28
Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310 IMPLIKASI HUKUM AKTA HIBAH WASIAT YANG OBYEKNYA MILIK PIHAK LAIN DAN TANGGUNG JAWAB NOTARISNYA (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SURABAYA NOMOR : 559/PDT.G/2018/PN. SBY) Intan Nabila, Flora Dianti Abstrak Perwarisan berdasarkan surat wasiat (testamentair) dibagi ke dalam 2 (dua) jenis yaitu wasiat pengangkatan waris (testamentair erfrecht/erfstelling) dan wasiat yang berisi hibah (hibah wasiat/legaat). Perbedaan antara pengangkatan wasiat (erfstelling), atas hak umum dengan memberikan wasiat tidak ditentukan bendanya secara tertentu sedangkan hibah wasiat (legaat), atas hak khusus yaitu memberikan wasiat dengan ditentukan jenisnya, yang mana objek hibah wasiat itu harus dimiliki pada saat pemberi hibah wasiat meninggal dunia. Pembuatan suatu wasiat tersebut dapat dibuat dengan akta tertulis yang berkaitan dengan peran Notaris sebagai pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat suatu akta otentik. Apabila dalam pembuatan akta mengalami penyimpangan dan/atau pelanggaran persyaratan pembuatan akta, maka hal tersebut membawa akibat terhadap tidak sahnya suatu akta yang dibuat oleh Notaris. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis akibat hukum terhadap akta hibah wasiat yang obyeknya bukan milik pihak dalam akta dan tanggung jawab notaris pengganti sebagai pemegang protokol terhadap pembatalan akta hibah wasiat nomor 122 yang dibuat oleh notaris purna bakti. Untuk menjawab perumusan masalah dalam penelitian ini maka Penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan bahan pustaka dan data sekunder yang mencakup bahan hukum berupa peraturan-peraturan, literatur dan buku kepustakaan. Berdasarkan hasil penelitian, akibat hukum terhadap akta hibah wasiat nomor 122, mengakibatkan akta tersebut batal demi hukum karena mengandung cacat hukum secara materiel. Dan tanggung jawab notaris pengganti terhadap pembatalan akta hibah wasiat tersebut hanya sebatas sebagai pemegang protokol yaitu menjaga dan memelihara produk akta notaris purna bakti, serta tunduk dan patuh pada putusan hakim yaitu untuk tidak memberlakukan lagi akta hibah wasiat tersebut dalam bentuk apapun juga. Kata Kunci : Wasiat, Hibah Wasiat, Notaris 1. PENDAHULUAN Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri melainkan makhluk hidup yang selalu membutuhkan manusia lainnya, dan saling tolong-menolong antara satu dengan yang lainnya. Dalam hal tolong-menolong dapat diartikan dengan berbagai macam cara yaitu, ada yang berupa jasa, jual-beli, hadiah dan lain sebagainya dan salah satu tolong- menolong yang akan dibahas oleh peneliti berupa hibah wasiat dengan kata lain hadiah. Dalam kehidupan manusia ada 3 (tiga) peristiwa penting yang harus dicatat, yaitu kelahiran, perkawinan dan kematian. Diantara ketiga peristiwa tersebut yang kerap kali menimbulkan masalah adalah kematian. Seorang manusia selaku anggota masyarakat selama masih hidup mempunyai tempat dalam masyarakat dengan disertai berbagai hak dan kewajiban terhadap orang-orang anggota lain dari masyarakat itu. Dengan kata lain ada berbagai hubungan antara seorang manusia disatu pihak dan dunia luar disekitarnya dilain pihak

IMPLIKASI HUKUM AKTA HIBAH WASIAT YANG OBYEKNYA …

  • Upload
    others

  • View
    25

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: IMPLIKASI HUKUM AKTA HIBAH WASIAT YANG OBYEKNYA …

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

IMPLIKASI HUKUM AKTA HIBAH WASIAT YANG OBYEKNYA

MILIK PIHAK LAIN DAN TANGGUNG JAWAB NOTARISNYA

(STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SURABAYA

NOMOR : 559/PDT.G/2018/PN. SBY)

Intan Nabila, Flora Dianti

Abstrak

Perwarisan berdasarkan surat wasiat (testamentair) dibagi ke dalam 2 (dua) jenis yaitu

wasiat pengangkatan waris (testamentair erfrecht/erfstelling) dan wasiat yang berisi hibah

(hibah wasiat/legaat). Perbedaan antara pengangkatan wasiat (erfstelling), atas hak umum

dengan memberikan wasiat tidak ditentukan bendanya secara tertentu sedangkan hibah wasiat

(legaat), atas hak khusus yaitu memberikan wasiat dengan ditentukan jenisnya, yang mana

objek hibah wasiat itu harus dimiliki pada saat pemberi hibah wasiat meninggal dunia.

Pembuatan suatu wasiat tersebut dapat dibuat dengan akta tertulis yang berkaitan dengan peran

Notaris sebagai pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat suatu akta otentik.

Apabila dalam pembuatan akta mengalami penyimpangan dan/atau pelanggaran persyaratan

pembuatan akta, maka hal tersebut membawa akibat terhadap tidak sahnya suatu akta yang

dibuat oleh Notaris. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis akibat hukum

terhadap akta hibah wasiat yang obyeknya bukan milik pihak dalam akta dan tanggung jawab

notaris pengganti sebagai pemegang protokol terhadap pembatalan akta hibah wasiat nomor

122 yang dibuat oleh notaris purna bakti. Untuk menjawab perumusan masalah dalam

penelitian ini maka Penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan bahan

pustaka dan data sekunder yang mencakup bahan hukum berupa peraturan-peraturan, literatur

dan buku kepustakaan. Berdasarkan hasil penelitian, akibat hukum terhadap akta hibah wasiat

nomor 122, mengakibatkan akta tersebut batal demi hukum karena mengandung cacat hukum

secara materiel. Dan tanggung jawab notaris pengganti terhadap pembatalan akta hibah wasiat

tersebut hanya sebatas sebagai pemegang protokol yaitu menjaga dan memelihara produk akta

notaris purna bakti, serta tunduk dan patuh pada putusan hakim yaitu untuk tidak

memberlakukan lagi akta hibah wasiat tersebut dalam bentuk apapun juga.

Kata Kunci : Wasiat, Hibah Wasiat, Notaris

1. PENDAHULUAN

Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri melainkan makhluk

hidup yang selalu membutuhkan manusia lainnya, dan saling tolong-menolong antara satu

dengan yang lainnya. Dalam hal tolong-menolong dapat diartikan dengan berbagai macam cara

yaitu, ada yang berupa jasa, jual-beli, hadiah dan lain sebagainya dan salah satu tolong-

menolong yang akan dibahas oleh peneliti berupa hibah wasiat dengan kata lain hadiah.

Dalam kehidupan manusia ada 3 (tiga) peristiwa penting yang harus dicatat, yaitu

kelahiran, perkawinan dan kematian. Diantara ketiga peristiwa tersebut yang kerap kali

menimbulkan masalah adalah kematian. Seorang manusia selaku anggota masyarakat selama

masih hidup mempunyai tempat dalam masyarakat dengan disertai berbagai hak dan kewajiban

terhadap orang-orang anggota lain dari masyarakat itu. Dengan kata lain ada berbagai

hubungan antara seorang manusia disatu pihak dan dunia luar disekitarnya dilain pihak

Page 2: IMPLIKASI HUKUM AKTA HIBAH WASIAT YANG OBYEKNYA …

381

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

sedemikian rupa bahwa ada saling mempengaruhi dari kedua belah pihak itu berupa

kenikmatan atau beban yang dirasakan oleh masing-masing pihak.1

Apabila seseorang meninggal dunia maka dengan sendirinya timbul suatu pertanyaan,

apakah yang akan terjadi dengan hubungan-hubungan hukum tersebut, yang mungkin akan erat

sifatnya pada saat seseorang tersebut masih hidup, hal ini terkait dengan bagaimana pengurusan

harta peninggalannya. Maka, penyelesaian hak-hak dan kewajiban sebagai akibat adanya

peristiwa hukum karena meninggalnya seseorang diatur oleh Hukum Waris.2 Terkait dengan

hubungan-hubungan hukum di atas, tidak cukup dikatakan, bahwa perhubungan-perhubungan

hukum itu lenyap seketika itu, oleh karena biasanya pihak yang ditinggalkan oleh pihak yang

lenyap itu, tidak merupakan seorang manusia saja atau sebuah barang saja, dan juga oleh karena

hidupnya seorang manusia yang meninggal dunia itu, berpengaruh langsung pada kepentingan-

kepentingan beraneka warna dari berbagai orang anggota lain dari masyarakat, dan

kepentingan-kepentingan ini, selama hidup seseorang itu, membutuhkan pemeliharaan dan

penyelesaian oleh orang itu.3

Dalam hukum waris berlaku suatu asas, bahwa hanyalah hak-hak dan kewajiban-

kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan. Dengan

kata lain, hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dinilai dengan uang. Dalam

hukum waris berlaku juga suatu asas, bahwa apabila seorang meninggal, maka seketika itu juga

segala hak dan kewajibannya beralih pada sekalian ahliwarisnya.4 Bahwa, pewarisan

dibedakan dalam dua macam, yaitu :5

1. Menurut Undang-Undang (ab intestato)

2. Surat Wasiat (testamentair)

Ahli waris menurut undang-undang, telah dijelaskan di dalam Pasal 832 ayat (1)

KUHPerdata bahwa menurut undang-undang yang berhak untuk menjadi ahli waris ialah, para

keluarga sedarah, baik sah, maupun luar kawin dan suami atau istri yang hidup terlama.6 Ahli

waris menurut surat wasiat, adalah mereka yang tergolong ahli waris yang disebutkan di dalam

Pasal 874 KUHPerdata, bahwa: “Segala harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia,

adalah kepunyaan ahli warisnya menurut undang-undang, sekedar terhadap itu dengan surat

wasiat tidak telah diambilnya sesuatu ketetapan yang sah”.7

Apabila kita mempelajari wasiat itu lebih seksama, maka kita dapat membagi wasiat

itu ke dalam dua jenis, yaitu:8

1. Wasiat pengangkatan waris (Testamentair Erfrecht/Erfstelling), adalah suatu wasiat

dimana orang yang mewasiatkan itu di dalam wasiatnya mengangkat seseorang atau

1Udin Narsudin, Keterangan Waris Keterangan Ahli Waris Dalam Pluralisme Sistem Hukum Waris di

Indonesia (Dalam Perspektif Kewnangan Notaris), (Ciputat: Gaung Persada (GP) PRESS, 2016), hlm. 6.

2Muhammad Syaifullah Abadi Manangin, Leni Dwi Nurmala dan Nurmin K Martam, “Pengalihan Atas

Harta Warisan Di Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 16, No. 2 (Agustus 2020): 178. 177-189

3Wirjono Prodjodikoro, Hukum Waris di Indonesia, (Bandung: Penerbit Sumur Bandung, 1983), hlm.11.

4Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1996), hlm. 95-96.

5J.G Klassen dan J. E Eggens, Hukum Waris Bagian I, (Jakarta: Esa Study Club, 1979), hlm. 2.

6Narsudin, Keterangan Waris…, hlm 102.

7Ibid, hlm. 106.

8Benyamin Asri dan Thabrani Asri, Dasar-Dasar Hukum Waris Barat Suatu Pembahasan Teoritis Dan

Praktek, (Bandung: Tarsito, 1988), hlm. 42-43.

Page 3: IMPLIKASI HUKUM AKTA HIBAH WASIAT YANG OBYEKNYA …

382

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

beberapa orang untuk menjadi ahli warisnya terhadap seluruh atau sebagian harta

peninggalannya, setelah ia meninggal dunia (Pasal 954 KUHPerdata).

2. Wasiat yang berisi hibah (Hibah Wasiat/Legaat), ialah suatu penetapan wasiat yang

khusus, di mana orang yang mewasiatkan itu memberikan beberapa barangnya (semua

barang tak bergerak atau barang bergerak), hak atas seluruh atau sebagian harta

peninggalannya), dari suatu jenis tertentu, kepada seorang atau lebih.

Perbedaan antara pengangkatan wasiat (erfstelling) dengan hibah wasiat (legaat) adalah

yang pertama pengangkatan wasiat (erfstelling), atas hak umum yaitu, memberikan wasiat

dengan tidak ditentukan bendanya secara tertentu. Sedangkan, hibah wasiat (legaat), atas hak

khusus yaitu memberikan wasiat yang bendanya ditentukan jenisnya.9 Dalam Pasal 874 BW,

menerangkan tentang arti wasiat atau testament, memang sudah mengandung suatu syarat

bahwa isi peryantaan itu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.10

Salah satu hal penting yang harus diperhatikan dalam membuat suatu hibah wasiat

adalah mengenai objek yang dapat dihibahwasiatkan, pada Pasal 957 KUHPerdata mengatur

mengenai objek yang dapat dijadikan hibah wasiat yaitu:11

1. Beberapa barang tertentu;

2. Barang-barang dari satu jenis tertentu;

3. Hak pakai hasil dari seluruh atau Sebagian dari harta peninggalan;

4. Suatu hak lain teradap boedel, missal hak untuk mengambil satu atau beberapa benda

tertentu dari boedel.

