga bisa jadi Masehi hanya dikhususkan bagi Hawari-yun saja. Dalam Mausuah al-Arabiyah al-Muyasarah, dijelaskan bahwa Nasrani adalah kaum nabi Isa dari Timur. Kadang Masehi Konstantinopel disebut Rum, sedangkan Masehi Eropa disebut Faranji. Orang-orang Masehi ini telah punah di jazirah Arab sekitar dua abad sebelum datangnya Islam, dari jalur Suriah, Irak, dan Habasyah.

    Dalam Surat al-Taubah ayat 29,

    ditafsirkan sebagai penanggung jawab harus menyerahkan jaminannnya sendiri tanpa di-

    Keragaman Makna Al-Quran

    Nisaul Mujahidah

    Data Buku:

    Judul: Alfadz min

    al-Quran al-Karim

    Penulis: Nashirud-

    din al-Asad

    Penerbit: Dar al-

    Fath

    Tahun: 2009

    1 1 M A R J A

    B U L E T I N

    sebagai orang terhina yang dirampas. Tafsiran ini diibaratkan dalam dua kategori, ahli zimah dan khalifah. Ada juga yang menafsirkan

    bahwasanya adalah kemampuan untuk membayar pajak. Untuk itu, fakir dari ahli zimah baik anak kecil, wanita, dan orang tua dimaafkan untuk tidak membayar pajak.

    Sedangkan ditafsirkan sebagai orang-orang khusyuk dan tunduk pada hukum Allah SWT. Maksud tunduk dan khusyuk di sini bukan dalam keadaan shalat, tetapi dalam menjalankan kewajiban agama.

    Adapun kata diartikan futur, yaitu lemah setelah kuat dan kecewa setelah semangat. Arti lainnya, lemahnya keinginan seseorang, atau melemahnya keinginan terse-but setelah sebelumnya kuat, dan berhentinya sebuah aktifitas setelah sebelumnya berlang-sung cukup lama. Sedangkan dalam al-Quran surat al-Maidah ayat 19 dijelaskan bahwa Rasulullah SAW diutus setelah terputusnya risalah para Nabi dan Rasul dari zaman Nabi Isa AS, padahal Nabi dan Rasul banyak diutus kepada bangsa Israil sebelum Nabi Isa AS. Kebanyakan mufasir sepakat menafsirkan dengan artian etimologisnya. Masih banyak lagi uraian kosa kata yang memiliki beragam makna dalam al-Quran. Ini membuktikan kemukjizatan al-Quran dari segi bahasa, karena bahasa al-Quran adalah kalam Tuhan. Wallahu Alam.

  • Hafalan Dan Pemahaman

    Sekitar dua tahun yang lalu, saya pernah menu-lis status di media sosial yang intinya mengatakan bahwa dalam al-Quran tidak ada satu ayat pun yang secara jelas dan tegas memerintahkan kita untuk menghafal al-Quran. Yang justru banyak sekali kita temukan adalah perintah untuk menelaah, memahami, dan menadabburkan al-Quran, seperti QS. an-Nisa: 82, QS. Shad: 29, atau QS. al-Alaq: 1.

    Tanpa saya sangka, status tersebut ternyata mendapatkan respon yang cukup serius dari pembaca, khususnya mereka yang hafal (seluruh) al-Quran. Beragam komentar miring pun ditujukan kepada saya atas tulisan tersebut. Ketika saya bertanya kepada mereka, Apa yang salah dari status di atas? tidak ada satupun yang bisa men-jawab. Ketika saya minta mereka menghadirkan ayat yang mewajibkan kita menghafal al-Quran, mereka pun tidak memberikannya.

    Yang saya maksud dari tulisan itu sama sekali bukan untuk mengecilkan, meremehkan atau bahkan mela-rang menghafal al-Quran. Bukan! Tradisi menghafal al-Quran adalah keistimewaan umat kita yang tidak dimiliki oleh umat-umat yang lain. Hafalan adalah keistimewaan utama al-Quran yang membuatnya tetap orisinil dan bebas dari penyelewengan. Keistimewaan seperti ini tidak dimiliki oleh kitab-kitab suci lainnya, baik dari agama samawi mau-pun wadhi.

    Al-Quran adalah kitab yang telah disetting oleh Allah untuk mudah dihafal dan dipahami. Jika tidak per-caya, silakan Anda coba menghafal al-Quran dan Hadis, misalnya, lalu Anda bandingkan mana yang lebih mudah dihafal? Al-Quran jauh lebih mudah dihafal. Lafal-lafal yang digunakannya, panjang-pendek dan dengungan nadanya, fawshil dan intonasi akhir ayatnya, semua itu seakan-akan dengan sendirinya membantu para pembaca untuk lebih mudah menghafal al-Quran.

