16
INTERAKSI SOSIAL PADA ANAK PERIODE LATE CHILDHOOD YANG BEKERJA Muhammad Ibnu Pradana, S.Psi Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma Late childhood yang bekerja adalah anak yang berumur antara 6 – 13 tahun yang melakukan suatu aktifitas kerja untuk memenuhi kebutuhan pada subjek terutama pemenuhan finansial. Jika anak yang normal pada umumnya mengisi keseharian dengan belajar dan bermain, late childhood yang bekerja justru harus membagi waktunya untuk bekerja. Dalam hal ini tentu banyak aspek-aspek psikologi yang terkait dalam perkembangan anak, khususnya interaksi sosial dalam kehidupannya. Interaksi sosial pada anak akan terbentuk sesuai dengan kehidupan yang mereka jalani sehari-harinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyebab anak pada periode latechildhood untuk bekerja, dan mengetahui proses terbentuknya interaksi sosial yang terjadi pada anak periode late childhood yang bekerja. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dimana pendekatan ini digunakan agar diperoleh hasil yang dapat mewakili secara utuh fenomena yang telah diteliti. Dalam penelitian ditentukan karakteristik subjek penelitian, yaitu anak pada periode late childhood yang berusia 6-13 tahun yang bekerja dan bersekolah. Adapun subjek penelitian berjumlah 2 orang dengan masing-masing significant othernya. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan observasi. Untuk membantu proses pengumpulan data digunakan pedoman wawancara dan alat perekam audio sebagai alat bantu peneliti. Setelah dilakukan penelitian diperoleh bahwa penyebab late childhood bekerja adalah permintaan dari orangtuanya untuk membantu mencari biaya yang akan digunakan sebagai kebutuhan hidup. Adapun bentuk-bentuk interaksi yang dilakukan yaitu kerjasama, akomodasi, persaingan, kontravensi, dan pertentangan Kerjasama adalah bentuk interaksi yang banyak dilakukan, terpengaruh dari dampak bekerja yang dilakukan oleh individu late childhood yang bekerja. Kata Kunci : Interaksi Sosial, late childhood,bekerja

interaksi sosial pada anak periode late childhood yang bekerja

  • Upload
    lydat

  • View
    221

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: interaksi sosial pada anak periode late childhood yang bekerja

INTERAKSI SOSIAL PADA ANAK PERIODE LATE CHILDHOOD YANG BEKERJA

Muhammad Ibnu Pradana, S.Psi Fakultas Psikologi

Universitas Gunadarma

Late childhood yang bekerja adalah anak yang berumur antara 6 – 13 tahun yang

melakukan suatu aktifitas kerja untuk memenuhi kebutuhan pada subjek terutama pemenuhan

finansial. Jika anak yang normal pada umumnya mengisi keseharian dengan belajar dan

bermain, late childhood yang bekerja justru harus membagi waktunya untuk bekerja. Dalam hal

ini tentu banyak aspek-aspek psikologi yang terkait dalam perkembangan anak, khususnya

interaksi sosial dalam kehidupannya. Interaksi sosial pada anak akan terbentuk sesuai dengan

kehidupan yang mereka jalani sehari-harinya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyebab anak pada periode latechildhood

untuk bekerja, dan mengetahui proses terbentuknya interaksi sosial yang terjadi pada anak

periode late childhood yang bekerja. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dimana

pendekatan ini digunakan agar diperoleh hasil yang dapat mewakili secara utuh fenomena yang

telah diteliti. Dalam penelitian ditentukan karakteristik subjek penelitian, yaitu anak pada

periode late childhood yang berusia 6-13 tahun yang bekerja dan bersekolah. Adapun subjek

penelitian berjumlah 2 orang dengan masing-masing significant othernya. Teknik pengumpulan

data yang digunakan adalah wawancara dan observasi. Untuk membantu proses pengumpulan

data digunakan pedoman wawancara dan alat perekam audio sebagai alat bantu peneliti.

Setelah dilakukan penelitian diperoleh bahwa penyebab late childhood bekerja adalah

permintaan dari orangtuanya untuk membantu mencari biaya yang akan digunakan sebagai

kebutuhan hidup. Adapun bentuk-bentuk interaksi yang dilakukan yaitu kerjasama, akomodasi,

persaingan, kontravensi, dan pertentangan Kerjasama adalah bentuk interaksi yang banyak

dilakukan, terpengaruh dari dampak bekerja yang dilakukan oleh individu late childhood yang

bekerja.

Kata Kunci : Interaksi Sosial, late childhood,bekerja

Page 2: interaksi sosial pada anak periode late childhood yang bekerja

PENDAHULUAN

Periode kanak-kanak akhir atau late

childhood umumnya diambil patokan 6-13 tahun

untuk wanita dan 6 – 15 tahun untuk laki-laki atau

sampai organ-organ seksualnya matang (Riyanti

dkk., 1996). Perkembangan sosial pada periode

late childhood ditandai dengan meluasnya

lingkungan sosial pada anak. Anak-anak

melepaskan diri dari keluarga, anak makin

mendekatkan diri pada orang-orang lain di

samping anggota keluarga sehingga menyebabkan

anak terpengaruh oleh lingkungan khususnya

lingkungan sekolah dan kelompok bermain di luar

pengawasan orang tua. Ketika anak berkelompok

bersama temannya maka terjadilah suatu interaksi

sosial. Interaksi sosial menurut Soekanto (2005)

adalah hubungan–hubungan sosial yang dinamis

yang menyangkut hubungan antara orang–orang

perorangan, antara kelompok-kelompok manusia,

maupun antara perorangan dengan kelompok

manusia. Pada saat bermain anak mempunyai

kesempatan untuk menguji kemampuan dirinya

berhadapan dengan teman sebayanya dan

mengembangkan perasaan realistis akan dirinya.

