101
IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUS NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TERHADAP KEWARISAN ANAK LUAR KAWIN SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam Oleh: AMIN UDIN NIM : 21113009 JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2018

IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUS NOMOR 46/PUU …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4697/1/Skripsi amin.pdf · sering disebut nikah siri dan kelahiran anak dari kehamilan

  • Upload
    others

  • View
    25

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUS NOMOR

46/PUU-VIII/2010 TERHADAP KEWARISAN ANAK LUAR

KAWIN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh:

AMIN UDIN

NIM : 21113009

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

2018

i

ii

iii

iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

Hidup adalah perjuangan, dalam sebuah perjuangan akan selalu ada pengorbanan, setiap pengorbanan dibutuhkan keikhlasan

v

PERSEMBAHAN

Sesungguhnya sholatku, perjuanganku, hidup dan matiku

hanya untuk Allah Tuhan seluruh sekalian alam;

Ibuku yang selalu memberi semangat, dukungan, doa, dan

kasih sayang yang tak terbatas;

Kepada Adikku yang selalu memberikan inspirasi dan

semangat;

Keluarga Besar di rumah Wonosobo;

Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Islam Cabang

Salatiga;

Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat

Karnoto Zarkasyi;

Teman-teman seperjuanganku.

vi

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillahirobbil’alamiin, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah

SWT, yang selalu memberikan rahmat serta hidayah dan taufiq-Nya kepada penulis,

sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan judul “IMPLIKASI

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUS NOMOR 46/PUU-VIII/2010

TERHADAP KEWARISAN ANAK LUAR KAWIN” tanpa halangan yang berarti.

Shawalat serta salam penulis ucapkan kepada Nabi Muhammad SAW, kepada

keluarga, sahabat dan pengikutnya yang senantiasa setia dan menjadikannya

suritauladan. Beliau merupakan sosok pencerah kehidupan di dunia maupun di

akhirat nanti dan semoga kita semua senantiasa mendapatkan Syafaatnya min hadza

ila yaumil qiyamah, Aamiin Yaa Robbal’alamin.

Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dan dukungan dari

berbagai pihak yang telah tulus ikhlas membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.

Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Dr Rahmat Haryadi, M.Pd., selaku Rektor IAIN Salatiga;

2. Dr. Siti Zumrotun, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari’ah;

3. Sukron Ma’mun, M.Si., selaku Ketua Jurusan Hukum Keluarga Islam IAIN

Salatiga;

4. Farkhani S.H., M.H., M.HI., Sebagai dosen pembimbing yang dengan ikhlas dan

sabar membimbing, mengarahkan, serta mencurahkan waktu, tenaga dan

pikirannya sehingga skripsi ini terselesaikan;

5. Drs. Mubasirun M. Ag., selaku dosen Pembimbing Akademik

6. Seluruh Dosen dan Staff IAIN Salatiga, yang telah memberikan ilmunya yang

sangat bermanfaat;

7. Kepada Ibuku dan Keluarga Besar di rumah yang selalu memberikan semangat,

dukungan, doa dan kasih sayang yang tak terbatas;

vii

viii

Abstrack

Udin, Amin. 2018. “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitus Nomor 46/PUU-

VIII/2010 Terhadap Kewarisan Anak Luar Kawin”. Skripsi. Fakultas Syariah.

Jurusan Hukum Keluarga Islam. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.

Pembimbing: Farkhani, S.H., SHI., M.H.

Kata Kunci: Putusan Mahkamah Konstitusi, Anak Luar Kawin, Hak Waris.

Kelahiran anak di luar kawin baik karena perkawinan di bawah tangan atau

sering disebut nikah siri dan kelahiran anak dari kehamilan di luar perkawinan.

Berakibat pada kedudukan hukum si anak sangat lemah. Di mata hukum status anak

tersebut sebagai anak di luar nikah. Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan

Nomor 46/PUU-VIII/2010 mengenai kedudukan hukum Anak Luar Kawin. Putusan

Mahkamah Konstitusi tersebut setidaknya dapat menolong anak-anak yang ada di

Indonesia mendapatkan kedudukan yang jelas dan mendapatkan pertanggung

jawaban dari ayah bilogisnya. Pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui

penelitian ini adalah: (1) Bagaimana kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum

Perdata Islam, KUH Perdata dan Hukum Adat? Dan (2) Bagaimana akibat Putusan

Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010 terhadap kedudukan anak luar

kawin dalam hal pewarisan terhadap ayah bilogisnya?

Untuk menjawab permasalahan diatas, maka penulis menggunakan penelitian

hukum dengan menggunakan penelitian yuridis normatif (hukum normatif), bahan

pustaka merupakan data dasar yang dalam ilmu pengetahuan digolongkan sebagai

data sekunder. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, maksud dari penelitian

kualitatif disini adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif

analitis.

Dari penelitian yang dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang anak luar kawin, tidak

menghapus atau merubah ketentuan pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun

1974 tentang Perkawinan hanya saja mengubah makna asalkan memenuhi syarat

(conditionaly unconstitusional) yakni inkonstitusional sepanjang ayat tersebut

dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan

berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum

mempunayi hubunga darah sebagai ayahnya. Berdasarkan putusan tersebut, hubungan

perdata anak luar kawin tidak hanya timbul dari pengakuan saja tetapi dapat timbul

karena hubungan darah antara anak luar kawin dengan orang tuannya. Dengan

hubungan darah antara anak luar kawin dengan orangtuanya maka di situ timbullah

hubungan perdata antara anak luar kawin dengan orang tuanya. Implikasi putusan

Mahkamah Konstitusi dapat dijadikan sebagai penguat kedudukan anak luar kawin

untuk memperoleh hak waris terhadap ayah bilogisnya karena hubungan darah antara

anak luar kawin dengan ayah biologisnya.

ix

DAFTAR ISI

NOTA PEMBIMBING ....................................................................................... i

PENGESAHAN ................................................................................................... ii

PERNYATAAN KEASLAIAN .......................................................................... iii

MOTTO ............................................................................................................... iv

PERSEMBAHAN ................................................................................................ v

KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi

ABSTRAK ........................................................................................................... viii

DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................... 5

C. Tujuan Penelitian .................................................................................... 6

D. Kegunaan Penelitian ............................................................................... 6

E. Penegasan Istilah ..................................................................................... 7

F. Tinjauan Pustaka .................................................................................... 9

G. Metode Penelitian .................................................................................... 11

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan.......................................................... 12

2. Sumber Data ........................................................................................ 12

3. Teknik Pengumpulan Data .................................................................. 13

4. Analisis data ........................................................................................ 13

H. Sistematika Penulisan ............................................................................. 13

x

BAB II KAJIAN PUSTAKA .............................................................................. 16

A. TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK .............................................. 16

1. Pengertian Anak Pada Umumnya ................................................... 16

2. Anak Sah ............................................................................................ 17

a. Anak Sah Menurut Hukum Islam ................................................. 17

b. Anak Sah Mneurut UU Pekawinan dan KHI ................................ 19

c. Anak Sah Menurut Hukum Perdata .............................................. 22

d. Anak Sah Menurut Hukum Adat................................................... 24

3. Anak Tidak Sah (Anak Luar Kawin) .............................................. 25

a. Anak Luar Kawin Menurut Hukum Islam .................................... 26

b. Anak Luar Kawin Menurut Uu Perkawinan Dan KHI ................. 27

c. Anak Luar Kawin Menurut Hukum Perdata ................................. 29

d. Anak Luar Kawin Menurut Hukum Adat ..................................... 29

B. TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM WARIS ............................ 30

1. Pengertian Waris Pada Umumnya .................................................. 30

2. Macam-macam Hukum Waris......................................................... 32

3. Hak Waris Anak Luar Kawin .......................................................... 34

a. Menurut Hukum Perdata Islam di Indonesia ......................................... 34

b. Menurut Hukum Perdata ............................................................... 35

c. Menurut Hukum Adat ................................................................... 37

BAB III DATA PENELITIAN .......................................................................... 39

A. Mahkamah Konstitusi ............................................................................ 39

xi

1. Sejarah Mahkamah Konstitusi ............................................................ 39

2. Tugas dan Fungsi Mahkamah Konstitusi ............................................ 42

3. Sifat Putusan Mahkamah Konstitusi ................................................... 42

B. Pengajuan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi ......................... 43

C. Tinjauan Perkara .................................................................................... 45

D. Pokok Permohonan ................................................................................. 48

E. Pertimbangan-pertimbangan ................................................................. 49

1. Pertimbangan Pemerintah ................................................................... 49

2. Pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat ........................................... 53

3. Pertimbangan MK ............................................................................... 55

F. Amar Putusan .......................................................................................... 59

BAB IV ANALISIS DATA ................................................................................. 63

A. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-

VIII/2010 Terhadap Kedudukan Anak Luar Kawin dalam

perspektif Hukum Perdata Islam di Indonesia, Hukum Perdata,

dan Hukum Adat ..................................................................................... 63

B. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-

VIII/2010 Tentang Hak Keperdataan Anak Luar Kawin dalam

hal Mewarisi dengan Ayah Biologisnya ................................................ 69

BAB V PENUTUP ............................................................................................... 72

A. Kesimpulan .............................................................................................. 72

B. Saran ........................................................................................................ 73

xii

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 75

LAMPIRAN ......................................................................................................... 78

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan adalah sebuah pranata untuk mengesahkan hubungan dua

anak manusia yang berbeda jenis kelamin sehingga menjadi suami isteri.

Secara umum perkawinan dimaksudkan untuk membentuk sebuah kehidupan

keluarga yang lestari, utuh, harmonis, bahagia lahir dan batin. Oleh karena itu,

dengan sendirinya diperlukan kesesuaian dari kedua belah pihak yang akan

menyatu menjadi satu dalam sebuah unit terkecil dalam masyarakat, sehingga

latar belakang kehidupan kedua belah pihak menjadi penting, dan salah satu

latar belakang kehidupan itu adalah agama.

Untuk memahami hakikat perkawinan menurut Undang-Undang

Nomor 1 tahun 1974, maka perlu ditinjau rumusan perkawinan yang terdapat

dalam Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 pada undang-undang tersebut. Pasal 1 UU

No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa, “Perkawinan

ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai

suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

dan kekal berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Dalam pasal 2 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 berbunyi : “Perkawinan

adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan

2

kepercayaanya itu”. Ayat (2) nya berbunyi: “Tiap-tiap perkawinan dicatat

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Selanjutnya di dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 tahun 1947

mengatakan: “Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri.

Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami”. Ayat (2) berbunyi

:“Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih

dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.

Ketentuan mengenai perkawinan yang berlandaskan agama pada

uraian di atas, merupakan pencerminan dari kewajiban pemerintah dalam

rangka mewujudkan ketentuan dalam pasal 29 UUD yang menyatakan bahwa

: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Negara menjamin

kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan

untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.

Sehubungan dengan hal yang di atas, maka bagi kaum muslimin di

Indonesia, berlaku Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pengertian perkawinan di

dalam KHI terdapat pada Pasal 2 dan Pasal 3, dinyatakan bahwa: “Perkawinan

menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau

mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya

merupakan ibadah, perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan

rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan rahmah”.

Menurut Ahmad Azhar Basyir tujuan perkawinan dalam Islam adalah

untuk memenuhi tuntutan naluriyah manusia, berhubungan antara laki-laki

3

dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagian keluarga sesuai ajaran

Allah dan Rasulnya (Ahmad Azhar Basyir, 1995: 11). Namun apa yang

direncanakan atau yang diinginkan tidak sesuai dengan harapan ketika

ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terpenuhi, maka

konsekwensinya tidak ada jaminan perlindungan hukum dari pemerintah

misalnya kelahiran anak diluar kawin baik karena perkawinan di bawah

tangan atau sering disebut nikah siri dan kelahiran anak dari kehamilan diluar

perkawinan.

