45
i IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu Kajian Tentang Penerapan Teori Maqa>s}id al-Shari>‘ah) Tesis Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister dalam Bidang Syari’ah Oleh: Ali Mutakin NIM: 12.2.00.1.09.0003 Pembimbing Prof. Dr. Huzaimah T. Yanggo, MA KONSENTRASI SYARI’AH SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015/1436

IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39396/1/ALI... · IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu

  • Upload
    ngocong

  • View
    263

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39396/1/ALI... · IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu

i

IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA

TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA

(Suatu Kajian Tentang Penerapan Teori Maqa>s}id al-Shari>‘ah)

Tesis

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister

dalam Bidang Syari’ah

Oleh:

Ali Mutakin

NIM: 12.2.00.1.09.0003

Pembimbing

Prof. Dr. Huzaimah T. Yanggo, MA

KONSENTRASI SYARI’AH

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2015/1436

Page 2: IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39396/1/ALI... · IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu

ii

Page 3: IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39396/1/ALI... · IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu

iii

ميحرلا نمحرلا هللا مسب

KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis ucapkan kepada Allah Swt. yang telah

melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada penulis, sehingga dapat

menyelesaikan penulisan Tesis ini. Shalawat serta salam sejahtera penulis

haturkan keharibaan Nabi pilihan, Nabi Muhammad Saw. yang telah

mencerdaskan manusia dari alam jahiliyyah menuju alam ilmiah dan membimbing

umat manusia agar selalu berada dalam naungan petunjuk agama yang dibawanya.

Dengan penuh kesadaran dan kerendahan hati, penulis mengakui bahwa

penulisan Tesis ini tidak hanya jerih payah sendiri akan tetapi Tesis dapat

terselesaikan berkat bimbingan, dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu

dengan segala keikhlasan hati, penulis ingin memberikan penghargaan yang

setinggi-tinggi dan mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada

semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas ini, mereka adalah:

1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta dan Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA. Selaku Direktur Sekolah

Pascasarjana (SPs) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Prof. Dr. Huzaimah T. Yanggo, MA yang telah membimbing penulisan

dan penyempurnaan tesis ini.

3. Bapak Dirjen Pendidikan Islam (Pendis) Kementerian Agama R.I beserta

seluruh stafnya yang telah memberikan bantuan dana kepada penulis selama

menempuh studi Program Magister (S2) di Sekolah Pascasarjana (SPs)

Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta.

4. Bapak Prof. DR. Suwito, MA, DR. Yusuf Rahman, MA, Prof. Dr. Said Aqil

Husein Munawar, MA, Prof. DR. H. Atho Mudhar, MA, Prof. Dr. Abudin

Nata, MA, Prof. DR. Yunan Yusuf, MA, Prof. Dr. Salman Harun, MA, DR.

Moqsid Ghozali, MA, Dr. Asep Jahar, MA, DR. A. Luthfi Fatullah, MA, dan

segenap dosen Sekolah Pascasarjana (SPs) yang telah memberikan motivasi

dan support serta ilmunya kepada penulis.

5. Segenap Staf dan Karyawan, petugas Perpustakan Sekolah Pascasarjana

yang telah membantu penulis dalam berbagai macam hal yang berkenan

dengan studi penulis.

6. KH. Zulfa Mustofa, KH. Arwani Faishal, KH. Masdar F. Masudi, Pengurus

dan staff PBNU yang telah memberikan data dan bantuan lainnya selama

penulis melakukan kegiatan penelitian dalam rangka penyelesaian tesis ini.

7. Abah (alm); Habib Saggaf bin Mahdi bin Syeikh Abi Bakar bin Salim, Umi

Waheeda, S.Psi, M.Si binti Abdurrahman yang telah mengasuh, mendidik,

Page 4: IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39396/1/ALI... · IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu

iv

dan membimbing serta memberikan restu untuk menimba ilmu di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

8. Yang terhormat kedua orang tua dan mertua penulis; Rubadi, Siti Niswatin

Chasanah, (alm) Tasroni, dan Khotijah yang dengan tulus ikhlas selalu

mendo’akan keberhasilan penulis dalam menempuh studi ini.

9. Yang tercinta isteri penulis Isroiliyah, S.Sy yang dengan penuh kesetiaan

mendampingi penulis dalam suka maupun duka selama menempuh studi di

Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Tentu saja yang paling istimewa

buah hati penulis; Nabila Zahra yang selalu menjadi penghibur di saat gundah

dan penenang di saat gelisah. Kakak-kakak, adik-adikku terima kasih atas

semua dukungan kepada penulis.

10. Teman-teman seperjuangan mahasiswa program beasiswa angkatan 2012

yang telah saling berbagi ilmu pengetahuan dan pengalaman selama

menjalankan tugas belajar di Sekolah Pascasarjana, mudah-mudahan

silaturahmi dan ukhuwah Islamiyah dan Imaniyah tetap terjalin.

11. Kepada semua pihak yang telah membantu, penulis ucapkan banyak terima

kasih. Semoga segala bantuan dan amal baik yang telah diberikan kepada

penulis dapat menjadi amal ibadah dan mendapatkan balasan yang lebih baik

dari Allah Swt.

Akhirnya, penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat khususnya bagi

penulis sendiri dan umumnya bagi pembaca sekalian. Amiin ya rabbal alamin.

Jakarta, 16 Februari 2015

Penulis

Page 5: IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39396/1/ALI... · IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu

v

PERNYATAAN

Dengan sesungguhnya, saya Ali Mutakin, Nomor Induk Mahasiswa

12.2.00.1.09.0003 menyatakan bahwa tesis yang berjudul Ijtihad Nahdlatul

Ulama Tentang Perkawinan Beda Agama (Suatu Kajian Tentang Penerapan Teori

Maqa>s}id al-Shari>‘ah) adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan orang

lain untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Sepanjang pengetahuan saya, tidak terdapat pula karya yang pernah ditulis orang

lain kecuali yang tertera dalam catatan kaki dan daftar pustaka.

Surat pernyataan ini dibuat dengan penuh kesadaran, karenanya jika saya

melanggar pernyataan ini maka saya menyatakan bersedia dikenakan sanksi

akademik yang berlaku di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Demikian surat pernyataan ini dibuat dan dapat dipertanggungjawabkan

sebagaimana mestinya.

Jakarta, 16 Februari 2015

Penulis

Page 6: IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39396/1/ALI... · IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu

vi

Page 7: IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39396/1/ALI... · IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu

vii

SURAT PERSETUJUAN

Tesis yang berjudul‚ Ijtihad Nahdlatul Ulama Tentang Perkawinan Beda Agama

(Suatu Kajian Tentang Penerapan Teori Maqa>s}id al-Shari>‘ah) yang ditulis oleh

Ali Mutakin, Nomor Induk Mahasiswa 12.2.00.1.09.0003, telah dinyatakan lulus

dalam ujian Pendahuluan Tesis pada tanggal 05 Februari 2015 dan telah

diperbaiki sesuai dengan aturan dan komentar dari Tim Penguji, sehingga layak

untuk diajukan pada Sidang Promosi Tesis.

TIM PENGUJI

1. Dr. YUSUF RAHMAN, MA ( ……………………... )

(Ketua sidang/Merangkap Penguji)

2. Prof. Dr. ZAINUN KAMAL, MA ( ……………………... )

(Penguji I)

3. Prof. Dr. SYUKRON KAMIL, MA ( ……………………... )

(Penguji II)

4. Prof. Dr. HUZAIMAH T YANGGO, MA ( ……………………... )

(Pembimbing/merangkap penguji I)

Page 8: IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39396/1/ALI... · IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu

viii

Page 9: IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39396/1/ALI... · IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu

ix

ABSTRAK

Nama : Ali Mutakin

NIM : 12.2.00.1.09.09.0003

Judul : Ijtihad Nahdlatul Ulama Tentang Perkawinan Beda Agama

(Suatu Kajian Tentang Penerapan Teori Maqa>s}id al-Shari>‘ah)

Tesis ini membuktikan bahwa semakin kontekstualis dalam memahami

nas} shari>‘ah, maka semakin dekat dengan kemaslahatan. Hal ini ditunjukan oleh

metode ijtihad LBMNU (Lajnah Bah}th al-Masa>’il Nahdlatul Ulama) dalam

menyelesaikan kasus perkawinan beda agama. Metode tersebut adalah metode

Qawli> dengan cara Taqri>r Jama>‘i> (penetepan secara kolektif). Aqwa>l (pendapat)

ulama diseleksi secara ketat dengan memilih yang paling maslahat untuk

kepentingan masyarakat dengan pertimbangan mas}lah}ah ‘a>mmah atau maqa>s}id al-shari>>‘ah. Melalui keputusanya, LBMNU membuktikan bahwa larangan

perkawinan beda agama dengan pendekatan maslahat di Indonesia selaras dengan

konsep maqa>s}id al-shari>‘ah pada hukum Islam.

Tesis ini memperkuat pendapat M. S}aghīr Hasan Ma‘s}u>mi dalam “Ijtihād Through Fourteen Centuries” yang berpendapat bahwa Setiap penafsiran baru

dari teks atau doktrin, keyakinan atau hukum syari’at tidak dapat diterima,

kecuali didasarkan pada penggunaan teks dan penalaran. Dan Muhammad Qasim

Zaman dalam “Evolving Conceptions of Ijtihād in Modern South Asia” yang

mengatakan bahwa pemahaman ilmiah dari teks-teks dasar seharusnya kembali

pada tradisi sebelumnya dan berkelanjutan pada konteksnya, karena kepentingan

itu tidak mengambil bentuk bukti tekstual tertentu dalam mendukung setiap tafsir

tunggal.

Kesimpulan tesis ini sekaligus menolak pendapat Bernard Weiss

dalam“Interpretation in Islamic Law: The Theory of Ijtiha>d” yang menyatakan

bahwa Nas} (Al-Qur’an dan Sunnah) itu adalah teks-teks suci, karena mereka

adalah produk dari inspirasi Tuhan. Sedangkan Ijma’ juga dapat dianggap sebagai

suci sejauh ia merupakan produk yang terinspirasi dari Tuhan yang diberikan pada

Masyarakat, untuk menjaga dari kesalahan. Oleh karena itu, untuk mengeluarkan

hukum atau aturan dari sumber-sumber tersebut harus memahaminya secara

eksklusif text-oriented.

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif filosofis.

Pendekatan ini akan dititik beratkan pada pola yuridis dan us}u>liyyah yaitu suatu

pendekatan yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah, dengan metode istinba>t} dan dianalisis dengan memakai kerangka ilmu us}u>l al-fiqh, perlu juga dilihat

hubungan antara metode istinba>t} hukum Islam dengan maqa>s{id al-shari>‘ah atau

tujuan-tujuan syari’at, yang nantinya guna melihat sejauh mana penerapan teori

atau prinsip maqa>s{id al-shari>‘ah dalam pemikiran Lajnah Bah}th al-Masa>il NU.

Sumber utama tesis ini adalah hasil Bah}th al-Masa>’il NU baik melalui Muktamar,

Page 10: IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39396/1/ALI... · IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu

x

Munas maupun Konbes NU. Sedangkan sumber sekundernya diperoleh dari kitab-

kitab us}u>l al-fiqh, Kompilasi Hukum Islam, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

tentang perkawinan, buku-buku dan tulisan yang ada relevansinya dengan tesis

ini baik yang ditulis oleh ahli hukum positif maupun ahli hukum Islam, termasuk

hasil penelitian, seminar dan jurnal maupun artikel tentang hukum.

Kata Kunci: LBNU, Ijtihad, Maqa>s}id al-Shari>‘ah, Perkawinan Beda Agama

Page 11: IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39396/1/ALI... · IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu

xi

:

12.2.00.1.09.09.0003 :

:

.

” “

(Bernard Weiss) ”

Page 12: IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39396/1/ALI... · IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu

xii

Page 13: IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39396/1/ALI... · IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu

xiii

ABSTRACT

Name : Ali Mutakin

NIM : 12.2.00.1.09.09.0003

: Nahdlatul Ulama Ijtihad On Interfaith Marriage (A Study Of

The Application Of The Theory Maqa>s}id al-Shari>‘ah)

This thesis proves that the contextualist in understanding nas} shari>'ah,

the closer to the benefit. This is indicated by the method ijtihad used by LBMNU

(Lajnah Bah}th al-Masa>’il NU) in resolving the case of interfaith marriage. The

method is a method Qawli> by means Taqri>r Jama>‘i> (determination collectively).

