33
Gagasan Ibn Khaldun tentang Ilmu Sosial-Budaya (ilm al-umran) 1 GAGASAN IBN KHALDUN TENTANG ‘ILM SOSIAL-BUDAYA (‘ILM AL- UMRÂN) DALAM KAJIAN SEJARAH DAN SOSIAL KEMASYARAKATAN Oleh: Dadan Rusmana [email protected] A. Meretas Penelitian Historis-Empiris (Sejarah Ilmiah) dan Kajian Sosiologis Dalam buku berjudul Medieval Islam, Gustave E. von Grunebaum menuliskan, “Pengaruh milieu (lingkungan) kepada pemikiran sudah disadari sejak sebelum Ibn Khaldun, yaitu oleh al-Sakkaki …tetap karangan Ibn Khaldun yang merupakan perintis jalan itu membawa dia melebihi pengarang sebelumnya.” Lebih lanjut, Grunebaum menyebutkan tokoh lain yang mempunyai orientasi kajian yang sama, yaitu al-Mas’udi. Sejarawan Muslim-Arab yang satu ini dalam karyanya, Murûj al-Dzahab dan Tanbîh wa al- Isyrâf, telah membahas mengenai data-data sejarah masyarakat Muslim sejak masa kenabian hingga masanya (345H/956 M), sistem pemerintahan dalam masyarakat Muslim, serta peran agama terhadap kekuasaan raja (mulk) dan sebaliknya, serta faktor-faktor penyebab kemunduran politik dan agama. Ia juga membahas tentang pengaruh wilayah geografis (kondisi alam) terhadap pembentukan karakater dan perkembangan masyarakat Muslim dan lainnya. Disebutkan oleh Yusri ‘Abd al-Ghani ‘Abd Allah bahwa al-Mas’udi tidak berpihak pada madzhab, komunitas politik, atau informasi pihak tertentu dalam penulisan sejarah. 1 Dalam bagian lain dari kitab Tanbih (halaman 84), al-Mas’udi menulis tentang hubungan antara hukum-hukum suatu bangsa dengan empat faktor lainnya, yaitu agama, ekonomi, karakter aslinya, dan (pengaruh) keberadaan bangsa-bangsa yang ada di sekelilingnya. Namun sayang sekali, solusi yang diajukan al-Mas’udi mengenai berbagai konflik dan faktor penyebab kemunduran politik dan agama tersebut. Pembaca modern pun tidak mengetahui secara pasti, sumber-sumber yang dipergunakan al-Mas’udi dalam merumuskan teorinya. Grunebaum berspekulasi bahwa kemungkinan buku Politeai 1 Yusri ‘Abd al-Ghani ‘Abd Allah, Historiografi Islam Dari Klasik Hingga Modern. Terjemahan oleh Budi Sudrajat, Jakarta, Rajawali Press, 2004, halaman 156.

Ilm Sosial-Budaya _'Ilm Al-Umran_ IBn Khaldun_Dadan Rusmana

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Ilm Sosial-Budaya _'Ilm Al-Umran_ IBn Khaldun_Dadan Rusmana

Gagasan Ibn Khaldun tentang Ilmu Sosial-Budaya (ilm al-umran) 1

GGAAGGAASSAANN IIBBNN KKHHAALLDDUUNN TTEENNTTAANNGG ‘‘IILLMM SSOOSSIIAALL--BBUUDDAAYYAA ((‘‘IILLMM AALL--

UUMMRRÂÂNN)) DDAALLAAMM KKAAJJIIAANN SSEEJJAARRAAHH DDAANN SSOOSSIIAALL KKEEMMAASSYYAARRAAKKAATTAANN

Oleh: Dadan Rusmana

[email protected]

A. Meretas Penelitian Historis-Empiris (Sejarah Ilmiah) dan Kajian Sosiologis

Dalam buku berjudul Medieval Islam, Gustave E. von Grunebaum menuliskan,

“Pengaruh milieu (lingkungan) kepada pemikiran sudah disadari sejak sebelum Ibn

Khaldun, yaitu oleh al-Sakkaki …tetap karangan Ibn Khaldun yang merupakan perintis

jalan itu membawa dia melebihi pengarang sebelumnya.” Lebih lanjut, Grunebaum

menyebutkan tokoh lain yang mempunyai orientasi kajian yang sama, yaitu al-Mas’udi.

Sejarawan Muslim-Arab yang satu ini dalam karyanya, Murûj al-Dzahab dan Tanbîh wa al-

Isyrâf, telah membahas mengenai data-data sejarah masyarakat Muslim sejak masa

kenabian hingga masanya (345H/956 M), sistem pemerintahan dalam masyarakat Muslim,

serta peran agama terhadap kekuasaan raja (mulk) dan sebaliknya, serta faktor-faktor

penyebab kemunduran politik dan agama. Ia juga membahas tentang pengaruh wilayah

geografis (kondisi alam) terhadap pembentukan karakater dan perkembangan masyarakat

Muslim dan lainnya. Disebutkan oleh Yusri ‘Abd al-Ghani ‘Abd Allah bahwa al-Mas’udi

tidak berpihak pada madzhab, komunitas politik, atau informasi pihak tertentu dalam

penulisan sejarah.1

Dalam bagian lain dari kitab Tanbih (halaman 84), al-Mas’udi menulis tentang

hubungan antara hukum-hukum suatu bangsa dengan empat faktor lainnya, yaitu agama,

ekonomi, karakter aslinya, dan (pengaruh) keberadaan bangsa-bangsa yang ada di

sekelilingnya. Namun sayang sekali, solusi yang diajukan al-Mas’udi mengenai berbagai

konflik dan faktor penyebab kemunduran politik dan agama tersebut. Pembaca modern

pun tidak mengetahui secara pasti, sumber-sumber yang dipergunakan al-Mas’udi dalam

merumuskan teorinya. Grunebaum berspekulasi bahwa kemungkinan buku Politeai

1Yusri ‘Abd al-Ghani ‘Abd Allah, Historiografi Islam Dari Klasik Hingga Modern. Terjemahan oleh Budi Sudrajat, Jakarta,

Rajawali Press, 2004, halaman 156.

Page 2: Ilm Sosial-Budaya _'Ilm Al-Umran_ IBn Khaldun_Dadan Rusmana

Dadan Rusmana 2

(Politics) Aristoteles mempengaruhi al-Mas’udi, sebagaimana tersirat dalam Tanbih

(halaman 78).

Namun spekulasi Grunebaum ini ditepis oleh Issawi dengan alasan serupa yang

diajukan ketika menepis anggapan pengaruh buku-buku Yunani pada pemikiran Ibn

Khaldun. Bahwa buku Aristoteles di atas tidak pernah diterjemahkan ke dalam bahasa

Arab, hanya terdapat terjemahan dalam bahasa Syria. Tidak ditemukan bukti bahwa al-

Mas’udi, begitu pula Ibn Khaldun, menguasai bahasa asing (Syiria dan Yunani). Dengan

demikian, sangat kecil kemungkinannya al-Mas’udi dan Ibn Khaldun membaca buku karya

Aristoteles tersebut. Kesimpulan Issawi ini dikuatkan oleh Fuad Baali dan Ali Wardi,

bahwa Ibn Khaldun jangankan untuk mengikuti pendapat-pendapat Aristoteles, jika ia

benar telah mengenal ajaran Arsitoteles, Ibn Khaldun telah mampu keluar dari paradigma

berfikir (logika) skolastik-Aristotelian. Ia mampu mengembangkan logika realistis dan

mampu mengantarkannya untuk mengembangkan urn al-umrân yang hanya menerima

logika peristiwa-peristiwa yang nyata (yaitu logika yang dapat diuji. Ini menjelaskan

mengapa dia berusaha mencari hukum-hukum nyata yang menguasai proses-prose

kemasyarakatan.2

Demikian juga, pembaca modern tidak mengetahui apakah Ibn Khaldun mengetahui

ajaran al-Mas’udi ini dan mengutipnya atau tidak. Sangat sulit membuktikan bahwa Ibn

Khaldun menjadikan pendapat atau temuan-temuan dari al-Mas’udi menjadi dasar teori-

teori yang dibangunnya. Hanya saja dapat dikatakan bahwa terdapat mainstream atau

matarantai yang sama dari para sejarawan Muslim masa ini, termasuk al-Mas’udi dan Ibn

Khaldun, yaitu adanya usaha sistematisasi dan kajian mendalam terhadap eksistensi

kiprah kaum Muslim di dalam sejarah dunia. 3

Beberapa dasawarasa sebelum Ibn Khaldun menulis Muqaddimah, sarjana Muslim

yang mempunyai kajian serupa adalah Ibn Bathuhah (1304-1369?). Ia merupakan salah

satu sarjana Muslim yang memiliki laporan perjalanan (hagiografi) yang cukup lengkap dari

Afrika hingga Hindustan. Hanya saja dari usahanya memahami nilai-nilai berbagai

kelompok masyararakat yang dikunjunginya, Ibn Bathuthah cenderung merendahkan

masyarakat, dan ini membuktikan bahwa perjalanannya yang jauh tidak membuka

wawasannya sama sekali. Hal ini tidak sama dengan Ibn Khaldun, Ibn Bathuthah tidak

2 Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibn Khaldun dan Pola PikirIslam, halaman 25. 3Yusri ‘Abd al-Ghani ‘Abd Allah, Historiografi Islam Dari Klasik Hingga Modern. Terjemahan oleh Budi Sudrajat, Jakarta,

Rajawali Press, 2004, halaman 65.

Page 3: Ilm Sosial-Budaya _'Ilm Al-Umran_ IBn Khaldun_Dadan Rusmana

Gagasan Ibn Khaldun tentang Ilmu Sosial-Budaya (ilm al-umran) 3

mengalami "konflik batin", atau pikirannya telah terperangkap ke dalam nilai-nilai

masyarakatnya.4

Menurut Wafi (1985:90), sebelum Ibn Khaldun, para peneliti mengadakan studinya

terhadap gejala-gejala sosial melalui berbagai metode yang berbeda, namun metode

mereka lebih didasarkan pada metode yang ditempuh pada penelitian ilmu alam, seperti

dipraktekkan ahli-ahli fisika dan matematika. Di dalamnya mereka mengikuti aspek-aspek

yang tidak didasari paradigma atau asumsi yang menggariskan bahwa gejala-gejala sosial

tunduk pada hukumnya sendiri, yang cukup berbeda dengan hukum-hukum yang terjadi

pada alam. Di sinilah letak salah satu kebaruan paradigma Ibn Khaldun, yaitu

mengukuhkan adanya hukum tersendiri yang mengatur dan mengikat gejala-gejala sosial-

kemasyarakatan.

Menurut Wafi (1985:90-91), para sarjana Muslim dan Muslim sebelum Ibn Khaldun

menggunakan, setidaknya, tiga metode dalam mempelajari gejala-gejala sosial: Pertama,

metode historis obyektif. Metode ini bertujuan untuk menerangkan gejala-gejala sosial

secara apa adanya, baik “apa yang ada padanya” maupun “apa yang terjadi padanya”.

Menurut Issawi, metode Ibn Khaldun ini mendahului apa yang dirintis oleh Spinoza. Dalam

koridor obyektif ini, usaha Ibn Khaldun ini tidak ditujukan untuk memuji, mencelam atau

menilai pada berbagai fenomena sosial, tetapi dimaksudkan untuk mengetahui dan

memahami hukum-hukum kemanusiaan.5

Ketika para sejarawan membahas sejarah umum, umumnya mereka melangkah dari

satu tahun ke tahun yang lain (kronologi; diakronik), menurut kesesuaian atas tananan

politik, agama, hukum, pendidikan, ekonomi, keluarga, atau gejala sosial lainnya. Mereka

mendeskripsikan begitu saja perihal bangsa-bangsa yang mereka kaji sejarahnya. Upaya

mereka terbatas pada upaya melukiskan peristiwa tersebut apa adanya, tanpa mengaitkan

antara satu gejala sosial dengan gejala sosial lainnya. Misalnya, Ibn Hazm dalam Millah

wa Nihlah hanya mendeksripsikan fenomena keagaamaan secara kronologis dengan

pendekatan sejarah, tanpa menjelaskan kaitannya dengan faktor-faktor lain, seperti

geografis, ekonomi, sosial politik, atau pendidikan.

Kedua, Metode dakwah. Metode ini lebih banyak mendeskripsikan “apa yang

seharusnya” (cita-cita ideal) dari gejala sosial, tanpa disertai kajian “apa yang terjadi apa

4 Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibn Khaldun dan Pola Pikir Islam, halaman 22-23. 5 Charles Issawi, Filsafat Islam tentang Sejarah, halaman 17.

Page 4: Ilm Sosial-Budaya _'Ilm Al-Umran_ IBn Khaldun_Dadan Rusmana

Dadan Rusmana 4

adanya”. Mereka lebih menyandarkan pada logika deduktif dengan dasar doktrin-doktrin

teologis, aturan-aturan normatif, serta adat istiadat. Semuanya dijewantahkan dengan cara

menerangkan kebaikan-kebaikan, memantapkan prinsip-prinsip, dan mengajurkan

masyarakat supaya memegang prinsip-prinsip dan aturan-aturan tersebut. Metode ini

dipergunakan oleh para teolog, sufi, da’i, serta para politikus, misalnya dalam Tahdzib al-

akhlak (Ibn Miskawaih), Ihyâ ‘Ulum al-Dîn (al-Ghazali), ‘Uyûn al-Akbar (Ibn Qutaibah al-

Dainuri), al-Ahkâm al-Suthâniyyah dan al-Wizarah wa Siyâsat al-malik (al-Mawardi), Sirâj

al-Mulûk (al-Thaharthasy), dan al-Fakhr fî al-âdab al-Sulthâniyyah wa al-Duwâl al-

Islâmiyyah (Ibn Thaba al-Thaqthaqi).

