21
Imunologi Dasar Imunologi : ilmu yg mempelajari tentang sistem imun / kekebalan tubuh. Pengenalan, memori, serta kespesifikan terhadap benda asing merupakan inti imunologi. Konsep dasar Respon Imun : Reaksi terhadap sesuatu yang asing. Pemicunya disebut dengan Antigen, yaitu Substansi yg mampu merangsang respon imun, berupa bahan infeksiosa biasanya berbentuk protein atau karbohidrat, atau lemak. Antigen akan berkontak dgn sel tertentu, memacu serangkaian kejadian yang mengakibatkan destruksi, degradasi atau eliminasi. Respon imun : 1. Respon imun non spesifik. Terdiri atas : Fagositosis, Reaksi peradangan 2. Respon imun spesifik, terdapat 2 komponen : o Respon imun humoral, berupa globulin-gama tertentu / imunoglobulin. Diperankan limfosit B. o Respon imun selular, menyebabkan reaksi hipersensitif tipe lambat. Diperankan limfosit T Imunitas Humoral Diperankan limfosit B yang dapat berdeferensiasi menjadi sel plasma 80-90 % dalam sumsum tulang, 10-20 % dari limfosit darah tepi. Mensintesis imunoglobulin Ada 5 imunoglobulin : dari yang terbanyak & peranannya : 1. 1. Ig G : aktivasi komplemen,antibodi heterotropik 2. Ig A : antibodi sekretorik 3. Ig M : aktivasi komplemen 4. Ig D : reseptor permukaan limfosit 5. Ig E : antibodi reagin, pemusnah parasit.

Imunologi Dasar Popi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

materi imunologi

Citation preview

Page 1: Imunologi Dasar Popi

Imunologi Dasar

Imunologi : ilmu yg mempelajari tentang sistem imun / kekebalan tubuh. Pengenalan, memori, serta kespesifikan terhadap benda asing merupakan inti imunologi. Konsep dasar Respon Imun : Reaksi terhadap sesuatu yang asing. Pemicunya disebut dengan Antigen, yaitu Substansi yg mampu merangsang respon imun, berupa bahan infeksiosa biasanya berbentuk protein atau karbohidrat, atau lemak. Antigen akan berkontak dgn sel tertentu, memacu serangkaian kejadian yang mengakibatkan destruksi, degradasi atau eliminasi.Respon imun :

1. Respon imun non spesifik. Terdiri atas : Fagositosis, Reaksi peradangan2. Respon imun spesifik, terdapat 2 komponen :

o Respon imun humoral, berupa globulin-gama tertentu / imunoglobulin. Diperankan limfosit B.

o Respon imun selular, menyebabkan reaksi hipersensitif tipe lambat. Diperankan limfosit T

Imunitas Humoral

Diperankan limfosit B yang dapat berdeferensiasi menjadi sel plasma 80-90 % dalam sumsum tulang, 10-20 % dari limfosit darah tepi. Mensintesis imunoglobulin Ada 5 imunoglobulin : dari yang terbanyak & peranannya :

1.  1. Ig G :  aktivasi komplemen,antibodi heterotropik2. Ig A  :  antibodi sekretorik3. Ig M :  aktivasi komplemen4. Ig D :  reseptor permukaan limfosit5. Ig E  : antibodi reagin, pemusnah parasit.

Antibodi berperan pada 4 tipe reaksi imun :Reaksi tipe I    : reaksi anafilaksis.

Alergen + Ig E + sel Basofil  è pelepasan mediator ( histamin, serotonin dll) Contoh klinis : urtikaria

Reaksi tipe II  : reaksi sitotoksis

Antigen + Ig G / Ig M  + aktivasi komplemen è lisis dan fagositosis virus, bakteri dll Contoh klinis : pemfigoid.

Reaksi tipe III : reaksi kompleks imun.

Page 2: Imunologi Dasar Popi

Antigen + Antibodi + Komplemen è Tidak mudah dimusnahkan sistem fagosit è bereaksi dgn pembuluh darah atau jaringan

lain è kerusakan jaringan. Contoh klinis : vaskulitis nekrotikans.

Imunitas Selular

Diperankan sel T dgn limfokin-nya. Sel T 80-90 % jumlah limfosit darah tepi dan 90 % jumlah limfosit timus. Limfokin : zat yang dikeluarkan sel T yang mampu merangsang dan mempengaruhi

reaksi peradangan selular. Contoh : MIF ( Makrophage Inhibitory Factor), MAF ( Activating), faktor kemotaktik makrofag, dll.

Antigen spesifik + limfosit T + limfokin è reaksi hipersensitivitas lambat  (Reaksi tipe IV  ).

