109
TESIS INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK TEKNIK FAKOEMULSIFIKASI LEBIH RENDAH SECARA KLINIS DARIPADA TEKNIK MANUAL SMALL INSICION CATARACT SURGERY (7,6 MIA PURNAMA PPPRIT PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014

INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

TESIS

INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK TEKNIK FAKOEMULSIFIKASI

LEBIH RENDAH SECARA KLINIS DARIPADA TEKNIK MANUAL SMALL INSICION CATARACT

SURGERY (7,6

MIA PURNAMA

PPPRIT

PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2014

Page 2: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

TESIS

INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK TEKNIK FAKOEMULSIFIKASI

LEBIH RENDAH SECARA KLINIS DARIPADA TEKNIK MANUAL SMALL INSICION CATARACT

SURGERY

MIA PURNAMA NIM 0914128202

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

2014

Page 3: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

TESIS

INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK TEKNIK FAKOEMULSIFIKASI

LEBIH RENDAH SECARA KLINIS DARIPADA TEKNIK MANUAL SMALL INSICION CATARACT

SURGERY

(7,6

Tesis ini untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik

Program Pascasarjana Universitas Udayana

MIA PURNAMA NIM 0914128202

PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2014

Page 4: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK
Page 5: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK
Page 6: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK
Page 7: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kepada

Allah SWT, atas berkah-Nya, sehingga tesis ini dapat terselesaikan. Penulis

menyadari sepenuhnya tesis ini tidak mungkin dapat selesai tanpa bantuan dari

berbagai pihak. Pada kesempatan ini, izinkan penulis dengan setulus hati

menghaturkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD dan

Dekan Fakultas Kedokteran Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT(K),

M.Kes yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas untuk mengikuti dan

menyelesaikan Program Magister Pascasarjana dan Program Pendidikan

Dokter Spesialis 1 di Universitas Udayana.

2. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. AA Raka

Sudewi, Sp.S(K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan sebagai

mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Udayana.

3. Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Combined Degree, Prof. Dr. dr. Wimpie

I. Pangkahila, SpAnd., FAACS yang telah memberikan kesempatan untuk

mengikuti pendidikan Program Studi Ilmu Biomedik combined degree.

4. Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr. Anak Ayu Sri Saraswati, M.kes atas

kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menjalani Program

Pendidikan Dokter Spesialis 1 di Bagian Ilmu Kesehatan Mata.

5. Kepala Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana, dr. Putu Budhiastra, Sp.M(K) yang telah memberikan kesempatan

Page 8: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

mengikuti program pendidikan spesialisasi dan memberikan bimbingan

selama menjalani pendidikan spesialisasi.

6. Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana, dr. AAA Sukartini Djelantik, SpM(K) yang telah memberikan

kesempatan mengikuti program pendidikan spesialisasi, memberi petunjuk,

serta bimbingan selama menjalani pendidikan spesialisasi.

7. dr. I.W.G. Jayanegara, Sp.M(K), sebagai pembimbing I yang telah

meluangkan waktu, memberikan petunjuk dan pengarahan, sejak awal

penulisan sampai dapat menyelesaikan tesis ini.

8. Prof. Dr. dr. I Gede Raka W, Sp.PD.KGH, selaku pembimbing II yang selalu

memberikan bimbingan dan pengarahan hingga terselesaikannya tesis ini.

9. Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D, dr. AAA Sukartini Djelantik,

Sp.M(K) dan dr. Putu Budhiastra, Sp.M.(K) selaku penguji atas semua

masukan, koreksi dan saran dalam penyelesaian tesis ini.

10. Direktur RS Indera Denpasar atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan

untuk melaksanakan penelitian di RS Indera Denpasar.

11. dr. I G.N. Made Sugiana Sp.M, sebagai Kepala SMF Mata RS Indera

Denpasar, yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan penelitian

di RS Indera Denpasar Bali.

12. dr. Cokorda I. Dewiyani, Sp.M dan dr. W.G Jayanegara Sp.M(K) sebagai

operator di RSUP Sanglah dan RS Indera Denpasar Bali yang telah banyak

membantu dalam pelaksanaan penelitian di RSUP Sanglah dan RS Indera

Denpasar Bali.

Page 9: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

13. Dr. Putu Budhiastra, Sp.M(K), dr. N.L. Diah Pantjawati, Sp.M, dan dr. Ari

Andayani, sebagai penilai hasil pemeriksaan OCT di RSUP Sanglah dan RS

Indera Denpasar Bali.

14. dr. Made Agus kusumadjaja, Sp.M(K) sebagai pembimbing akademik yang

telah banyak memberi bimbingan, saran dan dukungan.

15. Dr. Arief Kartasasmita S., Sp.M.(K), M.Kes., MM., Ph.D, sebagai konsultan

yang telah memberikan saran dan masukan saat pembuatan usulan proposal.

16. Seluruh Konsulen Ilmu Kesehatan Mata serta dosen Pascasarjana Program

Studi Ilmu Biomedik Combined Degree atas segala bimbingannya.

17. Seluruh teman sejawat residen di Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana atas bantuan dan kerjasamanya selama ini

18. Seluruh paramedik di Poli Mata RSUP Sanglah dan RS Indera Denpasar atas

bantuan dan kerjasamanya dalam pengumpulan sampel penelitian.

Rasa syukur dan sujud kepada Ayahanda, Ibunda, Suami dan Keluarga

tercinta yang telah memberikan doa, cinta, motivasi dan semangat kepada penulis,

sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan dan penelitian ini.

Semoga tesis ini memberikan manfaat dan sumbangan yang berguna bagi

perkembangan pelayanan kesehatan mata serta bagi pendidikan IImu Kesehatan

Mata. Terakhir, semoga Allah SWT – Tuhan Yang Maha Esa, selalu

melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua.

Denpasar, Juni 2014

Penulis

Page 10: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

ABSTRAK

INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

TEKNIK FAKOEMULSIFIKASI LEBIH RENDAH SECARA KLINIS

DARIPADA TEKNIK MANUAL SMALL INCISION CATARACT SURGERY

Katarak merupakan penyebab utama kebutaan dan gangguan penglihatan di seluruh dunia, oleh karena itu bedah katarak menjadi tindakan bedah yang paling banyak dilakukan oleh dokter spesialis mata. Tindakan bedah katarak bertujuan untuk menghasilkan optimalisasi fungsi penglihatan. Cystoid macular edema (CME) merupakan salah satu komplikasi pasca bedah katarak tersering yang muncul terlambat dan menyebabkan terbatasnya perbaikan tajam penglihatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan insiden CME menggunakan optical coherence tomography (OCT) pada pasien pasca bedah katarak teknik fakoemulsifikasi dan pasca bedah katarak teknik manual small incision cataract surgery (MSICS). Penelitian ini merupakan penelitian randomized open label clinical trial yang dilaksanakan di RSUP Sanglah dan RS Indera Denpasar Bali, mulai bulan Januari sampai Juni 2014. Jumlah sampel yang memenuhi kriteria sebanyak enam puluh dua pasien (62 mata) dilakukan randomisasi untuk ditentukan jenis pembedahan katarak, 31 pasien katarak yang dilakukan fakoemulsifikasi dan 31 pasien katarak yang dilakukan MSICS. Pasien dilakukan pemeriksaan CME dengan menggunakan OCT pada minggu ke-empat pasca bedah katarak. Perbedaan insiden CME dianalisis dengan uji Fisher Exact. Insiden CME pada kelompok pasien pasca bedah katarak teknik fakoemulsifikasi didapatkan sebesar 3,2% sedangkan pada kelompok teknik MSICS adalah 19,4%. Insiden CME pasca fakoemulsifikasi enam kali lebih rendah daripada pasca MSICS, namun perbedaan ini tidak bermakna secara statistik (p=0,104). Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan insiden CME pada pasien pasca bedah katarak teknik fakoemulsifikasi lebih rendah secara klinis daripada teknik MSICS.

Kata kunci : Fakoemulsifikasi, manual small incision cataract surgery (MSICS), insiden cystoid macular edema (CME).

ABSTRACT

Page 11: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

THE INCIDENCE OF CYSTOID MACULAR EDEMA AFTER

CATARACT SURGERY IN PHACOEMULSIFICATION TECHNIQUE

WAS CLINICALLY LOWER THAN IN MANUAL SMALL INCISION

CATARACT SURGERY TECHNIQUE

Cataract is the leading cause of blindness and visual impairment throughout the world, therefore the surgical cataract surgery is becoming the most widely performed by an ophthalmologist. Cataract surgery aims to produce visual function optimization. Cystoid macular edema (CME) is one of the most common postoperative complication of cataract surgery that occurs late and limits the visual acuity improvement. The purpose of this study was to determine differences in the incidence of CME using optical coherence tomography (OCT) in patients after phacoemulsification and after manual small incision cataract surgery (MSICS). This was a randomized open label clinical trial study taking place in Sanglah Public General Hospital and Indera Hospital Denpasar, Bali starting from January until June 2014. Samples that met the inclusion and exclusion criteria were randomized to meet after technique of cataract surgery. There were 62 patients (62 eyes) collected than randomized and divided into 31 cataract patients underwent phacoemulsification and 31 cataract patients underwent MSICS. Patients were examined for CME detection used OCT in the fourth week after cataract surgery. Analysis was conducted with Fisher’s Exact test. The incidence of CME in the group of post surgical cataract patients with phacoemulsification technique was 3,2% while in the group of MSICS technique was 19,4%. The incidence of CME post phacoemulsification was six time lower than post MSICS. However, this difference was not statistically significant (p=0,104). The result of this study concludes that the incidence of CME in post cataract surgery patients with phacoemulsification technique is clinically lower than MSICS technique. Keywords : Phacoemulsification, manual small incision cataract surgery (MSICS), the incidence of cystoid macular edema (CME).

Page 12: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ...................................................................................

PRASYARAT GELAR ..............................................................................

i

ii

LEMBAR PENGESAHAN.........................................................................

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ...........................................................

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ...........................................

UCAPAN TERIMA KASIH .......................................................................

ABSTRAK ..................................................................................................

ABSTRACT .................................................................................................

DAFTAR ISI………………………………………………………………

iii

iv

v

vi

ix

x

xi

DAFTAR TABEL ....................................................................................... xiv

DAFTAR GAMBAR……………………………………………………... xv

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG…………………………….. xvi

DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xvii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang……………………………………………………. 1

1.2 Rumusan Masalah………………………………………………… 10

1.3 Tujuan Penelitian…………………………………………………. 10

1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………...… 11

1.4.1 Manfaat teoritis ..………………………………………...… 11

1.4.2 Manfaat praktis…………………………………….....…….. 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Makula.…………...........……………….... 12

2.1.1 Anatomi dan Histologi Makula............................................... 12

2.1.2 Fisiologi Makula .................................................................... 15

Page 13: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

2.2 Teknik Bedah Katarak .................................................................... 17

2.2.1 Fakoemulsifikasi .........................................……….....…….. 17

2.2.2 Manual Small Incision Cataract Surgery ..........…......…….. 19

2.3 Cystoid Macular Edema.................................................................. 19

2.3.1 Definisi …….....……………………..……………………... 16

2.3.2 Insiden dan Epidemiologi ...................................................... 21

2.3.3 Etiopatogenesis ...................................................................... 22

2.3.4 Diagnosis ................................................................................ 24

BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir .………………………………………………. 27

3.2 Konsep Penelitian…………...........………………………………. 28

3.3 Hipotesis Penelitian ………….………………………………...... 28

BAB IV METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian……………………………………………... 29

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian……………………………………... 29

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian……........………………………... 29

4.3.1 Populasi penelitian........…………………………………….. 29

4.3.2 Sampel penelitian ……………………………………......... 30

4.3.2.1 Kriteria inklusi dan eksklusi penelitian ...................... 30

4.3.2.2 Besar sampel...…………………………………....…. 31

4.3.2.3 Cara pemilihan sampel…..................………………... 32

4.4 Variabel Penelitian………………………………………………... 32

4.4.1 Klasifikasi dan identifikasi variabel……………………........ 32

4.4.2 Definisi operasional variabel……………………………….. 33

4.5 Instrumen Penelitian......................................................................... 34

4.6 Prosedur Penelitian........................................................................... 34

4.6.1 Tahap persiapan...................................................................... 34

4.6.2 Pelaksanaan penelitian............................................................ 35

4.7 Alur Penelitian ................................................................................ 39

4.8 Analisis Data .......………………………………………….……... 41

Page 14: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

BAB V HASIL PENELITIAN

5.1 Karakteristik Subjek Penelitian….....……………………………... 42

5.2 Perbedaan fakoemulsifikasi dibandingkan dengan MSICS

terhadap resiko CME .......................................................................

43

5.3 Perbandingan resiko komplikasi antara fakoemulsifikasi dengan

MSICS .............................................................................................

5.4 Perbandingan jenis komplikasi antara fakoemulsifikasi dengan

MSICS .............................................................................................

BAB VI PEMBAHASAN

44

45

6.1 Subjek Penelitian….....………......................……………………... 46

6.2 Insiden CME pasca fakoemulsifikasi ...........................…………... 51

6.3 Insiden CME pasca MSICS ............................................................

6.4 Perbedaan insiden CME pasca fakoemulsifikasi dan pasca MSICS

6.5 Perbandingan resiko komplikasi intraoperatif antara

fakoemulsifikasi dengan MSICS.....................................................

52

53

54

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan ….....…………………………….................................... 58

7.2 Saran….....……………………........................................………... 58

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................

LAMPIRAN-LAMPIRAN ..........................................................................

59

67

Page 15: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

DAFTAR TABEL

Halaman

5.1 Karakteristik Subjek Penelitian ............................................................. 42

5.2

5.3

5.4

Perbedaan fakoemulsifikasi dibandingkan MSICS terhadap resiko

CME .............................................................……….............................

Perbandingan resiko komplikasi antara fakoemulsifikasi dengan

MSICS ...................................................................................................

Perbandingan jenis komplikasi antara fakoemulsifikasi dengan

MSICS ...................................................................................................

43

44

45

Page 16: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1 Anatomi Makula ................................................................................... 10

2.2 Skema histologis makula ..............................………............................. 11

2.3 Berbagai ukuran insisi luka ................................................................... 17

2.4 Cystoid macular edema ......................................................................... 26

3.1 Bagan kerangka konsep penelitian ....................................................... 28

4.1 Rancangan Penelitian ............................................................................ 29

4.3 Skema Alur Penelitian ........................................................................... 40

Page 17: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

BMD = Bilik Mata Depan

BRVO = Branch Retinal Vein Occlusion

CCC = Continuous Curvilinear Capsulorhexis

CME = Cystoid Macular Edema

CMT = Central Macular Thickness

CRVO = Central Retinal Vein Occlusion

CSR = Cataract Surgical Rate

DM = Diabetes Mellitus

ECCE = Extra Capsular Cataract Extraction

ELM = External Limiting Membrane

FFA = Fundus Fluorescein Angiography

FAZ = Foveal Avascular Zone

ICCE = Intra Capsular Cataract Extraction

ILM = Internal Limiting Membrane

LIO = Lensa Intra Okular

MSICS = Manual Small Incision Cataract Surgery

NCT = Non-Contact Tonometry

NFL = Nerve Fiber Layer

OCT = Optical Coherence Tomography

RPE = Retinal Pigment Epithelium

SDR = Sawar Darah Retina

WHO = World Health Organization

Page 18: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Penjelasan Penelitian ............................................... 67

Lampiran 2 Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan ................. 69

Lampiran 3 Kuisioner Penelitian................................................. 70

LLampiran 4 Randomisasi............................................................. 73

Lampiran 5 Tabel Induk Data Penelitian ....................................

Lampiran 6 Hasil Pemeriksaan CME ........................................

75

77

LLampiran 7 Out Put SPSS........................................................... 79

LLampiran 8 Kelaikan Etik ..........................................................

Lampiran 9 Surat Ijin Penelitian .................................................

L

91

92

Page 19: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Katarak merupakan penyebab utama kebutaan dan gangguan penglihatan

di seluruh dunia, oleh karena itu bedah katarak menjadi tindakan bedah yang

paling banyak dilakukan oleh dokter spesialis mata. Sejalan perkembangan ilmu

kedokteran dan teknologi, maka terjadi pula perubahan yang evolutif maupun

revolusioner dalam pembedahan katarak. Hal itu sejalan dengan perubahan

paradigma oftalmologi dari rehabilitasi kebutaan menjadi optimalisasi fungsi

penglihatan. Optimalisasi fungsi penglihatan akan meningkatkan kualitas

kehidupan karena mata merupakan jalur utama informasi sehari-hari (Purba dkk.,

2010; Ilyas, 2004).

Katarak merupakan suatu kelainan mata berupa kekeruhan pada lensa,

disebabkan oleh pemecahan protein oleh proses oksidasi dan foto-oksidasi (Sihota

dan Tandan, 2007). Klasifikasi katarak berdasarkan onset usia terjadinya dibagi

menjadi katarak kongenital, katarak juvenil, dan katarak senilis (Ilyas, 2004).

Katarak senilis merupakan jenis katarak yang paling banyak ditemukan. Pasien

katarak senilis diperkirakan mencapai 90% dari seluruh kasus katarak (American

Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Katarak senilis adalah kekeruhan

lensa yang terjadi karena proses degenerasi dan biasanya mulai timbul pada usia

diatas 40 tahun (Ilyas, 2004; Sihota dan Tandan, 2007). Berdasarkan maturitasnya

katarak senilis dibagi menjadi 4 stadium yaitu stadium insipien, stadium imatur,

stadium matur dan stadium hipermatur (Ilyas, 2004).

Page 20: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

Angka kebutaan di Indonesia adalah yang tertinggi yaitu 1,5% dari jumlah

penduduk dibandingkan dengan angka kebutaan negara-negara di Regional Asia

Tenggara (Bangladesh 1%, India 0,7%, Thailand 0,3%). Penyebab utamanya

adalah katarak yakni sebanyak 2 juta orang dan setiap tahun bertambah sekira 240

ribu penderita katarak baru. Menurut data survei kesehatan rumah tangga

kesehatan nasional (SKTR-SUSKERNAS), prevalensi katarak di Indonesia

sebesar 4,99%, prevalensi katarak di Jawa dan Bali sebesar 5,48% lebih tinggi

dibandingkan dengan daerah lainnya (Departemen Kesehatan RI, 2009;

Kementerian Kesehatan RI, 2005).

Tindakan bedah katarak bertujuan untuk menghasilkan optimalisasi fungsi

penglihatan bercirikan pemulihan yang cepat, terukur dengan efek samping yang

minimal, stabilitas jangka panjang, serta memberikan kepuasan pada penderita

(Soekardi dan Hutauruk, 2004). Tidak semua bedah katarak mencapai tujuan,

banyak faktor yang mempengaruhinya termasuk komplikasi pembedahan.

