Upload
others
View
12
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
IMPLEMENTASI CARA PEMBUATAN OBAT TRADISIONAL YANG
BAIK (CPOTB) DENGAN PERANCANGAN ULANG TATA LETAK
FASILITAS PRODUKSI PADA PT. GUJATI 59 UTAMA
Oleh :
RIRIN DWI ARIYANI
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
IMPLEMENTASI CARA PEMBUATAN OBAT TRADISIONAL YANG
BAIK (CPOTB) DENGAN PERANCANGAN ULANG TATA LETAK
FASILITAS PRODUKSI PADA PT. GUJATI 59 UTAMA
Oleh
RIRIN DWI ARIYANI
135040107111001
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
Gelar Sarjana Pertanian Strata Satu (S-1)
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
JURUSAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
iii
KETERANGAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi,
dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam
naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Malang, Juli 2017
Ririn Dwi Ariyani
135040107111001
iv
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 10 Juni 1995 di Kota Jakarta, Putri dari Bapak
Setiyono dan Ibu Suyutiah. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara.
Penulis memulai pendidikan dari Taman Kanak – kanak Yayasan Binong Permai
lalu melanjutkan Pendidikan Sekolah Dasar (SD) di SD Yayasan Binong Permai,
kemudian penulis melanjutkan pendidikannya pada tahun 2007 sampai 2010 pada
Sekolah Menengah Pertama di SMP Nusantara 1 Tangerang dan dilanjutkan
pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Negeri 5 Tangerang. Pada
tahun 2013 penulis melanjutkan pendidikan Strata-1 (S1) di Universitas Brawijaya
Malang melalui jalur SPMK dengan mengambil program studi Agribisnis Fakultas
Pertanian. Selama menjadi mahasiswa, penulis cukup aktif dalam mengikuti
kegiatan – kegiatan panitia dan organisasi luar kampus. Pada tahun 2015, penulis
menjadi salah satu perwakilan volunteer Indonesia yang bergerak dibidang
Pendidikan selama 2 bulan di Thailand.
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dari berbagai pihak. Peneliti
secara khusus mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu.
Peneliti banyak menerima bimbingan, petunjuk, serta motivasi baik bersifat moral
maupun material. Pada kesempatan ini peneliti menyampaikan rasa terima kasih
yang mendalam kepada:
1. Allah SWT dengan segala rahmat serta karunia-Nya yang memberikan
kekuatan dan petunjuk bagi peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.
2. Kedua orang tercinta yang selama ini telah membantu peneliti dalam perhatian,
kasih sayang, semangat dan doa yang tidak henti – hentinya dipanjatkan demi
kelancaran dan kesuksesan peneliti dalam menyelesaikan skripsi. Kemudian
terima kasih kepada kakakku tercinta Octariangga Eko Prasetyo dan Anna
Istiqomah yang tak henti – hentinya memberikan semangat kepada peneliti.
3. Yoas Marc Pamungkas selaku kakak pembimbing yang telah memimbing serta
memberikan petunjuk dan bantuan kepada peneliti untuk menyelesaikan skripsi
ini.
4. Teman – teman seperjuangan skripsi tata letak dimulai dari awal penyusunan
skripsi hingga ujian akhir, Nurul Avidhiasari dan Rafida Mahmudah.
5. Sahabat – sahabat yang setia menemani dalam penyusunan skripsi hingga ujian
akhir, Filianto Muhammad, Syifa Aulia Gany, Stella Oktavia, Andytiara
Puspitasari, David Heriyanto Saputra, Lailatul Ni’Matus, Rizki Amelia
Magriani, Yunia Desy Anuari, Dinda Sayu Safitri, Febrianti Arifiani, Aditya
Mulyo, Idris Asyarif, Althea Jayanti, Ribhi Bansir, Luh Putu Pusparini, IS.
Terima kasih telah menjadi sahabat terbaik peneliti yang selalu memberikan
dukungan, semangat serta motivasi hingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi
ini dengan baik.
6. Serta pihak – pihak lain yang sangat berpengaruh dalam proses penyelesaian
skripsi ini yang tidak dapat peneliti sebuat satu per satu.
Semoga Allah SWT senantiasa membalas semua kebaikan yang telah
diberikan dan semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak yang
membutuhkan.
vi
RINGKASAN
Ririn Dwi Ariyani. 135040107111001. Implementasi Cara Pembuatan Obat
Tradisional yang Baik (CPOTB) dengan Perancangan Ulang Tata Letak
Fasilitas Produksi pada PT. Gujati 59 Utama. Dibawah bimbingan Ir. Heru
Santoso H.S., SU
Jamu sebagai salah satu aset bangsa Indonesia memiliki potensi yang baik untuk
dikembangkan dan dipromosikan secara mendunia. Sisi lain keberhasilan dari
pengembangan potensi jamu, terdapat pula berbagai kendala yang dihadapi oleh
industri jamu nasional. Maraknya peredaran jamu illegal dalam kurun waktu 20
puluh terakhir yang mengandung Bahan Kimia Obat (BKO) membuat citra baik
akan pandangan terhadap jamu akan menurun. Disamping itu, standar jamu yang
harus oleh semua industri jamu yaitu Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik
(CPOTB) masih belum diterapkan oleh seluruh industri jamu di Indonesia.
Salah satu aspek CPOTB yang sering ditemukan masalah pada semua industri,
baik industri jamu maupun jenis industri lain adalah mengenai bangunan dan
fasilitas. Tata letak terkait akan aspek ini, karena tata letak mempunyai peranan
yang penting dalam menunjang kegiatan produksi agar menghasilkan biaya yang
optimal.
Tujuan dari penelitian adalah untuk menganalisa perkembangan CPOTB yang
telah diterapkan oleh PT. Gujati 59 Utama dan mengaitkan aspek bangunan dan
fasilitas dengan tata letak produksi jamu instan. Produk jamu Gujati memiliki
banyak varian dan merek sehingga peneliti memutuskan untuk fokus pada produk
jamu instan “Helios Susu”.
Analisa data dimulai dari adanya wawancara dengan pihak responden terpilih
untuk menarik informasi mengenai perkembangan CPOTB di PT. Gujati 59 Utama,
mengingat tidak semua karyawan paham akan standar CPOTB sehingga peneliti
memutuskan untuk melakukan wawancara dengan pihak Key Informan yaitu satu
orang Head of Quality Assurance dan satu orang Manajer Pabrik.
Sedangkan analisa tata letak fasilitas produksi dimulai dari kegiatan identifikasi
tata letak awal. Hal ini perlu dilakukan untuk mempertimbangkan dalam pemberian
rekomensasi tata letak usulan. Identifikasi tata letak awal ini membutuhkan data
seperti luas kebutuhan area per departemen, jarak penanganan bahan untuk
menyusun biaya penanganan bahan tata letak awal. Metode perbaikan tata letak
yang digunakan didalam penelitian ini adalah metode konvensional dan metode
CRAFT (dengan bantuan perangkat lunak WinQSB).
Adapun hasil akhir yang didapatkan dari penelitian ini mengenai implementasi
CPOTB yang ada pada Gujati adalah perkembangan CPOTB yang sudah masuk
dalam kategori baik dengan persentase 77.48%. Hal tersebut juga berlaku pada
keadaan tata letak fasilitas produksi jamu instan yang sudah baik. Hasil akhir yang
diperoleh baik konvensional maupun dengan perangkat lunak tidak menunjukkan
adanya perubahan departemen yang cukup besar. Penurunan biaya material
vii
handling yang dihasilkan dari metode konvensional tidak menunjukkan penurunan
biaya yang besar sedangkan hasil dari bantuan perangkat lunak tidak menunjukkan
adanya biaya pada perpindahan bahan sehingga tidak mengalami perubahan pada
tata letak.
Kesimpulan yang ada pada penelitian ini adalah masih adanya beberapa aspek
yang harus ditingkatkan penerapannya untuk menunjang kualitas dari produk jamu
tersebut. Selain itu, pada metode konvensional memperoleh hasil akhir biaya
penanganan bahan sebesar 1.095.566,16 rupiah. Sedangkan hasil akhir biaya
penanganan bahan pada bantuan perangkat lunak tidak menunjukkan perubahan
dengan biaya material handling awal. Dan kondisi lintasan perpindahan tata letak
awal dan baru masih sama yaitu Odd Angle.
Saran yang dapat diberikan pada penelitian ini adalah adanya peningkatan
standar CPOTB terhadap aspek – aspek yang masih belum dilaksanakan secara
optimal seperti salah satunya adalah aspek inspeksi diri, hal ini perlu dilakukan
demi menunjang kemajuan kualitas produk jamu sendiri. Selain itu, perlu adanya
perawatan khusus pada penanganan bahan yang melewati gudang simplisia yang
kotor untuk meminimalisir pencemaran mikroorganisme. Sementara itu, tata letak
fasilitas produksi dapat dilakukan perubahan departemen daerah gudang karena
dapat mempersingkat aliran bahan dan mengefisiensikan biaya serta waktu.
viii
SUMMARY
Ririn Dwi Ariyani. 135040107111001.Implementation of Proper Traditional
Medicine Production with Production Placement in PT. Gujati 59 Utama.
Dibawah bimbingan Ir. Heru Santoso H.S., SU
Traditional herb as one of the Indonesian cultural heritage has good potential
for developing and promoting in the international market. In the other side of
traditional herb’s benefit, there are some of obstacle which is gotten by national
traditional herb industry. Illegal trade of traditional herb already happened in the
last of 20 years that contain chemical substance in traditional herb itself. It can build
bad image for the benefit of traditional herb. Besides that, there is a standard that
should be fulfilled by every traditional herb industry. This standard can be called
“CPOTB (Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik) and the fact is only half of
traditional herb industry have fulfilled this standard.
One of the CPOTB’ aspect which almost often be found in every industry, even
it comes from traditional herb industry or the other industry is about building and
facility. Production placement can be related with this aspect because it has an
essential function for supporting production activity especially in optimum cost.
The main goals of this research are to analyze the implementation CPOTB in
PT. Gujati 59 Utama and find the relation between building and facility’s aspect
with instant traditional herbs facility production placement. Product of Gujati have
a lot of variants and brands. It makes the researcher decide to focus only in instant
traditional herb “Helios susu”
Data analyze is started by interviewing with the Key Informant to get some
information that have relation with implementation CPOTB in PT. Gujati 59
Utama. Remember that, not all of the employee don’t understand with CPOTB
standard so that researcher decide to have an interview only with Key informant
who really understand about CPOTB.
Meanwhile, production placement analyze is started from identification the
initial layout. It should be held because it helps for us to give consideration when
we will give production placement recommendation. Identification the initial layout
need some data such as room size in each of department, distance of material
handling for making initial layout material handling cost. For improvement
production placement, it uses two methods such as conventional method and
CRAFT method (software WinQSB).
Final result that be gotten from this research related on implementation CPOTB
in Gujati is already good with percentage 77.48%. it also be valid with the
production placement condition in instant production facility that already good.
Final result from the conventional method or CRAFT method not really show a big
change in department. Decreasing material handling cost that be gotten from
conventional method not really show big change, meanwhile the result from
CRAFT method has got nothing because it already optimum or good.
ix
The conclusions of this research are there should be an improvement in some
of CPOTB aspect for supporting the quality of traditional herb product Beside,
conventional method get the final result of material handling cost with amount
1.095.566,16 rupiah. Meanwhile, the final result of material handling cost from
CRAFT method doesn’t show a change with the initial material handling cost. And
the condition from the distance of initial and recommendation layout movement
still same, that is Odd Angle
The recommendations of this research are the improvement of CPOTB
standard should be gained especially in self inspection aspect for supporting quality
of traditional herb. Besides, there should be an special treatment for material
handling that passed dirty “simplisia” warehouse to minimize microorganism
contamination. Besides, production placement can do a change in warehouse area
because it can make the distance shorter and make it efficient from cost and time.
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal skripsi dengan judul
“Implementasi Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) dengan
perancangan ulang tata letak fasilitas produksi pada PT. GUJATI 59” dengan baik.
Proposal skripsi ini merupakan rancangan untuk melaksanakan penelitian dalam
rangka menyelesaikan tugas akhir bagi mahasiswa Strata 1 Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya.
Proposal skripsi ini dapat terselesaikan dengan adanya bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada:
1. Ir. Heru Santoso Hadi Subagyo, SU selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan arahan, waktu, dan motivasinya, yang diberikan dalam
penyusunan proposal skripsi ini.
2. Pihak-pihak lain yang ikut membantu dalam terselesainya proposal skripsi ini.
Penulis berharap semoga proposal skripsi ini dapat bermanfaat bagi civitas
akademika Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, PT.GUJATI 59 UTAMA,
masyarakat, serta pihak lain yang membutuhkan informasi terkait bahasan ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan proposal skripsi ini masih terdapat
banyak kekurangan. Oleh karena itu, saran yang bersifat membangun sangat penulis
harapkan demi perbaikan proposal ini.
Malang, Juli 2017
Penulis
xi
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PERSETUJUAN .................................... Error! Bookmark not defined.
LEMBAR PENGESAHAN ..................................... Error! Bookmark not defined.
RINGKASAN ....................................................................................................... vi
SUMMARY ........................................................................................................ viii
RIWAYAT HIDUP .................................................. Error! Bookmark not defined.
KATA PENGANTAR ........................................................................................... x
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiv
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xv
DAFTAR SKEMA ............................................................................................. xvi
I. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................... 4
1.3 Batasan Masalah .............................................................................................. 6
1.4 Tujuan Penelitian ............................................................................................. 6
1.5 Manfaat Penelitian ........................................................................................... 7
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 8
2.1 Tinjauan Peneliti Terdahulu ............................................................................ 8
2.2 Tinjauan Umum terhadap Jamu....................................................................... 9
2.3 Standar CPOTB ............................................................................................. 10
2.3.1 Tujuan dari CPOTB ............................................................................... 12
2.4 Deskripsi terhadap Manajemen Produksi dan Operasi .................................. 12
2.5 Tata Letak Pabrik .......................................................................................... 12
2.5.1 Tujuan Perencanaan dan Pengaturan Tata Letak Pabrik ........................ 13
2.5.2 Prinsip – prinsip dalam Perencanaan Tata Letak Fasilitas ..................... 14
2.5.3 Macam – macam tata letak pabrik ......................................................... 15
2.6 Aliran Bahan .................................................................................................. 18
2.6.1 Pemindahan Bahan (Material Handling)................................................ 18
2.6.2 Prinsip – prinsip pemindahan bahan ...................................................... 18
xii
2.6.3 Biaya Penanganan Bahan ....................................................................... 19
2.6.4 Pola Umum Aliran Bahan ...................................................................... 20
2.6.5 Analisis Perencanaan Aliran Bahan ....................................................... 22
2.6.6 Metode analisis aliran bahan .................................................................. 23
2.7 Jarak antar Fasilitas ....................................................................................... 25
2.8 Perbaikan Tata Letak dengan Metode Konvensional .................................... 26
2.9 CRAFT (Computerized Relative Allocation of Facilities Technique) .......... 27
III. KERANGKA KONSEP PENELITIAN .................................................... 29
3.1 Kerangka pemikiran ...................................................................................... 29
3.2 Hipotesis ........................................................................................................ 32
3.3 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ............................................ 32
IV. METODE PENELITIAN ............................................................................ 43
4.1 Pendekatan Penelitian .................................................................................... 43
4.2 Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................... 43
4.3 Teknik Penentuan Sample ............................................................................. 44
4.5 Teknik Analisis Data ..................................................................................... 44
4.5.1 Metode Analisis Implementasi CPOTB ................................................. 46
4.5.2 Identifikasi Tata Letak Awal.................................................................. 58
4.5.3 Analisis proses ....................................................................................... 60
4.5.4 Analisis aliran bahan .............................................................................. 64
4.5.5 Perbaikan tata letak fasilitas produksi .................................................... 69
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 73
5.1 Profil Perusahaan ........................................................................................... 73
5.1.1 Sejarah dan Perkembangan PT. Gujati 59 Utama .................................. 73
5.1.2 Visi dan Misi PT. Gujati 59 Utama ....................................................... 73
5.1.3 Deskripsi Produk Jamu .......................................................................... 74
5.1.4 Struktur Organisasi PT. Gujati 59 Utama .............................................. 74
5.1.5 Sistem Ketenagakerjaan PT. Gujati 59 Utama....................................... 80
5.2 Hasil ............................................................................................................... 82
5.2.1 Identifikasi Tata Letak Awal.................................................................. 82
5.2.2 Analisa Proses Produksi ......................................................................... 93
5.2.3 Analisa Aliran Bahan ............................................................................. 94
5.3 Pembahasan ................................................................................................. 103
5.3.1 Analisa Implementasi (CPOTB) pada PT. Gujati 59 Utama ............... 103
xiii
5.3.2 Analisa perbaikan tata letak menggunakan metode konvensional....... 120
5.3.3 Analisa perbaikan tata letak menggunakan metode CRAFT ............... 128
5.3.4 Perbandingan Hasil Konvensional dengan Perangkat Lunak .............. 135
5.3.5 Keterkaitan aspek Bangunan dan Fasilitas dengan Tata Letak….........137
VI. PENUTUP .................................................................................................. 140
6.1 Kesimpulan .................................................................................................. 140
6.2 Saran ............................................................................................................ 141
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 142
xiv
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
Teks
2.1 Tata Letak Product Layout ...................................................................................... 15
2.2 Tata Letak Fixed Position Layout ............................................................................ 16
2.3 Tata Letak Group Technology ................................................................................. 17
2.4 Tata Letak Process Layout ...................................................................................... 17
2.5 Pola Straight Line ................................................................................................... 20
2.6 Pola Serpentine ....................................................................................................... 21
2.7 Pola U - Shape ........................................................................................................ 21
2.8 Pola Circular ........................................................................................................... 21
2.9 Pola Odd Angle ....................................................................................................... 22
3.0 Page Setup Microsoft Visio ..................................................................................... 52
3.1 Penentuan Titik Koordinat tiap Departemen .......................................................... 52
3.2 Tata Letak Awal Fasilitas Produksi ........................................................................ 76
3.3 Activity Relationship Chart ..................................................................................... 84
3.4 Diagram Hubungan Aktivitas ............................................................................... 108
3.5 Aliran Jarak penanganan bahan usulan ................................................................. 111
3.6 Initial Layout Coordinat ....................................................................................... 114
3.7 Hasil Analisis Initial Layout ................................................................................. 115
3.8 Jarak Rectiliniear Final Layout ............................................................................ 116
3.9 Hasil Analisis Final Layout .................................................................................. 116
xv
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
Teks
1 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ......................................................... 33
2 Rincian kriteria dan penerapan CPOTB .................................................................... 47
3 Tingkat Penerapan CPOTB ........................................................................................ 50
4 Simbol – simbol dalam pembuatan peta proses operasi ............................................ 54
5 Contoh From To Chart .............................................................................................. 59
6 Departemen Bagian Produksi Jamu Instan ................................................................ 73
7 Departemen Bagian Produksi Jamu Serbuk ............................................................... 74
8 Fasilitas Pendukung Proses Produksi ......................................................................... 75
9 Luas Kebutuhan per area Jamu Instan ........................................................................ 77
10 Luas Kebutuhan per area Jamu Serbuk ...................................................................... 78
11 Luas Kebutuhan area Fasilitas Pendukung ................................................................. 79
12 Titik Koordinat Departemen Jamu Instan ................................................................. 80
13 Jarak antar Departemen Jamu Instan ........................................................................ 81
14 Depresiasi Alat Pemindahan Bahan .......................................................................... 85
15 Biaya Tenaga Kerja pembuatan Jamu Instan ............................................................. 86
16 Jarak Tempuh ............................................................................................................. 87
17 Biaya Penanganan Jamu Instan .................................................................................. 87
18 Peta Dari – Ke Biaya Penanganan Bahan .................................................................. 88
19 Peta Dari – Ke Outflow ............................................................................................. 88
20 Analisis Implementasi Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik ........................ 90
21 Skala Prioritas Pembuatan Jamu Instan .................................................................... 107
22 Jarak Penanganan Bahan Usulan ............................................................................. 110
23 Jarak Tempuh Usulan .............................................................................................. 111
24 Biaya Penanganan Bahan Usulan ............................................................................ 112
25 Input Data Tata Letak Produksi ............................................................................... 114
26 Biaya Penanganan Bahan WinQSB ......................................................................... 117
27 Perbandingan Tata Letak Awal dengan Metode Konvensional ............................... 118
28 Perbandingan Tata Letak Awal dengan Metode CRAFT ........................................ 118
xvi
DAFTAR SKEMA
Nomor Halaman
Teks
1 Kerangka Pemikiran .................................................................................................. 32
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan dari sisi ekonomi, keberadaan industri jamu telah
berkontribusi besar terhadap pendapatan nasional, penyediaan lapangan kerja, dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat (Wicaksena dan Subekti, 2013). Hal ini
karena ditunjang dengan keberadaan bahan baku milik sendiri di dalam negeri
dinilai mampu membawa kemajuan yang cukup signifikan dalam pertumbuhan
ekonomi di Indonesia mulai dari sektor hulu (pertanian) hingga sektor hilir seperti
perindustrian dan perdagangan. Hasil riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) menyebutkan bahwa Indonesia memiliki 30.000 spesies tanaman obat dari
total 40.000 spesies yang ada di seluruh dunia (Laporan Bank Indonesia, 2005).
Fakta ini belum membuat bangsa Indonesia tersadar untuk memaksimalkan
kelimpahan dari ketersediaan bahan baku yang tersedia karena saat ini Indonesia
hanya memanfaatkan sekitar 180 spesies sebagai bahan baku obat berbahan alam
dari sekitar 950 spesies yang berkhasiat sebagai obat. Realita ini juga
mengindikasikan bahwa Indonesia tidak memiliki ketergantungan impor dari segi
ketersediaan bahan baku pembuatan jamu.
Pertumbuhan pasar obat herbal di Indonesia memiliki perkembangan yang
cukup baik. Berdasarkan data dari Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian
RI (2011), tercatat hingga tahun 2010, nilai pasar obat herbal Indonesia telah
mencapai 10 triliun rupiah. Sementara jumlah industri di bidang obat tradisional
telah mencapai 1908 yang terdiri dari 79 Industri Obat Tradisional (IOT), 1413.
Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT) dan 416 Industri Rumah Tangga (PIRT).
Melihat dari adanya perkembangan ini maka potensi pengembangan jamu sangat
tinggi dan dapat masuk ke dalam pasar global dengan memaksimalkan secara
optimal pada economic dan business opportunities.
Dibalik keberhasilan yang telah tercapai, masih terdapat beberapa kendala
yang dihadapi oleh industri jamu nasional. Fakta yang terjadi dalam kurun dua
puluh tahun terakhir adalah maraknya terjadi peredaran jamu asing ilegal yang
mengandung Bahan Kimia Obat (BKO) sehingga berpotensi dalam pencemaran
perkembangan industri jamu nasional. Selain itu, akses jamu impor yang mudah
2
untuk memasuki pasar Indonesia menimbulkan dampak terhadap jamu nasional
dalam persaingan dan citra jamu terutama bagi industri skala kecil. Hal ini
dikarenakan kemampuan dan daya saing produk jamu dari usaha kecil untuk
mengimplementasikan standar Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik
(CPOTB) masih rendah. Berdasarkan data Kementrian Perindustrian Indonesia
(2012) dari total 1459 pengusaha jamu, hanya 41 pengusaha saja yang telah
memiliki sertifikat CPOTB sehingga mutu dan keamanan produk jamu nasional
harus lebih diperhatikan kembali.
Penerapan CPOTB merupakan kelayakan dasar untuk menerapkan sistem
jaminan mutu yang diakui dunia internasional sehingga diperlukan persyaratan
khusus terhadap produk jamu yang akan diedarkan, baik dalam skala nasional
maupun internasional. Tujuan dari CPOTB dapat dicapai dengan menelaah aspek
yang terkait dalam produksi dan pengendalian mutu. Menurut Badan Pengawas
Obat dan Makanan (BPOM) (2006), terdapat sebelas aspek yang perlu dipenuhi
sebagai persyaratan CPOTB yaitu manajemen mutu, personalia, bangunan dan
fasilitas, peralatan, sanitasi dan higiene, produksi, pengawasan mutu, inspeksi diri
dan audit mutu, dan penanganan keluhan terhadap produk, penarikan kembali
produk dan retur produk.
Selain terkait akan penerapan standar CPOTB, salah satu permasalahan yang
sering dijumpai dalam industri jamu dan agroindustri lain adalah mengenai tata
letak fasilitas produksi. Tata letak merupakan salah satu komponen yang terkait
dengan salah satu aspek standar CPOTB yaitu bangunan dan fasilitas pabrik.
Kenyataannya, tata letak fasilitas produksi adalah aspek yang penting dalam
menunjang kegiatan produksi sehingga tidak dapat ditinggalkan dalam
menjalankan ataupun mengembangkan usahanya. Menurut Heizer (2014) tata letak
adalah suatu keputusan yang menentukan efisiensi operasi dalam jangka panjang.
Perencanaan tata letak yang baik dapat berpengaruh terhadap output produksi,
efisiensi, dan efektivitas pemanfaatan ruangan, serta kepuasan dan keselamatan
kerja. Maka dari itu, diperlukan suatu perencanaan ataupun evaluasi tata letak
fasilitas produksi dengan harapan dapat mengefisiensikan proses produksi dari segi
biaya, waktu, tenaga kerja, dan lain – lain yang turut menunjang kegiatan produksi.
3
PT. Gujati 59 Utama merupakan salah satu industri jamu yang terletak di
Kabupaten Sukoharjo dan sudah berdiri sejak 14 tahun lalu silam. PT. Gujati 59
Utama merintis usahanya dari “home industry” dengan nama Perusahaan Jamu PJ
Gunung Jati dan saat itu masih berlokasi di Cirebon. Seiring berjalannya waktu, PJ
Gunung Jati telah mengalami perkembangan hingga mendapatkan pencapaian
perubahan status perusahaan dari Perusahaan Jamu (PJ) menjadi Perseroan Terbatas
(PT) di tahun 1996. Perubahan bentuk perusahaan menjadi perseroan terbatas
menjadikan pihak perusahaan juga mengambil keputusan untuk merubah nama
perusahaan menjadi PT. Gujati 59 Utama.
Semua industri jamu harus memenuhi standar khusus untuk menjamin
kualitas dan keamanan produk yang akan diedarkan pada masyarakat baik dalam
skala nasional maunpun internasional. Standar khusus yang harus dimiliki setiap
industri jamu adalah standar Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik
(CPOTB). PT. Gujati 59 Utama sebagai salah satu industri jamu yang maih
berkembang sudah menerapkan standar CPOTB dalam jaminan kualitas produk –
produk jamu Gujati sehingga pendistribusian produk mampu tersebar di wilayah
dari Sabang hingga Merauke. Selain itu, PT. Gujati 59 Utama telah dipercayai oleh
konsumen sebagai produsen jamu yang berkualitas dan mampu melindungi
konsumen dari adanya kandungan jamu yang berbahan kimia.
Bangunan dan fasilitas merupakan salah satu aspek CPOTB yang memiliki
keterkaitan dengan tata letak. Kondisi tata letak fasilitas produksi pada PT. Gujati
59 Utama masih perlu dilakukan adanya evaluasi dan perancangan ulang tata letak
untuk menunjang hasil ouput yang maksimal. Adanya kondisi perusahaan yang
berada disekitar pemukiman warga, kurang mendukung untuk dilakukan perluasan
pabrik sehingga perusahaan harus mengefisiensikan tata letak fasilitas produksi.
Menurut Wignjosoebroto (2003), didalam proses produksi lebih baik menghindari
adanya gerakan berbalik (back – tracking), gerakan memotong antar aliran (cross
movement), dan kemacetan dalam proses operasi (congestion) serta tidak
menghambat aliran bahan yang telah disesuaikan dengan rancangan jadwal
produksi.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, menarik minat
penulis untuk meneliti lebih dalam mengenai kondisi implementasi CPOTB dan
4
permasalahan tata letak produksi yang berada pada PT. Gujati 59 Utama dengan
judul Implementasi “Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik (CPOTB)”
dengan Perancangan Ulang Tata Letak Fasilitas Produksi pada PT. Gujati 59
Utama. Diharapkan dengan implementasi CPOTB dan perencanaan tata letak
mampu memperbaiki efisiensi produksi dan jaminan mutu produk jamu Gujati.
1.2 Rumusan Masalah
Aspek CPOTB pada bangunan dan fasilitas yang baik adalah dapat
menunjang aktivitas industri dapat berlangsung dengan aman dan efisien. Efisiensi
ini dapat diperoleh apabila perencanaan tata letak fasilitas produksi dapat
dikembangkan secara baik sehingga penekanan biaya produksi dapat berkurang dan
biaya tersebut dapat digunakan untuk pemenuhan kebutuhan yang lain. Tidak dapat
dipungkiri bahwa tata letak menjadi permasalahan yang sering ditemui dalam
industri jamu maupun agroindustri yang lain. Hal ini didukung dengan pernyataan
Yamit (2003), yang mengatakan bahwa perencanaan tata letak fasilitas yang
optimal juga akan mengurangi pemborosan pemakaian ruangan dan akan
memberikan manfaat penggunaan ruangan yang lebih efisien.
PT. Gujati 59 Utama sebagai salah satu industri jamu yang masih
berkembang, sudah memperoleh beberapa pencapaian baik. Perusahaan ini sudah
menerapkan standar CPOTB dalam menjalankan perusahaannya, yang memiliki
arti bahwa perusahaan ini telah memenuhi 11 aspek persyaratan standar CPOTB.
Namun pada kenyataannya, masih perlu beberapa hal yang perlu dikembangkan
pada penerapan standar CPOTB yang dapat membantu menunjang kemajuan
perusahaan. Seperti salah satunya dalam aspek personalia, pemenuhan aspek
personalia yang baik adalah mampu mengembangkan kemampuan dari individu
tenaga kerjanya agar lebih dapat memaksimalkan potensi dari kemampuan sumber
daya manusia pada perusahaan tersebut. Fakta yang terjadi pada perusahaan dalam
kegiatan survey sebelumnya, tidak semua tenaga kerja Gujati memperoleh pelatihan
tenaga kerja, karena tidak ada program khusus untuk pelatihan tenaga kerja di
perusahaan itu sendiri. Pelatihan tenaga kerja hanya dilakukan oleh beberapa
perwakilan tenaga kerja pada program diluar perusahaan, seperti pada kegiatan
seminar, workshop, dan lain – lain sehingga pelaksanaan pemenuhan standar
5
CPOTB masih dapat dikembangkan menjadi lebih baik lagi untuk menunjang
keberhasilan perusahaan.
Kondisi tata letak fasilitas produksi pada Gujati juga masih dapat dilakukan
perubahan perencanaan tata letak dengan mengevaluasi tata letak yang ada pada
sekarang ini. Kondisi tata letak pada ruang produksi masih dapat dirancang kembali
melihat dari jalur aliran bahan yang ada pada ruang produksi perusahaan Gujati.
Aliran bahan baku menuju ke ruang pemasakan jamu instan harus melalui jalur
yang cukup panjang, melewati beberapa ruangan bagian produksi karena ruang
pemasakan jamu instan terletak dipenghujung bagian ruang produksi. Aliran bahan
baku ini dapat diperbaiki dalam perencanaan tata letaknya supaya dapat menekan
biaya produksi sehingga kegiatan produksi dapat lebih berjalan secara efektif dan
efisien.
Adanya pengembangan dalam implementasi CPOTB dengan perancangan
tata letak diharapkan dapat mencapai tujuan menjaga kualitas dari produk dan
mengefisiensikan kegiatan produksi sehingga dapat memberi dampak
pengembangan prospek industri jamu terutama pada PT. Gujati 59 Utama. Apabila
prospek industri jamu semakin berkembang maka eksistensi produk jamu Indonesia
dapat diperhitungkan sebagai salah satu kekayaan Indonesia yang berkibar di dunia
Internasional dan penyumbang pendapatan nasional untuk bangsa Indonesia.
