42
A. Latar Belakang Pada tanggal 9 Mei 2012, pesawat milik Sukhoi Company Rusia yaitu Sukhoi Super Jet 100 (SJ 100) melakukan demonstrasi penerbangan (joy flight) yang berangkat dari Bandar Udara Halim Perdanakusuma Jakarta, mengalami kehilangan kontak yang kemudian dikabarkan menghilang. Setelah melalui proses pencarian diketahui bahwa pesawat tersebut mengalami kecelakaan yang cukup mengenaskan karena kondisi badan pesawat yang luluh lantak akibat menabrak dinding gunung Salak di Jawa Barat. Kecelakaan tersebut juga telah mengakibatkan seluruh penumpangnya yang berjumlah 45 orang meninggal dunia. 1) Terkait demo terbang atau joy flight pesawat baru yang akan diperkenalkan di satu negara seperti di Indonesia, menurut K. Martono harus memenuhi persyaratan khusus seperti Diplomatic Clearence dari Kementerian Luar Negeri serta Security Clearence dari Kementerian Pertahanan serta izin terbang dari Kementerian Perhubungan. 2) Berdasarkan keterangan 1) Fabian Januarius Kuwado dan A. Wisnubrata, “Jumlah Penumpang Sukhoi Ternyata 47 Orang”, Kompas.com, Kamis, 10 Mei 2012, http://nasional.kompas.com/read/2012/05/10/ 1209041/Jumlah.Penumpang.Sukhoi.Ternyata.47.Orang, diakses 12 Juni 2012. 2) K. Martono, “Pilot Berkuasa Penuh”, hasil wawancara wartawan Harian Umum Suara Karya, Syamsuri S dan Andry Bey Roesmanto dengan pakar hukum penerbangan, Prof Dr K Martono SH LLM di Jakarta, Sabtu 19 Mei 2012, http://www.suarakarya-online.com/news.html? id=303588, diunduh 29 Juni 2012. 1

Implementasi Permenhub No. 77 Tahun 2011 Sebagai Dasar Tuntutan Ganti Kerugian Pada Kasus Kecelakaan Penerbangan Joy Flight Sukhoi Sj-100

Embed Size (px)

Citation preview

A. Latar Belakang

Pada tanggal 9 Mei 2012, pesawat milik Sukhoi Company Rusia yaitu

Sukhoi Super Jet 100 (SJ 100) melakukan demonstrasi penerbangan (joy flight)

yang berangkat dari Bandar Udara Halim Perdanakusuma Jakarta, mengalami

kehilangan kontak yang kemudian dikabarkan menghilang. Setelah melalui proses

pencarian diketahui bahwa pesawat tersebut mengalami kecelakaan yang cukup

mengenaskan karena kondisi badan pesawat yang luluh lantak akibat menabrak

dinding gunung Salak di Jawa Barat. Kecelakaan tersebut juga telah

mengakibatkan seluruh penumpangnya yang berjumlah 45 orang meninggal

dunia.1)

Terkait demo terbang atau joy flight pesawat baru yang akan

diperkenalkan di satu negara seperti di Indonesia, menurut K. Martono harus

memenuhi persyaratan khusus seperti Diplomatic Clearence dari Kementerian

Luar Negeri serta Security Clearence dari Kementerian Pertahanan serta izin

terbang dari Kementerian Perhubungan.2) Berdasarkan keterangan Kementrian

Perhubungan sebelum melakukan penerbangan, Sukhoi SJ 100 sudah mendapat

sejumlah izin dari pihak yang berwenang seperti dari Kementerian Luar Negeri

mendapat Diplomatic Clearance No. 05099/Kons.-20/IV/2012 pada 20 April

2012, dari Markas Besar TNI memberi Security Clearance No. UD/0557/SIN.-

23/IV/2012 pada 23 April 2012. Kemudian dari Dirjen Perhubungan Udara juga

memberikan Flight Clearance No 3241/0705/NONSCHED-INT/2012 pada 7 Mei

2012 dengan rute Saigon-Halim Perdana Kusuma-Vientiane. Setelah pesawat

Sukhoi mendapat legalitas izin masuk ke Indonesia, tahap selanjutnya adalah

untuk penerbangan demo flight untuk promosi (joy flight).3)

1) Fabian Januarius Kuwado dan A. Wisnubrata, “Jumlah Penumpang Sukhoi Ternyata 47 Orang”, Kompas.com, Kamis, 10 Mei 2012, http://nasional.kompas.com/read/2012/05/10/ 1209041/Jumlah.Penumpang.Sukhoi.Ternyata.47.Orang, diakses 12 Juni 2012.

2) K. Martono, “Pilot Berkuasa Penuh”, hasil wawancara wartawan Harian Umum Suara Karya, Syamsuri S dan Andry Bey Roesmanto dengan pakar hukum penerbangan, Prof Dr K Martono SH LLM di Jakarta, Sabtu 19 Mei 2012, http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=303588, diunduh 29 Juni 2012.

3) M. Agus Yozami, “DPR Cecar Menhub Soal Tragedi Sukhoi”, http://www.hukumonline. com/berita/baca/lt4fc3ab1271edf/dpr-cecar-menhub-soal-tragedi-sukhoi, diunduh 29 Juni 2012.

1

Berdasarkan data yang dimiliki Kementrian Perhubungan bahwa joy flight

kedua berlangsung mulai pukul 14.10 WIB dan pada pukul 14.21 WIB melakukan

take off. Pesawat yang dipiloti oleh Aleksander Yablontsev itu melakukan kontak

pertama dengan Air Traffic Control (ATC) Bandara Soekarno Hatta pada radial

200 Halim Perdanakusuma. Kemudian pesawat minta izin turun 6.000 kaki dari

ketinggian 10.000 kaki dan setelah itu pesawat minta memutar 360 derajat (orbit

right) di atas training area Lanud Atang Sanjaya.4)

Selanjutnya dari Bandara Soekarno Hatta memanggil pesawat karena tidak

terlihat dari monitor radar dan pihak ATC melaporkan kejadian hilang target pada

Air Traffic Service (ATS) Coordinator Atang Sanjaya. Setelah itu, pesawat

ditetapkan dalam kondisi uncertainty phase yaitu keadaan tidak pasti meskipun

pihak ATC telah menghubungi berkali-kali namun tidak ada respon dari pilot

Sukhoi SJ 100 tersebut. Tidak ditemukannya kabar dari Sukhoi SJ 100 tersebut,

pihak ATC akhirnya menguhubungi Badan SAR untuk melakukan pencarian

setelah pesawat ditetapkan dalam kondisi alertting phase dan kondisi distress

phase mengingat bahan bakar pesawat diperkirakan sudah habis.5)

Menurut Direktur Utama PT Angkasa Pura II (Persero), Tri S. Sunoko,

menerangkan bahwa Air Traffic Control (ATC) bandara sudah bekerja sesuai

dengan prosedur. Karena telah teruji dalam penerbangan lain sebelumnya, petugas

akhirnya memberikan izin kepada pilot Sukhoi SJ 100 untuk menurunkan

ketinggian di sekitar Lanud Atang Sanjaya. ATC pun mengizinkan karena lokasi

berada di atas Lanud Atang Sanjaya. Selain itu, lokasi itu adalah area training dan

sudah 383 latihan penerbangan di area tersebut tidak ada masalah. Bahkan di

sekitar Atang Sanjaya pesawat bisa bermanuver sampai 3.000 kaki. Jadi petugas

ATC sudah memberikan instruksi sesuai dengan prosedur yang berlaku.6)

Menurut Sunaryo selaku konsultan pengembangan bisnis PT Trimarga

Rekatama, bahwa berdasarkan manifes terbaru yang dimilikinya, jumlah

penumpang yang berada di pesawat Sukhoi SJ 100 berjumlah 45 orang. Hal

tersebut diklarifikasi setelah sebelumnya pihak perusahaan merilis daftar

4) Ibid. 5) Ibid. 6) Ibid.

