41
I. Identitas Pasien dan Keluarga Identitas Pasien Nama : Ny. M Jenis Kelamin : Perempuan Umur : 51 tahun Alamat : Jln. Dirgantara Lr. 6 Agama : Kristen Suku Bangsa : Makassar Pekerjaan : Ibu rumah tangga II. Anamnesa KU : Rasa mengganjal disertai selaput putih pada kedua mata AT : Selaput putih pada mata kiri dialami sejak ± 6 tahun yang lalu sebelum masuk Rumah Sakit. Awalnya muncul perlahan pada mata kanan kemudian di mata kiri , pasien merasa terganjal pada kedua mata, penglihatan tidak terganggu, tidak nyeri, mata tidak merah, tidak silau, tidak gatal, tidak ada air mata berlebih, kotoran mata tidak berlebih,pasien merasa berpasir pada mata, tidak demam, tidak ada riwayat mata merah berulang, tidak ada riwayat kotoran mata berlebih, tidak ada riwayat demam, pasien

Ikm Non Infeksi Pterigium

Embed Size (px)

DESCRIPTION

mata

Citation preview

Page 1: Ikm Non Infeksi Pterigium

I. Identitas Pasien dan Keluarga

Identitas Pasien

Nama : Ny. M

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 51 tahun

Alamat : Jln. Dirgantara Lr. 6

Agama : Kristen

Suku Bangsa : Makassar

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

II. Anamnesa

KU : Rasa mengganjal disertai selaput putih pada kedua mata

AT : Selaput putih pada mata kiri dialami sejak ± 6 tahun yang lalu sebelum

masuk Rumah Sakit. Awalnya muncul perlahan pada mata kanan kemu-

dian di mata kiri , pasien merasa terganjal pada kedua mata, penglihatan

tidak terganggu, tidak nyeri, mata tidak merah, tidak silau, tidak gatal,

tidak ada air mata berlebih, kotoran mata tidak berlebih,pasien merasa

berpasir pada mata, tidak demam, tidak ada riwayat mata merah beru-

lang, tidak ada riwayat kotoran mata berlebih, tidak ada riwayat

demam, pasien mengaku riwayat sering terpapar debu dan sinar

matahari pada kedua mata, yaitu saat mengendarai motor tanpa

menggunakan kacamata pelindung. Tidak ada riwayat memakai kaca

mata, tidak ada riwayat pengobatan sebelumnya, tidak ada riwayat

trauma,tidak ada riwayat operasi, riwayat diabetes melitus tidak diket-

ahui, riwayat hipertensi tidak dikeahui, tidak ada riwayat alergi, tidak

ada riwayat penyakit yang sama pada keluarga.

Page 2: Ikm Non Infeksi Pterigium

III. Pemeriksaan Fisis

Tinggi Badan : 160 cm = 1,60 m

Berat Badan : 58 kg

IMT : BB

TBxTB = 60

1,60 x 1,60 = 60

2,56 = 23.4

Tanda Vital :

Tekanan Darah : 130/80 mmHg

Nadi : 80 x/menit

Pernapasan : 20 x/menit

Suhu : 36,8oC

Kepala

Anemis : (-)

Sianosis : (-)

Ikterus : (-)

Konjungtiva : ODS: terlihat selaput berbentuk segitiga dari arah

nasal dengan apeks sudah melewati limbus kornea

tetapi belum mencapai pupil

Mulut

Lidah kotor : (-)

Tonsil : T1-T1, hiperemis (-)

Faring : granula hipertrofi (-)

Leher

Massa Tumor : (-)

Nyeri Tekan : (-)

Page 3: Ikm Non Infeksi Pterigium

Pembesaran kelenjar : (-)

Desakan vena sentralis : R-2cm H2O

Thorax

Inspeksi :Simetris, Kiri = Kanan

Palpasi :Massa tumor (-), Nyeri Tekan (-),

Perkusi :sonor

Auskultasi :Bunyi pernapasan : Vesikuler

Bunyi Tambahan Rh : , Wh :

Jantung

Inspeksi :Ictus kordis tidak tampak

Palpasi :Ictus kordis tidak teraba

Perkusi :Batas jantung kesan normal

Auskultasi :Bunyi jantung I/II murni reguler

Bising (-)

Abdomen

Inspeksi :Datar , ikut gerak napas,

Palpasi :Massa tumor (-), Nyeri tekan (-)

Perkusi :Timpani

Auskultasi :Peristaltik (+), kesan normal

Alat kelamin : tidak diperiksa

Ekstremitas : dalam batas normal

Page 4: Ikm Non Infeksi Pterigium

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tidak dilakukan

V. DIAGNOSIS

ODS Pterigium

VI. PENATALAKSANAAN

- Penatalaksanaan farmakologi yang diberikan adalah topikal artificial tears

C. Lyteers 1 gtt ODS

- Penatalaksanaan non-farmakologi yang diberikan adalah dengan

menganjurkan pasien untuk memakai kacamata dan topi untuk melindungi

mata dari debu serta sinar UV

OD OS

Page 5: Ikm Non Infeksi Pterigium

VII. HASIL WAWANCARA

Wawancara dilaksanakan untuk mengetahui keadaan lingkungan sekitar

pasien, ketahanan tubuh pasien serta aktifitas sehari-hari pasien, dan hubungan

antara lingkungan dengan penyakit yang diderita. Dengan demikian pasien dan

keluarga dapat memahami bagaimana pengaruh lingkungan terhadap suatu

penyakit dan sebaliknya bagaimana suatu penyakit dapat mempengaruhi

lingkungan.

