Upload
adelia-anjani
View
242
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
7/29/2019 Inverted Papilloma 1
1/22
BAB 2
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. Anatomi Hidung
Kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh
septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri (Corbridge,
1998).
2.1.1. Septum Nasi
Septum nasi dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Dilapisi oleh perikondrium
pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya
dilapisi juga dengan mukosa nasal.
Bagian tulang terdiri dari dua tulang nasal yang bersatu pada garis tengah dan
berada pada bagian atas prosesus nasalis tulang frontal.
Sedangkan bagian tulang rawan terdiri dari :
A. Kartilago lateral atasB. Kartilago lateral bawah (alar cartilages)C. Kartilago lesser alar (sesamoid)D. Kartilago septum (Dhingra, 2007)
2.1.2. Perdarahan
Bagian postero-inferior septum nasi diperdarahi oleh arteri sfenopalatina yang
merupakan cabang dari arteri maksilaris (dari a.karotis eksterna). Septum nasi
bagian antero-inferior diperdarahi oleh arteri palatina mayor (juga cabang dari
a.maksilaris) yang masuk melalui kanalis insisivus. Arteri labialis superior (cabang
dari a.fasialis) memperdarahi septum bagian anterior mengadakan anastomose
Universitas Sumatera Utara
7/29/2019 Inverted Papilloma 1
2/22
membentuk fleksus Kiesselbach yang terletak lebih superfisial pada bagian anterior
septum. Daerah ini disebut juga Littles area yang merupakan sumber perdarahan
pada epistaksis.
Arteri karotis interna memperdarahi septum nasi bagian superior melalui arteri
etmoidalis anterior dan superior.
Vena sfenopalatina mengalirkan darah balik dari bagian posterior septum ke
fleksus pterigoideus dan dari bagian anterior septum ke vena fasialis. Pada bagian
superior vena etmoidalis mengalirkan darah melalui vena oftalmika yang
berhubungan dengan sinus sagitalis superior (Lund, 1997).
2.1.3. Sinus Paranasal
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang terletak
di sekitar nasal dan mempunyai hubungan dengan kavum nasi melalui ostiumnya
(Mangunkusumo, 1999).
Terdapat empat pasang sinus paranasal, yaitu sinus frontalis, sfenoidalis,
etmoidalis, dan maksilaris. Sinus maksilaris dan etmoidalis mulai berkembang
selama dalam masa kehamilan. Sinus maksilaris berkembang secara cepat hingga
usia tiga tahun dan kemudian mulai lagi saat usia tujuh tahun hingga 18 tahun dan
saat itu juga air-cell ethmoidtumbuh dari tiga atau empat sel menjadi 10-15 sel per
sisi hingga mencapai usia 12 tahun (Jhosephson dan Roy, 1999).
Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernafasan yang mengalami
modifikasi, dan mampu menghasilkan mukus, dan bersilia, sekret disalurkan ke
dalam rongga hidung. Selaput lendir mukosa akan menjerat bakteri dan bahan
berbahaya yang dibawa oleh silia, kemudian mengeluarkannya melalui ostium dan
Universitas Sumatera Utara
7/29/2019 Inverted Papilloma 1
3/22
ke dalam nasal untuk dibuang. Pada orang sehat, sinus terutama berisi udara
(Adams, 1997).
2.2. Inverted Papilloma
Papilloma sinonasal secara klasik dikategorikan berdasarkan gambaran
histologinya. Tiga subtipe telah ditetapkan oleh World Health Organization
terhadap lesi ini yaitu inverted papilloma, cylindrical cell papilloma danfungiform
papilloma (Jacob et al, 2007, Klimeket al, 2000).
IP merupakan tumor jinak yang berasal daripseudostratified ciliated columnar
epithelium regio sinonasal, umumnya dinding lateral rongga hidung kebanyakan
pada meatus media, jarang dari septum nasi ataupun sinus paranasal. Pertama kali
dideskripsikan pada tahun 1854 oleh Ward. (Carrau et al, 2006; Kainuma et al,
2011).