Ketiga, metode rekonstruksi imajinatif. Metode ini dipergunakan dengan cara

merumuskan apa yang seharusnya melalui perenungan imajinatif terhadap fenomena

sosial atau sesuai dengan hasil pencapaian akal, seperti yang dalam Republica dan

Canon (Plato), Ethics dan Politics (Aristoteles), ‘Arâ ahl al-Madhînah al-Fadhîlah (al-

Farabi). Dalam karya-karya tersebut, mereka menjelaskan “apa yang seharusnya” terjadi

pada masyarakat dengans segala bentuk gejala sosialnya, sehingga mereka menjadi

masyarakat utama menurut pandangan mereka, terutama mengenai filsafat keutamaan

dan etika.

B. Gagasan Ibn Khaldun tentang Penelitian Empiris Historis dan Kajian Sosiologis

Ibn Khaldun, meminjam istilah Park, adalah "manusia marginal"6 yang mampu keluar

dari arus utama (hegemoni) pemikiran masyarakat klasik dan pertengahan. "Manusia

Marginal", kata R.E. Park dimaksudkan sebagai "orang yang ditakdirkan hidup dalam dua

masyarakat dan di dalam dua kebudayaan yang tidak hanya berbeda tetapi saling

berseberangan. Dalam hal ini, pikirannya menjadi wadah di mana dua kebudayaan yang

berbeda dan bias dapat dikatakan melebur dan bercampur baik keseluruhan maupun

sebagian." Seperti inilah Ibn Khaldun. Ia mempelajari sejarah dan menjalani sejarahnya

seakan-akan ia mengendalikan roda sejarah itu sendiri dan ia berjalan mengarahkan

perjalanan sejarahnya sendirian.

Menurut Ibn Khaldun, sejarah mengandung dua makna, yakni kadang-kadang

diartikan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu, dan kadang-kadang

diartikan pula dengan penuturan seseorang tentang peristiwa-peristiwa tersebut. Dengan

6 R.E. Park, "Introduction", di dalam E. V. Stonequist, Marginal Man, New York, Russel and Russel, 1961, halaman xv.

Page 5: Ilm Sosial-Budaya _'Ilm Al-Umran_ IBn Khaldun_Dadan Rusmana

Gagasan Ibn Khaldun tentang Ilmu Sosial-Budaya (ilm al-umran) 5

demikian, terdapat dua kemungkinan ruang lingkup sejarah. Sejarah dalam bentuk kajian

tradisionalnya, yaitu perjalanan sejarah dan perkembangannya; serta sejarah dalam

bentuk pikiran filosofis tentang sejarah. Bentuk kedua ini sering disebut sebagai filsafat

sejarah, yang mempunyai dua ciri utama, yaitu aspek kontemplatif dan aspek analitis.

Penelitian fenomena sejarah pertumbuhan dan perkembangan masyarakat Ibn

Khaldun didasarkan pada prinsip-prinsip dan bukti-bukti empiris-historis. Gagasan Ibn

Khaldun ini merupakan sebuah terobosan baru dalam tradisi penulisan sejarah di dunia

Islam pada waktu itu. Dalam hal ini, Ibn Khaldun banyak melakukan penelitian di sekitar

Afrika Utara dan Spanyol. Berdasarkan penelitian empiris-historis ini, Ibn Khaldun

menghasilkan beberapa tesis kontroversial, salah satunya menyangkut konsep

‘ashabiyyah (solidaritas sosial). Tidak mengherankan apabila Ibn Khaldun dituduh sebagai

sarjana sekuler. Konsep ‘ashabiyyah (solidaritas sosial, semangat suku) yang dikritik oleh

kebanyakan mayoritas Muslim justeru dianggap oleh Ibn Khaldun sebagai perekat yang

kuat bagi bangunan kekuasaan, khususnya di kalangan suku Badwi.

Berdasarkan pengamatannya itu, Ibn Khaldun membagi dua sisi sejarah, yaitu sisi

ekstrinsiknya dan sisi intrinsiknya. Pada sisi ekstrinsiknya yang terlihat adalah catatan

tentang perputaran kekuasaan pada masa lampau. Pada sisi intrisik dalam sejarah adalah

suatu penyelidikan kritis dan usaha yang cermat untuk menemukan kebenaran atau suatu

penjelasan yang cerdas tentang sebab-sebab dan asal-usul segala sesuatu; atau pula

suatu pengetahuan yang mendalam tentang bagaimana dan mengapa peristiwa tersebut

itu terjadi. Oleh sebab itu, sejarah berakar dalam filsafat (hikmah). Jawaban mendalam

tentang bagaimana (proses) dan mengapa (sebab) dapat ditemukan dalam filsafat.

Bagi Ibn Khaldun, sejarah mempunyai fungsi dan nilai praktis, yaitu membantu

penguasa atau siapapun saja dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan.

Sejarah membantu filsafat politik dalam pengaturan kota (tadbîr al-madina) atau dalam

cara-cara pengaturan masalah-masalah politik (Mahdi, 1971:286). Di sini terlihat semacam

hirarki ilmu, yaitu filsafat politik, sejarah, dan ilm al-umrân. Filsafat politik adalah yang

tertinggi di antara ketiga disiplin di atas, menyusul kemudian sejarah, dan setelah itu ilm al-

umrân. Sekalipun berada di bawah sejarah, fungsi ilm al-umrân tetap penting, sebab tanpa

ilmu ini historiografi tidak akan pernah menghadirkan gambaran masa lampau dengan cara

yang lebih utuh, jelas, dan intelligible. Dalam perspektif ruang dan waktu, masa lampau

manusia tidak kurang kompleks bila dibanding dengan masa sekarang.

Page 6: Ilm Sosial-Budaya _'Ilm Al-Umran_ IBn Khaldun_Dadan Rusmana

Dadan Rusmana 6

Ibn Khaldun tidak saja ingin menghadirkan masa lampau itu dalam format yang lebih

utuh yang memang menjadi profesi sejarawan, tetapi juga mau berangkat lebih jauh, yaitu

menjadikan sejarah sebagai “panggung moral.” Karya sejarahnya yang diantarkan al-

Muqaddimah yang diberi judul Kitab al-Ibar (kitab tentang contoh-contoh moral)

mengisyaratkan bahwa pengarangnya ingin membaca dan mendapatkan sesuatu yang

ada di belakang fakta. Artinya, dimensi filosofis dan peristiwa sejarah hendaklah pula

dipahami dan ditangkap dengan cermat. Sisi inilah yang dalam al-Muqaddimah disebut sisi

dalam dari sejarah. 7 Dengan demikian, bagi Ibn Khaldun, sejarawanmemiliki peran ganda,

yaitu pertama, menyingkapkan fakta-fakta langka yang penting dan mengubahnya menjadi

fakta-fakta historis; dan kedua, menjauhkan fakta-fakta historis dari fakta-fakta ahistoris.8

Ibn Khaldun menuliskan bahwa “penulisan sejarah memerlukan banyak sumber dan

pengetahuan yang bermacam-macam. Selain itu, penulisan sejarah pun memerlukan

suatu mind spekulatif yang baik dan kedalamannya yang membawa sejarawan kepada

kebenaran dan memeliharanya dari keterpesonaan dan terjaga dari kesalahan.”9 Baginya,

pertanyaan bagaimana dan mengapa peristiwa sejarah terjadi harus dijawab secara jujur,

mendalam, cermat, dan berdasarkan sumber-sumber yang dapat dipercaya. Kemudian

kearifan barulah mungkin diraih dari bangunan masa lampau bila bangunan itu ditegakkan

di atas fondasi historis yang kokoh. Dimensi praksis dari sejarah adalah bila orang mampu

menangkap sinyal kearifan itu untuk memecahkan masalah-masalah politik, ekonomi, dan

sosial. Ibn Khaldun mengingatkan:

Menurut Ibn Khaldun, mutu karya sejarah akan sangat bergantung kepada kualitas

sejarawan. Karena itu, menurutnya, seorang sejarawan harus mengenal prinsip-prinsip

politik, hakikat, segala sesuatu, perbedaan-perbedaan antar bangsa, tempat, dan periode-

periode yang berkaitan dengan cara hidup, kualitas karakter, adat istiadat, sekte-sekte,

aliran-aliran, dan lain sebagainya. Ditegaskan lebih jauh bahwa seorang sejarawan

memerlukan pengetahuan komprehensif tentang kondisi sekarang dalam semua segi

tersebut di atas. Kemudian ia harus pandai membandingkan persamaan atau perbedaan

antara kondisi sekarang dengan masa lampau (Ibn Khaldun, 1970:24). Sejarawan juga

berharus bersikap ekstra hati-hati dalam penulisan sejarah karena dimensi kehidupan

7 A. Syafi’i Ma’arif, Ibn Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur, Jakarta, Gema Insani Press, halaman 47. 8 Menurut Zainab al-Khudhairi, pendapat Ibn Khaldun seperti demikian sejalan dengan pemikiran sejarawan modern, seperti

Edward Carr (penulis What is History) dan R.G. Collingwood (filosof Inggris penulis The Idea of Historyyang terbit pada tahun 1945). Lihat Zainab al-Khudhairi, Fislafat SejarahIbn Khaldun, halaman 51.

9 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 11.

Page 7: Ilm Sosial-Budaya _'Ilm Al-Umran_ IBn Khaldun_Dadan Rusmana

Gagasan Ibn Khaldun tentang Ilmu Sosial-Budaya (ilm al-umran) 7

manusia begitu luas dan kompleks, maka untuk memahaminya dibutuhkan peralatan ilmu

yang tidak sederhana agar penemuannya bersifat utuh dan komprehensif. Apabila

kehidupan yang serba kompleks itu telah menjadi sejarah, tidak mungkin lagi diamati

secara langsung, maka kerja rekonstruksinya merupakan tugas sejarawan yang cukup

rumit agar rekonstruksinya bersifat intelligible (dapat dipahami) dan meaningful (penuh

makna).

Deskripsi di atas mengandung nuansa modern. Namun, pada saat yang sama

tergambar pula tidak mudahnya menjadi sejarawan dengan kualitas prima. Para sejarawan

besar dalam sejarah Arab-Muslim seperti al-Mas’udi, al-Thabari, dan banyak ahli tafsir al-

Qur’an dinilai Ibn Khaldun sering tidak cermat dalam karya-karya sejarah mereka. Ibn

Khaldun menuliskan, “fa dhallû ‘an al-haqq wa tâhû fî faidâi al-wahm wa al-ghalat (mereka

telah tergelincir dari kebenaran dan tersesat di padang pasir perkiraaan yang keliru dan

kesalahan” (Ibn Khaldun, 1967:9-10).

1. Beberapa Aspek Penting dalam Kajian Historis Empiris Ibn Khaldun

Menurut Wafi (1985:145), beberapa upaya Ibn Khaldun merumuskan teori dalam

kajian historis-empiris mempunyai aspek-aspek penting dalam meretas kajian baru

tersebut. Di dalam bagian kedua dari al-‘Ibâr, Ibn Khaldun menegaskan pentingnya studi

kritis dan pengujian ilmiah terhadap karya-karya sejarawan sebelumnya. Karya-karya

historis dari Ibn Hisyam, Ibn Ishaq, al-Waqidi, al-Baladzuri, Ibn ‘Abd al-Hikam, al-Thabari,

al-Mas’udi, dan Ibn al-Atsir; semuanya memerlukan pembacaan ulang dan studi kritis, baik

menyangkut kritik intrinsik maupun ekstrinsiknya.

Seperti dikisahkan oleh al-Mas’udi dan ahli-ahli sejarah yang lainnya tentang

tentara-tentara Bani Israel. Dikatakan bahwa Musa telah menghitung mereka

di padang Tih setelah membolehkan orang-orang dewasa untuk membawa

senjata, khususnya mereka yang berumur 20 tahun ke atas, jumlah mereka

terhitung sebanyak enam ratus ribu (600.000) orang atau lebih.

Menurut Ibn Khaldun, al-Mas’udi telah mengutip riwayat tentang jumlah tentara

Nabi Musa di padang Tih10 di atas tidaklah melalui penyelidikan yang mendalam. Rupanya,

10Tih merupakan nama padang luas yang terletak di batas-batas Mesir dan Palestina, di dalam anak pulau Sina. Sebagian

pakar menyebutnya padang Bani Israil, karena Bani Israel pernah mendiaminya untuk waktu yang cukup lama. Secara etimologis, Tih dapat dimaknai berputar-putar kebingungan, karena di padang luas ini, Musa dan kaumnya tersesat dan selalu berputar-putar untuk mencari jalan keluar. Menurut al-Qur’an, Bani Israil mendiami padang Tih ini, sejak keluar dari Mesir hingga mampu menguasai negeri

Page 8: Ilm Sosial-Budaya _'Ilm Al-Umran_ IBn Khaldun_Dadan Rusmana

Dadan Rusmana 8

al-Mas’udi hanya mengutip dari riwayat lain apa adanya, atau terlalu percaya pada

penuturan sejarawan sebelumnya.11 Apabila al-Mas’udi, memiliki pengetahuan tentang

hukum pertumbuhan dan perubahan manusia, maka setidaknya ia akan mempertanyakan

jumlah 600.000 ribu tersebut.

