Iman Yang Produktif

Embed Size (px)

Citation preview

  • 5/21/2018 Iman Yang Produktif

    1/15

    Iman yang ProduktifPengantarSebelumnya datangnya Islam bangsa Arab adalah bangsa yang tidak diperhitungkan di mata

    dunia. Namun, setelah Rasulullah saw, datang dengan risalah Islam mereka pun menjadi muliadan terhormat; bukan hanya dari sisi kepribadian mereka, namun juga negara dan peradaban

    yang mereka bangun. Hal tersebut setidaknya tercermin dari pernyataan Umar bin al-Khaththabra.:

    Kami dulunya adalah kaum yang paling hina. Lalu Allah memuliakan kami dengan Islam.

    Karena itu, jika kami mencari kemuliaan selain dari apa yang dengannya Allah telah muliakan

    kami maka Ia pasti menghinakan kami(HR al-Hakim; ia mensahihkannya dan disepakati olehad-Dzahabi).

    Berbeda halnya dengan umat Islam saat ini. Meski akidah Islam tetap ada pada diri mereka,

    mereka justru mengalami kemunduran dalam berbagai bidang kehidupan. Padahal mereka

    sesungguhnya adalah umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia (lihat QS Ali Imran [3]:110).

    Salah satu penyebabnya adalah akidah Islam yang saat ini mereka anut tidak lagi difungsikansebagaimana mestinya. Hal tersebut setidaknya terlihat pada tiga hal.Pertama: hilangnya ikatanakidah dengan pemikiran dan sistem Islam sehingga akidah tersebut tidak produktif.Kedua:

    hilangnya hubungan antara akidah dengan Hari Kiamat. Akibatnya, umat tidak berupaya agar

    kehidupan mereka diarahkan untuk menggapai indahnya kehidupan surga dan menjauhipedihnya azab neraka dengan berlomba-lomba meraih ridha Allah SWT.Ketiga: akidah Islam

    juga tidak lagi dijadikan sebagai perekat ukhuwah di kalangan umat Islam sehingga mereka

    terpecah-belah dalam berbagai bangsa dan negara.1

    Lalu bagaimana menjadikan umat Islam kembali bangkit dengan akidah Islam yang merekaanut?

    Pertanyaan tersebut dapat ditemukan jawabannya dalam KitabNizhm al-Islmbab Tharq al-

    mnkarya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah, yang akan ditelaah lebih lanjytdalam tulisan ini.

    Asas KebangkitanMeski tidak mencantumkan latar belakangnya, dapat dipahami bab Tharq al-Imndalambuku ini bermaksud menjelaskan bagaimana membangkitkan umat Islam dari keterpurukannya

    dengan cara yang benar.

    Kebangkitan yang hakiki menurut Syaikh An-Nabhani bukanlah berupa kemajuan dalam bidangekonomi, teknologi, pendidikan, akhlak ataupun militer; namun pada peningkatan taraf

    berpikir.2 Pemikiran menjadi hal utama karena ia yang menentukan baik-buruknya tingkah laku

    seseorang atau umat dalam menjalani kehidupannya. Selain itu, kemajuan dalam bidang-bidang

    di atas dapat dengan mudah diperoleh jika telah terjadi peningkatan taraf berpikir pada dirimereka.

    Namun demikian, peningkatan taraf berpikir yang dimaksud bukan sekadar karena adanya

    perubahan dan peningkatan apa yang dipikirkan, misalnya dari sekadar memikirkan diri sendirilalu meningkat dengan memikirkan keluarga atau umat manusia. Selama peningkatan taraf

    berpikir tersebut tidak dibangun oleh satu pandangan hidup tertentu maka perubahan yang

    dihasilkan tidak akan permanen karena mudah berubah, tidak mampu memberikan ketenangan

    http://hizbut-tahrir.or.id/2009/09/24/iman-yang-produktif/http://hizbut-tahrir.or.id/2009/09/24/iman-yang-produktif/
  • 5/21/2018 Iman Yang Produktif

    2/15

    hidup serta tidak dapat memecahkan berbagai persoalan hidup manusia.3Dengan demikian,

    orang tersebut tidak akan pernah bangkit.

    Lalu pemikiran apa yang dapat membangkitkan manusia? An-Nabhani menjelaskan bahwapemikiran tersebut adalah akidah, yakni pemikiran yang menyeluruh tentang:

    a) Manusia, alam semesta dan kehidupan; apakah ketiganya diciptakan atau tidak.

    b) Sebelum kehidupan; apakah ada pencipta atau tidak.c) Setelah kehidupan; apakah ada Hari Kiamat atau tidak.d) Hubungan manusia, alam dan kehidupan dengan sebelum dan setelah kehidupan; jika memang

    ada pencipta, bagaimana hubungannya dengan manusia di dunia; jika ada Hari kemudian,

    bagaimana hubungannya dengan kehidupan manusia di alam ini.Dengan cakupan pemikiran yang mendasar (assiyyah)dan menyeluruh (syumliyyah)tersebut,

    maka akan dapat dibangun di atasnya berbagai pemikiran cabang, yakni pemikiran dapat

    memberikan jawaban atas segala persoalan hidup manusia sehingga manusia dapat mengalami

    kemajuan dan kebangkitan.Meski demikian, pemikiran yang menyeluruh tersebut belum menjamin bahwa kebangkitan yang

    dihasilkan adalah kebangkitan yang benar. Oleh karena itu, pemikiran tersebut harus memenuhi

    dua kriteria.Pertama: harus sesuai dengan akal sehingga seseorang merasa puas denganargumentasi (dalil) yang menjadi dasar pemikiran tersebut.Kedua: sesuai dengan fitrah manusia,

    yakni harus dapat memenuhi naluri beragama (gharzah at-tadayyun)pada diri manusia, yakni

    adanya sifat lemah dan terbatas pada dirinya sehingga ia membutuhkan pelindung dan pengatur.

    Dengan demikian maka pemikiran tersebut mampu memberikan ketenangan pada dirinya.4Agar pemikiran di atas dapat memuaskan akal dan memenuhi naluri beragama pada diri manusia

    maka untuk mencapainya harus ditempuh dengan proses berpikir secara jernih (al-fikr al-

    mustanr). Proses berpikir yang jernih adalah proses berpikir yang mendalam (amq)tentangsuatu obyek di atas, dikaitkan dengan apa yang ada di sekitarnya, dan yang berhubungan

    dengannya untuk mencapai hasil yang benar.5 Pentingnya proses berpikir jernih tersebut karena

    pemikiran yang akan diperoleh tersebut akan menjadi asas kehidupan dan pandangan hidup

    sehingga ia memustahilkan adanya kesalahan sekecil apapun. Kesalahan hanya mungkin terjadipada pemikiran cabang yang berasal dari asas tersebut.6

    Dalil AkidahKarena obyek akidah di atas berkaitan dengan penetapan (itsbt) tentang hakikat sesuatu secara

    pasti makaiapunharus dilandasi oleh dalil yang menyakinkan (qathi)sehingga apa yang

    diyakini tersebut memang sesuai dengan realitas. Oleh karena itu, akidah yang juga diistilahkandengan iman didefinisikan sebagai at-tashdq al-jzim al-muthbiq li al-wqi(pembenaran

    secara pasti yang sesuai dengan realitas dan didasarkan pada dalil).7

    Syaikh an-Nabhani kemudian menjelaskan bagaimana akidah Islam dibuktikan dengan proses

    berpikir yang jernih dengan mengetengahkan dalil yang meyakinkan (qathi). Pemikiran tentang

    alam, manusia dan kehidupan akan menghasilkan jawaban bahwa ketiganya terbatas dan lemah.Segala sesuatu yang lemah pasti membutuhkan yang lain. Jika demikian maka ia pasti

    diciptakan. Dengan argumetasi demikian maka manusia pasti akan sampai pada kesimpulan

    akan adanya pencipta sekaligus pengatur ketiga hal tersebut. Dengan kata lain, ia telah sampaipada pemikiran tentang sebelum kehidupan dunia bahwa ketiganya diciptakan olehAl-Khliq.