Seperti teori yang dikembangkan oleh Erikson

tentang perkembangan psikososial (dalam Riyanti

dkk., 1996), pada tahap industry vs inferiority

dimana anak sudah mulai mampu melakukan

pemikiran logis dan menghadapi konflik-konflik

dimana jika dirinya gagal akan timbul perasaan

rendah diri dan tidak produktif dibandingkan

teman-teman yang ada di kelompoknya.

Namun pada saat ini banyak anak-anak

kehilangan masa-masa bermain dan

berkemlompok yang seharusnya didapat oleh

anak seumuran mereka, karena dipaksa bekerja

oleh orangtuanya. Pekerjaan yang mereka

lakukan bermacam-macam mulai dari

pemulung, buruh pasar, pedagang kaki lima,

dan membantu orangtuanya bertani. Penyebab

anak bekerja menurut Mulandar antara lain

tekanan ekonomi keluarga, dipaksa orang tua,

diculik dan terpaksa bekerja oleh orang yang

lebih dewasa, asumsi bahwa dengan bekerja

bisa digunakan sebagai sarana bermain, dan

pembenaran dari budaya bahwa sejak kecil

anak harus bekerja (http://digilib.itb.ac.id).

arsono mengatakan, bekerja di usia dini dapat

merusak pertumbuhan fisik dan mental karena

mengalami siksaan, dikucilkan atau

diperlakukan buruk serta tidak ada waktu atau

terlalu lelah untuk belajar dan sekolah.

Sementara bagi perekonomian negara,

kehadiran pekerja anak dapat mengakibatkan

kemiskinan, tenaga kerja tidak terampil dan

berpendidikan rendah. Anak-anak akan

tumbuh menjadi seorang dewasa yang kurang

sehat, kurang dapat bersosialisasi dan secara

emosional terganggu. Semua kebutuhan akan

bermain dan berkelompok mereka tidak

terpenuhi sehingga mempengaruhi

perkembangan sosialnya.

Page 3: interaksi sosial pada anak periode late childhood yang bekerja

TINJAUAN PUSTAKA

INTERAKSI SOSIAL

Interaksi sosial menurut Mar’at (dalam Riyanti

dan Prabowo, 1998) yaitu suatu proses dimana

individu memperhatikan dan merespon individu

lainnya, sehingga mendapat balasan suatu tingkah

laku tertentu. Reaksi yang terjadi ini berarti bahwa

individu memperhatikan orang yang memberi

stimulus, sehingga dengan adanya perhatian

terhadap stimulus tersebut terjadilah suatu

hubungan. Menurut Kelly (dalam Riyanti dan

Prabowo, 1998) mendefinisikan hubungan

interaksi sosial terjadi apabila dua orang saling

mempengaruhi satu sama lain. Menurut Soekanto

(2005) interaksi sosial merupakan hubungan-

hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut

hubungan antara orang-orang perorangan, antara

kelompok manusia, maupun orang perorangan

dengan kelompok manusia. Dari sinilah dapat

ditarik suatu pengertian bahwa interaksi sosial

adalah suatu proses hubungan yang terjadi antara

dua orang atau lebih yang saling mempengaruhi

antara individu dengan individu, individu dengan

kelompok, serta kelompok dengan kelompok

lainnya.

Bentuk-bentuk Interaksi Sosial

Gillin dan Gillin (dalam Soekanto, 2005) Bentuk-

bentuk interaksi sosial terbagi menjadi proses

yang asosiatif yang terdiri dari kerja sama,

akomodasi, dan asimilasi. Yang kedua yaitu

proses disosiatif yang terdiri dari persaingan,

kontravensi, dan pertentangan atau konflik.

a. Proses-proses yang asosiatif

1. Kerjasama menurut Sarwono (2005)

dimaksudkan sebagai suatu usaha

bersama antara orang perorangan atau

kelompok manusia untuk mencapai

satu atau berapa tujuan bersama.

2. Akomodasi sebenarnya merupakan

suatu cara untuk menyelesaikan

pertentangan tanpa menghancurkan

pihak lawan, sehingga lawan tidak

kehilangan kepribadiannya. (Soekanto,

2005)

3. Asimilasi menurut Ningrat (1965)

merupakan proses sosial dalam tahap

lanjutan, yang ditandai dengan adanya

usaha-usaha mengurangi perbedaan-

perbedaan yang terdapat antara

individu atau kelompok dan juga

meliputi usaha-usaha untuk

menpertinggi kesatuan tindak, sikap

dan proses mental dengan

memperhatikan kepentingan dan tujuan

bersama.

b. Proses-proses yang disosiatif

1. Persaingan menurut Gillin dan Gillin

(dalam Seoekanto, 2005) dapat

diartikan sebagai suatu proses sosial,

dimana individu atau kelompok

Page 4: interaksi sosial pada anak periode late childhood yang bekerja

manusia bersaing, mencari keuntungan

melalui bidang-bidang kehidupan yang

pada suatu masa tertentu menjadi pusat

perhatian umum dengan cara menarik

perhatian publik atau mempertajam

prasangka yang telah ada, tanpa

mempergunakan ancaman atau kekerasan.