Komplikasi operasi katarak sangat bervariasi tergantung waktu serta ruang

lingkupnya (Henderson dkk., 2007; Purba dkk., 2010). Komplikasi dapat terjadi

pada periode intraoperatif diantaranya iris prolaps, trauma iris, hifema, robek

kapsul posterior dan vitreous loss. Komplikasi pasca operasi diantaranya edema

kornea dan endoftalmitis, bullous keratopathy, malposisi/ dislokasi lensa intra

okular (LIO), cystoid macular edema (CME), ablasio retina, uveitis, peningkatan

tekanan intra okular dan posterior capsular opacification (American Academy of

Ophthalmology Staff, 2011-2012c).

Cystoid macular edema (CME) merupakan salah satu komplikasi pasca

operasi katarak tersering yang muncul terlambat dan menyebabkan terbatasnya

Page 21: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

perbaikan tajam penglihatan. CME juga merupakan penyebab paling umum

kehilangan penglihatan yang tidak terduga setelah pembedahan katarak yang

lancar (Akcay dkk., 2012). CME merupakan komplikasi yang sering setelah bedah

katarak dengan atau tanpa komplikasi. CME adalah pembentukan ruang kista

yang berisi cairan antara lapisan plexiform luar dan lapisan inner nuclear retina

yang disebabkan karena terganggunya sawar darah retina (SDR) pada makula

(American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b; Sahin dkk., 2013).

Angka insiden CME meningkat dengan adanya faktor resiko seperti retinopati

diabetik dan uveitis (Belair dkk., 2009). CME didiagnosis secara klinis

berdasarkan adanya penurunan tajam penglihatan (tidak optimal), ditemukannya

gambaran khas makula pada pemeriksaan funduskopi, ditemukan pola petaloid

pada Fundus Fluorescence Angiography (FFA) atau penebalan makula disertai

terdapatnya ruang-ruang kista pada Optical Coherence Tomography (Benitah dan

Arroyo 2010; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b).

Patogenesis pasti terjadinya CME pasca operasi katarak masih belum

diketahui, namun mekanisme yang melibatkannya adalah suatu inflamasi. Secara

umum pembedahan intra okular memicu akumulasi makrofag dan neutrofil yang

diaktifkan oleh sirkulasi agen inflamasi termasuk metabolit siklooksigenase dan

lipooksigenase, agen proteolitik dan lainnya, memicu munculnya tanda-tanda

peradangan. Sitokin seperti interferon-ɣ, interleukin-2 dan tumor necrosis factor-α

juga ikut berpartisipasi pada proses induksi siklooksigenase. Prosedur katarak itu

sendiri menginduksi ekspresi gen pro-inflamasi dan sekresi protein (Miyake dkk.,

2007; Sahin dkk., dkk, 2013). Cystoid macular edema biasanya muncul pada 3-12

minggu pasca operasi dengan puncak insiden 4-10 minggu, namun pada beberapa

Page 22: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

kasus dapat muncul terlambat beberapa bulan bahkan beberapa tahun setelah

pembedahan (Lobo, 2011; Mentes dkk., 2003).

Penilaian insiden CME sangat bervariasi, dipengaruhi berbagai faktor

termasuk karakteristik populasi penelitian, pemberian antiinflamasi profilaksis,

kriteria diagnosis CME, dan waktu pemeriksaan pasca operasi. Insiden CME

klinis dilaporkan terjadi sekitar 1-12% tergantung beberapa faktor seperti prosedur

pembedahan, komplikasi intra operatif, dan manajemen pasca operasi. Insiden

CME klinis di Amerika serikat didapatkan 0,1% sampai 4% pasien pasca

fakoemulsifikasi (Ray & D’amico, 2002; Norregaard dkk., 1999). CME dapat

terjadi setelah pembedahan yang lancar maupun pasca komplikasi intra operatif,

tidak bergantung jenis kelamin maupun ras tertentu. Laporan terdahulu CME

subklinis menggunakan FFA pasca Intra Capsular Cataract Extraction (ICCE)

setinggi 50-70%, sedangkan pasca Extra Capsular Cataract Extraction (ECCE)

sekitar 16-40% (Ray & D’Amico,2002).

Insiden CME klinis pada Fakoemulsifikasi tanpa komplikasi intra operatif

dengan kapsul posterior yang utuh tingkat kejadian sekitar 0-2% (Mentes dkk.,

2003). Teknik pembedahan fakoemulsifikasi menurunkan insiden CME menjadi

1% (Norregaard dkk, 1999). Loewenstein & Zur (2010) melaporkan angka

kejadian CME klinis pada pembedahan katarak teknik fakoemulsifikasi sekitar

0,1-2,35%. Ursell dkk. (1999) melaporkan insiden CME subklinis dengan FFA

tanpa gejala terjadi sekitar 10%-20% pasca fakoemulsifikasi. Gulkilik dkk. (2006)

melaporkan bahwa insiden CME subklinis dengan pemeriksaan OCT pasca

fakoemulsifikasi terjadi sebesar 25,5%.

Page 23: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

Manual Small Incision Cataract Surgery (MSICS) merupakan teknik

pembedahan katarak alternatif dari fakoemulsifikasi dengan biaya lebih murah,

efektif, dan efisien (Natchiar, 2011). MSICS termasuk dalam jenis ECCE dengan

insisi yang relatif kecil, memberikan hasil yang sebanding dengan

fakoemulsifikasi dalam hal rehabilitasi visual. Meskipun teknik MSICS relatif

baru, namun MSICS mendapatkan popularitas di banyak negara berkembang

berdasarkan kemampuannya mengelola katarak yang sulit dengan aman (Gurung

dan Hennig, 2008).

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk membandingkan tingkat

kesuksesan fakoemulsifikasi dan MSICS. Penelitian prospektif, uji klinis acak di

Nepal menyimpulkan bahwa kedua teknik mencapai hasil pembedahan yang

sangat baik dengan angka komplikasi yang rendah (Dhanapal dkk., 2010).

Insiden CME pasca MSICS diperkirakan lebih besar karena pertimbangan teknik

bedah katarak pada MSICS lebih banyak manipulasi intra okular jika

dibandingkan dengan fakoemulsifikasi. OCT menawarkan teknik pencitraan non-

invasif yang menyediakan gambar penampang makula dengan resolusi tinggi.

CME pada OCT muncul sebagai ruang-ruang hiporefleksi (kista) pada makula

dengan penebalan makula sentral dan hilangnya depresi fovea. Keefektifan OCT

sama dengan FFA dalam mendeteksi edema makula, bahkan lebih dari itu OCT

menghasilkan pengukuran yang akurat sehingga dapat dipakai untuk pemeriksaan

serial pada follow up (Akcay dkk., 2012; Blanco dkk., 2006). Antcliff dkk. (2000)

melaporkan perbandingan sensitifitas dan spesifisitas OCT dengan FFA adalah

96% dan 100%. Perubahan ketebalan makula yang sama atau lebih dari 40 µm

dijelaskan sebagai indeks edema makula OCT yang signifikan (Wittpenn dkk,

Page 24: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

2008). Saat ini belum ada konsensus apakah OCT harus dilakukan pada semua

pasien pasca operasi katarak untuk mendeteksi CME.

Kebanyakan CME pasca operasi katarak sembuh spontan dalam 6 bulan,

namun pada beberapa kasus cenderung menetap (Kwon dkk., 2011). Mata dengan

CME 90% akan sembuh dalam kurun waktu 2 tahun (Benitah & Arroyo, 2010).

CME pasca operasi yang berlebihan atau terus menerus dapat menyebabkan sawar

darah retina (SDR) terganggu sehingga menjadi berkelanjutan sehingga

meningkatkan resiko terjadinya peradangan kronis sehingga pasien tidak

mendapatkan penglihatan yang optimal (Reddy & Kim, 2011; Lu dkk., 2012).

Penelitian Ghosh dkk. (2010) di India menyatakan tidak ada perbedaan

central macular thickness yang bermakna secara klinis antara pasien pasca bedah

katarak teknik fakoemulsifikasi dan MSICS yang lancar. Penelitian insiden CME

pasca bedah katarak dengan teknik MSICS belum banyak dilaporkan sehingga

diperlukan penelitian lebih lanjut untuk dibandingkan dengan fakoemulsifikasi

dan mencari faktor resiko yang berhubungan dengan berkembangnya CME.

Data perbandingan insiden CME pasca bedah katarak teknik

fakoemulsifikasi dengan MSICS saat ini belum dilaporkan baik CME klinis

maupun subklinis. Data ini diperlukan agar nantinya memungkinkan untuk bisa

dilakukan pencegahan ataupun pengobatan CME sehingga pasien mendapatkan

penglihatan yang optimal setelah operasi katarak. Berdasarkan hal-hal tersebut di

atas, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan insiden CME

menggunakan OCT pada pasien pasca menjalani bedah katarak dengan teknik

fakoemulsifikasi dan MSICS.

1.2 Rumusan Masalah

Page 25: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

Apakah insiden CME pada pasien pasca bedah katarak dengan teknik

fakoemulsifikasi lebih rendah dibandingkan pasien pasca pembedahan

katarak dengan teknik MSICS?

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui perbedaan insiden CME menggunakan OCT pada

pasien pasca bedah katarak dengan teknik fakoemulsifikasi dan pasien

pasca bedah katarak dengan teknik MSICS

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

1. Menambah pengetahuan dan pemahaman tentang insiden CME pada

pasien pasca bedah katarak dengan teknik fakoemulsifikasi dan pasien

pasca bedah katarak dengan teknik MSICS

2. Menambah pengetahuan dan pemahaman tentang etiopatogenesis

CME dalam hubungannya dengan teknik bedah katarak

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk menilai dan

memprediksi terjadinya CME pasca pembedahan katarak dengan

teknik fakoemulsifikasi dan MSICS.

2. Dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam menghindari dan

menangani terjadinya CME.

3. Sebagai data dasar untuk penelitian lebih lanjut.

Page 26: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Makula

2.1.1 Anatomi dan Histologi Makula

Makula merupakan bagian dari retina posterior. Batas makula secara

histologis merupakan wilayah dengan 2 atau lebih lapisan sel ganglion dengan

diameter 5-6 mm dan terletak antara arkade vaskular temporal. Makula

mengandung karotenoid yang terdiri dari lutein dan zeaxanthin yang menumpuk

di dalam makula sentral dan menyebabkan warna kuning. Karotenoid memiliki

kemampuan antioksidan yang berfungsi untuk menyaring sinar gelombang biru

dan berguna mencegah terjadinya kerusakan (American Academy of

Ophthalmology Staff, 2011-2012a).

Fovea sentralis adalah pusat makula dengan diameter 1,5 mm. Fungsi

khusus fovea sentralis adalah untuk ketajaman penglihatan dan penglihatan

warna. Fovea adalah wilayah tanpa pembuluh darah retina yang dikenal sebagai

foveal avascular zone (FAZ). Pusat geometris FAZ ini sering diambil untuk

menjadi pusat makula dan dijadikan titik fiksasi pada pemeriksaan FFA dan OCT

(American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b).

Fovea memiliki cekungan (depresi) pusat yang dikenal sebagai foveola,

daerah dengan diameter 0,35 mm dimana terdapat sel-sel kerucut yang ramping

dan padat, dengan umbo yang terletak di dalamnya. Sekitar fovea adalah cincin

dengan lebar diameter 0,5 mm disebut parafoveal zone, di daerah ini lapisan sel

ganglion, lapisan inner nuclear, dan lapisan outer plexiform adalah yang paling

Page 27: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

tebal. Sekitar zona ini terdapat cincin dengan lebar sekitar 1,5 mm disebut

perifoveal zone (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b).

Gambar 2.1 Anatomi Makula (Dikutip dari American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b)

Fovea mengandung fotoreseptor kerucut yang tersusun padat melebihi

140.000 sel/mm². Fovea sentralis tidak memiliki fotoreseptor batang, hanya

kerucut dan pendukungnya yaitu sel Muller. Jumlah fotoreseptor kerucut menurun

drastis di perifer, sebaliknya di perifer fotoreseptor batang memiliki kepadatan

yang tinggi yaitu 160.000 sel/mm² (American Academy of Ophthalmology Staff,

2011-2012a). Nerve fiber layer (NFL) merupakan perpanjangan dari lapisan sel

ganglion sepanjang bagian dalam retina untuk bersatu dalam bagian posterior

untuk membentuk nervus optik. Internal limiting membrane (ILM) dibentuk oleh

dasar (kaki) sel Muller, berdampingan dengan bagian posterior dari vitreus.

Perlekatan zonula antara sel-sel fotoreseptor dan sel Muller pada tingkat ini

membentuk external limiting membrane (ELM), sehingga sel Muller melalui

hampir seluruh ketebalan retina (Binder, 2004).

Page 28: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

Gambar 2.2 Skema histologi Makula (Dikutip dari American Academy of

Ophthalmology Staff, 2011-2012a)

Arteri retina sentral (cabang pertama dari arteri oftalmika) memasuki mata

dan terpecah menjadi 4 cabang, masing-masing memasok darah ke empat quadran

retina. Cabang arteri ini ini berlokasi di bagian dalam retina dan terpecah menjadi

cabang-cabang yang lebih kecil. Arteri silioretina (cabang dari arteri siliaris) akan

memasok ke bagian dalam retina antara nervus optik dan pusat makula. Retina

dipasok oleh 2 lapis kapiler, satu pada lapisan sel ganglion superfisial dan NFL,

satu yang lebih dalam pada lapisan inner nuclear. Darah dikumpulkan dari kapiler

dalam vena retina cabang yang pada akhirnya membentuk vena retina sentral.

Sistem pembuluh darah retina diperkirakan memasok sekitar 5% dari oksigen

yang digunakan dalam fundus dan sisanya dipasok oleh koroid (American

Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a; Dick dkk., 2006).

2.1.2 Fisiologi Makula

Molekul peka cahaya pada fotoreseptor kerucut berasal dari vitamin A dan

diikat dengan protein dikenal sebagai opsin, pada sel batang dikenal sebagai

rhodopsin. Sel kerucut memiliki 3 opsin berbeda yang selektif memberi kepekaan

Page 29: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

terhadap sinar merah, hijau dan biru. Molekul-molekul ini terkandung dalam

segmen luar fotoreseptor (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-

2012a). Kebanyakan sel saraf mengalami depolarisasi sementara menghasilkan

potensial aksi “spike”. Fotoreseptor melanjutkan respon bertahap dengan

perubahan polarisasi membran yang sebanding dengan jumlah cahaya yang

merangsang (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a; Binder,

2004).

Fotoreseptor bersinapsis dengan sel-sel bipolar. Fotoreseptor kerucut

memiliki 1-1 sinapsis dengan sel bipolar. Lebih dari 1 sel batang dan kadang-

kadang lebih dari 100 sel batang bersinapsis pada setiap sel bipolar. Sel-sel

bipolar memiliki respon bertahap dengan perubahan polarisasi sama seperti

fotoreseptor. Sel-sel bipolar bersinapsis dengan sel-sel ganglion. Sel amakrine

membantu dalam pemrosesan sinyal dengan merespon perubahan spesifik pada

stimuli retina, seperti perubahan intensitas cahaya yang mendadak. Respon sel-sel

ganglion yang berasal dari sel bipolar dan sel amakrin kemudian dikembangkan

dan dihubungkan dengan nukleus genikulata dorsolateral di otak (American

Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a; Binder, 2004).

Kebutuhan metabolisme retina luar dipenuhi oleh koriokapilaris yang

merupakan sistem kapiler dari arteri koroid cabang dari arteri siliaris. Pembuluh

darah retina termasuk kapilernya mempertahankan sawar darah retina (SDR)

bagian dalam dengan ikatan yang ketat antara sel-sel endotel kapiler ini (American

Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b). Retinal pigmen epithelium (RPE)

adalah lapisan sel kuboid berbentuk heksagonal terletak diantara membran Bruch

dan retina. Lapisan ini terbentang dari tepi diskus optik sampai ora serrata dan

Page 30: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

berlanjut dengan epitel pigmen badan siliar. Bagian apikal RPE terletak

berdekatan dan berhubungan erat dengan lapisan sel fotoreseptor. Sel RPE pada

makula lebih tinggi dan lebih padat dibandingkan di daerah perifer. Permukaan

lateral sel-sel RPE berikatan erat dan bergabung dengan komplek junctional

(zonula occludentes), komplek ini membentuk SDR luar (American Academy of

Ophthalmology Staff, 2011-2012b: Dick dkk., 2006).

Retinal pigmen epithelium (RPE) berfungsi menyerap cahaya,

mempertahankan ruang subretina, fagositosis segmen luar, berpartisipasi dalam

metabolisme asam lemak tak jenuh ganda, membentuk sawar darah retina luar,

menyembuhkan dan membentuk jaringan parut (Binder, 2004). Fungsi sawar RPE

adalah mencegah difusi metabolit antara koroid dan ruang subretina. RPE

memiliki kapasitas tinggi untuk transportasi air, sehingga cairan tidak mudah

menumpuk di ruang subretina dalam keadaan normal. Respon dari trauma,

inflamasi, atau rangsangan lain dapat mengganggu fungsi RPE, sehingga RPE

dapat berproliferasi, migrasi, atrofi atau mengalami metaplasia (American

Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b; Framme dan Wolf, 2012).

2.2. Teknik Bedah Katarak

2.2.1 Fakoemulsifikasi

Popularitas fakoemulsifikasi dapat dilihat dari jumlah operasi katarak

dengan teknik fakoemulsifikasi yang meningkat sangat pesat di berbagai belahan

dunia. Tahun 1985, perbandingan operasi katarak adalah 90% Extra Capsular

Cataract Extraction (ECCE) dan hanya 10% dengan teknik fakoemulsifikasi.

Perbandingan tersebut menjadi terbalik dalam waktu 10 tahun yaitu pada tahun

Page 31: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

1995, dimana operasi katarak dengan fakoemulsifikasi mencapai 85% dan ECCE

hanya 15% sisanya (Purba dkk., 2010) .

Fakoemulsifikasi adalah teknik ekstraksi katarak menggunakan sayatan

kecil sekitar 1,5 mm sampai 3 mm dengan implantasi lensa intra okular lipat

(foldable) sehingga penutupan luka dapat tanpa jahitan. Cara kerja sistem

fakoemulsifikasi adalah menghancurkan lensa melalui ultrasonic probe yang

mempunyai tip needle yang mampu bergetar dengan frekuensi yang sangat tinggi

yaitu setara dengan frekuensi gelombang ultrasound (American Academy of

Ophthalmology Staff, 2011-2012c). Massa lensa yang sudah dihancurkan akan

diaspirasi melalui rongga pada tip fakoemulsifikasi untuk kemudian dikeluarkan

dari dalam mata melalui selang aspirasi pada mesin fakoemulsifikasi (Soekardi

dan Hutauruk, 2004; Khurana, 2007). Teknologi mesin fakoemulsifikasi saat ini

sudah memungkinkan mengeluarkan lensa dengan teknik fako bimanual, sehingga

insisi kornea hanya sebesar 1,5 mm saja (Purba dkk., 2010).