Menurut Ibn Khaldun, jika dianalisis menggunakan hukum-hukum yang berlaku pada

pertumbuhan penduduk, jumlah Bani Israel yang pada masa Ya’kub berjumlah 70 orang,

tidaklah masuk akal jika kemudian dalam waktu 220 tahun berkembang mencapai jumlah

di atas 600.000 jiwa. Namun, Menurut Wafi (1985:100), para sejarawan, seperti al-Mas’udi

memang punya alasan untuk tidak melakukan verifikasi tentang jumlah tersebut. Hal ini

karena hukum-hukum dan gejala-gejala sosial belum terungkap hingga dicetuskan oleh Ibn

Khaldun. Demikian pula, dengan sistem penghitungan pertambahan penduduk pun baru

diwacanakan oleh Ibn Khaldun. Wafi (1985:100) menegaskan bahwa Ibn Khaldun sudah

mempunyai konsep dan pengetahuan yang matang tentang hukum-hukum atau teori

pertambahan penduduk empat abad sebelum Malthus. Namun, disebabkan banyak faktor,

teori pertambahan penduduknya, kemudian tidak berkembang.

Memang dunia modern mengenal pola pertambahan jumlah penduduk melalui

rumusan sistematis baru yang ditemukan oleh Malthus, ahli ekonomi berkebangsaan

Inggris (1766-1834) dan pencetus ilmu demografi modern. Dalam bukunya Increase of

Population yang terbit pada tahun 1803, Malthus menyebutkan bahwa setiap 25 tahun,

pertumbuhan penduduk dapat dihitung menurut deret ukur (1,2,4,8,16,32, 64……n)

apabila pertambahan itu tidak terjadi hambatan.

Dengan menggunakan asumsi-asumsi spekulatif Ibn Khaldun dan juga menggunakan

deret ukur Malthus, maka dapat disimpulkan mengenai jumlah 600.000 jumlah tentara Bani

Israil yang ada di padang Tih itu sulit diterima akal. Terlebih ketika di Mesir, Bani Israil

mendapat siksaan dan penindasan yang amat berat, termasuk pembunuhan terhadap bayi

laki-laki. Hal itu dapat dimasukkan sebagai faktor yang menghambat pertumbuhan

penduduk. Lantas pertanyaannya, dari mana al-Mas’udi--riwayat Israiliyyat—

menyimpulkan jumlah tersebut dan lebih lanjut berapa jumlah Bani Israil seluruhnya, selain

Kan’an, selama 40 tahun. Allah berfirmah, “Jika demikian, maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama 40 tahun, selama itu mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tih) (al-Maidah (5):26).

11 Al-Mas’udi mengutip riwayat Isra’iliyyât tersebut dari Pembetulan 12 Kitab Perjalanan Keluar alinea 37. Disebutkan bahwa mereka keluar sebanyak 600.000, selain anak-anak.

Page 9: Ilm Sosial-Budaya _'Ilm Al-Umran_ IBn Khaldun_Dadan Rusmana

Gagasan Ibn Khaldun tentang Ilmu Sosial-Budaya (ilm al-umran) 9

tentara. Dengan menggunakan deret ukur Malthus, dalam masa waktu 220 tahun hanya

akan dapat dimungkinkan terjadi pertumbuhan penduduk sebanyak 35.840 orang. 12

Bagi Ibn Khaldun menegaskan bahwa dalam karya-karya tersebut banyak ditemukan

berbagai riwayat dan interpretasi sejarah yang bertentangan dengan realitas ditinjau dari

segi watak dan hukum-hukum kemasyarakatan. Menurut Wafi, dalam upayanya tersebut,

Ibn Khaldun menyandarkan diri pada pembahasan sosiologis, pendekatan ilmiah, dan

sejarah obyektif. 13 Sedangkan pada bagian kedua kitab al-‘Ibar, Ibn Khaldun berupaya

mengaplikasikan metode yang dibangunnya secara ketat dalam pembahasan mengenai

sejarah orang-orang Arab. Analisis historisnya tersebut didasarkan pada sumber-sumber

sejarah yang diperolehnya melalui observasi dan telaah khusus terhadap sumber-sumber

yang jarang disinggung oleh para sejarawan (muarrikh) sebelumnya. Hal ini tampak dalam

pembahasannya mengenai daulah-daulah Islam yang hidup di Sisilia, sejarah muluk al-

thawâif di Andalusia, sejarah kerajaan-kerajaan Nashrani di Spanyol, dan sejarah daulah

Bani Ahmar di Granada.

Pada bagian ketiga kitab al-‘Ibar Ibn Khaldun membicarakan secara khusus sejarah

bangsa Barbar. Menurut Wafi,14 pembahasannya merupakan bagian paling obyektif

dibandingkan bagian-bagian lainnya.. Hal ini karena bagian berisi hasil observasi lapangan

dan pengujian ilmiah terhadap peristiwa-peritiwa yang terkait dengan bangsa Barbar.

Dalam hal ini, Ibn Khaldun melakukan observasi-terlibat (observasi partisipatoris) secara

langsung, terutam akarena ia memang hidup di tengah-tengah mereka dan mengembara

berpindah-pindah dari satu negeri Maghribi ke negeri yang lain.

Oleh karena itu, bagian ini merupakan sumber pokok yang dipergunakan ahli-ahli

sejarah mengenai sejarah daulah dan bangsa Barbar yang hidup pada masa-masa Ibn

Khaldun. Karena keobyektifannya, bagian ini merupakan bagian yang pertama kali

diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis, yang dipublikasikan di Aljazairmasing-masing

pada tahun 1852, 1856, 1925, dan 1927. Publikasi ini, salah satunya, terkait dengan

kolonialisme Prancis di wilayah Aljazair.

12 Bagi Wafi (1985:100), jumlah 600.000 tentara Bani Israel cukup dapat dimengerti. Jika riwayat dalam Taurat dalam kitab

Perjalanan Keluar (pembetulan 12 ayat 40), dianggap betul bahwa Bani Israel tinggal di Mesir selama 430 tahun. Dengan menggunakan deret ukur Malthus, maka dapat diambil kesimpulan bahwa jumlah keseluruhan Bani Israil adalah 3.975.040. Namun, jumlah tentara dari al-Mas’udi, tetap masih debatable karena al-Mas’udi menyebutkan bahwa mereka tinggal di Mesir hingga keluar menuju Padang Tih selama 220 tahun.

13 ‘Ali ‘Abd al-Wahid Wafi, Ibn Khaldun, halaman 146. 14 ‘Ali ‘Abd al-Wahid Wafi, Ibn Khaldun, halaman 146.

Page 10: Ilm Sosial-Budaya _'Ilm Al-Umran_ IBn Khaldun_Dadan Rusmana

Dadan Rusmana 10

Di dalam metode penulisan, Ibn Khaldun mengikuti cara-cara baru yang berbeda dari

keumuman metode penulisan sejarah sebelumnya. Umumnya penulisan sejarah sebelum

Ibn Khaldun mengikuti penulisan sejarah kronologis (diakronis), tahun per tahun. Kejadian-

kejadian sejarah yang terjadi dalam satu tahun atau satu periode dikumpulkan menjadi

satu, meskipun tempat kejadiannya berbeda dan tidak ada hubungan peristiwa yang satu

dengan yang lain. Ibn Khaldun menulis sejarahnya dengan metode baru, lebih mendetail

dan kuat sejak awal hingga akhir, serta memperhatikan hubungan dan interaksi antar-

peristiwa, antar-waktu, antar-wilayah, dan antar-daulah. Tulisannya terbagi ke dalam

beberapa kitab bagian. Kemudian masing-masing kitab bagian dibagi lagi kepada pasal-

pasal yang membicarakan peristiwa-peristiwa yang berhubungan antara yang satu dan

yang lain. Kelebihan lainnya, menurut Wafi, terletak pada kecerdikan Ibn Khaldun dalam

mengorganisir catatan sejarahnya serta kepiawainnya mencari kaitan-kaitan antar-

peristiwa dan lainnya.15 Metode ini sebenarnya telah dirintis oleh banyak sejarawan muslim

seperti al-Waqidi (dalam Futûh Mishr wa al-Syam), al-Baladzari (dalam Futûh al-Buldân),

Ibn ‘Abd al-Hikam al-Mishr (dalam Futûh -Mishr wa Akhbâruhâ), dan al-Mas’udi (dalam

Murûj al-Dzahab).

C. Ilmu Sosial-Budaya (‘Ilm al-Umrân) Sebagai Upaya Memahami Sejarah dan

Sosial-Kemasyarakatan

1. Makna ‘Ilm al-Umrân

Ibn Khaldun mempergunakan term al-‘umran al-basyari untuk menamai pembahasan,

paradigma, dan ilmu yang digagasnya. Kata kunci (Keyword) dari term itu terletak pada

kata ‘umran itu sendiri. Dengan demikian apa yang dimaksud dengan ál-‘umrân oleh Ibn

Khaldun? Term umrân merupakan derivasi dari kata ‘a-m-r yang menurut Muhsin Mahdi

(1971:1984) mempunyai arti pokok 1) tinggal menempati, diam, meneruskan, menetap

pada suatu tempat; b) yang didiami, tersedia, atau dolah dan ditanami, dalam keadaan

baik; dan c) menanam, membangun, melembagakan, memajukan, mengamati,

mengunjungi, atau mengarahkan. Dari makna leksikal tersebut, term al-umrân memiliki

keluasan makna terminologis. Term ini dapat berarti “yang didiami, kegiatan, hidup yang

15 ‘Ali ‘Abd al-Wahid Wafi, Ibn Khaldun, halaman 147.

Page 11: Ilm Sosial-Budaya _'Ilm Al-Umran_ IBn Khaldun_Dadan Rusmana

Gagasan Ibn Khaldun tentang Ilmu Sosial-Budaya (ilm al-umran) 11

sibuk, kemakmuran yang berkembang dan penuh kemajuan; penduduk yang banyak dan

kemakmuran sebuah negeri, kultur, peradaban; bangunan, gedung, dan struktur”.16

Pemaknaan modern terhadap term umrân ini muncul secara variatif. Hitti

menerjemahkannya dengan “perserikatan manusia”. H. simion menerjemahkannya dengan

“Kehidupan sosial”, sedangkan R. Ibrahim mengartikannya sebagai “penduduk, kultur, dan

peradaban”. Wafi17 menerjemahkan kata ini dengan “masyarakat sosial”. R.A. Nicholson18

dan Arnorld Toynbee19 memaknai kata ini dengan “kebudayaan”. Tetapi apapun

terjemahan dari kata ini, menurut Syafi'i Ma’arif20, kata ini mengacu pada masalah-

masalah sosial dan kebudayaan.

Ibn Khaldun melihat bahwa sejarah pertumbuhan dan perkembangan masyarakat

manusia memiliki hukum yang menyerupai hukum yang terjadi pada alam. Oleh karena itu,

ia berusaha untuk merumuskan karakteristik dan hukum-hukum yang berlaku pada gejala-

gejala sosial-kemasyarakatan ini. Upaya menggagas kajian mendalam tentang gejala-

gejala sosial ini, ia rumuskan dalam ilm al-umrân al-basyari atau ‘ilm al-ijtimâ al-insâni. Ibn

Khaldun berpendapat bahwa ilmu yang digagasnya merupakan orientasi baru dalam

disiplin ilmu pengetahuan saat itu, terutama dalam kajian sejarah dan kemasyarakatan.21

Ia mengemukakan pendapatnya bahwa “ilmu itu (‘ilm al-umrân) merupakan ilmu yang lahir

dari pengamatan, perenungan, dan perasaan intensif terhadap gejala-gejala sosial.”

Ibn Khaldun memaksudkan adanya ilmu baru yang mengkonsentrasikan kajiannya

pada fenomena sosial-kemasyarakatan. Inilah yang diinginkannya dengan ‘Ilm al-Umrân.

Namun demikian, Thaha Husein berpendapat bahwa kata ‘Ilm dalam konsep Ibn Khaldun

tersebut tidak dimaksudkan sebagai science, melainkan hanya sebagai knowledge

(pengetahuan atau savoir dan connaissance dalam bahas Perancis). Analisis Thaha

Husein ini muncul disebabkan ketidakkonsistenan Ibn Khaldun dalam menerapkan metode

yang disusunnya sendiri dalam Muqaddimah ketika diaplikasikan dalam menyeleksi berita

sejarah.22

16 Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, Cetakan ketiga, Diedit kembali oleh J. Milton Cowan, Maktabah Libnan:

Beirut dan Macdonald & Evans Ltd, London, 1980, halaman 643.. 17 ‘Ali ‘Abd al-Wahid Wafi, Ibn Khaldun, halaman 156. 18 R.A. Nicholson dalam A Literary History of the Arabs. 19 Arnorld Toynbee dalam A Study of History. 20 A. Syafi’i Ma’arif, Ibn Khaldun, halaman 28. 21 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 61. 22 Pendapat Thaha Husien ini ditulis untuk disertasinya di Universitas Sorbone berjudul etude Analytique et Critique de la

Philosophie sosciale d’Ibn Khaldoun.

Page 12: Ilm Sosial-Budaya _'Ilm Al-Umran_ IBn Khaldun_Dadan Rusmana

Dadan Rusmana 12

Bagi Thaha Husein, Ibn Khaldun belumlah dapat dikatakan menyusun sebuah ‘ilm

yang mandiri, “Ibn Khaldun mengkaji masyarakat agar dapat menginterpretasikan sejarah.