2. Kontravensi pada hakikatnya merupakan

suatu bentuk proses sosial yang berada

antara persaingan dan pertentangan atau

pertikaian. Kontravensi ditandai dengan

adanya ketidakpastian mengenai diri

seseorang atau suatu rencana dan perasaan

tidak suka yang disembunyikan,

kebencian, atau keragu-raguan terhadap

kepribadian seseorang. (Soekanto, 2005)

3. Pertentangan adalah sarana untuk

mencapai keseimbangan antara kekuatan-

kekuatan dalam masyarakat. Karena

timbulnya pertentangan merupakan

pertanda bahwa akomodasi yang

sebelumnya tercapai, tidak dihiraukan

lagi.(Soekanto,2005)

Syarat-syarat Interaksi Sosial

Menurut Mar’at (dalam Riyanti dan Prabowo,

1998) interaksi sosial dapat terjadi apabila

memenuhi dua aspek yaitu adanya kontak

sosial dan komunikasi.

a. Kontak sosial menurut Soekanto (2005)

adalah adanya kontak sosial dan komunikasi

yang terjalin diantaranya. Kontak sosial

tahap pertama dari terjadinya hubungan,

seperti sentuhan dan kontak mata.

Sedangkan komunikasi adalah proses

memberikan tafsiran pada perilaku orang

lain (pembicaraan, gerak-gerak badannya

atau sikap) yang ingin disampaikan oleh

orang tersebut.

b. Menurut Shannon dan Weaver (dalam

Wiryanto, 2004) komunikasi adalah

bentuk interaksi manusia yang saling

pengaruh mempengaruhi satu sama lain,

sengaja atau tidak sengaja dan tidak

terbatas pada bentuk komunikasi verbal,

tetapi juga dalam hal ekspresi muka,

lukisan, seni dan teknologi.

Faktor-faktor Interaksi Sosial

Soekanto (2005) menyatakan faktor-faktor

yang mempengaruhi interaksi sosial adaah

imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati.

Faktor-faktor tersebut dapat bergerak sendiri-

sendiri secara terpisah maupun dalam keadaan

tergabung. Faktor interaksi sosial adalah.

a. Faktor imitasi mempunyai peranan yang

sangat penting dalam proses interaksi sosial.

Salah satu segi positifnya adalah bahwa

imitasi dapat mendorong seseorang untuk

mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai

yang berlaku. Sedangkan negatifnya adalah

tindakan yang ditiru adalah tindakan-

Page 5: interaksi sosial pada anak periode late childhood yang bekerja

tindakan yang menyimpang.

(http://faroji83.wordpress.com).

b. Menurut Soekanto (2005) faktor sugesti

berlangsung apabila seseorang memberi suatu

pandangan atau sesuatu sikap yang berasal dari

dirinya yang kemudian diterima oleh pihak

lain.

c. Gerungan (2004) identifikasi dilakukan orang

kepada orang lain yang diangapnya ideal dalam

suatu segi untuk memperoleh sistem norma,

sikap, dan nilai yang dianggap ideal, untuk

menutupi kekurangan dalam dirinya.

d. Gerungan (2004) menjelaskan bahwa simpati

adalah perasaan tertariknya terhadap orang lain

secara sadar bukan karena salah satu ciri

tertentu melainkan karena keseluruhan cara

bertingkah laku orang tersebut.

ANAK

Menurut John Locke (dalam Gunarsa, 1986) anak

adalah pribadi yang masih bersih dan peka

terhadap rangsangan-rangsangan yang berasal dari

lingkungan. Sedangkan Sobur (1988) mengartikan

anak sebagai orang yang mempunyai pikiran,

perasaan, sikap dan minat berbeda dengan orang

dewasa dengan segala keterbatasan. Haditono

(dalam Damayanti, 1992), berpendapat bahwa

anak merupakan mahluk yang membutuhkan

pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi

perkembangannya. Kasiram (1994), mengatakan

anak adalah makhluk yang sedang dalam taraf

perkembangan yang mempunyai perasaan,

pikiran, kehendak sendiri, yang kesemuannya

itu merupakan totalitas psikis dan sifat-sifat

serta struktur yang berlainan pada tiap-tiap fase

perkembangannya. Riyanti dkk (1996)

mengatakan bahwa seorang individu masuk ke

dalam periode anak jika sudah berusia 2 tahun.

Orang tua sering memandang periode ini

sebagai masa-masa yang sulit, anak menjadi

luar biasa nakalnya, suka membantah orangtua

dan banyak bertanya. Hurlock (1996) juga

mengatakan bahwa masa kanak-kanak dimulai

setelah melewati masa bayi yang penuh

ketergantungan yakni kira-kira usia 2 tahun

sampai dengan matang secara seksual.

Tahapan-tahapan Anak

Riyanti (1996) pada buku psikologi umum I,

mengatakan periode anak terbagi menjadi 2

tahapan, tahapan kanak-kanak awal (Early

Childhood) dan kanak-kanak Akhir (Late

Childhood).

a. Periode Early childhood dihitung sejak

anak berusia 2 tahun sampai berusia 6

tahun. Dia mulai sadar bahwa sampai tahap

tertentu dia dapat mengatasi lingkungannya

tanpa bantuan dari oranglain. Ia juga

semakin tahu bahwa ia tidak harus selalu

tunduk pada lingkungan, entah itu suatu

situasi, benda, atau orangtuanya sendiri.

(Riyanti dkk,1996)

Page 6: interaksi sosial pada anak periode late childhood yang bekerja

b. Late childhood masuk ke dalam fase anak

sekolah (usia sekolah dasar) dimana anak

sudah dapat mereaksi rangsangan intelektual,

atau melaksanakan tugas-tugas belajar yang

menuntut kemampuan intelektual atau

kemampuan kognitif seperti membaca, menulis

dan menghitung. (Yusuf, 2001) Dari

penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa

yang disebut anak adalah individu antara umur

2 – 15 tahun yang terbagi menjadi 2 tahapan.

Tahapan pertama yang disebut early childhood

(gang-age) yaitu antara umur 2 – 6 tahun dan

yang kedua yaitu tahapan late childhood (usia

sekolah dasar) dimana anak berumur 6 – 15

tahun.

LATE CHILDHOOD YANG BEKERJA

Menurut Santrock (2002) masa late childhood

merupakan masa tenang sebelum pertumbuhan

yang cepat menjelang masa remaja.