Tujuan dari teknik operasi ini adalah agar penderita katarak dapat

memperoleh tajam penglihatan terbaik tanpa koreksi dengan cara membuat

sayatan sekecil mungkin untuk mengurangi induksi astigmatisme pasca operasi

(Soekardi dkk, 2004). Prosedur ini efisien, terutama jika operasi yang lancar

umumnya dikaitkan dengan hasil penglihatan yang baik. Insiden CME pada

teknik fakoemulsifikasi yang mengalami komplikasi intra operatif lebih rendah

karena konstruksi insisi luka yang kecil dan stabilitas yang lebih besar

dibandingkan dengan teknik bedah katarak lain (Nishino dkk., 2008). Kelemahan

fakoemulsifikasi diantaranya mesin yang mahal, learning curve lebih lama, dan

biaya pembedahan yang tinggi (Khurana, 2007).

Page 32: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

Pembedahan katarak dengan teknik fakoemulsifikasi dengan implantasi

lensa intra okular sudah banyak dikerjakan secara luas dan merupakan

pembedahan yang efektif. Meskipun komplikasi operasi dapat dikurangi dengan

kemajuan teknik pembedahan ini, namun tajam penglihatan dapat dipengaruhi

oleh keadaan tertentu pasca operasi seperti munculnya CME (Noble dan

Simmons, 2001). Sahin dkk pada tahun 2013 melaporkan penelitiannya bahwa

CME subklinis menggunakan OCT terjadi sebanyak 7.5% dari jumlah pasien

pasca fakoemulsifikasi. Ching dkk. 2006 melaporkan insiden CME klinis terjadi

3,05% dari 131 mata pasca fakoemulsifikasi. Vukicevic dkk. 2012 melaporkan

insiden CME subklinis menggunakan OCT pada minggu ke-empat pasca bedah

katarak teknik fakoemulsifikasi tanpa komplikasi sebanyak 5%.

2.2.2 Manual Small Incision Cataract Surgery

Manual Small incision cataract surgery (MSICS) merupakan teknik

alternatif dari fakoemulsifikasi. Teknik ini memberikan keuntungan dalam

pengaturan, medis, sosial ekonomi, biaya dan tidak bergantung pada mesin.

Aspek-aspek ini yang memungkinkan teknik ini dilakukan di beberapa negara

berkembang (Dhanapal dkk., 2010). Extra Capsular Cataract Extraction (ECCE)

memerlukan insisi sklera yang lebar (10-11 mm) dan berkaitan dengan komplikasi

intraoperatif yang lebih serius, memerlukan jahitan, waktu operasi yang lama dan

pemulihan tajam penglihatan yang lambat pascaoperasi (Natchiar, 2000). MSICS

merupakan bagian dari teknik ECCE, namun MSICS memiliki beberapa

keuntungan dibandingkan ECCE konvensional diantaranya stabilitas luka dan

stabilitas refraksi yang lebih baik karena insisi luka yang kecil 5-6 mm,

Page 33: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

kenyamanan pasien karena penyembuhan visual yang lebih cepat, kesempatan

terjadinya kolaps bilik mata depan intra operatif yang minimal serta komplikasi

intra operatif lainnya dan minimalnya kunjungan pasca operasi (Dhanapal dkk.,

2010; Natchiar 2000).

Manual Small incision cataract surgery (MSICS) dapat digunakan pada

berbagai kondisi katarak yang sangat luas diantaranya katarak senilis, katarak

juvenil, katarak traumatika dan katarak komplikata (Gurung. dan Hennig, 2008).

MSICS tidak memerlukan investasi alat yang mahal, dan transfer keterampilan

terhadap operator pemula juga dapat dilakukan dengan baik. Hal ini menjadi

pertimbangan penggunaan teknik MSICS sebagai teknik yang aman dan efektif

untuk bedah katarak terutama di negara berkembang (Dhanapal dkk., 2010;

Natchiar, 2000).

Gambar 2.3 Berbagai ukuran insisi luka. A = ECCE, B = MSICS,

C = Fakoemulsifikasi (Dikutip dari Natchiar, 2000)

2.3. Cystoid Macular Edema

2.3.1 Definisi Cystoid Macular Edema

Cystoid macular edema (CME) adalah pembentukan ruang kista yang

berisi cairan antara lapisan outer plexiform dan lapisan inner nuclear retina yang

dihasilkan dari terganggunya sawar darah retina pada makula. Efek pada fungsi

A B C

Page 34: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

penglihatan tergantung pada derajat keparahannya. CME dapat menyebabkan

penglihatan kabur atau terganggu (American Academy of Ophthalmology Staff,

2011-2012b). CME setelah operasi katarak awalnya dilaporkan oleh Irvine pada

tahun 1953 dan ditunjukkan dengan pemeriksaan fundus fluorescein angiography

(FFA) oleh Gass dan Norton pada tahun 1966, sehingga dikenal sebagai sindroma

Irvine-Gass (Nagpal dkk., 2001; Noble dan Simmons, 2001).

Diagnosis CME klinis berdasarkan adanya penurunan tajam penglihatan

kurang dari 6/12 disertai distorsi penglihatan dengan adanya gambaran khas pola

petaloid pada pemeriksaan biomokroskop dan funduskopi yang dikonfirmasi

dengan pemeriksaan FFA atau OCT (American Academy of Ophthalmology Staff,

2011-2012c; Rosetti dan Autelitano, 2000). CME subklinis didiagnosis pada

pasien yang dinyatakan asimtomatik tetapi terdeteksi adanya kebocoran kapiler

perifoveal pada pemeriksaan FFA atau ditemukannya penebalan makula dan

ruang-ruang kistik pada pemeriksaan OCT (Benitah dan Arroyo, 2010; Binder

2004).

Cystoid macular edema (CME) pasca pembedahan katarak merupakan

komplikasi lambat tersering. CME biasanya terjadi 3-12 minggu pasca operasi

dengan puncak insiden 4-10 minggu, namun pada beberapa kasus CME onsetnya

terlambat beberapa bulan bahkan tahunan setelah operasi katarak (Brynskov dkk,

2013; Akcay dkk., 2012). CME pasca operasi katarak dikatakan akut jika terjadi

dalam 4 bulan pasca operasi. Cystoid macular edema onset lambat jika terjadi

lebih dari 4 bulan pasca operasi katarak. Cystoid macular edema kronis jika

bertahan lebih dari 6 bulan (Noble dan Simmons, 2001).

Page 35: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

Diagnosis banding CME pascca bedah katarak jika dilihat dari

pemeriksaan OCT diantaranya adalah diabetic macular edema, central serous

chorioretinopathy, age macular degeneration tipe neovaskular, epiretinal

membrane, traksi vitreomacular dan macular hole derajat 1A sampai derajat 2.

2.3.2. Insiden dan Epidemiologi Cystoid Macular Edema

Menentukan insiden keseluruhan CME pasca bedah katarak tidak mudah

karena banyak faktor yang berpengaruh seperti variasi populasi pasien yang

dievaluasi (dengan berbagai faktor risiko), penggunaan metode yang berbeda

untuk mengevaluasi penebalan makula dan teknik bedah katarak yang digunakan

(Belair dkk., 2009). Powe melaporkan penelitiannya pada tahun 1994

perbandingan CME pasca pembedahan katarak dengan teknik ECCE dan

fakoemulsifikasi pada pasien tanpa penyakit sistemik tidak ditemukan perbedaan

yang signifikan pada kedua prosedur pembedahan tersebut, meskipun CME

subklinis dengan FFA sedikit lebih tinggi pada ECCE dan angka kejadian CME

klinis hampir sama yaitu 0-6% pada fakoemulsifikasi dibandingkan 0-7,6% pada

ECCE.

Saat ini insiden CME klinis pasca bedah katarak dengan teknik

fakoemulsifikasi tanpa komplikasi intra operatif sangat rendah yaitu 0,2-2%, dan

insiden CME subklinis menggunakan FFA sepuluh kali lipat lebih tinggi

dibandingkan dengan CME klinis (American Academy of Ophthalmology Staff,

2011-2012b). Angka-angka ini meningkat pada teknik yang menggunakan insisi

lebih besar, meningkat pula jika terjadi kesulitan/komplikasi intra operatif seperti

trauma iris, iris prolaps, hifema, adanya robekan kapsul posterior dengan vitreous

Page 36: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

loss, atau pada pasien dengan risiko uveitis atau diabetes (Benitah dan Arroyo,

2010). Diabetes dikaitkan dengan peningkatan insiden CME pasca operasi

katarak, insiden CME menggunakan OCT dilaporkan 22% pada mata dengan

diabetes setelah pembedahan katarak (Kwon dkk., 2011).

Cystoid macular edema subklinis berdasarkan pemeriksaan FFA

dilaporkan terjadi sekitar 3% sampai 70% dari pasien setelah operasi katarak, dan

yang mengalami CME klinis sekitar 0,1% sampai 12%. Mentes dkk. (2003)

melaporkan insiden CME klinis pasca bedah katarak dengan teknik

fakoemulsifikasi yang lancar dengan kapsul posterior yang utuh sekitar 0-2%.

Loewenstein & Zur (2010) melaporkan insiden CME klinis 0,1-2,35% pasca

fakoemulsifikasi.

Percival (1981) melaporkan 13% insiden CME pasca ECCE dengan kapsul

posterior yang utuh, insiden lebih tinggi pada robekan kapsul posterior yaitu 27%

dan vitreus pada bilik mata depan sebesar 33%. Rosetti dan Autelitano (2000)

melaporkan bahwa vitreous loss berkorelasi dengan peningkatan CME sebesar 10-

20%, penggunaan LIO iris supported juga berhubungan dengan peningkatan

insiden. Gulkilik dkk. (2006) melaporkan insiden CME setelah trauma iris sebesar

70% dibandingkan tanpa trauma iris sebesar 20,5%. Subramian dkk. (2009)

melaporkan insiden CME subklinis menggunakan FFA sebesar 9,87% dan insiden

CME klinis sebesar 2,46%.

2.2.3 Etiopatogenesis Cystoid Macular Edema

Etiologi dan patogenesis spesifik CME pasca bedah katarak tidak

diketahui secara pasti. Banyak faktor yang dianggap memberikan kontribusi untuk

Page 37: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

terjadinya CME seperti jenis operasi katarak, toksisitas cahaya, traksi

vitreomacular, mediator inflamasi, penggunaan obat adrenergik, usia, vitreous

loss, integritas kapsul posterior, hipertensi, diabetes mellitus dan pengalaman

operator (Henderson dkk., 2007). Perubahan prosedur dari teknik ICCE dengan

insisi besar sampai insisi kecil teknik fakoemulsifikasi dihubungkan dengan

penurunan yang jelas dalam terjadinya komplikasi CME. Hal ini kemungkinan

besar karena berkurangnya kerusakan sawar darah aquous pada fakoemulsifikasi

dengan continuous curvilinear capsulorhexis (CCC) yang utuh dibandingkan

setelah ICCE maupun ECCE konvensional (Purba dkk., 2010).

Toksisitas cahaya mikroskop dianggap berkontribusi berkembangnya

CME, namun sebuah penelitian prospektif acak tidak mendukung temuan ini, dan

menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan secara statistik pada insiden CME

menggunakan FFA (Lobo, 2011). Komplikasi lain yang terkait dengan tingkat

peningkatan CME adalah terdapatnya sisa fragmen lensa, implantasi lensa intra

okular (LIO) pada sulkus siliaris atau pada bilik mata depan, dan pada mata afakia

(Lobo, 2011; Purba dkk., 2010). LIO dengan filter ultra violet dapat mengurangi

insiden CME (Nagpal dkk., 2001). Usia pasien merupakan faktor lain yang perlu

dipertimbangkan. Beberapa penulis telah menunjukkan korelasi positif dengan

usia, mereka menunjukkan peningkatan insiden CME pada pasien yang lebih tua

(Rosetti & Autolitano, 2000).

Perubahan yang terjadi pada badan vitreous selama operasi merupakan

mekanisme patogenik lain yang telah dinyatakan sebagai penyebab terbentuknya

CME (Framme dan Wolf, 2012). Vitreous loss meningkatkan prevalensi CME

sebesar 10-20% (Rosetti & Autolitano, 2000). Vitreous yang terjebak pada insisi

Page 38: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

luka akan memperpanjang CME dan dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk

(Framme dan Wolf, 2012). Robeknya kapsul posterior serta capsulotomy sekunder

(termasuk laser YAG capsulotomy) berhubungan dengan angka CME yang lebih

tinggi (Lobo, 2011; Purba dkk., 2010). Akcay dkk. (2012) melaporkan insiden

CME sebesar 10% pasca pembedahan fakoemulsifikasi dengan komplikasi

robekan kapsul posterior.

Gulkilik dkk. (2006) menemukan CME menggunakan FFA sebesar 70%

pada kasus pasca trauma iris dan 20,5% pada kasus tanpa trauma iris. Iris

incarceration merupakan faktor risiko tambahan terjadinya CME karena dapat

memiliki kaitan yang erat dengan buruknya penglihatan dibandingkan dengan

komplikasi intraoperatif lainnya (Noble dan Simmons, 2001). Manipulasi bedah

yang terjadi selama operasi katarak selalu menyebabkan trauma pada iris. Hal ini

diketahui bahwa iris merupakan jaringan aktif secara metabolik yang melepaskan

mediator inflamasi bila terjadi trauma (Nishino dkk., 2008).

Diabetes mellitus meningkatkan resiko terjadinya CME, terutama pada

pasien dengan retinopati diabetika yang sudah ada sebelumnya. Meskipun

frekuensi masalah ini telah menurun dengan meluasnya penggunaan sayatan yang

lebih kecil, namun tetap merupakan masalah yang penting untuk dipertimbangkan

(Elsawy dkk., 2013; Kim dan Bressler, 2007). Udaondo dkk (2011) melaporkan

peningkatan central macular thickness lebih dari 30% pada pasien dengan

diabetes pasca operasi katarak dengan teknik fakoemulsifikasi.

Tajam penglihatan yang buruk pasca operasi katarak pada pasien diabetes

mellitus kemungkinan karena terdapat dua bentuk klinis diabetic macular edema

dan edema yang disebabkan CME pasca bedah katarak. Kedua edema ini sulit

Page 39: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

dibedakan, meskipun beberapa peneliti menyatakan yang membedakan adalah

CME pasca bedah katarak menyebabkan hiperfluoresen pada diskus optik dengan

pemeriksaan FFA (Kim dan Bressler, 2007).

Pasien dengan uveitis rentan berkembang CME, uveitis dapat

menyebabkan terjadinya CME dengan banyak cara diantaranya infeksi, traumatik,

immune-mediated atau induksi pembedahan (Belair dkk., 2009). Inflamasi

merupakan alasan paling sering untuk hasil operasi katarak yang buruk pada

pasien ini (Couch dan Bakri, 2009; Hariprasad dkk., 2009).

Kebanyakan peneliti mempertimbangkan inflamasi sebagai faktor etiologi

utama berkembangnya CME pasca bedah katarak (Coste dkk., 2009). Inflamasi

secara langsung berhubungan dengan kerusakan pada sawar darah retina. Besar

kemungkinan setelah operasi mediator inflamasi (prostaglandin, sitokin, dan

faktor permeabilitas vaskular lainnya) dilepaskan dari segmen anterior mata dan

menyebar ke rongga vitreous dan retina, merangsang kerusakan pada BRB dan

berlanjut dengan kebocoran cairan di dinding vaskular retina dan melalui retinal

pigmen epithelium (RPE) ke dalam jaringan perifoveal dan mengakibatkan edema

makula (Schoenberger dan Kim, 2012).

Agange dan Mosaed (2010) melaporkan ditemukannya kasus pada pasien

yang menggunakan obat prostaglandin analog untuk penyakit pigmentary

glaucoma mengalami CME rekuren pasca fakoemulsifikasi dan implantasi lensa

intra okular yang lancar. Bagnis dkk. (2011) melaporkan pasien yang didiagnosis

dengan “occludable angle” dan katarak senilis imatur yang dilakukan argon laser

peripheral iridoplasty 5 minggu sebelum fakoemulsifikasi, pasien mengalami

CME klinis yang ditemukan 4 minggu pasca fakoemulsifikasi yang lancar.

Page 40: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

Bayyoud dkk. (2013) melaporkan 52 mata pasien dengan retinitis pigmentosa

yang dilakukan fakoemulsifikasi dengan dan tanpa pemasangan capsular tension

ring didapatkan 4% yang mengalami CME klinis.

Meningkatnya waktu operasi berhubungan dengan meningkatnya inflamasi

pasca operasi. Bedah katarak yang dilakukan residen berhubungan dengan

panjangnya waktu operasi dan meningkatnya angka komplikasi intra operatif.

Insiden CME klinis sebesar 2,4% (39 mata) dari 1659 pasca bedah katarak yang

dilakukan residen oftalmologi di Massachussetts, Amerika Serikat (Henderson

dkk., 2007).

Setelah operasi, proses penyembuhan fisiologis terjadi perlahan-lahan

namun progresif menekan peradangan. Sekitar 80% pasien CME pasca bedah

katarak akan mengalami resolusi spontan disertai pemulihan tajam penglihatan

dalam waktu 3-12 bulan (Noble dan Simmons, 2001). Benitah dan Arroyo (2010)

melaporkan 90% mata dengan CME terjadi resolusi dalam hampir 2 tahun. Dalam

situasi tertentu, jika CME yang berlebihan terjadi terutama dengan kasus bedah

katarak dengan komplikasi intra operatif dapat menyebabkan kerusakan yang

berat sehingga gangguan tajam penglihatan akan menetap (Brynskov dkk., 2013).

2.3.4 Diagnosis Cystoid Macular Edema menggunakan Optical Coherence

Tomography (OCT)

Perkembangan teknologi pencitraan semakin cepat sesuai dengan tuntutan

kemajuan jaman. OCT merupakan teknologi pencitraan yang menampilkan

gambaran resolusi mikron, cross sectional, pada jaringan in vivo termasuk

mikrostruktur okuli. OCT dapat dianalogikan dengan ultrasonografi, tetapi

Page 41: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

bukan menggunakan gelombang suara melainkan menggunakan cahaya dekat

infra merah untuk memperoleh gambaran cross sectional. OCT dapat

digunakan sebagai pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis

karena kemudahannya untuk pemeriksaan mata baik segmen anterior maupun

segmen posterior (Novita dan Moestijab, 2008; Saxena dan Meredith, 2006).

