26
1 INTEGRASI SOSIAL DAN REPOSISI KEARIFAN LOKAL OLEH Dr. GDE MADE SWARDHANA, SH., MH* Fakultas Hukum Univ. Udayana A. Pengertian Konflik Sosial Istilah konflik secara etimologi berasal dari bahasa latin Confligere yang berarti saling memukul. “Con” berarti bersama, dan “fligere” berarti benturan atau tabrakan. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) di mana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi, perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut cirri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individu dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. konflik dan integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi, sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik. Dalam International Encyclopaedia of the social sciences vol. 3 (hlm. 236-241) diuraikan mengenai konflik dari segi anthropologis, yakni ditimbulkan sebagai akibat dari persaingan antara paling tidak dua pihak; di mana tiap-tiap pihak dapat berupa perorangan, keluarga, kelompok kekerabatan, satu komunitas, atau mungkin satu lapisan kelas sosial pendukung ideologi tertentu, satu organisasi politik, satu suku bangsa, atau satu pemeluk agama tertentu. ---------------------- *). Disampaikan dalam Rangka Sosialisasi “Kerawanan Sosial dan Bencana Sosial” di Kantor Dinas Sosial Propinsi Bali tanggal 22 Oktober 2015. **). Pembicara adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana

INTEGRASI SOSIAL DAN REPOSISI KEARIFAN LOKAL fileideologi tertentu, satu organisasi politik, satu suku bangsa, atau satu pemeluk agama tertentu. Disampaikan dalam Rangka Sosialisasi

Embed Size (px)

Citation preview

1

INTEGRASI SOSIAL DAN REPOSISI KEARIFAN LOKAL

OLEH

Dr. GDE MADE SWARDHANA, SH., MH*

Fakultas Hukum Univ. Udayana

A. Pengertian Konflik Sosial

Istilah konflik secara etimologi berasal dari bahasa latin Confligere yang berarti saling

memukul. “Con” berarti bersama, dan “fligere” berarti benturan atau tabrakan. Secara sosiologis,

konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) di

mana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau

membuatnya tidak berdaya. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa

individu dalam suatu interaksi, perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut

cirri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan sebagainya. Dengan

dibawasertanya ciri-ciri individu dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar

dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik

antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik akan hilang bersamaan

dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. konflik dan integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di

masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi, sebaliknya, integrasi yang

tidak sempurna dapat menciptakan konflik.

Dalam International Encyclopaedia of the social sciences vol. 3 (hlm. 236-241) diuraikan

mengenai konflik dari segi anthropologis, yakni ditimbulkan sebagai akibat dari persaingan

antara paling tidak dua pihak; di mana tiap-tiap pihak dapat berupa perorangan, keluarga,

kelompok kekerabatan, satu komunitas, atau mungkin satu lapisan kelas sosial pendukung

ideologi tertentu, satu organisasi politik, satu suku bangsa, atau satu pemeluk agama tertentu.

----------------------

*). Disampaikan dalam Rangka Sosialisasi “Kerawanan Sosial dan Bencana Sosial” di

Kantor Dinas Sosial Propinsi Bali tanggal 22 Oktober 2015.

**). Pembicara adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana

2

Sementara itu, konflik sosial bisa diartikan menjadi dua hal. Pertama, perspektif atau sudut

pandang yang manganggap konflik selalu ada dan mewarani segenap aspek interaksi manusia

dan struktur sosial. Kedua, konflik sosial merupakan pertikaian terbuka seperti perang, revolusi,

pemogokan, dan gerakan perlawanan. Soerjono Soekanto menyebutkan konflik sebagai

pertentangan atau pertikaian, yaitu suatu proses individu atau kelompok yang berusaha

memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan, disertai dengan ancaman dan atau

kekerasan.

Para teoritisi konflik banyak berpdedoman padaa pemikiran Karl Marx, meskipun

memiliki pemikiran sendiri yang berlainan. Tokoh=tokoh teoritisi konflik di aantaranya Ralf

Dahrendorf dan Randall Collins. Dahrendorf berpendirian bahwa masyarakat mempunyai dua

wajah yaitu konflik dan consensus, sehingga secara teori sosiologis harus dibagi menjadi dua

bagian, teori konflik dan teori consensus. Dahrendorf juga mengakui bahwa masyarakat takkan

ada tanpa consensus dan konflik yang menjadi persyaratan satu sama lain. Tokoh lainnya

Collins, menjelaskan bahwa konflik adalah proses sentral dalam kehidupan sosial sehingga tidak

menganggap konflik itu baik buruk. Collins memandang setiap orang memiliki sifat sosial tetapi

juga mudah konflik dalam hubungan sosial mereka. Konflik bisa terjadi dalam hubungan sosial

karena penggunaan kekerasan oleh seseorang atau banyak orang dalam lingkungan

pergaulannya. Ia melihat orang mempunyai kepentingan sendiri-sendiri, jadi benturan mungkin

terjadi karena adanya kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan.

Undang-undang No. 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial memberi

pengertian bahwa Konflik Sosial, adalah perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan

antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan

berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga

mengganggu stabilitas nasional dan menghambat pembangunan nasional.

”Berbeda”, ”Bersengketa”, dan ”Berkonflik” adalah tiga situasi yang harus dipahami

perbedaannya satu sama lain. ”Berbeda” adalah situasi alamiah yang merupakan kodrat manusia.

”Bersengketa” terjadi apabila dua orang atau dua kelompok (bisa lebih) bersaing satu sama lain

untuk mengakui (hak atas) suatu benda atau kedudukan yang sama. Sedangkan ”Berkonflik”

adalah suatu situasi di mana seseorang atau sekelompok orang (bisa lebih) menunjukan praktek-

praktek untuk menghilangkan pengakuan (hak) orang atau kelompok lainnya mengenai benda

atau kedudukan yang diperebutkan.

3

Untuk memahami konflik sosial ada beberapa hal yang harus diperhatikan:

1. Asumsi Dasar Tentang Konflik

Ada lima asumsi dasar tentang konflik. Asumsi dasar ini biasanya dijadikan landasan

untuk pengembangan dan penelusuran teori, atau sebagai orientasi dalam melihat konflik.

Asumsi dasar yang pertama, ”konflik itu selalu ada dalam kehidupan manusia”. Asumsi

dasar ini bertitik tolak dari fakta bahwa sejak awal manusia memang dilahirkan berbeda, tidak

ada manusia yang identitas

fisiknya sama persis, indikasinya dapat dilihat dari sidik jarinya. Perbedaan adalah sesuatu yang

alami. Namun ketidakmampuan untuk menghadapi perbedaan, serta kebiasaan untuk lari dari

masalah atau agresif menghadapi perbedaanlah yang menimbulkan persengketaan (dispute).

Asumsi dasar kedua, menyatakan bahwa konflik dapat dianalogikan dengan ”drama”.

Setiap drama selalu membutuhkan aktor, panggung dan skenario, begitu juga konflik. Untuk

memahami konflik yang analog dengan drama, maka perlu dijabarkan siapa-siapa aktor yang

terlibat dalam konflik.