Berdasarkan uraian rumusan permasalahan diatas terdapat beberapa
pertanyaan peneliti yang dapat dikaji, sebagai berikut:
1. Bagaimana perkembangan implementasi CPOTB pada PT. Gujati 59 Utama?
2. Bagaimana kondisi aliran bahan pada tata letak fasilitas produksi pada PT. Gujati
59 Utama?
3. Bagaimana evaluasi dan perbaikan perencanaan tata letak fasilitas produksi pada
PT. Gujati 59 Utama agar dapat meminimalkan biaya produksi dan sesuai
sebagai rekomendasi dalam mewujudkan aspek bangunan dan fasilitas?
6
1.3 Batasan Masalah
Batasan masalah dari penelitian bertujuan untuk menghindari adanya
pembahasan yang tidak relevan dengan topik penelitian.
1. Penelitian dilakukan pada PT. Gujati 59 Utama pada bagian produksi jamu,
dari pengambilan bahan baku hingga pengemasan jamu
2. Penelitian pengembangan implementasi CPOTB mencakup 10 aspek dari
unsur CPOTB dan lebih fokus pada salah satu aspek CPOTB yaitu bangunan
dan fasilitas
3. Penelitian dalam menganalisa tata letak mencakup biaya penanganan bahan,
biaya tenaga kerja dan biaya depresiasi peralatan penangan bahan pada ruang
produksi
4. Tata letak yang diperbaiki hanya mencakup tata letak fasilitas produksi dan
atau penambahan fasilitas produksi
5. Penelitian tidak membahas mengenai akibat perubahan dan pemindahan tata
letak yang baru
6. Responden yang terlibat didalam penelitian ini merupakan responden yang
ahli atau mengerti mengenai perkembangan CPOTB dan kondisi tata letak
fasilitas produksi
7. Tata letak fasilitas produksi hanya terfokus pada departemen jamu instan
8. Produk yang dianalisis hanya jamu instan “Helios Susu”
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian mengenai Implementasi “Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang
Baik (CPOTB)” dengan perancangan ulang tata letak fasilitas produksi pada PT.
Gujati 59 Utama ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis perkembangan implementasi CPOTB pada PT. Gujati 59 Utama
2. Menganalisis kondisi aliran bahan pada tata letak fasilitas produksi pada PT.
Gujati 59 Utama
3. Menganalisis evaluasi dan perbaikan perencanaan tata letak fasilitas produksi
pada PT. Gujati 59 Utama agar dapat meminimalkan biaya produksi dan sesuai
sebagai rekomendasi dalam mewujudkan aspek bangunan dan fasilitas
7
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian mengenai Implementasi “Cara Pembuatan Obat
Tradisional Yang Baik (CPOTB)” dengan perancangan ulang tata letak fasilitas
produksi pada PT. Gujati 59 Utama antara lain:
1. Penelitian ini diharapkan memberikan informasi bagi perusahaan mengenai
pengembangan implementasi CPOTB dan kondisi tata letak aliran bahan serta
memberikan usulan perbaikan terhadap tata letak fasilitas produksi sehingga
mampu meminimalkan biaya produksi
2. Penelitian ini dapat berguna sebagai bahan pertimbangan pihak – pihak yang
berkaitan tentang pengambilan keputusan mengenai kebijakan yang diambil
untuk mengembangkan industri jamu terutama pada pengembangan
implementasi CPOTB dan perbaikan perencanaan tata letak fasilitas produksi
3. Penelitian ini dapat menambah sumber informasi bagi pembaca maupun peneliti
selanjutnya yang secara khusus mengambil pembahasan tentang implementasi
CPOTB dan perbaikan perencanaan tata letak fasilitas produksi.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Peneliti Terdahulu
Berdasarkan topik penelitian yang terkait dengan penerapan Cara Pembuatan
Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) dan tata letak fasilitas, penelitian terdahulu
bermanfaat untuk sebagai bahan evaluasi agar pencapaian hasil penelitan
sebelumnya dapat diperbarui dengan hasil penelitian yang baru. Terdapat beberapa
penelitian yang terkait seperti yang telah di teliti oleh Fudholi (2004) yang berjudul
“Evaluasi Penerapan Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik di industri obat
di Jawa Tengah”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana
penerapan CPOTB di IOT Jawa Tengah yang dapat menggambarkan kualitas obat
tradisional yang dihasilkan oleh IOT di Jawa Tengah. Didalam penelitian ini
menggunakan metode deskriptif evaluatif kualitatif dengan mengkaji tingkat
pelaksanaan CPOTB pada sejumlah IOT di Jawa Tengah. Hasil penelitian yang
didapat adalah penerapan pada IOT di Jawa Tengah secara umum sudah dilakukan
dengan baik dengan skor rata – rata 86,10.
Penelitian yang dilakukan Pamularsih (2015) meneliti tentang perbaikan tata
letak fasilitas yang berjudul “Usulan Rancangan Tata letak Fasilitas dengan
menggunakan metode Automated Layout Design Program (ALDEP) di Edem
Ceramic”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengurangi jarak perpindahan
antar fasilitas dan kemungkinan membangun sebuah galeri dengan merancang
ulang layout pabrik dan kantor. Alasan pemilihan metode ALDEP merupakan
metode yang menghasilkan tata letak baru tanpa memandang tata letak yang ada
(existing layout) dimana perancangan tata letaknya diawali dari empty layout.
Penelitian ini menerapkan metode kualitaif dan kuantitatif dalam menganalisis
aliran bahan, yaitu dengan Peta Hubungan Aktivitas (Activity Relationship Chart
atau ARC) dan From To Chart. Hasil dari penelitan perbaikan tata letak dengan
menggunakan algoritma ALDEP menghasilkan 7 alternatif rancangan dengan biaya
ongkos terkecil yang dihasilkan dari tata letak rekomendasi sebesar Rp 282.603
Penelitian yang dilakukan oleh Wahab (2010) meneliti tentang perbaikan tata
letak fasilitas yang berjudul “Perancangan Tata Letak Fasilitas menggunakan
BLOCPLAN”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengurangi biaya material
handling serta mengurangi aliran bahan dari back tracking. Alasan dari pemilihan
9
metode dengan bantuan software BLOCPLAN adalah perbaikan yang dilakukan
membutuhkan solusi awal yang baik atau dalam arti lain, ketika memulai perbaikan
tata letak, sebelumnya sudah mempunyai solusi awal sebagai acuan dalam
menyusun perbaikan tata letak. Hasil dari penelitan perbaikan tata letak dengan
menggunakan BLOCPLAN menghasilkan 10 alternatif rancangan dengan biaya
ongkos terkecil yang dihasilkan dari tata letak rekomendasi sebesar Rp 80.000.
Ketiga penelitian diatas memiliki persamaan dari penelitian terdahulu yaitu
mengangkat topik implementasi CPOTB dan perbaikan tata letak fasilitas, dengan
tujuan yang sama yaitu untuk mengetahui sejauh mana implementasi CPOTB pada
perusahaan dan menyusun perbaikan tata letak fasilitas produksi. Adapun
perbedaan dalam penelitian ini yaitu lokasi penelitian, waktu penelitian, keputusan
metode yang digunakan untuk penelitian dan penelitian ini menganalisis keterkaitan
aspek CPOTB “Bangunan dan Fasilitas” dengan kondisi tata letak produksi pada
PT. Gujati 59 Utama.
2.2 Tinjauan Umum terhadap Jamu
Pengertian jamu dalam Permenkes No.003/Menkes/Per/I/2010 adalah bahan
atau ramuan bahan yang berupa tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan
sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah
digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang
berlaku di masyarakat. Manfaat jamu sangat luas digunakan untuk mengobati
berbagai penyakit seperti: amandel, asam urat, batuk, bisul, biduran, bronkitis,
cacingan, campak, demam, diabetes, diare, disfungsi ereksi, epilepsi, gagal ginjal,
gatal-gatal, gusi berdarah, hepatitis, influenza, jerawat, kanker, keputihan, maag,
malaria, mimisan, osteoporosis, pegal linu, radang, sariawan, TB paru, wasir, dan
lain-lain (Dalimartha dan Adrian, 2013).
Jamu terbuat dari bahan alami contohnya tumbuhan. Beberapa spesies
tumbuhan yang banyak digunakan sebagai bahan baku jamu adalah jahe
(Zingiberaceae), kunyit (Curcuma domestica), lengkuas (Languas galanga),
kencur (Kaempferia galanga), lempuyang pahit (Zingiber amaricans), lempuyung
wangi (Zingiber aromaticum), temulawak (Curcuma xanthorrhiza), dan jahe
(Zingiber officinale) (Beers, 2013).
10
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa jamu merupakan
campuran bahan alami dari alam baik berupa tumbuhan, bahan hewan, bahan
mineral yang diolah sebagai pengobatan alami tanpa menimbulkan efek samping
yang berbahaya bagi kesehatan tubuh.
2.3 Standar CPOTB (Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik)
Menurut Agustina (2008) Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik
(CPOTB) meliputi seluruh aspek yang menyangkut pembuatan obat tradisional,
yang bertujuan untuk menjamin agar produk yang dihasilkan senantiasa memenuhi
persyaratan mutu yang telah ditentukan sesuai dengan tujuan penggunaannya. Mutu
produk tergantung dari bahan awal, proses produksi dan pengawasan mutu,
bangunan, peralatan dan personalia yang menangani.
Penerapan CPOTB merupakan persyaratan kelayakan dasar dalam penerapan
sistem jaminan mutu yang diakui dunia internasional. Maka dari itu, standar
CPOTB sangat penting untuk diterapkan sehingga menjadi nilai tambah bagi
produk jamu atau obat tradisional Indonesia sehingga mampu mempertahankan
eksistensi jamu di pasar nasional maupun internasional. CPOTB akan selalu
memfasilitasi industri jamu baik dalam skala besar maupun kecil sehingga
mengingat pentingnya CPOTB maka terdapat tahapan – tahapan yang terprogram
oleh pihak pemerintah. Adapun 10 aspek dari standar CPOTB menurut BPOM
(2006) tersebut adalah sebagai berikut:
1. Personalia
Sumber daya manusia sangat penting dalam pembentukan dan penerapan
sistem pemastian mutu yang ditunjang dengan sarana dalam kegiatan produksi.
2. Bangunan dan Fasilitas Pabrik
Bangunan dan fasilitas untuk pembuatan obat tradisional hendaklah memiliki
desain, konstruksi dan tata letak yang memadai
3. Sanitasi dan Higiene
Tingkat sanitasi dan higiene yang tinggi hendaklah diterapkan pada setiap
aspek pembuatan obat tradisional
11
4. Produksi
Dalam pembuatan obat tradisional hendaknya dilakukan dengan mengikuti
prosedur yang telah divalidasi dapat menjamin dalam menghasilkan obat
tradisional yang memenuhi spesifikasi yang ditentukan
5. Pengawasan Mutu
Pengawasan mutu adalah semua upaya pemeriksaan dan pengujian yang
dilakukan selama pembuatan untuk menjamin agar obat tradisional yang
dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan yang ditentukan.
6. Inspeksi Diri
Inspeksi diri adalah kegiatan yang dilakukan untuk menilai semua aspek, mulai
dari pengadaan bahan sampai dengan pengemasan dan penetapan tindakan
perbaikan yang dilakukan oleh semua personal industri obat tradisional
sehingga seluruh aspek pembuatan obat tradisional tersebut selalu memenuhi
CPOTB.
7. Dokumentasi
Dokumentasi sangat penting untuk memastikan bahwa setiap karyawan
mendapat instruksi secara rinci dan jelas mengenai bidang tugas yang harus
dilaksanakan sehingga memperkecil resiko terjadinya salah tafsir dan
kekeliruan yang biasanya timbul karena hanya mengandalkan komunikasi
lisan.
8. Penanganan Hasil Peredaran
Penarikan kembali produk adalah suatu proses penarikan kembali dari satu atau
beberapa bets atau seluruh bets produk tertentu dari peredaran.
9. Cara Penyimpanan dan Pengiriman Obat Tradisional yang baik
Penyimpanan dan pengiriman adalah bagian yang penting dalam kegiatan dan
manajemen rantai pemasokan produk yang terintegrasi.
10. Pembuatan dan Analisis berdasarkan kontrak
Pembuatan dan analisis berdasarkan kontrak harus dibuat secara benar,
disetujui dan dikendalikan untuk menghindarkan kesalahpahaman yang dapat
menyebabkan produk atau pekerjaan dengan mutu yang tidak memuaskan.
12
2.3.1 Tujuan dari CPOTB (Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik)
Menurut Suryadi (2003) Standar CPOTB (Cara Pembuatan Obat Tradisional
yang Baik) memiliki beberapa tujuan umum dan khusus agar pelaksanaannya dapat
lebih terarah dan sesuai dengan apa yang ingin dicapai. Adapun tujuan dari CPOTB
adalah sebagai berikut:
Tujuan umum dari CPOTB
1) Melindungi masyarakat terhadap hal – hal yang merugikan dari penggunaan obat
tradisional yang tidak memenuhi persyaratan mutu.
2) Meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk obat tradisional Indonesia
dalam era pasar bebas.
Tujuan khusus dari CPOTB
1) Dipahaminya penerapan CPOTB oleh para pelaku usaha industri di bidang obat
tradisional sehingga bermanfaat bagi perkembangan industri di bidang obat
tradisional.
2) Diterapkannya CPOTB secara konsisten oleh industri di bidang obat tradisional.
2.4 Deskripsi terhadap Manajemen Produksi dan Operasi
Menurut Heizer (2014) tata ruang atau tata letak adalah salah satu dari
keputusan utama yang menentukan efisiensi jangka panjang suatu operasi. Tata
ruang memiliki implikasi strategis karena dengan pengelolaan tata ruang yang baik
dapat menciptakan prioritas kompetitif sehubungan dengan kapasitas, proses,
fleksibilitas dan biaya. Suatu tata ruang yang efektif dapat membantu perusahaan
mencapai strategi yang menunjang diferensiasi, biaya rendah atau tanggapan.
Penjabaran tersebut dapat disimpulkan bahwa tata ruang atau tata letak memiliki
peran penting dalam keberhasilan produksi dalam jangka panjang, maka dari itu
perlu diperhatikan dalam penyusunan tata ruang yang efektif dan efisien.
2.5 Tata Letak Pabrik
Menurut Wignjosoebroto (2003) tata letak pabrik (plant layout) atau tata letak
fasilitas (facilities layout) dapat didefinisikan sebagai tata cara pengaturan fasilitas
– fasilitas pabrik guna menunjang kelancaran proses produksi. Pengaturan hal ini
mencakup bagaimana memanfaatkan luas area (space) untuk penempatan mesin
atau fasilitas penunjang produksi lainnya, kelancaran gerakan perpindahan
material, penyimpanan material (storage) baik yang bersifat temporer maupun
13
permanen, personal pekerja dan sebagainya. Istilah tata letak pabrik seringkali
dapat diartikan sebagai pengaturan peralatan/fasilitas produksi yang sudah ada (the
existing arrangement) ataupun bisa juga diartikan sebagai perencanaan tata letak
pabrik yang baru (the new plant layout).
Menurut Apple (1990) tata letak pabrik adalah suatu kegiatan yang
berhubungan dengan perancangan susunan unsur fisik dari industri manufaktur
dengan hasil pada penggambaran rancangan desain. Tujuan dari adanya
perencanaan tata letak ini adalah untuk mempertimbangkan jalur dari pemindahan
aliran bahan sehingga dapat menghasilkan hasil keluaran (output) yang diinginkan.
Hal ini didukung dengan pernyataan dari (Hadiguna dan Setiawan, 2008)
bahwa perancangan tata letak pabrik merupakan bagian perencanaan fasilitas.
Perencanaan fasilitas meliputi penentuan cara mendukung kegiatan produksi.
Sehingga berdasarkan beberapa pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa tata
letak pabrik adalah suatu gagasan dari adanya suatu perubahan dalam pengaturan
fasilitas pabrik dalam menunjang aktivitas produksi pada suatu perubahan sehingga
dapat meminimalkan penggunaan input dalam menghasilkan output yang
diharapkan.
2.5.1 Tujuan Perencanaan dan Pengaturan Tata Letak Pabrik
Secara garis besar tujuan utama dari tata letak pabrik adalah mengatur area
kerja dan segala fasilitas produksi yang paling ekonomis untuk operasi produksi
aman dan nyaman sehingga akan meningkatkan moral kerja dan performance dari
operator. Namun masih beberapa hal spesifik yang dapat diperoleh dari adanya
perencanaan dan pengaturan tata letak pabrik seperti menurut pendapat
Wignjosoebroto (2003), antara lain:
1. Menaikkan Output Produksi
Suatu tata letak yang baik akan memberikan nilai ouput secara lebih besar
dengan biaya yang sama atau lebih sedikit, manhours lebih kecil dan/atau
mengurangi jam kerja mesin (machine hours).
2. Mengurangi Waktu Tunggu (delay)
Pengaturan tata letak yang terkoordinir dan terencana baik akan dapat
mengurangi waktu tunggu (delay) yang berlebihan. Hal ini dikarenakan desain tata
14
letak pabrik bertanggung jawab dalam mengatur keseimbangan antara waktu
operasi dan beban dari masing – masing departemen atau mesin.
3. Mengurangi Proses Pemindahan Bahan (material handling)
Proses produksi ketika mengubah input menjadi output maka setidaknya akan
memerlukan aktivitas pemindahan (movement) satu dari tiga elemen dasar sistem
produksi yaitu: bahan baku, orang/pekerja, dan mesin atau peralatan produksi. Pada
beberapa kasus, biaya untuk proses pemindahan bahan baku bisa mencapai 30%
sampai 90% dari total biaya produksi. Melihat hal tersebut, maka perlu diadakan
perencanaan tata letak dalam menekankan desain pada aktivitas pemindahan bahan
saat proses produksi berlangsung. Hal ini dilakukan dengan beberapa alasan seperti:
➢ Biaya pemindahan bahan disamping cukup besar pengeluarannya juga akan ada
terus ada dari tahun ke tahun selama proses produksi berlangsung
➢ Biaya pemindahan bahan dengan mudah akan dapat dihitung dimana biaya ini
akan proporsional dengan jarak pemindahan bahan yang harus ditempuh dan
pengukuran jarak pemindahan bahan ini dapat dianalisa dengan memperhatikan
tata letak semua fasilitas produksi
Korelasi antara tata letak pabrik dengan pemindahan bahan akan selalu ada,
sehingga pada proses desain layout akan selalu dikaitkan untuk memberikan karak
pemindahan bahan seminimal mungkin.
4. Penghematan Penggunaan Areal Untuk Produksi, Gudang dan Service
Perencanaan tata letak yang optimal akan mencoba mengatasi segala
pemborosan – pemakaian ruangan dan berusaha untuk memperbaikinya.
5. Proses Manufakturing yang Lebih Singkat
Dengan mempersingkat jarak antara operasi satu dengan operasi berikutnya
dan mengurangi bahan yang menunggu serta storage yang tidak diperlukan maka
waktu yang diperlukan dari bahan baku untuk berpindah dari satu tempat ke tempat
lainnya dalam pabrik akan dapat dipersingkat sehingga secara total waktu produksi
akan dapat pula lebih efisien.
2.5.2 Prinsip – prinsip dalam Perencanaan Tata Letak Fasilitas
Menurut Wignjosoebroto (2003) berdasarkan aspek, tujuan dan keuntungan
– keuntungan yang akan didapatkan dari adanya perencanaan tata letak yang baik,
15
maka dapat disimpulkan enam tujuan dasar dalam tata letak pabrik, yaitu sebagai
berikut:
1. Integrasi secara menyeluruh dari semua faktor yang mempengaruhi proses
produksi.
2. Perpindahan jarak dengan seminimal mungkin
3. Aliran kerja berlangsung secara lancar melalui pabrik
4. Semua area yang ada dimanfaatkan secara efektif dan efisien
5. Kepuasan kerja dan rasa aman dari pekerja dapat terjaga sebaik – baiknya
6. Pengaturan tata letak harus cukup fleksibel
2.5.3 Macam – macam Tata Letak Pabrik
Menurut Wignjosoebroto (2003) terdapat empat macam/tipe tata letak yang
secara klasik umum diaplikasikan dalam desain lay – out yaitu:
1. Tata Letak Fasilitas berdasarkan Aliran Produksi (production line product
atau product lay – out)
Suatu metode pengaturan dan penempatan semua fasilitas produksi yang
diperlukan kedalam satu departemen secara khusus. Dengan arti lain, suatu produk
akan dapat dikerjakan hingga selesai didalam departemen tersebut tanpa perlu
dipindah – pindahkan ke departemen yang lain. Dapat ditarik kesimpulan bahwa
tujuan utama dari tata letak ini adalah untuk mengurangi proses pemindahan barang
(berkaitan dengan biaya) dan juga memudahkan pengawasan didalam aktivitas
produksinya.
Gambar 2.1 Tata Letak Product Lay Out
(Sumber: Wignjoseobroto, 2003)
GU
DA
NG
BA
HA
N B
AK
U
(MA
TE
RIA
L)
PR
OS
ES
PE
RA
KIT
AN
(A
SS
EM
BL
Y)
GU
DA
NG
PR
OD
UK
JA
DI
Mesin
Bubut
Mesin
Drill
Mesin
Gerinda
Mesin
Drill
Mesin
Press
Mesin
Pelengkung Mesin
Drill
Mesin
Perata
Mesin
Drill
Mesin
Bubut
Mesin
Perata
Mesin
Drill
16
2. Tata Letak Fasilitas berdasarkan Lokasi Material Tetap (fixed material
location lay – out atau fixed position lay – out)
Tata letak berdasarkan proses tetap, material atau komponen produk yang
utama secara menetap akan tinggal pada posisi atau lokasinya sedangkan fasilitas
produksi seperti tools, mesin, manusia serta komponen – komponen kecil lainny
akan bergerak menuju lokasi atau komponen produk utama tersebut.
Gambar 2.2 Tata Letak Fixed Position Lay Out
(Sumber: Wignjosoebroto, 2003)
3. Tata letak fasilitas berdasarkan kelompok produk (product famili, product lay
– out atau group technology lay – out)
Tipe tata letak berdasarkan kelompok produk didsasarkan pada
pengelompokan produk atau komponen yang akan dibuat. Pengelompokan tidak
didasarkan pada kesamaan jenis produk akhir melainkan dari persamaan keterkaitan
antar proses yang sama.
GU
DA
NG
BA
HA
BA
KU
(M
AT
ER
IAL
,
KO
MP
ON
EN
, S
PA
RE
PA
RT
S,
DL
L)
GU
DA
NG
PR
OD
UK
JA
DI
Mesin
Las
Mesin
Gerinda
Mesin
Keling
Mesin
Gergaji
Mesin
Gerinda
Fasilitas
Pengecatan
17
Gambar 2.3 Tata Letak Group Technology Lay Out
(Sumber: Wignjosoebroto, 2003)
4. Tata Letak Fasilitas berdasarkan Fungsi atau Macam Proses (functional atau
process lay – out).
Tata letak ini didasarkan pada pengelompokan pada mesin dan peralatan yang
mempunyai kesamaan ciri – ciri operasi sesuai dengan proses atau fungsi kerjanya.
Gambar 2.4 Tata Letak Process Lay Out
GU
DA
NG
BA
HA
N B
AK
U
GU
DA
NG
PR
OD
UK
JA
DI
Mesin
Bubut
Mesin
Drill
Mesin
Gerinda Perakit
an
Mesin
Perata
Pera-
kitan
Mesin
Las
Penge
-
catan
Mesin
Press Mesin
Bubut
Mesin
Drill
Mesin
Press
Mesin
Gerinda Mesin
Drill
Pera-
kitan
Mesin
Drill
Perakita
n
Mesin
Gerinda
GU
DA
NG
BA
HA
N B
AK
U
GU
DA
NG
PR
OD
UK
JA
DI
Mesin
Bubut
Mesin
Bubut
Mesin
Drill
Penge-
lasan
Penge-
lasan
Mesin
Bubut
Mesin
Bubut
Mesin
Drill
Penge-
catan
Penge-
catan
Mesin
Perata
Mesin
Perata
Mesin
Gerinda
Pera-
kitan
Mesin
Perata
Mesin
Gerinda
Pera-
kitan
(Sumber: Wignjosoebroto, 2003)
18
2.6 Aliran Bahan
Pengaturan departemen – departemen dalam sebuah pabrik didasarkan pada
aliran bahan diantara fasilitas – fasilitas produksi atau departemen – departemen
tersebut. Aliran bahan akan lebih ditekankan pada masalah aliran bahan dalam area
lokasi pabrik saja (Wignjosoebroto, 2003). Aliran bahan yang direncanakan dengan
baik merupakan dasar utama dalam perencanaan tata letak karena akan berdampak
pada aliran produksi yang dapat berlangsung secara lancar, aliran balik (back
tracking) dapat diminimalisir, dan pada akhirnya dapat meminimalkan biaya yang
harus dikeluarkan.
2.6.1 Pemindahan Bahan (Material Handling)
Menurut Hadiguna dan Setiawan (2008) sistem pemindahan bahan pada
dasarnya dirancang secara simultan dengan tata letak pabrik atau tata letak fasilitas.
Sistem pemindahan dapat didefinisikan sebagai mekanisme mengelola pemindahan
bahan dengan mempertimbangkan aspek ekonomis, ergonomis dan teknis. Adanya
pemindahan barang merupakan bagian sistem pengendalian produksi dan upaya
untuk mengurangi lead time.
Menurut Wignjosoebroto (2003) produktivitas yang tinggi akan dapat
diperoleh dengan cara mengatur aliran proses produksi secara efektif dan efisien.
Aliran dalam hal ini adalah yang meliputi pemindahan elemen – elemen produksi
(bahan baku/material, manusia, tools, dan lain – lain).
Prinsip dasar desain pemindahan bahan yaitu untuk meminimumkan kegiatan
pemindahan bahan, perencanaan secara teliti, pemilihan peralatan yang tepat dan
penggunaan peralatan yang efektif dan efisien (Yamit, 2003). Tujuan dari sistem
pemindahan bahan adalah untuk menjaga atau mengembangkan kualitas produk,
mengurangi kerusakan dan memberikan perlindungan terhadap material,
meningkatkan keamanan dan mengembangkan kondisi kerja, dan lain – lain
(Purnomo 2004).
2.6.2 Prinsip – prinsip Pemindahan Bahan
Terdapat beberapa prinsip material handling yang dijelaskan oleh Heragu
(2008) adalah sebagai berikut:
1. Planning adalah membangun rencana yang fleksibel dan relevan untuk masa
mendatang.
19
2. Standarization adalah melakukan standarisasi peralatan dan metode, jika
memungkinkan.
3. Work adalah ukuran suatu pekerjaan dapat dilihat dari aliran materialnya
(volume, berat atau jumlah waktu per unit).
4. Ergonomic adalah merancang peralatan dan metode dengan
memperhitungkan interaksi manusia dan mesin.
5. Unit Lood adalah sesuatu yang bisa disimpan dan dipindahkan seperti satu
entitas pada satu waktu, seperti pallet dan container.
6. Space Utilization adalah dalam material handling ada tiga dimensi dan
berikutnya dihitung dengan cubic space.
7. System adalah mengintegrasikan seluruh aktivitas dari receiving sampai
delivery.
8. Automation adalah teknologi yang berhubungan dengan aplikasi dari
peralatan elektro mekanikal, elektronik dan sistem yang berbasis komputer
untuk mengoperasikan dan mengontrol produksi dan aktivitas pelayanan.
9. Enviromental adalah keinginan untuk tidak mengurangi pekerja dan untuk
memprediksi dan mengeleminasi efek negatif yang mungkin terjadi pada
kegiatan sehari – hari dilingkungan.
10. Life Cycle Cost adalah keseluruhan aliran biaya yang didapatkan dari biaya
pertama yang digunakan untuk perencanaan atau mengadakan peralatan baru.
2.6.3 Biaya Penanganan Bahan
Biaya penanganan bahan menjadi salah satu permasalahan yang timbul dalam
tata letak fasilitas produksi. Apabila permasalahan ini dapat diatasi maka dapat
meminimalkan biaya serta waktu yang dikeluarkan dalam penanganan bahan.
Menurut Assauri (2008) terdapat beberapa hal yang melatarbelakangi terjadinya
inefisiensi biaya penanganan bahan, salah satunya adanya kelambatan aliran bahan.
Aliran bahan yang dikerjakan dalam produksi akan menambah biaya baik dalam
waktu pengerjaan maupun jumlah uamg yang dikeluarkan. Menurut Heizer (2014),
biaya penanganan bahan dipengaruhi oleh (1) jumlah bahan yang dipindahkan dari
satu departemen ke departemen lainnya; (2) biaya memindahkan bahan yang
berkaitan dengan jarak antar departemen. Adapun persamaan fungsi untuk biaya
penanganan bahan sebagai berikut:
20
𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑀𝑖𝑛𝑖𝑚𝑢𝑚 = ∑ ∑ 𝑋𝑖𝑗𝐶𝑖𝑗
𝑛
𝑗=1
𝑛
𝑖=1
Keterangan:
n = jumlah total stasiun kerja atau departemen
i,j = setiap departemen
Xij = jumlah beban yang dipindahkan dari departemen i ke departemen j
Cij = biaya untuk memindahkan beban antara departemen i dan j
2.6.4 Pola Umum Aliran Bahan
Menurut Wignjosoebroto (2003) terdapat dua macam aliran bahan yaitu pola
aliran bahan untuk proses produksi dan pola aliran bahan yang diperlukan untuk
proses perakitan. Adapun macam dari pola aliran bahan untuk proses produksi,
antara lain:
STRAIGHT LINE
Pola aliran berdasarkan garis lurus atau straight line secara umum digunakan
apabila proses produksi berlangsung singkat, relatif sederhana serta memiliki
beberapa macam production equipment.
Gambar 2.5 Pola Straight Line
(Sumber: Wignjoseobbroto, 2003)
SERPENTINE ATAU ZIG-ZAG (S-Shaped)
Pola aliran berdasarkan garis-garis patah ini sangat baik diterapkan apabila
proses produksi lebih panjang dibandingkan dengan luasan area yang tersedia.
1 2 3 4 5
21
Gambar 2.6 Pola Serpentine
(Sumber: Wignjosoebroto, 2003)
U-SHAPE
Pola aliran menurut U-Shaped ini digunakan apabila akhir dari proses
produksi akan berada pada lokasi yang sama dengan awal proses produksinya.
Gambar 2.7 Pola U-Shape
(Sumber: Wignjosoebroto, 2003)
CIRCULAR
Pola aliran berdasarkan bentuk lingkaran (circular) sangat baik dipergunakan
untuk mengembalikan material atau produk titik awal aliran produksi berlangsung.
Gambar 2.8 Pola Circular
(Sumber: Wignjoseobroto, 2003)
1 2 3
6 5 4
1 4 5
2 3 6
2
3
4
1
6
5
22
ODD-ANGLE
Pola aliran berdasarkan odd-angle ini tidak terlalu dikenal apabila
dibandingkan dengan pola – pola aliran yang lain. Odd-angle ini akan memberikan
lintasan yang pendek dan terutama akan bermanfaat pada area yang kecil.
Gambar 2.9 Pola Odd-angle
(Sumber: Wignjosoebroto, 2003)
2.6.5 Analisis Perencanaan Aliran Bahan
Menurut Wignjosoebroto (2003) untuk mengevaluasi alternatif perencanaan
tata letak departemen (departement layout) atau tata letak fasilitas produksi
(faciliters layout atau machine layout) maka diperlukan aktivitas pengukuran aliran
bahan dalam sebuah analisa teknis.