Fundus fluorescence angiography (FFA) dipercaya menjadi standar emas

untuk mengevaluasi CME sebelum era OCT. Namun teknik ini hanya

mengukur secara kualitatif dan tidak cukup sensitif untuk menilai penebalan

retina yang ringan. Saat ini, bukti yang paling akurat untuk menilai CME

adalah dengan pemeriksaan OCT. Ketebalan foveal dapat meningkat secara

signifikan yang berkaitan dengan penurunan tajam penglihatan (Lu dkk.,

2012). OCT lebih baik dalam hal korelasi dengan tajam penglihatan

dibandingkan FFA (Saxena dan Meredith, 2006). Optical coherence

tomography merupakan alat non-kontak dan non-invasif yang sensitif dalam

mendeteksi dan mengukur penebalan makula yang berhubungan dengan CME.

OCT menghasilkan gambar dengan resolusi tinggi sehingga dapat

menjelaskan perubahan histologi (Murthy & Chalam, 2010).

Tahapan interpretasi OCT terdiri dari analisa kualitatif dan kuantitatif, deduksi

dan sintesis. Analisa kualitatif terdiri dari studi morfologi, yaitu jika terjadi

deformitas akan terlihat, contohnya hilangnya depresi fovea pada edema

makula dan studi refleksifitas, yaitu hiperrefleksi, hiporefleksi dan area

bayangan, dimana saat didapatkan kelainan akan terjadi perubahan

refleksifitas. Analisa kuantitatif terdiri dari pengukuran ketebalan atau volume

Page 42: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

retina. Ketebalan retina dapat diukur secara otomatis oleh software OCT, jarak

antara permukaan vitreoretina dan permukaan anterior dari pigmen epitelium

rata-rata berukuran 200-275 µm. Cekungan fovea rata-rata berukuran 170-190

µm (Bressler dan Ahmed, 2006).

Scan protocol untuk patologi CME sebagai pilihan adalah fast macular

thickness map karena dapat menggambarkan analisa topografik ketebalan

makula dan perbandingan dengan data normatif. Diagnosis CME berdasarkan

pemeriksaan OCT adalah ditemukannya penebalan lapisan neurosensori retina

atau hilangnya depresi fovea disertai kantung-kantung hiporeflektif (bervariasi

besar dan kecil) dalam retina menggambarkan edema kistik (Bressler dan

ahmed, 2006).

Gambar 2.4. Berbagai variasi cystoid macular edema pada OCT (Dikutip dari

Saxena dan Meredith, 2006)

Optical coherence tomography sangat berguna dalam mengevaluasi

(follow-up) CME dengan mengukur ketebalan makula secara kuantitatif, terutama

Page 43: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

dalam hal investigasi respon dari penatalaksanaan CME (Akcay dkk., 2012).

Tingginya penebalan makula belum tentu berhubungan dengan hilangnya

penglihatan. Perubahan yang kecil pada makula tampaknya tidak mempengaruhi

tajam penglihatan, tetapi ketika perubahan ketebalan makula berada di jangkauan

100 µm atau lebih, tajam penglihatan dapat terpengaruh (Kim & Bressler, 2007).

Page 44: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Katarak merupakan penyebab utama kebutaan di dunia termasuk

Indonesia. Sampai saat ini pembedahan merupakan satu-satunya cara untuk

mengatasi kebutaan akibat katarak. Teknik bedah katarak yang tersering

beberapa tahun terakhir adalah fakoemulsifikasi dan MSICS. Kedua teknik ini

menghasilkan penglihatan yang baik pasca pembedahan katarak. Kedua teknik

ini juga masih memungkinkan terjadi komplikasi lambat pasca pembedahan

katarak salah satu yang tersering yaitu CME.

Cystoid macular edema (CME) merupakan salah satu komplikasi pasca

operasi katarak tersering yang muncul terlambat dan menyebabkan

terbatasnya perbaikan tajam penglihatan. Patofisiologi terjadinya CME secara

pasti belum diketahui namun beberapa peneliti berpendapat adalah karena

suatu inflamasi. Beberapa faktor resiko yang turut berkontribusi terjadinya

CME pasca operasi katarak diantaranya diabetes, glaukoma, bedah intra

okular, infeksi intra okular, laser intra okular, komplikasi intra operatif

(trauma iris, iris prolaps, hifema, robek kapsul posterior, vitreous loss), dan

adanya kelainan okular lain yang mempengaruhi retina & makula.

Insiden CME pasca bedah katarak dengan teknik fakoemulsifikasi

dikatakan lebih rendah dibandingkan ekstraksi katarak dengan teknik lain dan

lebih rendah pada pasien yang tidak mengalami komplikasi intra operatif

dibandingkan yang mengalami komplikasi intraoperatif.

Page 45: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

3.2 Konsep Penelitian

Gambar 3.1

Bagan kerangka konsep penelitian

3.3 Hipotesis Penelitian

Insiden CME pasca bedah katarak dengan teknik fakoemulsifikasi lebih rendah

daripada teknik MSICS

Cystoid Macular Edema (OCT)

Operasi Fakoemulsifikasi/

MSICS

Katarak Senilis

o Umur o Diabetes Mellitus o Riwayat operasi intra okular o Riwayat trauma mata o Riwayat infeksi intra okular o Penyakit pada retina o Riwayat laser intra okular o Riwayat Glaukoma

Komplikasi intra operatif

Page 46: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan suatu penelitian randomized open label clinical

trial untuk mengetahui perbedaan insiden cystoid macular edema (CME) pada

pasien pasca bedah katarak teknik fakoemulsifikasi dan pada pasien pasca bedah

katarak teknik manual small incision cataract surgery (MSICS).

Rancangan penelitian dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut:

Gambar 4.1 Rancangan Penelitian

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Poliklinik Mata dan ruang operasi RSUP Sanglah

dan RS Indera Denpasar Bali, mulai bulan Januari 2014 sampai bulan Juni 2014.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian

4.3.1 Populasi Penelitian

Populasi

Sampel

Fakoemulsi- fikasi

MSICS

CME

CME

R

Page 47: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

Populasi target penelitian adalah pasien katarak senilis. Katarak senilis

adalah kekeruhan lensa yang terjadi karena proses degenerasi dan biasanya mulai

timbul pada usia diatas 40 tahun (Ilyas, 2004).

Populasi terjangkau penelitian adalah pasien katarak senilis yang datang ke

Poliklinik Mata RSUP Sanglah dan RS Indera, Denpasar periode bulan Januari

2014 sampai Juni 2014.

4.3.2 Sampel Penelitian

Sampel penelitian adalah semua pasien katarak senilis yang datang

berobat ke Poliklinik Mata RSUP Sanglah dan RS Indera, Denpasar (periode

bulan Januari 2014 sampai Juni 2014) yang memenuhi kriteria inklusi dan

eksklusi dengan cara berurutan sampai jumlah sampel terpenuhi.

4.3.2.1.1 Kriteria Inklusi dan Eksklusi Penelitian

4.3.2.1.2 Kriteria Inklusi

a. Pasien katarak senilis dengan usia 40 tahun atau lebih

b. Bersedia menjalani pembedahan katarak dengan teknik fakoemulsifikasi atau

MSICS

4.3.2.1.3 Kriteria Eksklusi

a. Diabetes Mellitus

b. Subjek riwayat bedah intraokular

c. Subjek riwayat trauma mata

d. Subjek riwayat infeksi intraokular

e. Subjek riwayat penyakit pada retina

Page 48: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

f. Subjek riwayat laser intraokular

g. Subjek riwayat Glaukoma

4.3.2.1.4 Kriteria Drop Out

a. Subjek tidak datang pada jadwal pemeriksaan yang sudah ditentukan

b. Subjek tidak menjalankan prosedur penelitian

c. Ditemukan kelainan segmen posterior selain CME pasca operasi

4.3.2.2 Besar Sampel

Besar sampel yang dibutuhkan dalam penelitian dihitung berdasarkan rumus

uji hipotesis terhadap dua kelompok tidak berpasangan :

n1 = n2 = �Zα�2PQ + Zβ�P₁Q₁ + P₂Q₂

P� − P��

Keterangan :

n1 : jumlah sampel pada kelompok fakoemulsifikasi

n2 : jumlah sampel pada kelompok SICS

α : Tingkat kesalahan tipe I = 0,05

β : Power penelitian 80%,

Zα = 1,96 berdasarkan batas kemaknaan α = 0,05

Zβ = 0,842 berdasarkan power penelitian

P₁ = 0,255 (Gulkilik dkk., 2006)

P₂ = 0,51

Q = 1 - P

Q₁ = 1 - P₁

Q₂ = 1 - P₂

Page 49: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

Berdasarkan rumus di atas, didapatkan jumlah sampel masing-masing

kelompok sebanyak 28. Untuk menghindari adanya adanya drop-out, maka jumlah

sampel ditambah 10%, sehingga jumlah sampel minimal menjadi 30,8 dan

dibulatkan menjadi 31 mata untuk masing-masing kelompok.

4.3.2.3 Cara Pemilihan Sampel

Sampel dipilih dengan teknik randomisasi blok permutasi dari populasi

terjangkau setelah memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi sampai jumlah sampel

yang diperlukan terpenuhi

4.4 Variabel Penelitian

4.4.1 Klasifikasi dan Identifikasi Variabel

1. Variabel bebas adalah fakoemulsifikasi dan MSICS

2. Variabel tergantung adalah CME

3. Variabel kendali adalah umur, operator, komplikasi intraoperatif, diabetes mellitus,

hipertensi, riwayat bedah intra okular, riwayat infeksi intra okular, riwayat trauma

mata, penyakit pada retina, riwayat laser intra okular dan riwayat glaukoma.

4.4.2 Definisi Operasional Variabel

1. Fakoemulsifikasi adalah teknik ekstraksi katarak dengan insisi luka di kornea

1,5-3 mm menggunakan mesin fakoemulsifikasi dengan implantasi LIO

akrilik yang dapat dilipat (foldable).

Page 50: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

2. Manual small incision cataract surgery (MSICS) adalah teknik bedah katarak

dengan insisi luka sklerokornea 5-6 mm dengan implantasi LIO jenis

polymethylmetacrylate (PMMA).

3. Cystoid macular edema (CME) adalah hasil pemeriksaan menggunakan alat

optical coherence tomography (OCT) dengan ditemukannya penebalan pada

makula sentral dengan adanya kantung-kantung kista yang hiporeflektif

disertai hilangnya depresi makula yang dikonfirmasi oleh spesialis mata divisi

vitreo-retina.

4. Umur penderita adalah umur yang tercantum dalam catatan medis saat

dilakukan pemeriksaan disertai wawancara yang mendalam.

5. Operator adalah dokter spesialis mata yang berpengalaman dalam bedah

katarak.

6. Komplikasi intra operatif adalah komplikasi yang terjadi saat berlangsungnya

operasi termasuk diantaranya terdapat robekan kapsul posterior, vitreous loss,

iris prolaps, trauma iris, hifema, malposisi lensa intra okular (LIO) atau

penempatan LIO tidak di dalam kapsul lensa.

7. Diabetes Mellitus (DM) adalah subjek yang memiliki riwayat DM atau gula

darah sewaktu lebih dari 200 mg/dl.

8. Riwayat bedah intra okular adalah subjek yang pernah menjalani bedah intra

okular seperti trabekulektomi dan vitrektomi

9. Riwayat infeksi intra okular adalah subjek yang pernah atau mengalami infeksi

seperti uveitis dan retinitis.

10. Riwayat trauma mata adalah subjek yang pernah mengalami trauma mata

baik trauma tajam maupun trauma tumpul

Page 51: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

11. Penyakit pada retina adalah subjek yang sedang atau pernah mengalami

penyakit di retina antara lain central retinal vein occlusion (CRVO), branch

retinal vein occlusion (BRVO), epiretinal membrane, retinitis pigmentosa

dan central serous chorioretinopathy.

12. Riwayat laser intra okular adalah subjek yang pernah dilakukan laser intra

okular seperti laser perifer iridotomi, pan retinal photocoagulation,

focal/grid laser.

13. Riwayat glaukoma adalah subjek yang memiliki riwayat glaukoma atau

dengan tekanan intra okular lebih dari 21 mmHg.

4.5 Prosedur Penelitian

4.5.1 Tahap Persiapan

4.5.1.1 Instrumen Penelitian

Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, pemeriksaan fisik

termasuk tekanan darah, pemeriksaan oftalmologi, dan pengambilan sampel

darah. Untuk menegakkan diagnosis katarak senilis dan stadium maturitasnya,

digunakan lembar pemeriksaan status oftalmologis dan lembar kuisioner

penelitian, E Chart atau Snellen Chart, Non-Contact Tonometry (NCT),

funduskopi atau lensa 78, slit lamp, anestesi topikal (Pantocain 0,5%), sikloplegik

(Mydriatil 0,5%), stetoskop dan tensimeter. Peralatan yang digunakan dalam

pemeriksaan CME adalah Stratus OCT Model 3000, anestesi topikal (pantocain

0,5%), sikloplegik (mydriatil 0,5%).

4.5.1.2 Alokasi Subjek

Page 52: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

Sampel penelitian diseleksi di poliklinik mata RSUP Sanglah dan RS

Indera Denpasar. Sampel penelitian yang sesuai dengan kriteria inklusi dan

eksklusi serta bersedia menandatangani informed consent dilakukan randomisasi

blok permutasi untuk membagi sampel menjadi dua kelompok yaitu:

a. Kelompok A adalah kelompok yang dilakukan bedah katarak dengan teknik

fakoemulsifikasi.

b. Kelompok B adalah kelompok yang dilakukan bedah katarak dengan teknik MSICS.

4.5.2. Pelaksanaan Penelitian

4.5.2.1 Pemeriksaan awal

1. Pemeriksa adalah spesialis mata yang bertugas pada saat pasien berobat dengan

didampingi oleh peneliti untuk pencatatan data penelitian.

2. Anamnesis meliputi umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, nomor telepon, riwayat

menderita DM dan hipertensi, riwayat trauma mata, riwayat infeksi mata, riwayat

bedah intra okular, riwayat laser mata dan riwayat glaukoma.

3. Penilaian tajam penglihatan menggunakan E Chart atau Snellen Chart pada jarak 6

meter dan dinyatakan dalam meter.

4. Pemeriksaan slit lamp dan funduskopi untuk menentukan diagnosis katarak senilis

imatur.

5. Pemeriksaan NCT untuk mengukur tekanan intra okular

6. Pemeriksaan tekanan darah menggunakan tensimeter merkuri dan stetoskop

7. Pemeriksaan laboratorium darah lengkap termasuk gula darah sewaktu

8. Pemeriksaan Retinometry untuk mengetahui prognosis penglihatan pasca operasi

Page 53: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

9. Pemeriksaan Keratometry dan Biometry untuk mengetahui kekuatan (power) LIO

yang akan ditanam

4.5.2.2 Prosedur Tindakan

a. Operator adalah dokter spesialis mata berpengalaman (JN dan CID)

b. Kelompok A, dilakukan bedah katarak teknik fakoemulsifikasi dengan langkah-

langkah sebagai berikut : pasien dianestesi dengan anestesia topikal Pantocain 2%.

Insisi kornea di daerah temporal sebelah sentral dari limbus dengan teknik clear

cornea incision menggunakan keratome 2,75 mm, dilanjutkan dengan insisi untuk

second instrument 1,5 mm. Injeksi lidocain 2% yang diencerkan dengan ringer laktat

1:1 ke bilik mata depan (BMD) sebanyak 0,6 ml. Kapsul anterior diwarnai dengan

trypan blue. Hidrasi BMD untuk mengeluarkan trypan blue dengan ringer laktat.

Injeksi viskoelastik dispersif ke BMD, dilanjutkan dengan kapsulotomi anterior

dengan cara continous curvilinear capssulorhexis (CCC). Kemudian dilakukan

hidrodiseksi dan hidrodelineasi. Nukleofraksis dengan teknik quick chop atau stop

and chop, emulsifikasi, irigasi dan aspirasi korteks lensa. Injeksi viskoelastik ke BMD.

Masukkan LIO foldable di capsular bag. Irigasi dan aspirasi untuk membersihkan sisa

viskoelastik. Hidrasi insisi kornea. Teteskan antibiotika dan steroid tetes mata,

kemudian dibebat (Purba dkk., 2010).

c. Kelompok B, dilakukan bedah katarak teknik MSICS dengan langkah-langkah sebagai

berikut : pasien dianestesi dengan anestesia subkonjungtiva menggunakan lidocaine

2%. Peritomi konjungtiva di superior, perdarahan diatasi dengan kauterisasi. Insisi

sklera dengan jarak dari limbus 1-3 mm di bagian superior dengan sepertiga

ketebalan dengan panjang 5-6 mm (disesuaikan dengan ukuran nukleus lensa),

kemudian dibuat tunnel sklerokorneal dari insisi sklera meluas sampai 1-1,5 mm clear

Page 54: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

cornea. Kemudian dibuat sideport dengan pisau slit 15º pada jam tiga atau jam

sembilan. Kapsul anterior diwarnai dengan trypan blue, hidrasi BMD untuk

mengeluarkan trypan blue dengan ringer laktat, injeksi viscoelastic jenis dispersif ke

BMD, dilanjutkan dengan kapsulotomi anterior teknik CCC dengan diameter yang 5-6

mm (disesuaikan dengan ukuran nukleus lensa). Hidrodiseksi dan hidrodelineasi,

dilanjutkan prolaps nukleus ke BMD, Masukkan viscoelastik untuk menjaga BMD

tetap dalam dan memudahkan mengeluarkan nukleus lensa. Lensa dikeluarkan

dengan sendok lensa. Sisa korteks dibersihkan dengan aspirasi dan irigasi

menggunakan simcoe. Masukan viskoelastik pada capsular bag, kemudian implantasi

LIO di capsular bag. Irigasi dan aspirasi untuk membersihkan sisa viskoelastik.

Observasi kebocoran pada insisi sklerokornea dan sideport. Bila insisi luka kedap

maka tidak dijahit, bila terdapat kebocoran diperlukan penjahitan 1-2 jahitan

sklerokornea dengan benang nylon 10.0 simpul dibenamkan. Dilanjutkan dengan

injeksi Deksametason dan Gentamisin secara subkonjungtiva. Teteskan antibiotika

dan steroid tetes mata dan salep mata, kemudian dibebat (Natchiar, 2000; Gurung

dan Hennig, 2008).

d. Pascaoperasi, kedua kelompok diberikan terapi tetes mata kombinasi antibiotik-

steroid (Cendo Xitrol) enam kali satu tetes sehari, antibiotika oral (Ciprofloxacin) dua

kali 500 mg selama lima hari dan analgetik oral (asam mefenamat) tiga kali 500 mg

selama tiga hari.

e. Prosedur operasi dicatat pada lembar status ophthalmologi, ada atau tidaknya

komplikasi, serta jenis komplikasi dicatat pada lembar tabel induk.