Contoh klinis : Dermatitis Kontak Alergik

Komplemenadalah kumpulan 9 protein plasma bukan antibodi yang diperlukan pada reaksi antigen - antibodi sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kematian mikroba serta lisis sel. Fungsi terpenting : mediator berbagai proses peradangan a.l : vasodilatasi, pengeluaran cairan, kemotaksis fagosit dll. Jadi aktivasi komplemen diperlukan untuk dapat terjadinya kerusakan jaringan serta komponen penting pada reaksi imun tipe II dan tipe III.Sistem Fagositosis

Fagosit adalah sel yang mampu memakan benda asing.Terdiri atas : PMN, Monosit dan Makrofag.

Fagosit akan tertarik ke daerah kerusakan jaringan oleh faktor kemotaksis yang dikeluarkan oleh berbagai jaringan.

Mediator

substansi kimia yang mempengaruhi dan memacu respons imun dan proses peradangan beberapa contoh : prostaglandin,  fibrinolisin, faktor kemotaktik, kinin, serotonin,

histamin dll Histamin : mediator penting selain penyebab vasodilatasi, pengeluaran protein,

menimbulkan rasa gatal juga secara langsung memacu respon peradangan.

Ringkasan

Respon imun terjadi sebagai akibat peristiwa yang menyangkut antigen, limfosit, antibodi, limfokin, mediator kimia & sel efektor untuk melindungi manusia dari bahan-bahan asing yang merugikan serta menyingkirkan jaringan mati atau rusak.

Tujuan utama respon imun adalah : Demi kebaikan manusia, namun kadang-kadang terjadi penyimpangan fungsi karena

kelebihan & kekurangan reaksinya.

Page 3: Imunologi Dasar Popi

o Kekurangan  : mudah infeksi & ketidakmampuan tubuh menghilangkan bahan berbahaya.

o Kelebihan   : proses peradangan yang tidak diperlukan  dan memicu penyakit autoimun.

Page 4: Imunologi Dasar Popi

Imunologi Dasar : Reaksi Hipersensitivitas

Reaksi Hipersensitivitas

Widodo Judarwanto. Children Allergy Online Clinic, Jakarta Indonesia

Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas.

Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe I hipersensitif anafilaktik, tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe III hipersensitif yang diperani kompleks imun, dan tipe IV hipersensitif cell-mediated (hipersensitif tipe lambat). Selain itu masih ada satu tipe lagi yang disebut sentivitas tipe V atau stimulatory hipersensitivity.

Pembagian reaksi hipersensitivitas oleh Gell dan Coombs adalah usaha untuk mempermudah evaluasi imunopatologi suatu penyakit. Dalam keadaan sebenarnya seringkali keempat mekanisme ini saling mempengaruhi. Aktivasi suatu mekanisme akan mengaktifkan mekanisme yang lainnya.

Page 5: Imunologi Dasar Popi

REAKSI HIPERSENTIVITAS TIPE I

Sel mast dan basofil pertama kali dikemukakan oleh Paul Ehrlich lebih dari 100 tahun yang lalu. Sel ini mempunyai gambaran granula sitoplasma yang mencolok. Pada saat itu sel mast dan basofil belum diketahui fungsinya. Beberapa waktu kemudian baru diketahui bahwa sel-sel ini mempunyai peran penting pada reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi tipe I) melalui mediator yang dikandungnya, yaitu histamin dan zat peradangan lainnya.

Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi reaksi anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk terjadinya suatu reaksi selular yang berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE spesifik yang berikatan dengan reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan alergen yang bersangkutan.

Proses aktivasi sel mast terjadi bila IgE atau reseptor spesifik yang lain pada permukaan sel mengikat anafilatoksin, antigen lengkap atau kompleks kovalen hapten-protein. Proses aktivasi ini akan membebaskan berbagai mediator peradangan yang menimbulkan gejala alergi pada penderita, misalnya reaksi anafilaktik terhadap penisilin atau gejala rinitis alergik akibat reaksi serbuk bunga.

Reaksi anafilaktoid terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran IgE. Sebagai contoh misalnya reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat kontras atau akibat anafilatoksin yang dihasilkan pada proses aktivasi komplemen (lihat bab mengenai komplemen).

Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A = eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis). Zat ini merupakan salah satu dari preformed mediators yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast selain histamin dan faktor kemotaktik neutrofil (NCF = neutrophil chemotactic factor). Mediator yang terbentuk kemudian merupakan metabolit asam arakidonat akibat degranulasi sel mast yang berperan pada reaksi tipe I.

Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu fase cepat dan fase lambat.

Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat biasanya terjadi beberapa menit setelah pajanan antigen yang sesuai. Reaksi ini dapat bertahan dalam beberapa jam walaupun tanpa kontak dengan alergen lagi. Setelah masa refrakter sel mast dan basofil yang berlangsung selama beberapa jam, dapat terjadi resintesis mediator farmakologik reaksi hipersensitivitas, yang kemudian dapat responsif lagi terhadap alergen.

o Reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat Mekanisme terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat ini belum jelas benar diketahui. Ternyata sel mast masih merupakan sel yang menentukan terjadinya reaksi ini seperti terbukti bahwa reaksi alergi tipe lambat jarang terjadi tanpa didahului reaksi alergi fase cepat. Sel mast dapat membebaskan mediator kemotaktik dan sitokin yang menarik sel radang ke tempat terjadinya reaksi alergi. Mediator fase aktif dari sel mast tersebut akan meningkatkan permeabilitas kapiler yang meningkatkan sel radang.

o Limfosit mungkin memegang peranan dalam timbulnya reaksi alergi fase lambat dibandingkan dengan sel mast. Limfosit dapat melepaskan histamin releasing

Page 6: Imunologi Dasar Popi

factor dan sitokin lainnya yang akan meningkatkan pelepasan mediator-mediator dari sel mast dan sel lain.

o Eosinofil dapat memproduksi protein sitotoksik seperti major basic protein (MBP) afau eosinophil cationic protein (ECP). Makrofag dan neutrofil melepas faktor kemotaktik, sitokin, oksigen radikal bebas, serta enzim yang berperan di dalam peradangan. Neutrofil adalah sel yang pertama berada pada infiltrat peradangan setelah reaksi alergi fase cepat dalam keadaan teraktivasi yang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan jaringan dan menarik sel lain, terutama eosinofil.

Mediators:

Histamin Slow-reacting substance of anaphylaxis (SRS-A) Bradykinin. Serotonin (5-hydroxytryptamine) Eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis (ECF-A). Platelet activating factor (PAF). Prostaglandins hasil produksi metabolisme cyclooxygenase dari arachidonic acid.

Prostaglandin E1 (PGE1) dan PGE2 adalah bronchodilators dan vasodilators kuat. PGI2 atau prostacyclin adalah suatu disaggregates platelets.

Genetic factors: Hay fever, asthma, and food allergies, show familial tendency.

Manifestasi Klinis

Anaphylaxis Atopy  immediate hypersensitivity response Terapi : Avoidance, Hyposensitization, pemberian modified allergens atau ”allergoids”. Obat Diphenhydramine, Corticosteroids, Epinephrine. Sodium cromolyn, Theophylline

Mediator penyakit alergi (hipersensitivitas tipe I) Seperti telah diuraikan di atas bahwa mediator dibebaskan bila terjadi interaksi antara antigen dengan IgE spesifik yang terikat pada membran sel mast. Mediator ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast (preformed mediator) dan mediator yang terbentuk kemudian (newly formed mediator). Menurut asalnya mediator ini juga dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu mediator dari sel mast atau basofil (mediator primer), dan mediator dari sel lain akibat stimulasi oleh mediator primer (mediator sekunder).

Mediator yang sudah ada dalam granula sel mast

Terdapat 3 jenis mediator yang penting yaitu histamin, eosinophil chemotactic factor of anaphylactic (ECF-A), dan neutrophil chemoctatic factor (NCF).

1. Histamin

Page 7: Imunologi Dasar Popi

Histamin dibentuk dari asam amino histidin dengan perantaraan enzim histidin dekarboksilase. Setelah dibebaskan, histamin dengan cepat dipecah secara enzimatik serta berada dalam jumlah kecil dalam cairan jaringan dan plasma. Kadar normal dalam plasma adalah kurang dari 1 ng/μL akan tetapi dapat meningkat sampai 1-2 ng/μL setelah uji provokasi dengan alergen. Gejala yang timbul akibat histamin dapat terjadi dalam beberapa menit berupa rangsangan terhadap reseptor saraf iritan, kontraksi otot polos, serta peningkatan permeabilitas vaskular.

Manifestasi klinis pada berbagai organ tubuh bervariasi. Pada hidung timbul rasa gatal, hipersekresi dan tersumbat. Histamin yang diberikan secara inhalasi dapat menimbulkan kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi. Gejala kulit adalah reaksi gatal berupa wheal and flare, dan pada saluran cerna adalah hipersekresi asam lambung, kejang usus, dan diare. Histamin mempunyai peran kecil pada asma, karena itu antihistamin hanya dapat mencegah sebagian gejala alergi pada mata, hidung dan kulit, tetapi tidak pada bronkus.