Perkawinan di bawah tangan adalah perkawinan yang dilakukan hanya

secara hukum agama, tetapi tidak dicatatkan dalam kantor urusan agama atau

kantor catatan sipil. Nikah di bawah tangan biasanya hanya dilakukan di

hadapan tokoh masyarakat saja sebagai penghulu atau dilakukan berdasarkan

adat istiadat saja. Pernikahan di bawah tangan adalah pernikahan yang sah

secara agama akan tetapi mempunyai dampak negatif karena tidak dicatatkan

di hadapan penjabat pemerintahan sehingga tidak mempunyai akta nikah

sebagai bukti yang autentik. Karena hubungan pernikahan yang tidak jelas di

mata hukum, maka kedudukan hukum si anak sangat lemah. Di mata hukum

status anak tersebut sebagai anak di luar nikah. Pada pasal 43 UU No 1 Tahun

1974 ayat (1) menyatakan bahwa “anak yang dilahirkan di luar perkawinan

hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya”.

Maka hak-hak selayaknya anak-anak yang dari perkawinan yang sah secara

norma agama dan norma hukum tidak ia dapatkan. Anak tersebut juga akan

4

mengalami kerugian psikologis, dikucilkan masyarakat kesulitan biaya

pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan lahiriyah lainnya.

Padahal dalam pasal 28 B ayat 2 dinyatakan bahwa “setiap anak

berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Konvensi Hak Anak juga

menghendaki bahwa setiap anak harus dihormati dan dijamin hak-haknya

tanpa diskriminatif dalam bentuk apapun tanpa dipandang ras, warna kulit,

jenis kelamin, bahasa, keyakinan, bangsa, etnik, kekayaan, kelahiran atau

kedudukan lain dari anak atau orang tua anak atau pengasuh yang sah maka

hak-hak anak luar kawin juga dijamin tanpa diskriminasi. Dalam Undang-

Undang No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 23

Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, pasal 1 ayat (2) menyatakan, bahwa

setiap anak berhak atas kelangsungan hidup tumbuh dan berkembang serta

berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana

diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 dan bahwa anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-

cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis, ciri dan sifat khusus sehingga

wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang

mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.

Pada hari Jumat tanggal 17 Februari 2012, Mahkamah Konstitusi

mengeluarkan putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 mengenai status hukum

Anak Luar Kawin. Dalam putusannya Mahkamah Konstitusi menyatakan

5

bahwa “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan

perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai

ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi

dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah,

termasuk mempunyai hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.

Keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut setidaknya dapat

menolong anak-anak yang ada di Indonesia mendapatkan status yang jelas dan

mendapatkan pertanggung jawaban dari ayah bilogisnya.

Akan tetapi, Putusan Mahkamah Konstitusi di atas belum sepenuhnya

memberikan kejelasan mengenai kedudukan dan hak keperdataan anak luar

kawin secara utuh terutama dalam hal kewarisan. Maka dari itu penulis

tertarik menyusun skripsi yang berjudul: “IMPLIKASI PUTUSAN

MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TERHADAP

KEWARISAN ANAK LUAR KAWIN”.

B. Rumusan Masalah

Untuk mempermudah pembahasan dan lebih memfokuskan kajian

dalam skripsi ini, berdasarkan latar belakang masalah yang ada, maka penulis

merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kedudukan Anak Luar Kawin dalam Hukum Perdata Islam di

Indonesia, KUH Perdata dan Hukum Adat setelah Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010?

6

2. Bagaimana Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-

VIII/2010 terhadap kedudukan anak luar kawin dalam hal pewarisan terhadap

ayah bilogisnya?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka

tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk memperoleh pemahaman mengenai kedudukan anak luar kawin

dalam hukum Perdata Islam di Indonesia, KUH Perdata dan Hukum Adat

setelah putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010.

2. Untuk memperoleh pemahaman mengenai kedudukan anak luar kawin

dalam hal mewarisi terhadap ayah bilogisnya sebagai implikasi dari

putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VII/2010.

D. Kegunaan Penelitian

Dalam suatu penelitian, terdapat suatu kegunaan penelitian. Selain

berguna bagi penulis, diharapkan juga dapat berguna bagi semua pihak dan

tentunya mempunyai kegunaan yang dianggap positif. Kegunaan penelitian

dibagi menjadi dua yaitu secara teoritis dan secara praktis.

Adapun penjelasannya sebagai berikut:

1. Secara teoritis

a. Sebagai sumbangan pemikiran dalam pengenmbangan studi Islam

khususnya dalam bidang studi Ahwal-Al-syakhsiyyah;

7

b. Menghasilkan suatu penjelasan mengenai kedudukan anak luar kawin

dan hak keperdataan anak luar kawin terutama dalam bidang hak waris

pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010;

c. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pencerahan pada masyartakat

yang berkenaan dengan hukum keluarga.

2. Secara praktis

a. Mengembangkan pola pikir, penalaran dan pengetahuan bagi penulis dalam

menyusun suatu penulisan hukum;

b. Sebagai salah satu syarat dalam meraih gelar Sarjana Hukum pada

Fakultas Syariah IAIN Salatiga.

E. Penegasan Istilah

Untuk menghindari kemungkinan terjadinya penafsiran yang berbeda

dengan maksud utama penulis dalam pengunaan kata pada judul, maka perlu

penjelasan beberapa kata pokokyang menjadi inti penelitian.

Adapun yang perlu penulis jelaskan adalah sebagai berikut:

1. Implikasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mempunyai

arti keterlibatan, keadaan terlibat, dampak atau akibat langsung.

2. Waris adalah adalah bentuk isim fa’il dari kata waritsa, yaritsu, irtsan

fahuwa waritsun yang bermakna orang yang menerima waris. Kata-

kata itu berasal dari waritsa yang bermakna perpindahan harta milik

8

atau perpindahan pusaka.

3. Anak :

a. Anak adalah keturunan dari seorang laki-laki dan seorang

perempuan;

b. KUH Perdata Tahun 1847 pasal 330 ayat (1) ʻʻseseorang

belum dapat dikatakan dewasa jika orang tersebut umurnya

belum genap 21 tahun, kecuali orang tersebut sudah menikah

sebelum umur 21 tahun”;

c. UU No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 23

Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pasal 1 ayat (1)

ʻʻanak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan

belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

4. Anak Luar kawin dalam pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 adalah anak yang dilahirkan diluar perkawinan. Anak

luar kawin dalam pasal 43 UU Nomor 1 Tahun 1974 memiliki 2

pengertian, pengertian pertama adalah anak hasil dari nikah siri atau

nikah bawah tangan dan pengertian kedua anak karena kehamilan di

luar perkawinan. (M Nurul Irfan, 2015:149)

5. Mahkamah Konstitusi adalah pelaku kekuasaan kehakiman

sebagaimana di maksud pada Undang-Undang Dasar. Mahkamah

9

Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir

yang putusannya bersifat final untuk :

a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar

Republik Indonesia Tahun 1945;

c. Memutus pembubaran partai politik, dan;

d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

F. Tinjauan Pustaka

Sesungguhnya penelitian dan pembahasan tentang Implikasi Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Kewarisan Anak

Luar Kawin, sudah pernah diangkat menjadi karya tulis ilmiah baik dalam

bentuk buku, skripsi maupun karya tulis yang lainnya. Penulis menemukan

beberapa tema yang sama yaitu:

1) Skripsi Abdul Latief yang berjudul Status Anak Yang Lahir Diluar Nikah

(Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010) yang

isinya membahas anak yang dilahirkan di luar pernikahan tidak dapat

diartikan sebagai anak yang lahir dari perzinahan, karena perzinahan

sama sekali tidak tersentuh pernikahan. Karena bukan anak yang

10

dilahirkan dari perzinahan maka mempunyai hubungan perdata dengan

ayah bilogisnya, tanpa mempersoalkan pernikahan orang tuanya, sesuai

realitas yang ada. Artinya setiap anak yang dilahirkan harus memperoleh

hak-haknya sebagai anak terhadap orang tuanya (bapak-ibunya).

2) Skripsi Ahmad Fariz Ihsanuddin yang berjudul Anak Luar Nikah Dalam

Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 (Analisis Putusan MK

Tentang Status Anak Luar Nikah) yang isinya adalah status anak luar

nikah menurut fiqih dalam hal ini sangat terkait dengan hukum menikah

wanita hamil. Mazhab Syafi’i menyatakan sah-sah saja dilakukan

pernikahan dengan pasangan zina sang perempuan tapi makruh untuk

berhubungan intim sampai perempuan itu melahirkan. Mazhab Hanafi

menyebutkan sah akad nikahnya, namun haram berhubungan intim

sampai dengan melahirkan dan melewati masa nifas. Sedangkan Hambali

dan Maliki serta ulama Madinah menyatakan secara tegas haram

menikahkan pasangan tersebut dan menunggu sampai melahirkan.

Terkait dengan kedudukan anak luar kawin perspektif fiqih anak luar

nikah tidak dianggap sebagai anak sahkarena itu berakibat hukum : tidak

adanya hubungan nasab kepada laki-laki yang mencampuri ibunya secara

tidak sah.

3) Skripsi Khairul Anam yang berjudul Status Anak Dalam Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Perpektif Hukum Islam

11

yang isinya membahas anak yang terbukti terlahir sebagai akibat dari

pernikahan sirri yang sah secara syar’i, maka hubungan perdata dapat

dimaknai secara umum, sehingga anak bisa dinasabkan pada ayahnya,

bisa saling mewarisi, berlaku pula ketentuan wali nikah serta kewajiban

pemberi nafkah. Untuk anak yang terlahir sebagai akibat perzinahan,

maka “hubungan perdata” harus dimaknai secara khusus yakni terbatas

pada adanya kewajiban perdata untuk memberikan nafkah atau

memenuhi segala kebutuhan hidup anak tersebut sampai dewasa dan bisa

berdiri sendiri serta tidak bisa terjadi hubungan nashab dan saling

mewarisi.

Secara umum, yang membedakan penelitian ini dengan penelitian

yang sebelumnya ialah, penelitian ini berpijak pada Undang-Undang

Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, Kitap Undang-Undang Hukum

Perdata Dan Hukum Adat. Sehingga pembahasannya lebih lengkap

mengenai kedudukan anak luar kawin dalam hukum Perdata Islam di

Indonesia, KUH Perdata dan Hukum Adat setelah putusan Mahkamah

Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010. Dan Implikasi Putusan Mahkamah

Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010 terhadap kedudukan anak luar

kawin dalam hal pewarisan terhadap ayah bilogisnya.

12

G. Metode Penelitian

Untuk memperoleh data yang akurat, penulis menggunakan metode

penelitian yang diantaranya adalah:

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan

a. Jenis penelitian

Jenis Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, maksud dari

penelitian kualitatif disini adalah suatu cara penelitian yang

menghasilkan data deskriptif analitis.( Seorjono Seokanto, 1986: 32)

Sifat deskriptif analitis yang dimaksudkan dari pembahasan dan

analisis kemudian akan diperoleh suatu bentuk jawaban atas

permasalahan yang diangkat.

b. Pendekatan

Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif (hukum

normatif), bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam ilmu

pengetahuan digolongkan sebagai data sekunder. (Soerjono Seokanto

dan Sri Mamudji, 1994: 24). Metode ini digunakan untuk

memperoleh data ilmiah dan informasi yang berkaitan dengan skripsi

ini, baik yang berupa literature-literature seperti buku-buku,

peraturan perundang-undangan serta sumber-sumber informasi

lainnya yang berbentuk tertulis.

13

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder. Untuk data

sekunder dapat diperoleh dari bahan-bahan pustaka (penelitian

kepustakaan). Dimana data yang diperlukan dapat diperoleh dan

bersumber dari: (Soerjono Seokanto dan Sri Mamudji, 1994: 12)

a. Bahan hukum primer, yang terdiri dari:

i. Putusan Mahkamah Konstitusi

b. Bahan hukum sekunder, yaitu sumber data yang mendukung atau

menunjang skripsi ini yang berupa buku-buku, artikel, jurnal dan

bahan kepustakaan lainnya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data dilakukan dengan studi dokumen atau bahan

pustaka. (Seorjono Seokanto, 1986: 66)

4. Analisis Data

Penulis menggunakan metode deskriptif analisi dalam menganalisis

data. Sifat deskriptif analitis yang dimaksudkan dari pembahasan dan

analisis kemudian akan diperoleh suatu bentuk jawaban atas

permasalahan yang diangkat. (Seorjono Seokanto, 1986:69)

14

H. Sistematika Penulisa

Untuk memberika pemahaman dalam memahami penelitian ini,

penyusun membuat sistematika penelitian yang terbagi menjadi lima bab,

dan setiap bab terbagi menjadi sub bab, yaitu sebagaimana berikut:

Bab I, Pendahuluan yang meliputi: latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan penelitian, kegunanaan penelitian, penegasan istilah,

tinjauan pustaka, metodelogi penelitian (pendekatan dan jenis penelitian,

sumber data, teknik pengumpulan data, analisis data pengecekan keabsahan )

dan sistematika penulisan.