2

penumpang pesawat tersebut berjumlah 50 orang. Perubahan manifes tersebut

terjadi karena daftar penumpang yang didata terbawa oleh seseorang dalam

pesawat. Berdasarkan informasi bahwa nama Edi Saryoko dari Gatari, tidak ikut

dalam terbang. Dengan demikian, dari jumlah 48 penumpang yang ada, tinggal 45

penumpang.7)

Data korban kecelakaan Sukhoi SJ 100 sebagian besar adalah warga

Negara Indonesia dan sisanya warga negara asing. Selain itu, pesawat tersebut

bukanlah pesawat komersil karena penerbangan pesawat tersebut merupakan salah

suatu agenda perusahaan penerbangan Sukhoi atas produk pesawat komersil yang

tujuan utamanya yaitu memamerkan keunggulan Sukhoi SJ 100 sebagai pesawat

regional dan merupakan bintang dari industri penerbangan Rusia. Indonesia

merupakan salah satu Negara yang dijadikan ajang demonstrasi terbang (joy

flight) selain Kazakhstan, Pakistan, Laos, dan Vietnam.8)

Kecelakaan tersebut tentu menimbulkan luka yang mendalam bagi para

keluarga korban, terlebih lagi pada waktu itu belum adanya kepastian adanya

pemberian ganti rugi dari pihak Sukhoi. Selain itu, instrumen hukum manakah

yang tepat untuk menuntut pihak Sukhoi dalam meminta pertanggungjawaban

ganti rugi bagi korban yang meninggal pada saat kecelakaan tersebut. Mengingat

dalam peraturan perundang-undangan khususnya Permenhub No. 77 Tahun 2011

secara tegas bahwa dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan Pasal 1 ayat (5)

yang menyatakan bahwa Badan Usaha Angkutan Udara adalah badan usaha milik

negara, badan usaha milik daerah, atau badan hukum Indonesia berbentuk

perseroan terbatas atau koperasi, yang kegiatan utamanya mengoperasikan

pesawat udara untuk digunakan mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos

dengan memungut pembayaran.

Apabila mengacu pada Pasal 1 ayat (5) Permenhub tersebut jelas Sukhoi

SJ 100 tidak masuk dalam katagori pengangkut yang secara resmi beroperasi di

wilayah Indonesia dan bukan berbadan hukum Indonesia serta tidak adanya

7) Ibid8) Anonim, “Proyek Prestisius Rusia Terjerembab di Gunung Salak” Mei 11, 2012

http://indopremiernews.wordpress.com/tag/kecelakaan-pesawat-sukhoi-superjet-100/, diunduh 12 Juni 2012.

3

pungutan biaya bagi para penumpang pada saat demontrasi penerbangan

melainkan lebih menekankan pada marketing atas penjualan pesawat Sukhoi SJ

100 yang rencananya akan dipesan oleh Indonesia melalui PT. Trimarga

Rekatama. Selain itu tidak sesuainya daftar manifest penumpang, karena ada

korban tetapi namanya tidak tercantum. Sebaliknya ada nama korban, tetapi yang

bersangkutan batal ikut.

Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk menyusun Metode

Penelitian Hukum ini dengan judul: IMPLEMENTASI PERMENHUB NO. 77

TAHUN 2011 SEBAGAI DASAR TUNTUTAN GANTI KERUGIAN ATAS

KECELAKAAN PENERBANGAN JOY FLIGHT PESAWAT SUKHOI SJ-

100 DI GUNUNG SALAK BOGOR JAWA BARAT

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka permasalahan yang

dikemukakan dalam penulisan skripsi ini adalah:

1. Bagaimana pertanggungjawaban pihak operator pesawat Sukhoi kepada

korban kecelakaan Sukhoi Super Jet 100?

2. Bagaimana implementasi Permenhub No. 77 Tahun 2011 sebagai dasar

tuntutan ganti kerugian pada kecelakaan Sukhoi Super Jet 100?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan penelitian ini yaitu:

1. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pihak operator pesawat Sukhoi

kepada korban kecelakaan Sukhoi Super Jet 100.

2. Untuk mengetahui implementasi Permenhub No. 77 Tahun 2011 sebagai

dasar tuntutan ganti kerugian pada kecelakaan Sukhoi Super Jet 100.

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah :

1. Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan teoritis, untuk

memberikan pengetahuan dan pengembangan ilmu pengetahuan di bidang

hukum pengangkutan, khususnya mengenai tanggung jawab pihak Sukhoi

dalam kecelakaan penerbangan joy flight dan penerapan Permenhub No.77

4

Tahun 2011 dalam kecelakaan joy flight penerbangan Sukhoi SJ 100

sebagai dasar tuntutan kepada pihak Sukhoi dalam pemberian santunan

kepada ahli waris korban kecelakaan Sukhoi SJ 100 tersebut.

2. Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan praktis, untuk

menambah ilmu pengetahuan bagi penulis dan masyarakat sebagai bahan

kajian dan wawasan serta informasi yang jelas dan tepat tentang masalah

pengguna jasa transportasi udara di Indonesia.

D. Kerangka Konseptual

Soerjono Soekanto mendefinisikan kerangka konseptual adalah kerangka

yang menggambarkan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan

dalam arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin atau yang akan diteliti.9)

Pada penulisan skripsi ini kerangka konseptual yang dapat dikemukakan adalah

sebagai berikut:

Menurut Sudarsono ganti rugi sebagai penggantian kerugian.10) Ganti

kerugian merupakan suatu kewajiban yang dibebankan kepada orang yang telah

bertindak melawan hukum dan menimbulkan kerugian pada orang lain karena

kesalahannya tersebut.11)

Kecelakaan adalah peristiwa pengoperasian pesawat udara yang

mengakibatkan kerusakan berat pada peralatan atau fasilitas yang digunakan

dan/atau korban jiwa atau luka serius.12)

Penerbangan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan

wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, navigasi

penerbangan, keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas

penunjang dan fasilitas umum lainnya.13)

9) Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:UI Press,1986), hal .132.10) Sudarsono, Kamus Hukum, cetakan ke-6, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2009), hal.136.

11) Syafrudin, Pidana Ganti Rugi : Alternatif Pemidanaan di Masa Depan Dalam Penanggulangan Kejahatan Tertentu, (Medan: Universitas Sumatera Utara, 2002), hal.3

12) Indonesia. Peraturan Menteri Perhubungan No.77 Tahun 2011 tentang Tanggungjawab Pengangkut Angkutan Udara, Pasal 1 angka (12).

13) Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, (LNRI Tahun 2009 Nomor 1; TLNRI Nomor 4986), Pasal 1 angka (1).

5

Joy flight merupakan penerbangan uji coba sebuah pesawat komersial. Joy

flight juga dapat diartikan sebagai terbang bersenang-senang. Penumpang tidak

membayar, melainkan diundang ikut serta menikmati pesawat baru, sambil

melihat-lihat pemandangan.14)

Pengertian perusahaan penerbangan (airlines) adalah perusahaan yang

bergerak dalam bidang angkutan udara yang mengangkut penumpang, barang,

pos, dan kegiaan keudaraan lainnya dengan memungut bayaran, dengan

menggunakan pesawat terbang bersayap tetap maupun bersayap putar yang

melakukan kegiatan penerbangan secara berjadwal maupun tak berjadwal.15)

Sukhoi Superjet 100 merupakan pesawat penumpang untuk jarak tempuh

menengah yang dirancang sejak tahun 2000. Superjet 100 menjadi pesawat

penumpang pertama sejak keruntuhan Uni Soviet, dan juga merupakan pesawat

sipil pertama buatan Sukhoi. Superjet 100 melakukan terbang perdananya pada

2008 dan mendapat sertifikasi untuk beroperasi di Rusia pada 2011, dan di Uni

Eropa pada Februari 2012.16)

Pada semua undang-undang pengangkutan dipakai istilah penumpang

untuk pengangkutan orang tetapi rumusan mengenai penumpang secara umum

tidak diatur. Dalam Undang-Undang Penerbangan juga tidak dijumpai rumusan

pasal mengenai pengguna jasa. Dilihat dari pihak dalam perjanjian pengangkutan

orang, penumpang adalah orang yang mengikatkan diri untuk membayar biaya

angkutan atas dirinya yang diangkut. Dalam perjanjian pengangkutan, penumpang

mempunyai dua status yaitu sebagai subyek karena dia adalah pihak dalam

perjanjian, dan sebagai obyek karena dia adalah muatan yang diangkut. Sebagai

pihak dalam perjanjian pengangkutan, penumpang harus mampu melakukan

perbuatan hukum atau mampu membuat perjanjian.17) Suherman menyatakan

14) Tengku Bintang, “Joy flight Bahaya Gadis Cantik dan Pilot Yang Ramah” http://lifestyle. kompasiana.com/catatan/2012/05/11/joy-flight-bahaya-gadis-cantik-dan-pilot-yang-ramah/, diunduh, 8 Juli 2012.

15) H.K.Martono, Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan, Cetakan ke-1, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 216.

16) Anonim, “Pembuatan SUKHOI SJ 100 - Sejarah Sukhoi Superjet 100 - Sukhoi Superjet 100”, http://www.jadilah.com/2012/05/pembuatan-sukhoi-sj-100.html, diakses 8 Juli 2012.

17) Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), hal.50-51.

6

bahwa definisi penumpang adalah seorang yang diangkut dengan pesawat terbang

berdasarkan suatu persetujuan pengangkutan udara.18)

Tanggung jawab adalah suatu keharusan bagi seseorang untuk

melaksanakan dengan selayaknya apa yang telah diwajibkan kepadanya, istilah

tanggung jawab sendiri, dalam bahasa Inggris dapat mempunyai arti, yaitu

liability. Istilah liability adalah istilah yang tepat untuk dipergunakan dalam

hukum pengangkutan, karena mempunyai arti yang menunjukkan tanggung jawab

untuk mengganti suatu kerugian yang diderita oleh suatu pihak lain, karena

tindakan dari pihak lain, karena cidera janji, karena suatu perbuatan hukum atau

karena sesuatu yang menjadi milik atau di bawah penguasaan pihak lain.

Tanggung Jawab Pengangkut adalah kewajiban perusahaan penerbangan untuk

mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang serta

pihak ketiga.19)

Secara etimologis pengertian implementasi menurut Kamus Webster yang

dikutip oleh Solichin Abdul Wahab adalah: konsep implementasi berasal dari

bahasa inggris yaitu to implement. Dalam kamus besar webster, to implement

(mengimplementasikan) berati to provide the means for carrying out

(menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); dan to give practical effect to

(untuk menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu).20) Menurut Van Meter dan

Van Horn sebagaimana yang dikutip Solichin Abdul Wahab bahwa implementasi

adalah tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu/pejabat-

pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada

tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan.21)

Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP) Peraturan Perundang-

undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat

18) E. Suherman, Tanggung Djawab Pengangkut Dalam Hukum Udara Indonesia, (Bandung: Eresco, 1962), hal.311.

19) Indonesia,Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4956), Pasal 1 angka (22).

20) Solichin Abdul Wahab, Analisa Kebijakan: Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), hal.64

21) Ibid, hal.65.

7

secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang

berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-

undangan. Berdasarkan uraian tersebut, maka pengertian Peraturan Menteri

Perhubungan adalah peraturan yang dikeluarkan atau ditetapkan oleh pejabat di

lingkungan Kementerian Perhubungan. Permenhub No.77 Tahun 2011 adalah

peraturan tentang tanggungjawab pengangkut angkutan udara.

E. Kerangka Teoretis

1. Klasifikasi Pengangkutan

Pengangkutan dapat dikelompokan menurut macam atau moda atau

jenisnya (modes of transportation) yang dapat ditinjau dari segi barang yang

diangkut, dari segi geografis transportasi itu berlangsung, dari sudut teknis

serta dari sudut alat angkutannya. Secara rinci klasifakasi pengangkutan

sebagai berikut:22)

1. Dari segi barang yang diangkut, meliputi:

a. Angkutan penumpang (passanger);

b. Angkutan barang (goods);

c. Angkutan pos (mail).

2. Dari sudut geografis. Ditinjau dari sudut geografis dapat dibagi menjadi:

a. Angkutan antar benua: misalnya dari Asia ke Eropah;

b. Angkutan antar kontinental: misalnya dari Francis ke Swiss dan

diseterusnya sampai ke Timur Tengah;

c. Angkutan antar pulau: misalnya dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatera;

d. Angkutan antar kota: misalnya dari Jakarta ke Bandung;

e. Angkutan antar daerah: misalnya dari Jawa Barat ke Jawa Timur;

f. Angkutan di dalam kota: misalnya kota Medan, Surabaya dan lain-lain.

3. Dari sudut teknis dan alat pengangkutnya, Jika dilihat dari sudut teknis dan

alat angkutnya, maka dapat dibedakan sebagai berikut:

22) Rustian Kamaluddin, Ekonomi Transportasi:Karekteristik, Teori dan Kebijakan,(Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), hal. 15-19.