Kadar histamin yang meninggi dalam plasma dapat menimbulkan gejala sistemik berat (anafilaksis). Histamin mempunyai peranan penting pada reaksi fase awal setelah kontak dengan alergen (terutama pada mata, hidung dan kulit). Pada reaksi fase lambat, histamin membantu timbulnya reaksi inflamasi dengan cara memudahkan migrasi imunoglobulin dan sel peradangan ke jaringan. Fungsi ini mungkin bermanfaat pada keadaan infeksi. Fungsi histamin dalam keadaan normal saat ini belum banyak diketahui kecuali fungsi pada sekresi lambung. Diduga histamin mempunyai peran dalam regulasi tonus mikrovaskular. Melalui reseptor H2 diperkirakan histamin juga mempunyai efek modulasi respons beberapa sel termasuk limfosit.

2. Faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A)

Mediator ini mempunyai efek mengumpulkan dan menahan eosinofil di tempat reaksi radang yang diperan oleh IgE (alergi). ECF-A merupakan tetrapeptida yang sudah terbentuk dan tersedia dalam granulasi sel mast dan akan segera dibebaskan pada waktu degranulasi (pada basofil segera dibentuk setelah kontak dengan alergen).

Mediator lain yang juga bersifat kemotaktik untuk eosinofil ialah leukotrien LTB4 yang terdapat dalam beberapa hari. Walaupun eosinofilia merupakan hal yang khas pada penyakit alergi, tetapi tidak selalu patognomonik untuk keterlibatan sel mast atau basofil karena ECF-A dapat juga dibebaskan dari sel yang tidak mengikat IgE.

3. Faktor kemotaktik neutrofil (NCF)

NCF (neutrophyl chemotactic factor) dapat ditemukan pada supernatan fragmen paru manusia setelah provokasi dengan alergen tertentu. Keadaan ini terjadi dalam beberapa menit dalam sirkulasi penderita asma setelah provokasi inhalasi dengan alergen atau setelah timbulnya urtikaria fisik (dingin, panas atau sinar matahari). Oleh karena mediator ini terbentuk dengan cepat maka diduga ia merupakan mediator primer. Mediator tersebut mungkin pula berperan pada reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat yang akan menyebabkan banyaknya neutrofil di tempat reaksi. Leukotrien LTB4 juga bersifat kemotaktik terhadap neutrofil.

Page 8: Imunologi Dasar Popi

Mediator yang terbentuk kemudian

Mediator yang terbentuk kemudian terdiri dari hasil metabolisme asam arakidonat, faktor aktivasi trombosit, serotonin, dan lain-lain. Metabolisme asam arakidonat terdiri dari jalur siklooksigenase dan jalur lipoksigenase yang masing-masing akan mengeluarkan produk yang berperan sebagai mediator bagi berbagai proses inflamasi (lihat Gambar 12-3).

1. Produk siklooksigenase

Pertubasi membran sel pada hampir semua sel berinti akan menginduksi pembentukan satu atau lebih produk siklooksigenase yaitu prostaglandin (PGD2, PGE2, PGF2) serta tromboksan A2 (TxA2).

Tiap sel mempunyai produk spesifik yang berbeda. Sel mast manusia misalnya membentuk PGD2 dan TxA2 yang menyebabkan kontraksi otot polos, dan TxA2 juga dapat mengaktivasi trombosit. Prostaglandin juga dibentuk oleh sel yang berkumpul di mukosa bronkus selama reaksi alergi fase lambat (neutrofil, makrofag, dan limfosit).

Prostaglandin E mempunyai efek dilatasi bronkus, tetapi tidak dipakai sebagai obat bronkodilator karena mempunyai efek iritasi lokal. Prostaglandin F (PGF2) dapat menimbulkan kontraksi otot polos bronkus dan usus serta meningkatkan permeabilitas vaskular. Kecuali PGD2, prostaglandin serta TxA2 berperan terutama sebagai mediator sekunder yang mungkin menunjang terjadinya reaksi peradangan, akan tetapi peranan yang pasti dalam reaksi peradangan pada alergi belum diketahui.

2. Produk lipoksigenase

Leukotrien merupakan produk jalur lipoksigenase. Leukotrien LTE4 adalah zat yang membentuk slow reacting substance of anaphylaxis (SRS-A). Leukotrien LTB4 merupakan kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil, sedangkan LTC4, LTD4 dan LTE4 adalah zat yang dinamakan SRS-A. Sel mast manusia banyak menghasilkan produk lipoksigenase serta merupakan sumber hampir semua SRS-A yang dibebaskan dari jaringan paru yang tersensitisasi.