Bab II, dipaparkan tinjauan umum tentang anak meliputi pengertian

anak, hak anak, status dan kedudukan anak serta tinjauan umum tentang

hukum waris dalam Hukum Islam dan Hukum Perdata.

Bab III, adalah Deskripsi Yurispudensi. Dalam bab ini membahas

tentang Mahkamah Konstitusi, tinjauan perkara, pertimbangan-pertimbangan

dan amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.

Bab IV, Analisis Data. Dalam bab ini akan membahas tentang

analisis kedudukan anak luar kawin dalam Hukum Perdata Islam di

Indonesia, KUH Perdata dan Hukum Adat setelah putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan Implikasi Putusan Mahkamah

Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010 terhadap kedudukan anak luar kawin

15

dalam hal pewarisan terhadap ayah bilogisnya.

Bab V, kesimpulan dan saran yang berisikan kesimpulan akhir yang

diperoleh penyusun setelah mengkaji, mencermati, dan memahami dari hasil

penelitian serta beberapa rekomendasi/saran untuk penelitian selanjutnya.

16

BAB II

Kajian Pustaka

A. Tinjauan Umum Tentang Anak

1. Pengertian Anak pada umumnya

Di Indonesia, masalah asal-usul anak ini terdapat beberapa ketentuan

hukum yang berbeda. Ini dapat dimengerti, karena pluralitas bangsa,

utamanya dari segi agama dan adat kebiasaan, akibatnya ketentuan hukum

yang berlaku pun bervariasi. Setidaknya ada tiga hukum yang berlaku, yaitu

Hukum Islam, Hukum Perdata yang termuat dalam KUH Perdata atau BW

(Burgelijk Wetbook), dan Hukum Adat, sebagai hukum tidak tertulis.

Masing-masing hukum tersebut, dalam hal asal-usul anak memiliki

persamaan dan perbedaan terutama dalam segi hak, etika dan moral. (Ahmad

Rofiq, 2017: 177)

Terlepas dari asal-usulnya, setiap anak dilahirkan memiliki hak yang

melekat secara otomatis dalam dirinya, dimana dalam hubungan orangtua-

anak, hak-hak anak tersebut merupakan kewajiban bagi orang tuanya. Hak-

hak anak tersebut antara lain menurut I Nyoman Sujana:

a. Hak atas kelangsungan hidup (Survival Rights)

b. Hak untuk tumbuh berkembang (Development Rights)

c. Hak atas perlindungan (Protection Rights)

17

d. Hak untuk berpartisipasi (Participation Rights). (I Nyoman Sujana,

2015: 50)

Dari uraian di atas mengenai anak, dapat dikatakan bahwa pengertian

anak adalah keturunan dari seorang laki-laki dan perempuan, tetapi untuk

lebih jelasnya maka perlu dikaji mengenai anak sah maupun anak tidak

sah atau anak luar kawin.

2. Anak Sah

a. Anak Sah menurut Hukum Islam

Asal-usul anak merupakan dasar untuk menunjukan adanya

hubungan kemahraman (nasab) dengan ayahnya. Demikian yang

diyakini dalam fiqih, para ulama’ sepakat bahwa anak zina atau anak

li’an, hanya mempunyai nasab kepada ibu dan saudara ibunya.

(Ahmad Rofiq, 2017: 177).

Dalam rangka menjaga nasab atau keturunan agama Islam

mensyariatkan nikah sebagai cara yang dipandang sah untuk menjaga

dan memelihara nasab. Kata nasab sendiri berasal dari bahasa Arab,

yaitu نسبا –ينسب –نسب yang artinya keturunan. Nasab yang sudah

menjadi bahasa Indonesia dalam KBBI diartikan sebagai keturunan

atau pertalian keluarga.

Secara terminologi nasab adalah pertalian kekeluargaan

18

berdasarkan hubungan darah baik ke atas, ke bawah, maupun

kesamping, yang semuanya itu merupakan salah satu akibat dari

perkawinan yang sah, perkawinan yang fasid dan hubungan badan

secara syubhat. (M Nurul Irfan, 2015: 26).

Menurut Abdul Manan dalam pandangan hukum Islam ada

empat syarat supaya nasab anak itu dianggap sah, yaitu (1) kehamilan

bagi seorang isteri bukan hal yang mustahil, artinya normal

dan wajar; (2) tenggang waktu kelahiran dan pelaksanaan perkawinan

sedikit-dikitnya enam bulan sejak perkawinan dilaksanakan. Tentang

ini terjadi ijma’ para pakar hukum Islam (fuqaha) sebagai masa

terpendek dari suatu kehamilan; (3) anak yang lahir itu terjadi dalam

waktu kurang dari masa sepanjang waktu kehamilan; (4) suami tidak

mengingkari anak tersebut melalui lembaga li’an. (Abdul Manan,

2006: 79).

Memelihara dan menjaga kemurnian nasab dalam ajaran

agama Islam sangat penting sebab hukum Islam akan selalu terkait

dengan struktur keluarga, baik hukum yag berkaitan dengan

perkawinan maupun yang berkaitan dengan kewarisan. Kalau dalam

hukum perkawinan, nasab merupakan penyebab adanya hukum

keharaman untuk saling menikah, sementara dalam hukum kewarisan

nasab merupakan salah satu penyebab seseorang mendapatkan hak

19

waris terhadap harta warisan. (M Nurul Irfan, 2015: 15).

Jadi, jelas sekali anak yang sah menurut hukum Islam adalah

anak yang dilahirkan dari suatu ikatan perkawinan yang sah.

Sepanjang bayi itu lahir dari ibu yang berada dalam perkawinan yang

sah, ia disebut sebagai anak sah. ( Ahmad Rofiq, 2017: 181).

b. Anak Sah Menurut UU Perkawinan dan KHI

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

mengatur tentang asal-usul anak sah dalam pasal 42, “anak yang sah

adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan

yang sah”. Memperhatikan pasal 42 tersebut, di dalamnya memberi

toleransi hukum kepada anak yang lahir dalam perkawinan yang sah,

meskipun jarak antara pernikahan dan kelahiran anak kurang dari

batas waktu minimal usia kandungan. Jadi, selama bayi yang di

kandung itu lahir pada saat ibunya dalam ikatan perkawinan yang

sah, maka anak tersebut adalah anak yang sah. (Ahmad Rofiq, 2015:

178).

Berkenaan dengan hal tersebut di atas, mengenai sah atau

tidaknya anak harus ada bukti yang jelas. Pembuktian asal usul anak

yang dapat dibuktikan bahwa anak itu sah, terdapat dalam pasal 55

UU No 1 tahun 1974 yang menyatakan:

20

1) Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan

akte kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh

pejabat yang berwenang;

2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak

ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan

tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan

pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang

memenuhi syarat;

3) Atas dasar ketentuan pengadilan tersebut ayat (2) pasal

ini, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam

daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan

mengeluaran akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.

Dalam pasal 55 UU No 1 tahun 1974 di atas, tampak bahwa

satu-satunya yang dapat membuktikan keabsahan seorang anak

hanyalah akte kelahiran. Mengenai penetapan yang dilakukan oleh

Pengadilan sebagaimana pasal 55 ayat (2) di atas, hanyalah suatu cara

untuk mendapatkan akte kelahiran.

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 99 dijelaskan tentang

kriteria anak sah, sebagaimana yang dicantumkan dalam pasal

tersebut yang berbunyi anak yang sah adalah:

21

1) Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang

sah;

2) Hasil pembuahan suami-isteri yang sah di luar rahim dan

di lahirkan oleh isteri tersebut.

Dalam KHI juga menentukan bahwa akta kelahiran

merupakan bukti sah atau tidaknya anak, sebagaimana pasal 103 KHI

yaitu:

1) Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan

akta kelahiran atau alat bukti lainnya;

2) Bila akta kelahiran atau alat bukti lainya tersebut dalam

ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat

mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak

setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan

bukti-bukti yang sah;

3) Atas dasar ketetapan Pengadilan Agama tersebut ayat (2),

maka instansi Pencatatan Kelahiran yang ada dalam

daerah hukum Pengadilan Agama tersebut mengeluarkan

akta kelahiran bagi anak yag bersangkutan.

Dalam UU Perkawinan dan KHI menjelaskan bahwa anak

yang lahir dari atau dalam ikatan perkawinan yang sah, baik

22

perkawinan itu darurat, tambelan, penutup malu, tanpa

mempertimbangkan tenggang waktu antara akad nikah dan kelahiran

bayi, maka status anaknya sah. Ini membawa implikasi bahwa anak

yang “hakikatnya” hasil dari perzinaan, secara formal dianggap anak

sah. (Ahmad Rofiq, 2017, 181). Karena secara formal yang dapat

membuktikan sah atau tidaknya anak sama yaitu akta kelahiran.

c. Anak Sah Menurut Hukum Perdata

Dalam KUH Perdata atau BW (Burgerlijk Wetbook) yang

membahas tentang anak sah ada dalam pasal 250 yaitu, “Tiap-tiap

anak yang di lahirkan atau tumbuh sepanjang perkawinan,

memperoleh si suami sebagai bapaknya”

Ketentuan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa anak sah

adalah anak yang dilahirkan atau anak yang ditumbuhkan dalam

suatu perkawinan dan mendapatkan si suami sebagai bapaknya, dan

pengertian sebaliknya dari rumusan pasal di atas dapat di kategorikan

sebagai anak yang tidak sah. Dua kategori keabsahan anak dalam

ketentuan Pasal 250 BW dapat diuraikan menjadi : a. anak yang

dilahirkan sepanjang perkawinan, dan b. anak yang ditumbuhkan

sepanjang perkawinan. ( I Nyoman Sujana, 2015: 63)

Dalam Hukum Perdata (BW) juga menetukan bahwa sah atau

tidaknya harus dibuktikan dengan jelas. Pembuktian anak sah atau

23

tidak ada pada pasal 261-262 yang menyatakan :

Pasal 261, keturunan anak-anak yang sah dapat dibuktikan

dengan akta-akta kelahiran mereka, sekedar telah dibukukan dalam

register catatan sipil;

Dalam hal tak adanya akta-akta yang demikian, maka, jika

anak itu terus menerus menikmati suatu kedudukan sebagai anak-

anak yang sah, kedudukan ini adalah bukti yang cukup;

Pasal 262, penikmatan akan kedudukan itu dapat dibuktikan

dengan peristiwa-peristiwa yang mana, baik dalam keseluruhannya,

maupun masing-masing, memperhatikan suatu pertalian karena

kelahiran, dan karena perkawinan, antara seorang tertentu dan

keturunan harus dibuktikan. Antara lain peristiwa-peristiwa yang

terpenting ialah:

1) Bahwa orang itu selalu memakai nama bapak, yang mana

katanya telah menurunkan dia;

2) Bahwa bapaknya itu selalu memperlakukan dia sebagai

anaknya dan sebagai anaknya pun telah mengatur pendidikan,

pemeliharan dan penghidupannya;

3) Bahwa masyarakat selalu mengakui dia sebagai anak di bapak;

4) Bahwa anak-saudarnya mengakui dia sebagai anak si bapak.

24

Dalam pasal 261-261 BW jelas bahwa kelahiran dapat di

buktikan dengan akta kelahiran, apabila tidak ada akta kelahiran,

maka apabila sudah menikmati suatu kedudukan adalah bukti yang

cukup, kedudukan dapat dibuktikan dengan peristiwa-peristiwa yang

penting. Peritiwa yang penting ada pada pasal 262 KUH Perdata.

d. Anak Sah menurut Hukum Adat

Tujuan dari perkawinan pada dasarnya adalah untuk

memperoleh keturunan, yaitu anak. Apabila di dalam suatu

perkawinan telah ada keturunan (anak) maka tujuan perkawinan

dianggap telah tercapai dan proses pelanjutan generasi dapat berjalan.