Apakah aktor politik atau militer? Siapakah sutradaranya? Siapa penunggang bebas? Siapa

figuran? Panggung apa yang digunakan?

Panggung merupakan media untuk mengekspresikan peran dari aktor. Panggung biasanya

kelompok etnis, agama atau politik. Kemudian scenario apa di balik peran aktor dan panggung

yang digunakan? Kemana tujuan yang ingin dicapai? Apakah wujudnya bisa mengembalikan

dominasi kelompok? Status quo? Ekonomi? Kekuasaan? Skenario ini bisa bersifat struktural

maupun kultural.

Asumsi dasar ketiga, menyatakan bahwa konflik selalu mempunyai dua sisi, menciptakan

perubahan dan dipengaruhi budaya. Secara inheren konflik membawa potensi resiko dan potensi

manfaat. Dalam kaitan dengan perubahan, pada dasarnya konflik merupakan salah satu cara

bagaimana sebuah keluarga, komunitas, perusahaan, dan masyarakat berubah. Konflik juga dapat

mengubah pemahaman kita a kan sesama dan mendorong kita untuk memobilisasi sumber daya

dengan cara-cara baru. Konflik membawa

kita pada klarifikasi pilihan dan kekuatan untuk mencari penyelesaiannya.

4

Pada akhirnya dalam kaitan dengan budaya, dapat dinyatakan bahwa cara seseorang bereaksi

dan aturan budaya dapat membawa kita pada konflik.

Asumsi dasar keempat, konflik dipengaruhi pola-pola emosi, kepribadian dan budaya.

Konflik mengikuti gaya kepribadian seseorang. Reaksi psikologis (melamun, melawan,

dingin/diam) berperan sangat kuat dalam

mempengaruhi proses konflik. Budaya juga ikut membentuk aturan dan ritual yang membawa

kita pada konflik.

Asumsi dasar kelima, merujuk kepada fenomena konflik antar komunitas, umumnya pada

konflik yang melibatkan masyarakat di satu sisi dan negara di sisi lain, maka dapat dinyatakan

bahwa pada hakikatnya fenomena konflik dapat dianalogikan dengan kebakaran pada suatu

hutan yang gundul. Dengan api yang kecil, rumput dan pohon yang sudah kering dengan cepat

sekali terbakar, meluas, terlebih-lebih apabila ada angin panas yang kencang, maka kebakaran

menjadi tidak terperikan dahsyatnya.

Hal ini juga berlaku bagi konflik. Unsur-unsur dasar suatu hutan gundul yang terbakar adalah

unsur rumput dan pohon kering, unsur api, serta unsur angin. Unsur-unsur inilah yang akan

dianalogikan dengan dasar

terjadinya suatu konflik.

2. Sumber Konflik di Indonesia

Sumber konflik yang terjadi di Indonesia jarang diakibatkan dari satu sumber,

kebanyakan mempunyai sebab-sebab ganda, biasanya kombinasi dari masalah-masalah dalam

hubungan antara pihak yang bertikai yang

mengarah pada konflik yang terbuka. Dari pengalaman empirik di berbagai daerah di Indonesia,

maka dapat dinyatakan bahwa sumber konflik sosial di Indonesia ada 5.

a. Konflik Struktural

Terjadi ketika ada ketimpangan dalam melakukan akses dan kontrol terhadap sumber

daya (tanah, air, tambang, hutan). Pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang formal untuk

menetapkan kebijakan umum,

5

biasanya lebih memiliki peluang untuk menguasai akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap

pihak yang lain. Di sisi lain persoalan geografis dan faktor sejarah/waktu seringkali dijadikan

alasan untuk memusatkan

kekuasaan serta pengambilan keputusan yang hanya menguntungkan pada satu pihak

tertentu/pihak dominan/pemerintah pusat. Kebijakan yang tidak adil serta penggunaan operasi

militer dalam rangka mengamankan kebijakan pemerintah pusat. Sumber konflik ini sangat

terlihat jelas di Aceh dan Papua.

b. Konflik Kepentingan

Disebabkan oleh persaingan kepentingan yang dirasakan atau yang secara nyata memang

tidak bersesuaian. Konflik kepentingan terjadi ketika satu pihak atau lebih, meyakini bahwa

untuk memuaskan kebutuhannya, pihak lain yang harus berkorban, dan biasanya yang menjadi

korban adalah pihak masyarakat kebanyakan. Ciri lain dari konflik kepentingan adalah terjadinya

persaingan yang manipulatif atau tidak sehat antarkedua belah pihak. Konflik yang berdasarkan

kepentingan ini bisa terjadi karena masalah yang mendasar (ekonomi, politik kekuasaan),

masalah tata cara atau masalah

psikologis.

c. Konflik Nilai

Disebabkan oleh sistem-sistem kepercayaan yang tidak bersesuaian, entah itu dirasakan

atau memang ada. Nilai adalah kepercayaan yang dipakai orang untuk memberi arti pada

kehidupannya. Nilai menjelaskan mana yang baik dan buruk, benar atau salah, adil atau tidak.

Perbedaan nilai tidak harus menyebabkan konflik. Manusia dapat hidup berdampingan dengan

harmonis dengan sedikit perbedaan sistem nilai. Konflik nilai muncul ketika orang berusaha

untuk memaksakan suatu sistem nilai kepada yang lain, atau mengklaim suatu sistem nilai yang

eksklusif dimana di dalamnya tidak dimungkinkan adanya perbedaan kepercayaan.

d. Konflik Hubungan Sosial Psikologis

Dalam kehidupan bermasyarakat senantiasa ada interaksi sosial antarpribadi,

antarkelompok, dan antarbangsa. Namun dalam berinteraksi da kecenderungan untuk

6

mengambil jalan pintas dalam mempersepsikan seseorang. Bias persepsi ini disebut stereotip

yang merupakan cikal bakal dari munculnya prasangka, berlanjut pada dilakukannya

diskriminasi yang berakhir pada terjadinya tindakan kekerasan. Prasangka adalah sifat yang

negatif terhadap kelompok atau individu tertentu semata-mata Karena keanggotaannya dalam

kelompok tertentu. Prasangka muncul karena adanya bias persepsi (stereotip), yang

memunculkan penilaian yang tidak berdasar dan mengambil sikap sebelum menilai dengan

cermat. Akibatnya, ada penyimpangan pandangan dari kenyataan yang sesungguhnya serta ada

pula generalisasi. Kecenderungan generalisasi (memukul rata) tersebut akan memberi dampak

negatif jika sasarannya adalah kelompok minoritas dalam arti, jumlah maupun status. Prasangka

kemudian dikonkritkan dalam perilaku dan atau tindakan diskriminasi.

e. Konflik Data

Terjadi ketika orang kekurangan informasi yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan

yang bijaksana, mendapat informasi yang salah, tidak sepakat mengenai apa saja data yang

relevan, menerjemahkan informasi dengan cara yang berbeda, atau memakai tata cara pengkajian

yang berbeda. Beberapa Konflik Data mungkin tidak perlu terjadi karena hal itu disebabkan

kurangnya komunikasi diantara orang-orang yang berkonflik. Konflik Data lainya bisa jadi

karena memang disebabkan informasi dan/atau tatacara yang dipakai oleh orang-orang untuk

mengumpulkan datanya tidak sama.