Hal itu dimaksudkan untuk mengkaji hukum-hukum perkembangan manusia pada

umumnya. Muqaddimah mirip sekali dengan karya Montesque (De l’esprit des lois). Kita

tidak dapat mengatakan De l’esprit des lois sebagai karya sosiologi, malah karya tersebut

sebagaimana Muqaddimah merupakan sebuah karya filosofis… Dalam hal ini juga, ia

membandingi vico.” Dengan demikian, bagi Thaha Husein, hasil pemikiran Ibn Khaldun

belumlah dapat dikatakan sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri, baik sebagai sosiologi

maupun filsafat sejarah. Muqaddimah, menurut Thaha Husein, hanya dapat dipandang

sebagai upaya meretas jalan sosiologi saja atau hanya bagian dari filsafat sosial saja.

Berbeda dengan Thaha Husein, Charless Issawi, de Slane, dan Robert Flint

menerjemahkan kata ‘Ilm di sini sebagai science. Mereka meyakini bahwa sebagai

ilmuwan yang lahir pada masa ujung perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam, Ibn

Khaldun memaksudkan ilmu yang digagasnya adalah dalam arti sebenarnya. Ibn Khaldun,

demikian pula para ilmuwan sebelum dan sejamannya, telah mengetahui subtansi ilmu,

metode-metode berbagai cabangnya, dengan penguasaan yang mendalam, dan

mengembangkannya. Sehingga mereka mencapai kebangkitan ilmu pengetahuan yang

luar biasa dan menjadi sumber ilmu dan kebangkitan Eropa pada permulaan zaman

modern. Karenanya, tidaklah dapat diterima jika ‘Ilm dalam term Ibn Khaldun itu

dilabuhkan pada makna umum (yakni pengetahuan), tetapi harus dilabuhkan pada ‘ilm

sebagai disiplin ilmu yang ingin dibangunnya.

2. Pemaknaan Modern Ilm al-Umrân sebagai Sosiologi

Barnes dan Becker menyebutkan bahwa Ibn Khaldun telah menciptakan "teori-teori

yang begitu modern gemanya, sejauh yang dapat dibayangkan seseorang."23 Dengan kata

lain, ilmu yang diintrodusir Ibn Khaldun pada dasarnya memiliki nuansa modernisme,

hanya saja para pemikir modern memiliki pandnagan variatif mengenai ilmu mdern yang

sepadan dengan ilmu yang dirintis Ibn Khaldun. Menurut Wafi24 dan Syafi'i Ma’arif25, term

‘ilm al-‘Umran ini dapat disejajarkan dengan ilmu sosial dan ilmu kultur. Tarif Khalidi

23 H.E. Barnet, et. al, Contemporary Sociological Theory, New York, Appleion Century, 1940, halaman 496. 24 ‘Ali ‘Abd al-Wahid Wafi, Ibn Khaldun, halaman 156. 25 A. Syafi’i Ma’arif, Ibn Khaldun, halaman 28.

Page 13: Ilm Sosial-Budaya _'Ilm Al-Umran_ IBn Khaldun_Dadan Rusmana

Gagasan Ibn Khaldun tentang Ilmu Sosial-Budaya (ilm al-umran) 13

(1985:121) menerjemahkan ilm al-umrân dengan ilmu biologi sosial (the science of social

biology) atau bahkan biologi peradaban (the biology of civilization). Muhsin Mahdi

(1971:171-284), yang menganalogikan ilmu ini dengan ilmu kultur.

Sedangkan, sosiolog Fuad Baali dalam Society, State, and Urbanism: Ibn Khaldun’s

Sociological Thought (1988:11-13) memaknainya ‘ilm al-‘Umrân dengan “ilmu organisasi

sosial” yang dalam istilah modern dikenal dengan sosiologi. Baali kemudian mengutip P.A.

Sorokin tentang al-Muqaddimah sebagai “the earlist systematic treatise both in sociology

and in rural-urban sociology”. Lebih jauh Fuad Baali (1988:ix) menyatakan bahwa

karyanya tersebut, “… doesn’t indiscriminately praise everything Ibn Khaldun wrote in his

Muqaddima, nor does it criticize his whole work in a few dogmatic statements.” Bagi Fuad

Baali (1980:113), Ibn Khaldun bukan saja diposisikan sebagai perintis sosiologi, “but

perhaps even as the founder of the generalizing science of sociolgy.”

Ketika mengkaji hubungan ilm al-umrân dan ilmu-ilmu sosial-budaya modern, Muhsin

Mahdi dan Fuad Baali mempunyai tinjauan yang berbeda. Kedua penulis Arab yang

dianggap pakar-pakar tentang Ibn Khaldun karena telah melahirkan karya-karya khusus

tentang Ibn Khaldun, tetapi keduanya mempunyai sudut pandang berbeda. Perbedaan

keduanya disebabkan oleh latar belakang pendidikan dan disiplin ilmu yang

dikembangkannya. Mahdi adalah seorang islamolog (islamicist), sedangkan Baali adalah

seorang sosiolog. Selain hal tersebut, variasi pemahaman terhadap al-Muqaddimah di

antara keduanya juga disebabkan oleh karakteristik al-Muqaddimah-nya sendiri. Mnegenai

hal ini, Syafi'i Ma’arif26 menyebutkan bahwa al-Muqaddimah merupakan karya klasik yang

dapat ditengok dari berbagai jendela disiplin ilmu, yaitu sejarah, filsafat, sosiolog, teologi,

geografi, politik, ekonomi, dan bahkan mistik. Mahdi lebih melihatnya dari sudut pandang

filsafat, sejarah, dan teologi, sedangkan Baali memandangnya dari disiplin ilmu sosiologi

dan politik. Sebagai sebuah karya terbuka dan kaya, al-Muqaddimah telah menjadi karya

yang memberikan banyak inspirasi kepada para pengkajinya dari sudut pandang apa pun.

Di sinilah antara lain terletak kebesaran Ibn khaldun, yang telah memberi pekerjaan rumah

yang tidak urung rampung kepada sarjana-sarjana modern selama hampir dua abad.

Penganalogian ilm al-umrân dengan sosiologi atau ilmu sosial modern, sebagaimana

diklaim beberapa ilmuwan modern di atas, tentunya memerlukan kajian lebih mendalam.

Ilmu sosial modern merupakan disiplin ilmu yang memusatkan perhatian dan tinjauannya

26 A. Syafi’i Ma’arif, Ibn Khaldun, halaman 39.

Page 14: Ilm Sosial-Budaya _'Ilm Al-Umran_ IBn Khaldun_Dadan Rusmana

Dadan Rusmana 14

pada masalah-masalah kemajuan, perubahan sosial, evolusi, pembangunan dan tipologi

masyarakat manusia. Dalam rumusan ini, sosiologi merupakan bagian penting dari ilmu

sosial. Secara umum, sosiologi didefiniskan sebagai “kajian sistematis tentang masyarakat

manusia. Dari sudut pandang metodologis, sosiologi merupakan “pengetahuan yang

berdasarkan empiris-teoritis”.

Apabila definisi umum tentang sosiologi ini dipakai untuk al-Muqaddimah tempat

gagasan-gagasan ilm al-umrân ditemukan, maka tidak diragukan lagi bahwa apa yang

digagas dan ditemukan Ibn Khaldun merupakan dasar-dasar sosiolog dalam artian

modern. Dalam rangka asosiasi ini, Mahmoud Dhaouadi (1986:139), menyebutkan bahwa

kitab al-Ibar dan al-Muqaddimah merupakan analisis sistematis terhadap masyarakat

Muslim sebelum dan pada masa Ibn Khaldun. Dengan demikian, fokus kajian dan isi

kedua karya Ibn Khaldun ini sama dengan fokus kajian sosiologi. Sementara Nathaniel

Schmidt dalam Ibn Khaldun: Historian, Sociologist, and Philospher menyebutkan, “Ibn

Khaldun adalah seorang pemikir seperti halnya Comte, Thomas Mann, dan Spencer. Ia

mengemukakan sosiologi yang lebih maju sampai ke batas yang tidak dapat dicapai comte

sendiri pada penggal pertama abad kesembilan belas. Andaikan para pemikir yang telah

menyusun kembali sosiologi menelaan Muqaddimah Ibn Khaldun dan menimba

kenyataan-kenyataan yang telah ia singkapkan dan jalan yang ditemukan si jenius Arab itu

pada masa jauh sbeleum mereka, niscaya mereka akan mampu mengemukaan ilmu baru

ini lebih cepat.”

Bagi Syafi'i Ma’arif27, ilm al-umrân jelas memuat prinsip-prinsip ilmu sosial yang

dikembangkan di Barat baru dikembangkan sejak abad ke-19 oleh tokoh-tokoh seperti

Auguste Comte (Perancis, 1798-1857), Herbert Spencer (Inggris, 1820-1903), Emile

Durkheim (Perancis, 1858-1917), dan Max Weber (Jerman, 1864-1920). Yang ironis

adalah hingga kini, dunia Islam telah gagal meneruskan tradisi keilmuan yang digagas Ibn

Khaldun dan gagal pula melahirkan tokoh-tokoh sekaliber Ibn Khaldun. Bila dibandingkan

dengan karya-karya sosiologi modern, cakupan bahasan al-Muqaddimah nampaknya lebih

komprehensif karena telah diramu melalui pendekatan-pendekatan multidisplin, termasuk

penggunaan data geografi, ekonomi, dan faktor-faktor yang mempengaruhi corak dan

kondisi hiudp manusia dalam masyarakat. Dengan demikian, untuk memahami periode

27 A. Syafi’i Ma’arif, Ibn Khaldun, halaman 41.

Page 15: Ilm Sosial-Budaya _'Ilm Al-Umran_ IBn Khaldun_Dadan Rusmana

Gagasan Ibn Khaldun tentang Ilmu Sosial-Budaya (ilm al-umran) 15

tertentu dalam sejarah, orang harus meramunya dari berbagai sumber dan dari berbagai

sudut pandang.

Dari hasil kajian intensifnya, Dhaouadi (1988:156) kemudian berkesimpulan bahwa Ibn

Khaldun merupakan penggagas sosiologi. Baginya, sosiologi sebagai sebagai sebuah

disiplin sistematis yang mengkaji masyarakat-masyarakat manusia melihat sinar manakala

Ibn Khaldun merampungkan bagian akhir al-Muqaddimah-nya. Dengan demikian, ia

adalah pelopor yang tidak tertandingi dalam bidang ini. Konsekuensinya adalah Auguste

Comte semestinya lebih tepat dipandang sebagai pendiri sosiologi Barat modern dan

bukan sosiologi dalam arti yang umum.

Berbagai pendapat yang menganalogikan ‘ilm al-umrân dengan sosiologi atau ilmu

lainnya ditentang keras oleh Thaha Husein. Seperti dikemukakan di atas, bagi Thaha

Husein, Ibn Khaldun belumlah pantas dianggap telah menggagas ‘ilm al-umrân sebagai

ilmu tersendiri (science), tetapi hanya tepat dikatakan sebagai pengetahuan umum

(knowledge). Telebih, jika ‘ilm al-umrân disamakan dengan sosiologi. Dalam karyanya La

Philosophie sociale d’Ibn Khaldoun, Thaha Husein mencoba membandingkan antara Ibn

Khaldun dan Auguste Comte dan Emile Durkheim. Hasilnya, menurut Thaha Husein, Ibn

Khaldun mengkaji masyarakat dengan tujuan untuk membebaskan sejarah dari kekeliruan

dan kesalahan. Tujuan normatif yang demikian ini, menurut Thaha Husein, bertentangan

dengan metode ilmiah yang benar, sebab setiap kajian, agar supaya dapat menjadi ilmu,

tidak boleh tidak kajian itu harus benar-benar mandiri dan bebas. “Meskipun Ibn Khaldun

menyamakan bahwa metodenya pada dasarnya didasarkan pada eksperimen, dan

meskipun kadang-kadang ia berhasil dalam mengikuti prinsip ini, namun ia seringkali

mengabaikannnya dan tenggelam dalam metafisika”, tegas Thaha Husein. Lebih lanjut,

menurut Thaha Husein, kajian Ibn Khaldun bermula dari negara, bentuk sosial yang paling

kompleks, dan ia tidak menyadari pentingnya bentuk-bentuk sosial yang ia kaji. Oleh

karena itu, apa yang dikajinya belumlah pantas menjadi titik permulaan bagi setiap ahli

sosiologi.

Senada dengan Thaha Husein, Stowasser (1994b:72) menilai bahwa Ibn Khaldun

nampaknya tidak berniat untuk menciptakan suatu ilmu yang “positif” atau “historis” atau

“benar-benar ilmiah”, yakni, suatu disiplin (keilmuan) yang bebas nilai dalam pengertian

kontemporer, seperti yang umum disiratkan di masa lampau. Bagi Stowasser (1994b:73),

sewaktu menuliskan al-‘Ibâr dan terutama al-Muqaddimah-nya, Ibn Khaldun layaknya

Page 16: Ilm Sosial-Budaya _'Ilm Al-Umran_ IBn Khaldun_Dadan Rusmana

Dadan Rusmana 16

seperti seorang mahasiswa jursan Filsafat Politik Islam Klasik. Studinya tentang kenabian,

hukum keagamaan, dan karakteristik tabi’at masyarakat Islam, membuktikan bahwa Ibn

Khaldun benar-benar seorang pengikut tradisi filsafat politik Platonik Islamis. Penilaian

terakhir Stowasser ini juga dilontarkan oleh Muhsin Mahdi (1971:262).