Analisa konvensional secara umum digunakan selama bertahun – tahun,
realtif mudah untuk digunakan, dan cara ini akan berbentuk gambar grafis. Ada
beberapa teknik konvensional yang umum dipakai dalam proses perencanaan aliran
bahan antara lain:
1. Process Chart (Peta Proses)
Peta proses secara umum dapat didefinisikan sebagai gambar grafik yang
menjelaskan setiap operasi yang terjadi selama manufakturing. Jumlah dari tahapan
proses yang harus dilalui akan tergantung pada bagaimana kompleksitas dari
produk yang harus dibuat.
2. Flow Process Chart (Peta Aliran Proses)
Pada peta aliran proses semua aktivitas produksi dan gerakan perpindahan
(transportasi) bahan yang harus dilakukan dalam proses produksi dari suatu stasiun
1
2
3
6
5
4
23
kerja ke stasiun kerja yang lain dalam pabrik akan digambarkan dengan lebih jelas
dan detail.
3. Operation Process Chart (Peta Proses Operasi)
Peta ini akan menggambarkan peta operasi dari seluruh komponen –
komponen dan sub assemblies hingga menuju main assemblies sehingga aliran
umum dari proses manufakturing komponen – komponen dari bahan baku hingga
ke produk jadi akan dapat digambarkan secara kronologis.
4. Flow Diagram (Diagram Aliran)
Diagram alir ini tidak hanya menggambarkan bentuk peta aliran proses saja
akan tetapi juga menggambarkan layout sebenarnya dari pabrik yang ada atau yang
akan direncanakan.
2.6.6 Metode Analisis Aliran Bahan
Metode analisis aliran bahan dapat diperoleh dengan beberapa alat analisis
yang bersifat kualitatf dan kuantitatif (Wignjosoebroto, 2003) seperti yang akan
dipaparkan pada penjelasan sebagai berikut:
1. Analisis Kuantitatif
Analisis kuantitatif aliran bahan akan diukur berdasarkan kuantitas material
yang dipindahkan seperti berat, volume, jumlah unit satuan kuantitatif yang lainnya.
Peta umum yang digunakan untuk melakukan analisis kuantitatif adalah:
1) String Diagram
String diagram adalah suatu alat untuk menggambarkan elemen – elemen
aliran dari suatu layout dengan menggunakan alat berupa tali, kawat, atau
benang untuk menunjukkan lintasan perpindahan bahan dari satu lokasi area
yang lain. Penggunaan peta String Diagram memperhatikan skala yang ada,
maka dapat mengukur berapa panjang tali yang menunjukkan jarak lintasan
yang harus ditempuh untuk memindahkan bahan tersebut, dengan
menggunakan beberapa jenis aliran bahan atau komponen yang perlu
dipindahkan dalam proses pengerjaannya, maka pada lintasan – lintasan
tertentu (tali atau kawat akan saling bersilangan satu sama lain, padat atau
mengumpul jadi satu) dapat memperkirakan kemungkinan terjadinya
kemacetan atau bottleneck pada lokasi – lokasi tersebut.
24
2) Triangular Flow Diagram
Diagram aliran segitiga atau umum dikenal sebagai Triangular Flow
Diagram (TFD) adalah suatu diagram yang dipergunakan untuk
menggambarkan secara grafis aliran material, produk, informasi, manusia, dan
sebagainya atau bisa juga dipergunakan untuk menggambarkan hubungan kerja
antara satu departemen (fasilitas kerja) dengan departemen lainnya. Adanya
penggunaan TFD ini, lokasi geografis dari departemen atau fasilitas produksi
akan dapat ditunjukkan berupa lingkaran – lingkaran, dimana jarak dari satu
lingkaran ke lingkaran yang lain adalah = 1 (segitiga sama sisi dengan panjang
sisi – sisinya = 1) sedangkan luas area yang diperlukan dalam hal ini diabaikan.
3) From to Chart
From to Chart merupakan suatu teknik konvensional yang umum
digunakan untuk perancangan tata ketak pabrik dan pemindahan bahan dalam
suatu proses produksi, terutama sangat berguna untuk kondisi dimana terdapat
banyak produk atau item yang mengalir melalui suatu area. Pada tata letak yang
berdasarkan produk (product layout) tidak diperlukan adanya penggunaan
From to Chart, namun untuk tipe layout berdasarkan proses (process layout)
maka From to Chart dapat membantu penyusunan mesin – mesin dan peralatan
produksi secara sistematis.
From to Chart dibuat dalam bentuk matriks, dimana jumlah baris dan
kolomnya sesuai dengan jumlah operasi yang dilaksanakan dilantai produksi.
Pada matriks ini di isi dengan jumlah perpindahan yang terjadi antar stasiun
atau operasi. Selain itu, dapat juga dimasukkan data lain, tergantung pada
permasalahan yang adan.
2. Analisis Kualitatif
Aliran material dapat diukur secara kualitatif dengan menggunakan tolak
ukur derajat kedekatan antara satu fasilitas dengan fasilitas lainnya yang
dikembangkan oleh Richard Murter (Wignjosoebroto, 2003). Nilai – nilai tersebut
menunjukkan hubungan atau derajat kedekatan disertai dengan alasan – alasan yang
mendasarinya (Tompkins, 2003). Suatu peta hubungan aktivitas dapat di
realisasikan dengan prosedur sebagai berikut:
25
1) Identifikasi semua fasilitas kerja atau departemen – departemen yang akan
diatur tata letaknya dan dituliskan daftar urutannya dalam peta.
2) Lakukan wawancara/survey/interview terhadap karyawan dari setiap
departemen yang tertera dalam daftar peta dan juga manajemen yang
berwenang.
3) Definisikan kriteria hubungan antara departemen yang akan diatur letaknya
berdasarkan derajat kedekatan hubungan serta alasan masing – masing dalam
peta. Selanjutnya tetapkan nilai hubungan tersebut untuk setiap hubungan
aktivitas antar departemen yang ada didalam peta.
4) Diskusikan hasil penelitian dengan pihak manajemen yang bersangkutan.
Analisa pada peta hubungan aktivitas ini digambarkan dengan adanya kode
huruf yang mencerminkan derajat hubungan antar departemen atau fasilitas.
2.7 Jarak antar Fasilitas
Menurut Kristinawati (2000) jarak antar mesin dapat diukur dengan
menggunakan beberapa metode yaitu:
1. Jarak Euclidean
Jarak euclidean merupakan ukuran jarak antara dua item X dan Y. Jarak
diukur dengan lintasan garis lurus antara satu titik ke titik lain dan
diaplikasikan pada beberapa masalah lokasi jaringan kerja atau rute proses
produksi suatu produk sehingga sesuai dengan mesin yang ada di perusahaan
untuk mencapai hasil yang optimal. Matrik euclidean diaplikasikan untuk
model conveyor dan jaringan transportasi dan distribusi. Jarak untuk matrik
euclidean diukur dengan rumus sebagai berikut:
dij=√(𝑋𝑖 − 𝑋𝑗)2 + (𝑌𝑖 − 𝑌𝑗)2
Keterangan:
Xi : x koordinat dari pusat fasilitas i
Yi : y koordinat dari pusat fasilitas j
dij : jarak antara pusat fasilitas i dan j
2. Jarak Rectilinier
Jarak rectilinier merupakan jarak yang diukur dengan menjumlahkan
perbedaan jarak yang baru dengan fasilitas yang ada dengan harga yang
mutlak. Matrik ini memiliki rumus seperti berikut:
26
dij=|𝑋𝑖 − 𝑋𝑗| + |𝑌𝑖 − 𝑌𝑗|
Keterangan:
Xi : x koordinat dari pusat fasilitas i
Yi : y koordinat dari pusat fasilitas j
dij : jarak antara pusat fasilitas i dan j
3. Jarak Square Euclidean
Jarak Square Euclidean dapat digunakan pada kondisi dan item yang
memiliki jarak yang agak jauh atau jauh sekalipun antara satu fasilitas
terhadap fasilitas yang lain. Matrik ini memiliki rumus seperti berikut:
dij=(𝑋𝑖 − 𝑋𝑗)2 + ( 𝑌𝑖 − 𝑌𝑗)2
Keterangan:
Xi : x koordinat dari pusat fasilitas i
Yi : y koordinat dari pusat fasilitas j
dij : jarak antara pusat fasilitas i dan j
2.8 Perbaikan Tata Letak dengan Metode Konvensional
Perbaikan dengan metode konvensional dalam perencanaan tata letak
fasilitas, setelah dilakukan analisis aliran bahan secara kuantitatif dan kualitatif
maka dapat dilakukan perencanaan tata letak fasilitas secara konvensional
menggunakan tabel skala prioritas (TSP) dan diagram hubungan aktivitas (Activity
Relationship Diagram atau ARD).
1. Tabel Skala Prioritas (TSP)
Dasar untuk membuat ARD adalah tabel skala prioritas (TSP), jadi yang
menempati prioritas pertama pada tabel skala prioritas harus didekatkan letaknya
lalu diikuti prioritas berikutnya. Tabel skala prioritas menggambarkan urutan
prioritas antar departemen dalam suatu tata letak fasilitas produksi. Tabel skala
prioritas (TSP) diperoleh dari hasil perhitungan FTC Inflow dan Outflow. Konversi
dari perhitungan FTC Inflow dan Outflow tersebut menentukan tingkat kedekatan
departemen tersebut. Apabila nilai koefisien semakin tinggi, maka kedua
departemen tersebut lebih diprioritaskan untuk didekatkan satu sama lain.
Menurut Ihsan (2014), tujuan pembuatan TSP adalah untuk memperpendek jarak
27
penanganan bahan, meminimalkan biaya penanganan, dan memperbaiki tata letak
produksi menjadi lebih efisien.
2. Diagram hubungan aktivitas (Activity Relationship Diagram atau ARD)
Menurut Suhada (2011), diagram hubungan aktivitas (Activity Relationship
Diagram atau ARD) adalah suatu diagram blok yang menunjukkan kedekatan
hubungan setiap aktivitas sebelum menyusun gambar layout sebenarnya.
Penyusunan diagram hubungan aktivitas berdasarkan tingkat prioritas kedekatan
yang berasal dari hasil prioritas yang ada pada Tabel Skala Prioritas (TSP) yang
disusun sebelumnya sehingga dengan adanya penyusunan diagram hubungan
aktivitas ini diharapkan biaya penanganan bahan dapat diminimalkan. Diagram
hubungan aktivitas digambarkan dalam bentuk persegi empat yang sama dengan
kata lain, luas area tiap departemen diabaikan sementara (Wignjosoebroto, 2003).
2.9 CRAFT (Computerized Relative Allocation of Facilities Technique)
Menurut Heragu (2008) CRAFT (Computerized Relative Allocation of
Facilities Technique) diperkenalkan pada tahun 1983 yang dipresentasikan oleh
Armour dan Bufa. CRAFT bertujuan untuk meminimumkan biaya perpindahan
material, adapun pengertian dari biaya perpindahan material adalah aliran produk,
jarak dan biaya unit pengangkutan. Rekomendasi perbaikan yang dapat dilakukan
CRAFT adalah dengan menukarkan lokasi departemen yang memiliki kedekatan
atau memiliki dimensi area yang sama. Jika seluruh departemen memiliki dimensi
area yang sama dan jika setiap departemen yang tidak memiliki kedekatan
mempunyai dimensi yang sama, maka algoritma CRAFT memiliki sebanyak n(n -
1)/2 pertukaran. Cara untuk mengkalkulasikan estimasi biaya reduksi, CRAFT
menukar dari departemen i dan j, ketika departemen tersebut memenuhi asumsi
untuk ditukar, menggunakan persamaan dibawah ini:
Dua bagian pertama pada persamaan merupakan preexchange material
handling cost contribution dari departemen i dan j, sedangkan dua bagian terakhir
merupakan postexchange material handling cost contribution. CRAFT
mengasumsikan koordinat dari dua tersebut ditukar. Hal ini dapat terjadi apabila
kedua departemen memiliki area dan bentuk yang sama. Jika tidak, maka titik pusat
dan jarak setelah penukaran antara departemen i dan j yang diestimasikan akan
berbeda dengan jarak aktual.
28
Perbaikan antar departemen diharapkan dapat mengurangi biaya perpindahan
material. Selanjutnya CRAFT membuat pertimbangan pertukaran departemen
untuk tata letak yang baru, dan ini dilakukan secara berulang – ulang hingga
menghasilkan tata letak yang terbaik dengan mempertimbangkan biaya
perpindahan material. Menurut Heragu (2008), input yang diperlukan untuk
algoritma CRAFT adalah sebagai berikut:
1. Dimensi gedung atau pabrik
2. Dimensi departemen
3. Data aliran (frekuensi perpindahan)
4. Tata letak awal
5. Batasan lokasi untuk setiap departemen (jika ada)
Menurut Heragu (2008) terdapat beberapa tipe pertukaran yang dapat
dijadikan pertimbangan dalam perubahan antar departemen berdasarkan persamaan
luas dan mempunyai batas dekat untuk mengurangi biaya transportasi adalah
sebagai berikut:
1. Two – way exchange (Pertukaran 2 departemen)
2. Three – way exchange (Pertukaran 3 departemen)
3. Two – way exchange followed by three – way exchange (Pertukaran 3
departemen dilanjutkan dengan pertukaran 2 departemen)
CRAFT membangun sebuah tata letak akhir dengan perbaikan bagian dari
tata letak aktual melalui beberapa tahapan hingga mencapai layout akhir dan tata
letak yang diperoleh sesuai dengan tata letak awal.
III. KERANGKA KONSEP PENELITIAN
3.1 Kerangka Pemikiran
Standar CPOTB sebagai pedoman dalam mendirikan industri jamu telah
diterapkan oleh Gujati. Namun, fakta yang terjadi dalam pelaksanaannya, masih
terdapat beberapa komponen yang dapat dikembangkan lebih dalam lagi apabila
Gujati berkenan untuk menerima adanya pengajuan dalam melakukan perubahan,
salah satunya adalah aspek personalia. Aspek ini masih perlu diadakan
pengembangan lebih lanjut mengingat personalia merupakan kunci dalam
memegang keberhasilan dan kualitas perusahaan. Selain implementasi CPOTB
yang masih dapat dikembangkan, terdapat permasalahan yang juga dapat ditemui
yakni perencanaan tata letak fasilitas produksi. Maka dari itu, diperlukan adanya
suatu strategi untuk memperbaiki dari kedua permasalahan tersebut.
Sementara itu, kondisi tata letak yang baik merupakan syarat mutlak yang
dibutuhkan untuk keberlangsungan semua industri maupun agroindustri (Heizer,
2014). Kondisi pada PT. Gujati 59 Utama yang terletak dipemukiman warga,
kurang memungkinkan untuk dilakukan perluasan wilayah sehingga akan lebih baik
jika mengefisiensikan tata letak yang ada. Permasalahan tersebut mengakibatkan
tata letak fasilitas produksi menyesuaikan dengan kondisi sehingga terjadi aliran
bahan berbalik yang cukup memakan jarak dan waktu lebih banyak. Aliran bahan
baku jamu yang berbalik dari Ruang Antar Barang (RAB) hingga ruang pemasakan
jamu instan memiliki alur yang cukup panjang karena melewati ruang kemas Primer
baik yang bersifat manual maupun dengan mesin. Selain itu, terdapat ruang kosong
yang dapat lebih dimanfaatkan.
Solusi dalam mengatasi dua permasalahan diatas yakni pengembangan
implementasi CPOTB dapat diatasi dengan mengidentifikasi resolusi sesuai dengan
aspek yang dibutuhkan dalam proses pengembangan dengan metode analisis
deskriptif dengan mengacu pada pedoman standar CPOTB yang berlaku,
sedangkan untuk perencanaan tata letak dapat diatasi dengan melakukan analisis
tata letak dengan memperbaiki aliran bahan dan jarak antar departemen. Cara
30
tersebut memberikan manfaat dalam meminimalkan biaya aliran bahan dan jarak
antar departemen sehingga biaya untuk input yang dikeluarkan dapat lebih efisien
dan waktu produksi semakin cepat dan lancar. Sebelumnya perlu dilakukan
identifikasi tata letak untuk mengetahui bagaimana kondisi tata letak yang ada dan
disusun berdasarkan dengan kondisi yang nyata dari perusahaan tersebut.
Identifikasi dapat dilakukan dengan menggambarkan tata letak awal menggunakan
program Microsoft Visio, hal ini dapat mempermudah dalam penggambaran kondisi
tata letak awal pada perusahaan Gujati. Penggambaran tata letak awal dibutuhkan
beberapa data seperti pengukuran kebutuhan luas lantai/area dengan alat ukur
meteran, dan jarak penanganan bahan menggunakan sistem jarak Rectilinear.
Pemilihan jarak Rectiliniear ini dilatarbelakangi karena cara perhitungannya lebih
mudah dipahami dan cocok untuk mengatasi permasalahan pada bidang tata letak
fasilitas.
Setelah dilakukan analisis aliran bahan, kemudian dilakukan perbaikan tata
letak melalui perbaikan aliran bahan dengan menggunakan metode konvensional
dan metode CRAFT dengan bantuan perangkat lunak WinQSB. Perbaikan dengan
metode konvensional mampu menghasilkan suatu usulan yang lebih realistis karena
mempertimbangkan dan menyesuaikan keadaan lapang. Perbaikan dengan metode
konvensional menggunakan TSP (Tabel Skala Prioritas) dan Activity Relationship
Diagram (ARD). Sedangkan perbaikan tata letak melalui penggunaan perangkat
lunak dapat mengefisiensikan waktu sehingga penyusunan perbaikan tata letak
dapat dilakukan secara praktis dan mempermudah peneliti. Apabila biaya
penanganan bahan untuk tata letak yang sudah diperbaiki menunjukkan adanya
penurunan biaya, maka mampu meminimalkan biaya penanganan dan memperbaiki
aliran bahan yang lebih efektif serta efisien Perbaikan tata letak terkait akan salah
satu aspek implementasi CPOTB yaitu bangunan dan fasilitas pabrik sehingga
perbaikan tata letak akan mampu menunjang dari pengembangan implementasi
CPOTB pada perusahaan Gujati. Berikut merupakan ringkasan dari kerangka
pemikiran yang dibentuk didalam sebuah skema.
31
Skema 1. Kerangka Pemikiran Implementasi Cara Pembuatan Obat yang baik
dengan rekomendasi perancangan ulang tata letak fasilitas produksi
Peningkatan Kualitas
pada Produk
Kriteria
CPOTB
Implementasi Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik (CPOTB)
dengan rekomendasi perancangan tata letak fasilitas produksi
Peluang
1. Kualitas produk
perusahaan semakin
berkembang
2. Bila diperbaiki dapat
mengefisiensikan aliran
bahan
3. Minimalisasi Biaya
Penangan Bahan
Permasalahan
1. Terdapat beberapa
komponen yang masih
belum memenuhi
CPOTB
2. Aliran bahan yang
berbalik di area bahan
baku hingga ruang
pemasakan jamu
3. Terdapat area kosong
yang tidak digunakan
Identifikasi
impelementasi CPOTB
Tata Letak
Awal
Perbandingan Antara
Tata Letak Awal dan
Susulan
Tata Letak
Usulan
Usulan Perbaikan Tata
Letak
Alur Pemikiran
Identifikasi Tata Letak
Awal
Efisiensi biaya produksi, jarak, waktu dalam aliran bahan serta
peningkatan kualitas dari perusahaan sebagai rekomendasi pada implementasi CPOTB
Keterangan:
32
3.2 Hipotesis
Berdasarkan permasalahan dan kerangka pemikiran yang telah dibuat
sebelumnya maka dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:
1. Usulan pengembangan CPOTB (Cara Pembuatan Obat Tradisional yang
Baik) dapat menunjang kualitas produk dari perusahaan Gujati 59.
2. Diperlukan adanya perbaikan tata letak untuk meminimalkan biaya produksi
sehingga lebih efisien dari segi jarak dan waktu.
3.3 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
Untuk mempermudah peneliti dalam variabel data yang dibutuhkan ketika
pengumpulan data dalam pelaksanaan penelitian, maka perlu disusun definisi
operasional. Definisi operasional ini berisi tentang penjelasan dari setiap variabel
yang dipergunakan dalam penelitian. Adapun definisi operasional yang terdapat
didalam penelitian ini dapat dilihat dari tabel 1.
Tabel 1. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
Konsep Variabel Definisi Operasional Pengukuran Variabel
Impelementasi CPOTB
(Cara Pembuatan Obat
Tradisional yang Baik)
Personalia Sumber daya manusia sangat penting dalam pembentukan
dan penerapan sistem pemastian mutu yang ditunjang dengan
sarana dalam kegiatan produksi
Penilaian Penerapan
5= Sangat memenuhi
4= Memenuhi
3= Cukup Memenuhi
2= Kurang Memenuhi
1=Sangat kurang Memenuhi
Bangunan dan Fasilitas
Pabrik (peralatan)
Bangunan dan fasilitas untuk pembuatan obat tradisional
hendaklah memiliki desain, konstruksi dan tata letak yang
memadai
Penilaian Penerapan
5= Sangat memenuhi
4= Memenuhi
3= Cukup Memenuhi
2= Kurang Memenuhi
1=Sangat kurang Memenuhi
Sanitasi dan Higiene Tingkat sanitasi dan higiene yang tinggi hendaklah
diterapkan pada setiap aspek pembuatan obat tradisional
Penilaian Penerapan
5= Sangat memenuhi
4= Memenuhi
3= Cukup Memenuhi
2= Kurang Memenuhi
1=Sangat kurang Memenuhi
Produksi Dalam pembuatan obat tradisional hendaknya dilakukan
dengan mengikuti
prosedur yang telah divalidasi dapat menjamin dalam
menghasilkan obat
tradisional yang memenuhi spesifikasi yang ditentukan
Penilaian Penerapan
5= Sangat memenuhi
4= Memenuhi
3= Cukup Memenuhi
2= Kurang Memenuhi
1=Sangat kurang Memenuhi
Tabel 1. (Lanjutan) Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
Pengawasan Mutu Pengawasan mutu adalah semua upaya pemeriksaan dan
pengujian
yang dilakukan selama pembuatan untuk menjamin agar obat
tradisional
yang dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan yang
ditentukan.
Penilaian Penerapan
5= Sangat memenuhi
4= Memenuhi
3= Cukup Memenuhi
2= Kurang Memenuhi
1=Sangat kurang Memenuhi
Inspeksi Diri Inspeksi diri adalah kegiatan yang dilakukan untuk menilai
semua
aspek, mulai dari pengadaan bahan sampai dengan
pengemasan dan
penetapan tindakan perbaikan yang dilakukan oleh semua
personal industri
obat tradisional sehingga seluruh aspek pembuatan obat
tradisional
tersebut selalu memenuhi CPOTB.
Penilaian Penerapan
5= Sangat memenuhi
4= Memenuhi
3= Cukup Memenuhi
2= Kurang Memenuhi
1=Sangat kurang Memenuhi
Tabel 1. (Lanjutan) Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
Dokumentasi Dokumentasi sangat penting untuk memastikan bahwa setiap
karyawan mendapat instruksi secara rinci dan jelas mengenai
bidang tugas
yang harus dilaksanakan sehingga memperkecil resiko
terjadinya salah
tafsir dan kekeliruan yang biasanya timbul karena hanya
mengandalkan
komunikasi lisan.
Penilaian Penerapan
5= Sangat memenuhi
4= Memenuhi
3= Cukup Memenuhi
2= Kurang Memenuhi
1=Sangat kurang Memenuhi
Penanganan hasil
peredaran
Penarikan kembali produk adalah suatu
proses penarikan kembali dari satu atau
beberapa bets atau seluruh bets produk
tertentu dari peredaran.
Penilaian Penerapan
5= Sangat memenuhi
4= Memenuhi
3= Cukup Memenuhi
2= Kurang Memenuhi
1=Sangat kurang Memenuhi
Tabel 1. (Lanjutan) Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
Cara Penyimpanan dan
Pengiriman Obat
Tradisional yang baik
Penyimpanan dan pengiriman adalah bagian yang penting
dalam kegiatan dan manajemen rantai pemasokan produk
yang terintegrasi.
Penilaian Penerapan
5= Sangat memenuhi
4= Memenuhi
3= Cukup Memenuhi
2= Kurang Memenuhi
1=Sangat kurang Memenuhi
Pembuatan dan Analisis
berdasarkan kontrak
Pembuatan dan analisis berdasarkan kontrak harus dibuat
secara benar,
disetujui dan dikendalikan untuk menghindarkan
kesalahpahaman yang dapat
menyebabkan produk atau pekerjaan dengan mutu yang tidak
memuaskan.
Penilaian Penerapan
5= Sangat memenuhi
4= Memenuhi
3= Cukup Memenuhi
2= Kurang Memenuhi
1=Sangat kurang Memenuhi
Tata Letak Fasilitas
Produksi
- Suatu landasan utama yang bertujuan untuk mengatur fasilitas
– fasilitas pabrik dalam menunjang kelancaran proses
produksi (Wignjosoebroto, 2003)
-
Kebutuhan luas area
departemen
Besarnya luas area pada masing – masing departemen Luas area departemen dalam satuan
meter dan meter persegi
Tabel 1. (Lanjutan) Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
Alat Penanganan Bahan Semua peralatan yang digunakan untuk membantu proses
pemindahan dari satu departemen ke departemen lainnya.
Untuk kuantitas menggunakan
satuan unit sedangkan untuk ukuran
menggunakan satuan meter
Jarak Penanganan Bahan
(D)
Jarak yang harus ditempuh dalam memindahkan bahan dari
satu departemen ke departemen lainnya
Pengukuran menggunakan
koordinat titik pusat dengan satuan
meter dan perbandingan 1:2
Frekuensi Penanganan
Bahan (F)
Periode pemindahan bahan dari tahap awal hingga akhir -
Jarak Tempuh (TD) Jarak yang harus ditempuh dalam menyelesaikan seluruh
kegiatan penanganan bahan
Jarak penanganan bahan dikali
frekuensi penanganan bahan
dengan satuan meter
Operation Process Chart - Diagram yang menggambarkan proses yang dialami oleh
bahan baku mengenai urutan-urutan operasi dan pemeriksaan
sejak dari awal sampai menjadi produk jadi utuh (Pamularsih,
2015)
-
Tabel 1. (Lanjutan) Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
Simbol ASME (American
Society of Mechanical
Engineers)
Simbol standar yang menggambarkan macam atau jenis
aktivitas dalam proses produksi
Jarak Penanganan Bahan
(D)
Jarak yang harus ditempuh dalam memindahkan bahan dari
satu departemen ke departemen lainnya
Pengukuran menggunakan
koordinat titik pusat dengan satuan
meter dan perbandingan 1:2
Waktu Aliran Proses Waktu yang dibutuhkan untuk memindahkan bahan dari
departemen ke departemen selanjutnya
Lama waktu yang dibutuhkan
dalam satuan detik (s)
Flow Process Chart (FPC) - Peta yang menggambarkan proses operasi secara kronologis
(Wignjosoebroto, 2003)
-
= Operasi
= Inspeksi
=Transportasi
=Menunggu (delay)
=Menyimpan
=Aktivitas Ganda
Tabel 1. (Lanjutan) Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
Simbol ASME (American
Society of Mechanical
Engineers)
Simbol standar yang menggambarkan macam atau jenis
aktivitas dalam proses produksi
Jarak Penanganan Bahan
(D)
Jarak yang harus ditempuh dalam memindahkan bahan dari
satu departemen ke departemen lainnya
Pengukuran menggunakan
koordinat titik pusat dengan satuan
meter dan perbandingan 1:2
Waktu Aliran Proses Waktu yang dibutuhkan untuk memindahkan bahan dari
departemen ke departemen selanjutnya
Lama waktu yang dibutuhkan
dalam satuan detik (s)
Peta Hubungan Aktivitas
(Activity Relationship
Chart atau ARC)
- Suatu metode yang menunjukkan nilai – nilai derajat hubungan
antar departemen dan alasan – alasan yang mendasarinya
(Wignjosoebroto, 2003)
-
= Operasi
= Inspeksi
=Transportasi
=Menunggu (delay)
=Menyimpan
=Aktivitas Ganda
Tabel 1. (Lanjutan) Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
Nilai Kedekatan Nilai yang menunjukkan keterkaitan antara
departemen
Deskripsi nilai, kode huruf dan warna:
Mutlak perlu : A (Merah)
Sangat penting : E (Jingga/Orange)
Penting : I (Hijau)
Kedekatan biasa : O (Biru)
Tidak perlu : U (Tidak berwarna)
Tidak diharapkan: X (coklat)
Alasan hubungan antar
aktivitas
Alasan yang digunakan untuk mendasari nilai
kedekatan atau keterkatan antar setiap departemen
Pemberian nilai didasarkan pada alasan
berikut:
a. Penggunaan catatan secara bersama
b. Menggunakan tenaga kerja yang sama
c. Menggunakan space area yang sama
d. Derajat kontak personal yang sering
dilakukan
e. Derajat kontak kertas kerja yang sering
dilakukan
f. Urutan aliran kerja
g. Melaksanakan kegiatan kerja yang sama
h. Menggunakan peralatan kerja yang sama
i. Kemungkinan adanya kotor, debu
maupun aroma yang tidak sesuai
Tabel 1. (Lanjutan) Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
Biaya Penanganan Bahan
(Ongkos Material
Handling atau OMH)
- Biaya yang dibutuhkan dalam pemindahan bahan
dari satu departemen ke departemen selanjutnya
(Damanik, 2014)
Cd+C1+(TCo x D)
Biaya depresiasi peralatan
(Cd)
Biaya penyusutan alat yang dipergunakan didalam
pemindahan bahan 𝐶𝑑 =(
Cawal − Cakhir 𝑈𝑚𝑢𝑟 𝑒𝑘𝑜𝑛𝑜𝑚𝑖𝑠
) 𝑥 ∑unit
312 ℎ𝑎𝑟𝑖
Biaya tenaga kerja (C1) Biaya tenaga kerja yang melakukan proses produksi
jamu
C1 (Harian) = C x ∑TK
Biaya tenga kerja operator
(TCo)
Biaya tenaga kerja yang memindahkan bahan –
bahan dari satu departemen ke departemen
selanjutnya
𝑇𝐶𝑜 =∑TK x C
8 𝑗𝑎𝑚 𝑥 3600 𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘
From To Chart - Tabel yang menunjukkan total dari berat beban yang
harus dipindahkan, jarak perpindahan bahan,
volume atau kombinasi dari faktor yang ada.
-
From to Chart Inflow Nilai koefisien yang masuk dari satu departemen ke
departemen lainnya
Nilai From to Chart Biaya pada setiap sel
matriks yang terisi dibagi total nilai From
To Chart pada kolom sel tersebut
Tabel 1. (Lanjutan) Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
From To Chart Outflow Nilai koefisien yang keluar dari satu departemen ke
departemen lainnya
Nilai From To Chart Biaya pada setiap sel
matriks yang terisi dibagi total nilai From
To Chart Biaya pada baris sel tersebut
From To Chart Biaya Peta hasil rekapitulasi biaya penanganan bahan Biaya penanganan bahan dalam satuan
rupiah
Perencanaan tata letak
fasilitas dengan metode
konvensional
Activity Relationship
Diagram (ARD)
Diagram hubungan antar aktivitas
(departemen/mesin) berdasarkan pada tingkat
prioritas kedekatan.
Disusun berdasarkan hasil penyusunan
tabel skala prioritas.
Tabel Skala Prioritas
(TSP)
Tabel yang menggambarkan urutan prioritas antara
departemen atau mesin dalam suatu lintasan atau
tata letak
Hasil perhitungan FTC Outflow. Prioritas
diurutkan berdasarkan harga koefisien
biayanya, yang mana harga koefisien yang
terbesar yang akan merupakan prioritas
satu.
Perencanaan tata letak
fasilitas dengan metode
CRAFT
- CRAFT bertujuan untuk meminimumkan biaya
perpindahan material, adapun pengertian dari biaya
perpindahan material adalah aliran produk, jarak dan
biaya unit pengangkutan (Heragu, 2008)
Penggunaan software WinQSB versi 2.00
IV. METODE PENELITIAN
4.1 Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Hal ini di latarbelakangi
dengan adanya pengujian teori CPOTB (Cara Pembuatan Obat Tradisional yang
Baik) dan teori mengenai tata letak untuk dijadikan landasan dalam penelitian
“Implementasi Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) dengan
Perancangan Ulang Tata Letak Fasilitas Produksi pada PT. Gujati 59 Utama”
sehingga penelitian ini bukan bersifat mengembangkan atau menciptakan teori baru
melainkan hanya menguji teori.