3. Ragam Konflik

a. Wujud Konflik

Konflik dapat berwujud tertutup (latent), mencuat (emerging) dan terbuka (manifest).

Konflik tertutup dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak nampak yang tidak

sepenuhnya berkembang dan belum terangkat ke puncak konflik. Seringkali satu atau dua pihak

boleh jadi belum menyadari adanya konflik bahkan yang paling potensialpun. Konflik mencuat

adalah perselisihan dimana pihak-pihak yang berselisih teridentifikasi. Mereka mengakui adanya

perselisihan, kebanyakan permasalahannya jelas, tetapi proses negosiasi dan penyelesaian

masalahnya belum berkembang. Di sisi lain, konflik terbuka adalah konflik dimana pihak-pihak

7

yang berlisih secara aktif terlibat dalam perselisihan yang terjadi, mungkin sudah mulai untuk

negosiasi, dan mungkin juga mencapai jalan buntu.

b. Kategori Konflik.

Dalam studi-studi konflik, kita juga mengenal kategori-kategori lain dari konflik.

Berdasarkan isunya maka kita mengenal jenis konflik sumber daya alam, perburuhan dan

sebagainya. Berdasarkan pihak-pihak yang berkonflik, kita mengenal kategori konflik horisontal

dan vertikal. Konflik horisontal merupakan konflik antarkelompok dalam masyarakat seperti

konflikantar komunitas, konflik antarkelompok etnis/agama, dan konflik antarkelompok politik.

Sementara konflik vertikal adalah konflik antara kelompok masyarakat dengan negara. Konflik

antara gerakan separatis dengan negara merupakan salah satu contohnya. Peristiwa demonstrasi

mahasiswa pada Mei 1998 juga merupakan contoh dari konflik vertikal.

B. Faktor-Faktor Penyebab Konflik

Faktor penyebab terjadinya konflik sosial terdiri dari:

a. Perbedaan individu

Peredaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan. Setiap manusia

adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-

beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan

yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan

sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Perbedaan latar belakang

kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda. Pemikiran dan pendirian yang

berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.

b. Perbedaan latar belakang kebudayaan dan kepentingan

Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda.

Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki

kepentingan yang berbeda-beda. Kadang orang melakukan hal yang sama tetapi untuk tujuan

yang berbeda. Konflik akibat perbedaan kepentingan dapat pula menyangkut bidang politik,

ekonomi, sosial, dan budaya.

8

c. Perubahan – perubahan nilai yang cepat

Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam dapat memicu terjadinya

konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesan yang mengalami proses industrialisasi yang

mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional

yang biasa bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai

– nilai yang berubah seperti nilai kegotongroyongan menjadi nilai kontrak kerja, hubungan

kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural.

Data ini hanyalah data dipermukaan saja atau sering disebut hanya permukaan gunung es saja.

Oleh karena itu, tidak mungkin sepenuhnya dapat dianalisis, tetapi hanyalah memberikan

deskripsi / gambaran bahwa masalah tersebut dapat diselesaikan melalui kearifan lokal tersebut.

Penyelesaian masalah batas desa : agar tanah/ batas tsb dicatatkan di buku Agraria, masalah

setra, demikian pula agar dicatatakan/ dibukukan agraria. Solusi tidak pada semua kasus tetapi

menggambarkan semua kasus yang terjadi di masing2 tempat penelitian.

Reposisi Kearifan Lokal.

Di bawah ini dikemukakan mengenai kearifan lokal masyarakat Bali yang secara turun

temurun diakui sebagai pegangan di dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari, antara lain Tri

Hita Karana, Sekeha Teruna Teruni, Karmaphala, Panca Yadnya, Tri Kaya Parisudha, dan lain-

lain.

Manusia dan masyarakat Bali mempunyai hak untuk berubah, menuju ke arah yang lebih

baik, yaitu menuju kehidupan yang lebih sejahtera dalam berbagai aspek, atau menuju

masyarakat yang jagadhita. Jejak langkah perjalanan menuju Jagadhita ini hanya mungkin bisa

dijalani apabila manusia dan masyarakat Bali tetap memegang nilai-nilai yang ada pada jatidiri

kebudayaannya yang memang selama ini telah memandu perjalanan tersebut. Salah satu

'panduan' tersebut, yang sesungguhnya sudah meliputi berbagai aspek dalam kehidupan, adalah

Tri Hita Karana .Tri Hita Karana bukan saja pegangan atau panduan, tetapi juga proses dan

9

hasil. Artinya, Tri Hita Karanaharus menjadi panduan dan pegangan bagi masyarakat Bali di

dalam menggambarkan peta perjalanannya; kemudian melaksanakan Tri Hita Karana dalam

proses perjalanan; dan akhirnya menjadi masyarakat yang maju, modern, sejahtera, yang tetap

merupakan wujud dari implementasi Tri Hita Karana.

Tri Hita Karana sebagai all-inclusive concept berintikan keseimbangan atau harmoni.

Berbagai usikan dan gangguan yang ada, berbagai riak-riak konflik yang ada (yang memang

tidak bisa dihindari dalam proses perubahan), harus dikembalikan kepada titik keseimbangan

baru (new-equilibri-) sesuai dengan homeostasis masyarakat Bali. Mengenai keseimbangan ini,

masyarakat Bali memang mempunyai akar sejarah yang kuat. Dalam hubungannya dengan

keseimbangan terhadap alam, misalnya, Gregor Krause (1912) mengatakan bahwa manusia Bali

selalu berbuat dengan menyeimbangan diri dengan alam. Covarrubias (1937) mengatakan, tidak

ada etnik lain di dunia yang mampu menyamai Bali di dalam keselarasannya dengan alam. "... no

other race gives the impression of living on such close touch with nature, creates such a feeling

of harmony tween the people and its surrounding' (1937: 260).

Itu terjadi karena manusia Bali selalu 'regulate every act of their lives so that it shall be in

harmony with natural forces' (h. 260). Sebagai hasilnya, seperti apa yang dikatakan oleh de

Zoete dan Walter Spies (1973: 2), "the Balinese is so perfectly in harmony with his

surrounding...".

Mengenai konsepsi Tri Hita Karana tidak akan dijelaskan secara detil di sini, yang perlu

adalah bagaimana konsepsi itu ada, mungkin dimengerti, dan sifat penerapannya, dari masa ke

masa. Seperti umum dimengerti bahwa konsepsi Tri Hita Karana adalah sebuah konsep filosofis

mengenai persepsi masyarakat Bali tentang kehidupan manusia, dan hubungannya dengan yang

lain. Dimengerti bahwa Tri Hita Karana mengandung konsep bahwa untuk dapat hidup

10

sejahtera, maka manusia perlu melakukan hubungan seimbang dengan: (1) sesama, (2) dengan

Tuhan, dan (3) dengan alam. Ketiga hubungan itu secara filosofis dimengerti sebagai hubungan

keseimbangan antara: manusia-manusia, manusia-Tuhan, dan manusia dengan alam, yang di

dalam praktek kehidupan digambarkan dengan wujud tiga elemen: Parhyangan, Pawongan, dan

Palemahan. Bentuk hubungan yang saling memperhatikan, atau melindungi satu sama lain, akan

membuat manusia hidup damai, sejahtera di dunia dan akhirat.