Profil Keluarga :

Pasien tersebut tinggal bersama suami serta cucunya

Status Sosial dan Kesejahteraan Keluarga

Pekerjaan sehari-hari pasien adalah seorang buruh cuci. Rumah pasien

dalam kondisi baik, tertata rapi serta terawat. Rumah terdiri dari 2 kamar dan 1

kamar mandi. Ventilasi di rumah baik, sirkulasi udara baik. Peralatan rumah

tangga lengkap.

Pola Konsumsi Makanan Keluarga

Konsumsi makanan sehari-hari keluarga tersebut memenuhi gizi lengkap.

Setiap pagi keluarga tersebut sarapan pagi sebelum melakukan aktifitas sehari-

hari. Menu makan siang dan malam diimbangi dengan menu sayur. Pola

konsumsi keluarga tersebut cukup baik sesuai dengan apa yang dibutuhkan,

yaitu dengan mengkonsumsi makanan bergizi seperti nasi, telur, ikan, tahu,

tempe dan sayur secara rutin.

Page 6: Ikm Non Infeksi Pterigium

Psikologi Dalam Hubungan Antar Anggota Keluarga

Pasien memiliki hubungan yang baik dengan sesama anggota keluarga

yang lainnya dan terjalin komunikasi yang baik serta cukup lancar.

Lingkungan

Lingkungan pemukiman pasien cukup bersih meskipun berada di gang

sempit dan kawasan padat penduduk.

Page 7: Ikm Non Infeksi Pterigium

PTERIGIUM

I. DEFENISI

Pterigium merupakan kelainan yang paling sering terjadi pada mata yang

patogenesisnya masih belum jelas.1 Menurut American Academy of

Ophthalmology, pterygium (berasal dari bahasa Yunani yaitu “Pterygos” yang

artinya sayap) adalah poliferasi jaringan subkonjungtiva berupa granulasi

fibrovaskular dari (sebelah) nasal konjungtiva bulbar yang berkembang menuju

kornea hingga akhirnya menutupi permukaan kornea.2 Pterigium pertama kali

ditemukan oleh Susruta (India) dokter ahli bedah mata pertama di dunia 1000

tahun sebelum masehi.3 Pterigium dapat bervariasi bentuknya dari yang kecil, lesi

atrofi sampai lesi fibrovaskular besar yang tumbuh agresif dan cepat yang dapat

merusak topografi kornea, dan yang selanjutnya, mengaburkan bagian tengah

optik kornea.4

Dulu penyakit ini dianggap sebagai suatu kondisi degeneratif, pterigium

juga menampilkan ciri-ciri seperti tumor, seperti kecenderungan untuk

menginvasi jaringan normal dan tingkat rekurensi yang tinggi setelah reseksi, dan

dapat hidup berdampingan dengan lesi premalignan sekunder.5 Banyak literatur

melaporkan faktor-faktor etiologi berikut yang mungkin menjadi penyebab

terjadinya pterigium: radiasi ultraviolet (UV), radang mata kronis, efek toksik zat

kimia. Baru-baru ini, beberapa virus juga memiliki kemungkinan sebagai salah

satu faktor etiologi.1 Sedangkan sumber lain mengatakan pterygium ditandai

dengan proliferasi berlebihan fibrovaskular pada permukaan mata dan diduga

disebabkan oleh paparan sinar meningkat, debu, kekeringan, panas dan angin.6

II. EPIDEMIOLOGI DAN INSIDENS

Pterigium merupakan kelainan mata yang umum di banyak bagian

dunia, dengan prevalensi yang dilaporkan berkisar antara 0,3% - 29%. Studi

epidemiologis menemukan adanya asosiasi terhadap paparan sinar matahari yang

kronis, dengan meningkatnya prevalensi geografis 'sabuk pterigium' dalam garis

peri-khatulistiwa 37o lintang utara dan selatan khatulistiwa.7 Pada populasi yang

Page 8: Ikm Non Infeksi Pterigium

terkena, pertumbuhan pterigium telah terlihat pada remaja muda dan banyak

terjadi di masyarakat di padang pasir. Pterigium terlihat hampir dua kali lebih

sering pada laki-laki daripada wanita.6

Sebuah studi epidemiologis oleh Gazzard dkk melaporkan orang berkulit

hitam (usia 40-84 tahun) di Barbados, yang terletak di daerah tropis 13° utara

khatulistiwa, memiliki tingkat prevalensi yang sangat tinggi (23,4%) sedangkan

tingkat prevalensi orang kulit putih di perkotaan (usia 40-101 tahun) Melbourne,

Australia kurang dari (1,2%). Prevalensi pterigium orang kulit putih lebih dari 40

tahun di pedesaan Australia (6,7%), dan di perkotaan orang Cina Singapura yang

lebih dari 40 memiliki tingkat prevalensi (6.9%). Penelitian ini juga melaporkan

orang Indonesia lebih dari 40 tahun, tingkat prevalensinya di Sumatera (16,8%)

yakni lebih tinggi daripada semua ras lainnya yang telah dipelajari sebelumnya,

kecuali dengan penduduk kulit hitam dari Barbados.8

Secara umum studi lain tentang pterigium, prevalensi pterigium di Sumatera

meningkat seiring bertambahnya usia. Hal yang berbeda dengan beberapa studi

dimana pterigium ditemukan lebih banyak pada laki-laki.8

Keberhasilan penanganan pterigium adalah tantangan untuk dokter mata

karena tingkat kekambuhan yang tinggi (2,1% menjadi 87%). Tingkat

kekambuhan tinggi dan komplikasi penglihatan yang mengancam pada teknik

bedah yang berbeda memprovokasi para spesialis mata untuk mencari modalitas

baru dan pengobatan yang lebih aman.6

Pterigium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam fungsi

visual atau penglihatan pada kasus yang kronis. Mata bisa menjadi inflamasi

sehingga menyebabkan iritasi okuler dan mata merah.9

Berdasarkan beberapa faktor diantaranya :

1. Jenis Kelamin

Pterygium dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali lebih

banyak dibandingkan wanita.9

2. Umur 

Page 9: Ikm Non Infeksi Pterigium

Jarang sekali orang menderita pterygium umurnya di bawah 20 tahun.