Ciri-ciri Late Childhood

a. Perkembangan fisik

Menurut Santrock (2002) masa akhir anak-

anak meliputi pertumbuhan yang lambat dan

konsisten. Sedangkan menurut teori

perkembangan psikoseksual yang

dikembangkan oleh Freud (dalam Riyanti dkk,

1996), periode late childhood termasuk ke

dalam fase periode laten dimana ini adalah

masa tenang, walau anak mengalami

perkembangan pesat pada aspek motorik

dan kognitif.

b. Perkembangan intelektual

Menurut Yusuf (2001) pada periode late

childhood anak sudah dapat bereaksi

terhadap rangsangan intelektual, atau

melaksanakan tugas-tugas belajar yang

menuntut kemampuan kognitif seperti

membaca, menulis, dan menghitung.

Sedangkan Hurlock (1996) mengatakan

pada masa ini banyak keterampilan-

keterampilan yang mulai terasah, antara

lain keterampilan menolong diri, menolong

orang lain, keterampilan bersekolah, dan

keterampilan bermain.

c. Perkembangan bahasa

Menurut Yusuf (2001) periode late

childhood merupakan masa berkembang

dengan pesatnya kemampuan mengenal

dan menguasai perbendaharaan kata.

Banyaknya kosakata yang dipelajari dan

dimiliki menjadi salah satu ciri

perkembangan bahasa pada masa ini antara

lain kosakata etiket, warna, bilangan, uang,

waktu, kata populer dan makian serta

kosakata simbol atau rahasia. (Hurlock,

1996)

d. Perkembangan sosial

Perkembangan sosial pada late childhood

menurut Monks dkk (2002) ditandai oleh

meluasnya lingkungan sosial. Anak-anak

Page 7: interaksi sosial pada anak periode late childhood yang bekerja

melepaskan diri dari keluarga, ia makin

mendekatkan diri pada orang lain disamping

anggota keluarga, terutama teman sebayanya

baik di lingkungan sekolah atau lingkungan

bermain. Menurut Yusuf (2001) pada usia ini

anak mulai memiliki kesanggupan

menyesuaikan diri sendiri kepada sikap yang

kooperatif (bekerja sama) atau sosiosentris

(memperhatikan kepentingan orang lain). Anak

dapat berminat terhadap kegiatan-kegiatan

teman sebayanya, dan bertambah kuat

keinginannya untuk diterima menjadi anggota

kelompok bermain, dia tidak merasa senang

jika tidak diterima dalam kelompoknya.

e. Perkembangan emosi

Menurut Yusuf (2001) perkembangan emosi

pada anak periode late childhood menginjak

pada proses kemampuan mengontrol ekspresi

emosinya. Kemampuan mengontrol emosinya

diperoleh melalui peniruan dan latihan.

Sedangkan menurut Hurlock (dalam Riyanti

dkk, 1996) perkembangan emosi anak

sangatlah dipengaruhi oleh faktor kemasakan

dan belajar.

f. Perkembangan moral

Anak mulai mengenal konsep moral pertama

kali dari lingkungan keluarga. Namun pada

periode late childhood karena bersamaan

dengan masa sekolah, maka anak sudah dapat

mengikuti pertautan antara tuntutan dari orang

tua atau lingkungan sosialnya. Selain itu anak

sudah dapat mengasosiasikan setiap bentuk

perilaku dengan konsep benar-salah atau

baik-buruk. (Yusuf, 2001)

Late Childhood yang Bekerja

Menurut Anoraga (1992) bekerja merupakan

sesuatu yang dibutuhkan manusia.

Kebutuhannya dapat bermacam-macam,

berkembang, dan berubah bahkan seringkali

tidak dapat di sadari oleh pelakunya. Seseorang

bekerja karena ada sesuatu yang hendak dicapai

dan orang berharap bahwa aktifitas kerja yang

dilakukan akan membawanya kepada suatu

keadaan yang lebih memuaskan daripada

sebelumnya. Bekerja menurut Magnis (dalam

Anoraga, 1992) adalah kegiatan yang

direncanakan. Berarti tidak semua aktifitas

dikatakan kerja meskipun pada manusia

terdapat kebutuhan sehingga terbentuk suatu

tujuan yang hendak dicapai. Berdasarkan

pengertian diatas late childhood yang bekerja

adalah suatu aktifitas yang dilakukan anak usia

antara 6-13 tahun untuk memenuhi

kebutuhannya. Untuk itu anak dapat

menyatakan diri secara objektif dunia sehingga

dapat ia dan orang lain dapat memandang dan

memahami keberadaan dirinya. Menurut

Mulandar, penyebab dari fenomena anak

bekerja antara lain:(http://digilib.itb.ac.id)

tekanan ekonomi keluarga, dipaksa orang tua,

diculik dan terpaksa bekerja oleh orang yang

Page 8: interaksi sosial pada anak periode late childhood yang bekerja

lebih dewasa, asumsi bahwa dengan bekerja bisa

digunakan sebagai sarana bermain, pembenaran

dari budaya bahwa sejak kecil anak harus bekerja.

Dampak dari anak pada masa late childhood yang

bekerja menurut Usman dan Nachrowi (2004)

sangat beragam, dimulai dari aspek fisik, kognitif,

emosional serta sosialnya.

a. Fisik, bekerja dapat mengganggu kesehatan,

koordinasi, kekuatan penglihatan dan

pendengaran. Menurut hasil observasi dan

penelitian oleh yayasan Kusuma Buana di

Bantar Gebang pemulung 8 – 13 tahun hampir

semuanya menderita cacingan sehingga mereka

kekurangan gizi.

b. kognitif, tidak bisa membaca, kesulitan dalam

berhitung, memperoleh pengetahuan.

c. Emosional, hilangnya harga diri, ikatan

keluarga, perasaan dicintai, dan diterima secara

memadai.

d. Sosial, rasa identitas kelompok yang hilang,

berkurangnya kemauan untuk bekerja sama

dengan orang lain, tidak mampu membedakan

baik dan buruk.

