33
RASIONALISASI OBAT DITINJAU DARI INTERAKSI OBAT PADA PASIEN DINAS RAWAT JALAN DI RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT ”JALA AMMARI” OLEH : NAMA : SYELFITHA RUPANG STAMBUK : 505 01 027 JURUSAN FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS PANCASAKTI MAKASSAR 2009

INTERAKSI OBAT

Embed Size (px)

DESCRIPTION

obat

Citation preview

BAB I

RASIONALISASI OBAT DITINJAU DARI INTERAKSI OBAT PADA PASIEN DINAS RAWAT JALAN DI RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT JALA AMMARI

OLEH :

NAMA: SYELFITHA RUPANG

STAMBUK : 505 01 027

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS PANCASAKTI

MAKASSAR

2009

BAB IPENDAHULUAN

I.1 Pengertian Interaksi Obat

Interaksi obat merupakan interaksi di mana suatu obat dapat mengubah efek obat lainnya. Kerja obat yang diubah dapat menjadi lebih atau kurang aktif (1).

Di antara berbagai faktor yang mempengaruhi respons tubuh terhadap pengobatan terdapat faktor interaksi obat. Obat dapat berinteraksi dengan makanan, zat kimia yang masuk dari lingkungan, atau dengan obat lain. Interaksi antar obat dapat berakibat menguntungkan atau merugikan (2).

Pengobatan dengan beberapa obat sekaligus (polifarmasi) yang menjadi kebiasaan para dokter, memudahkan terjadinya interaksi obat. Suatu survai yang dilaporkan pada tahun 1977 mengenai polifarmasi pada penderita yang dirawat di Rumah Sakit menunjukkan bahwa insidens efek samping pada penderita yang mendapat 0-5 macam obat adalah 3,5%, sedangkan yang mendapat 16-20 macam obat adalah 54%. Peningkatan insidens efek samping yang jauh melebihi peningkatan jumlah obat yang diberikan bersama ini diperkirakan akibat terjadinya interaksi obat yang juga makin meningkat (2).

Masalah interaksi, baru menjadi akut sejak baru-baru ini, karena di satu pihak selalu tersedia obat-obat yang lebih berkhasiat yang dapat menimbulkan efek-efek yang tidak diinginkan apabila obat-obat ini mempunyai pengaruh yang berlawanan, dan di pihak lain baru beberapa tahun yang lalu dikembangkan cara membuktikan interaksi yang demikian dan juga ditemukan mekanisme-mekanisme yang menyebabkannya (3).

Insidens interaksi obat yang penting dalam klinik sukar diperkirakan karena (2) :1. Dokumentasinya masih sangat kurang.

2. Seringkali lolos dari pengamatan karena kurangnya pengetahuan para dokter akan mekanisme dan kemungkinan terjadinya interaksi obat, sehingga interaksi obat berupa peningkatan toksisitas seringkali dianggap sebagai reaksi idiosinkrasi terhadap salah satu obat, sedangkan interaksi berupa penurunan efektivitas seringkali diduga akibat bertambahnya keparahan penyakit, selain itu terlalu banyak obat yang saling berinteraksi sehingga sulit untuk diingat.

3. Kejadian atau keparahan interaksi dipengaruhi oleh variasi individual (populasi tertentu lebih peka misalnya penderita lanjut usia atau yang berpenyakit parah, adanya perbedaan kapasitas metabolisme antar individu), penyakit tertentu (terutama gagal ginjal atau penyakit hati yang parah), dan faktor-faktor lain (dosis besar, obat ditelan bersama-sama, pemberian kronik).

Karena interaksi obat pada terapi obat dapat menyebabkan kasus yang parah dan kerusakan-kerusakan pada pasien, maka interaksi obat harus lebih diperhatikan daripada sekarang dan dengan demikian dapat dikurangi jumlah dan keparahannya (3).

I.2 Mekanisme Interaksi ObatFarmakologi sederhana proses obat dalam tubuh

Obat yang diminum, mengalami 4 proses dasar dalam tubuh. Dari mulut, obat menuju lambung, lalu ke usus. Di sini obat diserap ke dalam aliran darah dan disebarkan ke seluruh tubuh sehingga muncul efek. Obat kemudian diuraikan atau dimetabolisis oleh hati. Akhirnya, bentuk obat yang sudah diuraikan ini diekskresikan (dikeluarkan dari tubuh) dalam urin melalui ginjal (1).