    Di dalam kitab Syakhsiyyah IslamiyyahI danNaqd al-Isytirkiyyah al-Marksiyyahdiuraikan

    lebih jauh mengenai dalil tentang keniscayaan adanya pencipta dan bantahan terhadappandangan pihak-pihak yang menafikannya. Metode pembuktian seperti ini sejalan dengan

  • 5/21/2018 Iman Yang Produktif

    3/15

    metode al-Quran dalam menuntun manusia mengimani Allah SWT dengan cara mengajak

    mereka memikirkan hal-hal yang dapat diindera manusia di alam ini.

    Syaikh An-Nabhani kemudian menjelaskan bahwa manusia hanya dapat berpikir pada hal-halyang berada dalam jangkauan inderawinya. Dengan demikian, nama, zat dan sifat pencipta dan

    pengatur tersebut mustahil dapat diketahui oleh akal. Jika dipaksakan maka hanya akan

    menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang spekulatif sehingga tidak dapat diyakinikebenarannya. Padahal Islam mengharuskan akidah diyakini secara penuh dan tidak boleh adakeraguan sedikit pun. Selai itu, terdapat sejumlah nash yang mengharamkan untuk meyakini hal-

    hal yang bersifat spekulatif.

    Di sinilah pentingnya pemahaman yang benar terhadap hakikat akal sehingga ia dapat iadifungsikan dengan tepat. Kekeliruan dalam memahami hakikat akal akan berakibat fatal dalam

    memahami dan meyakini persoalan yang berkenaan dengan akidah sebagaimana yang menimpa

    para mutakallimin. Kekeliruan tersebut bukan hanya telah menjadikan pembahasan akidah

    menjadi bertele-tele dan terkesan sulit, namun juga telah memberikan dampak yang serius bagikemunduran umat Islam.8

    Untuk meyakini hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal maka dibutuhkan sumber lain yang

    dapat menjelaskan hal tersebut. Namun demikian, sumber tersebut tentu harus diyakinikebenarannya oleh akal manusia agar penjelasannya dapat diyakini. Untuk itulah diutus seorang

    rasul yang dibekali mukjizat sehingga setiap orang yang menyaksikan mukjizat tersebut dengan

    proses berpikir yang jernih yakin bahwa ia adalah utusan sang pencipta. Kehadiran seorang rasul

    juga merupakan cara untuk memenuhi naluri pada manusia untuk beribadah kepada penciptatersebut dan adanya aturan yang mengatur dirinya yang penuh dengan kelemahan dan

    keterbatasan.

    Di dalam Islam, rasul yang dimaksud adalah Nabi Muhammad saw. dan mukjizatnya adalah al-Quran. Al-Quran juga berfungsi sebagai petunjuk kepada umat manusia tentang bagaimana

    menjalani kehidupan ini sesuai dengan aturan Penciptanya, Allah SWT. Penetapan bahwa al-

    Quran berasal dari Allah juga dengan menggunakan akal karena terbukti tidak seorang pun yang

    dapat menandingi kehebatan gaya bahasanya baik oleh orang Arab hattaNabi Muhammad saw.sekalipun.

    Setelah terbentuk keyakinan terhadap al-Quran maka secara otomatis seluruh isi kandungannya

    akan diyakini; seperti keimanan terhadap para nabi dan rasul sebelum Muhammad saw. besertakitab suci mereka, keimanan kepada Malaikat, dan keimanan pada kehidupan setelah dunia ini,

    yakni Hari Kiamat. Dengan demikian, terjawab sudah pemikiran tentang kehidupan setelah

    dunia, yakni akhirat, dan hubungannya dengan kehidupan manusia di dunia, yaitu bahwamanusia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dilakukan di dunia ini apakah sesuai

    dengan aturan Allah SWT atau tidak. Bagi yang taat diganjar surga, sementara yang inkar akan

    dibalas dengan siksa neraka.

    OutputKarena sifatnya yang mendasar dan menyeluruh serta diperoleh dengan proses berpikir yang

    jernih sehingga memberikan pembenaran yang pasti, maka akidah Islam merupakan landasan

    yang sangat kuat yang menghasilkan berbagai pemikiran cabang dalam seluruh kehidupanmanusia. Dengan kata lain, akidah Islam merupakan landasan ideologi yang didefinisikan

    sebagai akidah yang diperoleh melalui proses berpikir yang melahirkan sistem kehidupan.

    Dengan sifat tersebut, seseorang yang meyakini akidah Islam akan tunduk pada seluruh hukum-hukum yang bersumber dari akidah tersebut, yakni syariah Islam secara menyeluruh tanpa

  • 5/21/2018 Iman Yang Produktif

    4/15

    membedakan antara satu dengan yang lain seperti antara shalat dan Khilafah, zakat danjihad fi

    sabilillah, thaharahdan qishsh, dll.

    Seseorang yang meyakini akidah Islam yang benar akan menjadikan akidah tersebut sebagaidasar bagi seluruh pemikiran (aqliyyah)dan kejiwaan (nafsiyyah)-nya. Ia pun akan berupaya

    untuk menerapkan seluruh hukum-hukum yang terpancar dari akidahnya dalam sebuah negara

    karena metode kebangkitan hanya dapat diraih dengan menerapkan suatu pemerintahan yangberdasarkan akidah. Inilah yang terjadi pada bangsa Arab yang bangkit dengan Islam yangdibawa oleh Rasulullah saw. yang kemudian diterapkan pada suatu negara. Hal ini sebagaimana

    yang terjadi pada Eropa dan Uni Soviet yang masing-masing bangkit dengan ide sekularisme dan

    materialisme yang diterapkan dalam pemerintahanmeski dua yang terakhir tidak menghasilkankebangkitan yang benar, karena akidah yang dijadikan asas adalah akidah yang salah. Namun

    yang pasti, hal tersebut menjadi bukti bahwa adanya akidah semata belum cukup untuk

    melahirkan kebangkitan tanpa adanya negara.Wallhu alam bis shawb.[] (muh. Ishak)

    Catatan Kaki:1 Taqiyuddin an-Nabhani,Nid Haril al-Muslimn min Hizb at-Tahrir, Khortum (1965), hlm.

    40.

    2 Taqiyuddin an-Nabhani,Hadts ash-Shiym, hlm. 13 Taqiyuddin an-Nabhani,At-Tafkr, Cetakan Pertama (1973) hlm. 76.

    4 Muhammad Husain Abdullah,Dirst f al-Fikr al-Islmi,. Darul Bayariq, Cetakan Pertama

    (1990) hlm. 35.

    5Ibid., hlm. 111.6 Yusuf Sabatin, Tharqa al-Izzah,hlm.16

    7 Taqiyuddin an-Nabhani,Kayfiyyah Izlah al-Atribah an al-Judzr, hlm. 5.

    8 Lebih lanjut lihat: Muhammad Magfur Wahid,Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam danFilsafat Islam, Bangil: Al-Izzah (2002), hlm. 203.