Untuk pasien umurnya diatas 40 tahun mempunyai prevalensi yang

tertinggi, sedangkan pasien yang berumur 20-40 tahun dilaporkan

mempunyai insidensi pterigium yang paling tinggi.9

III. ANATOMI KONJUNGTIVA

Konjungtiva adalah membran mukosa tembus cahaya yang melapisi

permukaan aspek posterior dari kelopak mata dan anterior bola mata. Nama

konjungtiva (conjoin: bergabung) diberikan kepada membran mukosa ini karena

fakta bahwa ia menghubungkan bola mata dengan kelopak mata. Membentang

dari pinggir kelopak mata ke limbus, dan membungkus ruang kompleks yang

disebut sakus konjungtiva yang terbuka di depan fissura palpebral.11

Konjungtiva dapat dibagi menjadi 3 bagian:

Konjungtiva palpebralis. Bagian ini melapisi permukaan dalam kelopak

mata dan melekat kuat pada tarsus.10 Konjungtiva palpebralis terbagi 3 yakni

konjungtiva marginal, tarsal, orbital. Konjungtiva marginal membentang dari tepi

kelopak mata sekitar 2 mm pada bagian belakang kelopak sampai ke alur dangkal,

yakni sulkus subtarsalis. Bagian ini sebenarnya zona transisi antara kulit dan

konjungtiva lebih tepatnya. Konjungtiva tarsal tipis, transparan dan banyak

mengandung vaskular. Bagian ini melekat kuat pada seluruh tarsal kelopak mata

atas. Pada kelopak mata bawah, hanya melekat pada setengah bagian tarsal.

Konjungtiva orbital terletak longgar antara tarsal dan forniks.11

Konjungtiva bulbaris. Melekat longgar pada sclera dan melekat lebih erat

pada limbus kornea. Di sana epitel konjungtiva bergabung dangan epitel kornea.10

Bagian ini dipisahkan dari sklera anterior oleh jaringan episcleral dan kapsul

Tenon. Terdapat sebuah dataran tinggi 3-mm dari konjungtiva bulbaris sekitar

kornea disebut konjungtiva limbal.11

Konjungtiva fornix, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan

konjungtiva bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat

pada struktur sekitarnya, konjungtiva fornix ini melekat secara longgar dengan

struktur di bawahnya yaitu fasia muskulus levator palpebra superior serta

Page 10: Ikm Non Infeksi Pterigium

muskulus rektus. Karena perlekatannya bersifat longgar, maka konjungtiva fornix

dapat bergerak bebas bersama bola mata ketika otot-otot tersebut berkontraksi.10

Gambar 1.Konjungtiva terdiri dari konjungtiva bulbaris, konjungtiva forniks,

konjungtiva palpebralis. (dikutip dari kepustakaan 10)

Secara histologis, konjungtiva terdiri dari tiga lapisan (Gam.2) yaitu epitel,

lapisan adenoid, dan lapisan fibrosa.11

1. Epitel. Lapisan sel epitel di konjungtiva bervariasi pada masing-masing

daerah dan dalam bagian-bagian sebagai berikut: Konjungtiva marginal

memiliki 5 lapis epitel sel gepeng bertingkat. Konjungtiva tarsal memiliki 2

lapis epitel: lapisan superficial terdiri dari sel-sel silinder dan lapisan dalam

terdiri dari sel-sel datar. Konjungtiva forniks dan bulbaris memiliki 3 lapis

epitel: lapisan superfisial terdiri dari sel silindris, lapisan tengah terdiri dari

sel polyhedral dan lapisan dalam terdiri dari sel kubus. Limbal konjungtiva

memiliki lagi lapisan yang banyak (5 sampai 6 lapis) epitel berlapis gepeng.

2. Lapisan adenoid. Lapisan ini disebut juga lapisan limfoid dan terdiri dari

retikulum jaringan ikat halus dengan jerat di mana terdapat limfosit. Lapisan

ini paling pesat perkembangannya di forniks. Lapisan ini tidak di temukan

ketika bayi lahir tapi akan berkembang setelah 3-4 bulan awal kehidupan. Hal

ini menjelaskan bahwa peradangan konjungtiva pada bayi tidak

menghasilkan reaksi folikuler.

Page 11: Ikm Non Infeksi Pterigium

3. Lapisan fibrosa. Lapisan ini terdiri dari serat kolagen dan serat elastis.

Lapisan ini lebih tebal dari lapisan adenoid, kecuali di daerah konjungtiva

tarsal, di mana lapisan ini sangat tipis. Lapisan ini mengandung pembuluh

dan saraf dari konjungtiva. Lapisan ini bersatu dengan mendasari kapsul

Tenon di daerah konjungtiva bulbar.