Objek-objek yang akan dihibahwasiatkan sebagai tersebut di atas tentunya harus

memenuhi syarat utama agar suatu hibah wasiat dapat dilaksanakan yaitu objek tersebut harus

dimiliki oleh pewaris. Objek hibah wasiat tersebut tidak perlu dimilikinya pada saat ia

membuat surat wasiat, tetapi objek itu harus dimiliki pada saat ia meninggal dunia. Oleh karena

itu syarat tersebut, pemberi wasiat harus memperhatikan secara seksama mengenai objek yang

akan dihibahwasiatkan tersebut.12

Isi suatu testament, tidak usah terbatas pada hal-hal yang mengenai kekayaan harta

benda saja. Dalam suatu testament dapat juga dengan sah dilakukan, penunjukkan seorang wali

untuk anak-anak meninggal, pengakuan seorang anak yang lahir di luar perkawinan, atau

pengangkatan seseorang executer testamentair, yaitu seorang yang dikuasakan mengawasi dan

mengatur pelaksanaan testament.13 Selanjutnya, bahwa suatu wasiat itu dapat dilakukan

pencabutan, apa yang pernah dinyatakan dalam wasiat pada suatu waktu, harus dapat dicabut

atau dirubah kemudian, dan testament yang terakhir ini yang berlaku sebagai kehendak yang

paling akhir. Ada pun pencabutan itu dapat dilakukan dengan tegas atau secara diam-diam.14

Terkait pada pernyataan tersebut di atas, pembuatan surat wasiat mengacu pada Pasal 931

9Narsudin, Keterangan Waris…, hlm. 108-109.

10Subekti, Pokok-Pokok Hukum…, hlm. 107.

11Alya Hapsari Nuraini, Liza Priandhini, Widodo Suryandono, “Pemberian Akta Hibah Wasiat Atas

Seluruh Saham Perseroan Terbatas PT.LNI”, Indonesian Notary, Vol. 1, No. 002, (2019): 3.

12Ibid. hlm. 4.

13Ibid, hlm. 108.

14Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, (Jakarta: Bina Aksara, 1986), hlm.

31.

Page 4: IMPLIKASI HUKUM AKTA HIBAH WASIAT YANG OBYEKNYA …

383

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

KUHPerdata dan Pasal 875 KUHPerdata: “Suatu wasiat hanya boleh dinyatakan, baik dengan

akta tertulis sendiri atau olograpis, baik dengan akta umum, baik akta rahasia atau tertutup”.15

Pasal 875 KUHPerdata “Adapun yang dinamakan surat wasiat atau testament ialah

suatu akta yang memuat pernyataan seorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi

setelah ia meninggal dunia, dan yang olehnya dapat dicabut kembali lagi.” Sesuai dengan

ketentuan di atas bahwa suatu wasiat dibuat dengan bentuk tertulis dan lainnya, untuk surat

wasiat yang dibuat dihadapan notaris dapat dibatalkan apabila ternyata dalam prosedur

pembuatannya tidak dilakukan sesuai dengan persyaratan dan ketentuan yang berlaku.

Pembuatan suatu wasiat sebagaimana pernyataan di atas dapat dibuat dengan akta

tertulis, hal ini berkaitan dengan peran Notaris yang mempunyai kewenangan untuk membuat

akta, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka (1) dan (7) Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

(untuk selanjutnya disebut sebagai UUJNP): 16

Pasal 1 angka (1) dan angka (7) UUJNP:

(1) Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan

memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini atau

berdasarkan undang-undang lainnya.

(7) Akta Notaris yang selanjutnya disebut Akta adalah akta autentik yang dibuat oleh atau

dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-

Undang ini.

Berdasarkan Pasal 16 huruf i, j dan k UUJNP salah satu kewajiban Notaris dalam

menjalankan jabatannya, wajib untuk:

(i) Membuat daftar Akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan

Akta setiap bulan;

(j) mengirimkan daftar Akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau daftar nihil yang

berkenaan dengan wasiat pada kementerian yang menyelenggarakan urusan

pemerintahan di bidang hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap

bulan berikutnya;

(k) mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan.

Notaris sebagai pejabat umum diberikan kewenangan untuk membuat akta otentik,

dalam pembuatannya akta itu dibuat untuk memenuhi syarat sebagai akta otentik yang sah.

Apabila dalam pembuatan akta mengalami penyimpangan dan/atau pelanggaran persyaratan

pembuatan akta yang dilakukannya, maka hal tersebut membawa akibat terhadap tidak sahnya

suatu akta yang dibuat oleh Notaris.17

15Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek). Diterjemahkan oleh R.

Subekti dan R. Tjitrosudibio, Cet. 35, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1976), Ps. 875.

16Indonesia, Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang

Jabatan Notaris, UU No. 2 Tahun 2014, LN Nomor 3, TLN No. 5491. Ps. 1 angka 1 dan 7.

17Aninda Zoraya Putri, “Pembatalan Akta Hibah Wasiat Sebagai Akta Otentik Dalam Proses

Pemeriksaan Perkara Perdata (Studi Kasus Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor : 53/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Sel”

(Jurnal Verstek, Vol. 4, No 3, 2016): 215.

Page 5: IMPLIKASI HUKUM AKTA HIBAH WASIAT YANG OBYEKNYA …

384

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

Faktor yang menyebabkan batalnya akta otentik adalah pembatalan sebagaimana

dimaksud dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, mengatur mengenai syarat-syarat sahnya

perjanjian pada umumnya. Mengenai syarat-syarat perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata

menyebutkan:18

1. sepakat mereka yang mengikatkan diri;

2. kecakapan membuat suatu perjanjian;

3. suatu hal tertentu;

4. kausa yang halal atau tidak terlarang.

Apabila ketentuan pada Pasal 1320 KUHPerdata tersebut tidak dipenuhi salah satunya

saja maka akan menyebabkan perjanjiannya cacat hukum sehingga ketentuan yang termuat

dalam akta tersebut menyebabkan akta tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum.

Selain itu, hal tersebut berhubungan dengan perjanjian yaitu sepakat mereka yang

mengikat dirinya dan suatu sebab yang halal19. Pengertian sebab atau causa yang tidak dilarang

(eene geoorloofdeoorzaak) tidak dijelaskan dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Sebab atau causa

adalah hal yang menyebabkan adanya perhubungan hukum berupa rangkaian kepentingan-

kepentingan yang harus dipenuhi secara yang termaktub dalam isi perhubungan hukum itu.

Sebab yang halal tersebut diatur dalam Pasal 1335 KUHPerdata, dijelaskan bahwa yang disebut

dengan sebab yang halal adalah : 20

a. bukan tanpa sebab;

b. bukan sebab yang palsu;

c. bukan sebab yang terlarang.

Sebab atau causa yang halal yang dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata, bukanlah

sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian

melainkan sebab dalam arti “isi pernjanjian itu sendiri” yang menggambarkan tujuan yang akan

dicapai oleh pihak-pihak, apakah bertentang dengan ketertiban umum dan kesusilaan tidak.

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan

memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini atau

berdasarkan undang-undang lainnya. Ketentuan tersebut berhubungan dengan ketentuan

dalam Pasal 1868 KUHPerdata menyebutkan bahwa yang disebut akta autentik ialah “suatu

akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan

pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya”. Senada

dengan Pasal 1868 KUHPerdata, menurut Habib Adjie Pasal 1868 KUHPerdata memberikan

Batasan secara unsur yang dimaksud dengan akta otentik sebagai berikut :21

1. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang Pejabat

Umum.

2. Akta itu harus dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.

18Ibid. hlm. 215.

19Umi Mamlu’ul Hikmah, Bambang Sugiri, Sukarmi “ Tanggung Jawab Notaris Dalam Membuat

Perjanjian Simulasi Yang Berbentuk Akta Notaris Ditinjau Dari Hukum Perjanjian”, Fakultas Hukum Universitas

Brawijaya (19 Januari 2021):1.

20Ibid. hlm. 12.

21Laurensius Arliman S, Notaris dan Penegakan Hukum Oleh Hakim, (Yogyakarta: CV. Budi Utama,

2015), hlm. 4.

Page 6: IMPLIKASI HUKUM AKTA HIBAH WASIAT YANG OBYEKNYA …

385

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

3. Pegawai Umum (Pejabat Umum) oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat, harus

mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut.

Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta autentik, tidak semata-

mata untuk kepentingan pribadi, melainkan untuk kepentingan masyarakat. Notaris sebagai

sebuah profesi yang mulia (officium nobile) memegang peranan penting dalam kehidupan

bermasyarakat, terutama masyarakat modern yang menghendaki adanya pendokumentasian

suatu peristiwa hukum atau perbuatan hukum tertentu yang dilakukan oleh subjek hukum baik

dalam arti subjek hukum berupa orang (natuurlijke person) maupun subjek hukum dalam arti

badan hukum (recht person).22

2. PEMBAHASAN

Pada tanggal 21 Juni 2018 dalam gugatan perkara No. 559/Pdt.G/2018/PN.Sby yang

diajukan oleh PT. SR, berkedudukan di Jl. Songoyudan No. 1XX Surabaya yang diwakili oleh

BI (Penggugat) kepada HS (Tergugat) dan RJR notaris purna bakti yang protokol notarisnya

disimpan oleh ISH (Turut Tergugat). Berdasarkan pengakuan HS sendiri dalam gugatan

perkara No. 1017/Pdt.G/2016/PN.Sby yang telah berkekuatan hukum tetap (pernyataan

banding dicabut) butir 3, 4 dan 5. Pada tanggal 27 Oktober 1977 terjadi transaksi jual beli antara

FS (Pewaris) dengan PT. SR yang obyeknya berupa SHGB No. 3XX dan No. 3XX yang masih

berlaku (masih hidup ketika itu) dengan kesepakatan dan ketentuan sebagai berikut:23

1. 25% dibayar LUNAS pada saat itu ;

2. 10% dibayar Ketika Pewaris dapat menunjukkan perijinan ;

3. 65% dibayar setelah pembebasan bangunan milik 63 KK sukses.

Dengan ketentuan bilamana dalam waktu 2 (dua) tahun Pewaris gagal menyelesaikan

maka telah disepakati jalan keluar dengan 2 (dua) opsi sebagai berikut:

a. Perjanjian Jual Beli Batal, Pewaris harus mengembalikan uang 25% yang telah

diterimanya itu. Atau ;

b. Diserahkan tanah tersebut dalam keadaan adanya dan PT. SR sendiri yang

membebaskan bangunan/rumah milik 63 KK diatas tanah tersebut, selanjutnya

segala kekurangan dari 75% nilai jual beli menjadi beban PT. SR sepenuhnya dan

sebaliknya seluruh kewajiban PT. SR/Penggugat menjadi lunas;

Kesepakatan dan ketentuan antara FS dengan PT. SR dituangkan ke dalam Akta Ikatan

Jual Beli No. 2X dan Akta Kuasa No. 3X, semuanya tertanggal 27 Oktober 1977 di hadapan

NGY notaris pengganti M. Ternyata FS lewat waktu serta gagal total menyelesaikan

kewajibannya dan secara tegas FS memilih opsi b tersebut diatas pada tahun 1979 dan

pilihannya atas opsi b tersebut diikuti dengan diserahkannya Buku SHGB No.3XX dan

No.3XX kepada PT. SR (sebelumnya dititipkan di Notaris). Sekitar 13 (tiga belas) tahun

kemudian antara tahun 1990 s/d 1994 PT. SR telah membeli langsung bangunan-bangunan

milik 63 KK kepada para pemiliknya. Diwaktu yang sama tepatnya, pada tanggal 28 Pebruari

1990, FS orang yang tidak mengerti hukum, datang menghadap RJR untuk dibuatkan Akta

Hibah Wasiat yang obyeknya berupa SHGB No. 3XX dan No. 3XX yang bertujuan

mengantisipasi apabila ia meninggal dunia ada ahli warisnya yang melanjutkan proses jual beli

dengan PT. SR yang dituangkan ke dalam Akta Hibah Wasiat Nomor 122 tanggal 28 Pebruari

22Ghansham Anand, Karakteristik Jabatan Notaris Di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2018),

hlm. 91.

23Pengadilan Negeri, Putusan Pengadilan Negeri Nomor 559/PDT.G/2018/PN. Sby, hlm. 3.

Page 7: IMPLIKASI HUKUM AKTA HIBAH WASIAT YANG OBYEKNYA …

386

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

1990. Kemudian, pada tanggal 5 April 2001 bertepatan dengan meninggalnya FS Akta Hibah

Wasiat Nomor 122 terbuka secara sah.