Pada interaksi obat, sesuatu obat mengubah obat yang lain dalam satu atau lebih proses farmakologi di atas, jenis interaksi ini disebut interaksi farmakokinetik. Jenis interaksi utama lainnya adalah interaksi farmakodinamik. Pada jenis ini, efek suatu obat akan menambah (sinergsime) efek obat lainnya, atau mengurangi (antagonisme) efek obat kedua tersebut (1).

Mekanisme interaksi obat secara garis besar akan dibedakan atas 3 mekanisme, yakni (2,3,4) :

1. Interaksi Farmaseutik (Inkompatibilitas)

Inkompatibilitas ini terjadi di luar tubuh (sebelum obat diberikan) antara obat yang tidak dapat dicampur (inkompatibel). Pencampuran obat demikian menyebabkan terjadinya interaksi langsung secara fisik atau kimiawi, yang hasilnya mungkin terlihat sebagai pembentukan endapan, perubahan warna dan lain-lain, atau mungkin juga tidak terlihat. Interaksi ini biasanya berakibat inaktivasi obat.

Bagi seorang dokter, interaksi farmaseutik yang penting adalah interaksi antar obat suntik dan interaksi antar obat suntik dengan cairan infus. Lebih dari 100 macam obat tidak dapat dicampur dengan cairan infus. Lagipula, banyak obat suntik tidak kompatibel dengan berbagai obat suntik lain, yaitu dengan bahan obatnya atau dengan bahan pembawanya (vehicle). Oleh karena itu, dianjurkan tidak mencampur obat suntik dalam satu semprit atau dengan cairan infus kecuali bila jelas diketahui tidak ada interaksi.2. Interaksi Farmakokinetik

Interaksi farmakokinetik terjadi bila salah satu obat mempengaruhi absorpsi, distribusi, metabolisme atau ekskresi obat kedua sehingga kadar plasma obat kedua meningkat atau menurun. Akibatnya, terjadi peningkatan toksisitas atau penurunan efektivitas obat tersebut. Interaksi farmakokinetik tidak dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang beriteraksi, sekalipun struktur kimianya mirip, karena antar obat segolongan terdapat variasi sifat-sifat fisikokimia yang menyebabkan variasi sifat-sifat farmakokinetiknya.

a. Interaksi dalam absorpsi di saluran cerna Interaksi langsung. Interaksi secara fisik/kimiawi antar obat dalam lumen saluran cerna sebelum absorpsi, dapat mengganggu proses absorpsi. Interaksi ini dapat dihindarkan/sangat dikurangi bila obat yang berinteraksi diberikan dengan jarak waktu minimal 2 jam.

Perubahan pH cairan saluran cerna. Cairan saluran cerna yang alkalis, misalnya akibat antasid, akan meningkatkan kelarutan obat bersifat asam yang sukar larut dalam cairan tersebut, misalnya aspirin. Akan tetapi, suasana alkalis di saluran cerna akan mengurangi kelarutan beberapa obat bersifat basa (mislanya tetrasiklin) dalam cairan saluran cerna, dengan akibat mengurangi absorbsinya. Berkurangnya keasaman lambung oleh antasid akan mengurangi pengrusakan obat yang tidak tahan asam sehingga meningkatkan bioavailabilitasnya, dan mengurangi absorpsi Fe, yang diabsorpsi paling baik bila cairan lambung sangat asam. Perubahan waktu pengosongan lambung dan waktu transit dalam usus (motilitas saluran cerna). Usus halus adalah tempat absorpsi utama untuk semua obat termasuk obat yang bersifat asam. Oleh karena itu, makin cepat obat sampai di usus halus makin cepat pula absorpsinya. Dengan demikian, obat yang memperpendek waktu pengosongan lambung, misalnya Metoklorpramid akan mempercepat absorpsi obat lain yang diberikan pada waktu yang sama. Sebaliknya, obat yang memperpanjang waktu pengosongan lambung, misalnya antikolinergik, antasid garam Al, beberapa antihistamin akan memperlambat absorpsi obat lain. Kecepatan pengosongan lambung biasanya hanya mengubah tinggi kadar puncak dan waktu untuk mencapai kadar tersebut tanpa mengubah bioavailabilitas obat.