Pernyataan mengenai pendekatan penelitian kuantitatif juga didukung oleh
Sudjana dan Ibrahim (2001) yang menerangkan bahwa salah satu karakteristik
penelitian kuantitaif adalah berusaha memahami suatu fenomena dengan cara
menggunakan konsep – konsep yang umum untuk menjelaskan fenomena khusus.
Hal ini mengindikasikan bahwa penelitian kuantitatif harus mempunyai landasan
teori yang kuat untuk menyelesaikan permasalahan yang terdapat didalam
penelitian. Penelitian kuantitatif ini dapat diselesaikan apabila semua data yang
terkait sudah terkumpul, biasanya data – data yang ada pada penelitian kuantitatif
adalah data berupa angka (Kasiram, 2008).
4.2 Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada PT. Gujati 59 Utama berlokasi di Jl. Raya Solo
– Wonogiri No 59 Desa Gupit, Kecamatan Nguter, Sukoharjo, Jawa Tengah.
Penentuan lokasi ini dilakukan secara sengaja karena perusahaan Gujati bergerak
dibidang agroindustri jamu dan penelitian dilakukan pada bulan Februari – Maret
2017. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive (sengaja), karena pada
perusahaan ini ditemukan permasalahan terkait akan implementasi CPOTB dan
perencanaan tata letak fasilitas produksi yaitu masih panjanganya aliran lintasan
bahan dan berpotensi adanya kontaminasi pada bahan saat dipindahkan dalam
keadaan terbuka, dimana hal tersebut akan berdampak pada kualitas produk dan
menghambat aliran kerja sehingga berdampak pada jarak, biaya dan waktu. Hal
tersebut mendorong peneliti untuk mengadakan penelitian dalam mengatasi
permasalahan tersebut.
44
4.3 Teknik Penentuan Sample
Penentuan informan pada penelitian ini menggunakan metode purposive
sampling dengan key informan pada perusahaan yaitu satu orang kepala Quality
Assurance (QA). Metode penentuan sample ini sesuai dengan snowball sampling.
Pemilihan responden ini di latarbelakangi bahwa key informan mengetahui
informasi atau data mengenai hal yang diteliti terkait akan tata letak fasilitas
produksi jamu pada PT. Gujati 59 Utama. Selain itu, responden dapat membantu
peneliti untuk menentukan keterkaitan antar departemen pada diagram keterkaitan
aktivitas atau Activity Relationship Chart dan perkembangan implementasi
CPOTB.
4.4 Teknik Pengumpulan Data
Sebelum melakukan penelitian lebih mendalam, sebaiknya perlu dilakukan
kegiatan survey. Tujuan melakukan survey yaitu untuk melihat gambaran umum
tentang kondisi perusahaan terkait dengan implementasi CPOTB dan tata letak
fasilitas produksi. Data yang perlu diambil dalam kegiatan survey adalah sejarah
dan perkembangan perusahaan, perkembangan dalam implementasi CPOTB, alur
proses produksi, tata letak fasilitas produksi dan aliran penanganan bahan.
Pengambilan data dilakukan dengan beberapa metode seperti wawancara,
pengumpulan data sekunder dan observasi langsung ke lapang.
1. Wawancara
Metode wawancara dilakukan dengan bertanya langsung kepada informan
yaitu Manajer Pabrik dan Kepala Quality Assurance (QA) bagian produksi. Tujuan
dari metode ini adalah untuk memperoleh data primer sehingga lebih mendapatkan
informasi secara detail terkait akan objek penelitian. Data yang diambil melalui
wawancara diantaranya adalah perkembangan implementasi CPOTB, tahap dan
alur produksi, keterkaitan antar departemen serta waktu proses produksi.
2. Dokumentasi
Dokumentasi digunakan dalam mengumpulkan data – data sekunder. Data
yang dikumpulkan adalah data yang relevan dengan tujuan penelitian. Data
sekunder yang dapat diolah antara lain biaya tenaga kerja yang melakukan proses
penanganan bahan, biaya depresiasi perlatan penanganan bahan, dan jarak
45
penanganan bahan. Selain pengumpulan data, dalam penelitian dokumentasi juga
berupa pengumpulan foto yang relevan dengan tujuan penelitian.
3. Observasi
Observasi dilakukan peneliti dengan cara pengamatan langsung ke lapang
atau langsung melihat kegiatan yang ada dipabrik untuk mendapatkan data primer.
Adapun data primer yang dikumpulkan melalui observasi ini terkait dengan
implementasi CPOTB dan tata letak awal serta penanganan bahan. Observasi sangat
penting dilakukan mengingat sebagian besar data diperoleh melalui kegiatan
observasi. Selain itu, dengan kegiatan observasi maka peneliti dapat mengamati
secara langsung proses produksi jamu. Observasi hendaknya dilakukan setiap hari
mengikuti waktu kerja dari karyawan. Berikut observasi yang dilakukan selama
penelitian:
1) Observasi Tata Letak Awal
Observasi tata letak awal, hal yang pertama dapat dilakukan yaitu dengan
mengukur kebutuhan luas lantai (departemen) yang ada didalam fasilitas
produksi perusahaan Gujati dengan menggunakan alat ukur meteran. Setelah
mendapatkan luasan lantai, maka selanjutnya dapat diolah dengan menggunakan
Microsoft Visio sebagai acuan dalam analisis tata letak fasilitas produksi.
2) Observasi Penanganan Bahan
Observasi penanganan bahan, frekuensi penanganan bahan diperoleh dengan
cara menghitung jumlah perpindahan bahan dari satu departemen ke departemen
lainnya dalam satu kali proses produksi. Waktu penanganan bahan diperoleh
dengan cara menghitung waktu yang dibutuhkan dalam sekali proses
penanganan bahan menggunakan alat bantu stopwatch. Menghitung jumlah alat
penanganan bahan juga tidak luput untuk diperoleh untuk kebutuhan dalam
perhitungan biaya penanganan bahan.
46
4.5 Teknik Analisis Data
4.5.1 Metode Analisis Implementasi CPOTB (Cara Pembuatan Obat
Tradisional yang baik)
Implementasi CPOTB (Cara Pembuatan Obat Tradisional yang baik) pada
PT. Gujati 59 Utama dapat dianalisis dengan menggunakan metode analisis
deskriptif. Analisis deskriptif adalah suatu tata cara analisis data yang menghasilkan
data deskriptif analisis yaitu berupa apa yang ditanyakan oleh responden, secara
tertulis atau lisan dan perilaku nyata yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu
yang utuh (Agustina, 2008). Kegiatan analisis ini dilakukan secara langsung pada
PT. Gujati 59 Utama terkait akan kondisi implementasi CPOTB pada perusahaan
tersebut. Tujuan dari analisis deskriptif ini adalah untuk mengetahui sejauh mana
perkembangan CPOTB yang sudah terimplementasi dan tingkat kesesuaian di
kondisi nyata dengan pedoman yang berlaku.
Implementasi CPOTB yang sudah diterapkan dapat dilihat dari tingkat
kesesuaian pelaksanaan yang telah dilakukan oleh PT. Gujati 59 Utama. Tingkat
kesesuaian dapat diukur dengan metode skoring dan persentase. Adapun untuk
mendapatkan hasil dari akhir skoring maupun persentase dengan menggunakan
form monitoring pelaksaan Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB)
pada Gujati. Form monitoring ini disusun sesuai dengan pedoman CPOTB sehingga
form monitoring ini dapat menjadi sebuah ringkasan singkat mengenai pelaksanaan
CPOTB yang selanjutnya setiap aspek CPOTB akan dijelasakan lebih rinci secara
deskriptif sesuai dengan hasil akhir skoring dan persentase dari form monitoring
CPOTB. Berikut ini merupakan uraian dari penerapan aspek CPOTB yang akan
diteliti, adalah sebagai berikut:
47
Tabel 2. Rincian Kriteria Penerapan CPOTB
No Aspek Indikator Penerapan Skor
Terendah Tertinggi
1 Manajemen Mutu a. Pertanggungjawaban
Manajemen Mutu
b. Persetujuan peredaran
produk
c. Pengawasan CPOTB
d. Pihak Manajemen mutu
sesuai dengan bidang ahli
e. Kelengkapan dokumen yang
dimiliki pihak manajemen
mutu
0
0
0
0
0
5
5
5
5
5
2 Personalia a. Struktur organisasi yang
spesifik
b. Tidak ada jabatan yang
merangkap
c. Pimpinan pengawasan
CPOTB sesuai dengan ahli
bidang
d. Penerapan mutu pada setiap
aspek
e. Pelatihan CPOTB
f. Penetapan jobdesk
0
0
0
0
0
0
5
5
5
5
5
5
3 Bangunan, fasilitas dan
peralatan
a. Pengelolaan limbah
b. Bangunan dapat melindungi
bencana
c. Kondisi kebersihan
bangunan pabrik
d. Design tata letak sudah baik
e. Pengelolaan fasilitas
pendukung
f. Penempatan jobdesk
g. Peralatan mendukung produk
h. Keefisienan peralatan/mesin
untuk dibersihkan
Jadwal perawatan alat/mesin
0
0
0
0
0
0
0
0
0
5
5
5
5
5
5
5
5
5
48
Tabel 2. (Lanjutan) Rincian Kriteria Penerapan CPOTB
4 Sanitasi dan Higiene a. Sterilisasi personel
b. Ketersediaan fasilitas
pendukung
c. Pemeriksaan riwayat
penyakit
d. Ketersediaan sarana
pendukung
e. Pengelolaan sampah
f. Ketersediaan jadwal
kebersihan
g. Ketersediaan prosedur tetap
h. Terdapat pencatatatan pada
pelaksanaan kebersihan
0
0
0
0
0
0
0
0
0
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5 Produksi a. Penanganan Bahan Baku
b. Pengawasan Bahan Baku
c. Kesesuaian metode dengan
praktik
d. Kualitas bahan baku
e. Kesesuaian proses produksi
dengan prosedur
f. Bahan baku yang diterima
telah melewati uji kualitas
g. Penyimpanan yang sesuai
pada bahan baku
h. Realisasi dan perencanaan
produksi selalu diawasi
i. Pengolahan produk tidak
dilakukan pada ruangan
yang sama
0
0
0
0
0
0
0
0
0
5
5
5
5
5
5
5
5
5
6 Pengawasan Mutu a. Pengawasan mutu meliputi
seluruh produksi
b. Pengambilan sample
dilakukan oleh personel
yang ahli dalam bidangnya c. Terdapat pencatanan saat
pengambilan sample d. Masa simpan produk 1 tahun
0
0
0
0
5
5
5
5
49
Tabel 2. (Lanjutan) Rincian Kriteria Penerapan CPOTB
7 Inspeksi Diri a. Tim evaluasi CPOTB
b. Adanya laporan evaluasi
c. Jadwal inspeksi proses
produksi
0
0
0
5
5
5
8 Dokumentasi a. Ketersediaan pencatatan
pada produk
b. Adanya persetujuan pihak
pimpinan
c. Dokumen selalu up-to-date
d. Dokumen dikaji secara
teratur dan sistematis
0
0
0
0
5
5
5
5
9 Penanganan hasil
peredaran
a. Pertanggungjawaban
personel dalam kerja
b. Ketersediaan prosedur tetap
c. Proses peredaran produk
yang sistematis
d. Adanya konfirmasi kepada
pihak BPOM terkait produk
0
0
0
0
5
5
5
5
10 Cara Penyimpanan dan
Pengiriman Obat
Tradisional yang baik
a. Ruang pencahyaan
b. Pencatatan stok dilakukan
secara berkala
c. Pemeriksaan jumlah produk
d. Ketersediaan prosedur tetap
e. Kendaraan dan wadah
pengiriman yang sesuai
f. Proses pengiriman barang
yang sistematis
g. Pencatatan pengiriman yang
sistematis dan jelas
0
0
0
0
0
0
0
5
5
5
5
5
5
5
11 Pembuatan dan Analisis
berdasarkan kontrak
a. Terdapat kontrak tertulis
yang meliputi pembuatan
atau analisis obat yang
dikontrakkan
b. Terdapat izin edar untuk
semua produk
c. Pelaksaan audit secara
berkala
0
0
0
5
5
5
Total 305
50
Skor yang diberikan diberikan sesuai dengan implementasi CPOTB pada
perusahaan Gujati sesuai dengan kriteria yang diambil dari pedoman CPOTB yang
dikeluarkan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Di setiap aspek
memiliki 5 kriteria penilaian (skor 1 hingga 5) dan setiap aspek memiliki kriteria
penilaian berbeda – beda. Adapun kriteria skor penilaian dapat dilihat pada lembar
lampiran. Pemberian skor ini didasarkan pada observasi lapang dan hasil
wawancara dengan pihak key informan. Keputusan peneliti dalam pemberian skor
yang tidak melibatkan karyawan Gujati karena belum semua karyawan Gujati
paham akan implementasi CPOTB.
Data yang telah diperoleh dari pemberian skor tersebut kemudian dianalis
secara deskriptif dan dikategorikan sesuai dengan tingkat pemenuhan kriteria dari
masing – masing aspek dalam pelaksanaan CPOTB. Berikut ini merupakan rumus
perhitungan untuk mendapatkan kelas kategori:
Interval = 𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖−𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑡𝑒𝑟𝑒𝑛𝑑𝑎ℎ
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑎𝑡𝑒𝑔𝑜𝑟𝑖 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑠
Interval = 305−0
3 = 101,67
Tabel 3. Tingkat penerapan CPOTB
Jumlah Skor Persentase (%) Tingkat Penerapan
203,36 – 305 66,68 - 100 Memenuhi
101,68 – 203,35 33,34 – 66,67 Cukup Memenuhi
0 – 101,67 0 – 33,33 Tidak Memenuhi
Sumber: Data Primer, 2017 (Diolah)
Tingkat penerapan CPOTB terbagi menjadi tiga kategori yaitu Memenuhi,
Cukup memenuhi dan Tidak memenuhi. Hasil dari tingkat penerapan CPOTB ini
diperoleh dari skor penilaian yang diberikan oleh peneliti dari pengamatan langsung
pelaksanaan CPOTB pada perusahaan Gujati. Tingkat penerapan CPOTB yang
sudah memenuhi berada pada range score 186,67 – 280, hal ini menunjukkan
bahwa dalam pelaksanaan CPOTB, perusahaan Gujati sudah memenuhi dengan
mengacu pada pedoman CPOTB. Untuk tingkat penerapan CPOTB pada kategori
cukup memenuhi berada di range score 94,34 – 186,66, hal ini menunjukkan bahwa
dalam pelaksanaan CPOTB yang dilakukan oleh perusahaan Gujati sudah
dilakukan sebagian dari pedoman CPOTB. Sedangkan tingkat penerapan CPOTB
pada kategori kurang memenuhi berada di range score 0 – 93,33, hal ini
51
menunjukkan bahwa pelaksanaan CPOTB pada perusahaan Gujati masih sangat
kurang diterapkan sehingga perlu dilakukan evaluasi untuk meningkatkan
implementasi CPOTB pada perusahaan Gujati.
4.5.2 Identifikasi Tata Letak Awal
Sebelum melakukan perbaikan tata letak fasilitas produksi, perlu dilakukan
identifikasi aliran bahan pada tata letak awal dengan tujuan untuk mengetahui
kondisi tata letak yang secara nyata sedang diterapkan dengan menggambar tata
letak awal, mengukur kebutuhan luas lantai atau area, dan jarak penanganan bahan.
Kebutuhan luas area dapat ditentukan dengan mengukur panjang dan lebar setiap
area menggunakan meteran ukur pada setiap departemen. Perhitungan kebutuhan
luas area ini dapat mengetahui area yang belum dimanfaatkan sehingga dapat
menjadi pertimbangan dalam perbaikan tata letak.
Jarak penanganan bahan adalah jarak yang harus ditempuh dari satu
departemen ke departemen selanjutnya yang saling terkait. Jarak penanganan bahan
pada tata letak awal diketahui dengan menggambar denah tata letak awal dalam
bentuk koordinat X dan Y dengan bantuan Microsoft Visio. Penggambaran denah
harus disesuaikan dengan ukuran tata letak fasilitas yang sebenarnya dengan
perbandingan 1:100. Adapun langkah – langkah dalam penentuan titik koordinat
tiap departemen:
1. Membuka program Microsoft Visio 2010, pilih File - New - Template
Categories (Maps and Floor Plans) - Office Layout, dan pilih Metric Units
untuk unit pengukuran dalam satuan meter atau US Units untuk unit
pengukuran dalam satuan inci. Kemudian klik Create.
2. Untuk mengubah skala gambar, pilih Design - Page Setup - Drawing Scale,
kemudian pada Pre-defined Scale pilih 1:100. Klik OK.
52
Gambar 3.0 Page Setup Microsoft Visio
Sumber: Data Primer, 2017
3. Kemudian gambar denah atau sketsa tata letak awal sesuai dengan ukuran
aktual berdasarkan hasil pengukuran area yang sudah dilakukan pada PT.
Gujati 59 Utama.
4. Pada Task Pane “Size & Position” dapat diketahui koordinat X dan Y, serta
ukuran tata letak yang sudah digambarkan.
Gambar 3.1 Penentuan Titik Koordinat Tiap Departemen
Sumber: Data Primer, 2017
Penentuan X1, X2, Y1 dan Y2 dapat dilihat dari size and position. Begin X
untuk X1, End X untuk X2, Begin Y untuk Y1 dan End Y untuk Y2. Selain itu
peletakkan koordinat X harus berada diatas atau dibawah sedangkan koordinat Y
diletakknya pada samping kiri maupun kanan. Setelah mengetahui koordinat X dan
Y pada masing – masing departemen yang akan dianalisis, kemudian hitung titik
pusat X dan Y departemen yang akan digunakan dalam menghitung jarak
53
penanganan bahan. Menurut Damanik (2014) rumus yang digunakan untuk
menghitung titik pusat departemen adalah sebagai berikut:
X= 𝑋1+𝑋2
2 Y=
𝑌1+ 𝑌2
2
Keterangan:
X = Jarak penanganan bahan
X1 = Nilai koordinat X sisi kiri
Y1 = Nilai koordinat Y sisi bawah
X2 = Nilai koordinat X sisi kanan
Y2 = Nilai koordinat Y sisi atas
Jarak penanganan bahan menggunakan sistem Rectiliniear Distance.
Penerapan sistem ini dipilih karena perangkat lunak WinQSB menggunakan Jarak
Rectilinear dalam mengukur jarak antar departemen. Selain itu, jarak Rectilinear
ini banyak digunakan karena mudah dipahami dalam perhitungan. Jarak Rectilinear
membutuhkan data titik pusat X dan Y masing – masing departemen untuk
menghitung jarak penanganannya dengan rumus sebagai berikut (Nugroho, 2008):
dAB = |𝑋𝐴 − 𝑋𝐵| + |𝑌𝐴 − 𝑌𝐵|
Keterangan:
d = Jarak penanganan bahan
XA = Koordinat X departemen A
YA = Koordinat Y departemen A
XB = Koordinat X departemen B
YB = Koordinat Y departemen B
Departemen A = Departemen dimana bahan tersebut berasal
Departemen B = Departemen yang menjadi tujuan bahan tersebut dipindahkan
4.5.3 Analisis Proses
Analisis proses yang digunakan pada penelitian ini adalah Peta Proses
Operasi (Operation Process Chart) dan Peta Aliran Proses (Flow Process Chart).
Penggunaan dua peta aliran proses tersebut bertujuan untuk memperjelas proses
produksi yang berlangsung sehingga data yang diperoleh dapat lebih akurat untuk
mendukung hasil penelitian ini.
54
1. Peta Proses Produksi (Operation Process Chart) dan Peta Aliran Proses (Flow
Process Chart)
Sebelum menyusun peta hubungan aktivitas pada metode kualitatif, maka perlu
disusun terlebih dahulu peta proses produksi (Operation Process Chart) untuk
memudahkan pemahaman kegiatan – kegiatan operasi dalam menghasilkan produk.
Terdapat beberapa simbol yang menggambarkan macam atau jenis aktivitas dari
ketentuan ASME (American Society of Mechanical Engineers), dan didalamnya
juga terdapat waktu proses operasi yang menggambarkan lamanya waktu proses
tersebut berlangsung serta urutan dari proses kegiatan produksi.
Tabel 4. Simbol – simbol yang digunakan dalam pembuatan Peta Proses Operasi
(ASME Standard)
Simbol Nama Kegiatan Definisi Kegiatan
Operasi
Benda kerja atau bahan
baku mengalami
perubahan bentuk baik
secara fisik maupun
kimiawi
Inspeksi
Bahan mengalami
pengujian atau
pengecekan ditinjau dari
segi kuantitas ataupun
kualitas
Transportasi
Bahan dipindahkan dari
satu lokasi ke lokasi yang
lain
Menunggu (Delay)
Bahan dalam keadaan
menunggu atau
ditinggalkan sementara
sampai suatu saat
dikerjakan/diperlukan
kembali
55
Tabel 4. (Lanjutan) Simbol – simbol yang digunakan dalam pembuatan Peta Proses
Operasi (ASME Standard)
Menyimpan
Bahan disimpan dalam
jangka waktu yang cukup
lama
Aktivitas Ganda
Bahan melalukan
kegiatan secara
bersamaan serta
dilakukan oleh operator
pada stasiun yang sama
Sumber: Wignjosoebroto, 2003
Sedangkan peta aliran proses merupakan peta yang menggambarkan aliran
proses produksi secara kronologis. Secara hakikat peta proses produksi dan peta
aliran produksi merupakan hal yang sama, namun terdapat perbedaan subtansi pada
kedua peta proses tersebut. Pada peta aliran proses, setiap deskripsi kegiatan lebih
terinci dengan ditunjukkan adanya kuantitas bahan yang dipindahkan dan catatan
terkait dengan proses produksi sehingga pemakaian peta aliran proses lebih
mempermudah dalam menganalisis proses produksi.
4.5.4 Analisis Aliran Bahan
Analisis aliran bahan didalam penelitian ini diukur dengan menggunakan
metode kualitatif dan perhitungan biaya penanganan bahan (kuantitatif).
1. Analisis Kualitatif
Metode kualitatif yang digunakan didalam penelitian ini dalam menganalisis
aliran bahan adalah peta hubungan aktivitas (Activity Relationship Chart atau ARC)
1) Peta Hubungan Aktivitas
Setelah menyusun peta proses produksi selanjutnya menyusun peta hubungan
aktivitas dengan menggambarkan keterkaitan aktivitas antar departemen.
Penyusnan peta hubungan aktivitas diperoleh dari hasil wawancara dengan key
informan mengenai keterkaitan antar departemen yang dibutuhkan didalam
penelitian. Hasil wawancara tersebut ditunjukkan dalam nilai keterkaitan aktivitas
dan didukung dengan alasan yang mendasari dari kedekatan antar departemen. Peta
hubungan aktivitas berisi sandi huruf yang menunjukkan tingkat kepentingan
56
keterkaitan aktivitas tersebut yan diletakkan pada bagian atas kotak. Adapun
penjelasan dari deskripsi nilai kedekatan, kode huruf dan warna:
Mutlak perlu : A (Merah)
Sangat penting : E (Jingga/Orange)
Penting : I (Hijau)
Kedekatan biasa : O (Biru)
Tidak perlu : U (Tidak berwarna)
Tidak diharapkan: X (coklat)
Sedangkan dibawah kotak menunjukkan nomor alasan yang mendukung
setiap nilai kedekatan aktivitas antar departemen. Berikut nomor dan alasan yang
digunakan dalam mendukung tingkat nilai kedekatan tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Penggunaan catatan secara bersama
b. Menggunakan tenaga kerja yang sama
c. Menggunakan space area yang sama
d. Derajat kontak personal yang sering dilakukan
e. Derajat kontak kertas kerja yang sering dilakukan
f. Urutan aliran kerja
g. Melaksanakan kegiatan kerja yang sama
h. Menggunakan peralatan kerja yang sama
i. Kemungkinan adanya kotor, debu maupun aroma yang tidak sesuai
57
2. Analisis Kuantitatif
Analisis kuantitatif aliran bahan akan diukur berdasarkan kuantitas material
yang dipindahkan seperti berat, volume, jumlah unit satuan kuantitatif lainnya.
Didalam penelitian ini, analisis kuanitatif menggunakan biaya penanganan bahan
dan From to Chart.
1) Biaya Penanganan Bahan
Menurut Karonsih (2012) biaya penangan bahan terdiri dari biaya tenaga kerja
(C1), biaya depresiasi peralatan penanganan bahan (Cd), biaya operator per meter
(Tco), jarak tempuh selama proses produksi (M), dan biaya utilitas (bahan bakar,
listrik, dll).
Tenaga kerja yang digunakan dalam perhitungan adalah tenaga kerja yang
terlibat langsung dalam proses produksi dan operasi baik tenaga kerja
harian/kontrak ataupun borongan. Tenaga kerja yang terlibat secara langsung
berarti tenaga kerja yang melakukan kontak langsung dengan bahan baku yang
diproses. Lain halnya dengan tenaga kerja bulanan, direktur maupun karyawan
kantor tidak termasuk didalam perhitungan penanganan bahan. Berikut merupakan
rumus untuk menghitung biaya tenaga kerja (Co):
3.
Keterangan:
C1 = Total Biaya Tenaga Kerja
C = Biaya Tenaga Kerja per hari
∑TK = Jumlah tenaga kerja
∑Material = Berat bahan yang diproduksi
Tenaga kerja pada biaya operator (TCo) ini adalah tenaga kerja yang
memindahkan bahan – bahan dari satu departemen ke departemen selanjutnya. Jam
kerja secara umum yang berlaku didalam suatu perusahaan adalah 8 jam. Adapun
rumus perhitungan untuk biaya operator adalah sebagai berikut:
𝑇𝐶𝑜 =∑TK x C
8 𝑗𝑎𝑚 𝑥 3600 𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘
𝑇𝐶𝑜/𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟 =𝑇𝐶𝑜
𝐷/𝑇
Keterangan:
C1 (Harian) = C x ∑TK C1 (Borongan) = C x ∑Material
58
TCo = Total biaya operator per detik
C = Biaya tenaga kerja per hari
∑TK = Jumlah tenaga kerja
D = Jarak penanganan barang
T = Waktu penanganan bahan
Biaya depresiasi peralatan (Cd) merupakan biaya penyusutan alat yang
dipergunakan dalam proses penanganan bahan. Biaya penyusutan peralatan
penanganan bahan dinyatakan dalam satuan Rupiah per hari. Penyusutan ini
dihitung dengan jangka waktu penyusutan per tahun hari kerja. Adapun perhitungan
dari biaya depresiasi peralatan adalah sebagai berikut:Cawal Cakhir
𝐶𝑑 =(
Cawal − Cakhir 𝑈𝑚𝑢𝑟 𝑒𝑘𝑜𝑛𝑜𝑚𝑖𝑠
) 𝑥 ∑unit
312 ℎ𝑎𝑟𝑖
Keterangan:
Cd = Biaya depresiasi
Cawal = Harga awal alat penanganan bahan
Cakhir = Harga akhir alat penanganan bahan
∑unit = Jumlah alat penanganan bahan yang digunakan
Jarak tempuh (M) berbeda dengan jarak penanganan bahan (D). Jarak tempuh
adalah jarak yang harus ditempuh untuk menyelesaikan seluruh kegiatan
pemindahan bahan dalam sekali proses produksi. Sedangkan jarak penanganan
bahan merupakan jarak yang harus ditempuh dalam memindahkan bahan dari satu
departemen ke departemen selanjutnya.
M = F x D
Keterangan:
M = Mileage (Jarak Tempuh)
F = Frekuensi penanganan bahan
D = Jarak penanganan bahan
Setelah menghitung semua variabel yang dibutuhkan kemudian dapat
menghitung biaya penanganan bahan (Ongkos Material Handling atau OMH).
Biaya ini merupakan biaya yang dibutuhkan untuk memindahkan bahan dari satu
departemen ke departemen lainnya. Adapun rumus dari perhitungan OMH adalah
sebagai berikut:
59
OMH = Cd + C1 + (Tco x M) OMH/Meter = 𝑂𝑀𝐻
𝑀
Keterangan:
OMH = Biaya penanganan bahan
C1 = Biaya tenaga kerja
Cd = Biaya depresiasi peralatan penanganan bahan
TCo = Biaya operator per meter
M = Jarak tempuh
2) From to Chart (FTC)
FTC dibagi menjadi dua model yaitu TFC biaya yang merupakan hasil
rekapitulasi biaya penanganan bahan dan TFC inflow/outflow dari hasil konversi
nilai FTC biaya ke dalam nilai koefisien. Berikut merupakan perhitungan untuk
menentukkan nilai FTC inflow/outflow adalah sebagai berikut:
TFCInflow=𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝐹𝑇𝐶 𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑝𝑒𝑛𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑠𝑒𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑠𝑒𝑙 𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑘𝑠 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑖𝑠𝑖
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝐹𝑇𝐶 𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑘𝑜𝑙𝑜𝑚 𝑠𝑒𝑙 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑏𝑢𝑡
TFCOutflow=𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝐹𝑇𝐶 𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑠𝑒𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑠𝑒𝑙 𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑘𝑠 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑖𝑠𝑖
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝐹𝑇𝐶 𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑏𝑎𝑟𝑖𝑠 𝑠𝑒𝑙 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑏𝑢𝑡
Tabel 5. Contoh From To Chart
Ke - Dari A B C D Jumlah
A 10 20 30 60
B - - 40 40
C - 20 10 10
D 20 - - 20
Jumlah 20 30 20 80 150
Sumber: Wignjosoebroto, 2003
60
4.5.5 Perbaikan Tata Letak Fasilitas Produksi
1. Analisa perbaikan dengan Metode Konvensional
Analisa perbaikan metode konvensional dapat dilakukan dengan menggunakan
Diagram Hubungan Aktivitas atau Activity Relationship Diagram (ARD) dan Tabel
Skala Prioritas (TSP). Kedua alat analisis ini dapat membantu dalam
memprioritaskan departemen yang harus didekatkan melalui koefisien FTC
Outflow sehingga apabila sudah ditentukan hubungan kedekatan departemen yang
harus diprioritaskan maka akan mempermudah dalam penyusunan aliran kerja yang
baru (usulan).
Pembuatan ARD mempunyai empat tahapan yaitu Pada tahap pertama, diagram
hubungan aktivitas disusun berdasarkan kondisi tata letak aktual. Diagram disusun
menurut lokasi penempatan departemen yang diterapkan dan kemudian
digambarkan garis aliran penanganan bahannya. Pada tahap kedua diagram
diperbaiki dengan pertimbangan dari hasil lembar kerja peta hubungan aktivitas.
Departemen yang memiliki nilai keterkaitan A (mutlak perlu) yang berarti harus
didekatkan satu sama lain.
Pada tahap ketiga, diagram hubungan aktivitas diperbaiki dengan pertimbangan
dari hasil tabel skala prioritas yang merupakan hasil perhitungan FTC Outflow.
Prioritas diurutkan berdasarkan harga koefisien biayanya, yang mana harga
koefisien yang terbesar yang akan merupakan prioritas satu/pertama. Setelah itu,
menggambarkan garis aliran penanganan bahannya. Berdasarkan diagram tersebut
dapat diketahui jarak alternatif penanganan bahan, karena departemen mengalami
perubahan/perbaikan tata letak. Selain itu perbaikan tata letak ini memiliki
kemungkinan mengakibatkan adanya perubahan frekuensi, dan alat yang digunakan
dalam penanganan bahan
2. Analisa perbaikan dengan Metode CRAFT
Perangkat lunak WinQSB merupakan sebuah aplikasi mengenai tata letak
fasilitas yang berguna untuk memecahkan masalah seperti Facility Location,
Funcional Layout dan Line Balencing. Perangkat lunak ini menerapkan sistem
algoritma CRAFT (Computerized Relative Allocation of Facilites Technique).