Bahwa, yang menjadi dasar gugatan perkara No. 1017/Pdt.G/2016/PN.Sby adalah Akta

Hibah Wasiat Nomor 122 tanggal 2X Pebruari 1990, yang mana HS ingin memiliki obyek

dalam akta tersebut sebagai ahli waris yang ditunjuk. Ternyata, HS telah mengetahui sejak

tanggal 5 April 2001 bahwa, obyek dalam Akta Hibah Wasiat Nomor 122 tersebut sudah tidak

ada atau berpindahtangan dari FS kepada PT. SR. Tetapi secara sengaja atau melawan hukum

HS menggunakan Akta Hibah Wasiat Nomor 122 yang mengandung causa palsu tersebut untuk

merampas hak orang lain.

Berdasarkan, pegakuan HS di atas, PT. SR sebagai pemilik dari SHGB No. 3XX dan

No. 3XX baru mengetahui keberadaan Akta Hibah Wasiat Nomor 122 yang mengandung

obyek milik PT. SR, sehingga pada tanggal 21 Juni 2018 PT. SR mengajukan gugatan dengan

nomor 559/Pdt.G/2018/PN. Sby.

1. Akibat Hukum Terhadap Akta Hibah Wasiat Yang Obyeknya Bukan Milik Pihak

Dalam Akta Sebagaimana Putusan Nomor 559/Pdt.G/2018/PN. Sby.

Akta secara umum adalah suatu tulisan yang memuat kehendak pihak atau para pihak

baik dibuat sendiri ataupun dihadapan pejabat umum yang berwenang kemudian

ditandatangani oleh pihak yang membuatnya untuk dijadikan sebagai alat bukti. Akta

digolongkan menjadi 2 (dua) yaitu akta relaas dan akta partij.

1. Akta Relaas ini, menguraikan secara otentik suatu tindakan yang dilakukan atau suatu

keadaan yang dilihat atau yang disaksikan oleh pembuat akta itu, yakni notaris sendiri,

didalam menjalankan jabatannya sebagai notaris akta ini disebut juga akta yang dibuat

oleh notaris. 24

2. Akta Partij ini, notaris hanya membuat suatu cerita berdasarkan apa yang diterangkan

atau diceritakan para pihak pada notaris dalam menjalankan jabatnnya dan untuk

keperluan mana para pihak tersebut sengaja datang dihadapan notaris, agar keterangan

atau perbuatan itu dikonstantir notaris dalam suatu akta otentik. 25

Selain itu, akta mempunyai kekuatan pembuktian yang dibagi menjadi 3 (tiga) :

1. Kekuatan Pembuktian Lahiriah artinya akta itu sendiri mempunyai kemampuan untuk

membuktikan dirinya sendiri sebagai akta otentik.26 Sesuai dengan Pasal 1875

KUHPerdata kekuatan pembuktian lahiriah ini tidak terdapat pada akta di bawah

tangan. Sahnya akta di bawah tangan hanya berlaku pada siapa akta tersebut

dipergunakan dan selama pihak yang disebutkan dalam akta mengakui kebenaran tanda

tangan miliknya, sedangkan akta otentik dapat membuktikan sendiri keabsahannya,

artinya jika suatu akta memenuhi persyaratan dan memiliki bentuk layak suatu akts

24I Ketut Tjukup et al, “Akta Notaris (Akta Otentik) Sebagai Alat Bukti Dalam Peristiwa Hukum

Perdata”, Acta Comitas, 2 (2016): 185.

25Rio Utomo Hably, “Kewenangan Notaris Dalam Hal Membuat Akta Partij (Contoh Kasus Putusan

Mahkamah Agung Nomor: 1003K/PID/2015)”, Jurnal Hukum Adigama, Volume 2, Nomor 2 (Desember 2019):

15.

26I Ketut Tjukup et al, “Kekuatan Hukum Pembuktian Waarmerkeen (Akta Di Bawah Tangan Yang

Didaftarkan) Di Notaris”, Acta Comitas, 2 (2016): 161.

Page 8: IMPLIKASI HUKUM AKTA HIBAH WASIAT YANG OBYEKNYA …

387

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

otentik, maka akta tersebut berlaku dan dianggap seperti aslinya (publika probasnt

seseipsa) sampai dengan adanya pembuktian sebaliknya.27

2. Kekuatan Pembuktian Matrial yaitu, yang dimaksud dalam Pasal 1875 KUHPerdata

diakuinya suatu tandatangan berarti akta tersebut mempunyai kekuatan, sedangkan

untuk pihak lain merupakan bukti bebas. Akta dibawah tangan mempunyai kekuatan

pembuktian sama dengan akta otentik (bukti sempurna) salama tidak dibuktikan

sebaliknya oleh pihak lawan, dan akta dibawah tangan tidak mempunyai kekuatan

pembuktian kepada pihak ketiga (Soeparmono, 2000:97).28

3. Kekuatan Pembuktian Formiil artinya dari suatu akta otentik itu dibuktikan bahwa apa

yang dinyatakan dan dicantumkan dalam akta itu adalah benar merupakan uraian

kehendak pihak-pihak, itulah kehendak pihak-pihak yang dinyatakan dalam akta itu

pihak yang dinyatakan dalam akta itu oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang

dalam menjalankan jabatannya. Dalam arti formil akta otentik menjamin kebenaran,

tanggal, tanda tangan, komparan dan tempat akta dibuat. Dalam arti formal akta notaris

membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan yaitu yang dilihat, didengar dan

dialami sendiri oleh Notaris sebagai pejabat umum dalam menjalankan jabatannya,

kalau akta dibawah tangan tidak mempunyai kekuatan formil, terkecuali bila si

penandatangan dari surat/akta itu mengakui kebenaran tanda tangannya.29

Apabila salah satu pembuktian dari ketiga kekuatan pembuktian tersebut, tidak dapat

dibuktikan pada suatu akta yang telah dibuat oleh pejabat umum yang berwenang akan

mengakibatkan suatu akta menjadi cacat hukum dan berakibat hukum yaitu menjadi batal

ataupun batal demi hukum.

Berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata yang intinya menjelaskan suatu akta otentik

dibuat oleh pejabat umum yang berwenang sesuai dengan tempat dimana akta itu dibuat, hal

ini merujuk kepada seorang pejabat umum yang mempunyai kewenangan untuk membuat suatu

akta otentik yaitu Pejabat Notaris, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka (1) UUJN “

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan

lainnya sebagaimana dimakasud dalam undang-undang ini”.30

Sebagai pejabat umum, notaris memiliki wewenang untuk meresmikan berbagai akta

selama bukan menjadi wewenang pejabat lainnya. Pembuatan akta otentik itu bukan hanya

dikehendaki oleh ketentuan hukum positif saja, melainkan juga disebabkan oleh kehendak para

pihak yang berkepentingan atas suatu perbuatan hukum tertentu untuk diresmikan dalam suatu

akta otentik sebagai alat pembuktiannya.31 Kedudukan dan fungsi notaris sebagai pembuat akta

27Dhea Nada Safa Prayitno, Winanto Wiryomartani dan Yeni Salma Berlinti, “Keabsahan Surat

Pernyataan Hibah Untuk Salah Satu Ahli Waris Tanpa Persetujuan Ahli Waris Lainnya”, Indonesian Notary, Vol

2, No 4 (2020): 794.

28Twinike Sativa Febriandini, “Studi Kekuatan Pembuktian Surat Pada Sengketa Perdata Di Pengadilan

Negeri”, Jurnal Verstek Vol. 2, No. 1 (2014): 183.

29I Ketut Tjukup et al, “Akta Notaris (Akta Otentik) Sebagai Alat Bukti…”, hlm. 186.

30Hasanuddin Kusuma Negara, “Kewenangan Pembuatan Akta Bagi Notaris Yang Berada Di Daerah

Provinsi Hasil Pemekaran”, Jurnal Transparansi Hukum Vol. 1, No 2 (2018): 172.

31Irfan Iryadi, “Kedudukan Akta Otentik Dalam Hubungannya dengan Konstitusional Warga Negara”,

Jurnal Konstitusi, Vol. 15, No. 4 (Desember 2018): 798.

Page 9: IMPLIKASI HUKUM AKTA HIBAH WASIAT YANG OBYEKNYA …

388

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

otentik, jika tidak ada pejabat lain yang ditunjuk oleh undang-undang, maka hanya notaris yang

berwenang membuat akta otentik. Menurut Pohan (1996) mengatakan: 32

“ Notaris Indonesia tergolong pada notaris latin yang menurut Blacks yang lain adalah

melaksanakan tugas melayani kebutuhan masyarakat dalam ruang lingkup privat atau

perdata, dan karena notaris adalah amneunsis, hanya mengkonstatir apa yang dikatakan

Notaris in Roman Law adalah Draughtsman, an ameunsis yaitu orang yang mencatat

apa yang dilakukan oleh orang lain atau mengakui apa yang telah ditulis oleh orang

lain, ciri notaris latin orang atau pihak mana sikap dan kedudukan notaris adalah netral

dan tegas.”

Sesuai dengan kasus ini, bahwa akta hibah wasiat No. 122 tertanggal 2X Pebruari 1990, telah

dibuat oleh pejabat umum yang berwenang yaitu notaris purna bakti. Namun terkait dengan isi

dari akta hibah wasiat tersebut, apakah sudah sesuai dengan undang-undang yang mengatur

mengenai syarat-syarat pembuatan suatu akta hibah wasiat.

KUHPerdata menjelaskan hibah wasiat, yang artinya seseorang meninggalkan suatu

warisan dalam bentuk wasiat yang di dalam wasiat tersebut menunjuk seseorang sebagai ahli

warisnya atas sebagaian harta peninggalannya baik berupa barang-barang bergerak atau

memberikan hak pakai sebagian atau seluruhnya. Dari pengertian tersebut mengandung arti

bahwa pemberian harta peningggalan dengan hibahwasiat harus dalam bentuk suatu wasiat,

jadi dalam pembuatan suatu hibahwasiat harus didasarkan pada bentuk suatu wasiat.

Surat wasiat adalah suatu akta yang memuat kehendak terakhir seseorang dan atas apa

yang dikehendakinya terjadi setelah seseorang tersebut meninggal dunia, dan yang olehnya

dapat dicabut kembali, bahwa ada penegasan “surat wasiat adalah suatu akta”, berarti cara

membuat suatu wasiat memerlukan adanya campur tangan dari pejabat umum resmi pembuat

akta seperti notaris.

Menurut isinya, surat wasiat dibagi dalam 2 (dua) jenis, yaitu:

1. Wasiat yang berisi erfstelling atau wasiat pengangkatan waris, bahwa orang yang

mewasiatkan memberikan kepada seseorang atau lebih dari seseorang, atas seluruh atau

sebagian dari harta peninggalannya setelah orang yang mewasiatkannya meninggal

dunia.

2. Wasiat yang berisi hibah (hibah wasiat), yaitu suatu penetapan khusus di dalam suatu

wasiat, dengan mewariskan kepada seseorang atau lebih dari seorang berupa, barang

dari satu jenis tertentu dan hak pakai hasil dari seluruh atau Sebagian dari harta

peninggalannya.

Selain itu surat wasiat, menurut Pasal 931 KUHPerdata, dimana dijelaskan pada bab

sebelumnya, ada 3 (tiga) bentuk wasiat, sebagai berikut:

a) Wasiat Olografis

Menurut Pasal 931 Burgerlijk Wetboek memberikan pengertian, surat wasiat yang

seluruhnya ditulis dengan tangan dan ditanda tangani oleh pewaris sendiri. Kemdian surat

wasiat tersebut harus diserahkan untuk disimpan pada seorang notaris dan penyerahan kepada

notaris ini dengan 2 (dua) cara, yaitu bisa dengan diserahkan dalam keadaan terbuka atau bisa

32Rahmad Hendra, “Tanggungjawab Notaris Terhadap Akta Otentik Yang Penghadapnya

Mempergunakan Identitas Palsu Di Kota Pekanbaru”, Jurnal Ilmu Hukum Vol. 3, No. 1 (2012): 6.

Page 10: IMPLIKASI HUKUM AKTA HIBAH WASIAT YANG OBYEKNYA …

389

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

juga dalam keadaan tertutup. Kedua cara penyerahan dan penyimpanan pada notaris yaitu

sebagai berikut:

1) Apabila surat wasiat diserahkan dalam keadaan terbuka maka dibuatlah akta notaris

tentang penyerahan itu yang ditandatangani oleh pewaris, saksi-saksi, dan juga notaris.

2) Apabila surat wasiat diserahkan kepada notaris dalam keadaan tertutup, maka pewaris

harus menuliskan kembali pada sampul dokumen itu bahwa surat tersebut berisikan

wasiatnya dan harus menanda tangani keterangan itu dihadapan notaris dan saksi-saksi.

Setelah itu pewaris harus membuat akta penyimpanan surat wasiat pada kertas yang

berbeda.