Konjungtiva berisi dua jenis kelenjar, yakni kelenjar sekresi musin dan

kelenjar lakrimalis aksesoris. Kelenjar ini terdiri dari sel goblet (kelenjar

uniseluler yang terletak di dalam epitel), Crypts of Henle (terdapat di konjungtiva

tarsal) dan kelenjar Manz (ditemukan dalam konjungtiva limbal). Kelenjar-

kelenjar ini mensekresi mucus yang penting untuk membasahi kornea dan

konjungtiva. Kelenjar lakrimalis aksesoris terdiri dari: Kelenjar Krause (terdapat

pada jaringan ikat subconjunctival forniks, sekitar 42 buah di atas forniks dan 8

buah di bawah forniks) dan kelenjar Wolfring (terdapat di sepanjang batas atas

tarsus superior dan sepanjang batas bawah tarsus inferior).11

Gambar 2. Histologi konjungtiva normal

(Dikutip dari kepustakaan 11)

Page 12: Ikm Non Infeksi Pterigium

Gambar 3. Vaskularisasi Konjungtiva

(Dikutip dari kepustakaan 11)

Plica semilunaris merupakan lipatan seperti bulan sabit berwarna merah

muda dari konjungtiva yang terdapat di kantus medial. Batas bebas lateralnya

berbentuk cekung. Karunkula adalah massa kecil, oval, merah muda, terletak di

canthus bagian dalam. Pada kenyataannya, massa ini merupakan potongan

modifikasi kulit dan ditutupi dengan epitel gepeng bertingkat dan berisi kelenjar

keringat, kelenjar sebasea dan folikel rambut.11

Arteri yang memperdarahi konjungtiva berasal dari tiga sumber yakni

arkade arteri perifer palpebra, arkade arteri marginal kelopak mata, dan arteri

ciliaris anterior (Gam. 3). Konjungtiva palpebralis dan forniks diperdarahi oleh

cabang-cabang dari arkade arteri perifer dan marginal palpebra. Konjungtiva

bulbar diperdarahi oleh dua set pembuluh darah yaitu: arteri konjungtiva posterior

yang merupakan cabang dari arteri kelopak mata, dan arteri konjungtiva anterior

yang merupakan cabang dari arteri ciliaris anterior. Cabang terminal arteri

konjungtiva posterior membentuk anastomosis dengan arteri konjungtiva anterior

dan membentuk arkade pericorneal. Vena konjungtiva bermuara ke dalam vena

pleksus kelopak mata dan beberapa mengelilingi kornea dan bermuara ke vena

ciliaris anterior. Sistem limfatik konjungtiva tersusun dalam dua lapisan, yakni

superficial dan profunda. Sistem ini dari sisi lateral bermuara ke limfonodus

preaurikuler dan sisi medial bermuara ke limfonodus submandibular. Limbus

kornea pada konjungtiva dipersarafi oleh cabang-cabang dari nervus siliaris

Page 13: Ikm Non Infeksi Pterigium

panjang yang mempersarafi kornea. Sisa konjungtiva dipersarafi oleh cabang dari

lakrimal, infratrochlear, supratrochlear, supraorbital dan nervus frontal.11

IV. ETIOLOGI

Etiologi pterigium sepenuhnya belum diketahui. Tetapi penyakit ini lebih

sering pada orang tinggal di iklim panas. Oleh karena itu, anggapan yang paling

mungkin adalah pengaruh efek berkepanjangan faktor lingkungan seperti terpapar

sinar matahari (sinar ultraviolet), panas, angin tinggi dan debu.11 Baru-baru ini,

beberapa virus juga memiliki kemungkinan sebagai faktor etiologi.1

Efek merusak dari sinar UV menyebabkan penurunan sel induk limbal pada

kornea, yakni menyebabkan terjadinya insufisiensi limbal. Hal ini mengaktifkan

faktor pertumbuhan jaringan yang menginduksi angiogenesis dan proliferasi sel.1

Radiasi cahaya UV tipe B menjadi faktor lingkungan yang paling signifikan

dalam patogenesis pterigium. Penelitian terbaru telah melaporkan bahwa gen p53

dan human papilloma virus dapat juga terlibat dalam patogenesis pterigium.7

V. KLASIFIKASI

Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe,

stadium, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera,

yaitu: 12

Berdasarkan tipenya pterigium dibagi atas tiga:

Tipe I: Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau

menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas <2 mm dari kornea.

Stocker’s line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan kepala

pterigium. Lesi sering asimptomatis, meskipun sering mengalami inflamasi

ringan. Pasien yang memakai lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih

cepat.

Tipe II: disebut juga pterigium tipe primer advanced atau pterigium

rekuren tanpa keterlibatan zona optic. Pada tubuh pterigium sering nampak

kapiler-kapiler yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4 mm, dapat

Page 14: Ikm Non Infeksi Pterigium

primer atau rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan tear film dan

menimbulkan astigmat.

Tipe III: pterigium primer atau rekuren dangan keterlibatan zona optic.

Merupakan bentuk pterigium yang paling berat. Keterlibatan zona optic

membedakan tipe ini dengan tipe yang lain. Lesi mengenai kornea > 4mm dan

mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya pada kasus rekuren dapat

berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke forniks dan

biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata serta kebutaan.

Berdasarkan stadium pterigium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:18

Stadium-I : terbatas pada limbus

Stadium-II : pertengahan antara limbus dan pupil

Stadium-III : mencapai hingga tepi pupil

Stadium-IV : melewati tepi pupil

Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi 2 yaitu:11

Pterigium progresif: tebal, berdaging, dan vaskular dengan beberapa

infiltrat di kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium).

Pterigium regresif: tipis,atrofi, dengan sangat sedikit vaskularisasi. Tidak

terdapat kepala pterigium (cap pterigium). Akhirnya menjadi bentuk membran,

tetapi tidak pernah hilang.

Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan harus

diperiksa dengan slitlamp pterigium dibagi 3, yaitu:8

T1(atrofi): pembuluh darah episkleral jelas terlihat.

T2(intermediet): pembuluh darah episkleral sebagian terlihat.

T3(fleshy,opaque): pembuluh darah seluruhnya tidak terlihat.

Page 15: Ikm Non Infeksi Pterigium

Gbr 4. Pterigum stadium I.5 Gbr 5. Pterigium stadium II.10

Gbr.6. Pterigium stadium III.5 Gbr 7. Pterigium stadium IV.10

VI. PATOFISIOLOGI

Insidens pterigium meningkat pada orang dan populasi yang terus menerus

terpapar radiasi matahari yang berlebihan. Dalam hal ini sinar UV memainkan

bagian yang penting dalam patogenesis penyakit ini. Sinar UV memulai rantai

peristiwa terjadinya pterigium pada level intraselular dan ekstraselular yang

melibatkan DNA, RNA, dan komposisi matriks ekstraselular.13

Meskipun paparan sinar ultraviolet kronis memainkan peran utama,

patogenesis pterigium belum sepenuhnya dipahami. Infeksi virus, mekanisme

imunologi, remodeling matriks ekstraseluler, faktor pertumbuhan, sitokin,

antiapoptotic mekanisme, dan faktor angiogenik berbagai semuanya telah terlibat

dalam patogenesis.14 Patogenesis pterigium ditandai dengan degenerasi kolagen

dan elastotic proliferasi fibrovaskular yang menutupi epitel.4 Radiasi sinar UV

dapat menyebabkan mutasi pada gen seperti gen supresor tumor p53, sehingga

berakibat pada terekspresinya gen ini secara abnormal pada epitel pterigium.

Temuan ini menunjukkan bahwa pterigium bukan hanya lesi degeneratif, tetapi

bisa menjadi manifestasi dari proliferasi sel yang tak terkendali. Matriks

metalloproteinase (MMP) dan jaringan inhibitor MMPs (TIMPs) pada pinggir

Page 16: Ikm Non Infeksi Pterigium

pterigium mungkin bertanggung jawab untuk proses inflamasi, tissue remodeling,

dan angiogenesis yang menjadi ciri pterigium, serta perusakan lapisan Bowman

dan invasi pterigium ke dalam kornea.7 Sinar UV menyebabkan mutasi pada gen

suppressor tumor TP53 di sel basal limbal dan fibroblast elastic gene di epitel

limbal (Gambar 8). Karena kerusakan pada program apoptosis p53 oleh sinar UV,

mutasi juga terjadi pada gen lainnya. Hal ini menyebabkan multistep

perkembangan pterigium dan tumor sel limbal oleh ekspresi p53 pada sel epitel

limbal.15

Mutasi pada gen TP53 atau family TP53 pada sel basal limbal juga

menyebabkan terjadinya produksi berlebih dari TGF-β melalui jalur p53-Rb-TGF-

β. Oleh karena itu, pterigium merupakan tumor secreting TGF-β. Banyaknya

sekresi TGF-β oleh sel pterigium dapat menjelaskan macam-macam perubahan

jaringan dan ekspresi MMP yang terjadi pada pterigium. Pertama, sel pterigium

(sel epitel basal limbal) menghasilkan peningkatan MMP-2, MMP-9, MTI-MMP,

dan MT2-MMP, yang menyebabkan terputusnya perlekatan hemidesmosom.

Awalnya, sel pterigium akan bermigrasi secara sentrifugal ke segala arah menuju

ke adjacent dan limbal corneal, limbus, dan membran konjungtiva. Karena

produksi TGF-β oleh sel ini, terjadi penipisan jumlah lapisan pada daerah di

atas, dan tidak ada massa tumor yang nampak tapi sebagai tumor yang tidak

kelihatan. Selanjutnya, setelah perubahan pada seluruh sel basal limbus

berkembang dan semua hemidesmosom lepas dari sel-sel ini, terjadi migrasi sel ke

kornea diikuti oleh epitel konjungtiva, yang mengekspresikan 6 jenis MMP dan

berkontribusi terhadap penghancuran lapisan bowman pada kornea. Sebagai

tambahan, TGF-β yang diproduksi oleh sel pterigium menyebabkan peningkatan

monosit dan pembuluh darah kapiler dalam lapisan epitel dan stroma. Kemudian,

sekelompok fibroblast normal berkumpul dibawah invasive epitel limbus di

depan tepi yang rusak dari lapisan Bowman dan diaktivasi oleh jalur TGF-β-bFGF

untuk memproduksi MMP-1 dan MMP-3 yang juga membantu dalam

penghancuran lapisan bowman. Beberapa sitokin-sitokin ini mengaktivasi

fibroblast untuk bermigrasi untuk membentuk pulau kecil fibroblast yang

Page 17: Ikm Non Infeksi Pterigium

memproduksi MMP 1 dan juga berperan dalam penghancuran membran bowman.