    Fikroh Hizbut Tahrir : Aqidah Islam

    Fikrah yang dijadikan landasan bagi Hizbut Tahrir telah merasuk dalam diri pengikutnya,yang selalu diusahakan agar menjadi bagian dari umat serta yang dijadikan sebagai perkara

    utama mereka adalah fikrah Islam, yaitu (berupa) akidah Islam serta seluruh ide yang lahir

    dari akidah, termasuk seluruh hukum yang dibangun di atas akidah tadi. Hizbut Tahrir telah

    mengadopsi dari fikrah Islam ini perkara-perkara yang diperlukan oleh sebuah partai politik

    yang bertujuan ingin mewujudkan Islam di tengah-tengah kehidupan masyarakat, yaitu

    dengan merasukkan Islam ke dalam sistem pemerintahan, hubungan (interaksi) antara

    masyarakat, dan di seluruh aspek kehidupan.

    Hizb telah menjelaskan segala sesuatu yang diadopsinya itu secara terperinci dalam buku-

    buku dan selebaran-selebaran, disertai dengan keterangan dan dalil-dalil yang rinci untuk

    setiap hukum, pendapat, pemikiran atau persepsinya. Berikut ini adalah beberapa contoh -

    secara garis besar- tentang hukum, pemikiran, persepsi dan pendapat Hizbut Tahrir yang

    paling menonjol.

    AKIDAH ISLAM

    Akidah Islam adalah iman kepada Allah, malaikat-Nya, Kitab-kitab Allah, Rasul-rasul-Nya,

    hari Kiamat dan iman terhadap qadla-qadar baik atau buruknya datang dari Allah Swt.

  • 5/21/2018 Iman Yang Produktif

    5/15

    Iman adalah tashdiq al-jazim (membenarkan sesuatu dengan pasti) yang sesuai dengan

    kenyataan, serta berdasarkan bukti dan dalil. Apabila pembenaran ini tidak berdasarkan

    dalil, maka ia tidak dapat disebut sebagai iman. Sebab, di dalamnya tidak terdapat unsur

    kepastian. Begitu pula pembenaran tidak akan mencapai tingkat pasti kecuali jika ia

    ditetapkan dengan dalil yang qathiy(pasti). Oleh karena itu dalil-dalil akidah harus bersifatqathiydan tidak boleh bersifat dzanni (tidak pasti/dugaan).

    Akidah berupa kalimat syahadat (Laa ilaha illa Allah, wa anna Muhammad ar-Rasulullah),

    tidak dianggap syahadat kecuali dilakukan berdasarkan ilmu, keyakinan dan pembenaran.

    Tidak berdasarkan dugaan. Sebab, dugaan tidak menghasilkan ilmu dan keyakinan.

    Akidah Islam adalah asas bagi Islam, asas bagai pandangan hidup, asas bagi negara,

    konstitusi dan perundang-undangan, serta asas bagi segala sesuatu yang lahir dan

    dibangun dari atau di atas akidah, baik itu berupa pemikiran, hukum maupun persepsi

    Islam. Akidah Islam juga menjadi qiyadah fikriyah (kepemimpinan ideologis), qaidah

    fikriyah (landasan pemikiran), sebagai aqidah siyasiyah (akidah yang bersifat politis).

    Sebab, ide-ide, hukum-hukum, pendapat-pendapat, dan persepsi-persepsi yang lahir atau

    tumbuh di atas akidah terkait dengan urusan-urusan dunia dan tata cara pengaturannya,

    seperti halnya juga terkait dengan urusan akhirat.

    Akidah Islam juga menjadi asas yang mengatur seluruh urusan dunia. Di dalamnya terdapat

    hukum-hukum tentang jual-beli, sewa menyewa, perwakilan, jaminan (garansi), pemilikan,

    pernikahan, syirkah, warisan dan lain-lain. Di dalamnya juga terdapat hukum-hukum yang

    berkaitan dengan penjelasan tatacara pelaksanaan hukum yang mengatur urusan-urusan

    dunia, seperti hukum wajib adanya amir bagi sebuah jamaah,termasuk hukum dan

    tatacara pengangkatan amir, melakukan koreksi/kritik dan taat kepadanya. Sama halnya

    dengan hukum-hukum jihad, perdamaian, gencatan senjata, atau seperti hukum tentang

    uqubat(sanksi) dan lain-lain. Dengan demikian akidah Islam adalah akidah yang mengatur

    segala urusan hingga bisa disebut sebagai aqidah siyasiyah (akidah yang bersifat

    politik).Karena, arti dari politik (siyasah) adalah pengaturan dan pemeliharaan seluruh

    urusan umat.

    Akidah Islam juga merupakan akidah yang tidak dapat dipisahkan dari perjuangan dan

    peperangan, baik dalam mengemban dakwahnya, mempertahankannya maupun dalam

    menegakkan negara -yang berlandaskan pada akidah tersebut-, yang akan melindungi

    akidah dan tetap berdiri di atas akidah Islam serta berusaha melaksanakan hukum-

    hukumnya. Juga dalam melakukan koreksi terhadap penguasa apabila mereka mengabaikan

    pelaksanaan hukum-hukum Islam dan melalaikan penyebarluasan risalah Islam ke seluruh

    dunia.

    Akidah Islam menuntut pengesaan hanya terhadap Allah, melalui ibadah dan ketundukan

    serta pengakuan bahwa hanya Allahlah pembuat peraturan (tasyri).Menolak segala bentuk

    ubudiyah kepada selain Allah dari kalangan makhluk-makhluk-Nya, baik berupa patung,

  • 5/21/2018 Iman Yang Produktif

    6/15

    thaghut (peraturan dan undang-undang yang tidak berasal dari Allah-pen), atau mengikuti

    hawa nafsu dan syahwat semata.

    Allah Swt adalah satu-satunya Khaliq (Pencipta) yang berhak diibadahi. Dialah Sang

    Penguasa, Maha Pengatur, Pembuat Hukum, Sang Penunjuk, Pemberi Rizki, Yang

    Menghidupkan dan Mematikan, serta Maha Penolong.Seluruh kekuasaan berada di tangan-Nya. Ia berkuasa atas segala sesuatu, tidak bersekutu dengan siapapun dari ciptaan-Nya.

    Akidah Islam juga menuntut hanya Rasul Muhammad saw sebagai satu-satunya panutan di

    antara semua makhluk yang ada. Tidak boleh mengikuti selain Rasulullah Muhammad, dan

    tidak diterima selain dari beliau. Beliaulah yang telah menyampaikan syariatRabbnya.

    Tidak diperkenankan mengambil syariatselain dari beliau (siapapun orangnya), atau dari

    agama dan ideologi selain Islam, atau dari para pakar hukum.Seorang muslim wajib

    mengikuti dan mengambil hukum hanya dari Rasul saw berdasarkan firman Allah Swt:

    ] [

    Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah ia, dan apa yang dilarangnya bagimu,maka tinggalkanlah. (TQS al-Hasyr [59]: 7)

    ] [

    (Dan) Tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang

    mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan sesuatu ketetapan (hukum) akan

    ada pilihan (hukum lain) tentang urusan mereka. (TQS al-Ahzab [33]: 36)

    ] [

    Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan

    kamu (Muhammad) hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan. (TQS an-Nisa [4]:65)

    [ ]

    Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa

    cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (TQS an-Nur [24]: 63)

    Akidah Islam juga menuntut kewajiban menerapkan Islam secara sempurna dan totalitas.