Surat wasiat yang disimpan pada seorang notaris kekuatannya sama dengan surat wasiat yang

dibuat dengan akta umum. Jika pewaris meninggal dunia dan wasiat diserahkan pada notaris

dalam keadaan terbuka, maka segera penetapan dalam surat wasiat dapat dilaksanakan sebab

notaris mengetahui isi surat wasiat tersebut. Sedangkan sebaliknya jika surat wasiat diserahkan

dalam keadaan tertutup, maka pada saat pewaris meninggal dunia surat wasiat tidak dapat

segera dilaksanakan sebab isi surat wasiat itu tidak dapat diketahui notaris sedangkan notaris

dilarang membuka sendiri surat wasiat tersebut, maka untuk kepentingan itu surat wasiat harus

diserahkan terlebih dahulu pada Balai Harta Peninggalan untuk membukanya.

b) Wasiat Umum

Menurut Pasal 931 Burgelijk Wetboek, surat wasiat yang dibuat oleh seorang notaris,

dengan cara orang yang akan meninggalkan warisan itu menghadap notaris serta menyatakan

kehendaknya dan memohon pada notaris agar dibuatkan akta notaris dengan dihadiri dua orang

saksi. Pembuat surat wasiat harus menyampaikan sendiri kehendaknya itu dihadapan saksi-

saksi. Hal itu tidak dapat dilakukan dengan perantaraan orang lain, baik anggota keluarganya,

maupun notaris yang bersangkutan. Surat wasiat harus dibuat dalam bahasa yang dipergunakan

oleh pewaris ketika menyampaikan kehendaknya, dengan syarat bahwa notaris dan saksi-saksi

juga mengerti bahasa tersebut. Hal ini mengingat kesalahan dalam surat wasiat, biasanya tidak

dapat diperbaiki lagi sebab hal itu baru diketahui setelah pewaris meninggal dunia. Jadi sedapat

mungkin kesalahan formalitas itu harus diperkecil.

c) Wasiat Rahasia

Menurut Pasal 931 Burgelijk Wetboek, surat wasiat yang ditulis sendiri atau ditulis orang

lain yang disuruhnya untuk menulis kehendak terakhirnya. Kemudian ia harus menanda

tangani sendiri surat tersebut. Surat wasiat macam ini harus disampul dan disegel, kemudian

diserahkan kepada notaris dengan dihadiri empat orang saksi. Penutupan dan penyegelan dapat

juga dilakukan di hadapan notaris dan empat orang saksi. Selanjutnya pembuat wasiat harus

membuat keterangan di hadapan notaris dan saksi-saksi bahwa yang termuat keterangan dalam

sampul itu adalah surat wasiatnya yang ia tulis sendiri atau yang ditulis orang lain dan ia

menanda tangani. Kemudian notaris membuat keterangan yang isinya membenarkan

keterangan tersebut. Setelah semua formalitas dipenuhi, surat wasiat itu selanjutnya harus

disimpan pada notaris dan selanjutnya merupakan kewajiban notaris untuk memberitahukan

adanya surat wasiat tersebut kepada orang-orang yang berkepentingan, apabila pembuat surat

wasiat/peninggal warisan meninggal dunia.33

33Fisuda Alifa Mimiamanda dan Ricka Auliaty Fathonah, “Akibat Hukum Pelanggaran Legitieme Portie

Melalui Akta Wasiat Menurut Burgelijk Wetboek (Studi Kasus Putusan Nomor 3109 K/Pdt/2015)”, Notarie, Vol.

2, No. 2 (Juni 2019):162-163.

Page 11: IMPLIKASI HUKUM AKTA HIBAH WASIAT YANG OBYEKNYA …

390

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

Tentang cara membuat wasiat rahasia atau tertutup dapat dilihat dalam Pasal 940 dan 941

KUHPerdata, yang memuat ketentuan-ketentuan sebagai berikut.

1) Wasiat harus ditulis sendiri oleh pewaris atau orang lain boleh menulis untuk

pewaris dan ditandatangani oleh si pewaris sendiri.

2) Kertas yang memuat tulisan-tulisan atau kertas yang dipakai sebagai sampul yang

berisi tulisan itu, haruslah tertutup dan di segel.

3) Kertas tertutup dan disegel itu diberikan kepada notaris untuk disimpan dengan

dihadiri oleh empat orang saksi, dan si pewaris harus menerangkan bahwa kerta itu

berisi wasiat.

4) Notaris harus membuat akta pengalamatan surat wasiat yang ditulis pada kertas atau

sampul tadi dan ditandatangani oleh notaris dan para saksi-saksi dan pewaris

sendiri.34

Berdasarkan 3 (tiga) bentuk wasiat menurut Pasal 931 KUHPerdata, terkait dengan

kasus ini terhadap Akta Hibah Wasiat Nomor 122, sebagaimana dalam hal menimbang

berdasarkan jawaban Turut Tergugat (untuk selanjutnya disebut ISH) dalam Putusan

559/Pdt.G/2018/PN.Sby. bahwa, akta hibah wasiat nomor 122 yang dibuat dan ditandatangani

oleh RJR yang saat ini protokol notarisnya di simpan oleh ISH. Akta tersebut yang mana telah

dibuat dan dilakukan berdasarkan kesepakatan dengan FS (Pewaris) dan tidak ada tekanan atau

paksaan dari pihak manapun serta dengan keadaan sadar, dan menurut Pasal 15 ayat (1) UUJN,

notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan yang

harus ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau dikehendaki oleh yang

berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik. Bahwa, notaris purna bakti tersebut telah

memenuhi kebenaran formal dan materiil. Berdasarkan keterangan dari ISH bahwa akta hibah

wasiat nomor 122 termasuk ke dalam bentuk surat wasiat umum (openbaar testament), yang

pembuatan aktanya dibuat dihadapan notaris dan dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi, yang

aktanya memuat pernyataan atau keterangan dari Pewaris.

Suatu wasiat agar berlaku secara sah maka, wasiat yang dibuat harus memenuhi

persyaratan yaitu syarat formil dan materiil yang ditetapkan oleh undang-undang, sebagai

berikut:

a) Syarat formil ini mengenai subyek dan obyek dari suatu wasiat, diatur dalam

KUHPerdata:

1. Pasal 895 KUHPerdata, orang yang akan membuat wasiat harus sehat akal budinya

dan tidak berada di bawah pengampuan dengan pengecualian orang yang diletakkan

di bawah pengampuan karena pailit;

2. Pasal 897 KUHPerdata, orang yang telah berumur 18 (delapan belas) tahun dapat

membuat wasiat;

3. Pasal 930 KUHPerdata, dilarang untuk 2 (dua) orang yang membuat wasiat dengan

maksud mengambil keuntungan satu sama lainnya untuk pihak ketiga;

4. Pasal 888 KUHPerdata, suatu wasiat haru dapat dimengerti dan tidak bertentangan

dengan kesusilaan;

5. Pasal 890 KUHPerdata, suatu wasiat yang mengandung keterangan palsu dianggap

batal;

34Irma Fatmawati , Hukum Waris Perdata (Menerima dan Menolak Warisan oleh Ahli Waris serta

Akibatnya). cet. 1, (Yogyakarta: Budi Utama, 2020), hlm. 12-13..

Page 12: IMPLIKASI HUKUM AKTA HIBAH WASIAT YANG OBYEKNYA …

391

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

6. Pasal 893 KUHPerdata, suatu wasiat yang dibuat dengan paksaan dan tipu muslihat

akan mengakibatkan wasiat batal.

b) Syarat Materiil ini mengenai isi suatu wasiat, diatur dalam KUHPerdata:

a. Pasal 879 KUHPerdata, isi suatu wasiat dilarang adanya fidei commis

(pengangkatan waris atau pemberian hibah dengan lompat tangan);

b. Pasal 885 KUHPerdata, pelaksanaan suatu wasiat tidak boleh menyimpang dari isi

dan maksud dari keterangan yang ada dalam wasiat;

c. Pasal 904 KUHPerdata, untuk anak yang belum dewasa walaupun sudah berumur

18 (delapan belas) tahun, untuk menghibah wasiatkan sesuatu guna kepentingan

wali atau bekas wali ini, dilarang.35

Selain syarat-syarat diatas yang perlu diperhatikan oleh seorang notaris dalam

melaksanakan tugasnya, notaris juga dalam membuat suatu akta autentik untuk memiliki

kekuatan pembuktian sempurna, harus menerapkan asas kehati-hatian dalam rangka

melindungi kepentingan masyarakat yang dipercayakan padanya serta agar notaris dalam

melaksanakan dan mengemban tugasnya selalu tunduk pada UUJN, UUJNP dan peraturan-

peraturan lain yang mengaturnya. Berdasakan putusan perkara Nomor 559/Pdt.g/2018/PN.

Sby, akta hibah tersebut telah memenuhi kebenaran formil dan materiil yang artinya telah

memenuhi syarat dan ketentuan yang diatur dalam UUJN, UUJNP dan KUHPerdata.

Dari penjelasan diatas mengenai syarat-syarat pembuatan suatu akta hibah wasiat yang

harus sesuai dengan syarat-syarat suatu wasiat, dikaitkan dengan pengakuan notaris pengganti

sebagai pemegang protokol pada kasus ini, sebagai berikut :

a. Akta hibah wasiat No. 122 tertanggal 2X Pebruari 1990, dibuat sesuai dengan kehendak

dari pewaris serta dengan itikad baik;

b. Akta hibah wasiat No. 122 tertanggal 2X Pebruari 1990, telah dibuat, disaksikan 2 (dua)

orang saksi dan ditandatangani Notaris terdahulu;

c. Akta hibah wasiat No. 122 tertanggal 2X Pebruari 1990, dibuat sesuai dengan

kebenaran formal suatu akta autentik.

Pernyataan notaris pengganti sebagai pemegang protokol, bahwa notaris purna bakti dalam

membuat akta hibah wasiat No. 122 tersebut sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Ternyata dikemudian hari, Akta hibah wasiat No. 122 tersebut digugat oleh PT. SR

(Penggugat) karena obyek dalam akta hibah wasiat tersebut merupakan kepunyaan si PT. SR

sebagaimana telah dilakukan transaksi jual beli dengan bukti Akta Ikatan Jual Beli No. 2X

tanggal 27 Oktober 1977. Dalam perkara putusan Nomor 559/Pdt.G/2018/PN. Sby. Terkait

pembuatan Akta Hibah Wasiat No. 122 yang dibuat terhadap benda/asset yang faktanya tidak

ada (sudah tidak ada) maka perbuatan tersebut adalah dikategorikan perbuatan melawan hukum

yang dilakukan oleh HS (Tergugat), secara sengaja menggunakan Akta hibah wasiat tersebut

untuk mengambil hak orang lain, dengan konsekuensinya Akta yang telah dibuat oleh RJR

(Turut Tergugat) tersebut adalah tidak sah sehingga harus dinyatakan batal demi hukum atau

dibatalkan atau dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum untuk diberlakukan dalam

bentuk apapun beserta segala akibat hukumnya, maka terhadap Akta Hibah Wasiat No. 122

tanggal 2X Pebruari 1990 harus dinyatakan batal demi hukum.

35Sulih Rudito, “Penerapan Legitime Fortie (Bagian Mutlak) Dalam Pembagian Warisan Menurut

KUHPerdata”, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion Edisi 3, Volume 3 (2015): 8.

Page 13: IMPLIKASI HUKUM AKTA HIBAH WASIAT YANG OBYEKNYA …

392

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

Terkait obyek yang bukan milik pihak dalam akta hibah wasiat nomor 122 yang dibuat oleh

Notaris purna bakti, sebagai notaris harus menerapkan prinsip kehati-hatian atau asas

kecermatan yang dalam pelaksanaanya dimana notaris wajib melakukan:

a. Pengenalan terhadap penghadap;

b. Menanyakan kemudian mendengarakan dan mencermati kehendak dari penghadap;

c. Memeriksa bukti surat yang berkaitan dengan kehendak penghadap;

d. Memebrikan saran dan memuat kerangka akta;

e. Memenuhi teknik administrasi pembuatan akta notaris;

f. Melakukan kewajiban lain yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas jabatannya.

Maksud dan tujuan menerapkan prinsip kehati-hatian terkait dengan peran notaris dalam

perkara putusan nomor 559/Pdt.G/2018/PN. Sby, agar notaris dalam membuat suatu akta

otentik itu sesuai dengan prinsip kehati-hatian yang ketentuan diatur dalam UUJN,

KUHPerdata dan peraturan-peraturan lain yang mengaturnya serta mencegah permasalahan

yang akan terjadi di kemudian hari.