Di Bali salah satu wujud pembangunan kepemudaan adalah melalui pelestarian wadah

yang ada ditingkat Banjar yang tersebar di seluruh desa di Bali yang di kenal dengan Sekaha

Teruna. Sekaha Teruna merupakan salah satu wadah organisasi kepemudaan yang

keberadaannya sudah mentradisi di seluruh Banjar di setiap desa Pakraman di Bali yang mana

Sekaha Teruna diharapkan mampu sebagai filter atau alat penyaring budaya-budaya asing yang

masuk, serta memperkuat adat budaya Hindu, yang pada akhirnya Sekaha Teruna mampu

melanjutkan pembangunan bangsa Indonesia pada umumnya dan pembangunan Daerah Bali

pada khususnya. Keberadaan Sekaha Teruna sebagai organisasi sosial kemasyarakatan sangat

terikat pada adat, agama dan budaya Hindu, oleh karena itu pembinaan dan pengembangan

Sekaha Teruna sangat strategis sebagai wadah penciptaan kader pembangunan yang berwawasan

budaya dan sekaligus merupakan asset pembangunan di bidang kepariwisataan di Bali.

Istilah Sekaha Teruna sudah mencakup pengertian Teruna (Pemuda), Teruni (Pemudi),

karena pengertian Sekaha Teruna sudah mencakup anggota pria dan wanita. Untuk itulah Sekaha

Teruna - Teruni diseragamkan, sehingga yang masih memakai istilah Sekaa Teruna-Teruni

supaya menggunakan istilah SEKAHA TERUNA. Hal ini ditegaskan dengan surat edaran

Gubernur Kdh.Tk.I Bali, Nomor : 427/10083/Binsos Mental tanggal 28 Juni 1985.

11

Dasar hukum pendirian sekaa teruna adalah Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah

Tingkat I Bali No. 84/Kesra.II/a/541/1980, yang merupakan tindak lanjut dari keputusan

Presiden RI No. 23 tahun 1979. Dalam hal ini Pemda Tingkat I Bali membentuk Badan

Koordinasi Penyelenggaraan Pembinaan dan Pengembangan Generasi Muda (BKPPPGM).

Generasi muda seperti kita ketahui bersama memiliki peranan yang sangat strategis

dalam pembangunan bangsa, baik pembangunan pisik maupun pembangunan mental spiritual.

Kedua pembangunan tersebut haruslah berjalan serasi dan seimbang dengan perkembangan

jaman.

Jika kita lihat dari aspek pembangunan, maka pemuda merupakan sumber tenaga kerja di

masa mendatang dan sebagai sumber insani dari potensi bangsa perlu dipersiapkan untuk

berpartisipasi dan memberikan sumbangan yang nyata kepada pembangunan bangsa dan negara.

Oleh karena itu diperlukan penataan kehidupan pemuda, karena pemuda memainkan peranan

penting dalam pelaksanaan pembangunan yang didasari bahwa masa depan adalah kepunyaan

generasi muda. Untuk itu pembinaan dan pengembangan generasi muda harus menanamkan

motivasi kepekaan terhadap masa yang akan datang.

Bila dicermati kehidupan sejak mula, maka responden anak-anak siswa SMA yang

beragama Hndu menyadari betul bahwa sejak lahir hingga meninggal akan mengalami prosesi

upacara (yadnya) semacam ini. Landasan utama Yadnya (pengorbanan) adalah keikhlasan dan

kesucian hati. Yadnya yang tidak dilandasi dengan keikhlasan dan kesucian hati tidak ada

manfaatnya. Yadnya hendaknya dilakukan dengan ikhlas tanpa terikat oleh hasilnya.

Menghaturkansesajen adalah yadnya dan melakukan sembahyang adalah yadnya. Menolong

orang dalam kesusahan adalah yadnya. Berdana punia (pemberian) adalah yadnya.

12

Jadi, yadnya adalah segala kegiatan yang dilakukan dengan tulus ikhlas tanpa pamrih.

Karena yadnya dipersembahkan kepada Sang Hyang Widhi Wasa, yadnya juga berarti

persembahan suci. Dalam agama Hindu, yadnya terdiri atas lima jenis yang disebut

PancaYadnya.

Adapun kelima jenis yadnya itu adalah :

a. DewaYadnya, adalah persembahan yang ditujukan kepada Sang Hyang Widhi dan

manifestasi-NYA . Dewa yadnya dilakukan di pura, merajan atau tempat suci yang

baik, bersih dan mempunyai. Tujuan pelakanaan DewaYadnya adalah untuk

menyampaikan rasa bakti kepada Sang Hyang Widhi Wasa,atas segala anugerah yang

telah diberikanNya.

b. PitraYadnya, adalah persembahan kepada leluhur dan bathara-bathari, di mana tujuan

pelaksanaan PitraYadnya adalah mensucikan roh-roh leluhur agar mendapat tempat

yang baik dan tinggi. Pelaksanaan pitrayadnya diwujudkan dengan melakukan upacara

Ngaben atau menubur jasad anggota keluarga yang meninggal. Semuanya bertujuan

untuk mengembalikan unsur-unsur Panca Maha Butha ke asalnya seperti tulang,

daging, kuku, rambut, dan otot kembali ke tanah (Pertiwi), darah, lendir, dan cairan

tubuh kembali ke air (Apah), panas badan atau suhu badan kembali ke Teja, hawa

panas kembali ke unsur Bayu, dan rongga-rongga yang ada dalam tubuh kita kembali

ke unsur Eter.

c. RsiYadnya, adalah persembahan kepada para Rsi dan guru untuk menjaga

kesejahteraanya. Rsi adalah orang-orang yang bijaksana dan berjiwa suci. Pendeta atau

Sulinggih atau guru dapat juga disebut orang suci karena beliau merupakan orang

13

bijaksana yang memberikan bimbingan dan tunutanan kepada sisya atau murid-

muridnya.

d.ManusiaYadnya, upacara yang dipersembahkan untuk memelihara hidup,

kesempurnaan, dan kesejahteraan manusia. Misalnya upacara hari kelahiran, otonan,

perkawinan, dll.

e. ButhaYadnya, adalah persembahan kepada para bhuta kala dan makhluk bawahan,

yang umumnya dilakukan melalui persembahan upacara mecaru pada setiap hari

menjelang dilaksanakannya pujawali / piodalan, pada hari menjelang hari raya Nyepi,

dan lain sebagainya. Yang bertujuan agar kekuatan-kekuatan yang bersifat negatif

menjadi kekuatan positif sehingga membantu manusia untuk menjaga ketenteraman

dunia ini.