Tumor ini masih jarang ditemukan 0,5%-4% dari seluruh tumor hidung dan
sinus paranasal, menyerupai polip tetapi lebih padat bila dibandingkan polip nasi,
biasanya bersifat unilateral, secara histologi jinak tapi berkemampuan untuk
tumbuh cepat dan bertendensi menjadi keganasan 5-15%. Umumnya terjadi pada
orang dewasa umur 40-70 tahun. Pada laki-laki cenderung lebih banyak dari
perempuan dengan perbandingan 4 : 1 (Stern, 1996; Chessman, 1997; Carrau, 2006;
Lalwani, 2007; Shik Kim et al, 2010).Sampai saat ini penyebab yang pasti dari IP ini belum diketahui. Faktor-faktor
yang diduga berpengaruh seperti alergi, sinusitis kronis, terpapar zat karsinogen dan
infeksi virus (Lalwani, 2007; Katori et al, 2007).
Universitas Sumatera Utara
7/29/2019 Inverted Papilloma 1
4/22
Sinusitis paranasal banyak ditemukan pada pasien dengan IP, dan beberapa
peneliti menyimpulkan bahwa sinusitis tersebut disebabkan oleh tumor yang
mengobtruksi sinus dan bukan sebaliknya (Kim et al, 2003).
Keberadaan human papiloma virus (HPV) telah dibuktikan pada beberapa
laporan dengan frekuensi yang berbeda. Respler et al, menemukan DNA HPV11
pada 2 orang pasien mereka. Weberet al, menemukanDNA HPVpada 16 dari 21
pasien mereka.Weiner et al, menemukanDNAHPV6 danHPV11 sebanyak 6,8 %
dari 69 kasus (Kim et al, 2003; Jee-Yeon et al, 2007).
2.2.1. Mikroskopik Inverted Papilloma
Gambaran makroskopis IP mirip seperti polip tetapi lebih padat dan permukaan
bergerombol, dengan warna bervariasi dari merah muda sampai agak pucat, lebih
banyak jaringan vaskularnya dari polip (Carrau, 2006; Cardesa, 2006).
Lesi dari IP ini umumnya berasal dari mukosa dinding lateral dari nasal dan
dapat melibatkan sinus paranasal, orbital dan anterior basis kranii, telah dilaporkan
juga bisa melibatkan nasofaring, duktus lakrimalis dan bahkan tulang temporal
pada cavum mastoid (Carrau, 2006; Cardesa, 2006).
IP merupakan bentuk kelainan yang ditandai dengan epitel yang hiperplastik
terlihat membalik (inverted) dan terdapat pertumbuhan yang endofitik ke stroma di
bawahnya.
Universitas Sumatera Utara
7/29/2019 Inverted Papilloma 1
5/22
Gambar 2.1. Histopatologi Inverted Papilloma(Cardesa, 2006)
2.2.2. Gejala Klinis
Lamanya timbul gejala IP bervariasi antara beberapa minggu sampai tahunan,
tidak ada gejala spesifik yang dapat membedakan IP dan IP dengan keganasan.
Gejala utama yang paling banyak dikeluhkan oleh penderita IP ini adalah sumbatan
hidung yang bersifat unilateral, diikuti oleh gejala rinorhea dan perdarahan hidung.
Kemudian gejala proptosis dan epipora, pada kondisi yang lebih lanjut melibatkan
orbita dan duktus lakrimalis (Lalwani, 2007).
2.2.3. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan:
- Anamnesa yang cermat dari gejala klinis- Pemeriksaan fisik- Pemeriksaan penunjang:
o Radiologiso Histopatologi
Universitas Sumatera Utara
7/29/2019 Inverted Papilloma 1
6/22
2.2.4. Penatalaksanaan
Prinsip pengobatan IP adalah pengangkatan tumor secara keseluruhan, tanpa
meninggalkan sisa, mengingat tumor ini cenderung kambuh.
Sebagai pilihan pengobatan utama adalah pengangkatan tumor dan eksisi
dengan pendekatan rinotomi lateral atau degloving bila massa tumor ada di traktus
sinonasal dan dengan mastoidektomi untuk massa tumor di telinga tengah dan
kavum mastoid.