Jawaban terhadap sanggahan Thaha Husein dan Stowasser pun muncul dengan

derasnya dari para pembela Ibn Khaldun. Mereka umumnya berargumentasi bahwa jika

apa yang dilakukan oleh Ibn Khaldun dianggap kesalahan, maka para sosiolog Barat

modern pun melakukan hal yang sama. Auguste Comte misalnya berpendapat bahwa

kebokbrokan masyarakat diakibatkan oleh kebokbrokan dalam pemikiran dan sistem-

sistem pemahaman. Oleh karena itu, ia berkeinginan untuk menciptakan sistem

pemahaman yang dianggapnya benar, yaitu metode positivistik. Demikian halnya dengan

Karl Marx yang berambisi untuk mencurahkan segala pikirannya untuk membela kaum

buruh di seluruh dunia, semua pikirannya diarahkan untuk mewujudkan cita-cita utopisnya,

yaitu masyarakat tanpa kelas. Dengan demikian, Comte dan Marx mempunyai harapan

yang diidealkannya (ideologi) yang juga diusahakan untuk diwujudkannya melalui metode

yang diklaimnya sebagai metode ilmiah. Keduanya tetap dianggap sebagai pemikir dunia,

sosiolog, dan pembela metode ilmiah. Mengapa Ibn Khaldun tidak pantas untuk

menyandang nama besar dengan sejumalh atribut tersebut?

3. Prinsip-Prinsip Ilmu Umrân

Gagasan mengenai ilm al-umrân merupakan salah satu gagasan penting yang

diintrodusir oleh Ibn Khaldun. Kecendrungan ini telah memperkaya perspektif kajian

keislaman, yang semula bertumpu pada analisis metafisis, teologi, hukum, dan ilmu-ilmu

alam, kemudian diperkaya dengan kajian kemasyarakatan dan perkembangannya. Namun

demikian, ‘ilm al-umrân yang digagaskan belumlah merupakan ilmu yang ajeg, yakni

belum menghasilkan suatu formula dan sintesis yang baru dan belum mendalami sejumlah

persoalan amat penting. Usahanya ini tidak diikuti oleh para pengkaji berikutnya, seiring

redupnya ilmu pengetahuan di dunia Islam.

Lebih jauh, Charles Issawi28 memandang bahwa Ibn Khaldun merupakan sarjana

pertama yang menyatakan dengan jelas dan sekaligus menerapkan prinsip-prinsip yang

28 Charles Issawi, Filsafat Islam tentang Sejarah, halaman 9-11.

Page 17: Ilm Sosial-Budaya _'Ilm Al-Umran_ IBn Khaldun_Dadan Rusmana

Gagasan Ibn Khaldun tentang Ilmu Sosial-Budaya (ilm al-umran) 17

menjadi dasar sosiologi. Prinsip-prinsip tersebut terdiri dari enam prinsip utama. Pertama,

Fenomena sosial kelihatannya tunduk kepada hukum-hukum sekalipun tidak semutlak

berlakunya hukum-hukum alam. Berbagai fenomena sosial yang terjadi menunjukkan

karakteristik serta mengikuti hukum dan akibat-akibat yang pasti dan tentu. Dengan

memahami hukum-hukum ini, seorang sosiolog akan dapat memahami kecendrungan

peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitarnya.

Kedua, bahwa hukum-hukum sosial ini berlaku universal dan konvensi (atau berlaku

secara massif) dan tidak dapat dipengaruhi secara signifikan oleh individu-individu yang

terpisah (agregat). Contoh yang diberikan Ibn Khaldun adalah usaha yang dilakukan oleh

seorang pembaharu untuk mereformasi (memperbaharui kembali) sebuah negara yang

rusak, tipis kemungkinan akan berhasil karena usaha individu tersebut akan dikalahkan

oleh kecenderungan kekuatan sosial yang sangat kuat.

Ketiga, hukum-hukum ini dapat ditemukan dengan cara mengumpulkan sejumlah fakta

dan dengan mengamati persamaan-persamaan serta urutan-urutan (kronologis)nya. Fakta

ini diperoleh dari dua sumber, yaitu a) catatan dari kejadian masa lampau; dan b) dari hasil

pengamatan atas kejadian masa kini. Setelah dikumpulkan secara lengkap dan

komprehensif, maka fakta-fakta tersebut harus dicari hubungan-hubungannya berdasarkan

prinsip-prinsip, teori, dan metode analisis yang dipinjam dari berbagai disiplin ilmu yang

dibutuhkan.

Keempat, hukum-hukum sosial ini, pada umumnya, berlaku untuk semua masyarakat

dengan jenis struktur yang serupa, terlepas apakah masyarakat itu dipisahkan oleh ruang

dan waktu, baik secara vertikal maupun horisontal. Oleh sebab itu, Ibn Khaldun berupaya

secara cermat dalam menerapkan hukum-hukum ini ketika mengkaji fenomena-fenomena

sosial yang terjadi pada suku Arab Badui, Berber, suku Turki, Kurdi, dan lainnya.

Kelima, masyarakat tidak statis. Bentuk-bentuk sosial terus berubah dan berkembang.

Ibn Khaldun secara spesifik menyebutkan bahwa faktor utama yang mendorong

perubahan itu adalah terjadinya kontak antara berbagai orang atau kelas yang berbeda.

Kontak-kontak ini akan menimbulkan peniruan (duplikasi atau repetisi) dan budaya saling

berbaur (asimilasi atau adaptasi). Karena Ibn Khaldun hanya menyebutkan satu faktor

pendorong perubahan, kata Issawi, hal itu merupakan kelemahan dari sistem yang

dibangunnya. Namun demikian, hal tersebut menunjukkan adanya sistem evolusi historis

dalam pemikiran Ibn Khaldun. Bagi Issawi, untuk menerangkan dengan jelas bahwa

Page 18: Ilm Sosial-Budaya _'Ilm Al-Umran_ IBn Khaldun_Dadan Rusmana

Dadan Rusmana 18

gejala-gejala yang tampak dalam suatu tingkat perkembangan masyarakat tidaklah harus

ada dalam tingkat-tingkat berikutnya. Misalnya, jumlah pertambahan penduduk yang sukar

dibuktikan pada masa kemunduran, ternyata dapat dibuktikan kebenarannya pada masa

kejayaannya. Demikian pula dengan siklus peradaban, bahwa belum tentu peradaban

bangsa yang telah mundur atau hancur selalu terbelakang atau tertinggal. Misalnya,

peradaban suku Maya di Meksiko, Peradaban suku Mesopotamia, dan peradaban suku

Mesir; yang masing-masing meninggalkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang masih

belum diketahui oleh orang modern sekalipun. 29

Keenam, bahwa hukum-hukum itu bercorak sosiologis dan tidak semata-mata refleksi

dari dorongan-dorongan biologis atau faktor-faktor fisikal. Faktor lingkungan, seperti iklim

dan makanan, ikut berpengaruh, tetapi faktor-faktor sosial, seperti kohesi sosial, jabatan,

kekayaan, konflik, dan integrasi, tetap merupakan faktor yang lebih menentukan.

Misalnya, ketegagan rasial-religius antara Arab-Muslim dengan Yahudi, atau antara Arab

dengan Persia, bukanlah merupakan “bawaan sejak lahir”, tetapi disebabkan oleh

lingkungan, cara hidup, geografis, politik, atau ekonomi.

Memperhatikan ide-ide Ibn Khaldun tentang faktor-faktor dan perubahan sosial di atas,

Charles Issawi semakin mengukuhkannya sebgai perintis bagi perkembangan ilmu sosial

modern. Bagi Issawi, “Ibn Khaldun tidak saja telah meletakkan dasar-dasar tempat

bertumpunya sosiologi, tetapi juga telah menggunakan berbagai metode yang telah

memperjelas banyak faktor yang membentuk alat-alat kerja bagi para sosiolog modern.”

Lebih lanjut, Issawi menjelaskan bahwa Ibn Khaldun telah mendahului para ahli sosiologi

modern, termasuk dalam mempergunakan konsep-konsep mekanis dalam menjelaskan

gejala-gejala sosial, seperti keseimbangan kekuatan atau etos kerja; konsep-konsep

biologis seperti kematian (mortalitas) dan pertumbuhan. Ibn Khaldun juga telah memasuki

konsep morphologi sosial dan pengaruh ekonomi terhadap masyarakat. 30

4. Cakupan ‘Ilm al-Umrân

Muhsin Mahdi (1971:171-284), yang memberikan makna singkat bagi ilmu ini adalah

ilmu kultur, menukilkan gambaran Ibn Khaldun mengenai proyeksi ilmu ini: Sepertinya ilmu

ini adalah ilmu tersendiri. Obyek pembahasannya adalah masyarakat manusia dan

29 Charles Issawi, Filsafat Islam tentang Sejarah, halaman 11. 30 Charles Issawi, Filsafat Islam tentang Sejarah, halaman 12-13.

Page 19: Ilm Sosial-Budaya _'Ilm Al-Umran_ IBn Khaldun_Dadan Rusmana

Gagasan Ibn Khaldun tentang Ilmu Sosial-Budaya (ilm al-umran) 19

sosialitetnya. Masalah-masalah ilmu tersebut ialah menerangkan satu persatu ‘aridha-

‘aridha dzatiah (hukum-hukum personal) yang dapat ditarik darinya. Demikian ihwal setiap

ilmu, baik ilmu positif maupun metafisika.31 Sebagaimana tercantum dalam kutipan

tersebut, Ibn Khaldun mempergunakan istilah al-ridhah al-dzatiyah untuk menamakan

hukum-hukum yang terdapat dalam gejala-gejala sosial. Kata ini sendiri, mulanya berrati

“apa yang terjadi pada masyarakat dari pertentangan-pertentangan terhadap personalitas

(zat, diri)-nya”. Maksud istilah ini diambil Ibn Khaldun dari ilm ukur (matematika), yang

bermakna hukum yang berlaku pada ilmu-ilmu eksakta, berupa aksioma-aksioma dari

ukuran-ukuran dalam matematika.32

Yang dimaksud dengan hukum di sini, menurut Wafi,33 dapat diartikan sebagai

elemen-elemen dasar universal yang menerangkan hubungan antara sebab dan

akibatnya, serta premis-premis dengan segala konklusi, inferensi, dan deduksinya. Selain

rumusan di atas, hukum yang dimaksudkan Ibn Khaldun juga, dapat diartikan sebagai

elemen-elemen dasar yang menerangkan terciptanya konklusi-konklusi tertentu dan lazim

apabila terjadi sebab-sebab khusus dan konklusi-konklusi yang terjadi kembali kepada

sebab-sebabnya.

Ketika menjelaskan pemikiran Ibn Khaldun, Issawi34 membagi pemikiran sosiologi Ibn

Khaldun menjadi lima bagian, yaitu 1) Bab I berbicara tentang sosiologi umum; 2) Bab II

dan III berbicara tentang sosiologi politik; 3) Bab IV berbicara tentang sosiologi

penghidupan kota; 4) Bab V berbicara tentang sosiologi ekonomi; dan 5) Bab VI berbicara

tentang sosiologi ilmu pengetahuan.

Hampir senada dengan Issawi, Fuad Baali (1981:15) pun membagi pemikiran

sosiologis Ibn Khaldun ke dalam lima bagian, yaitu: 1) berbicara tentang ekologi manusia

atau fenomena sosial; 2) Sosiologi pedesaan, terutama karena Ibn Khaldun memasukkan

masalah pedesaan dalam al-Muqaddimah; 3) Sosiologi politik; 4) sosiologi perkotaan; dan

5) sosiologi ekonomi, termasuk persoalan jabatan dan profesi. Di tempat lain, menurut

Fuad Baali (1981:15), Ibn Khaldun telah memerinci cakupan ‘ilm al-umrân ke dalam enam

bagian pokok, yaitu:

31 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 265. 32 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 196. 33 ‘Ali ‘Abd al-Wahid Wafi, Ibn Kahldun, halaman 89. 34 Charles Issawi, Filsafat Islam tentang Sejarah, halaman 9.

Page 20: Ilm Sosial-Budaya _'Ilm Al-Umran_ IBn Khaldun_Dadan Rusmana

Dadan Rusmana 20

• tentang peradaban manusia pada umumnya, jenisnya yang bermacam-macam, posisi

bumi yang beradab;

• tentang peradaban padang pasir, termasuk laporan tentang suku-suku dan bangsa-

bangsa primitif dan liar;

• tentang dinasti-dinasti kekhilafahan, dan kekuasaan bangsawan, termasuk

pembicaraan mengenai hirarki pemerintahan;

• tentang peradaban penduduk menetap, negeri-negeri, dan kota-kota;

• tentang keahlian, cara-cara melangsungkan kehidupan, posisi-posisi yang

menguntungkan dan berbagai aspeknya;

• tentang berbagai ilmu pengetahuan, cara pencapaiannya, dan kajian tentang ilmu-ilmu

itu.

Muatan-muatan sosiologi terdapat di banyak tempat dalam al-Muqaddimah dan al-

Ibar. Ibn Khaldun juga mengkaji fenomena sosiologis mengenai tradisi suci kenabian dan

keberhasilan dakwah Nabi saw karena faktor 'ashâbiyyah. Begitu juga ia

memperbincangkan konteks sosiologis dari macam-macam kepercayaan dan mitos yang

populer. Ia menyinggung maslah-masalah nasib, kecerdasan, kesehatan masyarakat dan

semacamnya serta mencoba menjelaskan asal-muasalnya berdasarkan pemahaman

sosiologis yang relativistik-temporalistik-materialistik. Sebagai contoh, ia membahas

tentang kepercayaan (yang aktual pada zamannya) bahwa masyarakat Barat lebih cerdas

dan lebih cinta ilmu pengetahuan daripada masyarakat Timur.