4.5.2.3 Pemeriksaan CME

Page 55: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

a. Pemeriksaan CME dan tajam penglihatan terbaik dilakukan pada minggu ke-empat

pasca operasi. Pemeriksaan CME menggunakan alat OCT, pemeriksa dan

penginterpretasi adalah dokter spesialis mata (PB, AN dan DP) dengan didampingi

oleh peneliti. Pemeriksa tidak mengetahui data awal subjek penelitian .

b. Pemeriksaan OCT dilakukan di Poli mata RSUP Sanglah dan RS Indera Denpasar.

Prosedur pemeriksaan dimulai dengan penetesan siklopegik (mydriatil 0,5%) pada

mata yang akan diperiksa ditunggu sekitar 30-60 menit sampai pupil dilatasi,

teteskan anestesi topikal (Pantocain 0,5%). Posisikan pasien pada alat OCT, fokus dan

fiksasi pada makula menggunakan scan protocol fast macular thickness map. Pilih

gambaran OCT makula dengan signal strength tertinggi minimal 6.

c. Penatalaksanaan komplikasi : berdasarkan temuan klinis dan disesuaikan

berdasarkan prosedur terapi di Bagian Mata FK Universitas Udayana/RSUP Sanglah.

4.5.2.4 Pengumpulan Data

a. Data sebelum dan sesudah operasi bedah katarak dicatat dalam bentuk tabel induk

b. Data sebelum bedah katarak meliputi : nomor rekam medis, nama, umur, jenis

kelamin, alamat, pekerjaan, nomor telepon, diagnosis, kelompok perlakuan, tajam

penglihatan, tekanan intraokular, tekanan darah dan gula darah sewaktu.

c. Data sesudah bedah katarak meliputi hasil pemeriksaan komplikasi intra operatif dan

OCT.

4.7 Alur Penelitian

Untuk lebih mempermudah dalam pelaksanaan penelitian maka dibuat alur

penelitian yang ditunjukkan dengan bagan alur penelitian pada Gambar 4.2

Page 56: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

Sampel Penelitian

Kriteria Inklusi

Kriteria Eksklusi

Pemeriksaan pasca operasi OCT makula (minggu ke-

empat)

Pasien katarak senilis

Semua pasien katarak senilis yang datang ke poliklinik mata RSUP Sanglah dan RS Indera,

Denpasar periode bulan Januari 2014 - Juni 2014

Kelompok A Fakoemulsifikasi

Kelompok B MSICS

Informed Consent

Eligible Subject

Pemeriksaan pasca operasi OCT makula (minggu ke-

empat)

Page 57: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

Gambar 4.2 Skema Alur Penelitian

4.8 Analisis Data

Data dimasukkan ke dalam formulir penelitian kemudian direkam dalam

tabel induk. Untuk menjawab permasalahan penelitian dilakukan serangkaian

tahapan analisis data:

1. Seleksi data yaitu editing, coding dan tabulasi dimasukkan pada file navigator

program Stastical Package for The Social Sciences (SPSS).

2. Analisis Statistik Deskriptif

Untuk menggambarkan karakteristik umum dan distribusi berbagai variabel.

Data berskala kategorik dideskripsikan dalam bentuk frekuensi dan persentase

sedangkan untuk data berskala numerik dalam bentuk rerata dan standar

deviasi.

3. Analisis Perbedaan

Uji beda proporsi CME dua kelompok independen menggunakan uji Chi-

Square. Besar efek perlakuan terhadap out come dinyatakan dengan beda

proporsi dengan 95% interval kepercayaan sebagai nilai presisi. Tingkat

signifikansi (α) ditentukan pada p<0,05. Data penelitian dicatat dalam lembar

penelitian dan diolah dengan bantuan komputer menggunakan SPSS 17.0 dan

ditampilkan dalam bentuk tabel, diagram dan narasi.

ANALISIS DATA

Page 58: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Karakteristik Subjek Penelitian

Subjek penelitian dipilih secara randomized open label dari pasien katarak senilis

yang datang ke RSUP Sanglah dan RS Indera, Denpasar selama periode 1 Januari

2014 sampai 31 Juni 2014. Enam puluh dua pasien (62 mata) terdiri dari 31

pasien dilakukan bedah katarak teknik fakoemulsifikasi dan 31 pasien dilakukan

bedah katarak teknik MSICS.

Tabel 5.1 Karakteristik Subjek Penelitian

Karakteristik Fakoemulsifikasi n=31

MSICS n=31

Umur {Tahun(Rerata±SD) } 66+9 67+8 Jenis Kelamin {n (%)}

Laki-laki Perempuan

18 (58,1) 13 (41,9)

17 (54,8) 14 (45,2)

Pekerjaan {n (%)} Petani Wiraswasta Ibu Rumah Tangga Pensiunan PNS Buruh Tidak Bekerja

13 (41,9) 8 (25,8) 7 (22,6) 2 (6,5) 0 (0)

1 (3,2)

15 (48,4) 4 (12,9) 8 (25,8) 3 (9,7) 1 (3,2) 0 (0)

Mata Operasi {n (%)} Mata Kanan Mata Kiri

11 20

14 17

Derajat kekeruhan lensa {n (%)} II III IV V

2 (6,5)

21 (67,7) 7 (22,6) 1 (3,2)

4 (12,9)

15 (48,4) 9 (29,0) 3 (9,7)

Tajam penglihatan LogMAR(Rerata±SD) Pre-operasi Pasca-operasi 6 minggu (koreksi terbaik)

Central macular thickness{µm(Rerata±SD)}

1,16+0,44 0,01+0,06 246+38

1,32+0,50 0,09+0,21

285+72

Tabel 5.1 memperlihatkan karakteristik subjek penelitian. Pasien pada

kelompok perlakuan fakoemulsifikasi memiliki rerata umur 66+9 tahun dan rerata

Page 59: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

umur pasien kelompok perlakuan MSICS adalah 67±8 tahun. Jenis kelamin laki-

laki ditemukan lebih banyak dibandingkan perempuan pada kedua kelompok yaitu

58,1% pada kelompok perlakuan fakoemulsifikasi dan 54,8% pada kelompok

MSICS. Petani merupakan jenis pekerjaan terbanyak baik pada kelompok

perlakuan fakoemulsifikasi (41,9%) maupun kelompok MSICS (48,4%). Derajat

kekeruhan lensa pada kelompok perlakuan fakoemulsifikasi terbesar adalah

derajat III (67,7%) demikian juga pada kelompok MSICS terbesar adalah derajat

III (48,8%). Rerata tajam penglihatan sebelum operasi pada kelompok perlakuan

fakoemulsifikasi adalah 1,16+0,44 dan pada kelompok MSICS adalah 1,32+0,50.

Rerata tajam penglihatan koreksi terbaik pasca operasi pada kelompok perlakuan

fakoemulsifikasi adalah 0,01+0,06 dan pada kelompok MSICS adalah 0,01+0,21.

Central macular thickness pasca operasi pada kelompok perlakuan

fakoemulsifikasi adalah 246+38 µm lebih rendah daripada kelompok MSICS

285+72 µm.

5.2 Perbedaan fakoemulsifikasi dibandingkan dengan MSICS terhadap

risiko CME

Perbedaan teknik bedah katarak terhadap risiko CME pada kelompok

perlakuan fakoemulsifikasi dan MSICS dianalisis dengan uji Fisher’s Exact dapat

dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5.2 Perbandingan fakoemulsifikasi dengan MSICS terhadap risiko CME

Luaran Fakoemulsifikasi n=31

MSICS n=31

Page 60: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

CME {n (%)} Ya Tidak

1 (3,2)

30 (96,8)

6 (19,4) 25 (80,6)

RR : 0,167 CI RR: 0,021-1,305 X²: 0,045 p=0,104

Tabel 5.2 memperlihatkan perbedaan risiko CME pada kelompok

perlakuan fakoemulsifikasi dan MSICS. Insiden CME pada kelompok perlakuan

fakoemulsifikasi didapatkan hasil yang lebih rendah yaitu 3,2% sedangkan pada

kelompok MSICS adalah 19,4%. Hasil ini menunjukkan, insiden CME pada

fakoemulsifikasi lebih rendah daripada MSICS, namun perbedaan ini tidak

bermakna secara statistik (p>0,05).

5.3 Perbandingan risiko komplikasi antara fakoemulsifikasi dengan

MSICS

Perbandingkan risiko komplikasi yang terjadi antara bedah katarak teknik

fakoemulsifikasi dengan teknik MSICS dapat dilihat pada tabel berikut di bawah.

Tabel 5.3 Perbandingan risiko komplikasi antara fakoemulsifikasi dengan MSICS

Luaran Fakoemulsifikasi

n=31

MSICS

n=31

Komplikasi {n (%)}

Ya

Tidak

1 (3,2)

30 (96,8)

5 (16,1)

26 (83,9)

p=0,086

Tabel 5.4 memperlihatkan perbandingan risiko komplikasi antara

fakoemulsifikasi dengan MSICS. Komplikasi fakoemulsifikasi didapatkan hasil

yang lebih rendah yaitu 3,2% sedangkan pada kelompok MSICS adalah 16,1%.

Page 61: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Subjek Penelitian

Penelitian ini melibatkan 62 subjek penelitian (62 mata) yang memenuhi

kriteria inklusi dan eksklusi yaitu dibagi menjadi 31 pasien katarak senilis

menjalani bedah katarak teknik fakoemulsifikasi dan 31 pasien katarak senilis

menjalani bedah katarak teknik MSICS. Subjek penelitian kemudian dilakukan

pemeriksaan OCT makula untuk menilai ada atau tidaknya CME. Karakteristik

subjek penelitian dalam penelitian ini meliputi umur, jenis kelamin, pekerjaan,

mata operasi, derajat kekeruhan, dan tajam penglihatan.

Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan jumlah kasus katarak

senilis meningkat sesuai dengan peningkatan umur (Sihota dan Tandan, 2007). Di

Amerika Serikat, prevalensi katarak senilis meningkat dari 5% pada usia 65 tahun

menjadi 50% pada penduduk usia 70 tahun ke atas (Beebe dkk., 2010). Goyal

dkk. (2010) menemukan rerata umur pasien katarak senilis adalah 66,6±7,83

tahun. Penelitian Khan dkk. (2010) di Pakistan melaporkan rerata umur pasien

katarak senilis yang dilakukan MSICS adalah 67+18 tahun. Penelitian Khaw dkk.

(2014) di Malaysia melaporkan rerata umur pasien katarak senilis yang dilakukan

fakoemulsifikasi adalah 67+8 tahun. Penelitian Ghosh dkk. (2010) di India

menemukan rerata umur pasien katarak senilis yang dilakukan MSICS adalah

62+6 tahun dan katarak senilis yang dilakukan fakoemulsifikasi adalah 61+6

tahun. Penelitian ini didapatkan rerata umur pasien katarak senilis pada kelompok

Page 62: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

yang dilakukan fakoemulsifikasi lebih rendah yaitu 66±9 tahun sedangkan pada

kelompok yang dilakukan MSICS adalah 67±8 tahun.

Umur merupakan faktor risiko terpenting untuk terjadinya katarak senilis.

Katarak senilis umumnya mulai terjadi pada umur di atas 40 tahun dan terdapat

kecenderungan peningkatan umur diikuti pula dengan peningkatan maturitas atau

gradasi katarak senilis (Sihota dan Tandan, 2007). Lensa mata mengalami

perubahan sesuai dengan peningkatan umur, pada lensa akan terjadi mekanisme

komplek yang menyebabkan perubahan formasi serat lensa dan lensa juga akan

lebih rentan mengalami stres oksidatif sehingga kejernihan lensa menurun dan

terjadi katarak senilis (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a).

Penelitian Khan dkk. (2010) di Pakistan menemukan baik katarak senilis

matur maupun katarak senilis imatur lebih banyak ditemukan pada laki-laki yaitu

57,5% dan 42,5% tahun. Penelitian Ghosh dkk. (2010) mendapatkan pasien

katarak senilis sebesar 58% laki-laki dan 42% perempuan pada kelompok MSICS

sedangkan pada kelompok katarak senilis yang dilakukan fakoemulsifikasi

sebesar 53,5% pada laki-laki dan 46,5% pada perempuan. Penelitian ini

didapatkan pasien laki-laki dengan katarak senilis yang dilakukan

fakoemulsifikasi sebesar 58,1% dan perempuan sebesar 41,9% sedangkan pada

katarak senilis yang dilakukan MSICS pada laki-laki ditemukan 54,8% dan 45,2%

pada perempuan. Penelitian-penelitian lain yang dilakukan di berbagai negara

mendapatkan hasil yang berbeda-beda mengenai predileksi jenis kelamin pada

pasien katarak senilis.

Berbagai penelitian tentang distribusi katarak senilis berdasarkan jenis

kelamin diperoleh hasil yang berbeda-beda. Sebagian besar penelitian tersebut

Page 63: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

didapatkan kelompok jenis kelamin laki-laki mempunyai persentase lebih tinggi

menderita katarak senilis dibandingkan perempuan. Kebiasaan laki-laki

beraktivitas di luar ruangan menyebabkan kemungkinan terpapar sinar matahari

atau polusi semakin besar. Sinar matahari dan polusi udara disebut sebagai faktor

risiko terjadinya katarak (Oduntan dan Mashige, 2011). Katarak senilis pada

penelitian ini didapatkan lebih banyak terjadi pada jenis kelamin laki-laki. Hal ini

kemungkinan disebabkan karena laki-laki lebih banyak melakukan aktivitas di

luar ruangan. Negara tropis dengan karakteristik intensitas paparan sinar matahari

yang lebih tinggi, aktivitas di luar ruangan dihubungkan dengan besarnya paparan

sinar ultraviolet yang dialami. Semakin lama aktivitas di luar ruangan akan

menyebabkan semakin besar paparan sinar ultraviolet yang didapat (Valero dkk.,

2007).

Paparan sinar ultraviolet merupakan radikal bebas yang bersifat reaktif dan

menyebabkan kerusakan serat lensa. Reaksi antara radikal bebas dan membran

lipid serat lensa menimbulkan peroksidasi lipid dan memicu kekeruhan lensa

(American Academy of Ophthalmology Staff, 2009-2010a). Suatu penelitian

epidemiologi di Jepang menemukan jumlah pasien katarak senilis yang lebih

tinggi pada pasien laki-laki yang bekerja di luar ruangan selama lebih dari 5 jam

perhari tanpa menggunakan alat pelindung (Nishikiori dan Yamamoto, 1987).

Khaw dkk. (2010) mendapatkan sebesar 49% pasien katarak senilis adalah

laki-laki sedangkan sisanya sebesar 51% adalah perempuan. Perempuan yang

mengalami katarak senilis dikaitkan dengan kadar estrogen yang menurun pada

wanita berusia lebih dari 50 tahun dan mulai mengalami menopouse. Hormon

estrogen disebutkan mampu memperlambat timbulnya katarak pada wanita

Page 64: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

menopouse yang mendapat terapi hormon estrogen, namun mekanisme kerja

hormon estrogen dalam memperlambat terjadinya kekeruhan lensa masih belum

jelas (Soehardjo, 2004).

Nirmalan dkk. (2004) di India menemukan sebesar 90% pasien dengan

katarak senilis bekerja di bidang pertanian. Ziaulhak (2007) di Kalimantan Timur

menemukan kasus katarak senilis meningkat pada pasien dengan aktivitas di luar

ruangan lebih dari 5 jam perhari dalam 10 tahun terakhir. Katoh dkk. (2001)

menemukan individu yang melakukan aktivitas di luar ruangan lebih dari 5 jam

perhari pada dekade kedua sampai ketiga masa kehidupannya akan memiliki

risiko terjadi katarak senilis 2,8 kali lebih besar dibandingkan yang tidak

melakukan aktivitas di luar ruangan. Penelitian ini ditemukan sebagian besar

pekerjaan pasien adalah petani sebesar 41,9% pada katarak senilis yang dilakukan

fakoemulsifikasi dan 48,4% pada katarak senilis yang dilakukan MSICS.

Beberapa peneliti menghubungkan pekerjaan dengan lamanya pasien

melakukan aktivitas di luar ruangan yang selanjutnya dihubungkan dengan

lamanya paparan sinar ultraviolet yang dialami (Valero dkk., 2007). Paparan sinar

ultraviolet pada lensa akan mencetuskan reaksi oksidatif yang menghasilkan

radikal bebas berlebihan. Radikal bebas yang tidak dapat dikompensasi oleh

sistem antioksidan dalam lensa, baik secara langsung maupun tidak langsung akan

menyebabkan kerusakan komponen lensa sehingga kejernihan lensa menurun dan

terjadi katarak (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Usia

juga dikatakan memiliki pengaruh pada sensitivitas lensa terhadap paparan sinar

ultraviolet. Paparan sinar ultraviolet yang reguler selama aktivitas pekerjaan akan

Page 65: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

dapat memicu terjadinya stres oksidatif yang dapat menyebabkan berbagai macam

penyakit termasuk katarak senilis (Nirmalan dkk., 2004; Valero dkk., 2007).

Derajat kekeruhan katarak pada penelitian ini terbesar derajat III baik pada

kelompok perlakuan fakoemulsifikasi maupun pada kelompok MSICS. Rerata

tajam penglihatan sebelum operasi pada kelompok perlakuan fakoemulsifikasi

adalah 1,16+0,44 dan pada kelompok MSICS adalah 1,32+0,50. Penelitian ini

tidak membatasi derajat kekeruhan maupun tajam penglihatan pada kedua teknik

bedah katarak. Ruit dkk. (2007) di Nepal melaporkan 54 mata (54 pasien)

dilakukan fakoemulsifikasi dan 54 mata (54 pasien) MSICS di dapatkan rerata

tajam penglihatan tanpa koreksi sebelum operasi pada kelompok fakoemulsifikasi

adalah 20/300 dan pada kelompok MSICS 20/353 (p= 0,681), sebanyak 86%

rerata tajam penglihatan pada kedua teknik tersebut lebih dari 20/60 pada follow-

up 6 bulan. Rerata tajam penglihatan koreksi terbaik pasca operasi pada penelitian

ini didapatkan pada kelompok perlakuan fakoemulsifikasi adalah 0,01+0,06 dan

pada kelompok MSICS adalah 0,01+0,21.