‘Slow reacting substance of anaphylaxis’

Secara in vitro mediator ini mempunyai onset lebih lambat dengan masa kerja lebih lama dibandingkan dengan histamin, dan tampaknya hanya didapatkan sedikit perbedaan antara kedua jenis mediator tersebut. Mediator SRS-A dianggap mempunyai peran yang lebih penting dari histamin dalam terjadinya asma. Mediator ini mempunyai efek bronkokonstriksi 1000 kali dari histamin. Selain itu SRS-A juga meningkatkan permeabilitas kapiler serta merangsang sekresi mukus. Secara kimiawi, SRS-A ini terdiri dari 3 leukotrien hasil metabolisme asam arakidonat, yaitu LTC4, LTD4, serta LTE4.

Faktor aktivasi trombosit (PAF = ‘Platelet activating factor’)

Page 9: Imunologi Dasar Popi

Mediator ini pertama kali ditemukan pada kelinci dan selanjutnya pada manusia. PAF dapat menggumpalkan trombosit serta mengaktivasi pelepasan serotonin dari trombosit. Selain itu PAF juga menimbulkan kontraksi otot polos bronkus serta peningkatan permeabilitas vaskular. Aktivasi trombosit pada manusia terjadi pada reaksi yang diperan oleh IgE.

Serotonin

Sekitar 90% serotonin tubuh (5-hidroksi triptamin) terdapat di mukosa saluran cerna. Serotonin ditemukan pada sel mast binatang tetapi tidak pada sel mast manusia. Dalam reaksi alergi pada manusia, serotonin merupakan mediator sekunder yang dilepaskan oleh trombosit melalui aktivasi produk sel mast yaitu PAF dan TxA2. Serotonin dapat meningkatkan permeabilitas pembuluh darah.

SITOKIN DALAM REGULASI REAKSI ALERGI

Selain mediator yang telah disebutkan tadi, sel mast juga merupakan sumber beberapa sitokin yang mempengaruhi sel yang berperan pada reaksi alergi.

Pada individu yang cenderung untuk alergi, paparan terhadap beberapa antigen menyebabkan aktivasi sel Th2 dan produksi IgE (lihat Gambar 12-4). Individu normal tidak mempunyai respons Th2 yang kuat terhadap sebagian besar antigen asing. Ketika beberapa individu terpapar antigen seperti protein pada serbuk sari (pollen), makanan tertentu, racun pada serangga, kutu binatang, atau obat tertentu misalnya penisilin, respons sel T yang dominan adalah pembentukan sel Th2. Individu yang atopik dapat alergi terhadap satu atau lebih antigen di atas. Hipersensitivitas tipe cepat terjadi sebagai akibat dari aktivasi sel Th2 yang berespons terhadap antigen protein atau zat kimia yang terikat pada protein. Antigen yang menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi alergik) sering disebut sebagai alergen.

Interleukin (IL)-4 dan IL-13, yaitu sebagian dari sitokin yang disekresi oleh sel Th2, akan menstimulasi limfosit B yang spesifik terhadap antigen asing untuk berdiferensiasi menjadi sel plasma yang kemudian memproduksi IgE. Oleh sebab itu, individu yang atopik akan memproduksi IgE dalam jumlah besar sebagai respons terhadap antigen yang tidak akan menimbulkan respons IgE pada sebagian besar orang. Kecenderungan ini mempunyai dasar genetika yang kuat dengan banyak gen yang berperan.

Reaksi peradangan alergi telah diketahui dikoordinasi oleh subset limfosit T4 yaitu Th2. Limfosit ini memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, TNFα, serta GM-CSF tetapi tidak memproduksi IL-2 atau INF (diproduksi oleh sel Th1). Alergen diproses oleh makrofag (APC) yang mensintesis IL-1. Zat ini merangsang dan mengaktivasi sel limfosit T yang kemudian memproduksi IL-2 yang merangsang sel T4 untuk memproduksi interleukin lainnya. Ternyata sitokin yang sama juga diproduksi oleh sel mast sehingga dapat diduga bahwa sel mast juga mempunyai peran sentral yang sama dalam reaksi alergi. Produksi interleukin diperkirakan  dapat  langsung  dari  sel  mast  atau  dari  sel  lain akibat stimulasi oleh mediator sel mast. Interleukin-4 tampaknya merupakan stimulus utama dalam aktivasi sintesis IgE oleh sel limfosit B. Pada saat yang sama IL-4 meningkatkan ekspresi reseptor Fcε (FcRII) pada sel limfosit B. Interleukin-4 ini pertama kali disebut faktor stimulasi sel B (BSF = B cell stimulating factor).