Dia dengan tegas mengatakan bahwa hal ini bukan disebabkan oleh karena

perbedaan bentukan akal, sebagaimana dipercaya oleh sebagian para pelancong.35

Semua orang, baik di Timur dan di Barat, memiliki bentuk yang hampir sama. Perbedaan

muncul disebabkan oleh perbedaan kultur dan perkembangan sosialnya. Pikiran

merupakan hasil dari lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, maju-mundurnya ilmu

pengetahuan hanya karena kontak dan pengalaman hidup seseorang dengan

lingkunganya. Beberapa orang pengembara lebih cerdas dari pada penduduk

berperadaban (menetap), secara individual; tetapi secara kolektif, penduduk menetap

(berperadaban) lebih maju daripada pendudukn pengembara (nomad) dalam hal

penguasaan ilmu pengetahuan, skill, dan keahlian. 36

35 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 432-433. 36 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 432-434.

Page 21: Ilm Sosial-Budaya _'Ilm Al-Umran_ IBn Khaldun_Dadan Rusmana

Gagasan Ibn Khaldun tentang Ilmu Sosial-Budaya (ilm al-umran) 21

Pandangan sosiologisnya juga tampak cemerlang ketika ia membahas mengenai

tahayyul pada masanya, terutama berhubungan dengan turunnya kemakmuran rakyat

yang disebabkan maraknya penanaman pohon-pohon tidak berbuah (tanaman hias).

Menurut Ibn Khaldun, fenomena penanaman pohon-pohon yang tidak berbuah merupakan

pertanda dari kehidupan makmur, bermewah-mewahan, dan puncak dari kejayaan sebuah

negeri. Disebabkan negeri tersebut merasa cukup dengan swasembada pangan atau

suplay pangan dari luar, maka mereka melupakan pertumbuhan penduduk. Mereka beralih

untuk menikmati hidup dengan berpoya-poya dan bermalas-malasan. Tanah-tanah

pertanian sebagiannya disulap menjadi tempat tinggal dan taman-taman kota, yang pohon-

pohonnnya umumnya tidak dimaksudkan untuk produksi pangan.

Jika kebiasaan ini berlangsung lama, maka mereka akan kekurangan pangan

disebabkan produksi pangan di negeri sendiri tidak cukup seimbang dengan pertumbuhan

penduduk. Hal ini mengakibatkan import pangan dari negeri luar, yang mengkibatkan

harga menjadi naik. Akibat selanjutnya, penduduk mengeluarkan biaya tinggi untuk

mendapatkan bahan pangan dan ini dirasakan sebagai turunnya kesejahteraan

masyarakat; demikian seterusnya. Hal ini menunjukkan bahwa penanaman pohon-pohon

tidak berbuah menunjukkan puncak kejayaan sebuah negara, dan secara dialektis ia

merupakan petanda dari awal kemundurannya. Baginya, penanaman pohon tidak berbuah

adalah indikasi dari peradaban; "peradaban itu sendiri adalah tujuan dari masyarakat,

sebab keruntuhannya, dan akhir dari hidupnya"37

5. Metode Pengamatan dan Pembahasan Ilmu Umrân

Ibn Khaldun banyak menyandarkan pembahasan-pembahasannya dari hasil

pengamatannya atas gejala-gejala sosial yang terdapat pada bangsa-bangsa yang sempat

diketahuinya dan pernah dialaminya. Pada sebagian masyarakat (bangsa) tersebut, Ibn

Khaldun hidup di tengah-tengah mereka dan bergelut dalam keseharian mereka. Metode

ini dalam konteks sosiologi modern dikenal dengan observasi partisipatoris (pengamatan

terlibat) dan eksperimental. Dalam kaitan dengan hal ini, menurut Fuad Baali dan Ali

Wardi, Ibn Khaldun merupakan salah intelektual Muslim yang sulit dicari bandingannya

37 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 371 dan 373.

Page 22: Ilm Sosial-Budaya _'Ilm Al-Umran_ IBn Khaldun_Dadan Rusmana

Dadan Rusmana 22

dalam hal perhatiannya yang besar dan pemahaman yang luas, mengenai data aktual

masyarakat.38

Ibn Khaldun tidak hanya berusaha mengkaji objek kajiannya (fenomena sosial)

tersebut untuk mendeskripsikannya apa yang apa yang terjadi dan apa yang seharusnya

(preskriptif) pada suatu masyarakat, tetapi ia berusaha untuk menyingkapkan wataknya,

asas-asasnya, dan hukum-hukum yang mengendalikannya. Dalam konteks modern,

pembahasan seperti ini dapat dikatakan sebagai analitik-deskriptif.

Di samping metode tersebut, Ibn Khaldun juga mempergunakan metode komparatif,

yaitu upaya membandingkan keseluruhan gejala-gejala sosial ini, memikirkan seluk-beluk

ihwalnya untuk mengetahui watak-watak, unsur-unsur rohani dan sifat-sifat yang tampak,

serta segala macam perilaku manusia, baik sebagai individu-individu, hubungan antar-

individu, individu sebagai anggota masyarakat; hubungan antar-masyarakat. Ia juga

menghubungkan gejala-gejala sosial dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya, seperti

gejala-gejala kosmis, kondisi geografis dan demografis, kondisi sosial politik, ekonomi,

pendidikan, mata pencaharian, tata nilai, dan lain-lain. Setelah itu, kemudian ia mengambil

kesimpulan berupa hukum-hukum yang berlaku bagi semua aspek gejala sosial ini.

Dengan demikian, metode pengkajian dan pembahasan Ibn Khaldun mengenai gejala

sosial ini berdiri pada dua tahap, yaitu pertama, melakukan observasi dan pengujiaan

historis, pengamatan indrawi, dan pengamatan sejarah, terhadap gejala-gejala sosial.

Dengan kata lain, tahapan pertama ini berupa pengkajian dan pembahasan terhadap

materi-materi pokok yang dihasilkan dari hasil-hasil pengamatan dan dari fakta-fakta

sejarah. Kedua, memusatkan pikirannya atas materi-materi itu, kemudian memaparkannya

dalam bahasa tulisan, sehingga sampailah tujuan ilmu yang ia maksud, yaitu menemukan

hukum-hukum yang meliputi gejala-gejala sosial. Dapat dikatakan ini merupakan kali

pertama, fenomena-fenomena sosial dikaji seperti halnya fenomena astronomis, alam, dan

kiamiawi; atau dengan kata lain tunduk pada determenisme.

Kedua tahapan inilah yang merupakan metode pengkajian dan pembahasannya, yang

hampir serupa dengan usaha yang dipergunakan oleh para sosiolog modern. Durkehim

sendiri selalu menyatakan bahwa “Keadaran tentang adanya hukum-hukum merupakan

faktor esensial pikiran ilmiah.” Metode Ibn Khaldun, karenanya, sudah berada pada (awal)

pemikiran dan metode ilmiah, terlepas dari hasilnya benar atau tidak. Dalam mengkaji

38 Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibn Khaldun dan Pola Pemikira Islam, halaman 129.

Page 23: Ilm Sosial-Budaya _'Ilm Al-Umran_ IBn Khaldun_Dadan Rusmana

Gagasan Ibn Khaldun tentang Ilmu Sosial-Budaya (ilm al-umran) 23

setiap fenomena ia selalu bertanya “mengapa?” dan ia menjawabnya dengan ungkapan-

ungkapan “sebabnya ialah” atau “hal ini terjadi karena”. Pertanyaan dan jawaban seperti

itulah yang merupakan koridor penelitian ilmiah (termasuk dalam sosiologi).

Satu hal yang juga patut dielimir adalah usaha Ibn Khaldun dalam menuliskan dan

membahas hasil observasi dan pengkajian melalui perspektif ilm al-umrân ini, yaitu metode

penyajian dari materi-materi pembahasannya, terutama yang dipakainya dalam al-

Muqaddimah dan al-’Ibar. Menurut Wafi, metode pembahasan yang dipergunakan Ibn

Khaldun tidak berbeda dengan metode yang dipakai oleh ahli-ahli matematika (geometri)

dalam menyajikan teori-teori mereka. Ibn Khaldun seringkali terlebih membahas hukum-

hukum dari berbagai gejala alam, psikologi, sosial, atau lainnya dalam setiap pembahasan

secara deduktif. Selanjutnya, ia menjelaskan berbagai fakta untuk membuktikan

kebenaran teori-teori atau hukum-hukum tersebut. 39

Ia juga seringkali menggunakan pembuktian logis-empiris, selain menggunakan

catatan dari gejala-gejala sosial dari para penulis sebelumnya. Ia juga terkadang

menggunakan berbagai fakta-fakta dan dalil-dalil ilmu fisika atau ilmu jiwa untuk

membuktikan kebenaran teori-teori tersebut. Semuanya itu dimaksudkan agar setiap

pembaca memahami tentang hukum-hukum yang berlaku dalam setiap kehidupan yang

dijalani manusia atau yang berlangsung di sekitar kehidupan manusia.

Pertama-tama Ibn Khaldun memulai pembahasan apa pun dengan studi pendahuluan.

Seperti dalam al-Muqaddimah, ia mengemukakan pengaruh geografi terhadap gejala

sosial serta kehidupan individu dan masyarakat. Kemudian ia mempelajari dan memahami

beberapa statement atau pendapat dari para pengkaji terdahulu mengenai hal yang sama.

Kemudian ia melakukan studi kritis dengan membedah kelebihan dan kekurangan dari

pendapat-pendapat tersebut. Setelah itu, ia mengemukakan pendapatnya dengan 1)

mengemukakan alternatif pemikiran (ijtihad baru), 2) mengkompromikan dua pendapat

yang berlawanan (taufiqi), 3) menilai pendapat yang lebih kuat (tarjih); atau 4)

menangguhkan permasalah tersebut untuk dibuktikan di masa yang akan datang (tafwîd).

Sebagai contoh mengenai hal ini, Ibn Khaldun menganalisis secara mendalam tentang

“bangsa yang kalah dan dijajah”, dengan menggunakan dalil dan fakta yang komparatif.

Untuk membahas tersebut, Ibn Khaldun berusaha mengembangkan pikiran utamanya

dimulai dengan mengemukakan bukti-bukti logis berupa fakta-fakta ilmu jiwa, ilmu hayat

39 ‘Ali ‘Abd al-Wahid Wafi, Ibn Khaldun, halaman 106.

Page 24: Ilm Sosial-Budaya _'Ilm Al-Umran_ IBn Khaldun_Dadan Rusmana

Dadan Rusmana 24

(bilogi), dan ilmu hewan (zoologi). Ibn Khaldun menggunakan perspektif keilmuan yang

banyak dalam memahami gejala sosial dari satu fenomena, yaitu tentang “bangsa yang

kalah dan dijajah”. Ibn Khaldun juga, menurut Wafi rupanya telah memahami sebab yang

terpenting dari berkurangnya kelahiran dalam masa lenyapnya suatu peradaban, baik

disebabkan oleh ulah manusia sendiri maupun karena penyakit atau bencana alam.

Umpamanya, pada masa deklinasi peradaban Yunani dan Romawi, penyusutan jumlah

penduduk, baik karena perang, penyakit, maupun bencana alam telah berakibat pada

lemahnya semangat dan menipisnya harapan hidup. Dari hal ini, maka peradaban mereka

pun lambat lain memudar dan digantikan dengan yang baru. 40

D. Konteks Spesifik Kemunculan Gagasan ‘Ilm al-’Umrân

Dalam pembicaraannya perihal perkembangan politik dan perkembangan masyarakat,

tidak diragukan lagi, Ibn Khaldun memusatkan studi dan penjelasannya pada kejadian-

kejadian aktual. Dia tampak lebih tertarik mengkaji bagaimana keadaan masyarakat itu

yang sesungguhnya, daripada membicarakan bagaimana bentuk atau keadaan

masyarakat yang terbaik dan yang seharusnya. Hal inilah yang memberikan pada teori-

teorinya “kemiripan modernitas” (Stowasser, 1994b:73). Namun, Stowasser menolak

sebagian klaim sarjana Barat yang menyatakan bahwa Ibn Khaldun adalah seorang

positivis, atau pragmatis. Bagi Stowasser (1994b:73), Ibn Khaldun tidaklah termasuk di

antara keduanya.

Sikap realisme politik Ibn Khaldun—yakni kenyataan bahwa dia menggambarkan

fenomena kehidupan politik seadanya seperti yang diamatinya, dan bahwa “berdasar atas

observasi-observasi empirik ini dia sebenarnya betul-betul menggambarkan hal itu secara

obyektif dan netral, dengan ketajaman luar biasa dalam menangkap karakteristik esensial

kekuatan-kekuatan politik, tahapan-tahapan evolusinya, dan kaitan-kaitan yang rumit

antara negara dengan segenap aspek peradaban manusia, sering mengundang

kesalahpahaman terhadap aspek-aspek fundamental dari filsafatnya. Namun, pada

akhirnya terasa, meskipun memberi tekanan atas perlunya mengetahui tabi’at manusia

secara pasti, baik sosial maupun politik, Ibn Khaldun jauh dari berkeyakinan bahwa

40 ‘Ali ‘Abd al-Wahid Wafi, Ibn Khaldun, halaman 107.

Page 25: Ilm Sosial-Budaya _'Ilm Al-Umran_ IBn Khaldun_Dadan Rusmana

Gagasan Ibn Khaldun tentang Ilmu Sosial-Budaya (ilm al-umran) 25

pengetahuan semacam itu dimungkinkan “tanpa mengetahui tujuan yang sebenarnya yang

dipancangkan manusia dan masyarakat, dan juga tingkat kesempurnaan mereka”.