Dalam konteks yang lainnya keyakinan terhadap Tri Kaya Parisudha, ditanamkan sejak

kecil agar pikiran, perkataan, dan perbuatan dapat dijaga sehingga menimbulkan suatu

keharmonisan dalam hidup bermasyarakat. Tri Kaya Parisudha adalah bagian dari etika / susila

agama Hindu. Timbulnya kata Tri Kaya Parisudha berasal dari sebuah semboyan dharma yang

berbunyi : “paropakaran punya ya, papaya, para piadanam“ mempunyai pengertian yaitu dari

Tri artinya tiga, Kaya artinya gerak atau perbuatan dan Parisudha artinya suci. Tri Kaya

Parisudha artinya tiga gerak atau perbuatan yang harus disucikan.

Untuk mempertegas arti harfiahnya dikemukakan pula pengertian Tri Kaya

Parisudhayang berasal dari kata “Tri” yang berarti tiga, “Kaya” berarti perilaku atau perbuatan,

dan “Parisudha” yang berarti baik, bersih, suci atau disucikan. Tri Kaya Parisudha artinya tiga

perilaku manusia berupa pikiran, perkataan, dan perbuatan yang harus disucikan. Pikiran,

14

perkataan, dan perbuatan yang disucikan dimaksudkan perilaku manusia yang baik atau perilaku

manusia itu tidak boleh dikotori dengan perilaku yang tidak baik. Ketiga perilaku yaitu berpikir,

berkata, dan berbuat yang baik harus selalu dijadikan pedoman khususnya bagi ummat Hindu

dan bagi umat manusia pada umumnya dalam menjalani kehidupan sehari-hari, sehingga

tercipta hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungannya, manusia dengan

sesamanya, dan manusia dengan maha pencipta.

Tri Kaya Parisudha dapat juga diartikan sebagai tiga dasar perilaku manusia yang harus

disucikan, yaitu manacika, wacika, dan kayika. Manacika berarti pikiran yang baik, wacika

berarti perkataan yang baik, dan kayika berarti perbuatan yang baik. Adanya pikiran yang baik

akan mendasari perkataan yang baik sehingga terwujudlah perbuatan yang baik pula. Jadi pada

dasarnya perkataan dan perbuatan bersumber atau berawal dari pikiran. Pikiran yang baik akan

menunutun manusia berkata atau berbuat yang baik pula. Dari prinsip itu, maka yang paling awal

harus dikendalikan manusia adalah pikirannya. Hal-hal yang mempengaruhi pikiran haruslah

selalu terjaga, seperti kestabilan jiwa dan emosi, kebutuhan akan kesehatan jiwa dan raga,

termasuk kebutuhan akan estetika, dengan jiwa yang tenang orang dapat mengendalikan

pikirannya sehingga dapat berpikir dengan jernih yang akhirnya akan dicetuskan dalam bentuk

perkataan yang baik dan perbuatan yang baik.

Kitab suci Weda mengajarkan agar ummat manusia menjauhkan diri dari kejahatan /

kenakalan dan perbuatan dosa serta menyingkirkan kedengkian. Umat manusia agar selalu

berbuat dharma, dengan ucapan yang manis hendaknya dan selalu berbuat kebaikan. Manusia

semestinya juga selalu menyucikan pikiran dan budhinya. Pernyataan tersebut sama seperti yang

diajarkan dalam Tri Kaya Parisudhayaituberpikir baik, berkata, dan berbuat baik. Berpikir baik,

berkata baik dan berbuat baik menjadi dasar dan pedoman hidup bagi umat Hindu dan bagi umat

15

manusia pada umumnya, sehingga kerukunan, ketentraman, dan kedamaian dalam kehidupan

masyarakat dapat tercipta sesuai dengan tujuan agama Hindu dan tujuan pendidikan pada

umumnya.

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki kelebihan, dibandingkan dengan

makhluk lainnya. Manusia memiliki kelebihan berupa manas atau manah. Manas atau manah itu

berarti pikiran. Pikiran adalah inti segalanya. Dari ketiga unsur Tri Kaya Parisudha pikiran

adalah paling pokok, yang dapat menimbulkan adanya perkataan maupun perbuatan. Karena itu

pikiran adalah paling penting untuk dikendalikan. Jadi pada hakikatnya manusia adalah makhluk

yang aktif berpikir. Dari kenyataan itu, manusiamemiliki dua karakter atau sifat pikiran yaitu

pikiran baik dan pikiran buruk. Pikiran yang baik menjadi pedoman untuk berkata dan berbuat

yang baik, sebaliknya pikiran yang buruk akan menggiring seseorang untuk berkata dan berbuat

yang tidak baik. Tri Kaya Parisudhayaitu berpikir baik, berkata baik, dan berbuat baik,

hendaknya dapat dilakukan dengan sebaik mungkin. Secara empiris kenyataan hidup manusia,

sering kita jumpai dua sifat manusia yaitu manusia yang berperilaku baik dan manusia yang

berperilaku buruk. Hal ini sering dijumpai di sekolah, yaitu anak-anak siswa peserta diik yang

berperilaku baik dan berperilaku tidak atau kurang baik.

Faktor-faktor yang dapat menghambat dan mendukung dalam penanaman nilai-nilai etika

yang terkandung dalam Tri Kaya Parisudha, antara lain:

1). Faktor sosial budaya

Sosial budaya merupakan perilaku atau kebiasaan manusia dalam kehidupan sehari-hari,

pembelajaran, termasuk dalam penanaman nilai-nilai etika yang terkandung dalam Tri Kaya

Parisudha. Anak yang tumbuh di lingkungan masyarakat yang memiliki tata karma

16

bermasyarakat yang baik, memiliki sopan santun dan memiliki sikap saling menghargai, tentu

anak tersebut juga akan terbiasa melihat dan melakukan perilaku-perilaku yang baik. Demikian

juga, anak yang dibesarkan di lingkungan keluarga yang tidak harmonis, tentu juga akan

berpengaruh terhadap masalah perkembangan piskologis si anak yang cenderung mengarah ke

hal-hal negatif.

2). Faktor lingkungan

Faktor lingkungan yang dimaksud berpengaruh terhadap proses penanaman nilai-nilai

etika yang terkandung dalam Tri Kaya Parisudha adalah faktor lingkungan keluarga, sekolah

dan masyarakat. Pada faktor sosial budaya telah disinggung tentang kebiasaan masyarakat dan

orang tua yang dapat mempengaruhi perkembangan pendidikan anak. Misalnya, perilaku anak

yang berdampak pada perilaku si anak seperti anak yang timbuh di lingkungan masyarakat suka

minum-minuman keras (alkohol – mabuk-mabukan), anak yang tumbuh di lingkungan keluarga

yang merokok dan anak yang tumbuh di lingkungan keluarga yang gemar berjudi. Kebiasaan-

kebiasaan seperti inilah yang dapat menghambat dalam penanaman nilai-nilai etika kepada

peserta didik. Sebaliknya, anak yang dibesarkan di lingkungan keluarga baik-baik akan sangat

mendukung dan memudahkan di dalam menanamkan nilai-nilai etika.