Waktu transit dalam usus biasanya tidak mempengaruhi absorpsi obat, kecuali untuk :

Obat yang sukar larut dalam cairan untuk saluran cerna misalnya kortikosteroid, atau sukar diabsorpsi misalnya dikumarol, sehingga memerlukan waktu untuk melarut dan diabsorpsi. Obat yang diabsorpsi secara aktif hanya di satu segmen usus halus, misalnya Fe. Obat yang memperpendek waktu transit dalam usus akan mengurangi jumlah absorpsi obat tadi. Kompetisi untuk mekanisme absorpsi aktif. Obat yang merupakan analog dari zat makanan, misalnya levedopa, diabsorpsi aktif melalui mekanisme yang sama dengan mekanisme untuk zat makanan. Oleh karena itu, absorpsi obat tersebut dapat dihambat secara kompetitif oleh zat makanan yang bersangkutan. Perubahan flora usus. Pemberian antibakteri berspektrum lebar (misalnya tetrasiklin, kloramfenikol, ampisilin, sulfonamid) akan mengubah/mensupresi flora normal usus, dengan akibat : meningkatkan efektivitas antikoagulan oral yang diberikan bersama. Efek toksik pada saluran cerna. Terapi kronik dengan asam mefenamat, neomisin dan kolkisin menimbulkan sindrom malabsorpsi yang menyebabkan absorpsi obat lain terganggu.b. Interaksi dalam distribusi

Interaksi dalam ikatan protein plasma. Banyak obat terikat pada protein plasma, obat yang bersifat asam terutama pada albumin, sedangkan obat yang bersifat basa pada asam (1-glikoprotein. Oleh karena jumlah protein plasma terbatas, maka terjadi kompetisi antara obat bersifat asam maupun antara obat bersifat basa untuk berikatan dengan protein yang sama.Jika dalam darah pada saat yang sama terdapat beberapa obat, terdapat kemungkinan persaingan terhadap tempat ikatan pada protein plasma. Persaingan terhadap ikatan protein merupakan proses yang sering yang sesungguhnya hanya baru relevan jika obat mempunyai ikatan protein yang tinggi, lebar terapi rendah dan volume distribusi relatif kecil Interaksi dalam ikatan jaringan. Kompetisi untuk ikatan dalam jaringan terjadi misalnya antara digoksin dan kuinidin, dengan akibat peningkatan kadar plasma digoksin.c. Interaksi dalam metabolisme Metabolisme obat dipercepat. Setiap reaksi metabolisme dikatalisis oleh beberapa jenis enzim yang berbeda dalam spesifisitas substratnya dan kemampuannya untuk diinduksi (ditentukan secara genetik). Oleh karena itu, tergantung dari jenis enzim yang diinduksinya, suatu zat penginduksi dapat mempercepat metabolisme beberapa obat tetapi tidak mempengaruhi metabolisme obat-obat lain. Metabolisme obat dihambat. Penghambatan metabolisme suatu obat menyebabkan peningkatan kadar plasma obat tersebut sehingga meningkatkan efek atau toksisitasnya. Kebanyakan interaksi demikian terjadi akibat kompetisi antar substrat untuk enzim metabolisme yang sama. Perubahan alir darah hepar (=QH). Untuk obat yang dimetabolisme oleh hepar dengan kapasitas tinggi (mempunyai rasiao ekstraksi hepar = EH yang tinggi), bersihan heparnya sangat dipengaruhi oleh perubahan QH.d. Interaksi dalam ekskresi Ekskresi melalui empedu dan sirkulasi enterohepatik. Gangguan dalam ekskresi melalui empedu terjadi akibat kompetisi antara obat dan metabolit obat untuk sistem transport (sekresi aktif ke dalam empedu) yang sama. Sedangkan sirkulasi enterohepatik dapat diputuskan dengan mensupresi bakteri usus yang menghidolisis konjugat obat atau dengan mengikat obat yang dibebaskan sehingga tidak dapat direabsorpsi. Sekresi tubuli ginjal. Penghambatan sekresi di tubuli ginjal terjadi akibat kompetisi antara obat dan metabolit obat untuk sistem transport aktif yang sama, terutama sistem transport untuk obat asam dan metabolit yang bersifat asam. Perubahan pH urin. Perubahan ini akan menghasilkan perubahan bersihan ginjal (melalui perubahan jumlah reabsorpsi pasif di tubuli ginjal) yang berarti secara klinik hanya bila fraksi obat yang diekskresi utuh oleh ginjal cukup besar (lebih dari 30%), dan obat berupa basa lemah dengan pKa 7,5-10 atau asam lemah dengan pKa 3,0-7,5.3. Interaksi Farmakodinamik