Terapi IP adalah tindakan bedah. Eksisi komplit penting untuk mencegah
rekuren. Angka rekuren yang tinggi terjadi pada eksisi tak komplit dari tumor,
reseksi secara endoskopi dapat dipertimbangkan untuk mengurangi komplikasi
pendekatan eksternal (Baruah, 2003)
Pendekatan degloving atau rinotomi lateral yang dikombinasi dengan medial
maksilektomi sangat menurunkan angka rekurensi.
A. Rinotomi LateralMyers dan Thawley menganjurkan rinotomi lateral pada dinding samping
hidung diikuti dengan pengangkatan dengan hati-hati semua mukosa lainnya yang
ada pada ipsilateral sinus paranasal.
Sessions, Larson dan Pope menganjurkan cara rinotomi lateral yang
dilanjutkan dengan etmoidektomi dan maksilekstomi medial untuk mengangkat
tumor-tumor yang terlokalisir di hidung, baik jinak maupun ganas.
Teknik rinotomi lateral telah mengalami beberapa modifikasi. Moure,
membuat insisi di samping hidung setinggi kantus medial samapai ke ala nasi,
diteruskan sampai ke dasar kolumela, bila insisi Moure dilanjutkan ke bawah
melalui sulkus infranasal dan mendorong bibir atas disebut insisi Weber. Bila insisi
Universitas Sumatera Utara
7/29/2019 Inverted Papilloma 1
7/22
Weber ini diperluas sampai dibawah kelopak mata disebut insisi Weber-Ferguson.
Insisi dapat diteruskan sampai bersambung dengan insisi gingivobukal.
Setelah kulit diinsisi dan periosteum dilepaskan dari tulang muka, dilakukan
osteotomi untuk mengangkat tulang hidung. Mukosa hidung dipotong sepanjang
pinggir aperture piriformis sehingga pyramid hidung bisa ditarik ke sisi yang
berlawanan. Semua kasus-kasus yang ditemui bersama KSS telah ditanggulangi
dengan cara seperti di atas tanpa terjadi kekambuhan kembali tumor tersebut dan
didapat hasil yang cukup baik mengenai aspek kosmetik dan fungsionalnya (Stern,
1996; Mark, 2000).
B. DeglovingTeknik pembedahan degloving yang digunakan ada 2 jenis yaitu:
I. Menurut Conley dan Price serta Magnila:Pada prinsipnya dibuat 4 macam insisi yaitu:
1. Insisi sublabial seperti pada operasi Caldwell luc, mulai dari tuberositasmaksila satu sisi sampai tuberositas maksila sisi lainnya. Insisi diteruskan
sampai mencapai periosteum dan jaringan lunak muka dilepaskan dari
dinding depan maksila sampai mencapai foramen infraorbita. Saraf dan
pembuluh darah infraorbita dipertahankan.
2.Dilakukan insisi transfiksi yang akan memisahkan tulang rawan septum
dengan kolumela.
3. Insisi interkartilago pada kedua sisi, sehingga memisahkan jaringan lunakhidung dengan kartlago lateral atas hidung. Periosteum di atas tulang
dilepaskan ke lateral sejauh mungkin dan juga ke superior sampai mencapai
pangkal hidung.
Universitas Sumatera Utara
7/29/2019 Inverted Papilloma 1
8/22
4. Insisi sekeliling apertura piriformis pada kedua sisi (Stern, 1996; Mark,2000).
II.Cara Pavolainen dan Malmberg1.Dilakukan insisi sublabial bilateral seperti cara Conley.2.Mukosa hidung hanya diinsisi sepanjang bagian bawah apertura piriformis.3.Dilakukan osteotomi lateral pada kedua sisi, yang juga memotong mukosa
hidung sampai mencapai sutura naso frontal.
4.Tulang rawan septum bersama mukosa yang menutupinya digunting mulaidari spina nasalis anterior ke atas sampai mencapai sutura nasofrontal, yaitu
pada batas atas osteotomi sejajar dengan arah osteotomi (Sautter, 2007).