    Diharamkan menjalankan (hukum Islam) sebagian dan meninggalkan sebagian lainnya,

    atau menerapkannya secara bertahap. Kaum Muslim diperintahkan untuk menerapkan

    semua yang telah diturunkan Allah kepada Rasul-Nya setelah turun firman-Nya:[ ]

    Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan nikmatKu

    kepadamu dan telah Kuridhai Islam menjadi agamamu. (TQS al-Maidah [5]: 3)

    Kita tidak boleh membeda-bedakan hukum yang satu dengan hukum yang lainnya. Seluruh

    hukum Allah adalah sama dalam hal kewajiban pelaksanaannya. Oleh karena itu Abubakar

    ra dan para sahabat telah memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat, karena

  • 5/21/2018 Iman Yang Produktif

    7/15

    mereka menolak melaksanakan salah satu hukum, yaitu hukum zakat. Disamping itu Allah

    Swt mengancam orang-orang yang membeda-bedakan antara satu hukum dengan hukum

    yang lain, atau orang-orang yang beriman terhadap sebagian dari Kitabullah dan kufur

    terhadap sebagian lainnya. Mereka diancam dengan kehinaan di dunia dan siksa yang pedih

    di akhirat sebagaimana firman-Nya:[

    ]

    Apakah kamu beriman kepada sebagian dari Kitab (Allah) dan ingkar terhadap sebagian

    yang lain? Tiadalah balasan dari orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan

    kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari Kiamat mereka dikembalikan kepada siksa

    yang amat berat. (TQS. al-Baqarah [2]: 85)

    Hizbut Tahrir telah membahas berbagai perkara tentang akidah, antara lain pembuktian

    adanya Allah Sang Pencipta, pembuktian kebutuhan akan adanya Rasul dan pembuktian

    bahwa al-Quranberasal dari Allah Swt dan Muhammad saw adalah seorang Rasul. Semuaitu dibahas berdasarkan dalil aqlidan naqli yang berasal dari al-Qurandan Hadits

    mutawatir.Hizbut Tahrir telah membahas pula perkara qadar, qadla dan qadar, rizki, ajal,

    tawakal kepada Allah, serta perkara hidayah (petunjuk) dan dlalalah (kesesatan).(Sumber

    :Buku Mengenal Hizbut Tahrir)

    Luruskah Aqidah Anda ... (Part 2)

    AQIDAH SEBAGAI ASAS KEHIDUPAN

    Sesungguhnya pembahasan mengenai aqidah merupakan pembahasan yang paling penting dibandingkan

    perkara-perkara lainnya. Aqidah menjadi asas, kaidah berpikir, tolok ukur, dan standar seseorang dalam

    memecahkan berbagai problematika kehidupannya di dunia. Dengan demikian, aqidah menjadi landasan suatu

    bangunan peradaban manusia, dasar tempat berbagai tonggak didirikan, tempat keluarnya berbagai peraturan,

    undang-undang, norma, dan tata nilai masyarakat.

    Aqidah pula yang menentukan arah pandang, cita-cita dan tujuan yang dianut oleh para pemeluknya,

    diyakini kebenarannya, yang diperjuangkan, dipertahankan, serta disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia.

    Rasulullah saw bukan hanya membina para shahabatnya dengan aqidah yang kuat, tetapi beliau juga tatkala

    membangun masyarakat Islam dan mendirikan pemerintahan Islam di Madinah mendasarkannya pada aqidah

    Islam, padahal ayat-ayat yang berkaitan dengan tasyri (yang menyangkut hukum Islam) belum lagi sempurnaditurunkan. Meskipun demikian, Rasulullah saw menjadikan syahadat Laa ilaaha illallah sebagai asas segalanya:

    asas bagi kehidupan seorang muslim, asas yang menghubungkan interaksi sesama muslim, asas yang mendasari

    hubungan antarsesama manusia, asas untuk menyelesaikan berbagai perkara kezaliman, menyelesaikan

    perselisihan, asas bagi kekuasaan, dan asas bagi kehidupan bernegara. Hal ini dapat disimak dalam piagam

    Madinah antara kaum Muhajirin, Anshar, dan Yahudi, antara lain disebutkan:

  • 5/21/2018 Iman Yang Produktif

    8/15

    Sesungguhnya apabila terjadi kejadian atau perselisihan diantara mereka yang terlibat perjanjian ini serta

    dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan, hal itu harus dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya[1].

    Rasulullah saw tatkala mewajibkan jihad fi sabilillah kepada kaum Muslim sebagai suatu cara untuk

    menyebarluaskan Islam kepada seluruh manusia, beliau melandasi perintah itu dengan aqidah tauhid seraya

    bersabda:

    Aku diperintahkan untuk memerangi manusia (kafir harbi) sampai mereka mengucapkan Laa ilaaha illallah,

    Muhammad Rasulullah. Apabila mereka telah mengucapkannya, darah (nyawa) dan harta mereka terlindung

    dariku (tidak diganggu), kecuali karena hak. Allahlah yang menghisab mereka. (H.R. Bukhari, Muslim, dan

    pemilik sunan yang empat)

    Aqidah Islam dijadikan sebagai asas bagi peraturan dan perundang-undangan karena memang Allah Swt

    telah memerintahkan agar merujuk dalam perkara ini terhadap hukum yang diturunkan Allah Swt dan Rasul-Nya

    saja yang berlandaskan aqidah Islam, sebagaimana firman-Nya:

    Maka demi Rabbmu pada hakekatnya mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan kamu (Muhammad)

    sebagai hakim yang memutuskan perkara yang mereka perselisihkan.(Q.S. An-Nisa: 65)

    Ayat ini menegaskan kepada kita bahwa keimanan (aqidah) seseorang diukur dari: apakah ia bersedia merujuk

    kepada hukum Allah dan Rasul-Nya atau tidak? Hal ini menegaskan bahwa peraturan dan perundang-undangan

    harus merujuk dan hanya lahir serta berasal dari aqidah Islam saja, lain tidak.

    Pengertian Aqidah

    Aqidah adalah apa yang diitiqadkan (diyakini/diimani) dalam hati. Yang dimaksud dengan hati di sini

    berupa akal atau hati itu sendiri.[2]Di dalam al-Quran, terdapat kata-kata qalb yang berarti akal atau yangmenggambarkan fungsi akal, yaitu memahami, misalnya:

    Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat -ayat Allah).(Q.S. Al-Araf: 179)

    Adapun menurut Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, aqidah atau iman adalah pembenaran yang pasti (tashdiq al-

    jaazim) yang sesuai dengan kenyataan berdasarkan dalil.[3]Sementara itu, Prof. T.M Hasbi ash-Shiddiqyberpendapat:

    Iman ialah kepercayaan yang kuat,tidak dipengaruhi oleh syak (ragu-ragu) atau wahm (persangkaan yang tidak

    beralasan) ataupun zhan (persangkaan yang tidak memiliki alasan kuat).[4]

    Dengan demikian, segala bentuk keyakinan yang tidak berasal dari jalan yang menghasilkan kepastian atau

    datang melalui jalan yang pasti, tetapi masih mengandung persangkaan (zhan) di dalam keterangannya sehingga

    menimbulkan perselisihan di antara para ulama, hal seperti ini tergolong aqidah yang tidak diwajibkan agama kita

    untuk memeluknya. Ini merupakan garis pemisah yang tegas di antara orang-orang beriman dengan orang-orang

    yang tidak beriman.[5]Sebutan aqidah Islam ditunjukkan pada iman kepada Allah Swt, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para

    Rasul-Nya, hari Kiamat, serta pada Qadla dan Qadar, baik buruknya dari Allah Swt. Namun, bukan berarti selain

    itu tidak ada lagi perkara yang wajib kita imani, enam perkara tersebut merupakan kerangka aqidah. Masih banyak

    perkara lain yang termasuk dalam aqidah, seperti iman terhadap ajal, rizki, tawakal kepada Allah Swt, iman dengan

    http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftn1http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftn1http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftn1http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftn2http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftn2http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftn2http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftn3http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftn3http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftn3http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftn4http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftn4http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftn4http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftn5http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftn5http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftn5http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftn5http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftn4http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftn3http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftn2http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftn1
  • 5/21/2018 Iman Yang Produktif

    9/15

    pertolongan Allah, iman terhadap sifat-sifat Allah, iman terhadap kemashuman para Nabi dan Rasul, mujizat al -

    Quran, dan sebagainya.