Semua proses di atas dapat dilihat pada gambar. 8.15

Gambar 8.Kemungkinan jalur yang berperan dalam proses munculnya pterigium

(Dikutip dari kepustakaan 15)

Page 18: Ikm Non Infeksi Pterigium

Gambar 9. Patogenesis invasif pterigium

(Dikutip dari kepustakaan 15)

Tseng dkk juga berspekulasi bahwa pterigium mungkin dapat terjadi pada

daerah yang kekurangan limbal stem cell.7 Limbal stem cell adalah sumber

regenerasi epitel kornea.12 Defisiensi limbal stem cell menyebabkan

konjungtivalisasi kornea dari segala arah.5 Gejala dari defisiensi limbal adalah

pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi inflamasi kronis, kerusakan

membran pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada

pterigium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterigium

merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral

limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar UV terjadi kerusakan stem cell di

daerah interpalpebra.12

Page 19: Ikm Non Infeksi Pterigium

Gambar 10.A. Patogenesis pterigium: kerusakan limbal fokal oleh karena sinar

UV memicu migrasi mutasi limbal stem cell ke central kornea. B. defisiensi limbal

stem cell menyebabkan konjungtivalisasi kornea ke segala arah.

(Dikutip dari kepustakaan 5)

Patogenesis pterigium bisa melibatkan respon inflamasi, seperti sejumlah

besar limfosit infiltrasi sebagian besar sel-T (CD3 +), ditemukan di substantia

propria spesimen pterigium. Hasil ini menunjukkan bahwa mekanisme imunologi,

mungkin dari tipe hipersensitivitas 1, 3 dan 4 dapat berkontribusi pada

patogenesis pterigium.16

VII. GAMBARAN KLINIS

Pterigium lebih sering terjadi pada pria tua yang melakukan pekerjaan di

luar rumah. Pterigium mungkin terjadi unilateral atau bilateral. Penyakit ini

muncul sebagai lipatan segitiga konjungtiva yang mencapai kornea, biasanya di

sisi nasal. tetapi juga dapat terjadi di sisi temporal. Deposisi besi kadang-kadang

terlihat pada epitel kornea anterior disebut “Stocker’s line”. Pterigium terdiri dari

tiga bagian :11

Apeks (bagian apikal yang muncul pada kornea),

Collum (bagian limbal),

Corpus (bagian sklera) membentang antara limbus dan canthus.

Page 20: Ikm Non Infeksi Pterigium

Pterigium adalah kondisi asimtomatik pada tahap awal, kecuali pada

intoleransi kosmetik.11 Pterigium hanya akan bergejala ketika bagian kepalanya

menginvasi bagian tengah kornea dan aksis visual. Kekuatan tarikan yang terjadi

pada kornea dapat menyebabkan astigmatisme kornea. Pterigium lanjut yang

menyebabkan skar pada jaringan konjungtiva juga dapat secara perlahan-lahan

mengganggu motilitas okular, pasien kemudian akan mengalami penglihatan

ganda atau diplopia.10

Gambar 11. Pterigium

(Dikutip dari kepustakaan 11)

VIII. DIAGNOSIS

Anamnesis

Pasien dengan pterigium datang dengan berbagai keluhan, mulai dari tanpa

gejala sampai dengan gejala kemerahan yang signifikan, pembengkakan, gatal,

iritasi, dan penglihatan kabur berhubungan dengan elevasi lesi dari konjungtiva

dan dekat kornea pada satu atau kedua mata.9

Pterigium adalah kondisi asimtomatik pada tahap awal, kecuali pada

intoleransi kosmetik.11 Pterigium hanya akan bergejala ketika bagian kepalanya

menginvasi bagian tengah kornea dan aksis visual. Kekuatan tarikan yang terjadi

pada kornea dapat menyebabkan astigmatisme kornea. Pterigium lanjut yang

menyebabkan skar pada jaringan konjungtiva juga dapat secara perlahan-lahan

Page 21: Ikm Non Infeksi Pterigium

mengganggu motilitas okular, pasien kemudian akan mengalami penglihatan

ganda atau diplopia.10

Pemeriksaan fisik

Suatu pterigium dapat tampak sebagai salah satu dari berbagai perubahan

fibrovaskular pada permukaan konjungtiva dan kornea. Pterigium paling sering

ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat

pula ditemukan pterigium pada daerah temporal, serta di lokasi lainnya.9

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah

topografi kornea yang dapat sangat berguna dalam menentukan derajat seberapa

besar komplikasi berupa astigmatisme ireguler yang di sebabkan oleh pterigium.9

IX. DIAGNOSIS BANDING

Pterigium harus dibedakan dari pseudopterigium. Pseudopterigium

adalah lipatan konjungtiva bulbar yang melekat pada kornea. Hal ini terbentuk

karena adhesi dari konjungtiva bulbar dengan ulkus kornea marjinal. Hal ini

biasanya terjadi pada luka bakar akibat zat kimia pada mata.11

Selain itu pterigium juga didiagnosis banding dengan pingekulum yang

merupakan lesi kuning keputihan pada konjungtiva bulbar di daerah nasal atau

temporal limbus. Tampak seperti penumpukan lemak bisa karena iritasi maupun

karena air mata yang kurang baik. Pada umumnya tidak diperlukan terapi tetapi

pada kasus tertentu dapat diberikan steroid topikal.12

Pterigium Pseudopterigium Pinguekulum

Sebab Proses degeneratif

Reaksi tubuh penyembuhan dari

luka bakar, GO, difteri,dll.

Iritasi atau kualitas higienitas air yang kurang.