Kritik Stowasser bahwa Ibn Khaldun lebih cenderung berupaya mendeskripsikan

sejarah “apa adanya” dan tidak memasuki wilayah “apa yang seharusnya”, tidak lah

sepenuhnya benar. Satu sisi, Ibn Khaldun memang menekankan sikap objektifnya dalam

mengeksplanasi sejarah umat Islam dari generasi awal (periode Nabi Muhammad dan

Khulafa al-Rasyidun) hingga masa Ibn Khaldun hidup. Di sisi lain, Ibn Khaldun juga

menyebutkan bahwa umat Islam generasi awal merupakan model atau tauladan dari

tatanan politik dan kekuasaan. Dengan demikian, Ibn Khaldun tetap menawarkan “apa

yang seharusnya”.

Menurut Wafi, sebab terpenting yang mendorong Ibn Khaldun untuk menggagas ‘ilm

al-umrân adalah keinginannya untuk membebaskan pembahasan dan penulisan sejarah

(historiografi) dari berita-berita bohong. Dalam al-Muqaddimah, Ibn Khaldun menegaskan

bahwa kajian sejarah haruslah melalui pengujian-pengujian yang kritis. Sehingga baginya

perlu adanya alat untuk menyeleksi berbagai berita yang benar (fakta sejarah) dari berita

bohong. 41 Historiografer Arab-Muslim seperti al-Mas’udi (w. 857) dan al-Bakri (w. 1094)

tidak luput dari kritik Ibn Khaldun. Ibn Khaldun melihat bahwa kitab-kitab sejarah yang

telah dikarang oleh para sejarawan sebelumnya telah diliputi oleh berita yang subjektif,

tidak rasional, dan tidak didasarkan pada bukti-bukti empiris. Oleh karena itu, sejarah

manusia haruslah dibersihkan dari cerita-cerita seperti itu. Hasil yang dicitakan adalah

gambaran objektif mengenai masyarakat berdasarkan fakta-fakta objektif yang tidak

terkontaminasi oleh interpretasi-interpretasi subjektif dan bohong.

Menurutnya, mayoritas karya-karya sejarah, termasuk sejarah Islam mempunyai tujuh

kelemahan pokok. Tujuh kelemahan pokok tersebut adalah: i) Ambisi pribadi dan sikap

memihak kepada pendapat-pendapat dan madzhab-madzhab tertentu (partisanship atau

group prejudice); ii) Terlalu percaya kepada para penukil sejarah; iii) Gagal menangkap

maksud-maksud apa yang dilihat dan didengar serta menyampaikan laporan atas dasar

persangkaan dan perkiraan itu; iv) Perkiraan yang tidak mempunyai dasar (terhadap

sumber berita); v) Tidak sanggupnya “menempatkan sesuatu kejadian dalam hubungan

rentetan yang sebenarnya” secara tepat disebabkan kegagalannya dalam mencocokkan

data dan fakta dengan realitas sebenarnya; vi) kegemaran banyak orang untuk

41 ‘Ali ‘Abd al-Wahid Wafi, Ibn Khaldun, halaman 95.

Page 26: Ilm Sosial-Budaya _'Ilm Al-Umran_ IBn Khaldun_Dadan Rusmana

Dadan Rusmana 26

mendekatkan diri kepada para pembesar dan orang-orang yang berpengaruh dengan jalan

memuji dan menyanjungnya serta menyiarkan hal-hal yang baik-baik saja tentang mereka;

dan vii) ketidaktahuan tentang hakikat situasi dalam kultur.42 Selain ketujuh kelemahan

tadi, pada beberapa tempat Ibn Khaldun juga menyebutkan beberapa kelemahan lainnya,

yaitu, viii) sikap berlebih-lebihan43 dan ix) mengabaikan perubahan perhitungan tarikh serta

perubahan wilayah geografis.44

Pertama: Ibn Khaldun melihat bahwa sejarawan seringkali terjebak kepada kesalahan

karena sebab-sebab yang timbul dari ambisi-ambisi pribadi para sejarawan (muarrikh). Ibn

Khaldun menuliskan, “Semua berita, sesuai dengan sifatnya, dapa tertimpa kesalahan,

bahkan berita itu sendiri malah mengandung faktor-faktor penyebab kesalahan. Faktor

pertama ialah sikap memihak kepada suatu kepercayaan atau pendapat. Apabila pikiran

dalam keadaan netral, setiap orang biasanya ketika menerima suatu keterangan akan

menyelidiki dan menimbang-nimbangnya terlebih dahulu sampai ia dapat memilah

kebenaran dari kesalahan. Tetapi bila pikiran seseorang itu berat sebelah kepada suatu

pendapay atau kepercayaan, maka ia akan berpihak kepada keterangan-keterangan yang

menguntungkan pendapa atau kepercayaanya. Oleh karena itu sikap memihak akan

menutup kejernihan pikiran, mencegah penyelidikan dan pertimbangan dan cenderung

melakukan kesalahan.”45 Dengan demikian, kesalahan pertama merupakan faktor

psikologis murni.

Kategori pertama ini muncul dalam beberapa bentuk, yaitu 1) Ambisi-ambisi itu muncul

berupa kecendrungan dan hawa nafsunya, baik yang berhubungan dnegan penuturan

tentang diri sendiri dengan penuturan diri dan berita-berita yang diterimanya yang

dituturkannya; 2) Fanatisme golongan dan fanatisme ideologi. Fanatisme-fanatisme

tersebut akan menutup mata hati untuk dapat meneliti, mengoreksi, dan menyeleksi berita

yang diterimanya serta mendorong jiwa dan pikiran untuk menerima begitu saja pendapat

yang diterimanya, asalkan sesuai dengan maksud-maksud pribadinya; 3). “terlalu

seringnya sejarawan bergaul dengan orang-orang besar, yang selalu mendapat

sanjungan”, sehingga perbuatan-perbuatannya yang jelek dibaik-baikkan, atau memuji

42 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 56. 43 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 11 44 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 44. 45 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 31.

Page 27: Ilm Sosial-Budaya _'Ilm Al-Umran_ IBn Khaldun_Dadan Rusmana

Gagasan Ibn Khaldun tentang Ilmu Sosial-Budaya (ilm al-umran) 27

terlalu berlebihan, menyebutkan kelebihan orang yang disanjungnya, padahal tidak

memiliki atau tidak mengerjakan kelebihan tersebut.

Ibn Khaldun menuliskan, “Berita-beritanya meluap berlebihan, tidak menurut yang

sebenarnya, sebab jiwa manusia itu senang untuk dipuji, sedangkan manusia senang

pada dunia dan sebab-sebabnya yang berupa pangkat dan harta kekayaan. Kebanyakan

mereka tidak senang pada keutamaan-keutamaan dan tidak berlomba-lomba untuk

menjadi orang-orang yang berjiwa mulia”.46 Untuk menghindari hal ini, Ibn Khaldun

menganjurkan agar setiap sejarawan membebaskan dirinya dari ambisi, hawa nafsu,

fanatisme dan dari faktor-faktor yang dapat menyimpangkan dari kebenaran. Dia juga

hendaknya tidak membawa konsep sebelumnya dalam melakukan penelitian.

Kedua, “kepercayaan yang berlebihan kepada para penutur,padahal penuturan

apapun seharusnya baru dapat diterima apabila telah dilakukan ta’dil wa tajrih (verifikasi

ke’adilan dan kecacatan penutur). Ibn Khaldun tidak memerinci jauh tentang hal ini.

Namun demikian, secara tersirat Ibn Khaldun mengharuskan para pengkaji sejarah untuk

selektif dan melakukan kritik yang ketat terhadap para penutur (sejarawan) dengan metode

ta’dil dan tajrih.47 Metode ini dimaksudkan agar para sejarawan mampu mendapatkan

berita hanya dari penutur yang dapat dipercaya, pintar, amanah, dan kuat hapalannya.

Sebaliknya, para sejarawan harus menghindari riwayat dari para penutur yang cacat

(bodoh, pendusta, dan tidak amanah). Ibn Khaldun menuliskan, “Dan penelitian tentang

keadilan dankejujuran penutur tidak dilakukan kecuali setelah diketahui bahwa isi berita itu

sendiri merupakan hal yang mungkin terjadi atau tidak. Bilamana mustahil terjadi, maka

tidak ada gunanya dilakukan ta’dil dan tajrih.48

Ketiga, Ibn Khaldun menyatakan, “Ketidaksanggupan memahami apa yang

sebenarnya dimaksud. Banyak para pencatat sejarah yang jatuh dalam kesalahan karena

mereka tidak dapat memahami maksud sebenarnya dari apa yang dilihat dan didengarnya.

Juga karena mereka menghubungkan berita itu menurut apa yang dipikirkan dan

diprasangkainya, sehingga mereka terjatuh dalam kekeliruan.”49 Kelemahan ketiga ini

46 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 261-262. 47 Metode ta’dîl dan jarh merupakan metode yang disusun dalam rangka seleksi sanad dan matan hadits dan dikembangkan

oleh para muhadditsin. Metode ini merupakan penelitian cermat danmendalam yang dilakukan untuk mengetahui kejujuran dan kebenaran penutur hadits. Informasi-informasi yang dihasilakan oleh penelitian ini dihimpun, dan setiap kali diperlukan untuk menguji kebenaran suatu hadits, ia digunakan atau disilangrujukkan. Kumpulan dari hasil penelitian ini membentuk ensiklopedi-ensiklopedi yang menjadi rujukan setiap ilmuwan. Dari kesemuanya itu kemudian ditarik sejumlah prinsip-prinsip sebagai pembanti dalam menilai sebuah hadits. Prinsip-prinsip inilah yang membentuk suatu cabang ilmu yang disebut Musthalah Hadits.

48 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 33 49 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 32.

Page 28: Ilm Sosial-Budaya _'Ilm Al-Umran_ IBn Khaldun_Dadan Rusmana

Dadan Rusmana 28

berkaitan dengan kesalahan pertama dan bermuara pada kesalahan perspesi dan

pengamatan psikologis. Kadang-kadang si pencatat sejarah itu benar dalam menuliskan

data dan fakta sejarah namun ia melakukan kesalahan ketika melakukan analisis dan

interpretasi.

Keempat, Kelemahan yang bersumber pada “kepercayaan yang salah kepada

‘kebenaran’”. Umumnya, kelemahan ini terjadi dalam bentuk terlalu memutlakan

“kebenaran” yang disodorkan penutur berita.50 Dengan kata lain, seorang sejarawan

menuturkan berita yang keliru dengan keyakinan bahwa berita tersebut merupakan

kebenaran, sehingga tidak perlu mendapat penyelidikan lagi. Kelemahan ini terkait dengan

kelemahan kedua.

Kelima, kelemahan yang bersumber dari ketidaksanggupan menempatkan secara

tepat suatu kejadian dalam hubungan dengan peristiwa-peristiwa sebenarnya, karena

kabur dan rumitnya keadaan. Si pencatat merasa puas menguraikan peristiwa seperti yang

dilihatnya saja, akibatnya akan memutarbalikkan peristiwa itu”.51 Dapat saja kelemahan

sejarawan karena ketidakjelian pada peristiwa sebenarnya, disebabkan peristiwa tersebut

telah direkayasa oleh sekelompok orang untuk menutupi peristiwa yang sebenarnya.

Keenam, “Keinginan yang umum untuk mengambil hati orang yang berkedudukan

tinggi, dengan jalan memuji-muji, menyiarkan kemasyhuran, membujuk-bujuk,

menganggap baik setiap perbuatan mereka dan memberi tafsiran yang selalu

menguntungkan semua tindakan mereka. Hasilnya adalah gambaran yang keliru dari

sebuah peristiwa. Ini adalah kecendrungan umum, karena menjadi fitrah manusia senang

untuk dipuji dan setiap orang mencari keuntungan dengan berbagai cara.52 Ini berarti

apabila sejarawan berupaya mendekatkan diri kepada para pemegang kekuasaan

danjabatan tinggi, demi memperoleh kenikmatan duniawi, maka akan mendorongnya

menyebarkan berita-berita bohong tentang kebaikan penguasa dan pembesar, demi

menyenangkan penguasa yangd idekatinya.

Ketujuh, Ibn Khaldun juga melihat kelemahan yang ditimbulkan oleh kedangkalan atau

ketidaktahuan terhadap pengetahuan tentang gejala-gejala sosial dan hukum-hukumnya,

atau juga hukum-hukum yang terjadi pada alam. Menurut Ibn Khaldun, banyak sejarawan

tidak mengetahui hukum-hukum itu, kemudian mencatat berita-berita tersebut, padahal

50 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 31. 51 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 31. 52 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 31.

Page 29: Ilm Sosial-Budaya _'Ilm Al-Umran_ IBn Khaldun_Dadan Rusmana

Gagasan Ibn Khaldun tentang Ilmu Sosial-Budaya (ilm al-umran) 29

cerita tersebut memiliki unsur kebohongan dan tidak logis secara nalar. Ibn Khaldun

menyebutkan bahwa banyak sejarawan yang “Tidakmengetahui hukum-hukum watak dan

perubahan. Seandainya, si pendengar memahami watak peristiwa dan perubahan yang

terjadi, serta kondisinya, meka pengatahuan seperti ini akan membantunya melebihi apa

pun, dalam menguraikan setiap peristiwa darikebohongan yang terkandung dalam catatan

itu”.53 Menurut Ibn Khaldun, setiap fenomena dalam wujud, baik fenomena alam dan

fenomena sosial, mempunyai hukum-hukum pengendaliannya, terlepas dalam keadaan

statis maupun berubah. Hukum-hukum ini hendaknya diketahui para sejarawan agar

mereka mampu membedakan antara berita yang benar dan berita yang bohong.