Aqwa>l (opinion) scholars rigorously selected by selecting the most serious

benefits for the public interest considerations mas}}lah}ah ‘a>mmah or maqa>s}id al-shari>>‘ah. Through his decision, LBMNU prove that interfaith marriage

prohibition approach to beneficiaries in Indonesia in line with the concept

maqa>s}id al-shari>‘ah on Islamic law.

This thesis agrees with M. S{aghir Ḥasan Ma‘su>m in “Ijtiha>d Through Fourteen Centuries” who believes that each new interpretation of the text or

doctrine, belief or shari>‘ah law can not be accepted, unless based on the use of

text and reasoning. And Muhammad Qasim Zaman in “Evolving Conceptions of Ijtiha>d in Modern South Asia” which says that scientific understanding of basic

texts should be anchored in the tradition of previous and ongoing on the context,

because those interests do not take the form of specific textual evidence to

support any single interpretation.

This thesis rejected Bernard Weiss in “Interpretation in Islamic Law: The Theory of ijtiha>d” which states that nas} (Al-Qur'an and Sunnah) that is sacred

texts, because they are a product of God’s inspiration. While consensus can also

be considered as sacred as far as it is a product that is inspired by God conferred

on the community, to take care of mistakes. Therefore, to issue laws or

regulations of such resources must be understood exclusively text-oriented.

This study uses normative philosophical approaches. This approach will

focus in the pattern of juridical and us}u>liyah is an approach that is based on the

Qur’an and Sunnah, with istinba>t} method and analyzed using the framework of

the science of us}u>l al-fiqh, have also seen the relationship between Islamic law

istinba>t}} method with maqa>s}id al-shari>‘ah or objectives of the Shari>‘ah, which

later to see how far the application of theory or principle maqa>s}id al-shari>‘ah in

committee thought Dissension amid NU. The main source of this thesis is the

result Bah}th al-Masa>’il NU either through Congress, National Conference and

Konbes NU. While secondary sources are derived from the books of us}u>l al-fiqh,

Compilation of Islamic Law, Law No. 1 of 1974 on marriage, books and papers

relevant to this thesis, both written by the positive law and Islamic law experts,

including research, seminars and journals as well as articles about the law.

Keywords: LBMNU, Ijtihad, Maqa>s}id al-Shari>‘ah, Interfaith Marriage

Page 14: IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39396/1/ALI... · IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu

xiv

Page 15: IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39396/1/ALI... · IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu

xv

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN

1. Konsonan

B = S = K =

T = Sh = L =

Th = S{ = M =

J = D{ = N =

H{ = T{ = W =

Kh = Z{ = H =

D = ‘ = ’ = ء

Dh = Gh = Y =

R = F =

Z = Q =

2. Vokal

Vokal Tunggal Vokal Rangkap

3. Maddah (Panjang)

Harakat dan Huruf Huruf dan Tanda

ا َ a>

يْ َ i@>

و َ u>

Tanda dan

Huruf

Huruf Latin

ـ يْ ay

aw ـ وْ

Tanda Huruf Latin

a

I

U

Page 16: IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39396/1/ALI... · IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu

xvi

Contoh:

= Ka>na = Qi>la

= Da‘a> = Yaqu>lu

4. Ta’ Marbu>t}}ah a. Ta>’ Marbu>t}}}ah hidup transliterasinya adalah /t/.

b. Ta>’ Marbu>t}ah mati transliterasinya adalah /h/.

c. Kalau pada suatu kata yang akhir katanya adalah Ta>’ Marbu>t}}}ah diikuti

oleh kata yang menggunakan kata sandang al, serta bacaan kedua kata

itu terpisah maka Ta>’ Marbu >t}}}ah itu ditransliterasikan dengan /h/.

Contoh:

= H{adi>qat al-H{ayawa>na>t

= al-Madrasat al-Ibtida>’iyah

= H{amzah

5. Shaddah (Tashdi>d )

Shaddah/tashdi>d ditransliterasikan dengan huruf yang sama dengan huruf

yang diberi tanda shaddah (digandakan).

Contoh:

= ‘Allama = Yukarriru

= Kurrima = al-Maddu

6. Kata Sandang

Kata sandang diikuti oleh huruf Shamsiyah maupun Qamariyah

ditransliterasi sesuai dengan bunyinya.

Contoh:

= al – S}ala>h

= al - Falaqu

= al - Ba>h}ithu

7. Penulisan Hamzah

a. Bila hamzah terletak di awal kata maka ia tidak dilambangkan dan ia

seperti alif. Contoh:

= Akaltu = U<tiya

b. Bila di tengah dan di akhir ditransliterasikan dengan apostrof. Contoh:

= Ta’kulu>na = Shay’un

Page 17: IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39396/1/ALI... · IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu

xvii

8. Huruf Kapital

Huruf kapital dimulai pada awal nama diri, nama tempat, bukan pada kata

sandangnya.

Contoh:

= Al-Qur’an

= al-Madi>nat al-Munawwarah

= al-Mas‘u>di>

Page 18: IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39396/1/ALI... · IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu

xviii

Page 19: IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39396/1/ALI... · IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu

xix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR

PERNYATAAN

PERSETUJUAN

ABSTRAK

TRANSLITERASI

DAFTAR ISI

SINGKATAN

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1

B. Permasalahan .......................................................................... 13

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan ...................................... 13

D. Tujuan dan Signifikansi Penelitian ........................................ 19

E. Metodologi Penelitian ............................................................ 19

F. Kerangka Teori ....................................................................... 21

G. Sistematika Penulisan ............................................................ 23

BAB II : METODOLOGI PEMIKIRAN HUKUM ISLAM

H. Aliran Ahl al-H{adi>th vs Ahl al-Ra’yi .................................... 25

I. Metodologi Ijtihad Aliran Tradisionalisme ........................... 30

J. Metodologi Ijtihad Aliran Modernisme ................................. 34

K. Kedudukan Maqa>s}id al-Shari>‘ah Dalam Metode Ijtihad ....... 43

BAB III : TRADISI IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA DAN PERKAWINAN

BEDA AGAMA

L. Ijtihad dalam Pandangan NU ................................................. 56

M. Bah}th al-Masa>il Fiqhiyah NU: Antara Idea dan Fakta ......... 69

N. Problem Metodologis Ijtihad NU .......................................... 79

O. Landasan Hukum Ketentuan Perkawinan Beda Agama ........ 90

BAB IV : TINJAUAN MAQA<S}ID AL-SHARI<‘AH TERHADAP KEPUTUSAN

NU TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA

P. Ijtihad NU Tentang Perkawinan Beda Agama ...................... 113

1. Analisis Keputusan NU Tentang Perkawinan Beda Agama

......................................................................................... 114

2. Analisis Metode Istinba>t} NU Tentang Perkawinan Beda

Agama ............................................................................. 124

Page 20: IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39396/1/ALI... · IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu

xx

Q. Implementasi Maqa>s}id al-Shari>‘ah Terhadap Keputusan NU

Tentang Perkawinan Beda Agama ......................................... 142

R. H{ifz} al-Di>n Dalam Perkawinan Beda Agama ........................ 145

S. H{ifz} al-Nasl Dalam Perkawinan Beda Agama ....................... 157

BAB V : PENUTUP

T. Kesimpulan ............................................................................. 167

U. Saran-Saran ............................................................................ 168

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 170

LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................... 184

SINGKATAN

BM : Bah}th al-Masa>il

Page 21: IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39396/1/ALI... · IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu

xxi

KHI : Kompilasi Hukum Islam

LBM : Lajnah Bah}th al-Masa>il

LINO : Lailatul Ijtima’ Nahdlotoel Oelama

MT : Majlis Tarjih

MUI : Majlis Ulama Indonesia

NU : Nahdlatul Ulama

PBA : Perkawinan Beda Agama

PBNU : Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

PCNU : Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama

PERSIS : Persatuan Islam

PWNU : Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama

SI : Sarikat Islam

SPKBMNU : Sistem Pengambilan Keputusan Bah}th al-Masa>il

Nahdlatul Ulama

tk. : Tanpa Kota

tp. : Tanpat Penerbit

tt. : Tanpa Tahun

Page 22: IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39396/1/ALI... · IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam ajaran Islam, perkawinan dibangun untuk menciptakan

kemaslahatan bagi seluruh manusia dan bagi pihak-pihak yang bersangkutan

dengan perkawinan tersebut. Secara umum, kemaslahatan perkawinan adalah

segala sesuatu yang digunakan untuk meraih maqa>s}id al-shari>‘ah dari

perkawinan, baik yang bersifat as}liyyah atau taba‘iyyah dan baik yang bersifat

d}aru>riyyah, h}a>jjiyyah maupun tah}siniyyah. Kemaslahatan perkawinan yang

termasuk ke dalam maqa>s}id as}liyyah adalah meneruskan keturunan yang

merupakan penjagaan langsung terhadap salah satu al-us}u>l al-khamsah yang

berupa h}ifz} al-nasl. Kemaslahatan tersebut, masuk dalam peringkat mas}lah}ah d}aru>riyah. Sedangkan kemaslahatan perkawinan yang bersifat maqa>s}id taba‘iyyah adalah kemaslahatan yang merupakan penjagaan secara tidak

langsung terhadap aspek al-nasl, seperti menyalurkan kebutuhan biologis

secara benar (tidak berzina), kemaslahatan ini masuk dalam peringkat

mas}lah}ah ha>jiyyah. Dan kemaslahatan untuk mencari ketenangan (saki>nah),

membagi cinta dan kasih sayang (mawaddah wa rah}mah), dan sebagainya

menempati peringkat mas}lah}ah tah}siniyyah.1 Penjagaan tersebut (h}ifz} al-nasl) dilakukan melalui sebuah perkawinan yang sah menurut agama, kemudian

diakui oleh undang-undang serta diterima sebagai bagian dari budaya

masyarakat.2

Perkawinan dianggap sebagai lembaga suci untuk mengikat lak-laki

dan perempuan dalam suatu ikatan untuk membina rumah tangga yang bahagia

penuh ketenangan hidup dan rasa kasih sayang, kekal dalam rangka mengabdi

kepada Allah Swt.3 Di samping itu perkawinan juga untuk mendapatkan anak

keturunan yang sah guna melanjutkan generasi yang akan datang.4 Sedangkan

dalam rumusan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan5 disebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk

keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Mengingat pentingnya perkawinan tersebut, Islam tidak hanya

sekedar menyebutnya sebagai ikatan lahir batin antara kedua pasangan yang

1Lihat Yusuf Hamid ‘Alim, al-Maqa>s}id al-‘A<mmah li al-Shari>‘ah al-Isla>miyyah

(USA: International Graphics Printing Service, 1991), 102. 2Fuaddin, Pengasuhan Anak Dalam Keluarga Islam (Jakarta: Lembaga Kajian

Agama dan Jender, 1999), 4 3Lihat QS. al-Ru>m [30]: 21 4Lihat QS. al-Nisa>’ [4]: 1 5Selanjutnya disebut Undang-undang Perkawinan

Page 23: IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39396/1/ALI... · IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu

2

melangsungkan perkawinan, malainkan sebuah perjanjian yang melibatkan

Allah, jadi bukan perjanjian perdata biasa, sehingga perkawinan disebut

sebagai mi>tha>qan ghali>z}a sebuah ikatan yang kuat lagi kokoh. Hal ini

sebagaimana dapat dijumpai dalam firman Allah QS. al-Nisa>> [3]: 21.6

Perkawinan jika dilihat sekilas, merupakan sebuah aktivitas

dunya>wiyah belaka. Namun dalam Islam perkawinan merupakan suatu ibadah

yang secara tegas dinyatakan sebagai sunah Rasulullah Saw. Sebagaimana

Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Anas ibn Malik bahwa perkawinan

merupakan Sunnah Rasul yang pernah dilakukan selama hidupnya dan beliau

menghendaki agar umatnya berbuat yang sama.7 Di sampaing sebagai Sunah

Rasul, perkawinan merupakan sunnatullah yakni sesuai dengan qudrah dan

ira>dah Allah Swt. Sebagaimana yang tertuang dalam QS. al-Dha>riyat [51]: 49

yang menjelaskan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu secara berpasang-

pasangan. QS. al-Najm [53]: 45 yang secara tegas Allah menciptakan

berpasang-pasangan antara laki-laki dan perempuan.