METODE PENELITIAN

Peneliti ini akan menggunakan metode kualitatif

karena dengan menggunakan metode kualitatif

peneliti akan mendapatkan data yang lebih

mendalam tentang topik yang akan diteliti.

Menurut Poerwandari (2001), pendekatan

kualitatif menghasilkan dan mengelola data yang

sifatnya deskriptif seperti transkip wawancara,

catatan lapangan, gambar foto, rekaman video,

dan lainnya serta mengungkapkan

kompleksitas, memahami kedalaman makna,

dan interpretasi terhadap keuntungan

fenomena. Heru Basuki (2006) mengatakan

bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian

yang bertujuan untuk mendapat pemahaman

yang mendalam tentang masalah-masalah

manusia dan sosial, bukan mendeskripsikan

bagian permukaan dari suatu realitas

sebagaimana dilakukan penelitian kuantitatif

dengan positivismenya. Peneliti

menginterpretasikan bagaimana subjek

memperoleh makna dari lingkungan sekeliling,

dan bagaimana makna tersebut mempengaruhi

tingkah laku mereka. Penelitian dilakukan

dalam latar (setting) yang alamiah

(naturalistic) bukan hasil perlakuan

(treatment) atau manipulasi variabel yang

dilibatkan.

Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan

pendekatan kualitatif dengan teknik

wawancara dan observasi. Dalam penelitian ini

peneliti menggunakan jenis wawancara

menggunakan petunjuk umum wawancara

karena dengan menggunakan jenis wawancara

ini peneliti dapat menentukan alur wawancara

agar tidak keluar dari topik yang diteliti dan

Page 9: interaksi sosial pada anak periode late childhood yang bekerja

menggunakan pengamatan tanpa berperan serta

(nonpartisipan), dimana peneliti langsung hanya

mengamati dan mendata secara langsung tentang

subjek dalam obeservasinya.

Teknik Analisis Data

Data yang dipeloreh akan dianalisa dengan

menggunakan teknik analisa data kualitatif.

Poerwandari (1998), memberikan beberapa

tahapan yang diperlukan dalam menganalisa data

kualitatif, tahapan tersebut adalah :

a. Mengorganisasikan Data

Setelah peneliti mendapatkan data dari subjek

melalui wawancara dengan alat perekam,

kemudian merubahnya dengan transikp

(verbatim) dalam bentuk tulisan. Karena

datanya beragam dan banyak data harus

diorganisasikan dengan rapi, sistematis dan

lengkap

b. Mengelompokkan Data

Langkah pertama sebelum analisis adalah

membubuhkan kode-kode pada data yang

doperoleh dimaksudkan untuk dapat

mengorganisasikan dan mensistematiskan data

secara lengkap dan mendetail sehingga data

dapat memunculakan gambaran tentang topik

c. Analisis Kasus

Analisis kasus yang pertama dilakukan adalah

melakukan analisis terhadap masing-masing

kasus. Analisis dilakukan melalui hasil

wawancara yang diungkapkan responden.

Tahap kedua adalah melakukan analisis

antar subjek yang bertujuan untuk

mengungkapkan perbedaan dan persamaan

antar subjek serta menyimpulkan.

d. Menguji Asumsi

Setelah kategori dan pola data tergambar

dengan jelas, pada tahap ini kategori yang

telah didapat melalui analisis ditinjau

kembali berdasarkan landasan teori yang

dijabarkan pada bab sebelumnya, sehingga

data yang diperoleh dapat dicocokkan

apakah ada kesamaan antara landasan teori

dengan data yang didapat.

Teknik analisis data yang digunakan peneliti

setelah mendapatkan hasil wawancara dari

kedua subjek yaitu, dengan merubah hasil

wawancara kedalam verbatim yang kemudian

di kelompokkan menggunakan koding respon

sebelum masuk ke dalam tahap analisis kasus

yang terdiri dari analisis intra kasus dan antar

kasus. Kemudian hasil analisis antar kasus

ditinjau kembali ke dalam pembahasan antara

hasil penelitian dengan landasan teori.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Faktor Penyebab Anak pada Periode

Latechildhood yang Bekerja

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa

mengenai penyebab kedua subjek bekerja

adalah faktor kemiskinan dan permintaan dari

orangtua. Orangtua dari kedua subjek

Page 10: interaksi sosial pada anak periode late childhood yang bekerja

mempunyai penghasilan yang kurang mencukupi

untuk biaya hidup keluarganya, sehingga kedua

subjek dipaksa bekerja untuk membantu

meringankan beban kedua orangtuanya.

Hal ini sejalan dengan Mulandar

(http://digilib.itb.ac.id) faktor yang menyebabkan

anak bekerja diantaranya kemisikinan dan dipaksa

bekerja oleh orangtuanya. Sedangkan Berdasarkan

berbagai penelitian yang dilakukan Pusat Kajian

dan Perlindungan Anak

(www.sulaimanzuhdimanik.blogspot.com)

ditemukan banyak faktor yang menyebabkan anak

terpaksa bekerja. Kemiskinan ditemukan sebagai

salah satu penyebab utama (prime suspect).

Bentuk-bentuk Interaksi Sosial

a. Proses-proses yang asosiatif

1. Kerja sama

Terdapat kesamaan antara subjek pertama

dengan subjek kedua dalam hal

bekerjasama. Kedua subjek sama-sama

melakukan kerjasama baik dengan

keluarga, teman sekolah, teman bekerja,

maupun teman bermainnya.