Sekolah merupakan tempat untuk menyelenggarakan pendidikan formal. Lingkungan

sekolah yang mendukung proses pembelajaran adalah memiliki lingkungan belajar yang

kondusif, sehingga memungkinkan peserta didik dapat belajar, termasuk dalam penanaman nilai-

nilai etika untuk mengembangkan akhlak mulia peserta didik.

3). Faktor perkembangan teknologi

17

Pengaruh global sangat memungkinkan peserta didik mudah terkontaminasi oleh hal-hal

yang dapat merusak perilaku mereka, seperti pengaruh teknologi berupa handphone (HP), laptop

dan media internet yang memudahkan dalam mentranformasikan suatu pesan dalam bentuk

gambar maupun video atau film. Di satu sisi, hasil-hasil tekonologi sangat diperlukan untuk

memudahkan dan mempercepat aktivitas-aktivitas manusia termasuk aktivitas dalam belajar,

sedangkan di sisi lain hasil-hasil teknologi dapat menjerumuskan penggunanya ke hal-hal

negatif. Penggunaan HP, Komputer (Laptop), yang merupakan alat komunikasi memiliki

fasilitas-fasilitas canggih, seperti music, gambar, film, kamera, dan fasilitas internet. Dengan

fasilitas tersebut manusia dapat melakukan komunikasi dengan cepat walaupun rekan

komunikasi berada di tempat yang jauh atau di negara lain. Tetapi apabila si pengguna alat

tersebut, tidak dilandasi akhlak mulia yang memadai tentu akan mudah terjerumus melakukan

hal-hal yang aneh atau negatif dengan fasilitas yang ada pada teknologi tersebut.

Untuk menghindari dan merubah penyimpangan-penyimpangan perilaku, maka

diperlukan usaha bagi kalangan pendidik di sekolah dalam mengembangkan potensi akhlak

mulia peserta didik, yaitu dengan penanaman nilai-nilai etika seperti nilai-nilai etika yang

terkandung dalam Tri Kaya Parisudha. Tri Kaya Parisudhadewasa ini masih cukup berperan

baik dalam menumbuhkan akhlak mulia kepada peserta didik seperti yang diamanatkan agar

tujuan pendidikan nasional, yaitu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia

yang beriman, bertakwa kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa,

berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang

demokratis serta bertanggungjawab.

Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa Tri Kaya Parisudha terdiri dari tiga bagian

yaitu (1) Manacika, atau berpikir yang baik atau suci. Berpikir baik tanpa kekotoran, dan tanpa

18

ada rasa kebencian atau kemarahan. Hindarkanlah pikiran mengecilkan dan mencurigai orang

lain, akibat rasa sombong dan merasa lebih tinggi. Karena pikiran itu, ibarat menanam benih

celaka; (2) Wacika, atau berkata yang baik. Upaya konkritnya adalah berkata sopan terhadap

sesama tanpa memandang stautsnya seperti usia, jabatan, posisi, dll. Berawal dari pikiran, akan

timbul perkataan. Perkataan adalah sabda pemikiran yang akan berlanjut menjadi tindakan. Tutur

kata yang santun, enak, sedap dan tidak keras. Maksud yang diutarakan jelas disusun secara

teratur. Untaian kata mengundang keakraban dan mudah untuk diterima. Kata-kata dipilih yang

santun dan tak berkepanjangan. Sikap dan gaya bicara, cukup seperlunya tidak perlu dilebih-

lebihkan, yang penting, apa yang diuraikan membuat senang siapapun yang mendengarkannya;

dan (3). Kayika, berbuat yang baik/suci. Upaya konkritnya dari kayika adalah dengan melakukan

kegiatan membantu sesama manusia baik berupa phisik maupun non-phisik. Perilaku atau

perbuatan harus dilaksanakan dengan baik dan benar. Setiap perbuatan yang dilakukan baik

ataupun buruk akan dapat memnimbulkan apa yang disebut dengan karma. Buah karmaitu

adalah pahala atau hasil dari perbuatan kita. Semua manusia tentu tidak ingin memetik buah

karma yang buruk, dan semua orang ingin memperoleh buah karma yang baik. Karena itu

janganlah berbuat yang tidak baik yang dapat menciptakan buah karma buruk. Menurut orang

bijak, waspadalah terhadap pikiran anda, karena ia akan menjadi kata-kata anda. Waspadalah

terhadap kata-kata anda, karena ia akan menjadi tindakan anda. Waspadalah terhadap tindakan

anda, karena ia akan menjadi sikap anda1.

Jika dicermati tampaklah konsep ideologi Tri Hita Karana pada dasarnya terdiri atas dua

bagian,yaitu ideologi dan Tri Hita Karana. Sebagaimana di ketahui ada sejumlah pengertian

1 .(http://arsip.pontianakpost.com) diakses pada tanggal 20 Januari 2011

19

yang bebeda-beda tentang istilah ideologi yang di acu dalam penelitian ini, yakni sebagaimana di

jelaskan oleh Takwin 2, sebagai berikut.

,,....ideologi di artikan sebagai kumpulan gagasan yang menjadi panduan dalamkelompok

manusia dalam bertingkah laku mencapai tujuan tertentu, dengan cara menurunkan gagasan

dalam ideologi menjadi sejumlah kerangka aksi dan aturan aturan tindakan, sekelompok manusia

bertindak .... ideologi menjadi keyakinan (belief) bagi kelompok itu,,.

Jadi yang di maksud dengan ideologi dalam penelitian adalah gagasan atau ide-ide

sebagai panduan ideologis bargi masyarakat yang bersangkutan dengan melakukan kegiatan

untuk mencapai tujuan tertentu.

Gagasan atau ide-ide tersebut dapat di tuangkan di dalam kerangka aksi atau kerangka

tindakan yang mengandung aturan-aturantertentu sesuai dengan gagasan atau ide-ide, tujuan,

kepentingan, dan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan.ideologi dalam arti seperti ini

tampak identik dengan pengertian dengan gagasan kulektif menurut durkheim, yakni suatu

gagasan mengenai berbagai hal, termasuk juga mengenai keyakinan keagammaan yang dapat

berfungsi sebagai acuan dan memberi arah bagi tindakan manusia dalam kehidupan masyarakat3.

Selanjutnya, istilah Tri Hita Karana berarti tiga penyebab kesejahteraan,yaitu

keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan (parhyangan),hubungan manusia dengan

manusia (pawongan),dan hubungan manusia dengan lingkungan alam (palemahan) 4.

2Takwin, Bagus. 2003. Akar-Akar Ideologi: Pengantar Kajian Konsep Ideologi Dari Plato Hingga

Buerdeu. Yogyakarta: jalasutra hal.7

3 Koentjaraningrat, 1993. Masalah kesukubangsaan dan integrasi nasional.” Jakarta Universitas Indonesia

Press.hal 90-92

4 Kaler, I Gusti , Ketut. 1982. Subak Selaku Subjek Dan Objek Pembangunan makalah dalam seminar

lustrum IV dan wisuda sarjana, XVI. Denpasar, Universitas Udayana, hal 3

20

Berdasarkan konsep ideologi dan konsep Tri Hita Karana di atas, maka yang di maksud dengan

ideologi Tri Hita Karana dalam penelitian ini adalah gagasan-gagasan atau ide-ide yang bersifat

eko sintrisme, yaitu beroreantasi pada kharmonisan hubungan antara manusia dengan lingkungan

dalam arti luas. Dengan mengacu pendapat Soemarwoto (1989)5, ideologi Tri Hita Karana yang

demikian itu dapat di katakan sebagai kristalisasi citra lingkungan masyarakat Bali yang bersifat

ekosantrisme, yaitu panduan ideologi bagi tindakan manusia dalam hubungannya dalam

lingkungan supernatural, lingkungan sosial, dan lingkungan alam.