SondeTidak dapat dimasukkan dibawahnya

Dapat dimasukkan dibawahnya -

Kekambuhan Residif Tidak Tidak

Page 22: Ikm Non Infeksi Pterigium

Usia Dewasa Anak-anak Dewasa dan anak-anak

X. PENATALAKSANAAN

Pasien dengan pterigium dapat hanya diobervasi kecuali lesi menunjukkan

pertumbuhan menuju pusat kornea atau pasien menunjukkan gejala kemerahan

yang signifikan, ketidaknyamanan, atau perubahan dalam fungsi visual.9

Terapi Konservatif

Pengobatan konservatif pada pterigium terdiri dari topical lubricating drops atau

air mata buatan (misalnya, refresh tears, gen teal drops), serta sesekali

penggunaan jangka pendek tetes mata kortikosteroid topikal anti-inflamasi

(misalnya, Pred Forte 1%) bila gejala lebih intens. Selain itu, penggunaan

kacamata anti-UV disarankan untuk mengurangi paparan radiasi ultraviolet lebih

lanjut.9

Terapi pembedahan

Bedah eksisi adalah satu-satunya pengobatan yang memuaskan, yang

dapat diindikasikan untuk, menurut Ziegler :

Mengganggu visus

Mengganggu pergerakan bola mata

Berkembang progresif

Mendahului suatu operasi intraokuler

Kosmetik

Sedangkan menurut Guilermo Pico :

Progresif, resiko rekurensi > luas

Mengganggu visus

Mengganggu pergerakan bola mata

Masalah kosmetik

Di depan apeks pterigium terdapat Grey Zone

Pada pterigium dan kornea sekitarnya ada nodul pungtat

Terjadi kongesti (klinis) secara periodik

Page 23: Ikm Non Infeksi Pterigium

Penghilangan pterigium melibatkan bedah eksisi pada apeks, collum dan

corpus dari pterigium. Corpus dan dasar pterigium tersebut dibedah dengan

gunting konjungtiva, sedangkan apeks dan collum pterigium yang telah

menyerang kornea sering dihilangkan dengan pisau bedah. Dilakukan usaha untuk

mengidentifikasi bidang diseksi, yang memfasilitasi penghilangan pterigium

sekaligus mempertahankan permukaan halus kornea yang mendasarinya. Lapisan

stroma yang tersisa mungkin dapat dirapikan dengan pisau.7

Tujuan utama pembedahan adalah untuk sepenuhnya mengeluarkan

pterigium dan untuk mencegah terjadinya rekurensi.7

Berbagai teknik bedah yang digunakan saat ini untuk pengelolaan pterigium.17

Gambar 12. Teknik Operasi Pterigium

(Dikutip dari kepustakaan 17)

1. Bare sclera : tidak ada jahitan, bertujuan untuk menyatukan kembali kon-

jungtiva dengan permukaan sklera di depan insersio tendon rektus, meny-

isakan area sklera yang terkena. (teknik ini sudah tidak dapat diterima

karena tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan yang dapat menca-

pai 40-75% dan hal ini tidak direkomendasikan).

2. Simple closure: menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka, di-

mana teknik ini dilakukan bila luka pada konjungtiva relatif kecil.

Page 24: Ikm Non Infeksi Pterigium

3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi

untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap.

4. Rotational flap: dibuat insisi berbentuk huruf U disekitar luka bekas eksisi

untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian dile-

takkan pada bekas eksisi.

5. Conjungtival graft: suatu free graft yang biasanya diambil dari konjung-

tiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka kemudian

dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat jaringan.

(misalnya Tisseel VH, Baxter Healthcare, Dearfield, Illionis).

Rekurensi pada pterigium setelah dilakukan bedah eksisi menjadi masalah

yakni sekitar 30-50%.11 Eksisi Pterigium sering dikombinasikan dengan berbagai

langkah-langkah tambahan untuk mencegah rekurensi penyakit. Hal ini mungkin

secara luas diklasifikasikan sebagai metode medis adjuvan atau tambahan, beta-

iradiasi, dan metode pembedahan.7

Transplantasi Membran Amnion

Transplantasi membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah

kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran

amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan bahwa

itu adalah membran amnion berisi faktor penting untuk menghambat peradangan

dan fibrosis dan epithelialisasi. Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam

pada studi yang ada,diantara 2,6 persen dan 10,7 persen untuk pterigium primer

dan setinggi 37,5 persen untuk kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan dari

teknik ini selama autograft konjungtiva adalah pelestarian konjungtiva bulbar.

Membran Amnion biasanya ditempatkan di atas sklera , dengan membran basal

menghadap ke atas dan stroma menghadap ke bawah. Beberapa studi terbaru telah

menganjurkan penggunaan lem fibrin untuk membantu transplantasi membran

amnion menempel jaringan episcleral dibawahnya. Lem fibrin juga telah

digunakan dalam autograft konjungtiva.19

Terapi adjuvant (tambahan).

Intraoperatif dan pasca operasi mitomycin C tetap paling sering digunakan

sebagai terapi tambahan medis untuk pencegahan rekurensi pterigium. Beberapa

Page 25: Ikm Non Infeksi Pterigium

alternatif medis lainnya, seperti 5-fluorouracil dan daunorubisin, juga telah

dicoba.7

Terapi mitomycin C telah terbukti efektif dalam mencegah kekambuhan

pterigium primer dan untuk pterigium berulang. Tingkat kekambuhan yang

berhubungan dengan terapi mitomycin C secara signifikan lebih rendah

dibandingkan dengan eksisi bare sclera. Pada dasarnya dua bentuk aplikasi

mitomycin C yang saat ini digunakan - aplikasi intraoperatif pada spons bedah

yang direndam dalam larutan mitomycin C diterapkan secara langsung ke sclera

setelah eksisi pterigium, dan penggunaan pasca operasi mitomycin C topikal

sebagai obat tetes mata. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat kekambuhan