Anak yang lahir di dalam hubungan perkawinan, oleh masyarakat

disebut sebagai anak kandung. (Soerjono Soekanto & Soleman b.

Taneko, 1986: 276)

Semua anak yang lahir dari perkawinan ayah dan ibunya

adalah anak kandung. Maka anaknya adalah anak kandung yang sah.

Untuk menghilangkan atau menutup malu akibat terjadinya wanita

hamil sebelum kawin, dibeberapa daerah orang mengusahakan

supaya dilaksanakan “kawin paksa” dengan pria yang membuahinya,

atau melakukan “kawin paksa” (nikah tambelan, Jawa; patongkok

siriq, Bugis) dengan pria yang membuahinya atau pria lain yang mau

disuruh mengawininya, sehingga anak yang lahir mempunyai ayah

25

(kappang tubas, Lampung) dan dapat menjadi waris dari orang

tuanya yang sah. Dikalangan orang Jawa adakalanya jika tidak ada

pria yang mau mengawini wanita yang telah hamil itu, terpaksa

diantara pamong desa yang harus mengawininya. (Hilman

Hadikusuma, 1977: 146)

Selanjutnya anak kandung memiliki kedudukan yang sangat

penting dalam setiap somah (gezin) dalam suatu masyarakat adat.

Anak tersebut dilihat sebagai generasi penerus, juga dipandang

sebagai wadah di mana semua harapan orang tuanya di kelak

kemudian hari wajib di tumpahkan dan dipandang sebagai pelindung

orang tuanya ketika orang tua sudah tidak mampu lagi secara fisik

untuk mencari nafkah. (Bushar Muhammad, 1995: 5)

3. Anak Tidak Sah (Anak Luar Kawin)

Anak yang dilahirkan di luar perkawinan memiliki dua pengertian,

pertama, anak yang lahir sebagai akibat dari nikah siri atau nikah bawah

tangan; kedua, anak yang lahir sebagai akibat dari perzinahan,

perselingkuhan samen leven (kumpul kebo) dan jenis-jenis kontak

seksual dalam bentuk hubungan khusus yang lain. (M Nurul Arifin,

2015: 150).

26

a. Anak Luar Kawin Menurut Hukum Islam

Dalam hukum Islam, melakukan hubungan seksual antara pria

dan wanita tanpa ikatan perkawinan yang sah disebut zina. Hubungan

seksual tersebut tidak dibedakan apakah pelaku tersebut gadis,

bersuami atau janda, jejaka beristeri atau duda. Ada dua macam

istilah bagi pezina, yaitu (1) zina muhson, yaitu zina yang dilakukan

oleh orang yang telah atau pernah menikah; (2) zina ghairu muhson

adalah zina yang dilakukan oleh orang yang belum pernah menikah,

mereka berstatus perjaka atau masih perawan. (Abdul Manan, 2006:

83).

Apabila perzinaan mengakibatkan lahirnya anak, maka

sebenarnya anak itu lahir dalam keadaan suci, tidak menanggung

beban dosa apa pun dari pasangan zina itu. Karena anak itu lahir dari

perbuatan nista, tercela dari segi moral maupun agama, maka

masyarakat menyebutnya sebagai anak zina, anak laknat dan anak

haram. Meskipun ia suci, tetapi ia mempunyai kedudukan lain di

banding dengan anak biasa yang lahir dalam perkawinan yang sah.

Para ulama sepakat menyatakan bahwa perzinaan bukan penyebab

timbulnya hubungan nasab anak dengan ayah, sehingga anak zina

tidak boleh dihubungan dengan nasab ayahnya, meskipun secara

bilogis berasal dari benih laki-laki yang menzinai ibunya. Alasan

27

mereka bahwa nasab merupakan karunia dan nikmat sedangkan

perzinaan merupakan tindakan pidana (jarimah) yang sama sekali

tidak layak mendapatkan balasan nikmat. (M Nurul Arifin, 2015: 89).

Sebagai konsekuensi dari pezinaan , maka anak tersebut tidak

mempunyai garis nasab dengan ayah biologinya, tetapi anak tersebut

masih mempunyai nasab dengan ibu kandungnya, karena nasap anak

kepada ibu kandungnya dapat terbentuk melalui proses persalinan

atau kelahiran. Baik kelahiran bersifat syar’i maupun tidak. (M Nurul

Arifin, 2015: 94).

Selain anak dari perzinaan, hukum Islam juga menetapkan

anak di luar kawin adalah (1) anak mula’anah, yaitu anak yang

dilahirkan dari seorang wanita yang di li’an oleh suaminya.

Kedudukan anak mula’anah sama dengan anak zina, ia tidak

mengikuti nasab suami ibu yang meli’an, tetapi mengikuti nasab ibu

yang melahirka; (2) anak syubhat, kedudukannya tidak ada hubungan

nasab dengan laki-laki yang menggauli ibunya, kecuali kalau laki-

laki itu mengakuinya. (Abdul Manan, 2006:83).

b. Anak Luar Kawin Menurut UU Perkawinan dan KHI

Anak luar kawin dalam UU Perkawinan diatur dalam pasal 43

dan 44. Sedangkan dalam KHI diatur dalam pasal 100, 101, dan 102.

28

Pasal 43 berbunyi (1) “anak yang dilahirkan di luar

perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan

keluarga ibunya” dan (2) “kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas

akan diatur dalam Peraturan Pemerintah”. Pasal 44 berbunyi (1)

“seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh

isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah

berzina dan anak itu akibat dari pada perzinaan tersebut” dan (2)

“Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas

permintaan pihak yang berkepentingan”.

Sedangkan dalam KHI pasal 100 berbunyi “anak yang lahir di

luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya

dan keluarga keluarga ibunya”. Pasal 101 berbunyi “seorang suami

yang mengikari sahnya anak, sedangkan isteri tidak menyangkalnya,

dapat meneguhkan pengingkaran dengan li’an”. Pasal 102 berbunyi

(1) “suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari

isterinya, mengajukan kepada Pengadilan Agama dalam jangka

waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya

perkawinan atau setelah suami mengetahui bahwa isterinya

melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia

mengajukan perkara pada pengadilan agama” dan (2) “pengingkaran

yang diajukan sesudah lampau waktu tersebut tidak dapat diterima”.

29

c. Anak Luar Kawin Menurut Hukum Perdata

Dalam KUH Perdata pembagian anak luar kawin menjadi 3

kelompok yaitu, Anak zina, Anak Sumbang, dan Anak Luar Kawin.

1) Anak Zina menurut prinsip hukum perdata barat adalah

anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang laki-

laki dan seorang perempuan yang salah satu atau

keduanya terikat perkawinan, hal ini sebagai konsekuensi

dari asas monogami yang dianut dalam BW;

2) Anak sumbang adalah anak yang lahir dari hubungan

antara laki-laki dan perempuan dimana hukum melarang

perkawinan antar mereka, misalnya karena masih terikat

hubungan darah;

3) Anak alami atau anak luar kawin lainnya adalah anak

yang dibenihkan atau dilahirkan di luar perkawinan orang

tuanya namun diakui oleh orang tuannya. ( I Nyoman

Sujana, 2015, 64)

d. Anak Luar Kawin menurut Hukum Adat

Di dalam masyarakat mungkin juga dijumpai anak yang lahir di

luar perkawinan atau anak tidak sah. Anak tidak sah yang sering

disebut dengan istilah setempat anak kampang, anak kowar, anak

30

haram jadah dan sebagainya, adalah anak yang di lahirkan dari

perbuatan orang tua tidak menurut ketentuan (agama dan adat)

seperti:

1) Anak dari kandungan ibu sebelum terjadi pernikahan;

2) Anak dari kandungan ibu setelah bercerai lama dengan

suaminya;

3) Anak dari kandungan ibu tanpa melakukan perkawinan sah;

4) Anak dari kandungan ibu karena berbuat zina dengan orang

lain, dan

5) Anak dari kandungan ibu yang tidak di ketahui siapa ayahnya.

(Hilman Hadikusuma, 2015 :68)

B. Tinjauan Umum Tentang Hukum Waris

1. Pengertian Hukum Waris pada Umumnya

Konsep pewarisan timbul karena terjadi peristiwa kematian. Peristiwa

kematian ini menimpa seorang anggota keluarga, terutama ayah dan ibu.

Apabila ada orang yang meninggal itu memiliki harta kekayaan yang

menjadi masalah bukan peristiwa kematian atau meninggal itu,

melainkan harta kekayaan yang di tinggalkan oleh almarhum.

Masalahnya, siapakah yang berhak atas harta kekayaan yang

ditinggalkan alamarhum? Dan kalau ada utang-piutang siapakah yang

31

wajib menanggung dan menyelesaikannya. (Abdulkadir Muhammad,

2014: 194)

Dengan demikan jelas, bahwa pewarisan di satu sisi berakar pada

keluarga dan di lain sisi berakar pada harta peninggalan (harta kekayaan).

Berakar pada keluarga karena menyangkut siapa yang menjadi ahli waris.

Berakar pada harta peninggalan (harta kekayaan) karena menyangkut

siapa yang menjadi pewaris atas harta peninggalan setelah pemiliknya

meninggal. (Abdulkadir Muhammad, 2014: 194)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “pewarisan” adalah proses

beralihnya harta warisan dari pewaris kepada waris menurut aturan

hukum yang berlaku dalam masyarakat.

Dalam KHI Hukum Kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang

pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,

menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa

bagianya masing.

Unsur-unsur yang terdapat dalam kewarisan menurut Abdulkadir

Muhammad sebagai berikut:

a. Subjek Hukum

Yaitu anggota keluarga yang meninggal, anggota keluarga yang

ditinggalkan, dan orang yang di beri wasiat.

32

b. Status Hukum

Yaitu anggota keluarga yang meninggal sebagai pewaris, anggota

keluarga yang di tinggalkan sebagai ahli waris terdiri atas anak-

anak dan isteri/suami pewaris dan orang sebagai penerima wasiat

dari pewaris.

c. Peristiwa Hukum

Meninggalnya anggota keluarga sebagai pewaris.

d. Hubungan Hukum

Timbul hak dan kewajiban ahli waris terhadap pewaris mengenai

harta peninggalan dan penyelesaian hutang pewaris.

e. Objek Hukum

Harta warisan dan utang-piutang peninggalan pewaris.

(Abdulkadir Muhammad, 2014: 195)

2. Macam-macam Hukum Waris

Hukum waris di Indonesia masih bersifat pluralistik karena saat ini

berlaku tiga sistem hukum kewarisan, yaitu Hukum Waris Adat, Hukum

Waris Islam dan Hukum Waris KUH Perdata.

Hukum Waris Adat meliputi keseluruhan asas, norma dan

kepuusan/ketetapan hukum yang beralian dengan proses penerusan dan

33

pengendalian harta benda (materiil) dan cita (nonmatriil) dari generasi

yang satu kepada generasi berikutnya. Hukum waris adat yang berlaku di

Indonesia sangat beraneka ragam tergantung pada daerahnya.Dalam

kewarisan ada ada yang matrilineal, patrilineal ataupun patrilineal dan

matrilineal beralih-alih atau bilateral. (Surini Ahlan Sjarif dan Nurul

Elmiyah, 2005: 01)

Hukum Waris Islam di rumuskan sebagai “ perangkat ketentuan

hukum yang mengatur pembagian harta kekayaan yang dimiliki seorang

pada waktu ia meninggal dunia. Sumber pokok hukum waris islam

adalah Al-Quran, Hadits Nabi, kemudian Qias dan Ijma. (Surini Ahlan

Sjarif dan Nurul Elmiyah, 2005: 02)

Hukum Waris KUH Per adalah suatu rangkaian ketentuan-ketentuan,

dimana, berhubung dengan meninggalnya seseorang, akibat-akibatnya di

dalam bidang kebendaan, diatur, yaitu akibat dari beralihnya harta

peninggalan dari seseorang yang meninggal, kepada ahli waris baik di

dalam hubungannya antara mereka sendiri maupun dengan pihak ketiga.