Dalam ajaran Hindu penghormatan pada guru adalah sangat mulia, karena bagaimanapun

juga pengetahuan tentang ajaran dharma dapat diberikan oleh ketiga guru tersebut. Pengertian

tentang guru sesuai dengan isi lontar Panca siksa lamp. 3 adalah: “Guru ngaranya,wwang

awreddha, tapowreddha, jñānawreddha.Wwang awreddha ng. Sang matuha matuha ring

wayah, kadyangganing bapa, ibu. pangajyan, nguniweh sang sumangāskāra rikita.

Tapowreddha ng. sang matuha ring brata, Jñāna- wreddha ng. sang matuha rting aji” – Yang

disebut guru adalah orang yang sudah Awreddha, Tapo- wreddha, Jñānawreddha. Orang

Awreddha adalah orang yang sudah lanjut usianya seperti bapa, ibu, orang yang mendidik

(mengajar/pangjyan), lebih-lebih orang yang mentasbihkan

(mensucikan/sumangāskāra)engkau.Tapowreddha disebut bagi orang matang di dalam

pelaksanaan brata. Jñānawreddha adalah orang yang ahli di dalam ilmu pengetahuan (spiritual).

Ditinjau tentang jenis-jenis yang disebut guru atau yang berfungsi sebagai guru, maka

sebagai guru tertinggi dari alam semesta ini tidak lain adalah Hyang Widhi yang disebut Guru

Param Brahma sebagai dinyatakan dalam Gurupūjā 2, berikut:

5Soemarwoto, O. 1989. LingkunganHidupdanPembangunan. Jakarta jabatan, hal...

21

Oṁ Gurur Brahma Gurur Viṣṇu Gurur deva Maheśvara, Gurur sākṣat Param Brahma tasmai

Śrī gurave namaḥ – Oṁ Hyang Widhi, Engkau adalah Brahma, Viṣṇu dan

Maheśvara, sebagai guru agung, pencipta, pemelihara pelebur alam semesta. Engkau adalah

Guru Tertinggi, Param Brahma, kepada-Mu aku memuja.

Di samping Parameṣtiguru, guru tertinggi di dalam lontar-lontar di Bali kita mengenal Tri

Kang Sinanggeh Guru (tiga orang yang disebut guru) atau Triguru, yaitu: Guru rūpaka (orang

tua, bapa-ibu), Guru pangajyan (guru yang memberi pendidikan dan pengetahuan suci untuk

mendapatkan kesempurnaan) dan Guru viśesa (pemerintah yang menjadi abdi kesejahtraan

rakyat dan tempat berlindung di kala kesusahan).

Dalam ajaran agama Hindu dikupas mengenai pengertian Tat Twam Asi seperti berikut

ini:

A. Pengertian Tat Twam Asi6

Di dalam kitab CandayogaUpanisad, ada disebutkan Tat Twam Asi. Di dalam filsafat

Hindu dijelaskan bahwa Tat Twam Asi adalah ajaran kesusilaan yang tanpa batas, yang identik

dengan perikemanusiaan dalam Pancasila. Konsepsi sila perikemanusiaan dalam Pancasila, bila

kita cermati secara sungguh-sungguh merupakan realisasi ajaran Tat Twam Asi yang terdapat

dalam kitab suci weda. Dengan demikian, dapat dikatakan mengerti dan memahami, serta

mengamalkan/melaksanakan Pancasila berarti telah melaksanakan ajaran weda. Karena maksud

yang terkandung didalam ajaran Tat Twam Asi “ia adalah kamu, saya adalah kamu, dan semua

makhluk adalah sama” sehingga bila kita menolong orang lain berarti juga menolong diri kita

sendiri.

6 Ni Ketut Patri, Sumber Buku : Widya Dharma Agama Hindu (21 juni 2009 blogspot.com)

22

B. Bentuk-bentuk ajaran Tat Twam Asi.

Tat Twam Asi adalah ajaran moral yang bernafaskan ajaran agama Hindu. Wujud nyata

/riil dari ajaran ini dapat kita cermati dalam kehidupan dan prilaku keseharian dari umat manusia

yang bersangkutan. Manusia dalam hidupnya memiliki berbagai macam kebutuhan hidup yang

dimotifasi oleh keinginan(kama) manusia yang bersangkutan.Sebelum manusia sebagai makhluk

hidup itu banyak jenis, sifat, dan ragamnya, seperti manusia sebagai makhluk, individu, sosial,

religius, ekonomis, budaya, dan yang lainnya. Semua itu harus dapat dipenuhi oleh manusia

secara menyeluruh dan bersamaan tanpa memperhitungkan situasi dan kondisinya serta

keterbatasan yang dimilikinya, betapa susah yang dirasakan oleh individu yang bersangkutan.

Disinilah manusia perlu mengenal dan melaksanakan rasa kebersamaan, sehingga seberapa berat

masalah yang dihadapinya akan terasa ringan. Dengan memahami dan mengamalkan ajaran Tat

Twam Asi, manusia akan dapat merasakan berat dan ringan hidup dan kehidupan ini.Semua

diantara kita ini tahu bahwa berat dan ringan Rwabhineda itu ada dan selalu berdampingan

adanya, serta sulit dipisahkan keberadaanya. Demikian adanya maka dalam hidup ini kita

hendaknya selalu sering tolong menolong, merasa senasib dan sepenanggungan.

Misalnya, bila masyarakat Bali ditimpa bencana Bom, sebagai akibat dari bencana itu

bukan hanya dirasakan oleh masyarakat Bali sendiri, melainkan juga dirasakan oleh masyarakat

Indonesia, bahkan masyarakat duniapun juga ikut terkena biasnya. Bila seorang anak mendapat

halangan /kecelakaan sehingga merasa sedih, rasa sedih yang diderita oleh anak yang

bersangkutan juga dirasakan oleh orang tuanya. Demikian juga yang lainnya akan selalu

dirasakan secara kebersamaan /sosial oleh masing-masing individu yang bersangkutan.

Jiwa sosial ini seharusnya diresapi dengan sinar-sinar kesusilaan tuntunan Tuhan dan

tidak dibenarkan dengan jiwa kebendaan semata.Ajaran Tat Twan Asi selain merupakan jiwa

23

filsafat social, juga merupakan dasar dari tata susila Hindu di dalam usaha untuk mencapai

perbaikan moral. Susila adalah tingkah laku yang baik dan mulia untuk membina hubungan yang

selaras dan rukun diantara sesama makhluk hidup lainnya yang diciptakan oleh Tuhan. Sebagai

landasan/pedoman guna membina hubungan yang selaras, maka kita mengenal, mengindahkan,

dan mengamalkan ajaran moralitas itu dengan sungguh-sungguh sebagai berikut :

1. Kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran /norma-norma masyarakat yang timbul

dari hatinya sendiri (bukan paksaan dari luar).