terkait penggunaan mitomycin C intra operasi dan pasca operasi tidak berbeda

secara signifikan.7

Dadeya dan Kamlesh mendemonstrasikan secara statistik perbedaan

signifikan dalam perbedaan tingkat kekambuhan pasien yang diobati dengan

daunorubisin dan mereka yang diobati dengan plasebo air. Mata yang diobati

lebih chemotic (20%), namun, dengan 6,7% setelah epitelisasi tertunda,

dibandingkan dengan mata kontrol, yang tidak memiliki komplikasi yang sama.7

XI. KOMPLIKASI

Komplikasi pterigium meliputi distorsi dan / atau pengurangan penglihatan

sentral, kemerahan, iritasi, jaringan parut/skar pada konjungtiva dan kornea serta

keterlibatan yang luas dari otot-otot ekstraokuler dapat membatasi motilitas okular

dan berkontribusi terhadap terjadinya diplopia. Pada pasien yang belum menjalani

bedah eksisi, jaringan parut dari otot rektus medial adalah penyebab paling umum

dari diplopia. Pada pasien dengan pterigium yang sebelumnya telah menjalani

eksisi bedah, jaringan parut atau disinsertion dari otot rektus medial adalah

penyebab paling umum dari diplopia.9

Komplikasi pasca operasi akhir radiasi beta pterygia dapat meliputi: Sclera

dan atau kornea yang menipis atau ektasia dapat muncul beberapa tahun atau

bahkan puluhan tahun setelah perawatan. Beberapa kasus bisa sangat sulit untuk

ditangani.9

Page 26: Ikm Non Infeksi Pterigium

Komplikasi yang paling umum dari operasi pterigium adalah rekurensi.

Bedah eksisi sederhana memiliki tingkat rekurensi tinggi sekitar 50-80%. Tingkat

rekurensi telah berkurang menjadi sekitar 5-15% dengan penggunaan autografts

konjungtiva / limbal atau transplantasi membran amnion pada saat eksisi. Pada

kesempatan langka, degenerasi ganas dari jaringan epitel yang melapisi sebuah

pterigium yang ada dapat terjadi.9

XII. PROGNOSIS

Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Kebanyakan

pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien dengan

pterigium rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva auto

graft atau transplantasi membran amnion.9

DAFTAR PUSTAKA

Page 27: Ikm Non Infeksi Pterigium

1. Dzunic B, Jovanovic P, et al.Analysis of pathohistologicalcharacteristics

of pterigium. BOSNIAN JOURNAL OF BASIC MEDICAL SCIENCE.

2010;10(4):308-13.

2. American Academy of Ofthalmology. 2012. www.AAO.org

3. Raju KV, Chandra A, Doctor R. Management of Pterigium- A Brief Re-

view. Kerala Journal of Ophthamology. 2008;10(4):63-5.

4. Jharmarwala M, Jhaveri R. Pterigium: A New Surgical Technique. Journal

Of The Bombay Ophthamologists’ Association. 2008;11(4):129-30.

5. Chui J, Coroneo TM, et al. Ophthalmic Ptrygium A Stem Cell Disorder

with Premalignant Features. The American Journal of Pathology.

2011;178(2):817-27.

6. Sharma KA, Wali V, Pandita A. Cornea-Conjungtival Auto Grafting in

Pterigium Surgery. Postgraduate Department of Opthalmology, Govt.

Medical College, Jammu. 2004;6(3):149-52.

7. Ang KPL, Chua LLJ, Dan HTD. Current concepts and techniques in pte-

rigium treatment. Curr Opin Ophthalmol. 2006;18: 308–313.

8. Gazzard G, Saw MS, et al. Pterigium in Indonesia: prevalence, severity,

and risk factors.Br J Ophthalmol .2002;86:1341–46.

9. Fisher PJ. Pterigium. Updated : 2012. Available from: URL:http://

emedicine.medscape.com/article/1192527-overview.Accessed July 7,2012.

10. Lang KG, Lang EG. Conjunctiva. In:, Lang KG, Gareis O, Lang EG,

Recker D, Wagner P, editors. Ophthalmology: A Pocket Textbook Atlas

2nd ed. New York: Thieme Stuttgart. 2006. p. 67 - 72.

11. Khurana KA. Diseases of the Conjunctiva. In:, Khurana KA, editors.

Comprehensive Ophthalmology 4th ed. New Delhi: New Age International.

2007. p. 51 - 82.

12. Laszuarni.Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat. Updated :

2009.Available from: URL: repository.usu.ac.id.Accessed July 7 ,2012.

Page 28: Ikm Non Infeksi Pterigium

13. Solomon A.S. Pterygium. British.Journal.Ophtalmology.p.665 [online].

2010. [cited 2011 December 12]. Availble from : http:// bjo.bmjjournals. -

com

14. Eva Paul Riordan, Witcher JP. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum.

Edisi 17. McGraw-Hill Companies. London. 2008. p 5-6;119

15. Shaw Jean. New Approach Emerges for Pterygium Surgery. American

Academy of Opthalmogy. p 27-29

16. Redy VS, Mitra SK, Kumar V. Ophthocare in Pterigium and Dacryocytis.

The Antiseptic. 1998;95(11):1-4.

17. Ilyas sidarta, Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. Fakultas Kedokteran In-

donesia. Jakarta. 2005. p 119

18. Maheswari, sejal. Pterygium-induced corneal refractive change. [online]

2007. [cited 2013 oktober 4]. Available from : http//www.ijo.in./arti-

cle.asp?issn.

19. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. Manage-

ment of Pterygium. Cited on 5 November 2013. Available from http://

www.aao.org/aao/publications/eyenet/201011/pearls.cfm