Ghosh dkk. (2010) di India membandingkan Central macular thickness

(CMT) pada pasien pasca bedah katarak teknik fakoemulsifikasi dengan pasca

MSICS dan didapatkan rerata CMT pada hari ke-42 pasca fakoemulsifikasi

adalah 198,3+23 µm dan pasca MSICS 207,8+26,3 µm dengan p= 0,007. Sama

dengan penelitian Ghosh, rerata CMT pada penelitian ini pasca bedah katarak

pada kelompok perlakuan fakoemulsifikasi adalah 246+38 µm lebih rendah

daripada kelompok MSICS 285+72 µm. Ini kemungkinan diakibatkan karena

banyaknya trauma jaringan dan manipulasi iris pada MSICS, juga lebarnya luka

insisi diperkirakan berhubungan dengan gangguan pada sawar darah retina.

Page 66: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

6.2. Insiden CME Pasca Fakoemulsifikasi

Insiden CME semakin menurun dengan semakin majunya teknik bedah

katarak. Bedah katarak merupakan prosedur pembedahan tersering di Amerika

Serikat dan negara-negara lain di dunia, CME termasuk sering ditemukan pasca

pembedahan katarak. CME biasanya muncul pada minggu ke-empat sampai enam

setelah pembedahan katarak. CME klinis ditandai dengan bocornya pembuluh

darah perifoveal disertai turunnya tajam penglihatan 20/40 atau lebih buruk. CME

subklinis tidak berkaitan dengan penurunan tajam penglihatan yang signifikan,

namun apabila dibiarkan akan menyebabkan menurunnya atau tidak majunya

tajam penglihatan pasca pembedahan katarak (Prasad, 2013).

Deteksi CME dapat melalui pemeriksaan klinis dan dengan pemeriksaan

penunjang yang terdiri dari FFA dan OCT. OCT memiliki sensitifitas tertinggi

dibandingkan FFA dan pemeriksaan klinis dengan funduskopi. Oleh karena itu

insiden CME dapat bervariasi tergantung dari pemeriksaan penunjang yang

dipakai. Deteksi CME menggunakan OCT dapat lebih tinggi, dan ini tidak selalu

berhubungan dengan penurunan tajam penglihatan (Lally dan Shah, 2014).

Penelitian yang dilakukan Gulkilik dkk. (2006) di Kanada melaporkan

insiden CME sebesar 25,5% dari 98 pasien (98 mata) pasca dilakukan

fakoemulsifikasi. Mentes dkk. (2003) melaporkan insiden CME pasca

fakoemulsifikasi tanpa komplikasi intraoperatif didapatkan sebesar 9,1% (23

pasien) dari 252 total pasien. Vukicevic dkk. (2011) melaporkan insiden CME

sebesar 5% dari 100 mata pasca fakoemulsifikasi tanpa komplikasi intraoperatif.

Subramanian dkk. (2009) melaporkan insiden CME pasca fakoemulsifikasi

sebesar 9,87% dari 81 mata. Henderson dkk. (2007) di Massachusetts Amerika

Page 67: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

Serikat melaporkan insiden CME pasca fakoemulsifikasi sebesar 2,14% dari 1357

mata. Lobo dkk. (2004) melaporkan tiga puluh dua pasien (32 mata) yang

dilakukan fakoemulsifikasi tanpa komplikasi intraoperatif didapatkan insiden

CME menggunakan OCT sebesar 44% (13 pasien), mereka masih belum mengerti

apa yang menyebabkan terjadinya CME pada pasien yang dilakukan

fakoemulsifikasi tanpa terjadi komplikasi intraoperatif, kemungkinan karena

terjadinya inflamasi subklinis atau mungkin karena buruknya penyembuhan pada

vaskularisasi retina yang mengalami penuaan.

Insiden CME pada pasien katarak senilis yang dilakukan fakoemulsifikasi

dalam penelitian ini ditemukan sebesar 3,2%. Rendahnya insiden CME pasca

bedah katarak teknik fakoemulsifikasi berdasarkan teori adalah karena pada

fakoemulsifikasi memiliki teknik manipulasi lebih sedikit dibandingkan teknik

lainnya. Insiden CME pada teknik fakoemulsifikasi yang mengalami komplikasi

intraoperatif lebih rendah dibandingkan teknik bedah katarak lainnya karena

konstruksi insisi luka yang sangat kecil dan stabilitas yang lebih besar

dibandingkan teknik bedah katarak lain (Nishino dkk., 2008)

6.3. Insiden CME Pasca MSICS

Manual small incision cataract surgery (MSICS) merupakan teknik

ekstraksi katarak yang masih banyak digunakan di negara berkembang. MSICS

tidak memerlukan investasi alat yang mahal, dan transfer keterampilan terhadap

operator pemula juga dapat dilakukan dengan baik. Hal ini menjadi pertimbangan

penggunaan teknik MSICS sebagai teknik yang aman dan efektif untuk bedah

katarak terutama di negara berkembang (Dhanapal dkk., 2010; Natchiar, 2000).

Page 68: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

Degenring dkk. (2004) di Jerman melaporkan insiden CME empat minggu

pasca bedah katarak teknik MSICS menggunakan OCT sebesar 6,25% dari 128

mata katarak yang di operasi. Insiden CME pada pasien katarak senilis yang

dilakukan bedah katarak teknik MSICS dalam penelitian ini ditemukan sebesar

19,4%. Secara teori resiko CME pada bedah katarak pasca MSICS lebih tinggi

dibandingkan pasca fakoemulsifikasi, namun Ghosh dkk. (2010) melaporkan tidak

didapatkan CME klinis maupun subklinis dengan pemeriksaan OCT pada pasien

pasca MSICS dan pasca fakoemulsifikasi, hanya ketebalan central macular

thickness (CMT) pasca MSICS lebih tebal dibandingkan pasca fakoemulsifikasi.

6.4. Perbedaan insiden CME pasca fakoemulsifikasi dan pasca MSICS

Fakoemulsifikasi diyakini sebagai teknik operasi yang memberikan

banyak keuntungan dalam hal rehabilitasi penglihatan pada pasien katarak,

dengan luka insisi yang sangat kecil tanpa jahitan dan manipulasi yang sedikit

akan menyebabkan komplikasi pasca operasi yang minimal termasuk CME.

Hatsis (2014) melaporkan perbandingan CME pasca fakoemulsifikasi dan

MSICS yang dilakukan residen di East Meadow Amerika Serikat bahwa insiden

CME pasca MSICS lebih rendah dibandingkan fakoemulsifikasi, ini kemungkinan

besar karena pada teknik fakoemulsifikasi memiliki learning curve yang lebih

sulit dan lama dibandingkan tenik MSICS, sehingga trauma iris saat melakukan

fakoemulsifikasi tidak terhindarkan.

Penelitian ini mendapatkan insiden CME pada kelompok pasien pasca

bedah katarak teknik fakoemulsifikasi sebesar 3,2%, lebih rendah enam kali

Page 69: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

daripada kelompok pasien pasca bedah katarak teknik MSICS sebesar 19,4%,

namun perbedaan ini tidak bermakna secara statistik (p=0,104). Bedanya hasil

penelitian ini dengan penelitian sebelumnya kemungkinan disebabkan jumlah

sampel yang berbeda, waktu pendeteksian CME, faktor kondisi mata pasien

sebelum operasi, diabetes mellitus, faktor operator dan lain sebagainya.

Perbedaan insiden CME pada pasien pasca bedah katarak teknik

fakoemulsifikasi dengan teknik MSICS pada penelitian ini kemungkinan karena

perbedaan tahapan dan manipulasinya, teori teknik MSICS lebih banyak tahapan

dan manipulasinya dibandingkan teknik fakoemulsifikasi, sehingga teknik MSICS

lebih banyak kemungkinan mengalami kesulitan saat melakukannya. Banyaknya

manipulasi beresiko terjadinya trauma iris, terutama pada MSICS adalah saat

tahapan prolaps nukleus lensa ke bilik mata depan, karena iris adalah jaringan

dengan mediator inflamasi yang sangat banyak sehingga lepasnya mediator-

mediator inflamasi tersebut akan merangsang inflamasi ke makula yang berisiko

terganggunya sawar darah retina sehingga menyebabkan terjadinya CME.

Insiden CME sangat dipengaruhi oleh banyak faktor seperti riwayat bedah

intraokular, diabetes mellitus, riwayat trauma, riwayat infeksi, kelainan retina

sebelumnya, riwayat laser intraokular, riwayat glaukoma, dan obat prostaglandin.

Namun faktor-faktor tersebut diatas telah dikontrol pada design penelitian ini

melalui kriteria eksklusi, sehingga faktor-faktor tersebut diharapkan tidak

mempengaruhi hasil perbedaan insiden CME pada pasien pasca bedah katarak

teknik fakoemulsifikasi dan teknik MSICS.

Page 70: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

6.5 Perbandingan risiko komplikasi intraoperatif antara fakoemulsifikasi

dengan MSICS

Mekanisme terbentuknya CME diduga dikarenakan inflamasi atau

mekanisme alami. Salah satu teori melibatkan prostaglandin yang melewati sawar

darah retina yang mengakibatkan meningkatnya permeabilitas kapiler retina yang

akhirnya menyebabkan kebocoran sehingga terbentuk CME. Prostaglandin dapat

dirilis oleh operasi itu sendiri dan juga oleh interaksi jaringan intraokular (lensa)

dengan iris. Vitreous prolaps secara mekanis dapat merangsang traksi pada

makula dan kapiler retina dan menyebabkan kebocoran. Faktor risiko intra-

operatif yang menyebabkan terbentuknya CME diantaranya inkarserasi vitreous

pada bibir luka, posisi LIO yang abnormal, vitreous prolaps, sisa fragmen lensa

dan trauma iris (Prasad, 2013).

Guo dkk. (2012) melaporkan 95 pasien yang dilakukan MSICS mengalami

komplikasi intraoperatif terbanyak adalah iris prolaps sebesar 7,37% dan pada

fakoemulsifikasi terbanyak adalah robek kapsul posterior 2,2%. Khan dkk.

(2010) di Pakistan melaporkan insiden komplikasi intraoperatif pada 150 mata

yang dilakukan MSICS didapatkan hifema 11,3%, robek kapsul posterior 3,3%,

dan endoftalmitis sebesar 1,3%.

Khaw dkk. (2014) di Malaysia melaporkan insiden CME pada pasien yang

mengalami komplikasi intraoperatif selama dilakukan fakoemulsifikasi

didapatkan sebesar 34% dari 47 mata. Komplikasi intraoperatif yang ditemukan

pada penelitian tersebut terdiri dari robek kapsul posterior, zonulodialysis,

vitreous prolaps, dan drop nukleus lensa ke badan vitreous.

Page 71: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

Ruit dkk. (2007) di Nepal melaporkan 54 pasien dilakukan MSICS dan 54

pasien dilakukan fakoemulsifikasi, tidak terjadi komplikasi robek kapsul posterior

pada kelompok MSICS dan 1 pasien mengalami robek kapsul posterior pada

kelompok fakoemulsifikasi, hifema terjadi pada 16 pasien pada kelompok MSICS

dan 1 pasien pada kelompok fakoemulsifikasi, kedua teknik ekstraksi katarak ini

memberikan hasil yang baik tanpa perbedaan bermakna.

Penelitian ini ditemukan insiden komplikasi intraoperatif pada

fakoemulsifikasi sebesar 3,2% lebih rendah dibandingkan pada teknik MSICS

sebesar 16,1%. Jenis komplikasi intraoperatif yang terjadi terdiri dari robek kapsul

posterior dan vitreous prolaps. Robeknya kapsul posterior menyebabkan tahanan

terhadap vitreous menjadi berkurang (jebol) sehingga vitreous dapat dengan

mudah prolaps ke bilik mata depan. Beberapa peneliti setuju bahwa mediator

inflamasi (prostaglandin) dan vascular endothelial growth factor (VEGF) dapat

berhubungan dengan rusaknya sawar darah retina. Hilangnya vitreous atau adanya

tarikan vitreous pada struktur segmen anterior dan hipotoni okular adalah

merupakan faktor yang beruhubungan dengan terbentuknya CME (Martinez dan

Ophir, 2011).

Lamanya waktu pembedahan sering dikaitkan dengan trauma iris dan

insiden CME, pada penelitian ini lama operasi tidak dimasukan dalam analisa,

perlu penelitian lebih lanjut untuk menilai pengaruh lamanya waktu operasi

dengan terbentuknya CME. Onset terjadinya CME berada dalam rentang 3-12

minggu pasca bedah katarak, pada penelitian ini deteksi CME dilakukan pada

minggu keempat. Kemungkinan CME dapat muncul pada minggu berikutnya

Page 72: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

sampai minggu kedua belas, ini pula yang menjadi pertimbangan untuk dilakukan

penelitian lebih lanjut termasuk dengan jumlah sampel yang lebih besar.

Penelitian ini merupakan suatu penelitian uji klinis, oleh karena nya perlu

untuk mengetahui signifikansi klinis sebagai bahan pertimbangan untuk

memberikan terapi yang terbaik untuk pasien dengan mempertimbangkan

perbandingan rasio help dan harm. Jumlah yang diperlukan untuk mendapatkan

keberhasilan penatalaksanaan atau number needed to treat (NNT) adalah 6,

dengan mengetahui nilai experimental event rate (EER) sebesar 3,2% dan control

event rate (CER) sebesar 19,4%. Perbedaan absolut antara keduanya atau

Absolute rate reduction (ARR) adalah 16,2%, dimana jumlah NNT adalah

1/ARR, ini berarti diperlukan 6 tindakan fakoemulsifikasi untuk mencegah 1

CME. Jumlah yang diperlukan untuk menyakiti atau number needed to harm

(NNH) adalah 7, dengan nilai EER 3,2%, CER 16,1% dan absolute risk increase

(ARI) 12,9%, dimana nilai NNH adalah 1/ARI, ini berarti setiap 7 tindakan

fakoemulsifikasi mengurangi 1 komplikasi. Perbandingan help dengan harm pada

penelitian ini adalah 16,7% berbanding 13%, ini berarti pada penelitian ini lebih

besar membantu (help) daripada menyakiti (harm).

Page 73: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat diperoleh kesimpulan insiden cystoid

macular edema (CME) pada pasien katarak senilis yang dilakukan ektraksi

katarak dengan teknik fakoemulsifikasi lebih rendah secara klinis daripada teknik

MSICS.

7.2 Saran

Bedah katarak teknik fakoemulsifikasi dapat menjadi bahan pertimbangan

para klinisi dalam hal membuat keputusan penatalaksanaan katarak senilis karena

risiko insiden CME yang lebih rendah dibandingkan teknik MSICS.

Page 74: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

DAFTAR PUSTAKA Agange N. dan Mosaed S. 2010. Prostaglandin-Induced Cystoid Macular Edema

Following Routine Cataract Extraction. Hindawi Publishing Corporation Journal of Ophthalmology, 3: 1-3

Akcay B.I.S., Bozkurt T.K., Guney E., Unlu C., Erdogan G., Akcali G. dan

Bayramlar H. 2012. Quantitative analysis of macular thickness following uneventful and complicated cataract surgery. Clinical Ophthalmology, 6: 1507-1511

American Academy of Ophthalmology Staff. 2011-2012a. Fundamental and Principles of Ophthalmology. United State of America: American Academy of Ophthalmology. p. 79-81

American Academy of Ophthalmology Staff. 2011-2012b. Retina and Vitreous. United State of America: American Academy of Ophthalmology. p. 167-169

American Academy of Ophthalmology Staff. 2011-2012c. Lens and Cataract. United State of America: American Academy of Ophthalmology. p. 193-195

Antcliff B.J., Stanford M.R. dan Chauchan D.S. 2000. Comparison between optical coherence tomography and fundus fluorescein angiography for the detection of cystoid macular edema in patients with uveitis. Ophthalmology, 3:593-599

Bagnis A., Sacca S.C., Lester. dan Traverso C.E. 2011. Cystoid macular edema

after cataract surgery in a patient with previous severe iritis following argon laser peripheral iridoplasty. Clinical Ophthalmology, 5: 473-476

Bayyoud T., Bartz-Schmidt K.U. dan Yoeruek E. 2013. Long-term clinical results

after cataract surgery with and without capsular tension ring in patients with retinitis pigmentosa. BMJ Open, 3: 1-5

Beebe D.C., Shui Y.B., dan Holekamp N.M. 2010. Biochemical Mechanism of

Age-Related Cataract. In: Levin L.A., Albert D.M. editors. Ocular Disease Mechanisms and Management. Philadelphia: Saunders.p. 231-7

Belair M.L., Kim S.J., Thorne J.E., Dunn J.P., Kedhar S.R., Brown D.M. dan Jabs

D.A. 2009. Incidence of Cystoid Macular Edema after Cataract Surgery in Patients with and without Uveitis Using Optical Coherence Tomography. Am J Ophthalmol, 148: 1-18

Benitah N.R. dan Arroyo J.G. 2010. Pseudophakic cystoid macular edema. Int

Ophthalmol Clin, 50: 139-153

Page 75: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

Binder S. 2004. The Macula: Diagnosis, Treatment and Future Trends. Austria: SpringerWienNewyork. p. 1-17

Blanco T.F., Moreno R., Novella F., Cano S. dan Lopez H. 2006. Pseudophakic

cystoid macular edema. Assasment with optical coherence tomography. ARCH SOC ESP OFTALMOL, 81: 147-154

Bressler M.N. dan Ahmed J.K. 2006. The Stratus OCT Primer. Essential OCT 1st

edition. Carl Zeiss Meditec Inc. Germany Brynskov T., Laugesen C.S., Halborg J., Kemp H. dan Sorensen T.L. 2013.

Longstanding refractory pseudophakic cystoid macular edema resolve using intravitreal 0.7 dexamethasone implants. Clinical Ophthalmology, 7:1171-1174.

Chalam K.V., Khetpal V. dan Patel C.J. 2012. Spectral domain optical coherence

tomography documented rapid resolution of pseudophakic cystoid macular edema with topical difluprednate. Clinical Ophthalmology, 6:155-158

Ching H.Y., Wong A.C., Wong C.C., Woo D.C. dan Chan C.W. 2006. Cystoid

macular oedema and changes in retinal thickness after phacoemulsification with optical coherence tomography. Eye, 20:297-303

Coste G.C., Castro Y.G.S., Carrol M.O., Schuster E.M. dan Barona C.V. 2009.