2.2.5. Prognosis
Prognosisnya dipengaruhi banyak faktor seperti usia penderita, lokasi dan
penyebaran tumor dan keterlibatan organ sekitar serta jenis terapi dan teknik
pendekatan yang dilakukan, keterlibatan kelenjar limfe leher dan gambaran
histologi (Lalwani, 2007).
2.3. Karsinoma Sel Skuamosa
Karsinoma sel skuamosa merupakan neoplasma epitelial maligna yang berasal
dari epitelium mukosa kavum nasi atau sinus paranasal termasuk tipe keratinizing
dan non keratinizing (Barnes et al, 2005; Wolpoe
Enam puluh persen tumor sinonasal berkembang di dalam sinus maksilaris,
20-30% di dalam rongga nasal, 10-15% di dalam sinus etmoidalis, dan 1%
di dalam sinus sfenoidalis dan frontalis. Apabila hanya melibatkan sinus-sinus
paranasal tersendiri, 77% tumor maligna muncul di dalam sinus maksilaris, 22% di
et al, 2006).
Universitas Sumatera Utara
7/29/2019 Inverted Papilloma 1
9/22
dalam sinus etmoidalis dan 1% di dalam sinus sfenoidalis dan frontalis. Neoplasma
maligna pada tempat-tempat ini dapat mengakibatkan kematian dan kecacatan
dalam jumlah yang signifikan (Adams, 1997; Barnes, 2005; Dhingra, 2007).
Secara makroskopik, KSS kemungkinan berupa exophytic, fungating atau
papiler. Biasanya rapuh, berdarah, terutama berupa nekrotik, atau indurated,
demarcatedatau infiltratif (Barnes
2.3.1.MikroskopikKeratinizing Squamous Cell Carcinoma
et al, 2005).
Secara histologi, tumor ini identik dengan KSS dari lokasi mukosa lain pada
daerah kepala dan leher. Ditemukan diferensiasi skuamosa, di dalam bentuk keratin
ekstraseluler atau keratin intraseluler (sitoplasma merah muda, sel-sel diskeratotik)
dan/atau intercellular bridges. Tumor tersusun di dalam sarang-sarang, massa atau
sebagai kelompok kecil sel-sel atau sel-sel individual. Invasi ditemukan tidak
beraturan. Sering terlihat reaksi stromal desmoplastik. Karsinoma ini dinilai berupa
diferensiansi baik, sedang atau buruk (Barnes
2.3.2. Mikroskopik Non-Keratinizing (Cylindrical Cell, transitional) Carcinoma
et al, 2005; Wolpoe et al, 2006).
Tumor ini merupakan tumor yang berbeda dari traktus sinonasal yang
dikarakteristikkan dengan pola plexiform atau ribbon-like growth pattern. Dapat
menginvasi ke dalam jaringan dibawahnya dengan batas yang jelas. Tumor ini
dinilai dengan diferensiasi sedang ataupun buruk. Diferensiasi buruk sulit dikenal
sebagai skuamosa, dan harus dibedakan dari olfactory neuroblastoma atau
karsinoma neuroendokrin (Barneset al, 2005).
Universitas Sumatera Utara
7/29/2019 Inverted Papilloma 1
10/22
Gambar 2.2. Karsinoma sel skuamosa,non-keratinizing. Pulau-pulau sel-sel tumor
kohesif menginvasi ke dalam stroma dibawahnya. Permukaan karsinoma
in situ terlihat (Barneset al, 2005)
2.3.3. Gejala Klinis
Tumor nasal dan sinus paranasal dalam keadaan tertentu tidak memberikan
gejala yang tetap. Mungkin hanya berupa rasa penekanan atau nyeri, atau tidak
dijumpai rasa nyeri. Sumbatan nasal satu sisi dapat diduga suatu tumor sampai
dapat dibuktikan dengan pemeriksaan-pemeriksaan penunjang lain. Sekret dapat
encer, serosanguinosa atau purulen. Mungkin ditemukan parastesia, anestesia atau
paralisis saraf-saraf otak. Nyeri apabila dijumpai, lebih terasa di malam hari atau
bila pasien berbaring. Mungkin pula gejalanya menjalar ke gigi atas atau gigi palsu
bagian atas terasa menjadi tidak pas lagi. Dapat terjadi pembengkakan wajah
sebelah atas seperti sisi batang nasal dan daerah kantus medius, penonjolan daerah
pipi, pembengkakan palatum durum, palatum mole, tepi alveolar atau lipatan
mukosa mulut dan epistaksis. Pada 9% hingga 12% pasien sering asimtomatik
sehingga diagnosis sering terlambat dan penyakit telah memasuki stadium lanjut
(Bailey, 2006; Ballenger, 1994).