Yang menjadi permasalahan dalam Akta hibah wasiat nomor 122 ini adalah objek

dalam akta, yang ternyata bukan lagi milik pihak dalam akta tersebut. Sebagaimana penjelasan

kasus pada bab sebelumnya, si Pewaris adalah orang yang tidak mengerti hukum sehingga

dengan mudah dikelabui oleh pihak pembeli (Penggugat) dan telah menandatangani Akta

Ikatan Jual Beli No. 2X tanggal 27 Oktober 1977, sehubungan dengan isi dalam akta perjanjian

tersebut mengarah pada asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata

menjelaskan bahwa, semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang

bagi mereka yang membuatnya. Maksud dari Pasal tersebut adalah setiap orang bebas

mengadakan suatu perjanjian berupa apa saja,baik bentuknya, isinya dan pada siapa perjanjian

itu ditujukan dan mengikat bagi para pihak yang membuatnya.36 Sehingga pewaris harus

tunduk pada klausul-klausul yang telah disepakati pada akta tersebut. Padahal, maksud dan

tujuan pewaris membuat akta hibah wasiat ini apabila ia meninggal dunia ada ahli warisnya

yang dapat melanjutkan proses jual beli yang belum lunas untuk mendapatkan haknya kembali

atas objek tanah yang dikuasai secara melawan hukum oleh Penggugat.

Sebagaimana pertimbangan majelis hakim dalam Putusan Nomor 559/Pdt.g/2018/PN.

Sby dan Putusan Nomor 132/Pdt/2019/PT.Sby bahwa akta hibah wasiat No. 122 tertanggal 28

Pebruari 1990 melanggar ketentuan Pasal 1667 KUHPerdata terkait dengan obyek yang

tercantum dalam Akta hibah wasiat tersebut, dijelaskan bahawa “Hibah hanyalah dapat

mengenai benda-benda yang sudah ada, Hibah itu meliputi benda-benda yang baru akan ada

dikemudian hari, maka sekedar mengenai itu Hibahnya batal”, serta melanggar Pasal 1335

KUHPerdata “Suatu Perjanjian yang dibuat dengan causa yang palsu atau terlarang maka tidak

mempunyai kekuatan hukum. Suatu causa yang palsu dan/atau dibuat dengan pura-pura untuk

tujuan menyembunyikan causa yang sebenarnya maka Perjanjian yang semacam itu dilarang

dan/atau tidak diperbolehkan”.

Bahwa akta hibah wasiat No. 122 tertanggal 2X Pebruari 1990, mengandung causa

palsu karena status kepemilikan obyek dalam akta ini sudah beralih kepada Penggugat sejak

tahun 1979 berdasarkan Akta Ikatan Jual Beli Nomor 2X, Maka akta tersebut melanggar

ketentuan sebagimana dimaksud dalam Pasal 1335 KUHPerdata, apabila dikaitkan dengan

Pasal 1320 angka (3) KUHPerdata mengenai suatu perjanjian dibuat karena sebab yang palsu

atau terlarang tidak mempunyai kekuatan serta obyek perjanjian haruslah tertentu dapat

36Fatmawati dan I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, “Kajian Yuridis Pembatalan Perjanjian

Pengikatan Akta Jual Beli Tanah Terkait Syarat Subjektif”, Jurnal UNS Reportorium, Vol 6, No 1 (2019): 3.

Page 14: IMPLIKASI HUKUM AKTA HIBAH WASIAT YANG OBYEKNYA …

393

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

diperdagangkan dan ditentukan jenisnya secara jelas dan tidak kabur. Yang mana, akta tersebut

mengandung sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian tetapi mengacu

kepada isi dan tujuan perjanjian itu sendiri. Jika, syarat Pasal 1320 angka (3) KUHPerdata ini

tidak terpenuhi akan mengakibatkan suatu perjanjian itu nietig atau batal demi hukum karena

di dalam akta hibah wasiat tersebut mengandung causa palsu atau causa yang tidak

diperbolehkan.37 Karena, akta hibah wasiat nomor 122 tersebut tidak memenuhi syarat

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 angka (3) maka berakibat Noneksistensi, yang artinya

tidak dipenuhinya essensialia merupakan bagian mutlak yang harus ada dalam suatu perjanjian

sehingga mengakibatkan suatu perjanjian tidak ada atau tidak ada perjanjian, jika tidak ada

kesepakatan.

Akta hibah wasiat tersebut sebenarnya dapat ditarik kembali oleh Pewaris, jika notaris

purna bakti paham mengenai status obyek dalam akta tersebut, sehingga tidak mengakibatkan

akta hibah wasiat tersebut batal demi hukum. Menurut KUHPerdata suatu surat wasiat

(testament) dapat ditarik kembali (dicabut) setiap waktu oleh pewaris (pembuat wasiat),

penarikan kembali dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu:

1. Pencabutan wasiat secara tegas ini, dibuatnya surat wasiat baru atau dengan dibuatnya

akta notaris khusus, dengan mana diterangkan secara tegas, bahwa surat wasiat yang

dahulu dicabut untuk seluruhnya atau untuk sebagian, sebagaimana disebutkan dalam

Pasal 992 KUHPerdata arti “khusus” ini adalah meliputi tidak hanya mengenai hal yang

dicabut kembali, tetapi juga boleh memuat hal-hal yang mengulangi apa yang disebut

dalam wasiat terdahulu.

2. Pencabutan secara diam-diam ini, secara diam-diam dengan dibuatnya surat wasiat

yang baru yang memuat pesan-pesan yang lama, sebagaimana disebutkan dalam Pasal

994 KUHPerdata, apabila wasiat dicabut dengan diam-diam, wasiat yang baru tidak

dengan tegas mencabut wasiat terdahulu sepanjang wasiat yang terdahulu bertentangan

dengan wasiat yang baru. Tetapi, apabila wasiat yang baru itu batal sebagai wasiat,

ketentuan pasal ini tidak berlaku dan yang masih berlaku hanyalah sebagai akta notaris.

Suatu akta autentik dalam penulisan surat wasiat memiliki akibat hukum yang termuat dalam

Pasal 1870 KUHPerdata, bahwa akta otentik di antara pihak-pihak dan ahli warisnya atau

mereka yang mendapat hak itu adalah bukti sempurna tentang isi yang ada di dalamnya,

sehingga pada pasal tersebut bahwa surat wasiat harus diserahkan dan didaftarkan ke pihak

yang memiliki akibat hukum sama dan berlaku juga bagi surat wasiat tersebut.38

Dapat ditarik kesimpulan, berdasarkan pertimbangan hukum Majelis Hakim Perkara

Nomor 559/Pdt.G/2018/PN. Sby dan Analisa penulis adalah bahwa ketidakpahaman Pewaris

pada saat melakukan transaksi jual beli dan telah ditandatanganinya Akta Ikatan Jual Beli No.

2X tanggal 2X Oktober 1990 yang obyeknya dicantumkan juga ke dalam Akta Hibah Wasiat

No. 122, dengan klausul-klausul yang merugikan Pewaris serta telah dinyatakan membayar

lunas karena itu, menyebabkan kepemilikkan beralih. Maka, Akta Hibah Wasiat No. 122

tertanggal 2X Pebruari 1990 yang dibuat dihadapan notaris purna bakti mengandung obyek

yang bukan milik pihak dalam akta. Maka, akibat hukum terhadap akta hibah wasiat nomor

122 yang mengandung cacat hukum secara materiel tersebut batal demi hukum karena dalam

akta tersebut tidak terpenuhinya unsur objektif berupa objek tertentu dan berdasarkan Pasal

1332 dan 1334 KUHPerdata, dalam suatu perjanjian terdapat barang-barang yang dapat

37Aninda Zoraya Putri, “Pembatalan Akta…”, hlm. 217.

38Yanuar Suryadini dan Alifiana Tanasya Widiyanti, “Akibat Hukum Hibah Wasiat yang Melebihi

Legitime Portie”, Media Iuris, Vol 3, No 2 (Juni 2020): 250.

Page 15: IMPLIKASI HUKUM AKTA HIBAH WASIAT YANG OBYEKNYA …

394

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

diperdagangkan atau baik barang-barang sudah ada ataupun baru akan ada. Berdasarkan Pasal

1340 KUHPerdata, suatu perjanjian tidak boleh merugikan pihak ketiga, dengan demikian,

sebagaimana penjelasan di atas mengenai prosedur pembuatan suatu akta hibah wasiat

berdasarkan KUHPerdata, dalam hal untuk membuat suatu akta hibah wasiat seorang notaris

harus membuat sesuai dengan syarat-syarat suatu wasiat menurut KUHPerdata atau Peraturan

lain yang mengaturnya.

2. Tanggung Jawab Notaris Pemegang Protokol Terhadap Akta Hibah Wasiat Nomor

122 Yang Dibuat Oleh Notaris Purna Bakti Berdasarkan Peraturan atau Undang-

Undang Lain Yang Mengaturnya.

Pemegang protokol adalah seorang notaris yang telah diangkat dan mengucapkan

sumpah dan janji dihadapan pejabat yang ditunjuk dan berdasarkan Surat Keputusan Menteri

dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia sebagai pemegang protokol notaris lain, yang

disebabkan karena adanya penyerahan protokol notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62

UUJN. Apabila protokol notaris telah berumur lebih dari 25 (dua puluh lima) tahun, protokol

notaris tersebut diserahkan kepada Majelis Pengawas Daerah,39 berdasarkan Pasal 63 ayat (4)

UUJNP, setelah masa jabatan notaris berakhir, protokol notaris diserahkan kepada notaris lain

yang ditunjuk oleh Menteri atas usul Majelis Pengawas Daerah. Dengan demikian, kedudukan

hukum notaris beralih kepada notaris yang menggantikan yang telah berakhir masa jabatannya

atau kepada Majlis Pengawas Daerah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (6) UUJNP

tersebut, bahwa notaris lain yang akan menerima protokol notaris yang telah berakhir masa

jabatannya adalah notaris yang ditunjuk oleh MPD dan penyerah protokol dilakukan paling

lama 30 (tiga puluh) hari dengan pembuatan berita acara penyerahan protokol notaris yang

ditandatangani oleh yang menyerahkan dan yang menerima protokol notaris.40 Penyerahan

protokol notaris yang berakhir masa jabatan karena notaris purna bakti (pemsiun) juga diatur

dalam Pasal 63 ayat (1), (4), (5) dan (6) UUJNP, menjelasakan:

(1) “Penyerahan Protokol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dilakukan paling lama 30

(tiga puluh) hari dengan pembuatan berita acara penyerahan Protokol Notaris yang

ditandatangani oleh yang menyerahkan dan yang menerima Protokol.

(4) Dalam hal terjadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf b, penyerahan protokol

notaris dilakukan oleh notaris kepada notaris lain yang ditunjuk oleh Menteri atas usul

Majelis Pengawas Daerah.

(5) Protokol Notaris dari notaris lain yang pada waktu penyerahannya berumur 25 (dua

puluh lima) tahun atau lebih diserahkan oleh Notaris penerima Protokol Notaris kepada

Majelis Pengawas Daerah.

(6) Dalam hal Protokol Notaris tidak diserahkan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Majelis Pengawas Daerah berwenang untuk

mengambil Protokol Notaris”.41

39Ria Trisnomurti, “Efektivitas Pelaksanaan Kewenangan Pengawasan Terhadap Notaris Sebagai

Pemegang Protokol”, (Tesis program pascasarjana magister hukum fakultas hukum universitas hasanuddin

makassar, 2012), hlm. 22.

40Lidya, “Analisis Yuridis Tanggung Jawab Werda Notaris Terhadap Akta Yang Batal Demi Hukum

Sesudah Berakhirnya Masa Jabatannya” (Premise Law Jurnal, Vol. 21, 2017): 6.

41Muhammad Faisal Nasution, “Tanggungjawab Pemberi dan Penerima Protokol Notaris Terhadap

Protokol Notaris Yang Hilang Atau Rusak” (Tesis Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan 2017),

hlm. 6-7.

Page 16: IMPLIKASI HUKUM AKTA HIBAH WASIAT YANG OBYEKNYA …

395

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

Pemegang protokol mempunyai kewajiban berdasarkan Pasal 57 UUJN menyatakan 42, “bahwa

grosse akta, salinan akta, kutipan akta notaris, atau pengesahan surat di bawah tangan yang

dilekatkan pada akta yang disimpan dalam Protokol Notaris, hanya dapat dikeluarkan oleh

Notaris yang membuatnhya, Notaris Pengganti atau Pemegang Protokol Notaris yang sah.”43

Tanggung jawab adalah kewajiban bertanggungjawab atas undang-undang yang

dilaksanakannya dan memperbaiki kesalahan yang ditimbulkannya. Sehubungan dengan

tanggung jawab notaris pengganti, dalam melaksanakan jabatannya notaris pengganti ini

tunduk pada UUJN, UUJNP dan peraturan-peraturan lain yang mengaturnya, apabila ada

kesalahan yang timbul dikemudian hari atas apa yang telah dilakukannya dan menimbulkan

kerugian bagi pihak yang menghadapnya maka notaris pengganti harus memberikan ganti rugi

kepada pihak yang bersangkutan sesuai dengan UUJN, UUJNP atau peraturan-peraturan lain

yang mengaturnya.