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek yang aditif, sinergistik atau antagonistik.a. Interaksi pada reseptor.

Interaksi pada sistem reseptor yang sama biasanya merupakan antagonisme antara agonis dan antagonis/bloker dari reseptor yang bersangkutan.b. Interaksi fisiologik.

Interaksi pada sistem fisiologik yang sama dapat menghasilkan peningkatan atau penurunan respons (potensial atau antagonisme).c. Perubahan dalam kesetimbangan cairan dan elektrolit.Perubahan ini dapat mengubah efek obat, terutama yang bekerja pada jantung, transmisi neuromuskular dan ginjal.d. Gangguan mekanisme ambilan amin di ujung syaraf adrenergik.

Penghambat syaraf adrenergik diambil oleh ujung syaraf adrenergik dengan mekanisme transport aktif untuk norepinefrin. Mekanisme ambilan ini, agar dapat obat tersebut dapat bekerja (sebagai antihipertensi), dapat dihambat secara kompetitif oleh amin simpatomimetik misalnya yang terdapat dalam obat flu atau obat yang menekan nafsu makan, antidepresi trisiklik, kokain dan fenotiazin. e. Interaksi dengan penghambat Monoamin Oksidase (penghambat MAO). Penghambat MAO menghasilkan akumulasi norepinefrin dalam jumlah besar di ujung syaraf adrenergik. Pemberian penghambat MAO bersama amin simpatomimetik kerja tidak langsung, menyebabkan penglepasan norepineferin jumlah besar tersebut sehingga terjadi krisis hipertensi, sakit kepala berdenyut yang hebat, dan kadang-kadang pendarahan intraserebral.BAB II

INTERAKSI OBAT DALAM RESEPII.1 Interaksi Obat Antihistamin Narkotika 1. Fotokopi Resep Dokter

2. Uraian Resep

Interhistin merupakan nama dagang dari Mebhidrolin napadisilat, merupakan golongan Antihistamin H1 dengan kerja memblokir reseptor H1 dengan menyaingi histamin pada reseptornya di otot licin dinding pembuluh dan dengan demikian menghidarkan timbulnya reaksi alergi. Khasiat lainnya menciutkan bronchi atau gangguan asma yang bersifat alergi, guna menanggulangi gejala bronchokontriksi. Pada asma bronkial pemberian Antihistamin H1 sendiri (tunggal) kurang berkhasiat (2,3,4,5).

Interaksi. Kerja analagetika, hipnotika, narkotika, psikofarmaka yang menekan pusat dan alkohol dapat diperkuat oleh Antihistamika H1 (3).

Interaksi obat Antihistamin Narkotika, akibatnya : mengantuk, pusing, kehilangan koordinasi otot dan kewaspadaan mental sehingga berbahaya bagi yang bersangkutan untuk mengemudikan kendaraan atau melakukan pekerjaan lain yang membutuhkan kewaspadaan sempurna. Pada kasus yang berat terjadi kegagalan peredaran darah dan fungsi pernapasan, menyebabkan koma dan kematian (1).

Codein merupakan Narkotika golongan III, yang berkhasiat dalam pengobatan. Codein (Metilmorfin) masih merupakan antitusiva yang paling banyak digunakan. Pada dosis lazim yang menekan rangsang batuk, Codein hanya sedikit bekerja menghambat pusat pernapasan dan tidak menyebabkan euforia. Karena itu adiksi jarang terjadi. Kombinasi dengan Mebhidrolin napadisilat menghasilkan efek sinergisme. Tetapi efek samping yang ditimbulkan, perlu diperhatikan (3).II.2 Interaksi Obat Diabetes (Oral) Aspirin 1. Fotokopi Resep Dokter

2. Uraian Resep

Glibenklamid merupakan obat antidiabetik oral golongan Sulfonilurea. Mekanisme kerjanya yaitu merangsang pelepasan insulin dari sel- pankreas, mengurangi kadar glukagon dalam serum, dan meningkatkan pengikatan insulin pada jaringan target dan reseptor (2,3,4,6).