8

a. Angkutan jalan raya atau highway transportation(road transportation),

seperti pengangkutan dengan menggunakan truk,bus dan sedan;

b. Pengangkutan rel (rail transportation), yaitu angkutan kereta api, trem

listrik dan sebagainya. Pengangkutan jalan raya dan pengangkutan rel

kadang-kadang keduanya digabung dalam golongan yang disebut rail

and road transportation atau land transportation (angkutan darat);

c. Pengangkutan melalui air di pedalaman( inland transportation), seperti

pengangkutan sungai, kanal, danau dan sebagainya;

d. Pengangkutan pipa (pipe line transportation), seperti transportasi

untuk mengangkut atau mengalirkan minyak tanah, bensin dan air

minum;

e. Pengangkutan laut atau samudera (ocean transportation), yaitu

angkutan dengan menggunakan kapal laut yang mengarungi samudera;

f. Pengangkutan udara (transportation by air atau air transportation),

yaitu pengangkutan dengan menggunakan kapal terbang yang melalui

jalan udara.

2. Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Hukum Pengangkutan

Didalam hukum pengangkutan, dikenal beberapa prinsip-prinsip

tanggung jawab untuk pengangkut. Prinsip-prinsip ini berkaitan dengan

tanggung jawab pengangkut untuk membayar ganti kerugian kepada

pengguna jasa penerbangan. Prinsip tanggung jawab tersebut adalah :

a. Based on fault (prinsip tanggung jawab berdasarkan atas kesalahan)

Prinsip based on fault atau prinsip tanggung jawab berdasarkan

atas kesalahan diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum

Perdata yang menyebutkan: “Tiap perbuatan melanggar hukum yang

membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena

salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Pasal ini

dikenal dengan pasal tentang perbuatan melawan hukum.

Akibat terpenting yang diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-

undang Hukum Perdata adalah tanggung jawab pihak yang melakukan

9

perbuatan melawan hukum, berupa kewajibannya membayar ganti

kerugian. Dapat dikemukakan bahwa tanggung jawab menurut pasal

tersebut adalah tanggung jawab berdasarkan atas kesalahan, kesalahan

yang harus dibuktikan oleh pihak yang harus menuntut ganti kerugian.

Selain itu menurut Pasal 1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

tanggung jawab seseorang bisa juga diakibatkan karena kelalaian atau

kurang hati-hatinya.

Pada prinsip ini jelas bahwa beban pembuktian ada pada pihak

yang dirugikan, artinya pihak yang dirugikan yang harus membuktikan

bahwa kerugiannya diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum. Dan

prinsip based on fault ini tidak didasarkan pada perjanjian, tetapi dengan

perbuatan melawan hukum tersebut juga menimbulkan perikatan.23)

b. Presumption of liability

Prinsip ini merupakan prinsip “praduga bahwa pengangkut selalu

bertanggung jawab”, tanpa ada keharusan bagi pihak yang dirugikan untuk

membuktikan bahwa ada perbuatan melawan hukum dari pengangkut atau

tidak. Prinsip ini didasarkan pada perjanjian pengangkutan, akan tetapi

pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawabnya, apabila

pengangkut dapat membuktikan bahwa:24 )

1. Kerugian yang disebabkan oleh malapetaka yang selayaknya tidak

dapat dicegah atau dihindarinya atau berada diluar kekuasaannya;

2. Ia telah mengambil mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk

menghindarkan timbulnya kerugian;

3. Kerugian yang timbul bukan karena kesalahannya, dan

4. Kerugian ditimbulkan oleh kelalaian atau kesalahan dari penumpang

sendiri karena cacat, sifat atau mutu barang yang diangkut.

c. Presumption of non liability

Prinsip ini merupakan prinsip “praduga bahwa pengangkut selalu

tidak bertanggung jawab, untuk barang bawaan yang berada didalam

23) Siti Nurbaiti, Hukum Pengangkutan Darat (Jalan dan Kereta Api, (Jakarta : Pusat Studi Hukum Transportasi dan Telekomunikasi Fakultas Hukum Universitas Trisakti, 2007), hal. 18-20.

24) Ibid., hal. 20-22.

10

pengawasan penumpang sendiri, contohnya adalah bagasi tangan, dan

beban pembuktian adanya tanggung jawab pengangkut terletak pada

penumpang dan tanggung jawab ini baru ada, apabila ada kesalahan dari

pengangkut. Dengan adanya prinsip ini, maka ada kemungkinan tidak ada

satu pihakpun yang dapat dipertanggung jawabkan mengenai kerugian

terhadap barang bawaan yang berada dalam pengawasan penumpang

sendiri, yaitu apabila penumpang membuktikan bahwa ia telah mengambil

tindakan seperlunya untuk menjaga barang tersebut, sedangkan

pengangkut juga telah membuktikan bahwa ia tidak mungkin dapat

mencegah timbulnya kerugian. Dengan demikian, maka penumpang

sendirilah yang harus memikul kerugiannya. Kemungkinan tersebut,

terlepas dari hal apakah kerugian terhadap berang bawaan yang berada

dalam pengawasan penumpang sendiri ditimbulkan oleh penumpang lain.

Jika terjadi hal yang demikian, memang pengangkut tidak bertanggung

jawab, akan tetapi penumpang tersebut, dapat menuntut ganti kerugian

berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai

perbuatan melawan hukum.25)

d. Strict liability (prinsip tanggung jawab mutlak)

Prinsip ini mengandung pengertian, bahwa secara yuridis, salah

atau tidak salah, pengangkut harus bertanggung jawab tanpa melihat ada

atau tidak adanya kesalahan atau tidak melihat siapa yang bersalah, atau

suatu prinsip tanggung jawab yang memandang kesalahan sebagai suatu

yang tidak relevan untuk dipermasalahan apakah pada kenyataannya ada

atau tidak ada.26)

e. Limitation of liability (prinsip pembatasan tanggung jawab)

Prinsip pembatasan tanggung jawab ini ada yang bersifat breakable

limit dan unbreakable limit. Breakable limit, artinya dapat dilampaui dan

tidak bersifat mutlak, dimana ganti rugi yang diberikan oleh pengangkut

masih dapat diterobos, atau ganti rugi yang dibayarkan masih boleh

25 Ibid,. hal. 23-24.26) Ibid., hal. 25-26.

11

melebihi jumlah yang dinyatakan, yaitu dalam hal kerugian disebabkan

oleh adanya perbuatan sengaja (willful misconduct) atau kelalaian berat

(gross negligence) dari pengangkut. Sedangkan unbreakable limit, artinya

tidak dapat dilampaui dengan alasan apapun. Hal ini berarti tanggung

jawab pengangkut dan ganti rugi yang harus dibayarkan tidak boleh

melebihi jumlah yang dinyatakan.27)

3. Ganti Kerugian Dalam Pengangkutan Udara

Saat ini ganti kerugian dalam kecelakaan penerbangan diatur dalam

Permenhub No. 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut

Angkutan Udara. Berkembangnya industri di bidang angkutan udara dewasa

ini berdampak pada semakin banyaknya maskapai penerbangan komersial

(airlines) di Indonesia. Banyaknya maskapai penerbangan ini salah satunya

menyebabkan semakin murahnya harga tiket pesawat yang hampir sama

dengan harga tiket angkutan darat, seperti kereta api sehingga pengguna jasa

angkutan udara (pesawat) dari tahun ke tahun semakin meningkat. Namun

sayangnya, hal tersebut belum diimbangi dengan adanya perlindungan

terhadap pengguna jasa angkutan udara, salah satu contohnya adalah

maraknya kasus delay dan kecelakaan pesawat. Banyak keluhan dan kritik dari

berbagai kalangan akibat kerugian yang dirasakan para pengguna angkutan

udara tersebut.