    Begitu pula iman tentang adanya surga dan neraka, yaumul hisab (hari perhitungan), iman terhadap jin,

    syetan, serta berbagai perkara gaib berbentuk kisah-kisah ataupun riwayat yang tercantum dalam al-Quran atau

    hadits-hadits mutawatir.

    Dari sini kita dapat menarik kesimpulan bahwasanya pembahasan aqidah menyangkut hal-hal pokok sajadalam urusan ushuluddin, sedangkan perkara yang termasuk aktivitas dan perbuatan manusia termasuk bagian

    dalam syariat Islam dan fiqih Islam.

    Berdasarkan uraian di atas, agar aqidah atau iman pembenarannya bersifat pasti, harus ditunjukkan dengan

    keyakinan (al-ilmu). Ilmu adalah itiqadatau keimanan yang pasti yang sesuai dengan kenyataan. Adapun zhan

    adalah itiqad atau keimanan yang kuat tetapi berdasarkan persangkaan sehingga dapat bermuara pada keyakinan

    atau bisa sampai pada keraguan (syak).[6]

    Al-Quran Mengharuskan Aqidah berlandaskan Dalil Qathi (pasti)

    Pengambilan dalil untuk perkara aqidah berbeda dengan pengambilan dalil bagi perkara tasyri (hukum).

    Aqidah mensyaratkan dalil yang bersifat pasti, tidak ada keraguan sedikit pun di dalamnya. Karena itu, sumber

    pengambilan dalil bagi perkara aqidah harus qathi sumbernya (qathi ats-tsubut) dan pasti penunjukkan dalilnya

    (qathi ad-dalalah). Sumber yang tergolong qathi ats-tsubut adalah al-Quran dan hadits mutawatir saja.

    Hadits (khabar) mutawatir adalah hadits yang didasarkan pada pancaindera, diberitakan oleh sejumlah

    orang, yang jumlahnya menurut kebiasaan tidak mungkin mereka bersepakat (terlebih dahulu) untuk berdusta

    (dalam pemberitaannya). Hadits mutawatir seperti ini menunjukkan al-ilmu (kepastian, yang yakin, dan wajib

    diamalkan, serta barangsiapa yang mengingkarinya dikategorikan kafir.[7]Adapun yang dimaksud qathi ad-dalalah karena kepastian penunjukkan dalil akan memustahilkan ijtihad

    dalam perkara aqidah. Syariat Islam tidak menerima ijtihad seseorang dalam perkara aqidah. Ijtihad terbatas hanya

    dalam perkara tasyri (hukum) saja. Jika aqidah dijadikan ladang untuk berijtihad, bagaimana dengan orang -orang

    yang hasil ijtihadnya dalam perkara aqidah keliru atau salah, sedangkan kekeliruan atau kesalahan dalam perkara

    aqidah dapat menjerumuskan pada kekafiran? Aqidah Islam adalah batas antara iman dan kafir. Dari sinilah,

    penunjukkan dalil dalam masalah aqidah harus qathi, bukan zhann yang masih mengandung kemungkinan

    penafsiran yang berbeda dan bermacam-macam. Ayat-ayat al-Quran yang mengharuskan hal ini antara lain:

    Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengadakannya. Allah tidak menurunkan

    suatu keterangan pun untuk (menyembah)nya. Mereka tidak lain mengikuti sangkaan-sangkaan dan apa yang

    diingini oleh hawa nafsu mereka.(QS. An-Najm: 23)

    Sesungguhnya orang-orang yang tiada beriman kepada kehidupan akhirat, mereka benar-benar menamakan

    malaikat itu dengan nama perempuan. Dan mereka tidak mempunyai suatu pengetahuan tentang itu. Mereka tiada

    lain hanyalah mengikuti prasangka, sedangkan persangkaan itu tiada berfaedah sedikit pun terhadap

    kebenaran.(QS. An-Najm: 27-28)

    Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit

    pun berguna untuk mencapai kebenaran.(QS. Yunus: 36)

    Dan sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-

    raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu kecuali

    mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa.(QS. An-Nisa:

    157)

    http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftn6http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftn6http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftn6http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftn7http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftn7http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftn7http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftn7http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftn6
  • 5/21/2018 Iman Yang Produktif

    10/15

    Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu

    dari jalan Allah. Mereka tidak hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta

    (terhadap Allah).(QS. Al-Anam: 116)

    Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakansiksaan Kami. Katakanlah: Adakah kamu mempunyai suatu pengetahuan sehingga kamu dapat mengemukakannya

    pada Kami? Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta. (QS. Al-

    Anam: 148)

    Dan orang-orang yang menyeru sekutu-sekutu selain Allah, tidaklah mengikuti (suatu keyakinan). Mereka tidak

    mengikuti kecuali prasangka belaka dan mereka hanyalah menduga-duga.(QS. Yunus: 66)

    Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya tanpa hikmah. Yang

    demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, celakalah orang-orang kafir itu.(QS. Shad: 27)

    Dan apabila dikatakan (kepadamu): Sesungguhnya janji Allah itu adalah benar dan hari berbangkit itu tidak ada

    keraguan padanya, niscaya kamu menjawab: Kami tidak tahu apakah hari Kiamat itu, kami sekali-kali tidak lain

    hanyalah menduga-duga dan kami sekali-kali tidak meyakininya.(QS. Al-Jatsiyah: 32)

    Kamu sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari persaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu terhadapmu,

    bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan. Yang demikian itu

    adalah persangkaan yang telah kamu sangka terhadap Rabbmu, prasangka itu telah membinasakan kamu, maka

    jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi.(QS. Fushilat: 22-23)

    Dan sesungguhnya mereka (jin) menyangka sebagaimana persangkaan kamu (orang-orang kafir Mekah), bahwa

    Allah sekali-kali tidak akan membangkitkan seorang (rasul) pun.(QS. Al-Jin: 7)

    Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahu al -Kitab (Taurat) kecuali dongengan bohong belaka

    dan mereka hanya menduga-duga.(QS. Al-Baqarah: 78)

    Ayat-ayat ini semuanya dengan jelas mencela orang-orang yang mengikuti persangkaan dan dugaan, serta

    mencela orang-orang yang mengikuti suatu perkara (aqidah) tanpa ilmu (kepastian). Celaan dan teguran ayat-ayat

    al-Alquran ini sekaligus sebagai dalil yang melarang secara tegas untuk mengikuti persangkaan dan dugaan dalam

    perkara-perkara yang menyangkut aqidah. Dalil syara menunjukkan kepada kita bahwasanya beristidlal

    (menggunakan dalil) zhann dalam masalah aqidah tidak diperbolehkan. Adapun dalam perkara tasyri, pengambilan

    dalil zhanni dapat dilakukan.

    Di samping itu, tema yng disinggung oleh-oleh ayat sebelumnya seluruhnya menyangkut masalh aqidah;

    ada yang berhubungan dengan keberadaan Allah, hari Kiamat, tentang malaikatm para Rasul, janji Allah,

    penciptaan langit dan bumi hingga masalah penyaliban Isa a.s.