Universitas Sumatera Utara
7/29/2019 Inverted Papilloma 1
11/22
Metastasis regional dan jauh sering tidak terjadi meskipun penyakit telah
berada dalam stadium lanjut. Insidensi metastasis servikal pada gejala awal
bervariasi dari 1% hingga 26%, dari kasus yang pernah dilaporkan yang terbanyak
adalah kurang dari 10%. Hanya 15% pasien dengan keganasan sinus paranasal
berkembang menjadi metastasis setelah pengobatan pada lokasi primer. Jumlah ini
berkurang hingga 11% pada pasien yang mendapat terapi radiasi pada leher (Bailey,
2006).
2.3.4. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
radiologi dan biopsi. Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
histopatologi (Wong dan Krause, 2001; Dhingra, 2007).
2.3.5. Klasifikasi TNM dan Sistem Staging
Cara penentuan stadium tumor ganas hidung dan sinus paranasal yang terbaru
adalah menurutAmerican Join Committee on Cancer (AJCC) 2010 yaitu:
Tumor Primer (T)
Sinus maksilarisTX Tumor primer tidak dapat ditentukan
T0 Tidak tampak tumor primer
Tis Karsinoma in situ
T1 Tumor terbatas pada mukosa sinus maksilaris tanpa erosi dan destruksi
tulang
T2 Tumor menyebabkan erosi dan destruksi tulang hingga palatum dan atau
meatus media tanpa melibatkan dinding posterior sinus maksilaris dan
fossa pterigoid
Universitas Sumatera Utara
7/29/2019 Inverted Papilloma 1
12/22
T3 Tumor menginvasi dinding posterior tulang sinus maksilaris, jaringan
subkutaneus, dinding dasar dan medial orbita, fossa pterigoid, sinus
etmoidalis
T4a Tumor menginvasi bagian anterior orbita, kulit pipi, fossa pterigoid,
fossa infratemporal, fossa kribriformis, sinus sfenoidalis atau frontal
T4b Tumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, duramater, otak, fossa
kranial medial, nervus kranialis selain dari divisi maksilaris nervus
trigeminal V2, nasofaring atau klivus
Kavum Nasi dan Sinus EtmoidalisTX Tumor primer tidak dapat ditentukan
T0 Tidak tampak tumor primer
Tis Karsinoma in situ
T1 Tumor terbatas pada salah satu bagian dengan atau tanpa invasi tulang
T2 Tumor berada di dua bagian dalam satu regio atau tumor meluas dan
melibatkan daerah nasoetmoidal kompleks, dengan atau tanpa invasi
tulang
T3 Tumor menginvasi dinding medial atau dasar orbita, sinus maksilaris,
palatum atau fossa kribriformis
T4a Tumor menginvasi salah satu dari bagian anterior orbita, kulit hidung
atau pipi, meluas minimal ke fossa kranialis anterior, fossa pterigoid,
sinus sfenoidalis atau frontal
T4b Tumor menginvasisalah satu dari apeks orbita, dura, otak, fossa kranial
medial, nervus kranialis selain dari V2, nasofaring atau klivus
Universitas Sumatera Utara
7/29/2019 Inverted Papilloma 1
13/22
Kelenjar getah bening regional (N)
NX Tidak dapat ditentukan pembesaran kelenjar
N0 Tidak ada pembesaran kelenjar
N1 Pembesarankelenjar ipsilateral 3 cm
N2 Pembesaran satu kelenjar ipsilateral 3-6 cm, atau multipel kelenjar
ipsilateral
7/29/2019 Inverted Papilloma 1
14/22
IVA T4a N0 M0
T4a N1 M0
T1 N2 M0
T2 N2 M0
T3 N2 M0
T4a N2 M0
IVB T4b Semua N M0
Semua T N3 M0
IVC Semua T Semua N M1 (Green, 2010)
2.3.6.PenatalaksanaanA. Pembedahan
A.1. Drainage/Debridement
Drainage adekuat (seperti nasoantral window) seharusnya dibuka pada pasien
dengan sinusitis sekunder dan pada pasien yang mendapat terapi radiasi sebagai
pengobatan primer (Bailey, 2006).