Secara filosofi, makna perkawinan dalam Islam dapat dirumuskan

sebagai berikut: Pertama, Islam memandang perkawinan sebagai sesuatu yang

6Bunyi lengkapnya ayat tersebut adalah:

“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri, dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat (mi>tha>qan ghali>z}a).”

7Bunyi lengkapnya adalah:

“Dan telah menceritakan kepadaku Abu> Bakar bin Na>fi' al-‘Abdi> telah menceritakan kepada kami Bahz telah menceritakan kepada kami H}amma>d bin Salamah dari Tha>bit dari Anas bahwa sekelompok orang dari kalangan sahabat Nabi Saw. bertanya kepada isteri-isteri Nabi Saw. mengenai amalan beliau yang tersembunyi. Maka sebagian dari mereka pun berkata, "Saya tidak akan menikah." Kemudian sebagian lagi berkata, "Aku tidak akan makan daging." Dan sebagian lain lagi berkata, "Aku tidak akan tidur di atas kasurku." Mendengar ucapan-ucapan itu, Nabi Saw. memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian beliau bersabda: "Ada apa dengan mereka? Mereka berkata begini dan begitu, padahal aku sendiri shalat dan juga tidur, berpuasa dan juga berbuka, dan aku juga menikahi wanita. Maka siapa yang saja yang membenci sunnahku, berarti bukan dari golonganku." S}ah}i>h} Muslim Juz 2, 1401. Lihat juga

Sunan al-Da>rimi> Juz 2, 2169

Page 24: IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39396/1/ALI... · IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu

3

sakral, karena merupakan suatu perjanjian yang secara khusus melibatkan

Allah. Sehingga segala sesuatu yang kerkenaan dengannya diatur secara

spesifik dan lengkap dalam Al-Qur’an. Kedua, perkawinan merupakan sebuah

wasilah untuk mengahalkan hubungan antara dua orang yang berlainan jenis,

yang semula diharamkan, seperti memegang, memeluk, mencium dan

hubungan intim. Ketiga, perkawinan merupakan sarana untuk melangsungkan

kehidupan umat manusia di muka bumi secara legal dan bertanggung jawab.

Keempat, perkawinan mempuyai dimensi psikologis. Pasangan suami isteri

yang semula adalah orang lain, lewat perkawinan mereka saling memiliki,

saling menjaga, saling membutuhkan, saling mencintai serta menyayangi

sehingga terwujud keluarga yang saki>nah. Kelima, perkawinan juga

mempunyai dimensi sosiologis. Lewat perkawinan seseorang mempunyai

status baru yang dianggap sebagai anggota masyarakat secara utuh sekaligus

mengakibatkan lahirnya anak-anak yang secara naluriah mereka

membutuhkan penjagaan. Orang tua anak inilah yang bertanggungjawab

terhadap perkembangan fisik dan psikis anak tersebut, agar menjadi generasi

penerus umat manusia di muka bumi ini.8

Dari uraian tersebut, dalam pandangan Islam, perkawinan bukan saja

persoalan biologis dan juga bukan pula persoalan dan hubungan pribadi antara

suami isteri saja, melainkan juga persoalan psikologis dan sosiologis bahkan

teologis. Oleh karena itu, Islam memberikan perhatian yang cukup besar

terhadap masalah perkawinan ini, termasuk perkawinan antar umat beragama

atau perkawinan beda agama.9

Dengan demikian, segala sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan

terwujudnya tujuan perkawinan harus dipenuhi oleh pihak-pihak yang

bersangkutan. Di antaranya adalah syarat dan rukun perkawinan. Menurut

Hilman Hadikusuma, untuk mewujudkan tujuan perkawinan tersebut, Islam

menghendaki perkawinan harus dilakukan dengan sesama pemeluk agama,

yakni umat Islam dengan umat Islam, Kristen dengan Umat Kristen dan

seterusnya.10

Perkawinan beda agama merupakan sebuah perkawinan yang dilakukan

oleh dua orang yang berlainan agama, yakni antara seseorang yang beragama

Islam (Muslim atau Muslimah) dengan non-Muslim, baik yang dikategorikan

sebagai golongan Musyrik maupun Ahl al-Kita>b. Perkawinan beda agama

8M. Karsayuda, Perkawinan Beda Agama: Menakar Nilai-Nilai Keadilan dalam

Kompilasi Hukum Islam (Yogyakarta: Total Media, 2006), 66-69 9Ini dapat dilihat dari sekian banyak ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan

hukum, hanya hukum-hukum yang berkaitan dengan perkawinan yang dijelaskan

secara rinci dan jelas, yang lain hanya secara global dan umum. Lihat Amir Syarifudin,

Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

2009), cet. Ke-3, 6-13 10Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan,

Hukum Adat, Hukum Agama (Bandung: Bandar Maju, 2007), Cet. Ke-3, 25

Page 25: IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39396/1/ALI... · IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu

4

dalam setiap masanya selalu memunculkan perdebatan di kalangan para ulama,

ini semua terjadi karena perbedaan pandangan dalam memahami ayat-ayat

yang menjadi dasar larangan perkawinan orang Muslim dengan orang Musyrik.

Perkawinan beda agama sebagai fakta sosial bukanlah isu-isu baru.

Namun secara historis perkawinan beda agama ini telah terjadi di kalangan

tokoh-tokoh Islam sejak zaman Nabi Muhammad Saw.11 kemudian zaman

sahabat,12 tabi’in hingga masa-masa berikutnya dan berlanjut sampai

sekarang. Lebih-lebih dalam konteks masyarakat yang plural dan heterogen,

seperti di negara Indonesia, yang merupakan bangsa multikultural dan

multiagama. Pluralitas di bidang agama terwujud dalam banyaknya agama

yang diakui secara sah di Indonesia, selain Islam ada agama Hindu, Budha,

Kristen, Katolik, dan lain-lain.13 Sensus penduduk tahun 1980 menunjukkan

bahwa Islam dipeluk oleh sebagian besar bangsa Indonesia (88,2 % dari 145

juta penduduk), disusul Protestan (5,8 %), Katolik (3%), Hindu (2,1 %), dan

Budha (0,9 %). Oleh karena itu, perkawinan beda agama menjadi sebuah fakta

yang wajar dan sangat mungkin terjadi.14

Dalam konteks Indonesia, meskipun perkawinan beda agama tidak

diperbolehkan oleh Undang-undang No 1 tahun 1974, namun fenomena

semacam ini terus berkembang. Lewat media masa maupun media elektronik,

kita bisa menyaksikan beberapa artis yang melaksanakan perkawinan tersebut,

11Rasulullah Saw, menikahi Maria al-Qibt}iyyah binti Sham‘un, berasal dari

daerah Ansena, Ashut}, Mesir. Seorang hamba sahaya yang dihadiahkan oleh Gubernur

Mesir, Muqawis, setelah perang Khaibar. Melalui Maria al-Qibt}iyyah, Rasulullah Saw,

dikaruniai putra yang diberi nama Ibrahim. Rasulullah Saw. juga mengawini S}a>fiyah

binti H}uyai bin Akht}ab bin Shu‘aib bin Tha‘labah. Nasabnya sampai ke Nabi Harun,

saudara Nabi Musa as. Beliau berdarah Yahudi dari bani Nadhi>r. Landasan historis di

atas sebenarnya kurang relevan, sebab sebelum pernikahan Rasulullah dengan Maria

al-Qibt}iyyah dan S}a>fiyah binti H}uyai bin Akht}ab bin Shu‘aib bin Tha‘labah, keduanya

sudah terlebih dahulu memeluk Islam. Lihat Ahmad Lut}fi Fathullah, Potret Kehidupan

Pribadi dan Kehidupan Rasulullah Saw. (Jakarta: Pusat Kajian Hadits) 12Uthma>n bin ‘Affan menikah dengan wanita Kristen bernama Naylah binti al-

Fara>fis}ah al-Kala>biyyah yang selanjutnya memeluk Islam, lalu Hudhaifah bin al-

Yamani menikahi wanita Yahudi dari Mada>’in, kemudian T}alh}ah Ubaidilla>h menikah

dengan wanita Kristen dan masih banyak lagi sahabat lain yang melakukan praktek

pernikahan beda agama ini, terutama pada waktu mereka melakukan ekspansi Islam

(fath}) ke berbagai wilayah di luar Madinah. Lihat Wahbah al-Zuh}aili>, Al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu (Beirut: Da>r al-Fikr, Jilid: VII, 1984), 153-155. Lihat juga

Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Da>r al-Fikr, Jilid: II, 1983), Cet. IV, 90-91. 13Abdurrahman Wahid (mantan Presiden RI ke-4) menyatakan bahwa bangsa

Indonesia adalah bangsa yang majemuk, selain Islam ada Hindu, Budha, Kristen,

Katolik, Protestan, dan lain-lain. Bahkan yang Islam ada yang santri dan ada yang

kejawen. Lihat Koran Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, Sabtu, 27 Maret 2004, 11. 14Lihat M. Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sebuah Studi

tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988 (Jakarta : INIS, 1993), 11.

Page 26: IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39396/1/ALI... · IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu

5

sebagai contoh, Jamal Mirdad seorang Muslim menikah dengan Lidia Kandaw

yang beragama Kristen; Nurul Arifin (Muslimah) dengan Mayong (Katholik);

Ina Indayati (Muslimah) menikah dengan Jeremi Thomas yang beragama

Kristen; Frans Lingua (Kristen) menikah dengan Amara (Islam); Yuni Shara

(Muslimah), menikah dengan Hendry Siahaan (Kristen); Ari Sigit (Muslim)

menikah dengan Rica Callebaut (Kristen); Ari Sihasale (Kristen) menikahi Nia

Zulkarnain yang beragama Islam; Dedy Corbuzer yang beragama Katholik

dengan Kalina yang beragama Islam. Selain itu, tentunya masih sangat banyak

peristiwa semacam ini yang tidak terdeteksi oleh media.

Hal ini dibuktikan dengan hasil sensus untuk perkawinan beda agama

tahun 1990 dan 2000 di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang

merupakan melting pot atau wadah peleburan identitas budaya menunjukkan

bahwa di DIY terjadi fluktuasi. Pada tahun 1980, paling tidak terdapat 15

kasus perkawinan beda agama dari 1000 kasus perkawinan yang tercatat. Pada

tahun 1990, naik menjadi 18 kasus dan trend-nya menurun menjadi 12 kasus

pada tahun 2000. Tahun 1980 rendah (15/1000), lalu naik tahun 1990

(19/1000), kemudian turun lagi tahun 2000 (12/1000). Hasil sensus tersebut

menunjukkan bahwa laki-laki cenderung melakukan perkawinan beda agama

dibanding perempuan. Angka perkawinan beda agama, sesuai sensus 1980,

1990 dan 2000, paling rendah terjadi di kalangan Muslim (di bawah 1%). Hal

ini menunjukan bahwa semakin besar kuantitas penduduk beragama Islam,

maka pilihan kawin seagama tentu juga semakin besar. Lain halnya, bagi

penganut agama yang minoritas, maka dengan sendirinya pilihan kawin

dengan pasangan seagama juga semakin kecil. Dengan demikian untuk

menikah beda agama, bagi penganut agama yang “minoritas,”

kemungkinannya semakin besar.15

Hal menarik lainnya adalah keputusan Mahkamah Agung No.

1400K/Pdt/1986, MA yang mengabulkan permohonan kasasi Andi Vonny

Gani P. (Islam) yang menikah dengan Andrianus Petrus Hendrik Nelwan

(Kristen Protestan), serta membatalkan penetapan Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat tanggal 11 April 1986 No. 382/PDT/P/1986/PNJKT.PSTtentang

penolakan melangsungkan perkawinan oleh Pegawai Luar Biasa Pencatat Sipil

15Lihat Abd. Rozak A. Sastra dkk, Pengkajian Hukum Tentang Perkawinan

Beda Agama (Perbandingan Beberapa Negara) (Badan Pembinaan Hukum Nasional

(BPHN) Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Jakarta 2011), 4-6. Bandingkan

dengan Harold T. Christensen and Kenneth E. Barber, “Interfaith versus Intrafaith

Marriage in Indiana” dalam Journal of Marriage and Family, Vol. 29, No. 3 (Aug.,

1967). Published by:National Council on Family Relations Stable

URL:http://www.jstor.org/stable/349583. James D. Davidson and Tracy Widman,

“The Effect of Group Size on Interfaith Marriage among Catholics” dalam Journal for the Scientific Study of Religion, Vol. 41, No. 3 (Sep., 2002). Published by: Wiley on

behalf of Society for the Scientific Study of Religion Stable URL:

http://www.jstor.org/stable/1387452.