2. Rasa tanggung jawab atas tindakannya itu.

3. Lebih mendahulukan mementingkan umum dari pada kepentingan pribadi.

Sastra-sastra agama adalah sumber atau dasar dari tata susila(ethika) yang bersifat

kokoh dan kekal, ibarat landasan dari suatu bangunan dimana bangunan yang

bersangkutan harus didirikan. Jika landasannya itu tidak kuat/kokoh, maka bangunan

itu aakan mudah roboh dengan sendirinya.Demikian pula halnya dengan tata susila

bila tidak dilandasi dengan pedoman sastra-sastra agama yang kokoh dan kuat, maka

tata susila tidak akan meresap dan mendalam di hati sanubari kita. Ajaran agama yang

menjadi dasar dan pedoman tata susila Hindu diantaranya adalah ajaran Tri Kaya Parisudha. Ajaran Tri Kaya Parisudha merupakan tiga kesusilaan yang penting

sebagai bagian dari ajaran Dharma.

Dengan demikian barang siapa yang dengan kesungguhan hati mengamalkan ajaranya itu

sudah barang tentu akan selalu dalam keadaan selamat dan bahagia, karena ia selalu akan

mendapat perlindungan dari perbuatanya yang baik itu.Tata susila sering juga disebut dengan

ethika(sopan santun). Ethika itu dapat diterapkan sesuai dengan tujuannya, bila manusia

memiliki wiweka, yaitu kemampuan membedakan dan memilih diantara yang baik dengan yang

buruk , yang benar dengan yang salah dan lain sebagainya. Demikianlah tata susila dengan

wiweka, keduanya saling melengkapi kegunaanya dalam hidup dan kehidupan ini.Namun

dewasa ini bila kita mau secara jujur mengakui, sesungguhnya banyak sekali tanda-tanda

kemerosotan moral yang terjadi dilingkungan masyarakat, terutama dikalangan anak-anak (para

remaja) kita, hal itu disebabkan oleh karena antara lain :

1. Kurang tertanamnya jiwa agama pada setiap individu yang ada dalam masyarakat.

24

2. Keadaan masyarakat yang kurang stabil, baik dalam bidang pendidikan, ekonomi,

sosial, politik dan keamanan.

3. Pendidikan moral belum terlaksana sebagaimana mestinya baik dilingkungan

sekolah, masyarakat, maupun ditingkat rumah tangga.

4. Situasi dan kondisi rumah tangga yang kurang stabil/baik.

5. Diperkenalkan secara popular obat-obatan dan sarana anti hamil.

6. Banyaknya tulisan-tulisan, gambar-gambar, siaran-siaran, kesenian-kesenian yang

kurang mengindahkan dasar-dasar,norma-norma/aturan-aturan tentang tuntunan

moral.

7. Kurang adanya individu /organisasi/lembaga yang memfasilitasi tempat-tempat

bimbingan dan penyuluhan moral bagi anak-anak/remaja yang menganggur.

Bila ajaran Tat Twam Asi dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari

masyarakat secara menyeluruh dan sungguh-sungguh,dalam sifat dan prilaku kita maka

kehidupan ini akan menjadi sangat harmonis.Satu dengan yang lainnya diantara kita dapat hidup

saling menghormati, mengisi dan damai. Demikianlah ajaran Tat Twam Asi patut kita pedomi,

cermati dan amalkan kehidupan sehari-hari ini.

Karmaphala7:terdiri atas kata 'karma' dan 'phala', yang artinya setiap perbuatan akan

menghasilkan 'phala' yang sesuai dengan 'karmanya'. Barang siapa berbuat baik, akan memetik

buahnya berupa kebaikan. Sebaliknya, barangsiapa berbuat buruk, keburukan jugalah yang akan

diterimanya. Cepat atau lambat, baik atau buruk, 'phala' yang diterimanya bergantung pada

'karma' yang telah dilakukannya. Kajian 'karmaphala' dalam karya sastra Jawa ini, khususnya

hasil karya sastra Jawa R Ng. Sindusastra yang berjudul 'Serat Arjunasasrabahu Jarwa Sekar

7 Kajeng, I. Nyoman. Tanpa tahun, Sarasamuccaya, Widyalaya, Jakarta

25

Macapal'. Di dalam 'seral' tersebut terdapat tokoh-tokoh dalam ceritera, yang dapat' dijadikan

kajian sebagai bahan pengajaran 'bahasa Jawa. Karya sastra Jawa bukan saja seni untuk seni,

melainkan seni yang mengandung unsur pedagogik, dan merupakan 'pandangan hidup'

masyarakat Jawa khususnya.

Karmaphala dalam bahasa Kawi atau bahasa Sansekerta, ditulis 'karmaphala'. Karmaphala

terdiri atas kata 'karma' dan 'pala'. Dalam beberapa kamus, kata 'karma' diberi arti (arti leksikal)

'tindak kang linakonan' perbuatan yang telah dijalankan 'pala' berarti 'woh', (ent. piguna, pakoleh,

lelabuhan', buah, guna (kias), hasil, jasa)

'Karma' berarti 'tata, basa, tata krama' aturan, bahasa, sopan-santun; 'phala' berarti 'uwoh, woh-

wohan, labet, pakantuk'; buah, buah-buahan, jasa, hasil.

'Karma' berarti perbuatan, pekerjaan jasa, jumlah perbuatan baik dan buruk, nasib/takdir,

perbuatan dahulu. 'Phala' berarti buah, hasil, faedah, akibat, hadiah, upah.

Arti karmapala dalam kalimat (arti gramatikal) terdapat di dalam ajaran agama Hindu maupun

Buddha sebagai berikut:

(Sarasamuccaya, 1958:19).

a. "Kunang ikang wwang gumawayekang cubhakarma, janmanyan sangke ring swarga

delaha, litu hayu, maguna, sujanma, sugih, mawirya, phalaning cubhakarmawasana

tinemunya."

Artinya:

Maka orang yang melakukan perbuatan baik, kelahirannya dari surga kelak menjadi orang

yang rupawan, gunawan, muliawan, hartawan, dan berkekuasaan; buah hasil perbuatan yang

baik, didapat olehnya. (Upadeca 1980:25).

Ajaran agama Hindhu Dharma mengenal hukum Karmapala, Subhakarma dan

26

Asubhakarma. Phala adalah hasil dari karma, ada tiga macam pula:

a. Sandra ialah pala dari perbuatan dalam kehidupan terdahuIu yang belum habis dinikmati

dan masih merupakan benih yang menentukan kehidupan sekarang atau yang akan datang.

b. Prarabda pala dari perbuatan dalam kehidupan ini, tanpa ada sisanya lagi.

Kriyamana pala dari perbuatan yang tidak sempat dinikmati pada saat berbuat, sehingga harus

diterima pada kehidupan yang akan datang.