    Seputar Masalah Zhann

    Kata zhann yang tecantum di dalam al-Quran memiliki berbagai arti, sebagaimana yang ditunjuk dalam

    masing-masing ayat yang mencantumkan kata tersebut. Zhann yang berarti ilmu wal yakintercantum dalam ayat:

    Sesungguhnya aku yakin bahwa aku akan menemui hisab terhadap diriku. Maka orang itu berada dalam

    kehidupan yang diridlai.(QS. Al-Haqqah: 20-21)

  • 5/21/2018 Iman Yang Produktif

    11/15

    Begitu pula kata zhann yang terdapat dalam firman Allah swt:

    (Yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Rabbnya, dan bahwa mereka akan kembali

    kepada-Nya.(QS. Al-Baqarah: 46)

    Lafadz zhann seperti ini yang mendapatkan pujian di dalam al-Quran karena kata tersebut menunjukkan maknaal-

    ilmu wal yaqin.

    Kata zhann di dalam al-Quran juga terdapat dalam makna lain, yaitual-

    ammaarahatau persangkaan/ilusisebagaimana tercantum dalam ayat:

    ... bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan. Dan demikian

    itu adalah persangkaanmu yang telah kamu sangkakan terhadap Rabbmu, prasangka itu telah membinasakan kamu

    maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi.(QS. Fushilat: 22-23)

    Maka apakah orang-orang yang menunjuki kepada kebenaran itu berhak diikuti ataukah orang yang tidak dapat

    memberikan petunjuk kecuali (bila) diberi petunjuk? Mengapa kamu (berbuat demikian)? Bagaimanakah kamu

    mengambil keputusan? Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya

    persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran. (QS. Yunus: 36)

    Lafadz zhann yang tercantum dalam ayat-ayat ini yang mendapat celaan dari Allah swt.

    Dalam al-Quran terdapat pula ayat yang mengandung kata zhann yang berarti rayu, yaitu pendapat yang

    bertitik tolak pada suatu dalil, namun dalilnya tidak qathi (tidak bersifat pasti). Artinya, pendapat itu bukan suatu

    keyakinan sebagaimana arti zhann pada bagian kedua. Makna zhann pada bagian ketiga ini terletak antara

    pengertian pertama dan kedua, sebagaimana tercantum dalam ayat:

    Dan karena ucapan mereka: Sesungguhnya kami telah membunuh al-Masih Isa putera Maryam, Rasul Allah.

    Padahal, mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya. Akan tetapi, (yang mereka salib dan bunuh)

    adalah orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham

    tentang (pembunuhan) Isa benar-benar dalam keraguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai

    keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa

    yang mereka bunuh itu adalah Isa. Akan tetapi, (yang sebenarnya) Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya. Dan

    Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(QS. An-nisa: 157-158)

    Bagi orang-orang yang mengatakan: Sesungguhnya kami telah membunuh al-Masih....pernyataan

    mereka itu sebenarnya tidak berlandaskan persangkaan/ilusi. Mereka memiliki dalil yang dicerap oleh indera

    mereka: bahwa orang yang ditangkap kemudian disalib itu memang mirip sekali dengan Isa a.s., sebagaimana

    tercantum dalam ayat:Akan tetapi, (yang mereka bunuh itu) adalah orang yang diserupakan (wajahnya) dengan

    Isa bagi mereka. Meskipun demikian, dalil tersebut tidak pasti dan tidak menghantarkan mereka pada suatu

    keyakinan karena sebagian di antara mereka ada yang berkata: ... wajahnya wajah Isa, tetapi tubuhnya

    berbeda.[8]

    Demikian pula apa yang dilakukan oleh para hawariyin (pendamping Nabi Isa a.s.) yang memberitahukan

    kepada orang-orang bahwa yang disalib itu bukanlah Isa a.s. Namun, sebagian besar orang tidak percaya. Orang-

    orang yang berhasil menyalib dan membunuh Isa a.s. menganggap dalilnya kuat. Akan tetapi, Allah swt

    memastikan bahwa pendapat mereka itu tidak sama dan tidak menghantarkan pada derajat yaqin dan ilmu.

    Yang menarik bahwa ayat di atas pada saat bersamaan menggunakan empat lafadz, yaitu syak, yakin,

    zhann, dan ilmu. Hal ini menunjukkan bahwa persangkaan itu meskipun bersifat rajih (jelas) tetap tidak disamakan

    http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftn8http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftn8http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftn8http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftn8
  • 5/21/2018 Iman Yang Produktif

    12/15

    atau tergolong sebagai ilmu sehingga derajatnya tidak sampai kepada taraf yakin. Ayat tersebut menjelaskan pula

    bahwa zhann yang rajih, yang bersandar pada bukti tidak sama dengan persangkaan/ilusi.

    Dengan demikian, zhann diartikan sebagai dugaan kuat. Sebagian orang-orang Nasrani telah

    meriwayatkan cerita mengenai pembunuhan Isa a.s. sebagai sebuah riwayat yang didasarkan pada kesaksian, lalu

    diriwayatkan kembali oleh orang-orang yang dianggap dipercaya dari kalangan mereka untuk disampaikan kepada

    yang lain. Cara periwayatan seperti ini tingkatnya sama dengan khabar ahad yang masyhur, dan bukan riwayatyang mutawatir karena masih dijumpai orang-orang yang ragu terhadap riwayat tersebut dengan alasan-alasan

    tertentu.

    Walhasil, meskipun sebagian besar orang (kecuali Hawariyin) memiliki bukti yang amat kuat, tetapi al-

    Quran tidak menerimanya sebagai suatu bukti serta menolak dengan tegas perkara itu.

    Dalil Zhann dan Hadits Ahad

    Zhann mengandung arti Itiqad/keyakinan yang rajih (kuat/jelas), tetapi mengandung dua alternatif

    (yang bertentangan) sehingga harus meyakininya atau ragu/menolaknya.[9]Berdasarkan pengertian ini, zhann

    merupakan sesuatu yang mengandung lebih dari satu pengertian/kemungkinan sehingga terdapat peluang bagi

    manusia untuk memilih pendapat yang dianggapnya mendekati kebenaran (yakin). Jadi, perkara zhann tidak bisa

    dipastikan akan menghasilkan sesuatu yang yakin. Hal ini menjadi alasan mengapa dalil zhann tidak dapat

    digunakan sebagai dalil dan hujah dalam masalah aqidah.

    Tidak seorang pun ragu bahwanya ayat-ayat al-Quran datang dari Allah swt sehingga derajatnya sebagai

    suatu sumber yang pasti tidak dipertentangkan lagi di antara kaum Muslim di setiap masa. Lain halnya dengan

    Sunnah Rasulullah saw, selain hadits yang mutawatir (hadits yang diriwayatkan sejumlah shahabat yang mustahil

    bersepakat untuk berdusta), hadits-hadits lainnya yang tercakup dalam kategori masyhur atau ahad tidak sampai

    pada derajat yang pasti 100 % berasal dari Rasulullah saw, meskipun ulama-ulama dari golongan Hanafiah

    mengelompokkan hadits masyhur ke dalam hadits mutawatir yang tingkatannya sampai pada keyakinan. Namun,

    orang yang menolak (haditts masyhur) tidak dikafirkan.[10]Memang di kalangan ulama terdapat perbedaan-perbedaan menyangkut status hadits ahad, apakah

    menghantarkan pada sesuatu yang yakin atau tidak? Dari sini, muncul perselisihan penggunaannya dalam perkara

    aqidah. Golongan yang berpendapat bahwa hadits ahad dapat menghantarkan pada derajat yakin sehingga dapat

    dijadikan hujjah dalam perkara aqidah adalah sebagian besar ulama hadits, seperti Imam Abu Dawud, Ibnu Hazm,

    Al-Karisi, Al-Muhasibi, Imam Ibnu Hajar Al-Atsqalani, dan Ibnu Shalah.