Perangkat lunak ini membutuhkan data tata letak awal untuk dapat menghasilkan
tata letak usulan yang terbaik. Data yang dibutuhkan seperti biaya penanganan
61
bahan, jarak penanganan bahan serta penempatan lokasi tata letak tersebut.
Perangkat lunak WinQSB terlebih dahulu membutuhkan data titik pusat
departemen pada tata letak fasilitas awal dan jarak antara titik pusat tersebut dengan
menggunakan perangkat lunak Microsoft Visio.
Berikut adalah langkah-langkah dalam menggunakan program WinQSB versi
2.00 dalam melakukan perbaikan tata letak fasilitas produksi jamu instan di PT.
Gujati 59 Utama.
1) Buka program WinQSB versi 2.00 (Facility Location and Layout). Pilih menu
File - New Problem.
2) Pilih tipe permasalahan ‘Functional Layout’ dan tentukan kriteria obyektifnya
yaitu ‘Minimization’ untuk minimalisasi biaya penangan bahan. Kemudian
menentukan jumlah departemen dan banyaknya baris dan kolom layout pada
kotak ‘Number of Rows in Layout Area’ dan ‘Number of Columns in Layout
Area’. Pilih OK
3) Perangkat lunak ini membutuhkan data tata letak fasilitas awal untuk
menghasilkan tata letak usulan yang terbaik. Data tersebut seperti tata letak
awal (koordinat X dan Y), data aliran (frekuensi penanganan bahan), dan
jumlah departemen yang tidak berubah (fixed). Pada tabel yang ditampilkan,
isi koordinat X dan Y tata letak awal pada kolom ‘Initial Layout in Cell
Locations’. Kemudian memasukkan data aliran/frekuensi penanganan bahan
pada kolom ‘To Departemen’, sifat departemen pada kolom ‘Location Fixed’,
dan kode departemen pada kolom ‘Departement Name’. Untuk nama
departemen diisi dengan huruf (A, B, C, ... ) atau angka (1, 2, 3, ... ) untuk
mempermudah dalam melihat hasil tata letak yang ditampilkan oleh program
ini.
4) Pilih Solve and Analyze untuk melakukan analisis dan perbaikan tata letak
fasilitas produksi. Pada Solution Option pilih metode perbaikan yang
diinginkan seperti Two-way exchange (mengganti-ganti dua departemen pada
saat bersamaan), Three-way exchange (mengganti-ganti tiga departemen pada
saat bersamaan), Two-way then three-way exchange (mengganti-ganti dua
departemen pada saat bersamaan kemudian mengganti-ganti tiga departemen
pada saat bersamaan), Three-way then two-way exchange (mengganti-ganti
62
tiga departemen pada saat bersamaan kemudian mengganti-ganti dua
departemen pada saat bersamaan, atau Evaluate the Initial Layout Only (hanya
menganalisis tata letak awal saja). Setelah itu memilih sistem pengukuran
jaraknya seperti Rectilinear Distance, Squared Equclidean Distance, dan
Equclidean Distance. Rectilinear distance lebih disarankan untuk analisis tata
letak karena cara ini banyak digunakan sebab mudah dalam perhitungan baik
secara program maupun manual, mudah dimengerti, dan cocok untuk beberapa
permasalahan pada bidang tata letak fasilitas.
Sistem kerja dari perangkat lunak WinQSB adalah dengan menukarkan
beberapa departemen yang bertujuan untuk meminimalkan biaya penanganan
bahan. Metode yang digunakan untuk mengubah tata letak untuk mendapatkan tata
letak yang optimal yaitu:
1. Two – way exchange (Pertukaran 2 departemen)
2. Three – way exchange (Pertukaran 3 departemen)
3. Two – way exchange followed by three – way exchange (Pertukaran 3
departemen dilanjutkan dengan pertukaran 2 departemen)
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Profil Perusahaan
PT. Gujati 59 Utama merupakan salah satu industri jamu yang berlokasi di
pusat sentra produksi jamu yaitu Sukoharjo, Jawa Tengah. Perusahaan ini memiliki
berbagai macam varian produk jamu baik berupa jamu instan maupun jamu serbuk
dan sekarang ini telah di rancang pembuatan jamu dalam bentuk kapsul dan pil.
Pembahasan profil perusahaan Gujati akan meliputi Sejarah dan Perkambangan,
Visi dan Misi, Deskripsi produk, Struktur organisasi, dan Sistem ketenagakerjaan.
5.1.1 Sejarah dan Perkembangan PT. Gujati 59 Utama
PT. Gujati 59 Utama pada awalnya sebelum mengalami perkembangan hingga
saat ini, di dirikan dengan nama Perusahaan Jamu (PJ) Gunung jati pada tanggal 22
Desember 1989 yang berlokasi di Cirebon. Pada saat itu perusahaan ini beroperasi
sebagaimana layaknya suatu usaha "home industry" dengan beberapa karyawan dan
daerah pemasaran yang sangat terbatas.
Seiring dengan berjalannya waktu, pada tahun 1996 PJ Gunung Jati berubah
bentuk menjadi Perseroan Terbatas dengan mengubah nama menjadi Gujati.
Pergantian nama perusahaan dilatarbelakangi untuk mempermudah masyarakat
dalam mengingat produk Gujati. Kemudian terjadi perubahan nama perusahaan
kembali hingga seperti sekarang ini yaitu PT. Gujati 59 Utama.
Pada tahun 2003, pihak pimpinan PT. Gujati 59 Utama memutuskan untuk
memindahkan aktivitas produksi ke Desa Gupit, Kec. Nguter, Kab. Sukoharjo, Jawa
Tengah. Diharapkan dengan kepindahan ke daerah Sukoharjo ini perusahaan akan
dapat terus tumbuh dan berkembang sesuai dengan visi dan misi yang telah
diciptakan.
5.1.2 Visi dan Misi PT. Gujati 59 Utama
PT. Gujati 59 Utama memiliki visi dan misi sebagai acuan dalam
mencapai tujuan yang dicita – citakan oleh Gujati. Berikut ini merupakan visi dan
misi dari perusahaan Gujati:
64
Visi
Menjadi industri jamu (Obat Herbal berbahan alami) terbaik yang berperan
penting dalam percaturan nasional maupun global dalam mendukung terciptanya
kesehatan masyarakat Indonesia dan dunia.
Misi
1. Menjadikan jamu sebagai tuan rumah di negeri sendiri dan tamu terhormat di
negara lain, melalui produk – produk bermutu yang memberikan kepuasan
kepada konsumen dan menjadi solusi masalah kesehatan masyarkat.
2. Menjadi perusahaan yang dapat memberikan nilai – nilai (value) yang tinggi dan
menjadi tumpuan hidup serta pengembangan diri bagi pemilik dan karyawan
perusahaan serta seluruh jaringan distributor dan pelaku alur distribusi lainnya.
3. Menjadi perusahaan yang berperan dalam peningkatan kemajuan bangsan dan
kesejahteraan rakyat Indonesia.
5.1.3 Deskripsi Produk Jamu
PT. Gujati 59 Utama memiliki varian produk jamu dengan jumlah sekitar ±
100 jamu baik jenis jamu serbuk maupun jamu instan. Namun, varian produk yang
memiliki penjualan paling tertinggi adalah Helios Susu sehingga memiliki jadwal
produksi yang intens. Helios susu merupakan salah satu varian produk jamu dengan
jenis jamu instan.
Helios susu merupakan jamu instan yang memiliki khasiat dalam
menunjang kesehatan anak – anak. Jamu helios ini terbuat dari bahan baku alami
seperti kunyit, kencur, wortel, madu, gula pasir dan beberapa tambahan perisa
vanilla dan susu. Jamu helios ini sangat digemari oleh anak – anak karena tersedia
berbagai varian dan rasa yang tidak pahit melainkan seperti susu. Adapun khasiat
dari jamu helios ini adalah memelihara kesehatan anak, meningkatkan nafsu makan,
dan menjaga sistem pencernaan pada anak.
5.1.4 Struktur Organisasi PT. Gujati 59 Utama
Penyusunan suatu struktur organisasi perusahaan dijadikan sebagai acuan
dalam tata kelola perusahaan. Setiap pembagian divisi telah diamanahkan tanggung
jawab tugas masing – masing terkait dengan pencapaian tujuan yang ingin digapai
65
oleh perusahaan. Struktur organisasi pada PT. Gujati 59 Utama dapat dilihat pada
lampiran 1. Adapun tata kelola yang berlaku pada PT. Gujati 59 Utama adalah
sebagai berikut:
1. Direktur Utama
1) Memimpin seluruh dewan atau komite eksekutif; bertindak sebagai
perwakilan organisasi dalam hubungannya dengan dunia luar; memainkan
bagian terkemuka dalam menentukan komposisi board dan sub – lomite
sehingga tercapai keselarasan dan efektivititas
2) Memimpin rapat umum, dalam hal; untuk memastikan pelaksanaan tata
tertib: keadilan dan kesempatan bagi semua untuk berkontribusi secara
tepat; mengarahkan diskusi kearah consensus; menjelaskan dan
menyimpulkan tindakan dan kebijakan
3) Mengambil keputusan sebagaimana di delegasikan oleh BOD (Board of
Director) atau pada situasi tertentu yang dianggap perlu, yang diputuskan
dalam meeting-meeting BOD
2. Staff Humas
1) Mediator pendengar yang baik untuk karyawan perusahaan melalui kritk
dan saran
2) Fasilitator dalam memecahkan masalah-masalah di perusahaan
3) Pemberi informasi mengenai perusahaan kepada pihak yang ingin
mengetahui tentang perusahaan
3. Staff Operasional
1) Membantu meringankan pekerjaan operasional direksi (direktur utama dan
direktur keuangan)
2) Fasilitator informasi dari direktur dengan divisi-divisi yang ada di
perusahaan
4. Direktur Keuangan
1) Direktur keuangan dapat membentuk divisi setingkat di bawahnya yang
jumlahnya di tetapkan dengan persetujuan Dewan Direksi
66
2) Mengawasi Operasional mengenai keuangan perusahaan; Meminta
pertanggungjawaban keuangan dari tiap-tiap bagian yang dibawahi oleh
direktur keuangan
3) Mempertanggungjawabkan kegiatan yang ada mengenai bagian keuangan;
Menetapkan prosedur pelaksanaan secara rinci tentang keuangan.
5. Manajer Pembelian
1) Bertanggung jawab dalam pembelian bahan baku serta bahan pendukung
untuk kegiatan produksi serta pembelian barang untuk keperluan semua
divisi
2) Memantau perubahan harga bahan baku serta bahan pendukung untuk
kegiatan produksi
3) Bertanggung jawab dalam pemilihan supplier yang tepat sebagai pemasok
bahan baku, bahan pendukung serta kemasan untuk menunjang kegiatan
produksi
6. Manajer Pabrik
1) Bersama-sama dengan bagian lain untuk mengantisipasi dan mengatasi
berbagai permasalahan produksi.
2) Menentukan sistematika kegiatan produksi
3) Menentukan perencanaan dan pengorganisasian jadwal kegiatan produksi
7. Administrasi Pabrik
8. National Sales Manager
1) Melakukan riset dan survey terhadap pasar serta analisa produk untuk
pengembangan produk dan penentuan harga
2) Merancang strategi sales perusahaan sesuai dengan yang ingin dicapai oleh
perusahaan
3) Monitoring dan menganalisa pencapaian produktivitas sales pada ruang
lingkup Retail dan Distributor
4) Memonitor inventory stock di setiap cabang secara berkala sesuai
kebutuhan pasar di setiap area cabang dan sesuai kapasitas cabang
9. Kepala Bagian Quality Assurance (QA)
67
1) Bertanggung jawab secara penuh terhadap pelaksanaan implementasi
CPOTB
2) Bertanggung jawab dalam segala aspek baik dalam pemilihan supplier
bahan baku hingga produk jamu diedarkan
3) Bertanggung jawab terhadap teknis dalam menunjang kegiatan produksi
10. Kepala Bagian Umum dan Logistik
1) Mengelola seluruh barang yang dimiliki oleh perusahaan (barang
inventaris)
2) Bertanggung jawab dalam pengadaan barang yang diperlukan apabila
divisi tertentu menyelenggarakan kegiatan lapang atau acara perusahaan
3) Sebagai penyedia sarana dan prasarana diperusahaan
11. Kepala Bagian Pembelian
1) Merencanakan dan mengendalikan kegiatan yang berkaitan dengan
transaksi pembelian bahan baku dan barang-barang yang dibutuhkan oleh
perusahaan untuk menjaga kestabilan kegiatan produksi.
2) Membuat laporan hasil pembelian secara berkala
12. Kepala Bagian Produksi
1) Merencanakan dan mengendalikan kegiatan produksi dari pembuatan
jamu hingga pengemasan produk jamu
2) Membuat laporan hasil produksi produk secara berkala
13. Kepala Bagian PPIC (Planning Production and Inventory Control)
1) Menyediakan pemesanan dari bagian marketing dan menyusun rencana
produksi sesuai dengan pesanan marketing
2) Menyusun rencana pengadaan bahan yang didasarkan atas forecast dari
marketing melalui pemantauan kondisi stock barang yang akan diproduksi
3) Melakukan monitoring pada bagain inventory pada proses produksi,
penyimpanan barang di gudang maupun yang akan didatangkan pada
perusahaan sehingga saat proses produksi yang membutuhkan bahan dasar
bisa berjalan dengan lancar dan seimbang
68
4) Membuat jadwal proses produksi sesuai dengan waktu, routing dan jumlah
produksi yang tepat sehingga menjadikan waktu pengiriman produk pada
konsumen bisa dilakukan secara optimal dan cepat
14. Kepala Bagian Gudang
1) Membuat laporan bulanan stock opname kepada beberapa divisi terkait
2) Menerima bahan baku, bahan pendukung dan kemasan yang sudah
diluluskan oleh pihak Quality Control
3) Mengkoordinir keluarnya barang ke produksi sesuai dengan permintaan
4) Membuat surat permintaan barang kepada Direktur Keuangan, pihak
pembelian, Manager Pabrik
5) Mengawasi keluar masuknya surat yang berkaitan dengan keluar dan
masuknya barang dari gudang
15. Kepala Bagian Pengembangan dan Kualitas
1) Merencanakan dam melaksanakan pengembangan produk dengan
penelitian
2) Mengendalikan kualitas produk yang diawali dari bahan baku, proses
produksi, dan hingga kemasannya
3) Berkoordinasi pada divisi yang terkait, dalam hal pengembangan produk
4) Membuat laporan hasil pengecekan kualitas
5) Membuat izin pengembangan produk
16. Kepala Bagian Pemasaran
1) Melakukan perencanaan strategi pemasaran hasil produksi yang terpadu
dan efisien dengan memperhatikan sumber daya perusahaan.
2) Melakukan koordinasi kerja dan pembagian / pendelegasian tugas serta
tanggung jawab di lingkungan intern Bagian Marketing untuk
menghasilkan pola kerja yang lebih baik
3) Melakukan analisa laporan kondisi dan situasi pasar beserta analisa
pesaing.
69
17. Kepala Bagian Penjualan
1) Merencanakan dan mengendalikan kegiatan yang berkaitan dengan
penjualan dengan menerima order dan menyampaikan ke bagian produksi
maupun gudang untuk memenuhi permintaan konsumen.
2) Melaporkan hasil penjualan produk secara berkala
18. Kepala Bagian Personalia
1) Mengembangkan system perencanaan personalia dan pengendalian
kebijakan pegawai
2) Melaksanakan Kebutuhan administrasi dan kepagawaian
3) Bertanggung jawab dalam pelaksanaan rekrutmen tenaga kerja
4) Bertanggung jawab dalam pelaksanaan acara perusahaan
19. Kepala Bagian Persediaan
20. Kepala Bagian Keuangan
1) Mengatur keuangan di dalam perusahaan
2) Mengatur upah atau gaji kepada seluruh karyawan setiap bulan
3) Mengatur dan membayarkan tagihan atau in voice yang harus dibayarkan
perusahaan yang bekerja sama menjadi supplier di PT. Gujati 59 Utama
4) Mengatur regulasi pelunasan piutang
21. Kepala Bagian Perpajakan
1) Mengatur pembayaran pajak perusahaan sebelum jatuh tempo
2) Mengatur administrasi perpajakan
22. Kepala Bagian Pembukuan
1) Mengendalikan dan memberikan tugas kepada staff dalam melakukan
kegiatan yang berkaitan dengan pembukuan seperti pengumpulan nota-
nota pengeluaran karyawan.
23. Kepala Bagian Informasi Telekomunikasi
1) Bertanggung jawab dalam pengoperasian program aplikasi yang dirancang
oleh pihak IT
2) Bertanggung jawab dalam pengoperasian server internet perusahaan
3) Bertanggung jawab dalam pembaruan sistem informasi antar divisi untuk
mempermudah koordinasi antar divisi.
70
5.1.5 Sistem Ketenagakerjaan PT. Gujati 59 Utama
Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan salah satu asset yang terpenting
didalam sebuah perusahaan. Visi dan Misi yang telah diciptakan dapat diraih
apabila SDM yang dimiliki perusahaan memiliki tingkat kualifikasi yang baik dan
mampu untuk meraih dari tujuan perusahaan. PT. Gujati 59 Utama memiliki ± 250
pekerja yang dibedakan dalam tiga tingkat klasifikasi sebagai berikut:
1. Tenaga Kerja Tetap
Merupakan tenaga kerja yang memiliki status pekerja tetap dalam jangka waktu
yang tidak tertentu sesuai dengan keterangan yang tertera pada surat pengangkatan
dari pihak pimpinan perusahaan setelah karyawan tersebut telah melewati masa
kerja selama beberapa waktu dan dinyatakan memenuhi syarat. Semua karyawan
yang baru bekerja di Gujati diawali dengan status tenaga kerja harian terlebih
dahulu. Pengangkatan karyawan tetap pada Gujati dinyatakan apabila telah
melewati masa kerja ±3 tahun, namun apabila karyawan tersebut memiliki prestasi
kerja yang baik maka pengangkatan karyawan tetap juga dapat dilakukan oleh
pimpinan perusahaan. Tenaga kerja tetap Gujati mendapatkan fasilitas jaminan
kesehatan dan keselamatan kerja (BPJS), bonus penghasilan (tergantung
performance kerja), dan jatah waktu cuti sebanyak 10 kali. Tenaga kerja di Gujati
yang digolongkan sebagai tenaga kerja tetap adalah karyawan bagian Accounting,
HRD (Human Resources Development), Marketing, Penjualan, Purchasing, PPIC
(Production Planning Inventory Control), Quality Control, Research and
Development, Warehouse, Logistik, Kepala Bagian Kebersihan, Kepala Bagian
Maintenance, Kepala Bagian Produksi dan Staff Administrasi Produksi,.
2. Tenaga Kerja Harian
Merupakan tenaga kerja dengan status pekerja kontrak dengan masa kerja
dalam periode jangka waktu tertentu berdasarkan kontrak perjanjian kerja yang
telah disepakati antar kedua belah pihak (karyawan harian dan perusahaan). Tenaga
kerja harian pada umumnya memiliki sistem upah harian dengan 8 jam kerja dan
dibayarkan setiap dua minggu sekali. Hal umum tersebut juga berlaku pada
perusahaan Gujati disertai dengan kebijakan adanya peningkatan jumlah upah
selama dua kali dalam setahun. Tenaga kera harian mendapatkan fasilitas jaminan
71
kesehatan dan keselamatan kerja (BPJS), namun apabila mengambil waktu cuti
maka tidak akan diupah pada hari dimana karyawan tersebut mengambil cuti (tidak
mendapatkan jatah waktu cuti). Tenaga kerja di Gujati yang digolongkan sebagai
tenaga kerja harian adalah tenaga kerja yang berkontribusi secara langsung pada
pembuatan jamu (penanganan bahan baku, pemasakan jamu, pengemasan jamu,
mempersiapkan kemasan dan bahan pendukung).
3. Tenaga Kerja Borongan
Merupakan tenaga kerja yang tidak terikat kontrak kerja dengan pihak
perusahaan. Peran dari tenaga kerja borongan diperlukan apabila jumlah pesanan
produk jamu sangat melimpah sehingga membutuhkan lebih banyak tenaga untuk
menyelesaikan produksi jamu (tidak setiap hari dibutuhkan, hanya pada waktu
tertentu). Tenaga kerja borongan diupah secara harian seperti tenaga kerja harian.
Gujati biasanya membutuhkan tenaga kerja borongan untuk mempersiapkan bahan
kemasan ataupun bahan pendukung seperti box kemasan, brosur, dan lain – lain.
72
5.2 Hasil
Penjabaran dari hasil penelitian yang dilakukan pada PT. Gujati 59 Utama
mengenai “Implementasi Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB)
dengan Perancangan Ulang Tata Letak Fasilitas Produksi pada PT. Gujati 59
Utama” akan dijelaskan dengan beberapa pembahasan sub bab. Sub bab tersebut
terdiri dari identifikasi tata letak awal, analisa proses produksi, analisa aliran bahan
dan perbaikan tata letak fasilitas produksi dengan metode konvensional dan
menggunan bantuan aplikasi WinQSB. Sementara itu, analisa implementasi Cara
Pembuatan Obat Tradisional yang baik (CPOTB) akan dijelaskan secara rinci pada
bab pembahasan.
5.2.1 Identifikasi Tata Letak Awal
Identifikasi tata letak awal diperlukan untuk mengetahui kondisi awal tata
letak fasilitas produksi dengan menggambar tata letak awal, mengukur kebutuhan
luas area, dan jarak penanganan bahan. Pola aliran yang terdapat pada Gujati adalah
berbentuk lintasan yang tidak tentu (tidak beraturan) sesuai dengan pendapat Apple
(1990) yang menyatakan bahwa pola aliran ini dapat diaplikasikan pada proses
produksi yang singkat, relatif sederhana dan dapat memperpendek jarak lintasan.
PT. Gujati 59 Utama memproses bahan baku menjadi produk jamu yang telah siap
kemas, namun peralatan yang dimiliki masih sederhana dalam kuantitas yang
terbatas dengan alasan untuk memberdayakan tenaga kerja manusia.
PT. Gujati 59 Utama memiliki ruang produksi jamu yang terbagi menjadi
jamu instan dan jamu serbuk. Namun dalam penelitian ini perbaikan tata letak
fasilitas produksi hanya akan berfokus pada ruang produksi jamu instan. Hal ini
dilatarbelakangi dengan adanya lintasan perpindahan bahan yang lebih pendek dan
efisien dibandingkan dengan lintasan perpindahan bahan yang terjadi pada keadaan
lapang. Selain itu, kondisi ruang produksi jamu serbuk yang sudah cukup baik
sehingga tidak perlu dilakuan perbaikan tata letak.
73
Tabel 6. Departemen Bagian Produksi Jamu Instan
No Nama Singkatan
1 Ruang Pengambilan BB PBB
2 Ruang Perendaman RDM
3 Ruang Antar Barang RAB
4 Ruang Parut PRT
5 Ruang Peras PRS
6 Ruang Masak MSK
7 Ruang Ayak AYK
8 Ruang Mixing MXG
9 Ruang Packing Primer PRM
10 Ruang Packing Sekunder SKN
Sumber: Data Primer, 2017 (diolah)
Untuk tata letak fasilitas produksi awal pada pembuatan jamu instan terdiri
dari 10 departemen antara lain ruang pengambilan Bahan Baku (PBB). ruang
perendaman (RDM), ruang antar barang (RAB), ruang parut (PRT), ruang peras
(PRS), ruang masak (MSK), ruang ayak (AYK), ruang mixing (MXG), ruang
packing primer (PRM) dan ruang packing sekunder (SKN). Adapun proses
penanganan bahan baku jamu instan dimulai dari ruang perendaman (PRM) karena
bahan baku jamu instan didominasi oleh simplisia basah sehingga perlu dilakukan
adanya perendaman bahan baku. Setelah melalui tahapan proses perendaman,
bahan baku tersebut diantarkan melalui Ruang Antar Barang (RAB). RAB ini
merupakan ruang yang mempertemukan antar departemen Gudang dengan
departemen Produksi. Kemudian pihak produksi akan mengambil bahan baku di
ruang RAB yang selanjutnya akan melalui serangkaian proses produksi.
74
Tabel 7. Departemen Bagian Produksi Jamu Serbuk
No Nama Singkatan
1 Ruang Antar Barang RAB
2 Ruang Grinder GRN
3 Ruang Formulasi FRM
4 Ruang Mixing MXG
5 Ruang Giling GLG
6 Ruang Ayak AYK
7 Ruang Packing Primer PRM
8 Ruang Packing Sekunder SKN
Sumber: Data Primer, 2017 (Diolah)
Untuk tata letak fasilitas produksi awal pada pembuatan jamu serbuk terdiri
dari 8 departemen antara lain ruang antar barang (RAB), ruang grinder (GRN),
ruang formulasi (FRM), ruang mixing (MXG), ruang giling (GLG), ruang ayak
(AYK), ruang packing primer (PRM) dan ruang packing sekunder (SKN). Adapun
proses penanganan bahan baku jamu instan dimulai dari pengantaran bahan baku
melalui Ruang Antar Barang (RAB) menuju ruang grinder. Proses grinder ini
merupakan tahapan awal dalam proses produksi pembuatan jamu serbuk.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, di dalam penelitian ini hanya
akan terfokus pada proses produksi pembuatan jamu instan, karena design tata letak
pembuatan jamu serbuk tidak mengalami permasalahan yang rumit, namun masih
terdapat beberapa kekurangan seperti ruangan produksi yang tidak bersekat,
menimbulkan polusi yang berasal dari debu – debu serbuk jamu, permukaan lantai
yang belum rata, serta ruang produksi yang banyak menyimpan barang sehingga
terlihat sempit dan tidak teratur.
75
Tabel 8. Fasilitas Pendukung Proses Produksi
No Nama Singkatan
1 Gudang Simplisia Bersih GDSB
2 R. Cuci Sortasi Simplisia Kotor RCS
3 R. Oven Simplisia ROS
4 Gudang Simplisia Kotor GDSK
5 R. Admin Gudang BB ABB
6 Gudang Bahan Kemas GBK1
7 Produksi Pil RPP
8 Press Kemasan RPK
9 Koding KDG
10 Gudang Bahan Kemas 2 GBK2
11 R. Alat Kebersihan RAK
12 R. Kantor Quaity Control SPV
13 R. Kantor Produksi IPC
14 R. Ganti dan Sterilisasi TK GBJ
15 R. Cuci Simpan Alat CSA
16 Gudang Produk Jadi GPJ
17 WIP1 WIP1
18 WIP 1 WIP2
Sumber: Data Primer, 2017 (Diolah)
Fasilitas pendukung proses produksi merupakan beberapa departemen yang
turut menunjang proses produksi jamu instan maupun jamu serbuk. Berdasarkan
tabel, dapat dilampirkan terdapat 18 departemen yang masih menjadi satu kesatuan
ruang produksi jamu. Disalah satu fasilitas pendukung terdapat ruang produksi pil.
Alasan ruang produksi pil ini masih termasuk dalam fasilitas pendukung karena
produksi pil yang belum berjalan (masih dalam perencanaan). Selain itu, dengan
mengetahui fasilitas pendukung maka peneliti dapat mengetahui pengalokasian
ukuran departemen yang dimulai dari departemen produksi jamu instan, jamu
serbuk dan fasilitas pendukung. Hal ini mempermudah peneliti dalam menentukkan
luas kebutuhan area seluruh ruang produksi dalam pengidentifikasian tata letak
awal fasilitas produksi.
76
Gambar 3.2 Tata Letak Awal Fasilitas Produksi
Sumber: Data Primer, 2017 (Diolah)
77
Tahapan produksi yang pertama pada pembuatan jamu instan adalah tahap
pemarutan. Semua simplisia basah yang akan digunakan dalam proses pembuatan
jamu diparut kemudian hasil dari parutan akan diperas untuk pengambilan sari –
sari dari bahan baku jamu tersebut. Sari – sari bahan baku tersebut kemudian
dimasak dalam wajan yang besar dan di campurkan dengan beberapa komposisi
yang mendukung dalam pembuatan jamu seperti gula, perisa dan pewarna. Setelah
selesai dimasak, kemudian ruahan jamu tersebut diayak dan selanjutnya akan
melalui tahapan mixing. Apabila ruahan jamu telah dimixing, kemudian ruahan
jamu siap di kemas pada ruang kemas primer dan sekunder. Proses tahapan
pembuatan jamu instan secara detail dapat dilihat pada Flow Process Chart pada
lampiran 6.
1. Kebutuhan Luas Area
PT. Gujati 59 Utama memiliki pola aliran bahan berbentuk aliran yang tidak
teratur juga didukung dengan area bangunan yang cukup besar sehingga
penanganan bahan menempuh area yang panjang. Luas keseluruhan ruang produksi
(instan dan serbuk) dan ruang gudang adalah 1623 m2, sedangkan untuk fasilitas
pendukung memiliki luas sebesar 751,51 m2. Ukuran kebutuhan luas lantai dapat
dijelaskan pada tabel 9.
Tabel 9. Luas Kebutuhan Area per Departemen Jamu Instan
No. Nama Ukuran (m) Luas (m2) Keterangan
P L
1 PBB - - 57.20* Non Fixed
2 RDM - - 18.00* Non Fixed
3 RAB 3.00 1.50 4.50 Non Fixed
4 PRT 2.25 1.00 2.25 Fixed
5 PRS 4.50 2.00 9.00 Fixed
6 MSK 10.00 4.70 47.00 Fixed
7 AYK 4.70 4.30 20.21 Fixed
8 MXG 1.68 1.63 2.74 Fixed
9 PRM 1.31 1.58 4.14 Fixed
10 SKN 9.00 8.50 76.50 Fixed
Total 241.54
Keterangan: *pada ruang PBB dan ruang RDM berbentuk Trapesium
- Fixed untuk ruangan yang tidak dapat dipindahkan
- Non Fixed untuk ruangan yang dapat dipindahkan
Sumber: Data Primer, 2017 (Diolah)
78
Berdasarkan tabel pada luas kebutuhan area departemen jamu instan, terdapat
10 departamen inti yang terkait langsung dengan produksi jamu instan. Dari 10
departemen, departemen yang tidak dapat dipindahkan (fixed) berjumlah 7
departemen yang dimulai dari proses pemarutan hingga pengemasan sekunder.
Sementara itu, terdapat 3 departemen yang dapat dipindahkan (non fixed) yaitu
Ruang pengambilan Bahan Baku (PBB), Ruang Perendaman (RDM) dan Ruang
Antar Barang (RAB). Ketiga departemen ini pada praktik lapang memiliki
permasalahan yang cukup menonjol, yaitu panjangnya lintasan yang ditempuh dari
ruang perendaman hingga ruang tahapan awal produksi jamu instan yaitu ruang
parut. Selain itu, dalam pengantaran bahan baku turut melewati gudang simplisia
bersih yang memiliki kondisi kurang higienis dan tanpa diberikan pelindung
(bahan baku yang telah direndam dibiarkan dalam kondisi terbuka) sehingga rawan
akan serangan mikroorganisme.