Oleh karena itu, dalam rangka memberikan perlindungan kepada

pengguna angkutan udara dan menjawab keluhan serta kritik berbagai

kalangan yang beranggapan bahwa selama ini penyelenggaraan jasa

penerbangan dirasakan sangat merugikan pengguna angkutan udara, maka

dikeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 77 Tahun 2011

tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara. Beberapa hal yang

menjadi dasar ditetapkannya Permenhub ini adalah amanah dari beberapa

pasal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.

27) Ibid., hal. 28-29.

12

Permenhub ini terdiri atas 10 Bab dan 29 Pasal serta Lampiran. Dalam

Permenhub ini diatur mengenai besaran yang diberikan bagi para pengguna

jasa angkutan udara. Adapun besaran yang telah ditentukan adalah:

1. Jumlah ganti rugi atas keterlambatan pesawat atau delay lebih dari 4 (empat) jam adalah Rp. 300.000,- per penumpang;

2. Jumlah ganti rugi bagi penumpang yang meninggal dunia di dalam pesawat karena kecelakaan adalah Rp. 1,25 milyar, jumlah yang sama juga diberikan kepada orang yang cacat tetap menurut ketentuan dokter dalam jangka waktu 60 hari;

3. Jumlah ganti rugi bagi penumpang yang mengalami kehilangan, musnah atau rusaknya bagasi tercatat diberikan penggantian sebesar Rp. 200.000,-/kg dan paling banyak Rp. 4.000.000,-/penumpang; dan

4. Jumlah ganti rugi untuk kehilangan kargo diganti Rp. 100.000,-/kg kepada pengirim dan jika mengalami kerusakan diberikan penggantian sebesar Rp. 50.000,-/kg.

Selain itu yang tidak kalah penting diatur dalam Permenhub ini adalah

mengenai batas tanggung jawab pengangkut angkutan udara. Batas tanggung

jawab pengangkut angkutan udara adalah:

1. Pada penumpang dimulai sejak penumpang meninggalkan ruang tunggu bandara menuju pesawat udara sampai dengan penumpang memasuki terminal kedatangan di bandara tujuan;

2. Pada bagasi tercatat dimulai sejak pengangkut menerima bagasi tercatat pada saat pelaporan (check-in) sampai dengan diterimanya bagasi tercatat oleh penumpang; dan

3. Pada kargo dimulai sejak pengirim barang menerima salinan surat muatan udara dari pengangkut sampai dengan waktu ditetapkan sebagai batas pengambilan sebagaimana tertera dalam surat muatan udara (airway bill).

Pada dasarnya, penerapan Permenhub ini diharapkan dapat mengatasi

persoalan keterlambatan atau delay penerbangan yang merugikan pengguna

jasa angkutan udara yang selama ini sudah sangat sering terjadi. Walaupun

keterlambatan atau delay penerbangan bisa disebabkan oleh beberapa faktor,

salah satunya adalah pertumbuhan angkutan udara tidak diimbangi dengan

pertumbuhan sarana dan prasarana bandara. Sebagai contohnya kadang

pesawat mengalami keterlambatan landing karena landasan/traffic di bandara

padat. Namun dalam hal ini masyarakat sebagai pengguna jasa angkutan udara

juga harus tetap dilindungi.

13

Pada Pasal 2 Permenhub No. 77 Tahun 2012, jenis tanggung jawab

pengangkut dan besaran kerugian menyatakan bahwa:

Pasal 2.

Pengangkut yang mengoperasikan pesawat udara wajib bertanggung jawab atas kerugian terhadap:a. penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka;b. hilang atau rusaknya bagasi kabin;c. hilang, musnah, atau rusaknya bagasi tercatat;d. hilang, musnah atau rusaknya kargo;e. keterlambatan angkutan udara; danf. kerugian yang diderita oleh pihak ketiga.

Pasal 3

Jumlah ganti kerugian terhadap penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a ditetapkan sebagai berikut:a. Penumpang yang meninggal dunia di dalam pesawat udara karena akibat

kecelakaan pesawat udara atau kejadian yang semata-mata ada hubungannya dengan pengangkutan udara diberikan ganti kerugian sebesar Rp 1.250.000.000,00 (satu miliar dua ratus lima puluh juta rupiah) per penumpang.

b. Penumpang yang meninggal dunia akibat suatu kejadian yang semata-mata ada hubungannya dengan pengangkutan udara pada saat proses meninggalkan ruang tunggu bandar udara menuju pesawat udara atau atau pada saat proses turun dari pesawat udara menuju ruang kedatangan di bandar udara tujuan dan/atau bandar udara persinggahan (transit) diberikan ganti kerugian sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) per penumpang.

c. Penumpang yang mengalami cacat tetap, meliputi:d. Penumpang yang dinyatakan cacat tetap total oleh dokter dalam jangka

waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak terjadinya kecelakaan diberikan ganti kerugian sebesar Rp 1.250.000.000,00 (satu miliar dua ratus lima puluh juta rupiah) per penumpang; dan

e. Penumpang yang dinyatakan cacat tetap sebagian oleh dokter dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak terjadinya kecelakaan diberikan ganti kerugian sebagaimana termuat dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

f. Cacat Tetap Total sebagaimana dimaksud pada huruf c angka 1 yaitu kehilangan penglihatan total dari 2 (dua) mata yang tidak dapat disembuhkan, atau terputusnya 2 (dua) tangan atau 2 (dua) kaki atau satu tangan dan satu kaki pada atau di atas pergelangan tangan atau kaki, atau kehilangan penglihatan total dari 1 (satu) mata yang tidak dapat

14

disembuhkan dan terputusnya 1 (satu) tangan atau kaki pada atau di atas pergelangan tangan atau kaki.

g. Penumpang yang mengalami luka-luka dan harus menjalani perawatan di rumah sakit, klinik atau balai pengobatan sebagai pasien rawat inap dan/atau rawat jalan, akan diberikan ganti kerugian sebesar biaya perawatan yang nyata paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) per penumpang.

Pasal 5

(1) Jumlah ganti kerugian terhadap penumpang yang mengalami kehilangan, musnah atau rusaknya bagasi tercatat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c ditetapkan sebagai berikut:a. Kehilangan bagasi tercatat atau isi bagasi tercatat atau bagasi tercatat

musnah diberikan ganti kerugian sebesar Rp 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) per kg dan paling banyak Rp 4.000.000,00 (empat juta rupiah) per penumpang; dan

b. Kerusakan bagasi tercatat, diberikan ganti kerugian sesuai jenisnya bentuk, ukuran dan merk bagasi tercatat.

(2) Bagasi tercatat dianggap hilang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila tidak diketemukan dalam waktu 14 (empat belas) hari kalender sejak tanggal dan jam kedatangan penumpang di bandar udara tujuan.