Page 27: IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39396/1/ALI... · IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu

6

Provinsi DKI Jakarta. Menurut MA, UU tentang perkawinan tidak memuat

ketentuan apa pun yang menjelaskan larangan perkawinan bagi kedua

mempelai yang berlainan agama, hal mana sejalan dengan UUD 1945 Pasal 27

yang menentukan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam

hukum, termasuk di dalamnya kesamaan hak asasi untuk kawin dengan sesama

warga negara sekalipun berlainan agama.16

Menyikapi kasus perkawinan beda agama tersebut, pada dasarnya

terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Sebagian ulama

membolehkan, tetapi tidak sedikit pula yang mengharamkanya.17 Ulama juga

berbeda pendapat terhadap cakupan Ahl al-Kita>b di mana laki-laki Muslim

boleh menikahi wanita-wanita dari golongan Ahl al-Kita>b.18

Kelompok ulama yang mengharamkan perkawinan beda agama antar

laki-laki Muslim dengan wanita Ahl al-Kita>b dikarenakan persepsi mereka

16Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan

(Bandung: Mizan Pustaka, 2005), 67 17Pada prinsipnya pandangan ulama mengenai perkawinan beda agama ini

terbagi menjadi tiga bagian; Pertama, melarang secara mutlak perkawinan antara

Muslim dengan non-Muslim baik yang dikategorikan Musyrik maupun Ahl al-Kita>b.

Larangan itu juga berlaku bagi perempuan maupun laki-laki. Kedua, membolehkan

dengan bersyarat. Sejumlah ulama membolehkan pernikahan antara laki-laki Muslim

dengan perempuan non-Muslim dari kelompok Ahl al-Kita>b. Tetapi perempuan

Muslim tidak boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim walaupun tergolong Ahl al-Kita>b. Ketiga, membolehkan pernikahan antara Muslim dengan non-Muslim yang

berlaku untuk laki-laki dan perempuan Muslim. Lihat Salahuddin Wahid, "Perkawinan

Agama dan Negara" dalam Republika Jumat, 1 April 2005, 2. Lihat pula Sukron Kamil

dan Chaedaer S. Syari’ah Islam dan HAM: Dampak Perda Syari’ah Terhadap Kebebasan Sipil, Hak Perempuan, dan Non-Muslim (Jakarta: Center For The Study

Of Relegion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah, 2007), 83 18Pada dasarnya terdapat dua pendapat tentang cakupan makna Ahl al-Kita>b.

Pertama, berpendapat bahwa Ahl al-Kita>b hanya terbatas pada orang-orang Yahudi

dan Nasrani dari Bani> Isra>’il saja. Sedangkan dari bangsa-bangsa lain yang menganut

agama Yahudi dan Nasrani dewasa ini tidak termasuk Ahl al-Kita>b. Alasannya, karena

nabi Musa as. hanya diutus khusus kepada Bani > Isra>i’l saja, bukan kepada bangsa-

bangsa lainnya. Pendapat ini mempersempit pengertian Ahl al-Kita>b, bahkan

meniadakan wujudnya dewasa ini. Kedua, berpendapat bahwa siapa saja yang

mempercayai salah seorang Nabi, atau kitab yang diturunkan Allah, maka ia termasuk

Ahl al-Kita>b. Sehingga Ahl al-Kita>b tidak hanya terbatas pada kelompok penganut

agama Yahudi atau Nasrani. Bila ada yang hanya percaya kepada S}uh}uf Nabi Ibrahim

as. atau Kitab Zabu>r saja, maka ia pun termasuk Ahl al-Kita>b. Bahkan di antara ulama

salaf ada yang berpendapat bahwa setiap umat yang memiliki kitab yang dapat diduga

sebagai kitab sama>wi>, maka mereka juga adalah Ahl al-Kita>b, seperti halnya orang-

orang Majusi. Pendapat ini memperluas makna Ahl al-Kita>b, dengan mengatakan

bahwa semua penganut agama yang memiliki kitab suci atau semacam kitab suci

hingga dewasa ini. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al- Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (Ciputat: Lentera Hati, vol. 3, 2006), cet. V, 30

Page 28: IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39396/1/ALI... · IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu

7

bahwa Ahl al-Kita>b mempunyai kedudukan yang sama dengan wanita

Musyrik. Padahal baik laki-laki maupun wanita Muslim dilarang kawin dengan

orang-orang Musyrik.19 Menurut kelompok ini, Ahl al-Kita>b mempunyai

kedudukan yang sama dengan orang Musyrik. Karena orang-orang Ahl al-Kita>b juga mempertuhankan orang ‘A<lim mereka, Rahib-Rahib dan mengakui

bahwa ‘Uzair atau Isa adalah putera Allah.20

Di antara ulama yang mendukung pendapat ini adalah Ibnu ‘Umar,

menurutnya, Allah mengharamkan wanita Musyrik bagi laki-laki Muslim.

“Aku tidak tahu syirik manakah yang jauh lebih besar dari seorang wanita yang

mengatakan bahwa Tuhanya adalah Isa.”21 Sedangkan jumhur ulama

berpendapat, bahwa laki-laki Muslim diperbolehkan menikahi wanita-wanita

Ahl al-Kita>b. Menurut mereka, lafad Mushrikah tidak mencakup Ahl al-Kita>b.22

Meskipun jumhur ulama yang lazim menjadi rujukan ulama di Indonesia

membenarkan perkawinan antar laki-laki Muslim dengan wanita Ahl al-Kita>b,

akan tetapi perkembangan berikutnya kebolehan perkawinan seperti ini

dibatasi. Keputusan Majlis Tarjih Muhammadiyah, Komisi Fatwa MUI

melarang secara mutlak perkawinan yang dilakukan oleh dua orang yang

berlainan agama. Begitu juga keputusan Lajnah Bah}th al-Masa>’il NU,

perkawinan beda agama hukumnya diharamkan. Pada dasarnya

ketidakbolehan perkawinan tersebut sudah pernah disinggung oleh ulama-

ulama terdahulu. Menurut mereka, meskipun perkawinan beda agama

dibolehkan, namun di sana terdapat kecenderungan larangan, hal ini terbukti

adanya indikasi makruh sehingga yang dibolehkan pun hanya Muslim dengan

perempuan Ahl al-Kita>b, dan tidak sebaliknya. Bahkan dilarang sama sekali

19Dalam QS. al-Mumtah}anah [60]: 10 dijelaskan bahwa pernikahan umat Islam

dengan orang Kafir itu ditutup sama sekali. Wa la> tumsiku> bi' Is}am al-Kawa>fir.... Sementara QS. al-Baqarah [2]: 221, wa la> tunkihu> al-mushriki>n... menjelaskan bahwa

umat Islam tidak diperbolehkan menikah dengan laki-laki dan perempuan Musyrik.

Sementara ada ayat lain, QS. al-Ma'idah [5]: 5 yang memperbolehkan menikah dengan

perempuan Ahl al-Kita>b. Wa al-muhs}ana>tu min al ladhi>na utu> al-kita>ba min qoblikum.

Perlu kita maklumi bahwa al-Baqarah itu adalah surat yang pertama kali turun ketika

Nabi berada di Madinah. Kemudian ayat berikutnya al-Mumtah}anah ayat 10, baru

kemudian terakhir turun al-Ma'idah ayat 5. Sudah dimaklumi bahwa ayat yang terakhir

turun yang memperbolehkan menikah dengan Ahl al-Kita>b itu telah mentakhs}is},

menspesifikasi dua ayat sebelumnya. Jadi boleh menikah dengan Ahl al-Kita>b, yang

pada zaman dulu adalah Yahudi dan Nasrani. Ahl al-Kita>b telah dikecualikan dari

keumuman ayat Kafir dan Musyrik. 20Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al- Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-

Qur’an, 163 21Fakhr al-Di>n Muhammad ibn ‘Umar, Al-Tafsi>r Al-Kabi>r (Beirut: Da>r al-

Kutub al-‘Ilmiyah, Jilid VI, 2004), Cet. Ke-2, 116.

22M. Quraish Shihab, Tafsir al- Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, 30-31

Page 29: IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39396/1/ALI... · IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu

8

baik Muslim maupun Muslimah untuk menjalin hubungan perkawinan dengan

laki-laki maupun perempuan dari orang Kafir.

Dalam konteks Indonesia, peraturan perkawinan tidak dijumpai adanya

peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur perkawinan beda

agama, peraturan yang ada dan berlaku sampai sekarang yaitu Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, itu pun hanya mengatur tata cara

perkawinan campuran yang pada dasarnya mempunyai arti berbeda dengan

perkawinan beda agama.23 Meskipun secara tidak ekspresif verbis Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini pun juga melarang terjadinya kawin beda

agama.

Dalam UU No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (1) dan (2) dinyatakan bahwa,

sahnya suatu perkawinan adalah menurut hukum agamanya atau keyakinannya

masing–masing. Dan Pada ayat (2) berbunyi tiap–tiap perkawinan dicatat

menurut peraturan perundang–undangan yang berlaku. Jadi, maksud dari

ungkapan “menurut hukum agamanya masing–masing” adalah sahnya suatu

perkawinan diserahkan kepada hukum masing-masing agama yang

bersangkutan. Berarti dengan adanya masalah pengaturan perkawinan di

Indonesia, Undang–undang memberikan kepercayaannya secara penuh kepada

Agama, dan Agama memiliki peranan penting terhadap perkawinan beda

agama.

Oleh karena itu, menjadi jelaslah bahwa dalam melangsungkan

perkawinan diharuskan untuk seagama agar pelaksanaanya tidak terdapat

hambatan maupun penyelewengan agama. Karena dalam pelaksanaanya

menurut Undang–undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan beda

agama tidak boleh dilaksanakan, dan tidak sah menurut hukum kecuali salah

satu pihak mengikuti agama pasangannya. Jika kedua pasangan sudah seagama

barulah perkawinan dapat dilangsungkan dan dianggap sah apabila dicatatkan

dalam pencatatan perkawinan sesuai dengan ketentuan yang sudah diatur

dalam pasal 2 ayat (2) Undang–undang Perkawinan.

Larangan perkawinan beda agama selain dari UU No. 1 Tahun 1974

tersebut, juga diperkuat lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI)24 berdasarkan

Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991. Dalam KHI tersebut secara tegas

23Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan campuran

adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang

berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak

berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Jadi,

perkawinan campuran bukanlah perkawinan antar agama yang dimaksudkan di sini. 24Adapun alasan dikeluarkanya KHI ini adalah dengan mempertimbangkan

keabsahan dan kompleksitas Hukum Islam yang ada dalam masyarakat, sehingga perlu

diwujudkan suatu Hukum Islam yang sistematis dan konkerit untuk seluruh umat

Islam di Indonesia, yang dengan adanya KHI diharapkan dapat dijadikan sebagai

pegangan atau rujukan untuk menyelesaikan permasalahan perkawinan oleh para

hakim di Peradilan Agama (PA).

Page 30: IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39396/1/ALI... · IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu

9

dinyatakan pada pasal 40, 44 dan 61. Pada pasal 40 dinyatakan bahwa seorang

pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita karena

keadaan tertentu, diantaranya adalah karena seorang wanita yang tidak

beragama Islam. Pada pasal 44 dinyatakan bahwa seorang wanita Islam

dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama

Islam. Sedangkan dalam pasal 61, KHI menyatakan bahwa tidak sekufu’ tidak

dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu’

karena perbedaan agama atau ikhtila>f al-di>n.

Terdapat tiga pasal dalam KHI yang secara jelas menyatakan ketidak

bolehan melangsungkan perkawinan beda agama, baik untuk pria Muslim

dengan wanita non-Muslim maupun untuk wanita Muslimah dengan pria non-

Muslim.