Tabel 10. Luas Kebutuhan Area per Departemen Jamu Serbuk
No. Nama Ukuran (m) Luas (m2) Keterangan
P L
1 RAB 2.00 1.50 3.00 Fixed
2 GRN 1.20 11.40 13.68 Fixed
3 FRM 9.00 0.45 4.05 Fixed
4 MXG 1.92 1.24 19.88 Fixed
5 GLG 10.50 6.00 63.00 Fixed
6 AYK 2.40 1.24 2.98 Fixed
7 PRM 4.05 1.58 124.30 Fixed
8 SKN 9.00 8.50 76.50 Fixed
Total 307.38
Keterangan: - Fixed untuk ruangan yang tidak dapat dipindahkan
- Non Fixed untuk ruangan yang dapat dipindahkan
Sumber: Data Primer, 2017 (Diolah)
Berdasarkan tabel luas kebutuhan departemen jamu serbuk, maka terdapat 8
departemen inti yang terkait langsung dengan pembuatan jamu serbuk. Dari 8
departemen tersebut, semua memiliki status “Fixed” dimana departemen tersebut
tidak dapat dipindahkan karena sudah terhubung secara baik antar satu departemen
atau dapat dikatakan sudah sesuai dengan aliran urutan kerja. Namun, masih
terdapat beberapa tempat kosong yang ada pada fasilitas pendukung dan dapat
dijadikan tempat penyimpanan barang – barang yang ada pada ruang produksi jamu
79
serbuk, karena seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, ruang produksi jamu
serbuk terlihat sempit dan tidak teratur.
Pada tabel 11 juga dilampirkan luas kebutuhan area fasilitas pendukung.
Beberapa dari fasilitas pendukung masih belum berjalan dengan efektif karena
masih dalam tahap perencanaan ataupun pengembangan. Tabel tersebut
melampirkan 18 departemen yang masih satu kesatuan didalam ruang produksi
pembuatan jamu, baik jamu instan maupun jamu serbuk.
Tabel 11. Luas Kebutuhan Area Fasilitas Pendukung
No. Nama Ukuran (m) Luas (m2)
P L
1 GDSB 14.00 11.00 154.00
2 RCS 9.50 7.50 18.00
3 ROS 6.00 5.50 33.00
4 GDSK 6.00 5.00 30.00
5 ABB 3.83 3.33 12.75
6 GBK1 3.50 5.50 36.75
7 RPP 7.50 3.85 28.88
8 RPK 3.50 3.50 12.25
9 KDG 3.50 2.00 125.50
10 GBK2 7.00 7.00 49.00
11 RAK 3.85 3.5 13.48
12 SPV 3.00 1.80 5.40
13 IPC 3.00 1.80 5.40
14 GBJ 9.00 7.50 67.50
15 CSA 4.00 2.80 11.20
16 GPJ 12.00 8.50 102.00
17 WIP1 4.34 4.15 18.01
18 WIP2 7.10 4.00 28.40
Total 751.51
Sumber: Data Primer, 2017 (Diolah)
Berdasarkan tabel keseluruhan kebutuhan luas area dan observasi langsung, tata
letak yang diterapkan oleh PT. Gujati 59 Utama adalah tata letak berdasarkan
produk. Hal ini dapat dilihat dari keterkaitan letak departemen yang terhubung
karena adanya urutan aliran kerja untuk menghasilkan suatu produk akhir yaitu
jamu.
80
2. Jarak Penanganan Bahan
Jarak penanganan bahan dapat ditentukan setelah kita mengetahui kondisi tata
letak dan kebutuhan luas lantai. Jarak penanganan bahan adalah panjang lintasan
yang harus ditempuh dari satu departemen ke departemen lain yang saling
berhubungan. Berikut ini merupakan hasil perhitungan jarak antar departemen yang
dibutuhkan untuk menghitung jarak penanganan bahan dengan bantuan koordinat
masing - masing departemen.
Tabel 12. Titik Koordinat Departemen Jamu Instan
Departemen Titik Koordinat Titik Pusat
(Centoroid)
Jarak
X1 X2 Y1 Y2 X Y
Pengambilan BB 2.72 25.79 9.21 17.00 5.97 21.40 17.24
Perendaman 5.46 37.74 9.21 41.40 7.34 39.57 33.45
Pengantaran BB 32.14 31.27 34.88 30.00 33.51 30.64 1.06
Pemarutan 11.95 18.73 13.88 16.83 12.92 17.78 6.82
R. Peras 9.62 20.93 13.88 19.07 11.75 20.00 7.00
R. Masak 9.62 25.82 19.66 21.31 14.64 23.57 8.72
R. Ayakan 19.97 25.82 24.02 21.31 22.00 23.57 9.54
R. Mixing 16.01 20.96 19.66 17.05 17.84 19.01 0.86
R. Packing Primer 12.86 14.97 15.71 11.06 14.29 13.02 28.17
R. Packing
Sekunder
18.75 9.07 26.05 2.46 22.40 5.77
Total 112.85
Sumber: Data Primer, 2017 (Diolah)
Perhitungan jarak pada penelitian ini menggunakan Jarak Rectilinear, selain
karena perhitungannya yang lebih sederhana dan mudah, jarak rectilinear ini
digunakan pada perangkat lunak WinQSB. Hal ini sesuai dengan teori Heragu
(2008) yang menyatakan bahwa metode jarak rectiliniear ini sering digunakan pada
penanganan bahan karena relatif mudah dipahami dan cocok untuk menyelesaikan
masalah yang masih dalam ruang lingkup sederhana (praktis). Berikut ini
merupakan hasil perhitungan jarak antar departemen yang ditentukan dari masing
– masing koordinat yang dihasilkan tiap departemen.
81
Tabel 13. Jarak Antar Departemen Jamu Instan
JARAK ANTAR DEPARTEMEN TATA LETAK AWAL
Ke PBB RDM RAB PRT PRS MSK AYK MXG PRM SKN Total
Dari
PBB 17.24 17.24
RDM 33.45 33.45
RAB 1.06 1.06
PRT 6.82 6.82
PRS 7.00 7.00
MSK 8.72 8.72
AYK 9.54 9.54
MXG 0.86 0.86
PRM 28.17 28.17
SKN
Total 17.24 33.45 1.06 6.82 7.00 8.72 9.54 0.86 28.17 112.85
Sumber: Data Primer, 2017 (Diolah)
Berdasarkan tabel jarak antar departemen jamu instan dapat disimpulkan bahwa
total jarak keseluruhan departemen jamu instan adalah sebesar 112,85 m dengan
rincian sebagai berikut:
• Jarak departemen PBB ke RDM adalah sebesar 17.24 m
• Jarak departemen RDM ke RAB adalah sebesar 33.45 m
• Jarak departemen RAB ke PRT adalah sebesar 1.06 m
• Jarak departemen PRT ke PRS adalah sebesar 6.82 m
• Jarak departemen PRS ke MSK adalah sebesar 7.00 m
• Jarak departemen MSK ke AYK adalah sebesar 8.72 m
• Jarak departemen AYK ke MXG adalah sebesar 9.54 m
• Jarak departemen MXG ke PRM adalah sebesar 0.86 m
• Jarak departemen PRM ke SKN adalah sebesar 28.17 m
5.2.2 Analisa Proses Produksi
1. Peta Proses Operasi
Peta proses operasi (Operation Process Chart) merupakan salah satu jenis dari
peta proses yang berfungsi untuk menunjukkan proses produksi secara kronologis
dimulai dari bahan baku sebelum diolah hingga menjadi produk jadi. Peta proses
yang terdapat pada penelitian ini menerangkan proses pembuatan jamu instan yang
82
dimulai dari tahapan perendaman hingga pengemasan akhir. Untuk gambar peta
proses produksi jamu instan “Helios Susu” dapat dilihat pada lampiran 5.
Berdasarkan pada gambar peta proses operasi jamu Helios dapat disimpulkan
bahwa dalam pembuatan jamu instan “Helios Susu” terdapat 8 operasi yang salah
satunya terdapat proses “menunggu atau delay”. Satuan kerja yang digunakan tiap
elemen kerja adalah dalam bentuk menit. Waktu yang tertera pada peta proses
operasi berdasarkan pengamatan peneliti pada setiap tahapan proses. Pada peta
proses ini hanya menunjukkan banyaknya kegiatan yang dilakukan dan waktu yang
dibutuhkan pada masing – masing proses. Maka dari itu, peneliti memutuskan
untuk menjelaskan secara merinci pada peta aliran proses.
2. Peta Aliran Proses
Pada dasarnya, peta aliran proses dan peta proses operasi memiliki prinsip
yang sama dalam menunjukkan proses kronologi pembuatan produk, namun peta
aliran proses dirancang untuk memberikan pemahaman secara cepat dari kegiatan
– kegiatan operasi yang harus dilakukan dalam memproduksi/membuat suatu
produk (Wignjosoebroto, 2003). Adapun informasi spesifik yang dapat diuraikan
dalam peta aliran proses yaitu jarak, waktu dan uraian kegiatan proses produksi.
Berdasarkan pada gambar peta aliran proses, proses penanganan bahan
dimulai dari penimbangan bahan baku sebesar 300 kg, dan kemudian masuk ke
dalam proses perendaman. Perendaman ini berlangsung selama 3 jam dan
mengalami penyusutan hingga mencapai 286 kg. Setelah bahan baku tersebut
direndam, kemudian diantarkan ke ruang produksi melalui RAB dengan menempuh
jarak 33.45 m dalam waktu 35 detik. Kemudian bahan baku ini memulai proses
pengolahan dengan memasuki tahap pemarutan. Tahapan ini memerlukan waktu 30
menit dan berat bahan baku menyusut menjadi 240 kg. kemudian berlanjut ke
tahapan peras dengan menghasilkan berat akhir sebesar 185 kg.
Proses pembuatan jamu instan mulai memasukki proses pemasakan dengan
adanya penambahan komposisi berupa gula, pewarna maupun perisa sehingga berat
sari – sari dari bahan baku meningkat menjadi 185.7 kg dengan masing – masing
wajan menempuh waktu pemasakan selama 1 jam. Kemudian setelah pemasakan,
cairan sari – sari bahan baku mengkristal dan menjadi ruahan jamu. Ruahan jamu
83
ini kemudian diayak sehingga menghasilkan berat 183.4kg yang dengan waktu 90
menit. Ruahan jamu yang telah diayak kemudian di mixing sehingga berat akhir
menghasilkan 304.3 kg dalam waktu 45 menit. Setelah proses mixing, ruahan jamu
ini dipacking secara primer menggunakan mesin sealer dan kemudian dilanjut ke
proses tahapan akhir yaitu packing sekunder. Proses packaging ini dapat ditempuh
selama satu hari pada jam kerja.
5.2.3 Analisa Aliran Bahan
Aliran bahan merupakan tempat yang digunakan sebagai perpindahan bahan
dalam setiap proses produksi. Aliran bahan ini harus diperhatikan didalam tata letak
karena dengan adanya perencanaan aliran bahan yang baik, maka dapat
meminimalisir terjadinya back tracking (aliran balik) sehingga juga dapat
mengefisiensikan waktu dan biaya produksi. Aliran bahan pada tata letak fasilitas
produksi PT. Gujati 59 Utama dianalisis pada dua analisis yaitu analisis kualitatif
dan analisis kuantitatif.
1. Analisis Kualitatif
Penelitian ini menggunakan Diagram Hubungan Aktivitas (Activity
Relationship Chart) sebagai metode kualitatif untuk mengatur terkait akan tata letak
dari setiap masing – masing departemen. Diagram hubungan aktivitas berfungsi
untuk mengetahui tolak ukur derajat kedekatan hubungan dari masing – masing
departemen. Huruf – huruf (A, E, I, O, U dan X) yang berada di atas kotak
menunjukkan derajat kedekatan masing – masing kelompok kegiatam atau
departemen. Kemudian angka sandi diberikan dikotak bawah yang menujukkan
alasan dari derajat kedekatan hubungan tersebut.
Penentuan derajat kedekatan hubungan tidak dapat di tentukan begitu saja oleh
peneliti, melainkan harus melakukan wawancara dengan narasumber (key
informant) dari proses observasi. Penetuan alasan tersebut dapat berdasarkan pada
kondisi lingkungan kerja, keterkaitan proses, peralatan yang digunakan, tenaga
kerja dan aliran informasi.
84
Gambar 3.3 Activity Relationship Chart pada Departemen produksi Jamu Instan
Sumber: Data Primer, 2017 (Diolah)
Berdasarkan peta hubungan aktivitas pada gambar dapat disimpulkan bahwa
untuk mendapatkan nilai keterkaitan antar departemen secara mutlak maka harus
didasarkan dengan beberapa alasan yang kuat dan saling terkait seperti contoh
penggunaan tenaga kerja yang sama, urutan aliran proses produksi, adanya kontak
kerja yang sering dilakukan sehingga kedua departemen tersebut harus didekatkan
antar satu sama lain. Sedangkan departemen yang sangat tidak diharapkan untuk
didekatkan antar kedua departemen biasanya diiringi dengan alasan untuk
meminimalisir terjadinya kondisi lingkungan kerja yang bising (ramai), kotor, debu
dan bau yang tidak enak. Rincian penjelasan mengenai Activity Relationship Chart
terlampir pada lampiran 7.
85
2. Analisis Kuantitatif
Pada penelitian ini menggunakan metode kuantitaif dengan menghitung biaya
penanganan bahan dan From To Chart. Biaya penanganan bahan dan From To
Chart memiliki keterkaitan dalam penggunaan input data, dimana hasil dari biaya
penanganan bahan direkapitulasi sebagai input data yang diperlukan oleh From to
Chart.
1) Biaya Penanganan Bahan
Menurut Wignjosoebroto (2003) penanganan bahan (Material Handling)
merupakan sebagai ilmu yang meliputi penanganan (handling), pemindahan
(moving), pengemasan (packaging), penyimpanan (storing) dan pengendalian
(controlling) dari bahan yang akan diolah menjadi produk jadi. Biaya penanganan
bahan pada penelitian ini meliputi biaya depresiasi alat, biaya tenaga kerja operator,
kecepatan material handling per alat pemindahan bahan dan jarak tempuh.
Tabel 14. Depresiasi Alat Pemindahan Bahan
Depresiasi Alat Harga Biaya
Depresiasi
(Rp/detik)
Kecepatan
detik/meter
Material
Handling/detik
Trolley 90000 0.0024 15 3.475
Krat 40000 0.0011 3 3.473
Wadah Stainless Steel 30000 0.0008 3 3.473
Ember 10000 0.0003 3 3.472
Tong 30000 0.0008 25 3.473
Wadah Ayakan 150000 0.0040 15 3.476
Sumber: Data Primer, 2017 (Diolah)
Berdasarkan tabel depresiasi alat pemindahan bahan diatas dapat disimpulkan
bahwa alat pemindahan bahan yang dimiliki dalam proses pembuatan jamu instan
terdiri dari Trolley, Krat, Wadah stainless steel, Ember, Tong, dan Wadah ayakan.
Masing – masing alat pemindahan bahan memiliki harga awal yang bervariasi
dengan umur ekonomis rata – rata 5 tahun. Masing – masing material handling
didapatkan dari total biaya depresiasi dan biaya tenaga kerja operator.
86
Tabel 15. Biaya Tenaga Kerja Pembuatan Jamu Instan
Tenaga Kerja Status Jumlah Gaji/kg/hari Total
Perendaman
Harian
2
50000
100000
Pengantaran BB 2 100000
Pemarutan 2 100000
R. Peras 2 100000
R. Masak 2 100000
R. Ayakan 2 100000
R. Mixing 1 50000
R. Packing Primer 2 100000
R. Packing Sekunder 22 1100000
Total 37 1850000
Sumber: Data Primer, 2017 (Diolah)
Berdasarkan tabel biaya tenaga kerja pada pembuatan jamu instan dapat
disimpulkan bahwa terdapat 37 pekerja harian yang melakukan proses produksi
dengan biaya upah per hari sebesar Rp 50.000,-. Upah tenaga kerja ini ditetapkan
sesuai dengan UMR (Upah Minimum Regional) wilayah Sukoharjo. Sistem
pembayaran upah karyawan pada PT. Gujati 59 Utama dilakukan per dua minggu
sekali sehingga para karyawan menerima upah sebanyak dua kali dalam sebulan.
Pada bagian perendaman hingga pengantaran bahan baku terdapat 2 karyawan
gudang yang bertanggung jawab sebelum masuk ke ruang produksi. Kemudian, dari
proses pemarutan hingga pengayakan terdapat 2 orang karyawan yang sama dalam
pembuatan proses jamu instan. Pada proses mixing hanya dilakukan oleh 1
karyawan dan kemudian hasil mixing ini dilanjutkan ke proses pengemasan primer
dan pengemasan sekunder. Khusus untuk jamu instan helios susu ini pengemasan
primer yang dilakukan oleh dua karyawan karena proses pengemasan primer sudah
menggunakan mesin.
87
Tabel 16. Jarak Tempuh Tata Letak Awal
Departemen Frekuensi Jarak Jarak
Tempuh Dari Ke
Pengambilan
BB
Perendaman 1 17.24 20.7
Perendaman Pengantaran BB 1 33.45 38.3
Pengantaran BB Pemarutan 1 1.06 1.2
Pemarutan R. Peras 2 6.82 11.7
R. Peras R. Masak 4 7.00 28.1
R.Masak R. Ayakan 4 8.72 32.0
R. Ayakan R. Mixing 6 9.54 58.1
R. Mixing R. Packing Primer 7 0.86 5.6
R. Packing
Primer
R. Packing Sekunder 32 28.17 890.9
Total 1086.6
Sumber: Data Primer, 2017 (Diolah)
Jarak tempuh merupakan sebuah jarak yang ditempuh untuk menyelesaikan
kegiatan penanganan bahan. Pada tabel 16, dapat dilihat bahwa jarak tempuh aktual
yang harus dilewati bahan dalam menyelesaikan proses produksi adalah sebesar
1086,6 m. Jarak tempuh ini didapatkan sesuai dengan kondisi lapang dari kegiatan
produksi jamu instan per harinya.
Tabel 17. Biaya Penanganan Bahan Jamu Instan
Departemen Frekuensi Alat Pemindahan OMH
(Rp/m)
Jarak Total
Dari Ke
Pengambilan
BB
Perendaman 1 Krat, Tenaga Kerja 3,473 17.24 71.85
Perendaman Pengantaran
BB
1 Krat, Tenaga Kerja 3,473 33.45 132.91
Pengantaran
BB
Pemarutan 1 Trolley, Tenaga Kerja 3,475 1.06 4.2
Pemarutan R. Peras 2 Ember, Tenaga Kerja 3,472 6.82 40.57
R. Peras R. Masak 4 Wadah stainless steel,
Tenaga Kerja
3,473 7.00 97.71
R.Masak R. Ayakan 4 Wadah ayakan, Tenaga
Kerja
3,476 8.72 111.18
R. Ayakan R. Mixing 6 Tong, Tenaga Kerja 3,473 9.54 201.66
R. Mixing R. Packing
Primer
7 Krat, Tenaga Kerja 3,473 0.86 19.53
R. Packing
Primer
R. Packing
Sekunder
32 Krat, Tenaga Kerja 3,473 28.17 3094.2
Total Ongkos Material Handling dalam 1 hari 3773.81
Sumber: Data Primer, 2017 (Diolah)
Berdasarkan tabel biaya penanganan bahan dapat dijelaskan alat pemindahan
yang digunakan pada masing – masing proses tahapan produksi. Biaya material
88
handling ini didapatkan dari hasil perkalian antara frekuensi, OMH/meter dan jarak
masing – masing departemen sehingga dapat disimpulkan bahwa tata letak awal
pada pembuatan jamu instan memiliki jarak penanganan bahan sejauh 112.85 m
dengan biaya penanganan bahan per harinya sebesar Rp 3773,81.
2) From To Chart atau Peta Dari – Ke
From To Chart (FTC) merupakan sebuah tabel yang menjelaskan nilai aliran
dari suatu departemen ke departemen lainnya dimana input data yang dibutuhkan
berasal dari masing – masing biaya material handling departemen yang terlibat
dalam proses produksi. Pada penelitian ini terdapat dua jenis FTC yang disajikan
yaitu FTC biaya merupakan hasil rekapitulasi biaya penanganan bahan dan FTC
outflow dari hasil konversi nilai FTC dalam nilai koefisien.
Tabel 18. Peta Dari-Ke Biaya Penanganan Bahan
FROM TO CHART
Ke PBB RDM RAB PRT PRS MSK AYK MXG PRM SKN Total
Dari
PBB 71.85 71.85
RDM 132.91 132.91
RAB 4.20 4.2
PRT 40.57 40.57
PRS 97.71 97.71
MSK 111.18 111.18
AYK 201.66 201.66
MXG 19.53 19.53
PRM 3094.20 3094.20
SKN
Total 71.85 132.91 4.2 40.57 97.71 111.18 201.66 19.53 3094.2 3773.81
Sumber: Data Primer, 2017 (Diolah)
Berdasarkan tabel 18, dapat dilihat biaya penanganan bahan dari masing –
masing perpindahan departemen. Hasil dari pengkonversian biaya penanganan
bahan menjadi input data dalam pembuatan FTC outflow. Koefisien FTC outflow
ini diperlukan sebagai bahan pertimbangan TSP (Tabel Skala Prioritas). Seperti
yang sudah dijabarkan sebelumnya, penanganan bahan per harinya dalam
pembuatan jamu instan adalah sebesar Rp 3773.81.
89
Tabel 19. Peta Dari – Ke Outflow
OUTFLOW FROM TO CHART
Ke PBB RDM RAB PRT PRS MSK AYK MXG PRM SKN Total
Dari
PBB 0.54 0.54
RDM 31.65 31.65
RAB 0.10 0.10
PRT 0.42 0.42
PRS 0.88 0.88
MSK 0.55 0.55
AYK 10.33 10.33
MXG 0.01 0.01
PRM 0.00
SKN 43.06
Total 43.06 0.54 31.65 0.10 0.42 0.88 0.55 10.3 0.01 44.47
Sumber: Data Primer, 2017 (Diolah)
Berdasarkan tabel, FTC outflow memiliki koefisien yang merupakan hasil
konversi dari FTC biaya penanganan bahan. Besarnya koefisien pada FTC outflow
tersebut menentukan kedekatan hubungan yang diprioritaskan pada TSP (Tabel
Skala Prioritas). Semakin besar hasil koefisien, maka departemen tersebut harus
didekatkan letaknya.
Aliran kerja pada produksi jamu instan hanya memiliki satu arah lintasan
sehingga tidak ada departemen yang diprioritaskan kedekatannya melainkan semua
departemen sudah saling terkait antar satu sama lain. Pada tabel FTC terdapat
beberapa departemen yang memiliki koefisien yang besar yaitu pada departemen
RAB menuju PRT dan SKN menuju PBB. Koefisien pada RAB menuju PRT
memang perlu didekatkan karena pada kondisi lapang terdapat 3 RAB dan RAB
yang dipilih memiliki lintasan yang jauh sementara masih ada RAB yang lebih
dekat. Sementara ruang SKN dan PBB tidak perlu didekatkan karena bukan urutan
aliran kerja.
90
5.3 Pembahasan
5.3.1 Analisa Implementasi Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik
(CPOTB) pada PT. Gujati 59 Utama
PT. Gujati 59 Utama sebagai salah satu perusahaan industri jamu sudah
menerapkan prinsip dasar yang harus dipenuhi oleh setiap industri jamu, yaitu
CPOTB (Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik). Gujati telah menerapkan
CPOTB selama ±3 tahun terakhir, hal ini memberikan kesempatan untuk peneliti
dalam menilai perkembangan CPOTB yang telah dilaksanakan oleh Gujati. Berikut
ini merupakan tabel hasil perhitungan analisa CPOTB dari setiap aspek.
Tabel 20. Analisa Implementasi CPOTB pada PT. Gujati 59 Utama
No Aspek Implementasi CPOTB Kategori
Total
Skor
Skor Persentase
(%)
1 Manajemen Mutu 25 20 80.00 Memenuhi
2 Personalia 30 18 60.00 Cukup Memenuhi
3 Bangunan, Fasilitas dan Peralatan 45 30 66.67 Cukup Memenuhi
4 Sanitasi dan Higiene 40 38 95.00 Memenuhi
5 Produksi 45 35 77.78 Memenuhi
6 Pengawasan Mutu 20 17 85.00 Memenuhi
7 Inspeksi Diri 10 4 40.00 Tidak Memenuhi
8 Dokumentasi 20 19 95.00 Memenuhi
9 Penanganan Hasil Peredaran 20 18 90.00 Memenuhi
10 Cara Penyimpanan dan
Pengiriman Obat Tradisional yang
Baik
35 29 82.86 Memenuhi
11 Pembuatan dan Analisis
berdasarkan kontrak
15 12 80.00 Memenuhi
Total 305 240 77.48 Memenuhi
Sumber: Data Primer, 2017 (Diolah)
Berdasarkan tabel 20 dapat disimpulkan bahwa implementasi CPOTB yang
sudah dilaksanakan oleh Gujati secara keseluruhan sudah mencapai kategori
“Memenuhi” dengan hasil akhir persentase 77.48 %. Dari keseluruhan 11 aspek
CPOTB, 8 dari aspek CPOTB telah memasuki kategori “Memenuhi”, 2 aspek
memasuki “Cukup Memenuhi”, dan 1 aspek memasuki kategori “Tidak
Memenuhi”. Adapun beberapa aspek yang masih belum memasuki kategori
91
dikarenakan pelaksanaan secara lapangnya masih belum dapat dijalankan secara
optimal.
Inspeksi diri sebagai salah satu aspek CPOTB yang tidak memenuhi dengan
persentase 40 % dapat ditingkatkan kembali dengan adanya pengawasan yang rutin.
Hal ini dapat dimulai dari adanya evaluasi pelaksanaan CPOTB yang terjadwal atau
dengan arti lain pihak QA turun langsung dalam mengevaluasi pelaksanaan CPOTB
tanpa mendapat laporan dari perantara tertentu. Selain itu, mulai disusun laporan
evaluasi CPOTB sebagai data audit dan pertimbangan dalam menangani
permasalahan yang muncul pada produksi jamu.
Aspek bangunan dan fasilitas serta personalia memasuki kategori cukup
memenuhi dengan persentase 66.67% dan 60%. Bangunan dan fasilitas pada
produksi Jamu Gujati dapat ditingkatkan dengan memperhatikan kerapian dan
kebersihan letak produksi pembuatan jamu, meskipun secara tata letak sudah sesuai
dengan urutan aliran kerja namun kebersihan dan kerapian masih perlu
diperhatikan. Ruang produksi jamu serbuk yang gelap, keadaan lantai yang masih
terdapat permukaan tidak rata, dan kotor sehingga dapat mengganggu pernafasan.
Sedangkan aspek personalia dapat ditingkatkan dengan adanya pembekalan
CPOTB kepada karyawan yang secara merata dan dilakukan evaluasi secara rutin.
Tempatkan tanggung jawab yang menyangkut dengan kualitas jamu pada orang –
orang yang ahli pada bidangnya dan hindari pemberlakuan jabatan yang rangkap.
CPOTB memiliki 11 aspek yang harus dipenuhi oleh setiap industri jamu.
Berdasarkan hasil observasi lapang dan wawancara dengan key informan pada PT.
Gujati 59 Utama, maka dapat dijabarkan keadaan lapang yang tercermin dari setiap
aspek CPOTB sebagai berikut:
1. Manajemen Mutu
Manajemen bertanggung jawab untuk pencapaian tujuan keamanan dalam
pembuatan obat tradisional yang baik dengan melalui suatu “Kebijakan Mutu”, hal
ini memerlukan partisipasi dan komitmen dari semua personil didalam perusahaan.
Untuk mencapai tujuan mutu secara konsisten dan dapat diandalkan, diperlukan
manajemen mutu yang didesain secara menyeluruh dan diterapkan secara benar.
Pada perusahaan Gujati, manajemen mutu diambil alih oleh divisi Quality
92
Assurance (QA). Divisi QA bertanggung jawab pada pelaksanaan keseluruhan
aspek CPOTB mulai dari pemilihan supplier, penanganan bahan baku, mekanisme
proses produksi serta fasilitas didalamnya, hingga produk jamu diedarkan ke tangan
masyarakat.
Pada proses pemilihan supplier, terutama bahan tambahan (seperti perisa,
fruktosa, dan lain – lain) maka supplier tersebut harus bisa menyertakan CoA
(Certificate of Analysis). CoA merupakan suatu informasi yang menjelaskan
komposisi dari kandungan bahan tambahan tersebut, sehingga dapat menjadi
pertimbangan dalam penggunaan ke produk jamu sesuai dengan kadar yang aman.
Pemilihan supplier juga berlaku untuk bahan baku maupun kemasan, kualitas dari
bahan baku sangat diperhatikan sehingga apabila supplier tersebut memberikan
kualitas yang tidak bagus dalam intensitas sering, maka QA berhak untuk
memberikan keputusan untuk tidak memilih supplier tersebut.
Pihak QA juga bertanggung jawab untuk mengadakan pelatihan CPOTB
kepada seluruh karyawan Gujati, terutama pihak yang bertanggung jawab dalam
pembuatan jamu. Pelatihan CPOTB memiliki tujuan agar setiap karyawan mengerti
betapa pentingnya untuk mengaplikasikan CPOTB dalam pembuatan jamu dan
meminimalisir adanya penyimpangan dalam proses produksi jamu. Pelatihan
karyawan ini tidak terhenti sampai diadakan pelatihan saja namun juga terdapat
evaluasi mengenai perkembangan dari masing – masing karyawan setelah
diadakannya pelatihan CPOTB. Pelatihan CPOTB pada karyawan baru dilakukan
satu kali dan evaluasi dari pelatihan CPOTB masih belum berjalan secara terjadwal
karena masih belum menjadi prioritas yang harus dipenuhi.
Berdasarkan tabel hasil analisis implementasi CPOTB, aspek Manajemen
mutu pada PT. Gujati 59 Utama meraih skor 80% sehingga masuk dalam kategori
“memenuhi” dalam penerapan CPOTB.
2. Personalia
Pelaksanaan CPOTB harus ditunjang dengan kondisi karyawan yang memenuhi
dalam pembuatan obat tradisional. Standar kesehatan dan kebersihan personil yang
harus dipenuhi antara lain tidak menderita atau memiliki riwayat penyakit sesak
nafas dan asma, tidak diperkenankan memiliki penyakit kulit yang menular maupun
93
memiliki luka dalam kondisi terbuka. Selain itu, persyaratan umum yang harus
dipenuhi adalah kemampuan dan keterampilan dalam bekerja serta kesanggupan
untuk menerapkan CPOTB. Pembagian tugas pada masing – masing individu harus
disesuaikan dengan kemampuan serta pengalaman yang dimiliki sehingga tidak
menimbulkan resiko terhadap mutu obat tradisional.
Penanganan manajemen mutu pada Gujati sudah dipimpin secara baik oleh
apoteker atau dengan jabatan Kepala Quality Assurance (QA). Divisi QA baru
terbentuk pada awal tahun 2017 saat Gujati melakukan kegiatan rutin diawal tahun
yaitu Early Meeting. Sebelum terbentuk divisi QA, segala hal yang terkait dengan
manajemen mutu menjadi tanggung jawab APJT (Apoteker Penanggung Jawab
Teknis). Pengawasan Mutu produk jamu juga sudah ditangani oleh seorang
Apoteker yang juga menjabat sebagai supervisor Research and Development.
Selain itu, divisi Produksi pembuatan jamu sudah ditangani oleh kepala bagian
produksi yang sudah ahli dalam bidangnya selama bertahun – tahun. Menurut
panduan CPOB (2006), bagian penanganan manajemen mutu, pengawasan mutu
dan bagian produksi harus independen (dipimpin orang yang berbeda) dan tidak
saling bertanggung jawab satu terhadap yang lain. Apabila terjadi munculnya
jabatan rangkap akan menimbulkan ketidakefektifan kinerja dari individu tersebut.
Adanya pelatihan CPOTB bagi seluruh karyawan menjadi suatu hal kewajiban
yang harus dipenuhi oleh setiap industri jamu. Pada akhir tahun 2016, Gujati telah
melaksanakan pertama kalinya pelatihan CPOTB pada karyawan, terutama
karyawan yang berperan langsung terhadap pembuatan jamu. Pelatihan CPOTB ini
dilakukan secara terjadwal antara tenaga kerja harian produksi dan Gudang
sehingga tidak mengganggu hari kerja efektif. Pelatihan ini dipimpin oleh kepala
Quality Assurance dan supervisor Research and Development, sebagai yang paling
berpengalaman tentang CPOTB dan juga berprofesi seorang apoteker.