Pada subjek pertama melakukan kerjasama

dengan keluarga bersama ibunya untuk

memulung bersama dan mensortir sampah,

sedangkan bersama kakaknya bekerjasama

ketika mencari kayu untuk memasak.

Subjek kedua melakukan kerjasama

bersama keluarga dengan membantu

ayahnya membersihkan becak dan

bersama ibunya untuk menjaga warung

dan adiknya.

Subjek pertama melakukan kerjasama

dengan teman bekerjanya ketika

membagi wilayah memulung dan ketika

membantu temannya yang kurang

beruntung untuk mendapatka sampah.

Sedangkan subjek kedua melakukan

kerjasama dengan temannya ketika

melakukan pembagian wilayah

berjualan di pasar. Kedua subjek sama-

sama melakukan kerjasama di sekolah

ketika membesihkan kelas dan

mengerjakan tugas kelompok. Ketika

berada pada lingkungan bermain, kedua

subjek melakukan kerjasama ketika

melakukan permainan secara

berkelompok atau tim.

Kerjasama menurut Sarwono (2005)

dimaksudkan sebagai suatu usaha

bersama antara orang perorangan atau

kelompok manusia untuk mencapai satu

atau berapa tujuan bersama.

2. Akomodasi

Kedua subjek dalam penelitian ini

sama-sama melakukan akomodasi,

akomodasi yang dilakukan subjek

pertama dengan cara meninggalkan

pihak lawan sehingga tidak terjadi

perkelahian dan terhindar dari

Page 11: interaksi sosial pada anak periode late childhood yang bekerja

intimidasi fisik. Sedangkan subjek kedua

melakukan akomodasi dengan cara

menuruti perintah dari pihak lawan

sehingga subjek terhindar dari intimidasi

fisik dan lawannya mendapatkan

keinginannya.

Menurut Soekanto (2005) akomodasi

sebenarnya merupakan suatu cara untuk

menyelesaikan pertentangan tanpa

menghancurkan pihak lawan, sehingga

lawan tidak kehilangan kepribadiannya.

b. Proses-proses yang disosiatif

1. Persaingan

Kedua subjek melakukan persaingan pada

saat bermain untuk mendapatkan

kemenangan sehingga meraih kebanggaan

tersendiri bagi subjek dan teman

bermainnya.

Menurut Gillin dan Gillin (dalam

Seoekanto, 2005) persaingan dapat

diartikan sebagai suatu proses sosial,

dimana individu atau kelompok manusia

bersaing, mencari keuntungan melalui

bidang-bidang kehidupan yang pada suatu

masa tertentu menjadi pusat perhatian

umum dengan cara menarik perhatian

publik atau mempertajam prasangka yang

2. Kontravensi

Subjek pertama melakukan kontravensi

dengan cara membalas cacian atau

intimidasi verbal yang ditujukan kepada

dirinya secara diam-diam sehingga

pihak lawan tidak mengetahuinya.

Kontravensi yang dilakukan oleh subjek

kedua adalah dengan memendam rasa

kesal dan marahnya, lalu

menceritakannya kepada orang yang

dekat dengan subjek. Kedua subjek

melakukan kontravensi karena tidak

mempunyai kekuatan untuk

menghadapi pihak lawan dan tidak

ingin diintimidasi secara fisik.

Menurut Soekanto (2005) kontravensi

pada hakikatnya merupakan suatu

bentuk proses sosial yang berada antara

persaingan dan pertentangan atau

pertikaian. Kontravensi ditandai dengan

adanya ketidakpastian mengenai diri

seseorang atau suatu rencana dan

perasaan tidak suka yang

disembunyikan, kebencian, atau keragu-

raguan terhadap kepribadian seseorang.

3. Pertentangan

Kedua subjek melakukan pertentangan,

subjek pertama melakukan pertentangan

kepada orangtuanya karena dipaksa

bekerja. Subjek tidak ingin bekerja

karena malu dengan teman-temannya.

Sedangkan subjek kedua melakukan

pertentangan dengan melakukan

perkelahian. Subjek berkelahi karena

Page 12: interaksi sosial pada anak periode late childhood yang bekerja

ingin meolong temannya yang mendapat

hinaan dari orang lain.

Pertentangan adalah sarana untuk mencapai

keseimbangan antara kekuatan-kekuatan

dalam masyarakat. Karena timbulnya

pertentangan merupakan pertanda bahwa

akomodasi yang sebelumnya tercapai, tidak

dihiraukan lagi.(Soekanto,2005)

Berdasarkan hasil penelitian dari kedua subjek,

dapat diketahui bahwa kedua subjek melakukan

interaksi yang mengarah pada proses –proses

asosiatif yaitu kerjasama dan akomodasi. Selain itu

kedua subjek juga melakukan interaksi sosial yang

mengarah pada proses-proses yang disosiatif

seperti persaingan, kontravensi, dan pertentangan.

Tetapi bentuk-bentuk interaksi yang sering

dilakukan kedua subjek adalah kerjasama, karena

kedua subjek selalu melakukannya setiap hari

dengan pihak manapun.

Menurut Yusuf (2001) pada masa late childhood,

anak sudah mulai memiliki kesanggupan untuk

menyesuaikan diri sendiri untuk bekerjasama atau

memperhatikan kepentingan oranglain.

Faktor-faktor Yang Menyebabkan Subjek

Menggunakan Bentuk-bentuk Interaksi Sosial

a. Faktor Imitasi

Kedua subjek melakukan faktor imitasi pada

saat bekerjasama dan berakomodasi. Pada saat

subjek pertama bekerjasama dengan ibunya,

subjek melakukan imitasi ketika memasak

dan mensortir sampah bersama. Ibu subjek

juga mengajarkan subjek untuk saling

membantu sesama teman pada saat bekerja.