A.2. Resection
Surgical resection selalu direkomendasikan dengan tujuan kuratif. Palliative
excision dipertimbangkan untuk mengurangi nyeri yang parah, untuk dekompresi
cepat dari struktur-struktur vital, atau untuk debulking lesi massif, atau untuk
membebaskan penderita dari rasa malu. Pembedahan merupakan penatalaksanaan
tunggal untuk tumor maligna traktus sinonasal dengan angka ketahanan hidup
5 tahun sebesar 19% hingga 86% (Bailey, 2006).
Universitas Sumatera Utara
7/29/2019 Inverted Papilloma 1
15/22
Dengan kemajuan-kemajuan terbaru dalam preoperative imaging,
intraoperative image-guidance system, endoscopic instrumentation dan material
untuk hemostasis, teknik sinonasal untuk mengangkat tumor nasal dan sinus
paranasal mungkin merupakan alternatif yang dapat dilakukan untuk traditional
open technique. Pendekatan endoskopik dapat dipakai untuk melihat tumor dalam
rongga nasal, etmoid, sfenoid, medial frontal dan sinus maksilaris medial. Frozen
section harus digunakan untuk melihat batas bebas tumor (Poetker et al, 2005;
Bailey, 2006; Zinreich, 2006; Lundet al, 2007; Nicolai et al, 2008).
B. RehabilitasiTujuan utama rehabilitasi post operasi adalah penyembuhan luka primer,
memelihara atau rekonstruksi bentuk wajah dan pemulihan oronasal yang terpisah
kemudian memperlancar proses bicara dan menelan. Rehabilitasi setelah reseksi
pembedahan dapat dicapai dengan dental prosthesis atau reconstructive flap seperti
flap otot temporalis dengan atau tanpa inklusi tulang kranial, pedicled atau
microvascular free myocutaneous dan cutaneous flap (Bailey, 2006).
C. Terapi RadiasiRadiasi digunakan sebagai metode tunggal untuk membantu pembedahan atau
sebagai terapi paliatif. Radiasi post operasi dapat mengontrol secara lokal tetapi
tidak menyebabkan kelangsungan hidup spesifik atau absolut. Sel-sel tumor yang
sedikit dapat dibunuh, pinggir tumor non radiasi dapat dibatasi sepanjang
pembedahan dan penyembuhan luka post operasi lebih dapat diperkirakan (Bailey,
2006).
Universitas Sumatera Utara
7/29/2019 Inverted Papilloma 1
16/22
D. KemoterapiPeran kemoterapi untuk pengobatan tumor traktus sinonasal biasanya paliatif,
penggunaan efekcytoreductive untuk mengurangi rasa nyeri dan penyumbatan, atau
untuk mengecilkan lesi eksternal massif. Penggunaan cisplatin intrarterial dosis
tinggi dapat digunakan secara bersamaan dengan radiasi pada pasien dengan
karsinoma sinus paranasal. Angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 53%. Pasien
yang menunjukkan resiko pembedahan yang buruk dan yang menolak untuk
dilakukan operasi dipertimbangkan untuk mendapatkan kombinasi radiasi dan
kemoterapi (Bailey, 2006).