Inhibition of surgically induced miosis and prevention of postoperative macular edema with nepafenac. Clinical Ophthalmology, 3:219-226

Couch S.M., dan Bakri S.J. 2009. Intravitreal triamcinolone for intraocular

inflammation and associated macular edema. Clinical ophthalmology, 3:41-47

Degenring R.F., Vey S., Kamppeter B., Sauder G., dan Jones J.B. 2004. Central

retinal thickness after uncomplicated small-incision cataract surgery. Invest Ophthalmol Vis Sci. 45:1-6

Departemen Kesehatan RI. 2009. Data Penduduk Sasaran Program Kesehatan

Tahun 2007-2011. Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan RI. Jakarta

Dhanapal P. dan Yadalla D. 2010. Eyenet Magazine, how to perform manual

small incision cataract surgery. AAO The Eye M.D. Association, p. 35-36 Dick J.S.B., Jampol L.M. dan Haller J.A. 2006. Macular Edema. In: Ryan S.J.,

Editor--in-Chief. Retina. Fourth Edition. St Louis: Mosby. p. 967-983

Page 76: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

Elsawy M.F., Badawi N. dan Khairi H.A. 2013. Prophylactic postoperative ketorolac improves outcomes in diabetic patients assigned for cataract surgery. Clinical Ophthalmology, 7: 1245-1249

Framme C. dan Wolf S. 2012. Retinal Complication after Damaging the

Vitreolenticular Barrier. Ophthalmologica, 227: 20-33 Ghosh S., Roy I., Biswas P.N., Maji D., Mondal L.K., Mukhopadhyay S., dan

Bhaduri G. 2010. Prospective randomized comparative study of macular thickness following phacoemulsification and manual small incision cataract surgery. Acta Ophthalmologica, 88: 102-106

Goyal M.M., Vishwajeet P., Mittal R., dan Sune P. 2010. A Potential Correlation between Systemic Oxidative Stress and Intracellular Ambiance of the Lens Epithelia in Patients with Cataract. Journal of Clinical and Diagnostic Research, 4:2061-2067

Gulkilik G., Kocabora S., Taskapili M. Dan Engin G. 2006. Cystoid macular edema after phacoemulsification: risk factors and effect in visual acuity. Can J Ophthalmol, 41:699-703

Guo D.D., Bi H.S., Qu Y. 2012. Safety and efficacy of manual small incision

cataract surgery. Int Eye sci. 12:1423-1428 Gurung R. dan Hennig A. 2008. Small Incision Cataract Surgery: Tips for

avoiding surgical complications. Community Eye Health Journal, 65: 4-5 Hatsis A.P. 2014. Comparison of manual small incision cataract surgery and

phacoemulsification cataract surgery in resident setting. Digital Journal of Ophthalmology. 4:12-18

Henderson B.A., Kim J.Y., Ament C.S., Ponce Z.K.F., Grabowska A. Dan

Cremers S.L. 2007. Clinical pseudophakic cystoid macular edema: Risk factors for development and duration after treatment, J Cataract Refract Surg, 33:1550-1558

Hariprasad S.M., Akduman L., dan Clever J.A. 2009. Treatment of cystoid

macular edema with the new-generation NSAID nepafenac 0.1%. Clinical Ophthalmology, 3:147-154

Ilyas S. 2004. Ilmu penyakit mata. Edisi ke-3. Jakarta. Balai Penerbit FKUI.

p.205-8

Katoh N., Jonasson F., Sasaki H., Kojima M., Ono M., Takahashi N., dan Sasaki

K. 2001. Cortical lens Opacification in Iceland. Acta Ophthalmol Scand,

79:154-9

Page 77: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

Kementerian Kesehatan RI. 2005. Rencana Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan Untuk Mencapai Vision 2020. Keputusan Menteri Kesehatan. Jakarta

Khan M.T., Jan S., Hussein Z., Karim S., Khalid M.K., dan Mohammad L. 2010.

Visual outcome and complications of manual sutureless small incision cataract surgery. Pak J Ophthalmol 26:32-38

Khaw K.W., Lam H.H., Khang T.F., Kadir A.J.W.A., dan Subrayan V. 2014.

Spectral-domain optical coherence tomography evaluation of postoperative cystoid macular oedema following phacoemulsification with intraoperative complication. BMC Ophthalmology. 14:1-7

Khurana A.K. 2007. Comprehensive Ophthalmologi. Fourth edition. New Delhi:

New Age International. p. 89-202 Kim S.J. dan Bressler N.M. 2007. Analysis of macular edema after cataract

surgery in patients with diabetes using optical coherence tomography. Ophthalmol, 5: 881-889

Kwon S.I., Hwang D.J., Seo J.Y. dan Park I.W. 2011. Evaluation of Changes of

Macular Thickness in Diabetic Retinopathy after Cataract Surgery. Korean J Ophthalmol, 25(4): 238-242

Lally D.R., dan Shah C.P. 2014. Pseudophakic cystoid macular edema. Review of

Ophthalmology. 14:20-25 Lobo C.L. 2011. Pseudophakic Cystoid Macular Edema. Ophthalmologica, 10:1-7 Lobo C.L., Faria P.M., Soares M.A., Bernardes R.C., dan Chuca-Vaz J.G. 2004.

Macular alterations after small incision cataract surgery. J Cataract Refract Surg 30:752-760

Lu Z., Xin Q.Y., Ming L.M. dan Ling W.Y. 2012. Quantitative evaluation by

optical coherence tomography of prophylactic efficiency of Praponulin on macular edema after cataract surgery. Chinese medical Journal, 125: 4523-4525

Martinez M.R., dan Ophir A. 2011. Pseudophakic cystoid macular edema

associated with extrafoveal vitreoretinal traction. The Open Ophthalmology Journal. 5:35-41

Mentes J., Erakgun T. dan Afrashi F, Kerci G. 2003. Incidence of cystoid macular

edema after uncomplicated phacoemulsification. Ophthalmologica, 217:408-412

Page 78: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

Miyake K., Nishimura K. dan Harino S., Ota I., Asano S., Kondo N. Dan Miyake S. 2007. The Effect of Topical Diclofenac on Choroidal Blood Flow in Early Postoperative Pseudophakias with Regard to Cystoid Macular Edema Formation. Investigative Ophthalmology & Visual Science. Vol 48, 12:5647-5652

Murthy R.K. dan Chalam K.V. 2010. Spectral Domain OCT Documented

Resolution of Pseudophakic Cystoid Macular Edema after Intravitreal Triamcinolone. Ophthalmology and Eye Disease, 2: 1-4

Nagpal M., Nagpal K. dan Nagpal P.N. 2001. Postcataract cystoid macular edema.

Ophthalmol Clin North Am,14: 651–659. Natchiar G. 2000. Manual Small Incision Cataract Surgery: an alternative

technique to instrumental phacoemulsification. India: Aravind Eye Hospital & Postgraduate Institute of Ophthalmology. p. 3-41

Nirmalan P.K., Robin A.L., Katz J., Tielsch J.M., Thulasiraj R.D., Krisnadas R., dan Ramakrishnan R. 2004. Risk Factors for Age Related Cataract in a Rural Population of Southern India: The Aravind Comprehensive Eye Study. Br J Ophthalmol, 88: 989-94

Nishikiori T., dan Yamamoto K. 1987. Epidemiology of cataracts. Dev Ophthalmol,15:24-7

Nishino M., Eguchi H., Iwata A., Shiota H., Tanaka M. dan Tanaka T. 2008. Are

topical essential after an uneventful cataract surgery?. The Journal of Medical Investigation, 56:11-15

Noble B. dan Simmons I. 2001. Complications of Cataract Surgery: A Manual.

Oxford: Butterworth-Heinemann. p. 19-74 Norregaard J.C., Bernth P. dan Bellan L. 1999. Intraoperative clinical practice and

risk of early complications after cataract extraction in the United states, Canada, Denmark, and Spain. Ophthalmology, 4: 42-48

Oduntan O.A., dan Mashige K.P. 2011. A review of the role of oxidative stress in

the pathogenesis of eye diseases. S Afr Optom, 70:191-9 Novita D.H. dan Moestijab. 2008. Optical Coherence Tomography (OCT)

Posterior Segment. Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), 3: 169-177 Prasad S. 2013. Cystoid macular edema and subtle macular pathologies affecting

visual outcome after phacoemulsification. ASCRS. San Francisco. p. 23-202

Page 79: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

Percival P. 1981. Clinical factors relating to cystoid macular edema after lens implantation. J Am Intraocul Implant Soc, 7: 43-5

Powe N.R., Schein O.D., Gieser S.C., Tielsch J.M., Luthra R., Javitt J. dan

Steiberg E.P.(1994). Synthesis of the literature on visual acuity and complicationns following cataract extraction with intraocular lens implantation. Cataract Patient Outcome Research Team. Arch Ophthalmol, 112: 239-252

Purba D.M., Hutauruk J.A., Riyanto S.B., Istiantoro D.V. dan Manurung F.M.

2010. A sampai Z Seputar Fakoemulsifikasi. Jakarta: Info JEC. p. 17-51 Ray S. dan D’Amico D.J. 2002. Pseudophakic cystoid macular edema. Semin

Ophthalmol, 17: 167-80 Reddy R. dan Kim S.J. 2011. Critical appraisal of ophthalmic ketorolac in

treatment of pain and inflammation following cataract surgery. Clinical Ophthalmology 5: 751-758

Rossetti L. dan Autelitano A. 2000. Cystoid macular edema following cataract

surgery. Curr Opin Ophthalmol; 11: 65–72 Ruit S., Tabin G., Chang D., Bajracharya L., Kline D.C., Richeimer W., Shresta

M., dan Paudyal G.A. 2007. Prospective randomized clinical trial of phacoemulsification vs manual small incision extracapsular cataract surgery in Nepal. Am J Ophthalmol. 143:32-38

Sahin M., Cingu A.K. dan Gozum N. 2013. Evaluation of Cystoid Macular Edema

Using Optical Cohorence Tomography and Fundus Autofluorescence after Uncomplicated Phacoemulsification Surgery. Hindawi Publishing Corporation Journal of Ophthalmology, 5: 1-5

Saxena S. dan Meredith T.A. 2006. Optical Coherence Tomography in Retinal

Disease. New Delhi: Jaypee Brothers. p. 1-45 Schoenberger S.D. dan Kim S.J. 2012. Review Article: Nonsteroidal Anti-

Inflammatory Disease. Hindawi Publishing Corporation Journal of Ophthalmology, 8: 1-8

Sihota R. dan Tandan R. 2007. Parson’s Diseases of The Eye. Indian: Elsevier. p. 247-69

Soehardjo, 2004. “Kebutaan Katarak: Faktor-faktor Resiko, Penanganan Klinis, dan Pengendalian” (disertasi). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Soekardi I. dan Hutauruk J.A. 2004. Transisi Menuju Fakoemulsifikasi, Langkah-langkah menguasai teknik & menghindari komplikasi. Edisi 1. Jakarta. Kelompok Yayasan Obor Indonesia. P1-7

Page 80: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

Subramanian M.L., Devaiah A.K. dan Warren A.K. 2009. Incidence of

Postoperative Cystoid Macular Edema by a Single Surgeon. Digital Journal of Ophthalmology 4; 125-130

Udaondo P., Pous M.G., Delpech S.G., Salom D. dan Llopis M.D. 2011.

Prophylaxis of Macular Edema with Intravitreal Ranibizumab in patients with Diabetic Retinopathy after Cataract Surgery: A Pilot Study. Hindawi Publishing Corporation Journal of Ophthalmology, 4: 1-4

Ursell P.G., Spalton D.J. dan Whitcup S.M. 1999. Cystoid macular edema after

phacoemulsification: relationship to blood-aqueous barrier damage and visual acuity. J Cataract Refract Surg, 25: 1492-1497

Valero M.P., Fletcher A.E., Stavola B.L., dan Alepúz V.C. 2007. Years of Sunlight Exposure and Cataract: a Case-Control Study in a Mediterranean population. BMC Ophthalmology, 7:1-8

Vukicevic M., Franzco T.G. dan Franzco S.A.Q. 2012. Prevalence of optical coherence tomography-diagnosed postoperative cystoid macular oedema in patients following uncomplicated phacoemulsification cataract surgery. Clinical & Experimental Ophthalmology, 3:282-287

Witpenn J.R., Silverstein S., Heier J., Kenyon K.R., Hunkeler J.D dan Earl. 2008.

On Behalf of The Acular LS for Cystoid Macular Edema (ACME): A randomized masked comparison of topical Ketorolac 0.4 plus steroid vs steroid alone in low risk cataract surgery patients. Am J ophthalmol, 146:554-560

Ziaulhak S.R. 2007. Profil Penderita Katarak dan Pterigium di Kalimantan Timur Analisis Faktor Resiko Paparan Sinar Ultraviolet. Tesis. Jakarta: Universitas Indonesia

Page 81: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

Lampiran 1. Penjelasan Penelitian

INFORMASI YANG DIBERIKAN KEPADA SUBJEK PENELITIAN

Penelitian “Insiden Cystoid Macular Edema Pasca Bedah Katarak

Dengan Teknik Fakoemulsifikasi Lebih Rendah Daripada Teknik

Manual Small Incision Cataract Surgery”

Bapak dan ibu Yth,

Katarak sampai saat ini masih menjadi penyebab kebutaan yang paling

utama. Bapak/Ibu saat ini menderita penyakit katarak senilis, yaitu kekeruhan

lensa mata karena proses penuaan yang timbul pada usia di atas 40 tahun. Apabila

penyakit ini dibiarkan tanpa penanganan akan mengakibatkan kebutaan.

Pengobatan untuk katarak senilis adalah dengan pembedahan, tujuan pembedahan

adalah untuk meningkatkan optimalisasi penglihatan. Beberapa teknik bedah

katarak yang berkembang saat ini adalah teknik bedah katarak dengan sayatan

luka yang kecil yaitu fakoemulsifikasi dan Manual Small Incision Cataract

Surgery (MSICS).

Setiap pembedahan memiliki resiko komplikasi, tidak terkecuali bedah

katarak. Komplikasi dapat terjadi pada saat operasi dan pasca/setelah operasi.

Komplikasi setelah operasi dapat segera terjadi atau juga terlambat. Salah satu

komplikasi yang muncul terlambat setelah bedah katarak yaitu cystoid macular

edema (CME). Cystoid macular edema adalah pembengkakan makula disertai

kantung-kantung kista, komplikasi ini kemungkinan terjadi adalah karena suatu

peradangan (inflamasi) karena tindakan bedah katarak. CME biasanya muncul

diantara minggu ke-tiga sampai minggu ke- dua belas. Komplikasi ini dapat

Page 82: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

menghambat optimalisasi penglihatan. Saat ini penelitian perbandingan tentang

insiden CME pasca bedah katarak dengan teknik fakoemulsifikasi dan MSICS

belum dilaporkan, padahal teknik bedah katarak ini paling sering dipakai.

Pemeriksaan untuk menilai CME pasca bedah katarak dapat menggunakan

alat Optical Coherence Tomography (OCT) yaitu alat non-kontak dan non-invasif

(tidak berbahaya) yang sensitif dalam menilai dan mengukur terjadinya CME.

Pemeriksaan CME dengan menggunakan alat OCT ini adalah yang paling akurat

dibandingkan pemeriksaan lainnya. Pemeriksaan CME akan dilakukan pada

minggu ke-empat setelah operasi katarak. Apabila CME dapat segera terdeteksi

maka akan segera ditangani sehingga optimalisasi penglihatan setelah bedah

katarak segera tercapai.

Apabila bapak/ibu bersedia ikut dalam penelitian, kami mohon bapak/ibu

menandatangani surat persetujuan dan bersedia kontrol pada waktu yang telah

ditentukan. Data mengenai bapak/ibu akan kami rahasiakan. Demikian penjelasan

ini kami sampaikan, dan atas kesediaan bapak/ibu kami ucapkan terima kasih.

Bila ada hal-hal yang belum jelas, bapak/ibu dapat menghubungi peneliti dr. Mia

Purnama dengan nomor telepon 081345989226.

Peneliti

Dr. Mia Purnama

Page 83: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

Lampiran 2. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent)

Yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama :

Umur :

Alamat :

Telepon :

Setelah mendapatkan penjelasan yang lengkap mengenai maksud, tujuan dan

manfaat penelitian ini, maka menyatakan setuju dan bersedia ikut serta dalam

penelitian ini. Saya bersedia mentaati semua peraturan yang diberikan. Saya

mempunyai hak untuk mengundurkan diri dari penelitian ini bila saya

menginginkan dan tidak akan merusak hubungan dokter-pasien dengan saya.

Dengan memberi tanda tangan pada formulir ini, saya menyatakan setuju

mengikuti penelitian ini.

Denpasar, ............................ 2014

Tanda tangan pasien Peneliti

................................... dr. Mia Purnama

Saksi

....................................

Page 84: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

Lampiran 3. Kuisioner Penelitian 1.Nomor Rekam Medis : 2. Tanggal Pemeriksaan : 3. Nama : 4. Umur : 5. Jenis Kelamin : 6. Alamat : 7. Pekerjaan : 8. Nomor Telepon : 9. Mata yang diteliti : OD / OS 1. Riwayat operasi mata yang diteliti : ada/tidak Jika ada sebutkan jenis operasi dan kapan dilakukan............................................. 2. Riwayat infeksi mata yang diteliti : ada/ tidak Jika ada sebutkan jenis infeksi dan kapan terjadi.................................................... 3. Riwayat trauma mata (trauma tajam, tumpul) yang diteliti: ada/tidak Jika ada sebutkan tindakan penanganan dan kapan............................................... 4. Riwayat penyakit retina mata yang diteliti : ada/tidak Jika ada sebutkan jenis, penanganan dan kapan.................................................... 5. Riwayat laser intra okular mata yang diteliti : ada/tidak Jika ada sebutkan jenis dan kapan.......................................................................... 6. Riwayat glaukoma mata yang diteliti : ada/tidak Pemeriksaan Pre-operasi

Pemeriksaan

OD / OS

Tajam Penglihatan

Derajat Kekeruhan (Buratto)

Fundus

Tekanan Intra Okular

Retinometry

Power LIO

Tekanan Darah

Gula Darah Sewaktu

Jadwal Operasi

Pemeriksaan Pasca- Operasi Tanggal :

No Urut : Perlakuan :

Page 85: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

Pemeriksaan

Ada/tidak

Komplikasi Intra operatif Ada/tidak

Jenis komplikasi intra operatif

- Trauma iris

- Iris Prolaps

- Robek Kapsul Posterior

- Vitreous Loss

- Penempatan LIO

- Hifema

Ada/tidak

Ada/tidak

Ada/tidak

Ada/tidak

In the bag/sulkus siliaris/BMD/afakia

Ada/tidak

CME (OCT) Ada/tidak

Central macular thickness (µm) ................