Pada saat melakukan akomodasi subjek di

ajarkan ibunya untuk tidak berkelahi,

sehingga ketika memiliki masalah dengan

orang lain subjek meninggalkan pihak

lawan agar tidak terjadi perkelahian.

Imitasi yang dilakukan subjek kedua pada

saat bekerjasama ketika subjek

membersihkan kelas dan mengerjakan tugas

kelompok, subjek diajarkan untuk saling

membantu dan bergotongroyong oleh

gurunya. Faktor imitasi yang dilakukan

subjek pada saat berakomodasi ketika

orangtua subjek mengajarkannya untuk

patuh dan taat kepada kedua orangtuanya.

Faroji (http://faroji83.wordpress.com)

mengatakan bahwa Faktor imitasi

mempunyai peranan yang sangat penting

dalam proses interaksi sosial. Salah satu

segi positifnya adalah bahwa imitasi dapat

mendorong seseorang untuk mematuhi

kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku.

Sedangkan negatifnya adalah tindakan yang

ditiru adalah tindakan-tindakan yang

menyimpang

b. Faktor Identifikasi

Kedua subjek sama-sama melakukan faktor

identifikasi, terutama mereka beridentifikasi

Page 13: interaksi sosial pada anak periode late childhood yang bekerja

terhadap teman-temannya dikarenakan masa

anak-anak adalah masa dimana mereka saling

berkelompok.

Subjek pertama melakukan identifikasi pada

saat bekerjasama dan bersaing ketika

melakukan sebuah permainan berkelompok,

subjek sadar jika bekerjasama dengan

temannya maka subjek akan berhasil

memenangkan permainan tersebut. Ketika

subjek mempunyai masalah dengan temannya,

subjek melakukan akomodasi yaitu dengan cara

meninggalkan temannya. Hal ini dilakukan agar

terhindar dari perkelahian yang mengakibatkan

renggangnya rasa persahabatan diantara

mereka.

Subjek kedua melakukan identifikasi karena

subjek senang akan kebersamaan yang terjadi

antara subjek dan temannya pada saat

bekerjasama. Subjek juga melakukan

identifikasi pada saat bersaing dengan

kelompok lain ketika bermain, faktor

identifikasi yang dilakukan memotivasi subjek

dan temannya untuk memenangkan permainan

tersebut. Selain itu subjek juga melakukan

identifikasi pada saat melakukan perkelahian

atau pertentangan, subjek tidak ingin

sahabatnya di intimidasi secara verbal oleh

pihak lain.

Menurut Gerungan (2004) identifikasi

dilakukan orang kepada orang lain yang

diangapnya ideal dalam suatu segi untuk

memperoleh sistem norma, sikap, dan nilai

yang dianggap ideal, untuk menutupi

kekurangan dalam dirinya

c. Faktor Simpati

Faktor simpati hanya dilakukan oleh subjek

kedua. Faktor simpati yang dilakukan

subjek ketika bekerjasama dengan ibunya.

Subjek membantu ibunya karena subjek

tidak ingin melihat ibunya sakit-sakitan

karena bekerja.

Menurut Soekanto (2005) faktor ini

merupakan suatu proses dimana seseorang

merasa tertarik pada pihak lain. Di dalam

proses ini perasaan memegang peranan

yang sangat penting, walaupun dorongan

utama pada simpati adalah keinginan untuk

memahami pihak lain dan untuk bekerja

sama dengannya.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan

kepada kedua subjek. Faktor-faktor yang

banyak mendorong subjek untuk melakukan

bentuk-bentuk interaksi sosial adalah faktor

imitasi dan identifikasi.

Menurut Hurlock (1996) pada masa ini

banyak keterampilan-keterampilan yang

mulai terasah, antara lain keterampilan

menolong diri, menolong orang lain,

keterampilan bersekolah, dan keterampilan

bermain.yang anak pelajari. Sedangkan

faktor identifikasi dilakukan karena pada

masa ini Anak-anak melepaskan diri dari

Page 14: interaksi sosial pada anak periode late childhood yang bekerja

keluarga, ia makin mendekatkan diri pada

orang lain disamping anggota keluarga,

terutama teman sebayanya baik di lingkungan

sekolah atau lingkungan bermain.(Monks dkk,

2002)

Dampak Bekerja terhadap Bentuk-bentuk

Interaksi yang Digunakan

Setelah melakukan penelitian terhadap kedua

subjek, terdapat kesamaan dari dampak bekerja

yang dilakukan kedua subjek terhadap bentuk-

bentuk interaksi sosial yang dilakukan. Pekerjaan

yang dilakukan membuat kedua subjek terbiasa

untuk bekerjasama baik di rumah, sekolah, tempat

bekerja maupun lingkungan bermainnya.

Subjek pertama diajarkan oleh ibunya untuk saling

membantu sesama teman ketika bekerja. Subjek

selalu menerapkan pada kehidupan sehari-hari

sehingga terhindar dari pertentangan dan

persaingan diantara mereka. Sedangkan subjek

kedua belajar bekerjasama ketika subjek dan

teman-temannya membagi tugas wilayah berjualan

dan bersama ayahnya bekerjasama ketika bekerja

menjadi buruh pasar. sehingga subjek

mempraktikan hal tersebut pada kegiatan yang

lainnya seperti bermain dan pada saat

mengerjakan tugas kelompok di sekolahnya.