Page 10: Imunologi Dasar Popi

Aktivasi oleh IL4 ini diperkuat oleh IL-5, IL-6, dan TNFα, tetapi dihambat oleh IFNα, IFNγ, TGFβ, PGE2, dan IL-I0

Dalam reaksi alergi fase cepat, IL-3, IL-5, GM-CSF, TNF dan INF terbukti dapat menginduksi atau meningkatkan pelepasan histamin melalui interaksi IgE- alergen pada sel basofil manusia (lihat Gambar 12-6).  Sitokin  lain  yang  mempunyai aktivitas sama pada sel mast ialah MCAF (monocyte chemotactic and activating factor) dan RANTES (regulated upon activation normal T expressed and presumably secreted). Demikian juga SCF (stem cell factor) yaitu suatu sitokin yang melekat pada reseptor di sel mast yang disebut C-kit, dapat menginduksi pembebebasan histamin dari sel mast baik dengan atau tanpa melalui stimulasi antigen (lihat Gambar 12-7).

Pada reaksi alergi fase lambat, IL-3 dan GM-CSF tidak hanya menarik dan mengaktivasi eosinofil tetapi juga basofil dan efek kemotaktik sitokin ini lebih nyata dibandingkan dengan komplemen C5a, LTB4 dan PAF.

Mekanisme lain sitokin berperan pula dalam menunjang terjadinya reaksi peradangan pada alergi. GM-CSF, IL-l, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IFN, TNF, NGF (nerve growth factor) serta SCF berperan dalam pertumbuhan, proliferasi, pertahanan hidup dan diferensiasi limfosit, eosinofil, basofil, sel mast, makrofag atau monosit. Pada saat aktivasi, sel-sel ini ditarik ke arah jaringan yang mengalami peradangan dalam reaksi antigen-antibodi yang ditingkatkan oleh IL-2, IL-5, GM-CSF, dan EAF (eosinophil activating factor). Keadaan ini lebih terlihat pada biakan eosinofil manusia dengan GM-CSF bersama fibroblast. Pada percobaan ini eosinofil menjadi hipodens dan dapat membebaskan lebih banyak LTC4 bila diaktivasi oleh stimulus seperti fMLP (formil metionil leukosil fenilalanin).

PENYAKIT OLEH ANTIBODI DAN KOMPLEKS ANTIGEN-ANTIBODI

(REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE II DAN III)

Antibodi, selain IgE, mungkin menyebabkan penyakit dengan berikatan pada target antigennya yang ada pada permukaan sel atau jaringan (reaksi hipersensitivitas tipe II) atau dengan membentuk kompleks imun yang mengendap di pembuluh darah (reaksi hipersensitivitas tipe III)

Penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh antibodi (antibody-mediated) merupakan bentuk yang umum dari penyakit imun yang kronis pada manusia. Antibodi terhadap sel atau permukaan luar sel dapat mengendap pada berbagai jaringan yang sesuai dengan target antigen. Penyakit yang disebabkan reaksi antibodi ini biasanya spesifik untuk jaringan tertentu. Kompleks imun biasanya mengendap di pembuluh darah pada tempat turbulansi (cabang dari pembuluh darah) atau tekanan tinggi (glomerulus ginjal dan sinovium). Oleh karena itu, penyakit kompleks imun cenderung merupakan suatu penyakit sistemis yang bermanifestasi sebagai vaskulitis, artritis dan nefritis.

Page 11: Imunologi Dasar Popi

Sindrom klinik dan pengobatan

Beberapa kelainan hipersensivitas kronik pada manusia disebabkan atau berhubungan dengan autoantibodi terhadap antigen jaringan kompleks imun. Tatalaksana dan pengobatan ditujukan terutama untuk mengurangi atau menghambat proses inflamasi dan kerusakan jaringan yang diakibatkannya dengan menggunakan kortikosteroid. Pada kasus yang berat, digunakan plasmapheresis untuk mengurangi  kadar autoantibodi atau kompleks imun yang beredar dalam darah.

Penyakit oleh autoantibodi terhadap antigen jaringan

Penyakit Antigen target Mekanisme Manifestasi klinopatologi

Anemia hemolitik autoimun

Protein membran eritrosit (antigen golongan darah Rh)

Opsonisasi dan fagositosis eritrosit

Hemolisis, anemia

Purpura trombositopenia autoimun (idiopatik)

Protein membran platelet (gpIIb:integrin IIIa)

Opsonisasi dan fagositosis platelet

Perdarahan

Pemfigus vulgaris

Protein pada hubungan interseluler pada sel epidermal (epidemal cadherin)

Aktivasi protease diperantarai antibodi, gangguan adhesi interseluler

Vesikel kulit (bula)