Tanggung jawab profesi Notaris menitik beratkan pada suatu pekerjaan yang

membutuhkan keterampilan teknik dan keahlian khusus di bidang pembuatan akta otentik

secara profesional, serta memiliki kualitas ilmu yang tidak diragukan dalam melayani pihak

yang menghadap, mampu bekerja secara mandiri dan tanggung jawab hukum Notaris, dalam

melaksanakan tugas profesinya terikat oleh aturan hukum yang mengaturnya serta dituntut

harus mampu menguasai segala aturan hukum yang berlaku.44 Tanggung jawab dibedakan

menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:

1. Tanggung jawab moral merupakan tanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai dan

norma-noma yang berlaku dalam lingkungan kehidupan profesi baik bersifat pribadi

maupun bersifat kelembagaan;

2. Tanggung jawab hukum merupakan tanggung jawab yang menjadi beban aparat untuk

melaksanakan tugasnya dengan tidak melanggar aturan-aturan yang berlaku;

3. Tanggung jawab teknis profesi merupakan tuntunan bagi profesi untuk melaksanakan

tugasnya secara profesional sesuai dengan kriteria teknis yang berlaku dalam bidang

profesi yang dianutnya.45

Berdasarkan Pasal 65 UUJNP, tanggung jawab notaris pengganti sama dengan tanggung jawab

notaris. Selain tanggung jawab tersebut, ada 4 (empat) ruang lingkup tanggung jawab notaris

pengganti dalam melaksanakan jabatannya, sebagai berikut.

1. Tanggung jawab secara perdata terhadap akta yang dibuatnya, bahwa yang digunakan

dalam tanggung jawab perdata ini terhadap kebenaran materiil yaitu terhadap akta yang

dibuat oleh Notaris apabila mengandung perbuatan melawan hukum sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 1365 KUHPerdata “ Tiap perbuatan melanggar hukum, yang

membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya

menimbulkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”46

42Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. LN Nomor 117, TLN No.

4432. Ps. 57.

43Anggri Rudianto, Suhariningsih dan Bambang Winarno, “Kewenangan Pemegang Protokol Notaris

Yang Meninggal Dunia untuk Mengeluarkan Salinan Akta dari Minuta Akta yang Bekum Lengkap Tanda

Tangannya”, Pena Justisia, Vol 19, No 1 (Juni 2020): 18.

44Eka Febriyanti, Tanggung Jawab Moral Notaris Dalam Menjalankan Tugas Jabatan Sesuai Dengan

Sumpah Jabatan (Tesis Universitas Sriwijaya Fakultas Hukum Program Studi Magister Kenotariatan 2019): 33.

45Khotibul Umum, Rimawati dan Suryana Yogaswara, Filsafat Hukum dan Etika…, hlm. 8.22

46Wahyu Nur Febriani, “Tanggung Jawab Notaris Pengganti Terhadap Akta Yang Dibuatnya (Studi di

Kabupaten Lombok Barat)”, Jurnal Ilmiah, universitas mataram, (2017) : x.

Page 17: IMPLIKASI HUKUM AKTA HIBAH WASIAT YANG OBYEKNYA …

396

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

2. Tanggung jawab secara pidana terhadap akta yang dibuatnya, pertanggungjawaban

pidana bagi notaris diatur dalam KUHP, apabila notaris melakukan tindak pidana

pemalsuan surat, sebagaimana dimaksud ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 263

ayat (1) dan Pasal 264 ayat (1) KUHP “ maksud untun menggunakannya sebagai surat

yang asli dan tidak dipalsukan atau untuk membuat orang lain menggunakan surat

tersebut.” Dan ketentuan dalam Pasal 266 ayat (1) Juncto Pasal 55 KUHP “turut serta

memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik oleh Notaris harus dilakukan

dengan sengaja”. Maka, notaris harus bertanggung jawab secara pidana.47

3. Tanggung jawab dalam pelaksanaan jabatannya terhadap notaris, sepanjang yang

bersangkutan masih menjabat dan bertanggung jawab selama masa jabatannya tersebut

dan tunduk pada UUJN, UUJNP dan peraturan perundang-undangan lain yang

mengaturnya.48

4. Tanggung jawab terhadap kode etik terhadap akta yang dibuatnya, berkaitan dengan

sanksi sebagai upaya bentuk penegakkan kode etik notaris atas pelanggaran kode etik

yang merupakan suatu hukuman yang dimaksudkan sebagai sarana, upaya dan alat

pemaksa ketaatan dan disiplin Notaris. Ketentuan sanksi yang diatur dalam kode etik

notaris terdapat dalam Pasal 6 yang menjelaskan bahwa “ sanksi yang dikenakan

terhadap anggota yang melanggar kode etik dapat berupa teguran, peringatan, schorsing

(pemecatan sementara) dari keanggotaan perkumpulan, onsetting (pemecatan) dari

keanggotaan perkumpulan dengan tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan”.49

Selain itu, terdapat prinsip-prinsip tanggung jawab secara umum, sebagai berikut.

1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan atas adanya unsur kesalahan (fault liability atau

liability principle) ini, adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana

dan hukum perdata. Dalam KUHPerdata prinsip ini diberlakukan terkait dengan Pasal

1365, 1366 dan 1367 KUHPerdata sebagai prinsip yang dipegang teguh. Prinsip

tanggung jawab ini berlaku apabila seseorang baru dapat dimintakan

pertanggungjawaban secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya dengan

mengharuskan terpenuhinya 4 (empat) unsur pokok, sebagai berikut:

a. Adanya perbuatan;

b. Adanya unsur kesalahan;

c. Adanya kerugian yang diderita;

d. Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.50

2. Prinsip tanggung jawab berdasarkan atas praduga (rebuttable presumption of liability

principle) ini, beban pembuktian berada pada pihak yang melakukan perbuatan

melawan hukum dimana pihak yang merugikan harus dapat membuktikan. Maksudnya

47Mochamad Syafrizal Bashori, “Pertanggungjawaban Pidana Bagi Notaris Yang Melakukan Tindak

Pidana Pemalsuan Surat Dalam Pembuatan Akta Otentik”, Jurnal Supremasi, Vol. 6, No. 2 (2016): 39-40.

48Karina Prasetyo Putri, Suharningsih dan Bambang Winarno, “Tanggung Jawab Dan Perlindungan

Hukum Bagi Notaris Purna Bakti Terhadap Akta Yang Pernah Dibuat (Analisis Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan

Notaris)”, Media Neliti Jurnal (2016): 19.

49Febriani, “Tanggung Jawab…”,hlm. xi.

50Fransiska Novita Eleanora, “Prinsip Tanggung Jawab Mutlak Pelaku Usaha Terhadap Ketentuan Pasal

27 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen” (Jurnal Krtha Bhayangkara, Vol 12, No 2, Desember

2018): 217.

Page 18: IMPLIKASI HUKUM AKTA HIBAH WASIAT YANG OBYEKNYA …

397

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

pihak yang merasa dirugikan bertanggung jawab atas kerugian yang timbul, kecuali

dapat membuktikan dalam keadaan memaksa (force majeure atau overmacht) atau

kesalahan yang dirugikan.51

3. Prinsip untuk selalu tidak bertanggungjawab atas praduga (presumption nonliability

principle) ini, kebalikan dari prinsip tanggung jawa berdasarkan atas praduga, dimana

tergugat selalu dianggap tidak bertanggungjawab sampai dibuktikan, bahwa ia

bersalah. Namun prinsip ini tidak lagi diterapkan secara mutlak dan mengarah pada

prinsip tanggung jawab dengan pembatasan.52

4. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability principle) ini, sering diidentikan dengan

prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability), ada yang berpendapat bahwa strict

liability merupakan prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai

faktor untuk menentukan. Namun ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan

untuk dibebaskan dari tanggung jawab. Contohnya keadaan force majeure (keadaan

memaksa). Sebaliknya absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan

dan tidak ada pengecualiannya.53

5. Prinsip pembatasan tanggung jawab (limitation of liability principle) ini, apabila

dikatikan dengan profesi notaris, maka notaris dapat diminta pertanggungjawabannya

atas kesalahan dan kelalaiannya dalam pelaksanaan tugas dan jabatannya. Notaris tidak

bertanggungjawab atas isi akta yang dibuat di hadapannya, melainkan notaris hanya

bertanggungjawab terhadap bentuk formal dari suatu akta otentik sebagaimana yang

ditetapkan oleh undang-undang.54

Notaris tidak hanya fokus terhadap tanggung jawab, tetapi harus memperhatikan juga

sanksi atas kesalahan dalam membuat suatu akta autentik apabila terbukti dikemudian hari akta

notaris yang telah dibuat itu bermasalah maka notaris harus menerima sanksinya. Sanksi adalah

tindakan hukuman untuk memaksa individu menepati perjanjian atau mentaati ketentuan

undang-undang. Setiap peraturan yang berlaku, selalu ada sanksi yang menyertainya pada akhir

aturan hukum tersebut. Pada hakikatnya pemberian sanksi sebagai suatu paksaan ini berguna

untuk menyadarkan pihak, bahwa Tindakan yang telah dilakukannya tersebut telah melanggar

ketentuan aturan hukum yang berlaku.55

Sanksi hukum adalah sarana untuk melindungi kepentingan individu terhadap

pelanggaran hukum dan sanksi hukum ini dipertanhankan oleh pemerintah untuk menjadikan

anggota masyarakat mematuhi hukum sebagaimana dikehendaki oleh peraturan (taat pada

peraturan yang mengaturnya). Berikut jenis-jenis sanksi yang dijatuhkan atau diberikan kepada

Notaris:

a) Sanksi Perdata, terhadap notaris apabila melanggar ketentuan pasal-pasal mengenai

kewajiban dan larangan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf m, Pasal 41 dengan merujuk

kepada Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51. Sanksi

51Arnando Umboh, “Tanggung Jawab Pelaku Usaha Dalam Pemenuhan Hak Konsumen Menurut Hukum

Positif Indonesia” (Lex Privatum, Vol. VI, No. 6, Agustus 2018): 48.

52Aulia Muthiah, “Tanggung Jawab Pelaku Usaha Kepada Konsumen Tentang Keamanan Pangan Dalam

Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen” (Dialogia Iuridica Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi, Vol. 7, No. 2,

April 2016): 10.

53Eleanora, “Prinsip Tanggung Jawab…”, hlm. 218.

54Herianto Sinaga, Tanggung Jawab Werda Notaris Terhadap Akta Yang Dibuatnya, (Tesis Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2014), hlm. 38.

55Chandra Novita, “Tanggung Jawab dan Perlindungan Hukum Terhadao Werda Notaris”, Lex

Renaissance, No. 2, Vol. 2 (Juli 2017): 338.

Page 19: IMPLIKASI HUKUM AKTA HIBAH WASIAT YANG OBYEKNYA …

398

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

perdata sebagaimana dimaksud pasal-pasal diatas berupa penggantian biaya, ganti rugi,

dan bunga merupakan akibat yang akan diterima notaris dari gugatan para penghadap

apabila akta bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta

dibawah tangan. Tetapi, harus ada batasan-batasan atau pasal-pasal mana yang telah

dilanggar oleh notaris dan harus dengan dasar adanya suatu hubungan hukum antara

notaris dengan para pihak.56

b) Sanksi administratif, terhadap notaris dalam menjalankan jabatannya terbukti

melakukan pelanggaran. Penjatuhan sanksi administrasi yang diatur dalam Pasal 3 ayat

(1) Permenkumham Nomor 61 Tahun 2016, Sanksi Administratif terhadap Notaris,

berupa:57

a. Peringatan Tertulis;

b. Pemberhentian Sementara;

c. Pemberhentian dengan hormat;

d. Pemberhentian dengan tidak hormat.

Dijatuhkan sanksi tersebut apabila melanggar Pasal 7 ayat (2), Pasal 16 ayat (11) dan

(13), Pasal 17 ayat (2), Pasal 19 ayat (4), Pasal 32 ayat (4), Pasal 37 ayat (2), Pasal 54

ayat (2), Pasal 65A.

c) Sanksi lainnya, berupa penjatuhan sanksi pidana dan sanksi kode etik.

d) Sanksi pidana, penjatuhan sanksi pidana terhadap notaris apabila :

1) Ada tindakan hukum notaris terhadap aspek lahiriah, formal, materiil akta yang

disengaja, penuh kesadaran serta direncanakan bahwa akta yang akan dibuat

dihadapan notaris atau oleh notaris bersama-sama para penghadap dijadikan dasar

untuk melakukan tindak pidana.

2) Ada tindakan hukum dari notaris dalam membuat akta di hadapan atau dibuat oleh

notaris, apabila dalam membuat akta tidak sesuai dengan UUJN.