Metformin merupakan obat antidiabetik oral golongan Biguanid. Metformin bekerja terutama dengan jalan mengurangi pengeluaran glukosa hati, sebagian besar dengan menghambat glukoneogenesis. Zat ini juga menekan nafsu makan (efek anorexia) hingga berat badan tidak meningkat, sehingga layak dberikan pada penderita yang overweight (2,3,4,6).

Kedua jenis obat antidiabetik oral ini, pada penggunaan terapinya ditujukan pada penderita diabetes tipe II. Jenis diabetes tipe II merupakan jenis dewasa (maturity onset) atau tipe NIDDM (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus), lazimnya mulai di atas 40 tahun dengan insidensi lebih besar pada orang gemuk (4,7).

Interaksi obat Glibenklamid dan Metformin, senyawa yang memperbesar kerja menurunkan kadar gula darah ialah turunan kumarin, bloker reseptor-, kloramfenikol, sitostatika tipe siklofosfamida, fenilbutazon, salisilat, sulfonamida dan tetrasiklin (3).

Interaksi Glibenklamid, obat yang dapat meningkatkan reiko hipoglikemia sewaktu pemberian bersama dengan Sulfonilurea ialah insulin, alkohol, fenformin, sulfonamid, salisilat (2,5).

Interaksi obat Glibenklamid dan Metformin, efek diperkuat oleh sulfonamid, Asam Asetilsalisilat (7).

Interaksi obat Diabetes (oral) Aspirin, efek obat diabetes dapat bertambah. Akibatnya : kadar gula darah turun terlalu rendah. Gejala hipoglikemia yang dilaporkan berupa gelisah, pingsan, lesu, berkeringat, bingung, aritmia jantung, tachikardia, nanar, gangguan penglihatan (1).

Aspilet merupakan nama dagang dari Asam Asetilsalisilat yang dikenal sebagai Asetosal atau Aspirin adalah analgesik antipiretik dan antiinflamasi yang sangat luas digunakan dan digolongkan dalam obat bebas. Asetosal memperkuat daya kerja antidiabetika oral. Oleh karena itu, jika dalam peresepan obat bersama dengan obat antidiabetik, perlu diperhatikan dosis yang tepat sehingga kadar gula darah tidak menurun drastis dan perlunya pengawasan dokter (2).II.3 Interaksi Obat Antasida Simetidin1. Fotokopi Resep Dokter

2. Uraian Resep

Antasida adalah senyawa yang mempunyai kemampuan menetralkan asam klorida (lambung) atau mengikatnya sehingga berguna untuk menghilangkan nyeri tukak peptik. Umumnya antasida merupakan basa lemah. Semua antasida meningkatkan produksi HCl berdasarkan kenaikan pH yang meningkatkan aktivitas gastrin. Antasida dibagi dalam 2 golongan yaitu antasida sistemik dan antasida nonsistemik. Antasida nonsistemik hampir tidak diabsorpsi dalam usus sehingga tidak menimbulkan alkalosis metabolik. Contoh antasida nonsistemik ialah sediaan Magnesium, Aluminium, dan Kalsium. Antasida dapat menurunkan absorpsi obat-obat lain karena mengubah pH lambung dan duodenum (2,3,8).

Simetidin merupakan antihistamin penghambat reseptor H2 (AH2) yang berperan dalam efek histamin terhadap sekresi cairan lambung. Simetidin menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversibel. Perangsangan reseptor H2 akan merangsang sekresi cairan lambung, sehingga pada pemberian Simetidin maka sekresi cairan lambung dihambat. Pada tukak usus, Simetidin ternyata sangat efektif dengan persentase di atas 80%, keluhan-keluhan lenyap dalam beberapa hari dan tukak sembuh dalam beberapa minggu. Efeknya terhadap tukak lambung lebih ringan (2,3,6,8).