Dalam mendukung pelaksanaan CPOTB, Gujati berusaha untuk menunjang
kinerja karyawan dengan menciptakan kenyamanan dalam bekerja. Pada ruang
produksi telah disediakan ruang loker penyimpananan barang khusus karyawan.
Ruang loker tersebut biasanya juga dapat dipakai karyawan untuk beristirahat
sejenak. Selain itu, Gujati juga menyediakan ruang kesehatan untuk semua
94
karyawan yang membutuhkan tempat beristirahat dengan kondisi fisik yang kurang
sehat.
Berdasarkan tabel hasil analisis implementasi CPOTB, aspek personalia pada
PT. Gujati 59 Utama memperoleh skor sebesar 60% dengan kategori “cukup
memenuhi” dalam pelaksanaan CPOTB. Hal ini dikarenakan sempat terjadi adanya
jabatan rangkap pada beberapa karyawan Gujati yang kurang sesuai dengan
pedoman CPOTB.
3. Sanitasi dan Higiene
Pada ruang produksi PT. Gujati 59 Utama memiliki prosedur tetap bagi
karyawan maupun tamu yang akan memasuki ruang tersebut. Semua karyawan
maupun tamu secara wajib menggunakan pakaian khusus untuk memasuki ruang
produksi. Karyawan produksi biasanya membawa seragam khusus yang dibawa
dari rumah beserta penutup kepala, masker dan sandal khusus. Bagi para tamu yang
datang telah disediakan jas lab, penutup kepala dan penutup kaki. Setelah semua
karyawan maupun tamu sudah memakai pakaian khusus, mereka secara wajib harus
mencuci tangan terlebih dahulu serta tidak mengizinkan adanya penggunaan
perhiasan. Perhiasan dianggap dapat menyalurkan beberapa bakteri maupun
mikroorganisme terhadap produk jamu.
Setiap bulannya Gujati menghadirkan pihak Puskesmas untuk melakukan
perawatan rutin kesehatan pada karyawan secara gratis. Perawatan rutin ini
dilakukan untuk memantau kesehatan yang ada masing – masing karyawan agar
meminimalisir adanya penyakit yang dapat menyerang pada karyawan. Selain itu,
terdapat medical check – up setiap tahunnya untuk karyawan yang memiliki resiko
tinggi pada pekerjaanya seperti operator mesin giling jamu serbuk. Apabila terdapat
karyawan yang sedang memiliki luka terbuka yang dapat menurunkan mutu produk
jamu, maka dipindahkan ke bagian yang tidak bersentuhan langsung dengan proses
pembuatan jamu.
Peralatan yang ada pada ruang produksi baik sebelum maupun sesudah
pemakaian melalui proses pembersihan terlebih dahulu. Jika sudah dibersihkan
maka akan diberikan label “tanda bersih” dan melakukan pencatatan bahwa
peralatan sudah dibersihkan. Hal tersebut juga berlaku pada ruangan produksi yang
95
telah dipakai. Seluruh ruangan produksi seusai pemakaian akan dibersihkan oleh
karyawan kebersihan sesuai dengan jadwal yang terlah tersusun. Setelah itu,
karyawan tersebut wajib mencatat sebagai tanda bukti bahwa ruangan tersebut telah
dibersihkan.
Berdasarkan tabel hasil analisis implementasi CPOTB, aspek Sanitasi dan
Higiene pada PT. Gujati 59 Utama meraih skor 95% sehingga masuk dalam
kategori “memenuhi” dalam penerapan CPOTB.
4. Bangunan, Fasilitas dan Peralatan
PT. Gujati 59 Utama berlokasi ditempat pemukiman warga desa Nguter.
Kehadiran Gujati tidak pernah mendapat penolakan dari warga sekitar karena tidak
melakukan pencemaran yang mengganggu kehidupan warga sekitar. Limbah yang
dihasilkan oleh Gujati telah diorganisir dengan baik, hal ini ditunjukkan dengan
perencanaan untuk mengajukan rekomendasi UPL (Upaya Pemantauan
Lingkungan) dan UKL (Upaya Pengelolaan Lingkungan). Menurut hasil
wawancara dengan kepala Quality Assurance (QA) limbah yang dihasilkan oleh
Gujati tidak terlalu membawa dampak besar karena pembuatan jamu menggunakan
bahan alam. Namun kepala QA mempunyai solusi dalam pembuangan limbah
sebaiknya dikumpulkan pada sebuah kolam, kemudian disaring atau diendapkan
sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pupuk.
Bangunan yang ada di Gujati terbebas dari area banjir, rembesan tanah sehingga
sudah mampu memberikan perlindungan dari adanya bencana alam. Ruang
produksi sebagai tempat utama pembuatan jamu sudah memenuihi krtiteria CPOTB
dengan baik. Hal ini ditunjukkan dengan kondisi lantai beton yang sudah dilapisi
vinil (kecuali ruang pembuatan jamu serbuk), dinding yang berbentuk kaca dengan
pinggiran aluminium sehingga Gujati sangat meminimalisir adanya penggunaan
kayu untuk dinding dan lantai. Kondisi atap sudah menggunakan insulator berupa
aluminium foil untuk mengurangi intensitas panas. Akan tetapi apabila dilihat dari
segala peralatan yang tersedia, masih terdapat beberapa alat yang belum
menggunakan bahan stainless steel, seperti salah satunya adalah alat untuk
memindahkan jamu dari wajan ke tempat ayakan masih menggunakan gayung
plastik dan trolley sebagai alat pemindah bahan masih menggunakan unsur kayu.
96
Kondisi gayung plastik kurang steril untuk pemindahan jamu yang sudah dimasak
karena apabila melihat secara kondisi real, gayung plastik tersebut dalam kondisi
kotor karena dipake untuk sehari – hari dan tidak melewati proses pencucian setelah
pemakaian. Trolley yang masih menggunakan unsur kayu berpotensi tumbuhnya
jamu maupun mikroorganisme yang dapat mengganggu kualitas dari jamu.
Pemakaian ruang produksi masih ditemukan adanya aktivitas ganda dalam satu
ruang tanpa ada penyekat sebagai tanda pemisah antar ruangan. Hal ini dapat dilihat
dari ruang pemasakan jamu instan yang dalam satu ruangan dapat digunakan untuk
menimbang bahan baku, pemasakan jamu instan dan pengayakan. Selain itu, ruang
pembuatan jamu serbuk keadaanya tidak sebaik ruang pemasakan jamu instan
karena ketika memasuki ruang tersebut pernafasan akan terasa sesak karena penuh
debu dari aktivitas penggilingan jamu serbuk. Kebersihan ruang produksi cukup
terjaga karena setelah melakukan akivitas produksi karyawan bagian kebersihan
secara langsung membersihkan ruangan produksi, kecuali pada ruang produksi
jamu serbuk karena jenis lantai yang sulit untuk dibersihkan.
Desain tata letak ruang produksi sudah cukup baik dan sesuai dengan urutan
aliran kerja, baik jamu instan maupun jamu serbuk. Akan tetapi, pada proses
pembuatan jamu instan terdapat masalah yang cukup menonjol pada pengiriman
bahan baku dari departemen perendaman hingga departemen pemarutan (sebagai
tahapan awal proses pembuatan jamu instan) yaitu jarak yang cukup jauh dan
melewati gudang bahan baku yang rentan terhadap mikroorganisme.
Akses ruang ganti pakaian atau penyimpanan loker sangat mudah dan di design
terpisah dari ruang produksi dan jangkauan toilet tidak terlalu jauh dari ruang
pergantian pakaian sehingga memudahkan karyawan. Ruang maintenance mesin
secara terpisah terletak dibelakang ruang produksi sehingga tidak akan
mempengaruhi kualitas dari jamu. Pada ruang penyimpanan, baik penyimpanan
bahan baku maupun barang jadi terletak secara terpisah. Untuk ruang penyimpanan
bahan baku sendiri sudah mulai dirancang dengan memberikan penyekat sebagai
pemisah antar ruang, begitupula dengan penyimpanan barang jadi diletakkan
berdekatan dengan ruang packing sekunder untuk mempermudah perpindahan
barang.
97
Berdasarkan tabel hasil analisis implementasi CPOTB aspek Bangunan,
Fasilitas dan peralatan pada PT. Gujati 59 Utama meraih skor 67% sehingga masuk
dalam kategori “cukup memenuhi” dalam penerapan CPOTB. Hal ini dikarenakan
beberapa kondisi ruang produksi yang masih perlu perbaikan dan tata letak yang
perlu dibenahi kembali agar lebih efisien.
5. Produksi
Produksi hendaklah dilaksanakan dengan mengikuti prosedur yang telah
ditetapkan dan memenuhi ketentuan CPOTB. Seluruh aspek kegiatan produksi
harus melalui penanganan yang baik untuk meminimalisir penurunan mutu pada
produk jamu yang dihasilkan. Berikut ini merupakan penangananan seluruh aspek
kegiatan produksi yang dilakukan oleh PT. Gujati 59 Utama:
1) Penanganan Bahan Baku dan kemasan
Penanganan bahan baku dan kemasan diawali dengan datangnya semua bahan
dari pihak supplier kepada pihak Gudang. Kemudian pihak Gudang menghubungi
pihak Qualtity Control (QC) untuk pengujian kelulusan dengan mengambil sample
dari bahan baku ataupun kemasan yang baru datang dari supplier. Pengambilan
sample bahan baku biasanya dilakukan pengujian berupa kadar air, mikroorganisme
dan jamur. Sedangkan pengambilan sample kemasan biasanya dilakukan pengujian
secara fisik tentang ada atau tidaknya “cacat cetak” dari pihak supplier. Apabila
sample dari bahan baku dan kemasan tidak memenuhi kualifikasi dari Gujati, maka
bahan baku dan kemasan tersebut dikembalikan kepada pihak supplier. Semua
bahan baku dan kemasan yang telah lulus uji oleh pihak QC maka akan diberi
keterangan lulus dengan label warna hijau. Berbeda hal nya apabila sample dari
bahan baku dan kemasan terdapat beberapa hal kecil yang tidak memenuhi
kualifikasi, maka akan diberi keterangan karantina dengan label berwarna kuning.
2) Pencegahan Kontaminasi Mikroba
Ruang penyimpanan bahan baku maupun kemasan mempunyai ruang yang
terpisah dan Gujati menyesuaikan untuk memenuhi ruangan tersebut sesuai dengan
standar CPOTB. Untuk ruang bahan baku, semua bahan baku diletakkan diatas
pallet untuk menghindari adanya kontak langsung dengan lantai yang dapat
berpotensi menimbulkan mikroba. Sedangkan untuk ruang kemasan diletakkan
98
pada beberapa rak yang tersedia sebagai upaya dalam mengefisiensikan ruangan.
Kedua ruangan tersebut, baik ruang bahan baku dan kemasan dilengkapi dengan
blower sebagai pertukaran udara serta alat pengatur suhu untuk menyesuaikan
temperature ruang dan kebutuhan suhu dari bahan baku dan kemasan tersebut.
3) Sistem Penomoran No Batch
No Batch merupakan sebuah kode yang menjelaskan secara rinci dengan tujuan
untuk memastikan no batch antara produk, produk ruahan dan produk jadi dapat
teridentifikasi. Adanya no batch ini selain sebagai penanda dalam identifikasi
produk, no batch juga berfungsi untuk meminimalisir produk yang mengalami
permasalah sehingga mempermudah dalam pencarian produk terkait. No batch
setiap harinya disusun secara sistematis dan disesuaikan dengan jenis produk jamu
yang di produksi.
4) Penyerahan Bahan Baku kepada Bagian Produksi
Setiap harinya pihak Gudang mempersiapkan material yang dibutuhkan pihak
produksi dalam pembuatan jamu. Material Requitition (MR) merupakan sebuah file
yang terkait akan kebutuhan pihak produksi dalam pembuatan jamu, ditujukkan
kepada pihak Gudang untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pihak Gudang
memenuhi MR kemasan untuk memenuhi kebutuhan produksi pada keesokan
harinya, sedangkan MR bahan baku disiapkan pada hari ketika bahan tersebut
digunakan untuk produksi pembuatan jamu. Bahan baku diantar setiap harinya pada
pukul 08.00 WIB melalui Ruang Antar Barang (RAB), sedangkan kemasan diantara
pada sore hari sekitar pukul 15.00 WIB. Kekurangan pada proses penyerahan bahan
baku kepada pihak produksi adalah bahan baku diantar menggunakan trolley
dengan kondisi terbuka sehingga bahan baku sangat rentan terserang mikroba
maupun jamur, terlebih bahan baku tersebut juga menempuh jarak yang cukup jauh
menuju RAB produksi.
5) Pengolahan Bahan Baku menjadi Produk Jamu
Perusahaan Gujati memproduksi dua jenis jamu yaitu jamu instan dan jamu
serbuk. Pada penelitian ini, jenis jamu yang dibahas hanya jamu instan “Helios
Susu”. Faktor dari adanya pemfokusan produk jamu dikarenakan banyaknya jumlah
99
jamu yang diproduksi oleh Gujati dan produk tersebut merupakan produk yang
memiliki kuantitas penjualan terbaik.
Pembuatan jamu instan “Helios Susu” diawali dengan persiapan bahan baku
oleh pihak Gudang yang sudah melalui proses sortasi, pencucian serta
penimbangan. Kemudian, pihak Gudang mengantarkan bahan baku ke ruang
produksi setiap pukul 08.00 WIB melalui Ruang Antar Barang (RAB). Pihak
produksi menerima dan memproses bahan baku tersebut pada ruang masak instan.
Langkah awal pembuatan jamu instan adalah melakukan penimbangan ulang sesuai
dengan kuantitas produksi kemudian bahan baku tersebut diparut dengan
menggunakan alat hingga di peras untuk mengambil sari – sari bahan baku. Ampas
dari sari – sari jamu belum dimaksimalkan dengan baik sehingga ampas tersebut
hanya dibuang tanpa diolah. Pembuatan jamu dilanjutkan dengan pemasakan yang
ditambahkan dengan subtansi pendukun (gula pasir, perisa, dan lain – lain) hingga
mengkristal, lalu diayak dan ditimbang kembali yang sudah diwadahi oleh tong.
Khusus untuk Helios susu, terdapat proses Mixing karena masih diperlukan
substansi tambahan berupa Creamer, Susu, dan lain – lain. Kemudian ruahan jamu
instan tersebut dapat dikemas primer hingga sekunder. Pada tahap pemasakan
hingga tahap mixing, QC akan selalu mengawasi mutu dari jamu tersebut dengan
uji organoleptik pada ruahan jamu.
Berdasarkan tabel hasil analisis implementasi CPOTB, aspek Produksi pada
PT. Gujati 59 Utama meraih skor 78% sehingga masuk dalam kategori “memenuhi”
dalam penerapan CPOTB.
6. Pengawasan Mutu
Menurut CPOB (2006), ruang lingkup pengawasan mutu meliputi pengambilan
sampel, spesifikasi dan pengujian produk jamu, dokumentasi dan prosedur
pelulusan yang memastikan bahwa pengujian dilakukan secara relevan untuk
memastikan bahan – bahan yang digunakan dapat mempertahankan kualitas produk
jamu. Pengawasan mutu yang terdapat di Gujati diawasi oleh Supervisor Research
and Development (RnD) karena supervisor RnD berlatar belakang seorang
apoteker. Dalam pengawasan mutu, terdapat divisi Quality Control (QC) yang
bertanggung jawab dalam penjagaan mutu produk jamu dari awal hingga akhir
100
proses produksi (termasuk pengawasan mutu bahan baku). Secara teknis, QC
melakukan pengawasan mutu dilapang namun semua pertanggungjawaban tetap
berada pada supervisor RnD.
Pengambilan sample merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan dalam
pengawasan mutu. Beberapa jenis sample yang diambil terdiri dari sample bahan
baku & kemasan, ruahan jamu, dan sample produk yang sudah jadi. Pada
pengambilan sample bahan baku biasanya dilakukan dengan menguji kadar air,
keadaan fisik dari bahan baku (adanya mikroorganisme lain, ukuran, berat)
sedangkan kemasan hanya diuji dengan melihat ukuran dan berat kemasan tersebut.
Kemudian masuk kedalam tahapan proses produksi, terdapat pengambilan ruahan
jamu yang diuji melalui organoleptik (terdiri dari rasa, warna dan kerapatan)
dengan mengacu pada list kriteria uji organileptik. Setiap harinya pihak QC akan
mengambil sample produk yang memiliki tujuan sebagai pembanding apabila
muncul keluhan dari produk yang beredar di masyarakat. Semua hasil pengambilan
sample selalu di tulis sebagai tanda bukti dokumentasi dari keseluruhan mutu
produk jamu.
Berdasarkan tabel hasil analisis implementasi CPOTB, aspek Pengawasan
Mutu pada PT. Gujati 59 Utama meraih skor 85% sehingga masuk dalam kategori
“memenuhi” dalam penerapan CPOTB.
7. Inspeksi Diri
Inspeksi diri memiliki tujuan untuk mengevaluasi pelaksanaan CPOTB dari
semua aspek produksi dan pengawasan mutu yang telah dilakukan pada industri
jamu. Program inspeksi diri hendaklah dirancang untuk mendeteksi kelamahan dan
mencari solusi perbaikan dalam permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan
CPOTB. Gujati memberikan wewenang secara penuh pada divisi Quality
Assurance (QA) untuk mengevaluasi perkembangan CPOTB. Pihak QA telah
menyusun Prosedur Tetap dan questionnaire checklist sebagai acuan dalam
pemenuhan standar CPOTB.
Pada kondisi lapang, pihak QA mengevaluasi pelaksanaan CPOTB belum
terjadwal mengadakan inspeksi mendadak dengan memeriksa ruang produksi dan
Gudang, apakah ada suatu permasalahan yang kurang memenuhi standar CPOTB
101
maupun kurangnya kesadaran pihak produksi dan Gudang dalam memenuhi standar
CPOTB. Secara teknis, pelaksanaan CPOTB kesehariannya diawasi secara
langsung oleh kepala bagian divisi masing – masing. Pengawasan dalam pembuatan
jamu setiap harinya diawasi secara langsung oleh kepala bagian produksi. Hal
tersebut juga berlaku pada divisi Gudang mengenai proses penyimpanan bahan
baku maupun kemasan, kepala divisi Gudang bertanggung jawab secara penuh
dalam memperhatikan kondisi Gudang dalam memenuhi ketentuan standar
CPOTB.
Berdasarkan tabel hasil analisis implementasi CPOTB, aspek Inspeksi Diri
pada PT. Gujati 59 Utama meraih skor 40% sehingga masuk dalam kategori
“kurang memenuhi” dalam penerapan CPOTB. Hal ini disebabkan karena beberapa
ketetapan belum dilaksanakan secara maksimal pada keadaan lapang.
8. Dokumentasi
Kegiatan dokumentasi pada Gujati sudah memenuhi ketentuan CPOTB secara
baik. Setiap langkah pada proses kegiatan pembuatan jamu, baik dari bahan baku,
kemasan dan bahan pendukung sebelum diolah hingga menjadi produk jadi..
Dokumentasi merupakan bagian dari sistem informasi manajemen dan merupakan
bagian yang esensial dari pemastian mutu. dokumentasi berfungsi untuk
memastikan bahwa setiap personil menerima uraian tugas secara relevan secara
jelas dan rinci sehingga meminimalisir adanya resiko terjadi salah tafsir yang
timbul Karena hanya menggunakan komunikasi lisan.
Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, proses dokumentasi dimulai dari
bahan baku, kemasan, dan bahan pendukung sebelum diolah hingga menjadi
produk jadi. Pada saat bahan baku, kemasan dan bahan pendukung datang dari
supplier, secara otomatis pihak Gudang melakukan pencatatan berupa jenis bahan
baku, kemasan dan bahan pendukung berasal dari supplier apa, jumlah kuantitas
bahan yang datang dari supplier. Kemudian pihak Gudang menghubungi pihak QC
untuk melakukan proses Analisa terhadap bahan – bahan tersebut. Setelah
melakukan proses analisa, QC memberikan disposisi (keterangan yang berisi bahan
tersebut ditolak, diterima atau dikarantina).
102
Pada proses pembuatan produk jamu, dokumentasi merupakan hal yang penting
untuk mencegah adanya salah tafsir dari perencanaan produksi dengan hasil akhir
jumlah kuantitas produk jamu. Setiap hasil sementara dari setiap proses kegiatan
produksi dilakukan pencatatan hingga produk jamu sudah mencapai tahapan
packaging. Hasil pencatatan tersebur kemudian diberikan kepada staff administrasi
produksi untuk dilakukan proses rekap data. Hasil rekap data tersebut kemudian
diberikan pula kepada pihak PPIC untuk dikalkulasikan bahan – bahan pembuatan
jamu yang telah diproduksi sehingga PPIC juga akan berkoordinasi dengan pihak
Gudang dalam penyediaan bahan – bahan produksi. Oleh karena itu, dokumentasi
merupakan bagian yang sangat penting untuk dilakukan karena mempermudah
dalam menelusuri permasalahan dibandingkan hanya mengandalkan komunikasi
lisan.
Berdasarkan tabel hasil analisis implementasi CPOTB, aspek Dokumentasi
pada PT. Gujati 59 Utama meraih skor 95% sehingga masuk dalam kategori
“memenuhi” dalam penerapan CPOTB.
9. Penanganan Hasil Peredaran
Produk jamu yang telah beredar di masyarakat memungkinkan munculnya
keluhan dari pihak konsumen yang menggunakan produk jamu Gujati. Semua
keluhan dan informasi lain yang berkaitan dengan adanya kerusakan pada produk
jamu hendaklah dikaji secara teliti sesuai dengan ketetapan prosedur yang berlaku
di Gujati. Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala Quality Assurance (QA),
apabila terjadi keluhan dari konsumen maupun dari pihak lain (distributor,
pedagang retail, dan lain – lain) maka QA bertanggung jawab untuk menarik produk
jamu yang bermasalah dari peredaran masyarakat.
Langkah awal dalam menanggapi keluhan dari produk jamu terkait adalah
menguji sample produk jamu yang mengalami kerusakan di peredaran masyarakat
(sample return) yang dibandingkan dengan sample jamu yang diambil setiap
harinya pada saat produksi (sample harian) dan disesuaikan dengan no batch jamu
tersebut. Sample jamu yang diambil setiap harinya pada saat diproduksi ini
berfungsi sebagai perbandingan dengan produk yang rusak saat beredar
dimasyarakat. Setelah dilakukan pengujian, apabila jamu tersebut bermasalah saat
103
proses pengiriman atau penyimpanan dan hasilnya berbeda dengan sample harian,
maka kepala QA mengajukan surat penarikan produk kepada pihak direktur untuk
meminta persetujuan direktur maupun direksi dalam penarikan jamu yang telah
beredar di masyarakat. Penarikan jamu tersebut kemudian diproses lebih lanjut
sesuai dengan kondisi jamu yang mengalami kerusakan. Adapun perlakuan
terhadap jamu yang mengalami penarikan dari peredaran sebagai berikut:
1) Dipotong dan dicampurkan sedikit demi sedikit ke dalam jamu yang sama.
Tindakan ini dapat diambil apabila kondisi jamu mulai dalam kondisi
menggumpal namun belum mendekati masa Expired date, dan kondisi kemasan
sudah mendekati rusak.
2) Mengganti kemasan slop atau box dan karton Expired date sedangkan No Batch
tidak mengalami perubahan.
Tindakan ini dapat diambil apabila kondisi jamu masih sangat baik, tidak dalam
keadaan menggumpal dan belum mendekati masa Expired date kondisi kemasan
sudah mulai mendekati rusak.
3) Dibakar
Tindakan ini dapat diambil apabila kondisi jamu telah melalui masa Expired date
dan kondisi kemasan sudah tidak layak untuk dipakai.
Berdasarkan tabel hasil analisis implementasi CPOTB, aspek Penanganan Hasil
Peredaran pada PT. Gujati 59 Utama meraih skor 90% sehingga masuk dalam
kategori “memenuhi” dalam penerapan CPOTB.
10. Cara Penyimpanan dan Pengiriman Obat Tradisional yang Baik
Penyimpanan dan pengiriman merupakan salah satu bagian yang penting dalam
kegiatan manajemen rantai pemasok yang terintegrasi. Penyimpanan dan
pengiriman memiliki keterkaitan dalam penjagaan mutu produk awal sehingga
aspek ini sangat penting untuk diperhatikan.
1) Penyimpanan
Gujati menyediakan penyimpanan produk jadi dengan kondisi yang sesuai
dengan aturan CPOTB. Area penyimpanan produk jadi (Gudang barang jadi)
menerapkan sistem FEFO (First Expired First Out) sedangkan untuk Gudang bahan
104
baku menerapkan sistem FIFO (First In First Out). Penerapan sistem FEFO dan
FIFO merupakan salah satu langkah dalam penjagaan awal mutu produk jamu.
Selain penerapan FEFO dan FIFO, fasilitas yang terdapat pada area Gudang
terdiri dari pallet, pest control, blower, lampu, dan pengontrol suhu. Pallet
disediakan sebagai wadah dari tumpukan produk jamu yang telah jadi dalam bentuk
box maupun bahan baku. Pest control disediakan untuk meminimalisir adanya
hewan yang dapat mengganggu dari mutu produk jamu, seperti tikus. Blower
disediakan sebagai tempat penukaran udara dan lampu juga tersedia sesuai dengan
kebutuhan pencahayaan dari produk jamu. Pengontrol suhu juga menjadi
komponen penting, karena mampu menjaga kualitas suhu dari produk jamu, apabila
tidak ada yg mengontrol suhu produk dapat mengakibatkan penurunan kualitas
produk jamu.
Area Gudang yang baik hendaklah memiliki sebuah prosedur tetap. Salah satu
prosedur tetap yang ditetapkan oleh pihak kepala divisi Gudang adalah terkait
dengan jumlah tumpukan. Jumlah tumpukan barang yang baik tidak boleh melebihi
7 – 8 tumpukan, baik tumpukan produk jadi maupun bahan baku. Pada kenyataan
lapang, tumpukan yang ada pada area Gudang melebihi 10 tumpukan sehingga
tidak sesuai dengan prosedur tetap yang tertulis. Menurut key informant yang
diwawancarai, adanya ketidaksesuaian antara prosedur tetap dan keadaan lapang
disebabkan oleh faktor terbatasnya ketersediaan ruang penyimpanan.
2) Pengiriman
Kegiatan pengiriman akan dilaksanakan sesuai dengan kuantitas pemesanan
dari pihak distributor. Oleh karena itu, diperlukan koordinasi antara pihak Ekspedisi
(sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam pendistribusian) dengan pihak
Penjualan. Distributor yang dimiliki oleh Gujati berasal dari berbagai wilayah
hingga berbeda pulau sehingga terdapat perlakukan cara pendistribusian. Beberapa
distributor yang berada di wilayah pulau Jawa dan masih memiliki jarak yang dekat
dengan Gujati maka pendistribusian dilakukan dengan cara mengantarkan produk
melalui transportasi darat, sedangkan untuk distributor wilayah luar Jawa
pendistribusian dilakukan melalui jalur laut. Kondisi produk saat proses
pendistribusian sudah dikemas dalam bentuk box dilengkapi dengan dokumen
105
pengiriman produk untuk meminimalisir adanya kesalahan dalam pemesanan
produk yang dilakukan oleh distributor.
Berdasarkan tabel hasil analisis implementasi CPOTB, aspek Cara
penyimpanan dan pengiriman obat tradisional yang baik pada PT. Gujati 59 Utama
meraih skor 82,26% sehingga masuk dalam kategori “memenuhi” dalam penerapan
CPOTB.
11. Pembuatan dan Analisis Berdasarkan Kontrak
Pembuatan dan analisis berdasarkan kontrak merupakan sebuah bentuk
kerjasana antar pemberi kontrak dan penerima kontrak. Kerjasama tersebut harus
di sediakan sebuah kontrak kerja untuk menentukan tanggung jawab dan kewajiban
masing – masing pihak dengan kondisi telah disetujui oleh kedua belah pihak.
Gujati melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam pembuatan salah satu produk
jamu yaitu X – Jin. X – Jin merupakan salah satu produk yang diminati oleh
masyarakat terutama kalangan orang tua karena X – Jin ini mengandung Jinten yang
dapat menghangatkan tubuh dan sangat baik untuk kesehatan.
Gujati masih belum menyediakan komponen peralatan produksi dan
laboratorium yang dibutuhkan dalam pembuatan X – Jin sehingga Gujati
melakukan kerja sama dengan pihak lain (perusahaan X). Dalam hal ini, Gujati
bertindak sebagai pemberi kontrak sedangkan perusahaan X bertindak sebagai
penerima kontrak. Persyaratan yang dilalui oleh perusahaan X – Jin sebagai
penerima kontrak adalah dengan menyediakan CoA (Certificate of Analysis), hal
ini dikarenakan Gujati belum membangun sebuah laboratorium sehingga CoA ini
sangat penting untuk disediakan. Dalam kerjasama ini seharusnya Gujati sebagai
pemberi kontrak melakukan audit CPOTB ke perusahaan X untuk mengevaluasi
kegiatan produksi X – Jin dan membuat laporan tentang kerjasama tersebut kepada
pihak BPOM, namun pada keadaan lapang Gujati belum memenuhi standar
pemenuhan dalam aspek analisis berdasarkan kontrak.
Berdasarkan tabel hasil analisis implementasi CPOTB, aspek Pembuatan dan
Analisis berdasarkan kontrak pada PT. Gujati 59 Utama meraih skor 80% sehingga
masuk dalam kategori “memenuhi” dalam penerapan CPOTB.
106
5.3.2 Analisa Perbaikan Tata Letak menggunakan Metode Konvensional
Perbaikan tata letak dengan menggunakan metode konvensional memiliki
tujuan untuk mendapatkan tata letak yang optimum sehingga mampu
meminimalkan biaya penanganan bahan. Pada metode konvensional ini
menggunakan analisis diagram hubungan aktivitas (Activity Relationship Diagram
atau ARD). Dalam pembuatan ARD dibutuhkan input data berupa derajat
kedekatan pada hubungan aktivitas dan nilai skala prioritas dari perhitungan FTC
Outflow.
1. Tabel Skala Prioritas
Tabel skala prioritas dapat menjelaskan urutan aliran kerja yang harus
diprioritaskan antara departemen dalam suatu lintasan atau tata letak pabrik. Nilai
skala prioritas ditentukan pada koefisien yang dihasilkan oleh FTC Outflow
sebelumnya. Prioritas diurutkan berdasarkan koefisien biayanya, semakin besar
koefisien maka semakin diprioritaskan. Pada TSP, adapun input data yang
dimasukkan adalah koefisien dari FTC outflow dan tujuan departemen yang
didekatkan.
Pendekatan antar departemen juga dipertimbangkan melalui aliran kerja.
Apabila aliran kerja hanya satu lintasan, hal itu mengindikasikan bahwa semua
departemen sudah saling terkait sehingga tidak ada yang perlu dirubah maupun
didekatkan. Sedangkan jika aliran kerja memiliki beberapa lintasan (lintasan antar
departemen satu dengan departemen lain tidak berurutan) maka TSP ini akan sangat
membantu dalam memberi pertimbangan departemen yang harus didekatkan agar
biaya perpindahan bahan menjadi optimal. Seperti yang diketahui bahwa semua
metode baik konvensional maupun menggunakan perangkat lunak, tujuan dari
perbaikan tata letak adalah mendapatkan biaya perpindahan bahan yang optimu
sehingga efisien dari segi jarak dan waktu.