3) Tindakan notaris tersebut tidak sesuai menurut instansi yang berwenang untuk

menilai tindakan suatu notaris, dalam hal ini Majelis Pengawas Notaris.sanski

e) Sanksi kode etik, diatur dalam Pasal 6, terhadap anggota yang melakukan pelanggaran

kode etik dapat berupa, teguran, peringatan, schorsing (pemecatan sementara) dari

keanggotaan perkumpulan, onzefting (pemecatan) dari keanggotaan perkumpulan,

pemberitahuan dengan tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan. Bahwa,

penjatuhan sanksi tersebut terhadap anggota yng melanggar kode etik dan disesuaikan

dengan kualitas pelanggaran yang dilakukan anggota.58

Pada kasus ini, suatu kesalahan yang dilakukan oleh notaris purna bakti terhadap akta

hibah wasiat nomor 122, sehingga mengakibatkan akta tersebut batal demi hukum sebagaimana

hal mengadili dalam putusan nomor 559/Pdt.G/2018/PN.Sby dimana akta hibah wasiat notaris

purna bakti tersebut berada dalam penyimpanan protokol notarisnya yang telah diserahkan

kepada notaris pengganti. Maksudnya adalah bagaimana tanggung jawab notaris pengganti

serta sanksi apa yang dijatuhkan pada notaris purna bakti, terhadap akta hibah wasiat No. 122

batal demi hukum berdasarkan putusan 559/Pdt.G/2018/PN.Sby.

56Mardiyah, I Ketut Rai Setiabudhi dan Gde Made Swardhana. “Sanksi Terhadap Notaris Yang

Melanggar Kewajiban Dan Larangan Undang-Undang Jabatan Notaris”, Acta Comitas (2017): 114.

57Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penjatuhan Sanksi Administratif Terhadap Notaris.

Ps. 3 ayat (1).

58Siska Harun Buko, “Analisis Yuridis Tentang Kewajiban Notaris Dalam Memberikan Jasanya Kepada

Masyarakat Yang Tidak Mampu Berdasarkan UU No. 2 Tahun 2014”, Lex Privatum Vol V, No 1 (Jan-Feb 2017):

93.

Page 20: IMPLIKASI HUKUM AKTA HIBAH WASIAT YANG OBYEKNYA …

399

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

Mengenai tanggung jawab notaris pengganti terhadap pembatalan akta hibah wasiat

nomor 122, yang dibuat oleh notaris purna bakti, di dalam Putusan Nomor

559/Pdt.G/2018/PN.Sby tidak dijatuhkan sanksi. Berdasarkan 4 (empat) ruang lingkup

tanggung jawab secara perdata dalam melaksanakan jabatannya dan terhadap kode etik notaris.

Akta hibah wasiat tersebut merujuk pada tanggung jawab perdata karena melanggar ketentuan

dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Jika dikaitkan dengan 5 (lima) prinsip tanggung jawab secara

umum, akta hibah wasiat tersebut berkaitan dengan prinsip tanggung jawab berdasarkan atas

adanya unsur kesalahan (fault liability) dimana dalam akta hibah wasiat tersebut melanggar

ketentuan dalam Pasal 1365 KUHPerdata.

Dapat disimpulkan bahwa akta hibah wasiat tersebut bukan merupakan produk akta

autentik dari notaris pengganti melainkan produk akta autentik dari notaris purna bakti. Sesuai

dengan 4 (empat) ruang lingkup tanggung jawab dan 5 (lima) prinsip tanggung jawab notaris

bahwa notaris bertanggung jawab terhadap akta yang dibuatnya dan sesuai juga dengan Pasal

65 UUJNP, tanggung jawab notaris ataupun notaris pengganti bertanggung jawab sebatas akta

yang dibuatnya sampai dengan masa jabatannya berakhir baik berakhir karena purna bakti

(pensiun) ataupun meninggal dunia, maksudnya adalah seorang pejabat notaris itu

bertanggungjawab atas kesalahan akta yang dibuatnya secara individu jika terjadi kesalahan di

kemudian hari pada akta yang telah dibuat notaris.

Pertanggungjawaban Notaris pengganti berdasarkan Pasal 65 UUJNP, berlaku setelah

dia disumpah kemudian berlakulah tanggung jawab notaris pengganti selama menjalankan

jabatannya. Hal ini terkait dengan batasan waktu wewenang seorang yang memangku jabatan.

Notaris pengganti sekaligus pemegang protokol sebagai jabatan yang menggantikan notaris

dalam pelaksanaannya, dibatasi oleh waktu yang ditentukan dalam surat pengangkatannya.

Kalaupun dijatuhi tanggung jawab berarti terhadap menjaga dan memelihara protokol notaris

purna bakti yang digantikannya agar tidak ada terjadi kerusakan dokumen serta menjaga

kerahasiaan dokumen dari yang bukan pihak dalam akta dan tanggung jawab terhadap akta

yang dibuatnya selama menjabat sebagai notaris pengganti.

Terkait dengan tanggung jawab notaris pengganti, mengenai pertanggungjawaban

notaris pengganti yang kedudukannya sama dengan notaris sebagai pejabat umum menurut

Kraneburg dan Vegtig ada 2 (dua) teori yang melandasinya yaitu:

1. Teori Fautes Personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak

ketiga dibebankan kepada pejabat, yang karena tindakannya itu telah menimbulkan

kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab ditujukan pada manusia selaku

pribadi/individu.

2. Teori Fautes De Services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak

ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang bersangkutan. Menurut teori ini

tanggung jawab dibebankan kepada jabatan. Dalam penerapannya, kerugian yang

timbul itu disesuaikan, apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan

berat atau kesalahan ringan, dimana berat dan ringannya suatu kesalahan berimplikasi

pada tanggung jawab untuk menentukan yang harus bertanggungjawab. Teori tanggung

jawab ini untuk menganalisis bagaimana tanggung jawab notaris terhadap akta autentik

yang berakibat batal demi hukum pada saat berakhir masa jabatannya.59

59Selly Masdalia Pertiwi, “Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta otentik Yang Berakibat Batal Demi

Hukum Pada Saat Berakhir Masa Jabatan”, Acta Comitas, 2 (2017): 249.

Page 21: IMPLIKASI HUKUM AKTA HIBAH WASIAT YANG OBYEKNYA …

400

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

Adanya tanggung jawab tersebut membuat notaris pengganti membutuhkan

perlindungan hukum.60 Terhadap akta hibah wasiat yang dibuat oleh Notaris purna bakti yang

batal demi hukum berdasarkan putusan hakim di pengadilan, jika menimbulkan kerugian bagi

para pihak yang berkepentingan, Notaris purna bakti dapat dituntut untuk memberikan ganti

rugi, sepanjang hal tersebut terjadi disebabkan oleh karena kesalahan Notaris purna bakti.

Terkait pembatalan akta merupakan kewenangan hakim perdata.61 Maka, dalam hal ini notaris

pengganti sebagai pemegang protokol tidak bertanggungjawab atas segala masalah yang timbul

dari protokol yang telah diserahkan kepadanya.62

Dengan demikian, Notaris Pengganti dalam kasus ini sebagai pengganti notaris purna

bakti serta pemegang protokolnya. Ada pun, dalam kasus ini terkait dengan akta hibah wasiat

yang telah dibuat oleh Notaris Purna Bakti bukan merupakan produk akta yang dibuat oleh

Notaris Pengganti, maka, notaris pengganti tidak bertanggungjawab penuh terhadap akta hibah

wasiat yang batal demi hukum tersebut dan hanya bertanggungjawab sebatas pemegang

protokol yang harus memelihara, menjaga kerahasiaan akta notaris purna bakti yang

dimintakan oleh pihak yang terkait dan berkepentingan. Yang menjadi tanggungjawab notaris

pengganti sebagaimana disebutkan dalam hal mengadili dalam Putusan No.

559/Pdt.G/2018/PN.Sby, bahwa notaris pengganti harus tunduk dan patuh serta melaksanakan

putusan ini, tidak memberlakukan dalam bentuk apapun terhadap akta hibah wasiat tersebut,

sedangkan menurut Penulis, notaris purna bakti sebagai yang membuat akta hibah wasiat

nomor 122 dapat dijatuhkan sanksi perdata berupa ganti rugi, sebagaimana dalam Putusan No.

559/Pdt.G/2018/PN.Sby, menimbulkan kerugian secara materiil kepada Penggugat senilai

Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).

3. PENUTUP

3.1 Simpulan

Berdasarkan analisis sebagaimana di atas, tentang akibat hukum Notaris Purna Bakti dan

tanggungjawab Notaris Pengganti sebagai pemegang protokol terhadap Akta Hibah Wasiat No.

122 tanggal 2X Pebruari 1 yang batal demi hukum:

1. Akibat hukum terhadap notaris purna bakti terkait dengan akta yang dibuatnya yaitu

akta hibah wasiat no 122 tertanggal 2X Pebruari 1990 yang mengandung obyek yang

bukan milik pihak dalam akta. Akta tersebut melanggar ketentuan dalam Pasal 1332

dan 1334 KUHPerdata, dalam suatu perjanjian terdapat barang-barang yang dapat

diperdagangkan atau baik barang-barang sudah ada ataupun baru akan ada. Serta

melanggar Pasal 1340 KUHPerdata, suatu perjanjian tidak boleh merugikan pihak

ketiga. Sehingga akta tersebut mengandung cacat hukum secara materiel, dan

mengakibatkan akta hibah wasiat tersebut batal demi hukum.

2. Tanggung jawab Notaris Pengganti sebagai pemegang protokol, terhadap akta hibah

wasiat nomor 122 yang mengandung obyek yang bukan milik pihak dalam akta

sehingga mengakibatkan akta tersebut batal demi hukum. Sebagaimana dimaksud

60Wiriya Adhy Utama dan Ghansham Anand, “Perlindungan Hukum Terhadap Notaris Pengganti Dalam

Pemanggilan Berkaitan Dengan Kepentingan Peradilan”, Jurnal Panorama Hukum, Vol 3, No 1 (Juni 2018): 108.

105-124

61Debora Claudia Panjaitan, “Pembatalan Akta Wasiat Sebagai Akibat Perbuatan Melawan Hukum Yang

Dilakukan Notaris (Studi Kasus Putusan MA No. 3124 K/Pdt/2013 antara Penggugat DM vs Tergugat Notaris

LSN)”, Media Neliti Jurnal, Vol. 21 (2016): 7.

62Neza Dwi Andika, Implementasi Pasal 32 Undang-Undang Jabatan Notaris Tentang Serah Terima

Protokol Notaris Pengganti Dengan Notaris (Studi di Kota Medan), (Tesis Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara Medan 2020), hlm. 63.

Page 22: IMPLIKASI HUKUM AKTA HIBAH WASIAT YANG OBYEKNYA …

401

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

dalam Pasal 65 UUJNP, bahwa Notaris Pengganti bertanggungjawab atas setiap akta

yang dibuatnya meskipun protokol notaris telah diserahkan atau dipindahkan kepada

pihak penyimpanan protokol notaris, dengan kata lain, Notaris pengganti dalam kasus

ini hanya sebagai pemegang protokol dan bukan merupakan produk akta notaris

pengganti tersebut, jadi tanggungjawab Notaris Pengganti hanya sebatas sebagai

pemegang protokol sebagaimana disebutkan dalam Putusan No.

559/Pdt.G/2018/PN.Sby, bahwa notaris pengganti harus tunduk dan patuh serta

melaksanakan putusan ini yaitu bertanggungjawab untuk membatalkan akta hibah

wasiat nomor 122 yang aktanya tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak dapat

memberlakukan dalam bentuk apapun terhadap akta hibah wasiat tersebut. Adapun

tanggung jawab dengan penjatuhan sanksi perdata berupa ganti rugi dijatuhkan kepada

notaris purna bakti.

3.2 Saran

Berdasarkan analisis di atas, tentang akibat hukum notaris yang membuat akta hibah

wasiat no. 122 tertanggal 28 Pebruari 1990 serta tanggungjawab notaris pengganti sebagai

pemegang protokol, penulis memberikan saran sebagai berikut:

1. Notaris purna bakti dalam membuat suatu akta wasiat, harus memperhatikan,

memahami dan mengerti syarat-syarat pembuatan wasiat berdasarkan KUHPerdata

atau Peraturan lain yang mengatur tentang hibah wasiat dan dapat memberikan

penyuluhan hukum. Serta berhati-hati dalam membuat suatu akta autentik serta

berpatokan pada undang-undang jabatan notaris serta prinsip kehati-hatian notaris

dalam membuat suatu akta autentik.

2. Notaris pengganti sebagai pemegang protokol, harus siap menghadapi suatu kesalahan

yang akan datang dikemudian hari, terhadap akta yang dibuat oleh notaris sebelumnya

ataupun produk akta notaris pengganti sendiri serta bertanggungjawab terhadap

kesalahan dikemudian hari terhadap produk akta notaris sebelumnya ataupun produk

akta yang dibuat sendiri yang tanggungjawabnya sesuai dengan ketentuan dalam

UUJN, UUJNP atau peraturan lain yang mengaturnya.

DAFTAR PUSTAKA

A. Peraturan

Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. LN Nomor

117, TLN No. 4432.

. Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2004 Tentang Jabatan Notaris, UU No. 2 Tahun 2014, LN Nomor 3, TLN No. 5491.

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi

Manusia Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penjatuhan

Sanksi Administratif Terhadap Notaris.

Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek).

Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Cet. 35. Jakarta: Pradnya

Paramita, 2004.

Page 23: IMPLIKASI HUKUM AKTA HIBAH WASIAT YANG OBYEKNYA …

402

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

Pengadilan Negeri, Putusan Pengadilan Negeri Nomor 559 Tahun 2018.