Pertimbangan larangan perkawinan beda agama dalam KHI disebabkan

oleh beberapa hal, antara lain: Pertama, perkawinan beda agama lebih banyak

menimbulkan persoalan, karena terdapat beberapa hal prinsip yang beda antara

kedua mempelai. Meskipun ada beberapa pasangan yang berbeda agama dapat

hidup rukun serta mampu mempertahankan ikatan perkawinannya, namun

yang sedikit ini tidak bisa dijadikan acuan. Kedua, KHI mengambil pendapat

ulama Indonesia, termasuk di dalamnya MUI.25

Larangan perkawinan beda agama, juga didapati dari fatwa-fatwa ulama

yang tergabung dalam sebuah organisasi keagamaan seperti Majlis Ulama

Indonesia (MUI), Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama (NU).

MUI, lewat Komisi Fatwa yang dilaksanakan pada tanggal 1 Juni 1980

dan diperkuat dengan Keputusan Fatwa No. 4/Munas VII/8/2005 telah

mengeluarkan fatwa terkait permasalahan perkawinan beda agama. Fatwa

tersebut telah menghasilkan dua ketetapan. Pertama, bahwa seorang

perempuan Islam tidak diperbolehkan untuk dikawinkan dengan seorang laki-

laki bukan Islam. Kedua, bahwa laki-laki Muslim tidak diizinkan mengawini

seorang perempuan bukan Islam, termasuk Kristen (Ahl al-Kita>b).26 Sebuah

fatwa yang berseberangan dengan ketentuan nas} Al-Qur’an dan pendapat

mayoritas ulama yang membolehkannya.

Jika dilihat dari metode istinba>t}} al-ah}ka>m yang digunakan oleh MUI,

untuk menyelesaikan kasus perkawinan beda agama, yang dengan jelas

bersebrangan dengan bunyi teks Al-Qur’an adalah metode mas}lah}ah al-mursalah. Yakni sebuah metode yang berpijak pada kemaslahatan masyarakat

Islam.27 Namun begitu, terlepas dari metode yang digunakan oleh MUI, fatwa

25Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali, 1995), 345 26Lihat Majlis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majlis Ulama Indonesia

(Jakarta: Majlis Ulama Indonesia, 1997), 122. M. Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majlis Ulama Indonesia: Sebuah Studi Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, edisi dwi bahasa (Jakarta: INIS, 1993), 99

27M. Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majlis Ulama Indonesia, 99

Page 31: IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39396/1/ALI... · IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu

10

ini dianggap cocok dengan kebutuhan dan kenyataan masyarakat di Indonesia

sekarang; bahwa perkawinan beda agama lebih banyak mudaratnya daripada

manfaatnya dan karena itu harus dihindari.

Selain MUI, ormas Islam yang secara tegas mengeluarkan fatwa tentang

larangan perkawinan beda agama adalah Muhammadiyah. Dalam hal ini secara

umum Muhammadiyah masih berpedoman pada pendapat mayoritas ulama

fikih, yakni laki-laki Muslim dilarang mengawini perempuan Musyrik, begitu

juga seorang perempuan Muslimah dilarang untuk dikawinkan dengan laki-

laki Musyrik dan Ahl al-Kita>b. Sedangkan untuk laki-laki Muslim yang

mengawini perempuan Ahl al-Kita>b, semula Muhammadiyah cenderung

sepakat dengan pendapat mayoritas ulama yang membolehkannya, dengan

argumentasi kekhususan QS. al-Maidah [5]: 5.28

Namun kemudian, ada pertimbangan lain yang mengalihkan fatwa

Muhammadiyah. Menurut Muhammadiyah, hukum muba>h} harus dihubungkan

dengan alasan mengapa perkawinan itu dibolehkan. Salah satu hikmah

dibolehkannya laki-laki Muslim mengawini perempuan Ahl al-Kita>b adalah

untuk berdakwah kepada mereka, dengan harapan mereka mau mengikuti

agama suaminya (Islam). Namun jika keadaan sebaliknya, suami akan

terpengaruh dan mengikuti agama Istrinya (non-Islam), maka hukum muba>h} dapat berubah menjadi haram.29

Melihat kondisi sekarang, ada dua kekhawatiran yang akan terjadi

akibat perkawinan ini. Pertama bahwa laki-laki Muslim yang akan menikahi

perempuan Ahl al-Kita>b itu akan dapat ditarik oleh istrinya untuk masuk

agamanya. Kedua, pada umumnya agama yang dianut oleh anaknya sama

dengan agama yang dianut ibunya. Jika kekhawtiran tersebut lebih kuat, maka

untuk menutup kemungkinan terjadinya madlarat yang lebih besar yaitu

murtad, maka Muhammadiyah melalui metode sadd al-dhari>‘ah melarang

perkawinan antara seorang laki-laki Muslim dengan perempuan Ahl al-Kita>b.

Yaitu suatu ketentuan larangan yang oleh nas}} diperbolehkan dengan

pertimbangan mafsadah lebih besar dari pada mas}lah}ah dalam kajian us}u>l al-fiqh disebut sadd al-dhari>‘ah (tindakan preventif). Perubahan hukum

dikarenakan perubahan keadaan dan dinamika sosial itu bisa saja terjadi,

karena didasarkan pada kemaslahatan dan ‘urf. Hal ini sesuai dengan kaidah

hukum Islam (qawa>’id al-fiqhiyyah):

28Lihat Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah

(Jakarta: Logos Publishing House, Cet. 1, 1995), 143-145 29Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, 146

Page 32: IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39396/1/ALI... · IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu

11

”berubahnya hukum yang didasarkan pada maslahat dan ‘urf karena berubahnya waktu itu tidak diingkari”30.

Di sisi lain, asas perkawinan Islam menyatakan bahwa perkawinan

harus dengan sesama Muslim, asas ini berangkat dari konsep ingin mengejar

maslahat. Sebagaimana dalam tujuan hukum atau maqa>s}id al-shari>‘ah,

dijelaskan bahwa dalam perumusan hukum maka seorang Mujtahid harus

mempertimbangkan lima hal, yakni: 1) agama (al-di>n), 2) jiwa (al-nafs), 3) akal

(al-‘aql), 4) keturunan (al-nasl) dan, 5) harta (al-ma>l). Kelima hal tersebut

secara berurutan menunjukan sekala prioritas tingkat kebutuhannya. Bagi

mereka –yang melarang perkawinan beda agama- menempatkan agama (al-di>n) diatas prioritas empat komponen yang lain, sehingga kemaslahatan

keempat komponen yang lain harus mengikuti kemaslahatan agama. Oleh

karena itu, demi menjaga agama Islamnya seseorang, maka seseorang harus

memilih pasangan sesama Muslim. Mereka memposisikan agama sebagai

bagian yang tidak bisa dikurangi dan tidak bisa diganti dalam keadaan apapun.

Selain MUI dan Muhammadiyah, ormas Islam yang juga merespon

kasus perkawinan beda agama adalah Nahdlatul Ulama (NU).31 Meskipun

dengan metode istinba>t}}32 yang berbeda dengan kedua ormas Islam tersebut,

30Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa>’id Fiqhiyyah (Jakarta: Pedoman Ilmu

Jaya, cet. Ke-2, 2009), 52 31NU sebagai organisasi sosial-keagamaan (jam‘iyyah al-di>niyyah-al-

ijtima>‘iyyah), secara resmi berdiri pada tanggal 16 Rajab 1314 H. bertepatan dengan

tanggal 31 Januari 1926 M. di kampung Kertopaten Surabaya, ada dua faktor yang

melatarbelakangi lahirnya NU. Pertama faktor internal. Kedua faktor eksternal. Faktor

internal berhubungan dengan perkembangan kaum modernis yang menyuarakan

adanya purifikasi Islam dan menyerang praktek keagamaan yang sudah dipercayai dan

dijalankan oleh kaum tradisionalis. Sehingga banyak diantara kepercayaan Muslim

tradisionalis yang dinyatakan sebagai “bid‘ah”, bukan ajaran asli Islam. Sedangkan

faktor eksternal adalah bentuk reaksi atas perkembangan gerakan modernisasi Islam

yang terjadi di Timur Tengah tepatnya Saudi Arabia. Dimana ‘Abdul al-‘Aziz ibn

Sa‘ud akan memberlakukan sistem mono mazhab, yaitu mazhab Wahabi, yang

berimplikasi pada pelarangan atau penghentian ajaran dan praktek madha>hib. Lihat

Martin Van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa: Pencarian Wacana Baru, alih bahasa Farid Wajidi (Yogyakarta: LkiS, Cet: IV, 2004), 19-25. Lihat juga Arsam,

“Dakwah Cultural; Studi Terhadap Dakwah Nahdlatul Ulama”, dalam jurnal

Bimbingan Konseling Islam, Volume 2 Nomer 1, Januari-Juni 2011, 129 32Secara garis besar ada tiga metode yang digunakan oleh NU dalam melakukan

istinba>t}} hukum, yaitu metode qawli>, ilha>qi> dan manhaji> yang secara prosedur

digunakan secara berurutan. Sistem qawli> merupakan metode istinba>t}} dengan cara

langsung merujuk kepada redaksi ‘iba>rah (ta‘bi>r) kitab fikih. Sistem ini dipakai

manakala suatu kasus bisa dicukupi oleh ‘iba>rah kitab dan di sana hanya terdapat satu

qawl atau wajah. Sedangkan taqri>r jama>‘i adalah sistem pengambilan keputusan

Page 33: IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39396/1/ALI... · IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu

12

NU juga memberikan fatwa atas keharaman perkawinan beda agama,

sebagaimana fatwa yang dikeluarkan oleh kedua ormas lainnya. Keharaman

perkawinan tersebut lebih disebabkan oleh dampak negative yang

ditimbulkannya. Dampak negative tersebut berupa kemudaratan atau

kerusakan agama salah satu pasangan karena tidak mampu mempertahankan

agamanya, sehingga terpengaruh oleh agama pasangannya (Murtad).

Menurut Shaltu>t larangan perkawinan beda agama terdapat adanya

kecenderungan sementara laki-laki Muslim yang mengawini wanita Kita>biyah.

Menurutnya, para suami Muslim yang menikah dengan wanita-wanita

Kita>biyah telah terpengaruh oleh budaya dan adat istiadat isterinya, sehingga

isteri yang lebih sering bergaul dengan anak-anaknya mendidik menurut

agama dan adat istiadatnya.33 Kondisi tersebut, berdampak pada pembiaran

sang suami terhadap anak dan keluarganya terlepas dari ajaran Islam,34 karena

pengaruh isteri yang sangat dominan dalam keluarga, sehingga anak-anak

mengikuti agama ibunya.

Sementara ‘Umar ibn Khat}t}ab melarang lelaki Muslim untuk menikahi

wanita Kita>biyah, karena kekhawatiranya terhadap lelaki Muslim lebih

memilih wanita Kita>biyah dari pada wanita Muslimah, sehingga

menimbulkan kesenjangan dan fitnah dikalangan wanita Muslimah.35

hukum dengan cara memilih atau men-tarjih} salah satu qawl atau wajah, sistem ini

digunakan pada kasus-kasus yang sudah tercukupi dengan redaksi ‘iba>rah (ta‘bi>r) kitab fikih dan di sana terdapat beberapa qawl atau wajah. Adapun sistem ilh}a>q lengkapnya ilh}a>q al-masa>’il bi naz}a>’iriha> merupakan sistem penyamaan suatu kasus

yang belum ada kepastian hukumnya dengan sesuatu yang sudah ada kepastian

hukumnya dalam kitab yang dilakukan oleh para ahli. Secara teknis sistem ilh}a>q hampir mirip dengan qiya>s terkait dengan rukun-rukun ilh}a>q, tetapi secara teoritis

berbeda. Sistem ini digunakan manakala tidak ada satu atau lebih redaksi ‘iba>rah atau qawl yang tidak bahkan sama sekali memberikan penyelesaian. Sedangkan sistem

manhaj adalah sistem yang menggunakan kerangka berfikir imam mazhab, namun

penggunaan tersebut hanya terbatas pada kaidah fiqhiyyah dan kaidah us}u>liyyah-nya

saja. Sistem manhaj ini dilaksanakan tatkala kasus tidak ada satu atau lebih qawl maupun wajah sama sekali dan tidak mungkin dilakukan ilh}a>q. Lihat Nahdlatul Ulama,

Ahka>m al-Fuqa>ha>; Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama 1926-2010 (Surabaya, Khalista dan Lajnah Ta’lif

Wa Al Nasyr), 470-471. Lihat pula Ahmad Munjin Nasih, “Bah}th al-Masa>’il Dan

Problematikanya Di Kalangan Masyarakat Muslim Tradisional”, dalam jurnal Al-Qānūn, Vol. 12, No. 1, Juni 2009, 107-108

33Lihat Mah}mu>d Shaltu>t, al-Fata>wa> (Kairo: Da>r al-Shuru>q, 1991), 279 34Salah satu hikmah dibolehkanya seorang Muslim menikah dengan wanita Ahl

al-Kita>b adalah untuk media dakwah. Dengan harapan perkawinan tersebut bisa

mendekatkan hati isterinya terhadap ajaran-ajaran Islam yang pada akhirnya tumbuh

rasa simpati terhadap Islam, karena kemuliaan dan keluhuran ajaran Islam. Lihat

Mah}mu>d Shaltu>t, al-Fata>wa> (Kairo: Da>r al-Shuru>q, 1991), 278-279 35Lihat Wahbah al-Zuh}ayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh, Juz VII, 154-155

Page 34: IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39396/1/ALI... · IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu

13

Kekhawatiran ‘Umar dan Shaltu>t merupakan dampak negative yang

akan timbul akibat perkawinan beda agama. Dampak negative yang berupa

kemudaratan tersebut harus dicegah dengan melarang perkawinan tersebut.

Kemadlaratan yang timbul akibat perkawinan tersebut jelas tidak sesuai

dengan tujuan syari’at Islam. Berdasarkan konsep maqa>s}id al-shari>‘ah, yaitu

bahwa Allah menurunkan syari’at Islam ke dunia ini adalah untuk

kemaslahatan manusia itu sendiri di dunia dan akhirat. Dengan demikian,

larangan tersebut berupaya untuk mewujudkan maslahat dengan cara

menghindari atau menghilangkan madlarat.

Namun demikian, larangan yang dilakukan oleh NU bertentangan

dengan z}a>hir nas} QS. al-Maidah [5]: 5 yang secara tegas membolehkan lelaki

Muslim menikah dengan wanita Ahl al-Kita>b. Oleh karena itulah, dalam

menyikapi maslah tersebut pada dasarnya terdapat dua kelompok. Pertama,

membolehkan dan kedua melarang. Yang masing-masing dari kedua kelompok

tersebut meletakan dasar perumusan hukumnya pada jiwa maslahat.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut, maka Penulis tertarik

untuk menuliskannya dalam bentuk tesis dengan judul Ijtihad Nahdlatul

Ulama Tentang Perkawinan Beda Agama: Suatu Kajian Tentang Penerapan

Teori Maqa>s}id al-Shari>‘ah.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka terdapat beberapa masalah

yang perlu diidentifikasi. Masalah-masalah tersebut adalah:

a. Bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif Indonesia

terhadap perkawinan beda agama?

b. Bagaimana respon ulama-ulama Indonesia (MUI, NU, dan

Muhammadiyah) terhadap perkawinan beda agama?

c. Metode ijtihad apakah yang digunakan oleh MUI, NU dan

Muhammadiyah dalam menyelesaikan kasus perkawinan beda agama?

d. Bagaimana prosedur pengambilan keputusan Lajnah Bah}th al-Masa>’il NU

dalam menyelesaikan kasus perkawinan beda agama?

e. Bagaimana tinjauan Maqa>s}id al-Shari>‘ah terhadap perkawinan beda

agama?

2. Pembatasan Masalah

Dari beberapa identifikasi masalah tersebut, penelitian tesis ini

dibatasi pada masalah metode ijtihad yang digunakan oleh Lajnah Bah}th al-

Masa>’il NU serta hubunganya dengan metode Maqa>s}id al-Shari>‘ah.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, maka penulis merumuskan

permasalahanya:

a. Metode ijtihad apakah yang digunakan oleh Lajnah Bah}th al-Masa>’il

(LBM) NU dalam menyelesaikan kasus perkawinan beda agama?

Page 35: IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39396/1/ALI... · IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu

14

b. Bagaimanakah tinjauan maqa>s{id al-shari>‘ah terhadap hasil keputusan

Lajnah Bah}th al-Masa>’il NU tentang perkawinan beda agama?

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Dalam hal gagasan tentang ijtihad, khususnya ijtiha>d jama>‘i NU

bukanlah yang pertama dan satu-satunya. Organisasi seperti majma>‘ al-buh}u>th al-isla>miyyah, MUI, Muhammadiyah adalah di antara sederetan organisasi

yang memiliki gagasan sama untuk ijtihad walaupun dengan konsep dan

metodologi yang berbeda dengan NU. Gagasan tentang ijtihad akan terus

menjadi wacana dan sebagai topik pembicaraan yang hangat dari waktu ke

waktu.

Adapun penelitian seputar gagasan tentang ijtihad baik yang bersifat

fardi> ataupun jama>‘i, penulis mendapati beberapa hasil penelitian, di

antaranya: Pertama, M. Ṣaghīr Ḥasan Ma'ṣūmi, dalam artikelnya yang berjudul

“Ijtihād Through Fourteen Centuries” yang dipublikasikan lewat Journal

Islamic Studies. Dalam artikelnya, penulis mengatakan bahwa pada masa awal

Islam, khususnya di tiga masa pertama, yakni sahabat, ta>bi‘i>n dan ta>bi‘ al-

ta>bi‘i>n mencoba untuk mengkristalkan sebuah teks Al-Qur’an dan Sunnah

dalam penggunaan bahasa Arab, ekspresi idiomatik, masalah tata bahasa,

sejarah, sosial, perspektif hukum, moral dan budaya sejauh teks Al-Qur’an dan

Sunnah Nabi yang dipahami oleh mereka dan makna dan konsep ditentukan. 36

Kedua, Muhammad Qasim Zaman, dalam artikelnya yang berjudul “Evolving

Conceptions of Ijtihād in Modern South Asia” dalam Journal Islamic Studies,

penulis mempunyai beberapa keprihatinan tentang pelaksanaan ijtihad. di

antaranya adalah adanya perdebatan intelektual mengenai ijtihad antara Arab

Timur Tengah dan Asia Selatan, lebih khusus antara Salafi> reformis dari dunia

Arab dan Deobandis dari benua India. Bahwa bahasa dan retorika ijtihad

cenderung semakin merekomendasikan diri mereka menjadi “ulama” yang

mempunyai otoritas keagamaan di dunia modern. 37

Ketiga, artikel yang berjudul “Issues in the Understanding of Jihād and

Ijtihād” dalam Journal Islamic Studies yang ditulis Mohammad Hashim

Kamali. Dalam artikelnya ini penulis mempertanyaan satu hal bahwa dalam

hal mana ijtihad dapat memajukan semangat dan tujuan Shari>‘ah di luar batas-

batas teks yang diberikan, sebaiknya ini tidak harus dilihat sebagai bentuk sah

ijtihad dalam menghadapi teks, namun dilihat dari keterikatanya pada kaidah

36M. Ṣaghīr Ḥasan Ma'ṣūmi, “Ijtihād Through Fourteen Centuries” dalam

Journal Islamic Studies, Vol. 21, No. 4 (Winter 1982). Published by: Islamic Research

Institute, International Islamic University, Islamabad Stable URL:

http://www.jstor.org/stable/20847218. 37Muhammad Qasim Zaman, “Evolving Conceptions of Ijtihād in Modern

South Asia” dalam Journal Islamic Studies, Vol. 49, No. 1 (Spring 2010). Published

by: Islamic Research Institute, International Islamic University, Islamabad. Stable

URL: http://www.jstor.org/stable/41429243

Page 36: IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39396/1/ALI... · IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu

15

suci yang menghalangi ijtihad sama sekali di hadapan teks. 38 Keempat, karya

Shaista P. Ali-Karamali and Fiona Dunne yang berjudul “The Ijtihad

Controversy” dalam Journal Arab Law Quarterly, dalam artikelnya tersebut

penulis mempunyai dua kesimpulan, pertama bahwa setelah tahun 1972,

kalimat “penutupan” gerbang/pintu ijtihad menjadi semakin lazim. Kedua, keyakinan bahwa gerbang tersebut benar benar tertutup jelas. Pada saat Gibb

menulis Tren modern dalam Islam, ia secara dogmatis menyatakan bahwa

gerbang dari ijtihad “ditutup, tidak pernah lagi akan dibuka kembali”.39

Keempat, Rachel Anne Codd, dalam artikelnya yang berjudul “A Critical

Analysis of the Role of Ijtihad in Legal Reforms in the Muslim World” dalam

Journal Arab Law Quarterly, penulis mengatakan bahwa Ijtihad menunjukkan

janji dalam kemampuannya untuk efek reformasi hukum meskipun ia

melakukannya pada tingkat yang sebagian besar perifer. Apa yang benar-benar

diperlukan untuk mengatasi masalah ini adalah perombakan struktur hukum

secara keseluruhan, yaitu, perubahan dasar syari’at tradisional. Namun ada,

beberapa masalah yang harus diatasi dalam umat Islam yang enggan

menggunakan Ijtihad untuk menafsirkan Al-Quran dan Sunnah seperti yang

dipraktekkan pada hari-hari awal setelah wafatnya Nabi Muhammad. 40

Sedangkan penelitian tentang NU, lembaga ini merupakan obyek yang

menarik untuk diteliti dari berbagai seginya, sehingga sudah cukup banyak

penelitian yang dilakukan menyangkut berbagai hal tentang lembaga ini.

Berikut ini, adalah diantara penelitian yang membahas tentang NU: Pertama, Greg Barton dan Greg Fealy, dalam makalahnya yang berjudul “Nahdlatul

Ulama; Traditional Islam and modernity in Indonesia” penulis mengatakan

bahwa dalam tulisanya ini, beliau mengupas sepuluh artikel dari enam penulis,

beliau mengatakan bahwa NU merupakan organisasi yang kaku dan kuno,

tidak dinamis, yang tidak mampu mengatasi masalah zaman modern. 41 Kedua, Nadirsyah Hosen, artikelnya yang berjudul “Nahdlatul Ulama and Collective

38Mohammad Hashim Kamali, “Issues in the Understanding of Jihād and

Ijtihād” dalam Journal Islamic Studies, Vol. 41, No. 4 (Winter 2002). Published by:

Islamic Research Institute, International Islamic University, Islamabad. Stable

URL:http://www.jstor.org/stable/20837232. 39Shaista P. Ali-Karamali and Fiona Dunne, “The Ijtihad Controversy” dalam

Journal Arab Law Quarterly, Vol. 9, No. 3 (1994). Published by: BRILL. Stable URL:

http://www.jstor.org/stable/3381. 40Rachel Anne Codd, “A Critical Analysis of the Role of Ijtihad in Legal

Reforms in the Muslim World” dalam Journal Arab Law Quarterly, Vol. 14, No. 2

(1999). Published by: BRILL Stable URL: http://www.jstor.org/stable/3381998. 41Greg Barton dan Greg Fealy, “Nahdlatul Ulama; Traditional Islam and

modernity in Indonesia” Reviewer by: Nico Kaptein dalam journal Bijdragen

tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 154, No. 3 (1998). Published by:

KITLV, Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean

Studies Stable URL: http://www.jstor.org/stable/27865449.

Page 37: IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39396/1/ALI... · IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu

16

Ijtihad” yang dipublikasikan dalam journal New Zealand Journal of Asian Studies, penulis menyatakan bahwa sejak tahun 1926 NU telah memainkan

penting peran dalam wacana mengenai hukum Islam di Indonesia. Selain itu,

NU telah mengkaji metode-metode, bentuk dan sumber-sumber dalam

melakukan ijtihad. Ini menunjukkan perkembangan positif dari NU. Meskipun

kerendahan hati dengan tidak menyatakan dirinya sebagai Mujtahid, NU telah

menunjukkan bahwa ia mampu menggunakan fatwa sebagai instrumen untuk

mengatasi perkembangan modern dengan melakukan ijtihad kolektif. Model

ijtihad kolektif yang dilakukan oleh NU bisa dipandang sebagai model

alternatif ijtihad jama'i di dunia Muslim, dan, di khususnya, untuk mengisi

kesenjangan bimbingan teknis yang telah diabaikan oleh Majma>‘ al-Buh}u>th al-Islamiyyah sejak tahun 1964. 42 Ketiga, Michael Laffan dalam artikelnya yang

berjudul “The fatwā Debated? Shūrā in One Indonesian Context” yang

dipublikasikan lewat Journal Islamic Law and Society, penulis menyatakan

bahwa anggota Musyawarah NU meskipun dalam tekanan dalam membahas

suatu masalah atau fatwa dan suara mereka mungkin mengubah kalimat dari

fatwa, adalah merupakan deklarasi yang dihasilkan sebagian besar dibentuk

oleh kekhawatiran politik dewan eksekutif. 43 Keempat, Ahmad Munjin Nasih,

artikelnya yang berjudul ”Bah}th al-Masa>’il dan Problematikanya di Kalangan

Masyarakat Muslim Tradisional” yang dipublikasikan lewat jurnal Al-Qānūn,

penulis membahas tentang sejarah Bah}th al-Masa>il, proses kegiatan Bah}th al-Masa>il, metode Bah}th al-Masa>’il beserta problem-problem yang muncul

disekitar Bah}th al-Masa>il. 44

Sedangkan penelitian yang yang berhubungan dengan kasus

perkawinan beda agama juga sangat menarik karena meskipun kasus tersebut

terbilang kasus klasik, namun hingga kini kasus tersebut masih actual karena

para ahli hukum belum menyatakan kesepakatannya dengan satu suara.

Ditambah fakta social perkawinan beda agama yang riil ditengah-tengah

masyarakat dengan jumlah yang setiap waktu terus bertambah. Adapun

penelitian yang berhubungan dengan perkawinan beda agama di antaranya

adalah sebagai berikut: Pertama, “Interfaith Marriage and Adult Religious

Practice” artikel yang ditulis oleh John Mulhearn dalam Journal Sociological Analysis, penulis menyatakan bahwa praktek keagamaan tidak dipengaruhi

42Nadirsyah Hosen, “Nahdlatul Ulama and Collective Ijtihad” dalam

journal New Zealand Journal of Asian Studies (Juni 2004) 43Michael Laffan “The fatwā Debated? Shūrā in One Indonesian

Context” dalam Journal Islamic Law and Society, Vol. 12, No. 1, Fatwās in

Indonesia (2005).Published by: BRILL Stable URL:

http://www.jstor.org/stable/3399294. 44Ahmad Munjin Nasih,”Bah}th al-Masa>’il dan Problematikanya di

Kalangan Masyarakat Muslim Tradisional” dalam jurnal Al-Qānūn, Vol. 12,

No. 1, Juni 2009.

Page 38: IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39396/1/ALI... · IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu

17

oleh kedua bentuk perkawinan (intra dan antar). Akan tetapi religuitas orang

tua yang kuat akan mampu mengendalikan praktek perkawinan antar agama.45

Kedua, “Interfaith versus Intrafaith Marriage in Indiana” karya Harold T.

Christensen and Kenneth E. Barber, dalam Journal of Marriage and Family, penulis menyatakan bahwa Perkawinan antar agama memperoleh perhatian

yang lebih serius dibandingkan dengan perkawinan yang intra agama.

Perkawinan antar agama lebih cenderung menjadi upacara sipil,

kecenderungan tersebut melibatkan individu yang beranggotakan kelompok

minoritas agama, yang telah menikah sebelumnya.46 Ketiga, David M. Heer,

artikel yang berjudul “The Trend of Interfaith Marriages in Canada: 1922-

1957” yang dipublikasikan lewat Journal American Sociological Review,

penulis menyatakan bahwa faktor distribusi agama merupakan faktor yang

paling dominan dalam meningkatkan jumlah perkawinan beda agama. Selain

faktor distribusi agama, Thomas menyebutkan dua faktor lain yaitu pertama

berkaitan dengan asosiasi keagamaan dengan perbedaan etnis. Asosiasi ini

mempengaruhi antar orang Tingkat pernikahan karena kecenderungan anggota

kelompok etnis untuk menikah di antara mereka sendiri tanpa memandang

agama. Ketika anggota satu agama sebagian besar adalah anggota dari

kelompok etnis tertentu sementara anggota agama kedua sebagian besar adalah

anggota dari kelompok etnis kedua, ikatan etnis memperkuat ikatan agama

untuk bertentangan proporsi yang tinggi dari orang-orang menikah di luar

agama mereka. Faktor kedua yang disebutkan oleh Thomas adalah asosiasi

perbedaan agama dengan perbedaan kelas sosial. Dalam hal ini jarak antara

kelas-kelas sosial memberikan halangan untuk nikah beda agama, dan

hambatan ini akan berkurang jika hubungan antara perbedaan agama dan kelas

sosial itu harus dikurangi. 47

Keempat, James D. Davidson and Tracy Widman, dalam karyanya

“The Effect of Group Size on Interfaith Marriage among Catholics” yang

dipublikasikan dalam Journal for the Scientific Study of Religion, penulis

menyatakan Bahwa ada korelasi negative antara ukuran kelompok dan

perkawinan dikalangan umat beragama. Semakin besar persentase umat

beragama di daerah tertentu, maka semakin besar untuk menikah dengan

45John Mulhearn, S. J, “Interfaith Marriage and Adult Religious Practice”

dalam Journal Sociological Analysis, Vol. 30, No. 1 (Spring, 1969). Published by:

Oxford University Press Stable URL: http://www.jstor.org/stable/3709931. 46Harild T. Christensen and Kenneth E. Barber, “Interfaith Versus Interfaith

Marriage in Indiana” dalam Journal of Marriage and Family, Vol. 29, No. 3 (Aug.,

1976). Publeshed by: National Council on Family Relations Stable URL:

http://www.jstor.org/stable/349583 47David M. Heer, “The Trend of Interfaith Marriages in Canada: 1922-1957”

dalam Journal American Sociological Review, Vol. 27, No. 2 (Apr., 1962), Published

by: American Sociological Association Stable URL:

http://www.jstor.org/stable/2089680

Page 39: IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39396/1/ALI... · IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu

18

sesam agama. sebaliknya, semakin kecil persentase umat beragama di daerah

tertentu, maka semakin besar kemungkinan mereka untuk menikah dengan

orang-orang yang tidak seagama. 48 Kelima, “Religious Intermarriage and

Divorce in Utah and the Mountain States” karya Howard M. Bahr, dalam

Journal for the Scientific Study of Religion, penulis menyatakan bahwa

Perkawinan sesama agama menjadikan perkawinan jauh lebih stabil daripada

perkawinan beda agama. Perkawinan beda agama dengan segala perbedaan

yang ada, menempati peringkat perceraian tertinggi dibandingkan dengan

perceraian yang lainya. 49 Keenam, “Interfaith Marriages” karya Harvey J.

Locke, Georges Sabagh and Mary Margaret Thomes, dalam Journal Social

Problems, penulis menyatakan bahwa terdapat hubungan timbal balik dalam

perkawinan, semakin rendah presentase kuantitas dari kelompok agama

tertentu dalam sebuah populasi, maka semakin tinggi tingkat perkawinan beda

agama.50 Ketujuh, Brent A. Barlow, dalam artikelnya “Notes on Mormon

Interfaith Marriages” yang dipublikasikan lewat Journal The Family

Coordinator, penulis menjelaskan bahwa di Amerika terdapat dua

kecenderungan dalam memilih pasangan, pertama pengaruh agama masih

sangat kuat dalam pemilihan pasangan, artinya hampir 50-70 % dari mereka

masih memilih pasangan berdasarkan dengan agama atau menikah sesama

agama. Kedua bahwa pernikahan merupakan sebuah trend yang dominan dalam

kehidupan keluarga di Amerika, bahkan Olson mencatat 96-97 % dari populasi

Amerika akhirnya menikah. Jika kecenderungan pertama memilih pasangan

berdasarkan kesamaan agama, maka jika itu sulit kecenderungan kedua adalah

memilih pasangan dengan orang yang diinginkanya (antar agama). 51

Dengan demikian, berdasarkan penelusuran peneliti terhadap hasil

penelitian-penelitian yang sudah ada, tidak ditemukan hasil penelitian yang

focus dan intensif mengkaji ijtihad Nahdlatul Ulama tentang perkawinan beda

agama. Adapun distingsi penelitian ini adalah objek penelitian dan variable

penelitian. Penelitian ini berupaya menjelaskan hubungan antara teori maqa>s{id

48James D. Davidson and Tracy Widman, “The Effect of Group Size on

Interfaith Marriage among Catholics” dalam Journal for the Scientific Study of Religion, Vol. 41, No. 3 (Sep., 2002). Published by: Wiley on behalf of Society for

the Scientific Study of Religion Stable URL: http://www.jstor.org/stable/1387452 49Howard M. Bahr, “Religious Intermarriage and Divorce in Utah and the

Mountain States”, dalam Journal for the Scientific Study of Religion, Vol. 20, No. 3

(Sep., 1981). Published by: Wiley on behalf of Society for the Scientific Study of

Religion Stable URL: http://www.jstor.org/stable/1385547 50Harvey J. Locke, Georges Sabagh and Mary Margaret Thomes, “Interfaith

Marriages” dalam Journal Social Problems, Vol. 4, No. 4 (Apr., 1957). Published by:

University of California Press on behalf of the Society for the Study of Social Problems

Stable URL: http://www.jstor.org/stable/799290. 51Brent A. Barlow, “Notes on Mormon Interfaith Marriages” dalam journal The

Family Coordinator, Vol. 26, No. 2 (Apr., 1977). Published by: National Council on

Family Relations Stable URL: http://www.jstor.org/stable/583362

Page 40: IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39396/1/ALI... · IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu

19

al-shari>‘ah dengan metode penetapan hukum NU dan sejauh mana pemikiran

hukum Islam NU khususnya tentang pernikahan beda agama. Oleh karena itu,

diharapkan tulisan ini bisa melengkapi hasil penelitian-penelitian sebelumnya.

D. Tujuan dan Signifikansi Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini antara lain adalah:

1. Mengeksplorasi metodologi fikih dan maqa>s{id al-shari>‘ah yang

digunakan Lajnah Bah}th al-Masa>’il NU dalam menyelesaiakan kasus

perkawinan beda agama.

2. Menganalisis metodologi dan maqa>s{id al-shari>‘ah tersebut dalam

perspektif us}u>l al-fiqh. Adapun signifikansi penelitian ini diantaranya:

1. Memberikan kontribusi ilmiah dalam pengembangan hukum Islam

terutama yang berkaitan dengan us}u>l al-fiqh. 2. Memiliki arti akademis yang menambah informasi dan wawasan terutama

dalam bidang hukum Islam serta dipertimbangkan dapat memperkaya

teori-teori hukum Islam.

E. Metodologi Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian literatur. Maka jenis penelitian yang

dilakukan dalam pembahasan dan penyajian tesis ini adalah jenis penelitian

library research (penelitian kepustakaan). Yang secara langsung menggunakan

buku-buku kepustakaan yang ada kaitanya dengan masalah penelitian ini, baik

dari sumber primer (utama), sekunder (pendukung), maupun tersier

(pelengkap). Dan untuk mempermudah penelitian ini, maka disusun langkah-

langkah yang akan ditempuh dengan beberapa hal:

1. Sumber Data

Pada dasarnya sumber data yang digunakan untuk pembahsan tesis ini

dibedakan menjadi tiga jenis:

a. Sumber primer merupakan sumber data yang mengikat dan dapat

dipertanggungjawabkan yang diperoleh dari fatwa-fatwa NU. Baik yang

dihasilkan lewat Muktamar, Munas maupun Konbes.

b. Sumber sekunder merupakan sumber yang erat hubunganya dengan

sumber primer dan dapat membantu untuk menganalisa dan memahami

sumber primer, yang diperoleh dari kitab-kitab usu>l al-fiqh, Kompilasi

Hukum Islam, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,

buku-buku dan tulisan yang ada relevansinya dengan tesis ini baik yang

ditulis oleh ahli hukum positif maupun ahli hukum Islam, termasuk hasil

penelitian, seminar dan jurnal maupun artikel tentang hukum.

c. Sumber tersier merupakan sumber yang melengkapi dalam pemahaman

sumber primer dan sekunder yang diperoleh dari kamus, insiklopedia

surat-surat kabar dan majalah.

Page 41: IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39396/1/ALI... · IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu

20

2. Metode Analisis

Dalam menjawab permasalahan dalam tesis ini, maka dilakukan dengan

pendekatan yang bersifat yuridis normatif filosofis. Pendekatan ini akan dititik

beratkan pada pola yuridis dan us}u>liyah yaitu suatu pendekatan yang

didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadits, dengan metode istinba>t}} dan dianalisis

dengan memakai kerangka ilmu us}u>l al-fiqh,52 perlu juga dilihat hubungan

antara metode istinba>t}} hukum Islam dengan maqa>s{id al-shari>‘ah53 atau tujuan-

tujuan syari’at, yang nantinya guna melihat sejauh mana penerapan teori atau

prinsip maqa>s{id al-shari>‘ah dalam pemikiran Lajnah Bah}th al-Masa>’il NU

ketika menetapkan keputusan perkawinan beda agama.

3. Pengumpulan Data

Karya tulis ini, adalah kajian kepustakaan (library research), dan

sumber referensinya adalah kitab-kitab atau buku-buku primer dan juga

sekunder, baik yang didapat dari beberapa sarana perpustakaan juga melalui

kitab-kitab copy dalam bentuk PDF, baik yang berbahasa Arab, Inggris

maupun Indonesia. Data tersebut diolah dalam bentuk tulisan berbahasa

Indonesia dengan berpedoman kepada kaidah penulisan bahasa Indonesia yang

disesuaikan dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), kecuali hal-hal yang

terkait secara khusus ditentukan oleh penulis atas petunjuk dosen

pembimbing.

Guna mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini,

digunakan cara sebagai berikut:

a. Studi Dokumen

Dalam mempelajari bahan-bahan yang masuk kategori bahan

sekunder, pertama mempelajari peraturan dalam hukum yang menjadi objek

kajian, dipilih dan dihimpun kemudian dari bahan-bahan tersebut dipilih asas

dan kaidah hukum mengenai perkawinan beda agama menurut hukum Islam.

Setelah itu disususn kerangka yang sitematis untuk memudahkan analisisnya.

b. Wawancara

Wawancara ini terutama ditujukan kepada narasumber dengan

pertimbangan mereka lebih mengetahui dan memahami permasalahan yang

berhubungan dengan perkawinan beda agama. Narasumber disini adalah

ulama-ulama fikih NU terkait. Yaitu KH. Zulfa Mustofa MY Ketua LBM NU,

KH. Arwani Faishol Wakil Ketua LBM NU, KH. Masdar F. Masudi. Bentuk

wawancara yang digunakan adalah wawancara berpedoman yaitu materi

pertanyaan yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu sebelum melakukan

52Pada dasarnya ilmu us}u>l al-fiqh membahas tentang sumber-sumber hukum

Islam (Al-Qur’an dan Hadits) dan metode-metode penyelesaian permasalahan yang

sudah ada dasarnya Al-Qur’an maupun Hadits dan permasalahan yang tidak ada

dasarnya dalam Al-Qur’an dan Hadits. 53Pada dasarnya maqa>s{id al-shari>‘ah termasuk bagian tak terpisahkan dari

kajian us}u>l al-fiqh. Hanya saja sekarang para ulama memberikan perhatian khusus

terhadap maqa>s{id al-shari>‘ah

Page 42: IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39396/1/ALI... · IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu

21

wawancara. Wawancara ini hanya sekedar sebagai bahan pendukung atau

tambahan saja.

c. Analisis Data

Analisis data akan dilakukan dengan cara kualitatif dengan

menggunakan metode “reflektive thinking” dengan pola deduksi-induksi dan

tata pikir devergen yaitu tata pikir kreatif inovatif.54 Model analisis diatas

lebih mementingkan pengolahan dan menganalisis serta mengkontruksi data

secara kualitatif.

4. Teknik Penulisan

Teknik dalam penulisan tesis ini, transliterasi, ejaan dan yang lainya

didasarkan kepada petunjuk penulisan yang disepakati dosen Akademik dan

Dosen Pembimbing, dengan merujuk teknik penulisan kepada buku Pedoman Penulisan, Bahasa Indonesia, Transliterasi, dan Pembuatan notes dalam Karya

Ilmiah, yang diterbitkan oleh sekolah pasca sarjana UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta 2011. Dan buku Pedoman Akademik Program Magister dan Doktor Pengkajian Islam 2011-2015, yang diterbitkan oleh sekolah pasca sarjana UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

F. Kerangka Teori

Teori-teori yang akan digunakan sebagai landasan dalam penelitian ini

adalah teori mengenai ijtihad NU, maqa>s}id al-shari>‘ah dan perkawinan beda

agama.

1. Ijtihad NU

Ijtihad menurut pakar us}u>l al-fiqh adalah pengerahan segenap

kemampuan seorang Mujtahid dalam rangka memperoleh pengetahuan

tentang hukum-hukum shara‘ dengan cara istinba>t}}.55

Dari definisi di atas, ada beberapa hal yang menjadi sorotan penting

dalam melakukan ijtihad:

a. Pengerahan segenap kemampuan, maksudnya ijtihad bukanlah usaha ala

kadarnya, melainkan usaha yang melibatkan semua elemen mulai dari

jasmani, rohani, tenaga, pikiran, waktu sampai biaya.

b. Adanya seorang Mujtahid, maksudnya bahwa ijtihad hanya mungkin

dilakukan oleh seorang yang telah memenuhi persyaratan tertentu,

sehingga mencapai level Mujtahid, dan bukan oleh sembarang orang.

c. Guna memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum shara‘, maksudnya capaian ijtihad adalah ketentuan hukum yang menyangkut

tingkah laku manusia dalam kaitanya dengan pengamalan ajaran agama.

54Noeng Mouhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta, 1990), 109 55‘Abdul Kari>m Zaida>n, al-Waji>z fi> Us}ul al-Fiqh, (al-Qa>hirah: Da>r al-Tawzi>’

wa al-Nashr al-Islmiyyah, 1992), 399

Page 43: IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39396/1/ALI... · IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu

22

d. Dengan cara istinba>t}}, maksudnya ijtihad harus dengan cara mengakaji,

dan mendalami makna suatu lafad untuk dikeluarkan atau ditetapkan

hukumnya.56

Bagi NU, kegiatan ijtihad hanyalah dapat dilakukan oleh orang-orang

yang memenuhi persyaratan sebagai Mujtahid, sedangkan bagi orang-orang

yang mempunyai ilmu agama yang mendalam, tetapi tidak memenuhi

persyaratan Mujtahid, lebih baik taqli>d kepada ulama yang telah memiliki

kemampuan berijtihad, karena telah memenuhi persyaratanya. Taqli>d tidak

hanya sekedar mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya,

melainkan juga mengikuti kerangka berfikir atau jalan pikiran imam mazhab

dalam menggali hukum. Jadi sistem yang digunakan adalah taqli>d bermazhab,

maksudnya NU dalam menyelesaikan suatu masalah, Lajnah Bah}th al-Masa>’il

tidak menggunakan istilah ijtihad yang diyakini hanya layak dilakukan oleh

Mujtahidi>n terdahulu, melainkan istilah istinba>t}} (penggalian dan penetapan)

hukum dengan pendekatan madhhabi>. Maksudnya kegiatan istinba>t}} (penggalian dan penetapan) hukum hanya berorientasi pada mazhab-mazhab

fikih yang dibatasi pada fikih empat mazhab.57 2. Maqa>s}id al-Shari>‘ah

Allah menurunkan syari’at di muka bumi ini tidaklah tanpa tujuan dan

tanpa maksud begitu saja, melainkan syari’at diciptakan dengan tujuan dan

maksud tertentu. Jika dianalisis, semua perintah dan larangan baik yang

terdapat dalam Al-Qur’an maupun dalam Sunnah Nabi, yang diasumsikan ada

keterkaitan dengan hukum memberikan kesimpulan bahwa semuanya

mempunyai tujuan tertentu dan tidak ada yang sia-sia. Semuanya mempunyai

hikmah yang mendalam, yaitu sebagai rahmat bagi umat manusia dengan cara

mewujudkan kemaslahatan hamba sekaligus untuk menghindari kerusakan,

baik di dunia maupun di akhirat.58

Tujuan syari’at atau maqa>s}id al-shari>‘ah berintikan mewujudkan

kemaslahatan, baik dengan cara menarik manfaat (jalb al-mana>fi‘) maupun

mencegah kerusakan (dar’u al-mafa>sid). Kemaslahatan akan terwujud jika

lima unsur pokok (us}u>l al-khamsah) dapat diwujudkan dan dipelihara. Kelima

unsur pokok tersebut adalah al-di>n (agama), al-nafs (jiwa), al-‘aql (akal), al-nasl (keturunan), dan al-mal> (harta).59

56Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU; Lajnah Bahthul Masa’il 1926-1999,

97-98 57Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU; Lajnah Bahthul Masa’il 1926-1999,

117 58Ayat-ayat yang dimaksud antara lain adalah: Surat al-Nisa’ ayat 165, surat

al-Anbiya’ ayat 107 tentang pengutusan Rasul, surat Hud ayat 7, surat al-Dha>riya>t

ayat 56, surat al-Mulk ayat 2 tentang penciptaan. Lihat Abu Isha>q al-Shat}i>bi, al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l al-Shari>’ah (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, Juz II, 2003.

59Abu Isha>q al-Shat}i>bi, al-Muwa>faqa>t fi Us}u>li al-Shari>’ah, 8.

Page 44: IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39396/1/ALI... · IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu

23

Kadangkala, terjadi perbenturan antara lima unsur pokok tersebut atau

tingkat kepentingannya, oleh karena itu, maslahat jika ditinjau dari segi skala

prioritas, terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu; d}aru>riyya>t, h}a>jjiyya>t dan

tah}si>niyya>t. Hal ini berarti bahwa kemaslahatan tingkat al-d}aru>riyya>t lebih

didahulukan dari pada kemaslahatan tingkat al-h}a>jjiyya>t, dan kemaslahatan

tingkat al-h}a>jjiyya>t lebih didahukan dari pada kemaslahatan tingkat al-tah}si>niyya>t. 3. Perkawinan Beda Agama

Banyak istilah yang digunakan untuk pernikahan antara dua individu

yang memeluk agama berbeda, diantaranya interfaith marriage, mixed marriage, mixed faith marriage, atau interreligious marriage. Dalam bahasa

Indonesia, peneliti akan menggunakan istilah perkawinan beda agama.

Perkawinan beda agama adalah perkawinan antara pria dan wanita

yang keduanya memiliki perbedaan agama atau kepercayaan satu sama lain.

Perkawinan beda agama bisa terjadi antar sesama WNI yaitu pria WNI dan

wanita WNI yang keduanya memiliki perbedaan agama/ kepercayaan juga bisa

antar beda kewarganegaraan yaitu pria dan wanita yang salah satunya

berkewarganegaraan asing dan juga salah satunya memiliki perbedaan agama

atau kepercayaan.60

G. Sistematika Penulisan

Guna memperoleh gambaran yang menyeluruh tentang penelitian ini

maka, penulisan tesis ini akan dibagi menjadi lima bab, dengan urutan sebagai

berikut:

Bab pertama, merupakan pendahuluan yang didalamnya memuat latar

belakang masalah yang menjelaskan betapa pentingya penelitian ini,

identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tinjauan pustaka,

tujuan dan signifikansi penelitian, metodologi yang memuat tentang metode

pengumpulan data, metode pembahasan dan pendekatan, dan metode

penulisan, kemudian yang terakhir sistematika penulisan.

Bab kedua, menjelaskan tentang metodologi pemikiran hukum Islam,

yang meliputi aliran Ahl al-Ra’yi vs Ahl al-H{adi>th, metodologi ijtihad aliran

tradisionalisme, metodologi ijtihad aliran modernisme, serta kedudukan

maqa>s}id al-shari>‘ah dalam metode ijtihad

Bab ketiga, menjelaskan tentang tradisi ijtihad Nahdlatul Ulama dan

perkawinan beda agama, yang akan meliputi meliputi ijtihad dalam

pandangan NU, Bah}th al-Masa>’il fiqhiyyah NU: antara idea dan fakta, serta

problem metodologis ijtihad NU, landasan hukum tentang perkawinan beda

agama.

60Abd. Rozak A. Sastra dkk, Pengkajian Hukum Tentang Perkawinan Beda

Agama: Perbandingan Beberapa Negara, 12

Page 45: IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39396/1/ALI... · IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu

24

Bab keempat, menjelaskan tentang tinjauan maqa>s}id al-shari>‘ah

terhadap keputusan NU tentang perkawinan beda agama yang meliputi ijtihad

NU tentang perkawinan beda agama, implementasi maqa>s}id al-shari>‘ah

terhadap perkawinan beda agama dilihat dari sisi h}ifz} al-di>n dan h}ifz} al-nasl. Bab kelima, penutup yang akan menjelaskan kesimpulan dan saran.