    Meski hafalan memiliki peran dan kontibusi besar, tapi ia bukanlah kewajiban akhir kita terhadap al-Quran. Bukan pula kewajiban paling utama yang harus kita lakukan terhadap al-Quran. Di sinilah dengan meminjam istilah al-Qaradhawi- ada pikir prioritas yang harus kita tetapkan. Mana yang lebih utama, menghafal atau mema-hami?

    Dalam buku Fiqhul Aulawiyyt, Al-Qaradhawi menulis sub tema khusus yang berjudul Aulawiyyatul Fahmi ala Mujarradil Hifdzi atau dalam istilah lain Aulawiyyatul Ilmi ad-Diryat ala Ilmi ar-Riwyah. Menghafal (menghafal apapun itu) hanyalah proses meny-impan data atau maklumat. Jika berakhir hanya dalam proses ini, maka data dan maklumat ini tidak berguna; ia hanya tersimpan tanpa bisa dimanfaatkan. Harus ada taha-pan selanjutnya untuk mengolah data dan maklumat terase-but agar bisa berguna dan bermanfaat.

    Dari Abu Musa RA, Rasulullah SAW bersabda, Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah utus aku dengannya seperti hujan lebat yang jatuh ke tanah. Di antara tanah itu ada yang baik dan subur. Ia dapat menyerap air sehingga menumbuhkan

    banyak tumbuhan dan rerumputan. Di antaranya ada pula tanah keras yang hanya dapat menampung air. Dengan tanah ini Allah memberikan manfaat kepada manusia, sehingga mereka bisa minum, mengairi tanaman, dan bercocok tanam. Dan sebagian hujan ada juga yang jatuh ke sebidang tanah yang lain, yaitu tanah yang datar dan tandus. Ia tidak bisa menampung air ataupun menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Begitulah perumpamaan orang yang paham mengenai agama Allah dan memperoleh manfaat dari (petunjuk dan ilmu) yang Allah utus aku dengannya. Ia tahu dan mengajarkannya. Juga perum-pamaan orang yang tidak peduli dengan perkara tersebut dan tidak mau menerima petunjuk Allah yang dengannya aku diutus. (H.R. Bukhari)

    Perumpamaan seperti ini bisa juga kita terapkan dalam posisi kita terhadap al-Quran. Jenis pertama adalah orang yang menghafal al-Quran sekaligus memahaminya. Dengan hafalannya itu ia bisa menjaga al-Quran dari penyele-wengan, dan dengan pemahamannya ia bisa menghidupkan hati-hati yang mati, menunjukkan hati-hati yang tersesat, dan menerangi hati-hati yang gelap. Maka dia pun memperoleh manfaat dan memberikan manfaat. Subur dan menyuburkan. Suci dan menyucikan.

    Kedua, jenis orang yang sekadar menghafal al-Quran saja. Orang jenis kedua ini, meminjam pendapat Badruddin Al-Aini dalam Umdatul Qari, tidak bisa mem-peroleh manfaat untuk dirinya, akan tetapi masih berfaedah untuk orang lain. Dia mempunyai hati yang bagus hafa-lannya, namun tidak memiliki pikiran yang cerdas untuk memahaminya. Dengan hafalannya, para ahli ilmu datang mengambil ilmu dari mereka. Jenis manusia ini memberikan manfaat kepada orang lain dengan hafalan yang mereka peroleh. Ia subur tapi tidak bisa menyuburkan. Suci tapi tidak bisa menyucikan.

    Sedangkan orang jenis ketiga adalah orang yang tidak menghafal al-Quran dan tidak pula memahaminya. Dia seperti tanah gersang yang tidak bisa menyimpan air dan tidak bisa pula menumbuhkan tanaman. Tidak bermanfaat bagi dirinya sendiri, tidak pula memberi manfaat kepada orang lain.

    Dari Hadis di atas bisa disimpulkan bahwa golon-gan yang pertama adalah orang yang bisa mengambil manfaat dan memberi manfaat, yang kedua adalah yang bisa memberi manfaat tetapi tidak bisa mengambil manfaat, yang ketiga adalah yang tidak memberi manfaat ataupun mengambil manfaat. Kita berlindung kepada Allah dari golongan tera-khir ini.

    Dengan hafalan, seharusnya mereka yang hafal

    memiliki banyak kemudahan untuk belajar memahami dan

    mengkaji Al-Quran. Jangan sampai dengan hafalan itu justru

    merasa puas dengan apa yang mereka dapatkan dari Al-

    Quran, sehingga tidak lagi terdorong unuk memahami dan

    mengkajinya. Islam menghendaki kita memahami agama

    (tafaqquh fiddin), bukan sekedar belajar agama (ta'allum addin).

    Maka Apakah mereka tidak memperhatikan (tadabbur) Al Quran,

    ataukah hati mereka terkunci? (QS Muhammad: 24). Wallahu

    Alam.

    Jauhar Ridloni Marzuq

    1 2 S A L A M

    B U L E T I N I Q R A , E D I S I X , M A R E T 2 0 1 4