B. Buku

Afandi, Ali. Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian. Jakarta: Bina Aksara,

1986.

Amiruddin dan Asikin, Zainal. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2004.

Anand, Ghansham. Karakteristik Jabatan Notaris Di Indonesia. Jakarta: Prenada Media

Group, 2018.

Anggito, Abi dan Setiawan, Johan. Metodologi Penelitian Kualitatif. Sukabumi: CV

Jejak, 2018.

Arliman S, Laurensius. Notaris dan Penegakan Hukum Oleh Hakim. Yogyakarta: CV.

Budi Utama, 2015.

Asri, Benyamin dan Asri, Thabrani. Dasar-Dasar Hukum Waris Barat Suatu

Pembahasan Teoritis Dan Praktek. Bandung: Tarsito, 1988.

Diantha, I Made Pasek, Metode penelitian hukum normatif dalam justifikasi teori hukum.

cet.2. Jakarta: Prenada Media Group,2017.

Efendi, Jonaedi dan Ibrahim, Johnny. Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris

Edisi Pertama. Depok: Prenadamedia Group, 2018.

Fatmawati, Irma. Hukum Waris Perdata (Menerima dan Menolak Warisan oleh Ahli

Waris serta Akibatnya). cet. 1. Yogyakarta: Budi Utama, 2020.

Klassen, J.G dan Eggens, J. E. Hukum Waris Bagian I. Jakarta: Esa Study Club, 1979.

Kosasih, Johannes Ibrahim dan Haykal, Hassanain. Kasus Hukum Notaris Di Bidang

Kredit Perbankan. cet. 1. Jakarta: Sinar Grafika, 2020.

Narsudin, Udin. Keterangan Waris Keterangan Ahli Waris Dalam Pluralisme Sistem

Hukum Waris di Indonesia (Dalam Perspektif Kewnangan Notaris). Ciputat:

Gaung Persada (GP) PRESS, 2016.

Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Waris di Indonesia. Bandung: Penerbit Sumur Bandung,

1983.

Purwati, Ani. Metode Penelitian Hukum Teori dan Praktek. Surabaya: CV. Jakad Media

Publishing, 2020.

Qamar, Nurul, Muhammad Syarif, Aan Aswari. Metode Penelitian Hukum (Legal

Research Methods). Makassar: CV. Social Politic Genius (SIGn), 2017.

Page 24: IMPLIKASI HUKUM AKTA HIBAH WASIAT YANG OBYEKNYA …

403

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat. Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1995.

, dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat. ed. 1. cet. 19. Depok: Raja Grafindo Persada, 2019.

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa, 1996.

Umum, Khotibul, Rimawati dan Suryana Yogaswara. Filsafat Hukum dan Etika Profesi.

cet.1. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka, 2015.

C. Tesis

Andika, Neza Dwi. “Implementasi Pasal 32 Undang-Undang Jabatan Notaris Tentang

Serah Terima Protokol Notaris Pengganti Dengan Notaris (Studi di Kota Medan)”.

Tesis Magister Kenotariatan, Medan, 2020.

Febriyanti, Eka. “Tanggung Jawab Moral Notaris Dalam Menjalankan Tugas Jabatan

Sesuai Dengan Sumpah Jabatan”. Tesis Magister Kenotariatan, Palembang, 2019.

Nasution, Muhammad Faisal. “Tanggungjawab Pemberi dan Penerima Protokol Notaris

Terhadap Protokol Notaris Yang Hilang Atau Rusak”. Tesis Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, Medan 2017.

Sinaga, Herianto. “Tanggung Jawab Werda Notaris Terhadap Akta Yang Dibuatnya”.

Tesis Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2014.

Trisnomurti, Ria. “Efektivitas Pelaksanaan Kewenangan Pengawasan Terhadap Notaris

Sebagai Pemegang Protokol”. Tesis Program Pascasarjana Magister Hukum, Makassar

2012.

D. Jurnal Internet

Bashori, Mochamad Syafrizal. “Pertanggungjawaban Pidana Bagi Notaris Yang

Melakukan Tindak Pidana Pemalsuan Surat Dalam Pembuatan Akta Otentik”. Jurnal

Supremasi, Vol. 6, No. 2, (2016). Hlm. 39-40.

Buko, Siska Harun. “Analisis Yuridis Tentang Kewajiban Notaris Dalam Memberikan

Jasanya Kepada Masyarakat Yang Tidak Mampu Berdasarkan UU No. 2 Tahun 2014”.

Lex Privatum Vol V, No 1, Jan-Feb, (2017). Hlm. 89-96

Fatmawati dan Handayani, I Gusti Ayu Ketut Rachmi. “Kajian Yuridis Pembatalan

Perjanjian Pengikatan Akta Jual Beli Tanah Terkait Syarat Subjektif”. Jurnal UNS

Reportorium, Vol 6, No 1, (2019). Hlm. 1-14.

Febriandini, Twinike Sativa. “Studi Kekuatan Pembuktian Surat Pada Sengketa Perdata

Di Pengadilan Negeri”. Jurnal Verstek Vol. 2, No. 1, (2014). Hlm. 176-187.

Page 25: IMPLIKASI HUKUM AKTA HIBAH WASIAT YANG OBYEKNYA …

404

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

Febriani, Wahyu Nur. “Tanggung Jawab Notaris Pengganti Terhadap Akta Yang

Dibuatnya (Studi di Kabupaten Lombok Barat)”. Jurnal Ilmiah, universitas mataram,

(2017). Hlm. i-xv.

Hably, Rio Utomo. “Kewenangan Notaris Dalam Hal Membuat Akta Partij (Contoh

Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1003K/PID/2015)”. Jurnal Hukum

Adigama, Volume 2, Nomor 2, Desember (2019). Hlm. 1-26.

Hendra, Rahmad. “Tanggungjawab Notaris Terhadap Akta Otentik Yang Penghadapnya

Mempergunakan Identitas Palsu Di Kota Pekanbaru”. Jurnal Ilmu Hukum Vol. 3, No

1, (2012). Hlm. 1-22.

Hikmah, Umi Mamlu’ul, Sugiri, Bambang, Sukarmi. “ Tanggung Jawab Notaris Dalam

Membuat Perjanjian Simulasi Yang Berbentuk Akta Notaris Ditinjau Dari Hukum

Perjanjian”, Artikel Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Hlm. 1-22.

Eleanora, Fransiska Novita. “Prinsip Tanggung Jawab Mutlak Pelaku Usaha Terhadap

Ketentuan Pasal 27 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen”. Jurnal

Krtha Bhayangkara, Vol 12, No 2, Desember (2018). Hlm. 207-228.

Iryadi, Irfan. “Kedudukan Akta Otentik Dalam Hubungannya dengan Konstitusional

Warga Negara”. Jurnal Konstitusi, Vol. 15, No. 4, Desember (2018). Hlm. 796-815.

Lidya, “Analisis Yuridis Tanggung Jawab Werda Notaris Terhadap Akta Yang Batal

Demi Hukum Sesudah Berakhirnya Masa Jabatannya”. Premise Law Jurnal, Vol. 21,

(2017). Hlm. 1-21.

Manangin, Muhammad Syaifullah Abadi, Leni Dwi Nurmala dan Nurmin K Martam.

“Pengalihan Atas Harta Warisan Di Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 16, No. 2

(Agustus 2020). Hlm. 177-189.

Mardiyah, I Ketut Rai Setiabudhi dan Gde Made Swardhana. “Sanksi Terhadap Notaris

Yang Melanggar Kewajiban Dan Larangan Undang-Undang Jabatan Notaris” Acta

Comitas, (2017). Hlm. 110-121.

Mimiamanda, Fisuda Alifa dan Fathonah, Ricka Auliaty. “Akibat Hukum Pelanggaran

Legitieme Portie Melalui Akta Wasiat Menurut Burgelijk Wetboek (Studi Kasus

Putusan Nomor 3109 K/Pdt/2015)”. Notarie, Vol. 2, No. 2, Juni 2019). Hlm. 157-171.

Muthiah, Aulia. “Tanggung Jawab Pelaku Usaha Kepada Konsumen Tentang Keamanan

Pangan Dalam Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen”. Dialogia Iuridica Jurnal

Hukum Bisnis dan Investasi, Vol. 7, No. 2, (April 2016). Hlm. 1-23.

Negara, Hasanuddin Kusuma. “Kewenangan Pembuatan Akta Bagi Notaris Yang Berada

Di Daerah Provinsi Hasil Pemekaran” (Jurnal Transparansi Hukum Vol. 1, No 2, 2018).

Hlm. 170-197.

Page 26: IMPLIKASI HUKUM AKTA HIBAH WASIAT YANG OBYEKNYA …

405

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

Novita, Chandra. “Tanggung Jawab dan Perlindungan Hukum Terhadap Werda Notaris”.

Lex Renaissance, No. 2, Vol. 2, (Juli 2017). Hlm. 331-353.

Nuraini, Alya Hapsari, Liza Priandhini, Widodo Suryandono. “Pemberian Akta Hibah

Wasiat Atas Seluruh Saham Perseroan Terbatas PT.LNI”. Indonesian Notary, Vol. 1,

No. 002, (2019). Hlm. 1-24.

Panjaitan, Debora Claudia. “Pembatalan Akta Wasiat Sebagai Akibat Perbuatan Melawan

Hukum Yang Dilakukan Notaris (Studi Kasus Putusan MA No. 3124 K/Pdt/2013 antara

Penggugat DM vs Tergugat Notaris LSN)”. Media Neliti Jurnal, Vol. 21, (2016). Hlm.

1-14.

Pertiwi, Selly Masdalia. “Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta otentik Yang

Berakibat Batal Demi Hukum Pada Saat Berakhir Masa Jabatan”. Acta Comitas (2017),

2. Hlm. 247-257.

Prayitno, Dhea Nada Safa, Winanto Wiryomartani dan Yeni Salma Berlinti. “Keabsahan

Surat Pernyataan Hibah Untuk Salah Satu Ahli Waris Tanpa Persetujuan Ahli Waris

Lainnya”. Indonesian Notary, Vol 2, No 4, (2020). Hlm. 787-807.

Putri, Anida Zoraya. “Pembatalan Akta Hibah Wasiat Sebagai Akta Otentik Dalam

Proses Pemeriksaan Perkara Perdata (Studi Kasus Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

Nomor : 53/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Sel)”. Jurnal Verstek, Vol. 4, No. 3, (2016). Hlm. 212-

222.

Putri, Karina Prasetyo, Suharningsih dan Bambang Winarno. “Tanggung Jawab Dan

Perlindungan Hukum Bagi Notaris Purna Bakti Terhadap Akta Yang Pernah Dibuat

(Analisis Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris)”.

Jurnal Hukum Universitas Brawijaya, (2016). Hlm. 1-24.

Rudianto, Anggri, Suhariningsih dan Bambang Winarno. “Kewenangan Pemegang

Protokol Notaris Yang Meninggal Dunia untuk Mengeluarkan Salinan Akta dari

Minuta Akta yang Bekum Lengkap Tanda Tangannya”. Pena Justisia, Vol 19, No 1,

(Juni 2020). Hlm. 15-34.

Rudito, Sulih, “Penerapan Legitime Portie (Bagian Mutlak) Dalam Pembagian Warisan

Menurut KUHPerdata”. Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, Edisi 3, Vol. 3, (2015).

Hlm. 1-10.

Suryadini, Yanuar dan Widiyanti, Alifiana Tanasya. “Akibat Hukum Hibah Wasiat yang

Melebihi Legitime Portie”. Media Iuris, Vol. 3, No. 2, (Juni 2020). Hlm. 241-256.

Tjukup, I Ketut, I Wayan Bela Siki Layang dan Nyoman A. Martana. “Akta Notaris (Akta

Otentik) Sebagai Alat Bukti Dalam Peristiwa Hukum Perdata”. Acta Comitas (2016),

2. Hlm. 180-188.

Page 27: IMPLIKASI HUKUM AKTA HIBAH WASIAT YANG OBYEKNYA …

406

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

, I Wayan Bela Siki Layang dan Nyoman A. Martana, “Kekuatan Hukum

Pembuktian Waarmerkeen (Akta Di Bawah Tangan Yang Didaftarkan) di Notaris”.

Acta Comitas (2016), 2. Hlm. 153-162.

Umboh, Arnando. “Tanggung Jawab Pelaku Usaha Dalam Pemenuhan Hak Konsumen

Menurut Hukum Positif Indonesia”. Lex Privatum, Vol. VI, No. 6, (Agustus 2018).

Hlm. 45-52.

Utama, Wiriya Adhy dan Anand, Ghansham. “Perlindungan Hukum Terhadap Notaris

Pengganti Dalam Pemanggilan Berkaitan Dengan Kepentingan Peradilan”. Jurnal

Panorama Hukum, Vol 3, No 1, (Juni 2018). Hlm. 105-124

Page 28: IMPLIKASI HUKUM AKTA HIBAH WASIAT YANG OBYEKNYA …

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310