(3) Pengangkut wajib memberikan uang tunggu kepada penumpang atas bagasi tercatat yang belum ditemukan dan belum dapat dinyatakan hilang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebesar Rp 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) per hari paling lama untuk 3 (tiga) hari kalender.

Pasal 7

(1) Jumlah ganti kerugian terhadap kargo yang dikirim hilang, musnah atau rusak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d ditetapkan sebagai berikuta. Terhadap hilang atau musnah, pengangkut wajib memberikan ganti

kerugian kepada pengirim sebesar Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) per kg

b. Terhadap rusak sebagian atau seluruh sisi kargo atau kargo, pengangkut wajib memberikan ganti kerugian kepada pengirim sebesar Rp 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per kg.

c. apabila pada saat menyerahkan kepada pengangkut, pengirim menyatakan nilai kargo dalam surat muatan udara (airway bill), ganti kerugian yang wajib dibayarkan oleh pengangkut kepada pengirim sebesar nilai kargo yang dinyatakan dalam surat muatan udara.

(2) Krgo dianggap hilang setelah 14 (empat belas) hari kalender terhitung sejak seharusnya tiba di tempat tujuan.

Pasal 9

15

Keterlambatan angkutan udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf e terdiri dari:a. Keterlambatan penerbangan (flight delayed);b. tidak terangkutnya penumpang dengan alasan kapasitas pesawat udara

(denied boarding passenger); danc. pembatalan penerbangan (cancelation of flight)

Pasal 10

Jumlah ganti kerugian untuk penumpang atas keterlambatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a ditetapkan sebagai berikut:a. Keterlambatan lebih dari 4 (empat) jam diberikan ganti rugi sebesar Rp

300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) per penumpang;b. Diberikan ganti kerugian sebesar 50% (lima puluh persen) dari ketentuan

huruf a apabila pengangkut menawarkan tempat tujuan lain yang terdekat dengan tujuan penerbangan akhir penumpang (re-routing), dan pengangkut wajib menyediakan tiket penerbangan lanjutan atau menyediakan transportasi lain sampai ke tempat tujuan apabila tidak ada moda transportasi selain angkutan udara;

c. Dalam hal dialihkan kepada penerbangan berikutnya atau penerbangan milik Badan Usaha Niaga Berjadwal lain, penumpang dibebaskan dari biaya tambahan, termasuk peningkatan kelas pelayanan (up grading class) atau apabila terjadi penurunan kelas atau sub kelas pelayanan, maka terhadap penumpang wajib diberikan sisa uang kelebihan dari tiket yang dibeli.

Permenhub Nomor 77 Tahun 2011 di atas, merupakan suatu peraturan

perundang-undangan yang mengatur mengenai masalah penerapan ganti rugi

pada kecelakaan pesawat penerbangan yang berlaku di Indonesia.

4. Asuransi Penerbangan

Setiap kegiatan penerbangan tidak menutup kemungkinan terjadinya

risiko-risiko yang timbul yang menimbulkan kerugian bagi pihak pengangkut

dan penumpang. Untuk menghadapi hal tersebut, perusahaan angkutan udara

melakukan asuransi penerbangan untuk menanggung dan menutup risiko-

risiko tersebut.

Asuransi menurut Pasal 246 KUHD merupakan suatu perjanjian,

dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang

tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian

kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang

16

diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak

tertentu.

Menurut Martono, asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian

dengan mana seseorang penanggung dengan menerima premi dari tertanggung

untuk memberikan kepadanya santunan kerugian atau kerusakan atau

hilangnya keuntungan yang diharapkan oleh tertanggung karena sesuatu

peristiwa yang belum dapat dipastikan.28)

Dari definisi tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa asuransi

mengandung materi yaitu adanya suatu persetujuan/perjanjian, terdapat subyek

hukumnya, ada premi, ada ganti rugi, adanya peristiwa yang belum tentu

terjadinya atau onzekeker voorvaal.29) Subyek hukum disini adalah pihak-

pihak yang berkepentingan yang mendukung hak dan kewajiban dari

perjanjian asuransi. Pihak-pihak tersebut antara lain terdiri dari pihak

tertanggung yaitu orang atau badan yang mengasuransikan obyek asuransi,

sedangkan pihak penanggung yaitu perusahaan asuransi.

Dalam kegiatan penerbangan apabila terjadi kecelakaan dapat

menimbulkan kerugian finansial yang sangat besar. Dengan demikian,

dibutuhkan adanya lembaga asuransi yang berani menanggung kerugian-

kerugian tersebut. Dibalik kemajuan besar yang dicapai oleh industri

penerbangan saat ini, salah satu pendorongnya adanya lembaga asuransi

penerbangan yang mampu memberikan jaminan finansial atas semua kerugian

yang diderita perusahaan penerbangan.

Dalam perkembangan asuransi penerbangan di Indonesia, karena

cabang asuransi ini masih baru, apabila ditinjau dari segi pengaturannya

sampai saat ini belum ada ketentuan-ketentuan khusus mengenai asuransi

penerbangan.30)

28) K. Martono, Hukum Udara, Angkutan Udara, dan Hukum Angkasa, (Bandung: Alumni, 1987), hal. 126.29) Moch. Chidir Ali Mashudi, Hukum Asuransi, (Bandung: Mandar Maju, 1998), hal. 4.

30) Saefullah Wiradipradja dan Mieke Komar Kantaatmadja. Hukum Angkasa dan Perkembangannya, (Bandung: Remadja Karya 1988), hal.134.

17

Menurut Saefullah Wiradipradja dan Mieke Komar Kantaatmadja,

jenis-jenis asuransi penerbangan dibedakan menjadi:31

1) Penutupan asuransi yang dilakukan oleh operator, pengangkut, atau

pemilik pesawat udara.

Dalam hal ini, jenis asuransi dapat berupa :

a. Asuransi rangka pesawat (hull insurance)

Asuransi ini ialah jaminan ganti rugi atas risiko yang dihadapi pesawat

udara baik pada waktu on ground (pesawat udara sedang berada di

darat dalam keadaan diam), taxying (pesawat mengadakan gerakan-

gerakan lambat misalnya ketika pesawat mengambil posisi untuk

diparkirkan), mooring (pesawat dapat terapung diatas air dalam

keadaan diam), maupun in flight (sejak pesawat udara dengan

kekuatannya memulai untuk terbang, selama di udara, sampai ketika

pesawat berhenti mendarat).

b. Asuransi loss of use (loss of use insurance)

Asuransi ini menutupi kemungkinan adanya kerugian sebagai akibat

kehilangan keuntungan yang seharusnya diperoleh, misalnya hilangnya

keuntungan sebagai akibat adanya kecelakaan maka pesawat harus

diperbaiki dan untuk beberapa lama pesawat tidak dioperasikan.

c. Asuransi tanggung jawab pengangkut kepada penumpang dan bagasi

penumpang

Asuransi ini menanggung kerugian pengangkut sebagai akibat

tanggung jawabnya kepada penumpang beserta bagasinya.

d. Asuransi tanggung jawab pengangkut terhadap pihak ketiga (third

party legal liability insurance)

Asuransi ini menanggung kerugian pihak pengangkut sebagai akibat

dari tanggung jawabnya kepada pihak ketiga di permukaan bumi. Yang

dimaksud dengan pihak ketiga adalah pihak yang tidak termasuk di

dalam perjanjian pengangkutan.