Interaksi obat, antasida mengurangi bioavailabilitas oral Simetidin sebanyak 20-30%. Interaksi ini mungkin tidak bermakna secara klinis, akan tetapi dianjurkan selang waktu minimal 1 jam antara penggunaan antasida dan simetidin oral (2).

Interaksi Simetidin, berupa pengurangan absorpsi Simetidin oleh antasida yang mengandung Al dan Mg sehingga antasida mempengaruhi efek obat ini (5,7).

Interaksi obat Simetidin Antasida, efek simetidin dapat berkurang. Akibatnya : tukak mungkin tidak terobati dengan baik. Penting sekali berhati-hati dengan interaksi ini karena kedua obat tersebut sering dipergunakan bersama-sama pada pengobatan tukak. Untuk mencegah interaksi, gunakan kedua obat dengan selang waktu paling sedikit 1 jam (1).

II.4 Interaksi Obat Kortikosteroida Antasida (yang mengandung Mg)

1. Fotokopi Resep Dokter

2. Uraian Resep

Deksametason merupakan kortikosteroida (Glukokortikoida) berdaya antiradang kuat dengan efek agak cepat. Mekanisme kerjanya sebagian berdasarkan atas hambatan fosfolipase yang berefek rintangan sintesa prostaglandin maupun leukotrien. Secara oral, Deksamteason memiliki efek mineralokortikoid ringan (retensi garam dan air). Kortikosteroid berupa Deksametason yang digunakan tunggal efektif untuk kemoterapi penyebab muntah yang ringan sampai sedang. Mekanisme efek antimuntahnya tidak diketahui, tetapi mungkin melibatkan penghambatan prostaglandin (4,6,8).

Antasida merupakan basa lemah yang bereaksi dengan asam lambung untuk membentuk air dan garam, dengan demikian menghilangkan keasaman lambung. Karena pepsin tidak aktif pada pH lebih besar dari 4,0 maka antasida juga mengurangi aktivitas peptik. Antasida yang mengandung Aluminium dan Magnesium dapat mempercepat penyembuhan ulkus duodenum. Interaksi obat : adalah lebih baik untuk menghindarkan penggunaan bersamaan antasida dengan obat-obat lain. Dengan mengubah pH lambung dan urin atau memperlambat pengosongan lambung, maka antasida dapat mempengaruhi kelarutan absorpsi, ketersediaan hayati dan eliminasi melaluin ginjal berbagai macam obat (6).

Interaksi obat Kortikosteroida Antasida (yang mengandung Mg) yaitu ; kombinasi ini dapat menyebabkan tubuh kehilangan terlalu banyak Kalium dan menahan terlalu banyak Natrium. Gejala kekurangan Kalium yang dilaporkan : lemah otot atau kejang, pengeluaran air kemih banyak, bradikardia atau takhikardia, aritmia jantung, tekanan darah rendah serta disertai pusing dan pingsan. Gejala kebanyakan Natrium yang dilaporkan : udem, haus, pengeluaran air kemih sedikit, bingung, tekanan darah tinggi, mudah terangsang (1).

II.5 Interaksi Obat Antihipertensi Diuretika 1. Fotokopi Resep Dokter

2. Uraian Resep

Lisinopril merupakan obat antihipertensi golongan penghambat Enzim Konversi Angiotensin (penghambat ACE). Obat ini menghambat enzim pengkonversi angiotensin yang mengubah angiotensin I membentuk vasokonstriktor poten angiotensin II. Penghambat ACE mengurangi pembentukan AII sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron yang menyebabkan terjadinya ekskresi natrium dan air, serta retensi kalium. Akibatnya terjadi penurunan tekanan darah pada penderita hipertensi esensial maupun hipertensi renovaskuler (2,3,4,6,8).

Hidroklorotiazid (HCT) merupakan obat Diuretika golongan tiazida (dihidro-benzotiadiazin). Senyawa sulfamoyl ini diturunkan dari klorthiazida yang dikembangkan dari sulfanilamida. Efek farmakodinamik yang utama adalah meningkatkan ekskresi natrium, klorida dan sejumlah air. Daya hipotensufnya lebih kuat (pada jangka panjang), maka banyak digunakan sebagai pilihan pertama untuk hipertensi ringan sampai sedang (2,3,4,6,8).