    Adapun jumhur ulama ushul menetapkan bahwa hadits ahad menghantarkan pada zhann, namun hadits ini

    setelah diakui keshahihannya wajib diamalkan dalam perkara syari. Berbeda halnya dengan perkara aqi dah, karena

    tidak sampai pada derajat yakin, tidak dapat diamalkan. Golongan yang berpendapat seperti ini antara lain Imam

    madzhab yang empat, Imam Ghazali, Al-Bazdawi, Khatib Al-Baghdadi hingga generasi seperti terakhir

    Muhammad Abduh, Sayyid Qutb, dan lain-lain.

    Agar aqidah yang kita anut betul-betul bersih dan lurus, jauh dari keraguan dan syak meskipun sedikit,

    sumber dan makna dalilnya harus bersifat pasti. Syekh Jamaluddin Al-Qasimi berkata: Sesungguhnya jumhur

    kaum Muslim dari kalangan shahabat, tabiin,, golongan setelah mereka dari kalangan fuqaha, ahli hadits, dan

    ulama ushul berpendapat bahwasanya khabar ahad yang terpercaya dapat dijadikan hujjah dalam masalah tasyri

    yang wajib diamalkan, tetapi (khabar ahad ini) menghantarkan pada zhann tidak sampai pada derajat al- ilmu

    (yakin).[11] Imam Kassani berpendapat: Dengan demikian, pendapat sebagian besar fuqaha menerima hadits

    ahad yang yang terpercayadan adil serta (hadits ahad ini) diperlukan dalam perkara amal (tasyri) kecuali perkara

    aqidah sebab itiqad wajib dibangun berdasarkan dalil-dalil yang yakin, yang tidak ada keraguan di dalamnya,

    sementara dalam masalah amal (tasyri) cukup dengan dalil yang rajih (kuat) saja. Sementara itu, Imam Al-

    Asnawi berkata: Pada dasarnya jika riwayat hadits ahad mendatangkan sesuatu maka yang dihasilkannya

    henyalah berupa sangkaan. Allah sendiri membolehkan persangkaan seperti ini, namun terbatas hanya dalam

    http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftn9http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftn9http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftn9http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftn10http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftn10http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftn10http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftn11http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftn11http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftn11http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftn11http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftn10http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftn9
  • 5/21/2018 Iman Yang Produktif

    13/15

    perkara amaliah, yaitu cabang-cabang kewajiban agama, bukan hal-hal yang berkaitan dengan pengetahuan ilmiah,

    seperti kaedah-kaedah pokok hukum agama. Adapun Imam Asy-Syahid Sayyid Qutb berpendapat tatkala

    menafsirkan surat al-Falaq berkenaan dengan hadits bahwa Lubaid bin Asham al-Yahudi teleh menyihir

    Rasulullah saw, sementara status hadits tersebut tergolong shahih: hadits ahad tidak dapat dijadikan sumber

    yang dipercaya (dalam perkara aqidahpen) karena sumber yang dapat dijadikan rujukan dalam keyakinan adalah

    hadits yang mutawatir.Dari lontaran-lontaran pendapat tadi menunjukkan bahwa iman yang dituntut oleh Allah swt haruslah

    iman yang yakin, pembenaran (tashdiq) yang bersifat pasti (jazm) dan berasal dari dalil yang qath I (pasti).

    Berkenaan dengan hal ini, al-Ghazali mengemukakan: Iman ada suatu pembenaran yang pasti yang tidak ada

    keraguan ataupun perasaan bersalah yang dirasakan oleh pemeluknya. Pendapat ini senada dengan pendapat

    Imam an-Nasafi: Iman adalah pembenaran hati yang sampai pada tingkat kepastian dan ketundukkan.

    Yang dimaksud dengan pembenaran (tashdiq) adalah sekadar membenarkan sehingga belum mencapai

    derajat iman (itiqad). Oleh karena itu, tashdiq dapat diterima berdasarkan dalil-dalil yang zhann. Akibatnya, suatu

    khabar/hadits yang tidak sampai pada derajat mutawatir tidak bolah ditolak dalam perkara tashdiq. Meskipun

    demikian, sesuai dengan definisi iman yaitu pembenaran yang pasti (tashdiqul jazm) maka kepastian itu

    mangharuskan kita hanya mengambil hujjah/dalil yang bersifat qathI saja agar aqidah tergolong aqidah yang

    selamat, lurus, serta tidak menjadi ajang perbedaan pendapat atau ajang ijtihad karena dalil zhann mengandung

    perbedaan, baik dari aspek tsubutnya (sumber dalilnya) maupun dalalahnya (penunjukkan dalilnya).

    Perlu dipahami bahwa tidak diterimanya hadits ahad sebagai dalil dalam perkara aqidah bukan berarti kita

    menolak dan mengingkari hadits-hadits ahad dalam perkara tasyri, bahkan kedudukan hadits ahad dalamperkara

    tasyri sudah disepakati oleh seluruh fuqaha. Atas dasar dasar ini, tidak adanya itiqad bukan berarti

    ingkar/menolak, tetapi menerima hanya tidak jazm (pasti), teruitama dalam perkara aqidah.

    Aqidah dan Ijtihad

    Peradaban Islam pernah mengalami perdebatan seputar masalah aqidah. Perkara mencuat setelah

    didahului oleh periode penerjemahan, pengkajian, dan penggunaan metode filsafat dalam membahas ayat-ayat al-

    Quran yang berhubungan dengan aqidah. Memang fenomena ini tidak dapat dihin dari saat itu seiring dengan

    semakin meluasnnya pembukaan (futuhat Islamiyah) wilayah-wilayah baru yang ditaklukkan oleh kaum Muslim.

    Daerah-daerah yang ditaklukkan itu antara lain daerah yang selama ratusan tahun sebelumnya menggunakan pola

    pikir filsafat, seperti daerah Yunani dan sekitarnya (Bizantium), Lembah Sungai Nil di Mesir, Persia, India, antara

    Sungai Eufrat dan Tigris (Irak), dal lain-lain.

    Untuk memudahkan pengajaran dan pemahaman risalah Islam terhadap penduduk setempat yang baru

    ditaklukkan, cara yang termudah saat itu adalah dengan menggunakan metode atau pola pikir yang telah mereka

    anut selama berabad-abad sebelumnya.

    Persoalan-persoalan ini yang memunculkan banyaknya firqah (golongan-golongan yang bertentangan)

    dalam masalah aqidah. Pada masa itu aqiadah dijadikan arena ijtihad. Setiap golongan mengungkapkan berbagai

    argumentasi yang mendasari pendapatnya. Karena aqidah merupakan batas antara iman dan kufur, jika seseorang

    berbeda pendapat dengan yang lain maka orang yang dianggap salah digolongkan dalam kelompok yang kafir dan

    sesat. Aqidah hanya mengenal kata benar atau salah, hal ini berbeda dengan ijtihad dalam perkara tasyri,

    sebagaimana hadits Rasulullah saw: Apabila seorang penguasa atau qadli (hakim) berijtihad (memutuskan suatu

    perkara), kemudian ijtihadnya benar maka mendapatkan dua pahala. Jika ia memutuskan perkara tapi ijtihadnya

    salah maka ia mendapatkan satu pahala.