(Ali Afandi, 1997: 7)

R. Subekti beranggapan seperti halnya dalam Hukum Perkawinan,

begitu pula Hukum Waris di Indonesia masih beranekaragam. Di

samping Hukum waris menuru Hukum Adat, berlaku Hukum Waris

menurut Agama Islam, dan Hukum Waris KUH Per (BW)

34

Menurut Seorojo Wongsowidjojo Hukum Waris berbeda-beda, antara

lain:

a) Adanya Hukum Waris Islam yang berlaku untuk segolongan

penduduk Indonesia;

b) Adanya Hukum Waris menurut Hukum Perdata Barat yang

berlaku untuk golongan penduduk yang tunduk pada Hukum

Perdata Barat;

c) Adanya Hukum Adat yang di sana sini berbeda-beda, tergantung

pada daerahnya masing-masing, yang berlaku bagi orang-orang

yang tunduk kepada Hukum Adat. (Surini Ahlan Sjarif dan Nurul

Elmiyah, 2005: 03).

3. Hak Waris Anak Luar Kawin

a. Menurut Hukum Perdata Islam di Indonesia

Mengenai kewarisan anak luar kawin yang beragama islam di

Indonesia yang berlaku adalah pasal 183 Kompilasi Hukum Islam

yang berbunyi “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai

hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari ibunya”.

35

b. Menurut Hukum Perdata

Di dalam KUH Perdata ketentuan mengenai kewarisan anak

luar kawin di atur dalam pasal 862 sampai dengan pasal 873 KUH

Perdata. Kemudian perlu di tegaskan bahwa hukum waris dari anak

luar kawin ini hanya terdapat antara ia sendiri dengan orang tua yang

mengakui. (Ali Afandi, 1997: 41). Sedangkan untuk bagian

warisannya terdapat pada pasal-pasal berikut ini:

Pasal 863, “jika yang meninggal meninggalkan keturunan

yang sah atau seorang suami atau isteri maka anak-anak luar kawin

mewarisi sepertiga dari bagian mereka yang sedianya harus

mendapatnya andai kata mereka anak-anak yang sah; jika si

meninggal tak meninggalkan keturunan maupun suami atau isteri,

akan tetapi meninggalkan keluarga sedarah, dalam garis ke atas,

ataupun saudara laki-laki dan perempuan atau keturunan mereka,

maka mereka menguasai setengah dari warisan; dan jika hanya ada

sanak saudara dalam derajat yang lebih jauh, tiga perempat”. “jika

para waris yang sah denga si meninggal bertalian keluarga dalam

lain-lain penderajatan, maka si yang terdekat derajatnya dalam garis

yang satu, pun terhadap merekayang dalam garis lain, menentukan

besarnya bagian yang harus diberikan kepada si anak luar kawin.

Berdasarkan pasal 863 KUH Perdata, dapat di simpulkan

36

sebagai berikut :

1) Anak luar kawin mewarisi dengan suami atau istri dan

keturunan yang sah maka bagiannya adalah 1/3 dari

bagian jika dia itu anak sah;

2) Anak luar kawin mewarisi bersama-sama dengan keluarga

sedarah dalam garis ke atas (kakek-nenek), saudara-

saudara atau keturunannya maka ia mewarisi ½ warisan;

3) Anak luar kawin mewarisi bersama-sama dengan ahli

waris yang lebih jauh dari ahli waris yang disebut diatas

maka ia mendapat ¾ bagian. (Ali Afandi, 1997 : 41).

Pasal 865, “jika si meninggal tidak meninggalkan ahli waris

yang sah, maka sekalian anak luar kawin mendapat seluruh warisan”.

Pasal 866, “jika seorang anak luar kawin meninggal lebih

dahulu maka sekalian anak dan keturunan yang sah, berhak menuntut

bagian-bagian yang diberikan kepada mereka menurut pasal 863 dan

865”.

Pasal 867, “ketentuan-ketentuan termasuk di atas tak berlaku

bagi anak yang di benihkan dalam zinah atau dalam sumbang”.

“Undang-undang memberikan kepada mereka hanya nafkah

seperlunya”

37

c. Menurut Hukum Adat

Anak kandung yang tidak sah atau anak luar kawin ada

kemungkinan dalam hidupnya ikut serta bersama ayah dan ibu yang

melahirkannya, ada kemungkinan hanya mengikuti ibu tanpa ayah

kandung; atau mungkin juga mengikuti ayah tanpa ibu kandung; atau

mengikuti orang lain sebagai orang tua yang mengurusnya.

Anak kandung adalah ahli waris dari orang tua yang

melahirkannya, sedangkan anak luar kawin ada kemungkinan sebagai

berikut :

1) Tidak berhak sebagai ahli waris dari orang tua yang

melahirkannya, baik dari ayahnya maupun dari ibunya;

2) Hanya berhak sebagai ahli waris dari ibu yang

melahirkannya, atau mungkin dari ayahnya saja tanpa dari

ibunya;

3) Berhak sama dengan anak kandung yang sah sebagai ahli

waris dari ayah ibu kandungnya. (Hilman Hadikusuma,

1977: 144)

Dalam masyarakat yang kekeluargaanya bersifat parental

(keorangtuaan) yang terbanyak di Indonesia, kedudukan anak di

daerah yang satu berbeda dari daerah lainnya. Di Aceh yang kuat

38

keagamaan Islamnya anak di luar kawin tidak berhak mewarisi,

sebaliknya di Jawa anak kowar dapat mewarisi atau diberi bagian

warisan atas dasar parimirma (peri kemanusiaan, welas asih).

(Hilman Hadikusuma, 2007: 127)

39

BAB III

DATA PENELITIAN

A. Mahkamah Konstitusi

1. Sejarah Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga baru yang diperkenalkan

oleh perubahan Ketiga UUD 1945. Sebagai ide, format kelembagaan

mahkamah ini dipelopori oleh Hans Kelsen yang untuk pertama kalinya

berhasil mengadopsikannya ke dalam rumusan Konstitusi Austria pada

tahun 1919-1920. Setelah itu, ide mahkamah ini diadopsi Italia pada

tahun 1947, baru kemudian diikuti Jerman dan diikuti oleh negara-negara

lain. Namun, meskipun dapat dikatakan baru, dalam sidang BPUPKI

tahun 1945, Muhammad Yamin sudah pernah melontarkan ide untuk

mengadopsikannya ke dalam UUD 1945. Akan tetapi ide ini ditentang

oleh Soepomo karena dikatakannya tidak sesuai dengan UUD 1945, yang

ketika itu didesain atas dasar prinsip ʻsupremasi parleman’ dengan

menempatkan MPR sebagai ʻinstansi tertinggi’, sehingga tidak cocok

dengan asumsi dasar Mahkamah Konstitusi yang mengadakan hubungan

antar lembaga yang bersifat ʻchekc and balance’. (Jimly Asshiddiqie,

2005: 22)

Mahkamah Konstitusi ini meruapakan fenomena baru dalam dunia

40

ketatanegaraan. Sebagian besar negara-negara demokrasi yang sudah

mapan, tidak mengenal lembaga Mahkamah Konstitusi yang berdiri

sendiri. Sampai sekarang baru ada 78 negara yang membentuk

mahkamah ini secara tersendiri. Fungsinya biasanya dicakup didalam

fungsi Supreme Court yang ada di setiap negara. Salah satu contohnya

ialah Amerika. Fungsi-fungsi yang dapat dibayangkan sebagai fungsi

Mahkamah Konstitusi seperti judicial review dalam rangka menguji

konstitussionalitas suatu undang-undang, baik dalam arti formil maupun

dalam arti pengujian materiel, dikaitkan langsung dengan kewenangan

Mahkamah Agung (Supreme Court). (Jimly Asshiddiqie, 2005: 89)

Perubahan UUD 1945 (1999-2002) telah membawa perubahan besar

dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, baik dalam pelembagaan

kekuasaan legislatif, eksekutif maupun yudisial. Dalam sistem kekuasaan

kehakiman (yudisial), di samping Mahkamah Agung dan badan-badan

peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,

lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan

peradilan tata usaha negara, telah muncuk Mahkamah Konstitusi (MK)

dan Komisi Yudisial (KY). (Abdul Mukthie Fadjar, 2006:109)

Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali

dengan diadopsinya ide MK (Constitutional Court) dalam amandemen

konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

41

pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat

(2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil

Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember 2001. Ide

pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan pemikiran

hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20.

Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945, maka dalam

rangka menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah

Agung (MA) menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana

diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan

Keempat. DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-

Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan

mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor

24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan

disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan

Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316). Dua hari kemudian, pada

tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor

147/M Tahun 2003 hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang

dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di

Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003. Lembaran perjalanan MK

selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke MK, pada tanggal 15

Oktober 2003 yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai

42

salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945.

(www.mahkamahkonstitusi.go.id)

2. Tugas dan Fungsi Mahkamah Konstitusi

Tugas dan fungsi Mahkamah Konstitusi berdasarkan Penjelasan

Umum UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi adalah

menangani perkara ketatanegaraan atau perkara konstitusi tertentu dalam

rangkan menjaga konstitusi (UUD 1945) agar dilaksanakan secara

bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita

demokrasi. Keberadaan MK sekaligus untuk menjaga terselenggaranya

pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap

pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan

oleh tafsir ganda terhadap konstitusi. Oleh karena itu, selain sebagai

penjaga konstitusi (the guardian of the constitution), MK juga

merupakan penafsir tertinggi Konstitusi (the sole interpreter of

constitution). (Abdul Mukthie Fadjar, 2006: 119)

3. Sifat Putusan Mahkamah Konstitusi

Berdasarkan UU No 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi

bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan

Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak

diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final

43

dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam undang-undang ini

mencangkup pula kekuatan hukum mengikat (final and biding).

B. Pengajuan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga kekuasaan

kehakiman di samping Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan di

bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan

tata usaha negara dan peradilan militer. Adapun kewenangan Mahkamah

Konstitusi di atur secara jelas dalam pasal 24 C UUD 1945, salah satunya

yaitu untuk pengujian Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar

(Judicial Review).

Pengujian judicial review undang-undang terhadap Undang-Udang

Dasar 1945, diatur dalam UU No 24 Tahun 2003 pasal 51 ayat (1) pemohon

adalah pihak yang menggangap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya

dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu (a) perorangan warga

negara Indonesia ; (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih

hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara

Kesatuan Republik Indonesia yang di atur dalam Undang-undang ; (c) badan

hukum publik atau privat ; (d) lembaga negara”. Salah satu contoh putusan

Mahkamah Konstitusi tentang Judicial Review yaitu pasal 2 ayat (2) dan

pasal 43 ayat (1) Undang-undang No. 1 tentang Perkawinan terhadap pasal

28 B ayat (1) dan (2) serta pasal 28 D ayat (1) UUD 1945.

44

Judicial Review yang diajukan oleh Hj. Aisyah Mochtar alias

Machica Binti Mochtar Ibrahim (Pemohon 1) dan Muhammad Iqbal

Ramadhan Bin Moerdiono (Pemohon 2) bertanggal 14 juni 2010 yang di

terima Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut (Kepaniteraan

Mahkamah) pada hari senin tanggal 14 juni 2010 berdasarkan Akta

penerimaan berkas Permohonan Nomor 211/PAN/MK/2010 dan registrasi

pada Rabu tanggal 23 juni 2010 dengan Nomor 46/PUU-VIII/2010, yang

telah di perbaiki dan di terima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 11

Agustus 2010.