Hasil Pemeriksaan OCT

Kriteria Ada Tidak ada

Kista

Penebalan Makula

Hilangnya depresi fovea

Kesimpulan CME : Ya / Tidak

Penginterpretasi Hasil

( )

Page 86: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

Lampiran 4. Randomisasi blok permutasi

Blok 1 B B A A B A

Blok 2 A B A A B B

Blok 3 A A B B B A

Blok 4 A B B A A B

Blok 5 A A B B A B

Blok 6 A B B B A A

Blok 7 B B A A A B

Blok 8 A B A A B B

Blok 9 B A B A A B

Blok 10 A B A A B B

Blok 11 B A B A A B

Daftar nomor urut sampel dan perlakuan

No. Urut

Perlakuan No. Urut Perlakuan No. Urut Perlakuan

1 B 23 A 45 A

2 B 24 B 46 A

3 A 25 A 47 B

4 A 26 A 48 B

5 B 27 B 49 B

Page 87: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

6 A 28 B 50 A

7 A 29 A 51 B

8 B 30 B 52 A

9 A 31 A 53 A

10 A 32 B 54 B

11 B 33 B 55 A

12 B 34 B 56 B

13 A 35 A 57 A

14 A 36 A 58 A

15 B 37 B 59 B

16 B 38 B 60 B

17 B 39 A 61 B

18 A 40 A 62 A

19 A 41 A 63 B

20 B 42 B 64 A

21 B 43 A 65 A

22 A 44 B 66 B

Page 88: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

Lampiran 5 Tabel Induk Data Penelitian DATA PENELITIAN

No Perlakuan Nama Umur JK Pekerjaan

Mata Opr

Gr VA pre

VA post

CME CMT (µm)

Komplikasi

Jenis Komplikasi

1 MSICS NWR 64 P Petani OD III 3/60 6/6 Tidak 244 Tidak - 2 MSICS IGAA 54 P Wirasw

asta OS IV 1/60 6/6 Tidak 273 Tidak -

3 Fakoemulsifikasi

IKW 56 L Wiraswasta

OD III 3/60 6/6 Tidak 238 Tidak -

4 Fakoemulsifikasi

NNW 62 P Pedagang

OS III 6/60 6/6 Tidak 238 Tidak -

5 MSICS IWS 74 L Petani OD IV 1/60 6/20 YA 294 Ada VP, robek kap post, IOL sulc

6 Fakoemulsifikasi

NWP 87 P IRT OS III 6/38 6/6 Tidak 233 Tidak -

7 Fakoemulsifikasi

INR 78 L Petani OD IV 1/60 6/6 YA 234 Tidak -

8 MSICS KL 82 P IRT OD III 6/60 6/9 YA 316 Tidak - 9 Fakoemulsi

fikasi IKS 71 L Petani OS III 3/60 6/6 Tidak 252 Tidak -

10 Fakoemulsifikasi

IMR 69 L Petani OS IV 1/60 6/6 Tidak 254 Tidak -

11 MSICS NNR 64 P IRT OS III 6/60 6/6 Tidak 283 Ada VP, robek kap post, IOL sulc

12 MSICS IWD 77 L Petani OS III 6/60 6/6 Tidak 254 Tidak - 13 Fakoemulsi

fikasi NSKS 56 P Petani OS III 6/60 6/6 Tidak 103 Tidak -

14 Fakoemulsifikasi

INB 57 L Petani OD III 6/60 6/6 Tidak 232 Tidak -

15 MSICS AAPW 50 L Petani OD III 1/300 6/6 Tidak 306 Tidak - 16 MSICS AAKA 71 L Wirasw

asta OS III 6/60 6/6 Tidak 266 Tidak -

17 MSICS NNS 79 P Petani OD IV LP 6/75 Tidak 256 Tidak - 18 Fakoemulsi

fikasi NWL 75 P Petani OD III 6/60 6/6 Tidak 283 Tidak -

19 Fakoemulsifikasi

NWR 55 P IRT OS IV 1/60 6/6 Tidak 182 Tidak -

20 MSICS IKG 79 L Petani OS IV 1/300 6/6 Tidak 262 Ada VP, robek kap post, IOL sulc

21 MSICS IGPA 67 L Petani OS III 6/48 6/6 Tidak 282 Tidak - 22 Fakoemulsi IKL 61 L Petani OS IV 1/300 6/7,5 Tidak 277 Tidak -

Page 89: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

fikasi 23 Fakoemulsi

fikasi IWS 58 L Wirasw

asta OD II 6/30 6/6 Tidak 285 Tidak -

24 MSICS SR 66 P IRT OS II 6/30 6/6 Tidak 222 Tidak - 25 Fakoemulsi

fikasi NMR 59 P Pedaga

ng OS III 6/60 6/6 Tidak 293 Tidak -

26 Fakoemulsifikasi

NNR 70 P Petani OD III 6/48 6/9 Tidak 217 Tidak -

27 MSICS IWG 74 L Petani OS V 1/~ 6/20 YA 367 Tidak - 28 MSICS NNN 65 P Petani OD IV 1/60 6/6 Tidak 213 Ada VP,

robek kap post, IOL sulc

29 Fakoemulsifikasi

IWP 52 L Petani OD III 6/30 6/6 Tidak 263 Tidak -

30 MSICS NMT 62 P IRT OD V 1/~ 6/10 YA 316 Tidak - 31 Fakoemulsi

fikasi IWG 69 L Petani OS IV 1/300 6/7,5 Tidak 219 Tidak -

No Perlakuan Nama Umur JK Pekerjaan

Mata Opr

Gr VA pre

VA post

CME CMT (µm)

Komplikasi

Jenis Komplikasi

32 MSICS IMK 73 L Petani OS IV 1/300 6/6 Tidak 291 Tidak - 33 MSICS NNW 75 P IRT OS V 1/~ 6/6 Tidak 270 Tidak - 34 MSICS INS 78 L Buruh OS III 6/38 6/6 Tidak 286 Tidak - 35 Fakoemulsi

fikasi NMM 81 P IRT OD III 6/38 6/6 Tidak 259 Tidak -

36 Fakoemulsifikasi

NNG 69 P IRT OD III 6/60 6/6 Tidak 266 Tidak -

37 MSICS INR 65 L Petani OD III 6/60 6/6 Tidak 261 Tidak - 38 MSICS INPW 47 L Pegawa

i OS IV 1/300 6/6 Tidak 257 Tidak -

39 Fakoemulsifikasi

BD 61 L PNS OD III 6/60 6/6 Tidak 262 Tidak -

40 Fakoemulsifikasi

IWS 80 P IRT OS III 6/30 6/9 Tidak 230 Tidak -

41 Fakoemulsifikasi

INJ 77 L Petani OS IV 1/60 6/6 Tidak 261 Tidak -

42 MSICS NNRA 62 P PNS OS III 4/60 6/60 YA 624 Tidak - 43 Fakoemulsi

fikasi IWR 69 L Petani OS III 6/48 6/6 Tidak 220 Tidak -

44 MSICS IKC 70 L Petani OD II 6/30 6/6 Tidak 255 Tidak - 45 Fakoemulsi

fikasi RDB 60 P IRT OS III 6/60 6/6 Tidak 221 Tidak -

46 Fakoemulsifikasi

IKP 76 L Wiraswasta

OS III 6/38 6/6 Tidak 289 Tidak -

47 MSICS IMN 64 L Petani OD III 6/38 6/6 Tidak 265 Tidak - 48 MSICS LS 67 L PNS OD II 6/20 6/6 Tidak 293 Tidak - 49 MSICS NMR 76 P IRT OD III 6/60 6/9 YA 370 Tidak - 50 Fakoemulsi

fikasi NKL 67 L PNS OS III 6/60 6/6 Tidak 243 Tidak -

51 MSICS GAS 66 P IRT OS III 6/48 6/6 Tidak 260 Tidak - 52 Fakoemulsi NS 50 P Wirasw OD III 6/48 6/6 Tidak 226 Tidak -

Page 90: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

fikasi asta 53 Fakoemulsi

fikasi IMDS 65 L Wirasw

asta OS II 6/30 6/6 Tidak 272 Tidak -

54 MSICS NNL 55 P IRT OS IV 1/300 6/6 Tidak 283 Tidak - 55 Fakoemulsi

fikasi AAMS 62 P IRT OS III 3/60 6/6 Tidak 287 Tidak -

56 MSICS IKS 72 L TNI OS III 6/60 6/6 Tidak 242 Tidak - 57 Fakoemulsi

fikasi IGKT 71 L Petani OS IV 1/300 6/7,5 Tidak 302 Tidak -

58 Fakoemulsifikasi

KS 67 L Wiraswasta

OS V 1/~ 6/7,5 Tidak 256 Ada VP, robek kap post, IOL sulc

59 MSICS IGPS 61 L Wiraswasta

OS III 3/60 6/6 Tidak 227 Tidak -

60 MSICS NMJ 77 P Petani OD IV 1/300 6/7,5 Tidak 250 Ada VP, robek kap post, IOL sulc

61 MSICS MS 60 L Petani OD II 6/30 6/6 Tidak 251 Tidak - 62 Fakoemulsi

fikasi DPR 75 L Tdk

bkerja OS III 6/48 6/7,5 Tidak 260 Tidak -

Page 91: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

Lampiran 6 Hasil Pemeriksaan CME

Hasil Pemeriksaan CME No CME

(Ya/Tidak) CMT (µm)

1 Tidak 244 2 Tidak 273 3 Tidak 238 4 Tidak 238 5 YA 294 6 Tidak 233 7 YA 234 8 YA 316 9 Tidak 252 10 Tidak 254 11 Tidak 283 12 Tidak 254 13 Tidak 103 14 Tidak 232 15 Tidak 306 16 Tidak 266 17 Tidak 256 18 Tidak 283 19 Tidak 182 20 Tidak 262 21 Tidak 282 22 Tidak 277 23 Tidak 285 24 Tidak 222 25 Tidak 293 26 Tidak 217 27 YA 367 28 Tidak 213 29 Tidak 263 30 YA 316 31 Tidak 219 32 Tidak 291 33 Tidak 270 34 Tidak 286 35 Tidak 259 36 Tidak 266 37 Tidak 261 38 Tidak 257 39 Tidak 262

Page 92: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK
Page 93: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

Lampiran 7. Hasil Output SPSS

Crosstabs

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

jenis ekstraksi katarak *

cystoid macular edema

62 100.0% 0 .0% 62 100.0%

jenis ekstraksi katarak * cystoid macular edema Crosstabulation

cystoid macular edema

CME tidak CME

jenis ekstraksi katarak fakoemulsifikasi Count 1 30

% within jenis ekstraksi

katarak

3.2% 96.8%

SICS Count 6 25

% within jenis ekstraksi

katarak

19.4% 80.6%

Total Count 7 55

% within jenis ekstraksi

katarak

11.3% 88.7%

jenis ekstraksi katarak * cystoid macular edema Crosstabulation

Page 94: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

Total

jenis ekstraksi katarak fakoemulsifikasi Count 31

% within jenis ekstraksi

katarak

100.0%

SICS Count 31

% within jenis ekstraksi

katarak

100.0%

Total Count 62

% within jenis ekstraksi

katarak

100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (1-

sided)

Pearson Chi-Square 4.026a 1 .045

Continuity Correctionb 2.577 1 .108

Likelihood Ratio 4.418 1 .036

Fisher's Exact Test .104 .052

N of Valid Cases 62

a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,50.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Page 95: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for jenis ekstraksi

katarak (fakoemulsifikasi /

SICS)

.139 .016 1.232

For cohort cystoid macular

edema = CME

.167 .021 1.305

For cohort cystoid macular

edema = tidak CME

1.200 .998 1.442

N of Valid Cases 62

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

jenis ekstraksi katarak *

komplikasi intraoperatif

62 100.0% 0 .0% 62 100.0%

jenis ekstraksi katarak * komplikasi intraoperatif Crosstabulation

komplikasi intraoperatif

Page 96: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

ada tidak ada

jenis ekstraksi katarak fakoemulsifikasi Count 1 30

% within jenis ekstraksi

katarak

3.2% 96.8%

SICS Count 5 26

% within jenis ekstraksi

katarak

16.1% 83.9%

Total Count 6 56

% within jenis ekstraksi

katarak

9.7% 90.3%

jenis ekstraksi katarak * komplikasi intraoperatif Crosstabulation

Total

jenis ekstraksi katarak fakoemulsifikasi Count 31

% within jenis ekstraksi

katarak

100.0%

SICS Count 31

% within jenis ekstraksi

katarak

100.0%

Total Count 62

% within jenis ekstraksi

katarak

100.0%

Case Processing Summary

Cases

Page 97: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

jenis ekstraksi katarak *

jeniskomplikasi

62 100.0% 0 .0% 62 100.0%

jenis ekstraksi katarak * jeniskomplikasi Crosstabulation

jeniskomplikasi

ruptur capsul

post, VP

tidak ada

komplikasi

jenis ekstraksi katarak fakoemulsifikasi Count 1 30

% within jenis ekstraksi

katarak

3.2% 96.8%

SICS Count 5 26

% within jenis ekstraksi

katarak

16.1% 83.9%

Total Count 6 56

% within jenis ekstraksi

katarak

9.7% 90.3%

jenis ekstraksi katarak * jeniskomplikasi Crosstabulation

Page 98: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

Total

jenis ekstraksi katarak fakoemulsifikasi Count 31

% within jenis ekstraksi

katarak

100.0%

SICS Count 31

% within jenis ekstraksi

katarak

100.0%

Total Count 62

% within jenis ekstraksi

katarak

100.0%

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

jenis ekstraksi katarak *

jeniskelamin

62 100.0% 0 .0% 62 100.0%

jenis ekstraksi katarak *

pekerjaan

62 100.0% 0 .0% 62 100.0%

jenis ekstraksi katarak *

mataoperasi

62 100.0% 0 .0% 62 100.0%

jenis ekstraksi katarak *

derajat kekeruhan lensa

(buratto)

62 100.0% 0 .0% 62 100.0%

jenis ekstraksi katarak * jeniskelamin Crosstabulation

jeniskelamin

Page 99: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

laki-laki perempuan

jenis ekstraksi katarak fakoemulsifikasi Count 18 13

% within jenis ekstraksi

katarak

58.1% 41.9%

SICS Count 17 14

% within jenis ekstraksi

katarak

54.8% 45.2%

Total Count 35 27

% within jenis ekstraksi

katarak

56.5% 43.5%

jenis ekstraksi katarak * jeniskelamin Crosstabulation

Total

jenis ekstraksi katarak fakoemulsifikasi Count 31

% within jenis ekstraksi

katarak

100.0%

SICS Count 31

% within jenis ekstraksi

katarak

100.0%

Total Count 62

% within jenis ekstraksi

katarak

100.0%

jenis ekstraksi katarak * pekerjaan Crosstabulation

Page 100: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

pekerjaan

petani wiraswasta

jenis ekstraksi katarak fakoemulsifikasi Count 13 8

% within jenis ekstraksi

katarak

41.9% 25.8%

SICS Count 15 4

% within jenis ekstraksi

katarak

48.4% 12.9%

Total Count 28 12

% within jenis ekstraksi

katarak

45.2% 19.4%

jenis ekstraksi katarak * pekerjaan Crosstabulation

pekerjaan

IRT pensiunan PNS

jenis ekstraksi katarak fakoemulsifikasi Count 7 2

% within jenis ekstraksi

katarak

22.6% 6.5%

SICS Count 8 3

% within jenis ekstraksi

katarak

25.8% 9.7%

Total Count 15 5

% within jenis ekstraksi

katarak

24.2% 8.1%

jenis ekstraksi katarak * pekerjaan Crosstabulation

pekerjaan

buruh tidak bekerja

Page 101: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

jenis ekstraksi katarak fakoemulsifikasi Count 0 1

% within jenis ekstraksi

katarak

.0% 3.2%

SICS Count 1 0

% within jenis ekstraksi

katarak

3.2% .0%

Total Count 1 1

% within jenis ekstraksi

katarak

1.6% 1.6%

jenis ekstraksi katarak * pekerjaan Crosstabulation

Total

jenis ekstraksi katarak fakoemulsifikasi Count 31

% within jenis ekstraksi

katarak

100.0%

SICS Count 31

% within jenis ekstraksi

katarak

100.0%

Total Count 62

% within jenis ekstraksi

katarak

100.0%

jenis ekstraksi katarak * mataoperasi Crosstabulation

mataoperasi

OD OS Total

Page 102: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

jenis ekstraksi katarak fakoemulsifikasi Count 11 20 31

% within jenis ekstraksi

katarak

35.5% 64.5% 100.0%

SICS Count 14 17 31

% within jenis ekstraksi

katarak

45.2% 54.8% 100.0%

Total Count 25 37 62

% within jenis ekstraksi

katarak

40.3% 59.7% 100.0%

jenis ekstraksi katarak * derajat kekeruhan lensa (buratto) Crosstabulation

derajat kekeruhan lensa (buratto)

II III IV

jenis ekstraksi katarak fakoemulsifikasi Count 2 21 7

% within jenis ekstraksi

katarak

6.5% 67.7% 22.6%

SICS Count 4 15 9

% within jenis ekstraksi

katarak

12.9% 48.4% 29.0%

Total Count 6 36 16

% within jenis ekstraksi

katarak

9.7% 58.1% 25.8%

jenis ekstraksi katarak * derajat kekeruhan lensa (buratto) Crosstabulation

derajat

kekeruhan

lensa (buratto)

Page 103: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

V Total

jenis ekstraksi katarak fakoemulsifikasi Count 1 31

% within jenis ekstraksi

katarak

3.2% 100.0%

SICS Count 3 31

% within jenis ekstraksi

katarak

9.7% 100.0%

Total Count 4 62

% within jenis ekstraksi

katarak

6.5% 100.0%

T-Test

Group Statistics

jenis ekstraksi

katarak N Mean

Umur fakoemulsifikasi 31 66.61

SICS 31 67.61

Vapreop fakoemulsifikasi 31 1.1677

SICS 31 1.3226

Vapostop fakoemulsifikasi 31 .0194

SICS 31 .0903

central macular thickness

(mikrometer)

fakoemulsifikasi 31 246.97

SICS 31 285.13

Group Statistics

jenis ekstraksi

katarak Std. Deviation Std. Error Mean

Umur fakoemulsifikasi 9.251 1.662

Page 104: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

SICS 8.804 1.581

Vapreop fakoemulsifikasi .44226 .07943

SICS .50775 .09119

Vapostop fakoemulsifikasi .06011 .01080

SICS .21657 .03890

central macular thickness

(mikrometer)

fakoemulsifikasi 38.207 6.862

SICS 72.159 12.960

Page 105: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

Lampiran 8 Kelaikan Etik

Page 106: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK
Page 107: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK

Lampiran 9 Surat Ijin Penelitian

Page 108: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK
Page 109: INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK