31
IJTIHAD IJTIHAD OLEH : OLEH : RINNANIK, S.H.I RINNANIK, S.H.I

IJTIHAD OLEH : RINNANIK, S.H.I

  • Upload
    seth

  • View
    221

  • Download
    5

Embed Size (px)

DESCRIPTION

IJTIHAD OLEH : RINNANIK, S.H.I. BAB I Pengertian I jtihad. Secara etimologi, Ijtihad berarti mencurahkan segala kemampuan atau memikul beban Secara terminologi, Ijtihad berarti mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan hukum syara’ tentang suatu masalah dari sumber hukum yang terperinci. - PowerPoint PPT Presentation

Citation preview

IJTIHAD IJTIHAD OLEH :OLEH :

RINNANIK, S.H.IRINNANIK, S.H.I

IJTIHAD IJTIHAD OLEH :OLEH :

RINNANIK, S.H.IRINNANIK, S.H.I

BAB IPengertian Ijtihad

• Secara etimologi, Ijtihad berarti mencurahkan segala

kemampuan atau memikul beban

• Secara terminologi, Ijtihad berarti mencurahkan kemampuan

untuk mendapatkan hukum syara’ tentang suatu masalah

dari sumber hukum yang terperinci.

Ijtihad (Arab: اجتهاد) adalah sebuah usaha yang

sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan

oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk

memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al

Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal

sehat dan pertimbangan matang. Namun pada

perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad

sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama Islam. Orang

yang melakukan ijtihad disebut Mujtahid.

B. Tujuan Ijtihad

untuk memenuhi keperluan umat manusia akan

pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di

suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu

tertentu.

C. Fungsi Ijtihad

Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan

lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia

diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain

itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran

dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah

baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan

baru dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan

beragama sehari-hari.

Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di

suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu,

maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang

dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam

Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka

persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada

sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits

itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara

yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al

Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam

memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak

membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan

paham Al Quran dan Al Hadist.

Dasar Hukum Ijtihad

• Qs. An-Nisa’: 59

“Hai orang-orang beriman taatilah Alloh dan RosulNya dan ulil amri di

antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang

sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Alloh dan Rosul, jika kamu

benar-benar beriman kepada Alloh dan hari kemudian...

• Qs. An- Nisa’: 83

“...Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rosul dan ulil amri di

antara mereka , tentulah orang-orang yng ingin mengetahui

kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka.”

Lanjutan• Qs. Asy-syura: 38

...Sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah diantara mereka...

• Qs. Ali Imran:159

...dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu...

• Hadits Nabi

Ummatku tdk akan melakukan kesepakatan terhadap yang salah (HR. Tarmizi)

• Apabila hakim memutuskan hukum dan ia berijtihad, kemudian ternyata

ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala dan jika ijtihadnya keliru maka

ia mendapat satu pahala

BAB II Macam-macam

IjtihadA. Ijma'

Ijma' artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama

dalam menetapkan suatu hukum hukum dalam agama

berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara

yang terjadi. Adalah keputusan bersama yang dilakukan

oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian

dirundingkan dan disepakati. Hasil dari ijma adalah fatwa,

yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang

berwenang untuk diikuti seluruh umat.

B. Qiyâs

Qiyas artinya menggabungkan atau menyamakan artinya

menetapkan suatu hukum suatu perkara yang baru yang

belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki

kesamaan dalam sebab, manfaat, bahaya dan berbagai

aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi

sama. Dalam Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat, bila

memang terdapat hal hal yang ternyata belum

ditetapkan pada masa-masa sebelumnya

Beberapa definisi qiyâs (analogi)

~ Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju

kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan

diantara keduanya.

~ Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif

lainnya, melalui suatu persamaan diantaranya.

~ Tindakan menganalogikan hukum yang sudah

ada penjelasan di dalam [Al-Qur'an] atau [Hadis]

dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab

(iladh).

C. Istihsân

Beberapa definisi Istihsân

~ Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli

fikih), hanya karena dia merasa hal itu adalah

benar.

~ Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa

bisa diekspresikan secara lisan olehnya

Mengganti argumen dengan fakta yang dapat

diterima, untuk maslahat orang banyak.

~ Tindakan memutuskan suatu perkara untuk

mencegah kemudharatan.

~ Tindakan menganalogikan suatu perkara di

masyarakat terhadap perkara yang ada

sebelumnya.

.

D. Mushalat murshalah

Mushalat murshalah adalah tindakan memutuskan

masalah yang tidak ada naskhnya dengan pertimbangan

kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik

manfaat dan menghindari kemudharatan.

E. Sududz Dzariah

Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi

makruh atau haram demi kepentinagn umat.

F. Istishab

Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan

sampai ada alasan yang bisa mengubahnya.

G. Urf

Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-

istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan

tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal

dalam Alquran dan Hadis.

BAB IIICARA-CARA IJTIHAD

MUJTAHID BERIJTIHAD dengan memperhatikan dalil-dalil yang tinggi tingkatannya

kemudian berurut pada tingkatan berikutnya. Urutan berikut sebagai berikut:

1) Nash Alqur’an

2) Khabar (hadis) mutawatir

3) Khabar Ahad,

4) Zahir Qur’an

5) zahir hadis

Apabila dalam urutan itu tidak didapatkan, hendaknya

memperhatikan perbuatan-perbuatan Nabi kemudian

taqrirnya. Jika melalui ini pun tidak didapatkan, maka

hendaknya memperhatikan fatwa-fatwa sahabat. Jika tidak

didapat, barulah ditetapkan melalui qiyas atau dengan

salah satu dalil yang dapat dibenarkan melalui syara,

dengan memperhatikan kemaslahatan (kebaikan). Jika

didapatkan dalil yang berlawanan, hendaknya

mengumpulkan dalil-dalil men urut kaidah yang

dibenarkan. Jika tidak mungkin mengumpulkan, diambil

salah satu yang lebih kuat

Apabila sama-sama kuat, hendaknya menasakhkan, atau

mencari yang terdahulu dan yang kemudian, yang dahulu

itulah yang dibatalkan. Kalau tidak diketahui, hendaknya

berhenti (tawaquf), tidak boleh menetapkan hukum

dengan dalil yang bertentangan, hendaknya

menggunakan dalil yang lebih renddah tingkatannya.

Demikian ketatnya cara berijtihad sehingga hanya orang

yang memiliki kemampuan optimal saja yang mampu

menjadi mujtahid.

Syarat-syarat Mujtahid

• Mengetahui isi Alqur’an dan hadis yang bersangkutan dengan

hukum, meski pun tidak hapal di luar kepala.

• Mengetahui bahasa arab dengan berbagai ilmu

kebahasaannya, seperti nahwu, sharaf, maani, bayan, badi,

agar dapat menafsirkan ayat-ayat Alqur’an atau sunnah

dengan cara yang benar.

• Mengetahui kaidah-kaidah ilmu ushul yang seluas-luasnya,

karena ilmu ini menjadi dasar berijtihad.

• Mengetahui soal-soal ijma, supaya tidak timbul pendapat

yang bertentangan dengan hasil ijma

• Mengetahui nasikh-mansukh dalam alqur’an

• Mengetahui ilmu riwyah dan dapat membedakan mana hadist

yang sahih dan hasan, mana yang dhaif, naqbul dan mardud

• Mengetahui rahasia-rahasia tasyri (asrarusy sya’riyah), yaitu

kaidah-kaidah yang menerangkan tujuan syara dalam

meletakkan beban taklif kepada mukallaf

BAB IVKedudukan Ijtihad

Berbeda dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, ijtihad terikat dengan

ketentuan-ketentuan sebagi berikut :

a. Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat

melahirkan keputusan yang mutlak absolut. Sebab ijtihad

merupakan aktifitas akal pikiran manusia yang relatif. Sebagai

produk pikiran manusia yang relatif maka keputusan daripada

suatu ijtihad pun adalah relatif.

b. Sesuatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin

berlaku bagi seseorang tapi tidak berlaku bagi orang lain.

Berlaku untuk satu masa / tempat tapi tidak

berlaku pada masa / tempat yang lain.

c. Ijtihad tidak berlaku dalam urusan

penambahan � ibadah mahdhah. Sebab urusan

ibadah mahdhah hanya diatur oleh Allah dan

Rasulullah.

d. Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan

dengan al-Qur'an dan as-Sunnah.

e. Dalam proses berijtihad hendaknya

dipertimbangkan faktor-faktor motifasi, akibat,

kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama dan

nilai-nilai yang menjadi ciri dan jiwa daripada

ajaran Islam.

BAB VIjtihad Dari Masa ke Masa

Salah satu mekanisme ijtihad yang dilakukan pada masa

Khafilah Abu Bakar As-Shiddiq adalah dengan mengumpulkan

para sahabat untuk bermusyawarah menentukan hukum

terhadap suatu permasalahan. Suatu hari, salah seorang

sahabat yakni Amr bin Ash diketahui melaksanakan shalat

tanpa terlebih dahulu mandi padahal dia dalam keadaan

junub. Amr ketika itu hanya bertayamum. Kontan hal tersebut

menimbulkan pertanyaan di kalangan para sahabat.

Untuk menengahi persoalan itu, Rasulullah SAW lantas

bersabda dalam rangka membenarkan perbuatan Amr,

"Apabila seorang hakim berijtihad dan benar, maka baginya

dua pahala, tetapi bila berijtihad lalu keliru maka baginya

satu pahala." (HR Bukhari dan Muslim). Dalam buku

Ensiklopedi Islam, dari sejarahnya, ijtihad memang sudah

ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW dan beliau sendiri

merupakan mujtahid (ahli ijtihad) pertama. Ijtihadnya

terbatas pada masalah-masalah yang belum ditetapkan

hukumnya oleh Alquran. Bila hasil ijtihad Rasulullah benar

maka akan turun wahyu membenarkannya.

Adapun jika sebaliknya, turunlah wahyu untuk

meluruskan kesalahan tersebut. Ijtihad banyak

digunakanan pada masa sahabat sebab setelah wafatnya

Rasul, tentu saja wahyu tidak lagi diturunkan demikian

pula hadis pun tidak bertambah. Sementara di sisi lain,

problema yang timbul di tengah umat makin bertambah,

baik ragam maupun jumlah. Salah satu mekanisme ijtihad

yang dilaksanakan pada zaman Khalifah Abu Bakar Ash-

Shiddiq adalah dengan mengumpulkan para sahabat guna

bermusyarawah serta menentukan hukum terhadap

permasalahan tertentu.

Hal yang sama juga dilakukan pada masa kekhalifahan

berikutnya terutama pada masalah-masalah yang tidak

ditemukan nash-nya dalam Alquran. Ijtihad ini kian

mengalami perkembangan setelah masa sahabat.

Kemunculan sejumlah mujtahid besar semisal Abdullah bin

Umar bin Khattab, Ibn Shihad az-Zuhri, Abdullah bin Abbas,

Anas bin Malik dan masih banyak lagi, menandai hal

tersebut.

Pada abad kedua dan keempat Hijriyah, ijtihad mencapai

masa perkembangan paling pesat. Masa ini pula

kemudian dikenal dengan periode pembukuan sunah dan

fikih demikian pula munculnya para mujtahid terkemuka

yang merupakan imam-imam mazhab, antara lain Imam

Malik, Imam Hanafi, Imam Syafii serta Imam Hanbali.

Akan tetapi ijtihad mulai mengalami kemunduran setelah

abad keempat Hijriyah. Muncul pendapat yang

menyatakan pintu ijtihad telah tertutup lantaran umat

Muslim merasa sudah cukup dengan pendapat mujtahid

sebelumnya

Selain itu, tidak lagi muncul mujtahid-mujtahid handal

yang memiliki kemampuan seperti para mujtahid

sebelumnya. Sebenarnya, apa ijtihad itu? Dalam bidang

fikih, ijtihad berarti mengerahkan segala tenaga dan

pikiran untuk menyelidiki dan mengeluarkan (meng-

istinbat-kan) hukum-hukum yang terkandung dalam

Alquran dengan syarat-syarat tertentu. Sedangkan

menurut para ahli ushul fikih, antara lain Imam asy-

Syaukani dan Imam az-Zarkansi, ijtihad adalah

mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan syarak

(hukum Islam) yang operasional dengan istinbat

(mengambil kesimpulan hukum).

Terdapat tiga hukum ijtihad seperti ditetapkan oleh ahli

ushul fikih, antara lain fardlu ain (wajib bagi setiap

orang), fardlu kifayah (cukup dilakukan sebagian orang)

serta mandub (sunah). Dalam pandangan Ketua Ikatan

Dai Indonesia, KH Ahmad Satori, saat ini ijtihad juga

banyak diterapkan untuk menjawab dan mencari solusi

terhadap permasalahan kekinian atau ibadah yang

sifatnya ghoiru mahdhah (ibadah yang bukan termasuk

'paket' dari Rasulullah) atau yang berupa bidang

muamalah.

Sementara yang sifatnya ibadah mahdhah atau ibadah

yang dipaketkan oleh Rasulullah seperti haji, puasa, dan

shalat tidak bisa untuk diijtihadkan. "Maka ketika ada

sementara pihak yang melakukan inovasi dalam hal

shalat dan ibadah lainnya, tentu saja para ulama dan

umat Muslim sangat keberatan. Karena memang tidak

pernah ada ijtihad untuk praktek ibadah sejak dahulu

kala," tegas Ahmad Satori

Namun begitu, Ahmad menolak jika dikatakan Islam agak

kaku terkait penerapan inovasi pada bidang ibadah. Dia

mengatakan bahwa dalam persoalan tauhid ini, ada hal-

hal yang sifatnya konstan dan tidak bisa diganggu gugat

dan ada pula hal-hal yang dapat disesuaikan."Misalnya

saja kiblat umat Islam yakni Kabah di Makkah, apakah

bisa begitu saja kita alihkan ke tempat lain? Tentu saja

tidak bisa kan." Sebaliknya pada beberapa praktek

ibadah, ambil contoh ketika harus melaksanakan shalat

di perjalanan, maka seorang Muslim bisa tidak harus

shalat menghadap kiblat.

Ini menunjukkan bahwa Islam juga bisa sangat fleksibel

dalam penerapan ibadah. Pada kesempatan terpisah,

Thabrani Syabirin, Wakil Ketua Majelis Tabligh dan

Dakwah Khusus PP Muhammadiyah, juga menyatakan

penerapan ijtihad pada umumnya hanya untuk hal-hal

yang berkaitan dengan permasalahan aktual bagi

kemaslahatan umat. Ini antara lain menyangkut praktek

jual beli, utang piutang, bunga perbankan dan

sebagainya. Sementara untuk persoalan ibadah, Thabrani

sependapat bahwa tidak bisa diutak-atik.