31) Ibid, hal. 134-138

18

e. Asuransi awak pesawat (crew insurance)

Pihak pengangkut juga mempunyai tanggung jawab terhadap para

awak pesawat yang bekerja untuk dan atas nama pengangkut atau

perusahaan penerbangan, yaitu untuk menanggung kerugian karena

meninggalnya atau luka-lukanya para awak pesawat yang

menyebabkan para awak tidak dapat bekerja.

f. Asuransi pembajakan pesawat udara (hijacking insurance)

Asuransi ini menanggung kerugian karena peristiwa pembajakan yang

terjadi dan menimbulkan kerugian material yang cukup besar.

2) Asuransi tanggung jawab pengelola pelabuhan udara (airport owner /

operator liability insurance).

Pengelola pelabuhan udara mempunyai risiko yang cukup besar karena

tanggung jawabnya terhadap para pemakai jasa pelabuhan udara, baik

orang-orang, pesawat-pesawat udara, maupun barang-barang yang berada

di bawah pengawasan pihak pengelola pelabuhan udara.

3) Asuransi tanggung jawab pengusaha pabrik pesawat dan bengkel

reparasinya (product liability insurance).

Pihak pengusaha pabrik pesawat udara dan bengkel reparasinya

mempunyai tanggung jawab hukum atas semua barang hasil produksinya.

Kesalahan-kesalahan dalam pembuatan pesawat (faulty design) atau

kesalahan-kesalahan dalam pemakaian suku cadang dapat menyebabkan

kecelakaan-kecelakaan pesawat.

4) Asuransi-asuransi yang ditinjau dari segi penumpang, pemilik kargo dan

paket pos.

Pengangkut telah mengasuransikan tanggung jawabnya kepada

penumpang, kargo, dan paket pos. Selain itu, penumpang sendiri dapat

mengadakan penutupan asuransi untuk dirinya. Untuk keperluan itu,

penumpang akan mendapat kupon asuransi (insurance coupon) sehingga

ada kemungkinan penumpang memiliki tiga polis asuransi yaitu polis

asuransi jiwa, polis asuransi kecelakaan diri, dan kupon asuransi.

19

Asuransi banyak membantu meringankan risiko atas tanggung jawab

perusahaan penerbangan, yaitu dengan menutup risiko-risiko yang berkenaan

dengan pengangkutan barang dan penumpang. Mengingat biaya-biaya

menyangkut cara-cara pengangkutan ini dan kerugian berskala besar yang

mungkin timbul dalam kegiatan penerbangan, maka asuransi merupakan suatu

keharusan guna melindungi pengangkut.

Dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 1992 terdapat ketentuan

mengenai kewajiban untuk menutup asuransi yaitu antara lain :

1. Pasal 47 Undang-Undang No. 15 Tahun 1992, yang menyebutkan bahwa

setiap orang atau badan hukum yang mengoperasikan pesawat udara wajib

mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam pasal

43 dan Pasal 44 ayat 1.

2. Pasal 48 Undang-Undang No. 15 tahun 1992, yang menyebutkan bahwa

setiap orang atau badan hukum yang mengoperasikan pesawat udara wajib

mengasuransikan awak pesawat udara yang dipekerjakannya.

Pengaturan mengenai asuransi yang terkait dengan penumpang yaitu

terdapat pula dalam Undang-Undang No. 33 Tahun 1964 tentang Dana

Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang dan Peraturan Pemerintah

No.17 Tahun 1965 tentang Ketentuan-Ketentuan Pelaksanaan Dana

Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang (lebih dikenal dan dilaksanakan

oleh PT. Asuransi Kerugian Jasa Raharja).

Dalam Pasal 3 ayat 1a Undang-Undang No. 33 Tahun 1964

menyebutkan bahwa tiap penumpang yang sah dari kendaraan bermotor

umum, kereta-api, pesawat terbang, perusahaan penerbangan nasional dan

kapal perusahaan perkapalan/pelayaran nasional, wajib membayar iuran

melalui pengusaha/pemilik yang bersangkutan untuk menutup akibat

keuangan disebabkan kecelakaan penumpang dalam perjalanan. Mengenai tata

cara pembayaran terdapat dalam Pasal 3 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 17

Tahun 1965 yang menyebutkan setiap penumpang harus membayar iuran

wajib yang yang harus dibayar bersama dengan pembayaran biaya

pengangkutan penumpang (tiket) kepada pengusaha alat angkutan penumpang

20

umum yang bersangkutan. Dalam hal ini, iuran wajib dikatakan sebagai premi,

dan besarnya premi tersebut ditentukan oleh Menteri. Ketentuan ini berlaku

untuk tiap penumpang yang sah dari kendaraan bermotor umum, kereta-api,

pesawat terbang, perusahaan penerbangan nasional dan kapal perusahaan

perkapalan/pelayaran nasional.

Asuransi ini dibuat untuk menanggung risiko penumpang apabila

dalam melakukan perjalanan dengan alat transportasi mengalami kecelakaan.

Risiko yang ditanggung dalam asuransi wajib kecelakaan penumpang ini yaitu

selama penumpang berada di dalam alat angkutan untuk jangka waktu saat

penumpang naik kendaraan yang bersangkutan di tempat berangkat dan saat

turunnya dari kendaraan tersebut di tempat tujuan. Apabila terjadi

musibah/kecelakaan dalam perjalanan, maka penumpang akan mendapatkan

ganti rugi dari perusahaan asuransi yang telah ditunjuk oleh pemerintah.

F. Metode Penelitian

Pada penulisan Metode Penelitian Hukum ini, digunakan metode

penelitian hukum normatif.32) Metode penelitian hukum normatif adalah

penelitian hukum yang didasarkan pada literatur atau studi dokumen yang

diambil dari bahan-bahan pustaka atau yang dikenal dengan library research.

Bahan dalam penulisan ini terdiri dari 2 (dua) yaitu bahan hukum dan bahan

non hukum. Adapun bahan-bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan

ini meliputi:

1. Bahan-bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan

berlaku umum. Dalam hal ini bahan-bahan hukum yang digunakan penulis

adalah peraturan perundang-undangan sebagai berikut :

a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.

b. Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 tentang

Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara

2. Bahan-bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer. Dalam hal bahan hukum

32) Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), hal. 141

21

sekunder yag digunakan penulis adalah buku-buku atau literatur-literatur

yang berhubungan dengan penelitian ini, khususnya tentang asuransi dan

pengangkutan.

3. Bahan-bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

Dalam hal ini bahan hukum tersier yang digunakan penulis yaitu dan

kamus hukum.