Interaksi obat, kombinasinya dengan diuretika sebaiknya dihindari, karena dapat mengakibatkan hipotensi mendadak. Terapi dengan ACE sebaiknya baru dimulai 2-3 hari setelah penggunaan diuretikum dihentikan (1,4,5,7).

Penurunan tekanan darah yang besar terutama terjadi pada pasien dengan sistem renin-angiotensin-aldosteron yang terstimulasi, misalnya pasien yang sedang menjalani pengobatan dengan diuretika (3).

Diuretik merangsang sekresi renin dan mengaktifkan sistem RAA sehingga memberikan efek sinergistik dengan penghambat ACE. Pada hipertensi berat, penghambat ACE dapat ditambahkan sebagai vasodilator obat ke-3 pada diuretik. Kombinasi dengan diuretik memberikan efek antihipentensi yang sinergistik (kira-kira 85% penderita tekanan darahnya terkendali dengan kombinasi ini), sedangkan efek hipokalemia dicegah atau dikurangi. Dosis pertama penghambat ACE dapat menimbulkan hipotensi simtomatik yang berat, terutama pada penderita yang mengalami deplesi cairan akibat pemberian diuretik. Untuk mengurangi efek samping ini, dosis dimulai serendah mungkin dan dinaikkan perlahan-lahan, dosis pertama dan setiap kali peningkatan dosis diberikan sebelum tidur, dan sebaiknya dosis diuretik dikurangi atau dihentikan dulu beberapa waktu sebelum memulai penghambat ACE. Diuretik dapat diberikan kembali kemudian, bila diperlukan. Pada penderita dengan penyakit jantung koroner, hipotensi akut ini dapat mencetuskan serangan angina (2).

Oleh karena itu, pada peresepan obat Antihipertensi bersama dengan Diuretika, perlunya pantauan atau pengawasan dokter terhadap pasien yang bersangkutan.

II.6 Interaksi Obat Kortikosteroid Barbiturat Vitamin C1. Fotokopi Resep Dokter

2. Uraian Resep

Deksametason merupakan kortikosteroida (Glukokortikoida) berdaya antiradang kuat dengan efek agak cepat. Efek utama glukokortikoida ialah pada penyimpanan glikogen hepar dan efek anti-inflamasinya juga nyata, sedangkan pengaruhnya terhadap keseimbangan air dn elektrolit kecil (2,3).

Luminal merupakan nama lain dari Fenobarbital. Obat ini merupakan obat Hipnotik-Sedatif (Antiepileptika) golongan Barbiturat. Senyawa hipnotik ini terutama digunakan pada serangan grand mal dan status epilepticus berdasarkan sifatnya yang dapat memblokir pelepasan muatan listrik di otak. Pada depresi pernapasan, barbiturat menekan respons hipnotik dan kemoreseptor terhadap CO2. Penggunaan dalam terapi, Fenobarbital digunakan untuk menanggulangi kejang tonik-klonik, status epileptikus dan aklamsi. Fenobarbital dianggap sebagai obat pilihan dalam pengobatan kejang berulang pada anak (2,3,4,6).

Interaksi obat Kortikosteroid Barbiturat, yaitu efek kortikosteroid dapat berkurang. Akibatnya : kondisi yang diobati mungkin tidak terkendali dengan baik (1).

Fenobarbital dapat meningkatkan metabolisme kortikosteroid. Mekanismenya yaitu : Fenobarbital menginduksi sintesis enzim metabolisme obat Kortikosteroid sehingga metabolismenya meningkat dan kadar plasmanya menurun, serta metabolit dari obat Kortikosteroid akan meningkat (2,5,7).

Vitamin C (asam askorbat) diindikasikan untuk pencegahan dan pengobatan skorbut. Kabutuhan harian normal Vitamin C adalah 60 mg. Dosis yang dianjurkan minimal 150 mg (2,3).