2.3.7.PrognosisPada umumnya prognosis kurang baik. Banyak sekali faktor yang
mempengaruhi prognosis keganasan nasal dan sinus paranasal, cara tepat dan
akurat. Faktor-faktor tersebut seperti perbedaan diagnosis histologi, asal tumor
primer, perluasan tumor, pengobatan yang diberikan sebelumnya, status batas
sayatan, terapi adjuvan yang diberikan, status imunologis, lamanya follow up dan
banyak lagi faktor lain yang dapat berpengaruh terhadap agresifitas penyakit dan
hasil pengobatan yang tentunya berpengaruh juga terhadap prognosis penyakit ini.
Walaupun demikian, pengobatan yang agresif secara multimodalitas akan
memberikan hasil yang terbaik dalam mengontrol tumor primer dan akan
meningkatkan angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 75% untuk seluruh stadium
tumor (Nazaret al, 2004; Roezin, 2007).
Universitas Sumatera Utara
7/29/2019 Inverted Papilloma 1
17/22
2.4.Peran p63Tumor protein p63, juga dikenal sebagai transformation-related protein 63
adalah protein yang pada manusia dikodekan oleh gen TP63 pada kromosom
3q27-29 yang homolog dengan p53 (suatu tumor supressor gene), yang meregulasi
pertumbuhan dan perkembangan epitel kulit, serviks, payudara dan traktus
urogenital. p63 membantu mengatur diferensiasi dan proliferasi sel-sel progenitor
epitel (Oncel et al,2011).
Dalam mengatur diferensiasi atau memperbaharui sel sendiri (self-renewal),
p63 berperan sehubungan dengan isoform yang dipunyainya yaitu TAp63 dan
Np63. Np63 mengatur ekspresi gen sel-sel basal dari epidermal, sedang Np63
bersama-sama dengan TAp63 berfungsi untuk membentuk sel-sel yang
berdiferensiasi akhir (Blanpain, 2007).
Gambar 2.3. Peran p63 dalam perkembanganstratified epithelium (Blanpain, 2007).
Universitas Sumatera Utara
7/29/2019 Inverted Papilloma 1
18/22
p63 membantu mengatur diferensiasi dan proliferasi sel-sel progenitor epitel.
Np63 mempunyai banyak fungsi dalam mengembangkan kulit dan sel epitel,
mengatur dan memproliferasi sel stem/progenitor pada orang dewasa. Sebaliknya
kerja TAp63 terbatas pada fungsi apoptosis (Oncel et al,2011; Anonim, 2012).
Dari gambar (2.3) terlihat bahwa pada jaringan tertentu misalnya epidermis kulit,
p63 secara langsung menimbulkan proliferasi sel progenitor dan memperbaharui
diri sendiri. Pada jaringan lain misalnya thymus, p63 mempertahankan ke stem-an
sel dengan merangsang hidupnya sel tersebut (Blanpain, 2007).
Sedangkan dari gambar (2.4), dengan ketiadaan p63, maka sel-sel stem dan
progeni-progeninya akan mati akibat apoptosis (panah merah), karena sel-sel stem
yang rusak tidak dapat lagi merangsang proliferasi dan perbaikan diri sendiri
(Blanpain, 2007).
Gambar 2.4. Mekanisme potensial p63 dalam mempertahankan
populasistem-cell(Blanpain, 2007).
Universitas Sumatera Utara
7/29/2019 Inverted Papilloma 1
19/22
2.4.1. Hubungan p63 dengan Lesi-lesi Jinak dan Karsinoma
Ekspresi p63 dapat dijumpai baik pada sel-sel neoplastik dan non-neoplastik
yang berasal dari skuamosa atau mampu berdiferensiasi menjadi skuamosa,
termasuk karsinoma sel skuamosa dari semua tempat, urothelium, endometrium,
karsinoma tiroid papiler dan timoma. Sebaliknya, sel-sel epitel ginjal dan
metaplastik Barrett, dan adenokarsinoma yang berhubungan dengannya, oleh
karena kurang berkemampuan untuk berdiferensiasi menjadi sel-sel skuamosa,
maka p63 nya tetap negatif (Emanuel, 2005).