    Hadits ini menunjukkan bahwa ijtihad hanya dalam penentuan hukuym syara. Tidak terdapat satu nash pun

    yang menunjukkan kebolehan ijtihad dalam perkara aqidah. Malah, sebaliknya argumentasi al-Quran yang qathI

    melarang seorang Muslim mengikuti persangkaan dan berijtihad dalam perkara aqidah.

  • 5/21/2018 Iman Yang Produktif

    14/15

    Jumhur ulama menolak pendapat Imam az-Zish dan Abdullah al-Anbari yang membolehkan ijtihad dalam

    masalah aqidah (ushuluddin). Jika orang yang berijtihad dalam masalah aqidah keliru, ia tidak akan mendapatkan

    satu pahala dan argumentasinya sama sekali tidak dapat diterima, bahkan bisa dikatakan tersesat (keluar dari

    Islam). Contoh yang paling masyhur dalam masalah ini adalah apa yang dilakukan oleh golongan Qadariah yang

    berpendapat tidak ada takdir atau golongan Mutazilah yang masyhur dengan pe ndapatnya bahwa al-Quran itu

    makhluq, bukan kalamullah, atau golongan-golongan sesat lainnya yang sempat dibukukan oleh Imam asy-Syahrastani dalam kitabnya yang terkenal al-Milal wa Nihal.

    Persoalan sifat-sifat Allah yang diserupakan dengan sifat-sifat makhluq-Nya, atau bahkan menolak sifat-

    sifat Allah, baik tentang keadilan Allah, Nuzulnya Allah (turunnya Alla) ke dunia, bersemayam (istiwa)nya Allah di

    Arasy, qadla dan qadar, dan sebagainya. Dengan pengamatan sepintas pun, kita dapat mengetahui bahwa

    pembahasan-pembahasan itu dominan dipengaruhi filsafat Yunani, India, dan Persia. Pengambilan nash-nash al-

    Quran yang mereka lakukan ditawilkan sekehendak hati untuk memperkuat pendapat golongannya masing -

    masing. Allah swt memperingatkan manusia dalam masalah ini dengan firman-Nya:

    Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di

    dalamnya.(QS. Al-Mukminun: 71)

    Berdasarkan penjelasan ini, pokok pembahasan aqidah adalah hal-hal yang menyangkut ushuluddin, tidak

    menyangkut perkara-perkara cabang yang melandasi amal perbuatan. Karena itu, dalam perkara aqidah tidak

    dimasukkan hal-hal yang yang tidak tersangkut paut dengan aqidah, seperti perselisihan Ali bin Abi Thalib

    dengan para shahabat mengenai soal kekhilafahan (pemerintahan) atau perselisihan antara Mutazilah dan Ahlu

    Sunnah tentang hakikat sihir dan terbentuknya awan. Persoalan perselisihan kekhilafahan lebih layak dimasukkan

    dalam kitab tarikh (sejarah) daripada kitab aqidah. Begitu pula, dengan hakikat sihir dan terbentuknya awan lebih

    pantas dimasukkan dalam kitab sulap dan meteorologi.

    Kitab-kitab tauhid semacam itu sebenarnya telah mempertajam perselisihan antara kelompok satu dengan

    kelompok lain. Sesungguhnya bahaya yang dihasilkannya lebih besar lagi bagi umat atau individu. Misalnya saja,

    perselisihan antara ahli kalam mengenai apakah amal perbuatan itu merupakan pokok dari aqidah atau hanya

    sekadar pelengkap saja? Pertentangan seperti ini dapat menyebabkan masyarakat meninggalkan amal, kemudian

    cukup hanya dengan beriman saja, dengan alasan bahwasanya iman itu dengan amal.

    Contih lain pertentangan pendapat di kalangan ahli kalam, mengenai apakah manusia itu memiliki qudrah

    (kemampuan) dan iradah (kehendak) sehingga bebas melakukan apa saja atau meninggalkan apa saja sekehendak

    hatinya, atau pendapat sebaliknya yang mengatakan bahwa manusia itu ibarat bulu yang diterbangkan oleh angin,

    ke mana angin bertiup ke sanalah bulu itu diterbangkan. Perselisihan semacam ini dapat mengakibatkan orang-

    orang yang awam menyerah pada pendapat bahwa manusia itu dipaksa oleh Allah swt tanpa memiliki kebebasan

    memilih sekehendak hatinya. Walhasil, akhirnya mereka meninggalkan perbuatan-perbuatan yang wajib, semangat

    mereka lemah, terbelakang, serta tidak memiliki etos kerja dibandingkan umat lain di dunia.

    Oleh karena itu, sudah seharusnya aqidah dipelajari secara sederhana/simpel, dijauhkan pembahasan

    menurut metode kalam yang rumit dengan cara mengembalikan perkara-perkara aqidah bersumber dari dalil-dalil

    qathI, yang bersifat pasti, serta jauh dari prasangka dan keraguan. Dengan kata lain, aqidah disampaikan menurut

    al-Quran al-Karim dan hadits-hadits mutawatir saja. Dari sinilah, aqidah kaum Muslim akan muncul seperti ketika

    munculnya Islam pertam kali; bersih dari segala noda dan cela serta mudah dipahami. Aqidah seperti inilah yang

    dimiliki oleh para shahabat Rasulullah saw. Dengan metode yang sangat sederhana inilah, aqidah Islam berhasil

    menyentuh akal dan perasaan manusia di berbagai negeri, serta mudah dipahami, baik oleh kalangan intelektual

    tanpa mengurangi ketinggian aqidah Islam maupun masyarakat awam. Aqidah seperti ini yang berhasil menjaga

    kaum Muslim dari berbagai serangan dahsyat peradaban dan budaya asing yang menyerbu masyarakat Islam

    selama berabad-abad sehingga peradaban Islam menjadi suatu peradaban yang kuat yang pernah dikenal di pentas

    dunia.

  • 5/21/2018 Iman Yang Produktif

    15/15

    [1] Sirah Ibnu Hisyam, jilid I, hlm. 504

    [2]Al-Istidlaalu bi zhann fi al-aqidah, Fathi Salim, hlm. 90

    [3]Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, jilid I, hlm. 166[4] Sejarah dan Pengantar Tauhid, hlm. 52

    [5] Islam, Aqidah dan Syariat, Mahmud Syaltut, hlm. 86

    [6]Al-Istidlaalu bi Zhann fi al-Aqidah, Fathi Salim, hlm. 20-21

    [7] Dirasat fi al-Fikri al-Islam, M. Husain Abdullah, hlm. 118

    [8] Tafsir Ibnu Katsir, jilid I, hlm. 707-712

    [9]Al-Istidlaalu bi Zhann fi al-Aqidah, Fathi Salim, hlm. 20

    [10] Ushul at-Tasyri al-Islami, Ali Hasbullah, hlm. 35-40

    [11] Qawaaidu at-Tahdits, Al-Qasiim, hlm. 147-148

    :: Di ambil dari buku " Luruskah Aqidah Anda ".

    http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftnref1http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftnref1http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftnref2http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftnref2http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftnref3http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftnref3http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftnref4http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftnref4http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftnref5http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftnref5http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftnref6http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftnref6http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftnref7http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftnref7http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftnref8http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftnref8http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftnref9http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftnref9http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftnref10http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftnref10http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftnref11http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftnref11http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftnref11http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftnref10http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftnref9http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftnref8http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftnref7http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftnref6http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftnref5http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftnref4http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftnref3http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftnref2http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5640081953056681508#_ftnref1