Bahwa pada tanggal 20 desember 1993, di Jakarta telah berlangsung

pernikahan antara Pemohon (Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti

Mochtar Ibrahim) dengan seorang laki-laki bernama Drs. Moerdiono, dengan

wali nikah almarhun H. Mochtar Ibrahim, disaksikan oleh dua orang saksi,

masing-masing bernama almarhum KH. M. Yusuf Usman dan Risman,

dengan mahar berupa seperangkat alat shalat, uang 2000 Riyad (mata uang

Arab), satu set perhiasan emas, berlian di bayar tunai dan dengan ijab yang

di ucapkan oleh wali tersebut dan qobul diucapkan oleh laki-laki bernama

Drs. Moerdiono. Dari pernikahan tersebut dilahirkan seorang anak bernama

Iqbal Ramadhan Bin Moerdiono.

Bahwa pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan atau

kewenangan konstitusionalnya di rugikan oleh berlakunya undang-undang.

45

Pemohon di klasifikasikan sebagai perorangan warga negara Indonesia yang

dirugikan hak konstitusionalnya di sebabkan diperlakukan berbeda dimuka

hukum terhadap status hukum perkawinan oleh undang-undang.

Hak konstitusional dari Machica Mochtar sebagai pemohon ke-1 dan

Muhammad Iqbal Ramadhan sebagai pemohon ke-2 yang dirugikan oleh

ketentuan pasal 2 ayat (2) dan pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan.

Pasal 2 ayat (2) UU No 1 tahun 1974 menyatakan, “Bahwa tiap-tiap

perkawinan dicatat menurut peraturan undang-undang yang berlaku”.

Kemudian pasal 43 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa “anak

yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdatan

dengan ibu dan keluarga ibunya”.

C. Tinjauan Perkara

Para pemohon telah mengajuan permohonan bertanggal 14 Juni 2010

yang di terima kepaniteraan Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut

(Kepaniteraan Mahkamah) pada hari senin tanggal 14 juni 2010 berdasarkan

akta penerimaan berkas permohonan nomor 211/PAN.MK/2010 dan

registrasi pada Rabu tanggal 23 juni 2010 dengan Nomor 46/PUU-

VIII/2010, yang telah di perbaiki dan di terima Kepaniteraan Mahkamah

pada tanggal 11 Agustus 2010, menguraikan hal-hal sebagaimana berikut:

a. Bahwa pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia

46

b. Bahwa pasal 51 ayat (1) menyatakan

1. Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan atau

kewenangan konstitusionalnya di rugikan oleh berlakunya

undang-undang,

2. Pemohon di klasifikasikan sebagai perorangan warga negara

Indonesia yang dirugikan hak konstitusionalnya di sebabkan

diperlakukan berbeda dimuka hukum terhadap status hukum

perkawinan oleh undang-undang.

Sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat (1) dan pasal (2) menyatakan :

“perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaanya itu”, sehingga oleh karenanya pernikahan yang

telah dilakukan oleh Pemohon adalah sah dan hal itu juga dikuatkan dengan

Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkract

van gewijdse) sebagaimana tercantum dalam penetapan atas Perkara Nomor

46/Pdt.P/2008/PA.Tgrs., tanggal 18 juni 2008. “Tiap-tiap perkawinan dicatat

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Dengan berlakunya

pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan, maka hak-hak konstitusional Pemohon

sebagai warga negara Indonesia yang dijamin oleh Pasal 28B ayat (1) dan (2)

serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 telah dirugikan. Pasal 28B ayat (1)

menyatakan “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan

keturunan melalui Perkawinan yang sah”. Ketentuan UUD 1945 ini

47

melahirkan norma konstitusi bahwa Pemohon yang merupakan warga negara

Indonesia memiliki hak yang setara dengan warga negara Indonesia yang

lainnya dalam membentuk keluarga dan melaksanakan perkawinan tanpa

dibedakan dan wajib diberlakukan sama di depan hukum.

Sedangkan pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “setiap anak

berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas

perlindungan dan diskriminasi”. Ketentuan UUD 1945 ini jelas melahirkan

norma konstitusi bahwa anak pemohon juga memiliki hak atas status

hukumnya dan diperlakukan sama di depan hukum.

Bahwa pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan, “anak yang

lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya

dan keluarga ibunya”. Berdasarkan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, maka

anak pemohon hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan

keluarga ibunya, dan hal ini sama juga dianut dalam Islam. Dengan

berlakunya pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan maka hak-hak konstitusional

pemohon selaku ibu dan anaknya untuk mendapatkan pegesahan atas

pernikahannya serta status hukum anaknya yang dijamin pasal 28B ayat (1)

dan ayat (2) serta pasal 28D ayat 1 telah dirugikan.

Bahwa pasal 28D ayat (1) menyatakan setiap orang berhak atas

pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta

perlakuan sama di depan hukum.

48

Bahwa sementara itu, pasal 2 ayat (2) dan pasal 43 ayat (1) UU

Perkawinan menyebabkan kerugian terhadap hak konstitusional pemohon

dan anaknya yang timbul berdasarkan pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) UUD

1945 serta pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yakni hak untuk mendapatkan

pengesahan terhadap pernikahan sekaligus status hukum anak pemohon.

D. Pokok Permohonan

Bahwa para pemohon sebagai orang yang berkedudukan sebagai

perorangan warga negara Indonesiayang mengajukan permohonan pengujian

ketentuan pasal 2 ayat (2) dan pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinana),

yang pada intinya sebagai berikut:

a. Bahwa menurut para pemohon ketentuan pasal 2 ayat (2) dan

pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan menimbulkan ketidakpastian

hukum yang mengakibatkan kerugian para pemohon, khususnya

yang berkaitan dengan status perkawinan dan status hukum yang

dihasilkan dari hasil perkawinan pemohon 1;

b. Bahwa hak konstitusional para pemohon telah diciderai oleh

norma hukum dalam Undang-Undang Perkawinan. Norma hukum

ini jelas tidak adil dan merugikan karena perkawinan pemohon 1

adalah sah dan sesuai rukun nikah dalam Islam. merujuk ke

norma konstitusi yang termaktub dalam pasal 28B ayat (1) UUD

49

1945 maka perkawinan pemohon 1 yang dilangsungkan sesuai

rukun nikah adalah sah tetapi terhalang oleh pasal 2 UU

Perkawinan, akibatnya menjadi tidak sah menurut norma hukum.

Akibatnya, pemberlakuan norma hukum ini berdampak pada

status hukum anak (pemohon II) yang dilahirkan dari perkawinan

pemohon 1 menjadi anak di luar nikah berdasarkan ketentuan

norma hukum dalam pasal 43 ayat (1) Undang-Undang

Perkawinan. Disisi lain, perlakuan diskriminatif ini sudah barang

tentu menimbulkan permasalahan karena status seorang anak di

muka hukum menjadi tidak jelas dan sah.

c. Singkatnya menurut pemohon, ketentuan a quo telah

menimbulkan perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum serta

menciptakan perlakuan yang bersifat diskriminatif, karena itu

menurut para pemohon ketentuan a quo bertentangan dengan

ketentuan pasal 28 B ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.

50

E. Pertimbangan-pertimbangan

1. Pertimbangan Pemerintah

a. Terhadap ketentuan pasal 2 ayat (2) Undang-Undang a quo dapat

dijelaskan sebagai berikut:

Bahwa menurut UU a quo, sahnya perkawinan di sandarkan

kepada hukum agamanya masing-masing, namun demikian suatu

perkawinan belum dapat diakui keabsahannya apabila tidak di catat

sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Pencatatan

perkawinan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) bertujuan

untuk :

i. Tertib administrasi perkawinan;

ii. Memberikan kepastian dan perlindungan terhadap status

hukum suami, istri maupu anak; dan

iii. Memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak

tertentu yang timbul karena perkawinan seperti hak waris,

hak untuk memperoleh akte kkelahiran, dan lain-lain.

Pemerintah tidak sependapat dengan anggapan para pemohon

yang menyatakan bahwa pasal 2 ayat (2) telah bertentangan dengan

pasal 28B ayat (1) dan ayat (2), dan pasal 28D ayat (1) UUD 1945,

karena pencatatan perkawinan bukanlah dimaksudkan untuk

51

membatasi hak asasi warga negara melainkan sebaliknya yakni

melindungi warga negara dalam membangun keluarga dan

melanjutkan keturunan, serta memberikan kepastian hukum terhadap

hak suami, istri dan anak-anaknya.

Bahwa pasal 2 ayat (2) Undang-Undang a quo memang tidak

berdiri sendiri, karena frasa “dicatat menurut peraturan perundang-

undang yang berlaku” memiliki pengertian bahwa pencatatan

perkawinan tidak serta merta dapat dilakukan, melainkan bahwa

pencatatan harus mengikuti persyaratan dan prosedur yang ditetapkan

dalam perundang-undangan. Hal ini dimaksudkan agar hak-hak

suami, istri dan anak-anaknya benar-benar dijamin dan dilindungi

oleh negara.

Dari uraian di atas, tergambar dengan jelas dan tegas bahwa

pencatatan perkawinan baik di Kantor Urusan Agama maupun Kantor

Catatan Sipil menurut pemerintah tidak terkait dengan masalah

konstitusionalitas keberlakuan materi muatan norma yang

dimohonkan pengujian oleh pemohon.

Dengan demikian maka ketentuan pasal 2 ayat (2) tersebut tidak

bertentangan dengan pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta pasal 28D

ayat (1) UUD 1945.

52

b. Terhadap ketentuan pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan

dapat dijelaskan sebagaimana berikut :

Bahwa pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan: “anak

yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan

perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, menurut pemerintah

bertujuan memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap

hubungan keperdataan antara anak dan ibunya serta keluarga ibunya,

karena suatu perkawinan yang tidak di catat dapat di artikan bahwa

peristiwa perkawinan tersebut tidak ada, sehingga anak yang lahir di

luar perkawinan yang tidak dicatat menurut Undang-Undang a quo

dikategorikan sebagai anak yang lahir di luar perkawinan yang sah.

Ketentuan dalam pasal ini merupakan konsekuwensi logis dari

adanya pengaturan mengenai persyaratan dan prosedur perkawinan

yang sah atau sebaliknya yang tidak sah berdasarkan Undang-Undang

a quo, karenanya menjadi tidak logis apabila undang-undang

memastikan hubungan hukum seorang anak yang lahir dari

perempuan, memiliki hubungan hukum sebagai anak dengan seorang

laki-laki yang tidak terikat dalam suatu perkawinan yang sah.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, menurut pemerintah

ketentuan pasal 43 ayat (1) Undang-Undang a quo justru bertujuan

untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap

53

hubungan keperdataan antara anak dan ibunya serta keluarga ibunya.

Oleh karena itu, menurut pemerintah pasal 43 ayat (1)

Undang-Undang Perkawinan tidak bertentangan dengan ketentuan

pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta 28D ayat (1) UUD 1945 karena

apabila perkawinan tersebut dilakukan secara sah maka hak-hak para

pemohon sebagaimana dimaksud dalam pasal 28B ayat (1) dan ayat

(2) serta pasa 28D UUD 1945 dapat dipenuhi.

2. Pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat

a. Terhadap ketentuan pasal 2 ayat (2) Undang-Undang a quo dapat

dijelaskan sebagaimana berikut:

Bahwa ketentuan pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan yang

berbunyi “tiap-tipa perkawinan dicatat menurut perundang-undangan

yang berlaku” merupakan norma yang mengandung legalitas sebagai

suatu bentuk formal perkawinan. Pencatatan perkawinan dalam

bentuk akta perkawinan (akta otentik) menjadi penting untuk

memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum

untuk setiap perkawinan. Dengan demikian DPR berpendapat bahwa

dalil pemohon yang menyatakan ketentuan pasal 2 ayat (2) UU

Perkawinan telah menimbulkan ketidakpastian hukum adalah

anggapan yang keliru dan tidak benar.

54

Bahwa terhadap anggapan para pemohon tidak dapat

mencatatkan perkawinannya karena UU Perkawinan pada prinsipnya

berasas monogami adalah sangat tidak berdasar. Pemohon tidak dapat

mencatatkan perkawinannya karena tidak dapat memenuhi

persyaratan poligami sebagaimana diatur dalam UU Perkawinan.

Oleh karena itu sesungguhnya persoalan para pemohon bukan

persoalan konstitusionalitas norma melainkan penerapan hukum yang

tidak dipenuhi oleh para pemohon.