Ekspresi p63 lebih tinggi pada jaringan maligna dibandingkan dengan jaringan
normal, dan karsinoma diferensiasi jelek menunjukkan jumlah sel p63 positif yang
lebih banyak dibandingkan dengan karsinoma diferensiasi baik. p63 kuat
terekspresi pada karsinoma sel skuamosa, tapi negatif pada small cell carcinoma
dan adenokarsinoma(Oncel et al,2011; Anonim, 2012).
Pada inverted papilloma, sel dengan p63 positif terutama pada daerah basal dan
secara difus terlihat di dalam kelompokan epitel. Pada lesi benigna antara lain
sinusitis kronik, ekspresi p63 terutama dijumpai pada sel-sel basal, sedangkan pada
lapisan permukaan lainya dan stroma tidak menonjol. Terdapat peningkatan berarti
p53 dan p63 pada karsinoma sel skuamosa dari saluran sinonasal dibandingkan
dengan inverted papilloma (Oncel et al,2011; Ozolek, 2007).
Perbedaan tampilan p63 berhubungan dengan progresi kanker atau suatu
prognosis yang jelek pada beberapa kanker, dimana tampilan berlebihan pada
ovarium dan karsinoma sel skuamosa oral, penurunan tampilan pada saluran kemih
Universitas Sumatera Utara
7/29/2019 Inverted Papilloma 1
20/22
atas dan prostat serta tampilan aberant cytoplasmic pada adenokarsinoma paru
((Dillon et al, 2009).
Mutasi p63 terjadi pada berbagai jenis kanker dan jalur karsinogenesisnya
sama dengan p53 (Hagiwara et al, 1999). Knudson mengajukan teori yang
kemudian dikenal sebagai Knudson Hypothesis yang menyatakan bahwa terdapat
gen yang dalam keadaan normal dapat mencegah pertumbuhan tumor dan bahwa
tumor akan timbul bila kedua copy dari gen ini hilang. Berbagai nama kemudian
diberikan pada golongan gen ini diantaranya anti onkogen, cancer susceptibility
genes dan tumor suppressor genes. Tumor suppressor gene sering menjadi target
mutasi resesif pada berbagai penyakit keganasan pada manusia dan mice.
Kehilangan ekspresi p53 dan p63 wild-type pada sel-sel tumor tampaknya
memberikan keuntungan perkembangan dan pertumbuhan sel-sel secara in vivo.
Mice yang tidak memiliki ekspresi tumor suppressor genes menunjukkan bahwa
gen ini tidak dibutuhkan untuk perkembangan dan pertumbuhan sel normal. Namun
bagaimanapun, meningkatnya kejadian tumor pada mice yang tidak memiliki tumor
suppressor genes dan juga pada mice mutan transgenik dibandingkan dengan tikus
normal menunjukkan peran penting p53 dan p63 dalam menekan pertumbuhan
tumor (Leis et al, 1996; Fearon et al, 1997; Levrero et al, 2000; Kumaret al, 2005).
Disfungsi dan inaktifasi tumor supressor genes karena delesi, mutasi genetik
atau interaksi dengan protein seluler dan virus dapat mengakibatkan sel kehilangan
kontrol pertumbuhan, sehingga terjadi pertumbuhan tidak terkendali.
Universitas Sumatera Utara
7/29/2019 Inverted Papilloma 1
21/22
2.4. Kerangka Teori
HPV
Gambar 2.5. Skema Kerangka Teori
Infeksi sinonasal olehHPV6/11 Paparan karsinogen lingkungan,
infeksi bakteri, inflamasi kronik,alergi
Infeksi pada mukosa
septum nasi
Infeksi pada dinding
lateral hidung / mukosa
sinus paranasal
Exophytic papilloma Inverted papilloma
Mutasi genp63
Degradasi dan inaktifasi
genp63
Proliferasi sel meningkat
dan apoptosis berkurang
Displasia dan perkembangan
karsinoma sel skuamosa sinonasal
Delesi genp63 Interaksi dengan protein
seluler dan virus
Universitas Sumatera Utara
7/29/2019 Inverted Papilloma 1
22/22