107
Tabel 21. Skala Prioritas Pembuatan Jamu Instan
Tabel Skala Prioritas
No Departemen 1 2 3 4 5
1 PBB RDM
0.54
2
2 RDM RAB
31.65
3
3 RAB PRT
0.10
4
4 PRT PRS
0.42
5
5 PRS MSK
0.88
6
6 MSK AYK
0.55
7
7 AYK MXG
10.33
8
8 MXG PRM
0.01
9
Sumber: Data Primer, 2017 (Diolah)
Berdasarkan tabel skala prioritas diatas, secara kasat mata tidak mengalami
perubahan dan semua mempunyai prioritas yang sama dalam penentuan hubungan
kedekatan antar departemen karena hanya memiliki satu lintasan perpindahan
bahan. Akan tetapi, apabila dilihat dari denah dan keadaan lapang, masih terdapat
jalur lintasan alternatif yang lebih dekat dan lebih efisien. Permasalahan yang
paling menonjol adalah pada departemen perendaman hingga ke departemen Ruang
Antar Barang. Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, pada keadaan lapang jalur
RAB tidak hanya ada satu departemen melainkan terdapat jalur yang lain, akan
tetapi jalur tersebut ditutup dan beralih fungsi menjadi tempat penyimpanan
kemasan. Penjelasan secara terinci dapat dilihat pada Diagram Hubungan Aktivitas.
108
2. Diagram Hubungan Aktivitas (Activity Relationship Diagram atau ARD)
Pada dasarnya, aliran kerja yang terdapat pada produksi jamu instan Gujati
hanya mempunyai satu aliran saja dan sudah berurutan sehingga apabila dilihat dari
Tabel Skala Prioritas (TSP) antar departemen saling diprioritaskan karena urutan
aliran kerja yang sudah sesuai. Aliran kerja produksi jamu instan dapat dilihat pada
gambar dan gambar.
A
B
Gambar 3.4 Diagram Hubungan Aktivitas (A: Berdasarkan Aliran Bahan, B:
Berdasarkan TSP)
109
Aliran yang tergambar pada ARD sudah cukup baik dan sesuai, namun pada
keadaan lapang masih terdapat departemen yang masih dapat diubah untuk
mendapatkan hasil biaya yang optimal. Gambar ARD diatas menunjukkan bahwa
produksi jamu instan hanya mempunyai satu lintasan perpindahan bahan.
Perubahan departemen yang ada pada produksi jamu instan secara rinci akan
dijelaskan pada jarak penanganan bahan usulan.
3. Jarak Penanganan Bahan Usulan
Jarak penanganan bahan dibutuhkan untuk mengetahui biaya penanganan bahan
usulan dari jarak yang telah diusulkan peneliti dengan sistem Jarak Rectilinear.
Penentuan jarak Rectilinear ini dihasilkan dari titik koordinat departemen usulan
dan dapat dilihat pada lampiran 3. Pada jarak penanganan bahan usulan, terdapat
pemindahan ruangan karena dianggap ruangan tersebut dapat memenuhi syarat
apabila dipindahkan.
Tabel 22. Jarak Penanganan Bahan Usulan
Departemen Titik Koordinat Titik Pusat
(Centoroid)
Jarak
X1 X2 Y1 Y2 X Y
Pengambilan BB 4.17 25.74 10.74 16.74 7.46 21.24 9.79
Perendaman 4.17 25.74 8.02 21.99 6.10 23.87 11.97
Pengantaran BB 2.54 16.40 6.16 15.24 4.35 15.82 1.02
Pemarutan 13.34 16.74 15.55 18.65 14.45 17.70 5.23
R. Peras 11.04 18.99 15.54 20.74 13.29 19.87 8.24
R. Masak 11.04 25.74 20.84 21.02 15.00 23.38 8.85
R. Ayakan 21.19 25.74 25.29 21.02 23.24 23.38 8.92
R. Mixing 17.22 20.74 20.84 16.74 19.03 18.74 2.28
R. Packing Primer 14.04 15.24 17.19 11.24 15.62 13.24 26.58
R. Packing Sekunder 20.19 2.44 21.29 9.24 20.74 5.84
Total 82.86
Sumber: Data Primer, 2017 (Diolah)
Berdasarkan data pada tabel jarak penanganan bahan usulan, terdapat
penurunan total jarak penanganan bahan usulan dengan jarak penanganan bahan
awal. Total jarak penanganan bahan usulan adalah 82.86 m mempunyai selisih
29.99 m dari jarak penanganan bahan awal (112.85 m). Selain itu, jarak tempuh
usulan memiliki nilai sebesar 1011.0 m dengan selisih 75.6 m dari jarak tempuh
110
awal yaitu 1086.6 m. Adanya pengurangan nilai jarak tempuh karena adanya
perubahan departemen seperti yang sudah dijabarkan sebelumnya.
Tabel 23. Jarak Tempuh Usulan
Departemen Frekuensi Jarak Jarak
Tempuh Dari Ke
Pengambilan
BB
Perendaman 1 9.79 11.7
Perendaman Pengantaran
BB
1 11.97 13.7
Pengantaran
BB
Pemarutan 1 1.02 1.2
Pemarutan R. Peras 2 5.23 9.0
R. Peras R. Masak 4 8.24 33.1
R.Masak R. Ayakan 4 8.85 32.5
R. Ayakan R. Mixing 6 8.92 54.3
R. Mixing R. Packing
Primer
7 2.28 14.8
R. Packing
Primer
R. Packing
Sekunder
32 26.58 840.8
Total 1011.0
Sumber: Data Primer, 2017 (Diolah)
Pada jarak penanganan usulan terdapat perpindahan tempat yaitu Ruang Antar
Barang (RAB) dan Ruang Perendaman (PRM) yang masuk ke dalam Ruang
Pengambilan Bahan Baku. Beberapa keadaan denah memiliki penempatan yang
berbeda dengan keadaan lapangnya. RAB sesungguhnya memiliki beberapa
tempat, namun akses RAB terdekat ke arah ruang produksi jamu instan ditutup dan
digunakan sebagai tempat penempatan karton. Tempat penempatan karton ini
digabung dengan penyimpanan bahan baku instan, dimana masih ada tempat
kosong yang dapat digunakan sebagai penyimpanan karton sehingga ruang
perendaman dan penyimpanan bahan baku instan dapat digabung karena ruangan
tersebut memiliki luas yang besar.
Selain direkomendasikan adanya perpindahan akses RAB, ruang bahan baku
simplisia apabila karton sudah dapat dipindahkan maka ruang kosong bahan baku
menjadi sangat luas. Hal ini dapat dimanfaatkan untuk pemindahan ruang
perendaman bahan baku sehingga penanganan bahan baku ketika melalui tahapan
perendaman dan pengambilan bahan baku mempunyai jarak yang lebih dekat.
Berdasarkan jalur lintasan baru yang tertera pada gambar 3.5, tata letak usulan
111
dengan metode konvensional memiliki jalur Odd Angle. Hal ini dikarenakan arah
bahan yang masuk dengan bahan yang keluar tidak pada area yang sama dan
jalurnya relatif tidak teratur.
Gambar 3.5 Aliran Jarak Penanganan Bahan Susulan
(Sumber: Data Primer, 2017)
4. Biaya Penanganan Bahan Usulan
Biaya penanganan bahan usulan dapat ditentukkan setelah mengetahui jarak
penanganan bahan usulan. Biaya penanganan usulan dapat menjadi sebuah
pertimbangan bagi perusahaan apabila memiliki keinginan untuk merubah kondisi
tata letak. Biaya penanganan bahan yang optimal merupakan inti dari tujuan adanya
perancangan ulang tata letak fasilitas produksi jamu instan.
Biaya penanganan bahan hendaknya memiliki nominal yang lebih kecil dari
biaya penanganan bahan sebelumnya. Hal ini mengindikasikan bahwa biaya
penangan yang menurun dikarenakan adanya lintasan perpindahan bahan yang
112
lebih pendek sehingga dapat menghemat waktu dan bahan dapat diproduksi lebih
cepat.
Tabel 24. Biaya Penanganan Bahan Usulan
Departemen Frekuensi Alat
Pemindahan
OMH
(Rp/m)
Jarak Total
Dari Ke
Pengambilan
BB
Perendaman 1 Krat, Tenaga
Kerja
3,473 9.79 40.8
Perendaman Pengantaran
BB
1 Krat, Tenaga
Kerja
3,473 11.97 47.6
Pengantaran
BB
Pemarutan 1 Trolley, Tenaga
Kerja
3,475 1.02 4.03
Pemarutan R. Peras 2 Ember, Tenaga
Kerja
3,472 5.23 31.1
R. Peras R. Masak 4 Wadah stainless
steel, Tenaga
Kerja
3,473 8.24 115.1
R.Masak R. Ayakan 4 Wadah ayakan,
Tenaga Kerja
3,476 8.85 112.9
R. Ayakan R. Mixing 6 Tong, Tenaga
Kerja
3,473 8.92 188.45
R. Mixing R. Packing
Primer
7 Krat, Tenaga
Kerja
3,473 2.28 51.4
R. Packing
Primer
R. Packing
Sekunder
32 Krat, Tenaga
Kerja
3,473 26.58 2920.05
Total Ongkos Material Handling dalam 1 hari 3511.43
Sumber: Data Primer, 2017 (Diolah)
Berdasarkan tabel 24 dapat disimpulkan bahwa total dari biaya penanganan
bahan usulan dalam satu hari memiliki jumlah sebesar Rp 3511.43, dimana terjadi
penurunan biaya apabila dibandingkan dengan biaya penanganan bahan awal per
hari yaitu Rp 3773.81. Penurunan biaya ini dipengaruhi oleh jarak yang diusulkan
karena memiliki aliran relatif yang lebih dekat dan mampu meminimalisir dari
adanya pencemaran terhadap bahan baku.
Penurunan biaya penanganan biaya ini menunjukkan bahwa usulan tata letak
yang direkomendasikan lebih efektif dibandingkan dengan tata letak yang telah
diaplikasikan. Penurunan biaya ini selain mampu mengefisiensikan waktu dan
jarak, tata letak usulan ini juga mampu menaikkan output produksi karena
mempunyai lintasan perpindahan bahan yang relatif lebih pendek sehingga mampu
memperlancar kegiatan produksi.
113
5.3.3 Analisa Perbaikan Tata Letak menggunakan Metode CRAFT
Pada penelitian ini, tata letak fasilitas produksi jamu instan PT. Gujati 59
Utama juga diuji dengan bantuan perangkat lunak menggunakan WinQSB versi
2.00. Program WinQSB ini menggunakan sistem algoritma CRAFT untuk
meminimalkan biaya penanganan bahan. Program WinQSB sendiri membutuhkan
data tata letak fasilitas awal dan beberapa data yang terkait untuk menghasilkan tata
letak usulan yang terbaik. Adapun beberapa data tersebut yang dibutuhkan adalah
koordinat jarak departemen (koordinat X dan Y), data aliran (frekuensi penanganan
bahan), jumlah departemen tidak berubah (Fixed) dan dapat berubah (Non fixed).
Langkah awal penggunaan program WinQSB adalah menentukan tipe
permasalah yaitu “Functional Layout” karena penelitian ini akan
mempertimbangkan penempatan beberapa departemen dalam lokasi yang relatif
sehingga mampu mengoptimalkan biaya, oleh karena itu pada option “Objective
Criterion” dipilih “Minimization”. Jumlah departeen yang harus diisi pada produksi
jamu instan PT. Gujati 59 Utama adalah sebanyak 10 departemen dengan jumlah
baris (row) diisi 42 dan kolom (36). Pengisian kolom dan baris didasarkan pada
panjang dan lebar dari keseluruhan luas produksi jamu instan.
1. Penginputan Data Analisis Tata Letak Fasilitas Produksi
Input data tata letak fasilitas produksi yang dibutuhkan dalam penggunaan
software dijabarkan pada tabel 25 antara lain koordinat jarak tata letak awal, data
aliran (frekuensi), departemen yang terkait produksi dan sifat departemen (fixed dan
non fixed). Data tersebut akan dijadikan dasar untuk analisis tata letak fasilitas pada
spesfikasi permasalahan yang sudah dijabarkan sebelumnya. Oleh karena itu,
penentuan input harus sesuai dengan kondisi tata letak sebenarnya untuk
meminimalisir system error pada perangkat lunak.
114
Tabel 25. Input Data Tata Letak Fasilitas Produksi
No Departemen Kode Koordinat Keterangan Perpindahan Frekuensi
1 PBB 1 (17,3)-(26,9) Non Fixed PBB - RDM 1
2 RDM 2 (41,5)-(38,9) Non Fixed RDM - RAB 1
3 RAB 3 (30,32)-(31,35) Non Fixed RAB - PRT 1
4 PRT 4 (17,12)-(19,14) Fixed PRT - PRS 2
5 PRS 5 (19,10)-(21,14) Fixed PRS - MSK 4
6 MSK 6 (21,10)-(26,20) Fixed MSK - AYK 4
7 AYK 7 (21,20)-(26,24) Fixed AYK - MXG 6
8 MXG 8 (17,16)-(21,20) Fixed MXG - PRM 7
9 PRM 9 (11,13)-(15,16) Fixed PRM – SKN 32
10 SKN A (2,19)-(9,26) Fixed
Sumber: Data Primer, 2017 (Diolah)
Koordinat yang dinput dalam analisis penggunaan software WinQSB
diletakkan sesuai dengan kondisi tata letak sebenarnya. Dalam penentuan titik
koordinat tersebut dapat digambar menggunakan Microsoft Visio atau Block
Layout. Pengisian koordinat ini bertujuan untuk memberikan bentuk yang sama
dengan tata letak actual dan menjadi salah satu syarat agar iterasi pada perangkat
lunak dapat dijalankan.
Gambar 3.6 Intial Layout Coordinat WinQSB
(Sumber: Data Primer, 2017)
2. Analisis Perbaikan dengan Metode CRAFT
Setelah semua data dimasukkan, maka program WinQSB akan terlebih dahulu
menampilkan hasil tata letak fasilitas awal (initial layout) untuk dapat melihat total
jarak yang ditempuh dalam sekali proses produksi seperti yang terlihat pada
lampiran 4.
115
Gambar 3.7 merupakan tabel hasil analisis tata letak fasilitas awal. Tabel
tersebut menjelaskan bahwa total aliran atau frekuensi penanganan bahan adalah 58
kali. Sedangkan biaya penanganan bahan sebesar 762.79. Biaya pada program ini
adalah jarak tempuh dalam sekali proses produksi yang nantinya akan
mempengaruhi total biaya penanganan bahan.
Gambar 3.7 Tabel hasil analisis Initial Layout
(Sumber: Data Primer, 2017)
Berdasarkan hasil analisis initial layout dapat disimpulkan bahwa total jarak
yang ditempuh pada tata letak awal pada perangkat awal lunak adalah 1077.1 m
memiliki selisih 9.4 m dari jarak tempuh aktual (1086.6 m).
Penelitian ini hanya mengharapkan 2 departemen yang dapat dipindahkan maka
metode yang dipilih adalah Improve by Exchanging 2 Departemens. Namun perlu
diketahui, Algoritma CRAFT hanya mempertimbangkan perubahan antar
departemen yang memiliki luas yang sama atau mempunyai sebuah batas dekat
untuk mengurangi biaya penanganan bahan.
116
Gambar 3.8 Jarak Rectilinear Final Layout
(Sumber: Data Primer, 2017)
Pada gambar 3.6 merupakan hasil akhir perbaikan tata letak fasilitas produksi.
Pada gambar tersebut memiliki jumlah iterasi 0 yang menunjukkan bahwa tidak
adanya perbaikan tata letak fasilitas karena menurut program ini tata letak fasilitas
yang diterapkan sudah optimum.
Gambar 3.9 Hasil Analisis Final Layout
(Sumber: Data Primer, 2017)
Pada gambar 3.7 menjelaskan bahwa total aliran atau frekuensi penanganan
bahan adalah 58 kali. Sedangkan biaya penanganan bahan sebesar 762.29.
Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa tata letak ususlan (final
layout) perangkat lunak memiliki jarak penanganan bahan yang sama dengan tata
117
letak awal (initial layout) dikarenakan perangkat lunak tidak melakukan perubahan
terhadap tata letak tersebut.
3. Biaya Penanganan Bahan
Biaya penanganan bahan yang dapat dianalisis dari perangkat lunak adalah dari
adanya perbedaan jarak antara jarak aktual dengan jarak yang ada pada perangkat
lunak. Pada perangkat lunak tidak diperkenankan memasukkan input data berupa
angka desimal, melainkan harus dalam bilangan yang bulat sehingga dapat
dihasilkan biaya penanganan bahan yang didapatkan dari perangkat lunak WinQSB
adalah sebesar Rp 3741.03, memiliki selisih Rp 32.78 dari biaya penanganan aktual
(Rp 3773.81)
Tabel 26. Biaya Penanganan Bahan WinQSB
Departemen Frekuensi Alat
Pemindahan
OMH
(Rp/m)
Jarak Total
Dari Ke
Pengambilan
BB
Perendaman 1 Krat, Tenaga
Kerja
3,473 17.50 72.93
Perendaman Pengantaran
BB
1 Krat, Tenaga
Kerja
3,473 33.00 131.11
Pengantaran
BB
Pemarutan 1 Trolley, Tenaga
Kerja
3,475 1.00 3.97
Pemarutan R. Peras 2 Ember, Tenaga
Kerja
3,472 6.50 38.68
R. Peras R. Masak 4 Wadah stainless
steel, Tenaga
Kerja
3,473 7.00 97.78
R.Masak R. Ayakan 4 Wadah ayakan,
Tenaga Kerja
3,476 8.50 108.37
R. Ayakan R. Mixing 6 Tong, Tenaga
Kerja
3,473 9.50 200.81
R. Mixing R. Packing
Primer
7 Krat, Tenaga
Kerja
3,473 0.50 11.28
R. Packing
Primer
R. Packing
Sekunder
32 Krat, Tenaga
Kerja
3,473 28.00 3076.1
Total Ongkos Material Handling dalam 1 hari 3741.03
Sumber: Data Primer, 2017 (Diolah)
118
5.3.4 Perbandingan Hasil Metode Konvensional dengan Metode Perangkat
Lunak
Analisis perbaikan tata letak fasilitas antara metode konvensional dengan
perangkat lunak memiliki hasil yang berbeda. Berdasarkan hasil penelitian, pada
analisis perbaikan tata letak metode konvensional dilakukan perbaikan tata letak
dengan memindahkan departemen ruang antar barang dan departemen
perendaman. Hal ini dilakukan untuk menghasilkan aliran urutan kerja yang lebih
singkat.
Tabel 27. Perbandingan Tata Letak Awal dengan Konvensional
Tata letak awal dengan Konvensional
Perbandingan Tata Letak
Awal
Tata Letak
Usulan
Jarak Penanganan Bahan (m) 112.85 82.86
Jarak Tempuh/Hari (m) 1086.6 1011.0
OMH/Hari (Rp) 3773.81 3511.43
OMH/Tahun (Rp) 1.177.428,72 1.095.566.16
Selisih OMH 81.862,56
Sumber: Data Primer, 2017 (Diolah)
Berdasarkan hasil analisa perbaikan dengan metode konvensional dapat
disimpulkan bahwa terdapat selisih penurunan OMH sebesar Rp 81.862,56 per
tahun nya dari tata letak awal. Selisih ini tidak terlalu menunjukkan angka yang
besar karena tata letak produksi jamu instan yang sudah baik dan hanya terdapat
perubahan departemen pada penanganan bahan baku sebelum masuk produksi,
yaitu pada daerah perendaman dan ruang antar barang sehingga tidak terlalu
memberikan pengaruh yang cukup besar.
Tabel 28. Perbandingan Tata Letak Awal dengan Perangkat Lunak
Tata letak awal dengan Perangkat Lunak
Perbandingan Tata Letak
Awal
Tata Letak
Usulan
Jarak Penanganan Bahan (m) 112.85 112.85
Jarak Tempuh/Hari (m) 1086.6 1086.6
OMH/Hari (Rp) 3773.81 3773.81
OMH/Tahun (Rp) 1.177.428,72 1.177.428,72
Selisih OMH 0
Sumber: Data Primer, 2017 (Diolah)
119
Berdasarkan hasil analisa perbaikan metode dengan perangkat lunak dapat
disimpulkan bahwa tidak adanya perubahan yang ditunjukkan oleh perangkat lunak
WinQSB. Hal ini dikarenakan tata letak yang berlaku pada produksi jamu instan
sudah berjalan secara optimum. Selain itu, karena tidak adanya ukuran departemen
yang sama juga mempengaruhi tidak adanya departemen yang dapat ditukarkan.
5.3.5 Keterkaitan antar Aspek Bangunan dan Fasilitas dengan Desain Tata
Letak Fasilitas Produksi Jamu Instan
Prinsip CPOTB salah satunya memiliki aspek Bangunan dan Fasilitas, dimana
tata letak menjadi indikator yang ada pada prinsip Bangunan dan Fasilitas. Keadaan
lapang pada produksi jamu instan PT. Gujati 59 Utama sudah cukup baik dalam
penempatan antar departemen karena sudah sesuai dengan urutan aliran kerja.
Namun terdapat permasalahan yang cukup menonjol terkait pengantaran bahan
baku dari daerah gudang menuju daerah produksi. Adanya lintasan yang cukup jauh
dan melewati wilayah yang cukup rentan akan ancaman mikroorganisme membuat
peneliti ingin mencari tahu apakah ada cara lain atau tidak untuk menuju ruang
produksi.
Setelah melalui analisa dari implementasi CPOTB dan tata letak, dapat
disimpulkan bahwa tata letak denah dan keadaan lapang memiliki keadaan yang
berbeda. Hal ini dapat dilihat dari adanya ketidaksesuaian antar fungsi yang ada
dikeadaan lapang dan di denah, dimana fungsi yang tertera pada denah lebih sesuai
dan lebih baik apabila dijalankan sesuai dengan denah. Hal ini dapat dilihat dari
adanya Ruang Antar Barang yang sebenarnya mempunyai akses yang lebih dekat
dibandingkan Ruang Antar Barang yang diakses sehari – harinya. Apabila RAB
yang digunakan sesuai dengan denah dan tidak ditutup aksesnya di keadaan lapang,
maka lintasan bahan baku akan lebih singkat dan dekat. Selain itu, perendaman dan
bahan baku bisa diletakkan secara berdekatan karena ruang pengambilan bahan
baku memiliki ruang yang cukup besar. Pada kenyataannya ruang bahan baku juga
digunakan sebagai tempat penyimpanan karton yang rentan akan bahaya
mikroorganisme karena keadaan cukup kotor, dimana masih terdapat ruang kosong
yang dapat memindahkan karton – karton tersebut dan letaknya lebih dekat dari
ruang pengemasan.
120
Sementara itu, pemindahan bahan dari ruang perendaman dalam kondisi
terbuka sangat rentan terserang mikroorganisme karena melewati ruang bahan baku
simplisia kering yang memiliki kondisi yang cukup kotor seperti penjelasan yang
telah dijabarkan sebelumnya. Mikroorganisme tersebut dapat mempengaruhi
keamanan pangan dari produk jamu tersebut, dimana semua bahan harus memenuhi
kriteria mikrobiologi. Kriteria mikrobiologi pada pangan adalah ukuran manajemen
resiko yang menunjukkan keberterimaan suatu pangan atau kinerja proses atau
sistem keamanan pangan (BPOM, 2016). Apabila bahan yang tercemar
mikroorganisme tersebut tetap diproduksi maka akan berpengaruh pada kualitas
kandungan jamu. Dan belum ada perlakuan khusus akan penanganan bahan baku
oleh pihak perusahaan.
VI. PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan pada bab sebelumnya, maka kesimpulannya
sebagai berikut.
1. Penerapan standar CPOTB (Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik)
yang sudah diaplikasikan pada PT. Gujati 59 Utama sudah berjalan dengan
baik. Hal ini dapat dilihat dari total skor persentase dari 11 aspek CPOTB yaitu
77.48% dengan kelas kategori cukup memenuhi. Perusahaan jamu yang
sedang berkembang ini belum secara sempurna mengaplikasikan standar
CPOTB namun untuk perusahaan jamu UKOT 2 (Usaha Kecil Obat
Tradisional) sudah cukup baik.
2. Tata Letak PT. Gujati 59 Utama memiliki pola aliran bahan bentuk tidak
teratur (Odd Angle) dan tata letak usulan dengan bentuk yang masih sama.
Panjangnya jarak dari departemen perendaman ke ruang antar barang
menyebabkan jarak dan waktu yang kurang efisien, selain itu keadaan bahan
baku yang terbuka saat proses pengantaran menyebabkan bahan baku rentan
akan bahaya mikoorganisme. Tata letak yang diterapkan adalah tata letak
berdasarkan produk. Karena dalam tata letak departemen disusun menurut
urutan proses yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk jamu. Adapun
hasil akhir biaya penanganan bahan dari kedua metode perbaikan tata letak
yaitu metode konvensional dengan hasil 1.095.566,16 rupiah dan metode
CRAFT yaitu 0 rupiah.
3. Keterkaitan aspek bangunan dan fasilitas dengan tata letak sudah berjalan
cukup baik. Akan tetapi masih dibutuhkan beberapa sedikit perubahan dan
perawatan lebih inti terhadap penanganan bahan baku dalam meminimalisisr
pencemaran mikroorganisme. Perawatan ini diberikan terutama pada lintasan
perendaman hingga ruang antar barang yang jauh dan bahan melewati ruang
gudang bahan baku simplisia kering yang kotor secara terbuka (tanpa ada
perlindungan).
122
6.2 Saran
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang ada, maka dapat diambil
saran-saran sebagai berikut:
1. Penerapan standar Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB)
sudah berlangsung cukup baik, namun bisa lebih ditingkatkan dengan
penerapan tata tertib dan disiplin yang tegas sehingga semua aspek dapat
berjalan dengan baik dan sesuai dengan jadwal.
2. Aliran bahan dalam proses produksi jamu instan lebih baik apabila
mengaplikasikan rekomendasi tata letak yang baru. Hal ini dikarenakan
adanya lintasan perpindahan bahan yang lebih pendek dan mampu
meminimalisir dari adanya kontaminasi bahan dari bahan baku simplisia
kering yang kotor pada lintasan tata letak awal.
3. Berdasarkan hasil analisis biaya penanganan bahan, perlu adanya penelitian
lebih lanjut terkait biaya yang harus dikeluarkan akibat perbaikan tata letak,
setelah itu dibandingkan dengan hasil biaya penanganan bahan sehingga
dapat mempertimbangkan keuntungan yang diperoleh apabila tata letak
tersebut diperbaiki.
4. Berdasarkan hasil analisis perbaikan tata letak fasilitas produksi dengan
metode konvensional dan metode perangkat lunak, dapat diusulkan hasil
perbaikan dengan metode konvensional karena mampu menghasilkan
rancangan perbaikan tata letak dengan biaya dan jarak penanganan bahan
yang lebih rendah dibandingkan dengan perangkat lunak.
123
DAFTAR PUSTAKA
Apple, James. 1990. Tata Letak Pabrik dan Pemindahan Bahan. ITB. Bandung
Assauri, Sofjan. 2008. Manajemen Produksi dan Operasi (Edisi Revisi). Lembaga
penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta
Beers, S. 2013. Jamu Sakti Basmi Penyakit, Awet Muda dan Kecantikan.
BPOM. 2006. Pedoman Cara Pembuatan Obat Yang Baik. Badan Pengawas Obat
dan Makanan Republik Indonesia.
Dalimartha, S., & Adrian, F. 2013. Fakta Ilmiah Buah dan Sayur. Jakarta: Penebar
Swadaya Grup.
Damanik, Deddy Yuria. 2014. Perencanaan Ulang Tata Letak Fasilitas Produksi
Teh Hitam (CTC) menggunakan Algoritma CRAFT (Studi Kasus: PT.
Perkebunan Nusantara XII Bantaran Blitar). Skripsi Jurusan Teknologi
Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Brawijaya.
Fudholi, Achmad., Marchaban., Suryadi, Bambang. 2004. Evaluasi penerapan
Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) di Industri Obat
Tradisional Jawa Tengah. Majalah Farmasi Indonesia: 75 – 80.
Hadiguna, Rika dan Setiawan, Heri. 2008. Tata Letak Pabrik. ANDI OFFSET.
Yogyakarta
Heragu, Sunderesh S. 2008. Facility Design Third Edition. United States of
America: Taylor and Francis Group.
Jay Heizer dan Render. 2014. Manajemen Operasi. Salemba Empat: Jakarta.
Kasiram. 2008. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta:
jakarta
Karonsih, Nurrisa S.,Setyanto, Nasir W., dan Tantrika, Ceria F. M. 2012. Perbaikan
Tata Letak Penempatan Barang di Gudang Penyimpanan Material
berdasarkan Class Based Srorage Policy (Studi Kasus: Gudang Material PT.
Filtrona Indonesia, Surabaya). Jurnal Rekayasa dan Manajemen Sistem
Industri Vol 1 No 2 Tahun 2013: 345 – 357
Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian RI. 2011. Roadmap
Pengembangan Jamu 2011 – 2015. Percetakan Institute Pertanian Bogor.
Bogor.
Kementrian Perindustrian Indonesia. 2012. Dua Regulasi Hambat Industri Jamu
Tradisional. (Online) http://www.kemenperin.go.id/. Diakses pada tanggal
13 Desember 2016.
Kristinawati, Eti. 2000. Perancangan Tata Letak Mesin dengan menggunakan
konsep Group Technology sebagai upaya minimasi jarak dan biaya Material
Handling Optimum 1 (1): 71 – 79.
124
Kuswoyo, I dan Cahyana, A. 2016. Tata Letak Gudang Raw Material Chemical
menggunakan metode Shared Storage dan Rel Space. Universitas
Muhammadiyah Sidoarjo. Sidoarjo.
Laporan Bank Indonesia. 2005. Pola Pembiayaan Usaha Kecil: Industri Jamu
Tradisional. (Online) http://www.bi.go.id/. Diakses pada tanggal 13
Desember 2016
Nugroho, Rangga Oki. 2012. Analisis Perancangan Ulang Tata Letak Fasilitas
Produksi Pabrik pada CV. Massitoh Catering Services. IPB Scientific
Repository. (Online) http://repository.ipc.ac.id/. Diakses pada tanggal 9
Januari 2017.
Pamularsih, Tika., Mustofa, Fifi H., Susanty, Susy. 2015. Usulan Rancangan Tata
Letak Fasilitas dengan menggunakan metode Automated Layout Design
Program (ALDEP) di Edem Ceramic. Jurnal Online Institute Teknologi
Nasional Vol 3 No 2 Tahun 2015: 2338 - 5081
Permenkes. 2010. Registrasi Obat Tradisional. (http://sireka.pom.go.id/). Diakses
pada tanggal 4 November 2016
Purnomo, Hari. 2004. Perencanaan dan Perancangan Fasilitas. Edisi Pertama.
Graha Ilmu: Yogyakarta.
Sudjana, Nana dan Ibrahim. 2001. Metodologi Penelitian Pendidikan: Kompetensi
dan Praktiknya. Bumi Aksara: Jakarta
Suhada, K., Arisandhy, V., & Cahyadi, D. A. 2011. Usulan Perbaikan Tata Letak
Mesin dengan Menggunakan Metode Fraktal (Studi Kasus di PT. ”X”,
Cimahi). Jurnal Integra Vol. 1, Juni 2011: 21-70.
Suryadi, Bambang. Apt. 2003. Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik
(CPOTB). Semarang : Balai Besar POM
Tompkins J.A. 2003. Facilities Planning Third edition. California: John Willey and
Sons Inc.
Wahab, Abdul. 2010. Perancangan Tata Letak Fasilitas menggunakan BLOCPAN.
Tugas Akhir Jurusan Teknik Industri. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Wicaksena, B dan Subekti, N. 2013. Potensi Pengembangan Pasar Jamu. Pusat
Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri. Jakarta
Wignjosoebroto, Sritomo. 2003. Tata Letak Pabrik dan Pemindahan Bahan. ITS.
Surabaya.
Yamit, Zulian. 2003. Manajemen Produksi dan Operasi. Edisi ke – 2. Penerbit
Ekonisia. Yogyakarta.