Ibn Khaldun menuliskan, “Ini dapat dilakukan dengan mengetahui watak-watak

masyarakat. Inilah metode yang sebaik-baiknya dan yang paling menjamin kebenaran

yangterkandung dalam berita-berita dan memilah kebenaran yang terkandung dalam

berita-berita itu dari kesalahan. Langkah ini dilakukan sebelum upaya meneliti berita-berita

para penuturnya dengan penyelidikan terhadap mereka (ta’dil dan tajrih). Sebab kritik baru

dilaksanakan setelah yajin apakan peristiwa yang dituturkan itu sendiri mungkin atau tidak.

Karena pabila peristiwa yang dituturkannya itu sendiri tidak mungkin, maka tidak perlu lagi

dilakukan penyelidikan terhadap para penutur peristiwa itu.”54

Dengan dasar sebab ketujuh ini, Ibn Khaldun mengkritik al-Mas’udi yang mudah

mempercayai sumber berita yang tidak diterima nalar. Misalnya, al-Mas’udi menukilkan

tentang cerita Iskandar Dzu al-Qarnain yang sewaktu membangun kota Iskandariah

diganggu oleh binatang-binatang laut. Untuk mengatasi rintangan ini, Iskandar membuat

peti kayu yang di dalamnya ditaruh peti kaca. Iskandar terus masuk ke dalam peti itu dan

terus menyelam ke dalam laut. Ketika berada di dalam laut tersebut, Iskandar

menggambarkan bentuk-bentuk binatang tersebut dan membuat patung-patungnya.

Patung-patung tersebut kemudian diletakkan di dekat kota yang dibangunnya. Melihat

patung-patung tersebut, binatang-binatang laut tersebut berlarian lintang pukang. Maka

dengan cara tersebut selamatlah Iskandar membangun kotanya.55

Menurut Ibn Khaldun, tukilan al-Mas’udi ini merupakan cerita yang khurafat dan tidak

masuk akal. Misalnya, Iskandar tidak mungkin untuk untuk menyelam ke dasar lautan,

sebab seorang penyelam dalam air, meskipun tinggal dalam kotak, dia tidak akan dapat

53 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 31. 54 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 32-33. 55 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 56.

Page 30: Ilm Sosial-Budaya _'Ilm Al-Umran_ IBn Khaldun_Dadan Rusmana

Dadan Rusmana 30

bernafas secara alami. Napasnya akan terbakar dengan cepat karena semakin sedikitnya

udara. Lalu, ia akan kehilangan udara dingin yang dibutuhkan menurut ukuran paru-paru

normal dan denyut jantung. Dengan begitu, ia pun akan mati di tempatnya. Kondisi ini,

menurut Ibn Khaldun, merupakan penyebab kematian para penyelam dan penggali

sumur.56 Kemudian juga, bagi Ibn Khaldun, merupakan hal yang tidak logis apabila

makhluk-makhluk pengganggu (setan) tersebut lari tunggang langgang hanya karena

melihat patung mereka.57

Penyeleksian berita seperti di atas hanya dapat dilakukan, jika para sejarawan

memahami hukum-hukum alam secara mendalam. Menurut, Ibn Khaldun, bila al-Mas’udi

dan sejarawan lainnya mengetahui tentang fisiologi, hukum alam, dan mengetahui ciri-ciri

pernafasan manusia dan hewan, maka sejarawan tidak akan terjerembab pada

periwayatan kisah yang keliru atau bertentangan dengan hukum-hukum tersebut. Bagi Ibn

Khaldun, tidak ada alasan bagi para sejarawan untuk tidak mengetahui gejala-gejala,

hukum-hukum alam, dan ilmu-ilmu yang dibutuhkan dalam mempelajari sejarah dan

fenomena sosial-kemasyarakatan.

Sebab lainnya adalah sebab-sebab yang ditimbulkan oleh kepicikan ahli sejarah dan

sejarawan tentang hukum-hukum dasar masyarakat manusia. Pengetahuan tentang hal ini

menjadi penting, sebab gejala-gejala masyarakat tidaklah terjadi menurut hawa nafsu atau

secara kebetulan, akan tetapi terikat ketat oleh hukum-hukum yang tetap tidak berubah-

ubah, sebagaimana hukum yang berlaku pada gejala-gejala alam. Dalam pandangan Ibn

Khaldun, sejarawan seringkali terjebak pada pengutipan, pencatatan, dan analisis yang

salah, disebabkan ketidaktahuannya terhadap gejala-gejala sosial dan hukum-hukumnya.

Sering pula, mereka mencatat berita-berita yang berdasar hukum-hukum, tetapi berita

tersebut sulit untuk diterima akal, atau bertentangan dengan watak manusia dan hukum-

hukum perubahan masyarakat manusia. Mereka seringkali bersikap berlebih-lebihan. Ibn

Khaldun menuliskan, “Seringkali para sejarawan, ahli tafsir, dan tokoh penutur terjatuh ke

dalam kesalahan pada pemahaman berita dan peristiwa. Karena mereka hanya

mendasarkan diri pada penukilan semata, terlepas beritanya salah atau benar. Mereka

tidak mengembalikannya kepada asal-usulnya. Mereka juga tidak menganalogikannya

56 Saat itu, teknologi untuk menyelam belum ditemukan. Sehingga Ibn Khaldun menyangsikan atau bahkan tidak percaya

orang dapat masuk ke dalam lautan dengan selamat, sekalipun masuk ke dalam kotak. Kemudian, Ibn Khaldun pun mengajukan argumentasi ilmiah tentang ketidakmungkinan tersebut.

57 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 263.

Page 31: Ilm Sosial-Budaya _'Ilm Al-Umran_ IBn Khaldun_Dadan Rusmana

Gagasan Ibn Khaldun tentang Ilmu Sosial-Budaya (ilm al-umran) 31

dengan peristiwa-peristiwa yang serupa. Selain itu mereka juga tidak mengujinya dengan

ukuran hikmahnya, dan berhenti pada watak-watak yanga da dan memperkuat penelitian

dan pengkajian terhadap berita-berita itu saja, sehingga mereka menyimpang dari

kebenaran. Lebih jauh lagi, mereka memberikan kesempatan yang seluas luasnya kepada

khayal mereka, mengikuti bisikan sifat yang berlebih-lebihan, dan melintasi batasan-

batasan pengalaman yang biasa bilamana memperbincangkan soal tentara dan kekayaan

dari negeri-negeri pada zaman mereka, atau negeri-negeri pada masa lalu yang dekat.”58

kritik Ibn Khaldun ini diarakan kepada sejarawan yang sering melebih-lebihkan penjelasan

atau berita. Misalnya mereka melebih-lebihkan kekuatan tentara Islam atau tentara

Kristen; atau melebih-lebihkan keyaaan dan pajak yang diterima negara-negara; dan lain-

lain.

Sebab lain adalah “kelemahan seseorang kurang memahami perubahan keadaan atau

penganalogian mutlak antara masa lalu dan masa kini.”59 Contoh mengenai kekeliruan

para sejarawan dalam menuturkan berita, menurut Ibn Khaldun, tercermin dalam

penuturan biografi dari al-Hajjaj Ibn Yusuf (661-714 H), negarawan Arab dan gubernur

Arabia dan Irak kepercayaan Bani Umayyah. Menurut Ibn Khaldun, beberapa sejarawan

terjebak pada kesimpulan-kesimpulan beradasarkan analogi (pembandingan dan

penyamaan), padahal analogi dapat dengan mudah membawa pada kesalahan.

Dari pembahasan tentang beberapa kelemahan karya tulis para sejarawan dan

ilmuwan lainnya yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun, maka dapat disimpulkan bahwa

menurut Ibn Khaldun terdapat dua sarana dalam upaya mengklarifikasi berita. Pertama,

pemikiran yang mendalam atas peristiwa-peristiwa yang dituturkannya. Kedua, pengkajian

terhadap peringkat kebenaran dan kejujuran para penutur beritanya. Semenjak Ibn

Khaldun berusaha untuk membersihkan pembahasan-pembahasan sejarah dari riwayat-

riwayat dan menyadari berbagai kelemahan dalam memahami fenomena sosial-budaya,

maka kemudian ia memproyeksikan keilmuannya yang berorientasi pada pemahaman

fenomena sosial-budaya tersebut. Ia dengan lantang memproklamirkan formula keilmuan

baru, termasuk metode dan pendekatan baru, termasuk mempropagandakannya.

Ibn Khaldun secara intensif, terutama melalui kuliah-kuliahnya di beberapa universitas

di Mesir, menegaskan pentingnya ilmu ini. Terlebih ketika masa itu, di tengah-tengah

58 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 9. 59 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 12.

Page 32: Ilm Sosial-Budaya _'Ilm Al-Umran_ IBn Khaldun_Dadan Rusmana

Dadan Rusmana 32

keterpurukan umat Islam di berbagai wilayah dan dalam berbagai bidang, khurafat (mitos

negatif) merebak kembali. Sikap fatalisme (jabariyah) negatif semakin menjadi-jadi dan hal

ini sangat berpengaruh terhadap etos umat Islam saat itu. Hampir dapat dikatakan bahwa

banyak periwayatan peristiwa yang dibumbui dengan cerita-cerita fiktif (mitos) dan tidak

berbasis relitas. Untuk merespon keadaan ini, Ibn Khaldun berupaya mengukuhkan

kembali visi rasionalitas dalam memahami gejala sosial-budaya.

Semua faktor-faktor di atas berakumulasi dan semakin mengukuhkan Ibn Khaldun

untuk mengambil manfaat dari ilmu baru ini, terutama untuk memahami watak dari gejala-

gejala masyarakat beserta hukum-hukum yang melingkupinya. Bagi Ibn Khaldun,

sebagiaman ilmu pengetahuan lainnya mengarah pda upaya memahami watak dari gejala-

gejala dan hukum-hukumnya, maka demikian lah dengan ilmubaru yang diproyeksikannya.

DDAAFFTTAARR PPUUSSTTAAKKAA

‘Abd Allah, Yusri ‘Abd al-Ghani. 2004. Historiografi Islam Dari Klasik Hingga Modern.

Terjemahan oleh Budi Sudrajat. Jakarta: Rajawali Press.

Azmeh, Aziz al-. 1981. Ibn Khaldun in Modern Scholarship: A. Study in Orientalism.

London: Third World Centre for Research and Publishing.

Azmeh, Aziz al-. Ibn Khaldun: En Essay in Reinterpretation. London: Frank Cass and

Company.

Baali, Fuad. 1988. Society, State, and Urbanism: Ibn Khaldun’s Sociological Thought. New

York: State University of New York Press.

Baali, Fu’ad dan Ali Wardi. 2003. Ibn Khaldun dan Pola Pemikiran Islam. Terjemahan oleh

Mansuruddin dan Ahmadie Thaha. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Deliar Noer. 1997. Pemikiran Politik di Negeri Barat. Bandung: Mizan.

Faruqi, Ismail Raji al dan Louis Lamya al-Faruqi. 1998. Atlas Budaya Islam. Bandung:

Mizan.

Issawi, Charles. 1967. Filsafat Islam Tentang Sejarah. Jakarta: Tintamas.

Khaldun, Ibn. 1967. The Muqaddimah: Introduction to History. Terjemah oleh Franz

Rosenthal. 3 jilid. London: Routledge & Kegan Paul.

Page 33: Ilm Sosial-Budaya _'Ilm Al-Umran_ IBn Khaldun_Dadan Rusmana

Gagasan Ibn Khaldun tentang Ilmu Sosial-Budaya (ilm al-umran) 33

Khaldun, Ibn 1970. The Muqaddimah. Terjemah oleh Franz Rosenthal. Diedit kembali oleh

N.J. Dawood. Princeton, N.J.: Princeton University Press.

Khalidi, Tarif. 1985. Classical Arab Islam: The Culture and Heritage of the Golden Age.

Princeton, New Jersey: The Darwin Press.

Khudhairi, Zainab. 1995. Filsafat Sejarah Ibn Khaldun. Terjemahan oleh Ahmad Rofi'I

Utsmani. Bandung: Pustaka. Cetakan ke-2.

Lacoste, Yves. 1984. Ibn Khaldun: The Birth of History and The Past of The Third World.

London:Verso

Lewis, Bernard. 1967. The Arab in History. New York: Harper & Row.

Mahdi, Muhsin. 1971. Ibn Khaldun's Philosophy of History: A Study in the Philosophic

Foundation of the Science of Culture. Chicago: The University of Chicago Press.

Ma’arif, Ahmad Syafii. 1996. Ibn Khaldun Dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur.

Jakarta: Gema Insani Press.

Meuleman, Johan Hendrik. 1994. “Pemikiran Ibn Khaldun tentang Sejarah dan

Pengaruhnya terhadap kajian Keislaman”. Makalah.

Osman Raliby. 1962. Ibn Khaldun tentang Masjarakat dan Negara. Jakarta: Bulan Bintang.

Rabi’, Muhammad Mahmoud. 1967. The Political Theory of Ibn Khaldûn. Leiden: E.J. Brill.

Schmidt, Nathaniel. 1930. Ibn Khaldun: Historian, Sociologist, and Philosopher. New York:

Columbia University Press.

Stowasser, Barbara Freyer. 1994. “Agama dan Perkembangan Politik Antara Ibn Khaldun

dan Machiavelli”. Dalam Jurnal Ulumul Qur’an Nomor 3 Volume V, 1994, hlm. 88-97.

Suwito dan Fauzan (Ed). 2003. Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan. Bandung:

Angkasa.

Toynbee, A.J. 1954. A Study of History. 12 jilid. London: Oxford University Press.

Wafi, Ali ‘Abd al-Wahid. 1985. Ibn Khaldun: Riwayat dan Karyanya. Jakarta: Grafiti Prees.

Yunus, Iyas Ba dan Farid Ahmad. 1997. Sosiologi Islam dan Masyarakat Kontemporer.

Bandung: Mizan.