Menurut Tauran (2000) pekerja anak yang masih

mendapatkan perhatian dari orangtuanya

menampakkan adanya filtrasi dalam menerapkan

nilai dan norma di ligkungannya. Lain halnya

dengan penjelasan dari Usman dan Nachrowi

(2004) bekerja dapat menghilangkan rasa

identitas kelompok dan berkurangnya

kemauan untuk bekerja sama dengan orang

lain, tidak mampu membedakan baik dan

buruk.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian interaksi sosial

pada anak periode late childhood yang bekerja,

dapat disimpulkan bahwa :

1. Kedua subjek bekerja karena permintaan

orangtuanya dan membantu orangtuanya

mencari nafkah untuk biaya hidup mereka

sehari-hari. Semua ini dipicu oleh keadaan

ekonomi keluarga mereka yang kurang

berkecukupan.

2. Bentuk interaksi yang menuju pada proses-

proses asosiatif yang dilakukan oleh kedua

subjek adalah kerjasama dan akomodasi.

Sedangkan interaksi yang menuju pada

proses-proses yang disosiatif yang

dilakukan kedua subjek antara lain

persaingan, kontravensi, dan pertentangan.

Bentuk interaksi sosial yang paling banyak

dilakukan oleh kedua subjek yaitu

kerjasama. Kedua subjek selalu melakukan

kerjasama setiap harinya dengan semua

pihak, baik dengan keluarga, teman

bekerja, teman sekolah, maupun teman di

lingkungan bermainnya.

Page 15: interaksi sosial pada anak periode late childhood yang bekerja

3. Faktor-faktor yang mendorong kedua subjek

untuk melakukan bentuk-bentuk interaksi

adalah faktor imitasi dan identifikasi.

Sedangkan faktor simpati hanya dilakukan

oleh subjek kedua.

Faktor pendorong yang dominan dilakukan

oleh kedua subjek adalah imitasi dan

identifikasi, karena pada periode late

childhood ini banyak sesuatu yang mereka

pelajari dan anak mulai berkelompok dengan

anak seusianya.

4. Bentuk interaksi kerjasama pada kedua subjek

sebagai dampak dari pekerjaan yang mereka

lakukan setiap harinya, karena pada saat

bekerja kedua subjek dituntut untuk bekerja

sama oleh orangtua maupun situasi yang ada

pada saat bekerja. Hal itulah yang akhirnya

mereka terapkan dalam keseharian hidup

kedua subjek, baik dalam lingkungan bermain

maupun lingkungan sekolahnya

DAFTAR PUSTAKA

Anoraga, P. (1992). Psikologi kerja. Jakarta: Rineka Cipta

Dwi .(2000). Anak jalanan. http://digilib.itb.ac.id/gdl.php. Diakses tanggal 13 Desember 2008

Djunaedi, E. (2003). Penelusuran pekerja di bawah umur di Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta. http://ojs.lib.unair.ac.id/index.php/RH/

article/ view/1697. Diakses tanggal 5 Mei 2009

Faroji (2008). Interaksi sosial. http://faroji83.wordpress.com/2008/06/05/ interaksi-sosial/. Di akses tanggal 20 desember 2008

Gerungan, W.A. (2004). Psikologi sosial. Bandung: PT. Refika Aditama

Heru Basuki, A.M. (2006). Pendekatan kualitatif untuk ilmu-ilmu kemanusiaan dan budaya. Jakarta: Gunadarma

Hurlock, E. (1996). Psikologi perkembangan. Alih bahasa: dr. Med. Metasari T. & Dra. Muslichah Z. Jakarta: Erlangga

Hurlock, E. (1997). Suatu pengantar sepanjang rentang kehidupan. Alih bahasa: dr. Med. Metasari T. Jakarta: Erlangga

ILO (2006). Sikap terhadap anak dan

pendidikan di Indonesia. Jakarta:

International Labour Organization

Kertamuda, F. (2006). Sosiologi. Jakarta: Universitas Paramadina

Massofa. (2008). Interaksi social. http://massofa.wordpress.com. Di akses tanggal 5 Mei 2009

Moleong, L.J. (1999). Metode Peneletian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya

Page 16: interaksi sosial pada anak periode late childhood yang bekerja

Monks, F.J., Knoers. & Haditono, S.R. (2004). Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Mussen, P.H., Conger, J.J., Kagan, J., Huston, A.C. (1988). Perkembangan dan kepribadian anak. Jilid I. Alih bahasa: dr. Med. Metasari T. Jakarta : Erlangga

Poerwandari, E.K. (1998). Pendekatan kualitatif dalam peneletian psikologi. Depok: LPSP3 UI

Prabowo, H., Puspitawati, H. (1998). Psikologi umum II. Depok: Universitas Gunadarma

Riyanti, Dwi, B.P., Prabowo, H., dan Puspitawati, I. (1996). Psikologi umum I. Depok: Universitas Gunadarma

Santrock, J.W. (2002). Perkembangan masa hidup. Alih bahasa: dr. Med. Metasari T. Jakarta: Erlangga

Santrock, J.W. (2004). Child developmen . New York : Mc Graww – Hill Inc

t

Saputra, M.S.T. (2001). Bermain, mainan, dan permainan. Jakarta: Grasindo

Sarwono, S.W. (2005). Psikologi sosial. Jakarta: Balai Pustaka

Soekanto, S. (2005). Sosiologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Soemardjan, S., Soemardi, S. (1974).

Setangkai bunga sosiologi. Jakarta:

YBP Fakultas Ekonomi Universitas

Indonesia

Sroufe, L.A., dkk. (1996). Child development. New York : Mc Graww – Hill Inc.

Sunarto, K. (2000). Pengantar sosiologi. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Press

Susenas (2001). Pekerja anak. www.bappenas.go.id. Di akses tanggal 20 Desember 2008

Tauran. (2000). Studi profil anak jalanan sebagai upaya perumusan model kebijakan penanggualangannya. Jurnal Administrasi Negara. Vol.1. Malang

Usman, H., Nachrowi, D.N. (2004). Pekerja anak di indonesia. Jakarta: Grasindo

Yusuf, S.L.N. (2001). Psikologi perkembangan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

97