Interaksi Vitamin C dengan Barbiturat yaitu akibatnya mungkin terjadi perpanjangan efek barbiturat (1).II.7 Interaksi Obat Fenobarbital Parasetamol

1. Fotokopi Resep Dokter

2. Uraian Resep

Luminal (Fenobarbital) merupakan obat Antileptika golongan Barbiturat. Antileptika adalah obat yang apat menanggulangi serangan epilepsi berkat khasiat antikonvulsifnya, yakni meredakan konvulsi (kejang klonus hebat). Di samping itu, obat ini juga berdaya sedatif (meredakan). Fenobarbital memiliki sifat antikonvulsif khusus yang terlepas dari sifat hipnotiknya (3,6).

Parasetamol merupakan obat Analgetika yang berkhasiat lemah (sampai sedang), bekerja terutama pada perifer dengan sifat antipiretika dan kebanyakan juga mempunyai sifat antiinflamasi dan antireumatik. Parasetamol (metabolit dari Fenasetin) merupakan turunan anilin yang mempunyai ciri khusus karena kerja analgetika dan antipiretikanya yang baik. Dosis tunggal Parasetamol yaitu 500 1000 mg (3,4,7).

Interaksi obat Fenobarbital Parasetamol, yaitu obat Fenobarbital menginduksi sintesis enzim metabolisme obat Parasetamol sehingga metabolisme obat Parasetamol meningkat dan kadar plasmanya menurun, sedangkan metabolitnya meningkat (2).DAFTAR PUSTAKA

1. Rihard Harkness, 2005. Interaksi Obat. Penerbit ITB. Bandung.

2. Ganiswarna, S.G, dkk. 2005. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Gaya Baru. Jakarta.

3. Mutschler, E. 1999. Dinamika Obat Farmakologi dan Toksikologi. Edisi Kelima. Penerbit ITB. Bandung.

4. Tjay,T.H, dan Kirana Rahardja. 2002. Obat-Obat Penting. Edisi V. PT Gramedia. Jakarta.5. Theodorus. 1996. Penuntun Praktis Peresepan Obat. Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Jakarta.

6. Mycek, J.M, dkk. 2002. Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi 2. Widya Medika. Jakarta.

7. Schmitz, G, dkk. 2009. Farmakologi dan Toksikologi. Edisi 3. Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Jakarta.

8. Stringer, J.L. 2008. Konsep Dasar Farmakologi. Edisi 3. Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Jakarta.

9. Ritiasa, Ketut, dkk. 2007. Info Obat Indonesia. Edisi 1 Juni 2007. PT. Eranti Agratama. Jakarta.

10. Hartono. 2004. Sinonim Obat untuk Apotek & Awam. PT Gramedia. Jakarta.

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................................. i

DAFRTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 1I.1 Pengertian Interaksi Obat .................................................................................. 1I.2 Mekanisme Interaksi Obat ................................................................................. 31. Interaksi Farmaseutik (Inkompatibilitas) .................................................... 32. Interaksi Farmakokinetik .............................................................................. 43. Interaksi Farmakodinamik ............................................................................ 9BAB II INTERAKSI OBAT DALAM RESEP .................................................... 11II.1 Interaksi Obat Antihistamin Narkotika ..................................................... 111. Fotokopi Resep Dokter ................................................................................. 112. Uraian Resep ................................................................................................. 12II.2 Interaksi Obat Diabetes (Oral) Aspirin ...................................................... 131. Fotokopi Resep Dokter ................................................................................. 132. Uraian Resep ................................................................................................. 14II.3 Interaksi Obat Antasida Simetidin ............................................................ 161. Fotokopi Resep Dokter ................................................................................. 162. Uraian Resep ................................................................................................. 17II.4 Interaksi Obat Kortikosteroida Antasida (yang mengandung Mg) ......... 191. Fotokopi Resep Dokter ................................................................................. 192. Uraian Resep ................................................................................................. 20II.5 Interaksi Obat Antihipertensi Diuretika .................................................... 221. Fotokopi Resep Dokter ................................................................................. 222. Uraian Resep ................................................................................................. 23II.6 Interaksi Obat Kortikosteroid Barbiturat Vitamin C ............................ 251. Fotokopi Resep Dokter ............................................................................... 25

2. Uraian Resep ............................................................................................... 26II.7 Interaksi Obat Fenobarbital Parasetamol .................................................. 281. Fotokopi Resep Dokter ................................................................................. 282. Uraian Resep ................................................................................................. 29DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 30PAGE