Sindrom Goodpasture

Protein non-kolagen pada membran dasar glomerulus ginjal dan alveolus paru

Inflamasi yang diperantarai komplemen dan reseptor Fc

Nefritis, perdarahan paru

Demam reumatik akut

Antigen dinding sel streptokokus, antibodi bereaksi silang dengan antigen miokardium

Inflamasi, aktivasi makrofag

Artritis, miokarditis

Miastenia gravis Reseptor asetilkolin

Antibodi menghambat ikatan asetilkolin, modulasi reseptor

Kelemahan otot, paralisis

Penyakit Graves Reseptor hormon Stimulasi Hipertiroidisme

Page 12: Imunologi Dasar Popi

TSH reseptor TSH diperantarai antibodi

Anemia pernisiosa

Faktor intrinsik dari sel parietal gaster

Netralisasi faktor intrinsik, penurunan absorpsi vitamin B12

Eritropoesis abnormal, anemia

(Dikutip dengan modifikasi dari dari Abbas AK, Lichtman AH, 2004)

Penyakit oleh kompleks imun

Penyakit Spesifitas antibodi

Mekanisme Manifestasi klinopatologi

Lupus eritematosus sistemik

DNA, nukleoprotein

Inflamasi diperantarai komplemen dan reseptor Fc

Nefritis, vaskulitis, artritis

Poliarteritis nodosa

Antigen permukaan virus hepatitis B

Inflamasi diperantarai komplemen dan reseptor Fc

Vaskulitis

Glomreulonefirtis post-streptokokus

Antigen dinding sel streptokokus

Inflamasi diperantarai komplemen dan reseptor Fc

Nefritis

dari (Dikutip dengan modifikasi dari Abbas AK, Lichtman AH, 2004)

Point of interest

Antibodi terhadap antigen sel dan jaringan dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan penyakit (reaksi hipersensitivitas tipe II).

Antibodi IgG dan IgM yang berikatan pada antigen sel atau jarinagn menstimulasi fagositosis sel-sel tersebut, menyebabkan reaksi inflamasi,  aktivasi komplemen menyebabkan sel lisis dan fragmen komplemen dapat menarik sel inflamasi ke tempat terjadinya reaksi, juga dapat mempengaruhi fungsi organ dengan berikatan pada reseptor sel organ tersebut.

Antibodi dapat berikatan dengan antigen yang bersirkulasi dan membentuk kompleks  imun, yang kemudian mengendap pada pembuluh darah dan menyebabkan kerusakan jaringan (reaksi hipersensitivitas tipe III). Kerusakan jaringan terutama disebabkan oleh pengumpulan lekosit dan reaksi inflamasi.

PENYAKIT OLEH LIMFOSIT T (REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE IV)

Page 13: Imunologi Dasar Popi

Peranan dari limfosit T pada penyakit imunologis pada manusia telah semakin dikenal dan diketahui. Patogenesis dan tatalaksana penyakit autoimun pada manusia pada saat ini lebih ditujukan pada kerusakan jaringan yang disebabkan terutama oleh sel limfosit T.

Hampir semua penyakit yang diperantarai T cell disebabkan oleh mekanisme autoimun. Reaksi autoimun biasanya ditujukan langsung terhadap antigen pada sel yang distribusinya terbatas pada jaringan organ tertentu. Oleh karena itu penyakit T cell mediated cenderung terbatas mengenai organ-organ tertentu dan biasanya tidak bersifat  sistemis. Kerusakan organ juga dapat terjadi menyertai reaksi sel T terhadap reaksi mikroba, misalnya pada tuberculosis, terdapat reaksi T cell-mediated terhadap M. tuberculosis, dan reaksi tersebut menjadi kronik oleh karena infeksinya sulit dieradikasi. Inflamasi granulomatous yang terjadi mengakibatkan kerusakan jaringan pada tempat infeksi. Pada infeksi virus hepatitis, virusnya sendiri tidak terlalu merusak jaringan, tetapi sel limfosit T sitolitik (CTL) yang bereaksi terhadap hepatosit yang terinfeksi menyebabkan kerusakan jaringan hepar.

Pada penyakit yang diperantarai oleh sel T (T cell-mediated), kerusakan jaringan dapat disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang diperantarai oleh sel T CD4+ atau sel lisis oleh CD8+ CTLs

Mekanisme dari kerusakan jaringan sama dengan mekanisme yang digunakan oleh sel T untuk mengeliminasi sel yang berkaitan dengan mikroba. Sel T CD4+ bereaksi terhadap antigen pada sel atau jaringan, terjadi sekresi sitokin yang menginduksi inflamasi dan mengaktivasi makrofag. Kerusakan jaringan disebabkan oleh sekresi sitokin dari makrofag dan sel-sel inflamasi yang lain. Sel T CD8+  dapat menghancurkan sel yang berikatan dengan antigen asing. Pada banyak penyakit autoimun yang diperantarai oleh sel T,  terdapat sel T CD4+ dan sel T CD8+ yang spesifik untuk antigen diri, dan keduanya berperan pada kerusakan jaringan.