Bahwa perkawinan yang tidak dicatat sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan dapat diartikan sebagi

peristiwa perkawinan yang tidak memenuhi syarat formil, hal ini

berimplikasi terhadap hak-hak keperdataan yang timbul dari akibat

perkawinan termasuk anak yang lahir dari perkawinan yang tidak

dicatat, sehingga berimplikasi terhadap pembuktian hubungan

keperdataan anak dengan ayahnya. Dengan demikian, anak yang lahir

dari perkawinan yang tidak dicatat tersebut, tentu hanya mempunyai

hunungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya.

b. Terhadap ketentuan pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan

dapat dijelaskan sebagaiman berikut:

Menurut DPR justru dengan berlakunya ketentuan pasal 43

ayat (1) UU Perkawinan akan menjamin terwujudnya tujuan

55

perkawinan, serta memberiakan perlindungan dan kepastian hukum

terhadap status keperdataan anak dan hubungan dengan ibu dan serta

keluarga ibunya. Apabila ketentuan pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan

dibatalkan justru akan berimplikasi dengan kepastian hukum atas

status keperdataan anak yang lahir dari perkawinan yang tidak

dicatatkan. Dengan demikian ketentuan pasal 43 ayat (1) UU

Perkawinan tidak bertentangan dengan pasal 28B ayat (1) dan ayat

(2) serta pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

3. Pertimbangan MK

a. Terhadap ketentuan pasal 2 ayat (2) UU a quo dapat dijelaskan

sebagaimana berikut:

Pokok permasalahan hukum mengenai pencatatan perkawinan

menurut peraturan perundang-undangan adalah mengenai makna

hukum (legal meaning) pencatatan perkawinan. Mengenai

permasalah tersebut, penjelasan umum angka 4 huruf b UU 1/1974

tentang asas-asas prinsip-prinsip perkawinan menyatakan,

“... bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan

menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya

itu, dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus di catat

menurut perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-

tiap perkawinan sama halnya dengan pencatatan peristiwa-

peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya

kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat

keterangan, suatu akte yng dimuat dalam daftar pencatatan”.

56

Berdasarkan penjelasan UU 1/1974 di atas yang menetukan

sahnya perkawinan adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh agama

dari masing-masing pasangan calon mempelai. Diwajibkannya

pencatatan perkawinan oleh negara melalui peraturan perundang-

undangan merupakan kewajiban administratif.

Makna pentingnya kewajiban administratif berupa pencatatan

perkawinan tersebut, menurut Mahkamah, dapat dilihat dari dua

perspektif:

i. Dari perspektif negara, pencatatan dimaksud diwajibkan

dalam rangka fungsi negara memberikan jaminan,

perlindungan, penegakan dan pemenuhan hak asasi

manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung

jawab negara dan harus dilakukan oleh negara dengan

prinsip negara hukum yang demokratis yang diatur serta

dituangkan dalam peraturan perundang-undangan [vide

pasal 28I ayat (2) dan ayat (5) UUD 1945]. Sekiranya

pencatatan dianggap sebagai pembatasan, pencatatan

demikian menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan

ketentuan konstitusional karena pembatasan di tetapkan

dengan Undang-Undang dan dilakukan dengan maksud

semata-mata untuk menjamin pengakuan serta

57

penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan

untuk memenuhi tuntunan yang adil sesuai dengan

pertimbangan moral, niali-nilai agama, keamanan dan

ketertiban umumdalam suatu masyarakat demokrtis [vide

pasal 28J ayat (2) UUD 1945].

ii. Pencatatan perkawinan secara administratif yang

dilakukan oleh negara dimaksudkan agar perkawinan,

sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang

dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi

terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian

hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna

dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan

pelayanan oleh negara terkait denga hak-hak yang timbul

dari suatu perkawinan yang bersangkutan dapat

terselenggara secara efektif dan efisien. Artinya, dengan

dimilikinya bukti otentik perkawinan, hak-hak yang

timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan

terlayani dengan baik, karena tidak diperluakn proses

pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan

pikiran yang lebih banyak, seperti pembuktian mengenai

asal usul anak dalam pasal 55 UU 1/1974 yang mengatur

58

bahwa bila asal-usul anak tidakmdapat dibuktikan dengan

akta otentik maka mengenai hal itu dapat ditetapkan

dengan putusan pengadilan yang berwenang. Pembuktian

yang demikian pasti tidak lebih efektif dan efisien bila

dibandingkan dengan akta otentik sebagai buktinya.

b. Terhadap ketentuan pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan dapat

dijelaskan sebagaiman berikut:

Bahwa pokok permasalahan hukum mengenai anak yang

dilahirkan di luar perkawinan adalah mengeani makna hukum (legal

meaning) frasa “yang dilahirkan di luar perkawinan” untuk

memperoleh jawaban dalam perspektif yang lebih luas perlu dijawab

pula permasalahan terkait, yaitu permasalahan tentang sahnya anak.

Secara alamiah, tidaklah mungkin seorang perempuan hamil

tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik

melalui hunungan seksual (coitus) maupun melalui cara lain

berdasakan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya

pembuahan. Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil manakala

hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan

karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya mempunyai

hubungan dengan perempuan tersebut sebagi ibunya. Adalah tidak

tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang

59

melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya

kehamilan dan kelahiran anak terbebut dari tanggung jawabnya

sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan

hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya. Lebih-lebih

manakala berdasarkan perkembangan teknologi yang ada

memungkinkan dapat dibuktikan bahwa seorang anak itu merupakan

anak dari laki-laki tertentu.

Berdasarkan uraian di atas, hubungan anak dengan seorang

laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan

perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian

adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai

bapaknya. Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/administrasi

perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapatkan

perlindungan hukum. Jika tidak demikian maka yang dirugikan

adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak

tersebut tidak berdosa karena kelahiran di luar kehendaknya. Anak

yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali

mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah

masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian

hukum yang adil terhadap status anak yang dilahirkan dan hak-hak

yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun

60

keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan.

F. Amar Putusan

Amar putusan mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

46/PUU-VIII/2010 tentang judicial review pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan

Tahun 1974 mengadili dan menyatakan bahwa:

1. Mengabulkan permohonan para pemohon sebagian;

2. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 1974

Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan , “anak yang dilahirkan

di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan

ibu dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan Undang-Undang

Dasar 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan

perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan dengan ilmu

pengetahuan dan teknologi dan/atau atau alat bukti lain menurut

hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya;

3. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974

Nomor 1, Tambahan Lembara Negara Republik Indonesia Nomor

3019) yang menyatakan, “anak yang dilahirkan di luar

61

perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan

keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat

sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan

laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan

dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata

mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat

tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan

mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga

ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat

dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau

alat bukti lainnya menurut hukum mempunyai hubungan darah,

termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”;

4. Menolak permohonan para Pemohon untuk selaindan selebihnya;

5. Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara

Republik Indonesia sebagaimana mestinya:

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh

sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua

merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati, Harjono, Ahmad

Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar, dan

Muhammad Alim, masing-masing sebagai Anggota, pada hari senin, tanggal

tinggal belas, bulan februari, tahun dua ribu dua belas dan diucapkan dalam

62

Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari jumat,

tanggal tujuh belas, bulan februari tahun dua ribu dua belas, oleh sembilan

Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD, selaku Ketua merangkap

Anggota, Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati, Harjono, Ahmad Fadlil

Sumadi, Anwar Usman, Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar, dan Muhammad

Alim, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Mardino

Wibowo sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon

an/atau kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan

Rakyat atau yang mewakili.

63

BAB IV

ANALISIS DATA

A. Analisis Kedudukan Anak Luar Kawin Dalam Hukum Perdata Islam Di

Indonesia, Kuh Perdata Dan Hukum Adat Setelah Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 46/Puu-Viii/2010;

Menurut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU/VIII/2010

tanggal 17 Februari 2012, bahwa pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di

luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan

keluarga ibunya”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945

sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang

dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat

bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.

Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tentang Perkawinan yang

menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai

hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki

kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan

perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu

pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum

mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus

dibaca sebagai berikut:

64

“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunayi hubungan

perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki

sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu

pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum

mempunyai hubungan darah, termasuk perdata dengan keluarga

ayahnya”.

Berdasarkan putusan di atas, putusan tersebut tidak menghapus atau

merubah ketentuan pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan hanya saja mengubah makna asalkan memenuhi syarat

(conditionaly unconstitusional) yakni inkonstitusional sepanjang ayat

tersebut dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang

dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat

bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.

Berdasarkan penjelasan Mahkamah Konstitusi pada hari Rabu 7

Maret 2012 disebutkan bahwa; pertama, setiap kelahiran, secara alamiah

pasti didahului kehamilan seorang perempuan akibat terjadinya pembuahan

melalui hubungan seksual dengan lelaki atau melalui rekayasa teknologi.

“seorang laki-laki dan seorang perempuan yang menyebabkan terjadinya

kelahiran anak tersebut harus bertanggung jawab atas kelangsungan hidup,

tumbuh dan bekembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi. Hal ini sejalan dengan pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Kedua,

putusan MK membuka kemungkinan bagi ditemukannya subyek hukum

yang harus bertanggung jawab terhadap anak dimaksud sebagai bapaknya,

memalui mekanisme hukum dengan menggunakan pembuktian berdasarkan

65

ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir atau hukum, dalam rangka

meniadakan ketidakpastian dan keatidakadilan hukum dalam masyarakat.

Ketiga, terkait perspektif UU Perkawinan yang memang memiliki karakter

khas, dalam pengertian formal merupakan hukum yang bersifat unifikasi

sehingga terdapat norma hukum yang berlaku untuk seluruh warga negara.

Menurut penulis, keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor46/PUU-

VIII/2010 dapat dijadikan sebagai dasar hukum untuk perlindungan anak di

luar kawin yang selama ini belum diakui oleh negara. Karena peraturan

pemerintah tentang anak yang dilahirkan di luar kawin yang telah dijanjikan

oleh pemerintah dalam pasal 43 ayat (2) UU Perkawinan sampai saat ini

belum ada maka putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan dasar

untuk melindungi anak di luar kawin.

Mengenai kedudukan anak yang dilahirkan di luar kawin dapat

dilihat dalam 3 perspektif yaitu dalam hukum perdata Islam di Indonesia,

Kitab Undang-Undang Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan Hukum Adat.

Mengenai kedudukan anak yang dilahirkan di luar perkawinan

apabila di lihat dari perspektif hukum perdata Islam di Indonesia dapat

terjadi karena tidak adanya akta kelahiran sebagai bukti. Tidak adanya akta

kelahiran dapat terjadi karena dua hal, yang pertama anak yang dilahirkan

karena bapak ibunya tidak mencatatkan perkawinan di KUA sehingga anak

tersebut tidak terhalang untuk membuat akta kelahiran. Anak tersebut

66

terhalang untuk membuat akta kelahiran karena ibu dan bapak bilogisnya

tidak mempunya akta perkawinan.

Kedua anak yang pada waktu kelahirannya tidak jelas siapa ayahnya

sebagai akibat dari perzinahan, perselingkuhan atau hubungan seksual yang

mengakibatkan kelahiran si anak. Sehingga pada saat lahir anak tersebut

tidak memiliki laki-laki sebagai ayahnya. Karena tidak adanya akta kelahiran

maka anak tersebut dapat dipandang sebagai anak yang dilahirkan diluar

perkawinan atau anak luar kawin. Berdasarkan Putusan MK tersebut

kedudukan anak luar kawin tetap sebagai anak luar kawin akan tetapi

mempunyai peluang untuk mendapatkan pengakuan atas ayah biologisnya

karena hubungan darah antara anak dan ayah biologisnya dan mendapatkan

hak-hak keperdataanya yang selama ini tertutup. Artinya kedua orang yang

telah menyebabkan kelahirlan anak tersebut maka harus bertanggung jawab

atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta dari kekerasan dan

diskrimnasi. Putusan MK juga membuka kemungkinan bagi ditemukannya

subyek hukum yang harus bertanggung jawab terhadap anak dimaksud

sebagai bapaknya, melalui mekanisme hukum dengan menggunakan

pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir atau

hukum, dalam rangka meniadakan ketidakpastian dan keatidakadilan hukum

dalam masyarakat. Dan karena putusan tersebut bersifat final dan mengikat

maka putusan tersebut berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia.