Selain bahan hukum di atas, dalam penulisan ini juga terdapat bahan-

bahan nonhukum karena dianggap perlu. Bahan nonhukum tersebut seperti

Kamus Besar Bahasa Indonesia, jurnal, hasil penelitan dan disiplin ilmu

lainnya sepanjang mempunyai relevansi dengan objek permasalahan yang

akan diteliti. Bahan-bahan nonhukum tersebut untuk memperluas wawasan

peneliti dan/atau memperkaya sudut pandang peneliti.33)

Bahan-bahan non hukum yang dipergunakan dalam penulisan ini

meliputi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan hasil wawancara kepada

praktisi hukum penerbangan dan pihak terkait seperti kepada Ketua Umum

Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), pihak PT. Trimarga dan lain-lain.

Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan

pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek

mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Macam-macam

pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah:34)

1. Pendekatan undang-undang (statute approach)

2. Pendekatan kasus (case approach)

3. Pendekatan historis (historical approach)

4. Pendekatan komparatif (comparative approach)

5. Pendekatan konseptual (conceptual approach)

Penelitian yang dilakukan oleh penulis lebih ditujukan kepada

pendekatan undang-undang. Pendekatan undang-undang ini dilakukan dengan

33) Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal.57.

34) Ibid., hal. 93

22

cara melakukan telaah terhadap Permenhub No. 77 Tahun 2011 yang

berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan.35)

G. Sistematika Penulisan

Penelitian ini disusun secara sistematika dan dibagi menjadi 5 (lima) bab,

yakni sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini akan dikemukakan latar belakang, pokok permasalahan,

tujuan penulisan, kegunaan penulisan, kerangka konseptual, metode

penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : KERANGKA TEORETIS

Bab ini diuraikan tentang teori-teori yang berhubungan dengan

penulisan ini diantaranya yaitu macam pengangkutan yang

didalamnya diuraikan mengenai istilah pengangkutan, macam-macam

angkutan. Selanjutnya diuraikan mengenai prinsip-prinsip tanggung

jawab pengangkut, ganti kerugian dalam pengangkutan udara baik

menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 maupun Permehub

Nomor 77 Tahun 2011 dan terakhir diulas mengenai asuransi.

BAB III : DATA HASIL PENELITIAN

Bab ini diuraikan tentang profil pesawat Sukhoi SJ-100, kronologi

kasus kecelakaan Sukhoi SJ-100, data wawancara mengenai

pemberian ganti kerugian kepada penumpang yang turut menjadi

korban pada penerbangan joy flight Sukhoi SJ-100.

BAB IV : ANALISIS

Bab ini diuraikan mengenai jawaban atas permasalahan tentang

pertanggungjawaban pihak operator Sukhoi kepada penumpang yang

turut menjadi korban pada penerbangan joy flight Sukhoi SJ-100 dan

implementasi Permenhub No. 77 Tahun 2011 yang dijadikan sebagai

dasar tuntutan kepada pihak Sukhoi dalam pemberian santunan kepada

ahli waris korban kecelakaan Sukhoi SJ-100.

35 ) Ibid, hal. 94

23

BAB V : PENUTUP

Dalam bab ini penulis akan memberikan kesimpulan atas pembahasan

dari permasalahan dan saran yang diharapkan dapat menjadi

pertimbangan pemikiran untuk penyelesaian permasalahan.

24

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Muhammad, Abdulkadir. Arti Penting dan Strategis Multimoda Pengangkutan Niaga di Indonesia, Dalam Perspektif Hukum Bisnis di Era Globalisasi Ekonomi. (Yogyakarta: Penerbit Genta Press, 2007).

Fakultas Hukum. Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, (Jakarta: Peraturan Dekan FH-Untar No.015-D/FH-UNTAR/II.2011, 2011), Lampiran 2.

Kamaluddin, Rustian. Ekonomi Transportasi: Karekteristik, Teori dan Kebijakan. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003).

Mamuji, Sri dan Soerjono Soekanto. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. (Jakarta: Raja Grafindo,1995).

Martono, K. Hukum Udara, Angkutan Udara, dan Hukum Angkasa. (Bandung: Alumni, 1987).

Mashudi, Moch. Chidir Ali. Hukum Asuransi. (Bandung: Mandar Maju, 1998).

Ningrum. Lestari Usaha Perjalanan Wisata Dalam Perspektif Hukum Bisnis. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004).

Nurbaiti, Siti. Hukum Pengangkutan Darat (Jalan dan Kereta Api. (Jakarta : Pusat Studi Hukum Transportasi dan Telekomunikasi Fakultas Hukum Universitas Trisakti, 2007).

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press,1986).

Suherman, E. Tanggung Djawab Pengangkut Dalam Hukum Udara Indonesia. (Bandung: Eresco, 1962).

Wahab, Solichin Abdul. Analisa Kebijakan : Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997).

Wiradipradja, Saefullah dan Mieke Komar Kantaatmadja. Hukum Angkasa dan Perkembangannya. (Bandung: Remadja Karya 1988).

25

B. Peraturan Perundang-Undang

Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4956).

________. Peraturan Menteri Perhubungan No.77 Tahun 2011 tentang Tanggungjawab Pengangkut Angkutan Udara, (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 486)

C. Artikel, Makalah, Berita Internet

Anonim. “Pembuatan SUKHOI SJ 100 - Sejarah Sukhoi Superjet 100 - Sukhoi Superjet 100”, http://www.jadilah.com/2012/05/pembuatan-sukhoi-sj-100.html, diakses 8 Juli 2012.

________. Proyek Prestisius Rusia Terjerembab di Gunung Salak” Mei 11, 2012 http://indopremiernews.wordpress.com/tag/kecelakaan-pesawat-sukhoi-superjet-100/, diunduh 12 Juni 2012.

Bintang, Tengku. “Joy flight Bahaya Gadis Cantik dan Pilot Yang Ramah” http://lifestyle. kompasiana.com/catatan/2012/05/11/joy-flight-bahaya-gadis-cantik-dan-pilot-yang-ramah/, diunduh, 8 Juli 2012.

Kuwado, Fabian Januarius dan A. Wisnubrata, “Jumlah Penumpang Sukhoi Ternyata 47 Orang”, Kompas.com, Kamis, 10 Mei 2012, http://nasional.kompas.com/read/2012/05/10/ 1209041/Jumlah. Penumpang.Sukhoi.Ternyata.47.Orang, diakses 12 Juni 2012.

Martono, K. “Pilot Berkuasa Penuh”, hasil wawancara wartawan Harian Umum Suara Karya, Syamsuri S dan Andry Bey Roesmanto dengan pakar hukum penerbangan, Prof Dr K Martono SH LLM di Jakarta, Sabtu 19 Mei 2012, http://www.suarakarya-online.com/news.html?id =303588, diunduh 29 Juni 2012.

Yozami, M. Agus. “DPR Cecar Menhub Soal Tragedi Sukhoi”, http://www.hukumonline.com/ berita/baca/lt4fc3ab1271edf/dpr-cecar-menhub-soal-tragedi-sukhoi, diunduh 29 Juni 2012.

26

IMPLEMENTASI PERMENHUB NO. 77 TAHUN 2011 SEBAGAI DASAR TUNTUTAN GANTI KERUGIAN PADA KASUS KECELAKAAN PENERBANGAN JOY

FLIGHT SUKHOI SJ-100

Oleh :

Nama: IMAM BUKHORI

JAKARTAMEI, 2013

27