Sindrom klinik dan pengobatan

Banyak penyakit autoimun yang organ spesifik pada manusia didasari oleh reaksi yang diperantarai oleh sel T .

Penyakit yang diperantarai sel T

Penyakit Spesifitas sel T patogenik

Penyakit pada manusia

Contoh pada hewan

Diabetes melitus tergantung insulin (tipe I)

Antigen sel islet (insulin, dekarboksilase asam glutamat)

Spesifisitas sel T belum ditegakkan

Tikus NOD, tikus BB, tikus transgenik

Artritis reumatoid Antigen yang tidak diketahui di

Spesifisitas sel T dan peran antibodi

Artritis diinduksi

Page 14: Imunologi Dasar Popi

sinovium sendi belum ditegakkan kolagenEnsefalomielitis alergi eksperimental

Protein mielin dasar, protein proteolipid

Postulat : sklerosis multipel

Induksi oleh imunisasi dengan antigen mielin SSP; tikus transgenik

Penyakit inflamasi usus

Tidak diketahui, peran mikroba intestinal

Spesifisitas sel T belum ditegakkan

Induksi oleh rusaknya gen IL-2 atau IL-10 atau kurangnya regulator sel T

(Abbas AK, Lichtman AH, 2004)

DAFTAR PUSTAKA

Abbas AK, Lichtman AH. Basic immunology. Edisi ke-2. Philadelphia: Saunders, 2004. Stiehm ER. Immunologic disorders in infants and children. Edisi ke-3. Philadelphia: WB

Saunders, 1989. Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. Disease caused by humoral and cell-mediated

immune reactions. Dalam: Cellular and molecular immunology. Philadelphia: WB Saunders, 1991; 353-76.

Bellanti JA. Mechanism of tissue injury produced by immunologic reactions. Dalam: Bellanti JA, penyunting. Immunology III. Philadelphia: WB Saunders, 1985; 218-60.

Roitt IM. Essential immunology; edisi ke-6. Oxford: Blackwell Scioentific, 1988; 233-67.

OTHER BASIC IMMUNOLOGY

Toll-like receptors (TLRs) in the innate immune system. Imunologi dasar: Mekanisme Pertahanan Tubuh Terhadap Bakteri Imunologi Dasar: Mekanisme Respon Tubuh Terhadap Serangan Mikroba Imunologi Dasar : Radang dan Respon Inflamasi Imunologi Dasar : Respon Imun dan Sistem Kekebalan Mahluk Hidup Imunologi dasar : Sel darah Putih, Netrofil, Eosinofil, Basofil Imunologi Dasar : Sel Mastosit Imunologi Dasar : Superantigen Imunologi Dasar : Kompleks Histokompatibilitas Mayor Imunologi Dasar : Penyakit Auto Imunitas Imunologi dasar : Imunologi Vaksin Imunologi Dasar : Reaksi Hipersensitivitas Imunologi Dasar : Imunologi Mukosa Imunologi Dasar : Imunitas seluler Imunologi Dasar : Imunitas Humoral Imunologi Dasar : Sistem Fagosit dan Penyakit

Page 15: Imunologi Dasar Popi

Imunologi Dasar : Sistem Komplemen Imunologi Dasar: Antigen Presenting Cell (APC) Imunologi Dasar: Imunitas Non Spesifik Imunologi Dasar: Struktur Imunoglobulin Imunologi Dasar : Respons Imun Imunologi Dasar : Imunologi Humoral Imunologi dasar: Adaptive Immune System, Sistem Kekebalan Tiruan Imunologi Dasar : Antigen Imunologi Dasar: Antigen Presenting Cell (APC) Daftar Lengkap Interleukin, Aspek Klinis dam Aspek Biologisnya Imunologi Dasar: Sitokin dan Aspek Klinisnya Peranan Sel Dendritik Dalam Sistem Imun Aspek klinis dan Aspek Biologis Toll-like receptor Relationship Kawazaki – Allergy: Kawazaki disease tendency to develop allergic

diseases Respon Imun Selular dan Manifestasi Klinis Summary Toll-like Receptors TLR1 to TLR13 Genotipe dan Fenotipe A Molecular Basis for Bidirectional : Communication Between the Immune and

Neuroendocrine Systems Other Basic Immunology Articles