67

Dalam Kitab Undang-Undang Perdata (BW) anak luar kawin atau

anak yang dilahirkan di luar perkawinan dapat terjadi karena tiga hal, yang

pertama adalah anak zina adalah anak yang dilahirkan dari hubungan antar

seorang laki-laki dan seorang perempuan yang salah satu atau keduanya

terikat perkawinan. Kedua anak sumbang, anak sumbang adalah anak yang

lahir dari hubungan antara laki-laki dan perempuan dimana hukum melarang

perkawinan antar mereka karena masih terikat perkawinan darah. Ketiga

Anak Alami atau anak luar kawin lainnya adalah anak yang di benihkan atau

dilahirkan dari laki-laki dan perempuan, yang keduanya tidak terikat dan

tidak ada larangan untuk saling kawin.

Dalam KUH Perdata (BW) untuk memperoleh hubungan perdata

antara anak luar kawin dengan ibu dan ayahnya harus ada pengakuan dari

keduanya atau salah satunya. Pasal 280 KUH Perdata menyatakan dengan

pengakuan yang dilakukan terhadap seorang anak luar kawin, timbullah

hubungan perdata antata si anak dan bapak ibunya. Tetapi pasal ini hanya

berlaku untuk anak alami bukan untuk anak zina dan anak sumbang karena

keduanya tidak di perbolehkan untuk diakui hal ini diatur dalam pasal 283

KUHPer. Dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/

2010, maka hubungan perdata anak luar kawin tidak hanya timbul dari

pengakuan saja tetapi dapat timbul karena hubungan darah antara anak luar

kawin dengan ayah bilogisnya. Diakuinya anak luar kawin maka di situ

68

timbullah hubungan perdata antara anak luar kawin dengan ayah biologis dan

keluarga ayahnya.

Dalam Hukum Adat anak luar kawin adalah anak yang lahir dari

perbuatan orang tuanya tidak menurut ketentuan agama dan adat. Di hukum

adat setelah terjadi perkawinan maka suami isteri bertanggung jawab tidak

hanya mengurus, memelihara, dan mendidik anak-anak kandungnya yang

sah maupun anak yang tidak sah. Sebagian masyarakat adat mengganggap

bahwa kedudukan anak luar kawin dalam masyarakat dianggap sebagai aib.

Maka anak dan ibu dapat dijatuhi denda adat atau di buang dari persekutuan

hukum adat. Ada juga yang menggagap sebagai hal yang sudah biasa, artinya

dapat diterima oleh masyarakat sekitar seperti di Jawa dan Minahasa. Dalam

masyarakat Minahasa dan Jawa kedudukan anak luar kawin berkemungkinan

berkedudukan sama dengan anak sah. Di Minahasa tanda pengakuan ayah

terhadap anak biologisnya itu si ayah memberi “lilikur” berupa hadiah adat

kepada ibunya. Di Jawa anak luar kawin dapat mempunyai hubungan perdata

dengan ayah biologisnya atas dasar kemanusiaan (parimirma/kebijaksanaan).

(Hilman Hadikusuma, 1977:145)

Maka dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-

VIII/2010 di harapkan putusan tersebut dapat memberikan perlindungan

hukum terhadap kedudukan anak luar kawin dalam hukum adat yang

sebagian masyarakat adatnya belum bisa menerima anak luar kawin tersebut.

69

Untuk masyarakat yang sudah dapat menerima hanya sebagai penguat

kedudukan anak luar kawin karena putusan tersebut menyeluruh bagi warga

negara Indonesia.

B. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010

Terhadap Kedudukan Anak Luar Kawin Dalam Hal Pewarisan

Terhadap Ayah Bilogisnya;

Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa; “anak yang

dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya

dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat

dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti

lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan

perdata dengan keluarga ayahnya”. Putusan tersebut menimbulkan banyak

tafsir terutama mengenai hak waris anak yang dilahirkan di luar perkawinan.

Dalam hukum perdata Islam di Indonesia anak luar kawin hanya

mempunyai hubungan waris dengan ibunya dan keluarga ibunya. Karena

hanya mempunyai hubungan waris dengan ibu dan keluarga ibunnya maka

anak luar kawin tidak mempunyai hubungan waris dengan laki-laki sebagai

ayahnya bilogisnya karena tidak ada hubungan nasab. Menurut penulis pasal

tersebut akan bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi,

dikarenakan pasal di atas menghilangkan tanggung jawab ayah biologisnya

terutama dalam hal waris. Sedangkan dalam putusan MK, hubungan darah

70

seorang anak luar kawin dengan ayah biologisnya dapat menjadi hubungan

perdata. Dan waris termasuk ranah hukum keperdataan. Maka anak luar

kawin seharusnya memperoleh hak waris. Putusan MK sebagai penguat

kedudukan anak luar kawin untuk memperoleh hak waris terhadap ayah

biologisnya.

Dalam KUH Perdata anak luar kawin yang telah diakui oleh ayah

biologisnya akan mendapatkan warisan sebagaimana diatur dalam pasal 862

KUH Perdata. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan anak

luar kawin mempunyai hubungan perdata dengan laki-laki sebagai ayahnya

yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau

alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk

hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Dan antara putusan Mahkamah

Konstitusi dengan KUH Perdata yang menyatakan hanya anak luar kawin

yang diakui yang mendapatkan warisan seperti yang dinyatakan dalam Pasal

862 KUH Perdata.

Putusan tersebut mengesampingkan ketentuan KUH Perdata yang

menyatakan bahwa hanya anak luar kawin lainnya atau anak alami saja yang

mendapatkan warisan. Implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi adalah

semua anak luar kawin dalam KUH Perdata (anak hasil perzinahan, anak

sumbang dan anak alami / anak luar kawin yang diakui) dapat mendapatkan

warisan.

71

Dalam Hukum Adat, anak luar kawin ada tiga kemungkinan untuk

mendapatkan harta waris. Pertama, tidak berhak menjadi ahli waris dari

orang tua yang melahirkannya, baik dari ayahnya maupun ibunya. Kedua,

hanya berhak menjadi ahli waris dari ibu yang melahirkannya, atau mungkin

dari ayahnya saja tanpa dari ibunya. Ketiga, berhak sama dengan anak

kandung yang sah sebagai ahli waris dari ayah dan ibu kandungnya.

Dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan anak luar

kawin mempunyai hubungan perdata dengan laki-laki sebagai ayahnya yang

dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat

bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan

perdata dengan keluarga ayahnya. Antara putusan Mahakamh Konstitusi

dengan Hukum Adat yang menyatakan anak luar kawin hanya berhak

menjadi ahli waris dari ibu atau bapaknya dan berhak sama dengan anak

kandung yang sah sebagai ahli waris dari ayah dan ibu kandungnya.

Implikasi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memperkuat

kedudukan anak lauar kawin untuk menjadi ahli waris ibu kandung dan ayah

bilogisnya karena adanya hubungan darah antara anak dan kedua orang

tuanya.

72

BAB V

PENUTUP

C. Kesimpulan

Berdasarkan apa yang telah diuraikan pada bab-bab terdahulu, maka

penulis mengemukakan kesimpulan terutama yang berhubungan dengan

kedudukan anak luar kawin setelah putusan Mahkamah Konstitusi dan Hak

Waris anak luar kawin terhadap ayah bilogisnya dalam Hukum Perdata Islam

di Indonesia, KUH Perdata dan Hukum Adat sebagai berikut:

1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang

anak luar kawin, tidak menghapus atau merubah ketentuan pasal 43

ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

hanya saja mengubah makna asalkan memenuhi syarat (conditionaly

unconstitusional) yakni inkonstitusional sepanjang ayat tersebut

dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang

dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi

dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah

sebagai ayahnya. Maka kedudukan anak luar kawin dalam Hukum

Perdata Islam di Indonesia, KUH Perdata dan Hukum Adat

memperoleh dasar hukum setelah putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 46/PUU-VIII/2010. Berdasarkan putusan tersebut, hubungan

perdata anak luar kawin tidak hanya timbul dari pengakuan saja

73

tetapi dapat timbul karena hubungan darah antara anak luar kawin

dengan orang tuannya. Dengan hubungan darah antara anak luar

kawin dengan orangtuanya maka di situ timbullah hubungan perdata

antara anak luar kawin dengan orang tuanya.

2. Implikasi putusan Mahkamah Konstitusi dapat dijadikan sebagai

penguat kedudukan anak luar kawin ( anak luar kawin dalam hukum

perdata Islam di Indonesia, KUH Perdata dan Hukum Adat ) untuk

memperoleh hak waris terhadap ayah bilogisnya karena hubungan

darah antara anak luar kawin dengan ayah biologisnya.

D. Saran

1. Masyarakat yang akan melangsungkan perkawinan, hendaklah patuh

terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku supaya mendapatkan

kepastian hukum mengenai pernikahannya demi melindungi hak-hak

suami, istri dan anak-anaknya.

2. Masyarakat yang terdapat anak di luar kawin dalam lingkungannya

supaya menerima anak tersebut, karena setiap orang tidak berharap lahir

dalam keadaan menjadi anak luar kawin. Dan orang tua anak luar kawin

untuk mau mengakui dan mengesahkannya demi menyelamatkan masa

depan anak.

3. Mendorong pemerintah untuk segera membuat Peraturan Pemerintah

74

tentang anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang telah di janjikan

dalam pasal 43 ayat (2) UU Perkawinan.

4. Penulis berharap DPR atau Pemerintah segera mengajukan revisi

Undang-Undang Perkawinan disesuaikan dengan kebutuhan zaman.

75

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. 1992. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: Akademika

Pressindo

Afandi, Ali. 1997. Hukum Waris, Hukum Keluarga dan Hukum Pembuktian.

Jakarta: PT RINEKA CIPTA.

Asshiddiqie, Jimly. 2005. Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Dalam

UUD 1945. Yogyakarta: FH UIIPress.

Basyir, Ahmad Azhar. 1995. Hukum Waris Islam. Yogyakarta: UII Press.

Bushar, Muhammad. 1995. Pokok-Pokok Hukum Adat. Jakarta: PT Pradnya

Paramita.

Hadikusuma, Hilman. 1997. Hukum Perkawinan Adat. Bandung: ALUMNI

Hadikusuma, Hilman. 2007. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan

Hukum Adat Hukum Agama. Bandung: CV. Mandar Maju.

Hadikusuma, Hilman. 2015. Hukum Waris Adat. Bandung: PT CITRA ADITYA

BAKTI.

Irfan, M Nurul. 2015. Nasab Dan Status Anak Dalam Hukum Islam. Jakarta:

AMZAH.

Manan, Abdul. 2006. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Jakarta:

Kencana

76

Muhammad, Abdulkadir. 2014. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT CITRA

ADITYA BAKTI.

Mukthie, Fadjar Abdul. 2006. Hukum Konstitusi Dan Mahkamah Konstitusi.

Jakarta: Konstitusi Press & Citra Media.

Rofiq, Ahmad. 2017. Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Depok: PT

RAJAGRAFINDO PERSADA.

Seokanto, Seorjono & Sri Mamudji. 1986. Penelitian Hukum Normatif: Suatu

Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali.

Sjarif, Surini Ahlan & Nurul Elmiyah. 2005. Hukum Kewarisan Perdata Barat.

Jakarta: PRENADA MEDIA.

Soekanto, Seorjono & Soleman B. Taneko. 2015. Hukum Adat Indonesia. Jakarta:

PT RAJAGRAFINDO PERSADA.

Soekanto, Seorjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press.

Suharso & Ana Retnoningsih. 2006. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Semarang:

Widya Karya.

Sujana, I Nyoman. 2015. Kedudukan Hukum Anak Luar Kawin. Yogyakarta:

ASSWAJA PRESSINDO.

www.mk.or.id di akses pada tanggal 23 Juli 2018.

Kitap Undang-Undang Hukum Perdata.

77

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor

8 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Konstitusi.